Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

PRE EKLAMSI BERAT (PEB)

Oleh :
Ismi Aziz
NIM. 201901135

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
STIKES BINA SEHAT PPNI MOJOKERTO
TAHUN AJARAN 2021-2022
BAB 1
KONSEP MEDIS

1.1 DEFINISI
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat
kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Eklampsia
adalah preeklampsia yang disertai kejang dan atau koma yang timbul akibat kelainan
neurologi (Kapita Selekta Kedokteran edisi ke-3).
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya perfusi
organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan hipertensi yang
timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria (Cunningham, et al,
2007). Hipertensi ialah tekanan darah ≥140/90 mmHg. Dengan catatan, pengukuran
darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. Sedangkan proteinuria adalah
adanya 300 mg protein dalam urin 24 jam atau sama dengan ≥1+ dipstick (Angsar, 2008).
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg
dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria ≥ 5 g/ 24 jam atau kualitatif
4+. Sedangkan pasien yang sebelumnya mengalami preeclampsia kemudian disertai
kejang dinamakan eklampsia (Angsar, 2008). Penggolongan preeclampsia menjadi
preeclampsia ringan dan preeclampsia berat dapat menyesatkan karena preeclampsia
ringan dalam waktu yang relative singkat dapat berkembang menjadi preeclampsia berat
(Cunningham, et al, 2007).

1.2 KLASIFIKASI
Klasifikasi pre eklamsia dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut:
a. Pre eklamsia ringan
Pre eklamsia ringan ditandai dengan:
1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring
terlentang; kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih dari tensi baseline (tensi sebelum
kehamilan 20 minggu); dan kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara pengukuran
sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam, atau
berada dalam interval 4-6 jam.
2) Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka; kenaikan berat badan 1 kg atau lebih
dalam seminggu.
3) Proteinuria kuantatif 0,3 gr atau lebih per liter; kualitatif 1 + atau 2 + pada urin
kateter atau midstream (aliran tengah).
b. Pre eklamsia berat
Pre eklamsia berat ditandai dengan:
1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
2) Proteinuria 5 gr atau lebih per liter.
3) Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam .
4) Adanya gangguan serebral atau kesadaran, gangguan visus atau penglihatan, dan
rasa nyeri pada epigastrium.
5) Terdapat edema paru dan sianosis
6) Kadar enzim hati (SGOT, SGPT) meningkat disertai ikterik.
7) Perdarahan pada retina.
8) Trombosit kurang dari 100.000/mm.

Preeklampsia berat dibagi menjadi:


a) Preeklampsia berat tanpa impending eclampsia
b) Preeklampsia berat dengan impending eclampsia.
Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala
subjektif berupa :
 Muntah-muntah
 Sakit kepala yang keras karena vasospasm atau oedema otak
 Nyeri epigastrium karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau oedema, atau
sakit karena perubahan pada lambung
Gangguan penglihatan: penglihatan menjadi kabur sampai terkadang buta. Hal ini
disebabkan karena vasospasm, oedema atau ablation retinae. Perubahan – perubahan ini
dapat dilihat dengan ophtalmoskop (Angsar, 2008).

1.3 ETIOLOGI
Setiap teori mengenai etiologi dan patofisiologi preeclampsia harus dapat
menjelaskan alasan mengapa hipertensi pada kehamilan cenderung terjadi pada:
 Wanita yang terpapar dengan villi korionik untuk pertama kali
 Wanita yang terpapar oleh vili korionik dalam jumlah besar, seperti pada kehamilan
kembar atau kehamilan mola.
 Wanita dengan predisposisi penyakit vaskuler sebelumnya.
 Wanita dengan predisposisi genetic ada yang pernah menderita hipertensi selama
kehamilan.
Vili korionik yang dapat mencetuskan preeclampsia tidak harus berada di dalam
rahim. Sedangkan ada atau tidaknya janin bukanlah suatu syarat untuk terjadinya
preeklampsia. Namun demikian, terlepas dari etiologinya, kaskade peristiwa yang
mengarah ke sindrom preeklampsia ditandai dengan sejumlah kelainan yang
mengakibatkan kerusakan endotel vaskular dengan vasospasme, transudasi plasma, dan
sequelae iskemik dan trombotik. Menurut Sibai (2003), penyebab potensial saat ini masuk
akal adalah sebagai berikut:
1. Invasi trofoblas abnormal pada pembuluh darah rahim.
2. Intoleransi imunologi antara jaringan ibu dan fetoplacental.
3. Maladaptasi ibu terhadap perubahan kardiovaskular atau perubahan respon inflamasi
dari kehamilan normal.
4. Faktor defisiensi nutrisi.
5. Faktor genetic (Cunningham, et al, 2007).
1.3.1 Invasi trofoblas abnormal
Pada implantasi normal, arteri spiralis uterus mengalami remodelling akibat invasi
endovascular trophoblasts ke dalam lapisan otot arteri spiralis. Hal ini menimbulkan
degenerasi lapisan otot arteri spiralis sehingga terjadi dilatasi dan distensi (Gambar 2.1).
Pada preeclampsia, terjadi invasi trofoblas namun tidak sempurna dan tidak terjadi invasi
sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis. Dalam hal ini, hanya pembuluh darah
desidua (bukan pembuluh darah miometrium) yang dilapisi oleh endovaskuler trofoblas.
Akibatnya, lapisan otot arteri spiralis tetap kaku dan keras serta tidak memungkinkan
untuk mengalami distensi dan dilatasi. Ini menciptkan suatu keadaan di mana arteri
spiralis mengalami vasokonstriksi relative. Madzali dan rekannya (2000) menunjukkan
bahwa keparahan defek invasi trofoblas pada arteri spiralis berkaitan dengan keparahan
hipertensi (Cunningham, et al, 2007).
Gambar 2.1 Implantasi plasenta yang normal
menunjukkan adanya proliferasi trofoblas
extravili, membentuk saluran di bawah villi
yang melekat. Trofoblas extravillous
menginvasi desidua dan masuk ke dalam
artei spiralis. Hal ini menyebabkan perubahan
pada endotel dan dinding otot pembuluh
darah sehingga pembuluh darah melebar
(Cunningham, et al, 2007)

Gambar 2.2 Prerbandingan remodelling arteri spiralis pada kehamilan normal dan preeclampsia. Tampak
pada gambar bahwa pada preeclampsia terjadi remodeling yang tidak sempurna sehingga arteri spiralis
relative menjadi lebih konstriksi. (Cunningham, et al, 2007)

De wolf dan rekannya (1980) mengamati arteri-arteri yang diambil dari sisi
implantasi plasenta dengan menggunakan mikroskop electron. Mereka menemukan
bahwa perubahan preeklampsi pada tahap awal termasuk kerusakan endotel, insudasi
plasma ke dalam pembuluh darah, proliferasi sel-sel miointima, dan nekrosis medial.
Mereka menemukan adanya lipid yang trerakumulasi di dalam sel-sel miointima kemudian
di dalam makrofag. Dalam gambar 2.3 tampak sel-sel lipid bersama sel inflamasi lainnya
di dalam pembuluh darah dinamakan atherosis. Biasanya, pembuluh darah yang terkena
atherosis akan berkembang menjadi aneurisma dan seringkali berkaitan dengan arteriola
spiralis yang gagal untuk melakukan adaptasi. Obstruksi pada lumen arteriola spiralis oleh
atherosis dapat mengganggu aliran darah plasenta. Hal inilah yang membuat perfusi
plasenta menurun dan menyebabkan terjadinya sindrom preeklampsi (Cunningham, et al,
2007)

1.3.2 Teori Intoleransi Imunologik antara ibu dan janin


Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi dalam
kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut;
 Primigravida mempunyai faktor risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam
kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida
 Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih besar terjadinya
hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami yang sebelumnya.
 Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Lamanya periode hubungan seks sampai saat kehamilan ialah makin lama periode ini
makin kecil terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Pada perempuan hamil normal respon imun tidak menolak adanya “hasil konsepsi”
yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya Human Leucocyte Antigen Protein G (HLA-
G), yang berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga si ibu tidak menolak
hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin
dari lisis oleh sel natural killer (NK) ibu dan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam
jaringan decidua ibu (Angsar, 2008).
Plasenta pada hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G.
Berkurangnya HLA-G menghambat invasi trofoblas kedalam decidua. Invasi trofoblas
sangat penting agar jaringan decidua menjadi lunak, dan gembur sehingga memudahkan
terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga merangsang produksi sitokin, sehingga
memudahkan terjadinya reaksi inflamasi. Selain itu, pada awal trimester kedua kehamilan,
perempuan yang mempunyai kecenderungan terjadi preeklampsia, ternyata mempunyai
proporsi Helper sel yang lebih rendah dibanding pada normotensive (Angsar, 2008)
2.3.3 Teori Radikal Bebas dan Disfungsi Sel Endotel
Disfungsi sel endotel yang berkaitan dengan preeclampsia disebabkan oleh
gangguan adaptasi intravaskuler ibu terhadap kehamilan sehingga memicu proses
inflamasi intravaskuler sistemik (Gambar 2.4). Dalam teori ini dinyatakan bahwa
preeclampsia timbul akibat adanya leukosit aktif dengan jumlah yang ekstrem dalam
sirkulasi ibu. Singkatnya, sitokin-sitokin seperti Tumor Necrosis Factor (TNF) dan
interleukin (IL) dapat memicu stres oksidatif yang berkaitan dengan preeklampsia. Stres
oksidatif ini ditandai oleh spesies oksigen reaktif dan radikal bebas yang memicu
terbentuknya peroksida lipid. Proses ini selanjutnya menghasilkan radikal beracun yang
merusak sel-sel endotel, mengacaukan produksi nitrit oksida, dan mengganggu
keseimbangan prostaglandin. Akibat lainnya adalah terbentuknya sel makrofag yang
mengandung lipid (sel foam) di dalam atherosis; aktivasi proses koagulasi mikrovaskuler
menyebabkan trombositopenia; dan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan
terjadinya edema dan proteinuria (Cunningham, 2007).
Penelitian tentang efek stress oksidatif pada preeclampsia ini menimbulkan
ketertarikan untuk memberikan antioksidan sebagai pencegahan preeclampsia.
Antioksidan merupakan kelompok senyawa yang berfungsi untuk mencegah kerusakan
akibat produksi radikal bebas yang berlebihan. Contoh antioksidan antara lain, vitamin E
atau tokoferol, vitamin C (asam askorbat), dan karoten (Angsar, 2008).
Gambar 2.4 Patogenesis hipertensi dalam kehamilan (Cunningham, et al, 2007)

2.3.4 Faktor Defisiensi Nutrisi


Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk hati
halibut, dapat mengurangi resiko preeclampsia. Minyak ikan mengandung banyak asam
lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi
trombosit, dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah. Beberapa peneliti telah
mencoba melakukan uji klinik bahwa konsumsi minyak ikan atau bahan yang
mengandung asam lemak tak jenuh dapat digunakan untuk mencegah preeclampsia
(Angsar, 2008).
Studi lain menunjukkan bahwa pada populasi dengan diet kaya buah-buahan dan
sayuran yang banyak mengandung aktioksidan berkaitan dengan penurunan tekanan
darah. Studi ini berkaitan dengan penelitian Zhang bahwa resiko preeklampsi menjadi dua
kali lipat pada wanita yang mengkonsumsi asam askorbat kurang dari 85 mg. C-Reactive
Protein (CRP) yang merupakan marker inflamasi, juga meningkat pada obesitas. Hal ini
selanjutnya juga berkaitan dengan preeclampsia karena obesitas pada orang tidak hamil
pun dapat menyebabkan aktivasi endotel dan respon inflamasi sistemik akibat
atherosklerosis (Cunningham, et al, 2007).
2.3.5 Faktor genetik
Preeklampsia adalah gangguan multifaktorial poligenik. Dalam review
komprehensif mereka, Ward dan Lindheimer (2009) menyebutkan insiden risiko
preeklampsia adalah 20 sampai 40 persen untuk anak wanita ibu preeklampsia; 11
sampai 37 persen untuk saudara wanita preeklampsia dan 22-47 persen dalam studi
kembar.
Dalam sebuah studi oleh Nilsson dan rekan kerja (2004) yang mencakup hampir
1.200.000 kelahiran di Swedia, mereka melaporkan komponen genetik untuk hipertensi
kehamilan serta preeklampsia. Mereka juga melaporkan konkordansi 60 persen di
monozigotik pasangan kembar wanita.
Kecenderungan ini kemungkinan besar turun temurun adalah hasil interaksi dari
ratusan gen pewaris-baik ibu dan ayah-yang mengontrol fungsi metabolik enzimatik dan
banyak sekali setiap seluruh sistem organ. Dengan demikian, manifestasi klinis pada
wanita diberikan dengan sindrom preeklampsia akan menempati spektrum sebagaimana
dijelaskan sebelumnya. Dalam hal ini ekspresi, fenotipik akan berbeda antara genotipe
yang sama tergantung pada interaksi dengan faktor lingkungan (Cunningham, et al, 2007).
1.4 FAKTOR RESIKO
Terdapat banyak faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan,
termasuk preeclampsia berat, yaitu:
 Primigravida, primipaternitas
 Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multiple, diabetes mellitus,
hidrops fetalis, bayi besar.
 Umur yang ekstrim.
 Riwayat keluarga pernah preeclampsia/ eklampsia.
 Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil (Angsar, 2008)
 Resiko preeclampsia meningkat dari 4.3 % pada ibu hamil dengan BMI kurang dari
19,8 kg/m2 hingga 13,3% pada ibu hamil dengan BMI lebih dari 35 kg/m2
 Faktor lingkungan juga memiliki kontribusi. Sebuah penelitian melaporkan bahwa ibu
hamil yang tinggal di dataran tinggi Colorado memiliki insiden preeclampsia yang
tinggi.
Walaupun merokok selama hamil berkaitan dengan dampak negative pada
kehamilan secara umum, namun merokok berkaitan dengan menurunnya resiko
hipertensi kehamilan. Plasenta previa telah dilaporkan menurunkan resiko hipertensi
dalam kehamilan (Cunningham, et al, 2007).

1.5 PATOFISIOLOGI
Preeklamsia terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi gram dan air.
Pada biopsy ginjal ditemukan spasme yang hebat pada arteriola glomerulus. Pada
beberapa kasus lumen arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat dilalui oleh
sel darah merah. Jadi, jika semua arterida dalam tubuh mengalami spasme, maka
tekanan darah dengan sendirinya akan naik, sebagai usaha untuk menangani kenaikan
tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat tercukupi. Sedangkan kenaikan berat bdan
dan edema yang disebabkan penimbunan air yang berlebihan dalam ruangan interstisial
belum belum diketahui sebabnya, ada yang mengatakan disesbabkan oleh retensial air
dan gram. Proteinuria mungkin disebebkan oleh spasme arteriola, sehingga terjadi
perubahan pada glomerulus (mitayani, 2011).
Berdasarkan perjalanan teori 2 tahap, preeklamsia dibagi menjadi 2 tahap penyakit
tergantung gejala yang timbul. Tahap pertama bersifat asimtomatik (tanpa gejala), dengan
karakteristik perkembangan abnormal plasenta pada trimester pertama. Perkembanagn
abnormal plasenta terutama proses angiogenesis mengakibatkan insufisiensi plasenta
dan terlepasnya material plasenta memasuki sirkulasi ibu. Terlepasnya material plasenta
memicu gambaran klinis tahap 2, yaitu tahap sistomatik (timbul gejala) pada tahap ini
berkembang gejala hipertensi, gangguan renal, dan proteinuria, serta potensi terjadinya
sindrom HELLP, eklamsia dan kerusakan organ lainnya.

1.6 MANIFESTASI KLINIS


Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dengan urutan pertambahan berat
badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada pre
eklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Sedangkan pada pre eklampsia
berat ditemukan gejala subjektif berupa sakit kepala di daerah frontal, diplopia,
penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, dan mual atau muntah. Gejala-gejala ini
sering ditemukan pada pre eklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa
eklampsia akan timbul. Penegakkan diagnosa pre eklampsia yaitu adanya 2 gejala di
antara trias tanda utama, dimana tanda utamanya yaitu hipertensi dan 2 tanda yang lain
yaitu edema atau proteinuria. Tetapi dalam praktik medis hanya hipertensi dan proteinuria
saja yang dijadikan sebagai 2 tanda dalam penegakkan diagnosa pre eklamsia.
Digolongkan preeclampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai
berikut:
 Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan darah diastolic ≥ 110 mmHg. Tekanan
darah tidak turun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah
menjalani tirah baring.
 Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.
 Oliguria, yaitu produksi urin <500 cc/24 jam.
 Peningkatan kreatinin plasma (>1.2 mg/dL).
 Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan
pandangan kabur.
 Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat teregangnya
kapsula Glisson oleh karena nekrosis hepatoseluler, iskemia, dan edema).
 Gangguan fungsi hepar (peningkatan kadar AST dan ALT)
 Edema paru-paru dan sianosis.
 Hemolisis mikroangiopati (ditandai dengan peningkatan LDH)
 Trombositopenia (<100.000/mm3)
 Pertumbuhan janin intra uterin yang terlambat.
 Sindrom HELLP.

1.7 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan pre eklamsia yaitu
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Darah Lengkap dan Apusan Darah
a) Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal hemoglobin untuk
wanita hamil adalah 12-14 gr%).
b) Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%).
c) Trombosit menurun (nilai rujukan 150.000-450.000/mm3)
2) Urinalisis
Ditemukan protein dalam urine.
3) Pemeriksaan Fungsi Hati
a) Bilirubin meningkat (N= < 1 mg/dL).
b) LDH (laktat dehidrogenase) meningkat.
c) Aspartat aminomtransferase (AST) > 60 uL.
d) Serum Glutamat Pirufat Transaminase (SGPT) meningkat (N= 15-45 u/ml)
e) Serum Glutamat Oxaloacetic transaminase (SGOT) meningkat (N= < 31 u/ml)
f) Total protein serum menurun (N= 6,7 – 8,7 g/dL)
4) Tes Kimia Darah
Asam urat meningkat > 2,7 mg/dL, dimana nilai normalnya yaitu 2,4 – 2,7 mg/dL
b. Pemeriksaan Radiologi
1) Ultrasonografi (USG).
Hasil USG menunjukan bahwa ditemukan retardasi perteumbuhan janin intra uterus.
Pernafasan intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan ketuban
sedikit.
2) Kardiotografi
Hasil pemeriksaan dengan menggunakan kardiotografi menunjukan bahwa denyut
jantung janin lemah
1.8 PATHWAY
1.9 PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia adalah sebagai berikut :
1. Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah
2. Mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia
3. Mengatasi dan menurunkan komplikasi pada janin
4. Terminasi kehamilan dengan cara yang paling aman
Perawatan preeklampsia berat dibagi menjadi dua unsur:
 Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya: yaitu terapi medikamentosa dengan
pemberian obat-obatan untuk penyulitnya
 Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya: yang tergantung pada
umur kehamilannya dibagi 2, yaitu:
 Ekspektatif; Konservatif : bila umur kehamilan < 37 minggu, artinya: kehamilan
dipertahankan selama mungkin sambil memberi terapi medikamentosa
 Aktif, agresif: bila umur kehamilan > 37 minggu, artinya kehamilan diakhiri setelah
mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi.
1.8.1 Penanganan di Puskesmas
Mengingat terbatasnya fasilitas yang tersedia di Puskesmas, secara prinsip pasien
dengan PEB dan eklampsia harus dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan dengan
fasilitas yang lebih lengkap. Persiapan yang perlu dilakukan dalam merujuk pasien PEB
atau eklampsia adalah sebagai berikut :
1. Pada pasien PEB/Eklampsia sebelum berangkat, pasang infus RD 5, berikan SM 20
% 4 g iv pelan-pelan selama 5 menit, bila timbul kejang ulangan berikan SM 20 % 2 g
iv pelan-pelan. Bila tidak tersedia berikan injeksi diazepam 10 mg iv secara pelan-
pelan selama 2 menit, bila timbul kejang ulangan ulangi dosis yang sama.
2. Untuk pasien dengan eklampsia diberikan dosis rumatan setelah initial dose di atas
dengan cara : injeksi SM 40 % masing-masing 5 g im pada glutea kiri dan kanan
bergantian, atau drip diazepam 40 mg dalam 500 c RD 5 28 tpm
3. Pasang Oksigen dengan kanul nasal atau sungkup.
4. Menyiapkan surat rujukan berisi riwayat penyakit dan obat-obat yang sudah
diberikan.
5. Menyiapkan partus kit dan sudip lidah.
6. Menyiapkan obat-obatan : injeksi SM 20 %, injeksi diazepam, cairan infuse, dan
tabung oksigen.
7. Antasid untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang dapat
mencegah terjadinya aspirasi isi lambung yang sangat asam.
1.8.2 Penanganan di rumah sakit
Dasar pengelolaan PEB terbagi menjadi dua. Pertama adalah pengelolaan
terhadap penyulit yang terjadi, kedua adalah sikap terhadap kehamilannya.
Penanganan penyulit pada PEB meliputi (Prasetyorini, 2009):
a. Pencegahan Kejang
• Tirah baring, tidur miring kiri
• Infus RL atau RD5
• Pemberian anti kejang MgSO4 yang terbagi menjadi dua tahap, yaitu :
- Loading / initial dose : dosis awal
- Maintenance dose : dosis rumatan
 Pasang Foley catheter untuk monitor produksi urin
Tabel 1. Tatacara Pemberian SM pada PEB
Loading dose Maintenance dose
SM 20 % 4 g iv pelan-pelan - SM 40 % 10 g im, terbagi pada
selama 5 menit glutea kiri dan kanan
- SM 40 % 5 g per 500 cc RD5 30
tts/m
1. SM rumatan diberikan sampai
24 jam pada perawatan
konservatif dan 24 jam setelah
persalinan pada perawatan aktif
Syarat pemberian SM :
- Reflex patella harus positif
- Respiration rate > 16 /m
- Produksi urine dalam 4 jam 100cc
- Tersedia calcium glukonas 10 %
Antidotum :
Bila timbul gejala intoksikasi SM dapat diberikan injeksi Calcium
gluconas 10 %, iv pelan-pelan dalam waktu 3 menit
Bila refrakter terhadap SM dapat diberikan preparat berikut :
1. Sodium thiopental 100 mg iv
2. Diazepam 10 mg iv
3. Sodium amobarbital 250 mg iv
4. Phenytoin dengan dosis :
- Dosis awal 100 mg iv
- 16,7 mg/menit/1 jam
500 g oral setelah 10 jam dosis awal diberikan selama 14 jam
b. Antihipertensi
• Hanya diberikan bila tensi ≥ 180/110 mmHg atau MAP ≥ 126
• Bisa diberikan nifedipin 10 – 20 mg peroral, diulang setelah 30 menit, maksimum
120 mg dalam 24 jam
• Penurunan darah dilakukan secara bertahap :
- Penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik
- Target selanjutnya adalah menurunkan tekanan darah < 160/105 mmHg
atau MAP < 125
c. Diuretikum
Tidak diberikan secara rutin karena menimbulkan efek :
• Memperberat penurunan perfusi plasenta
• Memperberat hipovolemia
• Meningkatkan hemokonsentrasi
Indikasi pemberian diuretikum :
1. Edema paru
2. Payah jantung kongestif
3. Edema anasarka

Berdasarkan sikap terhadap kehamilan, perawatan pada pasien PEB dibedakan


menjadi perawatan konservatif dan perawatan aktif.
a. Perawatan konservatif
1. Tujuan :
• Mempertahankan kehamilan hingga tercapai usia kehamilan yang memnuhi
syarat janin dapat hidup di luar rahim
• Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi
keselamatan ibu
2. Indikasi :
Kehamilan < 37 minggu tanpa disertai tanda dan gejala impending eklampsia
3. Pemberian anti kejang :
Seperti Tabel 1 di atas, tapi hanya diberikan maintainance dose ( loading dose
tidak diberikan )
4. Antihipertensi
Diberikan sesuai protokol untuk PER.
5. Induksi Maturasi Paru
Diberikan injeksi glukokortikoid, dapat diberikan preparat deksametason 2 x 16
mg iv/24 jam selama 48 jam atau betametason 24 mg im/24 jam sekali
pemberian.
6. Cara perawatan :
• Pengawasan tiap hari terhadap gejala impending eklampsia
• Menimbang berat badan tiap hari
• Mengukur protein urin pada saat MRS dan tiap 2 hari sesudahnya
• Mengukur tekanan darah tiap 4 jam kecuali waktu tidur
• Pemeriksaan Lab : DL, LFT, RFT, lactic acid dehydrogenase, Albumin serum
dan faktor koagulasi
• Bila pasien telah terbebas dari kriteria PEB dan telah masuk kriteria PER,
pasien tetap dirawat selama 2 – 3 hari baru diperbolehkan rawat jalan.
Kunjungan rawat jalan dilakukan 1 minggu sekali setelah KRS.
7. Terminasi kehamilan
• Bila pasien tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai aterm
• Bila penderita inpartu, persalinan dilakukan sesuai dengan indikasi obstetrik
b. Perawatan aktif
1. Tujuan : Terminasi kehamilan
2. Indikasi :
(i). Indikasi Ibu :
• Kegagalan terapi medikamentosa :
- Setelah 6 jam dimulainya terapi medikamaentosa terjadi kenaikan
tekanan darah persisten
- Setelah 34 jam dimulainya terapi medikamentosa terjadi kenaikan
tekanan darah yang progresif
• Didapatkan tanda dan gejala impending preeclampsia
• Didapatkan gangguan fungsi hepar
• Didapatkan gangguan fungsi ginjal
• Terjadi solusio plasenta
• Timbul onset persalinan atau ketuban pecah
(ii). Indikasi Janin
• Usia kehamilan ≥ 37 minggu
• PJT berdasarkan pemeriksaan USG serial
• NST patologis dan Skor Biofisikal Profil < 8
• Terjadi oligohidramnion
(iii). Indikasi Laboratorium
• Timbulnya HELLP syndrome
3. Pemberian antikejang : Seperti protokol yang tercantum pada tabel 1.
4. Terminasi kehamilan :
Bila tidak ada indikasi obstetrik untuk persalinan perabdominam, mode of
delivery pilihan adalah pervaginam dengan ketentuan sebagai berikut :
(i) Pasien belum inpartu
• Dilakukan induksi persalinan bila skor pelvik ≥ 8. Bila skor pelvik < 8 bisa
dilakukan ripening dengan menggunakan misoprostol 25 μg intravaginal
tiap 6 jam. Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II sejak
dimulainya induksi, bila tidak maka dianggap induksi persalinan gagal dan
terminasi kehamilan dilakukan dengan operasi sesar.
• Indikasi operasi sesar :
- Indikasi obstetrik untuk operasi sesar
- Induksi persalinan gagal
- Terjadi maternal distress
- Terjadi fetal compromised
- Usia kehamilan < 33 minggu
(ii) Pasien sudah inpartu
• Perjalanan persalinan dilakukan dengan mengikuti partograf
• Kala II diperingan
• Bila terjadi maternal distress maupun fetal compromised, persalinan
dilakukan dengan operasi sesar
• Pada primigravida direkomendasikan terminasi dengan operasi sesar

1.10 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pre eklamsia tergantung pada
derajat pre eklamsia yang dialami. Namun yang termasuk komplikasi pre eklamsia antara
lain:
a. Komplikasi pada Ibu
1) Eklamsia.
2) Tekanan darah meningkat dan dapat menyebabkan perdarahan otak dan gagal
jantung mendadak yang berakibat pada kematian ibu.
3) Gangguan fungsi hati: Sindrom HELLP (Hemolisis, Elevated, Liver, Enzymes and
Low Plateleted) dan hemolisis yang dapat menyebabkan ikterik. Sindrom HELLP
merupakan singkatan dari hemolisis (pecahnya sel darah merah), meningkatnya
enzim hati, serta rendahnya jumlah platelet/trombosit darah. HELLP syndrome
dapat secara cepat mengancam kehamilan yang ditandai dengan terjadinya
hemolisis, peningkatan kadar enzim hati, dan hitung trombosit rendah. Gejalanya
yaitu mual, muntah, nyeri kepala, dan nyeri perut bagian kanan atas.
4) Solutio plasenta.
5) Hipofebrinogemia yang berakibat perdarahan.
6) Gangguan fungsi ginjal: oligo sampai anuria.
7) Perdarahan atau ablasio retina yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan
untuk sementara.
8) Aspirasi dan edema paru-paru yang dapat mengganggu pernafasan.
9) Cedera fisik karena lidah tergigit, terbentur atau terjatuuh dari tempat tidur saat
serangan kejang.
10) DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) atau kelainan pembekuan darah.
b. Komplikasi pada Janin
1) Hipoksia karena solustio plasenta.
2) Terhambatnya pertumbuhan janin dalam uterus sehingga terjadi peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas perinatal.
3) Asfiksia mendadak atau asfiksia neonatorum karena spasme pembuluh darah dan
dapat menyebabkan kematian janin (IUFD).
4) Lahir prematur dengan risiko HMD (Hyalin Membran Disease).

BAB 2
PENGKAJIAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 PENGKAJIAN
a. Data Subjektif
1) Umur biasanya sering terjadi pada primigravida , < 20 tahun atau > 35 tahun
2) Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan tekanan darah, adanya
edema, pusing, nyeri epigastrium, mual, muntah, penglihatan kabur, pertambahan
berat badan yang berlebihan yaitu naik > 1 kg/minggu, pembengkakan ditungkai,
muka, dan bagian tubuh lainnya, dan urin keruh dan atau sedikit (pada pre eklamsia
berat < 400 ml/24 jam).
3) Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal, anemia, vaskuler esensial,
hipertensi kronik, DM.
4) Riwayat kehamilan: riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion serta
riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya
5) Pola Aktivitas
a. Aktivitas
Gejala : Biasanya pada pre eklamsi terjadi kelemahan, penambahan berat
badan atau penurunan BB, reflek fisiologis +/+, reflek patologis -/-.
Tanda : Pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka
b. Sirkulasi
Gejala : Biasanya terjadi penurunan oksegen.
c. Abdomen
Gejala :
Inspeksi : Biasanya Perut membuncit sesuai usia kehamilan aterm, apakah
adanya sikatrik bekas operasi atau tidak ( - )
Palpasi :
Leopold I : Biasanya teraba fundus uteri 3 jari di bawah proc. Xyphoideus teraba
massa besar, lunak, noduler
Leopold II : Teraba tahanan terbesar di sebelah kiri, bagian – bagian kecil janin di
sebelah kanan.
Leopold III : Biasanya teraba masa keras, terfiksir
Leopold IV : Biasanya pada bagian terbawah janin telah masuk pintu atas
panggul
Auskultasi : Biasanya terdengar BJA 142 x/1’ regular
d. Eliminasi
Gejala : Biasanya proteinuria + ≥ 5 g/24 jam atau ≥ 3 pada tes celup, oliguria
e. Makanan / cairan
Gejala : Biasanya terjadi peningkatan berat badan dan penurunan , muntah-
muntah
Tanda : Biasanya nyeri epigastrium,
f. Integritas ego
Gejala : Perasaan takut.
Tanda : Cemas.
g. Neurosensori
Gejala : Biasanya terjadi hipertensi
Tanda : Biasanya terjadi kejang atau koma
h. Nyeri / kenyamanan
Gejala : Biasanya nyeri epigastrium, nyeri kepala, sakit kepala, ikterus, gangguan
penglihatan.
Tanda : Biasanya klien gelisah,
i. Pernafasan
Gejala : Biasanya terjadi suara nafas antara vesikuler, Rhonki, Whezing, sonor
Tanda : Biasanya ada irama teratur atau tidak, apakah ada bising atau tidak.
j. Keamanan
Gejala : Apakah adanya gangguan pengihatan, perdarahan spontan.
k. Seksualitas
Gejala : Status Obstetrikus
b. Data Objektif
1) Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam.
b) Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, dan lokasi edema.
c) Perkusi : untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat pemberian SM jika
refleks positif.
d) Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal distress. Selain
itu, untuk pre eklamsia ringan tekanan darah pasien > 140/90 mmHg atau
peningkatan sistolik > 30 mmHg dan diastolik > 15 mmHg dari tekanan biasa
(base line level/tekanan darah sebelum usia kehamilan 20 minggu). Sedangkan
untuk pre eklamsia berat tekanan darah sistolik > 160 mmHg, dan atau tekanan
darah diastolik > 110 mmHg.
2) Pemeriksaan Penunjang
a) Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2 kali dengan
interval 4-6 jam
b) Laboratorium : proteinuria dengan kateter atau midstream (biasanya meningkat
hingga 0,3 gr/lt atau lebih dan +1 hingga +2 pada skala kualitatif), kadar
hematokrit menurun, BJ urine meningkat, serum kreatinin meningkat, uric acid
biasanya > 7 mg/100 ml.
c) Berat badan : peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu.
d) Tingkat kesadaran: penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan pada otak.
e) USG: untuk mengetahui keadaan janin.
f) NST: untuk mengetahui kesejahteraan janin.

2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL


a. Hypervolemia berhubungan dengan gangguan aliran balik vena
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencidera fisik
c. Risiko infeksi berhubungan dengan tindakan infasif

2.3 INTERVENSI KEPERAWATAN


NO SDKI SLKI SIKI

1 Hypervolemia b/d Setelah dilakukan Observasi :


gangguan aliran tindahakn keperawatan
balik vena selama 1x24jam 1.Periksa tanda dan gejala
diharapkan hypervolemia hypervolemia
dapat teratasi dengan 2.identifikasi penyebab
kriteria hasil : hypervolemia
-Edema menurun 3.monitor status hemodinamik
-Tekanan darah 4.monitor intake dan output cairan
membaik
Terapeutik :
-Denyut nadi membaik
1.Timbang BB setiap hari
-Tekanan arteri membaik
2.batasi asupan cairan dan garam
Edukasi :

1.anjurkan melapor jika BB


bertamabah lebih dari 1kg perhari

Kolaborasi :

1.Kolaborasi pemberian deuretik,


jika perlu

2.kolaborasi penggatian kehilangan


kalium akibat deuritik.

2 Nyeri akut b/d agen Setelah dilakukakan Observasi :


pencidera fisik tindakan keperawatan
dakam 1x24jam 1.Identifikasi lokasi, karakteristik,
diharapkan nyeri akut durasi, frekuensi, kualitas dan
dapat teratasi dengan intensitas nyeri
kriteria hasil : 2.identifikasi respon non-verbal
-Keluhan nyeri menurun 3.identifikasi faktor yang
-Meringis menurun memperberat dan memperingan
rasa nyeri
-Gelisah menurun
4.monitor keberhasilan terapi yang
-Pola tidur membaik sudah digunakan

Terapeutik :

1.berikan teknik nonformakologis


dalam melakukan penanganan nyeri

2.kontrol lingkungan yang


memperberat nyeri

Edukasi :

1.Jelaskan penyebab, periode dan


pemicu nyeri

2. ajarkan strategi meredakan nyeri

3,mengajarkan dan menganjurkan


memonitor nyeri secara mandiri

Kolaborasi :

1.kolaborasi pemberian analgetik


jika perlu

3 Risiko infeksi b/d Setelah dilakukan Observasi :


tindakan infasif tindakan keperawatan
selama 1x24jam, 1.monitor tanda dan gejala infeksi
diharapkan risiko infeksi local dan iskemik
teratasi dengan kriteria Terapeutik :
hasil :
1.batasi jumlah pengunjung
-Demam menurun
2.berikan perawatan kulit pada area
-Kemerahan menurun edema
-Nyeri menurun 3.pertahankan teknik aseptic pada
-Bengkak menurun pasien beresiko tinggi

Edukasi

1.jelaskan tanda dan gejala infeksi

2.ajarkan cara mencuci tangan yag


benar

3.ajarkan etika batuk

4.ajarkan cara memeriksa kondisi


luka atau luka operasi

5.anjurkan meningkatkan asupan


nutrisi

Kolaborasi :

1.Kolaborasi pemberian imunisasi,


jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Arif, M. (2002). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.

Bobak, I.M., Deitra L.L., & Margaret D. J. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas, Edisi 4.
Jakarta: EGC

Herdman, T. H. (2012). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta:


EGC.

Johnson, M. M., & Sue M. (2000). Nursing outcame clasification. Philadelphia: Mosby.

McCloskey & Gloria M.B. (1996). Nursing Intervention Clasification. USA: Mosby.

Prawirohardjo, S. (2006). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

Sumiati & Dwi F. (2012). “Hubungan obesitas terhadap pre eklamsia pada kehamilan di RSU
Haji Surabaya”. Embrio, Jurnal Kebidanan, Vol 1, No.2, Hal. 21-24.

Widiastuti, N. P. A. (2012). “Asuhan keperawatan pre eklamsia”.


http://nursingisbeautiful.wordpress.com/2010/12/03/askep-preeklampsia/.

Anda mungkin juga menyukai