Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELITUS PADA LANSIA

A. Tinjauan Pustaka Proses Menua


1. Definisi
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang terjadi didalam
kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup,
tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak
permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tahap – tahap kehidupannya, yaitu neonatus,
toddler, pra school, remaja, dewasa dan lansia. Tahap berbeda ini di mulai
baik secara biologis maupun psikologis (Padila, 2013).
Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-
lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat
bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan
yang diderita. Menurunnya pertahanan kemampuan suatu jaringan untuk
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga membuat secara
progresif manusia akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi sehingga
menimbulkan penyakit degeneratife seperti diabetes mellitus,
osteosklerosis, kardiovaskuler, hipertensi dan gangguan keseimbangan
(Darmojo Boedhi, 2009).
Menurut World Health Organization (WHO) dan Undang-Undang No
13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada pasal 1 ayat 2 yang
menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua
bukanlah suatu penyakit, akan tetapi merupakan proses yang berangsur-
angsur mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan proses
menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam
dan luar tubuh yang berakhir dengan kematian.
Jadi proses penuaan bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu
masa atau tahap hidup manusia yaitu: bayi, kanak-kanak, dewasa, tua dan

1
lanjut usia. Kemudian proses penuaan dapat menyebabkan berkurangnya
daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar
tubuh. Dengan demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai
penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia.
2. Klasifikasi
MenurutWorld Health Organization(WHO), dibagi menjadi empat kriteria
antara lain:
a. Usia pertengahan (moddle age)
Seseorang yang berusia antara 45 – 59 tahun
b. Lanjut usia (elderly)
Seseorang yang berusia antara 60 – 74 tahun
c. Lanjut usia tua (old)
Seseorang yang berusia antara 75 – 90 tahun
d. Usia sangat tua (very old)
Seseorang yang berusia di atas 90 tahun
3. Teori – Teori Proses Penuaan (Aging Proces)
Ada beberapa teori tentang penuaan, sebagaimana di kemukakan oleh
Maryam, dkk.(2008) yaitu teori biologi, teori psikologi, teori kultural, teori
sosial, teori genetika, teori rusaknya sistem imun tubuh, teori menua akibat
metabolisme, dan teori kejiwaan sosial. Berdasarkan pengetahuan yang
berkembang dalam pembahasaan tentang teori proses menjadi tua (menua)
yang hingga saat ini dianut oleh gerontologis, maka dalam tingkatan
kompetensinya, perawat perlu mengembangkan konsep dan teori
keperawatan sekaligus praktik keperawatan yang didasarakan atas teori
proses menjadi tua (menua) tersebut.
a. Teori Biologik
Teori biologis dalam proses menua mengacu pada asumsi bahwa
proses menua merupakan perubahan yang terjadi dalam struktur dan
fungsi tubuh selama masa hidup (Zairt, 1980 dalam Sunaryo dkk,
2016).

2
Menurut Sunaryo dkk (2016) Teori boilogis dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu teori stokastik/stochastic theories dan teori
nonstokastik/nonstokastik theories.
1). Teori Stokastik/Stochastik Theories
Teori ini mengatakan bahwa penuaan merupakan suatu
kejadian yang terjadi secara acak atau random dan akumulasi setiap
waktu. Termasuk teori menua dalam lingkup proses menua
biologis dan bagian dari teori stokastik adalah teori kesalahan,
Teori keterbatasan hayflik, Teori pakai dan usan, Teori imunitas,
Teori radikal bebas dan teori ikatan silang.
a). Teori Kesalahan
Teori Kesalahan didasarkan pada gagasan manakala
kesalahan dapat terjadi dalam rekaman sintesis DNA (Goldteris
dan Brocklehurt, 1989 dalam Sunaryo dkk, 2016). Jika proses
transkripsi dari DNA terganggu, maka akan mempengaruhi
suatu sel dan akan terjadi penuaan yang berakibat pada
kematian. Sejalan dengan perkembangan umur sel tubuh, maka
terjadi beberapa perubahan alami pada sel DNA dan RNA,
yang merupakan substansi pembangun/pembentuk sel baru.
Peningkatan usia mempengaruhi perubahan sel dimana sel – sel
nucleus menjadi lebih besar tetapi tidak diikuti dengan
peningkatan jumlah substansi DNA.
b). Teori Keterbatasan Hayflick
Teori ini menekankan bahwa perubahan kondisi fisik pada
masusia dipengaruhi oleh adanya kemampuan reproduksi dan
fungsional sel organ yang menurun sejalan dengan
bertambahnya usia tubuh setelah usia tertentu (Haiflick, 1987
dalam Suryano dkk, 2016).
c). Teori Pakai dan Usang
Proses menua merupakan proses terprogram, yaitu proses
yang terjadi akibat akumulasi stress dan injuri dari trauma.
Menua dianggap sebagai proses fisiologis yang ditentukan oleh

3
sejumlah penggunaan dan keusangan dari organ seseorang yang
terpapar dengan lingkungan (Mc. Connell, 1988 dalam Sunaryo
dkk, 2016).
d). Teori Imunitas
Dalam teori ini, penuan dianggap disebabkan oleh adanya
penuruanan fungsi sistem imun.
e). Teori Lipofusin dan Radikal Bebas
Teori ini kemukakan oleh Cristiasen dan Grzybowsky
(1993) yang menyatakan bahwa penuaan disebabkan oleh
akumulasi kerusakan ireversibel akibat senyawa pengoksidan.
f). Teori Ikatan Silang
Teori ini menekankan pada postulat bahwa proses menua
terjadi sebagai akibat adanya ikatan–ikatan dalam kimiawi
tubuh. Teori ini menyebutkan bahwa secara normal, struktur
melekul dari sel berikatan secara bersama–sama membentuk
reaksi kimia.Termasuk di dalamnya adalah kolagen yang
merupakan rantai molekul yang relative panjang dan
dihasilkan oleh fibrolast. Dengan terbentuknya jaringan baru,
maka jaringan tersebut akan bersinggungan dengan jaringan
yang lama dan membentuk ikatan silang kimiawi. Hasil akhir
dari proses ikatan silang ini adalah peningkatan densitas
kolagen dan penurunan kapasitas untuk transport nutrient
serta untuk membuang produk–produk sisa metabolisme dari
sel (J. Bjorksten, 1942 dalam Sunaryo
dkk, 2016).
b. Teori Genetika
Teori Genetika dikemukakan oleh Hayflick (1965).Dalam teori ini,
proses penuaan kelihatannya mempunyai komponen genetik. Hal ini
dapat dilihat dari pengamatan bahwa anggota keluarga yang sama
cenderung hidup pada umur yang sama dan mereka mempunyai umur
yang rata-rata sama, tanpa mengikutsertakan meninggal akibat
kecelakaan dan penyakit. Mekanisme penuaan yang jelas secara

4
genetic belumlah jelas, tetapi hal penting yang harus menjadi catatan
bahwa lamanya hidup kelihatannya diturunkan mellaui garis wanita
dan seluruh mitokondria mamalia berasal dari telur dan tidak ada
satupun dipindahkan melaui spermatozoa. Pengalaman kultur sel
sugestif bahwa beberapa gen yang memengaruhi penuaan terdapat
pada kromosom 1, tetapi bagaimana cara mereka mempengaruhi
penuaan masih belum jelas.
Di samping itu, terdapat juga “eksperimen alami” yang baik di
mana beberapa manusia dengan kondisi genetic yang jarang
(progerias), seperti sindroma Werner, menunjukkan penuaan yang
premature dan meninggal akibat penyakit usai lanjut, seperti atheroma
derajat berat pada usianya yang masih belasan tahun atau permulaan
remaja. Serupa dengan itu, pada penderita Sindroma Down pada
umumnya proses penuaan lebih cepat dibandingkan dengan populasi
lain. Di samping itu, fibroblasnya mampu membelah dalam jumlah
lebih sedikit dalam kultur dibandingkan dengan kontrol pada
kebanyakan orang dengan umur sama. Akan tetapi, hal ini masih
sangat jauh dari bukti akhir bahwa penuaan merupakan kondisi
genetik.Hal ini hanya menunjukkan kepada kita bahwa beberapa
bentuk dipengaruhi oleh mekanisme genetik.
c. Teori Psikologis
Teori ini menjelaskan bagaimana seseorang merespon pada tugas
perkembangannya. Pada dasarnya perkembangan seseorang akan terus
berjalan meskipun orang tersebut telah menua (Birren dan Jenner,
1977 dalam Sunaryo, 2016).
d. Teori Aktivitas
Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung pada
bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan
aktivitas serta mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting
dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang dilakukan. Dari pihak lansia
sendiri terdapat anggapan bahwa proses penuaan merupakan suatu

5
perjuangan untuk tetap muda dan berusaha untuk mempertahankan
perilaku mereka semasa muda (Dewi, 2012).
e. Teori Kontinuitas
Teori kontinuitas menyatakan bahwa setiap orang pasti berubah
menjadi tua namun kepribadian dasar dan pola perilaku individu tidak
akan mengalami perubahan. Pengalaman hidup seseorang pada suatu
saat merupakan gambarannya kelak pada saat menjadi lansia (Dewi,
2012).
f. Teori Subkultur
Menurut teori ini lansia dipandang sebagai bagian dari sub kultur.
Secara antropologis, berarti lansia memiliki norma dan standar budaya
sendiri. Standar dan norma budaya ini meliputi prilaku, keyakinan, dan
harapan yang membedakan lansia dari kelompok lainnya (Dewi,
2012).
4. Perubahan – Perubahan yang Terjadi Akibat Proses Menua
Perubahan – perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan
fisik, yang meliputi sel, sistem pernafasan, sistem persyarafan, sistem
pendengaran, penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem urinaria, sistem
endokrin dan metabolic, sistem pencernaan, sistem muskuloskeletal,
sistem kulit dan jaringan ikat, sistem reproduksi dan kegiatan seksual, dan
sistem pengaturan tubuh, serta perubahan mental, dan perubahan
psikososial (Bandiyah, 2009).
a. Perubahan pada Semua Sistem dan Implikasi Klinik
1). Sel
Jumlah pada sel lansia lebih sedikit, ukurannya lebih besar,
jumlah cairan intraseluler berkurang, proporsi proteindi otak,
otot,ginjal, darah, dan hati menurun. Di samping itu jumlah sel di
otak juga menurun, otak menjadi trofis beratnya berkurang 5-10%
(Bandyah, 2009).
2). Perubahan Pada Sistem Sensori
Sensori mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
berhubungan dengan orang lain dan untuk memelihara atau untuk

6
membentuk hubungan baru, berespon terhadap bahaya, dan
menginterprestasikan masukan sensoris dalam aktivitas kehidupan
sehari – hari. Lansia yang mengalami penurunan persepsi
sensori.Akan merasakan enggan bersosialisasi karena kemunduran
fungsi–fungsi sensoris yang di miliki (Sunaryo dkk, 2016).
3). Sistem Pendengaran
Hilangnya kemampuan pendengaran pada telinga dalam
terutama terhadap bunyi atau suara–suara atau nada–nada tinggi,
suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata–kata 50% terjadi pada
usia di atas umur 65 tahun (Bandyah, 2009).
4). Sistem Pengelihatan
Sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap
sinar, kornea lebih berbentuk sferis (bola), lensa lebih suram
(kekeruhan pada lensa) menjadi katarak, jelas menyebabkan
gangguan penglihatan, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih
lambat, menurunnya lapangan pandang, menurunnya daya
membedakan warna biru atau hijau (Bandyah, 2009).
5). Sistem Kardiovaskuler
Elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan
menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1%
setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan
menurunnya kontraksi dan volumenya, kehilangan elastisitas
pembuluh darah, tekanan darah meninggi diakibatkan oleh
meningkatnya resistensi dan pembuluh darah perifer (Bandyah,
2009).
6). Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh
Pada pengaturan suhu, hipotalamus dianggap bekerja sebagai
suatu thermostat, yaitu menetapkan suatu suhu tertentu,
kemunduran terjadi berbagai faktor yang mempengaruhinya. Yang
sering terjadi antar lain:
a). Temperature tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologik
35°C ini akibat metabolism yang menurun.

7
b). Keterbatasan reflex menggigil dan tidak dapat memproduksi
panas yang banyak sehingga terjadi rendahnya aktivitas otot
(Bandyah, 2009).
7). Sistem Pernafasan
Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku,
paru-paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat,
menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum
menurun, dan kedalaman bernafas menurun, alveoli ukurannya
melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang, O2 pada arteri
menurun menjadi 75mmHg, CO2 pada arteri tidak berganti,
kemampuan dinding dada dan kekuatan otot pernafasan akan
menurun seiring dengan pertambahan usia (Bandyah, 2009).
8). Sistem Gastrointestinal
Banyak masalah gastrointestinal yang dialami lansia. Terjadi
perubahan morfologik degenerative mulai dari gigi sampai anus,
antara lain perubahan atrofi pada rahang, mukosa, kelenjar, dan
otot pencernaan (Bandyah, 2009).
9). Sistem Integumen
Pada lansia kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan
jaringan lemak, permukaan kulit kasar dan bersisik karena
kehilangan proses keratinasi serta perubahan ukuran dan bentuk-
bentuk sel epidermis, kuku jari menjadi keras dan rapuh, kuku kaki
tumbuh secara berlebihan dan seperti tanduk, kelenjar keringat
berkurang jumlahnya dan fungsinya, kuku men jadi pudar dan
kurang bercahaya (Bandyah, 2009).
10). Sistem Muskuluskeletal
Otot mengalami atrofi sebagai akibat kurangnya aktifitas,
tendon mengerut dan mengalami sklerosis, persendian membesar
dan menjadi kaku (Bandyah, 2009).
11). Sistem Endokrin
Menurunnya aktifitas tiroid, menurunya BMR, menurunya
daya pertukaran zat, menurunya produksi aldosteron, menurunya

8
sekresi hormone kelamin, misalnya progesterone, estrogen,
testeron dan pertumbuhan hormone dada tetapi lebih rendah dan
hanya di dalam pembuluh darah, berkurangnya produksi ACTH,
TSH FSh dan LH (Bandyah, 2009).
12). Sistem Urinaria
Seiring bertambahnya usia, akan terdapat perubahan pada
ginjal, bladder, uretra, dan sistem nervus yang berdampak pada
proses fisiologi terkait eliminasi urine. Hal ini dapat mengganggu
kemampuan dalam mengontrol berkemih, sehingga dapat
mengakibatkan inkontinensia urine (Bandyah, 2009).
13). Sistem Reproduksi dan Kegiatan Seksual
Perubahan sistem reproduksi pada lansia yaitu selaput lendir
vagina menurun/kering, menciutnya ovarium dan uterus, atropi
payudara, testis masih dapat memproduksi meskipun adanya
penurunan secara berangsur-angsur, dan dorongan seks menetap
sampai usia di atas 70 tahun pada kondisi kesehatan baik (Sunaryo
dkk, 2016).
b. Perubahan Mental
Dari segi mental perubahannya yang terjadi antara lain sering
muncul perasaan pesimis, timbulnya perasaan tidak aman dan cemas,
ada kekacauan mental akut, merasa terancam akan timbulnya suatu
penyakit, perubahan kepribadian yang drastis (Bandyah, 2009).
c. Perubahan Psikososial
Masalah-masalah serta reaksi individu terhadapnya akan sangat
beragam, tergantung pada kepribadian individu yang bersangkutan.
Saat ini orang yang telah menjalani kehidupannya dengan bekerja
mendadak diharapkan dapat menyesuaikan dirinya dengan masa
pensiun.Bila cukup beruntung dengan bijaksana, orang telah
mempersiapkan diri untuk pensiun, dengan menciptakan bagi dirinya
berbagai bidang untuk memanfaatkan sisa hidupnya (Bandyah, 2009).

5. Permasalahan yang Terjadi Akibat Proses Menua

9
Proses menua di dalam perjalanan hidup manusia merupakan suatu hal
yang wajar akan dialami semua orang yang dikarunia umur panjang.
Hanya cepat lambatnya proses tersebut bergantung pada masing-masing
individu yang bersangkutan. Adapun permasalahan yang berkaitan dengan
lanjut usia antara lain (Juniati dan Sahar, 2001 dalam Muhith, 2016).
a. Secara individu,pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai
masalah, baik secara fisik, biologi, mental maupun social ekonomis.
Semakin lanjut usia seseorang, ia akan mengalami kemunduran
terutama di bidang kemampuan fisik, yang dapat mengakibatkan
penurunan pada peranan-peranan sosialnya. Hal ini juga
mengakibatkan timbulnya gangguan di dalam hal mencakupi
kebutuhan hidupnya sehingga dapat mengakibatkan ketergantungan
yang memerlukan bantuan orang lain.
b. Lanjut usia tidak hanya ditandai dengan kemunduran fisik. Kondisi
lanjut usia dapat pula berpengaruh terhadap kondisi mental. Semakin
lanjut seseorang, kesibukan sosialnya akan semakin berkurang. Hal itu
akan dapat mengakibatkan berkurangnya integrasi dengan
lingkungannya. Hal ini dapat memberikan dampak pada kebahagiaan
seseorang.
c. Pada usia mereka yang telah lanjut, sebagian dari para lanjut usia
tersebut masih mempunyai kemampuan untuk bekerja. Permasalahan
yang mungkin timbul adalah bagaimana memfungsikan tenaga dan
kemampuan mereka tersebut di dalam situasi keterbatasan kesempatan
kerja.
d. Masih ada sebagian dari lanjut usia yang mengalami keadaan terlantar.
Selain tidak mempunyai bekal hidup dan pekerjaan/penghasilan,
mereka juga tidak mempunyai keluarga/sebatang kara.
e. Dalam masyarakat tradisional, biasanya lanjut usia dihargai dan
dihormati sehingga mereka masih dapat berperan yang berguna bagi
masyarakat. Akan tetapi, dalam masyarakat industri ada
kecenderungan mereka kurang dihargai sehingga mereka terisolasi dari
kehidupan masyarakat.

10
f. Karena kondisinya, lanjut usia memerlukan tempat tinggal atau
fasilitas perumahan yang khusus.

6. Tips Menjaga Kesehatan Pada Lanjut Usia


Beberapa tips untuk menjaga kesehatan pada lanjut usia, sebagai berikut:
a. Pola makan sehat
Cara menjaga kesehatan di lanjut usia yang paling utama ialah pola
makan sehat, makanan yang boleh dikonsumsi yang tidak memicu
asam lambung. Hindari pula segala makanan yang mengandung
menyebabkan kolesterol tinggi (Novita, 2012).
b. Olahraga
Olahraga sangat baik untuk menghindari nyeri sendi akibat
rematik. Olahraga yang disarankan untuk lansia antara lain berjalan
kaki, berenang dan berolahraga ringan yang dilakukan rutin (Novita,
2012).
c. Berhenti Merokok pada Usia Tua
Merokok di usia tua bisa mempunyai resiko lebih besar,
dikarenakan daya tahan paru-paru dan jantung telah mulai lemah.
Berbeda dengan pada waktu muda, jantung bisa memompa darah lebih
cepat dan lancar dalam mengeluarkan toksin (racun) dalam tubuh
(Novita, 2016 dalam Nika, 2017).
d. Mengkonsumsi Makanan yang Mengandung Vitamin dan Mineral
Mencegah berbagai penyakit harus di usahakan, terutama bagi
lansia, maka sebaiknya para lansia konsumsi makanan yang
mengandung vitamin dan mineral seperti buah-buahan, sayuran,
kacang-kacangan, daging dan produk susu, telur dan hati (Novita, 2016
dalam Nika, 2017).
e. Kurangi Makanan yang Mengandung Banyak Garam, Gula, Minyak
Makanan yang mengandung banyak garam, gula dan berminyak dapat
mengganggu kinerja ginjal selain itu menyebabkan darah tinggi dan
diabetes (Novita, 2016 dalam Nika, 2017).
f. Pemeriksaan Darah

11
Melalui pemeriksaan darah, orang bersama usia senja dapat
terhindar dari permasalahan tiroid yang dialami pasca melahirkan dan
masa premenopause (Novita, 2016 dalam Nika, 2017).
g. Chek up rutin
General check up dilakukan secara rutin terutama memasuki usia
40 tahun ke atas. Periksa darah untuk mengetahui kadar hemoglobin
(Hb), leukosit, trombosit, kolesterol, lemak dan gliserol pula gula
darah.
h. Beraktifitas fisik secukupnya
Usia lanjut memang tak terlalu banyak aktifitas fisik, tetapi aktifitas
fisik tersebut tetap mesti dilakukan buat mencegah terjadinya
penurunan massa otot. Adanya aktifitas fisik pula dapat membuat
denyut jantung lebih maksimal, maka latihan fisik jangan sampai
berlebihan

12
B. Konsep Dasar Diabetes Melitus
a. Definisi

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu kelompok


penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia karena
gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Keadaan
hiperglikemia kronis dari diabetes berhubungan dengan kerusakan
jangka panjang, gangguan fungsi dan kegagalan berbagai organ,
terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA,
2012).

Diabetes Mellitus adalah sindrom klinis yang ditandai


dengan hiperglikemia karena defisiensi insulin yang absolut
maupun relatif. Kurangnya hormon insulin dalam tubuh yang
dikeluarkan dari sel B pankreas mempengaruhi metabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak menyebabkan gangguan signifikan.
Kadar glukosa darah erat diatur oleh insulin sebagai regulator
utama perantara metabolisme. Hati sebagai organ utama dalam
transport glukosa yang menyimpan glukosa sebagai glikogen dan
kemudian dirilis ke jaringan perifer ketika dibutuhkan (Animesh,
2006).

b. Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association (ADA,2013), klasifikasi
diabetes meliputi empat kelas klinis:
1) Diabetes Mellitus tipe 1: IDDM (Insulin Dependent Diabetes
Mellitus)
Disebabkan oleh kehancuran sel β akibat proses autoimun,
biasanya menyebabkan defisiensi insulin yang absolut.
2) Diabetes Mellitus tipe 2: NIDDM (Non Insulin Dependent
Diabetes Melitus)
Disebabkan oleh kegagalan relative sel beta dan resistensi
insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin

13
untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer
dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.
3) Diabetes tipe spesifik lain
Misalnya : gangguan genetik pada fungsi sel β, gangguan
genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti
cystic fibrosis), dan yang dipicu oleh obat atau bahan kimia
(seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi
organ).
4) Gestational Diabetes Mellitus
Pada beberapa pasien tidak dapat dengan jelas diklasifikasikan
sebagai diabetes tipe 1 atau tipe 2. Presentasi klinis dan
perkembangan penyakit bervariasi jauh dari kedua jenis
diabetes. Kadang-kadang, pasien yang dinyatakan memilki
diabetes tipe 2 dapat hadir dengan ketoasidosis. Demikian pula,
pasien dengan tipe 1 diabetes mungkin memiliki onset
terlambat dan memperlambat perkembangan penyakit
walaupun memilki fitur penyakit autoimun. Kesulitan seperti
itu pada diagnosis mungkin terjadi pada anak-anak, remaja, dan
dewasa. Diagnosis yang benar dapat menjadi lebih jelas dari
waktu ke waktu.

c. Patofisiologi
1) Etiologi
a) Diabetes tipe 1 (insulin-dependent diabetes) terjadi karena
adanya gangguan pada pankreas, menyebabkan pankreas
tidak mampu memproduksi insulin dengan optimal.
Pankres memproduksi insulin dengan kadar yang sedikit
dan dapat berkembang menjadi tidak mampu lagi
memproduksi insulin. Akibatnya, penderita diabetes tipe 1
harus mendapat injeksi insulin dari luar (Susanto, 2013).
Penyebab diabetes tipe 1 tidak diketahui dan kejadian ini
masih belum dapat dicegah dengan ilmu yang ada pada saat

14
ini. Gejala gejalanya meliputi frekuensi ekskresi urin yang
berlebihan (polyuria), kehausan (polydipsia), lapar yang
terus menerus, berat badan berkurang, gangguan
penglihatan, dan kelelahan. Gejala-gejala ini dapat muncul
secara tiba-tiba (WHO, 2013).
b) Diabetes tipe 2 merupakan penyakit diabetes yang
disebabkan karena sel-sel tubuh tidak merespon insulin
yang dilepaskan oleh pankreas (sutanto, 2013). Diabetes
tipe 2 dialami hampir 90% manusia di dunia, dan secara
umum penyakit ini adalah hasil dari berat badan berlebih
dan kurangnya aktifitas fisik. Gejala-gejala mirip dengan
diabetes tipe 1, tetapi biasanya tidak terasa. Hasilnya,
penyakit ini terdiagnosa bertahun tahun setelah awal mula
terjadinya penyakit, ketika sudah timbul komplikasi (WHO,
2013).
c) Diabetes gestational adalah diabetes yang disebabkan
karena kondisi kehamilan (sutanto, 2013). Gejala diabetes
gestational mirip dengan gejala diabetes tipe 2. Diabetes
gestational lebih sering terdiagnosa melalui prenatal
screening dari pada gejala yang dilaporkan (WHO, 2013).

2) Proses Terjadi
Pada kondisi normal, glukosa dalam tubuh yang berasal dari
makanan, diserap ke dalam alirandarah dan bergerak ke sel-sel
di dalam tubuh. Glukosa tersebut kemudian dimanfaatkan
sebagaisumber energi. Pengubahan glukosa dalam darah
menjadi energi dilakukan oleh hormon insulinyang dihasilkan
oleh kelenjar pankreas. Hormon insulin juga berfungsi untuk
mengatur kadar glukosa dalam darah. Secara normal, glukosa
akan masuk ke sel-sel dan kelebihannyadibersihkan dari darah
dalam waktu 2 jam . Namun apabila insulin yang tersedia
jumlahnya terbatas dan atau tidak bekerja dengan normal,maka

15
sel-sel di dalam tubuh tidak terbuka dan glukosa akan
terkumpul dalam darah. Kadar glukosa darah di atas 10 mmol
per liter merupakan kondisi di atas ambang serap ginjal.
Apabilakadar glukosa dalam darah berlebihan, maka sebagian
glukosa kemudian dibuang bersama urin.Peristiwa terbuangnya
glukosa bersama-sama urin tersebut dikenal dengan istilah
kencing manis.

3) Tanda dan gejala


Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada pasien DM
adalah:
a) Poliuria.
Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi akan
menyebabkan banyak kencing. Kencing yang yang sering
dan dalam jumlah yang banyak akan sangat mengganggu
pasien, terutama pada waktu malam hari.
b) Polidipsi.
Akibat volume urie yang sangat besar dan keluarnya air
yang menyebabkan dehidrasi ekstra sel. Dehidrasi intrasel
mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air intrasel akan
berdifusi keluar sel mengikuti gradien konsentrasi ke
plasma yang hipertonik (sangat pekat). Dehidrasi intrasel
merangsang pengeluaran ADH (Anti Diuretic Hormone)
dan menimbulkan haus. Rasa haus amat sering dialami oleh
pasien karena banyaknya cairan yang keluar melalui
kencing. Keadaan ini justru sering disalahtafsirkan.
Dikiranya sebab rasa haus adalah udara yang panas atau
beban kerja yang berat. Untuk menghilangkan rasa haus itu
pasien minum banyak.
c) Polifagia.

16
Kalori dari makanan yang dimakan, setelah
dimetabolismekan menjadi glukosa dalam darah tidak
seluruhnya dapat dimanfaatkan, pasien selalu merasa lapar.
d) Penurunan BB dan rasa lemah.
Penurunan BB yang berlangsung dalam waktu relatif
singkat harus menimbulkan kecurigaan. Rasa lemah hebat
yang menyebabkan penurunan prestasi di sekolah dan
lapangan olah raga juga mencolok. Hal ini disebabkan
karena glukosa dalam darah tidak bisa masuk ke dalam sel,
sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan
tenaga. Untuk kelangsungan hidup, sumber tenaga terpaksa
diambil dari cadangan lain yaitu sel lemak dan otot.
Akibatnya pasien kehilangan jaringan lemak dan otot
sehingga menjadi kurus.
e) Gangguan saraf tepi / kesemutan.
Pasien mengeluh rasa sakit atau kesemutan terutama pada
kaki di waktu malam, sehingga mengganggu tidur.
f) Gangguan penglihatan.
Pada fase awal penyakit DM sering dijumpai gangguan
penglihatan yang sering mendorong pasien mengganti
kacamatanya, agar dapat melihat dengan baik.
g) Gatal / bisul.
Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah
kemaluan atau daerah lipatan kulit seperti ketiak dan di
bawah payudara. Sering pula keluhan timbulnya bisul dan
luka yang lama sembuhnya. Luka ini dapat terjadi akibat
yang sepele seperti luka lecet karena sepatu atau peniti.
h) Gangguan ereksi.
Gangguan ini menjadi masalah tersembunyi. Hal ini terkait
dengan budaya masyarakat yang tabu membicarakan
masalah seks, apalagi menyangkut kemampuan atau
kejantanan seseorang.

17
i) Keputihan
Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan keluhan yang
sering ditemukan, bahkan kadang-kadang merupakan satu-
satunya gejala yang dirasakan.

4) Komplikasi
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang dapat
menimbulkan berbagai macam komplikasi, antara lain:
a) Komplikasi metabolik akut
Kompikasi metabolik akut pada penyakit diabetes melitus
terdapat tiga macam yang berhubungan dengan gangguan
keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek,
diantaranya:
(1) Hipoglikemia
Hipoglikemia (kekurangan glukosa dalam darah) timbul
sebagai komplikasi diabetes yang disebabkan karena
pengobatan yang kurang tepat (Smeltzer & Bare, 2008).
(2) Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetik (KAD) disebabkan karena
kelebihan kadar glukosa dalam darah sedangkan kadar
insulin dalam tubuh sangat menurun sehingga
mengakibatkan kekacauan metabolik yang ditandai oleh
trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis (Soewondo,
2006).
(3) Sindrom HHNK (koma hiperglikemia hiperosmoler
nonketotik)
Sindrom HHNK adalah komplikasi diabetes melitus
yang ditandai dengan hiperglikemia berat dengan kadar
glukosa serum lebih dari 600 mg/dl (Price & Wilson,
2006).
b) Komplikasi metabolik kronik

18
Komplikasi metabolik kronik pada pasien DM menurut
Price & Wilson (2006) dapat berupa kerusakan pada
pembuluh darah kecil (mikrovaskuler) dan komplikasi pada
pembuluh darah besar (makrovaskuler) diantaranya:
(1) Komplikasi pembuluh darah kecil (mikrovaskuler)
Komplikasi pada pembuluh darah kecil (mikrovaskuler)
yaitu
(a) Kerusakan retina mata (Retinopati)
Suatu mikroangiopati ditandai dengan kerusakan
dan sumbatan pembuluh darah kecil (Pandelaki,
2009).
(b) Kerusakan ginjal (Nefropati diabetik)
Kerusakan ginjal pada pasien DM ditandai dengan
albuminuria menetap (>300 mg/24jam atau >200
ih/menit) minimal 2 kali pemeriksaan dalam kurun
waktu 3-6 bulan. Nefropati diabetik merupakan
penyebab utama terjadinya gagal ginjal terminal.
(c) Kerusakan syaraf (Neuropati diabetik)
Neuropati diabetik merupakan komplikasi yang
paling sering ditemukan pada pasien DM. Neuropati
pada DM mengacau pada sekelompok penyakit
yang menyerang semua tipe saraf (Subekti, 2009).
(2) Komplikasi pembuluh darah besar (makrovaskuler)
Komplikasi pada pembuluh darah besar pada pasien
diabetes yaitu stroke dan risiko jantung koroner.
(a) Penyakit jantung koroner
Komplikasi penyakit jantung koroner pada pasien
DM disebabkan karena adanya iskemia atau infark
miokard yang terkadang tidak disertai dengan nyeri
dada atau disebut dengan SMI (Silent Myocardial
Infarction) (Widiastuti, 2012).
(b) Penyakit serebrovaskuler

19
Pasien DM berisiko 2 kali lipat dibandingkan
dengan pasien non-DM untuk terkena penyakit
serebrovaskuler. Gejala yang ditimbulkan
menyerupai gejala pada komplikasi akut DM,
seperti adanya keluhan pusing atau vertigo,
gangguan penglihatan, kelemahan dan bicara pelo
(Smeltzer & Bare, 2008).

d. Pemeriksaan Diagnostik
1) Kadar Glukosa Darah
Tabel : Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode
enzimatik sebagai patokan penyaring
Kadar Glukosa Darah Sewaktu (mg/dl)

Kadar Glukosa Darah DM Belum Pasti


Sewaktu DM

Plasma Vena >200 100-200

Darah Kapiler >200 80-100

Kadar Glukosa Darah Puasa (mg/dl)

Kadar Glukosa Darah DM Belum Pasti


Puasa DM

Plasma Vena >120 110-120

Darah Kaplier >110 90-110

2) Kriteria diagnostic WHO untuk diabetes mellitus pada


sedikitnya 2 kali pemeriksaan:
(1) Glukosa plasma sewaktu > 200mg/dl (11,1 mmol/L)
(2) Glukosa plasma puasa > 140mg/dl (7,8 mmol/L)

20
(3) Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam
kemudian sesudah megkonsumsi 75 gr karbohidrat (2
jam post prandial (pp) > 200mg/dl).
3) Tes Laboratorium DM
Jenis tes pada pasien DM dapat berupa tes saring, tes
diagnostic, tes pemantauan terapi dan tes unuk mendeteksi
komplikasi.
4) Tes Saring
Tes-tes saring pada DM adalah :
(1) GDP, GDS
(2) Tes glukosa Urin:
(a) Tes Konvensional (metode reduksi/ benedict)
(b) Tes carik celup (metode glucose oxidase/
hexokinase)
5) Tes Diagnostik
Tes-tes diagnostik pada DM adalah : GDP, GDs, GD2PP
(Glukosa Darah 2 jam Post Pandrial), Glukosa jam ke-2
TTGO.
6) Tes Monitoring terapi DM adalah :
(1) GDP : Plasma vena, darah kapiler
(2) GD2PP : Plasma vena
(3) A1c : darah vena, darah kapiler
7) Tes untuk mendeteksi komplikasi
Tes-tes untuk mendeteksi komplikasi adalah:
(1) Microalbuminuria : Urin
(2) Ureum, Kreatinin, Asam urat
(3) Kolesterol total : Plasma vena (puasa)
(4) Kolesterol LDL : Plasma vena (puasa)
(5) Kolesterol HDL : Plasma vena (puasa)
(6) Trigliserida : plasma vena (puasa)

e. Penatalaksanaan

21
Tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan
aktifitas insulin dan glukosa dalam upaya untuk mengurangi
terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapi dari
setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal
(euglikemia) tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius
pada pola aktivitas pasien. Penatalaksanaan untuk diabetes mellitus
terdiri dari penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan
keperawatan (Smeltzer, 2002).
1) Penatalaksanaan secara keperawatana.
(a) Penyuluhan/pendidikan kesehatan, penyuluhan tentang
diabetes, adalah pendidikan dan pelatihan mengenai
pengetahuan dan ketrampilan bagi pasien diabetes yang
bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk
meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya, yang
diperlukan untuk mencapai keadaan sehat optimal, dan
penyesuaian keadaan psikologik serta kualitas hidup yang
lebih baik (Long, 1996).
(b) Perencanaan makan, pada konsensus perkumpulan
endokrinologi indonesia (PERKENI) telah ditetapkan
bahwa standart yang dianjurkan adalah santapan dengan
komposisi yang seimbang. Pada saat ini, Perhimpunan
diabetes amerika dan perhimpunan diabetes amerikan
merekomendasikan bahwa untuk semua tingkat asupan
kalori, makan 50 % hingga 60 % kalori berasal dari
karbohidrat, 20-30 % berasal dari lemak dan 12-20 %
lainya berasal dari protein. Rekomendasi ini juga konsisten
dengan rekomendasi dari the american heart asociation
dan american cancer sosiety. Apabila diperlukan santapan
dengan komposisi karbohidrat sampai 70-75 % juga
memberikan hasil yang baik. Terutama untuk golongan
ekonomi yang rendah. Jumlah kalori disesuiakan dengan

22
pertumbuhan, usia, statrus gizi, stress akut dan kegiatan
jasmani untuk mencapai berat badan ideal (Mirza, 2009).
Karena itu diet yang tepat untuk mengendalikan dan
mencegah agar berat badan tidak menjadi berlebihan
dengan cara: kurangi kalori, kurangi lemak, konsumsi
karbohidrat komplek, hindari makanan manis dan
perbanyak makanan banyak serat.
(c) Latihan/olahraga, latihan atau olahraga selain dapat
menurunkan kadar gula darah karena membuat kerja insulin
lebih efektif dengan cara meningkatkan pengambilan
glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin.
Olahraga sangat bermanfaat pada diabetes karena dapat
menurunkan berat badan, mengurangi rasa stress,
mengurangi faktor resiko kardiovaskuler dan
mempertahankan kesegaran tubuh. Bagi pasien DM
melakukan olahraga dengan teratur akan lebih baik, tetapi
jangan melakukan olahraga yang berat-berat.

2) Penatalaksanaan secara medis


(a) Obat Hipoglikemik Oral
(1) Golongaan Sulfonilurea / sulfonyl ureas
Obat ini paling banyak digunakan dan dapat
dikombinasikan dengan obat golongan lain, yaitu
biguanid inhibitor alfa glukosidase atau insulin. Obat
golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
produksi insulin oleh sel-sel beta pankreas, karena itu
menjadi pilihan utama para penderita DM tipe 2 dengan
berat badan berlebihan.
(2) Golongan Biguanad /metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi glukosa
hati, memperbaiki pengambilan glukosa dari jaringan

23
(glukosa perifer) dianjurkan sebagai obat tinggal pada
pasien kelebihan berat badan.
(3) Golongan Inhibitor Alfa Glikosidase
Mempunyai efek utama menghambat penyerapan gula
di saluran pencernaan sehingga dapat menurunkan
kadar gula sesudah makan. Bermanfaat untuk pasien
dengan kadar gula puasa yang masih normal.
(b) Insulin
(1) Indikasi insulin
Pada DM tipe 1 yang Human Monocommponent
Insulin (40 UI dan 100 UI/ml injeksi) yang beredar
adalah actrapid. Injeksi insulin dapat diberikan kepada
penderita DM tipe11 yang kehilangan berat badan
secara drastis. Yang tidak berhasil dengan penggunaan
obat-obatan anti DM dengan dosis maksimal atau
mengalami kontra indikasi dengan obat-obatan tersebut.
Bila mengalami ketoasidosis, hiperosmolar asidosis
laktat, stress berat karena infeksi sistemik, pasien
operasi berat , wanita hamil dengan gejala DM yang
tidak dapat dikontrol dengan pengendalian diet.
(2) Jenis insulin
Insulin kerja cepat, jenisnya adalah reguler insulin,
cristalin zinc, dan semilente. Insulin kerja sedang,
jenisnya adalah NPH (Netral Protamine Hagerdon),
globinzinc, lente. Insulin kerja lambat jenisnya adalah
PZI (Protamine Zinc Insulin) (Long, 1996).

24
C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus
1. Pengkajian Keperawatan
a. Data Subjektif
1) Pengumpulan Data
a) Identitas Klien
Dalam mengkaji identitas beberapa data didapatkan
adalah nama klien, umur, pekerjaan orang tua, pendidikan
orang tua, agama, suku, alamat. Dalam identitas data/
petunjuk yang dapat kita prediksikan adalah Umur,
karena seseorang memiliki resiko tinggi untuk terkena
diabetes mellitus tipe II pada umur diatas 40 tahun.
b) Keluhan Utama
Pasien diabetes mellitus datang kerumah sakit dengan
keluhan utama yang berbeda-beda. Pada umumnya
seseorang datang kerumah sakit dengan gejala khas
berupa polifagia, poliuria, polidipsia, lemas, dan berat
badan turun. adanya rasa kesemutan pada kaki / tungkai
bawah, rasa raba yang menurun, adanya luka yang tidak
sembuh – sembuh dan berbau, adanya nyeri pada luka.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengkajian pada RPS berupa proses terjadinya gejala
khas dari DM, penyebab terjadinya DM serta upaya yang
telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian riwayat penyakit dahulu akan didapatkan
informasi apakah terdapat factor-faktor resiko terjadinya
diabetes mellitus misalnya riwayat obesitas, hipertensi,
atau juga atherosclerosis
e) Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji adanya riwayat keluarga yang terkena diabetes
mellitus, hal ini berhubungan dengan proses genetik
dimana orang tua dengan diabetes mellitus berpeluang

25
untuk menurunkan penyakit tersebut kepada anaknya.
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu
anggota keluarga yang juga menderita DM atau penyakit
keturunan yang dapat menyebabkan terjadinya defisiensi
insulin misal hipertensi, jantung.
f) Riwayat Psikososial
Kaji meliputi informasi mengenai perilaku, perasaan, dan
emosi yang dialami penderita sehubungan dengan
penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap penyakit
penderita.
2) Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada pasien gangren kaki diabetik terjadi perubahan
persepsi dan tata laksana hidup sehat karena kurangnya
pengetahuan tentang dampak
b) Pola Nutrisi
Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya
defisiensi insulin maka kadar gula darah tidak dapat
dipertahankan sehingga menimbulkan keluhan sering
kencing, banyak makan, banyak minum, berat badan
menurun dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan
metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan
penderita.
c) Pola Eliminasi
Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis
osmotik yang menyebabkan pasien sering kencing
(poliuri) dan pengeluaran glukosa pada urine ( glukosuria
). Pada eliminasi alvi relatif tidak ada gangguan.
d) Pola Istirahat dan Tidur

26
Adanya poliuri, dan situasi rumah sakit yang ramai akan
mempengaruhi waktu tidur dan istirahat penderita,
sehingga pola tidur dan waktu tidur penderita
e) Pola Aktivitas
Adanya Adanya luka gangren dan kelemahan otot – otot
pada tungkai bawah menyebabkan penderita tidak mampu
melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal,
penderita mudah mengalami kelelahan.
f) Pola hubungan dan peran
Luka gangren yang sukar sembuh dan berbau
menyebabkan penderita malu dan menarik diri dari
pergaulan.
g) Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan
menyebabkan penderita mengalami gangguan pada
gambaran diri. lamanya perawatan, banyaknya biaya
perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien
mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga
( self esteem ).
h) Pola sensori dan kognitif
Pasien dengan diabetes mellitus cenderung mengalami
neuropati / mati rasa pada kaki sehingga tidak peka
terhadap adanya trauma.
i) Pola seksual dan reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di
organ reproduksi sehingga menyebabkan gangguan
potensi seks, gangguan kualitas maupun ereksi, serta
memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme.
j) Pola mekanisme stres dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang
kronik, perasaan tidak berdaya karena ketergantungan
menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa

27
marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain,
dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan
mekanisme koping yang konstruktif / adaptif.
k) Pola tata nilai dan keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan
konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien.

b. Data Objektif
1) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi
badan, berat badan dan tanda – tanda vital.
b) Head to Toe
(1) Kepala Leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah
pembesaran pada leher, telinga kadang-kadang
berdenging, adakah gangguan pendengaran, lidah sering
terasa tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi mudah
goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah, apakah
penglihatan kabur / ganda, diplopia, lensa mata keruh.
(2) Sistem integument
Kaji Turgor kulit menurun pada pasien yang sedang
mengalami dehidrasi, kaji pula adanya luka atau warna
kehitaman bekas luka, kelembaban dan suhu kulit di
daerah sekitar ulkus dan gangren, kemerahan pada kulit
sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.
(3) Sistem pernafasan
Adakah sesak nafas menandakan pasien mengalami
diabetes ketoasidosis, kaji juga adanya batuk, sputum,
nyeri dada. Pada penderita DM mudah terjadi infeksi.

28
(4)Sistem kardiovaskuler
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau
berkurang, takikardi/bradikardi, hipertensi/hipotensi,
aritmia, kardiomegalis. Hal ini berhubungan erat
dengan adanya komplikasi kronis pada makrovaskuler
(5)Sistem urinary
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas
atau sakit saat berkemih.Kelebihan glukosa akan
dibuang dalam bentuk urin.
(6)Sistem musculoskeletal
Adanya katabolisme lemak, Penyebaran lemak dan,
penyebaran masa otot,berubah. Pasien juga cepat lelah,
lemah.
(7)Sistem neurologis
Berhubungan dengan komplikasi kronis yaitu pada
system neurologis pasien sering mengalami penurunan
sensoris, parasthesia, anastesia, letargi, mengantuk,
reflek lambat, kacau mental, disorientasi.

2) Data Penunjang
Mendukung diagnosa medis, kemungkinan komplikasi, kelainan
dan penyakit.
a) Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari
200mg/dl). Biasanya, tes ini dianjurkan untuk pasien yang
menunjukkan kadar glukosa meningkat dibawah kondisi stress.
b) Gula darah puasa normal atau diatas normal.
c) Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.
d) Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.
e) Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat
menandakan ketidakadekuatan kontrol glikemik dan
peningkatan propensitas pada terjadinya aterosklerosis
f) Kultur pus

29
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik
yang sesuai dengan jenis kuman.

2. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d gangguan
keseimbangan insulin, makanan dan aktivitas jasmani
2) Risiko syok b.d ketidakmampuan elektrolit kedalam sel tubuh,
hypovolemia
3) Kerusakan integritas jaringan b.d nekrosis kerusakan jaringan
(nekrosis luka gangrene)
4) Risiko infeksi b.d trauma pada jaringan, proses penyakit (diabetes
mellitus)
5) Retensi urine b.d inkomplit pengosongan kandung kemih, sfingter kuat
dan poliuri
6) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d penurunan sirkulasi darah
ke perifer, proses penyakit (DM)
7) Risiko ketidakseimbangan elektrolit b.d gejala poliuria dan dehidrasi
8) Keletihan

3. Perencanaan Keperawatan
a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d gangguan
keseimbangan insulin, makanan dan aktivitas jasmani
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan keutuhan nutrisi dapat terpenuhi dengan kriteria hasil:
1) Berat badan dan tinggi badan ideal.
2) Pasien mematuhi dietnya.
3) Kadar gula darah dalam batas normal.
4) Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia.
Intervensi:
1) Kaji status nutrisi dan kebiasaan makan.
Rasional: Untuk mengetahui tentang keadaan dan kebutuhan
nutrisi pasien sehingga dapat diberikan tindakan dan pengaturan

30
diet yang adekuat
2) Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah diprogramkan.
Rasional: Kepatuhan terhadap diet dapat mencegah komplikasi
terjadinya hipoglikemia/hiperglikemia.
3) Timbang berat badan setiap seminggu sekali.
Rasional: Mengetahui perkembangan berat badan pasien (berat
badan merupakan salah satu indikasi untuk menentukan diet).
4) Identifikasi perubahan pola makan.
Rasional: Mengetahui apakah pasien telah melaksanakan program
diet yang ditetapkan.
5) Kerja sama dengan tim kesehatan lain untuk pemberian insulin dan
diet diabetik.
Rasional: Pemberian insulin akan meningkatkan pemasukan
glukosa ke dalam jaringan sehingga gula darah menurun,
pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat penurunan gula
darah dan mencegah komplikasi.
b. Risiko syok b.d ketidakmampuan elektrolit kedalam sel tubuh,
hypovolemia
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan 1×24 jam pasien tidak
menunjukkan adanya tanda dan gejala terjadinya resiko syok dengan
kriteria hasil:
1) Nadi dalam batas normal 70-80x/menit
2) Tidak ada kelainan irama jantung
3) Tidak ada kelainan frekuensi nafas dan irama pernapasan.
Intervensi:
1) Monitor tanda awal syok
Rasional: Melihat adanya gejala awal syok agar dapat ditangani
lebih dini.
2) Monitor suhu dan pernapasan
Rasional: Monitor ttv pada pasien untuk mendeteksi adanya
ketidaknormalan pada pasien sehingga dapat dilakuakan tindakan
segera.

31
3) Ajarkan keluarga dan pasien tentang tanda dan gejala datangnya
syok dan tentang langkah untuk mengatasi gejala syok
Rasional: pasien dan keluarga perlu mengerti tanda dan gejala syok
agar dapat mengatasi gejala syok dan memebrikan pertolongan
pertama.
c. Kerusakan integritas jaringan b.d nekrosis kerusakan jaringan
(nekrosis luka gangrene)
Tujian: setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan integritas kulit teratasi dan proses penyembuhan luka
menjadi lebih cepat dengan kriteria hasil:
1) Berkurangnya oedema sekitar luka.
2) Pus dan jaringan berkurang.
3) Adanya jaringan granulasi.
4) Bau busuk luka berkurang.
5) Luka tampak sembuh.

Intervensi:

1) Kaji luas dan keadaan luka serta proses penyembuhan.


Rasional: Pengkajian yang tepat terhadap luka dan proses
penyembuhan akan membantu dalam menentukan tindakan
selanjutnya.
2) Observasi luka: lokasi, dimensi, kedalaman luka, jaringan nekrotik,
tanda-tanda infeksi local, formasi traktus.
Rasional: Observasi luka untuk dilakukan perawatan luka.
3) Rawat luka dengan baik dan benar : Membersihkan luka secara
abseptik menggunakan larutan yang tidak iritatif, angkat sisa
balutan yang menempel pada luka dan nekrotomi jaringan yang
mati.
Rasional: Merawat luka dengan teknik aseptik, dapat menjaga
kontaminasi luka dan larutan yang iritatif akan merusak
jaringan granulasi tyang timbul, sisa balutan jaringan
nekrosis dapat menghambat proses granulasi.
4) Anjurkan untuk makan dan minum yang adekuat.

32
Rasional: menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi.
5) Ajarkan keluarga tentang luka dan perawatan luka
Rasional: Pasien dan keluarga perlu mengerti bagaimana merawat
luka yang benar.
6) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian insulin, pemeriksaan
kulturpus pemeriksaan gula darah pemberian anti biotik.
Rasional: insulin akan menurunkan kadar gula darah, pemeriksaan
kultur pus untuk mengetahui jenis kuman dan anti biotik
yang tepat untuk pengobatan, pemeriksaan kadar gula darah
untuk mengetahui perkembangan penyakit.
d. Risiko infeksi b.d trauma pada jaringan, proses penyakit (diabetes
mellitus)
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2 x 24 jam
diharapkan tidak terjadi penyebaran infeksi (sepsis) dengan kriteria
hasil:
1) Tanda-tanda infeksi tidak ada.
2) Klien mampu mencegah timbulnya infeksi
3) Jumlah leukosit dalam batas normal
4) Pasien melakukan perilaku hidup sehat
5) Keadaan luka baik dan kadar gula darah normal.
Intervensi:
1) Kaji adanya tanda-tanda penyebaran infeksi pada luka.
Rasional: Pengkajian yang tepat tentang tanda-tanda penyebaran
infeksi dapat membantu menentukan tindakan selanjutnya.
2) Anjurkan kepada pasien dan keluarga untuk selalu menjaga
kebersihan diri selama perawatan.
Rasional: Kebersihan diri yang baik merupakan salah satu cara
untuk mencegah infeksi kuman.
3) Lakukan perawatan luka secara aseptik.
Rasional: Untuk mencegah kontaminasi luka dan penyebaran
infeksi.

33
4) Anjurkan pada pasien agar menaati diet, latihan fisik, pengobatan
yang ditetapkan.
Rasional: Diet yang tepat, latihan fisik yang cukup dapat
meningkatkan daya tahan tubuh, pengobatan yang tepat,
mempercepat penyembuhan sehingga memperkecil kemungkinan
terjadi penyebaran infeksi.
5) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antibiotika dan insulin.
Rasional: Antibiotika dapat menbunuh kuman, pemberian insulin
akan menurunkan kadar gula dalam darah sehingga proses
penyembuhan akan lebih cepat.
e. Retensi urine b.d inkomplit pengosongan kandung kemih, sfingter kuat
dan poliuri
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan selama 1×24 jam retensi urine
pada pasien sembuh dengan kriteria hasil:
1) Kandung kemih kososng secara penuh
2) Tidak ada residu urin >100-200 cc
3) Bebas dari ISK
4) Tidak ada spasme bladder
5) Balance cairan seimbang
Intervensi:
1) Monitor intake dan output cairan.
Rasional: Melihat balance cairan yang masuk ketubuh agar dapat
dinilai jumlah urine yang dikeluarkan.
2) Instruksikan pada pasien dan keluarga untuk mancatat output urine.
Rasional: Melihat balance cairan yang masuk ketubuh agar dapat
dinilai jumlah urine yang dikeluarkan.
3) Stimulasi reflex bladder dengan kompres dingin pada abdomen.
Rasional: Memberikan kompres dingin pada abdomen untuk
stimulasi reflex bladder.
4) Monitor tanda dan gejala ISK (panas, hematuria, perubahan baud
an konsistensi urine).

34
Rasional: Monitor gejala dan tanda ISK agar dapat ditemukan
segera dan diobati segera.

f. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d penurunan sirkulasi darah


ke perifer, proses penyakit (DM)
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam
diharapkan dapat mempertahankan sirkulasi perifer tetap normal
dengan kriteria hasil:
1) Denyut nadi perifer teraba kuat dan reguler
2) Warna kulit sekitar luka tidak pucat/sianosi.
3) Kulit sekitar luka teraba hangat.
4) Oedema tidak terjadi dan luka tidak bertambah parah.
5) Sensorik dan motorik membaik
Intervensi:
1) Ajarkan pasien untuk melakukan mobilisasi
Rasional: Dengan mobilisasi meningkatkan sirkulasi darah.
2) Ajarkan tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan aliran
darah: Tinggikan kaki sedikit lebih rendah dari jantung (posisi
elevasi padawaktu istirahat), hindari penyilangkan kaki, hindari
balutan ketat, hindari penggunaan bantal, di belakang lutut dan
sebagainya.
Rasional: Meningkatkan melancarkan aliran darah balik sehingga
tidak terjadi oedema.
3) Ajarkan tentang modifikasi faktor-faktor resiko berupa: Hindari
diet tinggi kolestrol, teknik relaksasi, menghentikan kebiasaan
merokok, dan penggunaan obat vasokontriksi.
Rasional: Kolestrol tinggi dapat mempercepat terjadinya
arterosklerosis, merokok dapat menyebabkan terjadinya
vasokontriksi pembuluh darah, relaksasi untuk mengurangi efek
dari stres.

35
4) Kerja sama dengan tim kesehatan lain dalam pemberian
vasodilator, pemeriksaan gula darah secara rutin dan terapi oksigen
(HBO).
Rasional: Pemberian vasodilator akan meningkatkan dilatasi
pembuluh darah sehingga perfusi jaringan dapat diperbaiki,
sedangkan pemeriksaan gula darah secara rutin dapat mengetahui
perkembangan dan keadaan pasien, HBO untuk memperbaiki
oksigenasi daerah ulkus/gangren.
g. Risiko ketidakseimbangan elektrolit b.d gejala poliuria dan dehidrasi
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan hidrasi adekuat dengan kriteria hasil:
1) Tanda-tanda vital stabil: TD 120/80 mmHg, Respirasi 16-24
x/menit, Nadi 70-80 x/menit, Suhu 36-37.50C
2) Nadi perifer dapat diraba.
3) Turgor kulit dan pengisian kapiler baik.
4) Intake dan output seimbang.
5) Kadar elektrolit dalam batas normal
Intervensi:
1) Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan tekanan darah
ortostatik.
Rasional: Hipovolemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan
takikardia.
2) Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, torgor kulit dan membran
mukosa, pantau intake dan output
Rasional: Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit
baik, membrane mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang
berlebihan.
3) Ukur masukan dan keluaran cairan dan elektrolit.
Rasional: Memantau cairan yang masuk dan keluar pada pasien
untuk mengetahui apakah sama atau tidak intake dan output.
4) Berikan dorongan untuk memperbanyak masukan cairan.

36
Rasional: Memberikan dorongan pada pasien dapat memotivasi
pasien supaya memperbanyak cairan yang masuk.
5) Kolaborasikan pemberian cairan dan elektrolit IV sesuai program.
Rasional: Melakukan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain
untuk memberikan cairan dengan melalui IV.
h. Keletihan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan pasien tidak mengalami keletihan dengan kriteria hasil:
1) Glukosa darah adekuat
2) Peningkatan energy dan merasa lebih baik
3) Kualitas hidup meningkat
4) Istirahat cuku
5) Kecemasan menurun
6) Mempertahankan kemampuan berkonsentrasi
Intervensi:
1) Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
Rasional: Membatasi aktivitas agar pasien tidak banyak
mengeluarkan energy untuk beraktifitas dan mengurangi
adanya efek keletihan.
2) Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
Rasional: Dengan dapat diketahuinya faktor penyebab
kelelahan maka akan dapat segera ditangani dan keletihan tidak
akan terjadi.
3) Monitor pola tidur dan lamanya tidur/ istirahat pasien
Rasional: Manfaatkan adanya energy yang adekuat untuk
membantu dalam aktifitas.
4) Dukung pasien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan,
berhubungan dengan perubahan hidup yang disebabkan
keletihan
Rasional: Dengan bantuan saat beraktifitas dapat membantu
meringankan keletihan pada pasien tetapi harus juga
dimandirikan jika keletihan pada pasien sudah tidak terjadi.

37
5) Konsultasi dengan ahli gizi untuk meningkatkan asupan
makanan yang berenergi tinggi
Rasional: Asupan makanan yang tinggi gizi dapat
meningkatkan energy untuk aktifitas dan keletihan tidak akan
terjadi.

4. Pelaksanaan Keperawatan
Dokumentasi intervensi merupakan catatan tentang tindakan yang
diberikan oleh perawat. Dokumentasi intervensi mencatat pelaksanaan
rencana perawatn, pemenuhan kriteria hasil dari tindakan keperawatan
mandiri dan tindakan kolaboratif. Implementasi disesuaikan dengan
intervensi yang telah disusun (Doenges,2012).

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai tindakan
keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan
kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses
keperawatan. Dalam evaluasi keperawatan menggunakan SOAP atau data
subjektif, objektif, analisa dan planning kedepannya. Jika masalah sudah
teratasi intervensi tersebut dapat dihentikan, apabila belum teratasi perlu
dilakukan pembuatan planning kembali untuk mengatasi masalah tersebut.

38
DAFTAR PUSTAKA

Decroli E dan Karimi J.2008.Profil Ulkus Diabetik Pada Penderita Rawat Inap
diBagian Penyakit Dalam RSUP Dr M. Djamil Padang.Volume: 58.

Nanda Internasional. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017.


Jakarta : EGC.

Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Yogyakarta:
Mediaction Jogja.

Purnamasari D. 2009. Diagnosis Dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam:


Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing.

Martinus, Adrian. 2005. 1001 Tentang Diabetes. Bandung: Nexx Media

Potter, P. A. dan Perry, A. G. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,


Proses, dan Praktik Volume 1. Edisi 4. Terjemahan oleh Yasmin Asih,
dkk.
2005. Jakarta : EGC.

Price, Sylvia & Wilson, Lorraine. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis


ProsesProses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.

39

Anda mungkin juga menyukai