Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK DENGAN GANGGUAN


IMOBILISASI

Oleh
Ronaldo Januar Sukmana
NIM. J.0105.20.094

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BUDI LUHUR


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
CIMAHI 2020
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Definisi
Mobilisasi adalah kemampuan bergerak seseorang secara bebas, mudah,
dan teratur untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat . mobilisasi diperlukan untuk
meningkatkan kemandirian seseorang, meningkatkan kesehatan, memperlambat
proses penyakit, khususnya penyakit degeneratif, dan untuk aktualisasi diri (harga
diri dan citra tubuh) (Ambarwati, 2016).
Sedangkan Imobilitas adalah keadaan seseorang tidak dapat bergerak
secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas) seperti
trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas, dan
sebagainya (Stanley, 2007).

2. Faktor Penyebab Imobilisasi


Beberapa faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya imobilisasi, yaitu:
a. Gangguan muskuloskletal
1) Osteoporosis
2) Atrofi
3) Kontraktur
4) Kekakuan sendi
b. Gangguan kardiovaskuler
1) Hipotensi postural
2) Vasodilatasi vena
3) Peningkatan penggunaan valsava manuver
c. Gangguan sistem respirasi
1) Penurunan gerak pernafasan
2) Bertambahnya sekresi paru
3) Atelektasis
4) Pneumonia hipostasis (Nasrullah, 2016).
3. Jenis-jenis mobilitas
Hidayat (2009) jenis-jenis mobilisasi sebagai berikut :
a. Mobilitas penuh
Kemampuan bergerak seseorang secara bebas dan penuh untuk dapat
melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari. Yang mana
mobilitas in erupakan fungsi saraf ,motorik volunter dan sensorik untuk dapat
mengontrol seluruh area tubuh seseorang.
b. Mobilitas sebagian
Kemampuan bergerak seseorang dengan batasan jelas dan tidak mampu
bergerak bebas karena dipengaruhi gangguan saraf motorik dan sensorik pada
area tubuhnya. Hal ini seperti pada kasus cedera atau patah tulang dengan
pemasangan traksi, pasien paraplegi dapat mengalami mobilitas sebagian pada
ekstremitas bawah karena kehilangan kontrol motorik dan sensorik. Mobilitas
sebagian terbagi menjadi dua yaitu :
c. Mobilitas sebagian temporel
Kemampuan bergerak dengan batasan sementara yang dapat disebabkan
oleh trauma reversibel pada sistem muskuloskletal, contohnya dislokasi sendi dan
tulang.
d. Mobilitas sebagian permanen
Kemampuan bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap yang
disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang reversibel, contohnya terjadi
hemiplegia karena stroke, paraplegi karena cedera tulang belakang, poliomiclitis
karena terganggunya sistem saraf motorik dan sensorik.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi


Hidayat (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi adalah :
a. Gaya hidup
Dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas seseorang karena gaya hidup
berdampak pada perilaku atau kebiasaan sehari-hari.
b. Proses penyakit/ cedera
Mobilitas dapat dipengaruhi oleh proses penyakit karena dapat
mempengaruhi fungsi sistem tubuh. Contohnya orang yang menderita fraktur
femur akan mengalami keterbatasan pergerakan dalam ekstremitas bagian bawah.
c. Kebudayaan
Contoh dari kebudayaan dapat mempengaruhi mobilitas adalah orang yang
memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki kemampuan mobilitas yang kuat,
sebaliknya orang yang mengalami gangguan mobilisasi karena adat tertentu
dilarang untuk beraktivitas.
d. Tingkat energi
Energi merupakan sumber untuk melakukan mobilitas. Oleh karena itu agar
dapat melakukan mobilitas dengan baik,dibutuhkan energi yang cukup.
e. Usia dan status perkembangan
Terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada tingkat usia yang berbeda
karena kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan
perkembangan usia.

5. Manifestasi klinis imobilisasi


Menurut Nasrullah (2016),terjadinya imobilisasi dalam
tubuh dapat berpengaruh pada sistem tubuh, seperti :
a. Perubahan metabolik
Sistem endokrin merupakan produksi hormon-sekresi kelenjer, membantu
mempertahankan dan mengatur fungsi vital seperti :
1) Respon terhaap stress dan cedera
2) Pertumbuhan dan perkembangan
3) Reproduksi
4) Homeostasis ion
5) Metabolisme energi
Sistem endokrin juga berpengaruh dalam mempertahankan homeostasis
ion. Dimana sistem endokrin berperan dalam pengaturan lingkungan eksternal
engan mempertahankan keseimbangan natrium, kalium, air, dan keseimbangan
asam basa. Sehingga sistem endokrin bekerja sebagai pengatur metabolisme
energi.
Imobilisasi mengganggu fungsi metabolik normal, antara lain laju
metabolik, metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan kalsium, dan gangguan pencernaan.
Keberadaan proses infeksius pada klien imobilisasi mengalami peningkatan BMR
diakibatkan karena demam atau penyembuhan luka. Demam dan penyembuhan
luka meningkatkan kebutuhan oksigen seluler.
Perubahan metabolisme imobilitas dapat mengakibatkan proses anabolisme
menurun dan katabolisme meningkat. Proses imobilitas dapat juga menyebabkan
penurunan ekskresi urine dan peningkatan nitrogen .

b. Perubahan sistem respirasi


Klien yang mengalami imobilisasi beresiko tinggi untuk terjadinya
komplikasi paru-paru. Komplikasi yang paling umum adalah atelektasis dan
pneumonia hipostatik. Pada atelektasis, bronkiolus menjadi tertutup oleh adanya
sekresi dan kolpas alveolus sistal karena udara yang di absorbsi, sehingga
menghasilkan hipoventilasi. Bronkus utama atau beberapa bronkiolus kecil dapat
terkena. Luasnya atelektasis ditentukan oleh bagian yang tertutup. Pneumonia
hipostatik adalah peradangan paru-paru akibat statisnya sekresi. Atelektasis dan
pneumonia hipostatik, keduanya sama- sama menurunkan oksigenasi,
memperlambat penyembuhan dan menambah ketidaknyamanan klien.

c. Perubahan sistem kardiovaskuler


Ada 3 perubahan utama yang dapat terjadi pada klien imobilisasi terkait
sistem kardiovaskuler, yaitu :
1) Hipotensi ortostatik, adalah penurunan tekanan darah sistolik 25
mmHg dan iastolik 10 mmHg ketika klien bangun dari dari posisi
berbaring atau uduk keposisi beriri. Pada klien imobilisasi, terjadi
penurunan sirkulasi volume cairan, pengumpulan darah pada
ekstremitas bawah, dan penurunan respon otonom. Faktor-faktor
tersebut mengakibatkan penurunan alur balik vena, diikuti oleh
penurunan curah jantung yang terlihat pada penurunan tekanan darah.
2) Peningkatan beban kerja jantung
3) Pembentukan trombus
d. Perubahan muskuloskletal
Pengaruh imobilisasi pada muskuloskletal meliputi gangguan imobilisasi
permanen. Keterbatasan mobilisasi mempengaruhi otot klien melalui kehilangan
daya tahan, penurunan masa otot, atrofi, dan penurunan stabilitas. Pengaruh lain
dari keterbatasan mobilisasi yang mempengaruhi sistem muskuloskletal adalah
gangguan metabolisme kalsium dan gangguan mobilitas sendi.
Pengaruh otot. Akibat pemecahan protein, klien mengalami massa tubuh,
yang membentuk sebagian otot. Oleh karena itu, penurunan massa otot tidak
mampu mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan kelelahan. Massa otot
menurun akibat metabolisme dan tidak digunakan. Jika imobilisasi berlanjut dan
otot tidak dilatih, maka akan terjadi penurunan massa yang berkelanjutan.
Penurunan mobilisasi dan gerak mengakibatkan kerusakan muskuloskletal
yang besar, yang perubahan patofisiologi utamanya adalah atrofi. Penurunan
stabilitas terjadi akibat kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atrofi dan
kehilangan sendi yang aktual. Sehingga klien tersebut tidak mampu bergerak terus
menerus dan sangat beresiko jatuh. Pengaruh skelet. Imobilisasi menyebabkan
dua perubahan terhadap skelet, yaitu : gangguan metabolisme kalsium dan
kelainan sendi. Karena imobilisasi berakibat paa resorbsi tulang, sehingga
jaringan tulang menjadi kurang padat, dan terjadi osteoporosis. Apabila
osteoporosis terjadi, maka pasien beresiko terjadi fraktur patologis. Imobilisasi
dan aktivitas yang tidak menyangga tubuh meningkatkan kecepatan resorpsi
tulang. Resorpsi tulang juga mengakibatkan kalsium terlepas kedalam darah,
sehingga menyebabkan terjadi hiperkalsemia.
Imobilisasi dapat mengakibatkan kontraktur sendi, kontraktur sendi adalah
kondisi abnormal dan biasa permanen yang ditandai dengan sendi fleksi dan
terfikasi. Jika terjadi kontraktur maka sendi tidak dapat mempertahankan rentang
gerak dengan penuh. Salah satu kontraktur umum dan lemah yang terjadi adalah
foot drop. Jika foot drop terjadi maka kaki terfiksasi pada posisi plantarfleks
secara permanen. Ambulasi sulit pada kaki posisi ini.
e. Perubahan sistem integumen
Perubahan sistem integumen yang terjadi seperti penurunan elastisitas kulit
karena menurunnya sirkulasi darah akibat imobilisasi dan terjadinya iskemia,
serta anoksia jaringan. Jaringan yang tertekan, darah membelok dan kontriksi kuat
pada pembuluh darah akibat tekanan persisten pada kulit dan struktur dibawah
kulit, sehingga respirasi selular terganggu dan sel menjadi mati.
f. Perubahan eliminasi urine
Saat lansia berada dalam posisi berbaring untuk waktu lama, gravitasi
justru akan menghambat proses tersebut. Akibatnya pengosongan urine akan
terganggu dan terjadilah statis urine dan meningkatkan risiko infeksi saluran
perkemihan dan batu ginjal. Batu ginjal dapat diakibatkan karena adanya
gangguan metabolisme kalsium dan akibat hiperkalsemia.
Sejalan dengan masa imobilisasi yang berlanjut, asupan cairan yang
terbatas, dan penyebab lain, seperti demam akan meningkatkan risiko dehidrasi.
Akibatnya haluaran urine menurun sekitar pada hari kelima atau keenam.
Urine yang pekat dapat mengakibatkan risiko terjadi batu dan infeksi.
Perawatan perineal yang buruk setelah defekasi, terutama pada wanita,
meningkatkan resiko kontaminasi. Penyebab lain infeksi saluran perkemihan
pada klien imobolisasi adalah pemakaian urine menetap.
Selain mengakibatkan pada perubahan pada sistem tubuh, imobilisasi juga
dapat menyebabkan terjadinya perubahan perkembangan khususnya pada lansia.
Pada umumnya lansia akan mengalami kehilangan total masa tulang progresif.
Beberapa kemungkinan yang dapat menyebabkan kondisi tersebut, meliputi
aktivitas fisik, perubahan hormonal, dan resorpsi tulang aktual. Dampak dari
kehilangan masa tulang adalah tulang menjadi lemah, tulang belakan lebih lunak,
an tertekan, tulang panjang kurang resisten ketika membungkuk. Lansia berjalan
lebih lambat dan tampak kurang terkoordinasi. Sehingga keseimbangan tubuh
tidak stabil, dan mereka sangat beresiko untuk jatuh dan cedera (Nasrullah, 2016).
Keterangan :
B1 : Sistem Pernafasan
B2 : Sistem Kardiovaskuler B3 : Sistem Persarafan
B4 : Sistem Perkemihan B5 : Sistem Pencernaan
B6 : Sistem Muskuloskletal
(Sumber : Nasrullah, 2016).

Konsep asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Gangguan Mobilisasi

1. Pengkajian
Status kesehatan pada lansia dikaji secara komprehensif, akurat, dan sistematis yang
bertujuan untuk menentukan kemampuan klien dalam menjaga diri sendiri, melengkapi data
dasar untuk membuat rencana keperawatan, dan memberi waktu kepada klien untuk
berkomunikasi. Pengkajian ini meliputi aspek fisik, psikis, sosial, dan spritualdengan
mengumpulkan data melalui wawancara, observasi, dan pemeriksaan (Maryam, dkk, 2008).
a. Identitas
Identitas klien yang biasa dikaji diantaranya yaitu usia (karena ada beberapa penyebab
gangguan mobilisasi adalah usia diatas 60 tahun) (Aspiani, 2014).
b. Keluhan Utama
Keluhan utama biasanya ditemukan adalah penyakit muskuloskletal seperti:
Rheumatoid Arthritis, Osteoarthritis, stroke, dan Osteoporosis. Osteoporosis adalah klien
mengeluh nyeri pada persendian yang terkena, dan adanya keterbatasan gerak yang
menyebabkan gangguan mobilitas (Aspiani, 2014).
c. Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian pasien saat ini dapat meliputi alasan pasien yang menyebabkan terjadi
keluhan atau gangguan dalam mobilisasi, biasanya seperti ada nyeri, kelemahan otot,
kelelahan, tingkat imobilisasi, daerah terganggunya karena imobilitas dan lama terjadinya
gangguan mobilitas (Nasrullah, 2016).

d. Riwayat penyakit dahulu


Biasanya ada riwayat penyakit sistem neurologis (kecelakaaan cerebrovaskular, trauma
kepala, peningkatan tekanan intrakranial, miestania gravis, guillain barre, cedera medula
spinalis, dan lain-lain), riwayat penyakit sistem kardiovaskular ( infark miokard, gagal jantung
kongestif). Riwayat penyakit sistem muskuloskletal (osteoporosis, fraktur, arthritis), riwayat
penyakit sistem pernafasan (penyakit paru obstruksi menahun, pneumonia, dan lain-lain),
riwayat pemakaian obat seperti sedativa, hipnotik, depresan sistem saraf pusat, dan lain-lain
(Nasrullah, 2016).
e. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya Ada keluarga yang menderita penyakit yang sama karena factor genetic/
keturunan (Aspiani, 2014).
f. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
Keadaan umum lansia yang mengalami gangguan mobilitas biasanya lemah (Aspiani,
2014).
2) Kesadaran
Kesadaran pasien biasanya compos mentis dan apatis (Aspiani, 2014).
3) Tanda-tanda vital
a) Suhu meningkat (>37ºC)
b) Nadi meningkat (N: 70-82x/menit)
c) Tekanan darah meningkat atau dalam batas normal
d) Pernafasan biasanya mengalami normal atau meningkat (Aspiani, 2014).
4) Pemeriksaan review of system (ROS)
a) System pernafasan (B1: Breathing)
Biasanya ditemukan peningkatan frekuensi nafas atau masih dalam batas normal
(Aspiani, 2014). Pengkajian sistem pernafasan dapat dilakukan minimal setiap 2 jam pada
klien yang mengalami keterbatasan aktivitas. Pengkajian pada sistem ini dapat meliputi :
 Inspeksi : pergerakan dinding dada selama siklus inspirasi dan ekspirasi penuh. Jika klien
mempunyai area atelektasis, gerakan dadanya menjadi asimetris.
 Auskultasi : seluruh area paru-paru untuk mengidentifikasi gangguan suara nafas, crackles,
atau mengi. Auskultasi harus berfokus pada area paru-paru yang yang tergantung karena
sekresi paru cendrung menumpuk di area bagian bawah (Nasrullah, 2016).
b) System sirkulasi (B2: Bleeding)
Biasanya ditemukan adanya penyakit jantung, frekuensi nadi apikal, sirkulasi perifer,
warna, dan kehangatan (Aspiani, 2014). Pengkajian sistem kardiovaskuler yang harus
dilakukan pada pasien imobilisasi adalah :
 Memantau tekanan darah, tekanan darah klien harus diukur, terutama jika berubah dari
berbaring (rekumben) ke duduk atau berdiri akibat risiko terjadinya hipotensi ortostatik.
 Mengevaluasi nadi apeks maupun nadi perifer, berbaring dalam posisi rekumben
meningkatkan beban kerja jantung dan mengakibatkan nadi meningkat. Pada beberapa
klien, terutama lansia, jantung tidak dapat mentoleransi peningkatan beban kerja dan
berkmbang menjadi gagal jantung. Suara jantung ketiga yang terdengar dibagian apeks
merupakan indikasi awal gagal jantung kongestif. Memantau nadi perifer memungkinkan
perawat mengevaluasi kemampuan jantung memompa darah.
 Observasi adanya tanda-tanda adanya stasis vena (mis. Edema dan penyembuhan luka
yang buruk), edema mengindikasikan ketidakmampuan jantung menagani peningkatan
beban kerja. Karena edma bergerak diarea tubuh yang menggantung, pengkajian klien
imobilisasi harus meliputi sakrum, tungkai dan kaki. Jika jantung tidak mampu
mentoleransi peningkatan beban kerja, maka area tubuh perifer seperti tangan, kaki,
hidung, dan daun telinga akan lebih dingin dari daerah pusat tubuh. Terakhir perawat
mengkaji sistem vena karena trombosis vena profunda merupakan bahaya dari
keterbatasanmobilisasi. Embolus adalah trombus yang terlepa, berjalan mengikuti sistem
sirkulasi ke paru-paru atau otak dan menggangu sirkulasi. Untuk mengkaji trombosis vena
profunda, perawat melepas stocking elastis klien dan atau sequential compression devices
(SCDs) setiap 8 jam dan mengobservasi betis terhadap kemerahan, hangat, kelembaban.
Tanda homan (Homan’s sign) atau nyeri betis pada kaki dorsifleksi, mengidentifikasi
kemungkinan adanya trombus, tetapi tanda ini tidak selalu ada. Ketika melakukan hal ini
perawat menandai sebuah titik disetiap betis 10 cm dari tengah patela. Lingkar betis diukur
setiap hari menggunakan tanda tersebut untuk penempatan alat pengukur. Penigkatan satu
bagian diameter merupakan indikasi awal trombosis. Trombosis vena profunda juga dapat
terjadi di paha untuk itu pengukuran paha harus dilakukan setiap hari apabila klien
cenderung terjadi trombosis. Pada beberapa klien, trombosis vena profunda dapat dicegah
dengan latihan aktif dan stoking elastis (Nasrullah, 2016).

c) System persarafan (B3: Brain)


Biasanya ditemukan adanya kehilangan gerakan/sensasi, spasme otot, terlihat kelemahan/ hilang
fungsi, pergerakan mata/ kejelasan melihat, dilatasi pupil, agatasi ( berhubungan dengan nyeri/
ansietas) (Aspiani, 2014).

d) System perkemihan (B4: Bleder)


Biasanya terjadi perubahan pola berkemih seperti inkontinensia urin, disuria, distensi kandung
kemih, warna dan bau urin, dan kebersihannya (Aspiani, 2014).

Status eliminasi klien harus dievaluasi setiap shift, dan total asupan dan haluaran dievaluasi setiap
24 jam. Perawat harus menentukan bahwa klien

menerima jumlah dan jenis cairan melalui oral atau parenteral dengan benar.
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit meningkatkan resiko gangguan sistem ginjal, bergeser
dari infeksi berulang menjadi gagal ginjal. Dehidrasi juga meningkatkan resiko kerusakan kulit,
pembentukan trombus, dan konstipasi (Nasrullah, 2016).

e) System pencernaan (B5: Bowel)


Biasanya terjadi Konstipasi(menurunnya motilitas usus), bagaimana konsisten feses, frekuensi
eliminasi, auskultasi bising usus, anoreksia(produksi saliva berkurang), adanya distensi abdomen,
nyeri tekan abdomen (Aspiani, 2014).

f) System Muskuloskletal (B6: Bone)


Biasanya nyeri berat tiba-tiba/mungkin terlokalisasi pada area jaringan, dapat berkurang pada
imobilisasi (karena osteoporosis), kekuatan otot, kontraktur atrofi otot, laserasi kulit dan
perubahan warna (Aspiani, 2014). Kelainan muskuloskletal utama dapat diidentifikasi selama
pengkajian meliputi penurunan tonus otot, kehilangan masa otot, dan kontraktur. Gambaran
pengukuran antropometrik mengidentifikasi kehilangan tonus dan massa otot.
Pengkajian rentang gerak adalah penting karena merupakan data dasar yang hasil pengukurannya
nanti dibandingkan untuk mengevaluasi terjadi kehilangan mobilisasi sendi. Rentang gerak diukur
dengan menggunakan geniometer. Pengkajian rentang gerak dilakukan pada daerah seperti bahu,
siku, lengan, panggul, dan kaki (Nasrullah, 2016).

Refleks Ekstremitas
Refleks Kanan Kiri
Biceps + +
Triceps + +
Knee + -
Achiles + +

Keterangan :
Refleks (+) : Normal
Refleks (-) : Menurun/ meningkat
g. Pola fungsi kesehatan
Menurut (Aspiani, 2014) yang perlu dikaji adalah aktivitas apa saja yang biasa dilakukan
sehubungan dengan adanya nyeri pada persendian, ketidakmampuan mobilisasi.
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Menggambarkan persepsi, pemeliharaan, daan penanganan kesehatan.
2. Pola nutrisi
Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan, dan elektrolit, nafsu makan, pola makan, diet,
kesulitan menelan, mual/muntah, dan makanan kesukaan .
3. Pola eliminasi
Menjelaskan pola fungsi ekresi, kandung kemih, defekasi, ada tidaknya masalah defekasi, masalah
nutrisi, dan penggunaan kateter.
4. Pola tidur dan istirahat
Menggambarkan pola tidur, istirahat, dan persepsi terhadap energy, jumlah jam tidur pada siang
dan malam hari, masalah tidur, dan insomnia.
5. Pola aktivitas dan istirahat
Menggambarkan pola latihan, aktifitas, fungsi pernapasan, dan sirkulasi, riwayat penyakit jantung,
frekuensi, irama, dan kedalaman pernapasan. Pengkajian KATZ.
a. Pengkajian Indeks Katz

Skor Kriteria

Kemandirian dalam hal makan,kontinen, berpindah, ke kamar kecil,


berpakaina, dan mandi.
A
Kemandirian dalam semua aktivitas hidup
B
sehari-hari, kecuali satu dari fungsi tersebut.
Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari
C kecuali mani dan satu fungsi tambahan.
Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari, kecuali mandi,
D berpakaian, dan satu fungsi tambahan.
Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari, kecuali mandi, berpakaian,
kekamar kecil dan satu fungsi tambahan.
E
Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari, kecuali mandi,berpakaian,
berpindah dan satu fungsi tambahan.
F
G Ketergantungan pada enam fungsi tersebut.
Ketergantungan pada sedikitnya dua fungsi, tetapi tidak dapat diklasifikasikan
sebagai C, D, E, atau F.
Lain-
lain
b. Pengkajian posisi dan keseimbangan (Sullivan Indeks Katz)
NO
Tes Koordinasi Keteranga Nilai
n
1 Berdiri dengan postur normal
2 Berdiri dengan postur normal menutup mata

3 Berdiri dengan kaki rapat

4 Berdiri dengan satu kaki

5 Berdiri fleksi trunk dan berdiri ke posisi netral

6 Berdiri lateral dan fleksi trunk

7 Berjalan tempatkan tumit salah satu kaki didepan jari kaki yang lain

8 Berjalan sepanjang garis lurus

9 Berjalan mengikuti tanda gambar pada lantai

10 Berjalan menyamping

11 Berjalan mundur

12 Berjalan mengikuti lingkaran

13 Berjalan pada tumit


14 Berjalan dengan ujung kaki

Jumlah

(Sumber : Sunaryo, 2016)


Keterangan :
4 : mampu melakukan aktivitas dengan lengkap
3 : mampu melakukan aktivitas dengan bantuan
2 : mampu melakukan aktivitas dengan bantuan maksimal
1 : tidak mampu melakukan aktivitas
Nilai :
42-54 : mampu melakukan aktivitas
28-41 : mampu melakukan dengan sedikit bantuan 14-27 : mampu melakukan dengan
bantuan maksimal
<14 : tidak mampu melakukan

c. Indeks Barthel
Indeks barthel merupakan suatu instrumen pengkajian yang berfungsi mengukur kemandirian
fungsional dalam hal perawatan diri dan mobilitas serta dapat juga digunakan sebagai kriteria
dalam menilai kemampuan fungsional seseorang yang mengalami gangguan keseimbangan
menggunakan 10 indikator :
No Item yang dinilai Skor Nilai
1 Makan 0 = Tidak mampu
1 = Butuh bantuan
2 = Mandiri
2 Mandi 0 = Butuh bantuan
1 = Mandiri
3 Perawatan diri 0 = Butuh bantuan
1 = Mandiri
4 Berpakaian 0 = Tergantung orang
lain
1 = sebagian dibantu
2 = Mandiri
5 Buang Air kecil 0 = Inkontinensia atau
pakai kateter dan
tidak terkontrol
1 = Kadang
Inkontinensia
(maks, 1x24 jam)
2 = Kontinensia
(teratur)
6 Buang Air Besar 0 = Inkontinensia
(tidak teratur atau
perlu enema)
1 = Kadang
Inkontensia (sekali
seminggu)
2 = Kontinensia
(teratur)
7 Penggunaan Toilet 0 = Tergantung
bantuan orang
lain
1 = Membutuhkan
bantuan, tapi
dapat
melakukan beberapa
hal sendiri
2 = Mandiri
8 Transfer 0 = Tidak mampu 1
= Butuh bantuan
untuk bisa duduk (2
orang)
2 = Bantuan kecil (1
orang)
3 = Mandiri

9 Mobilitas 0 = Immobile (tidak


mampu)
1 = Menggunakan
kursi roda
2 = Berjalan dengan
bantuan satu
orang
3 = Mandiri
(meskipun
menggunakan
alat bantu seperti,
tongkat)
10 Naik turun tangga 0 = Tidak mampu 1
= Membutuhkan
bantuan (alat bantu)
2 = Mandiri

Interpretasi hasil :
20 : Mandiri
12-19 : Ketergantungan Ringan
9-11 : Ketergantungan Sedang
5-8 : Ketergantungan Berat
0-4 : Ketergantungan Total

6. Pola hubungan dan peran


Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien terhadap anggota keluarga dan
masyarakat tempat tinggal, pekerjaan, tidak punya rumah, dan masalah keuangan.
7. Pola sensori dan kognitif
Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola persepsi sensori meliputi pengkajian penglihatan,
pendengaran, perasaan, dan pembau. Pada klien katarak dapat ditemukan gejala gangguan
penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan kerja dengan merasa diruang gelap. Sedangkan
tandanya adalah kecoklatan atau putih susu pada pupil, peningkatan air mata. Pengkajian staus
mental menggunakan table short portable mental status quisioner (SPMSQ).
8. Pola persepsi dan konsep diri
Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi terhadap kemampuan konsep diri. Konsep
diri menggambarkan gambaran diri, harga diri, peran, identitas diri. Manusia sebagai system
terbuka dan makhluk bio-psiko-sosiso-kultural-spiritual, kecemasan, ketakutan, dan dampak
terhadap sakit. Pengkajian tingkat depresi mengguankan table inventaris depresi beck.
9. Pola seksual dan reproduksi
Menggambarkan kepuasan/masalah terhadap seksualitas.
10. Pola mekanisme/penanggulangan stress dan koping Menggambarkan kemampuan untuk
menangani stress dan koping.
11. Pola tata nilai dan kepercayaan
Menggambarkan dan menjelaskan pola, nilai keyakinan termasuk spiritual (Aspiani, 2014).

h. Pengkajian aspek spiritual


Tamher dan Noorkasiani (2009) indeks untuk mengukur upaya yang dilakukan secara individual
dalam pencarian arti dan makna kehidupan.
a) Perasaan klien tentang kehidupan keagamaannya.
b) Melakukan kewajiban-kewajiban agar berkontemplasi tentang makna kehidupan
menurut agama dan kepercayaannya.
c) Tanyakan apakah nilai keagaaman menuntunnya dalam aktivitas sehari-hari.
d) Apakah nilai keberagamannya dapat menuntun menjawab tantangan- tantangan dalam
kehidupan.

e) Mengetahui bahwa kehidupan spritualnya merupakan suatu proses yang berlangsung


terus menerus selama hayat.
f) Apakah klien peduli tentang isu-isu kemanusiaan ?.
g) Apakah klien menyenangi bila sewaktu-waktu terlibat dalam diskusi tentang nilai-nilai
keagamaannya?.
h) Apakah klien masih mendalami pengetaahuan keagamaannya?.
i) Apakah kewaspadaan agama juga muncul di saat klien berada di luar maasa kritis ?.
j) Apakah klien meyakini tentang konsep keimanan terhadap Tuhan
penciptanya ?.

2. Analisa data
Analisa adalah kemampuan kognitif dalam pengembangan daya berfikir dan penalaran yang
dipengaruhi oleh latar belakang ilmu pengetahuan, pengalaman, dan pengertian dalam
keperawatan. Analisa data adalah kemampuan mengkaitkan data dan menghubungkan data
tersebut sesuai konsep, teori, prinsip-prinsip yang relevan untuk membuat kesimpulan.

3. Diagnosis Keperawatan

a) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan keterbatasan rentang gerak


b) Resiko cedera
c) Defisit perawatan diri : Mandi berhubungan dengan gangguan muskuloskletal

4. Rencana Tindakan Keperawatan

TUJUAN
DIAGNOSA
NO KEPERAWATAN NOC NIC
1 Hambatan mobilitas a. Ambulasi Terapi Latihan :
fisik Kriteria hasil Ambulasi
: a. Bantu pasien
Definisi : 1. Menopang berat Untuk
Keterbatasan dalam badan perpindahan
gerakan fisik atau 2. Berjalan dengan sesuai kebutuhan
satu atau lebih langkah yang b. Terapkan atau
ekstremitas secara efektif sediakan alat
mandiri dan terarah. 3. Berjalan dengan bantu (tongkat,
pelan walker,atau kursi
Batasan 4. Berjalan dengan roda untuk
Karakteristik : kecepatan sedang ambulasi,jika
a. Gangguan sikap 5. Berjalan dengan pasien tidak
berjalan cepat stabil
b. Gerakan lambat c. Bantu pasien
c. Keterbatasan dengan ambulasi
rentang gerak b. Pergerakan awal jika
d. Gerakan spastik kriteria hasil : diperlukan
e. Gerakan tidak 1. keseimbangan d. Instruksikan
terkoordinasi 2. koordinasi pasien mengenai
3. cara berjalan pemindahan dan
4. gerakan otot teknik ambulasi
5. gerakan sendi yang aman
6. berjalan e. Bantu pasien
7. bergerak dengan berdiri dan
mudah ambulasi dengan
jarak tertentu.

Terapi Latihan :
Mobilitas Sendi
a. Tentukan batasan
sendi
dan efeknya
terhadap fungsi
sendi
b. Monitor lokasi
dan kecendrungan
adanya nyeri dan
ketidaknyamanan
selama
pergerakan/
aktivitas
c. Dukung latihan
ROM aktif, sesuai
jadwal yang
teratur dan
terencana.
d. Lakukan latihan
ROM pasif atau
ROM dengan
bantuan, sesuai
indikasi
e. Dukung ambulasi
jika
memungkinkan
2 Resiko Cedera a. Kejadian jatuh Pencegahan Jatuh
kriteria hasil : a. Identifikasi
1. Klien tidak kebutuhan
Definisi : mengalami jatuh keamanan klien
Rentan mengalami saat berdiri berdasarkan
cedera fisik akibat 2. Klien tidak tingkat fungsi fisik,
kondisi lingkungan mengalami jatuh kognitif dan
yang berinteraksi saat duduk riwayat perilaku
dengan sumber 3. Klien tidak sebelumnya
adaptif dan sumber mengalami jatuh b. Identifikasi
defensif individu, saat berjalan perilaku dan
yang dapat 4. Klien tidak faktor
mengganggu mengalami jatuh yang berpengaruh
individu, yang dapat saat dipindahkan terhadap resiko
mengganggu 5. Klien tidak jatuh
kesehatan. mengalami jatuh c. Kaji riwayat jatuh
saat ke kamar mandi klien dan keluarga
d. Identifikasi
b. Keseimbangan karakteristik
Kriteria Hasil : lingkungan yang
1. Mempertahankan meningkatkan
keseimbangan saat potensi jatuh
duduk tanpa e. Pantau gaya
sokongan pada berjalan,
punggung keseimbangan, dan
2. Mempertahankan tingkat kelelahan
keseimbangan dari selama ambulasi
posisi duduk ke f. Pantau
posisi berdiri kemampuan klien
3. Mempertahankan untuk berpindah
keseimbangan saat dari tempat tidur
berdiri ke kursi
4. Mempertahankan g. Gunakan teknik
keseimbangan saat yang tepat untuk
berjalan memindahkan
5. postur pasien dari dan ke
kursi, tempat tidur,
. kamar mandi, dll.

Manajemen
Lingkungan:
Keselamatan
a. Identifikasi
kebutuhan
keamanan klien
berdasarkan
fungsi fisik dan
kognitif serta
riwayat perilaku
di masa lalu
b. Identifikasi hal-
hal yang
membahayakan
dilingkungan
c. Modifikasi
lingkungan untuk
meminimalkan
bahaya
d. Gunakan
peralatan
perlindungan
(misalnya,
pengekangan,
kunci pintu,
pagar, dan
gerbang) untuk
membatasi
mobilitas fisik
atau akses pada
situasi yang
membahayakan
e. Bantu pasien saat
melakukan
perpindahan
kelingkungan
yang lebih aman.
4 Defisit perawatan a Perawatan Diri : Bantu perawatan
diri : Mandi Mandi diri
Kriteria Hasil : a. Kaji kemampuan
Definisi : 1. Klien mampu klien untuk
Hambatan masuk dan keluar menggunakan
kemampuan untuk dari kamar mandi alat bantu
melakukan atau 2. Klien mampu b. Pantau adanya
menyelesaikan mencuci badan perubahan
aktivitas mandi 3. Klien mampu kemampuan
secara mandiri. mencuci badan fungsi
4. Klien mampu c. Pantau
Batasan mengeringkan kemampuan klien
karakteristik: badan dalam melakukan
a.ketidakmampuan perawatan diri
membasuh tubuh secara mandiri
b.ketidakmampuan d. Pantau kebutuhan
mengambil klien terhadap
perlengkapan perlengkapan
mandi alat-alat mandi
c.ketidakmampuan berpakaian, dan
menjangkau makan
sumber air e. Berikan bantuan
sampai klien
mampu
melakukan
perawatan diri
f. bantu klien dalam
menerima
ketergantungan
pemenuhan
kebutuhan sehari-
hari
g. dukung
kemandirian
dalam melakukan
mandi dan hygine
mulut, bantu
klien hanya jika
di perlukan

Bantu perawatan
diri : mandi
a. kaji membran
mukosa oral dan
kebersihan tubuh
setiap hari
b. kaji kondisi kulit
saat mandi
c. Pantau kebersihan
kuku, berdasarkan
kemampuan
perawatan diri
klien
d. Berikan bantuan
sampai klien
mampu seacara
penuh untuk
melakukan
perawatan diri
e. Letakkan sabun,
handuk, deodoran,
alat cukur, dan
perawatan lainnya
di samping kamar
mandi.

Anda mungkin juga menyukai