Disusun Oleh :
20214663020
2022
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Konsep Lansia
1. Pengertian Lansia.
kesejahteraan lanjut usia bab I pasal 1 ayat 2, lanjut usia adalah seseorang yang telah
mencapai usia 60 tahun ke atas (Azizah, 2011). Penuaan merupakan proses normal
yang berhubungan dengan waktu dimulai sejak lahir hingga berlanjut sepanjang
hidupnya, sedangkan usia tua yakni fase akhir dari rentang kehidupan (Fatimah,
2010).
dalam hidup merupakan tahap akhir siklus kehidupan yang dialami oleh lansia. Usia
lanjut sebagai tahap akhir perkembangan normal yang akan terjadi dan dialami oleh
setiap individu serta tidak dapat dihindari. Usia lanjut yakni kelompok orang yang
mengalami suatu proses perubahan secara bertahap. Lansia merupakan suatu masa
transisi kehidupan terakhir yang sebetulnya masa sangat istimewa karena tidak
semua manusia mendapatkan kesempatan berada dalam tahap ini (Sutarti, 2014).
perubahan yang kumulatif, proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi
rangsangan dari dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan kematian (Padila, 2013).
2. Klasifikasi Lansia.
c. Lansia resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan
masalah kesehatan.
d. Lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan
e. Lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga
a. Lansia dengan masalah kesehatan pada system pernafasan, antara lain penyakit
vaskuler accident.
f. Lansia dengan masalah kesehatan pada system sensori, antara lain: katarak,
glaukoma, presbikusis.
g. Lansia dengan masalah kesehatan pada system pencernaan, antara lain: gastritis,
hemoroid, konstipasi.
pressure ulcers.
4. Proses Menua.
Menua atau proses menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam
kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya
dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan.
Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga
tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara
misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut
memburuk, gerakan lambat dan postur tubuh yang tidak proporsional (Nugroho,
2012).
Berikut ini merupakan beberapa perubahan yang terjadi pada lansia menurut
Aspiani (2014).
Elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan menjadi kaku,
meningkat.
2). Perubahan system pernapasan
rasa lapar menurun, peristaltic lemah, fungsi absorbsi melemah dan liver
kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu, pertumbuhan kuku lebih
1). Pensiun
3). Perubahan cara hidup (memasuki rumah perawatan, bergerak lebih sempit).
4). Kemampuan ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan. Biaya hidup
dan keluarga.
9). Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri,
c. Perubahan spiritual
teratur dalam kegiatan beribadah. Lansia cenderung tidak terlalu takut terhadap
sinapsis memainkan peran penting dalam perubahan tidur dan terjaga yang
dikaitkan dengan faktor pertambahan usia. Faktor ekstrinsik seperti pensiun juga
dan kebutuhan energi sehari-hari serta mengarah perubahan pola tidur. Keadaan
sosial dan psikologis yang terkait dengan faktor predisposisi terjadinya depresi
pada lansia, kemudian mempengaruhi pola tidur lansia. Pola tidur dapat
1. Definisi.
diskus optikus dan penyempitan lapang pandang yang khas; biasanya disertai
glaukoma. Rata-rata TIO yang normal adalah 15,5 mmHg dengan rentang antara 10-
retina saraf optik. Kerusakan ini bisa berujung pada hilangnya penglihatan yang
2. Klasifikasi.
a. Glaukoma primer.
dominan/ resesif pada 50% penderita. Keadaan ini terjadi pada klien usia
lanjut (>40 tahun) dan perubahan karena usia lanjut memegang peranan
Glaukoma sekunder adalah glaukoma yang terjadi akibat penyakit mata lain
mata. Kondisi ini secara tidak langsung mengganggu aktivitas struktur yang
terlibat dalam sirkulasi dan atau reabsorbsi akueos humor. Terjadi akibat :
1). Perubahan lensa, dislokasi lensa, terlepasnya kapsul lensa pada katarak.
2). Perubahan uvea, uveitis, neovaskularisasi iris, melanoma dari jaringan uvea.
4). Operasi, pertumbuhan epitel yang masuk camera oculi anterior (COA),
c. Glaukoma kongenital.
Kondisi ini disebabkan oleh ciri autosom resesif dan biasanya bilateral.
3. Etiologi.
Penyebab glaukoma belum diketahui secara pasti, namun terdapat faktor risiko
yang berhubungan. Menurut Hollands (2013), faktor risiko glaukoma antara lain :
Disebabkan penyakit mata lain seperti katarak, perubahan lensa, kelainan uvea.
4. Patofisiologi
Tekanan Intra Okuler (TIO) ditentukan oleh kecepatan produksi akues humor
danaliran keluar akues humor dari mata. TIO normal 10-21 mmHg dan
humor. Akueos humor di produksi didalam badan silier dan mengalir ke luar melalui
produksi berlebih badan silier atau oleh peningkatan hambatan abnormal terhadap
foveasentralis. Kerusakan visus, kerusakan saraf optik dan retina adalah ireversibel,
hal ini bersifat permanen tanpa penangan, glaukoma dapat menyebabkan kebutaan.
Hilangnya penglihatan ditandai dengan adanya titik buta pada lapang pandang.
5. Manifestasi Klinis.
Menurut Kanski, (2015), manifestasi klinis yang sering ditemukan pada pasien
a. Glaukoma primer.
1). Glaukoma sudut terbuka : Kerusakan visus serius, lapang pandang mengecil
2). Glaukoma sudut tertutup : Nyeri hebat didalam dan sekitar mata, timbulnya
b. Glaukoma sekunder.
c. Glaukoma kongenital.
b. Agens topical yang digunakan untuk mengobati glaucoma dapat memiliki efek
sistemik yang merugikan, terutama pada lansia. Efek ini dapat berupa
8. Pemeriksaan Diagnostik.
a. Tonometri
appalansi yang menggunakan lamp (celah lampu) dimana sebagian kecil daerah
kornea diratakan untuk mengimbangi beban alat ukur yang mengukur tekanan,
selain itu ada juga metode langsung yang kurang akurat yang lebih murah, dan
b. Gonioskopi.
c. Oftalmoskopi.
Digunakan untuk melihat fondus mata bagian dalam yaitu retina serta gambaran
bagain mata secara langsung diskus optik dan struktur mata internal menurun.
d. Perimetri.
e. Pemeriksaan Ultransonografi
Gelombang suara yang digunakan untuk mengukur dimensi dan struktur okuler.
9. Penatalaksanaan Medis.
tiap pasien. Tujuan terapi ini adalah mencegah progresi cupping diskus optikus atau
defek lapang pandang dengan mengontrol TIO. Studi menunjukkan setiap 1 mmHg
a. Terapi medikamentosa.
antagonis dan golongan α-2 adrenergik agonis berperan dalam supresi produksi
b. Terapi laser.
1). Iridotomy.
cairan secara normal pada mata dengan sudut sempit atau tertutup.
2). Trabeculoplasty.
laser pada bagian mata yang membuat cairan aqueous, menghancurkan sel-
sel yang membuat cairan, dengan demikian dapat mengurangi tekanan mata.
c. Terapi bedah.
1). Viscocanalostomy
dari sclera (dinding mata) untuk meninggalkan satu membran tipis dari
Dilakukan jika sudut yang tertutup lebih dari 50%. Sistem pengaliran cairan
1. Pengkajian Keperawatan.
a. Identifikasi pasien.
Berisi nama, usia, jenis kelamin, alamat, dan keterangan lain mengenaiidentitas
b. Keluhan utama.
c. Riwayat kesehatan.
Kaji apakah ada keluarga yang mengalami penyakit glaukoma atau penyakit
d. Pemeriksaan fisik.
mengetahui adanya cupping dan atrofi diskus optikus. Pada glaukoma akut
primer kamera anterior dangkal, aqueous humor keruh dan pembuluh darah
secara bertahap.
4). Uji Diagnostik, menggunakan tonometri pada keadaan kronik atau open
angle didapat nilai 22-32 mmHg, sedangkan keadaan akut atau angle
sudut dapat tertutup. Pada glaucoma akut ketika TIO meningkat, sudut
COA akan tertutup, sedang pada waktu TIO normal sudutnya sempit.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut SDKI PPNI (2017), diagnosa keperawatan yang dapat muncul antara :
Keperawatan
: nyaman
membaik perawatan
- Anjurkan memperbanyak
istirahat
meningkat memadai
dijangkau
- Diskusikan mengenai latihan
pasien
Edukasi
pencegahan cedera
menurun ansietas
dan prognosis
keberdayaan
- Anjurkan mengungkapkan perasaan
membaik
- Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
antiansietas
5 Defisit Setelah dilakukan Observasi
mempengaruhi kesehatan
sehat
4. Implementasi Keperawatan
mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan
mencapai tujuan yang berpusat pada klien, menyelia dan mengevaluasi kerja anggota
staff, dan mencatat serta melakukan pertukaran informasi yang relevan dengan
Evaluasi untuk setiap diagnosa keperawatan meliputi data subyektif (S), data
obyektid (O), analisa permasalahan klien (A) berdasarkan S dan O, serta perencanaan
ulang (P) berdasarkan hasil analisa data diatas. Evaluasi ini disebut evaluasi proses,
Aspiani, R.Y. (2014). Buku ajar keperawatan gerontik. Jakarta: Trans Info Media.
Fatimah. (2010). Merawat Manusia Lanjut Usia Suatu Pendekatan Proses Keperawatan
Hidayat, A.A. (2014). Metodologi penlitian keperawatan teknik analisis data. Jakarta:
Salemba Medika.
Hollands, H., Johnson, D., Hollands, S., Simel, D.L., Jinapriya, D., Sharma, S. (2013). JAMA:
2035-42.
Istiqomah, I.N. (2004). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Mata. Jakarta: EGC
Kanski, J.J., Bowling, B. (2015). Clinical Ophthalmology: A Systemic Approach, 7th edition.
Jakarta: EGC.
Pearce, E.C. (2015). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.
PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat PPNI
PPNI. (2019). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat PPNI
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia, Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat PPNI