Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN CIDERA KEPALA BERAT (CKB)


DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS TANJUNGPURA

DISUSUN OLEH:
FITRI NURUL PRAMESTI
NIM.211133009

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK
JURUSAN KEPERAWATAN PONTIANAK
PRODI PROFESI NERS
TAHUN 2021/2022
VISI DAN MISI

PROGRAM STUDI NERS KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK

VISI PRODI PROFESI NERS


"Menjadi Institusi Pendidikan Ners yang Bermutu dan Unggul dalam Bidang
Keperawatan Gawat Darurat dan Keperawatan Perioperatif di Tingkat Regional
Tahun 2020"

MISI PROFESI NERS


1. Meningkatkan Program Pendidikan Ners yang Unggul dalam Bidang
Keperawatan Gawat Darurat dan Keperawatan Perioperatif yang Berbasis
Kompetensi.
2. Meningkatkan Program Pendidikan Ners yang Unggul dalam Bidang
Keperawatan Gawat Darurat dan Keperawatan Perioperatif yang Berbasis
Penelitian.
3. Mengembangkan Upaya Pengabdian Masyarakat yang Unggul dalam
Keperawatan Gawat Darurat dan Keperawatan Perioperatif yang Berbasis
IPTEK dan Teknologi Tepat Guna.
4. Mengembangkan Program Pendidikan Ners yang Unggul dalam Bidang
Keperawatan Gawat Darurat dan Keperawatan Perioperatif yang Mandiri,
Transparan dan Akuntabel.
5. Mengembangkan kerjasama baik lokal maupun regional

i
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN CIDERA KEPALA BERAT


(CKB) DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT RUMAH
SAKIT UNIVERSITAS TANJUNGPURA

Mata Kuliah : Praktek Klinik Keperawatan Gadar Kritis


Semester : 2 (Genap)
Institusi : Poltekkes Kemenkes Pontianak
Prodi : Profesi Ners

Pontianak, 14 Maret 2022


Mahasiswa

Fitri Nurul Pramesti


NIM. 211133009

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik/CI

ii
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Penulis Panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa Karena
Berkat, Rahmat Dan Karunia-Nya Penulis Dapat Membuat Laporan pendahuluan
pada pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan dengan kasus Cidera Kepala
Berat (CKB) di Ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Universitas
Tanjungpura.
Dalam penyusunan laporan pendahuluan penulis banyak mendapat bimbingan
dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang
terhormat:
1. Bapak Didik Hariyadi, S.Gz., M.Si selaku Direktur Poltekkes Kemenkes
Pontianak.
2. Ibu Nurbani, S.Kp., M.Kep selaku Ketua Jurusan Keperawatan
3. Ibu Ns. Puspa Wardhani, M. Kep selaku Ketua Program Studi Profesi Ners
Poltekkes Kemenkes Pontianak sekaligus koordinator Mata Kuliah Praktik
Klinik Keperawatan Penciri
4. selaku pembimbing akademik
5. selaku Pembimbing Lapangan (Clinical Instructure).
6. Semua dosen Program Studi Profesi Ners Pontianak yang telah memberikan
bimbingan dengan sabar dan wawasanya serta ilmu yang bermanfaat.
Semoga laporan pendahuluan ini dapat bermanfaat untuk semua pihak
terutama dalam perkembangan ilmu keperawatan dan kesehatan.

Pontianak, Maret 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
VISI DAN MISI i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR GAMBARv
BAB I KONSEP DASAR 1
A. Konsep Dasar Penyakit 1

1. Definisi 1

2. Etiologi 1

3. Klasifikasi 2

4. Tanda dan Gejala 2

5. Komplikasi 3

6. Pemeriksaan Penunjang 6

7. Penatalaksanaan Medis 7

BAB II WEB OF CAUSATION (WOC) 12


A. Web Of Causation 12

BAB III PROSES KEPERAWATAN 13


A. Pengkajian Keperawatan 13

B. Diagnosa Keperawatan dan Luaran Keperawatan 18

C. Intervensi keperawatan 20

D. Aplikasi Pemikiran Kritis dalam Asuhan Keperawatan 25

DAFTAR PUSTAKA 28

iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman

Gambar 1.2 Web Of Causation (WOC)........................................................................ 7

v
BAB I
KONSEP DASAR

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung
atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak
dan otak.Cedera otak primer merupakan kerusakan yang terjadi pada otak
segera setelah trauma. Cedera kepala berat merupakan cedera kepala yang
mengakibatkan penurunan kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8,
mengalami amnesia > 24 jam. Cidera kepala berat adalah keadaan dimana
penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana oleh karena
kesadaran menurun (GCS < 8). Cedera kepala adalah suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa perdarahan interstitial
dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Rusdiana,
2018)
Dari semua pengertian di atas dapat disimpulkan cedera kepala
berat adalah proses terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala
yang mnyebabkan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa perdarahan interstitial dimana mengalami penurunan kesadaran
dengan skor GCS 3 sampai 8 dan mengalami amnesia > 24 jam.
2. Etiologi
Penyebab cedera kepala berat adalah (Hariyani, 2015)
a. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah itu merobek otak,
misalnya tertembak peluru/benda tajam
b. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya
c. Cedera akseleras

1
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh
pukulan maupun bukan dari pukulan
d. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan
mobil
e. Kecelakaan pada saat olah raga
f. Cedera akibat kekerasan
g. Cidera akibat benturan, memar
h. Cidera robekan atau hemoragi
i. Hematom intracerebral
3. Klasifikasi
Klasifikasi cidera kepala sebagai berikut (Sari, 2018)
a. Cedera kepala ringan (CKR)
Jika GCS antara 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari
30 menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada
penyerta seperti fraktur tengkorak, kontusio atau temotom (sekitar
55%)
b. Cedera kepala kepala sedang (CKS)
Jika GCS antara 9-12, hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit -
24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan
(bingung )
c. Cedera kepala berat (CKB)
Jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi
contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau edema.
4. Tanda dan Gejala
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak (Mendonsa, 2019)
a. Cedera kepala ringan
1) Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap
setelah cedera
2) Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.

2
3) Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah
tingkah laku
b. Cedera kepala sedang
1) Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan
kebinggungan atau hahkan koma
2) Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit
neurologik, perubahan tanda-tanda vital (TTV), gangguan
penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit
kepala, vertigo dan gangguan pergerakan
c. Cedera kepala berat
1) Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan
sesudah terjadinya penurunan kesadaran
2) Fraktur pada kubah cranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut
3) Ada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran. Pada hematom
kesadaran dapat hilang segera atau secara bertahap seiring dengan
membesarnya hematom atau edema interstisium
4) Pola pernafasan dapat secara progresif menjadi abnormal
5) Respon pupil dapat lenyap atau secara progresif memburuk 4
6) Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan
peningkatan TIK
7) Dapat timbul muntah-muntah akibat peningkatan TIK
8) Perubahan perilaku, kognitif, dan perubahan fisik pada berbicara
dan gerakan motorik dapat timbul segera atau secara lambat
5. Komplikasi
Komplikasi cidera kepala sebagai berikut (Mendonsa, 2019)
a. Edema Pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi
mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress
pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks
cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi

3
dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan
darah sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran
darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun
bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah
semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus
dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang
membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala.
Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih
banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu
darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus.
Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan
menimbulkan peningkatan tekanan intracranial (TIK) lebih lanjut
b. Peningkatan tekanan intracranial (TIK)
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15
mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg.
Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi
rerebral. Yang merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi
dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
c. Kebocoran cairan serebrospinal
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan
merobek meninges, sehingga cairan serebrosspinal (CSS) akan keluar.
Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup
diberi bantalan steril di bawah hidung atau telinga. Instruksikan klien
untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga
d. Kejang pasca trauma
Kejang yang terjadi setelah masa trauma yang dialami pasien
merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya sebanyak 10%,
terjadi di awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-
42% (setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi,

4
hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium,
kontusio serebri, glasglow coma scale (GCS) <10.
e. Demam dan menggigil
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan
memperburuk outcome. Sering terjadi akibat kekurangan cairan,
infeksi, efek sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro
muskular paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma
barbiturat, asetazolamid
f. Hidrosefalus
Berdasarkan lokasinya, penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan
dan non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada
cedera kepala dengan obstruksi, kondisi ini terjadi akibat penyumbatan
di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah,
nyeri kepala, pupil odema, demensia, ataksia dan gangguan miksi
g. Spastisitas
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada
kecepatan gerakan. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi.
Beberapa penanganan ditujukan pada : pembatasan fungsi gerak, nyeri,
pencegahan kontraktur, dan bantuan dalam memposisikan diri. Terapi
primer dengan koreksi posisi dan latihan range of motion (ROM),
terapi sekunder dengan splinting, casting, dan terapi farmakologi
dengan dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum dan benzodiazepine
h. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal
dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil.
Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang
berpotensi sentral.Penanganan farmakologi antara lain dengan
menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron,
stimulant, benzodiazepine dan terapi modifikasi lingkungan

5
i. Sindrom post kontusio
Sindroma Post Kontusio merupakan komplek gejala yang berhubungan
dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan
pertama dan 15% pada tahun pertama: Somatik : nyeri kepala,
gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap
suara dan cahaya. Kognitif: perhatian, konsentrasi, memori dan
Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan diagnostik
1) X-ray/CT Scan : hematoma serebral, edema serebral, perdarahan
intracranial, fraktur tulang tengkorak
2) MRI : dengan/tanpa menggunakan kontras
3) Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
4) EEG : memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis
5) BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan fungsi
korteks dan batang otak
6) PET (Positron Emission Tomography) : menunjukkan perubahan
aktivitas metabolisme pada otak
b. Pemeriksaan laboratorium
1) AGD : PO2, pH, HCO3 : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi
(mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin
aliran darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah
oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK
2) Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan
gangguan regulasi natrium, retensi Na berakhir dapat beberapa
hari, diikuti diuresis Na, peningkatan letargi, konfusi dan kejang
akibat ketidakseimbangan elektrolit
3) Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum
4) CSS : menentukan kemungkinan adanya perdarahn subarachnoid
(warna, komposisi, tekanan)

6
5) Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan
penurunan kesadaran
6) Kadar antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif mengatasi kejang.
7. Penatalaksanaan Medis
a. Cedera kepala sedang (GCS 9 -12)
Kurang lebih 10% pasien dengan cedera kepala di Unit Gawat
Darurat (UGD) menderita cedera otak sedang. Mereka umumnya
masih mampu menuruti perintah sederhana, namun biasanya tampak
bingung atau mengantuk dan dapat pula disertai defisit neurologis
fokal seperti hemiparesis. Sebanyak 10 -20% dari pasien cedera otak
sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Untuk alasan
tersebut maka pemeriksaan neurologi secara berkala diharuskan dalam
mengelola pasien ini.
Saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera
dilakukan stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis
dilaksanakan. CT Scan kepala harus selalu dilakukan dan segera
menghubungi ahli bedah saraf. Pasien harus dirawat di ruang
perawatan intensif atau yang setara, dimana observasi ketat dan
pemeriksaan neurologis serial dilakukan selama 12-24 jam pertama.
Pemeriksaan CT Scan lanjutan dalam 12-24 jam direkomendasikan
bila hasil CT Scan awal abnormal atau terdapat penurunan status
neurologis pasien
b. Cedera kepala berat (GCS < 8)
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena
itu disamping kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik.Urutan
tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut
1) Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation =ABC)
Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia,
hipotensi dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh
karena itu tindakan pertama adalah

7
a) Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan
posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau
pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau
gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik
untuk menghindarkan aspirasi muntahan
b) Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral
atau perifer. Kelainansentral adalah depresi pernafasan pada lesi
medula oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central
neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi,
trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari
gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia.
Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi
faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator
c) Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan
kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan
intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial, yakni berupa
hipovolemik akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam,
trauma dada disertai tempo nadi jantung atau peumotoraks dan
syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber
perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang
hilang dengan plasma
2) Pemeriksaan fisik
Setelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi
kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstrakranial.
Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan
ditindak lanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas
bisa diartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera
dicari dan menanggulangi penyebabnya

8
3) Tekanan Intrakranial (TIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom
intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK
sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0
-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan
sebagai berikut :
a) Hiperventilasi
Setelah resusitasi ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi
yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27 -30
mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya
aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30
mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas
dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi
hiperventilasi diteruskan lagi selama 24 -48 jam. Bila TIK tidak
menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT
scan ulang untuk menyingkirkan hematom.
b) Drainase
Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk
jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk
jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya
bila terjadi hidrosefalus
c) Terapi diuretic
- Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan
otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam
ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya
harus dihentikan. Cara pemberiannya : Bolus 0,5 -1
gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB,
setiap 6 jam selama 24 -48 jam. Monitor osmolalitas tidak
melebihi 310 mOSm.

9
- Loop diuretik (Furosemid)
Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat
pembentukan cairan serebrospinal dan menarik cairan
interstisial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan
manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek
osmotik serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/IV.
d) Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus -kasus yang tidak responsif
terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Cara
pemberiannya adalah bolus 10 mg/kgBB/IV selama 0,5 jam
dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada
kadar serum 3-4 mg dengan dosis sekitar 1 mg/kgBB/jam. Setelah
TIK terkontrol 20 mmHg selama 24-48 jam dosis diturunkan
bertahap selama 3 hari
e) Steroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan
tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu
sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala
f) Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya
ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada
pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau laterofleksi, supaya
pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena
otak menjadi lancar.
4) Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah
bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500 -2000
ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti
hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid
seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang
mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia

10
menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila
tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal
dan volume urine normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai
makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu
dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan elektrolit, pemasukan
cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik,
diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretichormone
(SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar elektrolit, gula
darah, ureum,kreatinin dan osmolalitas darah

11
BAB II
WEB OF CAUSATION (WOC)

A. Web Of Causation

Cidera Kepala Respon Biologi -TIK : Edema & Hematom


-Hipoxemia
-Kelainan Metabolisme
Cidera Otak Primer Cidera Otak Sekunder

Kontusio
Kerusakan sel otak
Laserasi

Gangguan Autoregulasi ↑ Rangsangan simpatis


Stress

↑ Tahanan vesikuler
Aliran darah ke otak Katekoalamin sekresi
sistematik td ↑
`` asam lambung
Gangguan Metabolisme Tekanan pemb darah pulmonal Mual, muntah

Tek. Hidrostatik Defisit Nutrisi


Asam Laktat
Kebocoran cairan Kapiler

Oedem Otak Cardiac output 


Oedema Paru

Disfusi O2 terhambat
Perfusi Jaringan Serebral
Perfusi Jaringan Perifer
Tidak Efektif
Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif
Tidak Efektif

Gambar 1.2 Web Of Causation (WOC)

12
BAB III
PROSES KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama,
pekerjaan, pendidikan, alamat, penanggung, no. RM, tanggal masuk
rumah sakit (MRS), diagnosa medis dan patient’s label.
b. Pengkajian primer
1) Airway
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat
disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula
atau maksila, fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat
dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan
memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh
dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher.
2) Breathing
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk
pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari
tubuh. Ventilasi yang baik meliputi:fungsi yang baik dari paru,
dinding dada dan diafragma.
3) Circulation
a) Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus
dianggap disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang
dalam hitungan detik dapat memberikan informasi
mengenai keadaan hemodinamik yaitu kesadaran, warna
kulit dan nadi

13
b) Kontrol Perdarahan
4) Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil.
5) Exposure
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa
jejas.

c. Pengkajian sekunder
1) Anamnesis
a) A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obatobatan,
plester, makanan)
b) M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum
seperti sedang menjalani pengobatan hipertensi, kencing
manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat.
c) P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti
penyakit yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya,
penggunaan obat-obatan herbal)
d) L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja
dikonsumsi, dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian,
selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini
e) E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan keluhan
(kejadian yang menyebabkan adanya keluhan utama).
d. Pemeriksaan fisik :
Pemeriksaan fisik mengacu pada pengkajian B1-B6 dengan
pengkajian fokus ditujukan pada gejala-gejala yang muncul akibat
cedera kepala berat. Keadaan umum pada keadaan cedera kepala
berat umumnya mengalami penurunan kesadaran. Adanya
perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi bradikardi dan hipotensi.

14
1) B1 (Breathing)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok
saraf parasimpatis klien mengalami kelumpuhan otot otot
pernapasan dan perubahan karena adanya kerusakan jalur
simpatetik desending akibat trauma pada tulangbelakang
sehingga mengalami terputus jaringan saraf di medula spinalis,
pemeriksaan fisik dari sistem ini akan didapatkan hasil sebagai
berikut inspeksi umum didapatkan klien batuk peningkatan
produksi sputum, sesak napas.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan syok
hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala berat.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan tekanan darah menurun nadi
bradikardi dan jantung berdebar-debar. Pada keadaan lainnya
dapat meningkatkan hormon antidiuretik yang berdampak pada
kompensasi tubuh
3) B3 (Brain)
Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi
serebral dan pengkajian saraf kranial. Pengkajian tingkat
kesadaran : tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap
lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi
sistem persyarafan. Pengkajian fungsi serebral : status mental
observasi penampilan, tingkah laku nilai gaya bicara dan
aktivitas motorik klien Pengkajian sistem motorik inspeksi
umum didapatkan kelumpuhan pada ekstermitas bawah, baik
bersifat paralis, dan paraplegia. Pengkajian sistem sensori
ganguan sensibilitas pada klien cedera kepala berat sesuai
dengan segmen yang mengalami gangguan
4) B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan karakteristik
urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan

15
peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya
perfusi pada ginjal.
5) B5 (Bowel)
Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan
adanya ileus paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya
bising usus, kembung,dan defekasi, tidak ada. Hal ini
merupakan gejala awal dari tahap syok spinal yang akan
berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.
6) B6 (Bone)
Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada
ketinggian lesi saraf yang terkena trauma. Gejala gangguan
motorik sesuai dengan distribusi segmental dari saraf yang
terkena.disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan dan
kelumpuhan.pada saluran ekstermitas bawah. Kaji warna kulit,
suhu, kelembapan, dan turgor kulit
e. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan diagnostik
a) X-ray/CT Scan : hematoma serebral, edema serebral,
perdarahan intracranial, fraktur tulang tengkorak
b) MRI : dengan/tanpa menggunakan kontras
c) Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi
serebral
d) EEG : memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis
e) BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan
fungsi korteks dan batang otak
f) PET (Positron Emission Tomography) : menunjukkan
perubahan aktivitas metabolisme pada otak
2) Pemeriksaan laboratorium
a) AGD : PO2, pH, HCO3 : untuk mengkaji keadekuatan
ventilasi (mempertahankan AGD dalam rentang normal

16
untuk menjamin aliran darah serebral adekuat) atau untuk
melihat masalah oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK
b) Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan
gangguan regulasi natrium, retensi Na berakhir dapat
beberapa hari, diikuti diuresis Na, peningkatan letargi,
konfusi dan kejang akibat ketidakseimbangan elektrolit.
c) Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum
d) CSS : menentukan kemungkinan adanya perdarahn
subarachnoid (warna, komposisi, tekanan)
e) Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang
mengakibatkan penurunan kesadaran
f) Kadar antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi
yang cukup efektif mengatasi kejang

17
B. Diagnosa Keperawatan dan Luaran Keperawatan
N Diagnosa Keperawatan (SDKI, 2017) Luaran Keperawatan (SLKI, 2017)
o
1 Bersihan jalan napas tidak efektif (D.0001) L.01001- Bersihan Jalan Nafas
Penyebab : Diharapkan bersihan jalan nafas meningkat kriteria hasil:
a. Spasme jalan napas. a. Batuk efektif meningkat
b. Hipersekresi jalan napas. b. Produksi sputum menurun
c. Disfungsi neuromuskuler. c. Dipsnea menurun
d. Benda asing dalam jalan napas. d. Frekuensi napas embaik
e. Adanya jalan napas buatan. e. Pola napas membaik
f. Sekresi yang tertahan.
g. Hiperplasia dinding jalan napas.
h. Proses infeksi .
i. Respon alergi.
j. Efek agen farmakologis (mis. anastesi)
2 Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif (D.0017) L.02014 - Perfusi Serebral
Faktor risiko Diharapkan perfusi serebral meningkat dengan kriteri hasil :
a. Keabnormalan masa protrombin dan/atau masa tromboplastin a. Tingkat kesadaran membaik
parsial b. Tidak ada sakit kepala
b. Penurunan kinerja ventikel kiri c. Tidak ada gelisah
c. Aterosklrosis aorta d. Tidak ada peningkatan tekanan intra kranial
d. Diseksi arteri
e. Fibrilasi atrium
3 D.0019 - Desifit nutrsisi L.03030 – Status Nutrisi
Penyebab Diharapkan status nutrisi membaik dengan kriteria hasil:
a. Ketidakmampuan menelan makanan a. Porsi makan yang dihabiskan meningkat
b. Ketidakmampuan mencerma makanan b. Kekuatan otot mengunyah meningkat
c. Ketidakmampuan mengabsorpsi nutrient c. Kekuatan otot menelan meningkat

18
d. Peningkatan kebutuhan metabolisme d. Serub albumin meningkat
e. Faktor ekonomi e. Verbalisasi keinganan untuk meningkatkan nutrisi
f. Faktor psikologis f. Pengetahuan tentang pilihan makanan yang sehat meningkat
g. Pengetahuan tentang standar asupan nutrisi yang tepat
meningkat
4 D.0015 – Perfusi perifer tidak efektif L.02011-Perfusi Perifer
Penyebab Diharapkan perfusi perifer meningkat dengan kriterias hasil:
a. Hiperglikemia a. Kekuatan nadi perifer meningkat
b.Peningkatan tekanan darah b. Penyembuhan meningkat
c. Punurunan konsentrasi c. Sensasi meningkat
hemoglobin d. Warna kulit pucat menurn
d.Kurang aktifitas fisik e. Nyeri ekstremitas menurun
e. Kekurangan volume carian f. Nekrosis menurun
g. Akral membaik
h. Turgor kulit membaik

19
C. Intervensi keperawatan
No Diagnosa (SDKI) Tujuan Luaran Keperawatan (SLKI) Intervensi keperawatan (SIKI)
1 Bersihan jalan napas tidak L.01001- Bersihan Jalan Nafas Menejemen Jalan Napas (I. 01011)
efektif Diharapkan bersihan jalan nafas 1. Observasi
meningkat kriteria hasil: a. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman,
a. Batuk efektif meningkat usaha napas)
b. Produksi sputum menurun b. Monitor bunyi napas tambahan (mis.
c. Dipsnea menurun Gurgling, mengi, weezing, ronkhi kering)
d. Frekuensi napas embaik c. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
b. Pola napas membaik 2. Terapeutik
a. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan
head-tilt dan chin-lift (jaw-thrust jika curiga
trauma cervical)
b. Posisikan semi-Fowler atau Fowler
c. Berikan minum hangat
d. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
e. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15
detik
f. Lakukan hiperoksigenasi sebelum
g. Penghisapan endotrakeal
h. Keluarkan sumbatan benda padat dengan
forsepMcGill
i. Berikan oksigen, jika perlu
3. Edukasi
a. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika
tidak kontraindikasi.
b. Ajarkan teknik batuk efektif
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu

20
2 Risiko Perfusi Serebral L.02014 - Perfusi Serebral 1. Manajemen peningkatan
Tidak Efektif (D.0017) Diharapkan perfusi serebral meningkat tekanan intrakaranial Observasi
Faktor risiko dengan kriteri hasil : a. Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis. Lesi,
a. Keabnormalan masa e. Tingkat kesadaran membaik gangguan metabolisme, edema serebral)
protrombin dan/atau masa f.Tidak ada sakit kepala b. Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK (mis.
tromboplastin parsial g. Tidak ada gelisah Tekanan darah meningkat, bradikardi, pola napas
b. Penurunan kinerja h. Tidak ada peningkatan tekanan intra ireguler, kesadaran menurun)
ventikel kiri kranial c. Monitor status pernapasan monitor MAP (mean
c. Aterosklrosis aorta arterial pressure
d. Diseksi arteri d. Monitor CVP (central venuos pressure), JIKA
e. Fibrilasi atrium PERLU
e. Monitor PAWP, jika perlu
f. Monitor PAP, jika perlu
g. Monitor ICP (intra cranial pressure)
h. Monitor glombang icp
Terapeutik
a. Minimalkan stimulus dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
b. Berikan posisi semiflower
c. Cegah terjadinya kejang
d. Pertahankan suhu tubh normal
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konsulvan ,
jika perlu
b. Kolaborasi pemberian diuretik osmosis,jika perlu
Kolaborasi pemberian pelunak tinja
3 Desifit nutrsisi Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Manajemen nutrisi
Penyebab diharapkan status nutrisi membaik dengan Observasi
a. Ketidakmampuan kriteria hasil : a. Identifikasi status nutrisi
menelan makanan a. Porsi makan yang dihabiskan b. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
b. Ketidakmampuan meningkat c. Identifikasi makanan yang disukai

21
mencerma makanan b. Kekuatan otot mengunyah meningkat d. Identifikasi kebuthan kalori dan jenis nutrien
c. Ketidakmampuan c. Kekuatan otot menelan meningkat e. Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastik
mengabsorpsi nutrient d. Serub albumin meningkat f. Monitor asupan makanan
d. Peningkatan kebutuhan e. Verbalisasi keinganan untuk g. Monitor berat badan
metabolisme meningkatkan nutrisi h. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
e. Faktor ekonomi f. Pengetahuan tentang pilihan makanan Terapeutik
f. Faktor psikologis yang sehat meningkat a. Lakukan oral hygiene sebelum makan
g. Pengetahuan tentang standar asupan b. Fasilitasi menentukan pedoman diet
nutrisi yang tepat meningkat c. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang
h. Penyiapan dan penyimpanan minuman sesuai
yang aman d. Berikan makanan tinggi erat untuk mencegah
konstipasi
e. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
f. Berikan suplemen makanan
g. Hentikan pemberian makan melalui selang
nasogatrik jika asupan oral dapat ditoleransi
Edukasi
a. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
b. Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan
b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetukan
jumlah kalori dan jenis nutrien yang di butuhkan
2. Promosi barat badan
Observasi
i. Identifikasi kemungkinan penyebab BB kurang
j. Monitor adanya mual dan muntah
k. Monitor jumlah kalori yang dikonsumsi sehari-hari
l. Monitor berat badan
m. Monitor albumin, limfosit dan elektrolit serum

22
Terapeutik
a. Berikan perawtaan mulut sebelum pemberian
makan
b. Sediakan makanan yang tepat sesuai kondisi pasien
c. Hidangkan makanan secara menarik
d. Berikan suplemen
e. Berikan pujian pada pasien/keluarga untuk
peningkatan yang dicapai
Edukasi
a. Jelaskan jenis makanan yang bergizi tinggi, namun
tetap terjangkau
b. Jelaskan peningkatan asupan kalori yang
dibutuhkan
4 D.0015 – Perfusi perifer L.02011-Perfusi Perifer Perawatan Sirkulasi (I.02079)
tidak efektif Diharapkan perfusi perifer meningkat 1. Observasi
dengan kriterias hasil: a. Periksa sirkulasi perifer(mis. Nadi perifer,
i. Kekuatan nadi perifer meningkat edema, pengisian kalpiler, warna, suhu, angkle
j. Penyembuhan meningkat brachial index)
k. Sensasi meningkat b. Identifikasi faktor resiko gangguan
l. Warna kulit pucat menurn sirkulasi (mis. Diabetes, perokok, orang tua,
m. Nyeri ekstremitas menurun hipertensi dan kadar kolesterol tinggi)
n. Nekrosis menurun c. Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau
o. Akral membaik bengkak pada ekstremitas
p. Turgor kulit membaik 2. Terapeutik
a. Hindari pemasangan infus atau pengambilan
darah di area keterbatasan perfusi
b. Hindari pengukuran tekanan darah pada
ekstremitas pada keterbatasan perfusi
c. Hindari penekanan dan pemasangan torniquet
pada area yang cidera
d. Lakukan pencegahan infeksi

23
e. Lakukan perawatan kaki dan kuku
f. Lakukan hidrasi
3. Edukasi
a. Anjurkan berhenti merokok
b. Anjurkan berolahraga rutin
c. Anjurkan mengecek air mandi untuk
menghindari kulit terbakar
d. Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan
darah, antikoagulan, dan penurun kolesterol,
jika perlu
e. Anjurkan minum obat pengontrol tekakan
darah secara teratur
f. Anjurkan menghindari penggunaan obat
penyekat beta
g. Ajurkan melahkukan perawatan kulit yang
tepat(mis. Melembabkan kulit kering pada
kaki)

h. Anjurkan program rehabilitasi vaskuler

24
D. Aplikasi Pemikiran Kritis dalam Asuhan Keperawatan
1. Definisi
Posisi head up tiga puluh derajat adalah cara memposisikan kepala
seseorang lebih tinggi sekitar tiga puluh derajat dari tempat tidur dengan posisi
tubuh sejajar dan kaki lurus atau tidak menekuk. Posisi head-up tiga puluh
derajat bertujuan untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi di otak sehingga
menghindari terjadinya hipoksia pasien dan tekanan intrakarnial menjadi stabil
dalam batas normal. Selain itu, posisi ini lebih efektif untuk mempertahankan
tingkat kesadaran karena sesuai dalam posisi anatomis dari tubuh manusia yang
kemudian mempengaruhi hemodinamik pasien (Alfandi, 2020)
2. Etiologi
Cedera kepala merupakan salah satu kegawat daruratan yang banyak
mengancam jiwa, maka dari itu harus ditangani dengan tepat dan cepat. Penanganan
awal dapat meminimalisir seorang pasien terkena cedera kepala sekunder. Ada
banyak cara untuk melalukan penanganan pasien dengan cedera kepala diantaranya
dengan menjaga jalan nafas. Salah satu cara untuk menjaga jalan nafas adalah
dengan pemberian terapi oksigenasi. Oksigen merupakan komponen gas dan unsur
vital dalam proses metabolisme, untuk mempertahankan kelangsungan hidup
seluruh sel. Elemen ini diperoleh dengan cara menghirup udara setiap kali bernafas.
Penyampaian oksigen kejaringan tubuh ditentukan oleh interaksi sistem respirasi,
kardiovaskuler dan hematologi. Kekurangan oksigen ditandai dengan keadaan
hipoksia, dalam proses lanjut menyebabkan kematian jaringan dan dapat
mengancam kehidupan (Wahidin & Supraptini, 2020)
3. Inovasi
Posisi head up 30 derajat merupakan posisi menaikkan kepala dari
tempat tidur dengan sudut sekitar 30 derajat dan posisi badan sejajar dengan
kaki. Posisi head up 30 derajat memiliki manfaat untuk menurunkan tekanan
intrakranial pada pasien cedera kepala. Prosedur kerja pengaturan posisi head up
30 derajat adalah sebagai berikut (Kusuma & Anggraeni, 2019)
a. Meletakkan posisi pasien dalam keadaan terlentang

25
b. Mengatur posisi kepala lebih tinggi dan tubuh dalam keadaan datar
c. Kaki dalam keadaan lurus dan tidak fleksi
d. Mengatur ketinggian tempat tidur bagian atas setinggi 30 derajat.
4. Dampak
Posisi head up 30 derajat merupakan posisi menaikkan kepala dari
tempat tidur dengan sudut sekitar 30 derajat dan posisi badan sejajar dengan
kaki. Posisi head up 30 derajat memiliki manfaat untuk menurunkan tekanan
intrakranial pada pasien cedera kepala. Selain itu posisi tersebut juga dapat
meningkatkan oksigen ke otak. Hal ini akan menambah rileks serta
memindahkan fokus perhatian pada nyeri yang dialami seseorang. Sehingga
muncul kenyaman yang berdampak pada nyeri yang berkurang Hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam pengaturan posisi head up 30 derajat adalah fleksi,
ekstensi dan rotasi kepala akan menghambat venous return sehingga akan
meningkatkan tekanan perfusi serebral yang akan berpengaruh pada peningkatan
TIK (Kusuma & Anggraeni, 2019)
Selain itu posisi tersebut juga dapat meningkatkan oksigen ke otak.
Posisi head up 300 perfusi dari dan ke otak meningkat sehingga kebutuhan
oksigen dan metabolisme meningkat ditandai dengan peningkatan status
kesadaran diikuti oleh tanda-tanda vital yang lain. 2 responden memiliki pupil
tidak normal (anisokor, reaksi+/+), kemungkinan terjadi penekanan terhadap
saraf. okulomotor ipsilateral akibat edema serebri post optrepanasi. Pasien
dengan hematoma yang besar yang memberikan efek massa yang besar dan
gangguan neurologis. Otak yang normal memiliki kemampuan autoregulasi,
yaitu kemampuan organ mempertahankan aliran darah meskipun terjadi
perubahan sirkulasi arteri dan tekanan perfusi. Autoregulasi menjamin aliran
darah yang konstan melalui pembuluh darah serebral diatas rentang tekanan
perfusi dengan mengubah diameter pembuluh darah dalam merespon perubahan
tekanan arteri. Pada klien dengan gangguan autoregulasi, beberapa aktivitas
yang dapat meningkatkan tekanan darah seperti batuk, suctioning, dapat
meningkatkan aliran darah otak sehingga juga meningkatkan tekanan TIK
(Wahidin & Supraptini, 2020)

26
5. Referensi
Alfandi, M. (2020). Penerapan evidenbase pemberian posisi head up tiga puluh
derajat terhadap penurunan nyeri kepalapada ny.r Dengan cedera kepala
ringan di ruang igdrsud Dr. Achmad mochtarbukittinggi Tahun 2020.
Kusuma, A. H., & Anggraeni, A. D. (2019). Pengaruh Posisi Head Up 30
Derajat Terhadap Nyeri Kepala Pada Pasien Cedera Kepala Ringan. Jurnal
Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan, 10, 417–422.
Wahidin, & Supraptini, N. (2020). Penerapan Teknik Head Up 30° Terhadap
Peningkatan Perfusi Jaringan Otak Pada Pasien Yang Mengalami Cedera
Kepala Sedang. Nursing Science Journal (NSJ), 1, 7–13.

27
DAFTAR PUSTAKA

Alfandi, M. (2020). Penerapan evidenbase pemberian posisi head up tiga puluh derajat
terhadap penurunan nyeri kepalapada ny.r Dengan cedera kepala ringan di ruang
igdrsud Dr. Achmad mochtarbukittinggi Tahun 2020.
Hariyani, V. (2015). Asuhan Keperawatan Pada Ny. C Dengan Cidera Kepala Berat
(Ckb) Di Instlasai Gawat Darurat (Igd) RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Kusuma, A. H., & Anggraeni, A. D. (2019). Pengaruh Posisi Head Up 30 Derajat
Terhadap Nyeri Kepala Pada Pasien Cedera Kepala Ringan. Jurnal Ilmu
Keperawatan Dan Kebidanan, 10, 417–422.
Mendonsa, J. D. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Sdr. P.P Dengan Cedera Kepala
Sedang Di Ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Prof. Dr. W. Z. Johannes
Kupang.
Rusdiana, A. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Tn Y. T. Dengan Cedera Kepala Berat
Di Ruangan Kelimutu Rsud. Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang.
Sari, D. D. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Tn ”A” Dengan Kasus : Cedera Kepala
Berat Di Ruang Igd Rsud H.Hanafie Muara Bungo Tahun 2019.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Edisi
1. Jakarta : PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta : PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta : PPNI.
Wahidin, & Supraptini, N. (2020). Penerapan Teknik Head Up 30° Terhadap
Peningkatan Perfusi Jaringan Otak Pada Pasien Yang Mengalami Cedera Kepala
Sedang. Nursing Science Journal (NSJ), 1, 7–13.

28

Anda mungkin juga menyukai