Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

KEGAWATDARURATAN STATUS KONVULSI PADA AN. A


DI RUMAH SAKIT GAMBIRAN KOTA KEDIRI

Disusun Oleh :
Murniningtyas Putri Ratna Siwi
(10216023)

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KEDIRI
2020
Laporan Pendahuluan

A. Pengertian
Kejang adalah kedaruratan neurologi yang sering dijumpai di
ruang gawat darurat. Hampir 5% anak berumur dibawah 16 tahun
setidaknya pernah mengalami kejang selama hidupnya. Sebanyak
21% kejang pada anak terjadi pada satu tahun pertama kehidupan,
sedangkan 64% dalam lima tahun pertama (Marmi, 2011).
Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan
sementara sebagai akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal
dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan (Sodikin, 2012).
Status konvulsivus adalah kejang konvulsif yang berlangsung
lebih dari 30 menit atau kejang berulang selama lebih dari 30 menit
(Riyandi, 2013).
B. Klasifikasi
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) kejang
diklasifikasikan menjadi 2 yaitu :
1. Kejang parsial ( fokal, lokal )
a. Kejang parsial sederhana
Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih
hal berikut ini :
1) Tanda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah
satu sisi tubuh; umumnya gerakan setipa kejang sama.
2) Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka
merah, dilatasi pupil.
3) Gejala somatosensoris atau sensoris khusus: mendengar
musik, merasa seakan ajtuh dari udara, parestesia.
4) Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.
b. Kejang parsial kompleks
1) Terdapat gangguankesadaran, walaupun pada awalnya
sebagai kejang parsial simpleks
2) Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik :
mengecap-ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan
menongkel yang berulang-ulang pada tangan dan gerakan
tangan lainnya.
3) Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku
2. Kejang umum (konvulsi atau non konvulsi)
a. Kejang absens
1) Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
2) Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya
berlangsung kurang dari 15 detik.
3) Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada
dan konsentrasi penuh
b. Kejang mioklonik
1) Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok
otot yang terjadi secara mendadak.
2) Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila
patologik berupa kedutan keduatn sinkron dari bahu,
leher, lengan atas dan kaki.
3) Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi
dalam kelompok
4) Kehilangan kesadaran hanya sesaat.
c. Kejang tonik klonik
1) Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik,
kaku umum pada otot ekstremitas, batang tubuh dan
wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit
2) Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
3) Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
4) Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal
d. Kejang atonik
1) Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat
menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk,atau
jatuh ke tanah.
2) Singkat dan terjadi tanpa peringatan.
C. Etiologi
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) (2013)
penyebab terjadinya kejang antara lain:
1. Suhu tubuh yang tinggi
2. Cidera Kepala
3. Pendarahan intracranial
4. Tumor otak
5. Bawaan sejak lahir yang disebabkan karena adanya kelianan
saraf pusat.
6. Infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti otitis
media akut, meningitis, ensefalitis, shigellosis bronkitis dan
tonsilitis.
7. Obat-obatan ketidakseimbangan kimiawi seperti hiperglikemi,
asidosis, demam, patologis otak dan eklamsia (ibu yang
mengalami hipertensi prenatal)
8. Penyakit infeksi tertentu seperti DHF, demam tifoid dan
paratifoid, dyspepsia, cidera intracranial, infeksi saluran
pernafasan atas dan pneominia.
9. Masalah-masalah gangguan metabolik seperti hipoglikemia,
hiponatremia, hipoksemia, hipokalsemia, gangguan elektrolit
atau dehidrasi, defisiensi piridoksin, gagal ginjal, gagal hati,
kelainan metabolic bawaan.
D. Manifestasi klinis
Djamaludin (2010), menjelaskan bahwa tanda pada anak yang
mengalami kejang adalah sebagai berikut:
1. Suhu badan tinggi mencapai ±39 derajat Celcius.
2. Kehilangan kesadaran
3. Kadang-kadang napas dapat terhenti beberapa saat (apneu)
4. Tubuh termasuk tangan dan kaki jadi kaku, kepala terkulai ke
belakang disusul munculnya gejala kejut yang kuat.
5. Warna kulit berubah pucat bahkan kebiruan dan bola mata naik
ke atas.
6. Gigi terkatup dan terkadang disertai muntah
7. Napas dapat berhenti selama beberapa saat
8. Tidak dapat mengontrol untuk buang air besar atau kecil.
E. Patofisiologi
Ngastiyah (2014), menjelaskan bahwa untuk mempertahankan
kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan energi yang
didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak
terpenting adalah glukosa. Sifat proses ini adalah oksidasi dengan
perantara fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui
kardiovaskular. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa sumber
energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipercah
menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri
dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik.
Dalam keadaan normal membran sel neoron dapat dilalui dengan
mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan
elektrolit lainnya kecuali ion klorida. Akibatnya konsentrasi kalium
dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah, sedangkan
di luar sel terdapat keadaan sebaliknya. Pada keadaan demam
kenaikan suhu 1 derajat Celcius akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basar 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat
20%. Oleh karena itu, kenaikan suhu tubuh dapat mengubah
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang
singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui
membran tersebut dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas
ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan
bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadi kejang.
Faktor genetik merupakan peran utama dalam ketentanan
kejang dan dipengaruhi oleh usia dan metoritas otak. Kejang
demam yang berlangsung lebih dari 15 menit biasanya disertai
apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan akhirnya terjadi
hipoksemia., hiperkapnia, asidodosis laktat disebabkan oleh
matabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung
yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang
disebabkan makin meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otot meningkat. Hal ini mengakibatkan
terjadinya kerusakan pada neuron dan terdapat gangguan perederan
darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggalkan
permeabilitas kapiler dan timbul edema otak. Kerusakan pada
daerah medial lobus temporalis setelah mendapatkan serangan
kejang sedang berlangsung lama di kemudian hari sehingga terjadi
serangan epilepsi yang spontan. Pasien epilepsy umum
pembentukan gelombang paku-ombak terjadi pada struktur korteks.
Terdapat penyebaran cepat proses eksitasi (spike) dan inhibisi
(gelombang ombak) pada kedua hemisfer otak melalui jaras
kortikoretikular dan talamokortikal. Status konvulsivus terjadi
akibat proses eksitasi yang berlebihan berlangsung terus menerus
yang diikuti oleh proses inhibisi yang tidak sempurna (Nurindah ,
2014).
F. Komplikasi
1. Neurotoksisitas
Kejang menyebabkan kebutuhan metabolic sel neuron
meningkat. Bila status konvulsivus berlangsung lebih dari 60
menit, akan terjadi kerusakan neuron.
2. Sistemik
 Aritmia jantung dan gagal jantung akibat peningkatan output
 Hipoksia: edema paru dan aspirasi
 Demam
 Hipoglikemia, hiperkalemia
 Rhabdomyolisis, myoglobulinuria
G. Penatalaksanaan
Umumnya kejang tonik klonik berhenti spontan dalam 5 menit.
Bila kejang tidak berhenti dalam 5 menit, maka kejang cenderung
berlangsung lama. Status konvulsivus adalah kejang konvulsif
yang berlangsung lebih dari 30 menit atau kejang berulang selama
lebih dari 30 menit; selama kejang pasien tidak sadar. Status
konvulsivus pada anak merupakan kegawatan yang mengancam
jiwa dengan resiko terjadinya gejala sisa neurologis.
Sebelum memberantas kejang tidak boleh dilupakan perlunya
pengobatan penunjang:
1. Semua pakaian ketat dibuka.
2. Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi
lambung.
3. Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan
oksigen, bila perlu dilakukan intubasi atau trakeostomi.
4. Penghisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan
oksigen.
5. Beri penahan gigi supaya tidak tergigit.
Langkah-langkah penanganan kejang terbagi atas tatalaksana
fase akut dan pengobatan jangka panjang meliputi:
1. Fase akut: penghentian kejang
1.5 menit:
 Yakinkan bahwa aliran udara pernapasan baik.
 Monitor tanda vital, berikan oksigen, pertahankan perfusi
oksigen ke jaringan.
 Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah,
pemeriksaan umum, dan neurologis secara cepat.
 Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan infeksi.
5.10menit:
 Pemasangan akses intravena
 Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah perifer
lengkap, glukosa, dan elektrolit.
 Pemberian diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB secara intravena
(kecepatan 5 mg/menit), atau dapat diberikan diazepam
rectal 0,5 mg/kgBB (untuk berat bedan < 10 kg diberikan 5
mg, bila berat badan > 10 kg diberikan 10 mg, dosis
maksimal 10 mg/kali).
 Atau dapat diberikan lorazepam 0,05-0,1 mg/kgBB
intravena (maksimum 4 mg). alternative lain adalah
midazolam 0,05-0,1 mg/kgBB intravena. Pemeberian
diazepam intravena atau rectal dapat diulang 1-2 kali
setelah 5-10 menit, lorazepam 0,1 mg/kgBB dapat diulang
sekali setelah 10 menit.
 Jika didapatkan hipoglikemia, berikan cairan dekstrosa
25% 2 ml/kgBB.
10.15 menit:
 Cenderung menjadi status konvulsivus
 Berikan fenitoin 15-20 mg/kgBB intravena diencerkan
dengan NaCl 0,9% diberikan dengan kecepatan 25-50 mg/
menit.
 Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5-10 mg/kgBB,
sampai maksimum dosis 30 mg/kgBB.
Lebih dari 30 menit:
 Pemberian antikonvulsan masa kerja panjang (long acting)
 Fenobarbital 10 mg/kgBB intravena bolus perlahan-lahan
dengan kecepatan 100 mg/ menit. Dapat diberikan dosis
tambahan 5-10 mg/kgBB dengan interval 10-15 menit.
 Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan meliputi
analisis gas darah, elektrolit, gula darah. Koreksi kelainan
yang ada. Awasi tanda-tanda depresi pernapasan.
 Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim
ke Unit perawatan intensif. Berikan fenobarbital 5-8
mg/kgBB secara bolus intravena, diikuti rumatan
fenobarbital drip dengan dosis 3-5 mg/kgBB/jam
Penanganan pada pasien dengan status konvulsivus tidak
hanya bertujuan untuk mengentikan kejang, tetapi juga
mencegah terjadinya komplikasi sistemik yang timbul pasca
status konvulsivus. Pengenalan dini, intervensi yang adekuat,
dan pencegahan komplikasi penting untuk prognosis pasien.
Pada kejang lama dapat terjadi hipoksia terjadi akibat
gangguan ventilasi, sekresi air liur dan sekret trakeobronkial
yang berlebihan, serta peningkatan kebutuhan oksigen.
2. Pengobatan Jangka Panjang
Pengobatan pada pasien yang mengalami kejang simtomatik
akut ditujukan pada faktor penyebab. Apabila faktor penyebab
dapat segera diobati, maka tidak diperlukan pemberian obat
antiepilepsi jangka panjang. Risiko berulangnya kejang terjadi
dalam satu tahun pertama, khususnya dalam 3 bulan pertama.
Bila selama 3 bulan pertama tanpa pengobatan tidak didapatkan
kejang, maka pasien tidak memerlukan pengobatan jangka
panjang.
H. PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSTIK
1. Elektroensefalogram (EEG): dipakai untuk membantu
menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
2. CT scan : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dari
biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. Magneti resonance imaging (MRI): menghasilkan bayangan
dengan menggunakan lapanganmagnetik dan gelombang radio,
berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak
jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT
4. Pemindaian positron emission tomography (PET): untuk
mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu
menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah
dalam otak.
5. Uji laboratorium
a. Glukosa Darah: Hipoglikemia merupakan predisposisi
kejang (N < 200 mq/dl).
b. BUN: Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan
merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
c. Elektrolit: K (kalium) , Na (natrium)
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi
kejang.
I. Askep Teori
1. PENGKAJIAN
Pengkajian yang sistematis meliputi pengumpulan data,
analisa data dan penentuan masalah. Pengumpulan data
diperoleh dengan cara intervensi, observasi, psikal assesment.
a. Identitas
Identitas pasien meliputi: nama, jenis kelamin, umur,
pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, agama,
kebangsaan, suku, alamat, tanggal dan jam MRS, no register,
serta identitas yang bertanggung jawab.
b. Keluhan utama
Pada umumnya pasien panas yang meninggi disertai kejang.
c. Riwayat penyakit sekarang
Menanyakan tentang keluhan yang dialami sekarang mulai
dari panas, kejang, kapan terjadi, berapa kali, dan keadaan
sebelum, selama dan setelah kejang.
d. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang diderita saat kecil seperti batuk, pilek, panas.
pernah dirawat dimana, tindakan apa yang dilakukan,
penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur
berapa saat kejang.
e. Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan pada keluarga pasien tentang apakah didalam
keluarga ada yang menderita penyakit yang diderita oleh
pasien seperti kejang atau epilepsi.
f. Pemeriksaan fisik
1) B1 (Breath) : Keadaan umum tampak lemah, tampak
peningkatan frekuensi nafas sampai terjadi gagal
nafas.Dapat terjadi sumbatan jalan nafas akibat
penumpukan secret.
2) B2 (Blood) : TD normal, nadi, perfusi, crt<2" , suhu
panas, kemungkinan terjadi gangguan hemodinamik.
3) B3 (Brain): Kesadaran komposmentis sampai koma.
4) B4 (Bladder): monitor produksi urine dan
warnanya(jernih,pekat).
5) B5 (Bowel): Inspeksi : tampak normal, auskultasi :
terdengar suara bising usus normal, palpasi : turgor kulit
normal, perkusi : tidak ada distensi abdomen.
6) B6 (Bone): pada kasus kejang demam tidak ditemukan
kelainan tulang akan tetapi saat kejang berlangsung akan
terdapat beberapa otot yang mengalami kejang.
g. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
a) Darah lengkap
b) Urine lengkap
c) Serum elektrolit
2) EEG: didapatkan gelombang abnormal berupa
gelombang-gelombang lambat fokal bervoltase tinggi,
kenaikan aktivitas delta, relatif dengan gelombang tajam
(Soetomenggolo, 1989)
3) CT Scan: pada pemeriksaan ini dapat menunjukan adanya
lesi pada daerah kepala.
h. Terapi
1) Bebaskan jalan napas
2) Berikan oksigenasi
3) Berikan posisi sligh head up 300
4) Pasang IV line
5) Pemberiap terapi sesuai advis dokter
6) Longgarkan pakaian yang dipakai oleh pasien
2. Diagnosa
a. Pola nafas tidak efektif b.d gangguan neurologis kejang
b. Hipertermi b.d peningkatan laju metabolisme akibat aktivitas
otot yang berlebih
c. Resiko Aspirasi b.d penurunan tingkat kesadaran.
d. Resiko cedera b.d penurunan fungsi psikomotor
3. Intervensi
a) Dx: Pola nafas tidak efektif b.d gangguan neurologis kejang
Tujuan: Inspirasi dan atau ekspirasi yang memberikan
ventilasi adekuat.
KH: Ventilasi semenit cukup meningkat, kapasital vital
cukup meningkat, depsneu menurun, pemanjangan fase
ekspirasi menurun, frekuensi nafas membaik, kedalaman
nafas membaik.
Rencana tindakan:
 Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas).
 Monitor bunyi nafas tambahan (mis. gurgling, mengi,
wheezing).
 Monitor sputum (jumlah,warna, aroma).
 Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan
chin-lift.
 Posisikan semi-flower atau flower.
 Berikan oksigenasi (Mis. Nasal canul, simple mark,
ETT)
 Monitor posisi selang endrotrakeal (ETT), terutama
setelah mengubah posisi.
 Monitor tekanan balon ETT setiap 4-8 jam.
 Kurangi tekanan balon secara periodic tiap shift.
 Pasang oropharyngeal airway (OPA) untuk mencegah
ETT tergigit.
 Cegah ETT terlipat.
 Berikan pre-oksigenasi 100% selama 30 detik (3-6 kali
ventilasi) sebelum dan setelah penghisapan.
 Berikan volume pre oksigenasi (bagging atau ventilasi
mekanik) 1,5 kali volume tidal.
 Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik.
 Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan
endotrakeal.
 Ganti fiksasi ETT setiap 24 jam.
 Lakukan perawatan mulut.
 Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep MCgill.
 Jelaskan pasien dan keluarga tujuan dan prosedur
pemasangan jalan nafas buatan.
 Kolaborasikan pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik.
b) Dx: Hipertermi b.d peningkatan laju metabolisme akibat
aktivitas otot yang berlebih
Tujuan: pengaturan suhu tubuh agar tetap berada pada
rentang normal.
KH: menggigil menurun, kejang menurun, suhu tubuh
membaik, suhu kulit membaik, tekanan darah cukup
membaik, ventilasi membaik.
Rencana tindakan:
 Identifikasi penyebab hipertermi.
 Monitor suhu tubuh.
 Monitor kadar elektrolit.
 Monitor keluaran urine.
 Monitor komplikasi akibat hipotermi.
 Sediakan lingkungan yang dingin.
 Longgarkan atau lepaskan pakaian.
 Basahi dan kipasi permukaan tubuh.
 Berikan cairan oral.
 Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami
hyperhidrosis (keringat berlebih).
 Lakukan pendinginan eksternal (kompres dingin pada
dahi, leher, dada, abdomen, aksila).
 Hindari pemberian antipiretik dan aspirin
 Anjurkan tirah baring
 Kolaborasikan pemberian cairan dan elektrolit intravena.
c) Dx: Resiko aspirasi b.d penurunan tingkat kesadaran
Tujuan: Masuknya partikel cairan atau padat ke dalam paru-
paru dapat dicegah.
KH: Tingkat kesadaran meningkat, kemampuan menelan
meningkat, kebersihan mulut meningkat, dispneu menurun,
akumulasi skret menurun, frekuensi nafas membaik.
Rencana tindakan:
 Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)
 Monitor bunyi nafas tambahan (mis. gurgling, mengi,
wheezing)
 Monitor sputum (jumlah,warna, aroma)
 Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan
chin-lift
 Posisikan semi-flower atau flower
 Berikan minuman hangat
 Lakukan fisioterapi dada
 Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
 Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan
endotrakeal
 Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep MCgill
 Berikan oksigen
 Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak ada
kontraindikasi
 Ajarkan teknik batuk efektif
 Kolaborasikan pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik.
d) Dx: Resiko cedera b.d penurunan fungsi psikomotor
Tujuan: resiko cedera dapat dicegah
KH: toleransi aktifitas meningkat, nafsu makan meningkat,
kejadiian cedera menurun, frekuensi nafas membaik,
tekanan darah membaik, frekuensi nadi membaik, pola tidur
membaik.
Rencana Tindakan:
 Identifikasi kebutuhan keselamatan (mis. Kondisi fisik,
fungsi kognitif, dan riwayat perilaku).
 Monitor perubahan status keselamatan lingkungan.
 Hilangkan bahaya keselamatan lingkungan (mis. Fisik,
biologi dan kimia).
 Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan
resiko.
 Sediakan alat bantu keamanan lingkungan (mis.
Commode chair dan pegangan tangan).
 Gunakan perangkat pelindung.
 Fasilitasi relokasi ke lingkungan yang aman.
 Monitor terjadinya kejang berulang.
 Monitor karakterisktik kejang.
 Monitor status neurologis.
 Monitor TTV.
 Baringkan pasien agar tidak terjatuh.
 Berikan alas empuk dibawah kepala.
 Pertahankan kepatenan jalan nafas.
 Longgarkan pakaian terutama dibagian leher.
 Damping selama periode kejang.
 Jauhkan benda-benda berbahaya terutama benda tajam.
 Reorientasikan setelah periode kejang.
 Dokumetasikan periode terjadinya kejang.
 Pasang akses IV
 Berikan oksigenasi
 Lakukan program skrining bahaya lingkungan
 Anjurkan keluarga menghindari memasukan apapun
kedalam mulut pasien saat terjadi kejang.
 Anjurkan keluarga tidak menggunakan kekerasan untuk
menahan gerakan pasien.

Anda mungkin juga menyukai