Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

KONVULSI

DISUSUN OLEH :
DAFFA ANDHIKA DHARMA PUTRA
20.0601.0040

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
TAHUN 2022
A. Pengertian
Kejang adalah kedaruratan neurologi yang sering dijumpai di ruang
gawat darurat. Hampir 5% anak berumur dibawah 16 tahun setidaknya
pernah mengalami kejang selama hidupnya. Sebanyak 21% kejang pada
anak terjadi pada satu tahun pertama kehidupan, sedangkan 64% dalam
lima tahun pertama (Marmi, 2011).
Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara
sebagai akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik
serebral yang berlebihan (Sodikin, 2012).
Status konvulsivus adalah kejang konvulsif yang berlangsung lebih
dari 30 menit atau kejang berulang selama lebih dari 30 menit (Riyadi,
2013).
B. Klasifikasi
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) kejang
diklasifikasikan menjadi 2 yaitu :
1. Kejang parsial ( fokal, lokal )
a. Kejang parsial sederhana
Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal
berikut ini :
1) Tanda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi
tubuh; umumnya gerakan setipa kejang sama.
2) Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka
merah, dilatasi pupil.
3) Gejala somatosensoris atau sensoris khusus: mendengar musik,
merasa seakan ajtuh dari udara, parestesia.
4) Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.
b. Kejang parsial kompleks
1) Terdapat gangguankesadaran, walaupun pada awalnya
sebagai kejang parsial simpleks
2) Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik :
mengecap-ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel
yang berulang-ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
3) Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku
2. Kejang umum (konvulsi atau non konvulsi)
a. Kejang absens
1) Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
2) Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya
berlangsung kurang dari 15 detik.
3) Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan
konsentrasi penuh
b. Kejang mioklonik
1) Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok
otot yang terjadi secara mendadak.
2) Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila
patologik berupa kedutan keduatn sinkron dari bahu,
leher, lengan atas dan kaki.
3) Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi
dalam kelompok
4) Kehilangan kesadaran hanya sesaat.
c. Kejang tonik klonik
1) Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik,
kaku umum pada otot ekstremitas, batang tubuh dan
wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit
2) Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
3) Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
4) Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal
d. Kejang atonik
1) Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat
menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk,atau
jatuh ke tanah.
2) Singkat dan terjadi tanpa peringatan.

C. Etiologi
Menurut Khair (2018), penyebab konvulsi antara lain :
1. Demam itu sendiri
Demam yang disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis
media, pneumonia, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih,
kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi.
2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme
3. Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi
4. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit
5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan, yang tidak
diketahui atau enselofati toksik sepintas
6. Kejang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi patologis, termasuk
tumor otak, trauma, bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis,
gangguan elektrolit, dan gejala putus alkohol dan obat gangguan
metabolik, uremia, overhidrasi, toksik subcutan dan anoksia
serebral.
Sebagian konvulsi merupakan idiopati (tidak diketahui etiologinya).
1. Intrakranial
Asfiksia : Ensefolopati hipoksik – iskemik
Trauma (perdarahan) : perdarahan subaraknoid, subdural, atau intra
ventricular
Infeksi : Bakteri, virus, parasit
Kelainan bawaan : disgenesis korteks serebri, sindrom zelluarge,
Sindrom Smith – Lemli – Opitz.
2. Ekstra cranial
Gangguan metabolik : Hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomognesemia, gangguan elektrolit (Na dan K)
Toksik : Intoksikasi anestesi lokal, sindrom putus obat.
Kelainan yang diturunkan : gangguan metabolisme asam amino,
ketergantungan dan kekurangan produksi kernikterus.
3. Idiopatik
Kejang neonatus fanciliel benigna, kejang hari ke-5 (the fifth day
fits).
D. Manifestasi klinis
Khanis (2019), menjelaskan bahwa tanda pada anak yang mengalami
kejang adalah sebagai berikut:
1. Suhu badan tinggi mencapai ±39 derajat Celcius.
2. Kehilangan kesadaran
3. Kadang-kadang napas dapat terhenti beberapa saat (apneu)
4. Tubuh termasuk tangan dan kaki jadi kaku, kepala terkulai ke
belakang disusul munculnya gejala kejut yang kuat.
5. Warna kulit berubah pucat bahkan kebiruan dan bola mata naik ke
atas.
6. Gigi terkatup dan terkadang disertai muntah
7. Napas dapat berhenti selama beberapa saat
8. Tidak dapat mengontrol untuk buang air besar atau kecil.
E. Patofisiologi
Baram (2019), menjelaskan bahwa untuk mempertahankan
kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan energi yang didapat
dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak terpenting adalah
glukosa. Sifat proses ini adalah oksidasi dengan perantara fungsi paru-paru
dan diteruskan ke otak melalui kardiovaskular. Dari uraian tersebut dapat
diketahui bahwa sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses
oksidasi dipercah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang
terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik.
Dalam keadaan normal membran sel neoron dapat dilalui dengan mudah
oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan elektrolit
lainnya kecuali ion klorida. Akibatnya konsentrasi kalium dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah, sedangkan di luar sel
terdapat keadaan sebaliknya. Pada keadaan demam kenaikan suhu 1
derajat Celcius akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basar 10-15%
dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Oleh karena itu, kenaikan
suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan
dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion
natrium melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepas muatan
listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas
ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan
yang disebut neurotransmitter dan terjadi kejang.
Faktor genetik merupakan peran utama dalam ketentanan kejang
dan dipengaruhi oleh usia dan metoritas otak. Kejang demam yang
berlangsung lebih dari 15 menit biasanya disertai apnea, meningkatnya
kebutuhan oksigen dan akhirnya terjadi hipoksemia., hiperkapnia,
asidodosis laktat disebabkan oleh matabolisme anaerobik, hipotensi
arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin
meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktivitas otot dan
selanjutnya menyebabkan metabolisme otot meningkat. Hal ini
mengakibatkan terjadinya kerusakan pada neuron dan terdapat gangguan
perederan darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggalkan
permeabilitas kapiler dan timbul edema otak. Kerusakan pada daerah
medial lobus temporalis setelah mendapatkan serangan kejang sedang
berlangsung lama di kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi
yang spontan. Pasien epilepsy umum pembentukan gelombang paku-
ombak terjadi pada struktur korteks. Terdapat penyebaran cepat proses
eksitasi (spike) dan inhibisi (gelombang ombak) pada kedua hemisfer otak
melalui jaras kortikoretikular dan talamokortikal. Status konvulsivus
terjadi akibat proses eksitasi yang berlebihan berlangsung terus menerus
yang diikuti oleh proses inhibisi yang tidak sempurna (Nurindah , 2014).
F. Komplikasi
1 Neurotoksisitas
Kejang menyebabkan kebutuhan metabolic sel neuron
meningkat. Bila status konvulsivus berlangsung lebih dari
60 menit, akan terjadi kerusakan neuron.
2. Sistemik
 Aritmia jantung dan gagal jantung akibat peningkatan
output
 Hipoksia: edema paru dan aspirasi
 Demam
 Hipoglikemia, hiperkalemia
 Rhabdomyolisis, myoglobulinuria

G. Penatalaksanaan
Umumnya kejang tonik klonik berhenti spontan dalam 5
menit. Bila kejang tidak berhenti dalam 5 menit, maka kejang
cenderung berlangsung lama. Status konvulsivus adalah kejang
konvulsif yang berlangsung lebih dari 30 menit atau kejang
berulang selama lebih dari 30 menit; selama kejang pasien
tidak sadar. Status konvulsivus pada anak merupakan
kegawatan yang mengancam jiwa dengan resiko terjadinya
gejala sisa neurologis.
Sebelum memberantas kejang tidak boleh dilupakan perlunya
pengobatan penunjang:
1. Semua pakaian ketat dibuka.
2. Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi
lambung.
3. Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan
oksigen, bila perlu dilakukan intubasi atau trakeostomi.
4. Penghisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan
diberikan oksigen.
5. Beri penahan gigi supaya tidak tergigit.
Langkah-langkah penanganan kejang terbagi atas
tatalaksana fase akut dan pengobatan jangka panjang
meliputi:
1. Fase akut: penghentian kejang
1-5 menit:
 Yakinkan bahwa aliran udara pernapasan baik.
 Monitor tanda vital, berikan oksigen, pertahankan
perfusi oksigen ke jaringan.
 Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah,
pemeriksaan umum, dan neurologis secara cepat.
 Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan infeksi.
5-10 menit:
 Pemasangan akses intravena
 Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah perifer
lengkap, glukosa, dan elektrolit.
 Pemberian diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB secara
intravena (kecepatan 5 mg/menit), atau dapat
diberikan diazepam rectal 0,5 mg/kgBB (untuk berat
bedan < 10 kg diberikan 5 mg, bila berat badan > 10
kg diberikan 10 mg, dosis maksimal 10 mg/kali).
 Atau dapat diberikan lorazepam 0,05-0,1 mg/kgBB
intravena (maksimum 4 mg). alternative lain adalah
midazolam 0,05-0,1 mg/kgBB intravena. Pemeberian
diazepam intravena atau rectal dapat diulang 1-2 kali
setelah 5-10 menit, lorazepam 0,1 mg/kgBB dapat
diulang sekali setelah 10 menit.
 Jika didapatkan hipoglikemia, berikan cairan
dekstrosa 25% 2 ml/kgBB.
10-15 menit:
 Cenderung menjadi status konvulsivus
 Berikan fenitoin 15-20 mg/kgBB intravena
diencerkan dengan NaCl 0,9% diberikan dengan
kecepatan 25-50 mg/ menit.
 Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5-10
mg/kgBB, sampai maksimum dosis 30 mg/kgBB.
Lebih dari 30 menit:
 Pemberian antikonvulsan masa kerja panjang (long
acting)
 Fenobarbital 10 mg/kgBB intravena bolus perlahan-
lahan dengan kecepatan 100 mg/ menit. Dapat
diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kgBB dengan
interval 10-15 menit.
 Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan meliputi
analisis gas darah, elektrolit, gula darah. Koreksi
kelainan yang ada. Awasi tanda-tanda depresi
pernapasan.
 Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan
kirim ke Unit perawatan intensif. Berikan
fenobarbital 5-8 mg/kgBB secara bolus intravena,
diikuti rumatan fenobarbital drip dengan dosis 3-5
mg/kgBB/jam
Penanganan pada pasien dengan status konvulsivus
tidak hanya bertujuan untuk mengentikan kejang,
tetapi juga mencegah terjadinya komplikasi sistemik
yang timbul pasca status konvulsivus. Pengenalan
dini, intervensi yang adekuat, dan pencegahan
komplikasi penting untuk prognosis pasien. Pada
kejang lama dapat terjadi hipoksia terjadi akibat
gangguan ventilasi, sekresi air liur dan sekret
trakeobronkial yang berlebihan, serta peningkatan
kebutuhan oksigen.

2. Pengobatan Jangka Panjang


Pengobatan pada pasien yang mengalami kejang simtomatik
akut ditujukan pada faktor penyebab. Apabila faktor
penyebab dapat segera diobati, maka tidak diperlukan
pemberian obat antiepilepsi jangka panjang. Risiko
berulangnya kejang terjadi dalam satu tahun pertama,
khususnya dalam 3 bulan pertama. Bila selama 3 bulan
pertama tanpa pengobatan tidak didapatkan kejang, maka
pasien tidak memerlukan pengobatan jangka panjang.

H. PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSTIK


1. Elektroensefalogram (EEG): dipakai untuk membantu menetapkan
jenis dan fokus dari kejang.
2. CT scan : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dari
biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. Magneti resonance imaging (MRI): menghasilkan bayangan dengan
menggunakan lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk
memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas terliht bila
menggunakan pemindaian CT
4. Pemindaian positron emission tomography (PET): untuk
mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan
lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak.
5. Uji laboratorium
a. Glukosa Darah: Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang
(N < 200 mq/dl).
b. BUN: Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan
merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
c. Elektrolit: K (kalium) , Na (natrium)
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi
kejang.

I. ASKEP TEORI
1. PENGKAJIAN
Pengkajian yang sistematis meliputi pengumpulan data, analisa
data dan penentuan masalah. Pengumpulan data diperoleh dengan
cara intervensi, observasi, psikal assesment.
a. Demografi
Demografi meliputi : Nama, umur, jenis kelamin, dan
pekerjaan.
b. Keluhan utama
Saat di kaji biasanya penderita konvulsi akan mengeluh
badan panas, mual ataupun muntah dan lemas.
c. Riwayat penyakit sekarang
Menanyakan tentang keluhan yang dialami sekarang mulai
dari panas, kejang, kapan terjadi, berapa kali, dan keadaan
sebelum, selama dan setelah kejang. Penderita konvulsi
biasanya sebelumnya juga pernah mengalami kejadian sama,
dan mungkin saja penderita mempunyai riwayat konvulsi
sudah sejak lama. Apabila terjadi konvulsi biasanya disertai
suhu tubuh yang meningkat namun ada juga yang tidak.
Penderita biasanya akan mengeluh lemas dan badan terasa
kaku setelah terjadinya konvulsi, ada juga yang disertai
dengan mual dan muntah, ketidakstabilan vital sign bahkan
hingga penurunan kesadaran.
d. Riwayat penyakit dahulu
Biasanya penderita pernah menderita kasus yang sama
namun ada juga penderita yang mengalami kasus ini secara
tiba-tiba karena adanya faktor tertentu, misalnya
peningkatan suhu tubuh yang drastis.
e. Riwayat penyakit keluarga
Sebagian kasus konvulsi ini disebabkan karena keturunan
namun kebanyakan kasus ini disebabkan oleh faktor fisik
maupun patologis.
f. Pola pengkajian
1) Pernafasan
Gejala : Nafas irreguler
Tanda : Ventilasi tidak adekuat, adanya penggunaan otot
bantu nafas, dan pernafasan cuping hidung, dan adanya
sianosis.
2) Sirkulasi
Tanda dan gejala :
Adanya peningkatan tekanan darah, sianosis, dan CRT lebih
dari normal, dan bradycardi..
3) Makanan/Cairan
Gejala :
Mual/muntah, nafsu makan buruk/anoreksia, bahkan akan
mengalami ketidakmampuan untuk makan.
Tanda : Turgor kulit buruk, berkeringat.B5 (Bowel): Inspeksi
: tampak normal, auskultasi : terdengar suara bising usus
normal, palpasi : turgor kulit normal, perkusi : tidak ada
distensi abdomen.
4) Aktivitas/istirahat
Gejala :
a) Keletihan, malaise.
b) Ketidakmampuan melakukanaktifitas sehari-hari
c) Ketidakmampuan untuk tidur
Tanda : Keletihan, gelisah/insomnia, kelemahan
umum/kehilangan masa otot.
5) Integritas Ego
Gejala :
Peningkatan faktor resiko kejadian konvulsi/kejang berulang
Tanda : Perubahan pola hidup, ansietas, ketakutan, peka
rangsang.
6) Hygiene
Gejala :
Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan melakukan
aktivitas sehari-hari
Tanda : Kebersihan buruk, bau badan.
7) Keamanan
Gejala :
Riwayat alergi/sesitif terhadap zat/faktor lingkungan

2. DIAGNOSA
a. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial b.d edema cerebral
(D.0066)
b. Resiko cidera b.d gangguan sensasi (D.0136)
c. Perfusi perifer tidak efektif b.d hipoksemia (D.0009)

3. INTERVENSI
a. Diagnosa : Penurunan kapasitas adaptif intrakranial b.d
edema cerebral (D.0066)
Intervensi : Manajemen peningkatan TIK (I.06194)
Observasi
1) Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis. lesi, gangguan metabolisme,
edema cerebral)
2) Monitor tanda gejala peningkatan TIK (mis. tekanan darah meningkat,
tekanan nadi melebar, bradikardi, pola nafas irreguler, kesadaran menurun)
3) Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)
4) Monitor CVP (Central Venous Pressure), jika perlu
5) Monitor PAWP, jika perlu
6) Monitor PAP, jika perlu
7) Monitor ICP (Intra Cranial Pressure), jika tersedia
8) Monitor CPP (Cerebral Perfusion Pressure)
9) Monitor gelombang ICP
10) Monitor status pernapasan
11) Monitor intake dan output cairan
12) Monitor cairan cerebro-spinalis (mis. warna, konsistensi)
Terapeutik
1) Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang
2) Berikan posisi semi fowler
3) Hindari manuver valsava
4) Cegah terjadinya kejang
5) Hindari penggunaan PEEP
6) Hindari pemberian cairan IV hipotonik
7) Atur ventilator agar PaCO2 optimal
8) Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian sedasi dan antikonvulsan, jika perlu
2) Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika perlu
3) Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu

b. Diagnosa : Resiko cidera b.d gangguan sensasi (D.0136)


Intervensi : Pencegahan kejang (I.14542)
Observasi
1) Monitor status neurologis
2) Monitor tanda-tanda vital
Terapeutik
1) Baringkan pasien agar tidak terjatuh
2) Rendahkan ketinggian tempat tidur
3) Pasang side-rail tempat tidur
4) Berikan alas empuk dibawah kepala, jika memungkinkan
5) Jauhkan benda-benda berbahaya terutama benda tajam
6) Sediakan suction di samping tempat tidur
Edukasi
1) Anjurkan segera melapor jika merasakan aura
2) Ajarkan keluarga pertolongan pertama saat kejang
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian antikonvulsan, jika perlu
c. Diagnosa : Perfusi perifer tidak efektif b.d hipoksemia
(D.0009)
Intervensi : Perawatan sirkulasi (I.02079)
Observasi
1) Periksa sirkulasi perifer (mis. nadi perifer, edema, pengisian kapiler,
warna, suhu, ankle brachial index)
2) Identifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi (mis. diabetes, perokok, orang
tua, hipertensi, dan kadar kolesterol tinggi)
3) Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada ekstremitas

Terapeutik
1) Hindari pemasangan infus atau pengambilan darah di area keterbatasan
perfusi
2) Hindari pengukuran tekanan darah pada ekstremitas dengan keterbatasan
perfusi
3) Hindari penekanan dan pemasangan tourniquet pada area yang cidera
4) Lakukan pencegahan infeksi
5) Lakukan perawatan kaki dan kuku
6) Lakukan hidrasi

Edukasi
1) Anjurkan berhenti merokok
2) Anjurkan berolahraga rutin
3) Anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari kulit terbakar
4) Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah, antikoagulan, dan
penurun kolesterol, jika perlu
5) Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darah secara teratur
6) Anjurkan menghindari penggunaan obat penyekat beta
7) Anjurkan melakukan perawatan kulit yang tepat (mis. melembabkan kulit
kering pada kaki)
8) Anjurkan program rehabilitasi vaskular
9) Ajarkan program diet untuk memperbaiki sirkulasi (mis. rendah lemak
jenuh, minyak ikan omega 3)
10) Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan (mis. rasa
sakit yang tidak hilang saat istirahat, luka tidak sembuh, hilangnya rasa)
DAFTAR PUSTAKA

Baram, TZ, Brewster, AL & Dube, CM. 2019. Februle Seizures : Mechanism and
Relationship to Epilepsy. Brain Dev, vol. 31. no. 5, pp : 366-371
Khair, AM & Elmagrabi, D. 2018. Febrile Seizure and Febrile Seizure Syndrome :
An Updated Overview of Old and Current Knowledge. Neurology Research
International, Vol. 1, no.1, pp : 31-37
Khanis, A. 2019. Defisiensi Besi dengan Parameter sTiR sebagai Faktor Resiko
Bangkitan Kejang Demam. Tesis Semarang : Universitas Diponegoro, pp :
35-39
Marmi. 2011. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
Riyadi, S & Sukarmin. 2013. Asuhan Keperawatan pada Anak. Yogyakarta :
Graha Ilmu
Sodikin. 2012. Prinsip Perawatan Demam pada Anak. Yogyakarta : Pustaka
PelajaR
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standar diagnosa keperawatan Indonesia.
Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Poka SLKI DPP PPNI. 2018. Standar luaran keperawatan Indonesia. Jakarta
: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar intervensi keperawatan Indonesia.
Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai