STATUS EPILEPTIKUS
2. PREVALENSI
Data word health organization (WHO) pada tahun 2018 penyakit
Epilepsi berjumlah sebanyak 50 juta penduduk diseluruh dunia. Dari
pendataan yang dilakukan secara global ditemukan 3,5 juta kasus
barupertahun diantaranya 40% adalah anak-anak dan dewasa sekitar 40%
serta 20% lainnya ditemukan pada usia lanjut (Riskesdes, 2018).
Di Indonesia epilepsi secara pasti tidak diketahui kerena tidak ada
data epdemiologi, namun hingga saat ini diperkirakan ada 900.000 sampai
1.800.000 kasus. Penyakit epilepsi selain merupakan masalah kesehatan
yang sangat rumit juga merupakan suatu penyakit yang menimbulkan
dampak/stigma sosial yang sangat berat bagi penderita dan keluarganya.
Adanya pemahaman yang salah tentang penyakit epilepsi yang
menyebabkan sulitnya mendeteksi jumlah kasus ini dimasyarakat karena
biasanya keluarga sering menyembunyikan keluarganya yang menderita
penyakit ini. Sedangkan disurabaya sendiri angka kejadian epilepsy
pada anak terjadi jumlah kasus epilepsy aktif 5-10/1.000 penduduk
(Faradila , 2014)
Perkiraan proporsi populasi umum dengan epilepsi aktif (yaitu
kejang terusmenerus atau dengan kebutuhan pengobatan) pada waktu
tertentu adalah antara 4 dan 10 per 1000 orang. Namun, beberapa studi di
negara berpenghasilan rendah dan menengah menunjukkan bahwa
proporsinya jauh lebih tinggi, antara 7 dan 14 per 1000 orang. Di
Indonesia, angka kejadian epilepsi adalah 6 dari 1000 orang atau sekitar 2
juta orang menderita epilepsi. Wilayah Jawa Tengah (Mardlani, 2010).
3. ETIOLOGI
Etiologi dari epilepsi dalam (Ratna, 2020) adalah multifaktorial,
tetapi sekitar 60 % dari kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab
yang pasti atau yang lebih sering kita sebut sebagai kelainan idiopatik.2
Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang
umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu :
Kejang fokal Kejang umum
a. Trauma kepala a. Penyakit metabolik
b. Stroke b. Reaksi obat
c. Infeksi c. Idiopatik
d. Malformasi vaskuler d. Faktor genetic
e. Tumor (Neoplasma) e. Kejang fotosensitif
f. Displasia
g. Mesial temporal sclerosis
4. MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi
yaitu :
a. Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian
kecil dari otak atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu
sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih
baik.
1) Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena
halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang
parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik.
2) Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial
sederhana, tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan
kesadaran dan otomatisme
b. Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian
besar dari otak atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada
seluruh bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya menurun.
1) Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sesaat (beberapa detik) dan mendadak
disertai amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan
seperti aura atau halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
2) Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot
anggota badan, leher, dan badan. Durasi kejang bias sangat
singkat atau lebih lama.
3) Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat
dan singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
4) Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang
dengan cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di
seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik
berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang
berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas
fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran
air liur, dan peningkatan denyut jantung.
5) Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik,
tetapi kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya
sampai 2 menit.
6) Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering
mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan
7. PATOFISIOLOGI
Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi
karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar
neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada
membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinaps
dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis
yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang
berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi
membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai
terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk
merangsang atau menghambat neuron lain.
Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat
dalam munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme yang terlibat
dalam perubahan otak yang normal menjadi otak yang mudah-kejang
(epileptogenesis).
1. Mekanisme iktogenesis
Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis.
Eksitasi yang berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan
neuron, atau jaringan neuron.
a. Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya
perubahan fungsional dan struktural pada membran postsinaptik;
perubahan pada tipe, jumlah, dan distribusi kanal ion gerbang-voltase
dan gerbang-ligan; atau perubahan biokimiawi pada reseptor yang
meningkatkan permeabilitas terhadap Ca2+, mendukung
perkembangan depolarisasi berkepanjangan yang mengawali kejang.
b. Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari
perubahan fisiologis dan struktural. Perubahan fisiologis meliputi
perubahan konsentrasi ion, perubahan metabolik, dan kadar
neurotransmitter. Perubahan struktural dapat terjadi pada neuron dan
sel glia. Konsentrasi Ca2+ ekstraseluler menurun sebanyak 85%
selama kejang, yang mendahului perubahan pada konsentasi K2+.
Bagaimanapun, kadar Ca2+ lebih cepat kembali normal daripada
kadar K2+.
c. Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di
sepanjang sel granul akson pada girus dentata; kehilangan neuron
inhibisi; atau kehilangan neuron eksitasi yang diperlukan untuk
aktivasi neuron inhibisi.
2. Mekanisme epileptogenesis
a. Mekanisme nonsinaptik
Perubahan konsentrasi ion terlihat selama hipereksitasi,
peningkatan kadar K2+ ekstrasel atau penurunan kadar Ca2+
ekstrasel. Kegagalan pompa Na+-K+ akibat hipoksia atau iskemia
diketahui menyebabkan epileptogenesis, dan keikutsertaan angkutan
Cl--K+, yang mengatur kadar Cl- intrasel dan aliran Cl- inhibisi yang
diaktivasi oleh GABA, dapat menimbulkan peningkatan eksitasi.
Sifat eksitasi dari ujung sinaps bergantung pada lamanya depolarisasi
dan jumlah neurotransmitter yang dilepaskan. Keselarasan rentetan
ujung runcing abnormal pada cabang akson di sel penggantian
talamokortikal memainkan peran penting pada epileptogenesis.
b. Mekanisme sinaptik
Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan
penurunan inhibisi GABAergik dan peningkatan eksitasi
glutamatergik.
1) GABA
Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada CSS
(cairan serebrospinal) pasien dengan jenis epilepsi tertentu, dan
pada potongan jaringan epileptik dari pasien dengan epilepsi yang
resisten terhadap obat, memperkirakan bahwa pasien ini
mengalami penurunan inhibisi.
2) Glutamat
Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar
menunjukkan peningkatan kadar glutamat ekstrasel yang terus-
menerus selama dan mendahului kejang. Kadar GABA tetap
rendah pada hipokampus yang epileptogenetik, tapi selama kejang,
konsentrasi GABA meningkat, meskipun pada kebanyakan
hipokampus yang non-epileptogenetik. Hal ini mengarah pada
peningkatan toksik di glutamat ekstrasel akibat penurunan inhibisi
di daerah yang epileptogenetik (Eisai, 2012).
8. PATHWAY
Idiopatik, hereditas, trauma kelahiran, infeksi perinatal, meningitis dll
System saraf
Aktivitas kejang
Ansietas
Defisiensi
pengetahuan
1) Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang
dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa.
Ketika memulai pengobatan, pendekatan yang “mulai dengan
rendah, lanjutkan dengan lambat (start low, go slow)” akan
mengurangi risiko intoleransi obat. Penatalaksanaan epilepsi sering
membutuhkan pengobatan jangka panjang. Monoterapi lebih
dipilih ketika mengobati pasien epilepsi, memberikan keberhasilan
yang sama dan tolerabilitas yang unggul dibandingkan politerapi
(Louis, Rosenfeld, Bramley, 2012).
b. Berat Badan
1) Rata-rata pertambahan berat badan todler adalah 1,8- 2,7 kg
pertahun.
2) Rata-rata berat badan todler usia 2 tahun adalah 12,3 kg
3) Pada usia 2,5 tahun berat badan todler mencapai empat
kalai berat lahir.
c. Lingkar Kepala (LK)
1) Pada usia 1 samapai 2 atahun, ukuran LK sama dengan
lingkar dada.
2) Total laju peningkatan LK pada tahun kedua adalah 2,5 cm,
kemudian berkurang menjadi 1,25 cm per tahun sampaiusia
5 tahun.
d. Sistem Imun
Sistem imun tubuh bekerja lebih refisiensi, memungkinkan
lokalisasi infeksi dan respon antigen-antibodi yang lebih baik.
e. Nutrisi
1) Kecepatan pertumbuahan berkurang secara dramatis
sehingga kebutuhan todler terhadap kalori, protein, dan
cairan menurun.
2) Kebutuhan kalori adalah 102 kkal/lkg/hari.
3) Kebutuhan protein adalah 1,2 g/kg/hari.
4) Susu hatus dibatasi tidak lebih dari sekitar 1 liter setiap hari
untuk membantu menjamin asupan makanan yang kaya zat
besi. Pemeriksaan hematokrit harus dilakukan yuntuk
skrining anemia.
5) Todler dengan diet vegatarian tidak menerima protein
nabati yang cukup. Mereka harus dirujuk ke ahli gizi.
f. Pola Tidur Total kebutuhan tidur anak usia todler menurun
selam tahun kedua sampai rata-rata 12 jam per hari dan
kebanyakan todler tidur siang satu kali sehari samapai akhir
tahun kedua dan ketiga. Masalah tidur umum terjadi dan dapat
disebabkan rasa takut berpisah, ritual waktu tidur dan objek
transisi yang melambangkan rasa aman seperti selimut atau
seperangkat akan sangat membantu
g. Eliminasi
Karateristik feses berubah sesuai dengan jenis makanan
yang di tambahakan dalam diet. Makanan yang berwarna
seperti gelatin, gula bit, minuman berwarna dan buah arbel
dapat mewarnai feses. Pengeluran urine ratarata selam masa
anak adalah 500 sampai 1000 ml/hari.
b) Perkembangan
a. Perkembangan Motorik
1) Motorik Kasar : berjalan tanpa bantuan pada usia 15 bulan
berjalan menaiki tangga, dengan berpegangan pada satu tangan
saat usia 18 bulan, berjalan menaiki dan menuruni tangga
dengan satu langkah pada saat usia 24 bulan, melompat dengan
dua kaki pada usia 30 bulan .
2) Motorik Halus : Membangun menara 2 blok dan mencoret-
coret secara spontan pada usia 15 bulan membangun tiga
sampai empat blok pada usia 18 bulan, meniru, coretan vertikal
pada usia 24 bulan, membangun menara delapan blok dan
meniru tanda silang pada usia 30 bulan.
b. Perkembangan psikososial
1) Tinjauan (Erikson)
a) Erikson memberi istilah krisisi psikososial yang dihadapi
todler antara usia 1-3 tahun sebagai otonomi versus rasa
malu dan ragu.
b) Todler mulai menguasai keterampilan sosial
c) Todler sering menggunakan kata “tidak” bahkan ketika
bermaksud “ya” untuk mengungkapakan keterbasannya
(perilaku negativistik).
d) Todler sering menerus mencari benda familer yang
melambangkan rasa aman seperti selimut, selama waktu
stres dan perasaan tidak menentu.
2) Rasa Takut
a) Rasa takut pada todler : kehilangan orang tua (dikenal
sebagai ansietas berpisah), ansietas terhadap orang asing,
suara-suara yang keras, pergi tidur, binatang besar).
b) Dukungan emosional, kenyamanan, dan penjelasan
sederhana yang dapat mengahalau rasa takut todler.
c. Perkembangan Kognitif
1) Tinjauan ( Piaget )
a) Tahap sensorimotorik : tahap ini berlangsung antara usia
12 dan 24 bulan dan melibatkan subtahap. Subtahap 1 (12-
18 bulan) reaksi sirkulasi tersier melibatkan eksperimen
trial-and-error dan eksporasi aktif yang terusmenerus
(tahap ini saling melengakapi dengan subtahap 5 pada
masa bayi), sedangakan subtahap 2 (18-24 bulan)
munculnya kombinasi mental memungkikan todler untuk
melengkapi pemahaman makna yang baru dalam
menyelesaikan tugas.
b) Subtahap prankoseptual pada pada fase praoperasional
dalam tahap ini dimulai dari usia 2-4 bulan todler
menggunakan pikiran representatif untuk mengingat
kembli masa lampau, menampilkan masa kini dan
mengatisipasi masa depan. Selama fase ini anak
membentuk konsep-konsep yang tidak selengkap atau
tidaak selogis konsep orang dewasa, membuat klasifikasi
sederhana, menghubungkan satu kejadian denagn kejadian
yang terjadi secara simulatan (penalaran yang bersifat
kognetif dan menunjukan pemikiran egosentitas.
c. Bahasa
1) Todler menggunakan bahasa ungkapan khusus misalnya “kata-
kata” ungakapan buatan todler sendiri untuk eksperesi pada usia
15 bulan.
2) Todler mengatakan sekitar 300 kata menggunakan dua atau tiga
fase dan menggunakan kata ganti pada usia 2 tahun.
3) Todler meyebutkan nama dengan dan akhir, dan menggunakan
kata benda jamak pada usia 2,5 tahun.
d. Perkembangan Moral
1) Tinjauan (kohbeng)
a) Todler biasanya berada pada subtahap pertama tahap
prakonvensial yang berorientasi pada hukuman dan
kepatuhan. Penilian todler didasarkan pada perilaku untuk
menghindari hukuman atau mendapat penghargaan.
b) Pola displin memengaruhi perkembangan moral todler.
Hukuman fisik dan menahan hak anak cenderung
memberikan todler pandangan yang negatif mengenal
moral menahan cinta dn kasih sayang sebagai bentuk
hukuman menimbulkan perasaan bersalah.
2) Tindakan Displin yang tepat termasuk memberikan penjelasan
mengapa perilaku tertentu tidak dapat diterima. memuji, tindakan
yang benar, dan menggunakan distraksi untuk mencegah perilaku
yang tidak dapat diterima
c) Hospitalisasi
Hospitalisasi dalam waktu lama dengan lingkungan yang tidak
efisien teridentifikasi dapat mengakibatkan perubahan perkembangan
emosional dan intelektual anak. Anak yang biasanya mendapat
perawatan yang kurang baik selama dirawat, tidak hanya memiliki
perkembangan dan pertumbuhan tubuh yang kurang optimal melainkan
pula mengalami gangguan hebat terhadap status psikologis. Anak
masih punya keterbatasan kemampuan untuk mengungkapkan suatu
keinginan, gangguan tersebut dapat diminimalkan dengan peran orang
tua melalui pemberian rasa kasih saying. Depresi dan menarik diri
sering kali terjadi setelah anak menjalani hospitalisasi dalam waktu
lama. Banyak anak mengalami penurunan emosional setelah menjalani
hospitalisasi beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa anak
yang dihospitalisasi dapat mengalami gangguan untuk tidur dan makan
perilaku agresif seperti kencing di tempat tidur, hiperaktif, perilaku
agresif, mudah tersinggung, terteror pada malam hari dan negativisme
Herliana (dalam Indra, 2020).
4) Pemeriksaan Fisik
motorik.
IDENTITAS DATA
Nama : An.R
Umur : 3 th 7 bln
Pendidikan :-
Nama Ibu : Ny.Septasama
Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Langenharjo 04/02, Grogol, Sukoharjo
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Pendidikan Ibu : SMA
No RM : 036491
Tgl Masuk : 10 November 2021
D(x) Medis : Status Epileptikus
KELUHAN UTAMA
Kejang 10x, muntah 1x
An.R
Keterangan :
: Perempuan
: Laki-laki
: Penderita Epilepsi
RIWAYAT SOSIAL
Yang mengasuh
Ibu pasien mengatakan ia yang mengasuh An.R
Hubungan dengan anggota keluarga
Hubungan dengan anggota keluarga baik
Hubungan dengan teman sebaya
Ibu pasien mengatakan, pasien sering main dengan tetangganya yang
seumuran
Pembawaan secara umum
Baik
Lingkungan rumah
Ibu pasien mengatakan lingkungan rumah bersih dan layak huni
PENGKAJIAN NUTRISI
Kebiasaan pemberian makanan
Sebelum sakit :
Ibu pasien mengatakan An.R dirumah jarang makan, belum tentu 3x
sehari
Saat sakit :
Pasien susah makan, makanan dari rumah sakit hanya dimakan setengah
porsi
Diet khusus :
Tidak ada
POLA SEHARI-HARI
Pola istirahat atau tidur
Ibu pasien mengatakan pasien saat dirumah begadang tidur malam, siang
hari biasanya juga tidur sebentar, saat di rumah sakit malah jarang
begadang
Pola kebersihan
Ibu pasien mengatakan pasien mandi 2x sehari, saat sakit hanya sibin
Pola aktivitas bermain
Ibu pasien mengatakan saat dirumah sering maindengan teman sebaya,
kadang juga saat bermain terjadi kejang dan langsung jatuh, kalau terjadi
kejang penanganannya hanya dimiringkan
Pola eliminasi
Ibu pasien mengatakan dari 3 hari kamaren bari BAB hari ini, BAB
sedikit dan keras, BAK banyak
DATA PENUNJANG
Hasil Pemeriksaan EEG
Klasifikasi : abnormal III (bangun dan tidur stadium II)
1. Intermittent spike di region frontocentral
2. Intermitten spike di region frontocentral
3. Fotosensitivitas respon
Impresi : rekaman EEG saat ini abnormal, didapatkan gelombangepileptiform
dischagesdiregion frontotemporal kanan dengan photopaxysmal respon
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan umum
Keadaan umum tampak lemah
BB/TB
13,40 kg/90 cm
Ekstremitas
Ekstremitas atas : tangan kiri pasien terpasang infuse tidak ada edema
Ektremitas bawah : kaki kanan dan kiri pasien normal, tidakada lesi dan
pembengkakkan
5 5
5 5
Interpretasi :
0 : otot tidak dapat melakukan kontraksi yang bisa dilihat
1 : terjadi kontraksi otot namun tidak ada gerakan
2 : otot dapat berkontraksi tetapi tidak bisa menggerakkan bagian tubuh
melawan gravitasi
3 : otot dapat berkontraksi dan menggerakkan bagian tubuh secara
penuh melawan gaya grafitasi
4 : otot mampu berkontraksi dan menggerakkan tubuh melawan tahanan
minimal
5: otot berfungsi normal dan mampu melawan tahanan maksimal.
Tanda-tanda vital
TD : -
N : 120x/Mnt
Rr : 24 X/Mnt
S : 36,5 O C
Spo2 : 99 %
DAMPAK HOSPITALISASI
Pada anak :
Anak menjadi sedikit rewel, kadang tampak gelisah, tidak bisa bermain, anak
menjadi sering takut dan ingin selalu dekat dengan ibunya.
Pada orang tua :
Ibu merasa cemas dan khawatir dengan keadaan anaknya.
TINGKAT PERKEMBANGAN
Personal Sosial
Pasien tampak takut, acuh dan menangis saat di datangi perawat
Motorik Halus
Ibu pasien mengatakan An.R mampu mencuci tangan sendiri, Mampu
makan menggunakan sendok dan garpu sendiri
Bahasa
Ibu pasien mengatakan pasien sudah bisa ngomong dan diajak ngobrol
walaupan masih cedal
Motorik kasar
Mampu berlari tanpa sering terjatuh, Mampu melompat, mampu naik turun
tangga dengan kaki kanan dan kiri secara bergantian, Mampu menendang,
melempar bola di atas kepala dan menangkap bola yang dilemparkan
kepadanya, dan mampu mengayuh sepeda kecil beroda tiga
Terapi
Obat
Asam valproat 2x1 5 ml
Apialis 1x1 0,6 ml
Inj ceftriaxon 2 x 500mg
Inj dexamethasone 4x2 mg
Infus RL 500cc/24 jam
O2 2 lpm
ANALISA DATA
Nama : An.R
Umur : 3 tahun 7 bulan
No Tgl/ Data Etiologi Masalah
Jam
1 10/11/21 DS : ibu pasien mengatakan Kejang Risiko cidera
21.30 di ruang rawat inap pasien
kejang 1x, pasien kejang
secara tiba-tiba
DO : Pasien kejang pada
pukul 19.05 selama 2 menit,
kejang dengan seluruh badan
kaku dan mata melotot
PRIORITAS MASALAH
1. Risiko cidera dibuktikan dengan kejang (D.0136)
2. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi ditandai dengan
Merasa khawatir dengan akibat (D.0080)
PERENCANAAN
Nama : An.R
Umur : 4 tahun 7 bulan
4. Pemberian 4. Untuk
obat mengurangi
terjadinya kejang
2 10/11/21 Ansietas Setelah 1. Dukungan 1. Agar kebutuhan
21.45 berhubungan dilakukan pengungkapa pasien dapat
dengan tindakan n kebutuhan terpenuhi
kurang keperawatan 3x
terpapar 24 jam
informasi diharapkan 2. Konseling 2. Untuk
ditandai tingkat ansietas memberikan
dengan menurun informasi pada Nisa
Merasa (D.0080) pasien dan
khawatir dengan kriteria keluarga
dengan akibat hasil :
(D.0080) - Konsentrasi 3. Ajarkan 3. Untuk
membaik teknik mengurangi
- Perilaku menenangkan kecemasan pada
gelisah pasien dan
menurun keluarga
IMPLEMENTASI
Nama : An.R
Umur : 4 tahun 7 bulan
EVALUASI FORMATIF
Nama : An.R
Umur : 4 tahun 7 bulan
Tanggal/ No
Evaluasi Ttd
Waktu DP
10/11/21 (D.0136) S : keluarga pasien mengatakan sudah paham harus bagai
22.00 mana saat terjadi kejang Nisa
O : keluarga pasien kooperatif saat di berikan informasi
terkait pencegahan kejang
A : masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi :
- Manajemen kejang
- Pemberian obat sesuai terapi
EVALUASI SUMATIF
Nama : An.R
Umur : 4 tahun 7 bulan
Tanggal/Wa No
Evaluasi Ttd
ktu DP
12/11/21 (D.0136) S : keluarga pasien mengatakan pasien sudah tidak kejang
16.00 O : keluarga pasien paham harus bagaimana jika terjadi Nisa
kejang
A : masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi
- Pemberian obat sesuai terapi