Oleh:
Elfinda Nurzahri, S.Kep
2112501010052
B. Insidensi
Seizure termasuk kedalam salah satu gejala dengan kasus yang signifikan dari
beban penyakit dunia. Penderita seizure mencapai sekitar ±50 juta orang di seluruh
dunia. Perkiraan jumlah populasi umum dengan epilepsi aktif yaitu kejang
berkelanjutan atau dengan kebutuhan pengobatan pada waktu tertentu adalah antara 4-
10 per 1000 orang.
Secara global, diperkirakan lima juta orang didiagnosis dengan epilepsi setiap
tahun. Di negara-negara berpenghasilan tinggi, diperkirakan ada 49 per 100.000 orang
yang didiagnosis menderita epilepsi setiap tahun. Di negara-negara berpenghasilan
rendah dan menengah, angka ini bisa mencapai 139 per 100.000. Hal ini dapat
disebabkan oleh peningkatan risiko kondisi endemik seperti malaria atau
neurosistiserkosis, insiden cedera lalu lintas jalan yang lebih tinggi, cedera terkait
kelahiran, dan variasi dalam infrastruktur medis, ketersediaan program kesehatan
preventif dan perawatan yang mudah diakses. Hampir 80% penderita epilepsi tinggal
di negara berpenghasilan rendah dan menengah (WHO, 2019).
C. Klasifikasi Seizure
Menurut ILAE tahun 2018, klasifikasi kejang, yaitu:
1. Kejang umum
Suatu serangan kejang dikatakan kejang umum bila semiologi kejang umum disertai
dengan gelombang epileptiform umum. Pada kejang umum terjadi hilang kesadaran
yang dapat merupakan gejala awal manifestasi kejang. Gejala motorik yang tampak
bersifat bilateral. Beberapa tipe kejang umum ditandai gejala dan gerakan motorik
yang terlihat; tonik, klonik, tonik-klonik, mioklonik, atau atonik.
a. Kejang tonik adalah kejang yang ditandai dengan kontraksi otot yang
berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ekstremitas dan
tubuh dapat terlihat kaku. Kejang tonik lebih sering terjadi saat tidur, bila terjadi
saat periode bangun dapat mengakibatkan penderita terjatuh. Karakteristik
gambaran EEG adalah adanya perlambatan aktivitas yang bersifat umum, atau
tampak gelombang epileptiform dengan voltase tinggi dan frekuensi cepat (≥9-
10 Hz).
b. Kejang klonik adalah kejang yang ditandai sentakan mioklonik sekelompok otot
dengan pengulangan secara teratur lebih kurang 2-3 siklus per detik serta
berlangsung lama, biasanya melibatkan kedua sisi tubuh. Gerakan tersebut
tampak menyerupai serangan mioklonik, namun kejang klonik bersifat repetitif
dengan kecepatan yang lebih rendah dibanding serangan mioklonik. Gambaran
EEG tipikal pada kejang klonik adalah adanya kompleks paku-ombak lambat
dengan frekuensi tinggi (≥10 Hz).
c. Kejang tonik-klonik merupakan bentuk kejang dengan kombinasi kedua elemen
tipe kejang di atas, dapat tonik-klonik atau klonik tonik-klonik. Termasuk dalam
klasifikasi ini adalah kejang tonik klonik umum yang sering disebut grand mal.
Kejang tonik-klonik ditandai dengan kontraksi tonik simetris, diikuti dengan
kontraksi klonik bilateral otot-otot somatis. Kejang jenis ini disertai dengan
fenomena otonom, termasuk penurunan kesadaran atau apnea.
d. Kejang absans ditandai hilangnya kesadaran yang bersifat sementara. Subkelas
kejang absans terdiri atas absans tipikal, atipikal, dan absans dengan gambaran
khusus. Kejang absans tipikal ditandai dua manifestasi utama; hilang kesadaran
transien dan gambaran EEG khas berupa gelombang paku-ombak atau paku
majemuk-ombak dengan frekuensi 2,5-3 Hz. Meskipun umumnya tipe ini
muncul tanpa disertai bentuk kejang lain, beberapa penderita dapat
memperlihatkan manifestasi motorik, yaitu komponen klonik (kedutan kelopak
mata, alis, dan mulut), komponen atonik (hilangnya tonus otot mendadak yang
menyebabkan kepala terkulai, kehilangan daya genggam, tapi jarang
menyebabkan pasien terjatuh), komponen tonik (mata berputar dan kepala
bergerak ke belakang, batang tubuh melengkung), atau automatisasi (gerakan
repetitif yang intens misalnya gerakan mengecap-ngecap, menelan, berjalan).
e. Kejang mioklonik adalah kontraksi otot tunggal atau multipel yang terjadi secara
tiba-tiba, cepat (<100 milidetik) dengan topografi yang bervariasi (aksial,
ekstremitas proksimal, distal). Kejang mioklonik dapat terjadi unilateral atau
bilateral. Gambaran EEG tipikal memperlihatkan gambaran kompleks paku
majemuk-ombak, atau lebih jarang berupa gambaran paku-ombak, atau tajam-
ombak. Kejang mioklonik-atonik, sebelumnya disebut kejang mioklonik-astatik,
merupakan bentuk kejang atonia yang didahului kejang mioklonik, umumnya
menyebabkan penderita terjatuh tiba-tiba (drop attacks).
f. Kejang atonik adalah kejang yang ditandai dengan hilangnya tonus otot tanpa
didahului kejang mioklonik atau tonik yang berlangsung ≥1-2 detik, melibatkan
kepala, batang tubuh, rahang, atau otot-otot ekstremitas.
2. Kejang Parsial
Kejang parsial atau kejang fokal bermula dari struktur kortikal atau subkortikal dari
satu hemisfer, namun dapat menyebar ke area lain, baik ipsilateral maupun
kontralateral. Kejang parsial dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :
a. Kejang parsial sederhana adalah kejang fokal tanpa disertai gangguan kesadaran.
Gambaran EEG iktal akan menunjukkan gelombang epileptiform fokal
kontralateral dimulai dari area korteks yang terpengaruh. Kejang parsial
sederhana ini dapat menunjukkan kejang disertai gejala motorik, somatosensorik
atau sensorik khusus (special sensory), autonom, atau perilaku.
b. Kejang parsial kompleks adalah kejang fokal disertai hilang atau perubahan
kesadaran. Gambaran EEG iktal menunjukkan adanya cetusan unilateral atau
terkadang bilateral tidak bersamaan. Kejang parsial kompleks dapat mengambil
salah satu dari dua manifestasi berikut; kejang parsial sederhana pada awal
serangan diikuti hilang kesadaran dan hilang kesadaran dimulai dari saat awal
serangan.
c. Kejang parsial menjadi umum ditandai dengan kejang fokal yang diikuti kejang
umum. Kejang umum dapat berbentuk tonik, klonik, atau tonik-klonik.
Gambaran EEG iktal menunjukkan cetusan lokal dimulai dari korteks yang
terpengaruh, diikuti gambaran cetusan umum.
D. Etiologi
Seizure merupakan salah satu diagnosis yang tidak menular. Meskipun banyak
mekanisme penyakit yang mendasari dapat menyebabkan kejang, penyebab penyakit
ini masih belum diketahui pada sekitar 50% kasus secara global. Penyebab seizure
dibagi ke dalam dua kategori yaitu, Genetic epilepsy syndrome adalah kejang yang
diketahui/diduga disebabkan oleh kelainan genetik dengan kejang sebagai
manifestasi utama. Structural/metabolic syndrome adalah adanya kelainan
struktural/metabolik yang menyebabkan seseorang berisiko mengalami kejang
epileptik, contohnya epilepsi setelah sebelumnya mengalami stroke, trauma, infeksi
SSP, atau adanya kelainan genetik seperti tuberosklerosis dengan kelainan struktur
otak (tumor). Epilepsi digolongkan sebagai “unknown cause” bila penyebabnya
belum diketahui.
E. Patofisiologi
Patofisiologi kejang menurut Stafttom dalam bukunya The Pathophysiology Of
Epileptic Seizure adalah:
1. Patofisiologi berdasarkan mekanisme eksitasi.
Patofisiologi epilepsi berdasarkan mekanisme imbalans eksitasi dapat terjadi akibat
aktivitas kejang yang dipengaruhi oleh perubahan eksitabilitas sel-sel saraf dan
hubungan antar sel-sel saraf. Kejang dapat dipicu oleh eksitasi ataupun inhibisi pada
sel saraf. Glutamat yang dilepaskan dari terminal presinaps akan berikatan dengan
reseptor glutamat yang disebut reseptor inotropik glutamat (iGluRs) yang memiliki
beberapa sub tipe yaitu NMDA (N-methyl-Daspartate) dan non-NMDA (kainate dan
amino-3-hydroxy5-methyl-isoxasole propionic acid atau AMPA). Ikatan glutamat
dengan reseptor non-NMDA akan menghasilkan neurotransmisi eksitasi tipe cepat
yang disebut excitatory postsynaptic potential (EPSP). Sementara itu, ikatan glutamat
dengan reseptor NMDA akan menghasilkan tipe EPSP yang lebih lambat
2. Patofisiologi berdasarkan mekanisme inhibisi. Neurotransmitter inhibisi primer pada
otak adalah GABA. GABA yang dilepaskan akan berikatan dengan reseptor GABAA
dan menyebabkan masuknya ion Cl- ke dalam sel neuron. Masuknya ion Cl ini akan
meningkatkan muatan negatif dalam neuron postsinaps dan mengakibatkan
hiperpolarisasi, perubahan pada potensial membran ini disebut inhibitory postsinaptic
potential (IPSP). Reseptor GABAB terletak pada terminal presinaptik dan membran
postsinaptik. Jika diaktifkan oleh GABA presinaptik maupun postsinaptik maka
reseptor GABAB akan menyebabkan IPSP. IPSP berperan dalam menurunkan cetusan
elektrik sel saraf. Penurunan komponen sistem GABA-IPSP ini akan mengakibatkan
eksitasi dan mencetuskan epilepsi.
3. Patofisiologi berdasarkan mekanisme sinkronisasi. Epilepsi dapat diakibatkan oleh
gangguan sinkronisasi sel-sel saraf berupa hipersinkronisasi. Hipersinkronisasi terjadi
akibat keterlibatan sejumlah besar neuron yang berdekatan dan menghasilkan cetusan
elektrik yang abnormal. Potensial aksi yang terjadi pada satu sel neuron akan
disebarkan ke neuron-neuron lain yang berdekatan dan pada akhirnya akan terjadi
bangkitan elektrik yang berlebihan dan bersifat berulang.
4. Patofisiologi berdasarkan mekanisme iktogenesis. Mekanisme iktogenesis terjadi
akibat perubahan plastisitas seluler dan sinaps serta akibat perubahan pada lingkungan
ekstraseluler. Mekanisme iktogenesis diawali dengan adanya sel-sel neuron abnormal
yang mempengaruhi neuronneuron sekitarnya dan membentuk suatu critical mass,
yang bertanggung jawab dalam mekanisme epilepsi. Sampai saat ini teori tentang
iktogenesis ini masih diperdebatkan. Eksitabilitas merupakan kunci utama
padamekanisme iktogenesis, eksitasi dapat berasal dari neuron individual, lingkungan
neuronal atau populasi neuronal. Ketiga penyebab ini berinteraksi satu sama lain
selama satu episode iktal tertentu
5. Patofisiologi berdasarkan mekanisme epileptogenesis. Bangkitan epilepsi dicetuskan
oleh suatu sumber diotak yang dinamakan fokus epileptogenik, yang berasal dari
sekelompok sel neuron yang abnormal di otak dan memiliki lepas muatan listrik yang
berlebihan sehingga mengalami hipersinkronisasi
6. Patofisiologi berdasarkan mekanisme peralihan interiktal-iktal. Mekanisme yang
memproduksi sinyal, sinkronisitas dan penyebaran aktivitas sel saraf termasuk
kedalam teori transisi interiktal-iktal. Dari berbagai penelitian, mekanisme transisi ini
tidak berdiri sendiri melainkan hasil dari beberapa interaksi mekanisme yang berbeda.
Terdapat dua teori mengenai transisi interiktaliktal, yaitu mekanisme nonsinaptik dan
sinaptik. Pada nonsinaptik adanya aktivitas iktal-interiktal yang berulang
menyebabkan peningkatan kalium ekstrasel sehingga eksitabilitas neuron meningkat.
Aktivitas pompa Na-K sangat berperan dalam mengatur eksitabilitas neuronal.
Hipoksia atau iskemia dapat menyebabkan kegagalan pompa Na-K sehingga
meningkatkan transisi interiktaliktal. Engelborghs melaporkan bahwa gangguan
sinkronisasi juga berperan penting pada transisi interiktal-iktal. Teori sinaptik ini
menyebutkan bahwa penurunan efektivitas mekanisme inhibisi sinaps ataupun
peningkatan aktivitas eksitasi sinapsdapat mencetuskan epilepsi
7. Patofisiologi berdasarkanmekanisme neurokimiawi. Mekanisme epilepsi sangat
dipengaruhi oleh keadaan neurokimia pada sel-sel saraf, misalnya sifat
neurotransmiter yang dilepaskan, ataupun adanya faktor tertentu yang menyebabkan
gangguan keseimbangan neurokimia seperti pemakaian obat-obatan. Selain GABA
dan glutamat yang merupakan neurotransmiter penting dalam epilepsi, terdapat
beberapa produk kimiawi lain yang juga ikut berperan seperti misalnya golongan
opioid yang dapat menyebabkan inhibisi interneuron, ataupun katekolamin yang dapat
menurunkan ambang kejang. Selain itu gangguan elektrolit akibat kegagalan
pengaturan pompa ionik juga ikut mencetuskan serangan epilepsi14 . Beberapa zat
kimia terbukti dapat memicu terjadinya epilepsi, yaitu alumina hydroxide gel yang
menyebabkan degenerasi neuron, kematian neuron dan penurunan aktivitas
GABAergik, pilokapin yang menyebabkan pembengkakan pada dendrit, soma dan
astrosit, dan pada tahap akhir menyebabkan kematian sel. Asam kainat terbukti dapat
menginduksi kejang dengan cara memacu reseptor EAA (excitatory amino acid)
8. Patofisiologi berdasarkan mekanisme imun. Teori mengenai mekanisme imun masih
jarang diperbincangkan dan masih memerlukan pembuktian lebih lanjut. Teori ini
menyebutkan bahwa reaksi imunologis atau inflamasi menyebabkan berbagai
penyakit neurologis termasuk epilepsi. Reaksi inflamasi pada sistem saraf pusat
merupakan akibat dari aktivasi sistem imun adaptif maupun nonadaptif. Penelitian
yang dilakukan pada binatang percobaan memperlihatkan bahwa selama aktivitas
epilepsi terjadi pelepasan mediator inflamasi oleh mikroglia, astrosit dan neuron.
F. Manifestasi Klinis
Menurut International League of Epilepsy (2018), gejala dan tanda dari kejang dibagi
berdasarkan klasifikasi,yaitu :
1. Kejang Parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau
satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan
kesadarn penderita umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana : Gejala yang timbul berupa kejang motorik
fokal, fenomena halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks.
b. Kejang parsial kompleks : Gejala bervariasi dan hampir sama dengan
kejang parsial sederhana, tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan
kesadaran dan tomatisme.
2. Kejang Umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau
kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans : Hilangnya kesadaran sesaat (beberapa detik) dan
mendadak disertai amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan
seperti aura atau halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik : Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot
anggota badan, leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau
lebih lama.
c. Kejang Mioklonik : Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang
cepat dan singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik : Sering disebut dengan kejang grand mal.
Kesadaran hilang engan cepat dan total disertai kontraksi menetap dan
masif di seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik
berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang berlangsung
sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas fenomena otonom yang
terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut
jantung.
e. Kejang Klonik : Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang
mioklonik, tetapi kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya
sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik : Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita
sering mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan.
G. Komplikasi
1. Kerusakan Otak; terjadi melalui mekanisme eksitoksik neuron saraf yang aktif
sewaktu kejang melepaskan glutamat yang mengikat resptor MMDA (M Metyl D
Asparate) yang mengakibatkan ion kalsium dapat masuk ke sel otak yang merusak
sel neuron secara irrevesible.
2. Retardasi Mental; Dapat terjadi karena defisit neurologis pada demam neonatus.
H. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektroensefalogram (EEG) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan
fokus dari kejang.
b. Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya
untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
c. Magnetic resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan
menggunakan lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk
memperlihatkan daerah-daerah otak yang tidak jelas terlihat bila menggunakan
pemindaian CT.
d. Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi
kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan
metabolik atau alirann darah dalam otak.
e. Uji laboratorium
f. Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler.
g. Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit.
h. Panel elektrolit
i. Skrining toksik dari serum dan urin.
j. Analisa Gas Darah
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam kejang, secara umum ada 2 hal yaitu :
a. Tatalaksana fase akut (saat kejang) Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah
mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera
mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari faktor penyebab. Serangan
kejang umumnya berlangsung singkat dan berhenti sendiri. Pengelolaan pertama
untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila
berat badan < 10 kg atau 10 mg bila berat badan > 10 kg. Jika kejang masih belum
berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang
sama. Jika setelah dua kali pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti,
maka penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit. (Abdul, 2017)
b. Pengobatan
Tujuan utama pengobatan kejang adalah membuat penderita terbebas dari
serangan kejangnya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan
sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus menerus maka
kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya
kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi
kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi
dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi
dapat dicegah atau dikontrol dengan obat-obatan sampai pasien tersebut 2 tahun
bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu :
1) Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi
yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan
di Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam
valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat mencegah
serangan epilepsi secara efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi,
penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek
samping yang berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat
dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat
mengatasi kejang. (Dadiyanto, 2011)
2) Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang
menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan.
Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan.
Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi.
(Abdul, 2017)
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi
3) Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat yang
kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat
mengurangi toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan
pada anak penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik dalam
menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang stabil
dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol terjadinya kejang. (Heinz,
2016).
Penurunan Kapasitas Kapasitas Adaptif Inrakranial Manajemen Peningkatan Tekanan Intra Kranial
Adaptif Inrakranial (L.06049) (I.06194)
D.0066 Setelah dilakukan Tindakan Observasi
keperawatan 5x24 jam diharapkan 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK (Edema
Kapasitas Adaptif Inrakranial Serebral, Lesi)
meningkat, dengan kriteria hasil: 2. Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK ( TD,
1. Tingkat kesadaran meningkat HR, RR, Kesadaran menurun)
(dengan skala perubahan 5) 3. Monitor status pernafasan
2. Fungsi kognitif meningkat (dengan 4. Monitor intake dan output cairan
skala perubahan 5) Terapeutik
3. Sakit kepala menurun (dengan skala 1. Berikan O2 4-5 L
perubahan 5) 2. Cegah terjadinya kejang
4. Refleks neurologis membaik 3. Pertahankan suhu tubuh normal
(dengan skala perubahan 5) 4. Atur ventilator agar PaCO2 optimal
5. Tekanan intrakranial membaik 5. Minimalkan stimulus
(dengan skala perubahan 5) 6. Berikan posisi semifowler
7. Hindari Valsava Maneufer
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan
Risiko Perfusi Serebral Kapasitas Adaptif Inrakranial Manajemen Peningkatan Tekanan Intra Kranial
Tidak Efektif (L.06049) (I.06194)
D.0017 Setelah dilakukan Tindakan Observasi
keperawatan 5x24 jam diharapkan 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK (Edema
Kapasitas Adaptif Inrakranial Serebral, Lesi)
meningkat, dengan kriteria hasil: 2. Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK ( TD,
6. Tingkat kesadaran meningkat HR, RR, Kesadaran menurun)
(dengan skala perubahan 5) 3. Monitor status pernafasan
7. Fungsi kognitif meningkat (dengan 4. Monitor intake dan output cairan
skala perubahan 5) Terapeutik
8. Sakit kepala menurun (dengan skala 1. Berikan O2 4-5 L
perubahan 5) 2. Cegah terjadinya kejang
9. Refleks neurologis membaik 3. Pertahankan suhu tubuh normal
(dengan skala perubahan 5) 4. Atur ventilator agar PaCO2 optimal
5. Minimalkan stimulus
Tekanan intrakranial membaik (dengan
6. Berikan posisi semifowler
skala perubahan 5)
7. Hindari Valsava Maneufer
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan
Nyeri Kronik Tingkat Nyeri (L.08066) Manajemen Nyeri (I. 08238)
D. 0078 Setelah dilakukan Tindakan Observasi
keperawatan 5x24 jam diharapkan 1. identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
tingkat nyeri menurun, dengan kriteria frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
hasil: 2. identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyeri menurun (skala nyeri 3. identifikasi respon nyeri non verbal
0) 4. identifikasi factor yang meringankan dan
2. Pasien tidak meringis memperberat nyeri
3. Gelisah menurun 5. identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
4. Kesulitan tidur menurun 6. monitor efek samping keberhasilan terapi
5. Frekuensi nadi membaik (60- komplementer yang sudah diberikan
100x/menit) 7. monitor efek samping penggunaan analgetic
6. Pola napas membaik (16-20x/menit) Terapeutik
7. Tekanan darah membaik (110- 1. Berikan Teknik nonfarmakologis untuk
120/70-80mmHg) mengurangi rasa nyeri ( Terapi kompres
hangat/dingin, terapi imajinasi terbimbing, terapi
relaksasi)
2. kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
(suhu ruang, pencahayaan, kebisingan)
3. fasilitasi istirahat dan tidur
4. pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
1. jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. jelaskan strategi meredakan nyeri
3. anjurkan monitor nyeri secara mandiri
4. anjurkan menggunakan analgetic secara tepat
5. ajarkan Teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. kolaborasi pemberia analgesic
Gangguan mobilitas Mobilitas Fisik (L.05042) Dukungan mobilisasi (I.05173)
fisik Observasi
(D.0054) Setelah dilakukan perawatan 5x24 jam 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
diharapkan mobilitas fisik meningkat, lainnya
dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
1. Pergerakan ekstremitas 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
meningkat sebelum dan setelah mobilisasi
2. Kekuatan otot meningkat 4. Monitor kondisi umum selama mobilisasi
3. Rentang Gerak (ROM) Terapeutik
meningkat 1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
4. Nyeri menurun (skala nyeri 0) (mis. Pagar tempat tidur)
5. Gerakan terbatas menurun 2. Fasilitasi melakukan pergerakan, bila perlu
6. Kelemahan fisik menurun 3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
3. Ajarkan mobilisasi dini
4. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus
dilakukan
Intoleransi aktivitas Toleransi Aktivitas (L.05047) Manajemen Energi (I. 05178)
(D.0056) Observasi
setelah dilakukan Tindakan 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
keperawatan 5x24 jam diharapkan mengakibatkan kelelahan
toleransi aktivitas meningkat, dengan 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
kriteria hasil: 3. Monitor pola dan jam tidur
1. Keluhan Lelah menurun 4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
2. Dipsneu saat aktivitas menurun melakukan aktivitas
3. Dispneu setelah aktivitas Terapeutik
menurun 1. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah
4. Kemudahan dalam melakukan stimulus (suara, cahaya, kunjungan)
aktivitas sehari-hari meningkat 2. Lakukan Latihan gerak aktif dan pasif
3. Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
4. Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah dan berjalan
Edukasi
1. anjurkan tirah baring
2. anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
3. anjurkan strategi koping untuk mengurangi
kelelahan
Defisit perawatan diri Perawatan Diri (L.11103) Dukungan Perawatan Diri ( I. 11348)
(D. 0109) Observasi
Setelah dilakukan perawatan 5x24 jam 1. Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri
diharapkan perawatan diri meningkat, sesuai usia
dengan kriteria hasil: 2. Monitor tingkat kemandirian
1. Kemampuan mandi meningkat 3. Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri,
2. Kemampuan mengenakan berpakaian, berhias, dan makan
pakaian meningkat Terapeutik
3. Kemampuan ke toilet meningkat 1. Sediakan lingkungan terapeutik (suasana hangat,
4. Verbalisasi keinginan rilex, privasi)
melakukan perawatan diri 2. Siapkan keperluan pribadi
meningkat 3. Dampingi dalam melakukan perawatan diri
5. Minat melakukan perawatan diri 4. Fasilitasi kemandirian
meningkat 5. Jadwalkan rutinitas perawatan diri
6. Mempertahankan kebersihan diri Edukasi
meningkat 1. Anjurkan melakukan perawatan diri secara
7. Mempertahankan kebersihan konsisten sesuai kemampuan.
mulut meningkat
DAFTAR PUSTAKA
Oleh:
Elfinda Nurzahri, S.Kep
2112501010052
DO :
- TD : 130/70 mmhg
- HR : 96 kali/menit
- RR : 18 x/menit
- T : 36,4 ˚C
- Skala Nyeri : 6 NRS
- Wajah pasien tampak meringis
Selasa/ 8 2 DS : Edema serebral Penurunan
Februari 2022 - Pasien memberi isyarat sakit kepala (stroke iskemik) kapasitas adaptif
intrakranial
DO :
- TD : 130/70 mmhg
- HR : 96 kali/menit
- RR : 18 x/menit
- T : 36,4 ˚C
- GCS : E4M6VAfasia
- Hemiparesis ekstremitas sinistra
- Pupil isokor
- Pasien mengalami penurunan kesadaran
Selasa/ 8 3 DS : - Peningkatan sirkulasi Perfus serebral
Februari 2022 DO : ke otak tidak efektif
- Pasien mengalami kejang tonik-klonik berkisar 30 detik
hingga 1 menit
- TD : 130/70 mmHg
- RR : 18 x/menit
- HR : 96 x/menit
- T : 36,6 C
Penurunan Kapasitas Kapasitas Adaptif Inrakranial Manajemen Peningkatan Tekanan Intra Kranial
Adaptif Inrakranial (L.06049) (I.06194)
D.0066 Setelah dilakukan Tindakan keperawatan Observasi
5x24 jam diharapkan Kapasitas Adaptif 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK (Edema
Inrakranial meningkat, dengan kriteria Serebral, Lesi)
hasil: 2. Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK ( TD, HR,
1. Tingkat kesadaran meningkat RR, Kesadaran menurun)
(dengan skala perubahan 5) 3. Monitor status pernafasan
2. Fungsi kognitif meningkat 4. Monitor intake dan output cairan
(dengan skala perubahan 5) Terapeutik
3. Sakit kepala menurun (dengan 1. Berikan O2 4-5 L
skala perubahan 5) 2. Cegah terjadinya kejang
4. Refleks neurologis membaik 3. Pertahankan suhu tubuh normal
(dengan skala perubahan 5) 4. Atur ventilator agar PaCO2 optimal
5. Tekanan intrakranial membaik 5. Minimalkan stimulus
(dengan skala perubahan 5) 6. Berikan posisi semifowler
7. Hindari Valsava Maneufer
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan
Risiko Perfusi Serebral Kapasitas Adaptif Inrakranial Manajemen Peningkatan Tekanan Intra Kranial
Tidak Efektif (L.06049) (I.06194)
Setelah dilakukan Tindakan keperawatan
D.0017 5x24 jam diharapkan Kapasitas Adaptif Observasi
Inrakranial meningkat, dengan kriteria 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK (Edema
hasil: Serebral, Lesi)
1. Tingkat kesadaran meningkat (dengan 2. Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK ( TD, HR,
skala perubahan 5) RR, Kesadaran menurun)
2. Fungsi kognitif meningkat (dengan 3. Monitor status pernafasan
skala perubahan 5) 4. Monitor intake dan output cairan
3. Sakit kepala menurun (dengan skala Terapeutik
perubahan 5) 1. Berikan O2 4-5 L
4. Refleks neurologis membaik (dengan 2. Cegah terjadinya kejang
skala perubahan 5) 3. Pertahankan suhu tubuh normal
5. Tekanan intrakranial membaik 4. Atur ventilator agar PaCO2 optimal
(dengan skala perubahan 5) 5. Minimalkan stimulus
6. Berikan posisi semifowler
7. Hindari Valsava Maneufer
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan
Nyeri Akut] Tingkat Nyeri (L.08066) Manajemen Nyeri (I. 08238)
D. 0077 Setelah dilakukan Tindakan keperawatan Observasi
5x24 jam diharapkan tingkat nyeri 1. identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
menurun, dengan kriteria hasil: kualitas, intensitas nyeri
1. Keluhan nyeri menurun (skala nyeri 2. identifikasi skala nyeri
0) 3. identifikasi respon nyeri non verbal
2. Pasien tidak meringis 4. identifikasi factor yang meringankan dan memperberat
3. Gelisah menurun nyeri
4. Kesulitan tidur menurun 5. identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
5. Frekuensi nadi membaik 6. monitor efek samping keberhasilan terapi
(60-100x/menit) komplementer yang sudah diberikan
6. Pola napas membaik (16-20x/menit) 7. monitor efek samping penggunaan analgetic
7. Tekanan darah membaik (110-120/70- Terapeutik
80mmHg) 1. Berikan Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri ( Terapi kompres hangat/dingin, terapi
imajinasi terbimbing, terapi relaksasi)
2. kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (suhu
ruang, pencahayaan, kebisingan)
3. fasilitasi istirahat dan tidur
4. pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
1. jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. jelaskan strategi meredakan nyeri
3. anjurkan monitor nyeri secara mandiri
4. anjurkan menggunakan analgetic secara tepat
5. ajarkan Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi
kolaborasi pemberian analgesic
Gangguan mobilitas fisik Mobilitas Fisik (L.05042) Dukungan mobilisasi (I.05173)
(D.0054) Observasi
Setelah dilakukan perawatan 5x24 jam 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
diharapkan mobilitas fisik meningkat, 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
dengan kriteria hasil: 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
1. Pergerakan ekstremitas meningkat dan setelah mobilisasi
2. Kekuatan otot meningkat 4. Monitor kondisi umum selama mobilisasi
3. Rentang Gerak (ROM) meningkat Terapeutik
4. Nyeri menurun (skala nyeri 0) 1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis.
5. Gerakan terbatas menurun Pagar tempat tidur)
6. Kelemahan fisik menurun 2. Fasilitasi melakukan pergerakan, bila perlu
3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
3. Ajarkan mobilisasi dini
4. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan
Defisit perawatan diri Perawatan Diri (L.11103) Dukungan Perawatan Diri ( I. 11348)
(D. 0109) Observasi
Setelah dilakukan perawatan 5x24 jam 1. Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri sesuai
diharapkan perawatan diri meningkat, usia
dengan kriteria hasil: 2. Monitor tingkat kemandirian
1. Kemampuan mandi meningkat 3. Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri,
2. Kemampuan mengenakan pakaian berpakaian, berhias, dan makan
meningkat
3. Kemampuan ke toilet meningkat Terapeutik
4. Verbalisasi keinginan melakukan 1. Sediakan lingkungan terapeutik (suasana hangat, rilex,
perawatan diri meningkat privasi)
5. Minat melakukan perawatan diri 2. Siapkan keperluan pribadi
meningkat 3. Dampingi dalam melakukan perawatan diri
6. Mempertahankan kebersihan diri 4. Fasilitasi kemandirian
meningkat 5. Jadwalkan rutinitas perawatan diri
7. Mempertahankan kebersihan mulut Edukasi
meningkat Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten
sesuai kemampuan.
3. Catatan Perkembangan Pasien
I:
1. Mengidentifikasi penyebab peningkatan TIK edema
serebral (pukul 12.00)
2. Memonitor tanda dan gejala peningkatan TIK (TD, HR,
RR, tingkat kesadaran) setiap 8 jam
3. Memposisikan pasien dalam posisi semifowler (pukul
12.00)
4. Pasien mendapatkan terapi pengobatan :
- Piracetam 12 gr/ 12 jam, injeksi
- Pantoprazole 30 mg/ 12 jam, injeksi
- Mecobalamin 500 mg/ 12 jam, injeksi
- Ceftrixone 1 gr/ 12 jam, injeksi
- Lovenox 0,4 cc/ 12 jam, injeksi
E:
1. TIK meningkat karena ada sumbatan pada pembuluh
darah otak
2. Pasien mengalami sakit kepala, TD meningkat & tidak
berkonsentrasi penuh
3. Pernafasan 20 x/menit
4. Pasien BAK dengan kapasitas 1000 cc/ hari
I:
1. Mengidentifikasi penyebab peningkatan TIK edema
serebral (pukul 12.00)
2. Memonitor tanda dan gejala peningkatan TIK (TD, HR,
RR, tingkat kesadaran) setiap 8 jam
3. Memposisikan pasien dalam posisi semifowler (pukul
12.00)
5. Pasien mendapatkan terapi pengobatan :
- Piracetam 12 gr/ 12 jam, injeksi
- Pantoprazole 30 mg/ 12 jam, injeksi
- Mecobalamin 500 mg/ 12 jam, injeksi
- Ceftrixone 1 gr/ 12 jam, injeksi
- Lovenox 0,4 cc/ 12 jam, injeksi
E:
1. Keadaan umum lemah
2. Tingkat kesadaran pasien GCS E4M6Vafasia
3. TD = 119/85 mmhg, HR = 70 x/menit
4. Pernafasan 22 x/menit
I:
1. Mengidentifikasi penyebab peningkatan TIK edema
serebral (pukul 10.00)
2. Memonitor tanda dan gejala peningkatan TIK (TD, HR,
RR, tingkat kesadaran) setiap 8 jam
3. Memposisikan pasien dalam posisi semifowler (pukul
10.00)
6. Pasien mendapatkan terapi pengobatan :
- Piracetam 12 gr/ 12 jam, injeksi
- Pantoprazole 30 mg/ 12 jam, injeksi
- Mecobalamin 500 mg/ 12 jam, injeksi
- Ceftrixone 1 gr/ 12 jam, injeksi
- Lovenox 0,4 cc/ 12 jam, injeksi
E:
1. Keadaan umum lemah
2. Tingkat kesadaran pasien meningkat, GCS E4M6Vafasia
3. TD = 120/85 mmhg, HR = 70 x/menit
4. Pernafasan 20 x/menit
I:
1. Mengkaji tingkat kemandirian pasien untuk melakukan
perawatan diri pada pukul 08.15 WIB
2. Menyiapkan kebutuhan alat bantu kebersihan diri,
berpakaian dan berhias bersama keluarga pada pukul
08.30 WIB
3. Memfasilitasi pasien dalam menjaga privasi dengan
menutup tirai saat mengganti baju pada pukul 08.30 WIB
4. Mendampingi keluarga dalam melakukan perawatan diri
kepada pasien pada pukul 08.30
5. Menganjurkan untuk melakukan perawatan diri secara
konsisten setiap hari.
E:
1. Pasien belum mampu mengakses kamar mandi sendiri
2. Keluarga pasien membawa keperluan perawatan diri
pasien dari rumah
3. Pasien dibantu keluarga untuk melakukan perawatan diri
4. Keluarga dan pasien mengatakan akan mempertahankan
kebersihan diri
R:
Masalah defisit perawatan diri belum Teratasi, Intervensi 1-5
dilanjutkan
I:
1. Mengidentifikasi penyebab peningkatan TIK edema
serebral (pukul 14.00)
2. Memonitor tanda dan gejala peningkatan TIK (TD, HR,
RR, tingkat kesadaran) setiap 8 jam
3. Memposisikan pasien dalam posisi semifowler (pukul
14.00)
4. Pasien mendapatkan terapi pengobatan :
- Piracetam 12 gr/ 12 jam, injeksi
- Pantoprazole 30 mg/ 12 jam, injeksi
- Mecobalamin 500 mg/ 12 jam, injeksi
- Ceftrixone 1 gr/ 12 jam, injeksi
- Lovenox 0,4 cc/ 12 jam, injeksi
E:
1. Keadaan umum baik
2. Tingkat kesadaran pasien meningkat, GCS E4M6Vafasia
3. TD = 124/70 mmhg, HR = 78 x/menit
4. Pernafasan 18 x/menit
E:
1. TTV setelah beraktivitas
a. TD: 115/85 mmHg
b. RR: 21x/menit
c. HR: 87x/menit
2. Pasien masih belum mampu bergerak secara mandiri
3. Keluarga membantu pasien untuk mengubah posisi
4. Pasien memilih posisi semifowler untuk mengurangi nyeri
dan melakukan perubahan posisi secara perlahan
Oleh:
Elfinda Nurzahri, S.Kep
2112501010052
2. Rencana Keperawatan
Gangguan menelan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Dukungan perawatan diri : makan/ minum
2x24 jam diharapkan status menelan membaik Observasi
dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi diet yang dianjurkan
1. Mempertahankan makanan di mulut 2. Monitor kemampuan menelan
membaik Terapeutik
2. Reflek menelan membaik 1. Atur posisi yang nyaman untuk makan/minum
3. Kemampuan megosongkan mulut membaik 2. Sediakan makanan ang mudah dikonsumsi
4. Kemampuan mengunyah membaik 3. Berikan bantuan saat makan dan minum
sesuai tingkat kemandirian
Edukasi
1. Anjurkan keluarga untuk memberikan pasien
makanan yang mudah dikonsumsi/ mudah
dicerna
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat (penambah nafsu
makan)
3. Catatan Perkembangan
I : (pukul 16.00)
1. Mengidentifikasi tanda dan gejala primer penurunan curah
jantung (dispnea, edema, kelelahan)
2. Memantau tekanan darah/ 8 jam
3. Memonitor saturasi oksigen/ 12 jam
4. Memonitor keluhan nyeri dada
5. Memposisikan pasien semifowler atau posisi nyaman
9. Memfasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi gaya
hidup sehat
10. Memberikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen
> 94%
11. Menganjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
12. Mengajarkan pasien dan keluarga diet jantung (batasi asupan
kafein, natrium, kolesterol, dan makanan tinggi lemak
13. Pasien mendapatkan obat antihipertensi :
- Bisoprolol 5 mg, Peroral
- Amlodipin 5 mg, Peroral
- Furosemid, IV
E:
1. Tekanan darah menurun : TD: 150/98 mmHg
2. Saturasi oksigen 99%
E:
1. Warna kulit pucat menurun
2. Pasien sudah tampak berenergi
3. CRT membaik (< 2 detik)
4. Nilai rata-rata tekanan darah membaik
R:
Perfusi perifer teratasi sebagian, intervensi 1-4 dilanjutkan
3 Minggu/ Gangguan 1. Mengidentifikasi diet yang S:
13 menelan dianjurkan 1. Pasien mengatakan susah saat menelan makanan
Februari 2. Memonitor kemampuan menelan
2022 3. Mengatur posisi yang nyaman O:
untuk makan/minum
1. Pasien mengalami gangguan pada N.VII dan N.IX
4. Menyediakan makanan yang
2. Makanan tidak dihabiskan
mudah dikonsumsi
5. Memberikan bantuan saat makan
dan minum sesuai tingkat A: Ganguan menelan belum teratasi
kemandirian
6. Menganjurkan keluarga untuk P:
memberikan pasien makanan yang Observasi
mudah dikonsumsi/ mudah dicerna 1. Identifikasi diet yang dianjurkan
7. Kolaborasi pemberian obat 2. Monitor kemampuan menelan
(penambah nafsu makan) Terapeutik
1. Atur posisi yang nyaman untuk makan/minum
2. Sediakan makanan ang mudah dikonsumsi
3. Berikan bantuan saat makan dan minum sesuai tingkat
kemandirian
Edukasi
1. Anjurkan keluarga untuk memberikan pasien makanan yang
mudah dikonsumsi/ mudah dicerna
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat (penambah nafsu makan)
I: (pukul 19.30)
1. Mengidentifikasi diet yang dianjurkan
2. Memonitor kemampuan menelan
3. Mengatur posisi yang nyaman untuk makan/minum
4. Menyediakan makanan yang mudah dikonsumsi (makanan
yang mudah ditelan)
5. Memberikan bantuan saat makan dan minum
6. Menganjurkan keluarga untuk memberikan pasien makanan
yang mudah dikonsumsi/ mudah ditelan
7. Pasien mendapatkan terapi pengobatan :
- Ondansetron 1 amp/ 8 jam, IV
- Citicolin 500 mg/ 12 jam, IV
E:
1. Pasien mampu makan sendiri tanpa bantuan
2. Pasien masih susah untuk menelan makanan
I : (pukul 16.30)
1. Memantau tekanan darah/ 8 jam
2. Memonitor saturasi oksigen/ 12 jam
3. Memonitor keluhan nyeri dada
4. Memposisikan pasien semifowler atau posisi nyaman
11. Memfasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi gaya
hidup sehat
12. Memberikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen
> 94%
13. Menganjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
14. Mengajarkan pasien dan keluarga diet jantung (batasi asupan
kafein, natrium, kolesterol, dan makanan tinggi lemak
14. Pasien mendapatkan obat antihipertensi :
- Bisoprolol 5 mg, Peroral
- Amlodipin 5 mg, Peroral
- Furosemid, Injeksi
E:
1. Tekanan darah menurun : TD: 138/70 mmHg
2. Saturasi oksigen 98%
3. Pasien tidak mengeluhkan rasa pusing atau nyeri di bagian
leher
R : Penurunan curah jantung teratasi sebagian, intervensi
dihentikan, pasien PBJ
E:
5. Warna kulit pucat menurun, tidak adanya edema
6. Pasien sudah tampak berenergi
7. CRT membaik (< 2 detik)
8. Nilai rata-rata tekanan darah membaik
R:
Perfusi perifer teratasi, intervensi dihentikan
3 Senin/ Gangguan 1. Memonitor kemampuan menelan S:
14 menelan 2. Mengatur posisi yang nyaman 1. Pasien mengatakan masih susah saaat menelan makanan
Februari untuk makan/minum
2022 3. Menyediakan makanan yang O:
mudah dikonsumsi 1. Pasien mengalami gangguan pada N.VII dan N.IX
4. Memberikan bantuan saat makan 2. Makanan hanya dihabiskan 1/2 porsi
dan minum sesuai tingkat
kemandirian A: Ganguan menelan belum teratasi
5. Menganjurkan keluarga untuk
memberikan pasien makanan yang P:
mudah dikonsumsi/ mudah dicerna Observasi
1. Identifikasi diet yang dianjurkan
2. Monitor kemampuan menelan
Terapeutik
1. Atur posisi yang nyaman untuk makan/minum
2. Sediakan makanan ang mudah dikonsumsi
3. Berikan bantuan saat makan dan minum sesuai tingkat
kemandirian
Edukasi
1. Anjurkan keluarga untuk memberikan pasien makanan yang
mudah dikonsumsi/ mudah dicerna
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat (penambah nafsu makan)
I: (pukul 19.30)
1. Memonitor kemampuan menelan
2. Mengatur posisi yang nyaman untuk makan/minum
3. Menyediakan makanan yang mudah dikonsumsi (makanan
yang mudah ditelan seperti bubur)
4. Memberikan bantuan saat makan dan minum
5. Menganjurkan keluarga untuk memberikan pasien makanan
yang mudah dikonsumsi/ mudah ditelan
8. Pasien mendapatkan terapi pengobatan :
- Ondansetron 1 amp/ 8 jam, IV
- Citicolin 500 mg/ 12 jam, IV
E:
1. Pasien mampu makan sendiri tanpa bantuan
2. Pasien masih susah untuk menelan makanan
Judul Jurnal The Effectiveness of Ketogenic Diet in Treatment of Epilepsy Patients : A Literature Review
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh dan efektivitas diet ketogenik sebagai pengobatan
pada pasien epilepsi/ seizure
Metode Penelitian ini menggunakan metode literature review dengan menggunakan database untuk
menemukan artikel atau penelitian yang relevan termasuk Science Direct, Scopus, dan Pro-Quest
dari tahun 2011-2018
Hasil Terapi metabolik dengan diet ketogenik dapat meningkatkan fungsi mitokondria, meningkatkan
penghambatan, dan mengurangi stimulasi saraf, yang dapat menyebabkan kejang pada pasien
epilepsi. Selain itu, faktor-faktor lain juga membuktikan dampak yang optimal pada penggunaan
diet ketogenik, seperti kepatuhan pasien dan usia. Diet ketogenik memberikan manfaat jangka
panjang yang efektif dalam pengobatan epilepsi di masa dewasa dan merupakan terapi tambahan
yang menjanjikan untuk pasien dengan resistensi obat epilepsi.
Kesimpulan Diet ketogenik merupakan salah satu terapi nonfarmakologis yang dapat dilakukan untuk
mencegah kejang atau seizure pada pasien epilepsi. Terapi metabolik dengan diet ketogenik dapat
meningkatkan fungsi mitokondria, meningkatkan penghambatan, dan mengurangi stimulasi saraf,
yang dapat menyebabkan kejang pada pasien epilepsi. Meskipun memiliki manfaat untuk
mencegah kekambuhan epilepsi, diet ketogenik memerlukan perhatian khusus terhadap efek
samping yang dapat terjadi pada pasien seperti masalah pencernaan