Oleh
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2018
i
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
iii
A. Definisi Penyakit
Status epileptikus (SE) merupakan keadaan emergensi medis berupa
kejang (seizure) persisten atau berulang yang dikaitkan dengan mortalitas tinggi
dan kecacatan jangka panjang (Abend, 2008 dalam Rilianto, 2015). Menurut
Dimyati, 2006 mengatakan bahwa status epileptikus merupakan kondisi dimana
pasien mengalami kejang selama lebih dari 30 menit dan terjadi secara berulang
tanpa pemulihan kesadaran. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali
selama lima menit atau lebih, harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.
A. Epidemiologi
B. Etiologi
SE sering merupakan manifestasi akut dari penyakit infeksi sistem saraf
pusat, stroke akut, ensefalopati hipoksik, gangguan metabolik, dan kadar obat
antiepilepsi dalam darah yang rendah. Etiologi tidak jelas pada sekitar 20% kasus.
Gangguan serebrovaskuler merupakan penyebab SE tersering di negara maju,
sedangkan di negara berkembang penyebab tersering karena infeksi susunan saraf
1
pusat. Etiologi SE sangat penting sebagai prediktor mortalitas dan morbiditas
(Rilianto, 2015).
1. Idiopatik epileps
Biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum,
penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai
inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya
predisposisi genetik.
2. Kriptogenik epilepsi
Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui.
Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi
yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahui seperti infeksi dan riwayat
penggunaan alkohol.
3. Simptomatik epilepsi
Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang mendasari,
contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan saraf
pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan
pembuluh darah diotak, toksik (alkohol, obat) dan kelainan
neurodegeneratif.
C. Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena
penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada
umumnya status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan-
area tertentu dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak
(Generalized onset).. Tahun 1981 International League Against Epilepsy (ILAE)
membuat suatu klasifikasi internasional mengenai kejang dan epilepsi yang
membagi kejang menjadi 2 golongan utama, yaitu:
1. Serangan parsial (partial onset seizures), dimulai pada satu area fokal di
korteks serebri.
2. Serangan umum (generalized-onset seizures), dimulai secara simultan di
kedua hemisfer.
2
3. Serangan lain yang sulit digolongkan dalam satu kelompok dimasukkan
dalam golongan tak terklasifikasikan (unclassified). ILAE kemudian
membuat klasifikasi yang diperbarui menggunakan diagnosis multiaksial
pada tahun 1989, kemudian disempurnakan lagi pada tahun 2001, namun
klasifikasi tahun 1981 tetap masih sering digunakan (Kustiowati dkk,
2003).
3
2) Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia
dan hipomagnesemia.
b) Clinical Pathway
Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
Rangsang mekanis, kimiawi dan aliran listrik dari sekitarnya
Perubahan patologis dan membran dari membran karena penyakit/keturunan
Perbedaan potensial
Hipereksitasi neuron
Status Epilektikus
Ganguan termoregulasi
Hipertermi
4
E. Manifestasi Klinis
a. Tanda Khas Epilepsi Parsial Sederhana
Aktivitas motorik merupakan gejala yang paling lazim pada
epilepsi parsial sederhana. Gerakan ditandai dengan gerakan klonik atau
tonik yang tidak sinkron, dan mereka cenderung melibatkan wajah, leher
dan tungkai. Kejang versify terdiri atas pemutaran kepala dan gerakan
mata gabungan adalah sangat lazim. Rata – rata kejang berlangsung
selama 10-22 detik.
5
Gambar 2. Manifestasi Epilepsi Parsial Kompleks)
6
sewaktu serangan mulai, ia akan jatuh seperti benda mati. Pada fase tonik
badan menjadi kaku. Bila kejang tonik ini kuat, udara dikeluarkan dengan
kuat dari paru-paru melalui pita suara sehingga terjadi bunyi yang disebut
sebagai jeritan epilepsy (epileptic cry). Sewaktu kejang tonik ini
berlangsung, penderita menjadi biru (sianosis) karena pernafasan terhenti
dan terdapat pula kongesti (terbendungnya) pembuluh darah balik vena.
Biasanya fase kejang tonik ini berlangsung selama 20 – 60 detik.
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan EEG (Elektroensefalogram) addalah salah satu tes yang
dilakukan untuk mengukur aktivitas kelistrikan dari otak untuk mendeteksi
adanya kelainan dari otak. Umumnya membantu dalam mengklasifikasikan tipe
epilepsi seseorang. Pasien jarang mengalami kejang selama pemriksaan EEG
rutin. Namun kejang tetap dapat memberikan konfirmasi tentang kehadiran
aktifitas listrik yang abnormal, informasi tentang tipe gangguan kejang, dan lokasi
spesifik kejang fokal. Pada pemeriksaan EEG rutin, tidur dan bangun, hanya
terdapat 50% dari seluruh pasien epilepsi yang akan terdeteksi dengan hasil yang
abnormal. EEG sebenarnya bukan merupakan tes untuk menegakkan diagnosa
epilepsi secara langsung. EEG hanya membantu dalam penegakan diagnosa dan
membantu pembedaan antara kejang umum dan kejang fokal.
7
berlanjut, pertimbangkan pemberian anestesi umum, dapat digunakan agen
seperti midazolam, propofol, atau pentobarbital.
Menggunakan obat-obat yang meningkatkan inaktivitasi kanal Na+
karena inaktivasi kanal Na dapat menurunkan kemampuan syaraf untuk
menghantarkan muatan listrik seperti fenitoin, karbamazepin, lamotrigin.
Selain itu, diazepam merupakan obat pilihan pertama (level evidence A
pada banyak penelitian). Obat memasuki otak secara cepat, setelah 15-20
menit akan terdistribusi ke tubuh. Walaupun terdistribusi cepat, eliminasi
waktu paruh mendekati 24 jam. Sangat berpotensi sedatif jika
terakumulasi dalam tubuh pada pemberian berulang. Diazepam dengan
dosis 5-10 mg intravena dapat menghentikan kejang pada sekitar 75%
kasus. Diazepam dapat diberikan secara intramuskuler atau rektal. Efek
samping termasuk depresi pernapasan, hipotensi, sedasi, iritasi jaringan
lokal. Sangat berpotensi hipotensi dan depresi napas jika diberikan
bersamaan obat antiepilepsi lain, khususnya barbiturat. Walaupun
demikian, diazepam masih merupakan obat penting dalam manajeman SE
karena efeknya yang cepat dan berspektrum luas.
8
DAFTAR PUSTAKA