Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN APLIKASI KLINIS 1 PADA PASIEN

DENGAN STATUS EPILEPTIKUS DI RUANG ICU


RUMAH SAKIT UMUM DR. H. KOESNADI BONDOWOSO

Oleh

Selasih Ilmi Nafi’ah


NIM 152310101237

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2018

i
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii


A. Definisi Penyakit ................................................................................................1
B. Epidemiologi ......................................................................................................1
C. Etiologi ..............................................................................................................1
D. Klasifikasi .........................................................................................................2
E. Patofisiologi dan Clinical Pathway ...................................................................3
F. Manifestasi Klinis .............................................................................................5
G. Pemeriksaan Penunjang ....................................................................................7
H. Penatalaksanaan Farmakologi dan non farmakologi .........................................8
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................10

iii
A. Definisi Penyakit
Status epileptikus (SE) merupakan keadaan emergensi medis berupa
kejang (seizure) persisten atau berulang yang dikaitkan dengan mortalitas tinggi
dan kecacatan jangka panjang (Abend, 2008 dalam Rilianto, 2015). Menurut
Dimyati, 2006 mengatakan bahwa status epileptikus merupakan kondisi dimana
pasien mengalami kejang selama lebih dari 30 menit dan terjadi secara berulang
tanpa pemulihan kesadaran. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali
selama lima menit atau lebih, harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.

A. Epidemiologi

Insidens SE di Amerika Serikat berkisar 41 per 100.000 individu setiap


tahun, sekitar 27 per 100.000 untuk dewasa muda dan 86 per 100.000 untuk usia
lanjut. Mortalitas tergantung dari durasi kejang, usia onset kejang, dan etiologi.
Pasien stroke dan anoksia mempunyai mortalitas paling tinggi. Sedangkan pasien
dengan etiologi penghentian alkohol atau kadar obat antiepilepsi dalam darah
yang rendah, mempunyai mortalitas relatif rendah (Rilianto, 2015).
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status
Epileptikus dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua Status
Epileptikus kebanyakan sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler,
disfungsi jantung, dementia. Pada negara miskin, epilepsy merupakan kejadian
yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang paling tinggi. (Oguni,
2004).

B. Etiologi
SE sering merupakan manifestasi akut dari penyakit infeksi sistem saraf
pusat, stroke akut, ensefalopati hipoksik, gangguan metabolik, dan kadar obat
antiepilepsi dalam darah yang rendah. Etiologi tidak jelas pada sekitar 20% kasus.
Gangguan serebrovaskuler merupakan penyebab SE tersering di negara maju,
sedangkan di negara berkembang penyebab tersering karena infeksi susunan saraf

1
pusat. Etiologi SE sangat penting sebagai prediktor mortalitas dan morbiditas
(Rilianto, 2015).
1. Idiopatik epileps
Biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum,
penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai
inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya
predisposisi genetik.
2. Kriptogenik epilepsi
Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui.
Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi
yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahui seperti infeksi dan riwayat
penggunaan alkohol.
3. Simptomatik epilepsi
Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang mendasari,
contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan saraf
pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan
pembuluh darah diotak, toksik (alkohol, obat) dan kelainan
neurodegeneratif.

C. Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena
penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada
umumnya status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan-
area tertentu dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak
(Generalized onset).. Tahun 1981 International League Against Epilepsy (ILAE)
membuat suatu klasifikasi internasional mengenai kejang dan epilepsi yang
membagi kejang menjadi 2 golongan utama, yaitu:
1. Serangan parsial (partial onset seizures), dimulai pada satu area fokal di
korteks serebri.
2. Serangan umum (generalized-onset seizures), dimulai secara simultan di
kedua hemisfer.

2
3. Serangan lain yang sulit digolongkan dalam satu kelompok dimasukkan
dalam golongan tak terklasifikasikan (unclassified). ILAE kemudian
membuat klasifikasi yang diperbarui menggunakan diagnosis multiaksial
pada tahun 1989, kemudian disempurnakan lagi pada tahun 2001, namun
klasifikasi tahun 1981 tetap masih sering digunakan (Kustiowati dkk,
2003).

Tabel 1. Klasifikasi Status Epileptikus

D. Patofisiologi dan Clinical Pathway


a) Patofisiologi
Kejang dipicu oleh perangsangan sebagian besar neuron secara
berlebihan, spontan, dan sinkron sehingga mengakibatkan aktivasi fungsi
motorik (kejang), sensorik, otonom atau fungsi kompleks (kognitif,
emosional) secara lokal atau umum. Mekanisme terjadinya kejang ada
beberapa teori:
1) Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K,
misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan
pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi
hipoksemia.

3
2) Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia
dan hipomagnesemia.
b) Clinical Pathway
Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
Rangsang mekanis, kimiawi dan aliran listrik dari sekitarnya
Perubahan patologis dan membran dari membran karena penyakit/keturunan

Perbedaan potensial

Ion Natrium berdifusi melalui membran (depolarisasi > repolarisasi)

Hipereksitasi neuron

Peningkatan pelepasan neutrotransmitter

Kejang (berlangsung > 30 menit)

Status Epilektikus

Infeksi Bakteri Kejang Psikomotor

Toksin Kekakuan otot

Zat Pirogen Risiko jatuh Risiko lidah tergigit

Mempengaruhi hipotalamus Risiko cedera

Ganguan termoregulasi

Hipertermi

4
E. Manifestasi Klinis
a. Tanda Khas Epilepsi Parsial Sederhana
Aktivitas motorik merupakan gejala yang paling lazim pada
epilepsi parsial sederhana. Gerakan ditandai dengan gerakan klonik atau
tonik yang tidak sinkron, dan mereka cenderung melibatkan wajah, leher
dan tungkai. Kejang versify terdiri atas pemutaran kepala dan gerakan
mata gabungan adalah sangat lazim. Rata – rata kejang berlangsung
selama 10-22 detik.

Gambar 1. Manifestasi Epilepsi Parsial Sederhana

b. Tanda Khas Epilepsi Parsial Kompleks


Kejang jenis ini disebut juga kejang psikomotor. Kejang ini dapat
didahului oleh kejang parsial sederhana dengan atau tanpa aura, disertai
dengan gangguan kesadaran atau sebaliknya, mulainya kejang parsial
kompleks ini dapat bersama dengan keadaan kesadaran yang berubah.

5
Gambar 2. Manifestasi Epilepsi Parsial Kompleks)

c. Tanda Khas Epilepsi Parsial Kemudian Menjadi Umum


Bentuk kejang ini disebut juga status epilepsy fokal atau epilepsy
parsial kontinu. Bentuk kejang biasanya kejang klonik (kelojotan). Tiap
bagian tubuh dapat terlibat, misalnya tangan, muka, dan kaki. Kejang ini
dapat terbatas dan dapat pula menjalar ke bagian tubuh lainnya. Bila
kejang bermula di ibu jari, ia dapat menjalar ke jari lainnya, kemudian ke
pergelangan tangan, ke lengan bawah, lengan atas, muka, kemudian ke
tungkai dan kaki. Sehabis kejang sesekali dijumpai bahwa otot yang
terlibat lemah. Kelemahan ini umumnya pulih setelah beberapa menit atau
jam.
d. Tanda Khas Epilepsi Tonik Klonik Umum
Bangkitan grandmal disebut juga bangkitan tonik klonik umum
atau bangkitan mayor (serangan besar). Bangkitan grandmal merupakan
jenis epilepsi yang sering dijumpai. Penderita secara mendadak
menghilang kesadarannya, disertai kejang tonik (badan dan anggota gerak
menjadi kaku), yang kemudian diikuti oleh kejang klonik (badan dan
anggota gerak berkejut - kejut, kelojotan ). Bila penderita sedang berdiri

6
sewaktu serangan mulai, ia akan jatuh seperti benda mati. Pada fase tonik
badan menjadi kaku. Bila kejang tonik ini kuat, udara dikeluarkan dengan
kuat dari paru-paru melalui pita suara sehingga terjadi bunyi yang disebut
sebagai jeritan epilepsy (epileptic cry). Sewaktu kejang tonik ini
berlangsung, penderita menjadi biru (sianosis) karena pernafasan terhenti
dan terdapat pula kongesti (terbendungnya) pembuluh darah balik vena.
Biasanya fase kejang tonik ini berlangsung selama 20 – 60 detik.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan EEG (Elektroensefalogram) addalah salah satu tes yang
dilakukan untuk mengukur aktivitas kelistrikan dari otak untuk mendeteksi
adanya kelainan dari otak. Umumnya membantu dalam mengklasifikasikan tipe
epilepsi seseorang. Pasien jarang mengalami kejang selama pemriksaan EEG
rutin. Namun kejang tetap dapat memberikan konfirmasi tentang kehadiran
aktifitas listrik yang abnormal, informasi tentang tipe gangguan kejang, dan lokasi
spesifik kejang fokal. Pada pemeriksaan EEG rutin, tidur dan bangun, hanya
terdapat 50% dari seluruh pasien epilepsi yang akan terdeteksi dengan hasil yang
abnormal. EEG sebenarnya bukan merupakan tes untuk menegakkan diagnosa
epilepsi secara langsung. EEG hanya membantu dalam penegakan diagnosa dan
membantu pembedaan antara kejang umum dan kejang fokal.

G. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi


1. Penatalaksanaan Farmakologi
Sampai saat ini belum ada konsensus baku penatalaksanaan SE
berkaitan dengan pemilihan obat dan dosis. Tidak ada obat yang ideal
untuk tatalaksana SE. Banyak penulis setuju bahwa lorazepam (0,1
mg/kgBB) atau diazepam (0,15 mg/kgBB) dapat diberikan pada tahap
awal, disusul fenitoin (15-20 mg/ kgBB) atau fosfenitoin (18-20
mg/kgBB). Jika benzodiazepin dan fenitoin gagal, fenobarbital dapat
diberikan dengan dosis 20 mg/kgBB, namun harus mendapatkan perhatian
khusus karena dapat menyebabkan depresi pernapasan. Jika kejang tetap

7
berlanjut, pertimbangkan pemberian anestesi umum, dapat digunakan agen
seperti midazolam, propofol, atau pentobarbital.
Menggunakan obat-obat yang meningkatkan inaktivitasi kanal Na+
karena inaktivasi kanal Na dapat menurunkan kemampuan syaraf untuk
menghantarkan muatan listrik seperti fenitoin, karbamazepin, lamotrigin.
Selain itu, diazepam merupakan obat pilihan pertama (level evidence A
pada banyak penelitian). Obat memasuki otak secara cepat, setelah 15-20
menit akan terdistribusi ke tubuh. Walaupun terdistribusi cepat, eliminasi
waktu paruh mendekati 24 jam. Sangat berpotensi sedatif jika
terakumulasi dalam tubuh pada pemberian berulang. Diazepam dengan
dosis 5-10 mg intravena dapat menghentikan kejang pada sekitar 75%
kasus. Diazepam dapat diberikan secara intramuskuler atau rektal. Efek
samping termasuk depresi pernapasan, hipotensi, sedasi, iritasi jaringan
lokal. Sangat berpotensi hipotensi dan depresi napas jika diberikan
bersamaan obat antiepilepsi lain, khususnya barbiturat. Walaupun
demikian, diazepam masih merupakan obat penting dalam manajeman SE
karena efeknya yang cepat dan berspektrum luas.

2. Penatalaksanaan Non Farmakologi


a) Memantau TTV
b) Pelihara ventilasi
c) Berikan oksigen
d) Cek gas darah untuk memantau asidosis respiratory atau metabolik
e) Kadang terjadi hipoglikemi, maka berikan glukosa

8
DAFTAR PUSTAKA

Oguni H. 2004. Diagnosis and Treatment of Epilepsy. Epilepsia, 48 (Suppl.8):13-


16.
Dimyati, Yazid. 2006. Algoritme Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus
pada Anak. Diambil dari http://ocw.usu.ac.id/course/download/1125-
PEDIATRIC-NEURO/mk_pen-slide-
algoritme_tatalaksana_kejang_akut_dan_status_epileptikus_pada_anak.p
df [08 January 2018].
Rilianto, Beny. 2015. Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus. Diambil dari
http://www.kalbemed.com/Portals/6/10_233CME_Evaluasi%20dan%20
Manajemen%20status%20Epileptikus.pdf [08 Januari 2018).
Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A. 2003. Pedoman Tatalaksana
Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossis.

Anda mungkin juga menyukai