Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

Epilepsi pada Anak

Disusun Oleh :
Gloria Graceta Natasya Salsha
112022061

Pembimbing :
dr. Elfrieda Simatupang Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RSUD KOJA JAKARTA UTARA
PERIODE 30 JANUARI – 8 APRIL 2023
Pendahuluan

Epilepsi merupakan masalah neurologis yang heterogen pada anak. Kelainan


neurologis ini mempengaruhi aspek fisik, psikologis, ekonomi dan sosial dan juga bagi orang
yang merawat mereka. Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Epilepsi dapat
menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir. Anak-anak
dan remaja lebih cenderung menderita epilepsi dengan sebab yang tidak diketahui atau murni
genetik daripada orang dewasa. Epilepsi dapat mulai terjadi pada semua usia. Kriteria
diagnostik yang tepat diperlukan untuk membedakan berbagai macam bentuk bangkitan kejang
dan sindrom epilepsi karena hal tersebut sangat penting dalam membuat keputusan klinis yang
berdampak terhadap tatalaksana selanjutnya. Pemeriksaan pencitraan (neuroimaging) yang
paling terpilih adalah magnetic resonance imaging (MRI) untuk melihat adanya fokus epilepsi
dan kelainan struktural otak lainnya yang mungkin menjadi penyebab epilepsi. International
League of Epilepsy (ILAE) membuat klasifikasi epilepsi berdasarkan tipe kejang yaitu kejang
parsial, kejang umum dan kejang yang tak terklasifikasi. Dengan menggunakan klasifikasi ini,
diagnosis lebih mudah ditegakkan. Kejang pada anak memiliki keberagaman, dipengaruhi oleh
usia, karakteristik kejang, yang berhubungan dengan komorbiditas, tatalaksana dan prognosis.

Definisi

Epilepsi merupakan kejang berulang tanpa pencetus atau tanpa provokasi dengan ≥ 2
bangkitan kejang dengan interval > 24 jam antara kejang pertama dan berikutnya. Manifestasi
klinis epilepsi dapat berupa gangguan kesadaran, motorik, sensoris, autonom atau psikis.
Kejang atau bangkitan epileptik adalah manifestasi klinis disebabkan oleh lepasnya muatan
listrik secara sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak yang bersifat transien.
Aktivitas berlebihan tersebut dapat menyebabkan disorganisasi paroksismal pada satu atau
beberapa fungsi otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif (motorik, sensorik, psikis),
negatif (hilangnya kesadaran, tonus otot, kemampuan bicara) atau gabungan keduanya. Kejang
pertama kali tanpa demam dan tanpa provokasi (first unprovoked seizure) adalah satu atau lebih
kejang tanpa demam maupun gangguan metabolik akut yang terjadi dalam 24 jam disertai
pulihnya kesadaran di antara kejang. Manifestasi bangkitan ditentukan oleh lokasi dimana
bangkitan dimulai, kecepatan dan luasnya penyebaran. Bangkitan epileptik umumnya muncul
secara tiba-tiba dan menyebar dengan cepat dalam waktu beberapa detik atau menit dan
sebagian besar berlangsung singkat.1,2
Klasifikasi

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) kejang dibagi menjadi kejang
umum dan kejang fokal (parsial) berdasarkan tipe bangkitan (yang diobservasi secara klinis
maupun hasil pemeriksaan elektrofisiologi), yaitu apakah aktivitas kejang dimulai dari satu
bagian otak, melibatkan banyak area, atau melibatkan kedua hemisfer otak. ILAE membagi
kejang menjadi kejang umum dan kejang parsial dengan definisi sebagai berikut: 2,3

 Kejang umum merupakan gejala awal kejang dan atau gambaran EEG menunjukkan
keterlibatan kedua hemisfer.

 Kejang parsial (fokal) merupakan gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG
menunjukkan aktivasi pada neuron terbatas pada satu hemisfer saja.

Selain itu ILAE juga membagi epilepsi bedasarkan etiologi dapat dibagi menjadi:

 Epilepsi atau sindrom epilepsi idiopatik yaitu epilepsi tanpa adanya kelainan struktur
otak dan tidak ditemukan defisit neurologi. Faktor genetik diduga berperan pada tipe
ini dan biasanya khas mengenai usia tertentu.

 Epilepsi atau sindrom epilepsi simtomatik yaitu epilepsi yang disebabkan satu atau
lebih kelainan anatomi dan ditemukan defisit neurologi.

 Epilepsi atau sindrom epilepsi kriptogenik yaitu epilepsi atau sindrom epilepsi yang
diasumsikan simtomatik tetapi etiologi masih belum diketahui. Dengan kemajuan
ilmu pengetahuan (pemeriksaan pencitraan, genetik, metabolik) klasifikasi
kriptogenik banyak yang dapat digolongkan sebagai epilepsi simtomatik.

Tabel 1. Klasifikasi epilepsi berdasarkan bangkitan


1) Kejang Umum
Serangan kejang dikatakan kejang umum bila semiologi kejang umum disertai dengan
gelombang epileptiform umum. Pada kejang umum terjadi hilang kesadaran yang dapat
merupakan gejala awal manifestasi kejang. Gejala motorik yang tampak bersifat
bilateral.
 Kejang tonik adalah kejang yang ditandai dengan kontraksi otot yang berlangsung
selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ekstremitas dan tubuh dapat terlihat
kaku. Kejang tonik lebih sering terjadi saat tidur, bila terjadi saat periode bangun
dapat mengakibatkan penderita terjatuh. Karakteristik gambaran EEG adalah adanya
perlambatan aktivitas yang bersifat umum, atau tampak gelombang epileptiform
dengan voltase tinggi dan frekuensi cepat (≥9-10 Hz).
 Kejang klonik adalah kejang yang ditandai sentakan mioklonik sekelompok otot
dengan pengulangan secara teratur lebih kurang 2-3 siklus per detik serta
berlangsung lama, biasanya melibatkan kedua sisi tubuh. Gerakan tersebut tampak
menyerupai serangan mioklonik, namun kejang klonik bersifat repetitif dengan
kecepatan yang lebih rendah dibanding serangan mioklonik. Gambaran EEG tipikal
pada kejang klonik adalah adanya kompleks paku-ombak lambat dengan frekuensi
tinggi (≥10 Hz).
 Kejang tonik-klonik merupakan bentuk kejang dengan kombinasi kedua elemen tipe
kejang di atas, dapat tonik-klonik atau klonik-tonik-klonik. Termasuk dalam
klasifikasi ini adalah kejang tonik-klonik umum yang sering disebut grand mal.
Kejang tonik-klonik ditandai dengan kontraksi tonik simetris, diikuti dengan
kontraksi klonik bilateral otot-otot somatis. Kejang jenis ini disertai dengan
fenomena otonom, termasuk penurunan kesadaran atau apnea.
 Kejang absans ditandai hilangnya kesadaran yang bersifat sementara. Subkelas
kejang absans terdiri atas absans tipikal, atipikal, dan absans dengan gambaran
khusus. Kejang absans tipikal ditandai dua manifestasi utama; hilang kesadaran
transien dan gambaran EEG khas berupa gelombang paku-ombak atau paku
majemuk-ombak dengan frekuensi 2,5-3 Hz. Meskipun umumnya tipe ini muncul
tanpa disertai bentuk kejang lain, beberapa penderita dapat memperlihatkan
manifestasi motorik, yaitu komponen klonik (kedutan kelopak mata, alis, dan
mulut), komponen atonik (hilangnya tonus otot mendadak yang menyebabkan
kepala terkulai, kehilangan daya genggam, tapi jarang menyebabkan pasien
terjatuh), komponen tonik (mata berputar dan kepala bergerak ke belakang, batang
tubuh melengkung), atau automatisasi (gerakan repetitif yang intens misalnya
gerakan mengecap-ngecap, menelan, berjalan). Absans atipikal memiliki gambaran
motorik yang sama dengan tipikal namun lebih berat (misalnya atonia menyebabkan
penderita terjatuh), namun proses kehilangan kesadaran berlangsung lebih perlahan
dan progresif, demikian pula pemulihannya memerlukan waktu lebih lama (tidak
seperti bentuk tipikal yang terjadi secara cepat dan mendadak). Gambaran EEG
memperlihatkan gambaran paku-ombak dengan frekuensi <2,5 Hz.
 Kejang mioklonik adalah kontraksi otot tunggal atau multipel yang terjadi secara
tiba-tiba, cepat (<100 milidetik), dengan topografi yang bervariasi (aksial,
ekstremitas proksimal, distal). Kejang mioklonik dapat terjadi unilateral atau
bilateral. Gambaran EEG tipikal memperlihatkan gambaran kompleks paku
majemuk-ombak, atau lebih jarang berupa gambaran paku-ombak, atau tajam-
ombak. Kejang mioklonik-atonik, sebelumnya disebut kejang mioklonik-astatik,
merupakan bentuk kejang atonia yang didahului kejang mioklonik, umumnya
menyebabkan penderita terjatuh tiba-tiba (drop attacks). Gambaran EEG
memperlihatkan gelombang paku-ombak; gelombang paku terbentuk saat kejang
mioklonik dan gelombang ombak menyertai atonia.
 Kejang atonik adalah kejang yang ditandai dengan hilangnya tonus otot tanpa
didahului kejang mioklonik atau tonik yang berlangsung ≥1-2 detik, melibatkan
kepala, batang tubuh, rahang, atau otot-otot ekstremitas.
2) Kejang Parsial
Kejang parsial atau kejang fokal bermula dari struktur kortikal atau subkortikal dari satu
hemisfer, namun dapat menyebar ke area lain, baik ipsilateral maupun kontralateral.
Kejang parsial dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kejang parsial sederhana, kejang
parsial kompleks, dan kejang parsial menjadi umum.
 Kejang parsial sederhana adalah kejang fokal tanpa disertai gangguan kesadaran.
Gambaran EEG iktal akan menunjukkan gelombang epileptiform fokal kontralateral
dimulai dari area korteks yang terpengaruh. Kejang parsial sederhana ini dapat
menunjukkan kejang disertai gejala motorik, somatosensorik atau sensorik khusus
(special sensory), autonom, atau perilaku.
 Kejang parsial kompleks adalah kejang fokal disertai hilang atau perubahan
kesadaran. Gambaran EEG iktal menunjukkan adanya cetusan unilateral atau
terkadang bilateral tidak bersamaan. Kejang parsial kompleks dapat mengambil
salah satu dari dua manifestasi di bawah ini:
a) kejang parsial sederhana pada awal serangan diikuti hilang kesadaran
b) hilang kesadaran dimulai dari saat awal serangan.
 Kejang parsial menjadi umum ditandai dengan kejang fokal yang diikuti kejang
umum. Kejang umum dapat berbentuk tonik, klonik, atau tonik-klonik. Gambaran
EEG iktal menunjukkan cetusan lokal dimulai dari korteks yang terpengaruh, diikuti
gambaran cetusan umum.

Etiologi

Etiologi epilepsi umumnya tidak diketahui. Klasifikasi berdasarkan ILAE 2010,


mengganti terminologi dari idiopatik, simtomatis, atau kriptogenik, menjadi genetik,
struktural/metabolik, dan tidak diketahui. Genetic epilepsy syndrome adalah epilepsi yang
diketahui/diduga disebabkan oleh kelainan genetik dengan kejang sebagai manifestasi
utama. Structural/metabolic syndrome adalah adanya kelainan struktural/metabolik yang
menyebabkan seseorang berisiko mengalami epilepsi, contohnya; epilepsi setelah
sebelumnya mengalami stroke, trauma, infeksi SSP, atau adanya kelainan genetik seperti
tuberosklerosis dengan kelainan struktur otak (tuber). Epilepsi digolongkan sebagai
“unknown cause” bila penyebabnya belum diketahui.2,3

 Kelainan genetik yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain:

a) Kelainan kromosom: sindrom fragile X, sindrom Rett.

b) Trisomi parsial 13q22-qter berhubungan dengan epilepsi umum awitan lambat dan
leukoensefalopati.

 Kelainan struktural/metabolik yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain

a) Kelainan neurokutan: tuberosklerosis, neurofibromatosis, hipomelanosis Ito,


sindrom Sturge-Weber.

b) Palsi serebral (PS); epilepsi didapatkan pada 50% PS spastik kuadriplegia atau
hemiplegia dan 26% PS spastik diplegia atau diskinetik.

c) Sklerosis hipokampus, gliosis, dan hilangnya neuron sehingga mengubah


rangkaian sirkuit menjadi epileptogenesis, termasuk mesial temporal sclerosis.
Epidemiologi

Kejang ditemukan pada pada 16 tahun pertama kehidupan setidaknya satu kali kejang
sebanyak 4 – 10 %. Terdapat 150.000 anak mengalami kejang tiap tahun, di mana terdapat
30.000 anak berkembang menjadi penderita epilepsi. 4 Faktor resiko terjadinya epilepsi
sangat beragam, di antaranya adalah infeksi SSP, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif,
dan penyakit metabolik. Meskipun terdapat bermacam-macam faktor resiko tetapi sekitar 60
5
% kasus epilepsi tidak dapat diketahui penyebab pastinya. Angka epilepsi lebih tinggi di
negara berkembang. Insiden epilepsy di negara maju ditemukan sekitar 50/100.000,
sementara di negara berkembang mencapai 100/100.000. Insiden tertinggi terjadi pada anak
berusia dibawah 2 tahun dan usia lanjut di atas 65 tahun. Epilepsi dimulai pada masa kanak-
kanak sebanyak 65%. Insiden puncak epilepsi pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian akan
menurun pada masa kanak-kanak, dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data,
insidensi per tahun epilepsi per 100000 populasi adalah 86 pada tahun pertama, 62 pada usia
1 – 5 tahun, 50 pada 5 – 9 tahun, dan 39 pada 10 – 14 tahun.6 Data di Indonesia pada tahun
2000 didapatkan hasil dari rawat inap yaitu 3.949 kasus epilepsi, dimana dari 34.514 pasien
dengan penyakit susunan saraf (11.44%), sedangkan dari rawat jalan didapatkan 65.696 dari
351.290 (18.70%) dari jumlah kunjungan dengan penyakit susunan saraf. 7

Patofisiologi

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada
sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan
depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap
penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel
neuron lebih stabil dan tidak mudah tidak mudah melepaskan listrik. Di antara
neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan
asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid
(GABA) dan glisin. Terjadi jika hasil pengaruh kedua jenis melepas muatan listrik dan terjadi
transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai
potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial potensial akan
mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh seluruh sel akan melepas muatan
listrik. Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu
fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan
ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas
muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh
sejumlah besar lah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu
sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh
proses inhibisi. Inhibisi ini merupakan pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptik. Selain
itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak
terus-menerus berlepas muatan juga memegang peranan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat
habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.2,8

Diagnosis

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis yang didukung dengan


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ada tiga langkah dalam menegakkan
diagnosis epilepsi, yaitu sebagai berikut:9,10

a) Pastikan adanya bangkitan epileptik


b) Tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE
c) Tentukan sindrom epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE

Dalam praktek klinis, langkah-langkah dalam penegakan diagnosis epilepsi adalah


sebagai berikut: 9,10
1) Anamnesis: auto dan alloanamnesis (orang tua atau saksi mata)
a. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca bangkitan:
 Sebelum bangkitan/gejala prodromal
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan, misalnya
perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi
sensitif, dan lain-lain.
 Selama bangkitan/iktal:
 Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan?
 Bagaimana pola/bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan kepala,
gerakan tubuh, vokalisasi, automatisasi, gerakan pada salah satu atau kedua
lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit,
pucat, berkeringat, dan lain-lain. (akan lebih baik bila kelurga dapat diminta
untuk menirukan gerakan bangkitan atau merekam video saat bangkitan).
 Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
 Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya?
 Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat tidur, saat terjaga,
bermain video game, berkemih, dan lain-lain.
 Pasca bangkitan/post-iktal:
 Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah, Todd’s paresis.
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis, alkohol.
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar bangkitan,
kesadaran antar bangkitan.
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respons terhadap OAE sebelumnya:
Jenis obat antiepilepsi (OAE), dosis OAE, jadwal minum OAE, kepatuhan minum
OAE, kadar OAE dalam plasma, dan kombinasi terapi OAE.
e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis, psikiatrik maupun
sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang
h. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam
i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dan lain-lain.
2) Pemeriksaan Fisik dan Neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal
atau difus. Penilaian kesadaran, pemeriksaan fisik umum yang menunjang ke arah etiologi
kejang seperti ada tidaknya demam, hemodinamik, tanda-tanda dehidrasi maupun tanda-
tanda hipoksia. Pemeriksaan neurologi meliputi ada tidaknya kelainan bentuk kepala, ubun-
ubun besar, tanda rangsang meningeal (kaku kuduk, brudzinski I dan II, kernig’s sign,
nervus kranial, motorik, refleks fisiologis dan patologis. Pada anak- anak pemeriksa harus
memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran
antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
3) Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium
Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat
mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama
dengan glukose, kalsium, magnesium, “Blood Urea Nitrogen”, kreatinin dan test
fungsi hepar mungkin dapat memberikan digunakan. Penting juga untuk melakukan
pemeriksaan pH darah karena alkalosis mungkin disertai kejang.
b) Pemeriksaan Elektroensefalografi
Walaupun EEG secara rutin dilakukan pada kejang tanpa provokasi pertama dan pada
(dugaan) epilepsi, pemeriksaan ini bukanlah baku emas untuk menegakkan diagnosis
epilepsi. Kelainan pada EEG dapat ditemukan pada 2-4% anak yang tidak pernah
kejang; sebaliknya, EEG interiktal pertama dapat normal pada 55% anak dengan
kejang pertama tanpa provokasi. Gambaran EEG saja tanpa memandang informasi
klinis tidak dapat menyingkirkan maupun menegakkan diagnosis epilepsi.
Pada EEG diperhatikan frekuensi dan amplitudo gelombang irama dasar, ada tidaknya
asimetri, serta ada tidaknya aktivitas epileptiform yang dapat berupa gelombang paku,
gelombang tajam, paku-ombak, tajam-ombak, paku multipel, burst-suppression, dan
hipsaritmia. Diperhatikan juga lokalisasi aktivitas abnormal, bila ada. Peran EEG pada
epilepsi adalah sebagai berikut:2
a) membantu menentukan tipe kejang
b) menunjukkan lokalisasi fokus kejang bila ada
c) membantu menentukan sindrom epilepsi
d) pemantauan keberhasilan terapi
e) membantu menentukan apakah terapi obat antiepilepsi dapat dihentikan.
c) Pencitraan
Perannya ialah untuk mendeteksi adanya lesi otak yang mungkin menjadi faktor
penyebab epilepsi atau kelainan neurodevelopmental yang menyertai. Pencitraan
dilakukan untuk menentukan etiologi, memperkirakan prognosis, dan merencanakan
tata laksana klinis yang sesuai. Functional brain imaging seperti Positron Emission
Tomography (PET), Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan
Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam memberika informasi
tambahan mengenai dampak perubahan metabolik dan perubahan aliran darah
regional di otak berkaitan dengan bangkitan. CT scan kepala lebih ditujukan untuk
kasus kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih cepat. Magnetic
resonance imaging (MRI) merupakan pencitraan pilihan untuk mendeteksi kelainan
yang mendasari epilepsi. Indikasi MRI pada anak dengan epilepsi adalah sebagai
berikut:2,11
a) Epilepsi fokal berdasarkan gambaran klinis atau EEG
b) Pemeriksaan neurologis yang abnormal, misalnya adanya defisit neurologis
fokal, stigmata kelainan neurokutan, tanda malformasi otak, keterlambatan
perkembangan yang bermakna, atau kemunduran perkembangan
c) Anak berusia kurang dari 2 tahun
d) Anak dengan gejala khas sindrom epilepsi simtomatik, misalnya spasme
infantil atau sindrom Lennox-Gastaut
e) Epilepsi intraktabel
f) Status epileptikus

Diagnosis Banding
Diagnosis banding epilepsi adalah kejang non-epileptik dan serangan paroksismal
bukan kejang. Yang termasuk kejang non-epileptik yaitu kejang demam. Pembedaan kejang
epileptik, kejang non-epileptik dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, serta
pemeriksaan penunjang sesuai indikasi yang ditemukan pada anamnesis dan pemeriksaan
fisis. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) dengan rekaman video pada saat terjadi
serangan terkadang dapat membantu menentukan apakah serangan merupakan kejang
epileptik, namun pemeriksaan EEG dan rekaman video secara terpisah tidak dapat
menentukan atau menyingkirkan kejang epileptik dan bukan merupakan pemeriksaan gold
standar.2

Tatalaksana
Tujuan utama yaitu terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang
berlangsung mengakibatkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila
kejang terjadi terus menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan
mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik
untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin. Oleh sebab itu,
untuk menjamin keberhasilan terapi diperlukan kerjasama yang baik antara dokter, pasien,
dan keluarga pasien untuk menjamin kepatuhan berobat.
 Terapi Medikamentosa
a. Pilihan obat antiepilepsi
Pada epilepsi yang baru terdiagnosis, semua kelompok usia, dan semua jenis kejang,
beberapa uji klinik acak menunjukkan bahwa karbamazepin, asam valproat,
klobazam, fenitoin, dan fenobarbital efektif sebagai OAE, namun penelitian tersebut
tidak dapat membuktikan perbedaan yang bermakna antara obat-obat tersebut dalam
hal efikasi obat-obat tersebut. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar
dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah
teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek
samping. Prinsip pemberian obat dimulai dengan monoterapi dan menggunakan dosis
terendah yang dapat mengatasi kejang.13 World Health Organization
merekomendasikan fenobarbital sebagai terapi pilihan kejang fokal dan tonik-klonik
umum pada negara dengan sumber daya terbatas.2
Tabel 2. Pilihan Obat Antepilepsi

b. Kombinasi
Diberikan apabila pemberian OAE sebagai monoterapi gagal, dan peluang untuk
mencoba monoterapi lain dalam memberantas kejang sangat kecil, sehingga terapi
OAE kombinasi patut dipertimbangkan.
1. Epilepsi Umum Idiopatik
Pada epilepsi umum idiopatik yang resisten terhadap monoterapi, pemberian
topiramat, lamotrigin, dan klobazam efektif sebagai terapi add-on.
2. Epilepsi Umum Simtomatik
Lamotrigin dan topiramat efektif sebagai terapi add-on pada sindrom Lennox-
Gastaut. Klobazam, klonazepam, dan nitrazepam dapat dipakai sebagai terapi
kombinasi baik pada epilepsi umum idiopatik dan simtomatik.
3. Kejang fokal
Lamotrigin, gabapentin, topiramat, tiagabin, dan okskarbazepin efektif sebagai
terapi add-on (kombinasi) untuk kejang.
c. Fase Akut (Saat Kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang
adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan
mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan
berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan
diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila
berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang setelah
selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali
pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan
untuk pemberian diazepam intravena.12
 Terapi Non Medikamentosa
1) Terapi Nutrisi
Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak penderita epilepsi.
Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik dalam menghambat kejang masih belum
diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan
dan mengontrol terjadinya kejang. Diet ketogenik adalah diet dengan kandungan
lemak yang tinggi, rendah karbohidrat, dan cukup protein. Diet tersebut
menghasilkan energi untuk otak bukan dari glukosa sebagai hasil glikolisis, namun
dari keton sebagai hasil oksidasi asam lemak. Diet ketogenik dapat diberikan sebagai
terapi adjuvan pada epilepsi intraktabel dan dapat menurunkan frekuensi kejang. 6
2) Terapi Bedah
Sebagian besar epilepsi pada anak dapat dikontrol dengan terapi medikamentosa.
Tindakan bedah saraf dapat dipertimbangkan pada sebagian kecil penyandang
epilepsi yang tetap mengalami kejang meskipun telah mendapat terapi OAE
kombinasi, terdapat kontraindikasi atau gagal dengan diet ketogenik.14 Terapi bedah
dikerjakan hanya jika tidak ada sumber epileptogenik lain di luar area yang
direncanakan akan direseksi. Tindakan tersebut dapat berupa pengangkatan area di
mana kejang bermula atau pengangkatan lesi yang menjadi fokus epileptik.
Pemilihan jenis operasi berdasarkan tipe dan lokalisasi kejang. 14
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien epilepsi antara lain Kerusakan otak akibat
hipoksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang yang berulang dimana tingkat
kerusakan biasanya bersifat irreversible dan jika sering terjadi dengan jangka waktu yang
lama sering sekali membuat pasien menjadi cacat. Kemudian dapat juga timbul keadaan
depresi dan keadaan cemas atau ansietas.

Prognosis
Pada kasus epilepsi, prognosis penyakit sangat tergantung terhadap pada jenis epilepsi
yang diderita, intesitas terjadinya serangan dimana intesitas serangan ini dapat dikuranggi
dengan caramenghindari faKtor pencetus ataupun pengendalian aktifitas sehari-hari.

Kesimpulan
Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap anak.
Klasifikasi epilepsi sendiri terbagi oleh International League Againts Epilepsy (ILAE)
berdasarkan onset kejang umum hingga kejang fokal. Kejang fokal dapat dibedakan
menjadikejang sadar fokal (sebelumnya kejang parsial sederhana) atau kejang
dengangangguan kesadaran (sebelumnya kejang parsial kompleks). Kejang pada anak akibat
epilepsi memiliki keberagaman, dipengaruhi oleh usia,karakteristik kejang, yang
berhubungan dengan komorbiditas, tatalaksana dan prognosis. Bila serangan epilepsi
tidakditangani dengan baik dan berlangsung lama dapat mengakibatkan kerusakan
padasistem otak dan syaraf anak tersebut hingga dapat mengakibatkan kematian.
Daftar Pustaka

1. International League Against Epilepsy. Proposal for revised clinical and


electroencephalo-graphic classification of epileptic seizures. From the Commission on
Classification and Terminology of the International League Against Epilepsy.
Epilepsia. 1981. h489-501.
2. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Epilepsi pada Anak. Diunduh
pada 2 Maret 2023.
3. International League Against Epilepsy. Diunduh pada 2 Maret 2023. Tersedia di
https://www.ilae.org/guidelines/definition-and-classification/ilae-classification-of-the-
epilepsies-2017.
4. McAbee GN, Wark JE. A practical approach to uncomplicated seizures in children. Am
Fam Physician 2000.h1109-16.
5. Annegers JF, Rocca WA, Hauser WA. Cause of epilepsy: contributions of the
Rochester epidemiology project. Mayo Clin Proc. 1996;71(6):570-575.
6. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku Ajar Pediatri Rudolph Volume 3.
Jakarta: EGC; 2007.
7. Bazil CW, Morrell MJ, Pedley TA. Epilepsy. In: Rowland LP, editor. Merritt’s
neurology. 11th ed. New York: Lippincott Williams&Wilkins, 2005.
8. Misbach J. Patofisiologi epilepsi. Dalam: Simposium updates in epilepsy. 14 Desember
2002. Jakarta.
9. Lumbantobing SM. Epilepsi. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2006. h1-3.
10. Tjahjadi, P,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In : Kapita
Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2005. h119-127.
11. Harsono. EPILEPSI. Edisi kedua. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2007.h
1-14.
12. Dadiyanto DW, Muryawan MH, Soetadji A. Penatalaksanaan Kejang. In: Sareharto TP,
Bahtera T, Putranti AH, editors. Buku Ajar llmu Kesehatan Anak. Semarang: Balai
Penerbit UNDIP; 2011. h138-9.
13. Abdul W. Difficulties in Treatment and Management of Epilepsy and Challenges in
New Drug Develpoment. Pharmaceuticals. 2010. h 2090-110.
14. Heinz GW. Epilepsy Surgery: Current Role and Future Developments. Epileptologie
2006. h 140-51.

Anda mungkin juga menyukai