Disusun Oleh :
Gloria Graceta Natasya Salsha
112022061
Pembimbing :
dr. Elfrieda Simatupang Sp. A
Definisi
Epilepsi merupakan kejang berulang tanpa pencetus atau tanpa provokasi dengan ≥ 2
bangkitan kejang dengan interval > 24 jam antara kejang pertama dan berikutnya. Manifestasi
klinis epilepsi dapat berupa gangguan kesadaran, motorik, sensoris, autonom atau psikis.
Kejang atau bangkitan epileptik adalah manifestasi klinis disebabkan oleh lepasnya muatan
listrik secara sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak yang bersifat transien.
Aktivitas berlebihan tersebut dapat menyebabkan disorganisasi paroksismal pada satu atau
beberapa fungsi otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif (motorik, sensorik, psikis),
negatif (hilangnya kesadaran, tonus otot, kemampuan bicara) atau gabungan keduanya. Kejang
pertama kali tanpa demam dan tanpa provokasi (first unprovoked seizure) adalah satu atau lebih
kejang tanpa demam maupun gangguan metabolik akut yang terjadi dalam 24 jam disertai
pulihnya kesadaran di antara kejang. Manifestasi bangkitan ditentukan oleh lokasi dimana
bangkitan dimulai, kecepatan dan luasnya penyebaran. Bangkitan epileptik umumnya muncul
secara tiba-tiba dan menyebar dengan cepat dalam waktu beberapa detik atau menit dan
sebagian besar berlangsung singkat.1,2
Klasifikasi
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) kejang dibagi menjadi kejang
umum dan kejang fokal (parsial) berdasarkan tipe bangkitan (yang diobservasi secara klinis
maupun hasil pemeriksaan elektrofisiologi), yaitu apakah aktivitas kejang dimulai dari satu
bagian otak, melibatkan banyak area, atau melibatkan kedua hemisfer otak. ILAE membagi
kejang menjadi kejang umum dan kejang parsial dengan definisi sebagai berikut: 2,3
Kejang umum merupakan gejala awal kejang dan atau gambaran EEG menunjukkan
keterlibatan kedua hemisfer.
Kejang parsial (fokal) merupakan gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG
menunjukkan aktivasi pada neuron terbatas pada satu hemisfer saja.
Selain itu ILAE juga membagi epilepsi bedasarkan etiologi dapat dibagi menjadi:
Epilepsi atau sindrom epilepsi idiopatik yaitu epilepsi tanpa adanya kelainan struktur
otak dan tidak ditemukan defisit neurologi. Faktor genetik diduga berperan pada tipe
ini dan biasanya khas mengenai usia tertentu.
Epilepsi atau sindrom epilepsi simtomatik yaitu epilepsi yang disebabkan satu atau
lebih kelainan anatomi dan ditemukan defisit neurologi.
Epilepsi atau sindrom epilepsi kriptogenik yaitu epilepsi atau sindrom epilepsi yang
diasumsikan simtomatik tetapi etiologi masih belum diketahui. Dengan kemajuan
ilmu pengetahuan (pemeriksaan pencitraan, genetik, metabolik) klasifikasi
kriptogenik banyak yang dapat digolongkan sebagai epilepsi simtomatik.
Etiologi
b) Trisomi parsial 13q22-qter berhubungan dengan epilepsi umum awitan lambat dan
leukoensefalopati.
b) Palsi serebral (PS); epilepsi didapatkan pada 50% PS spastik kuadriplegia atau
hemiplegia dan 26% PS spastik diplegia atau diskinetik.
Kejang ditemukan pada pada 16 tahun pertama kehidupan setidaknya satu kali kejang
sebanyak 4 – 10 %. Terdapat 150.000 anak mengalami kejang tiap tahun, di mana terdapat
30.000 anak berkembang menjadi penderita epilepsi. 4 Faktor resiko terjadinya epilepsi
sangat beragam, di antaranya adalah infeksi SSP, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif,
dan penyakit metabolik. Meskipun terdapat bermacam-macam faktor resiko tetapi sekitar 60
5
% kasus epilepsi tidak dapat diketahui penyebab pastinya. Angka epilepsi lebih tinggi di
negara berkembang. Insiden epilepsy di negara maju ditemukan sekitar 50/100.000,
sementara di negara berkembang mencapai 100/100.000. Insiden tertinggi terjadi pada anak
berusia dibawah 2 tahun dan usia lanjut di atas 65 tahun. Epilepsi dimulai pada masa kanak-
kanak sebanyak 65%. Insiden puncak epilepsi pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian akan
menurun pada masa kanak-kanak, dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data,
insidensi per tahun epilepsi per 100000 populasi adalah 86 pada tahun pertama, 62 pada usia
1 – 5 tahun, 50 pada 5 – 9 tahun, dan 39 pada 10 – 14 tahun.6 Data di Indonesia pada tahun
2000 didapatkan hasil dari rawat inap yaitu 3.949 kasus epilepsi, dimana dari 34.514 pasien
dengan penyakit susunan saraf (11.44%), sedangkan dari rawat jalan didapatkan 65.696 dari
351.290 (18.70%) dari jumlah kunjungan dengan penyakit susunan saraf. 7
Patofisiologi
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada
sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan
depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap
penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel
neuron lebih stabil dan tidak mudah tidak mudah melepaskan listrik. Di antara
neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan
asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid
(GABA) dan glisin. Terjadi jika hasil pengaruh kedua jenis melepas muatan listrik dan terjadi
transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai
potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial potensial akan
mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh seluruh sel akan melepas muatan
listrik. Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu
fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan
ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas
muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh
sejumlah besar lah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu
sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh
proses inhibisi. Inhibisi ini merupakan pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptik. Selain
itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak
terus-menerus berlepas muatan juga memegang peranan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat
habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.2,8
Diagnosis
Diagnosis Banding
Diagnosis banding epilepsi adalah kejang non-epileptik dan serangan paroksismal
bukan kejang. Yang termasuk kejang non-epileptik yaitu kejang demam. Pembedaan kejang
epileptik, kejang non-epileptik dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, serta
pemeriksaan penunjang sesuai indikasi yang ditemukan pada anamnesis dan pemeriksaan
fisis. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) dengan rekaman video pada saat terjadi
serangan terkadang dapat membantu menentukan apakah serangan merupakan kejang
epileptik, namun pemeriksaan EEG dan rekaman video secara terpisah tidak dapat
menentukan atau menyingkirkan kejang epileptik dan bukan merupakan pemeriksaan gold
standar.2
Tatalaksana
Tujuan utama yaitu terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang
berlangsung mengakibatkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila
kejang terjadi terus menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan
mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik
untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin. Oleh sebab itu,
untuk menjamin keberhasilan terapi diperlukan kerjasama yang baik antara dokter, pasien,
dan keluarga pasien untuk menjamin kepatuhan berobat.
Terapi Medikamentosa
a. Pilihan obat antiepilepsi
Pada epilepsi yang baru terdiagnosis, semua kelompok usia, dan semua jenis kejang,
beberapa uji klinik acak menunjukkan bahwa karbamazepin, asam valproat,
klobazam, fenitoin, dan fenobarbital efektif sebagai OAE, namun penelitian tersebut
tidak dapat membuktikan perbedaan yang bermakna antara obat-obat tersebut dalam
hal efikasi obat-obat tersebut. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar
dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah
teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek
samping. Prinsip pemberian obat dimulai dengan monoterapi dan menggunakan dosis
terendah yang dapat mengatasi kejang.13 World Health Organization
merekomendasikan fenobarbital sebagai terapi pilihan kejang fokal dan tonik-klonik
umum pada negara dengan sumber daya terbatas.2
Tabel 2. Pilihan Obat Antepilepsi
b. Kombinasi
Diberikan apabila pemberian OAE sebagai monoterapi gagal, dan peluang untuk
mencoba monoterapi lain dalam memberantas kejang sangat kecil, sehingga terapi
OAE kombinasi patut dipertimbangkan.
1. Epilepsi Umum Idiopatik
Pada epilepsi umum idiopatik yang resisten terhadap monoterapi, pemberian
topiramat, lamotrigin, dan klobazam efektif sebagai terapi add-on.
2. Epilepsi Umum Simtomatik
Lamotrigin dan topiramat efektif sebagai terapi add-on pada sindrom Lennox-
Gastaut. Klobazam, klonazepam, dan nitrazepam dapat dipakai sebagai terapi
kombinasi baik pada epilepsi umum idiopatik dan simtomatik.
3. Kejang fokal
Lamotrigin, gabapentin, topiramat, tiagabin, dan okskarbazepin efektif sebagai
terapi add-on (kombinasi) untuk kejang.
c. Fase Akut (Saat Kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang
adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan
mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan
berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan
diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila
berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang setelah
selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali
pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan
untuk pemberian diazepam intravena.12
Terapi Non Medikamentosa
1) Terapi Nutrisi
Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak penderita epilepsi.
Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik dalam menghambat kejang masih belum
diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan
dan mengontrol terjadinya kejang. Diet ketogenik adalah diet dengan kandungan
lemak yang tinggi, rendah karbohidrat, dan cukup protein. Diet tersebut
menghasilkan energi untuk otak bukan dari glukosa sebagai hasil glikolisis, namun
dari keton sebagai hasil oksidasi asam lemak. Diet ketogenik dapat diberikan sebagai
terapi adjuvan pada epilepsi intraktabel dan dapat menurunkan frekuensi kejang. 6
2) Terapi Bedah
Sebagian besar epilepsi pada anak dapat dikontrol dengan terapi medikamentosa.
Tindakan bedah saraf dapat dipertimbangkan pada sebagian kecil penyandang
epilepsi yang tetap mengalami kejang meskipun telah mendapat terapi OAE
kombinasi, terdapat kontraindikasi atau gagal dengan diet ketogenik.14 Terapi bedah
dikerjakan hanya jika tidak ada sumber epileptogenik lain di luar area yang
direncanakan akan direseksi. Tindakan tersebut dapat berupa pengangkatan area di
mana kejang bermula atau pengangkatan lesi yang menjadi fokus epileptik.
Pemilihan jenis operasi berdasarkan tipe dan lokalisasi kejang. 14
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien epilepsi antara lain Kerusakan otak akibat
hipoksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang yang berulang dimana tingkat
kerusakan biasanya bersifat irreversible dan jika sering terjadi dengan jangka waktu yang
lama sering sekali membuat pasien menjadi cacat. Kemudian dapat juga timbul keadaan
depresi dan keadaan cemas atau ansietas.
Prognosis
Pada kasus epilepsi, prognosis penyakit sangat tergantung terhadap pada jenis epilepsi
yang diderita, intesitas terjadinya serangan dimana intesitas serangan ini dapat dikuranggi
dengan caramenghindari faKtor pencetus ataupun pengendalian aktifitas sehari-hari.
Kesimpulan
Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap anak.
Klasifikasi epilepsi sendiri terbagi oleh International League Againts Epilepsy (ILAE)
berdasarkan onset kejang umum hingga kejang fokal. Kejang fokal dapat dibedakan
menjadikejang sadar fokal (sebelumnya kejang parsial sederhana) atau kejang
dengangangguan kesadaran (sebelumnya kejang parsial kompleks). Kejang pada anak akibat
epilepsi memiliki keberagaman, dipengaruhi oleh usia,karakteristik kejang, yang
berhubungan dengan komorbiditas, tatalaksana dan prognosis. Bila serangan epilepsi
tidakditangani dengan baik dan berlangsung lama dapat mengakibatkan kerusakan
padasistem otak dan syaraf anak tersebut hingga dapat mengakibatkan kematian.
Daftar Pustaka