Anda di halaman 1dari 33

Case Based Discussion

Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS)

Disusun Oleh :
Gloria Graceta Natasya Salsha
112022061

Pembimbing :
dr. Riza Mansyoer Sp.A(K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RSUD KOJA JAKARTA UTARA
PERIODE 30 JANUARI – 8 APRIL 2023

1
KEPANITERAAN KLINIK STATUS ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA

Nama: Gloria Graceta Natasya Salsha

NIM: 112022061

Dr. Pembimbing/ Penguji: dr Riza Mansyoer, Sp.A (K)

IDENTITAS PASIEN

PASIEN

Nama Lengkap : An. AA Suku Bangsa : Indonesia


Tanggal Lahir : 22 Agustus 2015 Agama : Islam
Umur : 7 tahun 5 bulan Pendidikan : SD
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Kp. Sungai Begog No. 54

Orang Tua/Wali*
AYAH
Nama Lengkap : Tn. IJ Suku Bangsa : Indonesia
Umur : 19 Juni 1987 (36 th) Agama : Islam
Alamat : Kp. Sungai Begog No. 54 Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Karyawan Swasta Penghasilan : <4.000.000

IBU
Nama Lengkap : Ny. K Suku Bangsa: Indonesia
Umur : 26 Desember 1986 Agama : Islam
Alamat : Kp. Sungai Begog No. 54 Pendidikan : SMA
Pekerjaan : TKW Penghasilan : -

Hubungan dengan orang tua: Anak Kandung

2
ANAMNESIS:
Anamnesis dilakukan dengan auto dan alloanamnesis pada tanggal 7 Februari 2023 pukul 10.00
WIB di bangsal anak Dori 1602 RSUD Koja

RIWAYAT PENYAKIT

Keluhan Utama:
Bengkak seluruh tubuh 2 hari SMRS

Keluhan tambahan:
Batuk

Riwayat Perjalanan Penyakit:

Seorang anak laki-laki usia 7 tahun dibawa oleh orang tuanya ke IGD RSUD Koja
dengan keluhan bengkak seluruh tubuh 2 hari SMRS. 3 hari SMRS pasien dibawa orang tuanya
ke Puskesmas Cilincing karena demam 2 hari dan batuk 2 minggu yang belum membaik. 2 hari
SMRS orang tua pasien mengatakan anaknya mulai bengkak dari area wajah, kemudian disusul
pada bagian tangan dan kaki. Bengkak pada wajah dirasakan orang tua pasien semakin
menonjol pada pagi hari setelah bangun tidur dan berkurang saat menjelang malam hari. Pasien
juga mengatakan bahwa sebelum bengkak BAK selalu sedikit, pasien juga mengatakan buang
air kecil berwarna kemerahan sebelum tubuhnya bengkak. 1 hari SMRS orang tua pasien
mengatakan bengkaknya bertambah di area perut dan pasien mengatakan nyeri pada perutnya.
Kemudian orang tua pasien membawa pasien ke Puskesmas Cilincing karena bengkak seluruh
tubuh dan buang air kecil berwarna kemerahan dan dilakukan pemeriksaan urinalisis, orang tua
pasien mengatakan hasil pemeriksaan urin didapatkan darah samar positif dan dirujuk ke IGD
RSUD Koja untuk diterapi lebih lanjut. Pasien juga mengatakan bahwa pasien sering batuk.
Orang tua pasien mengatakan baru pertama kali pasien mengalami keluhan seperti ini. Keluhan
lain yang dirasakan pasien adalah gatal pada tubuh. Sebelumnya pasien memiliki riwayat
tinggal di Pondok Pesantren selama kurang lebih 1 tahun. Paien mengatakan mereka tinggal
bersama dan banyak teman-teman juga memiliki keluhan gatal. Nafsu makan dan minum
pasien berkurang setelah sakit dan sering merasa mual. Keluhan BAB disangkal oleh pasien.

3
Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Pasien juga tidak memiliki
riwayat penyakit kejang ataupun penyakit lainnya.

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak mempunyai keluhan serupa dengan pasien. Riwayat penyakit seperti
hipertensi, DM, penyakit jantung, asma, alergi disangkal.

RIWAYAT KEHAMILAN

Perawatan antenatal : Rutin kontrol ANC di Bidan setiap trimester 1,2 dan 3
Penyakit kehamilan : tidak ada

Kelahiran
Tempat kelahiran : Rumah Sakit (RSUD Cilincing)
Penolong persalinan : Dokter
Cara persalinan : Spontan
Masa gestasi : 39 minggu (cukup bulan)

Keadaan bayi
Berat badan lahir : 2900 gram
Panjang badan lahir : 48 cm
Lingkar kepala : 33 cm
Langsung menangis
Tidak ada pucat, biru, kuning atau kejang
Nilai APGAR :-
Tidak ada kelainan bawaan

RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi pertama: 7 Bulan
Psikomotor:
● Tengkurap: 4 Bulan ● Berjalan: 12 bulan
● Duduk: 6 Bulan ● Berbicara: 12 bulan
● Berdiri: 10 Bulan ● Membaca dan menulis: 5 tahun

4
Perkembangan Pubertas
Laki-Laki
● Rambut pubis: -
● Perubahan suara: -
Gangguan perkembangan mental/emosi : Tidak ada

RIWAYAT IMUNISASI

VAKSIN DASAR (umur) ULANGAN (umur)

BCG 0 bulan - - - - -

DPT/ DT 1 bulan 2 bulan 3 bulan - 2 tahun -

Polio 0 bulan 1 bulan 2 bulan 3 bulan 2tahun -

Hib - 1 bulan 2 bulan 3 bulan 2tahun -

Hepatitis B 0 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 2tahun -

Campak 9 bulan 2 tahun

Pemeriksaan Umum (7 Februari 2023)

Keadaan Umum : Pasien tampak sakit sedang


Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital
Frekuensi Nadi : 84 x/menit, kuat angkat, regular, isi cukup
Tekanan darah : 129/98 mmHg
Frekuensi Napas : 24 x/menit
Suhu : 36.5 oC
Spo2 : 99%

5
Data Antropometri
● Berat badan: 23 kg ● Lingkar dada: -
● Tinggi badan: 115 cm ● Lingkar lengan atas: -
● Lingkar kepala: 52 cm

6
Interpretasi Berdasarkan kurva CDC 2000

- BB/U : 23kg/24kg x 100%= 95% (Gizi baik)


- TB/U : 115kg/124cm x 100% = 92% (Gizi baik)
- BB/TB : 23kg/21kg x 100% = 109% (Gizi baik)

Intepretasi kurva nellhaus: Normocephal

PEMERIKSAAN SISTEMATIS

Kepala : Bentuk kepala bulat, tidak ada massa dan benjolan


Rambut dan Kulit Kepala : Rambut hitam, pendek, terdistribusi merata
Mata : Pupil isokor, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik(-/-),
tidak ada sekret, mata tidak cekung
Telinga : Tidak ada deformitas, massa ataupun benjolan pada daun
telinga, liang telinga lapang, serumen (+)
Hidung : Simetris, tidak ada septum deviasi, liang hidung lapang,
tidak ada sekret, tidak ada napas cuping hidung

7
Bibir : Lembab, mukosa merah muda, tidak sianosis
Gigi Geligi : normal, tidak ada caries dentis
Lidah : Tidak ada deformitas, papil tidak atrofi
Tonsil : T1-T1, tidak ada pembesaran tonsil
Faring : Mukosa tidak hiperemis
Tiroid : Tidak teraba pembesaran
Kelenjar Getah Bening : Tidak teraba pembesaran
Dinding Toraks : Bentuk toraks normal, gerakan dada simetris, tidak terdapat
retraksi sela iga
Paru
● Inspeksi : Bentuk normal, pergerakan simetris kanan dan kiri saat statis
dan dinamis, tidak ada massa, lesi ataupun benjolan
● Palpasi : Tidak ada nyeri
● Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
● Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
● Inspeksi : Tidak tampak ictus cordis, tidak ada luka bekas operasi
● Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS IV line midclavicularis kiri
● Perkusi : Tidak terdapat perbesaran jantung
● Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
● Inspeksi : Bentuk normal, sedikit membuncit, tidak ada benjolan, tidak
ada massa, tidak ada bekas operasi
● Auskultasi : Bising usus (+) normoperistaltik]
● Palpasi :Abdomen supel, tidak teraba massa, nyeri tekan seluruh
......................................lapang (+),.organomegali (-)
● Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
Anus dan Rectum : Tidak dilakukan
Genitalia : Tidak ada perlengketan pada preputium, tidak ada lesi atu bekas
..........................trauma
Anggota Gerak : Tidak ada deformitas, tidak atrofi, tidak edema, telapak tangan
dan kaki tampak tidak pucat, akral dingin, CRT <2 detik

8
Tulang Belakang : Lurus, tidak lordosis, kifosis, ataupun skoliosis, tidak ada
benjolan
Kulit : warna kulit sawo matang, turgor kulit elastis
Pemeriksaan Neurologis : GCS 15 (E4M6V5) Normal, tonus otot ekstremitas atas dan
bawah 5555/5555

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan Laboratorium dilakukan tanggal 5 Februari 2023
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hemoglobin 10.0 g/dL 11.5-14.5
Jumlah Leukosit 9.82 10^3/Ul 4.00-12.00
Hematokrit 29.5 % 33.0-43.00
Jumlah trombosit 336 10^3/Ul 163-337
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium (Na) 144 mEq/L 135-147
Kalium (K) 3.54 mEq/L 3.5-5.0
Klorida(Cl) 109 mEq/L 96-108
Ureum 29.0 mg/dL 16.6-48.5
Kreatinin 0.67 mg/dL 0.34-0.53
Gula darah sewaktu 144 mg/dL 60-100
SEROLOGI
SARS-CoV-2
(-) Negatif Negatif
Antigen
URINALISA
Makroskopis
Warna Kuning Kuning Pucat
Kekeruhan Agak keruh Jernih
Berat Jenis 1.020 1.002-1.035
PH 6.0 4.6-8.0

9
Protein 1+ (-)
Glukosa (-) (-)
Keton (-) (-)
Bilirubin (-) (-)
Darah Samar 3+ (-)
Leukosit ketarase 1+ (-)
Nitrit (-) (-)
Urobiliogen 0.2 0.1-1.0
Mikroskopis
Leukosit 2-3 /Lpb <10
Eritrosit 25-30 /Lpb <3
Silinder (-) (-)
Sel Epitel 1+ (-)
Kristal (-) (-)
Bakteria 1+ (-)
Jamur (-) (-)

Pemeriksaan Laboratorium tanggal 7 Februari 2023


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
KIMIA KLINIK
Albumin 3.40 g/dL 3.80-5.40
Kolestrol Total 157 mg/dL
Kolestrol HDL 43.0 mg/dL 33.0-43.00
Kolestrol LDL 96 mg/dL < 130
Trigliserida 92 mg/dL < 200
SEROLOGI
ASTO + 200 (-) Negatif

10
Resume Kasus
Dari hasil anamnesis didapatkan seorang anak laki-laki usia 7 tahun dengan keluhan
edema seluruh tubuh 2 hari SMRS. 3 hari SMRS pasien dibawa ke Puskesmas karena demam
2 hari dan batuk 2 minggu yang belum membaik. 2 hari SMRS orang tua pasien mengatakan
anaknya mulai bengkak dari area wajah, kemudian disusul pada bagian tangan dan kaki. Edema
pada wajah dirasakan semakin menonjol pada pagi hari setelah bangun tidur dan berkurang
saat menjelang malam hari. Pasien juga mengatakan bahwa sebelum bengkak BAK selalu
sedikit, pasien juga mengatakan buang air kecil berwarna kemerahan sebelum tubuhnya
bengkak. 1 hari SMRS orang tua pasien mengatakan bengkaknya bertambah di area perut dan
pasien mengatakan nyeri pada perutnya. Kemudian orang tua pasien membawa pasien ke
Puskesmas karena bengkak seluruh tubuh dan buang air kecil berwarna kemerahan dan
dilakukan pemeriksaan urinalisis, orang tua pasien mengatakan hasil pemeriksaan urin positif.
Pasien juga mengatakan bahwa pasien sering batuk. Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah
gatal pada tubuh.

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan hasil tanda-tanda vital dalam batas normal, kecuali
pada tekanan darah yang meningkat TD 129/98 mmHg. Pada pemeriksaan fisik palpasi
abdomen didapatkan defans muscular atau nyeri tekan seluruh lapang. Pada pemeriksaan
laboratorium darah lengkap didapatkan hemoglobin 10.0g/dL, hematokrit 29.5%. Pada
pemeriksaan elektrolit didapatkan klorida 109mEq/dL, GDS 144mg/dL. Pemeriksaan urinalisa
secara makroskopis didapatkan warna kuning keruh, protein 1+, damar samar 3+, leukosit
keratase 1+. Secara mikroskopis didapatkan eritrosit 25-30/Lpb, sel epitel 1+, bakteria 1+.
Pemeriksaan kimia klinik didapatkan albumin 3.40g/dL. Pemeriksaan ASTO didapatkan +200.

Diagnosis Kerja
Glomeluronefritis akut pasca streptokokus

Anjuran Pemeriksaan Penunjang


● Pemeriksaan Imunologi Komplement (C3)

Prognosis
● Ad vitam : Dubia ad bonam
● Ad sanationam: Dubia ad bonam
● Ad fungsionam: Dubia ad bonam

11
Tatalaksana
Medikamentosa
• KaEN 1B 1500 + ((23-10)x 50) = 1500+150 = 1650 cc/hari = 68 cc/jam = 68 tpm
● (penisilin) Amoksisilin 50 mg/Kgbb/hr = (50mg x 23kg) : 3 = 250mg = 3x250mg
(PO selama 10 hari)
Diet
• Rendah garam 0,5-1 g/hari
Non-medikamentosa
• Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya timbul dalam
minggu pertama perjalanan penyakit
• Sesudah fase akut, tidak dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan
kegiatan seperti sebelum sakit
• Minum obat teratur

12
Follow Up
Time Subject Object Assesment Planning
06/02/23 Demam sejak 5 hari, KU: tampak sakit GNAPS  KaEN 1B
lemas, mual, batuk (+), sedang 250cc/hari
nafsu makan turun, Kes: CM, akral hangat  PCT Syr
bengkak seluruh tubuh TD: 101/83mmHg 4x100ml
N: 87 x/menit  Ceterizine tab
Suhu: 37,6° 2x5mg
Pem. Abd: kembung,
NT seluruh lapang
07/02/23 Demam (-), mual (+), KU: tampak sakit GNAPS  KaEN 1B
batuk (+), lemas, gatal sedang 250cc/hari
(+), nafsu makan Kes: CM, akral hangat  Ceterizine tab
turun, bengkak mulai TD: 128/103mmHg 2x5mg
berkurang N: 122 x/menit  Ceftriaxone
Suhu: 36,8°C vial 1x2gr
Pem. Abd: NT seluruh  Ranitidin inj.
lapang 2x25mg
 Furosemide
inj. 2x10mg
08/02/23 Demam (-), mual (+), KU: tampak sakit GNAPS  Ceterizine tab
batuk (+), lemas, gatal sedang 2x5mg
(+), nafsu makan baik, Kes: CM, akral hangat  Ceftriaxone
bengkak (-), BAK TD: 136/103mmHg vial 1x2gr
kemerahan N: 108 x/menit  Ranitidin inj.
Suhu: 36,3°C 2x25mg
Pem. Abd: NT seluruh  Furosemide
lapang inj. 2x10mg
09/02/23 Demam (-), mual (+), KU: tampak sakit GNAPS  Ceterizine tab
batuk (+), lemas, gatal sedang 2x5mg
(+), nafsu makan baik, Kes: CM, akral hangat  Ceftriaxone
TD: 136/103mmHg vial 1x2gr

13
bengkak (-), BAK N: 108 x/menit  Ranitidin inj.
kemerahan Suhu: 36,3°C 2x25mg
Pem. Abd: Nyeri  Furosemide
tekan (-) inj. 2x10mg
 Captopril tab
2x6,25mg
10/02/23 Demam (-), mual (-), KU: tampak sakit GNAPS  Ceftriaxone
batuk (+), gatal (+), ringan vial 1x2gr
nafsu makan baik, Kes: CM, akral hangat  Furosemide
bengkak (-), BAK TD: 147/112mmHg inj. 2x10mg
kemerahan N: 108 x/menit  Captopril tab
Suhu: 36,6°C 2x6,25mg
Pem. Abd: Nyeri  Ceterizine tab
tekan (-) 2x5mg

11/02/23 Demam (-), mual (-), KU: tampak sakit  Ceftriaxone


batuk (-), gatal (+), ringan vial 1x2gr
nafsu makan baik, Kes: CM, akral hangat  Ceterizine tab
bengkak (-) TD: 109/74mmHg 2x5mg
N: 108 x/menit  Captopril tab
Suhu: 36,3°C 1x6,25mg
Pem. Abd: Nyeri
tekan (-)

14
BAB II
Tinjauan Pustaka
Definisi

Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu proses histopatologis berupa proliferasi dan
inflamasi glomerulus akibat proses imunologik, dapat bermanifestasi klinis sebagai sindrom
nefritik akut (SNA), sindrom nefrotik, atau rapidly progressive glomerulonephritis. Definisi
SNA adalah suatu kumpulan gejala klinik berupa proteinuria, hematuria, azotemia, red blood
cast, oliguria & hipertensi (PHAROH) yang terjadi secara akut. Istilah GNA dan SNA sering
digunakan secara bergantian. GNA merupakan istilah yang lebih bersifat histologik sedangkan
SNA lebih bersifat klinik.1,2

Glomeluronefritis akut post streptokokus (GNAPS) adalah suatu bentuk peradangan


glomerulus yang secara histopatologi menunjukkan proliferasi & Inflamasi glomeruli yang
didahului oleh infeksi group A β-hemolytic streptococci (GABHS) dan ditandai dengan gejala
nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara akut. selain GNAPS,
banyak penyakit yang juga memberikan gejala nefritik seperti hematuria, edema, proteinuria
sampai azotemia, sehingga digolongkan ke dalam SNA. Bagi pasien yang memperlihatkan
gejala nefritik saja, misalnya proteinuria dan hematuria atau edema dan hematuria, mengingat
gejala nefritik bukan hanya disebabkan oleh GNAPS, tetapi dapat pula disebabkan oleh
penyakit lain. Bila pada pemantauan selanjutnya ditemukan gejala dan tanda yang menyokong
diagnosis GNAPS (C3 ↓, ASO↑, dll), maka diagnosis menjadi GNAPS. Hal ini penting
diperhatikan, oleh karena ada pasien yang didiagnosis sebagai GNAPS hanya berdasarkan
gejala nefritik, ternyata merupakan penyakit sistemik yang juga memperlihatkan gejala
nefritik.1,2

Epidemiologi

Insidens GNAPS di negara berkembang ialah 2 kasus setiap 100.000 anak dalam satu
tahun, sedangkan di negara maju hanya 0,3 kasus setiap 100.000 anak. Angka kejadian GNAPS
sukar ditentukan mengingat bentuk asimtomatik lebih banyak dijumpai daripada bentuk
simtomatik. Di negara maju, insiden GNAPS berkurang akibat sanitasi yang lebih baik,
pengobatan dini penyakit infeksi, sedangkan di negara sedang berkembang insiden GNAPS
masih banyak dijumpai. Di Indonesia & Kashmir, GNAPS lebih banyak ditemukan pada
golongan sosial ekonomi rendah, masing – masing 68,9%1 & 66,9%. Berdasarkan konsensus

15
Ikatan Dokter Anak Indonesia, GNAPS adalah suatu bentuk GNA yang paling banyak dikenal,
didahului oleh infeksi Streptococcus beta hemolyticus group A (SBHGA), dengan manifestasi
klinis tersering SNA. GNAPS dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada
usia 6 – 7 tahun. Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan sebaran usia 2,5 – 15
tahun dengan rerata usia tertinggi 8,46 tahun dan rasio ♂ : ♀ = (1, 34 : 1). Penelitian di
Polinesia, Australia, dan Denpasar menunjukkan rerata usia penderita GNAPS adalah 6,7
tahun, 7 tahun, dan 8,7 tahun, dengan rasio penderita lelaki dan perempuan 1,17:1, 1,06:1, dan
2,3:1.1,2,3

Etiologi

Pada anak GNAPS paling sering disebabkan oleh Streptococcus beta hemolyticus
group A (SBHGA) tipe nefritogenik. Tipe antigen protein M berkaitan erat dengan tipe
nefritogenik. Serotipe Streptococcus beta hemolytic yang paling sering dihubungkan dengan
glomerulonefritis akut (GNA) yang didahului faringitis adalah tipe 12, tetapi kadang- kadang
juga tipe 1,4 ,6 dan 25. Tipe 49 paling sering dijumpai pada glomerulonefritis yang didahului
infeksi kulit / pioderma, walaupun galur 53, 55, 56, 57 dan 58 dapat berimplikasi.4

Gambar 1. Struktur Streptococcus B Haemolyticus

16
Patogenesis

Seperti beberapa penyakit ginjal lainnya, GNAPS termasuk penyakit kompleks imun.
Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa GNAPS termasuk penyakit imunologik adalah
adanya periode laten antara infeksi streptokokus dan gejala klinik, kadar imunoglobulin G
(IgG) menurun dalam darah, kadar komplemen C3 menurun dalam darah, adanya endapan IgG
dan C3 pada glomerulus dan titer antistreptolisin O (ASO) meninggi dalam darah. Pada
pemeriksaan hapusan tenggorok (throat swab) atau kulit (skin swab) tidak selalu ditemukan
GABHS. Hal ini mungkin karena penderita telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah
sakit. Juga lamanya periode laten menyebabkan sukarnya ditemukan kuman streptokokus.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, maka organisme tersering yang berhubungan dengan
GNAPS ialah Group A β-hemolytic streptococci. Penyebaran penyakit ini dapat melalui infeksi
saluran napas atas (tonsillitis/faringitis) atau kulit (piodermi), baik secara sporadik atau
epidemiologik. Meskipun demikian tidak semua GABHS menyebabkan penyakit ini, hanya
15% mengakibatkan GNAPS.4,5 Hal tersebut karena hanya serotipe tertentu dari GABHS yang
bersifat nefritogenik, yaitu yang dindingnya mengandung protein M atau T (terbanyak protein
tipe M).2

Tabel 1. Serotipe GABHS yang berhubungan dengan GNAPS 2

Penelitian akhir-akhir memperlihatkan 2 bentuk antigen yang berperan pada GNAPS yaitu :2,5

1. Nephritis associated plasmin receptor (NAPℓr)


NAPℓr dapat diisolasi dari streptokokus grup A yang terikat dengan plasmin. Antigen
nefritogenik ini dapat ditemukan pada jaringan hasil biopsi ginjal pada fase dini
penderita GNAPS. Ikatan dengan plasmin ini dapat meningkatkan proses inflamasi
yang pada gilirannya dapat merusak membran basalis glomerulus.
2. Streptococcal pyrogenic exotoxin B (SPEB).
SPEB merupakan antigen nefritogenik yang dijumpai bersama-sama dengan IgG
komplemen (C3) sebagai electron dense deposit subepithelial yang dikenal sebagai
HUMPS.

17
Proses Imunologik yang terjadi dapat melalui :2,5

1. Soluble Antigen-Antibody Complex


Kompleks imun terjadi dalam sirkulasi NAPℓr sebagai antigen dan antibodi anti NAPℓr
larut dalam darah dan mengendap pada glomerulus.

2. Insitu Formation
Kompleks imun terjadi di glomerulus (insitu formation), karena antigen nefritogenik
tersebut bersifat sebagai planted antigen. Antigen yang terdeposisi di glomelurus
memicu pembentukan kompleks imun, didasarkan pada antigen yang merupakan ion
bermuatan negatif mudah tertarik dan mempenetrasi membran basal glomelurus yang
bermuatan negatif. Aktivasi komplemen juga menjadi salah satu mekanisme
patogenesis GNAPS yang terjadi akibat adanya protein pengikat immunoglobulin yang
terdapat di streptococcus mengikat C4b binding protein (C4BP) yang mengaktifkan
sistem komplemen. Teori insitu formation lebih berarti secara klinik oleh karena makin
banyak HUMPS yang terjadi makin lebih sering terjadi proteinuria masif dengan
prognosis buruk

Imunitas Selular :2

Imunitas selular juga turut berperan pada GNAPS, karena dijumpainya infiltrasi sel-sel limfosit
dan makrofog pada jaringan hasil biopsi ginjal. Infiltrasi sel-sel imunokompeten difasilitasi
oleh sel-sel molekul adhesi ICAM – I dan LFA – I, yang pada gilirannya mengeluarkan
sitotoksin dan akhirnya dapat merusak membran basalis glomerulus. 2

Patofisiologi

GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan filtrasi glomeruli
berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal biasanya normal. Hal tersebut akan menyebabkan
filtrasi fraksi berkurang sampai di bawah 1%. Keadaan ini akan menyebabkan reabsorbsi di
tubulus proksimalis berkurang yang akan mengakibatkan tubulus distalis meningkatkan proses
reabsorbsinya, termasuk Na, sehingga akan menyebabkan retensi Na dan air. Penelitian-
penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na dan air didukung oleh keadaan
berikut:2

18
1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses radang di
glomerulus.
2. Overexpression dari epithelial sodium channel.
3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin intrarenal.

Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na dan air, sehingga
dapat menyebabkan edema dan hipertensi. Efek proteinuria yang terjadi pada GNAPS tidak
sampai menyebabkan edema lebih berat, karena hormon-hormon yang mengatur ekpansi cairan
ekstraselular seperti renin angiotensin, aldosteron dan anti diuretik hormon (ADH) tidak
meningkat. Edema yang berat dapat terjadi pada GNAPS bila ketiga hormon tersebut
meningkat.2,6

Pada GNAPS, kedua ginjal tampal membesar secara simetris. Glomelurus juga
membesar dengan ploriferasi sel-sel mesangial difus dan peningkatan matriks medangial.
Terdapat pula infiltrasi leukosit polimorfonuklear ke glomelurus. Pada pemeriksaan
fluoresensi, tampak deposit immunoglobulin dan komplemen di membran basal glomelurus
dan mesangium, gambaran patologik tersebut dapat dilihat dibawah ini.

Gambar 2. Glomelurus dengan GNAPS pada mikroskop dengan pembesaran 400x. Tampak
ploriferasi mesangial dan infiltasi leukosit

Manifestasi Klinis

Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai gejala yang
khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada bentuk simtomatik baik sporadik maupun

19
epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui bila terdapat kelainan sedimen urin terutama
hematuria mikroskopik yang disertai riwayat kontak dengan penderita GNAPS simtomatik.
GNAPS simtomatik sebagi berikut:2,8

1. Periode laten
khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi streptokokus dan timbulnya
gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu; periode 1-2 minggu umumnya terjadi pada
GNAPS yang didahului oleh ISPA, sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi
kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini
berlangsung kurang dari 1 minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain,
seperti eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schöenlein atau Benign recurrent haematuria.
2. Edema
Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan menghilang
pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah periorbital (edema
palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat, maka edema timbul
di daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema skrotum/vulva) menyerupai
sindrom nefrotik. Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan
tahanan jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol waktu
bangun pagi, karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan menghilang atau
berkurang pada siang dan sore hari atau setelah melakukan kegitan fisik. Hal ini terjadi
karena gaya gravitasi. Kadang-kadang terjadi edema laten, yaitu edema yang tidak
tampak dari luar dan baru diketahui setelah terjadi diuresis dan penurunan berat badan.
Edema bersifat pitting sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke jaringan
interstisial yang dalam waktu singkat akan kembali ke kedudukan semula.
3. Hematuria
Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS,sedangkan hematuria
mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Suatu penelitian multisenter di
Indonesia mendapatkan hematuria makroskopik berkisar 46- 100%, sedangkan
hematuria mikroskopik berkisar 84-100%. Urin tampak coklat kemerah-merahan atau
seperti teh pekat, air cucian daging atau berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik
biasanya timbul dalam minggu pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula
berlangsung sampai beberapa minggu. Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih
lama, umumnya menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai

20
hematuria mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik GNAPS sudah sembuh.
Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun, sedangkan proteinuria
sudah menghilang. Keadaan terakhir ini merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi
ginjal, mengingat kemungkinan adanya glomerulonefritis kronik.
4. Hipertensi
Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. Albar
mendapati hipertensi berkisar 32-70%. Umumnya terjadi dalam minggu pertama dan
menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang lain. Pada kebanyakan
kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90 mmHg). Hipertensi ringan
tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup dan diet yang teratur, tekanan darah
akan normal kembali. Adakalanya hipertensi berat menyebabkan ensefalopati hipertensi
yaitu hipertensi yang disertai gejala serebral, seperti sakit kepala, muntah-muntah,
kesadaran menurun dan kejang-kejang. Penelitian multisenter di Indonesia menemukan
ensefalopati hipertensi berkisar 4-50%.
5. Oliguria
Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan produksi urin
kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal menurun atau timbul
kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya, oliguria umumnya timbul dalam
minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan timbulnya diuresis pada akhir
minggu pertama. Oliguria bisa pula menjadi anuria yang menunjukkan adanya kerusakan
glomerulus yang berat dengan prognosis yang jelek.
6. Gejala Kardiovaskular
Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi yang terjadi pada
20-70% kasus GNAPS. Bendungan sirkulasi dahulu diduga terjadi akibat hipertensi atau
miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik bendungan tetap terjadi walaupun tidak ada
hipertensi atau gejala miokarditis. Ini berarti bahwa bendungan terjadi bukan karena
hipertensi atau miokarditis, tetapi diduga akibat retensi Na dan air sehingga terjadi
hipervolemia. Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat bendungan
sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya terlihat secara radiologik.
Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas, sianosis. Pada pemeriksaan fisik
terdengar ronki basah kasar atau basah halus. Keadaan ini disebut acute pulmonary
edema yang umumnya terjadi dalam minggu pertama dan kadang-kadang bersifat fatal.
Gambaran klinik ini menyerupai bronkopnemonia sehingga penyakit utama ginjal tidak
diperhatikan. Oleh karena itu pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis yang teliti dan
21
jangan lupa pemeriksaan urin. Frekuensi kelainan radiologik toraks berkisar antara 62,5-
85,5% dari kasus-kasus GNAPS. Kelainan ini biasanya timbul dalam minggu pertama
dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala-gejala klinik lain. Kelainan
radiologik toraks dapat berupa kardiomegali, edema paru dan efusi pleura. Tingginya
kelainan radiologik ini oleh karena pemeriksaan radiologik dilakukan dengan posisi
Postero Anterior (PA) dan Lateral Dekubitus. Kanan (LDK).

7. Gejala-gejala lain
Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi dan anoreksia.
Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat edema atau akibat
hematuria makroskopik yang berlangsung lama

Pemeriksaan penunjang

Pada GNAPS dilakukan pemeriksaan urinalisis dimana akan didapatkan kelainan yaitu :2

• Proteinuria: Secara kualitatif proteinuria berkisar antara negatif sampai dengan ++,
jarang terjadi sampai dengan +++. Bila terdapat proteinuria +++ harus dipertimbangkan
adanya gejala sindrom nefrotik atau hematuria makroskopik. Secara kuantitatif
proteinuria biasanya kurang dari 2 gram/ m2 LPB/24 jam, tetapi pada keadaan tertentu
dapat melebihi 2 gram/ m2 LPB/24 jam. Hilangnya proteinuria tidak selalu bersamaan
dengan hilangnya gejala-gejala klinik, sebab lamanya proteinuria bervariasi antara
beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah gejala klinik menghilang. Sebagai
batas 6 bulan, bila lebih dari 6 bulan masih terdapat proteinuria disebut proteinuria
menetap yang menunjukkan kemungkinan suatu glomerulonefritis kronik yang
memerlukan biopsi ginjal untuk membuktikannya.6
• Hematuria mikroskopik: Hematuria mikroskopik merupakan kelainan yang hampir
selalu ada, karena itu adanya eritrosit dalam urin ini merupakan tanda yang paling
penting untuk melacak lebih lanjut kemungkinan suatu glomerulonefritis. Begitu pula
dengan torak eritrosit yang dengan pemeriksaan teliti terdapat pada 60-85% kasus
GNAPS. Adanya torak eritrosit ini merupakan bantuan yang sangat penting pada kasus
GNAPS yang tidak jelas, sebab torak ini menunjukkan adanya suatu peradangan
glomerulus (glomerulitis). Meskipun demikian bentuk torak eritrosit ini dapat pula
dijumpai pada penyakit ginjal lain, seperti nekrosis tubular akut.6

22
Selain urinalisa dilakukan juga beberapa pemeriksaan laboratorium dengan sample darah
yaitu:2,9,10

• Reaksi serologis: Infeksi streptokokus pada GNA menyebabkan reaksi serologis


terhadap produk-produk ekstraselular streptokokus, sehingga timbul antibodi yang
titernya dapat diukur, seperti antistreptolisin titer O (ASTO), antihialuronidase (AH
ase) dan antideoksiribonuklease (AD Nase-B). Titer ASTO merupakan reaksi
serologis yang paling sering diperiksa, karena mudah dititrasi. Titer ini meningkat
70-80% pada GNAPS. Sedangkan kombinasi titer ASTO, AD Nase-B dan AH ase
yang meninggi, hampir 100% menunjukkan adanya infeksi streptokokus
sebelumnya. Kenaikan titer ini dimulai pada hari ke-10 hingga 14 sesudah infeksi
streptokokus dan mencapai puncaknya pada minggu ke- 3 hingga 5 dan mulai
menurun pada bulan ke-2 hingga 6. Titer ASTO jelas meningkat pada GNAPS
setelah infeksi saluran pernapasan oleh streptokokus. Titer ASTO bisa normal atau
tidak meningkat akibat pengaruh pemberian antibiotik, kortikosteroid atau
pemeriksaan dini titer ASTO. Sebaliknya titer ASTO jarang meningkat setelah
piodermi. Hal ini diduga karena adanya jaringan lemak subkutan yang menghalangi
pembentukan antibodi terhadap streptokokus sehingga infeksi streptokokus melalui
kulit hanya sekitar 50% kasus menyebabkan titer ASTO meningkat. Di pihak lain,
titer AD Nase jelas meningkat setelah infeksi melalui kulit.7
• Aktivitas komplemen: Komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS,
karena turut serta berperan dalam proses antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi
streptokokus yang nefritogenik. Di antara sistem komplemen dalam tubuh, maka
komplemen C3 (B1 C globulin) yang paling sering diperiksa kadarnya karena cara
pengukurannya mudah. Beberapa penulis melaporkan 80- 92% kasus GNAPS
dengan kadar C3 menurun. Umumnya kadar C3 mulai menurun selama fase akut
atau dalam minggu pertama perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal sesudah
4-8 minggu timbulnya gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar
komplemen C3 ini masih rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses kronik
yang dapat dijumpai pada glomerulonefritis membrano proliferatif atau nefritis
lupus.
• Laju endap darah: LED umumnya meninggi pada fase akut dan menurun setelah
gejala klinik menghilang. Walaupun demikian LED tidak dapat digunakan sebagai

23
parameter kesembuhan GNAPS, karena terdapat kasus GNAPS dengan LED tetap
tinggi walaupun gejala klinik sudah menghilang.

Diagnosis

Berbagai macam kriteria dikemukakan untuk diagnosis GNAPS, sebagai berikut:2,9,11

1) Secara klinik diagnosis GNAPS dapat ditegakkan bila dijumpai full blown case dengan
gejala-gejala hematuria, hipertensi, edema, oliguria yang merupakan gejala-gejala khas
GNAPS.
2) Untuk menunjang diagnosis klinik, dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa ASTO
(meningkat) & C3 (menurun) dan pemeriksaan lain berupa adanya torak eritrosit,
hematuria & proteinuria.
3) Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus ß hemolitikus grup A.

Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan atas kelainan sedimen urin


(hematuria mikroskopik), proteinuria dan adanya epidemi/kontak dengan penderita GNAPS.

Diagnosis Banding

24
Gambar 2. Diagnosis Banding Berdasarkan Manifestasi klinis yang Menggambarkan
Glomerulonephritis 12

• Nefropati 1gA: biasanya terjadi setelah infeksi saluran pernapasan atas atau
gastrointestinal, tetapi berbeda dari GNAPS dalam periode laten yang lebih pendek yang
diperlukan untuk muncul setelah episode infeksi. Hal ini juga dapat digambarkan sebagai
synpharyngitic hematuria dan infeksi bersamaan.
• Sindrom nefrotik: ekskresi protein urin 24 jam lebih dari 3,5 gram/hari bersama dengan
hipoalbuminemia, edema, hipogammaglobulinemia, dan peningkatan risiko trombosis
(karena hilangnya pro-koagulan)
• Glomerulonefritis membranoproliferatif: juga muncul dengan gambaran nefritik dan
hipokomplementemia setelah infeksi saluran pernapasan. Level pelengkap membutuhkan
waktu lebih lama untuk kembali normal daripada di GNAPS atau level C3 yang terus-
menerus rendah.
• Goodpasture syndrome: Melibatkan paru-paru dan ginjal. Memiliki antibodi basement
anti-glomerulus dan tingkat komplemen normal.

Tatalaksana

1) Istirahat
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya timbul dalam
minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut, tidak dianjurkan lagi
istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan seperti sebelum sakit. Lamanya
perawatan tergantung pada keadaan penyakit. Dahulu dianjurkan prolonged bed rest
sampai berbulan-bulan dengan alasan proteinuria dan hematuria mikroskopik belum
hilang. Kini lebih progresif, penderita dipulangkan sesudah 10-14 hari perawatan dengan
syarat tidak ada komplikasi. Bila masih dijumpai kelainan laboratorium urin, maka
dilakukan pengamatan lanjut pada waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama di
tempat tidur menyebabkan anak tidak dapat bermain dan jauh dari temantemannya,
sehingga dapat memberikan beban psikologik.2
2) Diet
Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat, diberikan makanan
tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5-1
g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari.

25
Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik, terutama pada penderita oliguria atau
anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk harus seimbang dengan pengeluaran, berarti
asupan cairan = jumlah urin + insensible water loss (20-25 ml/kgbb/ hari) + jumlah
keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal (10 ml/kgbb/hari).2
3) Antibiotik
Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering dipertentangkan. Pihak
satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan tenggorok atau kulit positif untuk
streptokokus, sedangkan pihak lain memberikannya secara rutin dengan alasan biakan
negatif belum dapat menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negatif dapat terjadi oleh
karena telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau akibat periode laten
yang terlalu lama (> 3 minggu). Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan untuk
eradikasi kuman, yaitu Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika
terdapat alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberi eritromisin dosis 30
mg/kgbb/hari.2
4) Simptomatik2
a. Bendungan sirkulasi: Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan
cairan, dengan kata lain asupan harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi edema berat
atau tanda-tanda edema paru akut, harus diberi diuretik, misalnya furosemid. Bila tidak
berhasil, maka dilakukan dialisis peritoneal.
b. Hipertensi: Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi ringan
dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan darah bisa kembali
normal dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang atau berat tanpa tanda-tanda
serebral dapat diberi kaptopril (0,3-2 mg/kgbb/hari) atau furosemid atau kombinasi
keduanya. Selain obat-obat tersebut diatas, pada keadaan asupan oral cukup baik dapat
juga diberi nifedipin secara sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgbb/hari yang dapat
diulangi setiap 30-60 menit bila diperlukan. Pada hipertensi berat atau hipertensi
dengan gejala serebral (ensefalopati hipertensi) dapat diberi klonidin (0,002-0,006
mg/kgbb) yang dapat diulangi hingga 3 kali atau diazoxide 5 mg/ kgbb/hari secara
intravena (I.V). Kedua obat tersebut dapat digabung dengan furosemid (1 – 3 mg/kgbb).
c. Gangguan ginjal akut: Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan,
pemberian kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi asidosis harus
diberi natrium bikarbonat dan bila terdapat hiperkalemia diberi Ca glukonas atau
Kayexalate untuk mengikat kalium.

26
Komplikasi

Komplikasi yang sering dijumpai adalah:2

1. Ensefalopati hipertensi (EH).


EH adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi) yang pada anak > 6 tahun dapat
melewati tekanan darah 180/120 mmHg. EH dapat diatasi dengan memberikan nifedipin
(0,25 – 0,5 mg/kgbb/dosis) secara oral atau sublingual pada anak dengan kesadaran
menurun. Bila tekanan darah belum turun dapat diulangi tiap 15 menit hingga 3 kali.
Penurunan tekanan darah harus dilakukan secara bertahap. Bila tekanan darah telah
turun sampai 25%, seterusnya ditambahkan kaptopril (0,3 – 2 mg/kgbb/hari) dan dipantau
hingga normal.
2. Gangguan ginjal akut (Acute kidney injury/AKI)
Pengobatan konservatif :
a) Dilakukan pengaturan diet untuk mencegah katabolisme dengan memberikan kalori
secukupnya, yaitu 120 kkal/kgbb/hari.
b) Mengatur elektrolit :

- Bila terjadi hiponatremia diberi NaCl hipertonik 3%.


- Bila terjadi hipokalemia diberikan :
• Calcium Gluconas 10% 0,5 ml/kgbb/hari
• NaHCO3 7,5% 3 ml/kgbb/hari
• K+ exchange resin 1 g/kgbb/hari
• Insulin 0,1 unit/kg & 0,5 – 1 g glukosa 0,5 g/kgbb
3. Edema paru
Anak biasanya terlihat sesak dan terdengar ronki nyaring, sehingga sering disangka
sebagai bronkopneumoni.

4. Posterior leukoencephalopathy syndrome


Merupakan komplikasi yang jarang dan sering dikacaukan dengan ensefalopati
hipertensi, karena menunjukkan gejala-gejala yang sama seperti sakit kepala, kejang,
halusinasi visual, tetapi tekanan darah masih normal.

27
Prognosis

Penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu bila tidak ada
komplikasi, sehingga sering digolongkan ke dalam self limiting disease. Walaupun sangat
jarang, GNAPS dapat kambuh kembali. Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai
dengan fase akut yang berlangsung 1-2 minggu, kemudian disusul dengan menghilangnya
gejala laboratorik terutama hematuria mikroskopik dan proteinuria dalam waktu 1-12 bulan.
Pada anak 85-95% kasus GNAPS sembuh sempurna, sedangkan pada orang dewasa 50-75%
GNAPS dapat berlangsung kronis, baik secara klinik maupun secara histologik atau
laboratorik. Pada orang dewasa kira-kira 15-30% kasus masuk ke dalam proses kronik,
sedangkan pada anak 5-10% kasus menjadi glomerulonefritis kronik. Walaupun Penyakit ini
dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu bila tidak ada komplikasi, sehingga sering
digolongkan ke dalam self limiting disease. Walaupun sangat jarang, GNAPS dapat kambuh
kembali. Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang
berlangsung 1-2 minggu, kemudian disusul dengan menghilangnya gejala laboratorik terutama
hematuria mikroskopik dan proteinuria dalam waktu 1-12 bulan. Pada anak 85-95% kasus
GNAPS sembuh sempurna, sedangkan pada orang dewasa 50-75% GNAPS dapat berlangsung
kronis, baik secara klinik maupun secara histologik atau laboratorik. Pada orang dewasa kira-
kira 15-30% kasus masuk ke dalam proses kronik, sedangkan pada anak 5-10% kasus menjadi
glomerulonefritis kronik. Walaupun prognosis GNAPS baik, kematian bisa terjadi terutama
dalam fase akut akibat gangguan ginjal akut (Acute kidney injury), edema paru akut atau
ensefalopati hipertensi.2

28
Analisa Kasus

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang. Pada pasien ini, diagnosis glomerulonefritis akut pasca streptococcus dengan
hipertensi ditegakkan berdasarkan anamnesis, didapatkan keluhan berupa edema dimulai
dari area wajah kemudian disusul pada bagian ekstremitas atas dan bawah, serta bagian
abdomen diakibatkan oleh kelainan fungsi ginjal. Edema pada wajah semakin menonjol saat
pagi hari, dan berkurang menjelang malam hari. Pada pasien ini edema yang ada disebabkan
oleh setidaknya 2 mekanisme yaitu penurunan konsentrasi protein plasma dan peningkatan
permeabilitas dinding kapiler yang diakibatkan oleh gangguan fungsi glomerulus. Edema
pada pasien menunjukan adanya retensi cairan di dalam tubuh pasien yang terakumulasi
sebagai akibat retensi natrium dan air pada ginjal serta perubahan tekanan onkotik plasma.
Kemudian edema merupakan gejala yang paling sering, edema paling sering terjadi di daerah
periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat, maka
edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema skrotum/vulva).
Pada pasien didapatkan hematuria (gambaran urin kemerahan seperti air cucian
daging). Keluhan hematuria pada penderita didapatkan setelah batuk, selama 2 minggu
SMRS. Pada glomerulonefritis akut didapatkan hematuria yang didahului oleh infeksi
saluran napas akut (ISPA) atau pioderma 2-3 minggu sebelumnya dan disertai gejala edema
dan atau hipertensi, sehingga memperkuat dugaan terjadinya glomerulonefritis akut.
Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu pertama dan berlangsung beberapa
hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai beberapa minggu. Pasien juga didapatkan buang
air kecil sedikit, oliguria terjadi bila fungsi ginjal menurun atau timbul kegagalan ginjal akut,
umumnya timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan timbulnya
diuresis pada akhir minggu pertama. Demam yang disertai batuk lebih mengarahkan pada
suatu Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Riwayat demam, dan batuk cukup
mengarahkan pada adanya kemungkinan keluhan saat ini yang merupakan suatu manifestasi
sekunder dari penyakit yang dialami oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik juga didapatkan peningkatan tekanan darah yaitu TD: 129/98
mmHg. Peningkatan tekanan darah merupakan manifestasi multifaktor akibat kelainan
ginjal yang dapat disebabkan oleh adanya kerusakan pada pembuluh ginjal, retensi cairan,
sekresi renin, maupun kondisi hipovolemi. Hipertensi umumnya terjadi dalam minggu
pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang lain. Pada
kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastolik 80- 90 mmHg). Hipertensi

29
ringan tidak perlu diobati, dengan istirahat yang cukup dan diet yang teratur tekanan darah
akan normal kembali. Pemeriksaan urinalisa makroskopis pasien berupa urin keruh
menggambarkan terjadinya kerusakan pada glomerulus yang tidak mampu menyaring
eritrosit sehingga eritrosit akan keluar bersama urin. Pada pemeriksaan urinalisis
mikroskopis didapatkan proteinuria (protein 1+), darah samar 3+, secara kualitatif
proteinuria berkisar antara negatif sampai dengan ++, jarang terjadi sampai dengan +++. Bila
terdapat proteinuria +++ harus dipertimbangkan adanya gejala sindrom nefrotik atau
hematuria makroskopik. Pada pemeriksaan didapatkan hemoglobin 10.0 g/dL, anemia
disebabkan oleh adanya ekspansi volume cairan ekstraseluler menurunnya usia eritrosit, dan
adanya hemodilusi serta oligouria yang menunjukan penurunan dari kerja ginjal. Penurunan
kadar hemoglobin pada pasien merupakan akibat dari hematuria yang terjadi. Hematuria
pada pasien GNAPS diakibatkan oleh kerusakan membran basalis glomerulus dimana
eritrosit gagal difiltrasi sehingga eritrosit ikut keluar bersama urin. Selain itu, penyebab
anemia pada pasien diakibatkan oleh menurunnya usia eritrosit yang terjadi pada pasien
GNAPS serta proses hemodilusi. Dalam kasus ini, anemia juga bermanifestasi pada keluhan
pasien yaitu letih, lesu, tampak pucat dan lemah.
Pada pasien didapatkan hasil ASTO positif, pemeriksaan ASTO didapatkan +200.
Hasil imunologi dan serologi berupa ASTO positif yang menandakan bahwa penyebab dari
keluhan yang diderita pasien disebabkan oleh infeksi bakteri streptococcus. Nilai ASTO
dikatakan positif jika >200 uI/mL, sebaiknya pengujian ASTO dilakukan secara berseri. Hal
ini serupa dengan studi epidemiologi dimana pasien GNAPS yang terinfeksi Streptococcus
Beta Haemolytic Group A (SBHGA) dari infeksi saluran pernapasan sebesar 80% sedangkan
pada infeksi kulit hanya 50% pasien yang ASTO-nya positif. Hal ini dapat terlihat pada
pasien yang sebelumnya mengeluh batuk dan pilek untuk infeksi saluran pernapasan. Ada
beberapa keadaan yang dapat menyebabkan keadaan ASTO negatif pada pasien yaitu
kenaikan ASTO tertinggi terjadi pada minggu ke-5 dan ke-6 pasca terinfeksi walaupun
peningkatan sudah dapat dimulai pada 1-3 minggu pasca infeksi.
Glomerulus akut pasca streptococcus (GNAPS) lebih menjelaskan bahwa yang
dialami pasien adalah suatu proses sekunder yang diakibatkan dari respon imun karena
infeksi. Pada pasien GNAPS mengalami retensi natrium sehingga tidak dianjurkan untuk
pemberian cairan yang mengandung natrium yang nantinya akan memperburuk edema pada
pasien. Istirahat di tempat tidur sangat diperlukan terutama jika dijumpai komplikasi yang
biasanya timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut, tidak
dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan melakukan kegiatan berat
30
seperti sebelum sakit. Lamanya perawatan tergantung pada keadaan penyakit. Sebelumnya
dianjurkan prolonged bed rest sampai berbulan- bulan dengan alasan proteinuria dan
hematuria mikroskopik belum hilang. Kini lebih progresif, penderita dipulangkan sesudah
10-14 hari perawatan dengan syarat tidak ada komplikasi. Diet rendah garam juga diperlukan
pada pasien. Bila edema berat, diberikan makanan tanpa garam, sedangkan bila edema
ringan, pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hari. Pembatasan asupan natrium dapat
dilakukan, ini berguna untuk mengurangi beban retensi natrium yang sudah ada, sedangkan
diet rendah protein pada pasien ini belum perlu dilakukan mengingat kadar ureum dalam
darah belum mencapai angka yang direkomendasikan untuk dilakukan diet rendah protein
yaitu 75 mg/dl, bila terjadi azotemia maka protein dibatasi 0,5g/ kgBB/hari. Terapi
medikamentosa yang didapat oleh pasien ini adalah ceftriaxone dan furosemid. Hal ini sesuai
dengan penatalaksanaan GNAPS dimana cetfriaxone adalah antibiotik berspektrum luas dan
GNAPS adalah suatu proses autoimun yang disebabkan oleh bakteri streptococcus beta
haemolytic, sehingga penggunaan ceftriaxone sebagi antibiotik broad spectrume adalah
benar. Terapi dengan furosemid dilakukan untuk mengurangi retensi cairan berlebih dan
mengurangi edema pada pasien

31
Daftar Pustaka

1. Suryani K.D, Pardede S.O. Diagnosis dan Tata Laksana Glomerulonefritis


Streptokokus Akut pada Anak. Majalah Kedokteran UKI. 2016 ;Vol 32 (3). Hal 137-
45
2. Rauf S, Albar H, Aras J. Konsensus Glomerulonefritis Akut Pasca. Streptococcus.:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012
3. Lufyan, R., Suarta, I.K., Nilawati, S.A.P. Karakteristik glomerulonefritis akut pasca-
streptokokus pada anak di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2012-2015. 2017.Medicina
48(2): 123-127.
4. Lumbanbantu S.M. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus Pada Anak. 2003. Sari
pediatri, Vol. 5 (2) Hal 57-68
5. Yoshizawa N, Yamakami K, Fujino Metal. Nephritis associated plasmin receptor and
acute poststreptococcal glomerulonephritis characterization of the antigen and
associated immune response. J Amer Soc Nephrol. 2004; 15: 1785–93.
6. Taskesen M, Taskesen T, Kafar S, Karadede A, Tas. Elevated Plasma Levels of N-
Terminal Pro–Brain Natriuretic Peptide in Children With Acute Poststreptococcal
Glomerulonephritis. Tohoku: J. Exp. Med. 2009; 217–98.
7. Nilawati G,A,P. Glomeluronefritis akut post-infeksi.PKB ilmu kesahatan anak XXI FK
Udayana. 2019. Hal 134-43
8. Albar H, Rauf S. The profile of acute glomerulonephritis among Indonesian
Children.Paediatrica Indonesiana. 2005;45: 264–69
9. Iturbe BR, Mezzano S. Acute post infectious glomerulonephritis. Dalam : Avner ED,
Hormon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, penyunting. Pediatric Nephrology, Sixth
Completely Review, Updated and Enlarged Edition. Berlin Heidelberg:
SpringerVerlag; 2008; hlm. 743–55.
10. ahnsy, Ingulli E. Acute poststreptococcal glomerlonephritis : an update Curr Opin.
Pediatric. 2008; 20(2): 157–62.
11. Bhimma R, Langman CB : Acute Poststreptococcal Glomerulonephritis (diunduh 31
Desember 2022). Tersedia dari: http : //medicine.medscape.com/article/980685.
overview.
12. Nelson WE, Kliegman R, W. SGJ, Behrman RE, Tasker RC, Shah SS, et al. Nelson
textbook of pediatrics. Philadelphia: Elsevier; 2020; 1854-74,2499-2501.

32
33

Anda mungkin juga menyukai