Anda di halaman 1dari 12

REFERAT

EPILEPSI TONIK-KLONIK

COVER

Oleh :

Januardi Rahman

NIM. 20191033031072

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epilepsi merupakan gangguan neurologi kronis yang dapat terjadi di segala usia
yang timbul akibat terganggunya sinyal listrik di dalam otak. Penyakit ini disebabkan
oleh ketidakstabilan muatan listrik pada otak yang selanjutnya mengganggu koordinasi
otot dan bermanifestasi pada kekakuan otot atau pun hentakan repetitif pada otot.
Prevalensi median epilepsi yang aktif (kejang dalam 5 tahun terakhir) di negara maju
adalah 4.9 per 1000 (2,3- 10,3), sedangkan pada negara berkembang di pedalaman
mencapai 12,7 per 1000 (3.5-45.5) dan di perkotaan mencapai 5.9 (3.4-10.2). Epilepsi
bisa mengakibatkan banyak hal salah satunya dari segi aspek psikososial penderita,
yang mana di lihat baik di lingkungan masyarakat seperti halnya ada rasa malu sehingga
menarik diri dari aktivitas sosial di masyarakat, penderita tidak di terima di
lingkungannya. Sedangkan komplikasi yang di akibatkan oleh epilepsi itu sendiri adalah
terjadinya gangguan listrik di otak yang terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan
kerusakan otak akibat hypoksia bahkan bisa berakibat kematian. Maka dari itu perlu
sekali untuk melakukan pengobatan terhadap pasien Epilepsi. Kejang tonik-klonik
(grand mal) adalah jenis kejang yang paling dikenal. Diawali dengan hilangnya
kesadaran dan sering penderita akan menangis. Jika berdiri, orang akan terjatuh, tubuh
menegang (tonik) dan diikuti sentakan otot (klonik). Bernafas dangkal dan sewaktu-
waktu terputus menyebabkan bibir dan kulit terlihat keabuan/ biru. Air liur dapat
terakumulasi dalam mulut, terkadang bercampur darah jika lidah tergigit. Dapat terjadi
kehilangan kontrol kandung kemih. Kejang biasanya berlangsung sekitar dua menit atau
kurang. Hal ini sering diikuti dengan periode kebingungan, agitasi dan tidur. Sakit
kepala dan nyeri juga biasa terjadi setelahnya.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan referrat ini adalah untuk mengetahui lebih banyak mengenai
Epilepsi Grandmal (general tonic-clonic seizures) dengan secara terperinci membahas
terkait definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, dan
penatalaksanaannya.

1.3 Manfaat

Penulisan referat ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan pemahaman


mengenai Epilepsi Grandmal (general tonic-clonic seizures) secara terperinci .
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Epilepsi adalah suatu penyakt otak yang ditandai dengan kondisi/gejala berikut:
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan
jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal
60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa profokasi/ bangkitan refleks (misalkan
bangkitan pertama yang terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke, bangkitan
pertama pada anak yang disertai lesi structural dan epileptiform dischargers)
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.

Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor
pencetus spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitf, dan
somatomotor.

2.2 Etiologi

Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:

1. Idiopatik: tidak terdapat les structural di otak atau deficit neurologis.


Diperkirakan mempunyai predisposisi genetic dan umumnya berhubungan
dengan usia.
2. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui.
Termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi structural pada
otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi desak
ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), metabolic,
kelainan neurodegeneratif.
2.3 Patofisiologi

Gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi padada sinaps aadalah dasar
serangan dari epilepsy. Adanya potensial membran sel menyebabkan kegiatan listrik
pada neuron-neuron otak. Potensial membrane sel bergantung pada permeabilitas
selektif membrane neuron, yakni dimana membrane sel mudah dilalui oleh ion K (dari
ruang ekstraseluler ke intraseluler) dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl,
menyebabkan keadaan intraseluler kosentrasi ion K tinggi dan kosentrasi ion Ca, Na,
dan Cl rendah, sedangkan keadaan ekstraseluler sebaliknya. Perbedaan konsentrasi ion-
ion inilah yang menyebabkan perbedaan potensial membran.

2.4 Diagnosis

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Ada tiga langkah dalammenegakkan diagnosis epilepsi, yaitu sebagai berikut:

1. Langkah pertama: pastikan adanya bangkitan epileptic


2. Langkah kedua: tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 1981

3. Langkah ketiga: tentukan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE


1989

Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakkan diagnosis adalah sebagai


berikut:

1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai
hal-hal terkait dibawah ini:
a. Gejala dan tanda sebelum, salam, dan pascabangkitan:
- Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya
bangkitan, misalnya perubahan prilaku, perasaan lapar, berkeringat,
hipotermi, mengantuk, menjadi sensitive, dan lain-lain.
- Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan?
- Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan
kepala, gerakan tubuh , vokalisasi, aumatisasi, gerakan pada salah satu
atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia,
lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-lain. ( Akan lebih baik bila
keluarga dapat diminta menirukan gerakan bangkitan atau merekam
video saat bangkitan)
- Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
- Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya
- Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat tidur, saat
terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain-lain.
- Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis,
alkohol.
- Durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara
bangkitan, kesadaran antara bangkitan
- Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
- Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang
- Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam
- Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP)
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-
sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
Pemeriksaan fisik umum
Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, misalnya:
- Trauma kepala
- Tanda-tanda infeksi
- Kelainan congenital
- Kecanduan alcohol atau napza
- Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
- Tanda-tanda keganasan.

Pemeriksaan neurologis

Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah
bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama tanda fokal yang tidak
jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:

- Paresis Todd
- Gangguan kesadaran pascaiktal
- Afasia pascaiktal
3. Pemeriksaan Penunjang
- EEG
Indikasi EEG antara lain: membantu menegakkan diagnosis epilepsy;
menentukan prognosis pada kasus tertentu; pertimbangan dalam
penghentian OAE; membantu dalam menentukan letak focus; dan bila
ada perubahan bentuk bangkitan dari bangkitan sebelumnya.
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada
dugaan suatu bangkitan untuk:
 Membantu menunjang diagnosis
 Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sintrom epilepsi.
 Membatu menentukanmenentukan prognosis
 Membantu penentuan perlu/ tidaknya pemberian OAE.
- Pencitraan otak
Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak.
- Pemeriksaan laboratorium
Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik
ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan
serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, “ Blood
Urea Nitrogen”, kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat
memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi
serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya “ drug
abuse”.
2.5 Tatalaksana
Prinsip Terapi Farmakologi
- OAE diberikan bila :
 Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
 Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
 Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan.
 Penyandang dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping
yang timbul dari OAE.
 Bangkitan terjadi berulang walaupun factor pencetus sudah dihindari (misalnya:
alcohol, kurang tidur, stress, dll)
- Terapi dimulai dengan monoterapi
- Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis
efektif
A. Terapi serangan
Kebanyakan lamanya serangan kurang dari 5 menit dan berhenti dengan sendirinya
tanpa pengobatan. Bila berlangsung lebih lama, barulah harus diberikan obat sebagai
berikut :
1. Diazepam rektal Jika belum menghasilkan efek sesudah 5-10 menit, pemberian
dapat diulang atau diberi midazolam/klonazepam secara oromucosal.
2. Diazepam intravena Umumnya serangan berhenti dalam 5-15 menit. Dosis tidak
boleh terlalu tinggi karena resiko depresi pernapasan. Bila penanganan belum berhasil
dan terjadi status epilepticus, maka terapi segera dilanjutka di rumah sakit.
3. Benzodiazepin /fenitoin Pasien biasanya diberi diazepam 10 mg i.v, disusul
dengan infus i.v dari 200 mg per liter selama 24 jam.
B. Terapi Pemeliharaan
1. Valproat
2. Pada grand mal dengan serangan myoclonis dapat digunakan kombinasi dengan
klonazepam
3. Kombinasi klonazepam – klobazam, karbamazepin – valproat dan lamotigrin –
valproat juga sering kali efektif.
4. Pada bentuk tonis klonis karbamazepin, valproat atau fenitoin memberikan efek
baik
BAB III

KESIMPULAN

Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai dengan episode kejang yang dapat
disertai hilangnya kesadaran penderita. Meskipun biasanya disertai hilangnya
kesadaran, ada beberapa jenis kejang tanpa hilangnya kesadaran. Penyakit ini
disebabkan oleh ketidakstabilan muatan listrik pada otak yang selanjutnya mengganggu
koordinasi otot dan bermanifestasi pada kekakuan otot atau pun hentakan repetitif pada
otot. klasifikasi bangkitan epileptik menurut ILAE 1981 antara lain bangkitan umum,
bangkitan parsial/ fokal, dan tidak terklasifikasi. Berdasarkan consensus ILAE 2014,
epilepsi dapat ditegakkan pada tiga kondisi, yaitu terdapat dua kejadian kejang tanpa
provokasi yang terpisah lebih dari 24 jam, terdapat satu kejadian kejang tanpa
provokasi, namun resiko kejang selanjutnya sama dengan resiko rekurensi umum
setelah dua kejang tanpa provokasi dalam 10 tahun mendatang, serta sindrom epilepsi
(berdasarkan pemeriksaan EEG). Tujuan tatalaksana adalah status bebas kejang tanpa
efek samping. Obat-obat lini pertama untuk epilepsi antara lain karbamazepine,
lamotrigine, asam valproat, fenobarbital, fenitoin.
DAFTAR PUSTAKA

Bahrudin, M. (2017). Neurologi Klinis. Malang: UMM Press


Fatmi, K. N. (2022). The The Relation of Duration of Epilepsy, Seizure Frequency and
AED Adherence With Cognitive Function in Epilepsy Patients: Hubungan Lama
Menderita, Frekuensi Kejang dan Ketraturan Minum OAE Terhadap Fungsi
Kognitif Pasien Epilepsi. Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan, 4(3).
Kristanto, A. (2017). Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP Sanglah
Denpasar-Bali. Intisari Sains Medis, 8(1), 69-73.
PERDOSSI. (2014). Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Surabaya : Airlangga University
Press.

Anda mungkin juga menyukai