Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

EPILEPSI

COVER

Oleh :

Anindya Firdaus

NIM. 20191033031100

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu kondisi yang ditandai dengan

serangan epilepsi berulang lebih dari 2 jam terpisah tanpa provokasi. Kejang

epilepsi adalah kondisi klinis yang disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang

abnormal dan berlebihan oleh kelompok neuron. Manifestasi klinis ini terjadi

secara tiba-tiba dan sementara berupa perubahan perilaku stereotipik yang

dapat menyebabkan gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik,

otonom, atau psikiatris.

Epilepsi terjadi dengan frekuensi dan prevalensi yang kira-kira sama

di semua ras di dunia, meskipun beberapa peneliti menemukan tingkat yang

lebih tinggi di negara berkembang. Epilepsi lebih sering terjadi pada pria

daripada wanita, dan lebih mungkin terjadi pada anak pertama.

Onset dapat dimulai pada usia berapa pun, tetapi terdapat perbedaan

mencolok pada kelompok usia tertentu, dengan sekitar 30–32,9% pasien

mengalami serangan pertama sebelum usia 4 tahun dan 50–51,5% mengalami

serangan pertama sebelum usia 10 tahun dan mencapai 75 – 83,5% pasien di

bawah usia 20 tahun, 15% pasien di atas usia 25 tahun, dan <2% pasien di

atas usia 50 tahun. Perkiraan kematian tahunan akibat epilepsi adalah 2 per

100.000 orang.
Lebih dari 5% populasi dunia akan mengalami kejang seumur hidup

mereka. Sekitar 60 juta orang di seluruh dunia menderita epilepsi. Anak-anak

dan remaja lebih mungkin dibandingkan orang dewasa untuk menderita

epilepsi karena penyebab genetik yang tidak diketahui atau murni. Epilepsi

dapat berkembang pada usia berapa pun. Studi terbaru menunjukkan bahwa

70% kejang pada anak-anak dan orang dewasa yang baru didiagnosis epilepsi

dapat dikontrol dengan baik dengan obat-obatan. Juga, 30% orang yang

mengalami serangan tidak merespon dengan baik terhadap perawatan yang

tersedia.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui lebih jauh
tentang Epilepsi mengenai definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis,
diagnosis, dan penatalaksanaannya.

1.3 Manfaat

Penulisan referat ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan

pemahaman penulis maupun pembaca mengenai epilepsi beserta patofisiologi

dan penangananannya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai


etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya
muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. Terdapat dua kategori
dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum. Kejang fokal
terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari cerebral cortex, di mana pada kelainan
ini dapat disertai kehilangan kesadaran parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi
mencakup area yang luas dari cerebral cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfer
cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan klonik termasuk dalam epilepsi umum.
Epilepsi grand mal adalah epilepsi yang terjadi secara mendadak, di mana
penderitanya hilang kesadaran lalu kejang-kejang dengan napas berbunyi ngorok dan
mengeluarkan buih/busa dari mulut. Epilepsi grand mal ditandai dengan timbulnya
lepas muatan listrik yang berlebihan dari neuron diseluruh area otak-di korteks,
dibagian dalam serebrum dan bahkan di batang otak dan thalamus, kejang grand mal
berlangsung selama 3 atau 4 menit.

Etiologi epilepsi dapat dibagi menjadi tiga kategori:

• Idiopatik

Tidak ada lesi otak struktural atau defisit neurologis. Diyakini memiliki
predisposisi genetik dan umumnya berkaitan dengan usia.

• Kriptogenik

Kemungkinan bergejala, penyebab tidak diketahui. Ini termasuk sindrom


West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik. Gambaran Klinis Konsisten
dengan Ensefalopati Difus

• Simptomatik
Disebabkan oleh kelainan/lesi struktur otak seperti:cedera kepala, infeksi
SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik,
metabolik, kelainan neurodegeneratif.

2.2 Patofisiologi

Dasar kejang epilepsi adalah disfungsi neuron otak dan transmisi sinaptik.
Semua sel hidup, termasuk neuron otak, memiliki aktivitas listrik yang disebabkan
oleh adanya potensial membran sel. Potensi membran saraf tergantung pada
permeabilitas selektif membran saraf. Artinya, membran sel mudah dihantarkan oleh
ion K dari ruang ekstraseluler ke ruang intraseluler dan kurang dikonduksi oleh ion
Ca, Na, dan Cl. Sementara ada konsentrasi tinggi ion K dan konsentrasi rendah Ca,
Na, dan ion Ca dan Cl di dalam sel, situasi sebaliknya terjadi di ruang ekstraseluler.
Potensi membran muncul dari perbedaan konsentrasi ion-ion ini. Terminal neuron
berkomunikasi dengan dendrit dan badan neuron lainnya, membentuk sinapsis dan
mengubah polarisasi membran neuron berikutnya.

Ada dua jenis neurotransmitter. neurotransmitter rangsang yang


mempromosikan depolarisasi atau pelepasan muatan, dan neurotransmitter
penghambat yang menyebabkan hiperpolarisasi dan membuat sel-sel saraf lebih stabil
dan kecil kemungkinannya untuk memancarkan listrik. Neurotransmiter rangsang
termasuk glutamat, aspartat, dan asetilkolin, dan neurotransmitter penghambat yang
dikenal adalah asam gamma-aminobutirat (GABA) dan glisin. Ketika hasil
mempengaruhi dua jenis muatan dilepaskan dan terjadi transmisi impuls atau
stimulus. Ini terjadi, misalnya, dalam kondisi fisiologis di mana potensial aksi
mencapai neuron. Saat istirahat, membran saraf memiliki potensi spesifik dan dalam
keadaan terpolarisasi. Potensi aksi menyebabkan depolarisasi membran saraf, dan
semua sel melepaskan muatan listrik Berbagai faktor, termasuk kondisi patologis,
dapat mengubah atau mengganggu fungsi membran saraf ke dalam ruang intraseluler.

Masuknya Ca menyebabkan ledakan depolarisasi membran dan pelepasan


yang berlebihan, tidak stabil dan terkontrol. Pelepasan seperti itu melalui sejumlah
besar neuron yang tersinkronisasi adalah dasar dari serangan epilepsi. Kejang epilepsi
ditandai dengan penghentian singkat kejang di bawah pengaruh proses penghambatan,
kemungkinan karena pengaruh neuron yang mengelilingi fokus epilepsi. Selain itu,
sistem penghambatan pra dan pascasinaps berperan dalam menjaga neuron agar tidak
habis setiap saat. Kondisi lain yang dapat menyebabkan penghentian serangan
epilepsi adalah pengecilan saraf karena kerusakan zat penting untuk fungsi otak.

2.3 Manifestasi Klinis

Ada bentuk primer dan sekunder dari epilepsi mayor (yang menyumbang 75%

dari kasus epilepsi). Epilepsi mayor ditandai dengan kehilangan kesadaran dan kejang

tonik. Manifestasi klinis dari kedua kelompok epilepsi mayor adalah sama,

perbedaannya adalah ada tidaknya aura, gejala prodromal atau preiktal yang

mendahului kejang.

Epilepsi mayor simtomatik selalu didahului oleh aura yang muncul di

permukaan otak tergantung lokasi fokus epilepsi. Aura bisa berupa perasaan tidak

enak badan, melihat sesuatu, mencium bau busuk, mendengar suara gemuruh,

merasakan sesuatu, sakit kepala, dll.

Gairah dimulai dengan kehilangan kesadaran dan aktivitas pasien berhenti.

Pasien kemudian mengalami kejang tonik di mana otot berkontraksi sangat keras

sehingga pasien jatuh, menekuk lengan dan meluruskan kaki. Udara di paru-paru

dipaksa keluar dengan cepat, menyebabkan jeritan yang disebut jeritan epilepsi.

Kejang tonik ini diikuti dengan kejang klonik yang menyebabkan tubuh pasien

bergetar dan tampak terbanting ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 hingga 3

menit. Selain kejang, terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis, refleks

cahaya negatif, mulut berbusa, dan sianosis. Kejang mereda secara bertahap, dan

pasien berubah dari pingsan menjadi koma. Setelah kira-kira sampai 5 menit, pasien

bangun, menjadi lebih bijaksana, dan tidur selama beberapa jam jika tidak diganggu.

Frekuensi kebangkitan dapat berkisar dari setiap jam hingga setahun sekali.
2.4 Diagnosis

Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi, dapat

dilakukan melalui pemeriksaan klinis dengan riwayat kesehatan dan hasil

EEG dan radiografi. untuk) epilepsi mungkin sudah dipaksakan. Gambaran

tentang segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan setelah serangan

(termasuk gejala dan durasi serangan) merupakan informasi yang sangat

berharga dan kunci diagnosis. Riwayat medis juga memberikan informasi

tentang trauma kepala dengan ketidaksadaran, meningitis, ensefalitis,

gangguan metabolisme, malformasi vaskular, dan obat-obatan tertentu.

Riwayat medis (riwayat medis sendiri dan aloe), meliputi:

o Pola/morfologi kejang

o Durasi, durasi, frekuensi, interval terlama antara bangkitan

o Keadaan saat bangkitan: Duduk/berdiri/berbaring/Tidur/Kencing

o Adanya gejala Sebelum , Selama dan Setelah Serangan

o Predisposisi

o Kondisi Medis Saat Ini Lainnya

o Usia Saat Serangan Pertama

o Riwayat Kehamilan, Kelahiran, dan Perkembangan

o Riwayat, Penyebab, dan Pengobatan Sebelumnya

o Riwayat Keluarga Epilepsi

o Riwayat Kejang Neonatal /Demam

o Riwayat Trauma Kepala, Infeksi, dll.

Pemeriksaan Fisik dan Neurologis Umum

Carilah tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi. Seperti

Trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, penyakit kongenital, penyakit


neurologis fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus mengesampingkan

penyebab kejang, dengan menggunakan usia dan riwayat medis sebagai

panduan. Pada anak-anak, pemeriksa harus mencari keterlambatan

perkembangan, hipertrofi organ, dan perbedaan ukuran tungkai. Ini mungkin

menunjukkan retardasi pertumbuhan otak unilateral dini.

Pemeriksaan Penunjang

- Tes EEG

EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan tes

yang paling sering dilakukan untuk mendiagnosis epilepsi. Kehadiran kelainan

EEG fokal menunjukkan kemungkinan kerusakan struktural pada otak, dan

adanya kelainan EEG umum menunjukkan kemungkinan kelainan genetik

atau metabolik. Rekaman EEG harus dilakukan selama terjaga, saat tidur,

dengan stimulasi cahaya, hiperventilasi, dan dengan rangsangan spesifik

(epilepsi refleks) tergantung pada sumber eksitasi.

Indikasi EEG meliputi: Penegakan diagnosis epilepsi, Menentukan

Prognosis pada Kasus Tertentu, Pertimbangan Saat Mengakhiri OAE,Memberi

Bantuan dalam menentukan posisi titik fokus.

Rekaman EEG diklasifikasikan sebagai abnormal jika bentuk kejang

berubah dari yang sebelumnya. Ritme asimetris dan ketegangan gelombang di

wilayah yang sama di kedua belahan otak. Irama gelombang tidak teratur,

irama gelombang lebih lambat dari seharusnya, misalnya gelombang delta.

Adanya gelombang yang biasanya tidak ada pada orang normal Ditemukan

pada Grand Maltonic Fase tonik kejang yang ditandai dengan amplitudo

tinggi progresif dan frekuensi rendah dengan pengamatan khusus di kedua

belahan kortikal secara bersamaan. Jangkauan maksimum adalah 10 Hz.


Lonjakan hiperprogresif amplitudo tinggi bilateral dengan ritme aktivitas

delta amplitudo tinggi melambat dan berkembang menjadi kompleks berulang

amplitudo tinggi, lonjakan, dan kecepatan rendah. Lonjakan aktivitas pada

periode Klonik. Setelah kejang berhenti, EEG hampir mendatar untuk

beberapa waktu, dan rekaman interiktal saat ini dikatakan menunjukkan

rekaman dalam kisaran normal pada sekitar 30% pasien epilepsi di Indonesia.

• Pencitraan Otak (Brain Imaging)

CT scan dan MRI dapat menunjukkan struktur jaringan otak,

sedangkan neuroimaging lain menunjukkan fungsi jaringan otak dan cara

kerjanya. Hal ini sering dilakukan untuk pasien yang ingin dioperasi.

Bergantung pada jenis epilepsi, tes pencitraan mungkin tidak diperlukan.

Neuroimaging harus dipertimbangkan jika penyebab serangan epilepsi dapat

berubah menjadi: Tumor jinak yang dapat menyebar dan malformasi vaskular

yang dapat pecah dan menyebabkan perdarahan. Dalam hal ini, pencitraan

serial diperlukan untuk menyelidiki situasinya. MRI juga berguna ketika

penyebab kejang epilepsi diduga tetapi tidak pasti. Seperti Cedera kepala

ringan. Pada sindrom epilepsi terbuka seperti kejang absen, epilepsi mioklonik

juvenil, dan epilepsi rolandik jinak, CT atau MRI tidak direkomendasikan jika

penyebabnya turun-temurun dan MRI atau CT scan hampir selalu normal atau

tidak berhubungan dengan epilepsi.

Neuroimaging Lainnya:

1. Tomografi Komputasi Emisi Foton Tunggal (SPECT) yang

menunjukkan peta aliran darah di berbagai bagian otak


2. Positron emission tomography (PET), yang memperlihatkan

seberapa banyak glukosa atau oksigen dimetabolisme di berbagai bagian dari

otak.

3. Magnetoensefalografi (MEG). Pelajari pola kelistrikan otak dengan

mengukur medan magnet kecil untuk mengurangi efek tengkorak dan jaringan

lain yang terlihat pada EEG.

4. Spektroskopi Resonansi Magnetik (MRS). Selidiki sinyal yang

dipancarkan dari fosfor, dll. MRS menggunakan teknik seperti MRI yang

menggunakan atom hidrogen. MRS dapat digunakan untuk melihat

metabolisme di otak.

5. USG yang dapat melihat cairan dan darah di otak bayi baru lahir.

Tes Laboratorium

Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesemia, uremia, dan

ensefalopati hepatik dapat menyebabkan kejang. Menguji elektrolit serum

bersama dengan glukosa, kalsium, magnesium, "nitrogen urea darah",

kreatinin, dan tes fungsi hati dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna.

Jika dicurigai adanya "penyalahgunaan zat", tes toksikologi serum dan urin

juga harus dilakukan.

2.5 Tatalaksana

A. Terapi Serangan

Sebagian besar serangan berlangsung dalam 5 menit dan sembuh

secara spontan tanpa pengobatan.

1. Diazepam rektal Jika tidak ada efek setelah 5-10 menit, dosis dapat

diulang atau midazolam/clonazepam oral dapat diberikan.


2. Serangan diazepam intravena umumnya berhenti dalam 5 sampai 15

menit. Dosis tidak boleh terlalu tinggi karena ada risiko depresi pernapasan.

Jika pengobatan gagal dan status epileptikus berkembang, pengobatan segera

dilanjutkan di rumah sakit.

3. Benzodiazepines/Phenytoin Pasien biasanya menerima diazepam 10

mg IV diikuti dengan infus IV 200 mg per liter selama 2 jam.

B. Terapi Pemeliharaan

1. Valproate

2. Untuk kejang grand mal dengan serangan mioklonik, tambahkan

clonazepam

3. Kombinasi clonazepam-clobazam, carbamazepine-valproate, dan

lamotigline-valproate seringkali efektif.

4. Karbamazepin, asam valproat atau fenitoin memiliki efek yang baik

dalam bentuk tonik-klonik.


BAB III

KESIMPULAN

Epilepsi mayor adalah serangan epilepsi mendadak yang menyebabkan

ketidaksadaran, mendengkur, dan kejang berbusa. Epilepsi mayor ditandai dengan

pelepasan berlebihan dari neuron di semua wilayah otak, termasuk korteks serebral,

otak besar bagian dalam, serta batang otak dan talamus. Kejang grand mal

berlangsung 3 sampai menit.

Dasar serangan epilepsi adalah disfungsi neuron otak dan transmisi sinaptik.

Semua sel hidup, termasuk neuron otak, memiliki aktivitas listrik yang disebabkan

oleh adanya potensial membran sel. Potensi membran saraf tergantung pada

permeabilitas selektif membran saraf. Artinya, membran sel mudah dihantarkan oleh

ion K dari ruang ekstraseluler ke ruang intraseluler dan kurang dikonduksi oleh ion

Ca, Na, dan Cl. Sementara ada konsentrasi tinggi ion K dan konsentrasi rendah Ca,

Na, dan ion Ca dan Cl di dalam sel, situasi sebaliknya terjadi di ruang ekstraseluler.

Potensi membran muncul dari perbedaan konsentrasi ion-ion ini. Terminal neuron

berkomunikasi dengan dendrit dan neuron lain, membentuk sinapsis dan mengubah

polarisasi membran neuron berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter.

neurotransmitter rangsang yang mempromosikan depolarisasi atau pelepasan muatan,

dan neurotransmitter penghambat yang menyebabkan hiperpolarisasi dan membuat

sel-sel saraf lebih stabil dan kecil kemungkinannya untuk memancarkan listrik.

Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah untuk mencapai kualitas hidup yang

optimal bagi pasien sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan kelainan fisik dan

mentalnya. Upayanya antara lain menghentikan kejang, mencegah efek samping,

menurunkan morbiditas dan mortalitas, serta mencegah efek samping OAE.


DAFTAR PUSTAKA

Andy Arifputra, F. o. (2014). Epilepsi. In f. l. Chris tanto, Kapita Selekta


Kedokteran (pp. 961-964). Jakarta: MediaAesculapius.

Bahrudin, M. (2017). Neurologi Klinis. Malang: UMM Press.

Ginsberg L. Epilepsi. Dalam : Lecture Notes Neurology. Edisi kedelapan.


Jakarta: Erlangga; 2008
Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. Pedoman tatalaksana epilepsi.
Cetakan Keempat. Jakarta: PERDOSSI; 2012.
Harsono. Kapita selekta neurologi. Cetakan Ketujuh. Jakarta: Gadjah Mada
University Press; 2009.
IDI. (2017). Panduan Ketrampilan Klinis untuk Dokter di Fasilitas Pelayanan
Primer edisi 2. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia.

IDI. (2017). Panduan Praktik Klinis bagi dokter di fsilitas pelayanan primer
edisi 1. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia.

Kriswanto, A. (2017). Epilepsi bangkitan umum tonik klonik di UGD RSUP


Sanglah Denpasar Bali. Intisari Sains Medis, 69-73.

Anda mungkin juga menyukai