Anda di halaman 1dari 47

TOPIC DISCUSSION

ILMU KEPANITERAAN KLINIK NEUROEMERGENCY


SEIZURE / STATUS EPILEPTIKUS

Disusun oleh:
Nydia Triana (01073190052)

Pembimbing:
dr. Hadi Widjaya, M. Biomed, Sp. S

KEPANITERAAN KLINIK NEUROEMERGENCY


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE
PAVILIUN RUMAH SAKIT UMUM SILOAM LIPPO KARAWACI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 1 - 27 MARET 2021
TANGERANG
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Seizure yang dapat disebut dalam bahasa Indonesia sebagai kejang/bangkitan
adalah gangguan fungsi neurologi yang bersifat mendadak karena adanya aktivitas
populasi saraf yang bersifat hipersinkron dan berlebihan di otak. (excessive,
hypersynchronous discharge of neurons in the brain) yang dapat menyebabkan
terjadinya tanda-tanda atau gejala abnormal.1 Kejang menggambarkan adanya
aktivitas elektrik yang abnormal dan tidak terkontrol dari otak yang dapat
menyebabkan perubahan status kesadaran, perilaku, daya ingat, atau perasaan.1,2
Kejang dapat terjadi secara terprovokasi (terdapat faktor pencetus/provoked) atau
tidak terprovokasi (tidak terdapat faktor pencetus/unprovoked). Pencetus dapat
didefinisikan ketika ada sebuah penyebab akut (<7 hari) yang mendasari terjadinya
3
sebuah kejang. Provoked seizure seringkali disebut sebagai acute symptomatic
seizure. Acute symptomatic seizure merupakan kejadian bangkitan yang terjadi pada
saat atau memiliki hubungan dengan kelainan sistem saraf pusat yang telah terjadi
dalam waktu kurang dari 7 hari, namun pada umumnya acute symptomatic seizure
disebabkan oleh kejadian akut seperti stroke, Traumatic Brain Injury (TBI) atau
infeksi sistem saraf pusat, sedangkan provoked seizure lebih mengarah kepada
penyebab metabolik, toksik, atau efek samping obat.4,5
Status Epileptikus (SE) adalah kegawatdaruratan sistem saraf yang
membutuhkan evaluasi dan tatalaksana untuk mencegah adanya morbiditas dan
mortalitas yang signifikan. Sebelumnya, status epileptikus didefinisikan sebagai
kejang yang terjadi selama 30 menit atau lebih, atau adanya beberapa seri bangkitan
namun pasien tidak memperoleh status mental yang normal di antara kejadian
bangkitan. Namun, guideline terbaru yang telah direvisi oleh The Neurocortical Care
Society pada tahun 2012, menyatakan status epileptikus adalah adanya aktivitas
bangkitan selama 5 menit atau lebih secara klinis dan/atau secara elektrografis yang
terjadi terus menerus atau adanya kejang yang berulang-ulang tanpa adanya
pemulihan (kembali ke baseline) diantara kejang.6
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), pada dasarnya, status
epileptikus merupakan bangkitan yang terjadi dalam durasi yang cukup panjang atau
berulang dalam interval yang cukup singkat sehingga dapat menghasilkan kondisi
epileptik yang konstan dan bertahan. Untuk mendefinisikan status epileptikus yang
dapat mencakup seluruh jenis status epileptikus, maka status epileptikus didefinisikan
lebih lanjut sebagai kondisi yang terjadi karena kegagalan mekanisme untuk
menghentikan kejang atau adanya mekanisme awal yang menginisiasi terjadinya
kejang yang berlangsung dalam durasi panjang (after time point t1) yang dapat
menyebabkan konsekuensi jangka pajang (after time point t2) termasuk didalamnya
adalah kematian saraf, cedera saraf, dan perubahan jaringan saraf, tergantung dari
jenis dan durasi dari kejang. Definisi ini terdapat 2 dimensi operasional, yaitu durasi
kejang atau time point t1 yang menyatakan kejang berkepanjangan dengan durasi
yang tidak normal. Dimensi operasional yang kedua adalah time point t2 waktu
dimana aktivitas bangkitan yang terjadi dapat memiliki resiko untuk mengalami
konsekuensi jangka panjang t1 dan t2 berbeda untuk jenis status epileptikus dan
didefinisikan pada masing-masing jenis sebagai berikut: 7

Tabel 1. Definisi T1 dan T2 dari Tiap Jenis Kejang

Status epileptikus akan dibagi berdasarkan durasi menjadi 3 yaitu status


epileptikus dini yang berlangsung selama 5-30 menit, status epileptikus
menetap/established selama lebih dari 30 menit, dan status epileptikus refrakter yaitu
bangkitan tetap ada setelah mendapat dua atau tiga jenis antikonvulsan awal dengan
dosis adekuat. 8
Istilah kejang/bangkitan perlu dibedakan dengan epilepsi. Epilepsi dapat
didefinisikan berdasarkan definisi konseptual dan definisi operasional. Definisi
konseptual dari epilepsi adalah adanya kelainan otak yaitu adanya predisposisi untuk
menimbulkan kejang yang memiliki konsekuensi secara neurobiologis, kognitif,
psikologi, dan sosial. Definisi operasional dari epilepsi merupakan adanya kelainan
dalam otak yang ditandai dengan adanya gejala sebagai berikut: 9
1. Setidaknya 2 kejang yang tanpa terprovokasi yang berselang lebih dari 24 jam
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal
60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi/bangkitan refleks
3. Dapat ditegakannya diagnosis sindrom epilepsi.

1.2 Epidemologi
Angka kejadian dari single unprovoked seizure adalah 23-61 kasus dari
100.000 orang pertahun, sedangkan kejadian acute symptomatic seizure adalah 29-39
kasus per 100.000 populasi pertahun dengan populasi tertinggi pada anak dibawah 1
tahun dan pada usia lanjut. Lifetime prevalence dari kejadian kejang adalah 2-5%
(resiko mengalami kejang non-febril dalam suatu titik dalam seumur hidup rata-rata
populasi). Sampai saat ini, demam, Traumatic Brain Injury (TBI), penyakit
cerebrovascular, drug withdrawal, infeksi, dan gangguan metabolik merupakan
faktor penyebab yang paling umum terjadi. Kejadian kejang lebih umum terjadi pada
negara berkembang dibandingkan negara maju, dan lebih umum terjadi pada laki-laki
dari pada perempuan. 10,11,12
Angka kejadian status epileptikus sebanyak 9.9 sampai 41 kasus per 100.000
orang populasi per tahun, dengan insidensi bimodal dimana angka kejadian paling
tinggi pada anak-anak dan usia lanjut diatas 60 tahun, dengan kejang demam dan
stroke sebagai etiologi utamanya. Kasus status epileptikus untuk dewasa terjadi pada
1.29 - 73.3 kasus dari 100.000 orang dewasa pertahun. Data status epileptikus di
Indonesia yang tercatat adalah kejadian di RS Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM)
sejak bulan Juni 2013 hingga Januari 2014 terdapat 31 pasien SE di IGD dengan
persentasi 45.2% untuk bangkitan umum dan 54.8% untuk bangkitan fokal, sebanyak
22.6% pasien meninggal dan semuanya mengalami bangkitan umum. Angka kejadian
status epileptikus lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada perempuan dengan
perbedaan tipis yaitu 50.3% kejadian pada laki-laki dan 49.7% kejadian pada
perempuan. Terdapat proporsi yang signifikan pada pasien yang memiliki riwayat
epilepsi untuk mengalami status epileptikus yaitu sekitar 16-38% pada anak-anak dan
42-50% pada orang dewasa.13,14
1.3 Etiologi
Kejang dapat terjadi karena faktor pencetus (provoked seizure) atau tidak
memiliki faktor pencetus (unprovoked seizure). Faktor pencetus dari kejang yang
paling umum terjadi adalah: 3
1. Gangguan elektrolit: hipoglikemia, hiponatremia, hipernatremia, ensefalopati
hepatika, dan hipokalsemia
2. Efek toksik akut: antidepresan, simpatomimetik, dll
3. Withdrawal syndrome: etanol, benzodiazepin, barbiturat, dll
4. Konsumsi obat antiepilepsi yang tidak rutin
5. Sepsis
6. Infeksi sistem saraf pusat
7. Hypoxic brain injury
8. Traumatic brain injury
9. Stroke iskemik atau hemorajik
10. Neoplasma
11. Inflamasi
12. Demam
13. Kekurangan tidur
Penyebab status epileptikus terbagi menjadi penyebab dalam proses akut atau
proses kronik. Penyebab akut dari status epileptikus adalah infeksi sistem saraf pusat
(meningitis, ensefalitis, dan abses intrakranial), abnormalitas metabolik
(hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia, dan ensefalopati hepatika), stroke,
kecelakaan yang melibatkan pembuluh darah serebri dan trauma kepala (dengan atau
tanpa perdarahan intrakranial), keracunan obat-obatan (intoksikasi obat atau alkohol,
dan withdrawal obat golongan opioid, benzodiazepin, barbiturat atau alkohol),
hipoksia, kegawatdaruratan hipertensi, dan penyakit autoimun. Sedangkan, penyebab
proses kronik dari status epileptikus adalah adanya riwayat epilepsi dengan
penghentian atau penurunan OAE, kejang breakthrough dalam epilepsi yang sudah
ada sebelumnya (kejang yang terjadi walaupun sudah diberikan antiepilepsi yang
sebelumnya sudah sukses untuk mencegah terjadinya kejang), penarikan etanol, tumor
sistem saraf pusat, dan patologi sistem saraf pusat yang terpencil (contoh: traumatic
brain injury, pascastroke, pascaensefalitis dll). Penyebab status epileptikus paling
sering berbeda-beda dari tiap kategori usia dan lokasi geografis. Pada anak-anak,
penyebab paling sering merupakan infeksi sistem saraf pusat, sedangkan pada orang
dewasa, penyebab paling sering merupakan stroke dan obat-obatan. Pada lokasi
geografis, malaria cerebri merupakan salah satu penyebab paling sering di daerah
endemik malaria. Angka mortalitas status epileptikus yang disebabkan oleh etiologi
akut lebih tinggi dibandingkan akibat etiologi kronik, dengan penyebab yang
memiliki angka mortalitas tertinggi merupakan anoksia, diikuti oleh hipoksia, stroke,
dan gangguan metabolik.15,16,17

Tabel 2. Penyebab Status Epileptikus Berdasarkan Usia


1.4 Patofisiologi
1.4.1 Fisiologi Impuls Saraf
Sistem saraf seperti organ lainnya memiliki sel individu penyusun, yang
disebut neuron. Neuron akan memproses dan melakukan pertukaran sinyal dengan
satu sama lain pada suatu titik pertemuan yang disebut sinaps. Neuron akan bersatu
dan emmbentuk jaringan untuk mengantarkan suatu impuls (rangsangan). Selain
neuron, sel lain yang menyusun sel saraf adalah sel glial. Sel glial akan memberikan
nutrisi, membuang limbah, dan melindungi neuron dari infeksi.18
Gambar 1. Anatomi Neuron
Neuron memiliki kemampuan untuk merespons stimulus dan mengubahnya
menjadi dorongan saraf dan berfungsi sebagai konduktivitas, yaitu melakukan
transmisi impuls di sepanjang akson. Sebagai unit penerima, neuron akan mengambil
sinyal dari neuron lain dan merubah sinyal tersebut menjadi aktivitas elektrik dan
dihantarkan ke neuron lainnya. Kemampuan neuron untuk melakukan sinaps terjadi
karena adanya protein di membran sel yaitu adanya reseptor, struktural, enzim,
pompa, atau saluran yang memiliki fungsinya masing-masing. 18
o Protein struktural: mempertahankan struktur sel dan formasi dari
koneksi di antara neuron
o Reseptor: mengenali molekul sinyal transmisi spesifik.
o Enzim: mamfasilitasi reaksi kimiawi di dalam atau didekat membran.
o Pompa: menggunakan energi metabolik akan mengasilkan gradien ion
atau gradien molekul lain contohnya adalah air untuk melewati
membran
o Kanal: membuat ion dan molekul dapat melewati hydrophobic lipid
bilayer dari membran.
Adanya aktivitas elektrik di sel saraf terjadi karena adanya interaksi dari
pompa ion dan kanal ion. Pompa ion dan kanal ion bekerjasama untuk menghasilkan
fenomena elektrik seperti resting potential, action potential, dan synaptic potential.
Hal ini dapat membuat neuron dapat membentuk perbedaan voltase antara dalam
membran dengan luar membran, dan neuron menggunakan perbedaan voltase ini
untuk memulai proses impuls saraf.18
1.4.1.1 Resting Membrane Potential
Adanya kanal ion di membran sel, seperti Na-K ATPase, dapat memisahkan
ion (terutama K dan Na) di kompartemen intraselular dan ekstraselular sehingga
membentuk gradien ion. Hal ini membuat terdapat potensial intrasel yang lebih
negatif dibanding dibanding ektrasel. Perbedaan potensial antara 2 kompartemen ini
yang membentuk adanya energi potensial yang disebut potensial membran. dan
perbedaan potensial di antara membran pada neuron yang dalam keadana istirahat
disebut resting membrane potential. Angka potensial membran dalam keadaan
istirahat (neuron yang tidak terstimulasi) adalah -70 mV. Adanya resting membrane
potential akan menyediakan energi untuk memulai impuls saraf apabila terdapat
stimulus, sehingga dapat membuat membran untuk mempersiapkan diri jika terdapat
stimmulus.18
1.4.1.2 Action Potential
Terdapat 4 fase yang terjadi pada proses potensial aksi. 18
o Threshold potential: ion positif masuk ke sel yang negatif sehingga
menurunkan energi potensial (dari -70 mV menjadi -55 mV). Ketika sel sudah
cukup positif, maka voltage-gated sodium channel di akson akan terbuka.
o Depolarisasi: ion natrium yang bersifat positif akan masuk ke dalam axon dan
melakukan proses depolarisasi. Ketika satu kanal terbuka dan membuat ion
positif masuk, kanal-kanal di akson lain akan terbuka untuk melakukan hal
yang sama. Neuron akan menjadi positif seiring dengan adanya potensial aksi
yang melewati neuron.
o Repolarisasi: proses ini terjadi untuk membuat sel kembali ke keadaan
istirahat. Kanal natrium akan tertutup sehingga proses ion natrium yang masuk
ke sel akan berhenti. Pada saat yang sama, kanal kalium akan terbuka,
membuat kalium yang didalam sel akan keluar, sehingga sel akan kehilangan
ion positifnya dan akan kembali ke dalam keadaan istirahat
o Hiperpolarisasi: proses ini akan membuat sel menjadi lebih negatif daripada
saat dalam keadaan istirahat. Kanal kalium akan terbuka lebih lama dan
membuat ion positif akan keluar dari neuron, membuat sel menjadi lebih
negatif. Ketika kanal kalium tertutup, pompa Na-K ATP ase akan bekerja
(memompa 3 ion Na keluar dan 2 ion K masuk) untuk mengembalikan
keadaan sel seperti dalam keadaan istirahat.
Gambar 2. Potensial Aksi

1.4.1.3 Transimisi Impuls Saraf


Impuls saraf yang dibentuk oleh aksi potensial akan berjalan disepanjang
akson dan berhenti di ujung akson atau disebut sebagai terminal sinaps (terminal
presinaptik). Pada struktur ini, impuls saraf akan merangsang pelepasan pembawa
pesan kimiawi yang disebut neurotransmitter yang bisa difusi diantara celah sinaptik
dalam waktu 0.5-1 ms untuk mencapai neuron selanjutnya (sel post sinaptik).
Neurotransmitter akan menempel kepada reseptor spesifik di membran dari neuron
post sinaptik sehingga merangsang terjadinya depolarisasi dari membran, dan apabila
threshold potential tercapai akan memulai aksi potensial dan akna melanjutkan
impuls saraf selanjutnya.18

Gambar 3. Sinaps
1.4.1.4 Neurotransmitter
Neurotransmitter adalah pembawa pesan kimiawi yang mentransmisikan
sinyal dari neuron ke sel target melewati sinaps. Pembawa pesan ini penting agar
memungkinkan terjadinya komunikasi yang cepat pada saat proses sinaps.
Neurotransmitter disimpan di vesikel sinaptik yang terdapat di sisi pre sinaptik dari
sinaps. Terdapat 3 jenis neurotransmiter yaitu excitatory, inhibitory, dan keduanya.
Neurotransmitter jenis excitatory akan menyebabkan depolarisasi dari target sel
sehingga dapat menyebabkan terjadinya potensial aksi, sedangkan neurotransmitter
jenis inhibitory akan menyebabkan terjadinya proses hiperpolarisasi dari target sel
sehingga akan menghalangi proses potensial aksi.19,20
o Excitatory: glutamate, aspartate, dan nitric oxide
o Inhibitory: glisin, GABA, serotonin, dan dopamine
o Keduanya: asetilkolin dan norepinefrin

1.4.2 Patofisiologi Kejang


Kejang/bangkitan dapat terjadi karena karena adanya depolarisasi sekelompok
sel saraf secara tiba-tiba dan tidak terkontrol sehingga terjadi aktivitas
motorik/sensorik yang tidak lazim dengan atau tanpa hilangnya kesadaran. Ledakan
potensial aksi ini dimulai dari bagian korteks atau hipokampus kemudian menyebar
ke area korteks dan subcorteks lainnya. Hal ini dapat terjadi karena adanya
ketidakseimbangan antara neurotransmitter eksitatoris dan inhibitoris. Adanya jumlah
neurotransmitter eksitatoris yaitu glutamat yang terlalu banyak dan jumlah
neurotransmitter inhibitoris yaitu Gamma-Aminobutyric Acid (GABA) yang terlalu
sedikit merupakan dasar patofisiologis dari terjadinya kejang. Adanya ketidak
seimbangan tersebut dapat menyebabkan terjadinya electrical paroxysmal
depolarization shifts (PDS) yang dapat mencetuskan peristiwa bangkitan. 3
Penyebab dari ketidakseimbangan dari neurotransmitter dipicu oleh adanya
perubahan pada membran sel saraf. 1/3 kejadian kejang terjadi karena abnormalitas
genetik pada kanal ion yang menyebabkan terjadinya kejang, 1/4 kejadian kejang
lainnya terjadi karena karena adanya lesi struktur. Pasien dengan lesi struktural,
mengalami abnormalitas neurologis lain seperti tumor otak, traumatic brain injur,
infeksi, dll, selain itu bisa juga karena masalah genetik seperti malformasi otak, tumor
genetik, dll. 50% kejadian kejang, tidak memiliki bukti kelainan genetik atau
struktural, kejadian ini terjadi karena gangguan kanal yang belum dimengerti dengan
baik. Selain itu, perkembangan sinaps pada otak juga memiliki pengaruh yang besar
pada kejadian kejang. Sinaps memiliki keadaan yang tidak stabil pada masa kanak-
kanak dan remaja, keadaan sinaps akan berproliferasi dengan tinggi kemudian akan
menurun pada saat dewasa, hal ini menjelaskan kebanyakan kejang akan berhenti
tanpa alasan yang jelas setelah melewati masa kanak-kanak.3,21

Gambar 4. Transmisi Sinaps Normal


Dalam keadaan fisiologis, GABA disintesis dari glutamate di terminal
presinaps oleh enzim glutamic acid decarboxylase (GAD). Influx dari kalsium yang
terjadi karena depolarisasi dari terminal membuat vesikel melepas GABA ke celah
sinaptik, GABA akan menempel pada reseptor GABAA yang akan membuka kanal
yang dapat membuat klorida dapat masuk ke nuron. Klorida akan membuat neuron
menjadi negatif sehingga terjadi proses hiperpolarisasi. Hal ini disebut sebagai
Inihibitory Postsynaptic Potential (IPSP) yang dapat menurunkan proses firing dari
neuron sehingga mencegah terjadinya potensial aksi. Penurunan komponen dari
GABA-IPSP dapat menyebabkan terjadinya eksitatori sehingga dapat menjadi
pencetus terjadinya proses kejang.21
Glutamate dilepaskan dari terminal pre sinaptik akan menempel pada beberapa
reseptor antara lain N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan Amino-3-hydroxy-5-methyl-
isoxasole propionic acid (AMPA/non-NMDA). Glutamate yang menempel pada
AMPA akan menyebabkan proses influx dari Natrium dari por-pori reseptor dan
menyebabkant erjadinya proses Excitatory Post Synaptic Potential (ESPS) yang akan
diikuti oleh proses potensial aksi jika threshold sudah tercapai. Glutamate yang
menempel pada NMDA yang diikuti oleh beberapa proses yaitu penempelan glisin ke
NMDA dan adanya pemblokiran dari magnesium di pori-pori harus dihentikan akan
menyebabkan terjadinya aliran natrium dan kalsium ke neuron sehingga terjadi proses
ESPS. Selanjutnya, depolarisasi akan terjadi.21
Dalam keadaan normal, eksitatoris dan inhibitoris akan seimbangan, neuron
akan diaktivasi ketika dibutuhkan, jika tidak dibutuhkan maka neuron akan dalam
keadaan diam. Keadaan normal merupakan keadaan voltase rendah/desynchronized
dimana neuron yang ada di elektroda tidak memuncak (firing) secara serentak, jika
terdapat ratusan atau ribuan neuron yang melakukan firing pada satu area yang sama
di korteks, maka akan menyebabkan spike atau pelepasan interiktal pada EEG.
Semakin besar area korteks yang terlibat, maka semakin besar juga penyebaran
pelepasan interiktal. Puncak interiktal biasanya berdurasi 30-50 ms. Pada saat fase
iktal, terdapat firing yang tinjukan sebagai spike pada EEG yang dapat berlangsung
selama beberapa detik hingga menit. Pada saat ini, neuron akan memuncak secara
serentak sehingga menimbulkan gejala kejang yang sesuai dengan area otak yang
terlibat. Bangkitan dapat berpropagasi dan diteruskan pada kelompok saraf lain, baik
melalui koneksi kortikal atau struktur lain seperti corpus callosum, sehingga
depolarisasi dialami pada kelompok sel saraf yang dekat maupun jauh dengan sumber
awal. Berdasarkan lokasi dan jarak propagasi, maka bangkitan dapat menjadi fokal
atau umum. 21

1.4.3 Patofisiologi Status Epileptikus


Ketidakseimbangan neurotransmitter dapat berlangsung untuk beberapa saat
hinga terjadi proses degradasi atau re-uptake di sinaps. Normalisasi dari
neurotransmitter dapat menyebabkan terminasi dari bangkitan secara spontan.
Kegagalan dari proses normalisasi neurotransmitter ini berujung kepada kondisi status
epileptikus. Hal ini dapat terjadi karena 2 proses yaitu karena adanya
penekanan/kegagalan proses terminasi kejang dan adanya peningkatan proses pro-
kejang. Beberapa proses yang dapat mendukung adanya terminasi kejang antara lain
penghabisan neurotransmitter, penghabisan ATP, perubahan ion, asidosis,
peningkatan GABAergic drive, pelepasan adenosine dan pelepasan peptides. Adanya
penurunan/kegagalan proses tersebut dapat menyebabkan status epileptikus. Selain itu
proses yang pro-kejang juga dapat menyebabkan kejang dapat berpotensi menjadi
status epileptikus antara lain kerusakan sawar darah otak, inflamasi, dan peningkatan
pro-epileptogenic peptides.22
Penelitian menyebutkan bahwa semakin lama kejang terjadi, semakin sulit
juga kejang akan berhenti. Hal ini konsisten dengan konsep bahwa aktivitas kejang
akan membuat mekanisme inhibitoris menjadi 'lelah' sehingga kejang terus berlanjut.
Pada status epileptikus, GABAA akan mengalami internalisasi sehingga akan
mengaktifkan reseptor NMDA sehingga terjadi peningkatan aktivitas. Dengan adanya
proses tersebut, terminasi bangkitan menjadi sulit.22
Kejang yang berlangsung secara terus menerus dapat menyebabkan adanya
neural loss pada bagian yang rentan seperti hipokampus, korteks, dan talamus.
Kerusakan sel saraf dapat terjadi karena adanya kompensasi fisiologis dari kejang
yaitu hipoksia, dan asidosis. Keparahan cedera sel saraf tergantung kepada durasi
kejang, maka dibutuhkan manajemen status epileptikus dengan cepat.22

1.5 Klasifikasi Kejang

Gambar 5. Klasifikasi Kejang


Terdapat 2 klasifikasi dari kejang yaitu klasifikasi dasar dan klasifikasi
lanjutan. Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 2017,
klasifikasi kejang diawali dengan gejala awal yang bersifat fokal (sebelumnya disebut
sebagai parsial) atau umum. Gejala awal dapat tidak diketahui, maka dapat
dimasukkan ke dalam kategori unknown onset. Kejang fokal berasal dari jaringan
saraf yang berada di salah satu bagian dari satu hemisfer serebral otak, gejala yang
akan ditimbulkan beradasarkan fungsi area asal kejang atau area sekitarnya yang
sudah tersebar, contohnya ketika fokus kejang berada dari korteks motor kiri, maka
gejala dapat berupa gerakan menyentak dari kaki dan tangan kanan. Kejang umum
terjadi ketika aktivitas kelistrikan abnormal terjadi di jaringan saraf di kedua
hemisfer. Serangan kejang yang tidak lengkap atau sifat kejang yang tidak umum
akan masuk ke kategori unclassifed seizure. 1,21
Klasifikasi kejang fokal akan dibagi berdasarkan status kesadaran. Kejang
fokal dengan keadaan sadar berarti pasien mengetahui tentang dirinya dan
lingkungannya pada saat kejang, walaupun keadaan pasien tidak bisa bergerak.
Terdapat beberapa elemen kesadaran yaitu adanya keadaan sadar dengan aktivitas
yang sedang dilakukan, adanya ingatan tentang kejadian tersebut, respon terdapat
stimulus verbal dan non verbal, dan adanya rasa bahwa dirinya sedang berbeda dari
orang lain. Kejang fokal yang sadar disebut sebagai focal aware seizure (sebelumnya
disebut sebagai simple partial seizure). Adanya kehilangan kesadaran pada saat
kejang ataupun gangguan kesadaran selama bagian manapun dari kejadian kejang,
akan membuat kejang masuk ke dalam kategori focal impaired awareness seizure
(sebelumnya disebut sebagai complex partial seizure). Setelah mengklasifkasikan
kejang fokal berdasarkan kesadaran, kemudian kejang fokal akan dibedakan menjadi
gejala motor dan non-motor. Apabila kedua gejala motor dan non-motor terjadi pada
saat onset, maka gejala motor akan lebih mendominasi. Klasifikasi motor dan non-
motor akan dijelaskan kemudian di klasifikasi lanjutan. Kejang fokal yang kemudian
berubah menjadi kejang umum diklasifikasikan sebagai focal to bilateral tonic clonic
(sebelumnya disebut kejang umum sekunder). Kejang yang onsetnya tidak diketahui
namun diikuti oleh kejang umum maka dapat disebut sebagai unknown onset to
bilateral tonic-clonic seizure. Kejang umum dan kejang dengan unknown onset akan
dibagi juga berdasarkan gejala onset yaitu motor dan non-motor.
Gambar 6. Klasifikasi Kejang (2)

Kejang fokal dengan gejala yang timbul pertama/gejala onset motor terbagi
menjadi 7; automatisme, atonik, klonik, spasme epileptik, hiperkinetik, mioklonik,
tonik. Sedangkan, kejang fokal dengan onset non-motor terbagi menjadi 5;
autonomik, behaviour arrest, kognitif, emosional, dan sensorik. 1

Motor23
Automatisme Gerakan motorik berulang dan terkoordinasi, kadang menyerupai
gerakan volunter, namun dilakukan tanpa kemauan. Lebih sering
terjadi pada kejang dengan gangguan kesadaran.
• Orofasialis: mengecap bibir, mengerecutkan bibir,
mengunyah, menelan, dan mengedipkan mata
• pedal: adanya pergerakan kaki secara unilateral atau bilateral
(modndar-mandir, berjalan, atau berlari)
• Vokal: adanya suara yang dapat diulang-ulang dapat berupa
jeritan atau mengorok
• Verbal: adanya kata-kata yang dapat diulang ulang seperti
kalimat/frase
• Seksual: perilaku seksual
• Lainnya: mengganggukan kepala, membuka baju, dan
gerakan lainnya
Atonik Adanya kehilangan atau pengurangan tonus otot tanpa adanya
gerakan mioklonik atau tonik, yang berlangsung lebih dari 500 ms
tapi lebih cepat dari 2 detik. Bagian tubuh yang biasanya terkena
pengaruh adalah kepala, trunk, rahang, atau otot anggota gerak tubuh.
Klonik Adanya gerakan menyentak (jerking) mengikuti ritme yang dapat
terjadi pada anggota gerak distal, atau salah satu anggota gerak, atau
salah satu sisi tubuh.
• Jacksonian march: gerakan menyentak terjadi pada area
tubuh sesuai dengan homonculus pada motor cortex
Spasme Adanya gerakan fleksi, ekstensi, atau campuran dari otot batang
Epileptik tubuh, selama 1-2 detik, yang berlangsung secara serial
Hiperkinetik Gerakan anggota gerak proksimal atau otot aksial, menciptakan
gerakan dengan amplitudo besar seperti menginjak, gerakan 'panggul
mendorong', melompat, gerakan memukul, dll
Mioklonik Satu atau klaster pendek atau kontraksi otot yang sebentar yang
hanya berdurasi beberapa millisecond setiap kontraksi
Tonik Peningkatan tonus otot, yang terjadi selama beberapa detik sampai
beberapa menit

Non-Motor24
Autonomik Perubahan sistem yang dikontrol oleh sistem saraf otonom pada saat
onset kejang, dapat berupa:
• Palpitasi/takikardi/bradikardi/asistol
• Sensasi epigastrium (rasa tidak nyaman, ketat, kelaparan, dll
yang dapat naik ke dada/tenggorokan), atau mual/muntah dan
fenomena sistem pencernaan lain
• Pucat/flushing
• Hipoventilasi/hiperventilasi/perubahan pernafasan
• Piloerection/merinding
• Ereksi
• Keinginan untuk BAK/BAB
• Lakrimasi
• Konstriksi/dilatasi pupil
Behaviour Penurunan amplitudo dan atau laju atau adanya arrest dari aktivitas
Arrest motorik yang sedang dilakukan. Karena adanya arrest sangat umum
dan susah untuk dikenali pada saat kejang dimulai, maka arrest harus
berlangsung pada sebagian besar kejadian kejang.
Kognitif Adanya gangguan bahasa/domain kognitif lainnya atau adanya deja
vu, halusinasi, ilusi, atau distorsi persepsi.
• Disfasia/afasia ekspresif: tidak bisa bicara, pasien sadar akan
keinginannya untuk berbicara suatu hal yang spesifik namun
tidak bisa mengekspresikannya
• Anomia: tidak bisa menamai objek sehari-hari
• Agnosia auditori: tidak bisa mengenali atau membedakan
suara/kata-kata dengan definisinya
• Disfasia/afasia konduksi: tidak dapat mengulang kata-kata
yang didengar
• Disleksia/aleksia: tidak bisa membaca karena tidak bisa
memahami tulisan
• Dejavu / jamais vu: adanya fenomena memori seperti rasa
familiar (deja vu) atau tidak familiar (jamais vu)
• Halusinasi: persepsi stimulus sensorik ekternal yang tidak
nyata dapat berupa visual, audio, atau sensori lainnya, tanpa
ada perubahan kesadaran
• Ilusi: perubahan stimulus dari yang sebenarnya dapat berupa
visual, audio, somatosensori, olfaktori, dll
• Disosiasi: pengalaman tidak berhubungan dengan dirinya
atau lingkungannya walaupun dalam keadaan sadar
• Discalculia/acalculia: kesulitan memahami hitungan
matematika
• Disgrafia/agrafia: kesulitan menulis
• Kebingungan kanan-kiri
• Neglect: adanya kegagalan unilateral menanggapi stimulus
yang berasal dari kontralateral
Emosional Perubahan mood/emosi
• Takut/panik/ansietas
• Tertawa (gelastik): tertawa tanpa adanya emosi yang
berhubungan dengan kebahagiaan
• Menangis (dakristik): menangis yang dapat disertai lakrimasi
dan ekspresi sedih
• Pleasure: adanya perasaan positif berupa kenyamanan,
kebahagiaa, dll (jenis yang jarang terjadi)
• Kemarahan: adanya kemarahan yang dapat disertai perilaku
agresif
Sensorik Sensasi yang dialami saat kejang yang dirasakan oleh penderita
namun tidak terdapat gejala klinis objektif yang dapat dilihat oleh
pengamat
• Somatosensorik: fenomena berupa kesemutan, kebas, seperti
kesetrum, dan nyeri
• Sensorik visual: adanya halusiasi visual yang dasar berupa
kedipan cahaya/warna atau bentuk lain dengan pola yang
simpel, bentuk halusinasi visual yang lebih kompleks terdapat
pada kejang fokal kognitif
• Sensorik auditori: adanya halusinasi auditori yang dasar dapat
berupa buzzing atau ringing, bentuk halusinasi sensorik yang
lebih kompleksi terdapat pada kejang fokal kognitif
• Sensorik pengecapan: adanya fenomena perasa termasuk rasa
asam, pahit, manis, dll
• Sensorik vestibular: perasaan pusing, berputar, dan vertigo
• Sensasi panas-dingin: adanya sensasi perasaan panas
kemudian rasa dingin
• Sensasi sefalik: adanya rasa sakit kepala
Kejang umum merupakan kejang dimana terjadi aktivitas kelistrikan abnormal
pada kedua hemisfer otak seingga dapat menyebabkan gangguan kesadaran.
Walaupun kejang dapat terlokalisir, namun lokasi dan lateralisasi tidak konsisten dari
tiap kejang yang terjadi. Kejang umum dengan gejala yang timbul pertama/gejala
onset motor terbagi menjadi 8; tonik-klonik, klonik, tonik, mioklonik, mioklonik-
tonik-klonik, mioklonik-atonik, atonik, dan spasme epileptik. Sedangkan, kejang
umum dengan onset non-motor (absens) terbagi menjadi 4; tipikal, atipikal,
mioklonik, dan mioklonik eyelid.

Motor
Tonik-klonik Generalized tonic-clonic seizure adalah adanya kejang motor
bilateral dan simetris yang terjadi pada seseorang disertai dengan
kehilangan kesadaran. Terdapat gerakan tonik (peningkatan tonus
bilateral bertahan selama beberapa detik hingga menit) diikuti
gerakan klonik (gerakan menyentak ritmitis yang berkelanjutan).
Pada fase tonik, pasien secara tiba-tiba akan kehilangan kesadaran
dan mengalami kontraksi dari otot-otot ekstrimitias, dimana terjadi
fleksi yang diikuti ekstensi terutama dari punggung dan leher, pasien
dapat mengeluarkan suara (moaning) karena adanya ekspirasi
mendadak dan dapat menggigit lidahnya sendiri. Pada akhir fase
tonik, kontraksi akan selesai dan pasien akan jatuh ke tanah.
Fase klnik terjadi ketika pasien mengalami kontraksi-relaksasi secara
bergantian dan simetris dari ekstremitas. Pada fase ini akan terjadi
pengeluaran air liur yang dapat terlihat sebagai mulut berbuih. Secara
perlahan, kontraksi-relaksasi berkurang hingga semua gerakan
terhenti dan otot mengalami relaksasi.

Tonik Adanya peningkatan tonus bilateral pada anggota gerak yang


berlangsung selama beberapa detik sampai semenit.
Klonik Adanya gerakan menyentak (jerking) mengikuti ritme dengan adanya
kehilangan kesadaran, perbedaan dengan mioklonik adalah gerakan
menyentak bersifat tidak regular
Mioklonik Adanya satu atau beberapa gerakan menyentak (jerking) yang terjadi
hanya beberapa millisecond tiap gerakan
Mioklonik- Variasi gerakan mioklinik-tonik-klonik secara berurutan
tonik-klonik
Mioklonik- Adanya kejang mioklonik yang diikuti oleh kejang atonik, pasien
atonik akan jatuh.
Atonik Kehilangan/pengurangan tonus otot secara tiba tiba tanpa disertai
adanya kejang mioklonik atau tonik. Kejang atonik hanya
berlangsung kurang dari 2 detik.
Spasme Adanya gerakan fleksi, ekstensi, atau campuran selama 1-2 detik,
Epileptik yang berlangsung secara serial yang terjadi secara bilateral

Non-Motor (Absence)
Tipikal Adanya kehilangan kesadaran yang bersifat tiba-tiba, pasien akan
menghentikan segala aktivitas pada periode waktu tersebut
Atipikal Kehilangan kesadaran tidak bersifat tiba-tiba dibandingkan dengan
tipe tipikal
Mioklonik Adanya kejang mioklonik pada bahu dan tangan dengan adanya
gerakan tonik sehingga terjadi pengangkatan kedua lengan pada saat
kejang yang berlangsung sekitar 10-60 detik.
Eyelid Adanya kejang absans yang disertai jerking mioklonik pada kelopak
Myoclonic mata yang sebentar dan berulang yang disertai dengan deviasi bola
mata ke arah atas dan ekstensi kepala yang berdurasi kurang dari 6
detik

1.6 Klasifikasi Status Epileptikus


Klasifikasi status epileptikus dibagi berdasarkan 4 aksis antara lain klasifikasi
berdasarkan semiologi, etiologi, korelasi EEG, dan usia. Klasifikasi semiologi dan
usia dapat dinilai pada saat awal pemeriksaan, aksis etiologi jarang dilakukan
identifikasi dan pada umumnya membutuhkan waktu lebih lama. Korelasi EEG dapat
menentukan pilihan obat, prognosis, dan pendekatan klinis. 7,25
1.6.1 Klasifikasi Semiologi
Klasifikasi ini berdasarkan presentasi klinis dari status epileptikus berdasarkan
2 hal yaitu adanya gejala motorik yang menonjol dan derajat gangguan kesadaran
(secara kualitatif ataupun kuantitatif). Klasifikasi semiologi selanjutnya akan terdapat
pada tabel dibawah ini: 7,25

Status epileptikus konvulsif adalah status epileptikus yang disertai dengan


gejala bangkitan tonik-klonik umum disertai dengan gangguan status mental,
sedangkan status epileptikus non-konvulsif adalah status epileptikus dengan aktivitas
bangkitan yang terekam di elektroensefalogram (EEG) tanpa adanya gejala tonik-
klonik. 26,27
Status epileptikus fokal motor adalah adanya adanya gejala refraktor
motorik pada anggota gerak atau kelompok otot dari 1 sisi tubuh dengan atau
tanpa gangguan kesadaran. Status epileptikus mioklonik merupakan status epileptikus
yang ditandai dengan adanya jerking mioklonik. Adanya bangkitan (konvulsif
ataupun non-konvulsif) yang terjadi secara terus-menerus walaupun sudah diberikan
obat anti epilepsi disebut sebagai status epilepsi refraktor. 26,27

1.6.2 Klasifikasi Etiologi


Klasifikasi ini terbagi menjadi penyebab yang diketahui dan tidak diketahui.
Penyebab yang diketahui bisa karena kelainan struktural, metabolik, inflamasi,
infeksi, toksik, atau genetik. Penyebab yang tidak dietahui atau dapat disebut sebagai
kriptogenik.

1.6.3 Klasifikasi Korelasi EEG


Klasifikasi korelasi EEG terbagi berdasarkan 6 karakteristik dari tampilan
EEG pada penderita status epileptikus:
Lokasi Generalized, lateralisasi, bilateral
independent, dan multifokal
Pola Periodic discharge, rhythmic delta
activity atau spike-and-wave/sharp-
and-wave plus subtypes
Morfologi Ketahaman, jumlah fase (morfologi
trifasik), amplitudo absolut dan
relatif, dan polarity
Gejala yang berhubungan dengan Prevalensi, frekuensi, durasi, pola
waktu durasi dan indeks, onset (tiba
tiba/gradual), dinamik (berkembang,
fluktuasi, atau statis)
Modulasi Dicetuskan stimulus vs spontan
Efek dari obat pada EEG
1.6.4 Klasifikasi Usia
• Neonatus: 0 - 30 hari
• Infant: 1 bulan - 2 tahun
• Anak-anak: 2 tahun - 12 tahun
• Remaja dan dewasa: 12 tahun - 59 tahun
• Lansia: 60 tahun atau lebih

1.7 Fase Kejang


Terdapat beberapa fase dalam terjadinya kejang. Fase pertama merupakan fase
prodromal yaitu beberapa jam sebelum terjadinya kejang, tidak semua orang akan
mengalami fase ini. Gejala dapat berupa insomnia, sakit kepala, gelisah, lebih
mudah emosi, agitasi dan depresi.28
Fase selanjutnya adalah fase aura yang terjadi beberapa detik sebelum
terjadinya kejang atau dapat disebut sebagai pre-iktal. Walaupun dikenal sebagai
peringatan terjadinya kejang, namun aura sebenarnya merupakan tahap awal dari
aktivitas kejang. Tidak semua orang dapat mengalami fase aura, bagi orang-orang
yang mengalami fase aura, gejala aura tergantung kepada jenis kejang, keparahan
kejang dan area otak yang terpengeruh. Gejala yang dapat terjadi adalah gangguan
pengelihatan, pengelihatan yang berkedip-kedip, halusinasi, deja vu, jamais vu,
suara berdengung ata berdenging, aroma yang aneh, rasa yang asam atau pahit,
sensasi seperti keluar dari tubuh, mual atau muntah, kebas, kesemutan, pusing
beruptar, nyeri pada kepala, lengan dan kaki, adanya kedutan ringan pada lengan
dan kaki, dan perasaan senang/sedih/marah/takut yang kuat. 28
Fase selanjutnya adalah fase iktal dimana kejang terjadi. Pada saat ini, akan
terjadi perubahan pada tubuh pasien. Apabila pada saat kejang, pasien tersambung
dengan alat pemeriksaan EEG, maka akan terlihat jelas perubahan pada EEG. Fase
iktal berlangsung dari awal mulainya kejang hingga akhir aktivitas kejang yang
dideteksi secara definitif menggunakan EEG. 28
Akhir dari fase iktal akan diikuti oleh fase post iktal atau yang dapat disebut
sebaagai fase pemulihan. Beberapa orang dapat segera pulih, namun beberapa orang
dapat membutuhkan beberapa menit hingga beberapa hari untuk kembali ke kondisi
semula. Lamanya durasi fase post iktal tergantung kepada jenis kejang, keparahan
kejang, dan area dari otak yang terkena. Gejala yang dapat dialami pada fase post-
iktal adalah mengantuk, bingung, kehilangan ingatan, mual, kelamahan seluruh
tubuh, nyeri pada bagian tubuh, kesulitan berbicara nama atau kata-kata, sakit
kepala, migraine, haus, kelemahan pada kaki atau lengan, hipertensi, perasaan takut,
dan malu atau sedih. 28

1.8 Diagnosis
Evaluasi yang dapat dilakukan pada pasien dengan kejang pertama kali adalah
memastikan apakah pasien benar-benar mengalami kejang atau tidak karena banyak
kondisi yang memiliki karakteristik hampir sama dengan kejang. Keluhan pre-
syncope, TIA, aura migraine, gangguan tidur, dan psychogenic non-epileptic seizure
(PNES). Adanya saksi dapat menjadi kunci untuk memastikan kejadian kejang. 29,30
Anamnesis dapat dilakukan untuk menggali beberapa informasi mengenai
kejang yang dialami pasien. Tanyakan identitas pasien yaitu nama dan usia pasien.
Tanyakan gejala yang dialami pasien pada saat fase-fase kejang (prodromal, pre-
iktal, iktal, dan post iktal) dan gejala-gejala tambahan yang dialami pasien perlu
ditanyakan yaitu kekakuan pada tubuh, adanya jerking pada anggota tubuh, gejala
absans, ataupun gejala kejang lainnya adanya gejala prodromal berupa halusinasi
dan dejavu/jamais vu, dll. Kemudian gejala pada saat iktal terdapat gejala berupa
mengigit lidah lateral, adanya rotasi kepala lateral, postur tubuh yang tidak biasa,
inkontinensi urin, kulit yang bewarna kebiruan, dll. Gejala post iktal berupa
kebingungan, kehilangan kesadaran, dll. Selain itu, durasi kejang perlu diperhatikan
agar manajemen status epileptikus dapat dilaksanakan pada waktu yang tepat.
Lokasi/pola kejang pada tubuh dan perambatan kejang perlu ditanyakan untuk
membedakan kemungkinan lokasi abnormalitas elektrik pada otak. Selain itu,
Kesadaran pasien pada saat kejang juga perlu ditanyakan untuk membedakan jenis
kejang. Perlu digali apakah kejang merupakan kejadian pertama kali atau sudah
berulang, apabila berulang, tanyakan usia awitan, durasi tiap kejang, frekuensi
kejang, interval terpanjang antar kejang, dan kesadaran antara kejang. Perlu
ditanyakan juga aktivitas penderita saat terjadi kejang (tidur, bermain video game,
dll). Gejala tambahan berupa demam juga dapat di tanyakan untuk melihat apakah
ada tanda-tanda infeksi pada penderita. Tanyakan faktor pencetus dari terjadinya
kejang berupa kelelahan, kurang tidur, maslaah hormonal, stres psikologis, dan
alkohol. 29,30,31,32
Riwayat penyakit dahulu berupa diabetes melitus, gangguan fungsi hati dan
ginjal serta riwayat gangguan neurologis dan psikiatri yaitu epilepsi, stroke, trauma
kepala, tumor kepala, infeksi, dan lain-lain perlu ditanyakan. Selain itu tanyakan
mengenai riwayat bangkitan neonatal/kejanh demam. Selain itu riwayat penggunaan
obat-obatan dan konsumsi alkohol perlu ditanyakan. Riwayat obat-obatan yang perlu
ditanyakan yaitu obat-obatan anti epilepsi, analgesik, antibiotik, imunomodulator,
obat-obatan psikotik, dan teofilin, selain itu, riwayat penggunaan dan penarikan
obat-obatan terlarang juga perlu ditanyakan. Riwayat penggunaan kontras di tubuh
juga dapat digali. 29,30,31,32
Gejala objektif yang dialami pasien dapat menjadi prediksi lokasi dari
abnormalitas yang terjadi pada otak terutama pada kejang fokal. Adanya kejang
klonik dengan gejala jerking pada anggota gerakyang terjadi pada 1 sisi tubuh pada
umumnya berasal dari korteks motor primer, kemudian akan menyebar sepanjang
homonculus motorik atau disebut sebagai kejang jaksonian march. Postur distonia
dimana pasien akan berpostur seperti pagar biasanya terjadi karena lesi yang
terletak di area supplementary sensorimotoric. Kejang lobus frontal biasanya terjadi
dengan durasi yang pendek (10-30 detik), dengan adanya gejala hipermotor,
aktivitas motorik bilateral, dan kejadian pada malam hari. Kejang fokal dengan
gangguan diskognitif biasanya terjadi karena lesi pada lobus temporal dimana pasien
terlihat tidak bergerak dan menatap, pasien juga tidak respon dengan rangsangan
eksternal. Kontralateral dari fokus lobus temporal, akan terjadi fleksi dari
pergelangan tangan, fleksi dari sendi metakarpal-falang, dan ekstensi dari
interfalang. Gejala automatisme juga menandakan lesi dari lobus temporal. Gejala
post iktal berupa kebingungan dan anterograde amnesia menandakan kejang tonic
clonic generalized dan kejang lobus temporal.
Syncope adalah kehilangan kesadaran secara sementara yang terjadi karena
adanya hipoperfusi global pada otak dengan ciri-ciri onset cepat, durasi yang
sebentar, dan kembali pulih secara spontan. Pada umumnya, syncope di dahului oleh
beberapa faktor pencetus seperti berolahraga, perpindahan posisi tubuh menjadi
berdiri yang terlalu cepat, dan berdiri terlalu lama. Beberapa gejala yang dapat
membedakan syncope dengan kejang adalah, adanya gejala mual, berkeringat,
pusing berputar, dan kehilangan pandangan pada saat sebelum terjadinya syncope,
berbeda dengan gejala prodromal pada kejang. Selain itu dapat terjadi gejala
palpitasi sebelum syncope yang menandakan jantung sebagai penyebab syncope.
Pada pasien syncope, terdapat gejala berupa bibir yang pucat dan tidak terdapat
gejala jerking dan menggigit lidah yang dapat terjadi pada kejang. Pada pasien
kejang, umumnya mata terbuka, sedangkan pada syncope pada umumnya mata
tertutup atau 'ke belakang'. Setelah terjadinya kejang, pasien dapat tidak sadar
selama 5 menit atau lebih, disorientasi, mengantuk, nyeri otot dan mengigit lidah,
hal ini tidak ditemukan pada pasien syncope. 29,33
Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan gejala defisit neurologis
berepisode singkat yang disebabkan oleh iskemia bertahan kurang dari 24 jam, yang
secara umum kurang dari 1 jam. TIA cenderung mengakibatkan gejala yang
'negative' yaitu berupa kelemahan sisi tubuh, hipestesia, dan gangguan lapang
pandang, sedangkan kejang pada umumnya diawali dengan gejala positif berupa
jerking dari anggota tubuh. Gejala paresis juga dapat dialami pada saat setelah
kejang atau disebut sebagai todd's paralysis. Todd's paralysis dapat dialami pada
13% kasus kejang yaitu adanya gejala hemiparesis setelah kejang yang bersifat
parsial atau total yang berlangsung selama 0.5 - 36 jam. TIA dan Todd's paralysis
sulit untuk dibedakan, adanya riwayat/faktor resiko yang mendukung adanya stroke
dapat menjadi salah satu yang dapat mendukung diagnosis TIA. Perlu dilakukan
pemeriksaan imaging seperti CT-scan dan MRI untuk memastikan diagnosis
TIA.33,34
Migraine adalah nyeri kepala yang bersifat berdenyut yang sering disertai
dengan sensitivitas dengan cahaya dan suara, dan gejala mual dan pusing, yang
berlangsung selama beberapa jam hingga beberapa hari (4-72 jam). Migraine
dengan aura merupakan adanya persepsi sensorik imajiner yang akan diikuti oleh
sakit kepala. Walaupun dapat mempengaruhi seluruh panca indera, aura pada
migraine pada umumnya bersifat visual. Migraine dengan aura dapat menyerupai
seizure pada lobus oksipital. Pada kejang, halusinasi visual bersifat sebentar
(maksimal 3 menit), biasanya bewarna dengan pola melingkar, dan onsetnya selalu
dari sisi yang sama, selain itu tidak terdapat gejala fotofobia. Nyeri kepala post iktal
dapat terjadi, namun biasanya tidak hebat dan tidak berdenyut dan berlangsung
hanya selama 30 menit hingga 1 jam. Pada migraine dengan aura, pada umumnya
halusinasi visual bersifat hitam putih dengan pola zigzat atau linier, yang
berlangsung lebih dari 3 menit. Kemudian, halusinasi visual akan diikuti oleh gejala
fotofobia, nyeri kepala berdenyut, dan gejala mual/muntah.35
Gangguan tidur yang dapat menyerupai kejang adalah parasomnia. Parasomnia
adalah adanya gangguan perilaku atau psikologis tidak menyenangkan yang terjadi
pada saat tidur. Gejala dapat berupa berjalan saat tidur, sleep terrors, dan bangun
dengan keadaan kebingungan. Karakteristik parasomnia yang dapat dibedakan dari
kejang lobus frontal adalah adalah onset saat masa kecil, episode yang jarang terjadi,
durasi yang dapat berlangusng beberapa menit, onset pada 1/3 awal malam, dan
pada umumnya remisi setelah pubertasi. Sedangkan pada kejang lobus frontal
nokturna, gejala dapat berlangsung selama 1 menit, terjadi pada saat manapun ketika
tidur, dan dapat terjadi beberapa kali saat malam hari. Terdapat kuesioner yang
dapat membedakan parasomnia dengan epilepsi lobus frontal nokturna, dengan skor
lebih dari 0 menandakann epilepsi sedangkan, skor 0 atau kurang dari 0 menandakan
parasomnia. 36,37,38

Tabel 3. Kuesioner Untuk Membedakan Parasomnia dengan Kejang


Psychogenic Non-Epileptic Seizure (PNES) atau psuedoseizure adalah adanya
perubahan gerakan tubuh, emosi, sensasi dan pengalaman, yang menggambarkan
kejang epileptik namun terjadi karena penyebab emosional. PNES merupakan
respon dari pencetus eksternal (waktu, lokasi, dan melihat kejadian tertentu), dan
internal (flashback emosi). PNES pada umumnya resisten terhadap OAE, dengan
frekuensi yang tinggi (dapat terjadi beberapa kali dalam sehari), adanya kejadian
pencetus (stres, kesedihan, nyeri, lingkungan), kemungkinan untuk terjadi ditengah
banyak orang, adanya komorbid berupa fibromialgia atau nyeri kronik, dan adanya
riwayat ke tenaga kesehatan dengan berbagai gejala yang menyerupai gejala
somatisasi. Pada pasien kejang, dapat mengeluarkan air mata pada saat fase tonik
kejang umum tonik klonik, namun pada pasien dengan PNES dapat mengeluarkan
suara lainnya seperti menangis, berbicara, ataupun mendengus. Kemudian pada
PNES, pada umumnya mata dalam keadaan tertutup, pasien tidak menggigit lidah,
dan tidak terdapat inkontinensia urin.29,33

Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik generalis dan neurologis


harus dilakukan secara mendetail. Pemeriksaan fisik generalis dapat dilakukan untuk
mendapatkan petunjuk mengenai penyebab kejang dan dapat menyingkirkan
diagnosis banding.29

Sistem Temuan Interpretasi


Keadaan Umum Tidaak kooperatif, berlebihan PNES
dan dramatisasi
Tanda-tanda vital Demam Penyebab infeksi
Hipertensi Posterior Reversible
Encephalopathy Syndrome
(PRES)
Bradikardi atau takikardi Cardiogenic Syncope
Kepala dan Leher Papilledema • Syncope karena
hipertensi
intrakranial
• Seizure karena iritasi
kortikal
Gigitan lidah atau pipi bagian Gigitan lidah lateral karena
dalam kejang
Laserasi pada kepala atau Jatuh karena kehilangan
wajah kesadaran
Sistem Penurunan tekanan darah Syncope karena hipotensi
kardiovaskular sistolik >20 mmHg atau ortostatik
tekanan darah diastolik >10
mmHg pada saat berdiri
Ritme jantung tidak regular Cardiogenic Syncope
Murmur jantung Cardiogenic Syncope
Penurunan tekanan darah >50 Syncope karena
mmHg atau asistol >3 detik hipersensitivitas karotid
dengan masase karotid
Pernafasan Batuk Syncope karena peningkatan
tekanan intrathorax
Pencernaan Hepatomegali, jaundice, sklera Kejang karena alkoholisme
ikterik, asites, palmar eritema, kronik atau penarikan
atau ginekomastia alkohol

Muskuloskeletal Fraktur tulang yang tidak jelas Tidak sadar yang tidak
disaksikan dan jauth
Dilokasi bahu posterior Konvulsi generalized
Kulit Luka linear (cutting) Komorbid psikiatris yang
berkaitan dengan PNES
Saraf Defisit neurologis fokal Lesi struktural otak
(motor/sensorik/visual) penyebab kejang

Pemeriksaan fisik neurologis dilakukan untuk mencari tahu penyebab dari


kejang. Tanda meningeal sign positif (kaku kuduk, lasek, kernig, brudzinki I dan II)
menandakan kemungkinan meningitis sebagai penyebab kejang. Selain itu adanya
tanda-tanda defisit neurologis seperti parese nervus kranialis 7 sentral dan 12 sentral,
penurunan kekuatan otot motorik pada satu sisi tubuh (hemiparese), penurunan
sensorik pada satu sisi tubuh (hemihipestesia), dan gejala lainnya dapat
menggambarkan stroke sebagai penyebab kejang. Pemeriskaan fisik yang dilakukan
beberapa saat setelah kejang juga dapat menetukan adanya tanda pasca bangkitan
yang dapat menjadi petunjuk lokalisasi yaitu todd's paralysis, gangguang kesadaran
post iktal, dan afasia post iktal.
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan lab darah.
Pemeriksaan lab darah terutama untuk melihat tanda-tanda infeksi pada pasien
kejang. Selain itu, pemeriksaan gula darah juga dilakukan, mengingat gula darah
rendah yang ekstrim dapat mengakibatkan kejang dan berakhir fatal. Pemeriksaan
elektrolit dapat dilakukan untuk memperhatikan apakah abnormalitas elektrolit
seperti hiponatermia dan hipokalsemia menjadi penyebab terjadinya kejang.
Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal juga dapat diperiksa, karena gangguan fungsi hati
dan ginjal merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kejang. Pemeriksaan
kehamilan pada pasien pre-menopause bertujuan untuk memilih obat anti kejang
yang dapat memiliki efek kepada janin. Perlu juga dilakukan pemeriksaan kadar
obat anti epilepsi dalam darah. Toksikologi urin juga dilakukan untuk pasien kejang
untuk mengetahui kemungkinan konsumsi obat-obatan terlarang pada pasien yang
dapat menyebabkan kejang. 9, 32
Laktat serum pada pasien post-iktal akan meningkat selama 2 jam setelah
90% kejadian kejang tonik klonik, dengan nilai lebih dari 2.5 mmol/L. Pemeriksaan
laktat disertai dengan gas darah arteri untuk menilai pH darah (< 7.35) dilakukan
untuk melihat kemungkinan asidosis laktat. Hal ini menandakan adanya produksi
laktat dari sel otot ketika sel kekurangan oksigen, sehingga sel akan melakukan
metabolisme glukosa secara anaerob sehingga terjadi pembentukan laktat. Selain
laktat, peningkatan prolaktin dan ammonia secara sementara juga ditemukan pada
70% kasus kejang tonik klonik.39
Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan pada pasien dengan tanda-tanda infeksi,
terutama dengan anak yang datang dengan kejang demam. Pemeriksaan lumbal
pungsi tidak dapat dilakukan pada pasien dengan adanya infeksi lokal pada tempat
ditusukkannya jarum, tanda-tanda peningkatan intrakranial yang tidak rata,
ketidakstabilan hemodinamis, status epileptikus, abnormalitas anatomis spinal cord,
koagulopati, dan abses spinal atau epidural.40
Gambar 7. Tatalaksana Imaging pada Kejang

Pemeriksaan selanjutnya yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan radiologis.


Pada status epileptikus, Computed CT dan MRI merupakan modalitas radiologis
yang paling umum dilakukan, kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengidentifiikasi penyebab dari status epileptikus. Indikasi absolut untuk dilakukan
pemeriksaan radiologis adalah adanya defisit neurologis baru, perubahan status
mental persisten, trauma, atau nyeri kepala memburuk. Pada keadaan
kegawatdaruratan, CT scan merupakan pilihan yang paling sering digunakan dan
dapat mendeteksi 15-33% abnormliatas pada pasien, yaitu karena perdarahan,
trauma, edema, dan lesi massa. CT dengan contrast menjadi pilihan pada kasus
kejang fokal, defisit neurologis, dan kemungkinan adanya trauma. Limitasi yang
dimiliki oleh pemeriksaan CT scan adalah sensitivitas yang lebih rendah dari MRI
untuk mengetahui lesi yang lebih halus seperti ensefalitis, infark hiperakut, lesi
massa kecil termasuk tumor dan malformasi vaskular, sklerosis hipocampus, dan
terbentuknya malformasi perkembangan korteks. Mengkombinasikan pemeriksaan
CT scan dan MRI dapat meningkatkan hasil diagnostik karena mampu
mengidentifikasi abnormalitas hingga 30-60%. Kombinasi keduanya terbukti dapat
mengidentifikasi penyebab infeksi sistem saraf pusat dan disgenesis cerebri yang
merupakan penyebab akut dan penyebab remote paling umum dari status
epileptikus. CT atau MRI kepala juga dapat mengubah strategi manajemen, seperti
dilakukannya intervensi. MRI kepala sangat direkomendasikan pada pasien dengan
kejang pertama. MRI dapat mendeteksi adanya stroke, acute demyelinating
encephalomyelitis (ADEM), dan menigoencephalitis. Selain itu, MRI juga dapat
mendeteksi edema vasogenik dan edema sitotoksik yang ditemukan oleh pada pasien
kejang. Berikut beberapa kelainan struktural yang dapat dideteksi oleh pemeriksaan
radiologi.41,42,43

Acute Symptomatic Remote Symptomatic


Stroke iskemik Neonatal injury: stroke dan ensefalopati
iskemik hipoksia
Perdarahan: perdarahan intraparenkim, Truma dan infeksi
subaraknoid, subdural, dan epidural
Neoplasma Displasia cortex
Edema cerebri: karena penyebab TBI Malformasi dari perkembangan cortex:
atau metabolik polymicrogyria, lissencephaly,
heterotopias
AVM Penyebab genetik lain: sturge weber,
tuberous sclerosis complex (TSC)

MRI dapat memberikan gambaran adanya area dengan difusi yang terestriksi
menandakan adanya edema sitotoksik. Gambaran ini memiliki ciri ciri adanya
peningkatan sinyal diffusion-weighted imaging (DWI) dan nilai rendah dari
apparent diffusion coefficient (ADC). Apabila gambaran yang didapatkan
merupakan edema vasogenik, maka akan terdapat peningkatan sinyal DWI dan
hiperintensitas dari T2-weighted dan fluid attenuated inversion recovery (FLAIR)
tanpa penurunan sinyal ADC. Pada status epileptikus, seringkali ditemukan
kombinasi antara kedua jenis edema tersebut. Ketika terdapat peningkatan T2 yang
bersamaan dengan penurunan ADC yang lebih dari 10%, kemungkinan besar,
kerusakan bersifat permanen, sebaliknya, pada saat ADC tidak ada penurunan,
kemungkinan besar dapat pulih secara sempurna. 41,42,43
Gambar 8. Gambaran MRI - Hiperintensitas Sinyal DWI dan FLAIR pada
Kortex Parietal Kanan

Pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG) dapat secara pasti mendiagnostik


serangan kejang dengan memperlihatkan adanya epileptiform discharge.
Epileptiform discharge merupakan adanya generalized polyspikes, polyspike wave,
dan spike-wave yang terjadi secara tunggal ataupun 'burst'. Manfaat penggunaan
EEG adalah untuk menentukan serangan kejang atau tidak, membedakan status
epileptikus non konvulsif dengan periode post-iktal memanjang, lokalisasi fokus
kejang, menentukan etiologi (sindrom epilepsi akan muncul dengan tanmpilan khas
pada EEG), dan menentukan resiko kejang di masa depan. Hasil EEG bisa
didapatkan dengan pemeriksaan EEG rutin yaitu rekaman selama 20 menit atau
pemeriksaan EEG kontinyu yaitu rekaman sepanjang beberapa jam hingga beberapa
hari. Apabila kejang terjadi dengan frekuensi yang cukup sering, maka gold standart
untuk diagnosis kejang adalah dengan menemukan epileptiform discharge pada
monitorin EEG kontinyu. Tidak adanya epileptiform discharge pada EEG tidak
mengeksklusi kejang dan epilepsi.44
Gambar 9 Ledakan Polyspike-spike-and-wave 3 Hz Selama 1 detik

1.9 Tatalaksana
Tujuan manajemen status epileptikus adalah menghentikan bangkitan dengan segera,
mengidentifikasi dan mengatasi penyebab, dan mengatasi komolikasi yang
ditimbulkan. Terdapat 4 fase dari algoritme manajemen status epileptikus. Yaitu pada
0-5 menit yang dikenal sebagai fase stabilisasi, 5-20 menit yang dikenal sebagai fase
terapi inisial, 20-40 menit yaitu fase terapi kedua, dan 40-60 menit yaitu fase terapi
ketiga.7,45,46,47
Gambar 10. Tatalaksana Status Epileptikus

Fase stabilisasi pada 0-5 menit, pada umumnya intervensi dilakukan di bagian
instalasi gawat darurat, bagian in-patient, ataupun pre-rumah sakit. Hal-hal yang harus
dilakukan pada fase stabilisasi adalah sebagai berikut: 7,45,46,47
1. Stabilisasi pasien (airway, breathing, circulation, disability) dan
lakukan pemeriksaan neurologi
2. Ukur durasi kejang sejak onset, dan monitor tanda-tanda vital
3. Perhatikan oksigenasi pasien, berikan suplementasi oksigen melalui
nasal kanul atau mask, pertimbangkan intubasi apabila bantuan
pernafasan dibutuhkan
4. Mulai pemeriksaan ECG
5. Ambil sampel darah di jari untuk memerika kadar gula darah, jika gula
darah <60 mg/dL maka lakukan
• Dewasa: 100 mg Thiamine IV kemudian 50 ml D50W IV
• Anak-anak 2 tahun ke atas: 2 ml/kgBB D25W IV
• Anak-anak dibawah 2 tahun: 4 ml/kgBB D12.5 W I
6. Akses intravena dan ambil sampel darah untuk pemeriksaan elektrolit,
hematologi, toksikologi, dan kadar obat anticonvulsant

Pemeriksaan jalur nafas yang dilakukan pada tahap airway adalah dengan cara
menilai patensi airway, apabila terganggu maka terdapat tanda-tanda berupa laju nafas
meningkat atau suara nafas menurun. Selain itu, lakukan penilaian obtruktif jalur
nafas yang ditandai dengan suara tambahan abnormal berupa snoring, gurgling atau
stridor. Lakukan penanganan head tilt chin lift dan jaw thrust apabila terdapat
sumbatan jalan nafas, apabila terdapat sumbatan benda padat dapat dilakukan
crossfinger manuever, selain itu siapkan suction untuk menangani sumbatan darah
dan cairan yang menghalangi jalur nafas. Siapkan airway nasofaringeal, airway
orofaringeal, atau airway definitive (intubasi endotrakeal atau trakeostomi), dan
lakukan bantuan jalur nafas apabila dibutuhkan. Posisikan pasien dalam posisi lateral
decubitus untuk mencegah terjadinya aspirasi jika memungkinkan.
Pemeriksaan breathing dilakukan dengan cara look, listen, dan feel, apabila
memungkinkan pemeriksaan dilakukan dalam keadaan dada terekspos. Lakukan
evaluasi dengan cepat mengenai laju nafas, dan pemeriksaan SpO2. Lakukan
penanganan apabila terdapat gangguan oksigenasi, apabila saturasi oksigen <94%
maka diberikan suplementasi oksigen sebanyak 10 lpm menggunakan NRM. Pada
pemeriksaan circulation, lakukan pemeriksaan tekanan darah dan denyut nadi.
Pertahankan tekanan darah tetap di atas 90/60 mmHg dan MAP >70 mmHg. Monitor
aktivitas jantung dengan memasang elektrokardiogram (EKG).
Pada saat yang bersamaan, pemeriksaan kadar gula darah menggunakan finger
prick dilakukan untuk mengetahui adanya hipoglikemia pada pasien. Apabila terdapat
gangguan hipoglikemia, maka dapat dilakukan protokol yang telah disebutkan
sebelumnya. Akses intravena dicari dengan tujuan untuk mengambil sampel darah
dan persiapan administrasi antikonvulsan. Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit,
fungsi hati dan ginjal, beta-hCG, laktat, dan uji toksikologi dapat dilakukan sesuai
kebutuhan. Selain itu, pemeriksaan neurologis singkat dapat dilakukan untuk
mengevaluasi adanya proses intrakranial akut.
Pada fase kedua yaitu fase terapi inisial pada 5-20 menit, apabila kejang tidak
berlanjut, maka tatalaksana selanjutnya dilakukan secara simtomatik, namun apabila
kejang masih berlangsung, maka dapat diberikan tatalaksana kejang yaitu
benzodiazepine dengan cara memilih salah satu dari 3 regimen lini pertama yang
dapat digunakan: 7,45,46,47
• Midazolam IM: 10 mg pada pasien dengan berat badan > 40 kg, 5 mg
untuk pasien dengan berat badan 13-40 kg, dosis tunggal
• Lorazepam IV: 0.1 mg/kg/dosis, maksimal 4 mg/dosis, dosis dapat
diulang 1 kali
• Diazepam IV: 0.15 - 0.2 mg/kg/dosis, maksimal 10 mg/dosis, dosis
dapat diulang 1 kali
Midazolam IM dan Lorazepam IV memiliki keefektifan yang sama pada
pasien status epileptikus. Pemberian benzodiazepin secara cepat dapat mengakibatkan
depresi pernafasan dan hipotensi, maka diperlukan monitor tanda-tanda vital. Dari
penelitian yang dilakukan pada 97 pasien yang diberikan lorazepam pada kasus status
epileptikus, sebanyak 10.3% mengalami hipoventilasi, 25.8% mengalami hipotensi,
dan 7.2% gangguan ritme jantung, hasil yang hampir sama juga ditemukan pada
pemberian diazepam IV. Menjaga patensi jalur nafas, pemberian terapi oksigen, dan
optimalisasi cairan dilakukan untuk menangani efek samping tersebut. Pada penelitian
tahun 2012, kejadian efek samping lebih sering terjadi pada pemberian IV lorazepam
dibandingkan dengan midazolam IM. 7,45,46,47
Apabila ketiga pilihan obat diatas tidak ada yang tersedia, maka dapat memilih
salah satu pilihan dari: 7,45,46,47
• Phenobarbital IV: 15 mg/kg/dosis dosis tunggal
• Diazepam rektal: 0.2-0.5 mg/kg, maksimal 20 mg/dosis, dosis tunggal
• Midazolam intranasal, midazolam bukal
Ketika memasuki fase ketiga yaitu fase terapi kedua yang berlangsung pada
20-40 menit, apabila pasien sudah kembali ke keadaan baseline maka terapi yang
diberikan bersifat simtomatik. Namun, apabila kejang masih berlangsung maka dapat
diberikan salah satu pilihan dari terapi lini kedua berikut ini: 7,45,46,47
• Fosphenytoin IV: 20 mg PE/kgBB, maksimal 1500 mg PE/dosis, dosis
tunggal
• Valproid acid IV: 40 mg/kgBB, maksimal 3000 mg/dosis, dosis tunggal
• Levetiracetam IV: 60 mg/kgBB, maksimal 4500 mg/dosis, dosis
tunggal
• Apabila tidak ada satupun pilihan di atas yang tersedia maka dapat
diberikan phenobarbital IV: 15 mg/kgBB
Pada fase ini, monitoring menggunakan EEG secara kontiyu dilakukan.
Pemasangan kateter urin juga dianjurkan untuk dilakukan. Terapi suportif dan
pengecekan tanda-tanda vital tetap dilaksanakan. Fosphenytoin lebih dipilih menjadi
pilihan pertama, namun Valproid acid bisa menjadi pilihan yang baik terutama pada
anak-anak dengan riwayat epilepsi kejang umum. Efek samping utama dari
antikonvulsan lini kedua adalah hipotensi, depresi nafas, dan aritmia, terutama pada
pemberian phenytoin. 7,45,46,47
Apabila sudah memasuki fase terakhir yaitu fase terapi ketiga pada menit ke
40-60 menit, pasien yang sudah dalam keadaan pulih, terapi yang selanjutnya
dilaksanakan adalah terapi simtomatik. Namun apabila kejang masih berlanjut, maka
dapat lini terapi kedua dapat diulang, atau dapat diberikan dosis anestesi dari
thiopental, midazolam, fenobarbital, atau propofol (dengan monitor EEG
kontinyu).7,45,46,47

Tabel 4. Tujuan Tatalaksana Kejang


Efek samping serius yang dapat dialami pasien dalam pemberian obat
antikonvulsan terdapat pada tabel berikut ini: 7,45,46,47

Obat Efek Samping Serius


Diazepam Hipotensi dan depresi pernafasan
Lorazepam Hipotensi dan depresi pernafasan
Midazolam Hipotensi dan depresi pernafasan
Fosphenytoin Hipotensi dan aritmia
Phenobarbital Hipotensi dan depresi pernafasan
Phenytoin Aritmia, hipotensi, dan sindrom purple
glove
Asam valprote Hiperammonemia, pankreatitis,
trombositopenia, dan hepatotoksis

Status epileptikus yang tetap berlangsung setelah pemberian benzodiazepin


(lini pertama) dan antikonvulsan lini kedua dapat disebut sebagai status epileptikus
refrakter (refractory status epilepticus). Stataus epileptkus super refraktori adalah
apabila kejang tetap terjadi setelah >24 jam pemberian obat anestesi. Antikonvulsan
yang dapat diberikan pada pasien dengan status epileptikus refraktor adalah: 7,45,46,47
• Midazolam 0.2-0.3 mg/kgBB IV
• Pentobarbital: 5-15 mg/kgBB IV
• Propofol: 20 mcg/kgBB/menit IV
• Thiopental: 2-7 mg/kgBB IV
Status epileptikus non konvulsan sulit dikenali secara klinis, diagnosisnya
ditemukan apabila memenuhi diagnosis kriteria berikut ini:
• Gangguan kesadaran atau defisit neurologis lainnya
• Abnormalitas EEG yang menunjukan bangkitan
• Respon terhadap tatalaksana antikonvulsan: secara klinis atau EEG
Untuk tatalaksana status epileptikus non konvulsan, tatalaksananya berada
pada tabel berikut ini. 48
Tabel 5. Tatalaksana NCSE
Karena pada kenyataannya kerusana neuron jarang ditmeukan karena
terjadinya SE absans, maka terapi yang agresif tidak direkomendasikan. SE absans
memiliki respon yang baik dengan pemberian benzodiazepin oral atau intravena,
dengan dosis IV yaitu 0.05-0.1 mg/kgBB. Apabila benzodiazepin tidak tersedia
ataupun terdapat kontraindikasi pemberian benzodiazepin, maka dapat diberikan asam
valproat secara IV dengan dosis tunggal 20-40 mg/kgBB. Pada kasus NCSE dengan
tipe compleks parsial, maka ddapat diberikan benzodiazepin oral. Pilihan tatalaksana
yang dapat berikan adalah clobazam oral selama 2-3 hari. 48
Setelah terminasi kejang sudah dicapai, maka pasien akan masuk ke ruang
rawat inap untuk melakukan observasi. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan secara
mendetil, termasuk juga kepada pihak keluarga. Tanda-tanda vital harus dimonitor
secara berkala, dan apabila diperlukan dapat dilakukan pemasangan EKG dan EEG.
Investigasi tambahan dapat dilakukan seperti pungsi lumbal, radiografi, dan lain-lain.
Diberikan antikonvulsan maintanence dan diobservasi untuk efek samping.
Sebagai saksi dari kejang yang sedang terjadi dalam keadaan bukan di rumah
sakit, hal yang dapat dilakukan untuk pasien kejang adalah sebagai berikut:49
• Kejang tonik klonik: hitung durasi kejang dan rekam proses kejang jika
memungkinkan, lindungi pasien dari cedera dengan cara menghindari
objek-objek membahayakan disekitar pasien, lindungi kepala dengan cara
meletakan bantal dibawah kepala dan longgarkan pakaian yang bersifat
ketat, kemudian pelan-pelan gulingkan pasien menjadi posisi miring agar
pasien dapat bernafas lebih mudah dan mencegah lidah untuk menghalangi
jalur nafas, dan tetap bersama pasien sampai pasien sudah sadar. Hal yang
harus dihindari adalah mengehentikan pergerakan pasien, meletakan
apapun ke dalam mulut pasien, memberikan bantuan nafas mulut-ke-
mulut, dan memberikan makanan atau minuman apabila pasien belum
dalam keadaan sadar. Segera bawa ke rumah sakit apabila keadaan tidak
stabil.
• Kejang fokal: arahkan pasien dari daerah yang berbahaya. Kemudian
ketika kejang selesai, ajak pasien bicara setelah pasien kembali sadar dan
tanya apakah pasien dalam keadaan baik-baik saja, pastikan pasien dalam
keadaan aman dan temani pasien sampai pasien pulih dengan sempurna.
Segera bawa ke rumah sakit apabila keadaan tidak stabil.

1.10 Komplikasi
Komplikasi dari status epileptikus dapat berupa sistemik ataupun neurologik.
Efek samping neurologik dapat berupa edema cerebri yang dapat meningkatkan TIK
dan thrombosis vena cortical, Selain itu, akan ada peningkatan progresi ke epilepsi
kronik dan status epileptikus rekuren. Pada kasus dengan status epileptikus refraktor
yang berkepanjangan dapat menyebabkan neuronal damage yang bersifat permanen.
Penelitian menyatakan, nekrosis dari neuron akan terjadi pada menit ke 30-60 dari
status epileptikus.50,51,52
Komplikasi sistemik yang dapat terjadi adalah kerusakan pada jantung dan
pembuluh darah. Hal ini dapat terjadi karena adanya peningkatan kadar katekolamin
pada saat kejang terjadi. Peningkatan katekolamin akan menyebabkan hipertensi,
peningkatan denyut jantung dan aritmia. Selai itu, dapat pula terjadi hiperglikemia,
distress pernafasan, asidosis metabolik, dan hiperpirexia. Demam dapat terjadi pada
80% kasus karena adanya peningkatan aktivitas otot yang ekstrim. Edema paru dapat
terjadi karena adanya peningkatan pembuluh darah paru-paru karena kontraksi dari
otot-otot pernafasan pada saat terjadi bangkitan, sehingga apnea sering ditemukan
sebagai salah satu komplikasi dari status epileptikus konvulsif. Pada sistem
pencernaan, dapat terjadi ulkus karena stres, perdarahan saluran pencernaan, diare,
dan ileus paralitik. Kerusakan ginjal dan infeksi saluran kemih juga dapat terjadi.
Pada sistem muskuloskeletal dapat ditemukan lidah yang tergigit, fraktur tulang
panjang, fraktur kompresi vertebrae, dan dislokasi bahu belakang.50,51,52
1.11 Prognosis
Prognosis pada status epileptikus tergantung kepada jenis dari status
epileptikus itu sendiri.
Mortalitas Status Epileptikus Status Epileptikus Non - Status Epileptikus
Konvulsif Konvulsif Refraktor
Keluar dari 9-21% 18-25% 23-61%
RS
30 Hari 19-27% 65%
90 Hari 19% 39%

Pasien dengan status epileptikus konvulsif memiliki rasio mortalitas setelah 10


tahun sebanyak 2.8 kali lipat. Adanya sekuel masalah neurologis dan kognitif terjadi
pada 11-16% pasien. Pada 39% pasien memiliki penurunan fungsi yang bermakna
berupa GCS skor 2-4. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap outcome buruk dari
status epileptikus konvulsif adalah etiologi, adanya SE pada saat pasien dirawat di
rumah sakit, usia yang lebih tua, gangguan kesadaran, durasi kejang, gangguan
neurologis fokal pada saat kejadian dan adanya komplikasi medis. Mortalitas
meningkat sebanyak 61% pada pasien yang dirawat dirumah sakit yang mengalami
SE onset baru.53,54
Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif memiliki mortalitas yang lebih
rendah yaitu 36% apabila terdiagnosis dalam waktu 30 menit, berbeda jauh dengan
pasien yang baru terdiagnosis >24 jam memiliki angka mortlaitas tinggi yaitu 75%.
Pasien yang diobati dan kembali pulih dalam 10 jam hanya memiliki mortalitas
10%.53,54
Pasien dengan status epileptikus refraktor memiliki kemungkinan lebih kecil
untuk kembali pulih dibandingkan status epileptikus biasa. Pada penelitian yang
dilakukan dari 13 orang penyintas status epileptikus refrakor, 23% berada dalam
status vegetatif, 62% dalam keadaan disabilitas hebat, dan 15% memiliki disabilitas
ringan. 53,54
Terdapat 1 skoring yang dapat digunakan untuk menentukan mortalitas dari
status epileptikus dengan angka cutoff nilai lebih dari 2 yang disebut sebagai Status
Epilepticus Severity Score (STESS). Angka di atas 2 menyatakan resiko kematian
yang tinggi. 53,54

Tabel 6. STESS Scoring

Selain itu, terdapat angka mortalitas pada pasien status epileptikus dengan
etiologi tertentu yang terdapat pada tabel berikut ini:

Tabel 7. Angka Mortalitas Berdasarkan Etiologi


BAB II

DAFTAR PUSTAKA

1. Fisher, R. S., Cross, J. H., French, J. A., Higurashi, N., Hirsch, E., Jansen, F.
E., . . . Zuberi, S. M. (2017). Operational classification of seizure types by the
International League Against Epilepsy: Position paper of the ILAE
commission for classification and terminology. Epilepsia, 58(4), 522-530.
doi:10.1111/epi.13670
2. Stafstrom, C. E.; Carmant, L. (2015). Seizures and Epilepsy: An Overview for
Neuroscientists. Cold Spring Harbor Perspectives in Medicine, 5(6),
a022426–a022426. doi:10.1101/cshperspect.a022426
3. Huff JS, Murr N. Seizure. [Updated 2021 Jan 17]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430765/
4. Powell, R.; McLauchlan, D. J. (2012). Acute symptomatic seizures. Practical
Neurology, 12(3), 154–165. doi:10.1136/practneurol-2012-000244
5. Gunawardane, Nisali; Fields, Madeline (2018). Acute Symptomatic Seizures
and Provoked Seizures: to Treat or Not to Treat?. Current Treatment Options
in Neurology, 20(10), 41–. doi:10.1007/s11940-018-0525-2
6. Wylie T, Sandhu DS, Goyal A, et al. Status Epilepticus. [Updated 2020 Sep
25]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430686/
7. Trinka, Eugen; Cock, Hannah; Hesdorffer, Dale; Rossetti, Andrea O.;
Scheffer, Ingrid E.; Shinnar, Shlomo; Shorvon, Simon; Lowenstein, Daniel H.
(2015). A definition and classification of status epilepticus - Report of the
ILAE Task Force on Classification of Status Epilepticus. Epilepsia, 56(10),
1515–1523. doi:10.1111/epi.13121
8. Prasetyo A, Prasetyo BH. Tatalaksana Status Epileptikus di Instalasi Gawat
Darurat. Cermin Dunia Kedokteran. 2018;45:866–8.
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan praktik klinis
neurologi. Kurniawan M, Suharjanti I, Pinzon RT, eds. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia; 2016
10. Eissa Ibrahim AlEissa MD. First Adult Seizure [Internet]. Background,
Etiology, Epidemiology. Medscape; 2020 [cited 2021Mar16]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1186214-overview#a5
11. Bell GS, Sander JW. CPD — Education and self-assessment The
epidemiology of epilepsy: the size of the problem. Seizure. 2001;10(4):306–
16.
12. Beghi E. The Epidemiology of Epilepsy. Neuroepidemiology.
2020;54(2):185-191. doi: 10.1159/000503831. Epub 2019 Dec 18. PMID:
31852003.
13. Sánchez S, Rincon F. Status Epilepticus: Epidemiology and Public Health
Needs. J Clin Med. 2016;5(8):71. Published 2016 Aug 16.
doi:10.3390/jcm5080071
14. Leitinger M, Trinka E, Zimmermann G, Granbichler CA, Kobulashvili T,
Siebert U. Epidemiology of status epilepticus in adults: Apples, pears, and
oranges — A critical review. Epilepsy & Behavior. 2020;103:106720.
15. Wylie T, Sandhu DS, Goyal A, et al. Status Epilepticus. [Updated 2020 Sep
25]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430686/
16. Bonnett LJ, Powell GA, Tudur Smith C, Marson AG. Breakthrough seizures-
Further analysis of the Standard versus New Antiepileptic Drugs (SANAD)
study. PLoS One. 2017;12(12):e0190035. Published 2017 Dec 21.
doi:10.1371/journal.pone.0190035
17. Cherian A, Thomas SV. Status epilepticus. Ann Indian Acad Neurol.
2009;12(3):140-153. doi:10.4103/0972-2327.56312
18. Ochoa-de la Paz LD. Neural Impulse. Encyclopedia of Animal Cognition and
Behavior. 2017;:1–4.
19. Maqbool, Mudasir & Dar, Mohmad. (2019). Introduction to
Neurotransmitters. 10.13140/RG.2.2.33471.15525.
20. Vasković J. Neurotransmitters [Internet]. Kenhub. Kenhub; 2021 [cited
2021Mar16]. Available from:
https://www.kenhub.com/en/library/anatomy/neurotransmitters
21. Stafstrom, C. E. (1998). Back to Basics: The Pathophysiology of Epileptic
Seizures: A Primer For Pediatricians. Pediatrics in Review, 19(10), 342–
351. doi:10.1542/pir.19-10-342
22. Walker, Matthew C. (2016). Pathophysiology of status epilepticus.
Neuroscience Letters, (), S0304394016309934–.
doi:10.1016/j.neulet.2016.12.044
23. MOTOR SEIZURE [Internet]. International League Against Epilepsy. [cited
2021Mar16]. Available from:
https://www.epilepsydiagnosis.org/seizure/motor-overview.html
24. FOCAL ONSET SEIZURE. [cited 2021Mar16]. Available from:
https://www.epilepsydiagnosis.org/seizure/focal-seizure-overview.html
25. Cherian A, Thomas SV. Status epilepticus. Ann Indian Acad Neurol.
2009;12(3):140-153. doi:10.4103/0972-2327.56312
26. Baysal Kirac L, Aydogdu I, Acarer A, et al. Myoclonic status epilepticus in
six patients without epilepsy. Epilepsy Behav Case Rep. 2012;1:10-13.
Published 2012 Nov 7. doi:10.1016/j.ebcr.2012.10.003
27. Wylie T, Sandhu DS, Goyal A, et al. Status Epilepticus. [Updated 2020 Sep
25]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430686/
28. Besag, F.M.C. and Vasey, M.J. (2018) Prodrome in epilepsy. Epilepsy &
Behav. 83: 219-233
29. Nowacki TA, Jirsch JD. Evaluation of the first seizure patient: Key points in
the history and physical examination. Seizure. 2017;49:54–63.
30. Beghi E, De Maria G, Gobbi G, Veneselli E. Diagnosis and Treatment of the
First Epileptic Seizure: Guidelines of the Italian League Against Epilepsy.
Epilepsia. 2006;47(s5):2–8.
31. Moore SA. A Clinical and Diagnostic Approach to the Patient With Seizures.
Topics in Companion Animal Medicine. 2013;28(2):46–50.
32. Adams SM, Knowles PD. Evaluation of a first seizure. Am Fam Physician.
2007 May 1;75(9):1342-7. PMID: 17508528.
33. Helman, A. Reid, A. Koblic, P. Ep 132 Emergency Approach to Seizures and
Seizure Management. Emergency Medicine Cases. November, 2019.
https://emergencymedicinecases.com/approach-seizures-
management. Accessed [date]
34. Brosinski, Carmen M. (2014). Implementing Diagnostic Reasoning to
Differentiate Toddʼs Paralysis From Acute Ischemic Stroke. Advanced
Emergency Nursing Journal, 36(1), 78–
86. doi:10.1097/TME.0000000000000007
35. Panayiotopoulos, C. P. (2012). Visual aura of migraine versus visual occipital
lobe seizures. Cephalalgia, 32(8), 654–654. doi:10.1177/0333102412443332
36. Pandi-Perumal, Seithikurippu R. & Spence, D. & Harris, Shelby & Thorpy,
Michael & Kramer, Milton. (2014). Parasomnia.
37. Boursoulian LJ, Schenck CH, Mahowald MW, Lagrange AH. Differentiating
parasomnias from nocturnal seizures. J Clin Sleep Med. 2012;8(1):108-112.
Published 2012 Feb 15. doi:10.5664/jcsm.1676
38. Derry, Christopher Paul; Davey, Margot; Johns, Murray; Kron, Katie;
Glencross, Deborah; Marini, Carla; Scheffer, Ingrid E.; Berkovic, Samuel F.
(2006). Distinguishing Sleep Disorders From Seizures. Archives of
Neurology, 63(5), 705–. doi:10.1001/archneur.63.5.705
39. Nass, Robert D.; Zur, Berndt; Elger, Christian E.; Holdenrieder, Stefan;
Surges, Rainer (2019). Acute metabolic effects of tonic-clonic seizures.
Epilepsia Open, (), epi4.12364–. doi:10.1002/epi4.12364
40. Alsuwailem MH, Alkhatem AH, Alshabib AA. Lumbar Puncture : Indications,
Complications, Technique and CSF Analysis in Pediatric Patients. The
Egyptian Journal of Hospital Medicine. 2018;70(4):638–43.
41. Giovannini G, Kuchukhidze G, McCoy MR, Meletti S, Trinka E.
Neuroimaging alterations related to status epilepticus in an adult population:
Definition of MRI findings and clinical-EEG correlation. Epilepsia.
2018;59:120–7.
42. Meletti S, Monti G, Mirandola L, Vaudano AE, Giovannini G. Neuroimaging
of status epilepticus. Epilepsia. 2018;59:113–9.
43. Guerriero RM, Gaillard WD. Imaging modalities to diagnose and localize
status epilepticus. Seizure. 2019;68:46–51.
44. Sansevere AJ, Hahn CD, Abend NS. Conventional and quantitative EEG in
status epilepticus. Seizure. 2019;68:38–45.
45. Olmos-López A, Ibarra-Aguilar J, Cornelio-Nieto JO, Ocaña-Hernández LA,
Márquez-Amaya MA, Luna-López NA, et al. Clinical guideline: status
epilepticus in children and adults. Revista Mexicana de Neurociencia.
2021;20(2).
46. Glauser T, Shinnar S, Gloss D, Alldredge B, Arya R, Bainbridge J, et al.
Evidence-Based Guideline: Treatment of Convulsive Status Epilepticus in
Children and Adults: Report of the Guideline Committee of the American
Epilepsy Society. Epilepsy Currents. 2016;16(1):48–61.
47. Brophy GM, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck TP, Glauser T, et al.
Guidelines for the Evaluation and Management of Status Epilepticus.
Neurocritical Care. 2012;17(1):3–23.
48. Pramesti FA, Husna M, Kurniawan SN, Rahayu M. DIAGNOSIS AND
MANAGEMENT OF NONCONVULSIVE STATUS EPILEPTICUS
(NCSE). MNJ (Malang Neurology Journal). 2017;3(1):30–8.
49. Seizure First Aid [Internet]. Seizure First Aid - Epilepsy Australia Ltd. [cited
2021Mar16]. Available from: http://www.epilepsyaustralia.net/seizure-first-
aid/
50. Drislane FW. Status epilepticus. In: Schachter SC, Schomer DL, eds. The
comprehensive evaluation and treatment of epilepsy. San Diego, CA:
Academic Press; 1997. p. 149-172. With permission from Elsevier
51. Thomas DL. Status Epilepticus Risk Factors and Complications [Internet].
News. 2019 [cited 2021Mar16]. Available from: https://www.news-
medical.net/health/Status-Epilepticus-Risk-Factors-and-Complications.aspx
52. Hocker S. Systemic complications of status epilepticus — An update.
Epilepsy & Behavior. 2015;49:83–7.
53. Rossetti AO, Logroscino G, Milligan TA, Michaelides C, Ruffieux C,
Bromfield EB. Status Epilepticus Severity Score (STESS). Journal of
Neurology. 2008;255(10):1561–6.
54. Brophy GM, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck TP, Glauser T, et al.
Guidelines for the Evaluation and Management of Status Epilepticus.
Neurocritical Care. 2012;17(1):3–23.

Anda mungkin juga menyukai