Disusun oleh:
Nydia Triana (01073190052)
Pembimbing:
dr. Hadi Widjaya, M. Biomed, Sp. S
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Seizure yang dapat disebut dalam bahasa Indonesia sebagai kejang/bangkitan
adalah gangguan fungsi neurologi yang bersifat mendadak karena adanya aktivitas
populasi saraf yang bersifat hipersinkron dan berlebihan di otak. (excessive,
hypersynchronous discharge of neurons in the brain) yang dapat menyebabkan
terjadinya tanda-tanda atau gejala abnormal.1 Kejang menggambarkan adanya
aktivitas elektrik yang abnormal dan tidak terkontrol dari otak yang dapat
menyebabkan perubahan status kesadaran, perilaku, daya ingat, atau perasaan.1,2
Kejang dapat terjadi secara terprovokasi (terdapat faktor pencetus/provoked) atau
tidak terprovokasi (tidak terdapat faktor pencetus/unprovoked). Pencetus dapat
didefinisikan ketika ada sebuah penyebab akut (<7 hari) yang mendasari terjadinya
3
sebuah kejang. Provoked seizure seringkali disebut sebagai acute symptomatic
seizure. Acute symptomatic seizure merupakan kejadian bangkitan yang terjadi pada
saat atau memiliki hubungan dengan kelainan sistem saraf pusat yang telah terjadi
dalam waktu kurang dari 7 hari, namun pada umumnya acute symptomatic seizure
disebabkan oleh kejadian akut seperti stroke, Traumatic Brain Injury (TBI) atau
infeksi sistem saraf pusat, sedangkan provoked seizure lebih mengarah kepada
penyebab metabolik, toksik, atau efek samping obat.4,5
Status Epileptikus (SE) adalah kegawatdaruratan sistem saraf yang
membutuhkan evaluasi dan tatalaksana untuk mencegah adanya morbiditas dan
mortalitas yang signifikan. Sebelumnya, status epileptikus didefinisikan sebagai
kejang yang terjadi selama 30 menit atau lebih, atau adanya beberapa seri bangkitan
namun pasien tidak memperoleh status mental yang normal di antara kejadian
bangkitan. Namun, guideline terbaru yang telah direvisi oleh The Neurocortical Care
Society pada tahun 2012, menyatakan status epileptikus adalah adanya aktivitas
bangkitan selama 5 menit atau lebih secara klinis dan/atau secara elektrografis yang
terjadi terus menerus atau adanya kejang yang berulang-ulang tanpa adanya
pemulihan (kembali ke baseline) diantara kejang.6
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), pada dasarnya, status
epileptikus merupakan bangkitan yang terjadi dalam durasi yang cukup panjang atau
berulang dalam interval yang cukup singkat sehingga dapat menghasilkan kondisi
epileptik yang konstan dan bertahan. Untuk mendefinisikan status epileptikus yang
dapat mencakup seluruh jenis status epileptikus, maka status epileptikus didefinisikan
lebih lanjut sebagai kondisi yang terjadi karena kegagalan mekanisme untuk
menghentikan kejang atau adanya mekanisme awal yang menginisiasi terjadinya
kejang yang berlangsung dalam durasi panjang (after time point t1) yang dapat
menyebabkan konsekuensi jangka pajang (after time point t2) termasuk didalamnya
adalah kematian saraf, cedera saraf, dan perubahan jaringan saraf, tergantung dari
jenis dan durasi dari kejang. Definisi ini terdapat 2 dimensi operasional, yaitu durasi
kejang atau time point t1 yang menyatakan kejang berkepanjangan dengan durasi
yang tidak normal. Dimensi operasional yang kedua adalah time point t2 waktu
dimana aktivitas bangkitan yang terjadi dapat memiliki resiko untuk mengalami
konsekuensi jangka panjang t1 dan t2 berbeda untuk jenis status epileptikus dan
didefinisikan pada masing-masing jenis sebagai berikut: 7
1.2 Epidemologi
Angka kejadian dari single unprovoked seizure adalah 23-61 kasus dari
100.000 orang pertahun, sedangkan kejadian acute symptomatic seizure adalah 29-39
kasus per 100.000 populasi pertahun dengan populasi tertinggi pada anak dibawah 1
tahun dan pada usia lanjut. Lifetime prevalence dari kejadian kejang adalah 2-5%
(resiko mengalami kejang non-febril dalam suatu titik dalam seumur hidup rata-rata
populasi). Sampai saat ini, demam, Traumatic Brain Injury (TBI), penyakit
cerebrovascular, drug withdrawal, infeksi, dan gangguan metabolik merupakan
faktor penyebab yang paling umum terjadi. Kejadian kejang lebih umum terjadi pada
negara berkembang dibandingkan negara maju, dan lebih umum terjadi pada laki-laki
dari pada perempuan. 10,11,12
Angka kejadian status epileptikus sebanyak 9.9 sampai 41 kasus per 100.000
orang populasi per tahun, dengan insidensi bimodal dimana angka kejadian paling
tinggi pada anak-anak dan usia lanjut diatas 60 tahun, dengan kejang demam dan
stroke sebagai etiologi utamanya. Kasus status epileptikus untuk dewasa terjadi pada
1.29 - 73.3 kasus dari 100.000 orang dewasa pertahun. Data status epileptikus di
Indonesia yang tercatat adalah kejadian di RS Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM)
sejak bulan Juni 2013 hingga Januari 2014 terdapat 31 pasien SE di IGD dengan
persentasi 45.2% untuk bangkitan umum dan 54.8% untuk bangkitan fokal, sebanyak
22.6% pasien meninggal dan semuanya mengalami bangkitan umum. Angka kejadian
status epileptikus lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada perempuan dengan
perbedaan tipis yaitu 50.3% kejadian pada laki-laki dan 49.7% kejadian pada
perempuan. Terdapat proporsi yang signifikan pada pasien yang memiliki riwayat
epilepsi untuk mengalami status epileptikus yaitu sekitar 16-38% pada anak-anak dan
42-50% pada orang dewasa.13,14
1.3 Etiologi
Kejang dapat terjadi karena faktor pencetus (provoked seizure) atau tidak
memiliki faktor pencetus (unprovoked seizure). Faktor pencetus dari kejang yang
paling umum terjadi adalah: 3
1. Gangguan elektrolit: hipoglikemia, hiponatremia, hipernatremia, ensefalopati
hepatika, dan hipokalsemia
2. Efek toksik akut: antidepresan, simpatomimetik, dll
3. Withdrawal syndrome: etanol, benzodiazepin, barbiturat, dll
4. Konsumsi obat antiepilepsi yang tidak rutin
5. Sepsis
6. Infeksi sistem saraf pusat
7. Hypoxic brain injury
8. Traumatic brain injury
9. Stroke iskemik atau hemorajik
10. Neoplasma
11. Inflamasi
12. Demam
13. Kekurangan tidur
Penyebab status epileptikus terbagi menjadi penyebab dalam proses akut atau
proses kronik. Penyebab akut dari status epileptikus adalah infeksi sistem saraf pusat
(meningitis, ensefalitis, dan abses intrakranial), abnormalitas metabolik
(hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia, dan ensefalopati hepatika), stroke,
kecelakaan yang melibatkan pembuluh darah serebri dan trauma kepala (dengan atau
tanpa perdarahan intrakranial), keracunan obat-obatan (intoksikasi obat atau alkohol,
dan withdrawal obat golongan opioid, benzodiazepin, barbiturat atau alkohol),
hipoksia, kegawatdaruratan hipertensi, dan penyakit autoimun. Sedangkan, penyebab
proses kronik dari status epileptikus adalah adanya riwayat epilepsi dengan
penghentian atau penurunan OAE, kejang breakthrough dalam epilepsi yang sudah
ada sebelumnya (kejang yang terjadi walaupun sudah diberikan antiepilepsi yang
sebelumnya sudah sukses untuk mencegah terjadinya kejang), penarikan etanol, tumor
sistem saraf pusat, dan patologi sistem saraf pusat yang terpencil (contoh: traumatic
brain injury, pascastroke, pascaensefalitis dll). Penyebab status epileptikus paling
sering berbeda-beda dari tiap kategori usia dan lokasi geografis. Pada anak-anak,
penyebab paling sering merupakan infeksi sistem saraf pusat, sedangkan pada orang
dewasa, penyebab paling sering merupakan stroke dan obat-obatan. Pada lokasi
geografis, malaria cerebri merupakan salah satu penyebab paling sering di daerah
endemik malaria. Angka mortalitas status epileptikus yang disebabkan oleh etiologi
akut lebih tinggi dibandingkan akibat etiologi kronik, dengan penyebab yang
memiliki angka mortalitas tertinggi merupakan anoksia, diikuti oleh hipoksia, stroke,
dan gangguan metabolik.15,16,17
Gambar 3. Sinaps
1.4.1.4 Neurotransmitter
Neurotransmitter adalah pembawa pesan kimiawi yang mentransmisikan
sinyal dari neuron ke sel target melewati sinaps. Pembawa pesan ini penting agar
memungkinkan terjadinya komunikasi yang cepat pada saat proses sinaps.
Neurotransmitter disimpan di vesikel sinaptik yang terdapat di sisi pre sinaptik dari
sinaps. Terdapat 3 jenis neurotransmiter yaitu excitatory, inhibitory, dan keduanya.
Neurotransmitter jenis excitatory akan menyebabkan depolarisasi dari target sel
sehingga dapat menyebabkan terjadinya potensial aksi, sedangkan neurotransmitter
jenis inhibitory akan menyebabkan terjadinya proses hiperpolarisasi dari target sel
sehingga akan menghalangi proses potensial aksi.19,20
o Excitatory: glutamate, aspartate, dan nitric oxide
o Inhibitory: glisin, GABA, serotonin, dan dopamine
o Keduanya: asetilkolin dan norepinefrin
Kejang fokal dengan gejala yang timbul pertama/gejala onset motor terbagi
menjadi 7; automatisme, atonik, klonik, spasme epileptik, hiperkinetik, mioklonik,
tonik. Sedangkan, kejang fokal dengan onset non-motor terbagi menjadi 5;
autonomik, behaviour arrest, kognitif, emosional, dan sensorik. 1
Motor23
Automatisme Gerakan motorik berulang dan terkoordinasi, kadang menyerupai
gerakan volunter, namun dilakukan tanpa kemauan. Lebih sering
terjadi pada kejang dengan gangguan kesadaran.
• Orofasialis: mengecap bibir, mengerecutkan bibir,
mengunyah, menelan, dan mengedipkan mata
• pedal: adanya pergerakan kaki secara unilateral atau bilateral
(modndar-mandir, berjalan, atau berlari)
• Vokal: adanya suara yang dapat diulang-ulang dapat berupa
jeritan atau mengorok
• Verbal: adanya kata-kata yang dapat diulang ulang seperti
kalimat/frase
• Seksual: perilaku seksual
• Lainnya: mengganggukan kepala, membuka baju, dan
gerakan lainnya
Atonik Adanya kehilangan atau pengurangan tonus otot tanpa adanya
gerakan mioklonik atau tonik, yang berlangsung lebih dari 500 ms
tapi lebih cepat dari 2 detik. Bagian tubuh yang biasanya terkena
pengaruh adalah kepala, trunk, rahang, atau otot anggota gerak tubuh.
Klonik Adanya gerakan menyentak (jerking) mengikuti ritme yang dapat
terjadi pada anggota gerak distal, atau salah satu anggota gerak, atau
salah satu sisi tubuh.
• Jacksonian march: gerakan menyentak terjadi pada area
tubuh sesuai dengan homonculus pada motor cortex
Spasme Adanya gerakan fleksi, ekstensi, atau campuran dari otot batang
Epileptik tubuh, selama 1-2 detik, yang berlangsung secara serial
Hiperkinetik Gerakan anggota gerak proksimal atau otot aksial, menciptakan
gerakan dengan amplitudo besar seperti menginjak, gerakan 'panggul
mendorong', melompat, gerakan memukul, dll
Mioklonik Satu atau klaster pendek atau kontraksi otot yang sebentar yang
hanya berdurasi beberapa millisecond setiap kontraksi
Tonik Peningkatan tonus otot, yang terjadi selama beberapa detik sampai
beberapa menit
Non-Motor24
Autonomik Perubahan sistem yang dikontrol oleh sistem saraf otonom pada saat
onset kejang, dapat berupa:
• Palpitasi/takikardi/bradikardi/asistol
• Sensasi epigastrium (rasa tidak nyaman, ketat, kelaparan, dll
yang dapat naik ke dada/tenggorokan), atau mual/muntah dan
fenomena sistem pencernaan lain
• Pucat/flushing
• Hipoventilasi/hiperventilasi/perubahan pernafasan
• Piloerection/merinding
• Ereksi
• Keinginan untuk BAK/BAB
• Lakrimasi
• Konstriksi/dilatasi pupil
Behaviour Penurunan amplitudo dan atau laju atau adanya arrest dari aktivitas
Arrest motorik yang sedang dilakukan. Karena adanya arrest sangat umum
dan susah untuk dikenali pada saat kejang dimulai, maka arrest harus
berlangsung pada sebagian besar kejadian kejang.
Kognitif Adanya gangguan bahasa/domain kognitif lainnya atau adanya deja
vu, halusinasi, ilusi, atau distorsi persepsi.
• Disfasia/afasia ekspresif: tidak bisa bicara, pasien sadar akan
keinginannya untuk berbicara suatu hal yang spesifik namun
tidak bisa mengekspresikannya
• Anomia: tidak bisa menamai objek sehari-hari
• Agnosia auditori: tidak bisa mengenali atau membedakan
suara/kata-kata dengan definisinya
• Disfasia/afasia konduksi: tidak dapat mengulang kata-kata
yang didengar
• Disleksia/aleksia: tidak bisa membaca karena tidak bisa
memahami tulisan
• Dejavu / jamais vu: adanya fenomena memori seperti rasa
familiar (deja vu) atau tidak familiar (jamais vu)
• Halusinasi: persepsi stimulus sensorik ekternal yang tidak
nyata dapat berupa visual, audio, atau sensori lainnya, tanpa
ada perubahan kesadaran
• Ilusi: perubahan stimulus dari yang sebenarnya dapat berupa
visual, audio, somatosensori, olfaktori, dll
• Disosiasi: pengalaman tidak berhubungan dengan dirinya
atau lingkungannya walaupun dalam keadaan sadar
• Discalculia/acalculia: kesulitan memahami hitungan
matematika
• Disgrafia/agrafia: kesulitan menulis
• Kebingungan kanan-kiri
• Neglect: adanya kegagalan unilateral menanggapi stimulus
yang berasal dari kontralateral
Emosional Perubahan mood/emosi
• Takut/panik/ansietas
• Tertawa (gelastik): tertawa tanpa adanya emosi yang
berhubungan dengan kebahagiaan
• Menangis (dakristik): menangis yang dapat disertai lakrimasi
dan ekspresi sedih
• Pleasure: adanya perasaan positif berupa kenyamanan,
kebahagiaa, dll (jenis yang jarang terjadi)
• Kemarahan: adanya kemarahan yang dapat disertai perilaku
agresif
Sensorik Sensasi yang dialami saat kejang yang dirasakan oleh penderita
namun tidak terdapat gejala klinis objektif yang dapat dilihat oleh
pengamat
• Somatosensorik: fenomena berupa kesemutan, kebas, seperti
kesetrum, dan nyeri
• Sensorik visual: adanya halusiasi visual yang dasar berupa
kedipan cahaya/warna atau bentuk lain dengan pola yang
simpel, bentuk halusinasi visual yang lebih kompleks terdapat
pada kejang fokal kognitif
• Sensorik auditori: adanya halusinasi auditori yang dasar dapat
berupa buzzing atau ringing, bentuk halusinasi sensorik yang
lebih kompleksi terdapat pada kejang fokal kognitif
• Sensorik pengecapan: adanya fenomena perasa termasuk rasa
asam, pahit, manis, dll
• Sensorik vestibular: perasaan pusing, berputar, dan vertigo
• Sensasi panas-dingin: adanya sensasi perasaan panas
kemudian rasa dingin
• Sensasi sefalik: adanya rasa sakit kepala
Kejang umum merupakan kejang dimana terjadi aktivitas kelistrikan abnormal
pada kedua hemisfer otak seingga dapat menyebabkan gangguan kesadaran.
Walaupun kejang dapat terlokalisir, namun lokasi dan lateralisasi tidak konsisten dari
tiap kejang yang terjadi. Kejang umum dengan gejala yang timbul pertama/gejala
onset motor terbagi menjadi 8; tonik-klonik, klonik, tonik, mioklonik, mioklonik-
tonik-klonik, mioklonik-atonik, atonik, dan spasme epileptik. Sedangkan, kejang
umum dengan onset non-motor (absens) terbagi menjadi 4; tipikal, atipikal,
mioklonik, dan mioklonik eyelid.
Motor
Tonik-klonik Generalized tonic-clonic seizure adalah adanya kejang motor
bilateral dan simetris yang terjadi pada seseorang disertai dengan
kehilangan kesadaran. Terdapat gerakan tonik (peningkatan tonus
bilateral bertahan selama beberapa detik hingga menit) diikuti
gerakan klonik (gerakan menyentak ritmitis yang berkelanjutan).
Pada fase tonik, pasien secara tiba-tiba akan kehilangan kesadaran
dan mengalami kontraksi dari otot-otot ekstrimitias, dimana terjadi
fleksi yang diikuti ekstensi terutama dari punggung dan leher, pasien
dapat mengeluarkan suara (moaning) karena adanya ekspirasi
mendadak dan dapat menggigit lidahnya sendiri. Pada akhir fase
tonik, kontraksi akan selesai dan pasien akan jatuh ke tanah.
Fase klnik terjadi ketika pasien mengalami kontraksi-relaksasi secara
bergantian dan simetris dari ekstremitas. Pada fase ini akan terjadi
pengeluaran air liur yang dapat terlihat sebagai mulut berbuih. Secara
perlahan, kontraksi-relaksasi berkurang hingga semua gerakan
terhenti dan otot mengalami relaksasi.
Non-Motor (Absence)
Tipikal Adanya kehilangan kesadaran yang bersifat tiba-tiba, pasien akan
menghentikan segala aktivitas pada periode waktu tersebut
Atipikal Kehilangan kesadaran tidak bersifat tiba-tiba dibandingkan dengan
tipe tipikal
Mioklonik Adanya kejang mioklonik pada bahu dan tangan dengan adanya
gerakan tonik sehingga terjadi pengangkatan kedua lengan pada saat
kejang yang berlangsung sekitar 10-60 detik.
Eyelid Adanya kejang absans yang disertai jerking mioklonik pada kelopak
Myoclonic mata yang sebentar dan berulang yang disertai dengan deviasi bola
mata ke arah atas dan ekstensi kepala yang berdurasi kurang dari 6
detik
1.8 Diagnosis
Evaluasi yang dapat dilakukan pada pasien dengan kejang pertama kali adalah
memastikan apakah pasien benar-benar mengalami kejang atau tidak karena banyak
kondisi yang memiliki karakteristik hampir sama dengan kejang. Keluhan pre-
syncope, TIA, aura migraine, gangguan tidur, dan psychogenic non-epileptic seizure
(PNES). Adanya saksi dapat menjadi kunci untuk memastikan kejadian kejang. 29,30
Anamnesis dapat dilakukan untuk menggali beberapa informasi mengenai
kejang yang dialami pasien. Tanyakan identitas pasien yaitu nama dan usia pasien.
Tanyakan gejala yang dialami pasien pada saat fase-fase kejang (prodromal, pre-
iktal, iktal, dan post iktal) dan gejala-gejala tambahan yang dialami pasien perlu
ditanyakan yaitu kekakuan pada tubuh, adanya jerking pada anggota tubuh, gejala
absans, ataupun gejala kejang lainnya adanya gejala prodromal berupa halusinasi
dan dejavu/jamais vu, dll. Kemudian gejala pada saat iktal terdapat gejala berupa
mengigit lidah lateral, adanya rotasi kepala lateral, postur tubuh yang tidak biasa,
inkontinensi urin, kulit yang bewarna kebiruan, dll. Gejala post iktal berupa
kebingungan, kehilangan kesadaran, dll. Selain itu, durasi kejang perlu diperhatikan
agar manajemen status epileptikus dapat dilaksanakan pada waktu yang tepat.
Lokasi/pola kejang pada tubuh dan perambatan kejang perlu ditanyakan untuk
membedakan kemungkinan lokasi abnormalitas elektrik pada otak. Selain itu,
Kesadaran pasien pada saat kejang juga perlu ditanyakan untuk membedakan jenis
kejang. Perlu digali apakah kejang merupakan kejadian pertama kali atau sudah
berulang, apabila berulang, tanyakan usia awitan, durasi tiap kejang, frekuensi
kejang, interval terpanjang antar kejang, dan kesadaran antara kejang. Perlu
ditanyakan juga aktivitas penderita saat terjadi kejang (tidur, bermain video game,
dll). Gejala tambahan berupa demam juga dapat di tanyakan untuk melihat apakah
ada tanda-tanda infeksi pada penderita. Tanyakan faktor pencetus dari terjadinya
kejang berupa kelelahan, kurang tidur, maslaah hormonal, stres psikologis, dan
alkohol. 29,30,31,32
Riwayat penyakit dahulu berupa diabetes melitus, gangguan fungsi hati dan
ginjal serta riwayat gangguan neurologis dan psikiatri yaitu epilepsi, stroke, trauma
kepala, tumor kepala, infeksi, dan lain-lain perlu ditanyakan. Selain itu tanyakan
mengenai riwayat bangkitan neonatal/kejanh demam. Selain itu riwayat penggunaan
obat-obatan dan konsumsi alkohol perlu ditanyakan. Riwayat obat-obatan yang perlu
ditanyakan yaitu obat-obatan anti epilepsi, analgesik, antibiotik, imunomodulator,
obat-obatan psikotik, dan teofilin, selain itu, riwayat penggunaan dan penarikan
obat-obatan terlarang juga perlu ditanyakan. Riwayat penggunaan kontras di tubuh
juga dapat digali. 29,30,31,32
Gejala objektif yang dialami pasien dapat menjadi prediksi lokasi dari
abnormalitas yang terjadi pada otak terutama pada kejang fokal. Adanya kejang
klonik dengan gejala jerking pada anggota gerakyang terjadi pada 1 sisi tubuh pada
umumnya berasal dari korteks motor primer, kemudian akan menyebar sepanjang
homonculus motorik atau disebut sebagai kejang jaksonian march. Postur distonia
dimana pasien akan berpostur seperti pagar biasanya terjadi karena lesi yang
terletak di area supplementary sensorimotoric. Kejang lobus frontal biasanya terjadi
dengan durasi yang pendek (10-30 detik), dengan adanya gejala hipermotor,
aktivitas motorik bilateral, dan kejadian pada malam hari. Kejang fokal dengan
gangguan diskognitif biasanya terjadi karena lesi pada lobus temporal dimana pasien
terlihat tidak bergerak dan menatap, pasien juga tidak respon dengan rangsangan
eksternal. Kontralateral dari fokus lobus temporal, akan terjadi fleksi dari
pergelangan tangan, fleksi dari sendi metakarpal-falang, dan ekstensi dari
interfalang. Gejala automatisme juga menandakan lesi dari lobus temporal. Gejala
post iktal berupa kebingungan dan anterograde amnesia menandakan kejang tonic
clonic generalized dan kejang lobus temporal.
Syncope adalah kehilangan kesadaran secara sementara yang terjadi karena
adanya hipoperfusi global pada otak dengan ciri-ciri onset cepat, durasi yang
sebentar, dan kembali pulih secara spontan. Pada umumnya, syncope di dahului oleh
beberapa faktor pencetus seperti berolahraga, perpindahan posisi tubuh menjadi
berdiri yang terlalu cepat, dan berdiri terlalu lama. Beberapa gejala yang dapat
membedakan syncope dengan kejang adalah, adanya gejala mual, berkeringat,
pusing berputar, dan kehilangan pandangan pada saat sebelum terjadinya syncope,
berbeda dengan gejala prodromal pada kejang. Selain itu dapat terjadi gejala
palpitasi sebelum syncope yang menandakan jantung sebagai penyebab syncope.
Pada pasien syncope, terdapat gejala berupa bibir yang pucat dan tidak terdapat
gejala jerking dan menggigit lidah yang dapat terjadi pada kejang. Pada pasien
kejang, umumnya mata terbuka, sedangkan pada syncope pada umumnya mata
tertutup atau 'ke belakang'. Setelah terjadinya kejang, pasien dapat tidak sadar
selama 5 menit atau lebih, disorientasi, mengantuk, nyeri otot dan mengigit lidah,
hal ini tidak ditemukan pada pasien syncope. 29,33
Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan gejala defisit neurologis
berepisode singkat yang disebabkan oleh iskemia bertahan kurang dari 24 jam, yang
secara umum kurang dari 1 jam. TIA cenderung mengakibatkan gejala yang
'negative' yaitu berupa kelemahan sisi tubuh, hipestesia, dan gangguan lapang
pandang, sedangkan kejang pada umumnya diawali dengan gejala positif berupa
jerking dari anggota tubuh. Gejala paresis juga dapat dialami pada saat setelah
kejang atau disebut sebagai todd's paralysis. Todd's paralysis dapat dialami pada
13% kasus kejang yaitu adanya gejala hemiparesis setelah kejang yang bersifat
parsial atau total yang berlangsung selama 0.5 - 36 jam. TIA dan Todd's paralysis
sulit untuk dibedakan, adanya riwayat/faktor resiko yang mendukung adanya stroke
dapat menjadi salah satu yang dapat mendukung diagnosis TIA. Perlu dilakukan
pemeriksaan imaging seperti CT-scan dan MRI untuk memastikan diagnosis
TIA.33,34
Migraine adalah nyeri kepala yang bersifat berdenyut yang sering disertai
dengan sensitivitas dengan cahaya dan suara, dan gejala mual dan pusing, yang
berlangsung selama beberapa jam hingga beberapa hari (4-72 jam). Migraine
dengan aura merupakan adanya persepsi sensorik imajiner yang akan diikuti oleh
sakit kepala. Walaupun dapat mempengaruhi seluruh panca indera, aura pada
migraine pada umumnya bersifat visual. Migraine dengan aura dapat menyerupai
seizure pada lobus oksipital. Pada kejang, halusinasi visual bersifat sebentar
(maksimal 3 menit), biasanya bewarna dengan pola melingkar, dan onsetnya selalu
dari sisi yang sama, selain itu tidak terdapat gejala fotofobia. Nyeri kepala post iktal
dapat terjadi, namun biasanya tidak hebat dan tidak berdenyut dan berlangsung
hanya selama 30 menit hingga 1 jam. Pada migraine dengan aura, pada umumnya
halusinasi visual bersifat hitam putih dengan pola zigzat atau linier, yang
berlangsung lebih dari 3 menit. Kemudian, halusinasi visual akan diikuti oleh gejala
fotofobia, nyeri kepala berdenyut, dan gejala mual/muntah.35
Gangguan tidur yang dapat menyerupai kejang adalah parasomnia. Parasomnia
adalah adanya gangguan perilaku atau psikologis tidak menyenangkan yang terjadi
pada saat tidur. Gejala dapat berupa berjalan saat tidur, sleep terrors, dan bangun
dengan keadaan kebingungan. Karakteristik parasomnia yang dapat dibedakan dari
kejang lobus frontal adalah adalah onset saat masa kecil, episode yang jarang terjadi,
durasi yang dapat berlangusng beberapa menit, onset pada 1/3 awal malam, dan
pada umumnya remisi setelah pubertasi. Sedangkan pada kejang lobus frontal
nokturna, gejala dapat berlangsung selama 1 menit, terjadi pada saat manapun ketika
tidur, dan dapat terjadi beberapa kali saat malam hari. Terdapat kuesioner yang
dapat membedakan parasomnia dengan epilepsi lobus frontal nokturna, dengan skor
lebih dari 0 menandakann epilepsi sedangkan, skor 0 atau kurang dari 0 menandakan
parasomnia. 36,37,38
Muskuloskeletal Fraktur tulang yang tidak jelas Tidak sadar yang tidak
disaksikan dan jauth
Dilokasi bahu posterior Konvulsi generalized
Kulit Luka linear (cutting) Komorbid psikiatris yang
berkaitan dengan PNES
Saraf Defisit neurologis fokal Lesi struktural otak
(motor/sensorik/visual) penyebab kejang
MRI dapat memberikan gambaran adanya area dengan difusi yang terestriksi
menandakan adanya edema sitotoksik. Gambaran ini memiliki ciri ciri adanya
peningkatan sinyal diffusion-weighted imaging (DWI) dan nilai rendah dari
apparent diffusion coefficient (ADC). Apabila gambaran yang didapatkan
merupakan edema vasogenik, maka akan terdapat peningkatan sinyal DWI dan
hiperintensitas dari T2-weighted dan fluid attenuated inversion recovery (FLAIR)
tanpa penurunan sinyal ADC. Pada status epileptikus, seringkali ditemukan
kombinasi antara kedua jenis edema tersebut. Ketika terdapat peningkatan T2 yang
bersamaan dengan penurunan ADC yang lebih dari 10%, kemungkinan besar,
kerusakan bersifat permanen, sebaliknya, pada saat ADC tidak ada penurunan,
kemungkinan besar dapat pulih secara sempurna. 41,42,43
Gambar 8. Gambaran MRI - Hiperintensitas Sinyal DWI dan FLAIR pada
Kortex Parietal Kanan
1.9 Tatalaksana
Tujuan manajemen status epileptikus adalah menghentikan bangkitan dengan segera,
mengidentifikasi dan mengatasi penyebab, dan mengatasi komolikasi yang
ditimbulkan. Terdapat 4 fase dari algoritme manajemen status epileptikus. Yaitu pada
0-5 menit yang dikenal sebagai fase stabilisasi, 5-20 menit yang dikenal sebagai fase
terapi inisial, 20-40 menit yaitu fase terapi kedua, dan 40-60 menit yaitu fase terapi
ketiga.7,45,46,47
Gambar 10. Tatalaksana Status Epileptikus
Fase stabilisasi pada 0-5 menit, pada umumnya intervensi dilakukan di bagian
instalasi gawat darurat, bagian in-patient, ataupun pre-rumah sakit. Hal-hal yang harus
dilakukan pada fase stabilisasi adalah sebagai berikut: 7,45,46,47
1. Stabilisasi pasien (airway, breathing, circulation, disability) dan
lakukan pemeriksaan neurologi
2. Ukur durasi kejang sejak onset, dan monitor tanda-tanda vital
3. Perhatikan oksigenasi pasien, berikan suplementasi oksigen melalui
nasal kanul atau mask, pertimbangkan intubasi apabila bantuan
pernafasan dibutuhkan
4. Mulai pemeriksaan ECG
5. Ambil sampel darah di jari untuk memerika kadar gula darah, jika gula
darah <60 mg/dL maka lakukan
• Dewasa: 100 mg Thiamine IV kemudian 50 ml D50W IV
• Anak-anak 2 tahun ke atas: 2 ml/kgBB D25W IV
• Anak-anak dibawah 2 tahun: 4 ml/kgBB D12.5 W I
6. Akses intravena dan ambil sampel darah untuk pemeriksaan elektrolit,
hematologi, toksikologi, dan kadar obat anticonvulsant
Pemeriksaan jalur nafas yang dilakukan pada tahap airway adalah dengan cara
menilai patensi airway, apabila terganggu maka terdapat tanda-tanda berupa laju nafas
meningkat atau suara nafas menurun. Selain itu, lakukan penilaian obtruktif jalur
nafas yang ditandai dengan suara tambahan abnormal berupa snoring, gurgling atau
stridor. Lakukan penanganan head tilt chin lift dan jaw thrust apabila terdapat
sumbatan jalan nafas, apabila terdapat sumbatan benda padat dapat dilakukan
crossfinger manuever, selain itu siapkan suction untuk menangani sumbatan darah
dan cairan yang menghalangi jalur nafas. Siapkan airway nasofaringeal, airway
orofaringeal, atau airway definitive (intubasi endotrakeal atau trakeostomi), dan
lakukan bantuan jalur nafas apabila dibutuhkan. Posisikan pasien dalam posisi lateral
decubitus untuk mencegah terjadinya aspirasi jika memungkinkan.
Pemeriksaan breathing dilakukan dengan cara look, listen, dan feel, apabila
memungkinkan pemeriksaan dilakukan dalam keadaan dada terekspos. Lakukan
evaluasi dengan cepat mengenai laju nafas, dan pemeriksaan SpO2. Lakukan
penanganan apabila terdapat gangguan oksigenasi, apabila saturasi oksigen <94%
maka diberikan suplementasi oksigen sebanyak 10 lpm menggunakan NRM. Pada
pemeriksaan circulation, lakukan pemeriksaan tekanan darah dan denyut nadi.
Pertahankan tekanan darah tetap di atas 90/60 mmHg dan MAP >70 mmHg. Monitor
aktivitas jantung dengan memasang elektrokardiogram (EKG).
Pada saat yang bersamaan, pemeriksaan kadar gula darah menggunakan finger
prick dilakukan untuk mengetahui adanya hipoglikemia pada pasien. Apabila terdapat
gangguan hipoglikemia, maka dapat dilakukan protokol yang telah disebutkan
sebelumnya. Akses intravena dicari dengan tujuan untuk mengambil sampel darah
dan persiapan administrasi antikonvulsan. Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit,
fungsi hati dan ginjal, beta-hCG, laktat, dan uji toksikologi dapat dilakukan sesuai
kebutuhan. Selain itu, pemeriksaan neurologis singkat dapat dilakukan untuk
mengevaluasi adanya proses intrakranial akut.
Pada fase kedua yaitu fase terapi inisial pada 5-20 menit, apabila kejang tidak
berlanjut, maka tatalaksana selanjutnya dilakukan secara simtomatik, namun apabila
kejang masih berlangsung, maka dapat diberikan tatalaksana kejang yaitu
benzodiazepine dengan cara memilih salah satu dari 3 regimen lini pertama yang
dapat digunakan: 7,45,46,47
• Midazolam IM: 10 mg pada pasien dengan berat badan > 40 kg, 5 mg
untuk pasien dengan berat badan 13-40 kg, dosis tunggal
• Lorazepam IV: 0.1 mg/kg/dosis, maksimal 4 mg/dosis, dosis dapat
diulang 1 kali
• Diazepam IV: 0.15 - 0.2 mg/kg/dosis, maksimal 10 mg/dosis, dosis
dapat diulang 1 kali
Midazolam IM dan Lorazepam IV memiliki keefektifan yang sama pada
pasien status epileptikus. Pemberian benzodiazepin secara cepat dapat mengakibatkan
depresi pernafasan dan hipotensi, maka diperlukan monitor tanda-tanda vital. Dari
penelitian yang dilakukan pada 97 pasien yang diberikan lorazepam pada kasus status
epileptikus, sebanyak 10.3% mengalami hipoventilasi, 25.8% mengalami hipotensi,
dan 7.2% gangguan ritme jantung, hasil yang hampir sama juga ditemukan pada
pemberian diazepam IV. Menjaga patensi jalur nafas, pemberian terapi oksigen, dan
optimalisasi cairan dilakukan untuk menangani efek samping tersebut. Pada penelitian
tahun 2012, kejadian efek samping lebih sering terjadi pada pemberian IV lorazepam
dibandingkan dengan midazolam IM. 7,45,46,47
Apabila ketiga pilihan obat diatas tidak ada yang tersedia, maka dapat memilih
salah satu pilihan dari: 7,45,46,47
• Phenobarbital IV: 15 mg/kg/dosis dosis tunggal
• Diazepam rektal: 0.2-0.5 mg/kg, maksimal 20 mg/dosis, dosis tunggal
• Midazolam intranasal, midazolam bukal
Ketika memasuki fase ketiga yaitu fase terapi kedua yang berlangsung pada
20-40 menit, apabila pasien sudah kembali ke keadaan baseline maka terapi yang
diberikan bersifat simtomatik. Namun, apabila kejang masih berlangsung maka dapat
diberikan salah satu pilihan dari terapi lini kedua berikut ini: 7,45,46,47
• Fosphenytoin IV: 20 mg PE/kgBB, maksimal 1500 mg PE/dosis, dosis
tunggal
• Valproid acid IV: 40 mg/kgBB, maksimal 3000 mg/dosis, dosis tunggal
• Levetiracetam IV: 60 mg/kgBB, maksimal 4500 mg/dosis, dosis
tunggal
• Apabila tidak ada satupun pilihan di atas yang tersedia maka dapat
diberikan phenobarbital IV: 15 mg/kgBB
Pada fase ini, monitoring menggunakan EEG secara kontiyu dilakukan.
Pemasangan kateter urin juga dianjurkan untuk dilakukan. Terapi suportif dan
pengecekan tanda-tanda vital tetap dilaksanakan. Fosphenytoin lebih dipilih menjadi
pilihan pertama, namun Valproid acid bisa menjadi pilihan yang baik terutama pada
anak-anak dengan riwayat epilepsi kejang umum. Efek samping utama dari
antikonvulsan lini kedua adalah hipotensi, depresi nafas, dan aritmia, terutama pada
pemberian phenytoin. 7,45,46,47
Apabila sudah memasuki fase terakhir yaitu fase terapi ketiga pada menit ke
40-60 menit, pasien yang sudah dalam keadaan pulih, terapi yang selanjutnya
dilaksanakan adalah terapi simtomatik. Namun apabila kejang masih berlanjut, maka
dapat lini terapi kedua dapat diulang, atau dapat diberikan dosis anestesi dari
thiopental, midazolam, fenobarbital, atau propofol (dengan monitor EEG
kontinyu).7,45,46,47
1.10 Komplikasi
Komplikasi dari status epileptikus dapat berupa sistemik ataupun neurologik.
Efek samping neurologik dapat berupa edema cerebri yang dapat meningkatkan TIK
dan thrombosis vena cortical, Selain itu, akan ada peningkatan progresi ke epilepsi
kronik dan status epileptikus rekuren. Pada kasus dengan status epileptikus refraktor
yang berkepanjangan dapat menyebabkan neuronal damage yang bersifat permanen.
Penelitian menyatakan, nekrosis dari neuron akan terjadi pada menit ke 30-60 dari
status epileptikus.50,51,52
Komplikasi sistemik yang dapat terjadi adalah kerusakan pada jantung dan
pembuluh darah. Hal ini dapat terjadi karena adanya peningkatan kadar katekolamin
pada saat kejang terjadi. Peningkatan katekolamin akan menyebabkan hipertensi,
peningkatan denyut jantung dan aritmia. Selai itu, dapat pula terjadi hiperglikemia,
distress pernafasan, asidosis metabolik, dan hiperpirexia. Demam dapat terjadi pada
80% kasus karena adanya peningkatan aktivitas otot yang ekstrim. Edema paru dapat
terjadi karena adanya peningkatan pembuluh darah paru-paru karena kontraksi dari
otot-otot pernafasan pada saat terjadi bangkitan, sehingga apnea sering ditemukan
sebagai salah satu komplikasi dari status epileptikus konvulsif. Pada sistem
pencernaan, dapat terjadi ulkus karena stres, perdarahan saluran pencernaan, diare,
dan ileus paralitik. Kerusakan ginjal dan infeksi saluran kemih juga dapat terjadi.
Pada sistem muskuloskeletal dapat ditemukan lidah yang tergigit, fraktur tulang
panjang, fraktur kompresi vertebrae, dan dislokasi bahu belakang.50,51,52
1.11 Prognosis
Prognosis pada status epileptikus tergantung kepada jenis dari status
epileptikus itu sendiri.
Mortalitas Status Epileptikus Status Epileptikus Non - Status Epileptikus
Konvulsif Konvulsif Refraktor
Keluar dari 9-21% 18-25% 23-61%
RS
30 Hari 19-27% 65%
90 Hari 19% 39%
Selain itu, terdapat angka mortalitas pada pasien status epileptikus dengan
etiologi tertentu yang terdapat pada tabel berikut ini:
DAFTAR PUSTAKA
1. Fisher, R. S., Cross, J. H., French, J. A., Higurashi, N., Hirsch, E., Jansen, F.
E., . . . Zuberi, S. M. (2017). Operational classification of seizure types by the
International League Against Epilepsy: Position paper of the ILAE
commission for classification and terminology. Epilepsia, 58(4), 522-530.
doi:10.1111/epi.13670
2. Stafstrom, C. E.; Carmant, L. (2015). Seizures and Epilepsy: An Overview for
Neuroscientists. Cold Spring Harbor Perspectives in Medicine, 5(6),
a022426–a022426. doi:10.1101/cshperspect.a022426
3. Huff JS, Murr N. Seizure. [Updated 2021 Jan 17]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430765/
4. Powell, R.; McLauchlan, D. J. (2012). Acute symptomatic seizures. Practical
Neurology, 12(3), 154–165. doi:10.1136/practneurol-2012-000244
5. Gunawardane, Nisali; Fields, Madeline (2018). Acute Symptomatic Seizures
and Provoked Seizures: to Treat or Not to Treat?. Current Treatment Options
in Neurology, 20(10), 41–. doi:10.1007/s11940-018-0525-2
6. Wylie T, Sandhu DS, Goyal A, et al. Status Epilepticus. [Updated 2020 Sep
25]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430686/
7. Trinka, Eugen; Cock, Hannah; Hesdorffer, Dale; Rossetti, Andrea O.;
Scheffer, Ingrid E.; Shinnar, Shlomo; Shorvon, Simon; Lowenstein, Daniel H.
(2015). A definition and classification of status epilepticus - Report of the
ILAE Task Force on Classification of Status Epilepticus. Epilepsia, 56(10),
1515–1523. doi:10.1111/epi.13121
8. Prasetyo A, Prasetyo BH. Tatalaksana Status Epileptikus di Instalasi Gawat
Darurat. Cermin Dunia Kedokteran. 2018;45:866–8.
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan praktik klinis
neurologi. Kurniawan M, Suharjanti I, Pinzon RT, eds. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia; 2016
10. Eissa Ibrahim AlEissa MD. First Adult Seizure [Internet]. Background,
Etiology, Epidemiology. Medscape; 2020 [cited 2021Mar16]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1186214-overview#a5
11. Bell GS, Sander JW. CPD — Education and self-assessment The
epidemiology of epilepsy: the size of the problem. Seizure. 2001;10(4):306–
16.
12. Beghi E. The Epidemiology of Epilepsy. Neuroepidemiology.
2020;54(2):185-191. doi: 10.1159/000503831. Epub 2019 Dec 18. PMID:
31852003.
13. Sánchez S, Rincon F. Status Epilepticus: Epidemiology and Public Health
Needs. J Clin Med. 2016;5(8):71. Published 2016 Aug 16.
doi:10.3390/jcm5080071
14. Leitinger M, Trinka E, Zimmermann G, Granbichler CA, Kobulashvili T,
Siebert U. Epidemiology of status epilepticus in adults: Apples, pears, and
oranges — A critical review. Epilepsy & Behavior. 2020;103:106720.
15. Wylie T, Sandhu DS, Goyal A, et al. Status Epilepticus. [Updated 2020 Sep
25]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430686/
16. Bonnett LJ, Powell GA, Tudur Smith C, Marson AG. Breakthrough seizures-
Further analysis of the Standard versus New Antiepileptic Drugs (SANAD)
study. PLoS One. 2017;12(12):e0190035. Published 2017 Dec 21.
doi:10.1371/journal.pone.0190035
17. Cherian A, Thomas SV. Status epilepticus. Ann Indian Acad Neurol.
2009;12(3):140-153. doi:10.4103/0972-2327.56312
18. Ochoa-de la Paz LD. Neural Impulse. Encyclopedia of Animal Cognition and
Behavior. 2017;:1–4.
19. Maqbool, Mudasir & Dar, Mohmad. (2019). Introduction to
Neurotransmitters. 10.13140/RG.2.2.33471.15525.
20. Vasković J. Neurotransmitters [Internet]. Kenhub. Kenhub; 2021 [cited
2021Mar16]. Available from:
https://www.kenhub.com/en/library/anatomy/neurotransmitters
21. Stafstrom, C. E. (1998). Back to Basics: The Pathophysiology of Epileptic
Seizures: A Primer For Pediatricians. Pediatrics in Review, 19(10), 342–
351. doi:10.1542/pir.19-10-342
22. Walker, Matthew C. (2016). Pathophysiology of status epilepticus.
Neuroscience Letters, (), S0304394016309934–.
doi:10.1016/j.neulet.2016.12.044
23. MOTOR SEIZURE [Internet]. International League Against Epilepsy. [cited
2021Mar16]. Available from:
https://www.epilepsydiagnosis.org/seizure/motor-overview.html
24. FOCAL ONSET SEIZURE. [cited 2021Mar16]. Available from:
https://www.epilepsydiagnosis.org/seizure/focal-seizure-overview.html
25. Cherian A, Thomas SV. Status epilepticus. Ann Indian Acad Neurol.
2009;12(3):140-153. doi:10.4103/0972-2327.56312
26. Baysal Kirac L, Aydogdu I, Acarer A, et al. Myoclonic status epilepticus in
six patients without epilepsy. Epilepsy Behav Case Rep. 2012;1:10-13.
Published 2012 Nov 7. doi:10.1016/j.ebcr.2012.10.003
27. Wylie T, Sandhu DS, Goyal A, et al. Status Epilepticus. [Updated 2020 Sep
25]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430686/
28. Besag, F.M.C. and Vasey, M.J. (2018) Prodrome in epilepsy. Epilepsy &
Behav. 83: 219-233
29. Nowacki TA, Jirsch JD. Evaluation of the first seizure patient: Key points in
the history and physical examination. Seizure. 2017;49:54–63.
30. Beghi E, De Maria G, Gobbi G, Veneselli E. Diagnosis and Treatment of the
First Epileptic Seizure: Guidelines of the Italian League Against Epilepsy.
Epilepsia. 2006;47(s5):2–8.
31. Moore SA. A Clinical and Diagnostic Approach to the Patient With Seizures.
Topics in Companion Animal Medicine. 2013;28(2):46–50.
32. Adams SM, Knowles PD. Evaluation of a first seizure. Am Fam Physician.
2007 May 1;75(9):1342-7. PMID: 17508528.
33. Helman, A. Reid, A. Koblic, P. Ep 132 Emergency Approach to Seizures and
Seizure Management. Emergency Medicine Cases. November, 2019.
https://emergencymedicinecases.com/approach-seizures-
management. Accessed [date]
34. Brosinski, Carmen M. (2014). Implementing Diagnostic Reasoning to
Differentiate Toddʼs Paralysis From Acute Ischemic Stroke. Advanced
Emergency Nursing Journal, 36(1), 78–
86. doi:10.1097/TME.0000000000000007
35. Panayiotopoulos, C. P. (2012). Visual aura of migraine versus visual occipital
lobe seizures. Cephalalgia, 32(8), 654–654. doi:10.1177/0333102412443332
36. Pandi-Perumal, Seithikurippu R. & Spence, D. & Harris, Shelby & Thorpy,
Michael & Kramer, Milton. (2014). Parasomnia.
37. Boursoulian LJ, Schenck CH, Mahowald MW, Lagrange AH. Differentiating
parasomnias from nocturnal seizures. J Clin Sleep Med. 2012;8(1):108-112.
Published 2012 Feb 15. doi:10.5664/jcsm.1676
38. Derry, Christopher Paul; Davey, Margot; Johns, Murray; Kron, Katie;
Glencross, Deborah; Marini, Carla; Scheffer, Ingrid E.; Berkovic, Samuel F.
(2006). Distinguishing Sleep Disorders From Seizures. Archives of
Neurology, 63(5), 705–. doi:10.1001/archneur.63.5.705
39. Nass, Robert D.; Zur, Berndt; Elger, Christian E.; Holdenrieder, Stefan;
Surges, Rainer (2019). Acute metabolic effects of tonic-clonic seizures.
Epilepsia Open, (), epi4.12364–. doi:10.1002/epi4.12364
40. Alsuwailem MH, Alkhatem AH, Alshabib AA. Lumbar Puncture : Indications,
Complications, Technique and CSF Analysis in Pediatric Patients. The
Egyptian Journal of Hospital Medicine. 2018;70(4):638–43.
41. Giovannini G, Kuchukhidze G, McCoy MR, Meletti S, Trinka E.
Neuroimaging alterations related to status epilepticus in an adult population:
Definition of MRI findings and clinical-EEG correlation. Epilepsia.
2018;59:120–7.
42. Meletti S, Monti G, Mirandola L, Vaudano AE, Giovannini G. Neuroimaging
of status epilepticus. Epilepsia. 2018;59:113–9.
43. Guerriero RM, Gaillard WD. Imaging modalities to diagnose and localize
status epilepticus. Seizure. 2019;68:46–51.
44. Sansevere AJ, Hahn CD, Abend NS. Conventional and quantitative EEG in
status epilepticus. Seizure. 2019;68:38–45.
45. Olmos-López A, Ibarra-Aguilar J, Cornelio-Nieto JO, Ocaña-Hernández LA,
Márquez-Amaya MA, Luna-López NA, et al. Clinical guideline: status
epilepticus in children and adults. Revista Mexicana de Neurociencia.
2021;20(2).
46. Glauser T, Shinnar S, Gloss D, Alldredge B, Arya R, Bainbridge J, et al.
Evidence-Based Guideline: Treatment of Convulsive Status Epilepticus in
Children and Adults: Report of the Guideline Committee of the American
Epilepsy Society. Epilepsy Currents. 2016;16(1):48–61.
47. Brophy GM, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck TP, Glauser T, et al.
Guidelines for the Evaluation and Management of Status Epilepticus.
Neurocritical Care. 2012;17(1):3–23.
48. Pramesti FA, Husna M, Kurniawan SN, Rahayu M. DIAGNOSIS AND
MANAGEMENT OF NONCONVULSIVE STATUS EPILEPTICUS
(NCSE). MNJ (Malang Neurology Journal). 2017;3(1):30–8.
49. Seizure First Aid [Internet]. Seizure First Aid - Epilepsy Australia Ltd. [cited
2021Mar16]. Available from: http://www.epilepsyaustralia.net/seizure-first-
aid/
50. Drislane FW. Status epilepticus. In: Schachter SC, Schomer DL, eds. The
comprehensive evaluation and treatment of epilepsy. San Diego, CA:
Academic Press; 1997. p. 149-172. With permission from Elsevier
51. Thomas DL. Status Epilepticus Risk Factors and Complications [Internet].
News. 2019 [cited 2021Mar16]. Available from: https://www.news-
medical.net/health/Status-Epilepticus-Risk-Factors-and-Complications.aspx
52. Hocker S. Systemic complications of status epilepticus — An update.
Epilepsy & Behavior. 2015;49:83–7.
53. Rossetti AO, Logroscino G, Milligan TA, Michaelides C, Ruffieux C,
Bromfield EB. Status Epilepticus Severity Score (STESS). Journal of
Neurology. 2008;255(10):1561–6.
54. Brophy GM, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck TP, Glauser T, et al.
Guidelines for the Evaluation and Management of Status Epilepticus.
Neurocritical Care. 2012;17(1):3–23.