Anda di halaman 1dari 30

DISKUSI TOPIK

KEPANITERAAN KLINIK NEUROEMERGENSI


SPINAL CORD INJURY

Disusun oleh:
Andre Lawijaya (01073190029)

Pembimbing:
dr. Hadi Widjaja, M.Biomed, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK NEUROEMERGENSI


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 3 MEI – 29 MEI 2021
TANGERANG
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1
I. Definisi 2
II. Epidemiologi 2
III. Etiologi 2
IV. Patogenesis 3
V. Klasifikasi 5
VI. Diagnosis 8
VII. Tatalaksana 17
VIII.Komplikasi 23
IX. Prognosis 27
DAFTAR PUSTAKA 28

1
I. Definisi

Trauma medulla spinalis atau spinal cord injury (SCI) adalah kerusakan pada
medula spinalis yang menyebabkan gangguan fungsi medulla spinalis yaitu
gangguan sensorik, motorik, refleks, dan otonom, secara sementara atau permanen
yang dapat menyebabkan kecacatan menetap.1 Trauma medulla spinalis merupakan
keadaan gawat darurat neurologi yang memerlukan penanganan cepat.

II. Epidemiologi
Secara global, epidemiologi trauma medula spinalis bervariasi pada
berbagai negara, namun berkisar antara 13.1 – 163.4 per 1.000.000 penduduk pada
negara maju dan berkisar antara 13 – 220 per 1.000.000 penduduk pada negara
berkembang.2 Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas diikuti kasus jatuh.3
Di Indonesia belum terdapat data menyeluruh, tetapi penelitian mengenai cedera
medula spinalis pernah dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan periode
Januari 2009 – Desember 2010 menunjukan jumlah penderita trauma medula
spinalis yaitu 44 orang, dengan penderita laki laki lebih banyak (86.36%) dan terjadi
pada rentang usia produktif yaitu 21-40 tahun (45.4%) dengan penyebab tersering
adalah kecelakaan lalu lintas (45.5%).4

III. Etiologi

Penyebab cedera medulla spinalis dapat dibagi menjadi dua yaitu traumatik
dan non traumatik, diaman lebih dari 90% merupakan kasus tarumatik.5 Penyebab
trauma medula spinalis berdasarkan National Spinal Cord Injury Statistical Center
(NSCISC) tahun 2010 adalah kecelakaan lalu lintas (38%), jatuh (30.5%), luka
tembak (13.5%) dan kecelakaan olahraga (9%).6 Pada penyebab traumatik,
kerusakan pada medulla spinalis timbul karena adanya dislokasi, rotasi, axial
loading, hiperfleksi, atau hiperekstensi pada medulla spinalis. Sedangkan pada
penyebab cedera medula spinalis non traumatik dibagi menjadi 2 yaitu kompresif
dan nonkompresif dimana etiologi-etiologinya adalah iskemia vaskular, infeksi
(sifilis, tuberkulosis, polio), hernia diskus intervertebralis, spondilosis, gangguan
metabolik, kelainan kongenital (spina bifida, myelomeningocele, malformasi

2
skeletal, syringomyelia, Arnold-Chiari malformation), serta komplikasi dari
tindakan medis.3

IV. Patogenesis

Kerusakan yang terjadi pada lesi medula spinalis dapat terlihat pada dua
fase, yaitu fase primer dan sekunder. Fase primer adalah terjadinya gaya mekanis
awal yang diterima oleh medulla spinalis sehingga menyebabkan cedera di mana
bisa terjadi bergesernya fragmen tulang, intervetebral disc, dan / atau ligamen
memar atau robek ke jaringan medulla spinalis. Selain itu, fase primer juga dapat
terjadi karena kompresi, distraksi, laserasi, atau transeksi. Bentuk cedera primer
yang paling umum adalah benturan ditambah kompresi persisten, yang biasanya
terjadi melalui fraktur pecah dengan fragmen tulang menekan medulla spinalis.
Dari berbagai penyebab ini secara langsung menyebabkan rusaknya jalur naik dan
turun di medulla spinalis dan mengganggu pembuluh darah dan membran sel,
menyebabkan spinal shock, hipotensi sistemik, vasospasme, iskemia,
ketidakseimbangan ionik, dan akumulasi neurotransmitter. Sampai saat ini,
pengobatan klinis yang paling efektif untuk membatasi kerusakan jaringan setelah
cedera primer adalah dekompresi bedah dini (<24 jam pasca cedera).5

Cedera primer akan menimbulkan kaskade yang menyebabkan cedera


sekunder. Cedera medulla spinalis sekunder dibagi menjadi beberapa fase yaitu
immediate (≤ 2 jam), early acute (≤ 48 jam), subakut/intermediate (≤ 2 minggu / 2
minggu – 6 bulan) dan fase kronik. Cedera sekunder dapat menyebabkan kerusakan
progresif jaringan medulla spinalis di sekitar lokasi lesi. Istilah cedera sekunder
masih digunakan dan mengacu pada serangkaian fenomena seluler, molekuler dan
biokimia yang terus merusak jaringan medulla spinalis dan menghambat pemulihan
neurologis setelah SCI.5 Dalam hitungan detik hingga 48 jam, disrupsi pada
mikrovaskulatur akan menimbulkan pendarahan dan edema yang menganggu
perfusi darah ke medulla spinalis yang mengalami trauma. Selanjutkan akan terjadi
thrombosis dan vasospasme, yang memperparah iskemia. Kemudian, nekrosis akan
terjadi akibat disrupsi mekanis dari membrane sel dan terjadi sekresi glutamate
yang mencapai level sitotoksik, berbarengan dengan disregulasi dari influx Na+ dan

3
Ca2+ dan peningkatan produksi sitokin TNF-a dan IL-1B.5

Pada fase subakut, akan terjadi fagositosis untuk membersihkan debris


seluler dan astrositosis reaktif, dimana astrosit membentuk scar yang mencegah
regenerasi aksonal yang dimediasi oleh Rho-ROCK (rho associated protein kinase).
Pada minggu kedua – bulan keenam, cedera ditandai dengan maturasi scar astrositik
dan regenerasi aksonal berkelanjutan. Meskipun begitu, proliferasi astrosit sendiri
penting untuk menjaga homeostasis ionik dan pembentuk kembali sawar darah otak
yang membatasi imunitas sel dan edema. 5

Pada 3 fase pertama ini (fase immediate, early acute, subakut), intervensi
medis seperti dekompresi surgikal dan pemberian agen neuroprotektif serta
neuroregeneratif dapat memberikan dampak yang paling besar untuk merubah
outcome secara neurologis dan fungsional.7,8 Sementara pada fase kronik, akan
terjadi maturasi scar astrositik, pembentukan syrinx, kavitas, dan degenerasi akson
di bagian distal cedera (degenerasi Wallerian). Hal ini dapat menimbulkan sekuelae
jangka panjang berupa nyeri kronik dan spastisitas, sehingga target terapi yang
dapat diberikan adalah remyelinisasi dan plastisitas sistem saraf.9

Gambar 1. Patogenesis cedera medula spinalis sekunder

4
Gambar 2. Cedera medula spinalis primer dan sekunder

V. Klasifikasi
Trauma medula spinalis dapat dibagi menjadi komplit dan inkomplit
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi dan juga dapat
dibagi berdasarkan American Spinal Injury Association (ASIA) Impairment Scale.
Trauma komplit merupakan hilangnya fungsi motorik maupun sensorik di bawah
dari lokasi terjadinya cedera, tanda lain yang dapat hilang adalah refleks
bulbokavernosus dan kontraksi perianal (tonus spinchter ani) meskipun syok spinal
telah teratasi. Tingkat lesi sangat membantu dalam memprediksi defisit fungsi tubuh
yang mungkin terjadi, menentukan penanganan selanjutnya, dan mengetahui
prognosis penyakit. Berdasarkan The American Spinal Cord Injury Association
(ASIA), trauma komplit diklasifikasikan menjadi grade A dan trauma inkomplit
diklasifikasikan sebagai grade B, C, D atau E.5,10

5
Gambar 3. ASIA Impairment scale (AIS)

Trauma medulla spinalis inkomplit terbagi menjadi beberapa sindrom : 11


Sindrom Traktus yang rusak Penyebab Manifestasi klins
Central cord Traktus  Cedera hiperekstensi Paresis dan defisit
syndrome kortikospinal dan pada spondylosis sensori bilateral yang
traktus servikal lebih parah pada
spinotalamik  Syringomyelia ekstremitas
lateral bagian  Tumor intramedulari atas dibanding
medial dan dorsal ekstremitas bawah.
column bilateral, Paresis LMN di level
pusat otonom, dan lesi
sel kornu anterior Kehialngan fungsi
propriosepsi
Disfungsi otonom

6
Anterior cord Traktus  Trauma Paralisis motorik
syndrome kortikospinal dan  Infark medulla bilateral, kehilangan
traktus spinalis sensasi nyeri dan
spinotalamik  Sklerosis multipel temperatur dan
bilateral dan pusat disfungsi autonomik di
otonom bawah level lesi
(bladder dysfunction)
Posterior cord Dorsal column  Defisiensi B12  Kehilangan sensasi
syndrome  Multiple propriosepsi,
Sklerosis getaran, dan
 Tabes dorsalis sentuhan halus
syphilis
dibawah lesi
 Myelopati AIDS
 Ataksia sensori
dengan romberg
positif
 Kelemahan
bervariasi
 Disfungsi bladder

7
Brown-Sequard Pada satu sisi  Trauma (cedera Secara Ipsilateral :
Syndrome medulla spinalis penetrasi)  Kehilangan
(hemisection) :  Kompresi medulla propriosepsi,
traktus spinalis (Tumor) getaran, dan
spinotalamik,  Multiple sklerosis sentuhan halus
kortikospinal dan dibawah lesi
dorsal column  Paresis LMN di
ipsilateral level lesi
 Paralisis spastik
dibawah lesi, dan
ipsilateral babinski
sign (+)
Secara kontralateral :
 Hilangnya sensasi
nyeri dan
temperatur

VI. Diagnosis
Diagnosis dilakukan setelah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa pada
trauma medula spinalis telah ditangani, sehingga semua pasien trauma harus
dicurigai memiliki cedera sampai terbukti tidak memiliki cedera pada medula
spinalis.
1) Anamnesis
Anamnesis perlu dilakukan untuk menggali kejadian dan resiko dari cedera
spinal. Beberapa hal yang ditanyakan saat melakukan anamnesis pada cedera
spinal meliputi :
Mekanisme cedera : kecepatan berkendara, tipe kendaraan bermotor,
kelengkapan berkendara.
Keluhan neurologi : Nyeri tulang belakang, kelemahan tangan dan/atau kaki,
perubahan atau hilangnya sensasi pada tangan dan kaki, priapismus, keluhan

8
buang air kecil (inkontinensia atau retensi urine), keluhan buang air besar,
bingung atau tidak kooperatif
Riwayat trauma : riwayat penggunaan alkohol atau dibawah pengaruh obat-
obatan, riwayat trauma sebelumnya
Riwayat penyakit dahulu : Riwayat masalah tulang belakang, riwayat operasi
tulang belakang sebelumnya atau kondisi yang menjadi predisposisi instabilitas
tulang belakang lainnya seperti osteoporosis

2) Pemeriksaan Fisik
Seperti pada kasus trauma lainnya, pemeriksaan dimulai dengan primary
survey mencakup penilaian kondisi jalan nafas (airway), pernafasan
(breathing), sirkulasi (circulation) dan disability (GCS). Selanjutnya dilakukan
pemeriksaan pada tulang belakang apakah terdapat deformitas, krepitasi, nyeri
saat palpasi, dan menilai permukaan kulit (kontusio, laserasi, penetrasi).
Setelah itu, pemeriksaan dilanjutkan dengan menggunakan American Spinal
Injury Assoiation (ASIA) score.

Gambar 4. Skor ASIA

9
Menggunakan skoring ASIA : 10,12
Pemeriksaan motorik kekuatan otot dilakukan pada 10 myotom berpasangan
(C5-T1 dan L2-S1). Kekuatan motorik dinilai dari kekuatan maksimal yang
dapat dicapai pasien tanpa melihat seberapa lama kekuatan tersebut
dipertahankan. Kekuatan motoric dinilai menurut Medical Research Council
Grading System yaitu 0-5.
 Skor 0 menandakan paralisis total
 Skor 1 terdapat kontraksi yang terlihat atau dapat dipalpasi
 Skor 2 yaitu gerakan aktif, ROM (range of movement) penuh
namun tidak dapat melawan gravitasi
 Skor 3 adalah gerakan aktif, ROM penuh dan dapat melawan
gravitasi.
 Skor 4 adalah gerakan aktif, ROM penuh, dapat melawan
gravitasi, dan dapat menahan sebagian tekanan.
 Skor 5 adalah gerakan aktif normal, ROM penuh, dapat melawan
gravitasi dan tahanan penuh.
Skor kekuatan motorik maksimal adalah 50 poin untuk ekstremitas atas dan
bawah pada masing-masing sisi tubuh. Saat melakukan pemeriksaan motorik,
diutamakan melakukan proteksi kolumna vertebralis agar tidak terjadi cedera
sekunder, yang meliputi cervical collar neck dan meletakkan pasien pada long
spine board. 10,12
Level motorik adalah batas paling kaudal dari segmen medula spinalis yang
fungsi motoriknya normal atau memiliki kekuatan motorik setidaknya 3. Jika
daerah dimana tidak ada myotom yang dapat diuji secara klinis yaitu C1 ke C4,
T2 ke L1, dan S2 ke S5 maka level motor dianggap sama dengan level sensorik,
jika fungsi motorik yang dapat diuji diatas level itu juga normal. Contohnya
jika level sensorik adalah C4 dan tidak ada kekuatan fungsi motorik C5 (atau
kekuatan < 3) maka level motoriknya adalah C4. 10
Pemeriksaan voluntary anal contraction (VAC) dilakukan untuk melihat
apakah terdapat kontraksi volunter dari sfingter anal eksternal (dipersarafi
komponen motorik somatik saraf pudendal S2-S4) yang dirasakan di sekitar
jari pemeriksa. Jika terdapat VAC maka pasien memiliki cedera inkomplit.

10
Pemeriksaan level sensorik (dermatom paling kaudal yang memiliki sensasi
pinprick dan lighttouch intak) dilakukan pada 28 dermatom pada sisi kanan dan
kiri tubuh, dimulai dari C2 hingga S4-S5. Pemeriksaan dilakukan secara
bilateral menggunakan ujung kapas untuk sensasi light touch dan peniti untuk
pinprick. Sistem penilaian terdiri atas 3 poin yaitu :
0 = tidak ada
1 = terganggu (sensasi berkurang atau hiperestesia)
2 = normal
Jika pasien tidak memiliki gangguan sensorik, maka didapatkan skor 56 untuk
light touch dan 56 untuk pinprick pada 1 sisi tubuh sehingga pada seluruh tubuh
skor maksimal untuk pemeriksaan sensorik adalah 112 pada masing-masing
sisi kanan dan kiri. Perhatian khusus diberikan pada kecurigaan daerah
servikal C1-C4, apabila pasien mengeluh hilangnya sensasi di daerah sekitar
leher dan klavikula, pemeriksa harus mengkonfirmasi dengan pemeriksaan
motorik. 12
Deep anal pressure (DAP) dilakukan dengan cara pasien dalam posisi lateral.
Setelah pemeriksa memakai sarung tangan, jari telunjuk pemeriksa yang akan
digunakan dalam pemeriksaan dilumasi. Setelah itu jari pemeriksa tersebut
dimasukkan 2-3 cm ke dalam anus pada pasien. Deep anal pressure diuji
dengan memberikan sedikit tekanan pada dinding anorektal yang dipersarafi
oleh komponen somatosensori saraf pudendal S4 / 5 dengan jari telunjuk. Deep
anal pressure dievaluasi sebagai "ya" atau "tidak ada". Setiap sensasi hasil
tekanan yang dapat dirasakan di daerah anal selama bagian uji ini menandakan
bahwa pasien memiliki lesi sensory inkomplit. Selain DAP untuk melakukan
pemeriksaan sacral sparring juga dapat dilakukan anal sensation, dengan
memberikan rangsang light touch pada daerah sekitar anal pasien. 12
Level sensorik adalah dermatom paling caudal, normal untuk sensasi pin prick
dan light touch. Level sensorik ditentukan dengan melakukan pemeriksaan
pada titik sensorik utama dalam masing-masing 28 dermatom di setiap sisi
tubuh, Skor sensorik dari setiap dermatom untuk pin-prick dan light touch
dapat dijumlahkan di seluruh dermatom dan sisi tubuh, kanan dan kiri, untuk

11
menghasilkan dua skor sensorik yang terdiri dari skot sensasi Pin-prick dan
Light Touch. Sensasi normal untuk setiap uji sensorik diberi skor 2. Skor 2
untuk masing-masing 28 poin sensorik utama untuk light touch akan
menghasilkan skor maksimum 56 untuk light touch. Begitu pula sama dengan
skor untuk pin – prick sehingga total skor sensorik maksimum adalah 112.10

Zone of partial preservation (ZPP) adalah dermatom dan myotom pada bagian
kaudal NLI yang masih terdapat fungsi parsial. Neurological level of injury
(NLI) adalah segmen medulla spinalis paling kaudal yang mempunyai fungsi
sensorik dan motorik normal pada kedua sisi tubuh. Terkadang terdapat
perbedaan antara bony level (level vertebra spesifik dimana terjadi kerusakan
tulang) dan neurological level of injury karena saraf spinal memasuki kanalis
spinalis melalui foramina, dan dapat naik atau turun di dalam kanalis spinalis
sebelum memasuki medulla spinalis.10

Jenis cedera spinal ditentukan setelah resolusi syok spinal (72 jam – 7 hari
setelah trauma, namun ada juga penelitian yang mengatakan bahwa sebaiknya
dilakukan dalam 72 jam pasca cedera), yaitu respon fisiologis terhadap trauma
yang ditandai dengan depolarisasi inisial dari jaringan aksonal segera setelah
cedera. Selama syok spinal, pasien akan menunjukkan periode transien flaccid
paralysis, arefleksia, dan hilangnya refleks bulbokavernosus. Setelah refleks
ini kembali, maka pasien dapat dinilai apakah mengalami cedera spinal komplit
atau inkomplit. Oleh karena itu, pemeriksaan lengkap dan bermakna sulit
dilakukan pada pasien dengan penurunan atau perubahan tingkat kesadaran
atau dengan cedera utama yang belum tertangani. 9,10

Lokasi dermatom untuk evaluasi pada SCI : 10


Level Key Points for Sensory Testing
C2 At least 1 cm lateral to the occipital protuberance (alternatively 3 cm behind the ear)
C3 Supraclavicular fossa (posterior to the clavicle) and at the midclavicular line
C4 Over the acromioclavicular joint
C5 Lateral (radial) side of the antecubital fossa (just proximal to elbow crease)

12
C6 Thumb, dorsal surface, proximal phalanx
C7 Middle finger, dorsal surface, proximal phalanx
C8 Little finger, dorsal surface, proximal phalanx
T1 Medial (ulnar) side of the antecubital) fossa, just proximal to the medial epicondyle of the
humerus
T2 Apex of the axilla
T3 Midclavicular line and the third intercostal space (IS) found by palpating the anterior chest
to locate the third rib and the corresponding IS below it* *An alternative way of locating
T3 is palpating the manubriosternal joint, which is at the level of the second rib. At that
point, move slightly lateral to palpate the second rib and continue to move in a caudal
direction to locate rib three and the corresponding intercostal space just below it.
T4 Fourth IS (nipple line) at the midclavicular line
T5 Midclavicular line and the fifth IS (midway between T4 and T6)
T6 Midclavicular line and the sixth IS (level of xiphisternum)
T7 Midclavicular line and the seventh IS (midway between T6 and T8)
T8 Midclavicular line and the eighth IS (midway between T6 and TI0)
T9 Midclavicular line and the ninth IS (midway between T8 and T10)
T10 Midclavicular line and the tenth IS (umbilicus)
T11 Midclavicular line and the eleventh IS (midway between T10 and Tl2)
T12 Midclavicular line and the mid-point of the inguinal ligament
L1 Midway distance between the key sensory points for Tl2 and L2
L2 On the anterior-medial thigh at the midpoint drawn connecting the midpoint of inguinal
ligament (T12) and the medial femoral condyle
L3 Medial femoral condyle above the knee
L4 Medial malleolus
L5 Dorsum of the foot at the third metatarsal phalangeal joint
S1 Lateral heel (calcaneus)
S2 Mid point of the popliteal fossa
S3 Ischial tuberosity or infragluteal fold
S4-S5 Perianal area less than one cm. lateral to the mucocutaneous junction (taken as one level)

13
Myotom kunci untuk evaluasi pada SCI : 10
Muscle function testing position for grade
Level Key muscle function and muscles
4 and 5
Elbow flexors (biceps, brachialis) Elbow flexed at 90 degrees, arm at the
C5
patient's side and forearm supinated
Wrist extensors (extensor carpi radialis longus Wrist in full extension
C6
and brevis)
Elbow extensors (triceps) Shoulder is neutral rotation, adducted and
C7 in 90 degrees of flexion with elbow in 45
degrees of flexion
Finger flexors (flexor digitorum profundus) to Full flexed position of the distal phalanx
C8 the middle finger with the proximal finger joints stabilized in
a extended position
Small finger abductors (abductor digiti Full abducted position of fingers
T1
minimi)
L2 Hip flexors (iliopsoas) Hip flexed to 90 degrees
L3 Knee extensors (quadriceps) Knee flexed to 15 degrees
L4 Ankle dorsiflexors (tibialis anterior) Full dorsiflexed position of ankle
L5 Long toe extensors (extensor hallucis longus) First toe fully extended
Ankle plantar flexors (gastrocnemius, soleus) Hip in neutral rotation, neutral
flexion/extension, and neutral
S1 abduction/adduction, the knee is fully
extended and the ankle in full
plantarflexion

14
Gambar 5. Alur penentuan Asia Impairment Scale (AIS)

3) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium pada SCI umumnya sama seperti pada kasus trauma
lainnya, meliputi darah perifer lengkap, gula darah sewaktu, ureum kreatinin,
elektrolit, faktor koagulasi, dan toksikologi darah. Pemeriksaan laboratorium
lain yang dapat dilakukan adalah Analisa gas darah untuk evaluasi tingkat
oksigenasi dan ventilasi, level laktat untuk evaluasi perfusi dan berguna pada
keadaan syok, kadar hemoglobin untuk evaluasi secara serial untuk mendeteksi
atau memonitor adanya sumber perdarahan, dan urinalisis untuk
menyingkirkan adanya cedera urogenital. Analisa LCS dapat dilakukan untuk
evaluasi penyebab SCI nontrauma seperti transverse myelitis.13
Pasien trauma yang memiliki keluhan nyeri leher, nyeri tekan vertebra, tanda
atau gejala defisit neurologi dan pasien yang sulit dinilai / kooperatif /
intoksikasi memerlukan pemeriksaan radiologis dari medulla spinalis. Kriteria
NEXUS berguna untuk identifikasi pasien dengan risiko rendah
subluksasi/fraktur/dislokasi servikal. Pasien yang memenuhi keseluruhan 5
kriteria NEXUS ini termasuk ke dlaam risiko rendah cedera sevikal dan tidak
memerlukan imaging leher atau medulla spinalis.7

15
Gambar 6. Kriteria Nexus

Modalitas utama yang dipilih adalah CT scan, dari oksiput ke T1 dengan


potongan sagital dan koronal. Jika CT scan tidak tersedia maka three view
spine xray direkomedasikan (AP, odontoid view, dan lateral) yang kemudian
dikonfirmasi dengan CT scan. Foto servikal dianggap baik jika basis cranii
hingga vertebra servikal 7 dapat terlihat. Posisi AP dikhususkan untuk
identifikasi dislokasi facet unilateral yang tidak tampak jelas pada foto lateral.
Posisi odontoid view dilakukan untuk melihat area sekitar segmen servikal 1
dan 2. Selain itu diperlukan juga foto torakolumbar dan perlu dilihat
kesegarisan korpus vertebra, jarak antar diskus, pedikel, prosesus spinosus, dan
foramen intervertebralis.7
Selain CT scan dan foto x ray, penggunaan MRI juga dilakukan bila
memungkinkan pada 48 jam pertama setelah trauma pada pasien dengan
hemodinamik stabil. MRI berguna untuk melihat lesi ligamen, diskus dan
jaringan lunak. MRI dapat menunjukan ekstensi kompresi medula spinalis dan

16
cedera (edema, hemisection, transeksi, iskemia, perdarahan), serta mendeteksi
lesi pada 6% kasus dimana pada CT scan terlihat normal. Pada pasien dengan
defisit neurologis, MRI direkomendasikan untuk melihat adanya lesi kompresif
dari jaringan lunak yang tidak bisa dideteksi oleh xray atau CT scan yang
disebut SCIWORA, seperti spinal epidural hematom, traumatik herniated disc,
atau abnormalitas ligamen. Pada kasus nontrauma, MRI dapat digunakan untuk
melihat adanya massa, proses degeneratif diskus, demyelinasi, dan
autoimun.7,14

VII. Tatalaksana
Tujuan tatalaksana adalah mengurangi defisit neurologis yang sudah terjadi dan
mencegah kerusakan lebih lanjut. Tatalaksana terbagi menjadi pra-rumah sakit,
rumah sakit, dan rehabilitasi.15
1) Tatalaksana pra-rumah sakit
Sebanyak 25% SCI segera terjadi segera setelah cedera inisial, sehingga pasien
harus diklasifikasin ke dalam triase dan menjalankan algoritma SCI dan segera
dilakukan resusitasi termasuk menjaga jalan napas dan kontrol perdarahan.
Pada pasien yang memenuhi clearance protocol serta trauma penetrasi pada
leher, tidak direkomendasikan untuk dilakukan imobilisasi karena risiko nyeri,
luka akibat tekanan akibat imobilisasi yang lama dan transfer pasien yang
tertunda, fungsi pernapasan yang terganggu, dan risiko aspirasi yang
meningkat. Pada pasien yang memenuhi kriteria imobilisasi, maka dapat
digunakan logroll maneuver untuk memindahkan pasien, memakaikan rigid
cervical collar, serta imobilisasi menggunakan long board dan tali untuk
mencegah gerakan patologis pada segmen vertebra yang tidak stabil. 15
2) Tatalaksana rumah sakit
Pasien dengan SCI atau suspek SCI dievaluasi secara langsung setelah tiba
pada fasilitas kesahatan, yang dilakukan oleh dokter IGD, dokter bedah trauma,
dan dokter bedah saraf menurut guidelie Advanced Trauma Life Support.
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi survey primer, survey sekunder, dan
pemeriksaan tambahan lainnya, yaitu evaluasi khusus spinal menggunakan

17
ASIA Impairment Scale (AIS). Selanjutnya, akan dilakukan evaluasi
radiografis, dan terapi.15
Pada survey primer dilakukan :
1. Airway :
- Pembebasan jalan napas tanpa memanipulasi daerah servikal (jaw thrust)
- Intubasi endotrakeal bila ada gangguan pernapasan (pada cedera medulla
spinalis servikal bagian atas)
2. Breathing :
- Suplementasi oksigen pada pasien dengan jalan napas bebas (nasal
kanul/simple mask)
- Ventilator pada pasien yang diintubasi
3. Circulation :
- Tekanan darah sistolik dipertahankan >90 mmhg
- Syok hypovolemia (hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin), lakukan
resusitasi cairan kristaloid (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat), kalau perlu
kombinasi koloid (albumin 0,5%)
- Syok neurogenik (hipotensi, bradikardia, ekstremitas hangat/kering),
resusitasi cairan adekuat dan agen vasopressor: dopamine untuk menjaga
MAP >70, bila perlu adrenalin 0,2 mg s.c., dan boleh diulang 1 jam
kemudian.
- Bradikardia : atropine IV 0,5-1 mg
- Pasang foley kateter untuk monitor urin dan mencegah retensi urin, NGT
untuk dekompresi lambung pada distensi dan kepentingan nutrisi enteral,
pemantauan tekanan vena sentral (menghindari kelebihan cairan)
4. Disability (menilai) :
- GCS
- Refleks pupil
- Kelemahan anggota gerak
Setelah primary survey dinyatakan aman, maka akan dilakukan secondary
survey meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan neurologis
lengkap yang mencari tanda-tanda cedera medulla spinalis secara klinis. Pada
survey sekunder dilakukan :

18
- Anamnesis AMPLE (allergy, medication, past illness, last meal,
exposure)
- Mekanisme trauma
- Riwayat penyakit dahulu dan pengobatan
- Identifikasi obat/terapi yang telah diberikaan saat pra RS dan primary
survey
- Penilaian ulang GCS dan pupil
- Palpasi vertebrae dari kranial ke kaudal dengan metode logroll.
Perhatikan deformitas, krepitus, nyeri, luka tembus/laserasi. Jika terdapat
fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis, pasang kerah fiksasi leher,
jangan dimanipulasi dan meletakkan bantal pasir di samping kiri-kanan
leher untuk fraktur servikal, melakukan fiksasi torakolumbal brace untuk
fraktur torakal, dan fiksasi dengan korset untuk fraktur lumbal.
- Penilaian level neurologis motoric dan sensorik (pinprick dan sentuhan
ringan). Catat level sensorik paling kaudal yang ditemukan normal.
- Kekuatan motorik ekstremitas: abduksi bahu (C5), fleksi siku (C6),
ekstensi siku (C7), fleksi pergelangan tangan (C8), abduksi jari (T1)
- Kekuatan motorik ekstremitas bawah: fleksi panggul (L2), ekstensi lutut
(L3-L4), fleksi lutut (L4-L5, S1), dorsofleksi ibu jari (L5), plantarfleksi
pergelangan kaki (S1)
- Penilaian refleks fisiologis dan patologis
- Catat cedera di lokasi lain yang belum tereksplorasi
- Pemeriksaan penunjang sesuai indikasi, dalam kasus SCI dilakukan
pemeriksaan imaging (foto polos vertebra/CT scan/MRI)

Pemberian metilprednisolon :
Metilprednisolon dosis tinggi berperan untuk menstabilkan membran sel saraf
yang memperbaiki konduksi neuronal, mempertahankan blood - spinal cord
barrier untuk mengurangi edema vasogenik, memperbaiki suplai darah ke
medulla spinalis, dan menghambat respon inflamasi, efek antioksidan, dapat
menembus membrane sel saraf lebih cepat, lebih efektif menetralkan factor
komplemen yang beredar, inhibisi peroksidasi lipid, prevensi iskemia pasca

19
trauma, inhibisi degradasi neurofi lamen, menetralkan penumpukan ion
kalsium, serta inhibisi prostaglandin dan tromboksan.16
Tatalaksana metilprednisolon dosis tinggi sesuai dengan Pedoman NASCIS II
(National Acute Spinal Cord Injury Study II). Pasien diberikan
metilprednisolon dengan dosis 30 mg/kgBB IV dalam 15 menit, dilanjutkan
dengan 45 menit istirahat, kemudian 5.4 mg/kgBB IV dalam 23 jam. Pemberian
ini dilakukan bagi pasien yang datang dalam 3 jam pertama setelah cederanya.
Pasien yang datang dalam jangka waktu 3-8 jam pasca cedera, dosis sama
namun pemberian infus metilprednisolon dosis tinggi harus diberikan selama
48 jam.17
Pemberian kortikosteroid dosis tinggi tidak diindikasikan bagi pasien dengan
komorbid yang mengancam nyawa, dan berbahaya bila diberikan setelah 8 jam
pasca cedera, karena dari beberapa studi menunjukkan bahwa hal ini dapat
menyebabkan perburukan dari status neurologis pasien.17

Tatalaksana lainnya secara umum :


- Guideline AANS/CNS SCI 2013 merekomendasikan pasien SCI untuk
dirawat di ICU, dengan memantau perfusi medulla spinalis yang cukup
melalui pencegahan hipotensi sistemik dan menjaga mean arterial
pressure. AANS/CNS merekomendasikan untuk menjaga tekanan darah
sistolik >90 mmhg, dan menjaga MAP 85-90 mmhg pada 7 hari pertama
pasca cedera. Saturasi oksigen dijaga minimal 90% dan profilaksis untuk
DVT dapat diberikan secepatnya.7,18
- Gangguan miksi (retensi urin dan distensi kandung kemih, priapismus)
dapat disebabkan karena kelemahan otot detrusor, hiperaktivitas sfingter,
atau kerja kandung kemih yang tidak sinergis, dapat dipasang kateter
indwelling hingga kondisi stabil, dilanjutkan dengan kateter intermitten
setiap 6 jam. Pasien juga memerlukan perhitungan kalori, karena
kebutuhan kalori akan meningkat beberapa hari pertama pascacedera.
Terputusnya saraf otonom kolon dan rectum, dan persarafan volunteer otot
dinding perut dan pelvis akan menyebabkan kesulitan defekasi sehingga
dapat menyebabkan impaksi feses. Permasalah ini dapat diatas dengan

20
makanan tinggi serat (10-20g per hari) dan agen pelunak feses seperti
laktulosa (oral) atau gliserin (supositoria). Evakuasi digital dapat
dipertimbangkan 2-3x seminggu sebagai tatalaksana akut.18
- Analgetik
- Pencegahan dekubitus dengan memakai kasur khusus
- Profilaksis DVT dengan mobilisasi compression stocking, antikoagulan
heparin 5000 U setiap 12 jam sampai dengan 3 bulan atau pemasangan
filter vena kava inferior jika pasien akan imobilisasi lama dan terdapat
kontraindikasi heparin
- Pemberian antioksidan (vitamin C, E) untuk cegah proses sekunder radikal
bebas
- Terapi obat lain sesuai dengan indikasi
- Profilaksis antacid oral dosis tinggi, penyekat H2, atau pelindung mukosa
untuk mencegah pendarahan saluran cerna pada penggunaan steroid dosis
tinggi. Pencegahan dengan 2 obat disarankan pada pasien dengan riwayat
ulkus saluran cerna.15,18

Tatalaksana operatif :
Tujuan utama dilakukan pembedahan adalah dekompresi terhadap medulla
spinalis dan melakukan stabilisasi tulang belakang. Pada umumnya, operasi
yang dilakukan meliputi open reduction dan decompression dengan
instrumented fusion, misalnya dengan mengimplantasi metal hardware untuk
menstabilisasi spinal column pada posisi anatomis. Luas area yang dioperasi
bergantung dari tempat anatomi, severitas, dan tingkat kerusakan. Dari
perspektif biologis, kompresi medulla spinalis akan memperparah iskemia
lokal, sehingga dekompresi pada awal SCI akan membatasi zona cedera dan
meningkatkan luaran klinis. Dari beberapa penelitian, dekompresi
meningkatkan >=2 grade pada AIS grade A dan juga perbaikan motorik yang
lebih besar jika dilakukan 24 jam pada SCI servikal. Operasi pada pasien
cedera medulla spinalis diindikasikan pada keadaan sebagai berikut:
1. Terdapat fraktur, pecahan tulang yang menekan medulla spinalis
2. Gambaran neurologis progresif memburuk

21
3. Fraktur dan dislokasi yang labil
4. Herniasi diskus intervertebralis yang menekan medulla spinalis
Prognosis penderita sangat bergantung pada berat cedera dan lamanya
pertolongan hingga tindakan pembedahan. Tidakan operatif dapat dilakukan
dalam waktu 24 jam hingga 3 minggu pascacedera, namun tindakan operatif
dini (<24 jam) lebih bermakna dalam menurunkan risiko komplikasi dan
perburukan neurologis.7,15,18

Tatalaksana rehabilitasi :
Rehabilitasi bertujuan untuk meningkatkan kualitas individu yang mengalami
gangguan dalam bidang mental, fisik, kognitif, dan sosial. Proses rehabilitas
pada pasien cedera medulla spinalis adalah untuk:
1. Memberikan pengertian mengenai cedera medulla spinalis pada pasien dan
keluarga
2. Memaksimalkan fungsi mobilisasi dan kemampuan perawatan
diri/kemandirian pasien
3. Mecegah masalah kesehatan komorbid, seperti kontraktur, luka decubitus,
infeksi paru, dan lain-lain
Pencapaian tersebut memerlukan kerjasama multidisiplin yang dimulai sejak
fase akut, perawatan, hingga setelah perawatan. Adapun tindakan rehabilitasi
sendiri meliputi fisioterapi atau physical therapy yang memfokuskan untuk
mengembalkan fungsi, memaksimalkan fungsi yang ada, dan mencegah
komplikasi. Selanjutnya ada terapi okupasi yang mengintegrasikan alat-alat
adaptif pada kehidupan sehari-hari pasien sehingga pasien dapat
memaksimalkan kemandiriannya sehari-hari, seperti pemakaian kursi roda,
braces, orthoses, lifts, dan barang barang sehari-hari seperti remote,
handphone, alat mandi, dan alat menyetir. Rehabilitas lainnya mencakup
latihan miksi dan defekasi rutin, terapi psikologis, dan konseling.3,7,15,18

22
VIII. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada SCI : 18,19,20,21
- Syok neurogenik
Syok neurogenik menyebabkan hipotensi dan bradikardia yang parah pada
cedera servikal akibat penurunan tekanan darah dalam kaitannya dengan SCI
akut. Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik <90 mmHg dalam
posisi terlentang, dan disebabkan oleh volume intravaskular yang rendah. Syok
neurogenik disebabkan karena kerusakan serabut saraf akibat dari primary
injury pada SCI. Karena pengaruh parasimpatis utuh melalui saraf vagal dan
hilangnya tonus simpatis karena gangguan pada kontrol supraspinal, syok
neurogenik berkembang sebagai akibat dari ketidakseimbangan kontrol
otonom Tergantung pada tingkat keparahan SCI, hipotensi yang
berkepanjangan dan berat, membutuhkan terapi vasopresif dapat berlangsung
hingga 5 minggu setelah cedera. Dalam database Trauma Audit dan Research
Network, persentase syok neurogenik adalah 19,3% pada cedera servikal. Pada
cedera toraks dan lumbal insiden yang dilaporkan masing-masing adalah 7,0%
dan 3,0%.
- Syringomyelia pasca trauma
Terbentuk ruang berisi cairan pada beberapa segmen medulla spinalis yang
membuat myelopati progresif beberapa bulan-tahun pasca SCI. Penyebabnya
belum diketahui secara jelas, namun diduga adanya one way valve yang secara
gradual membuat akumulasi cairan CSF intraparenkim dan/atau cairan
interstitial. Pasien yang asimptomatis akan di monitor serial dengan MRI,
sementara pasien yang progresif dan simptomatik akan menjalani dekompresi
surgikal dengan cara menghubungkan fluid cavity ke ruang intrathecal.
- Charcot arthropathy
Menyebabkan deformitas, ulserasi kulit, dan infeksi. Hilangnya sensasi setelah
SCI akan menyebabkan microtrauma tidak terasa oleh pasien yang memicu
resorpsi tulang. Autonomic dysregulation juga menyebabkan hiperemia pada
sendi yang terdenervasi sehingga memicu resorpsi tulang. Charcot arthropathy
pada spine didiagnsoa 10-15 tahun setelah SCI, dan muncul sebagai
deforminas, paradoxidal pain (nyeri di bawah level cedera sensorik), dan/atau

23
terdengan suara saat bergerak. Terapi yang diberikan dapat berupa konservatif
seperti follow up radiografi dan simptomatik dengan analgesic atau bracing,
dan surgikal seperti vertebral fusion
- Autonomic dysreflexia
Disebabkan oleh noxious stimulus di bawah level cedera (distensi kandung
kemih, bowel impaction, pressure sores) pada fase akut dan kronik, yang
menyebabkan refleks overstimulasi dari saraf simpatis, menyebabkan
vasokonstriksi dan hipertensi akut yang berbahaya. Sebagai respons,
parasympathetic outflow akan meningkat di atas level cedera dan sympathetic
outflow dihambat, yang menyebabkan vasodilatasi, nyeri kepala, berkeringat,
dan kongesti sinus. Terapi yang diberikan berupa upright positioning dari
pasien, mencegah stimulus dengan pengosongan kandung kemih dan bowel
secara berkala, dan reposisi untuk mencegah pressure sore. Pada kasus refrakter
dapat diberikan anti hipertensif. Pemeriksaan tekanan darah dan denyut nadi
juga harus diperiksa berkala karena peningkatan 20-25% dari batas normal,
dapat dicurigai terjadinya Autonomic dysreflexia
- Hipotensi ortostatik
SCI servikal atau torakal kronik dapat mempengaruhi sympathetic outflow dari
SSP seperti pada fase akut, sehingga memicu hipotensi. Pasien dapat
mengalami hipotensi ortostatik dengan gejala pusing, kelemahan, dan pingsan.
Gejala ini dapat muncul secara konsisten, namun secara gradual akan
menghilang dalam hitungan minggu-bulan. Terapi yang dapat diberikan berupa
lower extremities compression stockings, abdominal binding, augmentasi
volume (hidrasi, salt tables, fludrocortisone), dan/atau vasokonstriktor perider
(midodrine, ephedrine, droxidopa)
- Penyakit kardiovaskular
Cedera pada sistem saraf otonom adalah penyebab dari banyak komplikasi
kardiovaskular setelah SCI. Disfungsi kardiovaskular pada pasien dengan SCI
cervical atas dapat mengancam jiwa dan dapat memperburuk gangguan
neurologis akibat cedera tulang belakang. Pasien memiliki morbiditas dan
mortalitas yang lebih tinggi sebagai akibat dari disfungsi otonom. Pada fase
akut banyak penyimpangan irama jantung dapat terjadi; sinus bradikardia dan

24
bradiaritmia (14% -77%), denyut ektopik supraventrikular (19%), denyut
ektopik ventrikel (18% -27%), hipotensi ortostatik (33% -74%), peningkatan
refleks vasovagal, vasodilatasi dan stasis. Bradikardia dilaporkan pada 64%
sampai 77% dari SCI servikal, studi telah menemukan puncak insiden empat
hari pasca-cedera, kemudian penurunan insiden secara bertahap
- Tromboemboli vena
Individu dengan SCI memiliki risiko yang lebih tinggi untuk gangguan
koagulasi dan stasis vena karena aktivitas fisik, hemostasis yang berubah
dengan aktivitas fibrinolitik yang berkurang dan aktivitas faktor VIII yang
meningkat. Oleh karena itu mereka cenderung mengalami tromboemboli.
Selama tahun pertama pasca cedera, insiden trombosis vena dalam dan emboli
paru diperkirakan masing-masing 15% dan 5%. Insiden paling tinggi 2-3
minggu setelah cedera, diikuti dengan puncaktiga bulan setelah cedera. Selama
fase kronis, kejadian tromboemboli yang signifikan secara klinis kurang dari.
Insiden penyakit tromboemboli vena dilaporkan antara 12% dan 64% dan
masih menyumbang hampir 10% dari kematian pada tahun pertama setelah
cedera
- Sistem pernapasan
paralisis dari nervus phrenic, otot intercostal, dan/atau otot abdominal dapat
mengurangi kapasitas paru, batuk yang inefektif, dan pasien merasa kelelahan
dengan respiratory demand. Akibatnya, pasien lebih mudah untuk terkena
pneumonia, atelectasis (kolaps alveolar), efusi pleura, sleep apnea, dan
respiratory failure. Rehabilitasi jangka panjang yang membantu
cardiorespiratory conditioning dapat membantu, namun defek respiratori itu
sendiri menghambat kapasitas pasien untuk melakukan rehabilitasi dan
kemandirian jangka panjang. Oleh karena itu, komplikasi respirasi merupakan
penyebab mortalitas nomor satu pada pasien dengan SCI kronik. Pada pasien
dengan cedera servikal tinggi atau respiratory reserve buruk, dapat
membutuhkan ventilator seumur hidup
- Perdarahan gastrointestinal
Profilaksis tukak lambung diindikasikan untuk semua pasien dengan cedera
tulang belakang leher karena peningkatan risiko perdarahan gastrointestinal.

25
Proton pump inhibitors (PPIs) dan histamine2-receptor antagonist (H2RAs)
adalah terapi profilaksis farmakologis yang paling sering digunakan untuk
pencegahan tukak lambung. Sukralfat dan antasid jarang digunakan.
Dibandingkan dengan antasid dan sukralat, PPI dan H2RA cenderung
ditoleransi dengan lebih baik dan mudah diberikan. Namun PPI lebih banyak
digunakan karena dianggap lebih unggul dan efektif dalam menjaga ph
lambung konstan > 4 yang dapat mencegah tukak lambung.
- Pressure sore
pressure sore pada bokong (31%), paha lateral (26%), sacrum (18%), kaki
(7%), dan pergelangan kaki (4%), yang dapat dicegah dengan inspeksi harian,
membersihkan kulit, dan perubahan posisi. Saat pressure sore terbentuk, dapat
dibersihkan dengan teknik aseptic, debridement, dan wound dressing untuk
mencegah infeksi.
- Imunodefisiensi sekunder
Meningkatkan risiko infeksi pneumonia, ISK, dan infeksi dari luka pada pasien
dengan cedera servikal atau torakal tinggi karena gangguan innervasi simpatis
pada organ limfatik yang menyebabkan atrofi limpa dengan cepat. Belum ada
tatalaksana yang dapat dilakukan untuk immunodefisiensi sekunder
- Nyeri neuropatik
Dialami pada 40% pasien dengan SCI kronik, sekitar 1,2 tahun setelah cedera
dan mempengaruhi kualitas hidup pasien. Nyeri ini diduga terjadi karena
adanya serabut medulla spinalis yang mengalami sprouting di sekitar nerve
roots yang rusak, sehingga memicu aktivasi dari serabut saraf aferen primer
dan inisiasi rasa nyeri oleh stimulus normal non-noxious (allodynia). Nyeri
yang muncul di bawah level cedera diduga timbul karena hilangnya sinyal
inhibitory supraspinal dan spinal yang ditambah dengan munculnya
potentiation of brain pain-responsive area. Nyeri dapat diterapi secara
farmakologis dengan antidepresan, antikonvulsan, dan/atau opioid, secara
surgikal (implantasi spinal cord stimulators, deep brain stimulators, dorsal root
entry zone lesioning), atau terapi non-alopatik seperi akupuntur, pijat, dan
cognitive behavioural therapy
- Neurogenic heterotopic ossification

26
Sebanyak 10-53% pasien dengan SCI kronik karena membentuk tulang ektopik
pada jaringan ikat di sekitar sendi, paling sering terjadi pada sendi besar
(panggul, lutut, siku, pundak), dan terbentuk dalam hitungan bulan setelah SCI
yang ditandai dengan nyeri, kemerahan, low grade fever, dan peningkatan
spastisitas. Penyebabnya masih belum diektahui secara jelas namun diduga
karena adanya faktor lokal, humoral, dan neuro-immunologis. Terapi meliputi
physical therapy, farmakologis (NSAID dan/atau bifosfonat), terapi radiasi,
atau reseksi surgikal pada daerah osifikasi.

IX. Prognosis
Neurological level of injury (NLI) dan ASIA Impairment Scale (AIS) pada
fase akut mempunyai nilai prognostik untuk perbaikan fungsional artinya cedera
komplit memberikan prognosis perbaikan lebih buruk dibandingkan cedera
komplit. Pasien dengan AIS A pada evaluasi awal akan kesulitan untuk
mengembalikan fungsi dibawah NLI, dan hanya 20% pasien yang dapat “pindah”
ke AIS B atau C. Jika pemeriksaan ASIA dilakukan setelah 72 jam, maka persentase
pasien untuk mengalami perbaikan menurun menjadi 2,5%. Pasien AIS A dengan
lesi servikal tidak mempunyai peluang untuk dapat berjalan secara fungsional.
Namun pada lesi thorakal atau lumbar, sebanyak 8% pasien akan kembali
mempunyai kemampuan ambulasi walaupun tetap memerlukan alat dan dengan
jarak yang terbatas.22
Sebanyak 33% dari AIS B mempunyai perbaikan fungsi ambulatori, namun
seberapa banyak perbaikan yang dialami oleh pasien sangat bervariasi. Pada
kategori AIS C, prognosis untuk ambulasi fungsional lebih baik, yaitu sekitar 80-
90%. Namun, hal ini sangat dipengaruhi oleh usia, dimana hanya 30-40% untuk
pasien >50 tahun. Sedangkan untuk AIS D, fungsi ambulasi akan pulih pada
sebagian besar pasien sebesar 97,3%. Mortalitas tertinggi dialami pada pasien 6-12
bulan setelah cedera yang disebabkan oleh gagal napas, emboli paru, penyakit
kardiovaskular, dan sepsis. Mortalitas lebih awal seringkali ditemui pada pasien
dengan usia tua, high cervical injury, dan defisit neurologis parah.7,20,22

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Chin LS. Spinal Cord Injuries [Internet]. Medscape. 2018 [Diakses 5 Mei 2021].
Dari: https://emedicine.medscape.com/article/793582-overview
2. Kang Y, et al. Epidemiology of worldwide spinal cord injury : a literature review.
J Neurorestoratology. 2018;6:1–9.
3. Nas K, et al. Rehabilitation of spinal cord injuries. World J Orthop. 2015;6(1):8–
16.
4. Siregar O. Karakteristik dari penderita cedera medula spinalis traumatik di RSUP
Haji Adam Malik Medan. Majalah Kedokteran Nusantara. 2012(45)101-104.
5. Alizadeh A, Dyck SM, Karimi-abdolrezaee S. Traumatic Spinal Cord Injury : An
Overview of Pathophysiology, Models and Acute Injury Mechanisms. Front
Neurol. 2019;10(282):1–25.
6. National Spinal Cord Injury Statistical Center, Facts and Figures at a Glance.
Birmingham, AL: University of Alabama at Birmingham, 2016
7. Rouanet C, Reges D, Rocha E, Gagliardi V, Silva GS. Traumatic spinal cord
injury : current concepts and treatment update. Arq Neuropsiquiatr
2017;75(6):387-393.
8. Kim Y, Ha K, Kim S. Spinal Cord Injury and Related Clinical Trials. Clinics in
Orthopedic Surgery 2017;9:1-9.
9. Malhotra M, Bhatoe HS, Sudambrekar SM. Spinal Cord Injuries. MJAFI.
2010;66:325-328.
10. Roberts TT, Leonard GR, Cepela DJ. Classifications In Brief : American Spinal
Injury Association (ASIA) Impairment Scale. Clin Orthop Relat Res.
2017;475(5):1499–1504.
11. Kunam VK, et al. Incomplete Cord Syndromes : Clinical and Imaging Review.
Radiographics. 2018;38:1201–1222.
12. Musubire AK, et al. A Systematic Review of Non-Traumatic Spinal Cord Injuries
in Sub-Saharan Africa and a Proposed Diagnostic Algorithm for Resource-Limited
Settings. Front Neurol. 2017;8:1–12.
13. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Konsensus Nasional Penanganan
Trauma Kapitis dan Trauma Spinal Oleh PERDOSSI. 1st ed. Jakarta: CV. Prikarsa

28
Utama; 2006. p 19–30.
14. van Middendorp JJ, et al. Diagnosis and Prognosis of Traumatic Spinal Cord
Injury. Global Spine J. 2011;1:1–8.
15. Shank CD, Walters BC, Hadley MN. Current Topics in the Management of Acute
Traumatic Spinal Cord Injury. Neurocrit Care. 2019;30(2):261-271.
16. Perks D. Transient spinal cord injuries in the young athlete. J trauma Nurs.
2005;12(4):127–33.
17. Rihn JA, Anderson DT, Lamb K, Deluca PF, Bata A, Marchetto PA, et al. Cervical
spine injuries in American football. Sport Med. 2009;39(9):697–708.
18. Ahuja CS, et al. Traumatic spinal cord injury. Nat Rev Dis Primers. 2017;3:17018.
19. Bennett J, Das JM, Emmady PD. Spinal Cord Injuries [Internet]. Statpearls. 2020
[Diakses 6 Mei 2021]. Dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560721/
20. Rabinstein A. Traumatic Spinal Cord Injury. Continuum. 2018;24(2):551–566.
21. Guly HR, Bouamra O, Lecky FE. The incidence of neurogenic shock in patients
with isolated spinal cord injury in the emergency department. Resuscitation.
2008;76(1):57-62.
22. Mazwi NL, Adeletti K, Hirschberg RE. Traumatic Spinal Cord Injury : Recovery,
Rehabilitation, and Prognosis. Curr Trauma Rep. 2015;1:182–192.

29

Anda mungkin juga menyukai