Anda di halaman 1dari 18

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF Laporan Kasus

FAKULTAS KEDOKTERAN April 2017


UNIVERSITAS PATTIMURA

Tetraparese Akibat Trauma Servikal

Oleh :

Hetri Dema Putri Wulandari

(2016 84 011)

Pembimbing :

dr. Parningotan Yosi Silalahi, Sp.S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2017
PENDAHULUAN

Segala sesuatu yang mengganggu fungsi atau merusak kawasan susunan saraf

disebut lesi. Suatu lesi dapat berupa kerusakan pada jaringan fungsional akibat

perdarahan, trombosis atau emboli, peradangan, degenerasi dan penekanan oleh proses

desak ruang dan sebagainya. Suatu lesi yang melumpuhkan fungsi kawasan yang

didudukinya dikenal sebagai lesi paralitik.1

Susunan neuromuskuler terdiri dari Upper Motor Neuron (UMN) dan Lower

Motor Neuron (LMN). Upper Motor Neuron (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf

motorik yang menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik sampai inti-inti

motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu anterior. Berdasarkan perbedaan

anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi dalam susunan pyramidal dan susunan

ekstrapiramidal. Susunan pyramidal terdiri dari traktus kortikospinal dan traktus

kortikobulbar. Traktus kortikobulbar fungsinya untuk gerakan-gerakan otot kepala dan

leher, sedangkan traktus kortikospinal fungsinya untuk gerakan-gerakan otot tubuh dan

anggota gerak. Sedangkan Lower Motor Neuron (LMN), yang merupakan kumpulan

saraf-saraf motorik yang berasal dari batang otak, pesan tersebut dari otak dilanjutkan

ke berbagai otot dalam tubuh seseorang.2

Motorneuron dengan aksonnya merupakan satu-satunya saluran bagi impuls

motorik yang dapat menggerakkan serabut otot. Bilamana terjadi kerusakan pada

motorneuron, maka serabut otot yang tergabung dalam unit motoriknya tidak dapat
berkontraksi, kendatipun impuls motorik masih dapat disampaikan oleh system

pyramidal dan ekstrapiramidal kepada tujuannya. Kelemahan/kelumpuhan parsial

yang ringan/tidak lengkap atau suatu kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian

gerakan atau gerakan terganggu disebut dengan parese.1

Pada umumnya kelumpuhan UMN melanda sebelah tubuh sehingga dinamakan

hemiparesis, hemiplegia atau hemiparalisis, karena lesinya menduduki kawasan

susunan pyramidal satu sisi. Lesi satu sisi atau hemilesi yang sering terjadi di otak

jarang dijumpai di medulla spinalis. Kelumpuhan UMN akibat lesi di medulla spinalis

pada umumnya berupa tetraplegia atau paraplegia.1

LAPORAN KASUS

Pasien berjenis kelamin laki-laki usia 56 tahun datang ke Rumah Sakit pada

tanggal 10 Maret 2017 dengan keluhan penurunan kesadaran. Keluhan dialami selama

10 menit setelah pasien ditabrak dari arah belakang dan bahu pasien terlindas motor

pada suatu kecelakaan lalu lintas (KLL) yang terjadi sekitar 30 menit sebelum

masuk Rumah Sakit (SMRS). Keluhan disertai muntah 3x SMRS dan 2x saat pasien

MRS, berisi makanan dan darah kehitaman. Saat sadar pasien mengaku tidak dapat

menggerakkan kaki dan tangannya selain itu pasien mengeluhkan nyeri pada daerah

punggung dan sakit kepala. Pasien tidak mengeluhkan sesak maupun kesulitan

bernapas.
Keadaan umum pasien tampak sakit berat, kesadaran komposmentis, gizi kesan

cukup, tanda vital: tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 74x/menit, pernapasan

22x/menit, dan suhu 36,6C. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya vulnus

laseratum regio frontal, lengan bawah dan tungkai bawah dextra. Pada pemeriksaan

neurologis didapatkan GCS: E4V5M6, pupil bulat isokor pada kedua mata, diameter 3

mm, simetris, refleks cahaya normal baik yang langsung maupun tidak langsung.

Pemeriksaan nervus kranialisI XII intak, kekuatan motorik ekstremitas atas: 1/1,

ektremitas bawah: 1/1, refleks fisiologis (biceps, triceps, KPR, APR): hiporefleks,

klonus (-/-) dan refleks Babinski (+/+). Pada status otonom tidak ditemukan

inkontinensia urin karena sudah terpasang kateter urin.

Hasil pemeriksaan laboratorik darah umumnya dalam batas normal, kecuali

kadar ureum (74 mg/dl), kreatinin (1,4 mg/dl), trigliserida (169 mg/dl), LDL (110

mg/dl) yang sedikit meningkat. Pemeriksaan penunjang lainnya yaitu X-foto servikal

AP/lateral.

Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah IVFD RL 20 tetes per menit,

citicolin 2x500mg/IV/hari, ceftriaxone 2x1g/IV/hari, ketorolak 2x30mg/IV/hari,

ranitidine 2 x 1 ampul/IV/hari, drip sohobion 1 ampul/hari dan dulcolax tablet 0-0-2.

Pada pemeriksaan terhadap pasien ditemukan adanya riwayat sakit maag maka

diberikan ranitidine. Pemberian dulcolax pada pasien ini untuk memperlancar defekasi

pasien karena pasien sempat lebih dari 7 hari tidak dapat buang air besar.
DISKUSI

Setiap lesi pada vertebra dapat menyebabkan lesi medula spinalis yang

manifestasi klinisnya bergantung pada level lesi dan perluasannya; dan sangat

bergantung etiologinya. Langkah pertama dalam evaluasi diagnosis penyakit medula

spinalis adalah melokalisasi topografisnya, misalnya menarik kesimpulan level lesi

dari kumpulan defisit neurologis pada pasien; langkah selanjutnya adalah menentukan

etiologi.1

Pada pasien ini sesuai dengan teori telah dilakukan pemeriksaan fisik yang

salah satunya adalah pemeriksaan sensorik untuk menentukan level lesinya, namun

dari pemeriksaan sensorik yang dilakukan tidak dapat disimpulkan secara pasti batas

lesinya karena hasil pemeriksaan sensorik pada pasien ini untuk ekstremitas atas dan

ekstremitas bawah serta badan dalam batas normal. Pemeriksaan sensorik yang

dilakukan pada pasien ini berupa pemeriksaan sensibilitas eksteroseptif (pemeriksaan

rasa nyeri, suhu dan raba), proprioseptif dan juga fungsi kortikal.

Setiap lesi pada vertebra pada regio servikal dan torakal, sampai sejauh

vertebra torakal, menyebabkan terjadinya tanda-tanda UMN (upper motor neuron)

pada ekstremitas; sedangkan lesi pada vertebra lumbosakral menyebabkan terjadinya

tanda-tanda LMN (lower motor neuron) pada ekstremitas bawah. Pada pasien ini dari

anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan belum dapat ditentukan level lesi

yang terjadi pada vertebra servikal maupun torakal, sehingga perlu dilakukan

pemeriksaan tambahan berupa foto servikolumbal untuk melihat kelainan pada


vertebra secara pasti. Tanda-tanda UMN berupa: kelemahan spastik (peningkatan

tonus otot, gangguan kontrol motorik); peningkatan refleks otot instrinsik, terdapatnya

refleks patologi, dan berkurang atau tidak adanya refleks otot ekstrinsik (misalnya

refleks kulit abdomen); tidak ada atrofi otot; dan refleks asimetris bila lesi bersifat

unilateral. Tanda-tanda LMN berupa kelemahan flaksid; berkurang atau tidak adanya

refleks otot intrinsik; atrofi otot.1,2 Pada pasien ini ditemukan adanya tanda-tanda

UMN berupa refleks patologi Babinski +/+, namun justru ditemukan tanda LMN

berupa atrofi otot pada ekstremitas bawah.

Gambaran klinis pasien dengan lesi medula spinalis terdiri dari tanda traktus

dan tanda segmental.2

a. Tanda traktus

Sebuah lesi komplit, yang mengenai semua bagian dari medula spinalis pada

satu level akan memberi tanda:2

Paralisis UMN bilateral dari bagian tubuh di bawah level lesi;

Hilangnya modalitas sensasi bilateral di bawah level lesi;

Hilangnya fungsi komplit dari kandung kemih, usus dan seksual.

Dari penjelasan teori di atas dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini tidak

terdapat tanda traktus dan yang tejadi bukan merupakan lesi komplit dari satu

level medula spinalis, karena paralisis yang terjadi pada ektremitas atas dan

bawah tidak disertai hilangnya modalitas sensasi serta pasien juga memiliki fungsi

kandung kemih dan usus yang normal.


Lesi pada medulla spinalis lebih sering bersifat tidak komplit, dan

kemungkinan pada pasien ini terjadi lesi pada satu level medula spinalis yang

tidak komplit. Lesi yang tidak komplit ini dapat terjadi dalam 2 cara:2

1) Lesinya dapat mengenai semua bagian medula spinalis pada satu level,

tetapi tidak secara total menghentikan semua fungsi traktus ascendens dan

descendens.

Dalam kasus ini, terdapat tanda:

Kelemahan bilateral di bawah level lesi;

Tidak terdapat gangguan fungsi sensorik;

Defek fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi, namun gangguan

ini tidak dapat diketahui dengan pasti karena tidak dilakukan

pemeriksaan rectal touche .

2) Pada level lesi, fungsi satu bagian medula spinalis dapat lebih terkena

dibanding bagian lain, misalnya:2

Hanya satu sisi dari medula spinalis yang terkena pada daerah lesi,

disebut sebagai Brown-Seqard syndrome;

Lesinya mengganggu fungsi kolumna posterior, dengan sedikit

pengaruh di bagian lain sehingga terjadi kehilangan sensasi posisi dan

getar di kedua ekstremitas bawah;

Rusaknya bagian anterior dan lateral dari medula spinalis sehingga

terdapat tanda UMN yaitu konstipasi.


b. Tanda segmental

Tanda segmental dapat berupa gangguan masukan (input) sensorik, aktivitas

refleks, dan keluaran LMN pada level lesi. Tanda ini bisa unilateral, bisa bilateral,

bergantung pada patologi dari penyebabnya. Gejala dan tanda segmental yang

utama di antaranya:2

Nyeri vertebra pada level lesi;

Nyeri, parestesi, atau kehilangan sensorik pada dermatom yang sesuai

(dikarenakan keterlibatan radiks dorsalis atau kornu posterior dari lesi);

Tanda LMN pada miotom yang sesuai (dikarenakan keterlibatan radiks

ventral atau kornu anterior dari lesi);

Hilangnya refleks tendo dalam, jika lengkung refleks yang dapat dinilai

secara klinis ada pada level lesi yang sesuai (misalnya lesi pada medula

spinalis servikal 5/6 menyebabkan kehilangan refleks bisep atau

supinator).

Pada pasien ini ditemukan gejala dan tanda segmental diantaranya:

Pada pasien ini tidak ditemukan kehilangan fungsi sensibilitas. Hal ini

dapat terjadi karena tidak terlibatnya radiks dorsalis atau kornu posterior

dari lesi. Namun, pemeriksaan sensibilitas pada pasien ini belum dapat

dipastikan secara pasti karena dalam melakukan pemeriksaan sensibilitas

terhadap pasien tidaklah mudah karena bergantung dari perasaan penderita

sehingga bersifat subjektif.


Pada pasien ini juga reflex tendon dalam tidak hilang, terlihat dari reflex

KPR dan APR yang masih positif normal.

Lesi medulla spinalis dapat menyebabkan hilangnya persepsi sensorik dan/atau

fungsi otonom, serta paralisis spastik atau flaksid. Sebaliknya, perangsangan neuron

yang abnormal dapat menyebabkan sensasi dan fungsi yang tidak adekuat. Daerah

yang dipengaruhi biasanya mengikuti distribusi dermatom. 3 Tiap lesi di medulla

spinalis yang merusak jaras kortikospinal lateral menimbulkan kelumpuhan UMN

pada otot-otot bagian tubuh yang terletak di bawah tingkat lesi. Lesi yang memotong

melintang (transversal) medulla spinalis pada tingkat servikal, misalnya C5

mengakibatkan kelumpuhan UMN pada otot-otot tubuh yang berada di bawah C5,

yaitu sebagian otot-otot kedua lengan yang berasal dari miotoma C6 sampai miotoma

C8, lalu otot-otot toraks dan abdomen serta segenap muskulatur kedua tungkai.

Kelumpuhan semacam itu dinamakan tetraplegia atau kuadriplegia.4

Lesi transversal yang memotong medulla spinalis pada tingkat torakal atau

tingkat lumbal atas, mengakibatkan kelumpuhan, pada tingkat lesi terjadi kelumpuhan

LMN dan di bawah tingkat lesi terdapat kelumpuhan UMN. Kelumpuhan LMN di

tingkat lesi melanda kelompok otot yang merupakan sebagian kecil dari muskulatur

toraks atau abdomen. Mengingat peranan otot tersebut tidak begitu menonjol, maka

kelumpuhan LMN ditingkat lesi, jika melibatkan sebagian dari muskulatur toraks dan

abdomen, tidak begitu jelas seperti halnya jika kelumpuhan LMN ditingkat lesi itu

melanda sebagian dari muskultur anggota gerak. Tingkat lesi transversal di medulla
spinalis mudah terungkap oleh batas defisit sensorik. Di bawah batas tersebut, tanda-

tanda UMN dapat ditemukan pada kedua tungkai secara lengkap, namun pada toraks

tanda-tanda UMN tidak dapat diungkapkan. Tanda UMN satu-satunya yang dapat

dibangkitkan pada otot abdomen adalah hypertonia. Oleh karena tonus otot abdomen

meningkat maka reflex otot dinding perut meninggi (sedangkan reflex kulit dinding

perut menghilang). Kelumpuhan yang melanda bagian bawah tubuh, yang terlukis di

atas itu dinamakan paraplegia.4

Fraktur kompresi adalah fraktur tersering yang mempengaruhi kolumna vertebra.

Fraktur ini dapat disebabkan oleh kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi

terduduk, osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat lain ke vertebra

kemudian membuat bagian vertebra tersebut mejadi lemah dan akhirnya mudah

mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi akan menjadi lebih

pendek ukurannya daripada ukuran vertebra sebenarnya. Trauma vertebra yang

mengenai medulla spinalis dapat menyebabkan deficit neurologis berupa

kelumpuhan.5

Pengobatan yang diberikan pada pasien ini masih belum sesuai dengan penyebab

spesifik dari penyakit. Lesi karena trauma harusnya diberikan kortikosteroid intravena

(IV) dosis tinggi yang memiliki efek neuroprotektif sedang; kemudian restorasi

alignment dan stabilisasi dengan jalan operasi dan non-operasi. Lesi karena kombinasi

degenerasi subakut medula spinalis dengan pemberian injeksi vitamin B 12. Pemberian

proflaksis untuk ulkus dekubitus dari awal juga harusnya diberikan dengan reposisi

pasien di tempat tidur.


Terdapat empat prinsip dalam manajemen pasien dengan tetraplegia:

1. Perlu diingat bahwa reversibilitas bukan merupakan karakteristik kerusakan

SSP. Penting untuk menegakkan diagnosis dan mengobati penyakit medula

spinalis, dan mengingat bahwa penyembuhan dari lesi medula spinalis

komplit terjadi lambat dan tidak sempurna. Karena itu, waktu (jam)

membuat perbedaan keluaran (outcome) pasien dengan kompresi medula

spinalis.

2. Perawatan pasien untuk mencegah komplikasi yang tidak penting.

Perawatan secara maksimal yang seharusnya didapatkan oleh pasien ini

yaitu perawatan kulit (dengan inspeksi lebih sering, pembebasan dari

tekanan dengan cara mengatur posisi yaitu sering membolak-balik badan,

serta perawatan untuk mencegah rusaknya kulit). Pasien ini sempat

mengalami permasalahan dikulitnya akibat dari perawatan yang kurang

maksimal. Pasien sempat mengalami infeksi bakter pada tempat infusnya

hingga bengkak dan mengeluarkan pus. Perawatan untuk tungkai yang

lemah / paralisis telah dilakukan untuk pasien ini dan sesuai dengan anjuran

yang sebenarnya (dengan pergerakan pasif yang sering dan stoking untuk

mencegah statis vena, trombosis dan emboli paru serta untuk mencegah

kekakuan sendi dan kontraktur; serta latihan untuk otot-otot yang tidak

mengalami paralisis), untuk usus dan kandung kemih yang tidak berfungsi

(dengan kateterisasi, cairan yang adekuat, regulasi diet tinggi serat, laksatif,

supositoria, dan enema).


3. Menegakkan diagnosis, yang mana penting dilakukan teknik pencitraan.

Salah satunya adalah MRI, yang dapat mengungkapkan patologi kompresi

medula spinalis dan kebutuhan akan intervensi bedah saraf. Pemeriksaan

penunjang lain yang dapat dilakukan adalah analisis LCS, studi

elektromiografi (EMG), pemeriksaan hematologi dan vitamin B12 serum.

4. Mengobati kausa spesifik. Untuk penyakit keganasan, dapat dilakukan

dekompresi bedah, pemberian steroid, radioterapi dan kemoterapi.1,2

Bila terjadi fraktur kolumna vertebralis servikal maka dilakukan fiksasi torakal

menggunakan penyanggah leher (collar neck). Selain itu, untuk berbagai penyebab

terjadinya paraparesis maka diperlukan edukasi, dorongan dan keahlian dari perawat,

fisioterapis, ahli gizi, psikolog dan dokter. Pasien-pasien yang demikian juga

memerlukan dukungan emosional dari keluarga dan orang-orang sekitar. Fisioterapi

yang dilakukan berupa fisioterapi pasif untuk mencegah kontraktur sendi dan

fisioterapi aktif untuk menguatkan otot-otot yang tidak mengalami paralisis. 2,6

Berdasarkan kepustakaan, kortikosteroid memiliki efek-efek yang bermanfaat pada

nyeri yang disebabkan oleh metastasis tulang dan kompresi struktur saraf. Lebih

lanjut, kortikosteroid ditunjukkan dapat memperbaiki keluaran (outcome) klinis.

Perbaikan sementara mungkin dihasilkan dari pemberian kortikosteroid yang dapat

meredakan tekanan pada medula spinalis melalui efek anti-edema nya.11 Pada pasien

ini, tatalaksananya masih belum tepat dan tidak spesifik terhadap penyakitnya karena

tidak sesuai dengan teori yang telah dijabarkan di atas, penatalaksanaan untuk pasien
ini hanya mencakup pemberian ketorolak, sohobion, ranitidin dan dulkolax,

penggunaan collar neck untuk fiksasi vertebra servikal disarankan untuk pasien ini

serta fisioterapi.

Obat Teori
Ketorolac Untuk penatalaksanaan nyeri akut sedang s/d berat
dalamjangka pendek (<5 hari), yang membutuhkan analgesic
setingkat opioid.
Farbion Untuk profilaksis, pencegahan dan penyembuhan kekurangan
vit-B1, vit-B6, vit-B12, neuritis dan polyneuritis.
Ranitidine Untuk pasien dengan tukak lambung dan duodenum akut,
refluks esophagitis, keadaan hipersekresi patologis (sindrom
Zolllinger-ellison), hipersekresi pasca bedah
Dulkolax Untuk pasien dengan sembelit, menghilangkan nyeri pada saat
buang air besar.

Faktor usia pasien yang sudah tua, serta tidak dapat dilakukannya intervensi

lanjutan, namun dari hasil pemeriksaan didapatkan pasien tidak ditemukan kehilangan

sensasi apapun di kedua ekstremitas serta badan maka prognosis pasien ini adalah

dubia.

KESIMPULAN

Dilaporkan seorang laki-laki usia 56 tahun dengan diagnosis klinis tetraparese

UMN akibat fraktur kompresi corpus vertebra segmen servikal 5-6, diagnosis topis

corpus vertebra segmen servikal 5-6 dan diagnosis etiologik fraktur kompresi. Terapi

yang diberikan yaitu IVFD RL 20 tetes per menit, drip farbion 2 x 1 ampul per hari,

injeksi ketorolak 1 ampul per intravena per hari, injeksi ranitidin 2 x 1 ampul per
intravena per hari dan dulcolax tablet 0-0-2. Pasien datang ke Rumah Sakit dengan

keluhan penurunan kesadaran setelah mengalami kecelakaan lalu lintas, dan bahu

pasien sempat terlindas motor. Saat sadar pasien mengaku tidak dapat menggerakkan

kaki dan tangannya selain itu pasien mengeluhkan nyeri pada daerah punggung dan

sakit kepala. Pasien tidak mengeluhkan sesak maupun kesulitan bernapas. Saat dirawat

di bangsal saraf, pasien tidak dijumpai retensi urin karena telah terpasang kateter urin

namun pasien meiliki gangguan defekasi.

Empat prinsip dalam manajemen pasien dengan tetraparese yaitu menegakkan

diagnosis dan mengobati penyakit medulla spinalis, perawatan pasien untuk mencegah

komplikasi, dilakukan teknik pencitraan, dan mengobati kausa spesifik. Untuk

memenuhi empat prinsip manajemen tersebut pada pasien ini telah dilakukan

pemeriksaan berupa anamnesis, pemeriksaan fisik serta penunjang untuk menegakkan

diagnosis penyakit pasien, pengaturan posisi dengan cara membolak-balikkan badan

pasien, pergerakan pasif yang sering untuk mencegah kekakuan sendi dan kontraktur;

serta latihan untuk otot-otot yang tidak mengalami paralisis, pencitraan berupa foto

servikotorakal telah dilakukan namun tidak dilakukannya MRI pada pasien ini

sehingga tidak diketahui secara pasti keadaan dari jaringan lunak serta medulla

spinalis dari pasien ini, dan pada pasien ini pengobatan terhadap kausa spesifik tidak

dilakukan karena tidak dapat dilakukannya intervensi lanjutan serta pembedahan.

Faktor usia pasien yang sudah tua, serta tidak dapat dilakukannya intervensi

lanjutan dan pembedahan, namun dari hasil pemeriksaan didapatkan pasien tidak
kehilangan sensasi apapun di kedua ekstremitas serta badan maka prognosis pasien ini

adalah dubia.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mumenthaler M, Mattle H, Taub E. Fundamentals of neurology: an illustrated

guide. New York: Thieme; 2006.

2. Wilkinson I, Lennox G. Essential neurology, 4 th ed. USA: Blackwell

Publishing; 2005.

3. Silbernagl S, Florian L. Teks dan atlas berwarna patofifiologi. Jakarta. EGC.

2012

4. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. 15 th ed. Jakarta: Dian Rakyat.

2012.

5. Sjamsuhidajat R, Wim DJ. Buku ajar ilmu bedah. 3rd ed. Jakarta: EGC. 2013

6. Maccauro G, Spinelli MS, Mauro S, Perisano C, Graci C, Rosa MA. Review

article: physiopathology of spine metastasis. International Journal of Surgical

Oncology, volume 2011, 8 pages.

7. Lee CS, Jung CH. Metastatic spinal tumor. Asian Spine Journal vol. 6, no. 1,

pp 71-87, 2012.

8. Bilsky MH, Lis E, Raizer J, Lee H, Boland P. The diagnosis and treatment of

metastatic spinal tumor. The Oncologist 1999;4:459-469.

9. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan

tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2009.

10. Old JL, Calvert M. Vertebral compression fractures in the elderly. Am Fam

Pysician 2004;69:111-6.

11. Schiff D. Spinal cord compression. Neurol Clin N Am 21 (2003) 67-86.


Kelemahan/kelumpuhan parsial yang ringan/tidak lengkap atau suatu kondisi yang
ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu disebut dengan
parese. Kelemahan adalah hilangnya sebagian fungsi otot untuk satu atau lebih
kelompok otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas bagian yang terkena.
Kelemahan/kelumpuhan yang mengenai keempat anggota gerak disebut dengan
tetraparese. Hal ini diakibatkan oleh adanya kerusakan otak, kerusakan tulang
belakang pada tingkat tertinggi (khususnya pada vertebra cervikalis), kerusakan sistem
saraf perifer, kerusakan neuromuscular atau penyakit otot. kerusakan diketahui karena
adanya lesi yang menyebabkan hilangnya fungsi motorik pada keempat anggota gerak,
yaitu lengan dan tungkai. Penyebab khas pada kerusakan ini adalah trauma (seperti
tabrakan mobil, jatuh atau sport injury) atau karena penyakit (seperti mielitis
transversal, polio, atau spina bifida).

Tetraparese berdasarkan topisnya dibagi menjadi dua, yaitu : Tetrapares spastik

yang terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor neuron (UMN), sehingga

menyebabkan peningkatan tonus otot atau hipertoni dan tetraparese flaksid yang

terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor neuron (LMN), sehingga

menyebabkan penurunan tonus atot atau hipotoni. Tetraparese dapat disebabkan

karena adanya kerusakan pada susunan neuromuskular, yaitu adanya lesi. Ada dua tipe

lesi, yaitu lesi komplit dan inkomplit. Lesi komplit dapat menyebabkan kehilangan
kontrol otot dan sensorik secara total dari bagian dibawah lesi, sedangkan lesi

inkomplit mungkin hanya terjadi kelumpuhan otot ringan (parese) dan atau mungkin

kerusakan sensorik.

Tetraparese merupakan kelemahan pada

Anda mungkin juga menyukai