Oleh :
(2016 84 011)
Pembimbing :
Segala sesuatu yang mengganggu fungsi atau merusak kawasan susunan saraf
disebut lesi. Suatu lesi dapat berupa kerusakan pada jaringan fungsional akibat
perdarahan, trombosis atau emboli, peradangan, degenerasi dan penekanan oleh proses
desak ruang dan sebagainya. Suatu lesi yang melumpuhkan fungsi kawasan yang
Susunan neuromuskuler terdiri dari Upper Motor Neuron (UMN) dan Lower
Motor Neuron (LMN). Upper Motor Neuron (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf
motorik yang menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik sampai inti-inti
motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu anterior. Berdasarkan perbedaan
anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi dalam susunan pyramidal dan susunan
leher, sedangkan traktus kortikospinal fungsinya untuk gerakan-gerakan otot tubuh dan
anggota gerak. Sedangkan Lower Motor Neuron (LMN), yang merupakan kumpulan
saraf-saraf motorik yang berasal dari batang otak, pesan tersebut dari otak dilanjutkan
motorik yang dapat menggerakkan serabut otot. Bilamana terjadi kerusakan pada
motorneuron, maka serabut otot yang tergabung dalam unit motoriknya tidak dapat
berkontraksi, kendatipun impuls motorik masih dapat disampaikan oleh system
yang ringan/tidak lengkap atau suatu kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian
susunan pyramidal satu sisi. Lesi satu sisi atau hemilesi yang sering terjadi di otak
jarang dijumpai di medulla spinalis. Kelumpuhan UMN akibat lesi di medulla spinalis
LAPORAN KASUS
Pasien berjenis kelamin laki-laki usia 56 tahun datang ke Rumah Sakit pada
tanggal 10 Maret 2017 dengan keluhan penurunan kesadaran. Keluhan dialami selama
10 menit setelah pasien ditabrak dari arah belakang dan bahu pasien terlindas motor
pada suatu kecelakaan lalu lintas (KLL) yang terjadi sekitar 30 menit sebelum
masuk Rumah Sakit (SMRS). Keluhan disertai muntah 3x SMRS dan 2x saat pasien
MRS, berisi makanan dan darah kehitaman. Saat sadar pasien mengaku tidak dapat
menggerakkan kaki dan tangannya selain itu pasien mengeluhkan nyeri pada daerah
punggung dan sakit kepala. Pasien tidak mengeluhkan sesak maupun kesulitan
bernapas.
Keadaan umum pasien tampak sakit berat, kesadaran komposmentis, gizi kesan
cukup, tanda vital: tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 74x/menit, pernapasan
22x/menit, dan suhu 36,6C. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya vulnus
laseratum regio frontal, lengan bawah dan tungkai bawah dextra. Pada pemeriksaan
neurologis didapatkan GCS: E4V5M6, pupil bulat isokor pada kedua mata, diameter 3
mm, simetris, refleks cahaya normal baik yang langsung maupun tidak langsung.
Pemeriksaan nervus kranialisI XII intak, kekuatan motorik ekstremitas atas: 1/1,
ektremitas bawah: 1/1, refleks fisiologis (biceps, triceps, KPR, APR): hiporefleks,
klonus (-/-) dan refleks Babinski (+/+). Pada status otonom tidak ditemukan
kadar ureum (74 mg/dl), kreatinin (1,4 mg/dl), trigliserida (169 mg/dl), LDL (110
mg/dl) yang sedikit meningkat. Pemeriksaan penunjang lainnya yaitu X-foto servikal
AP/lateral.
Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah IVFD RL 20 tetes per menit,
Pada pemeriksaan terhadap pasien ditemukan adanya riwayat sakit maag maka
diberikan ranitidine. Pemberian dulcolax pada pasien ini untuk memperlancar defekasi
pasien karena pasien sempat lebih dari 7 hari tidak dapat buang air besar.
DISKUSI
Setiap lesi pada vertebra dapat menyebabkan lesi medula spinalis yang
manifestasi klinisnya bergantung pada level lesi dan perluasannya; dan sangat
dari kumpulan defisit neurologis pada pasien; langkah selanjutnya adalah menentukan
etiologi.1
Pada pasien ini sesuai dengan teori telah dilakukan pemeriksaan fisik yang
salah satunya adalah pemeriksaan sensorik untuk menentukan level lesinya, namun
dari pemeriksaan sensorik yang dilakukan tidak dapat disimpulkan secara pasti batas
lesinya karena hasil pemeriksaan sensorik pada pasien ini untuk ekstremitas atas dan
ekstremitas bawah serta badan dalam batas normal. Pemeriksaan sensorik yang
rasa nyeri, suhu dan raba), proprioseptif dan juga fungsi kortikal.
Setiap lesi pada vertebra pada regio servikal dan torakal, sampai sejauh
tanda-tanda LMN (lower motor neuron) pada ekstremitas bawah. Pada pasien ini dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan belum dapat ditentukan level lesi
yang terjadi pada vertebra servikal maupun torakal, sehingga perlu dilakukan
tonus otot, gangguan kontrol motorik); peningkatan refleks otot instrinsik, terdapatnya
refleks patologi, dan berkurang atau tidak adanya refleks otot ekstrinsik (misalnya
refleks kulit abdomen); tidak ada atrofi otot; dan refleks asimetris bila lesi bersifat
unilateral. Tanda-tanda LMN berupa kelemahan flaksid; berkurang atau tidak adanya
refleks otot intrinsik; atrofi otot.1,2 Pada pasien ini ditemukan adanya tanda-tanda
UMN berupa refleks patologi Babinski +/+, namun justru ditemukan tanda LMN
Gambaran klinis pasien dengan lesi medula spinalis terdiri dari tanda traktus
a. Tanda traktus
Sebuah lesi komplit, yang mengenai semua bagian dari medula spinalis pada
Dari penjelasan teori di atas dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini tidak
terdapat tanda traktus dan yang tejadi bukan merupakan lesi komplit dari satu
level medula spinalis, karena paralisis yang terjadi pada ektremitas atas dan
bawah tidak disertai hilangnya modalitas sensasi serta pasien juga memiliki fungsi
kemungkinan pada pasien ini terjadi lesi pada satu level medula spinalis yang
tidak komplit. Lesi yang tidak komplit ini dapat terjadi dalam 2 cara:2
1) Lesinya dapat mengenai semua bagian medula spinalis pada satu level,
tetapi tidak secara total menghentikan semua fungsi traktus ascendens dan
descendens.
2) Pada level lesi, fungsi satu bagian medula spinalis dapat lebih terkena
Hanya satu sisi dari medula spinalis yang terkena pada daerah lesi,
refleks, dan keluaran LMN pada level lesi. Tanda ini bisa unilateral, bisa bilateral,
bergantung pada patologi dari penyebabnya. Gejala dan tanda segmental yang
utama di antaranya:2
Hilangnya refleks tendo dalam, jika lengkung refleks yang dapat dinilai
secara klinis ada pada level lesi yang sesuai (misalnya lesi pada medula
supinator).
Pada pasien ini tidak ditemukan kehilangan fungsi sensibilitas. Hal ini
dapat terjadi karena tidak terlibatnya radiks dorsalis atau kornu posterior
dari lesi. Namun, pemeriksaan sensibilitas pada pasien ini belum dapat
fungsi otonom, serta paralisis spastik atau flaksid. Sebaliknya, perangsangan neuron
yang abnormal dapat menyebabkan sensasi dan fungsi yang tidak adekuat. Daerah
pada otot-otot bagian tubuh yang terletak di bawah tingkat lesi. Lesi yang memotong
mengakibatkan kelumpuhan UMN pada otot-otot tubuh yang berada di bawah C5,
yaitu sebagian otot-otot kedua lengan yang berasal dari miotoma C6 sampai miotoma
C8, lalu otot-otot toraks dan abdomen serta segenap muskulatur kedua tungkai.
Lesi transversal yang memotong medulla spinalis pada tingkat torakal atau
tingkat lumbal atas, mengakibatkan kelumpuhan, pada tingkat lesi terjadi kelumpuhan
LMN dan di bawah tingkat lesi terdapat kelumpuhan UMN. Kelumpuhan LMN di
tingkat lesi melanda kelompok otot yang merupakan sebagian kecil dari muskulatur
toraks atau abdomen. Mengingat peranan otot tersebut tidak begitu menonjol, maka
kelumpuhan LMN ditingkat lesi, jika melibatkan sebagian dari muskulatur toraks dan
abdomen, tidak begitu jelas seperti halnya jika kelumpuhan LMN ditingkat lesi itu
melanda sebagian dari muskultur anggota gerak. Tingkat lesi transversal di medulla
spinalis mudah terungkap oleh batas defisit sensorik. Di bawah batas tersebut, tanda-
tanda UMN dapat ditemukan pada kedua tungkai secara lengkap, namun pada toraks
tanda-tanda UMN tidak dapat diungkapkan. Tanda UMN satu-satunya yang dapat
dibangkitkan pada otot abdomen adalah hypertonia. Oleh karena tonus otot abdomen
meningkat maka reflex otot dinding perut meninggi (sedangkan reflex kulit dinding
perut menghilang). Kelumpuhan yang melanda bagian bawah tubuh, yang terlukis di
Fraktur ini dapat disebabkan oleh kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi
terduduk, osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat lain ke vertebra
kemudian membuat bagian vertebra tersebut mejadi lemah dan akhirnya mudah
mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi akan menjadi lebih
kelumpuhan.5
Pengobatan yang diberikan pada pasien ini masih belum sesuai dengan penyebab
spesifik dari penyakit. Lesi karena trauma harusnya diberikan kortikosteroid intravena
(IV) dosis tinggi yang memiliki efek neuroprotektif sedang; kemudian restorasi
alignment dan stabilisasi dengan jalan operasi dan non-operasi. Lesi karena kombinasi
degenerasi subakut medula spinalis dengan pemberian injeksi vitamin B 12. Pemberian
proflaksis untuk ulkus dekubitus dari awal juga harusnya diberikan dengan reposisi
komplit terjadi lambat dan tidak sempurna. Karena itu, waktu (jam)
spinalis.
lemah / paralisis telah dilakukan untuk pasien ini dan sesuai dengan anjuran
yang sebenarnya (dengan pergerakan pasif yang sering dan stoking untuk
mencegah statis vena, trombosis dan emboli paru serta untuk mencegah
kekakuan sendi dan kontraktur; serta latihan untuk otot-otot yang tidak
mengalami paralisis), untuk usus dan kandung kemih yang tidak berfungsi
(dengan kateterisasi, cairan yang adekuat, regulasi diet tinggi serat, laksatif,
Bila terjadi fraktur kolumna vertebralis servikal maka dilakukan fiksasi torakal
menggunakan penyanggah leher (collar neck). Selain itu, untuk berbagai penyebab
terjadinya paraparesis maka diperlukan edukasi, dorongan dan keahlian dari perawat,
fisioterapis, ahli gizi, psikolog dan dokter. Pasien-pasien yang demikian juga
yang dilakukan berupa fisioterapi pasif untuk mencegah kontraktur sendi dan
fisioterapi aktif untuk menguatkan otot-otot yang tidak mengalami paralisis. 2,6
nyeri yang disebabkan oleh metastasis tulang dan kompresi struktur saraf. Lebih
meredakan tekanan pada medula spinalis melalui efek anti-edema nya.11 Pada pasien
ini, tatalaksananya masih belum tepat dan tidak spesifik terhadap penyakitnya karena
tidak sesuai dengan teori yang telah dijabarkan di atas, penatalaksanaan untuk pasien
ini hanya mencakup pemberian ketorolak, sohobion, ranitidin dan dulkolax,
penggunaan collar neck untuk fiksasi vertebra servikal disarankan untuk pasien ini
serta fisioterapi.
Obat Teori
Ketorolac Untuk penatalaksanaan nyeri akut sedang s/d berat
dalamjangka pendek (<5 hari), yang membutuhkan analgesic
setingkat opioid.
Farbion Untuk profilaksis, pencegahan dan penyembuhan kekurangan
vit-B1, vit-B6, vit-B12, neuritis dan polyneuritis.
Ranitidine Untuk pasien dengan tukak lambung dan duodenum akut,
refluks esophagitis, keadaan hipersekresi patologis (sindrom
Zolllinger-ellison), hipersekresi pasca bedah
Dulkolax Untuk pasien dengan sembelit, menghilangkan nyeri pada saat
buang air besar.
Faktor usia pasien yang sudah tua, serta tidak dapat dilakukannya intervensi
lanjutan, namun dari hasil pemeriksaan didapatkan pasien tidak ditemukan kehilangan
sensasi apapun di kedua ekstremitas serta badan maka prognosis pasien ini adalah
dubia.
KESIMPULAN
UMN akibat fraktur kompresi corpus vertebra segmen servikal 5-6, diagnosis topis
corpus vertebra segmen servikal 5-6 dan diagnosis etiologik fraktur kompresi. Terapi
yang diberikan yaitu IVFD RL 20 tetes per menit, drip farbion 2 x 1 ampul per hari,
injeksi ketorolak 1 ampul per intravena per hari, injeksi ranitidin 2 x 1 ampul per
intravena per hari dan dulcolax tablet 0-0-2. Pasien datang ke Rumah Sakit dengan
keluhan penurunan kesadaran setelah mengalami kecelakaan lalu lintas, dan bahu
pasien sempat terlindas motor. Saat sadar pasien mengaku tidak dapat menggerakkan
kaki dan tangannya selain itu pasien mengeluhkan nyeri pada daerah punggung dan
sakit kepala. Pasien tidak mengeluhkan sesak maupun kesulitan bernapas. Saat dirawat
di bangsal saraf, pasien tidak dijumpai retensi urin karena telah terpasang kateter urin
diagnosis dan mengobati penyakit medulla spinalis, perawatan pasien untuk mencegah
memenuhi empat prinsip manajemen tersebut pada pasien ini telah dilakukan
pasien, pergerakan pasif yang sering untuk mencegah kekakuan sendi dan kontraktur;
serta latihan untuk otot-otot yang tidak mengalami paralisis, pencitraan berupa foto
servikotorakal telah dilakukan namun tidak dilakukannya MRI pada pasien ini
sehingga tidak diketahui secara pasti keadaan dari jaringan lunak serta medulla
spinalis dari pasien ini, dan pada pasien ini pengobatan terhadap kausa spesifik tidak
Faktor usia pasien yang sudah tua, serta tidak dapat dilakukannya intervensi
lanjutan dan pembedahan, namun dari hasil pemeriksaan didapatkan pasien tidak
kehilangan sensasi apapun di kedua ekstremitas serta badan maka prognosis pasien ini
adalah dubia.
DAFTAR PUSTAKA
Publishing; 2005.
2012
2012.
5. Sjamsuhidajat R, Wim DJ. Buku ajar ilmu bedah. 3rd ed. Jakarta: EGC. 2013
7. Lee CS, Jung CH. Metastatic spinal tumor. Asian Spine Journal vol. 6, no. 1,
pp 71-87, 2012.
8. Bilsky MH, Lis E, Raizer J, Lee H, Boland P. The diagnosis and treatment of
10. Old JL, Calvert M. Vertebral compression fractures in the elderly. Am Fam
Pysician 2004;69:111-6.
yang terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor neuron (UMN), sehingga
menyebabkan peningkatan tonus otot atau hipertoni dan tetraparese flaksid yang
terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor neuron (LMN), sehingga
karena adanya kerusakan pada susunan neuromuskular, yaitu adanya lesi. Ada dua tipe
lesi, yaitu lesi komplit dan inkomplit. Lesi komplit dapat menyebabkan kehilangan
kontrol otot dan sensorik secara total dari bagian dibawah lesi, sedangkan lesi
inkomplit mungkin hanya terjadi kelumpuhan otot ringan (parese) dan atau mungkin
kerusakan sensorik.