Anda di halaman 1dari 112

1

SKENARIO 3
JATUH DARI POHON

Seorang laki-laki usia 45 tahun diantar ke IGD RS dengan keluhan lemah


pada kedua lengan sejak 2 jam yang lalu. Awalnya lemah pada lengan kiri saja,
keluhan yang sama terjadi juga pada lengan kanan. Pasien juga merasakan leher
belakang hingga kedua lengan terasa nyeri dan kesemutan, terutama bila pasien
menekuk lehernya ke belakang. Pasien mengaku keluhan timbul setelah pasien
jatuh dari pohon. Pemeriksaan fisik dalam batas normal. Status neurologis tidak
didapatkan kelainan pada nervus kranialis. Pada pemeriksaan sensibilitas terdapat
gangguan eksteroseptif dan propioseptif, setinggi vertebrae cervicalis 4. kemudian
dokter melakukan penatalaksanaan awal untuk mencegah kondisi semakin parah.

STEP 1
1. Propioseptif : Rasa, Sikap getar, Nyeri dalam (dari struktur
otot) ligament fascia dan os.
2. Ekstroseptif : Rasa raba nyeri dan suhu.
3. Pemeriksaan sensabilitas : Untuk menilai kepekaan perasaan kemampuan
atau mengenali.

STEP 2
1. a. Bagaimana mekanisme keluhan pada pasien dihubugkan dengan riwayat
terjatuh dari pohon?
b. Mengapa awalnya lemah pada tangan kiri saja dan diikuti dengan lengan
kanan?
c. Mengapa nyeri terutama dirasakan bila pasien menekuk lehernya?
d. Bagaimana hubungan antara cervicalis 4 dan keluhan pasien?
2. Bagaimana diagnosis pada kasus tersebut?
3. Bagaimana pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sesuai kasus?
4. Bagaimana penatalaksanaan awal pada kasus tersebut?
2

STEP 3
1. a. Cedera karena jatuh dari pohon lalu kerusakan vertebra lalu kerusakan
medspin lalu medspin mengalami trauma.
b. Kerusakan jalur sympathetic descending lalu terputusnya jaras saraf
medulla spinalis lalu injurt complete /incomplete lau tetra plegi, paraplegi
lalu mobiltas fisik terganggu.
c. Penyebab nyeri: terjadi cedera medspin lalu terjadi penurunan darah ke
otak lalu penurunan kesadaran terjadi nyeri
d. Kesemutan : akibat penekanan dari serabut saraf sensorik lalu
diakibatkan menipisnya selubung myelin pada saraf
Efek trauma meliputi fraktur dan dislokasi mengakibatkan timbulnya lesi
pada medulla spinalis
2. a. Gejala klinis : Nyeri pada leher belakang, paraplegi, paralisis motorik dan
sensorik, penurunan tonus dan vasomotor dan penurunan fungsi
pernapasan.
b. Riwayat Penyakit Sekarang : Lokasi kelemahan, paraplegia atau lainnya,
gejala semakin parah atau tidak, obat 2 kali untuk menurunkan gejala,
nyeri menjalar atau tidak, apakah ada keluhan pada bab dan bak,
gangguan fungsi seksual
c. Riwayat Penyakit Dahulu : Trauma,dm,alergi dan osteoarthritis
3. a. Pemeriksaan Fisik : Penilaian ABC, GCS, TTV
b. Pemeriksaan khusus : motorik, sensorik, refleks fisiologis, refleks
patologis.
c. Diagnosis banding :
1) Complete syndrome : multilevel dan unilevel
2) Incomplete syndrome :
a) Central Cord Syndrome
b) Anterior Cord Syndrome
c) Posterior Cord Syndrome
d) Brown Sequard Syndrome
e) Conus Medullary Syndrome
f) Cedera Cauda Equine Complete
3

g) Cedera Cauda Equine Incomplete


d. Pemeriksaan Penunjang : MRI, foto polos vertebrae, CT Scan,
myelografi
e. Penatalaksanaan : Focus utama mempertahankan usaha nafas, mencegah
syok, imobilisasi leher, mempertahankan tekanan dan pernafasan,
stabilisasi leher, untuk mencegah komplikasi.

STEP 4
1. Cedera medulla spinalis lalu herniasi saraf.
2. Pendarahan pada sumsum tulang lalu perpindahan dari intraseluler ke
ekstraselular.
3. Reaksi peradangan : aktifnya bradikinin sehingga timbulnya nyeri
C5 : Penurunan hasil heart rate
C4-C7 : Blok saraf motorik ekstremitas
T1-T12 : Peningakatan suhu tubuh mendadak
S2-S4 : Penis ereksi (disfungsi seksual)
S2-S3 : Inkontinesia defekasi
L1-l3 : Hilangnya fungsi motorik pelvis serta tungkai ,hilangnya sensasi
dari abdomen bagian bawah dan tungkai tidak terkontrol
Trauma medspin lalu rusak jaringan saraf lalu timbul nyeri

UMN LMN
Tonus Hipertonus Hipotonus
Atrofi - +
Reflex fisio Naik Turun
Refleksi + -

Kelemahan UMN,lesi medula spinalis kerusakan bisa berupa jaringan sca .


tekanan dari vertebra / diskus intervertebralis.
Kelemahan LMN,lesi yang berpengaruh pada serabut saraf dari kornu anterior
medulla spinalis ke otot.
4

Gejala klinis : Nyeri pada leher belakang, paraplegi, paralisis motorik dan
sensorik, penurunan tonus dan vasomotor, penurunan fungsi pernapasan
Riwayat Penyakit Sekarang : Lokasi kelemahan, paraplegi atau lainya, gejala
semakin parah atau tidak, obat 2 kali untuk menurunkan gejala, nyeri menjalar
atau tidak, apakah ada keluhan pada BAB dan BAK dan gangguan fungsi seksual.
Riwayat Penyakit Dahulu : Trauma, Diabetes Melitus, Alergi dan
Osteoarthritis
Complete Syndrome, adanya paraplegi dan tetraplegia
Incomplete Syndrome :
1) Central Cord Syndrome, hilangnya kekuatan motorim lebih banyak pada
ekstremitas atas disbanding bawah
2) Anterior Cord Syndorome, ditandai dengan paraplegi dan kehilangan
sensorik disosiasi dengan kehilangan sensasi nteri dan suhu
3) Posterior Cord Syndrome, terjadi karena kompresi atau kerusakan pada
arteri spinalis anterior
4) Brown Sequard Syndrome, cedera akibat trauma corda spinalis disebabkan
oleh tumor pada korda spinalis
Trauma iskemik :
1) Myelopati,penekanan pada medula spinalis dan lesi ekstradural
2) Radikulopati,nyeri menjalar dari atas ke bawah
3) LBP, nyeri di punggung bawah menjalar
Tatalaksana awal : Mencegah syok, stabilitasi leher, imobilisasi leher lalu
dengan meletakan pasien supine dengan penggunaan colarr neck
Terapi utama :
1) Metilprednisolon 30 mg/k untuk memperbaiki aliran darah dan
memperbaiki kalsium ekstrasel
2) Dopamine apabila terjadi hipertensi
3) Cairan intravena untuk kecurigaan trauma spinal syok neurogenik, terjadi
pemberian vasopresor yaitu dopamine, adrenalin, infus metilpridnisolon
terus menerus selama 23 jam dosis 5,4 mg/kgbb/jam
5

MIND MAP

Etiologi

Patofisiologi

Manifestasi
Klinis

CEDERA
MEDULLA Diagnosis Diagnosis Kerja
SPINALIS

Pemeriksaan Diagnosis
Penunjang Banding

Tata Laksana
dan KIE

Komplikasi

STEP 5
1. Incomplete Syndrome (Brown Sequard Syndrome, Syndrome Spinalis
Central, Syndrome Spinalis Anterior, dan Syndrome Spinalis Posterior)
2. Periodic Paralisis
3. Myestenia Gravis
4. GBS
5. Traumatic Brain Injury
6. Subarachnoid Hemorrage
7. Acute Ischemic Stroke
8. Spontaneous Intracerebral Hemorrhage

STEP 6
(Belajar Mandiri)
6

STEP 7

1. INCOMPLETE SYNDROME
A. BROWN SEQUARD SYNDROME
DEFINISI
Brown-Séquard Syndrome adalah suatu kondisi neurologis yang
ditandai dengan kehilangan fungsi motorik, proprioseptif dan rasa getar
ipsilateral akibat disfungsi traktus kortikospinal dan kolumna dorsalis,
disertai dengan kehilangan sensasi nyeri dan suhu kontralateral sebagai akibat
dari disfungsi traktus spinothalamikus.(1)
Penyebab paling sering dari Brown-Séquard Syndrome adalah cedera
akibat trauma korda spinalis. Brown-Séquard Syndrome dapat juga
disebabkan tumor pada korda spinalis, trauma (misalnya pada pungsi di leher
dan tulang belakang), iskemia (pada obstruksi pembuluh darah) serta infeksi
atau inflamasi seperti tuberkulosis atau multiple sclerosis. Herniasi discus
cervicalis yang disebabkan Brown-Séquard Syndrome merupakan kasus yang
jarang.(1)
Brown-Séquard Syndrome disebut juga Brown-Séquard’s hemiplegia
dan Brown-Séquard’s Paralysis.(1)
Brown-Séquard Syndrome didefinisikan sebagai sebuah lesi
incomplete pada korda spinalis yang ditandai dengan paralisis upper motor
neuron ipsilateral dan kehilangan sensasi proprioseptif dengan kehilangan
sensasi rasa sakit dan suhu kontralateral.(1)

ETIOLOGI
Brown-Séquard Syndrome dapat disebabkan oleh segala macam
mekanisme yang mengakibatkan kerusakan pada satu sisi korda spinalis.
Penyebab paling sering adalah cedera akibat trauma, sering juga akibat
mekanisme penetrasi seperti tikaman atau tembakan pistol. (1)
Beberapa penyebab Brown-Séquard Syndrome lainnya:
1) Tumor korda spinalis, metastasis atau intrinsic
2) Trauma, tajam maupun tumpul
3) Penyakit degeneratif seperti herniasi discus dan spondilosis servikal
4) Iskemia
7

5) Infeksi atau inflamasi yang disebabkan oleh :


a) Meningitis
b) Empyema
c) Herpes zoster
d) Herper simplex
e) Myelitis
f) Tuberkulosis
g) Syphilis
h) Multiple sclerosis
6) Perdarahan, termasuk spinal subdural atau epidural dan hematomyelia. (1)

EPIDEMIOLOGI
Angka insiden Brown-Séquard Syndrome di Amerika Serikat tidak
diketahui, begitu juga di seluruh dunia. Tetapi, insiden cedera spinal di
Amerika Serikat 11.000 kasus per tahun dan 2-4 % dari kasus tersebut
disertai Brown-Séquard Syndrome. Angka prevalensi cedera spinal di
Amerika Serikat mencapai 247.000.(1)
Angka kematian 5,7% jika tidak ada tindakan operasi dan 2,7% jika
disertai intervensi operasi.(1)
Angka kesakitan dapat terjadi pada setiap cedera spinal. Komplikasi
yang paling sering adalah ulkus peptikum, pneumonia, infeksi saluran kemih,
deep-vein thrombosis, emboli pulmonal dan infeksi pasca operasi.(1)
Berdasarkan ras 70,1 % kasus Brown-Séquard Syndrome terjadi pada
populasi kulit putih, 19,6% terjadi pada populasi Afro-Amerika, 1,2% pada
populasi Asia, 1,3% pada populasi Indian-Amerika dan 7,8% pada ras lain.(1)
Usia yang paling sering terkena adalah 16-30 tahun, dan usia paling
sering adalah diatas 30 tahun.(1)

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dari Brown-Séquard Syndrome adalah kerusakan traktus
korda spinalis asenden dan desenden pada satu sisi korda spinalis. Serabut
motorik dari traktus kortikospinal menyilang pada pertemuan antara medula
dan korda spinalis. Kolumna dorsalis asenden membawa sensasi getar dan
posisi ipsilateral terhadap akar masuknya impuls dan menyilang diatas korda
8

spinalis di medulla. Traktus spinotalamikus membawa sensasi nyeri, suhu dan


raba kasar dari sisi kontralateral tubuh. Pada lokasi terjadinya cedera spinal,
akar saraf dapat terkena.(1)

Gambar 1. Gambaran Brown-Séquard Syndrome pada Medulla Spinalis.(1)

GEJALA KLINIS
Brown-Séquard Syndrome ditandai dengan paresis yang asimetris disertai
hypalgesia yang lebih jelas pada sisi yang mengalami paresis. Brown-Séquard
Syndrome murni sering berhubungan dengan hal-hal berikut :(1)
1) Gangguan traktus kortikospinal lateralis :
a) Paralisis spastic ipsilateral dibawah letak lesi
b) Tanda Babinski positif ipsilateral dari letak lesi
c) Refleks patologis dan tanda Babinski positif (mungkin tidak didapatkan
pada cedera akut).(1)
2) Gangguan kolumna alba posterior : berkurangnya sensasi taktil untuk
diskriminasi, rasa getar dan posisi ipsilateral dibawah letak lesi. (1)
3) Gangguan traktus spinotalamikus lateralis : berkurangnya sensasi nyeri
dan sensasi suhu kontralateral. Hal ini biasanya terjadi pada 2-3 segmen
dibawah letak lesi.(1)

DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Diagnosis banding Brown-Séquard Syndrome antara lain fraktur
cervical, multiple sclerosis, infeksi korda spinalis, cedera korda spinalis,
9

stroke akibat iskemik, poliomielitis akut, Guillain-Barre Syndrome,


post-traumatic syringomielia.(1)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis Brown-Séquard Syndrome ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan gejala klinis. Pemeriksaan laboratorium tidak terlalu
diperlukan untuk mengevaluasi kondisi pasien tetapi sangat membantu
dalam mengikuti perjalanan penyakit pasien. Pemeriksaan laboratorium
dapat berguna pada Brown-Séquard Syndrome yang disebabkan keadaan
non traumatik seperti infeksi atau neoplasma.(1)
2) Pemeriksaan Radiologis :(1)
a) Foto polos spinal dapat menggambarkan cedera tulang yang disebakan
trauma tajam maupun tumpul.
b) Pemeriksaan MRI menunjukkan luasnya cedera korda spinalis dan ini
sangat membantu untuk membedakannya dengan penyebab non
traumatik.
c) CT_Myelogram dapat membantu jika MRI dikontraindikasikan atau
tidak tersedia.(1)
3) Pemeriksaan lain : Pemeriksaan Bakteri Tahan Asam (BTA) dapat
dilakukan jika dicurigai disebabkan oleh tuberkulosis. (1)

PENATALAKSANAAN
Pasien dengan Brown-Séquard Syndrome akibat trauma perlu di
evaluasi kemungkinan adanya cedera lain, seperti hal nya penderita trauma.
Evaluasi lain dapat meliputi :(1)
1) Pemasangan kateter urin
2) Imobilisasi
3) Pemasangan naso-gastric tube
4) Imobilisasi servikal, vertebra dorsal bawah, dan imobilisasi dengan hard
collar jika terjadi cedera servikal.
5) Pasien dengan Brown-Séquard Syndrome mengalami kehilangan daya
sensasi. Untuk mengetahui adanya kemungkinan cedera intraabdominal
dapat dilakukan CT-scan atau peritoneal lavage.(1)
10

Pemberian medikamentosa (farmakoterapi) bertujuan untuk mencegah


komplikasi. Banyak penelitian menunjukkan penyembuhan yang lebih baik
pada penderita yang diberikan steroid dosis tinggi pada awal pengobatan.(1)

Tabel 1. Obat Kortikosteroid.(1)


Nama Obat Methylprednisolon (Solu-Medrol, Depo-Medrol)
Meningkatkan inflamasi dengan menekan leukosit
polimorfonuklear dengan meningkatkan permeabilitas kapiler
Dosis Dewasa 30 mg/ KgBB IV bolus dalam 15 menit
dilanjutkan 5,4 mg/KgBB/jam dalam infus 23 jam
(harus dilakukan kurang dari 8 jam post trauma)
Kontraindikasi Riwayat alergi: infeksi virus, bakteri atau tuberkulosis kulit
Interaksi Obat Penggunaan dengan digoxin dapat meningkatkan kadar toksisitas
digitalis, peningkatan kadar estrogen dapat meningkatkan
fenobarbital, fenitoin dan rifampin jika digunakan bersama.
Perhatian Secara perlahan dapat meningkatkan kejadian infeksi dan
perdarahan saluran cerna, komplikasi lain : hiperglikemia, edema,
osteonecrosis, ulkus peptikum, hipokalemia, osteoporosis,
euphoria, psikosis, gangguan tumbuh kembang, miopati dan
infeksi.

KOMPLIKASI
Dapat terjadi komplikasi yang berhubungan dengan cedera spinal. (1)

PROGNOSIS
Prognosis untuk Brown-Séquard Syndrome kurang baik dan
tergantung dari penyebabnya. Penatalaksanaan yang dini dengan steroid dosis
tinggi telah menunjukkan keuntungan.(1)
11

B. POSTERIOR CORD SYNDROME


DEFINISI
Posterior cord syndrom terjadi pada bagian belakang spinal cord. Posterior
cord syndrome disebut juga sebagai contusio cervicalis posterior. Posterior cord
syndrome sangat jarang ditemukan pada tipe incomplete spinal cord injury.(1)

Gambar 2. Daerah cidera pada tipe posterior cord syndrome.(1)

PATOFISIOLOGI
Posterior cord syndrome terjadi bila sebuah objek ditekan ke bagian
belakang spinal cord. Posterior cord syndrome juga dihubungkan dengan cedera
hiperekstensi servical.(1)

Gambar 3. Cidera Hiperekstensi.(1)


Hiperekstensi jarang terjadi pada daerah torakolumbal terapi sering
ditemukan pada leher, pukulan pada muka atau dahi akan memaksa kepala ke
12

belakang dan tidak ada yang menyangga oksiput hingga kepala membentur bagian
atas punggung. Ligamen longitudinal anterior dan diskus dapat rusak. Riwayat
memar pada muka atau laserasi sering menunjukkan mekanisme cedera.
Pemeriksaan sinar x tidak memperhatikan fraktur tetapi film yang luas
memperlihatkan celah diantara bagian depan kedua corpus vertebrae. Cedera ini
stabil pada posisi netral dimana cedera ini harus dipertahankan dengan ban leher
selama 6 minggu.(1)
Disebutkan bahwa posterior cord syndrome terjadi karena kompresi atau
kerusakan pada arteri spinal posterior. Sesuai dengan asas – asas umum
vaskularisasi susunan saraf pusat, arteri spinalis posterior yang merupakan suatu
arteri terminal (end artery) dalam arti fungsional yang berarti penyumbatan
pembuluh darah tersebut dapat menimbulkan degenerasi jaringan saraf yang
dilayaninya (dalam hal ini bagian posterior medula spinalis), oleh karena tidak
dapat terjadi pertumbuhan dan perkembangan suatu peredaran darah kolateral
secara efektif dan efisien. Arteri spinalis posterior merupakan cabang langsung
dari arteria vertebrales yang hanya terlihat jelas pada segmen servikal bagian
kranial atau langsung memperkuat plexus pialis setempat.(1)

Gambar 4. Vaskularisasi medula spinalis.(1)


13

Secara klinis pasien memiliki fungsi spinotalamikus yang masih utuh tetapi
kehilangan fungsi traktus kortikospinalis dan posterior column. Pada posterior
column terdapat fasciculus dorsalis. Fasciculus dorsalis terdiri atas fasciculus
gracilis (Goll) dan fasciculus cuneatus (Burdach). Fascicullus ini berfungsi
menghantarkan impuls raba spesifik diskriminatif, propioseptif dan kinestetik ke
talamus dan akhirnya mencapai korteks serebri. Reseptor rasa raba spesifik
terdapat pada corpusculum Meissner. Impuls – impuls proprioseptif timbul akibat
rangsangan pada reseptor di dalam otot lurik, tendon, sendi, atau capsula
articularis. Impuls ini selain berfungsi propriosepsi (tanpa disadari) juga
memberikan keterangan – keterangan kepada individu yang bersangkutan tentang
posisi dan pergerakan berbagai bagian tubuh (kinestesi). Serat yang menyusun
fasciculus dorsalis merupakan akson dari sel neuron besar unipolar berselubung
myelin yang tebal. Serat ini mengalami bifurcatio (percabangan), satu cabang
utama yang panjang berjalan ke arah kranial dan satu canbang lainnya berakhir
dalam substansia grisea setempat. Cabang-cabang yang panjang ini berkumpul
membentuk fasciculus greacilis dan fasciculus cuneatus.(1)

Gambar 5. Pembentukan dan penjelasan fasciculus dorsalis.(2)


14

GEJALA KLINIS
Pasien biasanya tetap memiliki kekuatan otot yang masih utuh dan sensasi
suhu dan nyeri, tetapi kesulitan dalam mengkoordinasikan alat gerak. Tidak ada
sensasi getaran getaran atau sensasi posisi. Propriosepsi menghilang karena
kerusakan pada dorsal column. (1)
Berjalan sangat sulit oleh karena kehilangan sensasi getaran. Pada situasi
ini pasien harus melihat ke kakinya untuk memastikan bahwa kakinya berada
pada posisi yang tepat sehingga pasien tidak akan jatuh, sumber lain menyebutkan
bahwa posterior cord syndrome dapat menimbulkan gejala nyeri dan parestesia
(sering bersifat membakar) pada leher, lengan atas, dada dan timbulnya gejala
ataksia berat. (1)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang disarankan meliputi pemeriksaan laboratorik
darah dan pemeriksaan radiologik, dianjurkan 3 posisi standar ( antero -
posterior, lateral, odontoid) untuk vertebra servikal, serta posisi AP dan lateral
untuk vertebra torakhal dan lumbal. Jika tidak menunjukkan kelainan radiologik,
pemeriksaan lanjutan CT-Scan dan MRI. MRI merupakan alat diagnostik yang
paling baik untuk mendeteksi lesi medula oblongata akibat cidera/trauma. (1)

PENATALAKSANAAN
Diberikan Metilprednisolon 30 mg/kg secara bolus intravena, dilakukan
pada saat kurang dari 8 jam setelah cedera. Jika terapi tersebut dapat dilakukan
pada saat kurang dari 3 jam setelah cedera, terapi tersebut dianjurkan dengan
metilprednisolon intravena kontinu dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 48 jam
kemudian.(1)
Mekanisme kerja metilprednisolon ialah menurunkan respon inflamasi
dengan menekan respon inflamasi dengan menekan migrasi netrofil dan
menghambat peningktatan permeabilitas veskular. Metilprednisolon menghambat
kerja lipid peroksidase dan hidrolisis sehingga dapat menghambat destruksi
membran sel. Kerusakan membran sel mencapat puncak sekitar 8 jam oleh karena
itu, metilprednisolon harus diberikan dalam rentang waktu tersebut. (1)
15

C. CENTRAL CORD SYNDROME


DEFINISI
Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih banyak pada
ekstremitas atas dibandingkan dengan ekstremitas bawah, dengan kehilangan
sensorik yang bervariasi. Biasanya sindrom ini terjadi setelah adanya trauma
hiperekstensi pada pasien yang telah mengalami kanalis stenosis servikal
sebelumnya. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat jatuh kedepan dengan
dampak pada daerah wajah. Dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur tulang
servikal atau dislokasi.(3)

Gambar 6. Central Cord Syndrome.(3)

Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih


prominen pada ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah. Pemulihan fungsi
ekstremitas bawah biasanya lebih cepat, sementara pada ekstremitas atas
(terutama tangan dan jari) sangat sering dijumpai disabilitas neurologic
permanen.(3)
Hal ini terutama disebabkan karena pusat cedera paling sering adalah setinggi
C4-C5 dengan kerusakan paling hebat di medulla spinalis C6 dengan lesi
LMN.(3)
16

D. ANTERIOR CORD SYNDROME


Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan kehilangan sensorik disosiasi
dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu. Fungsi kolumna posterior (posisi,
vibrasi, dan tekanan dalam) tetap bertahan. Biasanya anterior cord syndrome
disebabkan infark pada daerah medulla spinalis yang diperdarahi oleh arteri
spinalis anterior. Prognosis sindrom ini paling buruk dibandingkan cedera
incomplete lainnya. Kehilangan sensasi nyeri dan suhu pada level dibawah lesi
tetapi sensoris terhadap raba, tekanan, posisi, dan getaran tetap baik. (3)

2. PERIODIK PARALISIS
DEFINISI
Hipokalemia periodik paralise adalah kelainan yang ditandai dengan kadar
potassium (kalium) yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat serangan,
disertai riwayat episode kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal. Periodik
paralisis merupakan kelainan pada membran yang sekarang ini dikenal sebagai
salah satu kelompok kelainan penyakit chanellopathies pada otot skeletal.
Kelainan ini dikarakteristikkan dengan terjadinya suatu episodik kelemahan
tiba-tiba yang disertai gangguan pada kadar kalium serum. Periodik paralisis ini
dapat terjadi pada suatu keadaan hiperkalemia atau hipokalemia. Periodik paralisis
Hipokalemi (HypoPP) merupakan sindrom klinis yang jarang terjadi tetapi
berpotensial mengancam jiwa. Insidensinya yaitu 1 dari 100.000.HypoPP banyak
terjadi pada pria daripada wanita dengan rasio 3-4. Dengan onset pada dekade
pertama, biasanya sebelum 16 tahun, dan jarang sesudah usia 25 tahun. Sindrom
paralisis hipokalemi ini disebabkan oleh penyebab yang heterogen dimana
karakteristik dari sindroma ini ditandai dengan hipokalemi dan kelemahan
sistemik yang akut. Kebanyakan kasus terjadi secara familial atau disebut juga
hipokalemi periodik paralisis primer.(4)

EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian adalah sekitar 1 diantara 100.000 orang, pria lebih sering dari
wanita dan biasanya lebih berat. Usia terjadinya serangan pertama bervariasi dari
17

1-20 tahun, frekuensi serangan terbanyak di usia 15-35 tahun dan kemudian
menurun dengan peningkatan usia.(4)

ETIOLOGI
Hipokalemia periodik paralisis biasanya disebabkan oleh kelainan genetik
otosomal dominan. Hal lain yang dapat menyebabakan terjadinya hipokalemia
periodik paralisis adalah tirotoksikosis.(4)
Penyebab lain hipokalemia meliputi :(4)
1) Peningkatan ekskresi (atau kerugian) dari kalium dari tubuh Anda.
2) Beberapa obat dapat menyebabkan kehilangan kalium yang dapat
menyebabkan
3) Hipokalemia. Obat yang umum termasuk diuretik loop (seperti
Furosemide). Obat lain termasuk steroid, licorice, aspirin, dan antibiotik
tertentu.
4) Ginjal (ginjal) disfungsi - ginjal tidak dapat bekerja dengan baik karena suatu
kondisi yang disebut Asidosis Tubular Ginjal (RTA). Ginjal akan
mengeluarkan terlalu banyak kalium. Obat yang menyebabkan RTA termasuk
Cisplatin dan Amfoterisin B.
5) Kehilangan cairan tubuh karena muntah yang berlebihan, diare, atau
berkeringat.
6) Endokrin atau hormonal masalah (seperti tingkat aldosteron meningkat)
7) Aldosteron adalah hormon yang mengatur kadar potasium. Penyakit tertentu
dari sistem endokrin, seperti aldosteronisme, atau sindrom Cushing, dapat
menyebabkan kehilangan kalium.
8) Kurangnya diet asupan kalium.
9) Adapun penyebab lain dari timbulnya penyakit hipokalemia yaitu muntah
berulang-ulang dan diare kronik dan hilang melalui kemih (mineral kortikoid
berlebihan obat-obat diuretik).(4)
18

PATOFISIOLOGI
Kalium adalah kation utama cairan intrasel. Kenyataannya 98 % dari
simpanan tubuh (3000 - 4000 mEq) berada didalam sel dan 2 % sisanya (kira-kira
70 mEq) terutama dalam pada kompetemen ECF. Kadar kalium serum normal
adalah 3,5-5,5 mEq/L dan sangat berlawanan dengan kadar di dalam sel yang
sekitar 160 mEq/L. Kalium merupakan bagian terbesar dari zat terlarut intrasel,
sehingga berperan penting dalam menahan cairan di dalam sel dan
mempertahankan volume sel. Kalium ECF, meskipun hanya merupakan bagian
kecil dari kalium total, tetapi sangat berpengaruh dalam fungsi neuromuskular.
Perbedaan kadar kalium dalam kompartemen ICF dan ECF dipertahankan oleh
suatu pompa Na-K aktif yang terdapat dimembran sel.(5)
Rasio kadar kalium ICF terhadap ECF adalah penentuan utama potensial
membran sel pada jaringan yang dapat tereksitasi, seperti otot jantung dan otot
rangka. Potensial membran istirahat mempersiapkan pembentukan potensial aksi
yang penting untuk fungsi saraf dan otot yang normal. Kadar kalium ECF jauh
lebih rendah dibandingkan kadar di dalam sel, sehingga sedikit perubahan pada
kompartemen ECF akan mengubah rasio kalium secara bermakna. Sebaliknya,
hanya perubahan kalium ICF dalam jumlah besar yang dapat mengubah rasio ini
secara bermakna. Salah satu akibat dari hal ini adalah efek toksik dari
hiperkalemia berat yang dapat dikurangi kegawatannya dengan meingnduksi
pemindahan kalium dari ECF ke ICF. Selain berperan penting dalam
mempertahankan fungsi neuromuskular yang normal, kalium adalah
suatu kofaktor yang penting dalam sejumlah proses metabolik. Homeostasis
kalium tubuh dipengaruhi oleh distribusi kalium antara ECF dan ICF, juga
keseimbangan antara asupan dan pengeluaran. Beberapa faktor hormonal dan non
hormonal juga berperan penting dalam pengaturan ini, termasuk aldosteron,
katekolamin, insulin, dan variabel asam-basa.(5)
Pada orang dewasa yang sehat, asupan kalium harian adalah sekitar 50 - 100
mEq. Sehabis makan, semua kalium diabsorpsi akan masuk kedalam sel dalam
beberapa menit, setelah itu ekskresi kalium yang terutama terjadi melalui ginjal
akan berlangsung beberapa jam. Sebagian kecil akan diekskresikan melalui
keringat dan feses. Dari saat perpindahan kalium kedalam sel setelah makan
19

sampai terjadinya ekskresi kalium melalui ginjal merupakan rangkaian


mekanisme yang penting untuk mencegah hiperkalemia yang berbahaya. Ekskresi
kalium melalui ginjal dipengaruhi oleh aldosteron, natrium tubulus distal dan laju
pengeluaran urine. Sekresi aldosteron dirangsang oleh jumlah natrium yang
mencapai tubulus distal dan peningkatan kalium serum diatas normal, dan
tertekan bila kadarnya menurun. Sebagian besar kalium yang di filtrasikan oleh
glomerolus akan di reabsorpsi pada tubulus proksimal.(5)
Aldosteron yang meningkat menyebabkan lebih banyak kalium yang
terekskresi kedalam tubulus distal sebagai penukaran bagi reabsorpsi natrium atau
H+. Kalium yang terekskresi akan diekskresikan dalam urine. Sekresi kalium
dalam tubulus distal juga bergantung pada arus pengaliran, sehingga peningkatan
jumlah cairan yang terbentuk pada tubulus distal (poliuria) juga akan
meningkatkan sekresi kalium. Keseimbangan asam basa dan pengaruh hormon
mempengaruhi distribusi kalium antara ECF dan ICF. Asidosis cenderung untuk
memindahkan kalium keluar dari sel, sedangkan alkalosi cenderung memindahkan
dari ECF ke ICF. Tingkat pemindahan ini akan meingkat jika terjadi gangguan
metabolisme asam-basa, dan lebih berat pada alkalosis dibandingkan dengan
asidosis.(5)
Beberapa hormon juga berpengaruh terhadap pemindahan kalium antara ICF
dan ECF. Insulin dan epinefrin merangsang perpindahan kalium ke dalam sel.
Sebaliknya, agonis alfa-adrenergik menghambat masuknya kalium kedalam sel.
Hal ini berperan penting dalam klinik untuk menangani ketoasidosis diabetik.
Dasar fisiologis kelemahan otot flaksid adalah tidak adanya eksitabilitas membran
otot (yakni, sarkolema). Perubahan kadar kalium serum bukan defek utama pada
PP primer.(5)

GEJALA KLINIS
Semua Pp dicirikan oleh kelemahan periodik. Kekuatan normal diantara
serangan. Kelemahan yang menetap bisa berkembang kemudian dalam beberapa
bentuk. Paling banyak pasien dengan PP primer berkembang gejala sebelum
dekade ketiga.(6)
20

Hiperkalemik periodik paralisis onset pada umur kurang dari 10 tahun. Pasien
biasanya menjelaskan suatu rasa berat dan kekakuan pada otot. Kelemahan
dimulai pada paha dan betis, yang kemudian menyebar ke tangan dan leher.
Predominan kelemahan proksimal otot-otot distal mungkin bisa terlibat setelah
latihan yang melelahkan. Pada anak, suatu lid lag myotonik (kelambatan kelopak
mata atas saat menurunkan pandangan) bisa menjadi gejala awal. Paralisis
komplet jarang dan masih ada sedikit sisa gerakan. Keterlibatan otot napas jarang.
Serangan terakhir kurang dari 2 jam dan pada sebagian besar kasus, kurang dari 1
jam. Kelemahan bisa bertingkat mulai dari kelemahan sepintas pada sekelompok
otot yang terisolasi sampai kelemahan umum yang berat. Serangan berat dimulai
pada pagi hari, sering dengan latihan yang berat atau makan tinggi karbohidrat
pada hari sebelumnya. Pasien bangun dengan kelemahan simetris berat, sering
dengan keterlibatan batang tubuh. Serangan ringan bisa sering dan hanya
melibatkan suatu kelompok otot penting, dan bisa unilateral, parsial, atau
monomelic. Hal ini bisa mempengaruhi kaki secara predominan, kadang – kadang
otot ektensor dipengaruhi lebih dari fleksor. Dursi bervariasi dari beberapa jam
sampai hampir 8 hari tetapi jarang lebih dari 72 jam. Serangannya intermiten dan
infrekuen pada awalnya tetapi bisa meningkat frekuensinya sampai serangan
terjadi hampir setiap hari. Frekuensi mulai berkurang oleh usia 30 tahun. Hal ini
jarang terjadi setelah umur 50 tahun. Pengeluaran urin menurun selama serangan
karena akumulasi air intrasel meningkat. Myotonia interictal tidak sesering
hiperkalemik PP. Kelemahan otot permanen mungkin terlihat kemudian dalam
perjalanan penyakit dan bisa menjadi tajam. Hipertropi betis diobservasi. Otot
proksimal wasting daripada hipertropi, bisa terlihat pada pasien dengan
kelemahan permanen. Hipokalemia periodik paralisis :(6)
1) Kelemahan pada otot
2) Perasaan lelah
3) Nyeri otot
4) Restless legs syndrome
5) Tekanan darah dapat meningkat
6) Kelumpuhan atau rabdomiolisis (jika penurunan K amat berat)
7) Gangguan toleransi glukosa
21

8) Gangguan metabolisme protein


9) Poliuria dan polidipsia
10) Alkalosismetabolik
Gejala klinis nomor 1, 2, 3, 4 di atas merupakan gejala pada otot yang timbul
jika kadar kalium kurang dari 3 mEq/ltr.(6)

DIAGNOSIS
Diagnosis didapatkan dari anamnesis seperti adanya riwayat pada keluarga
karena erat kaitannya dengan genetik serta gejala klinis seperti yang tersebut di
atas, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. (7)

Tabel 2. Perbedaan gambaran diantara bentuk umum periodik paralisis. (7)


Keparahan Gambaran yang
Gejala Umur onset Lama serangan Faktor pencetus
serangan berhubungan
Hiperkalemik Dekade Beberapa menit Rendah Jarang Perioral dan
periodik pertama sampai kurang pemasukan parah tungkai
paralisis kehidupan dari 2 jam karbohidrat parestesia,myoto
(paling sering (puasa), dingin, nia frekuent,
kurang dari 1 istirahat yang pseudohipertrofi
jam) diikuti dengan otot tiba-tiba
latihan, alkohol,
infeksi, stress
emosional,
trauma, periode
menstruasi
Hipokalemik Sebagian Beberapa jam Serangan awal Severe dan Kelemahan otot
periodik kasus sampai hampir pagi setelah hari Paralisis menetap pada
paralisis sebelum 16 semingu khas yang komplet akhir penyakit.
tahun tidak lebih dari laluberaktivitas
72 jam fisik dan makanan
tinggi karbohidrat
22

Potasium-ass Dekade Tidak ada Dingin dan Serangan Hipertrofi otot


ociated pertama kelemahan istirahat setelah kekakuan
myotonia latihan dan dari
ringan
sampai
berat
Paramyotonia Dekade 2 – 24 jam Dingin Jarang Pseudohipertrofi
congenital pertama parah otot dan
paradoksal
myotonia
Tirotoksikosis Dekade Beberapa jam Sama seperti Sama Bisa berkembang
periodik ketiga dan sampai 7 hari hipokalemik PP seperti menjadi
paralisis keempat hiperinsulinemia hipokalem kelemahan otot
ik PP menetap

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Kadar K dalam serum
2) Kadar K, Na, Cl dalam urin 24 jam
3) Kadar Mg dalam serum
4) Analisis gas darah
5) Elektrokardiografi.(7)
Penurunan kadar serum tidak selalu dibawah normal, selama serangan. Pasien
punya pengalaman retensi urin dengan penigkatan kadar sodium, kalium dan
klorida urin. Penurunan kadar fosfor serum secara bertahap juga terjadi. Kadar
fosfokinase (CPK) meningkat selama serangan. ECG bisa menunnjukkan sinus
bradikardi dan bukti hipokalemi (gelombang T datar, gelombang U di lead II,
V2,V3 dan V4 dan depresi segment ST).(7)

DIAGNOSIS BANDING
1) Neuropati motor dan sensori herediter
23

2) Anderson sindroma dicirikan dengan kalium-sensitif PP dan aritmia


jantung,adalah kelainan terkait autosomal dominan. Kadar kalium bisa
meningkat atau berkurang selama serangan.(8)

TERAPI
Selama serangan, suplemen oral kalsium lebih baik dari suplemen IV. Yang
terakhir diberikan untuk pasien yang mual atau tidak bisa menelan. Garam kalium
oral pada dosis 0,25 mEq/kg diberikan setiap 30 menit sampai kelemahan
improves. Avoiding IV fluid is prudent. Kalium Klorida IV 0,05-0,1
mEq/kgBBdalam manitol 5% bolus adalah lebih baik sebagai lanjutan infus. (9)
Monitoring ECG dan pengukuran kalium serum berturut dianjurkan.
Untuk profilaksis, asetazolamid diberikan pada dosis 125-1500 mg/hari dalam
dosis terbagi. Dichlorphenamide 50-150 mg/hari telah menunjukkan keefektifan
yang sama. Potasium-sparing diuretik seperti triamterene (25-100 mg/hari) dan
spironolakton (25-100 mg/hari) adalah obat lini kedua untuk digunakan pasien
yang mempunyai kelemahan buruk (worsens weakness) atau mereka yang tidak
respon dengan penghambat karbonik anhidrase. Karena diuretik ini potassium
sparing, suplemen kalium bisa tidak dibutuhkan.(9)
1) Pemberian K melalui oral atau iv untuk penderita berat
2) Pemberian kalium lebih disenangi dalam bentuk oral karena lebih mudah.
Pemberian 40-60 mEq dapat menaikkan kadar kalium sebesar 1-1,5 mEq/L,
sedangkan pemberian 135-160 mEq dapat menaikkan kadar kalium sebesar
2,5-3,5 mEq/L
3) Bila ada intoksikasi digitalis, aritmia, atau kadar K serum
4) Bila kadar kalium dalam serum > 3 mEq/L, koreksi K cukup per oral
5) Monitor kadar kalium tiap 2-4 jam untuk menghindari hiperkalemia terutama
pada pemberian secara intravena
6) Pemberian K intravena dalam bentuk larutan KCl disarankan melalui vena
yang besar denga kecepatan 10-20 mEq/jam, kecuali disertai aritmia atau
kelumpuhan otot pernafasan, diberikan dengan kecepatan 40-100 mEq/jam.
KCl dilarutkan sebanyak 20 mEq dalam 100 cc NaCl isotonik
7) Acetazolamide untuk mencegah serangan
24

8) Triamterene atau spironolactone apabila acetazolamide tidak memberikan


efek pada orang tertentu
9) Diet rendah karbohidrat dan rendah natrium bisa menurunkan frekuensi
serangan.(9)

KOMPLIKASI
1) Batu ginjal akibat efek samping acetazolamide
2) Arrhytmia
3) Kelemahan otot progresif.(9)

3. MYESTENIA GRAVIS
DEFINISI
Myestenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara
sistem saraf (nervus) dan sistem otot (muskulus). Penyakit miastenis gravis
ditandai dengan kelemahan dan kelelahan pada beberapa atau seluruh otot, di
mana kelemahan tersebut diperburuk dengan aktivitas terus menerus atau
berulang-ulang. Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang
neuromuskular juction ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat lelah
akibat adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah
AchR di neuromuskular juction berkurang.(10)

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi penderita dengan Miastenia gravis di Amerika Serikat pada tahun
2004 diperkirakan mencapai 20 per 100.000 penduduk. Prevalensi pasti mungkin
lebih tinggi karena kebanyakan kasus Miastenia gravis tidak terdiagnosis. Insiden
Miastenia gravis mencapai 1 dari 7500 penduduk, menyerang semua kelompok
umur. Penelitian epidemiologi telah menunjukkan kecenderungan peningkatan
prevalensi penyakit Miastenia gravis dan angka kematian yang meningkat di atas
umur 50 tahun. Pada umur 20-30 tahun Miastenia gravis lebih banyak dijumpai
pada wanita. Sementara itu diatas 60 tahun lebih banyak pada pria (perbandingan
ratio wanita dan pria adalah 3:2).(10)
25

ANATOMI dan FISIOLOGIS NEUROMUSCULAR JUNCTION


Sebelum memahami tentang Miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi
dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Potensial aksi
di neuron motorik merambat cepat dari badan sel di dalam SSP ke otot rangka di
sepanjang akson bermielin besar (serat eferen) neuron. Sewaktu mendekati otot,
akson membentuk banyak cabang terminal dan kehilangan selubung mielinnya.
Masing-masing dari terminal akson ini membentuk persambungan khusus,
neuromuscular junction, dengan satu dari banyak sel otot yang membentuk otot
secara keseluruhan. Sel otot disebut juga serat otot, berbentuk silindris dan
panjang. Terminal akson membesar membentuk struktur mirip tombol, terminal
button yang pas masuk ke cekungan dangkal, atau groove di serat otot
dibawahnya. Sebagian ilmuwan menyebut neuromuscular junction sebagai “motor
end plate”.(10)
Pada neuromuscular junction, sel saraf dan sel otot sebenarnya tidak
berkontak satu sama lain. Celah antara kedua struktur ini terlalu besar untuk
memungkinkan transmisi listrik suatu impuls antara keduanya. Karenanya, seperti
di sinaps saraf, terdapat suatu pembawa pesan kimiawi yang mengangkut sinyal
antara ujung saraf dan serat otot. Neurotransmitter ini disebut sebagai asetilkolin
(ACh). Membran Pre Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan
dalam bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage
Gated Channel akan teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan
terjadinya influx calcium. Influx ini akan mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut
untuk bergerak ke tepi membran. Vesikel ini akan mengalami docking pada tepi
membran. Karena proses docking ini, maka asetilkolin yang terkandung di dalam
vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam celah synaptic. ACh yang dilepaskan
tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR) yang terdapat pada
membran post-synaptic. AChR ini terdapat pada lekukan-lekukan pada membran
post-synaptic. AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha, dan masing-
masing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk
lingkaran yang siap untuk mengikat ACh. Ikatan antara ACh dan AChR akan
mengakibatkan terbukanya gerbang Na+ pada sel otot, yang segera setelahnya
akan mengakibatkan influx Na+.(10)
26

Influx Na+ ini akan mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran


post-synaptic. Jika depolarisasi ini mencapai nilai ambang tertentu (firing level),
maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan
dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan karakteristik sel
eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan kontraksi. ACh yang masih tertempel
pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh enzim Asetilkolinesterase (AChE)
yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada celah synaptic. ACh akan
dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin kemudian akan kembali masuk ke
dalam membran pre-synaptic untuk membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini
dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya potensial aksi terus menerus yang
akan mengakibatkan kontraksi terus menerus.(10)

Gambar 7. Anatomi Neuromuskular Junction.(10)


27

PATOFISIOLOGI
Dalam kasus Myestenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline
Receptor (AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline (ACh) yang
tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial
aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran
ACh yang 6 tetap pada jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah
serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah yang kemudian
menyebabkan rasa sakit pada pasien. Pengurangan jumlah AChR ini
dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di dalam tubuh yang
memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak
membran post-synaptic. Etipatogenesis proses autoimun pada Myestenia
Gravis tidak sepenuhnya diketahui, walaupun demikian diduga kelenjar timus
turut berperan pada patogenesis Myestenia Gravis. Sekitar 75 % pasien
Myestenia Gravis menunjukkan timus yang abnormal, 65% pasien
menunjukan hiperplasi timus yang menandakan aktifnya respon imun dan 10
% berhubungan dengan timoma.(10)

GEJALA KLINIS
Penyakit Myestenia Gravis ditandai dengan adanya kelemahan dan
kelelahan. Kelemahan otot terjadi seiring dengan penggunaan otot secara
berulang, dan semakin berat dirasakan di akhir hari. Gejala ini akan menghilang
atau membaik dengan istirahat. Kelompok otot-otot yang melemah pada penyakit
miastenis gravis memiliki pola yang khas. Pada awal terjadinya Miastenia gravis,
otot kelopak mata dan gerakan bola mata terserang lebih dahulu. Akibat dari
kelumpuhan otot-otot tersebur, muncul gejala berupa penglihatan ganda (melihat
benda menjadi ada dua atau disebut diplopia) dan turunnya kelopak mata secaara
abnormal (ptosis). (10)
Myestenia Gravis dapat menyerang otot-otot wajah, dan menyebabkan
penderita menggeram saat berusaha tersenyum serta penampilan yang seperti
tanpa ekspresi. Penderita juga akan merasakan kelemahan dalam mengunyah dan
menelan makanan sehingga berisiko timbulnya regurgitasi dan aspirasi. Selain itu,
terjadi gejala gangguan dalam berbicara, yang disebabkan kelemahan dari
28

langit-langit mulut dan lidah. Sebagian besar penderita Myestenia Gravis akan
mengalami kelemahan otot di seluruh tubuh, termasuk tangan dan kaki.
Kelemahan pada anggota gerak ini akan dirasakan asimetris. Bila seorang
penderita Myestenia Gravis hanya mengalami kelemahan di daerah mata selama 3
tahun, maka kemungkinan kecil penyakit tersebut akan menyerang seluruh tubuh.
Penderita dengan hanya kelemahan di sekitar mata disebut Myestenia Gravis
Okular.Penyakit Myestenia Gravis dapat menjadi berat dan membahayakan jiwa.
Myestenia Gravis yang berat menyerang otot-otot pernafasan sehingga
menimbuilkan gejala sesak nafas. Bila sampai diperlukan bantuan alat pernafasan,
maka penyakit Miastenia gravis tersebut dikenal sebagai krisis Myestenia Gravis
atau krisis Miastenik. Umumnya krisis miastenik disebabkan karena adanya
infeksi pada penderita Myestenia Gravis.(10)

Gambar 8. Ptosis Pada Myestenia Gravis Generalisata.(10)

DIAGNOSIS
Diagnosis Myestenia Gravis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibodi
AchR dan CT-Scan atau MRI toraks untuk melihat adanya timoma. (10)
1) Anamnesis
Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas dan
membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan
manifestasi: diplopi atau ptosis), dapat disertai kelumpuhan anggota badan
(terutama triceps dan ekstensor jari-jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot
29

yang dipersarafi oleh nervi cranialis, dpat pula mengenai otot pernafasan yang
menyebabkan penderita bisa sesak.(10)
a) Tes klinik sederhana :
(1) Tes watenberg / simpson test : memandang objek di atas bidang antara
kedua bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes
positif)
(2) Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan
menghilang secara bertahap (tes positif).(10)
(a) Endrofonium merupakan antikolinesterase kerja pendek yang
memperpanjang kerja acetilkolin pada nerumuscular juction dalam
beberapa menit. Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara
intravena selama 15 detik, bila dalam 30 detik tidak terdapat reaksi
maka disuntikkan lagi sebanyak 8-9 mg tensilon secara intravena.
Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan
otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang
memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan
oleh Myestenia Gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji
ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat
seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat. Efek sampingnya
dapat menyebabkan bradikardi dan untuk mengatasinya dapat
digunakan atropin.(10)

Gambar 9. Tes Edrophonium dan EMG pada myasthenia gravis.(10)


30

(b) Uji Prostigmin (neostigmin) : Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5
mg prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan
pula atropin 0,8 mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
Myestenia Gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis,
strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap. (10)
2) Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis Miastenia
gravis, antara lain:(10)
a) Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III
pada beberapa penyakit selain Miastenia gravis, antara lain :
(1) Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
(2) Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
(3) Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
(4) Paralisis pasca difteri
(5) Pseudoptosis pada trachoma
b) Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan
adanya suatu sklerosis multipleks
c) Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome).(10)
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada
otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan kelemahan relatif pada
otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada
detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan
sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma
pada paru. EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada Myestenia Gravis.
Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi rendah (2Hz) tetapi
akan terjadi hambatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan
pada Myestenia Gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan
pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak
berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke
membran postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi. (10)
31

3) Laboratorium
Anti striated muscle (anti-SM) antibody
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 85% pasien yang menderita
timoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan 12 salah satu tes
yang penting pada penderita Myestenia Gravis. Pada pasien tanpa timoma
anti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih
dari 40 tahun.(10)
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies
Hampir 50% penderita Myestenia Gravis yang menunjukkan hasil
anti-AChR Ab negatif (Myestenia Gravis seronegatif), menunjukkan hasil yang
positif untuk anti-MuSK Ab.(10)
Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
Myestenia Gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 70%-95% dari
penderita Myestenia Gravis generalisata dan 50% - 75 % dari penderita dengan
Miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi
yang positif. Pada pasien timoma tanpa Miastenia gravis sering kali terjadi false
positive anti-AChR antibody.(10)
Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuro muscular melalui 2 teknik :(10)
a) Single-fiber Electromyography (SFEMG)
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber
berupa peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan
jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot
penderita, sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada
interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot
tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).(10)
b) Repetitive Nerve Stimulation (RNS): Pada penderita Myestenia Gravis
terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat
adanya penurunan suatu potensial aksi.(10)
32

Gambaran Radiologi
Chest x-ray (foto roentgen thorak) Dapat dilakukan dalam posisi
anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi
sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.(10)
Hasil rontgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya
thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus Myestenia Gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.(10)
MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis Myestenia Gravis tidak dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab
defisit pada saraf otak.(10)

PENATALAKSANAAN
1) Acetilkolinesterase inhibitor
Dapat diberikan piridostigmin bromida (mestinon) 30-120 mg/3-4 jam/oral.
Dosis parenteral 3-6 mg/4-6 jam/ iv tiap hari akan membantu pasien untuk
mengunyah, menelan, dan beberapa aktivitas sehari-hari. Pada malam hari, dapat
diberikan mestinon long-acting 180 mg. Apabila diperlukan, neostigmin bromida
(prostigmine ): 7,5-45 mg/2-6 jam/oral. Dosis parenteral : 0,5-1 mg/4 jam/iv atau
im. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga
asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan
mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula.
Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada Myestenia Gravis
golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh
stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan
pemberian propantelin bromida atau atropin.(10)
a. Kortikosteroid
Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 10-20 mg, dinaikkan
bertahap (5-10 mg/minggu) 1x sehari selang sehari, maksimal 120 mg/6 jam/oral,
33

kemudian diturunkan sampai dosis minimal efektif. Efek sampingnya dapat


berupa: peningkatan berat badan, hiperglikemia, osteopenia, ulkus gaster dan
duodenum, katarak.(10)
b. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang
baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama
berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini
diberikan dengan dosis 2-3 mg/kg BB/hari/oral selama 8 minggu pertama. Setiap
minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu
pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon
bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.(10)
c. Plasma Exchange (PE)
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang
menguntungkan menjadi prioritas.Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan
anti-asetilkolin secara efektif.Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer
antibodi. Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi
dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek
dramatis dari PE.Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau
sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang
akan menjalani timektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode pasca
operasi. Jumlah dan volume dari penggantian yang dibutuhkan kadang-kadang
berbeda tetapi umumnya 3-4 liter sebanyak 5x dalam 2 minggu.(10)
d. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan
1 gram/kgbb/hari selama 2 hari.(10)
e. Timektomi
Timektomi umumnya dianjurkan pada pasien umur 10-55 tahun dengan
Myestenia Gravis generalisata. Walaupun timektomi merupakan terapi standar di
berbagai pusat pengobatan namun keefektivitasannya belum dapat dipastikan oleh
penelitian prospektif yang terkontrol. Timektomi diindikasi pada terapi awal
pasien dengan keterlibatan ekstremitas bawah dan bulbar. (10)
34

5. SINDROMA GUILLAIN BARRE (SGB)


ETIOLOGI
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang
cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali
mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif,
apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada
umumnya mempunyai prognosa yang baik.(11)
Sindroma Guillain-Barre sampai saat ini masih belum dapat diketahui
dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa
keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan
terjadinya Sindroma Guillain-Barre antara lain :(11)
1) Infeksi
2) Vaksinasi
3) Pembedahan
4) Penyakit sistematik :(12)
a) Keganasan
b) Systemic lupus erythematosus
c) Tiroiditis
d) Penyakit Addison.(12)
5) Kehamilan atau dalam masa nifas.(12)
Sindroma Guillain-Barre sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non
spesifik. Insidensi kasus Sindroma Guillain-Barre yang berkaitan dengan infeksi
ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi
timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. (12)

Tabel 3. Infeksi akut yang berhubungan dengan Sindroma Guillain-Barre.(12)

Infeksi Definite Probable Possible


Virus CMV HIV Influenza
EBV Varicella-zoster Measles
Vaccinia/smallpox Mumps
Rubella
35

Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakteri Campylobacter Typhoid Borrelia B
Jejeni Paratyphoid
Mycoplasma Brucellosis
Pneumonia Chlamydia
Legionella
Listeria

PATOGENESIS
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. (12)
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah :(12)
1) Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi
2) Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3) Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembulu darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya,
yang paling sering adalah infeksi virus.(12)

PERAN IMUNITAS SELULER


Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang peranan penting
disamping peran makrofag. Prekursor sel limfosit berasal dari sumsum tulang
(bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan
kedalam jaringan limfoid dan peredaran darah. Sebelum respon imunitas seluler
ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui
36

makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh


virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh
penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan
dikenalkan pada limfosit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif
karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma
interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang
dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar
darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag.
Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin
disamping menghasilkan TNF dan komplemen.(12)

PATOLOGI
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan
saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan
pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian
timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat
beberapa limfosit pada hari ke- 9 dan makrofag pada hari ke- 11, poliferasi sel
schwan pada hari ke- 13. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan
berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke- 66, sebagian radiks dan saraf tepi
telah hancur. Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi
adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada
endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila
peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan
myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan
selubung myelin dari sel schwan dan akson.(12)

KLASIFIKASI
Beberapa varian dari Sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu :
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
37

5. Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia.(12)

GEJALA KLINIS DAN KRITERIA DIAGNOSA


Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan
timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon
dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai
disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu :(12)
1) Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis : Terjadinya kelemahan yang progresif
Hiporefleksi
2) Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB :
a) Ciri-ciri klinis :(12)
(1) Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal
dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3
minggu, dan 90% dalam 4 minggu. Relatif simetris
(2) Gejala gangguan sensibilitas ringan, Gejala saraf kranial ±50% terjadi
parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya
yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang 5% kasus
neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain. Pemulihan:
dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang
sampai beberapa bulan. Disfungsi otonom, Takikardi dan aritmia,
hipotensi postural, hipertensi dan gejala vasomotor. Tidak ada demam saat
onset gejala neurologis.
b) Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa :
Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan
pada LP serial. Jumlah sel CSS & LT 10 MN/mm3.(12)
38

PENEGAKAN DIAGNOSIS
ANAMNESIS
1) Kelemahan ascenden dan simetris
2) Anggota gerak bawah dulu baru menjalar ke atas
3) Kelemahan akut dan progresif yang ditandai arefleksia
4) Puncak defisit 4 minggu
5) Pemulihan 2-4 minggu pasca onset
6) Gangguan sensorik pada umumnya ringan
7) Gangguan otonom dapat terjadi
8) Gangguan saraf kranial
9) Gangguan otot-otot napas.(12)

PEMERIKSAAN FISIK
1) Kelemahan saraf cranial (III, IV, VI, VII, IX, X)
2) Kelemahan anggota gerak yang cenderung simetris dan asendens
3) Hiporefleksia atau arefleksia
4) Tidak ada klonus atau refleks patologis.(12)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Laboratorium (untuk menyingkirkan diagnosis banding lain): Pemeriksaan
darah lengkap, ureum/kreatinin, SGOT/SGPT, elektrolit, Creatinin kinase,
Serologi CMV/EBV/Micoplasma, Antibodi glycolipid, Antibodi GMI.(12)
2) Pencitraan: MRI minimal potongan sagital untuk menyingkirkan diagnosis
banding lain dan lumbal pungsi.(12)

TATALAKSANA
1) Pemberian IVIG 0,4 gram/kgBB/ hari selama 5 hari atau plasma exchange
diguanakan sebagai lini pertama pengobatan (Level A)
2) Pemberian IVIG memiliki efek samping yang lebih sedikit, sehingga
lebih banyak dipilih (Level B)
3) Kombinasi methylprednisolone dosis tinggi dan IVIG memiliki manfaat
singkat (Level C)
39

4) Pada anak-anak pemberian IVIG lebih direkomendasikan (Level C).


Pemberian IVIG pada kasus yang relaps tetap harus dipertimbangkan (GPP/
Good Practice Point)
5) Tindakan rehabilitasi disesuaikan dengan derajat kelemahan dan disabilitas
pasien.(12)

TERAPI
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri,
perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala
sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi
khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan
melalui sistem imunitas (imunoterapi). (12)
Kortikosteroid, kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan
preparat steroid tidak mempunyai nilai atau tidak bermanfaat untuk terapi SGB. (12)
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan
hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu
nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan
dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari.
Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu
pertama).(12)
Pengobatan imunosupresan :(12)
1) Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan.
Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.(12)
2) Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah : 6 merkaptopurin
(6-MP), Azathioprine, atau Cyclophosphamid.(12)
40

DIAGNOSA BANDING
Gejala klinis SGB biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan kriteria
diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus
dibedakan dengan keadaan lain, seperti :(12)
1) Mielitis akuta
2) Poliomyelitis anterior akuta
Porphyria intermitten akuta
3) Polineuropati post difteri

EDUKASI
1) Penjelasan Sebelum MRS (rencana rawat, biaya, pengobatan, prosedur, masa
dan tindakan pemulihan dan latihan, manajemen nyeri, risiko dan komplikasi)
2) Penjelasan mengenai GBS, risiko dan komplikasi selama perawatan
3) Penjelasan mengenai faktor risiko dan pencegahan rekurensi
4) Penjelasan program pemulangan pasien (Discharge Planning).(12)

6. TRAUMATIC BRAIN INJURY (TBI)


DEFINISI
Trauma kapitis atau cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik
secara langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun
permanen.(13)

EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera
kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya
adalah cedera kepala berat (CKB).(13)
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah
sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat
60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka
41

kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk
CKR tidak ada yang meninggal.(13)
Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara
15-44 tahun. Faktor resiko utama cedera otak adalah umur, ras, dan tingkat
sosioekonomi yang rendah. Angka kejadian laki-laki lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden
cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan
tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.(13)

Gambar 10. Persentase distribusi TBI.(13)

ETIOLOGI
Etiologi cedera kepala yang paling sering dialami di seluruh dunia adalah
akibat kecelakaan lalu lintas. Sekitar 60% dari kasus cedera kepala merupakan
akibat dari kelalaian dalam berlalu lintas, 20 - 30% kasus disebabkan oleh jatuh,
10% disebabkan oleh kekerasan, dan sisanya disebabkan oleh perlukaan yang
terjadi di rumah maupun tempat kerja.
Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu :(13)
a. Trauma primer, ditentukan oleh kekuatan mekanik langsung yang terjadi
pada saat dampak traumatis ke jaringan otak maupun proses akselerasi dan
42

deselerasi. Cedera tersebut memicu cedera otak sekunder dari waktu ke


waktu.
b. Trauma sekunder, terjadi akibat disautoregulasi pembuluh darah otak dan
kerusakan blood-brain-barrier (BBB) sehingga menyebabkan edema otak,
peningkatan TIK dan akhirnya, penurunan tekanan perfusi serebral.

KLASIFIKASI
Klasifikasi cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan :
a. Tingkat keparahan :(13)
1) Ringan : GCS 15 – 13
2) Sedang : GCS 12 – 9
3) Berat : GCS < 8
b. Morfologi : Fraktur tengkorak.(13)
1) Kalvaria
a) Linear/stellate
b) Depresi
c) Terbuka/tertutup
2) Basis
a) Dengan/tanpa kebocoran LCS
b) Dengan/tanpa kelumpuhan sarah N. VII (facialis)
c. Lokasi lesi intrakranial :(13)
1) Lesi difus
a) Konkusio
b) Multiple kontusio
c) Cedera hipoksik/iskemik
d) Cedera axonal
2) Lesi fokal
a) Hematoma epidural
b) Hematoma subdural
c) Hematoma intraparenkhimal :(13)
(1) Hematoma subarakhnoid
(2) Hematoma intraserebral
43

(3) Hematoma intraserebellar

Gambar 11. Klasifikasi cedera otak.(13)


MEKANISME CEDERA OTAK
1) Secara Statis (Static Loading)
Cedera otak timbul secara lambat, lebih lambat dari 200 m/s. Tekanan
pada kepala terjadi secara lambat namun terus menerus sehingga timbul
kerusakan berturut-turut mulai dari kulit, tengkorak dan jaringan otak.
Keadaan seperti ini sangat jarang terjadi.(13)
2) Secara Dinamik (Dynamic Loading)
Cedera kepala timbul secara cepat, lebih cepat dari 200/ms, berbentuk
impulsif dan /atau impak. Trauma tidak langsung membentur kepala, tetapi
terjadi pada waktu kepala mendadak bergerak atau gerakan kepala berhenti
mendadak, contoh: Whiplash injury atau pukulan pada tengkuk atau
punggung yang akan menimbulkan gerakan fleksi dan ekstensi dari kepala
yang bisa menyebabkan cedera otak.(13)
3) Impak (Impact Loading)
Trauma yang langsung membentur kepala dapat menimbulkan 2
bentuk impak :(13)
a) Kontak / benturan langsung (contact injury)
(1) Lokal, seperti fraktur tulang kepala, perdarahan ekstradura dan
coup kontusio
(2) Jauh (remote effect), seperti fraktur dasar tengkorak dan fraktur di luar
tempat trauma
44

(3) Memar otak contra coup dan memar otak intermediate disebabkan oleh
gelombang kejut (shock wave), dimana gelombang atau getaran yang
ditimbulkan oleh pukulan akan diteruskan di dalam jaringan otak
b) Inersial (Inertial injury)
Karena perbedaan koefisien (massa) antara jaringan otak dengan
tulang, maka akan terjadi perbedaan gerak dari kedua jaringan (akselerasi
dan deselerasi) yang dapat menyebabkan gegar otak, cedera akson difus
(diffuse axonal injury), perdarahan subdural, memar otak yang berbentuk
coup, contra coup, dan intermediate.(13)

PATOFISIOLOGI CEDERA OTAK


1) Fraktur kranii
Fraktur kranii dapat terjadi pada kalvaria atau basilar. Patah tulang
tengkorak pada kalvaria dapat dibagi menjadi jenis linier, depresi, atau
comminuted. Jika kulit kepala ikut robek dan luka terpapar dengan dunia
luar, itu dianggap sebagai fraktur terbuka. Sekitar 80% patah tulang
merupakan jenis linear. Paling banyak terjadi di daerah temporoparietal, di
mana sisi tengkorak yang paling tipis. Dalam fraktur depresi dari tengkorak,
satu atau lebih fragmen tulang yang tertekan ke dalam, penekanan bagian
utama otak.(14)
2) Fraktur Basis Kranii
Fraktur basis kranii adalah patah tulang kepala yang meliputi salah
satu dari tulang dasar kepala: lamina cribiformis dari Os Ethmoid, Pars
orbita dari Os Frontal, pars Petrosus dan skuamus Os Temporalis, Os
Sphenoid dan Os Occipital.(14)
Sebagian besar fraktur tengkorak basilar disebabkan oleh trauma
tumpul berkecepatan tinggi seperti tabrakan kendaraan bermotor,
kecelakaan sepeda motor, dan cedera pejalan kaki.(14)
45

Gambar 12. Fossa pada basis kranii.(14)

Lokasi fraktur adalah prediksi cedera terkait :(14)


a) Fraktur temporal/media (paling umum) berhubungan dengan cedera
karotid, cedera pada saraf kranial VII atau VIII, dan kebocoran cairan
cerebrospinal mastoid. Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada
terganggunya tulang pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar
dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu. Tuli sementara yang
akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena
hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy,
nystagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunderdari keterlibatan
nervus cranialis V, VI, VII. Fraktur tranversal os temporal melibatkan
saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia,
dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural hearing
loss).(14)

Gambar 13. Bilateral Mastoid Ecchymosis/Battle’s Sign.(14)


46

Gambar 14. Tipe fraktur pada fossa temporal.(14)

b) Fraktur basis anterior berhubungan dengan cedera orbita, kebocoran cairan


serebrospinal hidung, dan cedera saraf kranial I (anosmia).(14)

Gambar 15. Bilateral Periorbital Ecchymosis/Raccoon Eye. (14)

c) Fraktur basis sentral berhubungan dengan cedera saraf kranial III, IV, V
atau VI dan cedera karotid
d) Fraktur basis posterior berhubungan dengan cedera servikal, cedera arteri
vertebral, dan cedera pada saraf kranial yang lebih rendah. Defisit
oculomotor karena cedera saraf kranial III, IV, dan VI dapat terjadi. Pasien
mungkin juga datang dengan drop face karena kompresi atau cedera pada
saraf kranial VII. Kehilangan pendengaran atau tinnitus menunjukkan
kerusakan pada saraf kranial VIII

Beberapa tanda klinis yang sangat prediktif terjadinya fraktur basis kranii
yaitu :(14)
47

a) Hemotympanum: Fraktur yang melibatkan pars petrosa dari tulang


temporal akan menyebabkan darah mengalir melewati meatus acusticus
internus sehingga menyebabkan membran timpani tampak ungu. Ini
biasanya muncul dalam beberapa jam setelah cedera dan mungkin
merupakan temuan klinis paling awal
b) Rhinorrhea CSF atau otorrhea: Tanda “Halo” adalah pola cincin ganda
yang mengandung CSF dari telinga maupun hidung menetes ke kertas atau
linen. Tanda ini tidak spesifik untuk keberadaan CSF, karena garam, air
mata atau cairan lainnya juga akan menghasilkan pola cincin ketika
bercampur dengan darah
c) Ekimosis periorbital (Racoon eyes): Akibat fraktur fossa anterior dimana
darah menggenang di jaringan periorbital. Jika bilateral, temuan ini sangat
prediktif dari fraktur basis kranii
d) Retroauricular atau mastoid ecchymosis (Battle’s sign): Darah yang
menggenang di belakang telinga di daerah mastoid dikaitkan dengan
fraktur ke fossa media. Seperti Racoon eyes, temuan ini sering tertunda
selama 1 hingga 3 hari
3) Coup - Contrecoup Injury
Cedera coup countercoup merupakan cedera kepala fokal. CSF
memainkan peran utama dalam cedera coup dan contrecoup. Patogenesis
dari keduanya berbeda, dimana cedera coup terjadi di bawah titik benturan
akibat proses akselerasi sementara cedera contrecoup akibat deselerasi
mendadak mengakibatkan cedera pada otak di sisi yang berlawanan karena
shock wave yang melintas di otak. Dalam kedua kasus, otak rusak karena
terjadi benturan pada bagian dalam tengkorak. Hal ini demikian, dapat
timbul suatu lesi yang berupa titik-titik besar dan kecil perdarahan pada
permukaan otak tanpa kerusakan pada duramater.(14)

Trauma pada otak terjadi akibat pergerakan pada kepala melampaui


batas elastisitas dari struktur intrakravial, akibat trauma tersebut tergantung
dari macam pergerakannya:(14)
48

a) Kepala yang bebas bergerak mengenai objek yang diam, biasanya terjadi
trauma minor, contrecoup
b) Kepala diam dikenai objek yang bergerak, lesi coup (langsung)
c) Kepala bergerak terhenti tiba-tiba oleh pukulan (whiplash injury), terjadi
white matter injury disebut diffuse axonal injury (DAI)
d) Kepala bergerak mengenai objek yang bergerak, terjadi coup dengan
diffuse axonal atau contrecoup

Gambar 16. Coup – countercoup injury.(14)

4) Komosio atau konkusi serebri


Disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan oleh trauma kapitis
tanpa menunjukkan kelainan makroskopis jaringan otak. Biasanya tidak
memerlukan terapi khusus, asal tidak terdapat penyulit seperti hematoma,
edema serebri traumatik dan lain-lain.(14)
5) Kontusio serebri
Trauma kapitis yang menimbulkan lesi perdarahan pada parenkim otak
tanpa terganggunya kontinuitas jaringan otak dan dapat mengakibatkan
gangguan neurologis yang menetap. Memar terjadi pada 20-30% kasus dari
cedera kepala berat. Cedera ini dapat menyebabkan penurunan fungsi
mental dalam jangka panjang dan dalam keadaan darurat dapat
menyebabkan herniasi otak.(14)
6) Diffuse Axonal Injury (DAI)
Diffuse Axonal Injury merupakan cedera otak tipe difus dimana serabut
saraf subkortikal (serabut proyeksi, asosiasi dan komisural) mengalami
kerusakan akibat gaya akselerasi deselerasi. DAI sering menyebabkan
49

vegetatif persisten dan koma posttraumatik pada pasien trauma. DAI adalah
istilah untuk menjelaskan koma paska traumatika yang lama yang tidak
dikarenakan lesi massa atau kerusakan iskhemik tetapi karena lesi ekstensif
pada white matter.(14)
Berbeda dengan cedera otak yang terjadi akibat benturan langsung
maupun suatu deformitas pada otak, DAI terjadi akibat terobeknya akson
karena trauma akselerasi dan deselerasi yang hebat atau cedera rotasi.
Tanda tanda pada DAI adalah penurunan kesadaran yang berlangsung 6 jam
atau lebih.(14)
DAI dibagi 3 berdasarkan beratnya kerusakan yang timbul, yaitu :(14)
a) Grade 1: kerusakan akson pada substansia alba (dilihat secara
mikroskopik) tanpa adanya lesi fokal
b) Grade 2: kerusakan akson disertai fokus perdarahan pada korpus kalosum
c) Grade 3: kerusakan akson disertai fokus perdarahan pada korpus kalosum
dan batang otak
7) Hematoma intracranial
a) Hematoma epidural (EDH)
Perdarahan di dalam ruang epidural antara (lapisan periosteal dan
lapisan meningeal duramater) yang umumnya disebabkan oleh robeknya
dinding arteri meningeal media (85 %) atau vena meningeal media, vena
diploic atau sinus venosus dura. Epidural hematoma (EDH) adalah salah
satu jenis perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi karena fraktur
tulang tengkorak oleh karena adanya cedera mekanik (trauma kepala) baik
secara langsung dan tidak langsung. A. meningea media masuk di dalam
tengkorak melalui foramen spinosum melalui duramater dan tulang di
permukaan os temporale. Hematoma bersifat ipsilateral. EDH terutama
terjadi pada orang muda itu jarang terlihat pada orang tua karena dura
menjadi semakin melekat pada tengkorak dengan usia lanjut. (14)
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan
pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini
menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah
tentorium. Herniasi tersebut menekan sistem formation retikularis di
50

medulla oblongata dan dapat menyebabkan penurunan kesadaran. Di


tempat ini terdapat nuklei N. III (oculomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada
lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan
kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif, dan tanda
Babinski positif.(14)
Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergency di
bedah saraf karena progresifitasnya yang cepat karena duramater melekat
erat pada sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim otak
menyebabkan mudah herniasi trans dan infra tentorial.(14)

Gambar 17. Etiologi, gejala klinis, pemeriksaan penunjang dan indikasi


operasi pada EDH.(14)

Tanda dan diagnostik klinik:(15)


(1) Lucid interval (+)
(2) Kesadaran makin menurun
(3) Late hemiparese kontralateral lesi
(4) Pupil anisokor
(5) Fraktur didaerah temporal
b) Hematoma subdural (SDH)
Subdural hematoma (SDH) adalah kumpulan darah dalam ruang
subdural otak (antar duramater dan membran arachnoid). Biasanya
diakibatkan robeknya bridging veins yang menghubungkan vena kortikal
dengan sinus sagitalis superior.(14)
51

SDH akut, menurut definisi adalah gejala yang timbul dalam 72 jam
setelah cedera, namun kebanyakan pasien memiliki gejala neurologis dari
saat trauma. SDH kronis menunjukkan gejala setelah 21 hari atau lebih.
SDH kronis lebih cenderung terjadi pada pasien > 50 tahun yang
umumnya mengalami atrofi otak ringan, yang menghasilkan rongga
subdural yang lebih besar. Pasien yang mengkonsumsi terapi antikoagulan
dalam waktu yang lama dan overdrainage dari ventriculoperitoneal shunts
juga memiliki faktor risiko yang lebih tinggi. (14)

Gambar 18. Perbedaan lokasi EDH dan SDH.(14)

Gambar 19. Etiologi, gejala klinis, pemeriksaan penunjang dan indikasi


operasi pada SDH.(14)
52

c) Perdarahan subarakhnoid (SAH)


Perdarahan subarachnoid (SAH) merupakan ekstravasasi darah ke
dalam ruang subarachnoid diantara piamater dan membrane arachnoid.
Penyebab tersering disebabkan trauma kepala. Dapat juga disebabkan
perdarahan spontan akibat ruptur aneurisma serebri atau ruptur
arteriovenous malformation (AVM).(14)
Sumber SAH berasal dari : (1) trauma langsung pada vena-vena pial,
(2) perdarahan dari kontusio daerah kortikal, (3) ekstensi dari perdarahan
intraventrikel ke ruang subaracnoid. Darah dapat dijumpai di fissure sylvii,
sulcus serebri dan cisterna basalis.(14)
Gejala dan tanda klinis berupa kaku kuduk, nyeri kepala hebat, dan
gangguan kesadaran.(14)

Gambar 20. Lokasi SAH.(14)

d) Hematoma intraserebral (ICH)


ICH adalah perdarahan parenkim otak yang disebabkan karena
pecahnya arteri intraserebral yang besar sebagai akibat trauma kapitis
yang hebat atau perkembangan dari lesi kontusio. Biasanya berhubungan
dengan diffuse axonal injury dengan koma lama pasca traumatik.(14)
53

Gambar 21. Etiologi, gejala klinis, pemeriksaan penunjang dan indikasi


operasi pada ICH.(14)

DIAGNOSIS
a. Anamnesis
1) Identitas pasien: Nama, Umur, Kelamin, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat
2) Keluhan utama
3) Mekanisma trauma
4) Waktu dan perjalanan trauma
5) Pernah pingsan atau sadar setelah trauma
6) Amnesia retrograde atau antegrade
7) Keluhan: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, kejang, vertigo
8) Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala
9) Penyakit penyerta: epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala,
hipertensi dan diabetes melitus, serta gangguan pembekuan darah.(15)

b. Survey Primer
Survey primer terdiri dari tabilisasi sistem kardiorespirasi (ABC) dan
disabilitas.(15)
1) Airway
Bebaskan jalan napas dengan memeriksa mulut, bila terdapat sekret
atau benda asing segera dikeluarkan dengan suction atau swab. Bila perlu
54

dapat digunakan intubasi untuk menjaga patenisasi jalan napas. Waspadai


bila ada fraktur servikal.(15)
2) Breathing
Pastikan pernapasan adekuat, perhatikan frekuensi, pola napas dan
pernapasan dada atau perut dan kesetaraan pengembangan dada kanan dan
kiri. Bila ada gangguan pernapasan segera cari penyebab, gangguan terjadi
pada sentral atau perifer. Bila perlu, berika oksigen sesuai kebutuhan.
Pertahankan saturasi oksigen O2 > 92%.(15)

Gambar 22. Survei Primer Pasien cedera otak.(15)

3) Circulation
Jika pasien menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan hemodinamik,
jalur IV harus segera terpasang. Karena autoregulasi aliran darah serebral
sering terganggu pada cedera kepala akut, harus terus dipantau untuk
menghindari hipotensi yang dapat menyebabkan iskemik otak atau
hipertensi yang dapat memperburuk edema serebral. Pertahankan TD
sistolik >90 mmHg, hindari pemakaian cairan hipotonis. Vasopressor kerja
pendek (misalnya, phenylephrine dan norepinephrine) dan agen
antihipertensi (misalnya, labetalol dan nicardipine) adalah lebih baik karena
55

kemampuan mereka untuk menstabilkan tekanan darah dalam kisaran


terapeutik yang sempit. Nitroprusside natrium harus dihindari karena dapat
melebarkan pembuluh cerebral dan meningkatkan ICP. (15)
4) Disability
Dilakukan pemeriksaan GCS, pemeriksaan pupil: ukuran, bentuk dan
reflex cahaya dan pemeriksaan neurologis.(15)

Gambar 23. GCS.(14)

c. Survey Sekunder
1) Pemeriksaan fisik (dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki)
a) Pemeriksaan kepala, mencari tanda :(15)
(1) Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka
terbuka, luka tembus dan benda asing
(2) Tanda patah dasar tengkorak meliputi; ekimosis periorbita (brill
hematoma), ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan
otorhoe serta perdarahan di membrane timpani atau leserasi kanalis
auditorius
(3) Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur
rima orbita dan fraktur mandibular
(4) Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva,
perdarahan bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata
56

(5) Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang
berhubungan dengan diseksi karotis
b) Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang: jejas, deformitas, status
motorik, sensorik, dan autonomik.(15)
1. Pemeriksaan Neurologis
a) Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glassgow Coma Scale
(GCS) yang dinilai setelah stabilisasi ABC.
b) Saraf kranial, terutama: saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil:
besar dan bentuk, refleks cahaya direct dan indirect (bandingkan
kanan-kiri), tanda-tanda lesi saraf VII perifer.
c) Fundoskopi : edema pupil, perdarahan pre retina, retinal
detachment.
d) Motoris dan sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah
mencari tanda lateralisasi.
e) Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter
reflek, reflek tendon, reflek patologis dan tonus sfingter ani.(15)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
laboratorium darah lengkap, analisa gas darah dan elektrolit serta foto
radiologi atau CT-scan kepala.(15)
a. Pemeriksaan Radiologi
1) Foto kepala AP/Lateral, dan foto leher (bila didapatkan fraktur servikal,
kerah leher/ collar neck yang telah terpasang tidak dilepas)
2) Foto anggota gerak, dada, dan abdomen dibuat atas indikasi
3) CT-scan kepala untuk menentukan luas dan letak lesi intrakranial
(edema, kontusio, hematoma)(15)
Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera kepala :(15)
a) GCS< 13 setelah resusitasi
b) Deteorisasi neurologis: penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemiparesis,
kejang
c) Nyeri kepala, muntah yang menetap
57

d) Terdapat tanda fokal neurologis


e) Terdapat tanda fraktur, atau kecurigaan fraktur
f) Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus
g) Evaluasi pasca operasi
h) Pasien multitrauma (trauma signifikan lebih dari 1 organ)
Terdapat juga Canadian CT Head Rule yang menyebutkan bahwa
pasien-pasien dengan cedera kepala ringan harus dilakukan pemeriksaan CT
kepala bila terdapat beberapa indikasi berikut :(15)
1) Risiko tinggi
a) Skor GCS < 15 setelah 2 jam paska trauma
b) Dicurigai adanya fraktur tengkorak terbuka ataupun depressed.
c) Adanya tanda fraktur basis kranii (hemotimpani, “racoon” eyes,
cairan serebrospinal yang keluar dari telinga ataupun hidung, battle’s
sign) d. Muntah ≥ 2 kali
d) Usia ≥ 65 tahun
2) Risiko menengah
a) Amnesia before impact > 30 mins
b) Mekanisme trauma yang berbahaya (pejalan kaki yang ditabrak oleh
kendaraan bermotor, penumpang yang terlempar dari kendaraan
bermotor, jatuh dari ketinggian lebih dari 3 kaki atau 5 tangga)

Gambar 24. Gambaran CT Scan pada fraktur tengkorak: A. linear skull


fracture; B. depressed, comminuted skull fracture; C. fraktur basis kranii
(Kelainan Intrakranial pada CT-Scan).(15)
58

Perdarahan Epidural
Karakteristik gambaran perdarahan epidural pada CT scan berupa lesi
hiperdens yang bikonveks. Perdarahan epidural tidak akan melewati garis
sutura yang disebabkan oleh intaknya lapisan duramater. Volume EDH
biasanya stabil, mencapai volume maksimum hanya beberapa menit setelah
trauma, tetapi pada 9% penderita ditemukan progresifitas perdarahan yang
cenderung berakumulasi dengan cepat dalam 24 jam pertama.(15)

Gambar 25. Perdarahan epidural yang terjadi pada lobus frontalis kanan. (15)

Perdarahan Subdural

Gambar 26. Perdarahan subdural (biru) dengan pergeseran garis sutura


(orange).(15)
59

Perbedaan antara EDH dan SDH : SDH lebih difus, biasanya berbentuk
konkav mengikuti permukaan hemisfer. Berdasarkan gambaran radiologis,
SDH dibagi menjadi :(15)
1) SDH akut: terjadi dalam (48 jam setelah trauma) dan lesi tampak hiperdens
2) SDH subakut: campuran antara darah membeku serta darah yang mulai
mencair (2 hari-14 hari setelah trauma) à lesi hiperdens, isodens dan
hipodens
3) SDH kronik: hematoma telah mencair (> 14 hari) dan lesi isodens dan
hipodens

Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid didefinisikan sebagai adanya darah pada ruang
subaraknoid yang normalnya berisi cairan serebrospinal. Perdarahan
subaraknoid paling sering disebabkan oleh rupturnya aneurisma otak dan
arteriovenous malformasi (AVM).(15)

Gambar 27. Perdarahan subaraknoid: A. darah mengisi sisterna


suprasellar; B. darah mengisi sisterna shylvii.(15)

Lesi hiperdens dapat ditemukan pada daerah sulkus serebri serta sisterna
subarachnoid. Lesi hiperdens pada fossa interpeduncular merupakan tanda
perdarahan subarachnoid. Perdarahan subarahnoid dapat menyebabkan
gangguan absorpsi liquor serebrospinal menyebabkan hidrocefalus
komunikan.(15)
60

Kontusio
Kontusio cerebri merupakan perdarahan dengan diameter < 1 cm. Lokasi
paling sering terjadi kontusio adalah lobus frontalis dan temporal. Pada
CT-scan terlihat gambar salt and pepper, yaitu berupa titik-titik kecil
hiperdens.(15)

Gambar 28. Salt and pepper sign.(15)

Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral adalah akumulasi darah di parenkim otak.
Perdarahan dengan diameter 5 mm dapat dideteksi pada pemeriksaan CT Scan
kepala. Perdarahan intraserebral dapat diikuti dengan terjadinya edema yang
akhirnya menyebabkan terkompresinya jaringan otak di sekitarnya. Parenkim
otak yang bergeser ini menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial yang berpotensial menyebabkan sindrom herniasi yang fatal. (15)

Gambar 28. Perdarahan intraserebral.(15)


61

Diffuse Axonal Injury (DAI)


Cidera luas pada axon otak disebabkan shearing mechanism yang tampak
pada pemeriksaan patologis dan CT-Scan kepala sebagai lesi kecil multipel
yang terlihat di area white matters otak.(15)

Gambar 29. Diffuse Axonal Injury.(15)

Sebagian besar pasien dengan DAI (50- 80%) menunjukkan CT-Scan normal.
Mungkin ditemukan bintik perdarahan pada gray-white matter junction, corpus
callosum maupun batang otak.(15)

PENATALAKSANAAN
Tatalaksana Cedera Otak di Triage
Triage atau penapisan, bertugas memeriksa tanda vital dan memberi label
sesuai kegawatan. Semua pasien cedera otak segera dikonsultasikankan pada
dokter jaga bedah saraf.(15)
Langkah-langkah Tatalaksana Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat :(15)
1) General precaution
2) Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (Airway, Breathing, Circulation)
3) Survey sekunder (pemeriksaan status general terdiri dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik seluruh organ)
4) Pemeriksaan neurologis
5) Menentukan diagnosis klinis dan pemeriksaan tambahan
6) Menentukan diagnosis pasti
7) Menentukan tatalaksana
62

Kriteria Masuk Rumah Sakit


Pasien cedera kepala akan dirawat di rumah sakit dengan kriteria sebagai
berikut :(15)
1) Kebingungan atau riwayat pingsan / penurunan kesadaran
2) Keluhan dan gejala neurologik, termasuk nyeri kepala menetap dan muntah
3) Kesulitan dalam penilaian klinis, misalnya pada alkohol, epilepsi
4) Kondisi medik lain: gangguan koagulasi, diabetes mellitus
5) Fraktur tengkorak
6) CT scan abnormal
7) Umur pasien diatas 50 tahun
8) Anak-anak

Kriteria Pulang Pasien Cedera Kepala


Kriteria pasien cedera kepala dapat dipulangkan dengan pesan :(15)
1) Sadar dan orientasi baik, tidak pernah pingsan
2) Tidak ada gejala neurologis
3) Keluhan berkurang, muntah atau nyeri kepala hilang
4) Tak ada fraktur kepala atau basis kranii
5) Ada yang mengawasi di rumah
Penanganan Kasus Cedera Kepala Ringan
Pasien dipulangkan dengan pengawasan ketat oleh keluarga selama 48 jam.
Diperingatkan kepada pasien harap segera kembali dibawa ke IGD bila
terdapat gejala seperti berikut :(15)
1) Muntah makin sering
2) Nyeri kepala atau vertigo memberat
3) Gelisah atau kesadaran menurun
4) Kejang
5) Kelumpuhan anggota gerak

Penanganan Kasus Cedera Kepala Sedang dan Berat


Monitoring pasien dilakukan tiap 4 jam dan lama pemantauan hingga GCS
15. Perhatian khusus ditujukan untuk mencegah terjadinya hipotensi. Data
Traumatic Coma Data Bank (TCDB) menunjukkan bahwa hipotensi pada
63

pasien dengan trauma kranoserebral berat akan meningkatkan angka kematian


dari 27% dan 50%. Hindari terjadi kondisi sebagai berikut :(15)
1) Tekanan darah sistolik < 90 mm Hg
2) Suhu > 38 derajat Celcius
3) Frekuensi nafas > 20 x / menit
Cegah kemungkinan terjadinya peningkatan TIK dengan :(15)
1) Posisi kepala ditinggikan 30°
2) Bila perlu dapat diberikan Manitol 20% dengan dosis awal 1 gr/kg BB,
berikan dalam waktu 1/2 - 1 jam, drip cepat. Lanjutkan pemberian dengan
dosis 0,5 gr/kg BB drip cepat, 1/2 - 1 jam.
3) Berikan analgetika, dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka pendek
4) Atasi komplikasi seperti kejang dengan pemberian profilaksis OAE selama
7 hari untuk mencegah immediate dan early seizure
Pada kasus risiko tinggi infeksi akibat fraktur basis kranii / fraktur terbuka
berikan profilaksis antibiotika, sesuai dosis infeksi intrakranial selama 10-14
hari.(15)

Tekanan Intrakranial meninggi


TIK normal adalah 0-15 mmHg. Jika TIK di atas 20 mmHg, sudah harus
diturunkan dengan cara :(15)
a. Hiperventilasi
Lakukan hiperventilasi dengan ventilasi terkontrol, sasaran pCO2
dipertahankan antara 30-35 mmHg selama 48 sampai 72 jam, lalu dicoba
dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi, hiperventilasi
diteruskan 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa
gas darah dan lakukan CT Scan ulang.(15)
b. Terapi diuretic
1) Diuretik osmotik (manitol 20%): Bolus 0,5-1 g/kgBB dalam 30 menit,
dilanjutkan 0,25-0,5g/kgBB setiap 6jam, selama 24-48 jam. Monitor
osmolalitas serum tidak melebihi 320 mOsm
2) Loop diuretik (furosemid): Pemberian bersama manitol memiliki efek
sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis
40mg/hari
64

3) Terapi barbiturat: Diberikan jika tidak reseponsif terhadap semua jenis


terapi di atas. Bolus 10 mg/kgBB iv selama ½ jam, dilanjutkan 2-3
mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%
dengan dosis sekitar 1mg/kgBB/jam.(15)
Setelah TIK terkontrol <20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan
bertahap selama 3 hari. Posisi tidur, bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat
dengan kepala dan dada dalam satu bidang.(15)
Neuroproteksi
Adanya tenggang waktu antara terjadinya trauma dan timbulnya
kerusakan jaringan saraf memberi waktu bagi kita untuk memberikan
neuroprotektor. Obat-obat tersebut antara lain: Antagonis kalsium atau
nimodipin (terutama diberikan pada SAH), sitikolin, dan piracetam 12 gr/hari
yang diberikan selama 7 hari.(15)

Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early
epilepsy, dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late eplepsy.(15)
Profilaksis dengan anti kejang diberikan pada yang berisiko tinggi untuk
terjadinya kejang pasca CKB, yaitu :(15)
1) GCS <10, kontusio kortikal, fraktur kompresi tulang tengkorak,
Hematom Subdural, Hematom Epidural
2) Hematom Intracerebral, luka tembus dan kejang yang terjadi dalam
kurun waktu <24 jam pasca cedera
Pengobatan: Kejang pertama: saat kejang diberikan diazepam 10 mg i.v,
dilanjutkan dengan fenitoin 200mg peroral, dan seterusnya diberikan 3-4 x 100
mg/hari. Profilaksis: Diberikan fenitoin 3-4x 100mg/hari atau karbamazepin
3x200 mg/hari selama 7-10 hari.(15)

Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi seperti pada
fraktur tulang terbuka, luka luar, dan fraktur basis kranii. Antibiotik yang
diberikan: ampisilin 3x1 gr/hari i.v selama 10 hari. Bila ada kecurigaan infeksi
pada meningen, diberikan antibiotika dengan dosis meningitis, misalnya
ampisilin 4x3 gr/hari i.v dan kloramfenikol 4x 1,5-2gr i.v selama 10 hari.(15)
65

Indikasi Operasi
a. EDH (Epidural Hematoma)
1) Volume >30 cc atau ketebalan >15 mm atau pergeseran midline >5 mm.
2) Tanda-tanda penekanan batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang
otak masih bai
3) GCS <9 dan anisoko.(15)
Tindakan: Craniotomy + Evakuasi hematom
b. SDH (Subdural Hematoma)
1) Ketebalan >10mm atau midline shift >5mm tanpa melihat GCS
2) GCS ≤8 atau bila GCS turun ≥2 poin dari saat pertama datang ke RS, dan
atau bila didapatkan pupil asimetris atau pupil dilatasi dan tetap, dan atau
pengukuran TIK >20mmHg.(15)
Tindakan: Craniotomy + evakuasi hematom
c. ICH (perdarahan intraserebral) pasca trauma
1) Volume perdarahan pada frontal atau temporal > 20ml
2) Midline shift >5mm
3) Kompresi pada sisterna
4) Efek massa dengan deteriorasi neurologis sesuai dengan lesi
5) Volume perdarahan lebih dari 50ml
6) ICH di fossa posterior dengan efek massa (distorsi, dislokasi, obliterasi
ventrikel empat, kompresi sisterna basal, atau hidrosefalus obstruktif)
7) Tindakan: bila didapatkan pupil asimetris atau pupil dilatasi dan tetap,
dan atau pengukuran TIK >20mmHg. (15)
Tindakan: Craniotomy + Evakuasi hematom + Dekompresi
d. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangkan
operasi dekompresi
e. Indikasi Operasi pada Fraktur Basis Kranii :(15)
1) Kebocoran LCS post trauma yang disertai dengan meningitis
2) Fraktur transversal Os petrosus yang melibatkan optic capsule
3) Fraktur tulang temporal yang mengakibatkan lesi total otot wajah
4) Trauma balistik pada temporal yang mengakibatkan kerusakan vaskular
66

5) Defek luas dengan herniasi otak kedalam Sinus paranasal, Pneumocephalus,


atau kebocoran LCS lebih dari lima hari

KOMPLIKASI
a. Gejala sisa trauma kepala berat
b. Kebocoran cairan cerebrospinal
c. Epilepsi pasca trauma
d. Sindrom pascakonkusi.(15)

PROGNOSIS
Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya
trauma kapitis. Prognosis pada cedera kepala mengacu pada tingkat keparahan
yang dialami. Nilai GCS saat pasien pertama kali datang ke rumah sakit
memiliki nilai prognosis yang besar. Nilai GCS antara 3-4 memiliki tingkat
mortalitas hingga 85%, sedangkan nilai GCS diatas 12 memiliki nilai
mortalitas 5-10%.(15)

7. STROKE ACUTE HEMORRAGE


DEFINISI
Stroke non hemoragik atau stroke iskemik merupakan gangguan pada
sistem saraf pusat akibat dari hilangnya pasokan darah ke daerah otak secara
tiba – tiba yang menyebabkan hilangnya fungsi neurologis otak. Menurut
American Heart Assosiation/American Stroke Assosiation (AHA/ASA) pada
tahun 2013, definisi dari stroke non hemoragik atau stroke iskemik adalah
disfungsi neurologis yang disebabkan oleh infark cerebral, spinal maupun
retinal. Stroke non hemoragik akut disebabkan adanya sumbatan oleh
thrombus atau embolus pada arteri cerebri dan lebih sering terjadi dibanding
stroke non hemoragik.(16)
Klasifikasi stroke non hemoragik berdasarkan waktu terjadinya adalah
sebagai berikut :(16)
1) Transient Ischemic Attack (TIA). TIA atau serangan iskemia sementara
merupakan stroke dengan gejala neurologis yang timbul akibat gangguan
67

peredaran darah pada otak akibat adanya emboli maupun thrombosis dan
gejala neurologis akan menghilang dalam waktu kurang dari 24 jam
2) Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND). Pada RIND atau defisit
neurologis iskemia sementara gejala neurologis yang timbulakan menghilang
dalam waktu lebih dari 24 jam sampai kurang dari sama dengan 21 hari
3) Stroke in Evolution. Stroke in evolution atau stroke progresif merupakan
stroke yang sedang berjalan dan gejala neurologis yang timbul makin lama
makin berat
4) Completed Stroke. Completed stroke atau stroke komplit memiliki gejala
neurologis yang menetap dan tidak berkembang lagi. (16)

ETIOLOGI
Sekitar 80% sampai 85% stroke adalah stroke iskemik, yang terjadi akibat
obstruksi atau bekuan disatu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum.
Obstruksi apat disebabkan oleh bekuan (thrombus) yang terbentuk didalam suatu
pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal. Pada thrombus vaskular distal,
bekuan dapat terlepas atau mungkin dapat terbentuk di dalam suatu organ seperti
jantung, dan kemudian dibawa oleh suatu sistem arteri ke otak sebagai suatu
embolus. Terdapat beragam penyebab stroke trombotik dan embolik primer,
termasuk aterosklerosis, arteritis, keadaan hiperkoagulasi, dan penyakit jantung
struktural. Namun thrombosis yang menjadi penyulit arterosklerosis merupakan
penyebab sebagian besar kasus stroke trombotik, dan embolus dari pembuluh
besar atau jantung merupakan penyebab tersering stroke embolik. (16)
Sumbatan aliran di arteri karotis interna sering merupakan penyebab stroke
pada orang berusia lanjut, yang sering mengalami pembentukan plak
aterosklerosis di pembuluh darah sehingga terjadi penyempitan atau stenosis.
Pangkal arteri carotis interna merupakan tempat tersering terbentuknya
aterosklerosis. Darah terdorong melalui sitem vascular oleh gradient tekanan,
tetapi pada pembuluh darah yang mulai menyempit, aliran darah yang lebih cepat
melalui lumen yang lebih kecil dan menurunkan gradient tekanan akan
menurunkan gradient di tempat konstriksi tersebut. Apabila stenosis mencapai
tempat kritis tertentu, maka meningkatnya turbulensi disekitar penyumbatan akan
68

menyebabkan penurunan tajam kecepatan aliran. Secara klinis, titik kritis stenosis
pada manusia adalah 80% sampai 85% dari luas potongan melintang lumen. (16)
Penyebab lain stroke iskemik adalah vasopasme, yang sering merupakan
respon vaskular reaktif terhadap perdarahan ke dalam ruang antara lapisan
araknoid dan piamater meningen.(16)
Penyakit serebrovaskular iskemik dibagi menjadi dua kategori besar : oklusi
trombotik dan oklusi embolik.(16)
Tabel 5. Penyebab stroke iskemik.(16)
Penyebab Stroke Iskemik Trombosis

Embolisme

Vasokonstriksi

MANIFESTASI KLINIS
Mati rasa (paresthesia) dan kelumpuhan (hemiparesis) secara tiba tiba pada
bagian lengan, kaki, wajah, yang paling sering terjadi pada separuh bagian tubuh.
Gejala lain muncul antara lain bingung, kesulitan berbicara atau memahami
pembicaraan (afasia), berkurangnya fungsi penglihatan melalui salah satu mata
(monocular visual loss) atau kedua mata, kesulitan dalam berjalan, pusing atau
kehilangan keseimbangan atau koordinasi, sakit kepala yang parah tanpa sebab
lemah bahakn tidak sadar.(16)

PENEGAKAN DIAGNOSA
Menurut Bahrudin (2012), pemeriksaan penunjang untuk ketepatan dan
kecepatan diagnosis stroke yang dapat dilakukan diantaranya :(16)
a. CT Scan
CT scan dapat memberikan informasi tentang lokasi, ukuran infark,
perdarahan, dan apakah perdarahan menyebar ke ruang intravesikuler, serta
dapa tmembantu perencanaan operasi.
Pencitraan memainkan peran yang penting dalam trombolisis. Pengetahuan
tentang tanda-tanda klasik iskemia awal atau gambaran perdarahan di computed
69

tomography (CT) tanpa kontras diperlukanuntuk studi pencitraan yang


memuaskan. Pemeriksaan CT yang modern harus mencakup CT perfusi dan CT
angiografi. Computed tomography perfusi melukiskan jaringan iskemia
(penumbra) dengan menunjukkanpeningkatan waktu transit yang berarti
penurunan aliran darah otak (CBF).
Pencitraan pada Strokedan volume darah otak normal atau meningkat (CBV),
sedangkan jaringan infark bermanifestasi dengan nyata menurun CBF dan CBV
menurun. CT angiografi dapat menggambarkan letak oklusi dan membantu
mencirikan penyakit aterosklerosis pada karotis. Sebuah studi lengkap CT (CT
tanpa kontras, CT perfusi, dan CT angiografi) dapat dilakukandan dianalisis
dengan cepat dan mudah oleh ahli radiologi secara umumdengan menggunakan
protokol standar yang sederhana dan bahkan dapatmemfasilitasi untuk
mendiagnosis pasien kepada ahli radiologi kurangyang berpengalaman. (16)

1) Computed tomography scan tanpa kontras


Computed tomography scan tanpa kontras harus dilakukan sesegera
mungkin pada stroke. CT sangat sensitif untuk penggambaran lesi hemoragik
dan peran kunci CT tanpa kontras adalah deteksi perdarahan atau penyakit
lain yang mirip stroke (misalnya neoplasma dan malformasiarteri) yang bisa
menjadi penyebab defisit neurologis. Peran kedua CT tanpa kontras yaitu
mendeteksi tanda-tanda iskemia yang disebabkan karena infark. Temuan
utama pada CTadalah daerah hypoattenuating di kortikal-subkortikal dalam
suatu wilayah vaskular.(16)
70

Gambar 30. Infark pada wilayah arteri ACA, arteri serebri media (MCA),
dan arteri serebri posterior.(16)
2) Gambaran computed tomography perfusion
Perfusi CT dilakukan dengan hanya memantau agen kontras iodinasi
bolus yang lolos melalui sirkulasi serebral. Ini melibatkan pencitraan secara
terus-menerus selama 45 detik di atas potongan jaringan yangsama (1-32 bagian)
selama administrasi kontras kecil secara dinamis(50 mL) dan kontras dengan
aliran tinggi secara bolus (laju injeksi 4–5mL/detik). Sebelum dilakukan
pemeriksaan ini, pemeriksaan fungsi ginjal perlu diperiksa terlebih dahulu untuk
mengurangi keterlambatan kontrasdan mencegah terjadinya kontras-induced
nefropati dan merupakan. Tidak ditemukanadanya defisit neurologis baru atau
komplikasi jantung setelah injeksibahan kontras pada tingkat aliran tinggi.(16)
Pada stroke akut, inti jaringan infark irreversible dikelilingi oleh daerah
perifer atau disebut penumbra yang menerima suplai darah kolateral dari arteri
yang tidak terkena dan arteri di wilayah leptomeningeal. Sel-sel dipenumbra
berpotensi diselamatkan dengan rekanalisasi awal. Penelitian terbaru telah
menunjukkan bahwa terapi trombolitik intravena mungkinbermanfaat bagi pasien
di luar 3 jam pertama.(16)
71

Gambar 31. Stroke akut (6 jam evolusi) pada wanita 46 tahun dengan
hemiplegia kiri.(16)
Berdasarkan gambar di atas terlihat bagian (a) yaitu nonenhanced CT scan
yang menunjukkan tanda titik (panah) di MCA kanan, kehilangan diferensia
simateri putih dan abu-abu dan mengaburkan basal ganglia. Bagain (b-e) peta
Perfusi CT dari MTT (b), CBV (c), CBF (d), Peta ringkasan menunjukkan MTT
diubah dan CBF di daerah frontal temporal kanan, sugesti fiskemia, dan
subkortikal berkurang daerah dengan penurunan CBV, sugestif dari inti infark. (16)
Perhatikan area peningkatan CBF dan CBV di nucleus caudatus kanan dan
inti lentikular, yang mewakili tahap pertama dari iskemia otak (kompensasi
dengan suplai dari cadangan serebrovaskular). Bagian (f) Gambar MR aksial
T2-weighted menunjukkan hiperintens daerah frontal parietal kanan dan nucleus
caudatus yang berkaitan dengan infark akhir di bidang iskemia. (16)
b. MRI
MRI dapat menunjukkan infark pada fase akut dalam beberapa saat
setelah serangan yang dengan pemeriksaan CT scan belum tampak.
Pemeriksaan ini cukup rumit serta memerlukan waktu yang lama sehingga
kurang bijaksana dilakukan pada stroke perdarahan akut.(16)
c. EKG
Pentingnya iskemia dan aritmia jantung, serta penyakit jantung lainnya,
sebagai penyebab stroke, maka pemeriksaan EKG harus dilakukan pada
semua penderita stroke akut.(16)
72

d. Kadar Gula Darah


Pemeriksaan kadar gula darah sangat diperlukan karena pentingnya
diabetes mellitus sebagai salah satu faktor resiko utama stroke. Tingginya
kadar gula darah pada stroke akut berkaitan pula dengan tingginya angka
kecacatan dan kematian. Selain itu, dengan pemeriksaan dapat di ketahui
adanya hipoglikemia yang memberikan gambaran klinik menyerupai
stroke.(16)
e. Elektrolit serum dan faal ginjal
Pemeriksaan ini diperlukan, terutama berkaitan dengan kemungkinan
pemberian obat osmoterapi pada penderita stroke yang disertai peningkatan
tekanan intracranial, dan keadaan dehidrasi.(16)
f. Darah lengkap (hitungseldarah)
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menentukan keadaan hematologic
yang dapat mempengaruhi stroke iskemik, misalnya anemia, polisitemia,
dan keganasan.(16)
g. Faal hemostasis
Pemeriksaan jumlah trombosit, waktu protrombin (PT) dan
tromboplastin (aPTT) diperlukan terumata berkaitan dengan pemakaian
obat antikoagulan dan trombolitik.(16)
h. X-fototoraks
Pemeriksaan ini berguna untuk menilai besar jantung, adanya
kalsifikasi katup jantung, maupun edema paru.(16)
i. Pemeriksaan lain
Diperlukan pada keadaan tertentu (sesuai indikasi) adalah: tes faal hati,
saturasi oksigen, analisa gas darah, toksikologi, kadar alcohol dalam darah,
lumbal pungsi) bila ada dugaan perdarahan subaraknoid, tetapi gambaran CT
scan normal), EEG (terutama pada paralisis Todd).(16)
73

STROKE HEMORAGIK
DEFINISI
Menurut definisi WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang
secara cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan
kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular. Stroke
hemoragik adalah stroke yang terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum
mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid
atau langsung ke dalam jaringan otak.(16)

ETIOLOGI
Penyebab stroke hemoragik sangat beragam, yaitu :(16)
1) Perdarahan intraserebral primer (hipertensif)
2) Ruptur kantung aneurisma
3) Ruptur malformasi arteri dan vena
4) Trauma (termasuk apopleksi tertunda pasca trauma)
5) Kelainan perdarahan seperti leukemia, anemia aplastik, ITP,
gangguan fungsi hati, komplikasi obat trombolitik atau anti koagulan,
hipofibrinogenemia, dan hemofilia
6) Perdarahan primer atau sekunder dari tumor otak
7) Septik embolisme, myotik aneurisma
8) Penyakit inflamasi pada arteri dan vena
9) Amiloidosis arteri

FAKTOR RESIKO
Faktor yang berperan dalam meningkatkan resiko terjadinya stroke
hemoragik dijelaskan dalam table berikut :(16)
Tabel 6. Faktor Resiko Stroke Hemoragik.(16)
Faktor Resiko Keterangan
Umur Umur merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk stroke.
Sekitar 30% dari stroke terjadi sebelum usia 65, 70% terjadi pada
mereka yang 65 ke atas. Risiko stroke adalah dua kali ganda untuk
74

setiap 10 tahun di atas 55 tahun.


Hipertensi Risiko stroke berkaitan dengan tingkat sistolik hipertensi. Hal ini
berlaku untuk kedua jenis kelamin, semua umur, dan untuk resiko
perdarahan, atherothrombotik, dan stroke lakunar, menariknya,
risiko stroke pada tingkat hipertensi sistolik kurang dengan
meningkatnya umur, sehingga ia menjadi kurang kuat, meskipun
masih penting dan bisa diobati, faktor risiko ini pada orang tua.
Seks Infark otak dan stroke terjadi sekitar 30% lebih sering pada
laki-laki berbanding perempuan, perbedaan seks bahkan lebih
tinggi sebelum usia 65.
Riwayat Terdapat lima kali lipat peningkatan prevalensi stroke antara
keluarga kembar monozigotik dibandingkan dengan pasangan kembar
laki-laki dizigotik yang menunjukkan kecenderungan genetik untuk
stroke. Pada 1913 penelitian kohort kelahiran Swedia menunjukkan
tiga kali lipat peningkatan kejadian stroke pada laki-laki yang ibu
kandungnya meninggal akibat stroke, dibandingkan dengan
laki-laki tanpa riwayat ibu yang mengalami stroke. Riwayat
keluarga juga tampaknya berperan dalam kematian stroke antara
populasi Kaukasia kelas menengah atas di California.
Diabetes Setelah faktor risiko stroke yang lain telah dikendalikan, diabetes
mellitus meningkatkan risiko stroke tromboemboli sekitar dua kali lipat
hingga tiga kali lipat berbanding orang-orang tanpa diabetes.
Diabetes dapat mempengaruhi individu untuk mendapat iskemia
serebral melalui percepatan aterosklerosis pembuluh darah yang
besar, seperti arteri koronari, arteri karotid atau dengan, efek lokal
pada mikrosirkulasi serebral.
Penyakit Individu dengan penyakit jantung dari jenis apa pun memiliki lebih
jantung dari dua kali lipat risiko stroke dibandingkan dengan mereka yang
fungsi jantungnya normal.
Penyakit Arteri koroner :
Indikator kuat kedua dari keberadaan penyakit difus vaskular
aterosklerotik dan potensi sumber emboli dari thrombi mural
75

karena miocard infarction.


Gagal Jantung kongestif, penyakit jantung hipertensi :
Berhubungan dengan meningkatnya kejadian stroke
Fibrilasi atrial :
Sangat terkait dengan stroke emboli dan fibrilasi atrial
karena penyakit jantung rematik; meningkatkan risiko stroke
sebesar 17 kali.
Lainnya :
Berbagai lesi jantung lainnya telah dikaitkan dengan stroke, seperti
prolaps katup mitral, patent foramen ovale, defek septum atrium,
aneurisma septum atrium, dan lesi aterosklerotik dan trombotik
dari ascending aorta.
Merokok Beberapa laporan, termasuk meta-analisis angka studi
menunjukkan bahwa merokok jelas menyebabkan peningkatan
risiko stroke untuk segala usia dan kedua jenis kelamin, tingkat
risiko berhubungan dengan jumlah batang rokok yang dihisap, dan
penghentian merokok mengurangi risiko, dengan resiko kembali
seperti bukan perokok dalam masa lima tahun setelah penghentian.
Peningkatan Penigkatan viskositas menyebabkan gejala stroke ketika hematokrit
hematokrit melebihi 55%. Penentu utama viskositas darah keseluruhan adalah
dari isi sel darah merah; plasma protein, terutamanya fibrinogen,
memainkan peranan penting. Ketika meningkat viskositas hasil dari
polisitemia, hyperfibrinogenemia, atau paraproteinemia, biasanya
menyebabkan gejala umum,seperti sakit kepala, kelesuan, tinitus,
dan penglihatan kabur. Infark otak fokal dan oklusi vena retina jauh
kurang umum, dan dapat mengikuti disfungsi trombosit akibat
trombositosis. Perdarahan Intraserebral dan subarachnoid
kadang-kadang dapat terjadi.
Peningkatan Tingkat fibrinogen tinggi merupakan faktor risiko untuk stroke
tingkat trombotik. Kelainan sistem pembekuan darah juga telah dicatat,
fibrinogen seperti antithrombin III dan kekurangan protein C serta protein S
dan kelainan dan berhubungan dengan vena thrombotic.
76

system
pembekuan
Penyalahgunaa Obat yang telah berhubungan dengan stroke termasuk
n obat methamphetamines, norepinefrin, LSD, heroin, dan kokain.
Amfetamin menyebabkan sebuah vaskulitis nekrosis yang dapat
mengakibatkan pendarahan petechial menyebar, atau fokus bidang
iskemia dan infark. Heroin dapat timbulkan sebuah
hipersensitivitas vaskular menyebabkan alergi. Perdarahan
subarachnoid dan difarction otak telah dilaporkan setelah
penggunaan kokain.
Hiperlipidemia Meskipun tingkat kolesterol tinggi telah jelas berhubungan dengan
penyakit jantung koroner, mereka sehubungan dengan stroke
kurang jelas. Peningkatan kolesterol tidak muncul untuk menjadi
faktor risiko untuk aterosklerosis karotis, khususnya pada laki-laki
di bawah 55 tahun. Kejadian hiperkolesterolemia menurun dengan
bertambahnya usia. Kolesterol berkaitan dengan perdarahan
intraserebral atau perdarahan subarachnoid. Tidak ada hubungan
yang jelas antara tingkat kolesterol dan infark lakunar.
Kontrasepsi Pil KB, estrogen tinggi yang dilaporkan meningkatkan risiko stroke
oral pada wanita muda. Penurunan kandungan estrogen menurunkan
masalah ini, tetapi tidak dihilangkan sama sekali. Ini adalah faktor
risiko paling kuat pada wanita yang lebih dari 35 tahun .
Mekanisme diduga meningkat koagulasi, karena stimulasi estrogen
tentang produksi protein liver, atau jarang penyebab autoimun
Diet Konsumsi alkohol :
Ada peningkatan risiko infark otak, dan perdarahan subarakhnoid
dikaitkan dengan penyalahgunaan alkohol pada orang dewasa
muda. Mekanisme dimana etanol dapat menghasilkan stroke
termasuk efek pada darah tekanan, platelet, osmolalitas plasma,
hematokrit, dan sel-sel darah merah. Selain itu, alkohol bisa
menyebabkan miokardiopati, aritmia, dan perubahan di darah
aliran otak dan autoregulasi.
77

Kegemukan :
Diukur dengan berat tubuh relatif atau body mass indexs, obesitas
telah secara konsisten meramalkan stroke.
Asosiasi dengan stroke dapat dijelaskan sebagian oleh adanya
hipertensi dan diabetes. Sebuah berat relatif lebih dari 30% di atas
rata-rata kontributor independen ke-atherosklerotik infark otak
berikutnya.
Infeksi Infeksi meningeal dapat mengakibatkan infark serebral melalui
pengembangan perubahan inflamasi dalam dinding pembuluh
darah. Sifilis meningovaskular dan mucormycosis dapat
menyebabkan arteritis otak dan infark.
Sirkadian dan Variasi sirkadian dari stroke iskemik, puncaknya antara pagi dan
faktor musim siang hari. Hal ini telah menimbulkan hipotesis bahwa perubahan
diurnal fungsi platelet dan fibrinosis mungkin relevan untuk stroke.
Hubungan antara variasi iklim musiman dan stroke iskemik telah
dialihkan. Peningkatan dalam arahan untuk infark otak diamati di
Iowa. Suhu lingkungan rata-rata menunjukkan korelasi negatif
dengan kejadian cerebral infark di Jepang. Variasi suhu musiman
telah berhubungan dengan resiko lebih tinggi cerebral infark dalam
usia 40-64 tahun pada penderita yang nonhipertensif, dan pada
orang dengan kolesterol serum bawah 160mg/dL.

PATOGENESIS
1) Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral paling sering terjadi ketika tekanan darah tinggi
kronis melemahkan arteri kecil, menyebabkannya robek. Penggunakan kokain
atau amfetamin dapat menyebabkan tekanan darah dan perdarahan sementara
tapi sangat tinggi. Pada beberapa orang tua, sebuah protein abnormal yang
disebut amiloid terakumulasi di arteri otak. Akumulasi ini (disebut angiopati
amiloid) melemahkan arteri dan dapat menyebabkan perdarahan. (16)
Penyebab umum yang kurang termasuk kelainan pembuluh darah saat lahir,
luka, tumor, peradangan pembuluh darah (vaskulitis), gangguan perdarahan,
78

dan penggunaan antikoagulan dalam dosis yang terlalu tinggi. Pendarahan


gangguan dan penggunaan antikoagulan meningkatkan resiko kematian dari
perdarahan intraserebral.(16)
2) Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid biasanya hasil dari cedera kepala. Namun,
perdarahan karena cedera kepala menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak
dianggap sebagai stroke.(16)
Perdarahan subaraknoid dianggap stroke hanya jika terjadi secara spontan
yaitu, ketika perdarahan tidak hasil dari kekuatan-kekuatan eksternal, seperti
kecelakaan atau jatuh. Sebuah perdarahan spontan biasanya hasil dari pecahnya
aneurisma mendadak di sebuah arteri otak, yaitu pada bagian aneurisma yang
menonjol di daerah yang lemah dari dinding arteri itu. (16)
Aneurisma biasanya terjadi di percabangan arteri. Aneurisma dapat muncul
pada saat kelahiran (bawaan), atau dapat berkembang kemudian, yaitu setelah
bertahun-tahun dimana tekanan darah tinggi melemahkan dinding arteri.
Kebanyakan perdarahan subaraknoid adalah hasil dari aneurisma kongenital. (16)
Mekanisme lain yang kurang umum adalah perdarahan subaraknoid dari
pecahnya koneksi abnormal antara arteri dan vena (malformasi arteri) di dalam
atau di sekitar otak. Sebuah malformasi arteri dapat muncul pada saat
kelahiran, tetapi biasanya hanya diidentifikasi jika gejala berkembang. Jarang
sekali suatu bentuk bekuan darah pada katup jantung yang terinfeksi, perjalanan
(menjadi emboli) ke arteri yang memasok otak, dan menyebabkan arteri
menjadi meradang. arteri kemudian dapat melemah dan pecah.(16)

PATOFISIOLOGI
Penghentian total aliran darah ke otak menyebabkan hilangnya kesadaran
dalam waktu 15-20 detik dan kerusakan otak yang irreversibel terjadi setelah
tujuh hingga sepuluh menit. Penyumbatan pada satu arteri menyebabkan
gangguan di area otak yang terbatas (stroke). Mekanisme dasar kerusakan ini
adalah selalu defisiensi energi yang disebabkan oleh iskemia. Perdarahan juga
menyebabkan iskemia dengan menekan pembuluh darah di sekitarnya. (16)
79

Pembengkakan sel, pelepasan mediator vasokonstriktor, dan penyumbatan


lumen pembuluh darah oleh granulosit kadang-kadang mencegah reperfusi,
meskipun pada kenyataannya penyebab primernya telah dihilangkan.
Kematian sel menyebabkan inflamasi, yang juga merusak sel di tepi area
iskemik (penumbra). Gejala ditentukan oleh tempat perfusi yang terganggu,
yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut. (16)
Penyumbatan pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan
kelemahan otot dan spastisitas kontralateral, serta defisit sensorik
(hemianestesia) akibat kerusakan girus lateral presentralis dan postsentralis.
Akibat selanjutnya adalah deviasi okular, hemianopsia, gangguan bicara
motorik dan sensorik, gangguan persepsi spasial, apraksia, dan
hemineglect.(16)
Penyumbatan arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis dan defisit
sensorik kontralateral, kesulitan berbicara serta apraksia pada lengan kiri jika
korpus kalosum anterior dan hubungan dari hemisfer dominan ke korteks
motorik kanan terganggu. Penyumbatan bilateral pada arteri serebri anterior
menyebabkan apatis karena kerusakan dari sistem limbik. (16)
Penyumbatan arteri serebri posterior menyebabkan hemianopsia
kontralateral parsial dan kebutaan pada penyumbatan bilateral. Selain itu, akan
terjadi kehilangan memori.(16)
Penyumbatan arteri karotis atau basilaris dapat menyebabkan defisit di
daerah yang disuplai oleh arteri serebri media dan anterior. Jika arteri koroid
anterior tersumbat, ganglia basalis (hipokinesia), kapsula interna (hemiparesis),
dan traktus optikus (hemianopsia) akan terkena. Penyumbatan pada cabang
arteri komunikans posterior di talamus terutama akan menyebabkan defisit
sensorik.(16)
Penyumbatan total arteri basilaris menyebabkan paralisis semua
eksteremitas dan otot-otot mata serta koma. Penyumbatan pada cabang arteri
basilaris dapat menyebabkan infark pada serebelum, mesensefalon, pons, dan
medula oblongata. Efek yang ditimbulkan tergantung dari lokasi
kerusakan :(16)
a) Pusing, nistagmus, hemiataksia (serebelum dan jaras aferennya, saraf
80

vestibular)
b) Penyakit Parkinson (substansia nigra), hemiplegia kontralateral dan
tetraplegia (traktus piramidal)
c) Hilangnya sensasi nyeri dan suhu (hipestesia atau anastesia) di bagian wajah
ipsilateral dan ekstremitas kontralateral (saraf trigeminus Vdan traktus
spinotalamikus)
d) Hipakusis (hipestesia auditorik; saraf koklearis), ageusis (saraf traktus
salivarus), singultus (formasio retikularis)
e) Ptosis, miosis, dan anhidrosis fasial ipsilateral (sindrom Horner, pada
kehilangan persarafan simpatis)
f) Paralisis palatum molle dan takikardia (saraf vagus X). Paralisis otot lidah
(saraf hipoglosus XII), mulut yang jatuh (saraf fasial VII), strabismus (saraf
okulomotorik III, saraf abdusens V)
g) Paralisis pseudobulbar dengan paralisis otot secara menyeluruh (namun
kesadaran tetap dipertahankan)

GEJALA KLINIS
Gejala klinis stroke ada berbagai macam, diantaranya adalah ditemukan
perdarahan intraserebral (ICH) yang dapat dibedakan secara klinis dari stroke
iskemik, hipertensi biasanya ditemukan, tingkat kesadaran yang berubah atau
koma lebih umum pada stroke hemoragik dibandingkan dengan stroke
iskemik. Seringkali, hal ini disebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
Meningismus dapat terjadi akibat adanya darah dalam ventrikel. (16)
Defisit neurologis fokal. Jenis defisit tergantung pada area otak yang
terlibat. Jika belahan dominan (biasanya kiri) terlibat, suatu sindrom yang
terdiri dari hemiparesis kanan, kerugian hemisensory kanan, meninggalkan
tatapan preferensi, bidang visual kana terpotong, dan aphasia mungkin terjadi.
Jika belahan non dominan (biasanya kanan) terlibat, sebuah sindrom
hemiparesis kiri, kerugian hemisensory kiri, preferensi tatapan ke kanan, dan
memotong bidang visual kiri. Sindrom belahan non dominan juga dapat
mengakibatkan pengabaian dan kekurangan perhatian pada sisi kiri. (16)
81

Jika cerebellum yang terlibat, pasien beresiko tinggi untuk herniasi dan
kompresi batang otak. Herniasi bisa menyebabkan penurunan cepat dalam
tingkat kesadaran, apnea, dan kematian. Tanda-tanda lain dari keterlibatan
cerebellar atau batang otak antara lain: ekstremitas ataksia, vertigo atau
tinnitus, mual dan muntah, hemiparesis atau quadriparesis, hemisensori atau
kehilangan sensori dari semua empat anggota, gerakan mata yang
mengakibatkan kelainan diplopia atau nistagmus, kelemahan orofaringeal atau
disfagia, wajah ipsilateral dan kontralateral tubuh.(16)
A. Perdarahan Intraserebral
Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba. Di sekitar setengah dari
jumlah penderita, serangan dimulai dengan sakit kepala parah, sering selama
aktivitas. Namun, pada orang tua, sakit kepala mungkin ringan atau tidak ada.
Gejala disfungsi otak menggambarkan perkembangan yang terus memburuk
sebagai perdarahan. Beberapa gejala, seperti kelemahan, kelumpuhan,
hilangnya sensasi, dan mati rasa, sering hanya mempengaruhi satu sisi tubuh.
Orang mungkin tidak dapat berbicara atau menjadi bingung. Visi dapat
terganggu atau hilang. Mata dapat menunjukkan arah yang berbeda atau
menjadi lumpuh. Mual, muntah, kejang, dan hilangnya kesadaran yang umum
dan dapat terjadi dalam beberapa detik untuk menit. (16)

B. Perdarahan Subaraknoid
Sebelum robek, aneurisma yang biasanya tidak menimbulkan gejala
kecuali menekan pada saraf atau kebocoran sejumlah kecil darah, biasanya
sebelum pecah besar (yang menyebabkan sakit kepala), menghasilkan
tanda-tanda peringatan, seperti berikut :(16)
1) Sakit kepala, yang mungkin luar biasa tiba-tiba dan parah (kadang-kadang
disebut sakit kepala halilintar)
2) Sakit pada mata atau daerah fasial
3) Penglihatan ganda
4) Kehilangan penglihatan tepi
82

Tanda-tanda peringatan dapat terjadi menit ke minggu sebelum pecahnya


aneurisma. Individu harus melaporkan setiap sakit kepala yang tidak biasa ke
dokter segera.(16)
Aneurisma yang pecah biasanya menyebabkan sakit kepala, tiba-tiba parah
dan mencapai puncak dalam beberapa detik. Hal ini sering diikuti dengan
kehilangan kesadaran singkat. Hampir setengah dari orang yang terkena
meninggal sebelum mencapai rumah sakit. Beberapa orang tetap berada dalam
koma atau tidak sadar dan sebagian lainnya bangun, merasa bingung, dan
mengantuk. Dalam beberapa jam atau bahkan menit, penderita mungkin
menjadi tidak responsif dan sulit untuk dibangunkan.(16)
Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak
mengiritasi lapisan jaringan yang menutupi otak (meninges), menyebabkan
leher kaku serta sakit kepala terus, sering dengan muntah, pusing, dan nyeri
pinggang.(16)
Sekitar 25% dari orang yang mengalami gejala-gejala yang
mengindikasikan kerusakan pada bagian tertentu dari otak, seperti berikut :(16)
1) Kelemahan atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh (paling umum
2) Kehilangan sensasi pada satu sisi tubuh
3) Kesulitan memahami dan menggunakan bahasa
Gangguan berat dapat berkembang dan menjadi permanen dalam beberapa
menit atau jam. Demam adalah gejala umum selama 5 sampai 10 hari pertama.
Sebuah perdarahan subaraknoid dapat menyebabkan beberapa masalah serius
lainnya, seperti :(16)
1) Hydrocephalus : Dalam waktu 24 jam, darah dari perdarahan subaraknoid
dapat membeku. Darah beku dapat mencegah cairan di sekitar otak (cairan
serebrospinal) dari pengeringan seperti biasanya tidak. Akibatnya, darah
terakumulasi dalam otak, peningkatan tekanan dalam tengkorak.
Hydrocephalus mungkin akan menyebabkan gejala seperti sakit kepala,
mengantuk, kebingungan, mual, dan muntah-muntah dan dapat meningkatkan
risiko koma dan kematian.
2) Vasospasme : Sekitar 3 sampai 10 hari setelah pendarahan itu, arteri di otak
dapat kontrak (kejang), membatasi aliran darah ke otak. Kemudian, jaringan
83

otak tidak mendapatkan oksigen yang cukup dan dapat mati, seperti pada
stroke iskemik. Vasospasme dapat menyebabkan gejala mirip dengan stroke
iskemik, seperti kelemahan atau hilangnya sensasi pada satu sisi tubuh,
kesulitan menggunakan atau memahami bahasa, vertigo, dan koordinasi
terganggu.
3) Pecah kedua: Kadang-kadang pecah kedua terjadi, biasanya dalam seminggu.

DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


Diagnosis stroke dapat ditegakkan berdasarkan riwayat dan keluhan
utama pasien. Beberapa gejala/tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke
antara lain: hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau
buta mendadak, diplopia. Vertigo, afasia, disfagia, disartria, ataksia, kejang
atau penurunan kesadaran yang keseluruhannya terjadi secara mendadak.(16)
Pada manifestasi perdarahan intraserebral, terdapat pembagian
berdasarkan Luessenhop et al. Pembagian ini juga berguna dalam menentukan
prognosis pada pasien stroke dengan perdarahan intraserebral. (16)
Khusus untuk manifestasi perdarahan subaraknoid, pada banyak studi
mengenai perdarahan subaraknoid ini dipakai sistem skoring untuk
menentukan berat tidaknya keadaan perdarahan subaraknoid ini dan
dihubungkan dengan keluaran pasien.(16)
Sistem grading yang dipakai antara lain :(16)
 Hunt & Hess Grading of Sub-Arachnoid Hemorrhage.
Grade Kriteria
I Asimptomatik atau minimal sakit keoala atau leher kaku
II Sakit kepala sedang hingga berat, kaku kuduk, tidak ada defisit neurologis
III Mengantuk, kebingungan, atau gejala fokal ringan
IV Stupor, hemiparese sedang hingga berat, kadang ada gejala deselerasi
awal
V Koma


WFNS SAH grade.
WFNS grade GCS Score Major facal deficit
84

0
1 15 -
2 13-14 -
3 13-14 +
4 7-12 + or -
5 3-6 + or -

Sistem skoring pada no 1 dan 2 dipakai pada kasus SAH primer akibat
rupturnya aneurisma.(16)
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis stroke dan
menyingkirkan diagnosis bandingnya. Laboratorium yang dapat dilakukan
pada penderita stroke diantaranya adalah hitung darah lengkap, profil
pembekuan darah, kadar elektrolit, dan kadar serum glukosa. (16)
Pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis. Pencitraan otak
adalah langkah penting dalam evaluasi pasien dan harus didapatkan dalam
basis kedaruratan. Pencitraan otak membantu dalam diagnosis adanya
perdarahan, serta dapat menidentifikasi komplikasi seperti perdarahan
intraventrikular, edem otak, dan hidrosefalus. Baik CT non kontras ataupun
MRI otak merupakan pilihan yang dapat digunakan.(16)
CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke hemoragik
dari stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan stroke dari
patologi intrakranial lainnya. CT non kontras dapat mengidentifikasi secara
virtual hematoma yang berdiameter lebih dari 1 cm. (16)
MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan lebih bisa
diandalkan daripada CT scan, terutama stroke iskemik. MRI dapat
mengidentifikasi malformasi vaskular yang mendasari atau lesi yang
menyebabkan perdarahan.(16)
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah elektrokardiogram (EKG)
untuk memulai memonitor aktivitas hantung. Disritmia jantung dan iskemia
miokard memiliki kejadian signifikan dengan stroke. (16)
Stroke dapat didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit lain seperti:
ensefalitis, meningitis, migrain, neoplasma otak, hipernatremia, stroke iskemik,
85

perdarahan subaraknoid, hematoma subdural, kedaruratan hipertensif,


hipoglikemia, labirinitis, dan Transient Ischemic Attack (TIA).(16)

PENATALAKSANAAN
A. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
1) Evaluasi cepat dan diagnosis
2) Terapi umum (suportif)
a. stabilisai jalan napas dan pernapasan
b. stabilisasi hemodinamik/sirkulasi
c. pemeriksaan awal fisik umum
d. pengendalian peninggian TIK
e. penanganan transformasi hemoragik
f. pengendalian kejang
g. pengendalian suhu tubuh
h. pemeriksaan penunjang.(16)

B. Penatalaksanaan Stroke Perdarahan Intra Serebral (PIS)


Terapi medik pada PIS akut :(16)
a. Terapi hemostatik
1) Eptacog alfa (recombinant activated factor VII rF VIIa) adalah obat
haemostasis yang dianjurkan untuk pasien hemofilia yang resisten
terhadap pengobatan faktor VIII replacement dan juga bermanfaat
untuk penderita dengan fungsi koagulasi yang normal.
2) Aminocaproic acid terbuktitidak mempunyai efek menguntungkan.
3) Pemberian rF VIIa pada PIS pada onset 3 jam hasilnya adalah
highly-significant, tapi tidak ada perbedaan bila pemberian dilakukan
setelah lebih dari 3 jam.

b. Reversal of anticoagulation
1) Pasien PIS akibat dari pemakaian warfarin harus secepatnya
diberikan fresh frozen plasma atau prothrombic complex concentrate
dan vitamin K.
86

2) Prothrombic-complex concentrates suatu konsentrat dari vitamin K


dependent coagulation factor II, VII, IX, dan X, menormalkan INR
lebih cepat dibandingkan FFP dan dengan jumlah volume lebih
rendah sehingga aman untuk jantung dan ginjal.
3) Dosis tunggal intravena rFVIIa 10-90µg/kg pada pasien PIS yang
memakai warfarin dapat menormalkan INR dalam beberapa menit.
Pemberian obat ini harus tetap diikuti dengan coagulation-factor
replacement dan vitamin K karena efeknya hanya beberapa jam.
4) Pasien PIS akibat penggunaan unfractionated atau low moleculer
weight heparin diberikan Protamine Sulfat, dan pasien dengan
trombositopenia atau adanya gangguan fungsi platelet dapat
diberikan dosis tunggal Desmopressin, transfusi platelet, atau
keduanya.(16)
a) Pada pasien yang memang harus menggunakan antikoagulan
maka pemberian obat dapat dimulai pada hari ke-7-14 setelah
terjadinya perdarahan.

c. Tindakan bedah pada PIS berdasarkan EBM


a) Keputusan mengenai apakah dioperasi dan kapan dioperasi
masih tetap kontroversial.
b) Tidak dioperasi bila :(16)
1) Pasien dengan perdarahan kecil (<10cm3) atau defisit neurologis
minimal.
2) Pasien dengan GCS <4. Meskipun pasien GCS <4 dengan
perdarahan intraserebral disertai kompresi batang otak masih
mungkin untuk life saving.
c) Dioperasi bila :(16)
1) Pasien dengan perdarahan serebelar >3cm dengan perburukan
klinis atau kompresi batang otak dan hidrosefalus dari obstruksi
ventrikel harus secepatnya dibedah.
87

2) PIS dengan lesi struktural seperti aneurisma malformasi AV atau


angioma cavernosa dibedah jika mempunyai harapan outcome
yang baik dan lesi strukturnya terjangkau.
3) Pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang s/d besar
yang memburuk.
4) Pembedahan untuk mengevakuasi hematoma terhadap pasien
usia muda dengan perdarahan lobar yang luas (>50cm3) masih
menguntungkan.

8. PERDARAHAN SUBARACHNOID
DEFINISI
Proses pecahnya pembuluh darah di ruang yang berada dibawah
arakhnoid (subaraknoid). Prevalensi terjadinya perdarahan subaraknoid dapat
mencapai hingga 33.000 orang per tahun di Amerika Serikat. Perdarahan
subarakhnoid memiliki puncak insidens pada usia ekitar 55 tahun untuk
laki-laki dan 60 tahun untuk perempuan. Lebih sering dijumpai pada
perempuan dengan rasio 3:2.(17)
Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya darah pada
rongga subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis. Perdarahan
subarakhnoid ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga
subarakhnoid yaitu rongga antara lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah
(arakhnoid matter) yang merupakan bagian selaput yang membungkus otak
(meninges).(17)

ETIOLOGI
Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid
adalah ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya malformasi
arteriovenosa (MAV). Terdapat beberapa jenis aneurisma yang dapat
terbentuk di arteri otak seperti :(17)
88

1. Aneurisma sakuler (berry)


Aneurisma ini terjadi pada titik bifurkasio arteri intrakranial. Lokasi
tersering aneurisma sakular adalah arteri komunikans anterior (40%),
bifurkasio arteri serebri media di fisura sylvii (20%), dinding lateral arteri
karotis interna (pada tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri
komunikans posterior 30%), dan basilar tip (10%). Aneurisma dapat
menimbulkan deficit neurologis dengan menekan struktur disekitarnya
bahkan sebelum rupture. Misalnya, aneurisma pada arteri komunikans
posterior dapat menekan nervus okulomotorius, menyebabkan paresis
saraf kranial ketiga (pasien mengalami dipopia). (17)
2. Aneurisma fusiformis
Pembesaran pada pembuluh darah yang berbentuk memanjang disebut
aneurisma fusiformis. Aneurisma tersebut umumnya terjadi pada segmen
intracranial arteri karotis interna, trunkus utama arteri serebri media, dan
arteri basilaris. Aneurisma fusiformis dapat disebabkan oleh aterosklerosis
dan/atau hipertensi. Aneurisma fusiformis yang besar pada arteri basilaris
dapat menekan batang otak. Aliran yang lambat di dalam aneurisma
fusiformis dapat mempercepat pembentukan bekuan intraaneurismal
terutama pada sisi-sisinya. Aneurisma ini biasanya tidak dapat ditangani
secara pebedahan saraf, karena merupakan pembesaran pembuluh darah
normal yang memanjang, dibandingkan struktur patologis (seperti
aneurisma sakular) yang tidak memberikan kontribusi pada suplai darah
serebral.(17)
3. Aneurisma mikotik
Aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil di otak.
Terapinya terdiri dari terapi infeksi yang mendasarinya dikarenakan hal ini
biasa disebabkan oleh infeksi. Aneurisma mikotik kadang-kadang
mengalami regresi spontan; struktur ini jarang menyebabkan perdarahan
subarachnoid.(17)
Malformasi arterivenosa (MAV) adalah anomaly vasuler yang terdiri
dari jaringan pleksiform abnormal tempat arteri dan vena terhubungkan
oleh satu atau lebih fistula. Pada MAV arteri berhubungan langsung
89

dengan vena tanpa melalui kapiler yang menjadi perantaranya. Pada


kejadian ini vena tidak dapat menampung tekanan darah yang datang
langsung dari arteri, akibatnya vena akan merenggang dan melebar karena
langsung menerima aliran darah tambahan yangberasal dari arteri.
Pembuluh darah yang lemah nantinya akan mengalami ruptur dan
berdarah sama halnya seperti yang terjadi paada aneurisma. MAV
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital dan didapat. MAV yang
didapat terjadi akibat thrombosis sinus, trauma, atau kraniotomi. (17)

EPIDEMIOLOGI
Perdarahan Subarachnoid menduduki 7-15% dari seluruh kasus
GPDO (Gangguan Peredaran Darah Otak). Prevalensi kejadiannya sekitar
62% timbul pertama kali pada usia 40-60 tahun. Dan jika penyebabnya
adalah MAV (malformasi arteriovenosa) maka insidensnya lebih sering
pada laki-laki daripada wanita.(17)

PATOFISIOLOGI
Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri
serebral utama. Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam sirkulasi
anterior dan 15% dalam sirkulasi posterior. Secara keseluruhan, tempat
yang paling umum adalah arteri communicans anterior diikuti oleh arteri
communicans posterior dan arteri bifucartio cerebri. Dalam sirkulasi
posterior, situs yang paling lebih besar adalah di bagian atas bifurkasi
arteri basilar ke arterie otak posterior.(17)
Pada umumnya aneurisma terjadi pada sekitar 5% dari populasi orang
dewasa, terutama pada wanita. Penyebab pembentukan aneurisma
intrakranial dan rupture tidak dipahami. Namun, diperkirakan bahwa
aneurisma intrakranial terbentuk selama waktu yang relatif singkat dan
baik pecah atau mengalami perubahan sehingga aneurisma yang utuh tetap
stabil. Pemeriksaan patologis dari aneurisma ruptur diperoleh pada otopsi
menunjukkan disorganisasi bentuk vaskular normal dengan hilangnya
lamina elastis internal dan kandungan kolagen berkurang. Sebaliknya,
90

aneurisma yang utuh memiliki hampir dua kali kandungan kolagen dari
dinding arteri normal, sehingga peningkatan ketebalan aneurisma
bertanggung jawab atas stabilitas relatif yang diamati dan untuk resiko
rupture menjadi rendah.(17)
Meskipun masih terdapat kontroversi mengenai asosiasi ukuran dan
kejadian pecah, 7 mm tampaknya menjadi ukuran minimal pada saat
ruptur. Secara keseluruhan, aneurisma yang ruptur cenderung lebih besar
daripada aneurisma yang tidak rupture. Aneurisma yang pecah.(17)
Puncak kejadian aneurisma pada PSA terjadi pada dekade keenam
kehidupan. Hanya 20% dari aneurisma yang rupture terjadi pada pasien
berusia antara 15 dan 45 tahun. Tidak ada faktor predisposisi yang dapat
dikaitaan dengan kejadian ini, mulai dari tidur, kegiatan rutin sehari-hari,
dan aktivitas berat.4 Hampir 50% dari pasien yang memiliki PSA, ketika
dianamnesis pasti memiliki riwayat sakit kepala yang sangat berat atau
sekitar 2-3 minggu sebelum perdarahan besar. Hampir setengah dari
orang-orang ini meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Puncak kejadian
perdarahan berikutnya terjadi pada 24 jam pertama, tetapi tetap ada risiko
hari-hari berikutnya dapat mengalami perdarahan. Sekitar 20-25% kembali
rupture dan mengalami perdarahan dalam 2 minggu pertama setelah
kejadian pertama. Kematian terjadi terkait perdarahan kedua hampir
70%.(17)

MANIFESTASI KLINIS
Tanda klasik PSA, sehubungan dengan pecahnya aneurisma yang
besar, meliputi :(18)
1. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak
2. Hilangnya kesadaran
3. Fotofobia
4. Meningismus
5. Mual dan muntah
Sebenarnya, sebelum muncul tanda dan gejala klinis yang hebat dan
mendadak tadi, sudah ada berbagai tanda peringatan yang pada umumnya
91

tidak memperoleh perhatian sepenuhnya oleh penderita maupun dokter


yang merawatnya. Tanda-tanda peringatan tadi dapat muncul beberapa jam,
hari, minggu, atau lebih lama lagi sebelum terjadinya perdarahan yang
hebat.(18)
Tanda-tanda perigatan dapat berupa nyeri kepala yang mendadak dan
kemudian hilang dengan sendirinya (30-60%), nyeri kepala disertai mual,
nyeri tengkuk dan fotofobia (40-50%), dan beberapa penderita mengalami
serangan seperti “disambar petir”. Sementara itu, aneurisma yang
membesar (sebelum pecah) dapat menimbulkan tanda dan gejala sebagai
berikut : defek medan penglihatan, gangguan gerak bola mata, nyeri wajah,
nyeri orbital, atau nyeri kepala yang terlokalisasi. (18)
Aneurisma berasal dari arteri komunikan anterior dapat menimbulkan
defek medan penglihatan, disfungsi endokrin, atau nyeri kepala di daerah
frontal. Aneurisma pada arteri karotis internus dapat menimbulkan paresis
okulomotorius, defek medan penglihatan, penurunan visus, dan nyeri
wajah disuatu tempat.(18)
Aneurisma pada arteri karotis internus didalam sinus kavernosus, bila
tidak menimbulkan fistula karotiko-kavernosus, dapat menimbbulkan
sindrom sinus kavernosus. Aneurisma pada arteri serebri media dapat
menimbulkan disfasia, kelemahan lengan fokal, atau rasa baal. Aneurisma
pada bifukarsio basiaris dapat menimbulkan paresis okulomotorius. (18)
Hasil pemeriksaan fisik penderita PSA bergantung pada bagian dan
lokasi perdarahan. Pecahnya aneurisma dapat menimbulkan PSA saja atau
kombinasi dengan hematom subdural, intraserebral, atau intraventrikular.
Dengan demikian tanda kklinis dapat bervariasi mulai dari meningismus
ringan, nyeri kepala, sampai defiist neurologis berat dan koma. Sementara
itu, reflek Babinski positif bilateral.(18)
Gangguan fungsi luhur, yang bervariasi dari letargi sampai koma,
biasa terjadi pada PSA. Gangguan memori biasanya terjadi pada beberapa
hari kemudian. Disfasia tidak muncul pada PSA tanpa komplikasi, bila ada
disfasia maka perlu dicurigai adanya hematom intraserebral. Yang cukup
terkenal adalah munculnya demensia dan labilitas emosional, khususnya
92

bila lobus frontalis bilateral terkena sebagai akibat dari pecahnya


aneurisma pada arteri komunikans anterior.(18)
Disfungsi nervi kraniales dapat terjadi sebagai akibat dari a) kompresi
langsung oleh aneurisma; b) kompresi langsung oleh darah yang keluar
dari pembuluh darah, atau c) meningkatnya TIK. Nervus optikus
seringkali terkena akibat PSA. Pada penderita dengan nyeri kepala
mendadak dan terlihat adanya perdarahan subarachnoid maka hal itu
bersifat patognomik untuk PSA. (18)
Gangguan fungsi motorik dapat berkaitan dengan PSA yang cukup
luas atau besar, atau berhubungan dengan infark otak sebagai akibat dari
munculnya vasospasme. Perdarahan dapat meluas kearah parenkim otak.
Sementara itu, hematom dapat menekan secara ekstra-aksial.(18)
Iskemik otak yang terjadi kemudian erupakan ancaman serta pada
penderita PSA. Sekitar 5 hari pasca-awitan, sebagian atau seluruh
cabang-cabang besar sirkulus Willisi yang terpapar darah akan mengalami
vasospasme yang berlangsung antara 1-2 minggu tau lebih lama lagi.(18)

DIAGNOSIS
Kejadian misdiagnosis pada perdarahan subarakhnoid berkisar antara 23%
hingga 53%. Karena itu, setiap keluhan nyeri kepala akut harus selalu
dievaluasi lebih cermat. Anamnesis yang cermat mengarahkan untuk
mendiagnosis PSA.(18)
Pada pemeriksaan fisik dijumpai semua gejala dan tanda seperti yang
dijelaskan sebelumnya.(18)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT Scan
Pemeriksaan CT scan tanpa kontras adalah pilihan utama karena
sensitivitasnya tinggi dan mampu menentukan lokasi perdarahan lebih
akurat; sensitivitasnya mendekati 100% jika dilakukan dalam 12 jam
pertama setelah serangan tetapi akan turun pada 1 minggu setelah serangan.
CT scan Perdarahan Subarakhnoid.(18)
93

2. Pungsi Lumbal
Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah diagnostic
selanjutnya adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat
penting untuk menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa temuan pungsi
lumbal yang mendukung diagnosis perdarahan subarachnoid adalah
adanya eritrosit, peningkatan tekanan saat pembukaan, dan atau
xantokromia. Jumlah eritrosir meningkat, bahkan perdarahan kecil kurang
dari 0,3 mL akan menyebabkan nilai sekitar 10.000 sel/mL. xantokromia
adalah warna kuning yang memperlihatkan adanya degradasi produk
eritrosit, terutama oksihemoglobin dan bilirubin di cairan serebrospinal.(18)

3. Angiografi
Digital-substraction cerebral angiography merupakan baku emas
untuk deteksi aneurisma serebral, tetapi CT angiografi lebih sering
digunakan karena non-invasif serta sensitivitas dan spesifitasnya lebih
tinggi. Evaluasi teliti terhadap seluruh pembuluh darah harus dilakukan
karena sekitar 15% pasien memiliki aneurisma multiple. Foto radiologi
yang negative harus diulang 7-14 hari setelah onset pertama. Jika evaluasi
kedua tidak memperlihatkan aneurisma, MRI harus dilakukan untuk
melihat kemungkinan adanya malformasi vascular di otak maupun batang
otak.(18)
Adapun parameter klinis yang dapat dijadikan acuan untuk intervensi
dan prognosis pada PSA seperti skala Hunt dan Hess yang bisa digunakan.
Selain skala Hunt dan Hess, skor Fisher juga bisa digunakan untuk
mengklasifikasikan perdarahan subarachnoid berdasarkan munculnya
darah di kepala pada pemeriksaan CT scan.(18)

DIAGNOSIS BANDING
Terdapat beberapa penyakit yang dapat didiagnosis banding dengan stroke
hemoragik akibat perdarahan subarakhnoid, yaitu :(18)
1. Migraine
2. Cluster headache
94

3. Paroxysmal hemicranial
4. Non-hemorrhagic stroke

PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalakasanaan pertama dari perdarahan subarakhnoid adalah
identifikasi sumber perdarahan dengan kemungkinan bisa diintervensi dengan
pembedahan atau tindakan intravascular lain. Jalan napas harus dijamin aman dan
pemantauan invasive terhadap central venous pressure dan atau pulmonary artery
pressure, seperti juga terhadap tekanan darah arteri, harus terus dilakukan. Untuk
mencegah penigkatan tekanan intracranial, manipulasi pasien harus dilakukan
secara hati-hati dan pelan-pelan, dapat diberikan analgesic dan pasien harus
istirahat total.(18)
PSA yang disertai dengan peningkatan tekanan intracranial harus diintubasi
dan hiperventilasi. Pemberian ventilasi harus diatur untuk mencapai PCO2 sekitar
30-35 mmHg. Beberapa obat yang dapat diberikan untuk menurunkan tekanan
intracranial seperti :(18)
1) Osmotic agents (mannitol) dapat menurunkan tekanan intracranial secara
signifikan (50% dalam 30 menit pemberian).
2) Loop diuretics (furosemide) dapat juga menurnukan tekanan intracranial.
3) Intravenous steroid (dexamethasone) untuk menurunkan tekanan
intracranial masih kontroversial tapi direkomendasikan oleh beberapa
penulis lain.
Setelah itu tujuan selanjutnya adalah pencegahan perdarahan ulang,
pencegahan dan pengendalian vasospasme, serta manajemen komplikasi medis
dan neurologis lainnya. Tekanan darah harus dijaga dalam batas normal dan jika
perlu diberi obat-obat antihipertensi intravena, seperti labetalol dan nikardipin.
Akan tetapi, rekomendasi saat ini menganjurkan penggunaan obat-obat anti
hipertensi pada PSA jikalau MABP diatas 130 mmHg. Setelah aneurisma dapat
diamankan, sebetulnya hipertensi tidak masalah lagi, tetapi sampai saat ini belum
ada kesepakatan berapa nilai amannya. Analgesic seringkali diperlukan, obat- obat
narkotika dapat diberikan berdasarkan indikasi. Dua factor penting yang
dihubungkan dengan luaran buruk adalah hiperglikemia dan hipertermia, karena
95

itu keduanya harus segera dikoreksi. Profilaksis terhadap thrombosis vena dalam
(deep vein thrombosis) harus dilakukan segera dengan peralatan kompresif
sekunsial, heparin subkutan dapat diberikan setlah dilakukan penatalaksanaan
terhadap aneurisma. Calcium channel blocker dapat mengurangi risiko komplikasi
iskemik, direkomendasikan nimodipin oral.(18)
Hasil penelitian terakhir yang dilakukan mengemukakan bahwa penambahan
obat cilostazol oral pada microsurgical clipping dapat mencegah kejadian
vasospasme serebral dengan menurunkan resikoresiko yang memperparah
kejadian vasospasme serebral.(18)

KOMPLIKASI
Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering pada
perdarahan subarachnoid. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa status
mental, deficit neurologis fokal. Vasospasme akan menyebabkan iskemia serebral
tertunda dengan dua pola utama, yaitu infark kortikal tunggal dan lesi multiple
luas.(18)
Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Untuk mengurangi risiko
perdarahan ulang sebelum dilakukan perbaikan aneurisma, tekanan darah harus
dikelola hati-hati dengan diberikan obat fenilefrin, norepinefrin, dan dopamine
(hipotensi), labetalol, esmolol, dan nikardipi (hipertensi). Tekanan darah sistolik
harus dipertahankan >100 mmHg untuk semua pasien selama ±21 hari. Sebelum
ada perbaikan, tekanan darah sistolik harus dipertahankan dibawah 160 mmHg
dan selama ada gejala vasospasme, tekanan darah sistolik akan meningkat sampai
1200- 220 mmHg.(18)
Selain vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi lain yang dapat terjadi
adalah hidrosefalus, hiponatremia, hiperglikemia dan epilepsi. (18)
96

9. SPONTANEOUS INTRACEREBRAL HEMORRHAGE (ICH)


DEFINISI
Intracerebral hemorrhage terjadi ketika pecahnya pembuluh darah di
dalam otak yang menyebabkan beredarnya darah ke dalam jaringan otak.
Darah ini yang menyebabkan terjadinya tekanan pada otak yang mampu
menyebabkan sebagian sel otak mati dan kehilangan fungsi pada beberapa
bagian tubuh.(19)
Intracerebral hemorrhage adalah pengeluaran darah secara akut dan
spontan dari pembuluh darah ke dalam parenkim otak. Perdarahan ini mampu
mencapai ventrikel dan atau subarachnoid-space.(19)

ETIOLOGI
1) Hipertensi 80% : Meningkatnya tekanan darah yang dapat
menyebabkan pembuluh darah kecil pecah di dalam otak.
2) Blood thinner therapy : obat-obatan seperti coumadin, heparin, dan
warfarin digunakan untuk mengobati jantung dan kondisi stroke.
3) AVM : jalinan arteri dan vena yang abnormal tanpa kapiler
4) Aneurisma: tonjolan atau melemahnya dinding arteri.
5) Trauma kepala : Patah tulang pada tengkorak dan luka tembus
(tembak) dapat merusak arteri dan menyebabkan perdarahan.
6) Gangguan perdarahan : hemofilia, anemia sel sabit, DIC,
trombositopenia.
7) Tumor : Tumor yang sangat vaskular seperti angioma dan tumor
metastasis dapat menyebabkan terjadinya perdarahan ke dalam
jaringan otak.
8) Amyloid angiopathy 80% : penyakit degeneratif arteri.
9) Penggunaan obat: kokain dan obat terlarang lainnya dapat
menyebabkan perdarahan intraserebral.
10) Spontan: ICH oleh penyebab yang tidak diketahui.(19)
97

KLASIFIKASI
Berdasarkan kelainan patologis :(19)
1) Stroke hemoragik
a) Perdarahan intra serebral
b) Perdarahn ekstra serebral (Subarachnoid)
2) Stroke non-hemoragik (stroke iskemik, infrak otak, penyumbatan)
a) Stroke akibat thrombosis serebri
b) Emboli serebri
c) Hipoperfusi sitemik

Gambar 32. Tipe Stroke.(19)


98

Berdasarkan waktu terjadinya :(19)


1) Transient Ischemic Attack (TIA)
2) Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND)
3) Stroke in evolution (SIE)/ Progressing stroke
4) Completed stroke
Berdasarkan lokasi lesi vaskuler :(19)
1. Sistem karotis
a) Motorik : himeparese kontralateral, disartria
b) Sensorik : Hemihipestesi kontralateral, parestesia
c) Gangguan visual : Hemianopsia homonym kontralateral,amaurosis
fugaks
d) Gangguan fungsi luhur : afasia, agnosia
2. Sistem vertebrobasiler
a) Motorik : hemiparese alternans, disartria
b) Sensorik : hemihipestesi alternans, parestesia
c) Gangguan lain : gangguan keseimbangan, vertigo, diplopia

PATOFISIOLOGI
Etiologi dan patofisiologi perdarahan intracerebral primer masih
kontroversi. Perdarahan intraserebral primer adalah disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah arterioles, pada kebanyakan kasus dengan hipertensi arterial.
Pecahnya pembuluh darah spontan adalah disebabkan berkurangnya elastisiti
pembuluh darah dan meningkatnya suseptibiliti. Cerebral amyloid angiopati
adalah penyakit yang tersering pada orang berusia. Perdarahan intrserebral
mengambil jalan yang paling rendah resistensinya dan menyebar sepanjang
neuronal fiber. Perdarahan intrserebral yang belokasi pada suprtatentorial
menyebabkan meningkatnya tekanan intracranial jika volume lebih dari 60cc
atau adanya lebih banyak atrofi pada otak. Akhirnya meningkatkan tekanan
pada jaringan dan hemostasis akhirnya menghentikan perdarahan.
Meningkatnya tekanan pada jaringan seterusnya ICH menyebabkan bahaya
Iskemik pada area tersebut yang menyebabkan sitotoksik edema otak dalam
waktu 24 sampai 48 jam. Mekanisme ini menyebabkan peningkatan
99

intracranial sekunder dapat menyebabkan kelainan neurologis sekunder dan


memerlukan pengobatan yang lebih.(19)
Perdarahan terkumpul dan membeku disebut sebagai hematoma, akan
terus membesar dan meningkatkan tekanan pada jaringan sekitar otak.
Peningkatan tekanan intracranial menyebabkan pasien konfius dan letargi.
Pada tempat perdarahan suplai darah berkurang dan menyebabkan stroke. Sel
darah yang mati melepaskan toksin dan menambahkan lagi kerusakan
jaringan di sekitar hematoma.(19)
Perdarahan intraserebral bisa terjadi pada superfisial atau terjadi lebih dalam
pada otak. Perdarahan yang dalam dapat menyebar sampai ke ventrikel. (19)

Gambar 32. Efek patologis.(19)

1) Efek dari space occupaying – otak bergeser


2) Hematoma dapat menyebabkan pelebaran untuk beberapa jam pertama jika
perdarahan terus berlanjut. Dalam waktu 48 jam darah dan plasma akan
mengelilingi otak dan menyebabkan gangguan pada sawar darah otak,
edema vasogenik dan sitotoksik, kerusakan neural dan nekrosis. Resolusi
hematoma terjadi dalam 4-8 minggu meninggalkan kavitas kista.(19)

FAKTOR RESIKO
Tabel 7. Faktor risiko Spontan ICH.(20)
Sering Jarang
Hipertensi Trombosis vena cerebral
Umur Infeksi (aneurisme mikotik,vaskulitis)
Ras Neoplasma
100

Pengunaan alcohol yang berlebihan Malformasi vascular


Pengunaan Tembakau Apolipoprotein E
Pengunaan obat antikoagulan/
penyakit koagulopati
Kokain

DIAGNOSIS
Semua pasien dengan ICH mempunyai gejala yang berat mirip acute
ischemic stroke (AIS) dan perdarahan subarachnoid (SAH), beberapa
penelitian menunjukkan kebanyakan dari pasien memiliki gejala yang
progresif dari mula. Penyelidikan konsisten dari tahun 1990s, dimana
menunjukkan perdarahan bertambah kira kira 40% dari pasien dalam masa 3
jam dari onset.Permulaan gejala ICH termasuk bekurangnya kesadaran
(medekati 50%), sakit kepala (40%), muntah (40-50%) dan hipertensi
(80-90%).Pasien ICH di rekomendasi pemeriksaan neuroimaging untuk
membezakan iskemik atau stroke perdarahan.(20)
Tabel 7. Skor ICH.
Komponen Skor ICH
Skor GCS
3-4 2
5-12 1
13-15 0
Volume ICH,cm3
≥ 30 1
<30 0
IVH
Ya 1
Tidak 0
ICH yang berasal dari
infratentorial 1
Ya 2
Tidak
101

Umur
≥ 80 1
< 80 0
Total Skor ICH 0-6

Skor ICH adalah dikembangkan dari model regresi logistik untuk


semua pasien ICH. 5 karakteristik prediktor mortalitas 30 hari (dan
karena itu termasuk dalam model regresi logistik) yang masing-masing diberi
titik pada dasar kekuatan hubungan dengan hasilnya. Jumlah Skor ICH
adalah jumlah poin dari berbagai karakteristik. Tabel menunjukkan point
tertentu yang digunakan dalam menghitung Skor ICH.(20)
Skor GCS palingsangat terkait dengan hasil, itu diberikan palingberat
dalam skala. GCS dibagi menjadi 3 subkelompok (GCS skor dari 3 sampai 4,
5 sampai 12, dan 13 sampai 15) lebih akurat mencerminkan pengaruh yang
sangat kuat dari skor GCS pada hasil. Dari catatan, di UCSF (University of
California, SanFrancisco) ICH kohort, hanya 1 dari 35 pasien dengan skor
GCS menunjukkan 3- 4 selamat sampai 30 hari, dan hanya 5 dari 60 pasien
dengan skor GCS menunjukkan dari 13-15 meninggal, sedangkan 29 dari 57
pasien dengan skor GCS dari 5-12 meninggal dalam waktu 30 hari.(20)
Umur lebih atau lebih 80 tahun juga sangat sangat terkait dengan
mortalitas 30 hari. Karena usia di model prediksi yang pendikotomian sekitar
titik potong dari 80 tahun dan tidak terkait dengan hasil di Kelompok
infratentorial pasien, hanya 1 poin ditugaskan untuk pasien berusia lebih
sama dengan 80 tahun.(20)
IVH, infratentorial asal ICH, dan Volume ICH semua memiliki
kekuatan yang relatif sama hasil asosiasi dan karena itu ditimbang sama di
Skor ICH. IVH dan infratentorial asal ICH yang dikotomis variabel dengan
poin yang ada. Volume ICH adalah pendikotomian untuk, < 30 dan ≥ 30
cm3.Tiga puluh sentimeter kubik dipilih karena merupakan titik potong untuk
meningkat kematian di kohort UCSF ICH, mudah diingat, dan mirip dengan
volume ICH titik potong yang digunakan dalam sebelum models. Selanjutnya,
tidak ada pasien dengan ICH infratentorial di UCSF ICH kohort memiliki
102

volume hematoma ≥ 30 cm3. Poin tambahan tidak ditugaskan untuk


hematoma lebih besar (misalnya, >60 cm 3) karena, ketika diuji, ini tidak
meningkatkan akurasi Skor ICH dan akan diwakili sama dengan skor GCS,
yang tidak dibenarkan pada dasar kekuatan asosiasi hasil dalam logistic
model regresi.(20)
Skor ICH adalah dari 0-5 dari kohort yang dari berbagai kategori.
Semakin bertambah Skor ICH semakin bertambah kematian dalam masa 30
hari.Pasien dengan Skor ICH 0 biasanya tidak ada yang mati, dan Skor ICH 5
kebanyakan semua pasien meninggal. Tingkat kematian tiga puluh hari untuk
pasien dengan Skor ICH dari 1, 2, 3, dan 4 adalah 13%, 26%, 72%, dan
97%, masing-masing. Tidak pasien di UCSF ICH kohort memiliki Skor ICH
dari 6 karena tidak ada pasien dengan ICH infratentorial memiliki hematoma
Volume ≥ 30 cm3. Namun, mengingat bahwa tidak ada pasien dengan ICH
Skor dari 5 selamat, Skor ICH dari 6 akan diharapkan untuk dikaitkan
dengan risiko mortalitas yang sangat tinggi.(20)

Gambar 33. Lokasi perdarahan Intraserebral.(20)


103

GEJALA KLINIS
1) Onset perdarahan bersifat mendadak,terutama sewaktu melakukan
aktivitas dan dapat didahului oleh gejala prodromal berupa
peningkatan tekanan darah yaitu nyeri kepala,mual
muntah,gangguan memori,bingung,perdarahan retina dan epistaksis.
2) Penurunan kesadarn yang berat sampai koma disertai
hemiplegia/hemiparase dan dapat disertai kejang fokal/umum.
3) Tanda-tanda penekanan batang otak,gejala pupil unilateral,reflex
pergerakan bola mata menghialang dan deserebrasi.
4) Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intracranial (TTIK),
misalnya papilledema dan perdarahan subhialoid.
Mendiagnosa dengan cepat ICH sangat penting. Perkembangan klinis
yang cepat selama beberapa jam pertama dengan cepat dapat menyebabkan
kerusakan neurologis dan ketidakstabilan kardio-paru. Presentasi klasik
dalam ICH adalah timbulnya progresif defisit neurologis fokal selama menit
ke jam dengan disertai sakit kepala, mual, muntah, penurunan tingkat
kesadaran dan peningkatan tekanan darah relatif pada stroke iskemik dan
perdarahan subarachnoid, biasanya lebih mendadak. Gejala sakit kepala dan
muntah juga diamati lebih sering pada stroke iskemik dibandingkan dengan
ICH. Gejala ICH biasanya karena peningkatan ICP. Hal ini sering dibuktikan
melalui kehadiran triad Cushing –hipertensi, bradikardia dan respirasi tidak
teratur– dipicu oleh Cushing reflex. Dysautonomia juga sering terjadi di ICH,
termasuk juga hiperventilasi, takipnea, bradikardia, demam, hipertensi dan
hyperglycemia.(20)

PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik dicari ada tidaknya tanda-tandanya trauma, yang
bisa menyebabkan terjadinya ICH dan tanda-tanda cedera. Spesifik neurologi
defisit berkolerasi dengan lokasi ICH dan defisit mirip pada AIS berhubung
juga dengan distribusi vaskular.(20)
104

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Neuroimaging

Gambar 33. CT-scan adalah X-ray non-invasif untuk melihat struktur


anatomi dalam otak untuk melihat apakah ada darah di otak. Sebuah
teknologi baru yang disebut CT angiography melibatkan injeksi kontras ke
dalam aliran darah untuk melihat arteri otak.(20)

Gambar 34. CT scan pada AVM.(20)

Pemeriksaan CT-scan adalah gold standard untuk permulaan


neuroimaging pada suspek ICH dan akankekal beberapa decade kedepan. CT
imaging bukan sahaja memeriksaa saiz dan lokasi pada perdarahan tetapi
boleh memberitahu penyebab lain perdarahan dan komplikasi kedua.(20)
105

Angiography/ CT angiography dilakuakan secepatnya jika didapatkan


gejala klinis yang memerlukan operasi secepatnya.Untuk mengidentifikasi
penyebab sekunder seperti AVM dan aneurysma atau vaskulitis.Pemeriksaan
imaging lain seperti MRI atau cerebral angiography diperlukan untuk
mengetahui lebih lanjut perdarahan pada kasus tidak khas. (20)
Metode yang mudah untuk mengetahui volume hematom yang
pertama kali di publisi oleh Kothari dan kawan-kawan adalah, mereka
eringkaskan rumus volume ellipsoid menjadi ABC/2 , dimana A B dan C
merupakan diameter diameter terbesar di setiap aksis ortoganal, dengan C
sebagai dasar penomoran CT slide hematom yang dilihat berdasarkan tingkat
ketebalan potongannnya.Pengukuran sangat berguna dalam perkembangan
hemoragik dan penentuan prognosis awal.(20)

PENATALAKSANAAN
Penanganan :(20)
a. Step 1
1) Pasien harus dirawat dan distabilisasi menurut ATLS
2) Pasien dengan GCS dibawah 9 dilakukan pemasangan ETT
b. Step 2
Riwayat Penyakit pertanyaan sebaiknya mencakup riwayat trauma,
riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes, merokok, alcohol,
riwayat pengobatan (khususnya kokain, warfarin, aspirin, antikoagulan yang
lain), penyakit hematologi, penyakit hati, neoplasma, dan infeksi, atau AVM.
c. Step 3
Penilaian gejala dengan menggunakan skala ROSIER (skor > 0,90 %
berpotensi untuk stroke) untuk diagnose, dan ICH (skor yang lebih besar,
hasil yang lebih jelek) dan skor FUNC (skor yang lebih besar,berpeluang
mempengaruhi kualitas hidup) untuk prognosis.
d. Step 4
Tes laboratorium dilakukan untuk pemeriksaan penunjang, menilai
faktor resiko ICH dan penyebab lain yang dapat menyebabkan ICH,
106

pemeriksaannya meliputi darah rutin, elektrolit, INR, PT, tes kehamilan, tes
toksikologi, matrix metalloproteinase, foto thorax dan ECG.
e. Step 5
Pemeriksaan Radiologi CT-scan dan MRI merupakan pilihan pertama
untuk pemeriksaan radiologi. Dengan menggunakan CTA “spot sign” dapat
diindikasi dimana merupakan faktor risiko terhadap perluasan hematom dan
sebagai peringatan terhadap prognosis yang jelek jika tidak segera ditangani.
f. Step 6
1) Terapi potensial untuk ICH: menghentikan atau memperlambat perdarahan
dini pada awal kejadian setelah onset (farmakoterapi, pembedahan, coiling
endovaskular).
2) Penatalaksanaan terhadap gejala,tanda,dan komplikasi seperti peningkatan
intra cranial,penurunan perfusi otak, dan terapi suportif untuk pasien
dengan trauma kepala berat.
Tabel 8. Flowchart untuk pendekatan stroke, khususnya perdarahan
intraserebral (ICH), dalam pengaturan perawatan akut dimulai dengan riwayat,
pemeriksaan laboratorium, pencitraan diagnostic dan pengobatan akut.(20)
Komponen Poin
Volume ICH (m3)
<30 4
30-60 2
>60 0
Umur (thn)
<70 2
70-79 1
>80 0
Lokasi ICH
Lobus 2
Perdarahan yang lebih 10
dalam
Infra tentorial
Skor GCS
107

≥9 2
≤8 0
Gangguan kognitif pre-ICH
Ada 1
Tidak ada 0

Tabel 9. The FUNC (Functional outcome risk stratification) skor menilai


pasien untuk risiko gangguan fungsional pada 90 hari pasca-stroke. Skor
berkisar 0-11 berdasarkan pada volume ICH, usia, lokasi ICH, skor GCS, dan
pra-ICH gangguan kognitif. Sebuah skor yang lebih besar dikaitkan dengan
kesempatan lebih besar untuk kemandirian fungsional, yang didefinisikan
sebagai GCS > 4, pada 90 hari.(20)
Komponen Poin
Kelemahan wajah asimetris 1
Kelemahan lengan asimetris 1
Gangguan bicara 1
Gangguan lapangan pandang 1
Kejang -1
Hilang kesadaran -1

Tabel 9. Rosier Skala adalah alat penilaian stroke yang cepat yang
menggunakan tanda-tanda klinis untuk membantu menyingkirkan mimik
stroke. Itu berkisar skala dari -2 ke +5 poin, dengan skor pasien lebih besar
dari 0 menjadi cenderung memiliki stroke.(20)
108

Penanganan Operatif :(20)


a. Non Operatif
Tanda-tanda vital pasien harus segera distabilkan menurut ATLS
guidelines.Pasien dengan ICH sering mempunayi masalah pada jalan
napas dan mungkin perlu intubasi endotrakeal (kriteria intubasi, GCS <8).
urutan cepat intubasi adalah pendekatan yang lebih disukai dengan
administrasishort-acting IV thiopental (1-5 mg/kg) atau lidocaine (1 mg/kg)
untuk mencegah peningkatan ICP yang mungkin timbul dari trakea
stimulation. X-ray foto dan EKG harus dilalukan untuk menilai fungsi
kardiopulmoner. CT scan kemudian harus diperoleh untuk menentukan
lanjut manajemen dan membuat diagnosis. Pasien ICH sering kali ada
kebutuhan untuk mentransfer pasien ke unit perawatan intensif untuk
pemantauan ICP dan intervensi bedah saraf. Dokter harus menentukan
apakah tingkat perawatan yang dibutuhkanmelebihi kapasitas fasilitas
mereka dan jika pasien mereka perlu ditransfer ke terdekat tersier centre
Stroke. Pendarahan, kejang, tekanan darah, dan tekanan intracranial harus
dipantau dan dikendalikan secara aktif. Terbaru pedoman dari AHA/ASA
menyatakan bahwa glukosa harus dipantau dan normoglycemia dianjurkan
(Kelas I : Tingkat, Bukti : C). Perhatian khusus harus diberikan kepada
risiko iatrogenic hipoglikemia dikaitkan dengan peningkatan risiko
mortality. Antasida diberikan untuk mencegah ulkus lambung yang
berkaitan. Demam harus dikontrol dan profilaksis tromboemboli dilakukan
dengan stoking kompresi. Normothermia direkomendasikan sebagai
hipertermia ringan bahkan dapat menyebabkan kerusakan sel di daerah
iskemik penumbra pasca stroke .Setelah 1-2 hari pengobatan, terapi heparin
dapat dipertimbangkan untuk profilaksis tromboemboli lebih lanjut saat
tidak ada peningkatan risiko perdarahan berulang pada pasien.Reversibel
warfarin antikoagulan dilakukan untuk mengendalikan pendarahan dan ICH.
Ini harus diselesaikan secepat mungkin untuk menghentikan perluasan
hematoma lanjut. Agen untuk Terapi reversibel termasuk intravena vitamin
K (VAK), segarbeku plasma (FFP), protrombin kompleks konsentrat (PCC)
dan rFVIIa.Vitamin K harus diberikan dengan baikFFP atau PCC karena
109

membutuhkan lebih dari enam jam untuk menormalkan INR. Tekanan darah
harus dikontrol untuk mencegah perdarahan kembali dan expansi hematoma.
Beta-blocker, seperti Labetalol, dan ACE inhibitor, seperti enalapril, sering
digunakan untuk mencapai kontrol tekanan darah. Nitroprusside dapat
meningkatkan tekanan intrakranial dan harus dihindari, kecuali bila
diperlukan pada pasien dengan asma atau gagal jantung di mana betablocker
kontraindikasi. Kontrol hipertensi tergantung pada tekanan sistolik, berarti
tekanan arteri (MAP) dan ada tidaknya tekanan intrakranial pada masuk dan
berada di luar lingkup makalah ini, terdapat pada 2010 AHA/ASA
guidelines. Tekanan Intrakranial (ICP) manajemen bergantung pada elevasi
dari kepala tempat tidur untuk 40 derajat untuk meningkatkan jugularis vena
keluar. Terapi yang lebih agresif, seperti terapai osmotic (manitol,
hipertonik salin) membutuhkan tekanan intrakranial dan BP pemantauan
untuk mempertahankan otak yang memadai tekanan perfusi lebih besar dari
70 mmHg. Berikut adalah rutin digunakan selama transfer pasien dari pusat
perifer. Perhatian khusus harus diberikan kepada risiko iatrogenic hipotensi
yang disebabkan oleh hipertensi yang cepat dan agresif, yang dapat
menyebabkan ischemia serebral Untuk control kejang, pedoman 2010
AHA/ASA merekomendasikan bahwa pasien dengan kejang disertai
dengan perubahan status mental harus diperlakukan dengan benzodiazepin
untuk kejang control yang cepat dan Phenytoin untuk manajemen jangka
panjang.(20)

b. Operatif
Tujuan ideal pengobatan bedah ICH seharusnya membuang
sebanyak bekuan darah secepat mungkin dengan sedikitnya jumlah trauma
otak dari operasi itu sendiri.Jika memungkinkan, operasi juga harus
menghapus penyebab yang mendasari ICH, seperti malformasi arteri, dan
mencegah komplikasi ICH seperti efek hidrosefalus dan massa dari bekuan
darah. Kraniotomi telah menjadi pendekatan standar untuk ICH.Keuntungan
utamanya adalah eksposur yang memadai untuk membuang darah yang
menggumpal.Menghilangkan bekuan lebih lengkap dapat menurunkan ICP
110

dan efek tekanan lokal dari bekuan darah di sekitarnya otak.Kerugian utama
dari bedah lebih luasPendekatan adalah bahwa hal itu dapat menyebabkan
kerusakan otak lebih lanjut, khususnyapada pasien dengan perdarahan yang
dalam.Selain itu,efektivitas menghilangkan bekuan oleh kraniotomi jauh
dari Ideal.(20)

Gambar 35. Indikasi operasi pada pasien ICH. (20)


111

DAFTAR PUSTAKA

1. Price SA., Lorraine MCW. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses


Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2009.
2. Ginsberg L. Lecture Notes Neurologi. Edisi 8. Jakarta: Erlangga; 2008.
3. Paulsen F, Waschke J. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Edisi ke-23. Jakarta:
EGC; 2010.
4. Saridadi, Dasa. Aspek operatif medulla spinalis dan tulang belakang. Jakarta:
FK UPH; 2007.
5. Browmn RH, Mendell JR., Braundwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Longob DL, Jameson JR. Muscular dystrophies and other muscle diseases.
Harrison’s 9.-Principles of internal medicine. 15 th Eds. USA: McGraw-Hill.
pp.2538; 2011.
6. Kalita J, Nair PP, Kumar G. Renal tubular acidosis presenting as respiratory
paralysis: Report of a case and review of literature. Neurol India. 58:106–108.
7. Lin SH, Lin YF, Halperin ML. Hypokalemia and paralysis. Q J Med. 94:133–
139; 2010.
8. Maurya PK, Kalita J, Misra UK. Spectrum of hypokalaemic periodic
paralysis in a tertiary care centre in India. Postgrad Med J. 86:692–695; 2010.
9. Mujais SK and Katz AI. Kalium deficiency. In: Seldin DW, Giebsich G, 3 th
eds. The KIDNEY Physiology & patophysiology. Philadelphia: Lippincott
Williams & wilkins. pp. 1615 – 1646; 2009.
10. Robinson JE, Morin VI, Douglas MJ, Wilson RD. Familial hypokalemic
periodic paralysis and Wolff parkinson-white syndrome in pregnancy. Canada:
Journal Anaesth. 47:160–164; 2010.
11. Ropper AH, Brown, Robert H, Adam, Victor's. Principles Of Neurology. In:
Myasthenia Gravis And Related Disorders Of The Neuromuscular Junction 8
Th Ed. America: Mc Graw Hill; 2015.
12. Kasper, Fauci, Hauser. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19 th
Edition. New York: Mc Graw Hill Education; 2015.
13. Ginsberg, lionel, Lecture Notes Neurologi. Jakarta: Erlangga Medical Series;
2007.
14. Ashley JM. Traumatic Brain Injury. New York: CRC Press; 2017.
112

15. Spiotta A, Stiefel MF, Gracias VH, et al. Brain Tissue Oxygen-directed
Management and Outcome in Patients with Traumatic Brain Injury. America:
Journal of Neurosurgery; 2010.
16. Rasad, Sjahriar. Radiologi Diagnostik Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI; 2012.
17. Price, SA, Wilson, LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi ke-6. Jakarta: ECG; 2011.
18. Baehr M, Frotcsher M.Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi,
Tanda, Gejala. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012
19. SetyopranotoI. Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid. Jakarta:
Continuing Medical Education; 2012.
20. Raichart R, Frank S. Department of surgery. Germani: Jena University
Hospital, Friedrich-schiller-University, Erlanger Alle 101, D-07747 Jena
Germany; 2011.

Anda mungkin juga menyukai