SKENARIO 3
JATUH DARI POHON
STEP 1
1. Propioseptif : Rasa, Sikap getar, Nyeri dalam (dari struktur
otot) ligament fascia dan os.
2. Ekstroseptif : Rasa raba nyeri dan suhu.
3. Pemeriksaan sensabilitas : Untuk menilai kepekaan perasaan kemampuan
atau mengenali.
STEP 2
1. a. Bagaimana mekanisme keluhan pada pasien dihubugkan dengan riwayat
terjatuh dari pohon?
b. Mengapa awalnya lemah pada tangan kiri saja dan diikuti dengan lengan
kanan?
c. Mengapa nyeri terutama dirasakan bila pasien menekuk lehernya?
d. Bagaimana hubungan antara cervicalis 4 dan keluhan pasien?
2. Bagaimana diagnosis pada kasus tersebut?
3. Bagaimana pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sesuai kasus?
4. Bagaimana penatalaksanaan awal pada kasus tersebut?
2
STEP 3
1. a. Cedera karena jatuh dari pohon lalu kerusakan vertebra lalu kerusakan
medspin lalu medspin mengalami trauma.
b. Kerusakan jalur sympathetic descending lalu terputusnya jaras saraf
medulla spinalis lalu injurt complete /incomplete lau tetra plegi, paraplegi
lalu mobiltas fisik terganggu.
c. Penyebab nyeri: terjadi cedera medspin lalu terjadi penurunan darah ke
otak lalu penurunan kesadaran terjadi nyeri
d. Kesemutan : akibat penekanan dari serabut saraf sensorik lalu
diakibatkan menipisnya selubung myelin pada saraf
Efek trauma meliputi fraktur dan dislokasi mengakibatkan timbulnya lesi
pada medulla spinalis
2. a. Gejala klinis : Nyeri pada leher belakang, paraplegi, paralisis motorik dan
sensorik, penurunan tonus dan vasomotor dan penurunan fungsi
pernapasan.
b. Riwayat Penyakit Sekarang : Lokasi kelemahan, paraplegia atau lainnya,
gejala semakin parah atau tidak, obat 2 kali untuk menurunkan gejala,
nyeri menjalar atau tidak, apakah ada keluhan pada bab dan bak,
gangguan fungsi seksual
c. Riwayat Penyakit Dahulu : Trauma,dm,alergi dan osteoarthritis
3. a. Pemeriksaan Fisik : Penilaian ABC, GCS, TTV
b. Pemeriksaan khusus : motorik, sensorik, refleks fisiologis, refleks
patologis.
c. Diagnosis banding :
1) Complete syndrome : multilevel dan unilevel
2) Incomplete syndrome :
a) Central Cord Syndrome
b) Anterior Cord Syndrome
c) Posterior Cord Syndrome
d) Brown Sequard Syndrome
e) Conus Medullary Syndrome
f) Cedera Cauda Equine Complete
3
STEP 4
1. Cedera medulla spinalis lalu herniasi saraf.
2. Pendarahan pada sumsum tulang lalu perpindahan dari intraseluler ke
ekstraselular.
3. Reaksi peradangan : aktifnya bradikinin sehingga timbulnya nyeri
C5 : Penurunan hasil heart rate
C4-C7 : Blok saraf motorik ekstremitas
T1-T12 : Peningakatan suhu tubuh mendadak
S2-S4 : Penis ereksi (disfungsi seksual)
S2-S3 : Inkontinesia defekasi
L1-l3 : Hilangnya fungsi motorik pelvis serta tungkai ,hilangnya sensasi
dari abdomen bagian bawah dan tungkai tidak terkontrol
Trauma medspin lalu rusak jaringan saraf lalu timbul nyeri
UMN LMN
Tonus Hipertonus Hipotonus
Atrofi - +
Reflex fisio Naik Turun
Refleksi + -
Gejala klinis : Nyeri pada leher belakang, paraplegi, paralisis motorik dan
sensorik, penurunan tonus dan vasomotor, penurunan fungsi pernapasan
Riwayat Penyakit Sekarang : Lokasi kelemahan, paraplegi atau lainya, gejala
semakin parah atau tidak, obat 2 kali untuk menurunkan gejala, nyeri menjalar
atau tidak, apakah ada keluhan pada BAB dan BAK dan gangguan fungsi seksual.
Riwayat Penyakit Dahulu : Trauma, Diabetes Melitus, Alergi dan
Osteoarthritis
Complete Syndrome, adanya paraplegi dan tetraplegia
Incomplete Syndrome :
1) Central Cord Syndrome, hilangnya kekuatan motorim lebih banyak pada
ekstremitas atas disbanding bawah
2) Anterior Cord Syndorome, ditandai dengan paraplegi dan kehilangan
sensorik disosiasi dengan kehilangan sensasi nteri dan suhu
3) Posterior Cord Syndrome, terjadi karena kompresi atau kerusakan pada
arteri spinalis anterior
4) Brown Sequard Syndrome, cedera akibat trauma corda spinalis disebabkan
oleh tumor pada korda spinalis
Trauma iskemik :
1) Myelopati,penekanan pada medula spinalis dan lesi ekstradural
2) Radikulopati,nyeri menjalar dari atas ke bawah
3) LBP, nyeri di punggung bawah menjalar
Tatalaksana awal : Mencegah syok, stabilitasi leher, imobilisasi leher lalu
dengan meletakan pasien supine dengan penggunaan colarr neck
Terapi utama :
1) Metilprednisolon 30 mg/k untuk memperbaiki aliran darah dan
memperbaiki kalsium ekstrasel
2) Dopamine apabila terjadi hipertensi
3) Cairan intravena untuk kecurigaan trauma spinal syok neurogenik, terjadi
pemberian vasopresor yaitu dopamine, adrenalin, infus metilpridnisolon
terus menerus selama 23 jam dosis 5,4 mg/kgbb/jam
5
MIND MAP
Etiologi
Patofisiologi
Manifestasi
Klinis
CEDERA
MEDULLA Diagnosis Diagnosis Kerja
SPINALIS
Pemeriksaan Diagnosis
Penunjang Banding
Tata Laksana
dan KIE
Komplikasi
STEP 5
1. Incomplete Syndrome (Brown Sequard Syndrome, Syndrome Spinalis
Central, Syndrome Spinalis Anterior, dan Syndrome Spinalis Posterior)
2. Periodic Paralisis
3. Myestenia Gravis
4. GBS
5. Traumatic Brain Injury
6. Subarachnoid Hemorrage
7. Acute Ischemic Stroke
8. Spontaneous Intracerebral Hemorrhage
STEP 6
(Belajar Mandiri)
6
STEP 7
1. INCOMPLETE SYNDROME
A. BROWN SEQUARD SYNDROME
DEFINISI
Brown-Séquard Syndrome adalah suatu kondisi neurologis yang
ditandai dengan kehilangan fungsi motorik, proprioseptif dan rasa getar
ipsilateral akibat disfungsi traktus kortikospinal dan kolumna dorsalis,
disertai dengan kehilangan sensasi nyeri dan suhu kontralateral sebagai akibat
dari disfungsi traktus spinothalamikus.(1)
Penyebab paling sering dari Brown-Séquard Syndrome adalah cedera
akibat trauma korda spinalis. Brown-Séquard Syndrome dapat juga
disebabkan tumor pada korda spinalis, trauma (misalnya pada pungsi di leher
dan tulang belakang), iskemia (pada obstruksi pembuluh darah) serta infeksi
atau inflamasi seperti tuberkulosis atau multiple sclerosis. Herniasi discus
cervicalis yang disebabkan Brown-Séquard Syndrome merupakan kasus yang
jarang.(1)
Brown-Séquard Syndrome disebut juga Brown-Séquard’s hemiplegia
dan Brown-Séquard’s Paralysis.(1)
Brown-Séquard Syndrome didefinisikan sebagai sebuah lesi
incomplete pada korda spinalis yang ditandai dengan paralisis upper motor
neuron ipsilateral dan kehilangan sensasi proprioseptif dengan kehilangan
sensasi rasa sakit dan suhu kontralateral.(1)
ETIOLOGI
Brown-Séquard Syndrome dapat disebabkan oleh segala macam
mekanisme yang mengakibatkan kerusakan pada satu sisi korda spinalis.
Penyebab paling sering adalah cedera akibat trauma, sering juga akibat
mekanisme penetrasi seperti tikaman atau tembakan pistol. (1)
Beberapa penyebab Brown-Séquard Syndrome lainnya:
1) Tumor korda spinalis, metastasis atau intrinsic
2) Trauma, tajam maupun tumpul
3) Penyakit degeneratif seperti herniasi discus dan spondilosis servikal
4) Iskemia
7
EPIDEMIOLOGI
Angka insiden Brown-Séquard Syndrome di Amerika Serikat tidak
diketahui, begitu juga di seluruh dunia. Tetapi, insiden cedera spinal di
Amerika Serikat 11.000 kasus per tahun dan 2-4 % dari kasus tersebut
disertai Brown-Séquard Syndrome. Angka prevalensi cedera spinal di
Amerika Serikat mencapai 247.000.(1)
Angka kematian 5,7% jika tidak ada tindakan operasi dan 2,7% jika
disertai intervensi operasi.(1)
Angka kesakitan dapat terjadi pada setiap cedera spinal. Komplikasi
yang paling sering adalah ulkus peptikum, pneumonia, infeksi saluran kemih,
deep-vein thrombosis, emboli pulmonal dan infeksi pasca operasi.(1)
Berdasarkan ras 70,1 % kasus Brown-Séquard Syndrome terjadi pada
populasi kulit putih, 19,6% terjadi pada populasi Afro-Amerika, 1,2% pada
populasi Asia, 1,3% pada populasi Indian-Amerika dan 7,8% pada ras lain.(1)
Usia yang paling sering terkena adalah 16-30 tahun, dan usia paling
sering adalah diatas 30 tahun.(1)
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dari Brown-Séquard Syndrome adalah kerusakan traktus
korda spinalis asenden dan desenden pada satu sisi korda spinalis. Serabut
motorik dari traktus kortikospinal menyilang pada pertemuan antara medula
dan korda spinalis. Kolumna dorsalis asenden membawa sensasi getar dan
posisi ipsilateral terhadap akar masuknya impuls dan menyilang diatas korda
8
GEJALA KLINIS
Brown-Séquard Syndrome ditandai dengan paresis yang asimetris disertai
hypalgesia yang lebih jelas pada sisi yang mengalami paresis. Brown-Séquard
Syndrome murni sering berhubungan dengan hal-hal berikut :(1)
1) Gangguan traktus kortikospinal lateralis :
a) Paralisis spastic ipsilateral dibawah letak lesi
b) Tanda Babinski positif ipsilateral dari letak lesi
c) Refleks patologis dan tanda Babinski positif (mungkin tidak didapatkan
pada cedera akut).(1)
2) Gangguan kolumna alba posterior : berkurangnya sensasi taktil untuk
diskriminasi, rasa getar dan posisi ipsilateral dibawah letak lesi. (1)
3) Gangguan traktus spinotalamikus lateralis : berkurangnya sensasi nyeri
dan sensasi suhu kontralateral. Hal ini biasanya terjadi pada 2-3 segmen
dibawah letak lesi.(1)
DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Diagnosis banding Brown-Séquard Syndrome antara lain fraktur
cervical, multiple sclerosis, infeksi korda spinalis, cedera korda spinalis,
9
PENATALAKSANAAN
Pasien dengan Brown-Séquard Syndrome akibat trauma perlu di
evaluasi kemungkinan adanya cedera lain, seperti hal nya penderita trauma.
Evaluasi lain dapat meliputi :(1)
1) Pemasangan kateter urin
2) Imobilisasi
3) Pemasangan naso-gastric tube
4) Imobilisasi servikal, vertebra dorsal bawah, dan imobilisasi dengan hard
collar jika terjadi cedera servikal.
5) Pasien dengan Brown-Séquard Syndrome mengalami kehilangan daya
sensasi. Untuk mengetahui adanya kemungkinan cedera intraabdominal
dapat dilakukan CT-scan atau peritoneal lavage.(1)
10
KOMPLIKASI
Dapat terjadi komplikasi yang berhubungan dengan cedera spinal. (1)
PROGNOSIS
Prognosis untuk Brown-Séquard Syndrome kurang baik dan
tergantung dari penyebabnya. Penatalaksanaan yang dini dengan steroid dosis
tinggi telah menunjukkan keuntungan.(1)
11
PATOFISIOLOGI
Posterior cord syndrome terjadi bila sebuah objek ditekan ke bagian
belakang spinal cord. Posterior cord syndrome juga dihubungkan dengan cedera
hiperekstensi servical.(1)
belakang dan tidak ada yang menyangga oksiput hingga kepala membentur bagian
atas punggung. Ligamen longitudinal anterior dan diskus dapat rusak. Riwayat
memar pada muka atau laserasi sering menunjukkan mekanisme cedera.
Pemeriksaan sinar x tidak memperhatikan fraktur tetapi film yang luas
memperlihatkan celah diantara bagian depan kedua corpus vertebrae. Cedera ini
stabil pada posisi netral dimana cedera ini harus dipertahankan dengan ban leher
selama 6 minggu.(1)
Disebutkan bahwa posterior cord syndrome terjadi karena kompresi atau
kerusakan pada arteri spinal posterior. Sesuai dengan asas – asas umum
vaskularisasi susunan saraf pusat, arteri spinalis posterior yang merupakan suatu
arteri terminal (end artery) dalam arti fungsional yang berarti penyumbatan
pembuluh darah tersebut dapat menimbulkan degenerasi jaringan saraf yang
dilayaninya (dalam hal ini bagian posterior medula spinalis), oleh karena tidak
dapat terjadi pertumbuhan dan perkembangan suatu peredaran darah kolateral
secara efektif dan efisien. Arteri spinalis posterior merupakan cabang langsung
dari arteria vertebrales yang hanya terlihat jelas pada segmen servikal bagian
kranial atau langsung memperkuat plexus pialis setempat.(1)
Secara klinis pasien memiliki fungsi spinotalamikus yang masih utuh tetapi
kehilangan fungsi traktus kortikospinalis dan posterior column. Pada posterior
column terdapat fasciculus dorsalis. Fasciculus dorsalis terdiri atas fasciculus
gracilis (Goll) dan fasciculus cuneatus (Burdach). Fascicullus ini berfungsi
menghantarkan impuls raba spesifik diskriminatif, propioseptif dan kinestetik ke
talamus dan akhirnya mencapai korteks serebri. Reseptor rasa raba spesifik
terdapat pada corpusculum Meissner. Impuls – impuls proprioseptif timbul akibat
rangsangan pada reseptor di dalam otot lurik, tendon, sendi, atau capsula
articularis. Impuls ini selain berfungsi propriosepsi (tanpa disadari) juga
memberikan keterangan – keterangan kepada individu yang bersangkutan tentang
posisi dan pergerakan berbagai bagian tubuh (kinestesi). Serat yang menyusun
fasciculus dorsalis merupakan akson dari sel neuron besar unipolar berselubung
myelin yang tebal. Serat ini mengalami bifurcatio (percabangan), satu cabang
utama yang panjang berjalan ke arah kranial dan satu canbang lainnya berakhir
dalam substansia grisea setempat. Cabang-cabang yang panjang ini berkumpul
membentuk fasciculus greacilis dan fasciculus cuneatus.(1)
GEJALA KLINIS
Pasien biasanya tetap memiliki kekuatan otot yang masih utuh dan sensasi
suhu dan nyeri, tetapi kesulitan dalam mengkoordinasikan alat gerak. Tidak ada
sensasi getaran getaran atau sensasi posisi. Propriosepsi menghilang karena
kerusakan pada dorsal column. (1)
Berjalan sangat sulit oleh karena kehilangan sensasi getaran. Pada situasi
ini pasien harus melihat ke kakinya untuk memastikan bahwa kakinya berada
pada posisi yang tepat sehingga pasien tidak akan jatuh, sumber lain menyebutkan
bahwa posterior cord syndrome dapat menimbulkan gejala nyeri dan parestesia
(sering bersifat membakar) pada leher, lengan atas, dada dan timbulnya gejala
ataksia berat. (1)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang disarankan meliputi pemeriksaan laboratorik
darah dan pemeriksaan radiologik, dianjurkan 3 posisi standar ( antero -
posterior, lateral, odontoid) untuk vertebra servikal, serta posisi AP dan lateral
untuk vertebra torakhal dan lumbal. Jika tidak menunjukkan kelainan radiologik,
pemeriksaan lanjutan CT-Scan dan MRI. MRI merupakan alat diagnostik yang
paling baik untuk mendeteksi lesi medula oblongata akibat cidera/trauma. (1)
PENATALAKSANAAN
Diberikan Metilprednisolon 30 mg/kg secara bolus intravena, dilakukan
pada saat kurang dari 8 jam setelah cedera. Jika terapi tersebut dapat dilakukan
pada saat kurang dari 3 jam setelah cedera, terapi tersebut dianjurkan dengan
metilprednisolon intravena kontinu dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 48 jam
kemudian.(1)
Mekanisme kerja metilprednisolon ialah menurunkan respon inflamasi
dengan menekan respon inflamasi dengan menekan migrasi netrofil dan
menghambat peningktatan permeabilitas veskular. Metilprednisolon menghambat
kerja lipid peroksidase dan hidrolisis sehingga dapat menghambat destruksi
membran sel. Kerusakan membran sel mencapat puncak sekitar 8 jam oleh karena
itu, metilprednisolon harus diberikan dalam rentang waktu tersebut. (1)
15
2. PERIODIK PARALISIS
DEFINISI
Hipokalemia periodik paralise adalah kelainan yang ditandai dengan kadar
potassium (kalium) yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat serangan,
disertai riwayat episode kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal. Periodik
paralisis merupakan kelainan pada membran yang sekarang ini dikenal sebagai
salah satu kelompok kelainan penyakit chanellopathies pada otot skeletal.
Kelainan ini dikarakteristikkan dengan terjadinya suatu episodik kelemahan
tiba-tiba yang disertai gangguan pada kadar kalium serum. Periodik paralisis ini
dapat terjadi pada suatu keadaan hiperkalemia atau hipokalemia. Periodik paralisis
Hipokalemi (HypoPP) merupakan sindrom klinis yang jarang terjadi tetapi
berpotensial mengancam jiwa. Insidensinya yaitu 1 dari 100.000.HypoPP banyak
terjadi pada pria daripada wanita dengan rasio 3-4. Dengan onset pada dekade
pertama, biasanya sebelum 16 tahun, dan jarang sesudah usia 25 tahun. Sindrom
paralisis hipokalemi ini disebabkan oleh penyebab yang heterogen dimana
karakteristik dari sindroma ini ditandai dengan hipokalemi dan kelemahan
sistemik yang akut. Kebanyakan kasus terjadi secara familial atau disebut juga
hipokalemi periodik paralisis primer.(4)
EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian adalah sekitar 1 diantara 100.000 orang, pria lebih sering dari
wanita dan biasanya lebih berat. Usia terjadinya serangan pertama bervariasi dari
17
1-20 tahun, frekuensi serangan terbanyak di usia 15-35 tahun dan kemudian
menurun dengan peningkatan usia.(4)
ETIOLOGI
Hipokalemia periodik paralisis biasanya disebabkan oleh kelainan genetik
otosomal dominan. Hal lain yang dapat menyebabakan terjadinya hipokalemia
periodik paralisis adalah tirotoksikosis.(4)
Penyebab lain hipokalemia meliputi :(4)
1) Peningkatan ekskresi (atau kerugian) dari kalium dari tubuh Anda.
2) Beberapa obat dapat menyebabkan kehilangan kalium yang dapat
menyebabkan
3) Hipokalemia. Obat yang umum termasuk diuretik loop (seperti
Furosemide). Obat lain termasuk steroid, licorice, aspirin, dan antibiotik
tertentu.
4) Ginjal (ginjal) disfungsi - ginjal tidak dapat bekerja dengan baik karena suatu
kondisi yang disebut Asidosis Tubular Ginjal (RTA). Ginjal akan
mengeluarkan terlalu banyak kalium. Obat yang menyebabkan RTA termasuk
Cisplatin dan Amfoterisin B.
5) Kehilangan cairan tubuh karena muntah yang berlebihan, diare, atau
berkeringat.
6) Endokrin atau hormonal masalah (seperti tingkat aldosteron meningkat)
7) Aldosteron adalah hormon yang mengatur kadar potasium. Penyakit tertentu
dari sistem endokrin, seperti aldosteronisme, atau sindrom Cushing, dapat
menyebabkan kehilangan kalium.
8) Kurangnya diet asupan kalium.
9) Adapun penyebab lain dari timbulnya penyakit hipokalemia yaitu muntah
berulang-ulang dan diare kronik dan hilang melalui kemih (mineral kortikoid
berlebihan obat-obat diuretik).(4)
18
PATOFISIOLOGI
Kalium adalah kation utama cairan intrasel. Kenyataannya 98 % dari
simpanan tubuh (3000 - 4000 mEq) berada didalam sel dan 2 % sisanya (kira-kira
70 mEq) terutama dalam pada kompetemen ECF. Kadar kalium serum normal
adalah 3,5-5,5 mEq/L dan sangat berlawanan dengan kadar di dalam sel yang
sekitar 160 mEq/L. Kalium merupakan bagian terbesar dari zat terlarut intrasel,
sehingga berperan penting dalam menahan cairan di dalam sel dan
mempertahankan volume sel. Kalium ECF, meskipun hanya merupakan bagian
kecil dari kalium total, tetapi sangat berpengaruh dalam fungsi neuromuskular.
Perbedaan kadar kalium dalam kompartemen ICF dan ECF dipertahankan oleh
suatu pompa Na-K aktif yang terdapat dimembran sel.(5)
Rasio kadar kalium ICF terhadap ECF adalah penentuan utama potensial
membran sel pada jaringan yang dapat tereksitasi, seperti otot jantung dan otot
rangka. Potensial membran istirahat mempersiapkan pembentukan potensial aksi
yang penting untuk fungsi saraf dan otot yang normal. Kadar kalium ECF jauh
lebih rendah dibandingkan kadar di dalam sel, sehingga sedikit perubahan pada
kompartemen ECF akan mengubah rasio kalium secara bermakna. Sebaliknya,
hanya perubahan kalium ICF dalam jumlah besar yang dapat mengubah rasio ini
secara bermakna. Salah satu akibat dari hal ini adalah efek toksik dari
hiperkalemia berat yang dapat dikurangi kegawatannya dengan meingnduksi
pemindahan kalium dari ECF ke ICF. Selain berperan penting dalam
mempertahankan fungsi neuromuskular yang normal, kalium adalah
suatu kofaktor yang penting dalam sejumlah proses metabolik. Homeostasis
kalium tubuh dipengaruhi oleh distribusi kalium antara ECF dan ICF, juga
keseimbangan antara asupan dan pengeluaran. Beberapa faktor hormonal dan non
hormonal juga berperan penting dalam pengaturan ini, termasuk aldosteron,
katekolamin, insulin, dan variabel asam-basa.(5)
Pada orang dewasa yang sehat, asupan kalium harian adalah sekitar 50 - 100
mEq. Sehabis makan, semua kalium diabsorpsi akan masuk kedalam sel dalam
beberapa menit, setelah itu ekskresi kalium yang terutama terjadi melalui ginjal
akan berlangsung beberapa jam. Sebagian kecil akan diekskresikan melalui
keringat dan feses. Dari saat perpindahan kalium kedalam sel setelah makan
19
GEJALA KLINIS
Semua Pp dicirikan oleh kelemahan periodik. Kekuatan normal diantara
serangan. Kelemahan yang menetap bisa berkembang kemudian dalam beberapa
bentuk. Paling banyak pasien dengan PP primer berkembang gejala sebelum
dekade ketiga.(6)
20
Hiperkalemik periodik paralisis onset pada umur kurang dari 10 tahun. Pasien
biasanya menjelaskan suatu rasa berat dan kekakuan pada otot. Kelemahan
dimulai pada paha dan betis, yang kemudian menyebar ke tangan dan leher.
Predominan kelemahan proksimal otot-otot distal mungkin bisa terlibat setelah
latihan yang melelahkan. Pada anak, suatu lid lag myotonik (kelambatan kelopak
mata atas saat menurunkan pandangan) bisa menjadi gejala awal. Paralisis
komplet jarang dan masih ada sedikit sisa gerakan. Keterlibatan otot napas jarang.
Serangan terakhir kurang dari 2 jam dan pada sebagian besar kasus, kurang dari 1
jam. Kelemahan bisa bertingkat mulai dari kelemahan sepintas pada sekelompok
otot yang terisolasi sampai kelemahan umum yang berat. Serangan berat dimulai
pada pagi hari, sering dengan latihan yang berat atau makan tinggi karbohidrat
pada hari sebelumnya. Pasien bangun dengan kelemahan simetris berat, sering
dengan keterlibatan batang tubuh. Serangan ringan bisa sering dan hanya
melibatkan suatu kelompok otot penting, dan bisa unilateral, parsial, atau
monomelic. Hal ini bisa mempengaruhi kaki secara predominan, kadang – kadang
otot ektensor dipengaruhi lebih dari fleksor. Dursi bervariasi dari beberapa jam
sampai hampir 8 hari tetapi jarang lebih dari 72 jam. Serangannya intermiten dan
infrekuen pada awalnya tetapi bisa meningkat frekuensinya sampai serangan
terjadi hampir setiap hari. Frekuensi mulai berkurang oleh usia 30 tahun. Hal ini
jarang terjadi setelah umur 50 tahun. Pengeluaran urin menurun selama serangan
karena akumulasi air intrasel meningkat. Myotonia interictal tidak sesering
hiperkalemik PP. Kelemahan otot permanen mungkin terlihat kemudian dalam
perjalanan penyakit dan bisa menjadi tajam. Hipertropi betis diobservasi. Otot
proksimal wasting daripada hipertropi, bisa terlihat pada pasien dengan
kelemahan permanen. Hipokalemia periodik paralisis :(6)
1) Kelemahan pada otot
2) Perasaan lelah
3) Nyeri otot
4) Restless legs syndrome
5) Tekanan darah dapat meningkat
6) Kelumpuhan atau rabdomiolisis (jika penurunan K amat berat)
7) Gangguan toleransi glukosa
21
DIAGNOSIS
Diagnosis didapatkan dari anamnesis seperti adanya riwayat pada keluarga
karena erat kaitannya dengan genetik serta gejala klinis seperti yang tersebut di
atas, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. (7)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Kadar K dalam serum
2) Kadar K, Na, Cl dalam urin 24 jam
3) Kadar Mg dalam serum
4) Analisis gas darah
5) Elektrokardiografi.(7)
Penurunan kadar serum tidak selalu dibawah normal, selama serangan. Pasien
punya pengalaman retensi urin dengan penigkatan kadar sodium, kalium dan
klorida urin. Penurunan kadar fosfor serum secara bertahap juga terjadi. Kadar
fosfokinase (CPK) meningkat selama serangan. ECG bisa menunnjukkan sinus
bradikardi dan bukti hipokalemi (gelombang T datar, gelombang U di lead II,
V2,V3 dan V4 dan depresi segment ST).(7)
DIAGNOSIS BANDING
1) Neuropati motor dan sensori herediter
23
TERAPI
Selama serangan, suplemen oral kalsium lebih baik dari suplemen IV. Yang
terakhir diberikan untuk pasien yang mual atau tidak bisa menelan. Garam kalium
oral pada dosis 0,25 mEq/kg diberikan setiap 30 menit sampai kelemahan
improves. Avoiding IV fluid is prudent. Kalium Klorida IV 0,05-0,1
mEq/kgBBdalam manitol 5% bolus adalah lebih baik sebagai lanjutan infus. (9)
Monitoring ECG dan pengukuran kalium serum berturut dianjurkan.
Untuk profilaksis, asetazolamid diberikan pada dosis 125-1500 mg/hari dalam
dosis terbagi. Dichlorphenamide 50-150 mg/hari telah menunjukkan keefektifan
yang sama. Potasium-sparing diuretik seperti triamterene (25-100 mg/hari) dan
spironolakton (25-100 mg/hari) adalah obat lini kedua untuk digunakan pasien
yang mempunyai kelemahan buruk (worsens weakness) atau mereka yang tidak
respon dengan penghambat karbonik anhidrase. Karena diuretik ini potassium
sparing, suplemen kalium bisa tidak dibutuhkan.(9)
1) Pemberian K melalui oral atau iv untuk penderita berat
2) Pemberian kalium lebih disenangi dalam bentuk oral karena lebih mudah.
Pemberian 40-60 mEq dapat menaikkan kadar kalium sebesar 1-1,5 mEq/L,
sedangkan pemberian 135-160 mEq dapat menaikkan kadar kalium sebesar
2,5-3,5 mEq/L
3) Bila ada intoksikasi digitalis, aritmia, atau kadar K serum
4) Bila kadar kalium dalam serum > 3 mEq/L, koreksi K cukup per oral
5) Monitor kadar kalium tiap 2-4 jam untuk menghindari hiperkalemia terutama
pada pemberian secara intravena
6) Pemberian K intravena dalam bentuk larutan KCl disarankan melalui vena
yang besar denga kecepatan 10-20 mEq/jam, kecuali disertai aritmia atau
kelumpuhan otot pernafasan, diberikan dengan kecepatan 40-100 mEq/jam.
KCl dilarutkan sebanyak 20 mEq dalam 100 cc NaCl isotonik
7) Acetazolamide untuk mencegah serangan
24
KOMPLIKASI
1) Batu ginjal akibat efek samping acetazolamide
2) Arrhytmia
3) Kelemahan otot progresif.(9)
3. MYESTENIA GRAVIS
DEFINISI
Myestenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara
sistem saraf (nervus) dan sistem otot (muskulus). Penyakit miastenis gravis
ditandai dengan kelemahan dan kelelahan pada beberapa atau seluruh otot, di
mana kelemahan tersebut diperburuk dengan aktivitas terus menerus atau
berulang-ulang. Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang
neuromuskular juction ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat lelah
akibat adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah
AchR di neuromuskular juction berkurang.(10)
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi penderita dengan Miastenia gravis di Amerika Serikat pada tahun
2004 diperkirakan mencapai 20 per 100.000 penduduk. Prevalensi pasti mungkin
lebih tinggi karena kebanyakan kasus Miastenia gravis tidak terdiagnosis. Insiden
Miastenia gravis mencapai 1 dari 7500 penduduk, menyerang semua kelompok
umur. Penelitian epidemiologi telah menunjukkan kecenderungan peningkatan
prevalensi penyakit Miastenia gravis dan angka kematian yang meningkat di atas
umur 50 tahun. Pada umur 20-30 tahun Miastenia gravis lebih banyak dijumpai
pada wanita. Sementara itu diatas 60 tahun lebih banyak pada pria (perbandingan
ratio wanita dan pria adalah 3:2).(10)
25
PATOFISIOLOGI
Dalam kasus Myestenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline
Receptor (AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline (ACh) yang
tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial
aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran
ACh yang 6 tetap pada jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah
serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah yang kemudian
menyebabkan rasa sakit pada pasien. Pengurangan jumlah AChR ini
dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di dalam tubuh yang
memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak
membran post-synaptic. Etipatogenesis proses autoimun pada Myestenia
Gravis tidak sepenuhnya diketahui, walaupun demikian diduga kelenjar timus
turut berperan pada patogenesis Myestenia Gravis. Sekitar 75 % pasien
Myestenia Gravis menunjukkan timus yang abnormal, 65% pasien
menunjukan hiperplasi timus yang menandakan aktifnya respon imun dan 10
% berhubungan dengan timoma.(10)
GEJALA KLINIS
Penyakit Myestenia Gravis ditandai dengan adanya kelemahan dan
kelelahan. Kelemahan otot terjadi seiring dengan penggunaan otot secara
berulang, dan semakin berat dirasakan di akhir hari. Gejala ini akan menghilang
atau membaik dengan istirahat. Kelompok otot-otot yang melemah pada penyakit
miastenis gravis memiliki pola yang khas. Pada awal terjadinya Miastenia gravis,
otot kelopak mata dan gerakan bola mata terserang lebih dahulu. Akibat dari
kelumpuhan otot-otot tersebur, muncul gejala berupa penglihatan ganda (melihat
benda menjadi ada dua atau disebut diplopia) dan turunnya kelopak mata secaara
abnormal (ptosis). (10)
Myestenia Gravis dapat menyerang otot-otot wajah, dan menyebabkan
penderita menggeram saat berusaha tersenyum serta penampilan yang seperti
tanpa ekspresi. Penderita juga akan merasakan kelemahan dalam mengunyah dan
menelan makanan sehingga berisiko timbulnya regurgitasi dan aspirasi. Selain itu,
terjadi gejala gangguan dalam berbicara, yang disebabkan kelemahan dari
28
langit-langit mulut dan lidah. Sebagian besar penderita Myestenia Gravis akan
mengalami kelemahan otot di seluruh tubuh, termasuk tangan dan kaki.
Kelemahan pada anggota gerak ini akan dirasakan asimetris. Bila seorang
penderita Myestenia Gravis hanya mengalami kelemahan di daerah mata selama 3
tahun, maka kemungkinan kecil penyakit tersebut akan menyerang seluruh tubuh.
Penderita dengan hanya kelemahan di sekitar mata disebut Myestenia Gravis
Okular.Penyakit Myestenia Gravis dapat menjadi berat dan membahayakan jiwa.
Myestenia Gravis yang berat menyerang otot-otot pernafasan sehingga
menimbuilkan gejala sesak nafas. Bila sampai diperlukan bantuan alat pernafasan,
maka penyakit Miastenia gravis tersebut dikenal sebagai krisis Myestenia Gravis
atau krisis Miastenik. Umumnya krisis miastenik disebabkan karena adanya
infeksi pada penderita Myestenia Gravis.(10)
DIAGNOSIS
Diagnosis Myestenia Gravis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibodi
AchR dan CT-Scan atau MRI toraks untuk melihat adanya timoma. (10)
1) Anamnesis
Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas dan
membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan
manifestasi: diplopi atau ptosis), dapat disertai kelumpuhan anggota badan
(terutama triceps dan ekstensor jari-jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot
29
yang dipersarafi oleh nervi cranialis, dpat pula mengenai otot pernafasan yang
menyebabkan penderita bisa sesak.(10)
a) Tes klinik sederhana :
(1) Tes watenberg / simpson test : memandang objek di atas bidang antara
kedua bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes
positif)
(2) Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan
menghilang secara bertahap (tes positif).(10)
(a) Endrofonium merupakan antikolinesterase kerja pendek yang
memperpanjang kerja acetilkolin pada nerumuscular juction dalam
beberapa menit. Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara
intravena selama 15 detik, bila dalam 30 detik tidak terdapat reaksi
maka disuntikkan lagi sebanyak 8-9 mg tensilon secara intravena.
Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan
otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang
memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan
oleh Myestenia Gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji
ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat
seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat. Efek sampingnya
dapat menyebabkan bradikardi dan untuk mengatasinya dapat
digunakan atropin.(10)
(b) Uji Prostigmin (neostigmin) : Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5
mg prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan
pula atropin 0,8 mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
Myestenia Gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis,
strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap. (10)
2) Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis Miastenia
gravis, antara lain:(10)
a) Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III
pada beberapa penyakit selain Miastenia gravis, antara lain :
(1) Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
(2) Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
(3) Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
(4) Paralisis pasca difteri
(5) Pseudoptosis pada trachoma
b) Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan
adanya suatu sklerosis multipleks
c) Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome).(10)
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada
otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan kelemahan relatif pada
otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada
detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan
sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma
pada paru. EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada Myestenia Gravis.
Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi rendah (2Hz) tetapi
akan terjadi hambatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan
pada Myestenia Gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan
pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak
berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke
membran postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi. (10)
31
3) Laboratorium
Anti striated muscle (anti-SM) antibody
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 85% pasien yang menderita
timoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan 12 salah satu tes
yang penting pada penderita Myestenia Gravis. Pada pasien tanpa timoma
anti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih
dari 40 tahun.(10)
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies
Hampir 50% penderita Myestenia Gravis yang menunjukkan hasil
anti-AChR Ab negatif (Myestenia Gravis seronegatif), menunjukkan hasil yang
positif untuk anti-MuSK Ab.(10)
Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
Myestenia Gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 70%-95% dari
penderita Myestenia Gravis generalisata dan 50% - 75 % dari penderita dengan
Miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi
yang positif. Pada pasien timoma tanpa Miastenia gravis sering kali terjadi false
positive anti-AChR antibody.(10)
Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuro muscular melalui 2 teknik :(10)
a) Single-fiber Electromyography (SFEMG)
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber
berupa peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan
jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot
penderita, sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada
interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot
tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).(10)
b) Repetitive Nerve Stimulation (RNS): Pada penderita Myestenia Gravis
terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat
adanya penurunan suatu potensial aksi.(10)
32
Gambaran Radiologi
Chest x-ray (foto roentgen thorak) Dapat dilakukan dalam posisi
anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi
sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.(10)
Hasil rontgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya
thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus Myestenia Gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.(10)
MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis Myestenia Gravis tidak dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab
defisit pada saraf otak.(10)
PENATALAKSANAAN
1) Acetilkolinesterase inhibitor
Dapat diberikan piridostigmin bromida (mestinon) 30-120 mg/3-4 jam/oral.
Dosis parenteral 3-6 mg/4-6 jam/ iv tiap hari akan membantu pasien untuk
mengunyah, menelan, dan beberapa aktivitas sehari-hari. Pada malam hari, dapat
diberikan mestinon long-acting 180 mg. Apabila diperlukan, neostigmin bromida
(prostigmine ): 7,5-45 mg/2-6 jam/oral. Dosis parenteral : 0,5-1 mg/4 jam/iv atau
im. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga
asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan
mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula.
Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada Myestenia Gravis
golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh
stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan
pemberian propantelin bromida atau atropin.(10)
a. Kortikosteroid
Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 10-20 mg, dinaikkan
bertahap (5-10 mg/minggu) 1x sehari selang sehari, maksimal 120 mg/6 jam/oral,
33
Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakteri Campylobacter Typhoid Borrelia B
Jejeni Paratyphoid
Mycoplasma Brucellosis
Pneumonia Chlamydia
Legionella
Listeria
PATOGENESIS
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. (12)
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah :(12)
1) Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi
2) Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3) Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembulu darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya,
yang paling sering adalah infeksi virus.(12)
PATOLOGI
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan
saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan
pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian
timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat
beberapa limfosit pada hari ke- 9 dan makrofag pada hari ke- 11, poliferasi sel
schwan pada hari ke- 13. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan
berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke- 66, sebagian radiks dan saraf tepi
telah hancur. Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi
adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada
endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila
peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan
myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan
selubung myelin dari sel schwan dan akson.(12)
KLASIFIKASI
Beberapa varian dari Sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu :
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
37
5. Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia.(12)
PENEGAKAN DIAGNOSIS
ANAMNESIS
1) Kelemahan ascenden dan simetris
2) Anggota gerak bawah dulu baru menjalar ke atas
3) Kelemahan akut dan progresif yang ditandai arefleksia
4) Puncak defisit 4 minggu
5) Pemulihan 2-4 minggu pasca onset
6) Gangguan sensorik pada umumnya ringan
7) Gangguan otonom dapat terjadi
8) Gangguan saraf kranial
9) Gangguan otot-otot napas.(12)
PEMERIKSAAN FISIK
1) Kelemahan saraf cranial (III, IV, VI, VII, IX, X)
2) Kelemahan anggota gerak yang cenderung simetris dan asendens
3) Hiporefleksia atau arefleksia
4) Tidak ada klonus atau refleks patologis.(12)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Laboratorium (untuk menyingkirkan diagnosis banding lain): Pemeriksaan
darah lengkap, ureum/kreatinin, SGOT/SGPT, elektrolit, Creatinin kinase,
Serologi CMV/EBV/Micoplasma, Antibodi glycolipid, Antibodi GMI.(12)
2) Pencitraan: MRI minimal potongan sagital untuk menyingkirkan diagnosis
banding lain dan lumbal pungsi.(12)
TATALAKSANA
1) Pemberian IVIG 0,4 gram/kgBB/ hari selama 5 hari atau plasma exchange
diguanakan sebagai lini pertama pengobatan (Level A)
2) Pemberian IVIG memiliki efek samping yang lebih sedikit, sehingga
lebih banyak dipilih (Level B)
3) Kombinasi methylprednisolone dosis tinggi dan IVIG memiliki manfaat
singkat (Level C)
39
TERAPI
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri,
perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala
sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi
khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan
melalui sistem imunitas (imunoterapi). (12)
Kortikosteroid, kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan
preparat steroid tidak mempunyai nilai atau tidak bermanfaat untuk terapi SGB. (12)
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan
hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu
nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan
dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari.
Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu
pertama).(12)
Pengobatan imunosupresan :(12)
1) Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan.
Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.(12)
2) Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah : 6 merkaptopurin
(6-MP), Azathioprine, atau Cyclophosphamid.(12)
40
DIAGNOSA BANDING
Gejala klinis SGB biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan kriteria
diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus
dibedakan dengan keadaan lain, seperti :(12)
1) Mielitis akuta
2) Poliomyelitis anterior akuta
Porphyria intermitten akuta
3) Polineuropati post difteri
EDUKASI
1) Penjelasan Sebelum MRS (rencana rawat, biaya, pengobatan, prosedur, masa
dan tindakan pemulihan dan latihan, manajemen nyeri, risiko dan komplikasi)
2) Penjelasan mengenai GBS, risiko dan komplikasi selama perawatan
3) Penjelasan mengenai faktor risiko dan pencegahan rekurensi
4) Penjelasan program pemulangan pasien (Discharge Planning).(12)
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera
kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya
adalah cedera kepala berat (CKB).(13)
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah
sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat
60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka
41
kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk
CKR tidak ada yang meninggal.(13)
Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara
15-44 tahun. Faktor resiko utama cedera otak adalah umur, ras, dan tingkat
sosioekonomi yang rendah. Angka kejadian laki-laki lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden
cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan
tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.(13)
ETIOLOGI
Etiologi cedera kepala yang paling sering dialami di seluruh dunia adalah
akibat kecelakaan lalu lintas. Sekitar 60% dari kasus cedera kepala merupakan
akibat dari kelalaian dalam berlalu lintas, 20 - 30% kasus disebabkan oleh jatuh,
10% disebabkan oleh kekerasan, dan sisanya disebabkan oleh perlukaan yang
terjadi di rumah maupun tempat kerja.
Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu :(13)
a. Trauma primer, ditentukan oleh kekuatan mekanik langsung yang terjadi
pada saat dampak traumatis ke jaringan otak maupun proses akselerasi dan
42
KLASIFIKASI
Klasifikasi cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan :
a. Tingkat keparahan :(13)
1) Ringan : GCS 15 – 13
2) Sedang : GCS 12 – 9
3) Berat : GCS < 8
b. Morfologi : Fraktur tengkorak.(13)
1) Kalvaria
a) Linear/stellate
b) Depresi
c) Terbuka/tertutup
2) Basis
a) Dengan/tanpa kebocoran LCS
b) Dengan/tanpa kelumpuhan sarah N. VII (facialis)
c. Lokasi lesi intrakranial :(13)
1) Lesi difus
a) Konkusio
b) Multiple kontusio
c) Cedera hipoksik/iskemik
d) Cedera axonal
2) Lesi fokal
a) Hematoma epidural
b) Hematoma subdural
c) Hematoma intraparenkhimal :(13)
(1) Hematoma subarakhnoid
(2) Hematoma intraserebral
43
(3) Memar otak contra coup dan memar otak intermediate disebabkan oleh
gelombang kejut (shock wave), dimana gelombang atau getaran yang
ditimbulkan oleh pukulan akan diteruskan di dalam jaringan otak
b) Inersial (Inertial injury)
Karena perbedaan koefisien (massa) antara jaringan otak dengan
tulang, maka akan terjadi perbedaan gerak dari kedua jaringan (akselerasi
dan deselerasi) yang dapat menyebabkan gegar otak, cedera akson difus
(diffuse axonal injury), perdarahan subdural, memar otak yang berbentuk
coup, contra coup, dan intermediate.(13)
c) Fraktur basis sentral berhubungan dengan cedera saraf kranial III, IV, V
atau VI dan cedera karotid
d) Fraktur basis posterior berhubungan dengan cedera servikal, cedera arteri
vertebral, dan cedera pada saraf kranial yang lebih rendah. Defisit
oculomotor karena cedera saraf kranial III, IV, dan VI dapat terjadi. Pasien
mungkin juga datang dengan drop face karena kompresi atau cedera pada
saraf kranial VII. Kehilangan pendengaran atau tinnitus menunjukkan
kerusakan pada saraf kranial VIII
Beberapa tanda klinis yang sangat prediktif terjadinya fraktur basis kranii
yaitu :(14)
47
a) Kepala yang bebas bergerak mengenai objek yang diam, biasanya terjadi
trauma minor, contrecoup
b) Kepala diam dikenai objek yang bergerak, lesi coup (langsung)
c) Kepala bergerak terhenti tiba-tiba oleh pukulan (whiplash injury), terjadi
white matter injury disebut diffuse axonal injury (DAI)
d) Kepala bergerak mengenai objek yang bergerak, terjadi coup dengan
diffuse axonal atau contrecoup
vegetatif persisten dan koma posttraumatik pada pasien trauma. DAI adalah
istilah untuk menjelaskan koma paska traumatika yang lama yang tidak
dikarenakan lesi massa atau kerusakan iskhemik tetapi karena lesi ekstensif
pada white matter.(14)
Berbeda dengan cedera otak yang terjadi akibat benturan langsung
maupun suatu deformitas pada otak, DAI terjadi akibat terobeknya akson
karena trauma akselerasi dan deselerasi yang hebat atau cedera rotasi.
Tanda tanda pada DAI adalah penurunan kesadaran yang berlangsung 6 jam
atau lebih.(14)
DAI dibagi 3 berdasarkan beratnya kerusakan yang timbul, yaitu :(14)
a) Grade 1: kerusakan akson pada substansia alba (dilihat secara
mikroskopik) tanpa adanya lesi fokal
b) Grade 2: kerusakan akson disertai fokus perdarahan pada korpus kalosum
c) Grade 3: kerusakan akson disertai fokus perdarahan pada korpus kalosum
dan batang otak
7) Hematoma intracranial
a) Hematoma epidural (EDH)
Perdarahan di dalam ruang epidural antara (lapisan periosteal dan
lapisan meningeal duramater) yang umumnya disebabkan oleh robeknya
dinding arteri meningeal media (85 %) atau vena meningeal media, vena
diploic atau sinus venosus dura. Epidural hematoma (EDH) adalah salah
satu jenis perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi karena fraktur
tulang tengkorak oleh karena adanya cedera mekanik (trauma kepala) baik
secara langsung dan tidak langsung. A. meningea media masuk di dalam
tengkorak melalui foramen spinosum melalui duramater dan tulang di
permukaan os temporale. Hematoma bersifat ipsilateral. EDH terutama
terjadi pada orang muda itu jarang terlihat pada orang tua karena dura
menjadi semakin melekat pada tengkorak dengan usia lanjut. (14)
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan
pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini
menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah
tentorium. Herniasi tersebut menekan sistem formation retikularis di
50
SDH akut, menurut definisi adalah gejala yang timbul dalam 72 jam
setelah cedera, namun kebanyakan pasien memiliki gejala neurologis dari
saat trauma. SDH kronis menunjukkan gejala setelah 21 hari atau lebih.
SDH kronis lebih cenderung terjadi pada pasien > 50 tahun yang
umumnya mengalami atrofi otak ringan, yang menghasilkan rongga
subdural yang lebih besar. Pasien yang mengkonsumsi terapi antikoagulan
dalam waktu yang lama dan overdrainage dari ventriculoperitoneal shunts
juga memiliki faktor risiko yang lebih tinggi. (14)
DIAGNOSIS
a. Anamnesis
1) Identitas pasien: Nama, Umur, Kelamin, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat
2) Keluhan utama
3) Mekanisma trauma
4) Waktu dan perjalanan trauma
5) Pernah pingsan atau sadar setelah trauma
6) Amnesia retrograde atau antegrade
7) Keluhan: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, kejang, vertigo
8) Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala
9) Penyakit penyerta: epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala,
hipertensi dan diabetes melitus, serta gangguan pembekuan darah.(15)
b. Survey Primer
Survey primer terdiri dari tabilisasi sistem kardiorespirasi (ABC) dan
disabilitas.(15)
1) Airway
Bebaskan jalan napas dengan memeriksa mulut, bila terdapat sekret
atau benda asing segera dikeluarkan dengan suction atau swab. Bila perlu
54
3) Circulation
Jika pasien menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan hemodinamik,
jalur IV harus segera terpasang. Karena autoregulasi aliran darah serebral
sering terganggu pada cedera kepala akut, harus terus dipantau untuk
menghindari hipotensi yang dapat menyebabkan iskemik otak atau
hipertensi yang dapat memperburuk edema serebral. Pertahankan TD
sistolik >90 mmHg, hindari pemakaian cairan hipotonis. Vasopressor kerja
pendek (misalnya, phenylephrine dan norepinephrine) dan agen
antihipertensi (misalnya, labetalol dan nicardipine) adalah lebih baik karena
55
c. Survey Sekunder
1) Pemeriksaan fisik (dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki)
a) Pemeriksaan kepala, mencari tanda :(15)
(1) Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka
terbuka, luka tembus dan benda asing
(2) Tanda patah dasar tengkorak meliputi; ekimosis periorbita (brill
hematoma), ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan
otorhoe serta perdarahan di membrane timpani atau leserasi kanalis
auditorius
(3) Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur
rima orbita dan fraktur mandibular
(4) Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva,
perdarahan bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata
56
(5) Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang
berhubungan dengan diseksi karotis
b) Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang: jejas, deformitas, status
motorik, sensorik, dan autonomik.(15)
1. Pemeriksaan Neurologis
a) Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glassgow Coma Scale
(GCS) yang dinilai setelah stabilisasi ABC.
b) Saraf kranial, terutama: saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil:
besar dan bentuk, refleks cahaya direct dan indirect (bandingkan
kanan-kiri), tanda-tanda lesi saraf VII perifer.
c) Fundoskopi : edema pupil, perdarahan pre retina, retinal
detachment.
d) Motoris dan sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah
mencari tanda lateralisasi.
e) Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter
reflek, reflek tendon, reflek patologis dan tonus sfingter ani.(15)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
laboratorium darah lengkap, analisa gas darah dan elektrolit serta foto
radiologi atau CT-scan kepala.(15)
a. Pemeriksaan Radiologi
1) Foto kepala AP/Lateral, dan foto leher (bila didapatkan fraktur servikal,
kerah leher/ collar neck yang telah terpasang tidak dilepas)
2) Foto anggota gerak, dada, dan abdomen dibuat atas indikasi
3) CT-scan kepala untuk menentukan luas dan letak lesi intrakranial
(edema, kontusio, hematoma)(15)
Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera kepala :(15)
a) GCS< 13 setelah resusitasi
b) Deteorisasi neurologis: penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemiparesis,
kejang
c) Nyeri kepala, muntah yang menetap
57
Perdarahan Epidural
Karakteristik gambaran perdarahan epidural pada CT scan berupa lesi
hiperdens yang bikonveks. Perdarahan epidural tidak akan melewati garis
sutura yang disebabkan oleh intaknya lapisan duramater. Volume EDH
biasanya stabil, mencapai volume maksimum hanya beberapa menit setelah
trauma, tetapi pada 9% penderita ditemukan progresifitas perdarahan yang
cenderung berakumulasi dengan cepat dalam 24 jam pertama.(15)
Gambar 25. Perdarahan epidural yang terjadi pada lobus frontalis kanan. (15)
Perdarahan Subdural
Perbedaan antara EDH dan SDH : SDH lebih difus, biasanya berbentuk
konkav mengikuti permukaan hemisfer. Berdasarkan gambaran radiologis,
SDH dibagi menjadi :(15)
1) SDH akut: terjadi dalam (48 jam setelah trauma) dan lesi tampak hiperdens
2) SDH subakut: campuran antara darah membeku serta darah yang mulai
mencair (2 hari-14 hari setelah trauma) à lesi hiperdens, isodens dan
hipodens
3) SDH kronik: hematoma telah mencair (> 14 hari) dan lesi isodens dan
hipodens
Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid didefinisikan sebagai adanya darah pada ruang
subaraknoid yang normalnya berisi cairan serebrospinal. Perdarahan
subaraknoid paling sering disebabkan oleh rupturnya aneurisma otak dan
arteriovenous malformasi (AVM).(15)
Lesi hiperdens dapat ditemukan pada daerah sulkus serebri serta sisterna
subarachnoid. Lesi hiperdens pada fossa interpeduncular merupakan tanda
perdarahan subarachnoid. Perdarahan subarahnoid dapat menyebabkan
gangguan absorpsi liquor serebrospinal menyebabkan hidrocefalus
komunikan.(15)
60
Kontusio
Kontusio cerebri merupakan perdarahan dengan diameter < 1 cm. Lokasi
paling sering terjadi kontusio adalah lobus frontalis dan temporal. Pada
CT-scan terlihat gambar salt and pepper, yaitu berupa titik-titik kecil
hiperdens.(15)
Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral adalah akumulasi darah di parenkim otak.
Perdarahan dengan diameter 5 mm dapat dideteksi pada pemeriksaan CT Scan
kepala. Perdarahan intraserebral dapat diikuti dengan terjadinya edema yang
akhirnya menyebabkan terkompresinya jaringan otak di sekitarnya. Parenkim
otak yang bergeser ini menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial yang berpotensial menyebabkan sindrom herniasi yang fatal. (15)
Sebagian besar pasien dengan DAI (50- 80%) menunjukkan CT-Scan normal.
Mungkin ditemukan bintik perdarahan pada gray-white matter junction, corpus
callosum maupun batang otak.(15)
PENATALAKSANAAN
Tatalaksana Cedera Otak di Triage
Triage atau penapisan, bertugas memeriksa tanda vital dan memberi label
sesuai kegawatan. Semua pasien cedera otak segera dikonsultasikankan pada
dokter jaga bedah saraf.(15)
Langkah-langkah Tatalaksana Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat :(15)
1) General precaution
2) Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (Airway, Breathing, Circulation)
3) Survey sekunder (pemeriksaan status general terdiri dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik seluruh organ)
4) Pemeriksaan neurologis
5) Menentukan diagnosis klinis dan pemeriksaan tambahan
6) Menentukan diagnosis pasti
7) Menentukan tatalaksana
62
Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early
epilepsy, dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late eplepsy.(15)
Profilaksis dengan anti kejang diberikan pada yang berisiko tinggi untuk
terjadinya kejang pasca CKB, yaitu :(15)
1) GCS <10, kontusio kortikal, fraktur kompresi tulang tengkorak,
Hematom Subdural, Hematom Epidural
2) Hematom Intracerebral, luka tembus dan kejang yang terjadi dalam
kurun waktu <24 jam pasca cedera
Pengobatan: Kejang pertama: saat kejang diberikan diazepam 10 mg i.v,
dilanjutkan dengan fenitoin 200mg peroral, dan seterusnya diberikan 3-4 x 100
mg/hari. Profilaksis: Diberikan fenitoin 3-4x 100mg/hari atau karbamazepin
3x200 mg/hari selama 7-10 hari.(15)
Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi seperti pada
fraktur tulang terbuka, luka luar, dan fraktur basis kranii. Antibiotik yang
diberikan: ampisilin 3x1 gr/hari i.v selama 10 hari. Bila ada kecurigaan infeksi
pada meningen, diberikan antibiotika dengan dosis meningitis, misalnya
ampisilin 4x3 gr/hari i.v dan kloramfenikol 4x 1,5-2gr i.v selama 10 hari.(15)
65
Indikasi Operasi
a. EDH (Epidural Hematoma)
1) Volume >30 cc atau ketebalan >15 mm atau pergeseran midline >5 mm.
2) Tanda-tanda penekanan batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang
otak masih bai
3) GCS <9 dan anisoko.(15)
Tindakan: Craniotomy + Evakuasi hematom
b. SDH (Subdural Hematoma)
1) Ketebalan >10mm atau midline shift >5mm tanpa melihat GCS
2) GCS ≤8 atau bila GCS turun ≥2 poin dari saat pertama datang ke RS, dan
atau bila didapatkan pupil asimetris atau pupil dilatasi dan tetap, dan atau
pengukuran TIK >20mmHg.(15)
Tindakan: Craniotomy + evakuasi hematom
c. ICH (perdarahan intraserebral) pasca trauma
1) Volume perdarahan pada frontal atau temporal > 20ml
2) Midline shift >5mm
3) Kompresi pada sisterna
4) Efek massa dengan deteriorasi neurologis sesuai dengan lesi
5) Volume perdarahan lebih dari 50ml
6) ICH di fossa posterior dengan efek massa (distorsi, dislokasi, obliterasi
ventrikel empat, kompresi sisterna basal, atau hidrosefalus obstruktif)
7) Tindakan: bila didapatkan pupil asimetris atau pupil dilatasi dan tetap,
dan atau pengukuran TIK >20mmHg. (15)
Tindakan: Craniotomy + Evakuasi hematom + Dekompresi
d. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangkan
operasi dekompresi
e. Indikasi Operasi pada Fraktur Basis Kranii :(15)
1) Kebocoran LCS post trauma yang disertai dengan meningitis
2) Fraktur transversal Os petrosus yang melibatkan optic capsule
3) Fraktur tulang temporal yang mengakibatkan lesi total otot wajah
4) Trauma balistik pada temporal yang mengakibatkan kerusakan vaskular
66
KOMPLIKASI
a. Gejala sisa trauma kepala berat
b. Kebocoran cairan cerebrospinal
c. Epilepsi pasca trauma
d. Sindrom pascakonkusi.(15)
PROGNOSIS
Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya
trauma kapitis. Prognosis pada cedera kepala mengacu pada tingkat keparahan
yang dialami. Nilai GCS saat pasien pertama kali datang ke rumah sakit
memiliki nilai prognosis yang besar. Nilai GCS antara 3-4 memiliki tingkat
mortalitas hingga 85%, sedangkan nilai GCS diatas 12 memiliki nilai
mortalitas 5-10%.(15)
peredaran darah pada otak akibat adanya emboli maupun thrombosis dan
gejala neurologis akan menghilang dalam waktu kurang dari 24 jam
2) Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND). Pada RIND atau defisit
neurologis iskemia sementara gejala neurologis yang timbulakan menghilang
dalam waktu lebih dari 24 jam sampai kurang dari sama dengan 21 hari
3) Stroke in Evolution. Stroke in evolution atau stroke progresif merupakan
stroke yang sedang berjalan dan gejala neurologis yang timbul makin lama
makin berat
4) Completed Stroke. Completed stroke atau stroke komplit memiliki gejala
neurologis yang menetap dan tidak berkembang lagi. (16)
ETIOLOGI
Sekitar 80% sampai 85% stroke adalah stroke iskemik, yang terjadi akibat
obstruksi atau bekuan disatu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum.
Obstruksi apat disebabkan oleh bekuan (thrombus) yang terbentuk didalam suatu
pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal. Pada thrombus vaskular distal,
bekuan dapat terlepas atau mungkin dapat terbentuk di dalam suatu organ seperti
jantung, dan kemudian dibawa oleh suatu sistem arteri ke otak sebagai suatu
embolus. Terdapat beragam penyebab stroke trombotik dan embolik primer,
termasuk aterosklerosis, arteritis, keadaan hiperkoagulasi, dan penyakit jantung
struktural. Namun thrombosis yang menjadi penyulit arterosklerosis merupakan
penyebab sebagian besar kasus stroke trombotik, dan embolus dari pembuluh
besar atau jantung merupakan penyebab tersering stroke embolik. (16)
Sumbatan aliran di arteri karotis interna sering merupakan penyebab stroke
pada orang berusia lanjut, yang sering mengalami pembentukan plak
aterosklerosis di pembuluh darah sehingga terjadi penyempitan atau stenosis.
Pangkal arteri carotis interna merupakan tempat tersering terbentuknya
aterosklerosis. Darah terdorong melalui sitem vascular oleh gradient tekanan,
tetapi pada pembuluh darah yang mulai menyempit, aliran darah yang lebih cepat
melalui lumen yang lebih kecil dan menurunkan gradient tekanan akan
menurunkan gradient di tempat konstriksi tersebut. Apabila stenosis mencapai
tempat kritis tertentu, maka meningkatnya turbulensi disekitar penyumbatan akan
68
menyebabkan penurunan tajam kecepatan aliran. Secara klinis, titik kritis stenosis
pada manusia adalah 80% sampai 85% dari luas potongan melintang lumen. (16)
Penyebab lain stroke iskemik adalah vasopasme, yang sering merupakan
respon vaskular reaktif terhadap perdarahan ke dalam ruang antara lapisan
araknoid dan piamater meningen.(16)
Penyakit serebrovaskular iskemik dibagi menjadi dua kategori besar : oklusi
trombotik dan oklusi embolik.(16)
Tabel 5. Penyebab stroke iskemik.(16)
Penyebab Stroke Iskemik Trombosis
Embolisme
Vasokonstriksi
MANIFESTASI KLINIS
Mati rasa (paresthesia) dan kelumpuhan (hemiparesis) secara tiba tiba pada
bagian lengan, kaki, wajah, yang paling sering terjadi pada separuh bagian tubuh.
Gejala lain muncul antara lain bingung, kesulitan berbicara atau memahami
pembicaraan (afasia), berkurangnya fungsi penglihatan melalui salah satu mata
(monocular visual loss) atau kedua mata, kesulitan dalam berjalan, pusing atau
kehilangan keseimbangan atau koordinasi, sakit kepala yang parah tanpa sebab
lemah bahakn tidak sadar.(16)
PENEGAKAN DIAGNOSA
Menurut Bahrudin (2012), pemeriksaan penunjang untuk ketepatan dan
kecepatan diagnosis stroke yang dapat dilakukan diantaranya :(16)
a. CT Scan
CT scan dapat memberikan informasi tentang lokasi, ukuran infark,
perdarahan, dan apakah perdarahan menyebar ke ruang intravesikuler, serta
dapa tmembantu perencanaan operasi.
Pencitraan memainkan peran yang penting dalam trombolisis. Pengetahuan
tentang tanda-tanda klasik iskemia awal atau gambaran perdarahan di computed
69
Gambar 30. Infark pada wilayah arteri ACA, arteri serebri media (MCA),
dan arteri serebri posterior.(16)
2) Gambaran computed tomography perfusion
Perfusi CT dilakukan dengan hanya memantau agen kontras iodinasi
bolus yang lolos melalui sirkulasi serebral. Ini melibatkan pencitraan secara
terus-menerus selama 45 detik di atas potongan jaringan yangsama (1-32 bagian)
selama administrasi kontras kecil secara dinamis(50 mL) dan kontras dengan
aliran tinggi secara bolus (laju injeksi 4–5mL/detik). Sebelum dilakukan
pemeriksaan ini, pemeriksaan fungsi ginjal perlu diperiksa terlebih dahulu untuk
mengurangi keterlambatan kontrasdan mencegah terjadinya kontras-induced
nefropati dan merupakan. Tidak ditemukanadanya defisit neurologis baru atau
komplikasi jantung setelah injeksibahan kontras pada tingkat aliran tinggi.(16)
Pada stroke akut, inti jaringan infark irreversible dikelilingi oleh daerah
perifer atau disebut penumbra yang menerima suplai darah kolateral dari arteri
yang tidak terkena dan arteri di wilayah leptomeningeal. Sel-sel dipenumbra
berpotensi diselamatkan dengan rekanalisasi awal. Penelitian terbaru telah
menunjukkan bahwa terapi trombolitik intravena mungkinbermanfaat bagi pasien
di luar 3 jam pertama.(16)
71
Gambar 31. Stroke akut (6 jam evolusi) pada wanita 46 tahun dengan
hemiplegia kiri.(16)
Berdasarkan gambar di atas terlihat bagian (a) yaitu nonenhanced CT scan
yang menunjukkan tanda titik (panah) di MCA kanan, kehilangan diferensia
simateri putih dan abu-abu dan mengaburkan basal ganglia. Bagain (b-e) peta
Perfusi CT dari MTT (b), CBV (c), CBF (d), Peta ringkasan menunjukkan MTT
diubah dan CBF di daerah frontal temporal kanan, sugesti fiskemia, dan
subkortikal berkurang daerah dengan penurunan CBV, sugestif dari inti infark. (16)
Perhatikan area peningkatan CBF dan CBV di nucleus caudatus kanan dan
inti lentikular, yang mewakili tahap pertama dari iskemia otak (kompensasi
dengan suplai dari cadangan serebrovaskular). Bagian (f) Gambar MR aksial
T2-weighted menunjukkan hiperintens daerah frontal parietal kanan dan nucleus
caudatus yang berkaitan dengan infark akhir di bidang iskemia. (16)
b. MRI
MRI dapat menunjukkan infark pada fase akut dalam beberapa saat
setelah serangan yang dengan pemeriksaan CT scan belum tampak.
Pemeriksaan ini cukup rumit serta memerlukan waktu yang lama sehingga
kurang bijaksana dilakukan pada stroke perdarahan akut.(16)
c. EKG
Pentingnya iskemia dan aritmia jantung, serta penyakit jantung lainnya,
sebagai penyebab stroke, maka pemeriksaan EKG harus dilakukan pada
semua penderita stroke akut.(16)
72
STROKE HEMORAGIK
DEFINISI
Menurut definisi WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang
secara cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan
kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular. Stroke
hemoragik adalah stroke yang terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum
mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid
atau langsung ke dalam jaringan otak.(16)
ETIOLOGI
Penyebab stroke hemoragik sangat beragam, yaitu :(16)
1) Perdarahan intraserebral primer (hipertensif)
2) Ruptur kantung aneurisma
3) Ruptur malformasi arteri dan vena
4) Trauma (termasuk apopleksi tertunda pasca trauma)
5) Kelainan perdarahan seperti leukemia, anemia aplastik, ITP,
gangguan fungsi hati, komplikasi obat trombolitik atau anti koagulan,
hipofibrinogenemia, dan hemofilia
6) Perdarahan primer atau sekunder dari tumor otak
7) Septik embolisme, myotik aneurisma
8) Penyakit inflamasi pada arteri dan vena
9) Amiloidosis arteri
FAKTOR RESIKO
Faktor yang berperan dalam meningkatkan resiko terjadinya stroke
hemoragik dijelaskan dalam table berikut :(16)
Tabel 6. Faktor Resiko Stroke Hemoragik.(16)
Faktor Resiko Keterangan
Umur Umur merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk stroke.
Sekitar 30% dari stroke terjadi sebelum usia 65, 70% terjadi pada
mereka yang 65 ke atas. Risiko stroke adalah dua kali ganda untuk
74
system
pembekuan
Penyalahgunaa Obat yang telah berhubungan dengan stroke termasuk
n obat methamphetamines, norepinefrin, LSD, heroin, dan kokain.
Amfetamin menyebabkan sebuah vaskulitis nekrosis yang dapat
mengakibatkan pendarahan petechial menyebar, atau fokus bidang
iskemia dan infark. Heroin dapat timbulkan sebuah
hipersensitivitas vaskular menyebabkan alergi. Perdarahan
subarachnoid dan difarction otak telah dilaporkan setelah
penggunaan kokain.
Hiperlipidemia Meskipun tingkat kolesterol tinggi telah jelas berhubungan dengan
penyakit jantung koroner, mereka sehubungan dengan stroke
kurang jelas. Peningkatan kolesterol tidak muncul untuk menjadi
faktor risiko untuk aterosklerosis karotis, khususnya pada laki-laki
di bawah 55 tahun. Kejadian hiperkolesterolemia menurun dengan
bertambahnya usia. Kolesterol berkaitan dengan perdarahan
intraserebral atau perdarahan subarachnoid. Tidak ada hubungan
yang jelas antara tingkat kolesterol dan infark lakunar.
Kontrasepsi Pil KB, estrogen tinggi yang dilaporkan meningkatkan risiko stroke
oral pada wanita muda. Penurunan kandungan estrogen menurunkan
masalah ini, tetapi tidak dihilangkan sama sekali. Ini adalah faktor
risiko paling kuat pada wanita yang lebih dari 35 tahun .
Mekanisme diduga meningkat koagulasi, karena stimulasi estrogen
tentang produksi protein liver, atau jarang penyebab autoimun
Diet Konsumsi alkohol :
Ada peningkatan risiko infark otak, dan perdarahan subarakhnoid
dikaitkan dengan penyalahgunaan alkohol pada orang dewasa
muda. Mekanisme dimana etanol dapat menghasilkan stroke
termasuk efek pada darah tekanan, platelet, osmolalitas plasma,
hematokrit, dan sel-sel darah merah. Selain itu, alkohol bisa
menyebabkan miokardiopati, aritmia, dan perubahan di darah
aliran otak dan autoregulasi.
77
Kegemukan :
Diukur dengan berat tubuh relatif atau body mass indexs, obesitas
telah secara konsisten meramalkan stroke.
Asosiasi dengan stroke dapat dijelaskan sebagian oleh adanya
hipertensi dan diabetes. Sebuah berat relatif lebih dari 30% di atas
rata-rata kontributor independen ke-atherosklerotik infark otak
berikutnya.
Infeksi Infeksi meningeal dapat mengakibatkan infark serebral melalui
pengembangan perubahan inflamasi dalam dinding pembuluh
darah. Sifilis meningovaskular dan mucormycosis dapat
menyebabkan arteritis otak dan infark.
Sirkadian dan Variasi sirkadian dari stroke iskemik, puncaknya antara pagi dan
faktor musim siang hari. Hal ini telah menimbulkan hipotesis bahwa perubahan
diurnal fungsi platelet dan fibrinosis mungkin relevan untuk stroke.
Hubungan antara variasi iklim musiman dan stroke iskemik telah
dialihkan. Peningkatan dalam arahan untuk infark otak diamati di
Iowa. Suhu lingkungan rata-rata menunjukkan korelasi negatif
dengan kejadian cerebral infark di Jepang. Variasi suhu musiman
telah berhubungan dengan resiko lebih tinggi cerebral infark dalam
usia 40-64 tahun pada penderita yang nonhipertensif, dan pada
orang dengan kolesterol serum bawah 160mg/dL.
PATOGENESIS
1) Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral paling sering terjadi ketika tekanan darah tinggi
kronis melemahkan arteri kecil, menyebabkannya robek. Penggunakan kokain
atau amfetamin dapat menyebabkan tekanan darah dan perdarahan sementara
tapi sangat tinggi. Pada beberapa orang tua, sebuah protein abnormal yang
disebut amiloid terakumulasi di arteri otak. Akumulasi ini (disebut angiopati
amiloid) melemahkan arteri dan dapat menyebabkan perdarahan. (16)
Penyebab umum yang kurang termasuk kelainan pembuluh darah saat lahir,
luka, tumor, peradangan pembuluh darah (vaskulitis), gangguan perdarahan,
78
PATOFISIOLOGI
Penghentian total aliran darah ke otak menyebabkan hilangnya kesadaran
dalam waktu 15-20 detik dan kerusakan otak yang irreversibel terjadi setelah
tujuh hingga sepuluh menit. Penyumbatan pada satu arteri menyebabkan
gangguan di area otak yang terbatas (stroke). Mekanisme dasar kerusakan ini
adalah selalu defisiensi energi yang disebabkan oleh iskemia. Perdarahan juga
menyebabkan iskemia dengan menekan pembuluh darah di sekitarnya. (16)
79
vestibular)
b) Penyakit Parkinson (substansia nigra), hemiplegia kontralateral dan
tetraplegia (traktus piramidal)
c) Hilangnya sensasi nyeri dan suhu (hipestesia atau anastesia) di bagian wajah
ipsilateral dan ekstremitas kontralateral (saraf trigeminus Vdan traktus
spinotalamikus)
d) Hipakusis (hipestesia auditorik; saraf koklearis), ageusis (saraf traktus
salivarus), singultus (formasio retikularis)
e) Ptosis, miosis, dan anhidrosis fasial ipsilateral (sindrom Horner, pada
kehilangan persarafan simpatis)
f) Paralisis palatum molle dan takikardia (saraf vagus X). Paralisis otot lidah
(saraf hipoglosus XII), mulut yang jatuh (saraf fasial VII), strabismus (saraf
okulomotorik III, saraf abdusens V)
g) Paralisis pseudobulbar dengan paralisis otot secara menyeluruh (namun
kesadaran tetap dipertahankan)
GEJALA KLINIS
Gejala klinis stroke ada berbagai macam, diantaranya adalah ditemukan
perdarahan intraserebral (ICH) yang dapat dibedakan secara klinis dari stroke
iskemik, hipertensi biasanya ditemukan, tingkat kesadaran yang berubah atau
koma lebih umum pada stroke hemoragik dibandingkan dengan stroke
iskemik. Seringkali, hal ini disebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
Meningismus dapat terjadi akibat adanya darah dalam ventrikel. (16)
Defisit neurologis fokal. Jenis defisit tergantung pada area otak yang
terlibat. Jika belahan dominan (biasanya kiri) terlibat, suatu sindrom yang
terdiri dari hemiparesis kanan, kerugian hemisensory kanan, meninggalkan
tatapan preferensi, bidang visual kana terpotong, dan aphasia mungkin terjadi.
Jika belahan non dominan (biasanya kanan) terlibat, sebuah sindrom
hemiparesis kiri, kerugian hemisensory kiri, preferensi tatapan ke kanan, dan
memotong bidang visual kiri. Sindrom belahan non dominan juga dapat
mengakibatkan pengabaian dan kekurangan perhatian pada sisi kiri. (16)
81
Jika cerebellum yang terlibat, pasien beresiko tinggi untuk herniasi dan
kompresi batang otak. Herniasi bisa menyebabkan penurunan cepat dalam
tingkat kesadaran, apnea, dan kematian. Tanda-tanda lain dari keterlibatan
cerebellar atau batang otak antara lain: ekstremitas ataksia, vertigo atau
tinnitus, mual dan muntah, hemiparesis atau quadriparesis, hemisensori atau
kehilangan sensori dari semua empat anggota, gerakan mata yang
mengakibatkan kelainan diplopia atau nistagmus, kelemahan orofaringeal atau
disfagia, wajah ipsilateral dan kontralateral tubuh.(16)
A. Perdarahan Intraserebral
Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba. Di sekitar setengah dari
jumlah penderita, serangan dimulai dengan sakit kepala parah, sering selama
aktivitas. Namun, pada orang tua, sakit kepala mungkin ringan atau tidak ada.
Gejala disfungsi otak menggambarkan perkembangan yang terus memburuk
sebagai perdarahan. Beberapa gejala, seperti kelemahan, kelumpuhan,
hilangnya sensasi, dan mati rasa, sering hanya mempengaruhi satu sisi tubuh.
Orang mungkin tidak dapat berbicara atau menjadi bingung. Visi dapat
terganggu atau hilang. Mata dapat menunjukkan arah yang berbeda atau
menjadi lumpuh. Mual, muntah, kejang, dan hilangnya kesadaran yang umum
dan dapat terjadi dalam beberapa detik untuk menit. (16)
B. Perdarahan Subaraknoid
Sebelum robek, aneurisma yang biasanya tidak menimbulkan gejala
kecuali menekan pada saraf atau kebocoran sejumlah kecil darah, biasanya
sebelum pecah besar (yang menyebabkan sakit kepala), menghasilkan
tanda-tanda peringatan, seperti berikut :(16)
1) Sakit kepala, yang mungkin luar biasa tiba-tiba dan parah (kadang-kadang
disebut sakit kepala halilintar)
2) Sakit pada mata atau daerah fasial
3) Penglihatan ganda
4) Kehilangan penglihatan tepi
82
otak tidak mendapatkan oksigen yang cukup dan dapat mati, seperti pada
stroke iskemik. Vasospasme dapat menyebabkan gejala mirip dengan stroke
iskemik, seperti kelemahan atau hilangnya sensasi pada satu sisi tubuh,
kesulitan menggunakan atau memahami bahasa, vertigo, dan koordinasi
terganggu.
3) Pecah kedua: Kadang-kadang pecah kedua terjadi, biasanya dalam seminggu.
WFNS SAH grade.
WFNS grade GCS Score Major facal deficit
84
0
1 15 -
2 13-14 -
3 13-14 +
4 7-12 + or -
5 3-6 + or -
Sistem skoring pada no 1 dan 2 dipakai pada kasus SAH primer akibat
rupturnya aneurisma.(16)
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis stroke dan
menyingkirkan diagnosis bandingnya. Laboratorium yang dapat dilakukan
pada penderita stroke diantaranya adalah hitung darah lengkap, profil
pembekuan darah, kadar elektrolit, dan kadar serum glukosa. (16)
Pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis. Pencitraan otak
adalah langkah penting dalam evaluasi pasien dan harus didapatkan dalam
basis kedaruratan. Pencitraan otak membantu dalam diagnosis adanya
perdarahan, serta dapat menidentifikasi komplikasi seperti perdarahan
intraventrikular, edem otak, dan hidrosefalus. Baik CT non kontras ataupun
MRI otak merupakan pilihan yang dapat digunakan.(16)
CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke hemoragik
dari stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan stroke dari
patologi intrakranial lainnya. CT non kontras dapat mengidentifikasi secara
virtual hematoma yang berdiameter lebih dari 1 cm. (16)
MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan lebih bisa
diandalkan daripada CT scan, terutama stroke iskemik. MRI dapat
mengidentifikasi malformasi vaskular yang mendasari atau lesi yang
menyebabkan perdarahan.(16)
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah elektrokardiogram (EKG)
untuk memulai memonitor aktivitas hantung. Disritmia jantung dan iskemia
miokard memiliki kejadian signifikan dengan stroke. (16)
Stroke dapat didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit lain seperti:
ensefalitis, meningitis, migrain, neoplasma otak, hipernatremia, stroke iskemik,
85
PENATALAKSANAAN
A. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
1) Evaluasi cepat dan diagnosis
2) Terapi umum (suportif)
a. stabilisai jalan napas dan pernapasan
b. stabilisasi hemodinamik/sirkulasi
c. pemeriksaan awal fisik umum
d. pengendalian peninggian TIK
e. penanganan transformasi hemoragik
f. pengendalian kejang
g. pengendalian suhu tubuh
h. pemeriksaan penunjang.(16)
b. Reversal of anticoagulation
1) Pasien PIS akibat dari pemakaian warfarin harus secepatnya
diberikan fresh frozen plasma atau prothrombic complex concentrate
dan vitamin K.
86
8. PERDARAHAN SUBARACHNOID
DEFINISI
Proses pecahnya pembuluh darah di ruang yang berada dibawah
arakhnoid (subaraknoid). Prevalensi terjadinya perdarahan subaraknoid dapat
mencapai hingga 33.000 orang per tahun di Amerika Serikat. Perdarahan
subarakhnoid memiliki puncak insidens pada usia ekitar 55 tahun untuk
laki-laki dan 60 tahun untuk perempuan. Lebih sering dijumpai pada
perempuan dengan rasio 3:2.(17)
Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya darah pada
rongga subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis. Perdarahan
subarakhnoid ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga
subarakhnoid yaitu rongga antara lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah
(arakhnoid matter) yang merupakan bagian selaput yang membungkus otak
(meninges).(17)
ETIOLOGI
Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid
adalah ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya malformasi
arteriovenosa (MAV). Terdapat beberapa jenis aneurisma yang dapat
terbentuk di arteri otak seperti :(17)
88
EPIDEMIOLOGI
Perdarahan Subarachnoid menduduki 7-15% dari seluruh kasus
GPDO (Gangguan Peredaran Darah Otak). Prevalensi kejadiannya sekitar
62% timbul pertama kali pada usia 40-60 tahun. Dan jika penyebabnya
adalah MAV (malformasi arteriovenosa) maka insidensnya lebih sering
pada laki-laki daripada wanita.(17)
PATOFISIOLOGI
Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri
serebral utama. Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam sirkulasi
anterior dan 15% dalam sirkulasi posterior. Secara keseluruhan, tempat
yang paling umum adalah arteri communicans anterior diikuti oleh arteri
communicans posterior dan arteri bifucartio cerebri. Dalam sirkulasi
posterior, situs yang paling lebih besar adalah di bagian atas bifurkasi
arteri basilar ke arterie otak posterior.(17)
Pada umumnya aneurisma terjadi pada sekitar 5% dari populasi orang
dewasa, terutama pada wanita. Penyebab pembentukan aneurisma
intrakranial dan rupture tidak dipahami. Namun, diperkirakan bahwa
aneurisma intrakranial terbentuk selama waktu yang relatif singkat dan
baik pecah atau mengalami perubahan sehingga aneurisma yang utuh tetap
stabil. Pemeriksaan patologis dari aneurisma ruptur diperoleh pada otopsi
menunjukkan disorganisasi bentuk vaskular normal dengan hilangnya
lamina elastis internal dan kandungan kolagen berkurang. Sebaliknya,
90
aneurisma yang utuh memiliki hampir dua kali kandungan kolagen dari
dinding arteri normal, sehingga peningkatan ketebalan aneurisma
bertanggung jawab atas stabilitas relatif yang diamati dan untuk resiko
rupture menjadi rendah.(17)
Meskipun masih terdapat kontroversi mengenai asosiasi ukuran dan
kejadian pecah, 7 mm tampaknya menjadi ukuran minimal pada saat
ruptur. Secara keseluruhan, aneurisma yang ruptur cenderung lebih besar
daripada aneurisma yang tidak rupture. Aneurisma yang pecah.(17)
Puncak kejadian aneurisma pada PSA terjadi pada dekade keenam
kehidupan. Hanya 20% dari aneurisma yang rupture terjadi pada pasien
berusia antara 15 dan 45 tahun. Tidak ada faktor predisposisi yang dapat
dikaitaan dengan kejadian ini, mulai dari tidur, kegiatan rutin sehari-hari,
dan aktivitas berat.4 Hampir 50% dari pasien yang memiliki PSA, ketika
dianamnesis pasti memiliki riwayat sakit kepala yang sangat berat atau
sekitar 2-3 minggu sebelum perdarahan besar. Hampir setengah dari
orang-orang ini meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Puncak kejadian
perdarahan berikutnya terjadi pada 24 jam pertama, tetapi tetap ada risiko
hari-hari berikutnya dapat mengalami perdarahan. Sekitar 20-25% kembali
rupture dan mengalami perdarahan dalam 2 minggu pertama setelah
kejadian pertama. Kematian terjadi terkait perdarahan kedua hampir
70%.(17)
MANIFESTASI KLINIS
Tanda klasik PSA, sehubungan dengan pecahnya aneurisma yang
besar, meliputi :(18)
1. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak
2. Hilangnya kesadaran
3. Fotofobia
4. Meningismus
5. Mual dan muntah
Sebenarnya, sebelum muncul tanda dan gejala klinis yang hebat dan
mendadak tadi, sudah ada berbagai tanda peringatan yang pada umumnya
91
DIAGNOSIS
Kejadian misdiagnosis pada perdarahan subarakhnoid berkisar antara 23%
hingga 53%. Karena itu, setiap keluhan nyeri kepala akut harus selalu
dievaluasi lebih cermat. Anamnesis yang cermat mengarahkan untuk
mendiagnosis PSA.(18)
Pada pemeriksaan fisik dijumpai semua gejala dan tanda seperti yang
dijelaskan sebelumnya.(18)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT Scan
Pemeriksaan CT scan tanpa kontras adalah pilihan utama karena
sensitivitasnya tinggi dan mampu menentukan lokasi perdarahan lebih
akurat; sensitivitasnya mendekati 100% jika dilakukan dalam 12 jam
pertama setelah serangan tetapi akan turun pada 1 minggu setelah serangan.
CT scan Perdarahan Subarakhnoid.(18)
93
2. Pungsi Lumbal
Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah diagnostic
selanjutnya adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat
penting untuk menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa temuan pungsi
lumbal yang mendukung diagnosis perdarahan subarachnoid adalah
adanya eritrosit, peningkatan tekanan saat pembukaan, dan atau
xantokromia. Jumlah eritrosir meningkat, bahkan perdarahan kecil kurang
dari 0,3 mL akan menyebabkan nilai sekitar 10.000 sel/mL. xantokromia
adalah warna kuning yang memperlihatkan adanya degradasi produk
eritrosit, terutama oksihemoglobin dan bilirubin di cairan serebrospinal.(18)
3. Angiografi
Digital-substraction cerebral angiography merupakan baku emas
untuk deteksi aneurisma serebral, tetapi CT angiografi lebih sering
digunakan karena non-invasif serta sensitivitas dan spesifitasnya lebih
tinggi. Evaluasi teliti terhadap seluruh pembuluh darah harus dilakukan
karena sekitar 15% pasien memiliki aneurisma multiple. Foto radiologi
yang negative harus diulang 7-14 hari setelah onset pertama. Jika evaluasi
kedua tidak memperlihatkan aneurisma, MRI harus dilakukan untuk
melihat kemungkinan adanya malformasi vascular di otak maupun batang
otak.(18)
Adapun parameter klinis yang dapat dijadikan acuan untuk intervensi
dan prognosis pada PSA seperti skala Hunt dan Hess yang bisa digunakan.
Selain skala Hunt dan Hess, skor Fisher juga bisa digunakan untuk
mengklasifikasikan perdarahan subarachnoid berdasarkan munculnya
darah di kepala pada pemeriksaan CT scan.(18)
DIAGNOSIS BANDING
Terdapat beberapa penyakit yang dapat didiagnosis banding dengan stroke
hemoragik akibat perdarahan subarakhnoid, yaitu :(18)
1. Migraine
2. Cluster headache
94
3. Paroxysmal hemicranial
4. Non-hemorrhagic stroke
PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalakasanaan pertama dari perdarahan subarakhnoid adalah
identifikasi sumber perdarahan dengan kemungkinan bisa diintervensi dengan
pembedahan atau tindakan intravascular lain. Jalan napas harus dijamin aman dan
pemantauan invasive terhadap central venous pressure dan atau pulmonary artery
pressure, seperti juga terhadap tekanan darah arteri, harus terus dilakukan. Untuk
mencegah penigkatan tekanan intracranial, manipulasi pasien harus dilakukan
secara hati-hati dan pelan-pelan, dapat diberikan analgesic dan pasien harus
istirahat total.(18)
PSA yang disertai dengan peningkatan tekanan intracranial harus diintubasi
dan hiperventilasi. Pemberian ventilasi harus diatur untuk mencapai PCO2 sekitar
30-35 mmHg. Beberapa obat yang dapat diberikan untuk menurunkan tekanan
intracranial seperti :(18)
1) Osmotic agents (mannitol) dapat menurunkan tekanan intracranial secara
signifikan (50% dalam 30 menit pemberian).
2) Loop diuretics (furosemide) dapat juga menurnukan tekanan intracranial.
3) Intravenous steroid (dexamethasone) untuk menurunkan tekanan
intracranial masih kontroversial tapi direkomendasikan oleh beberapa
penulis lain.
Setelah itu tujuan selanjutnya adalah pencegahan perdarahan ulang,
pencegahan dan pengendalian vasospasme, serta manajemen komplikasi medis
dan neurologis lainnya. Tekanan darah harus dijaga dalam batas normal dan jika
perlu diberi obat-obat antihipertensi intravena, seperti labetalol dan nikardipin.
Akan tetapi, rekomendasi saat ini menganjurkan penggunaan obat-obat anti
hipertensi pada PSA jikalau MABP diatas 130 mmHg. Setelah aneurisma dapat
diamankan, sebetulnya hipertensi tidak masalah lagi, tetapi sampai saat ini belum
ada kesepakatan berapa nilai amannya. Analgesic seringkali diperlukan, obat- obat
narkotika dapat diberikan berdasarkan indikasi. Dua factor penting yang
dihubungkan dengan luaran buruk adalah hiperglikemia dan hipertermia, karena
95
itu keduanya harus segera dikoreksi. Profilaksis terhadap thrombosis vena dalam
(deep vein thrombosis) harus dilakukan segera dengan peralatan kompresif
sekunsial, heparin subkutan dapat diberikan setlah dilakukan penatalaksanaan
terhadap aneurisma. Calcium channel blocker dapat mengurangi risiko komplikasi
iskemik, direkomendasikan nimodipin oral.(18)
Hasil penelitian terakhir yang dilakukan mengemukakan bahwa penambahan
obat cilostazol oral pada microsurgical clipping dapat mencegah kejadian
vasospasme serebral dengan menurunkan resikoresiko yang memperparah
kejadian vasospasme serebral.(18)
KOMPLIKASI
Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering pada
perdarahan subarachnoid. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa status
mental, deficit neurologis fokal. Vasospasme akan menyebabkan iskemia serebral
tertunda dengan dua pola utama, yaitu infark kortikal tunggal dan lesi multiple
luas.(18)
Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Untuk mengurangi risiko
perdarahan ulang sebelum dilakukan perbaikan aneurisma, tekanan darah harus
dikelola hati-hati dengan diberikan obat fenilefrin, norepinefrin, dan dopamine
(hipotensi), labetalol, esmolol, dan nikardipi (hipertensi). Tekanan darah sistolik
harus dipertahankan >100 mmHg untuk semua pasien selama ±21 hari. Sebelum
ada perbaikan, tekanan darah sistolik harus dipertahankan dibawah 160 mmHg
dan selama ada gejala vasospasme, tekanan darah sistolik akan meningkat sampai
1200- 220 mmHg.(18)
Selain vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi lain yang dapat terjadi
adalah hidrosefalus, hiponatremia, hiperglikemia dan epilepsi. (18)
96
ETIOLOGI
1) Hipertensi 80% : Meningkatnya tekanan darah yang dapat
menyebabkan pembuluh darah kecil pecah di dalam otak.
2) Blood thinner therapy : obat-obatan seperti coumadin, heparin, dan
warfarin digunakan untuk mengobati jantung dan kondisi stroke.
3) AVM : jalinan arteri dan vena yang abnormal tanpa kapiler
4) Aneurisma: tonjolan atau melemahnya dinding arteri.
5) Trauma kepala : Patah tulang pada tengkorak dan luka tembus
(tembak) dapat merusak arteri dan menyebabkan perdarahan.
6) Gangguan perdarahan : hemofilia, anemia sel sabit, DIC,
trombositopenia.
7) Tumor : Tumor yang sangat vaskular seperti angioma dan tumor
metastasis dapat menyebabkan terjadinya perdarahan ke dalam
jaringan otak.
8) Amyloid angiopathy 80% : penyakit degeneratif arteri.
9) Penggunaan obat: kokain dan obat terlarang lainnya dapat
menyebabkan perdarahan intraserebral.
10) Spontan: ICH oleh penyebab yang tidak diketahui.(19)
97
KLASIFIKASI
Berdasarkan kelainan patologis :(19)
1) Stroke hemoragik
a) Perdarahan intra serebral
b) Perdarahn ekstra serebral (Subarachnoid)
2) Stroke non-hemoragik (stroke iskemik, infrak otak, penyumbatan)
a) Stroke akibat thrombosis serebri
b) Emboli serebri
c) Hipoperfusi sitemik
PATOFISIOLOGI
Etiologi dan patofisiologi perdarahan intracerebral primer masih
kontroversi. Perdarahan intraserebral primer adalah disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah arterioles, pada kebanyakan kasus dengan hipertensi arterial.
Pecahnya pembuluh darah spontan adalah disebabkan berkurangnya elastisiti
pembuluh darah dan meningkatnya suseptibiliti. Cerebral amyloid angiopati
adalah penyakit yang tersering pada orang berusia. Perdarahan intrserebral
mengambil jalan yang paling rendah resistensinya dan menyebar sepanjang
neuronal fiber. Perdarahan intrserebral yang belokasi pada suprtatentorial
menyebabkan meningkatnya tekanan intracranial jika volume lebih dari 60cc
atau adanya lebih banyak atrofi pada otak. Akhirnya meningkatkan tekanan
pada jaringan dan hemostasis akhirnya menghentikan perdarahan.
Meningkatnya tekanan pada jaringan seterusnya ICH menyebabkan bahaya
Iskemik pada area tersebut yang menyebabkan sitotoksik edema otak dalam
waktu 24 sampai 48 jam. Mekanisme ini menyebabkan peningkatan
99
FAKTOR RESIKO
Tabel 7. Faktor risiko Spontan ICH.(20)
Sering Jarang
Hipertensi Trombosis vena cerebral
Umur Infeksi (aneurisme mikotik,vaskulitis)
Ras Neoplasma
100
DIAGNOSIS
Semua pasien dengan ICH mempunyai gejala yang berat mirip acute
ischemic stroke (AIS) dan perdarahan subarachnoid (SAH), beberapa
penelitian menunjukkan kebanyakan dari pasien memiliki gejala yang
progresif dari mula. Penyelidikan konsisten dari tahun 1990s, dimana
menunjukkan perdarahan bertambah kira kira 40% dari pasien dalam masa 3
jam dari onset.Permulaan gejala ICH termasuk bekurangnya kesadaran
(medekati 50%), sakit kepala (40%), muntah (40-50%) dan hipertensi
(80-90%).Pasien ICH di rekomendasi pemeriksaan neuroimaging untuk
membezakan iskemik atau stroke perdarahan.(20)
Tabel 7. Skor ICH.
Komponen Skor ICH
Skor GCS
3-4 2
5-12 1
13-15 0
Volume ICH,cm3
≥ 30 1
<30 0
IVH
Ya 1
Tidak 0
ICH yang berasal dari
infratentorial 1
Ya 2
Tidak
101
Umur
≥ 80 1
< 80 0
Total Skor ICH 0-6
GEJALA KLINIS
1) Onset perdarahan bersifat mendadak,terutama sewaktu melakukan
aktivitas dan dapat didahului oleh gejala prodromal berupa
peningkatan tekanan darah yaitu nyeri kepala,mual
muntah,gangguan memori,bingung,perdarahan retina dan epistaksis.
2) Penurunan kesadarn yang berat sampai koma disertai
hemiplegia/hemiparase dan dapat disertai kejang fokal/umum.
3) Tanda-tanda penekanan batang otak,gejala pupil unilateral,reflex
pergerakan bola mata menghialang dan deserebrasi.
4) Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intracranial (TTIK),
misalnya papilledema dan perdarahan subhialoid.
Mendiagnosa dengan cepat ICH sangat penting. Perkembangan klinis
yang cepat selama beberapa jam pertama dengan cepat dapat menyebabkan
kerusakan neurologis dan ketidakstabilan kardio-paru. Presentasi klasik
dalam ICH adalah timbulnya progresif defisit neurologis fokal selama menit
ke jam dengan disertai sakit kepala, mual, muntah, penurunan tingkat
kesadaran dan peningkatan tekanan darah relatif pada stroke iskemik dan
perdarahan subarachnoid, biasanya lebih mendadak. Gejala sakit kepala dan
muntah juga diamati lebih sering pada stroke iskemik dibandingkan dengan
ICH. Gejala ICH biasanya karena peningkatan ICP. Hal ini sering dibuktikan
melalui kehadiran triad Cushing –hipertensi, bradikardia dan respirasi tidak
teratur– dipicu oleh Cushing reflex. Dysautonomia juga sering terjadi di ICH,
termasuk juga hiperventilasi, takipnea, bradikardia, demam, hipertensi dan
hyperglycemia.(20)
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik dicari ada tidaknya tanda-tandanya trauma, yang
bisa menyebabkan terjadinya ICH dan tanda-tanda cedera. Spesifik neurologi
defisit berkolerasi dengan lokasi ICH dan defisit mirip pada AIS berhubung
juga dengan distribusi vaskular.(20)
104
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Neuroimaging
PENATALAKSANAAN
Penanganan :(20)
a. Step 1
1) Pasien harus dirawat dan distabilisasi menurut ATLS
2) Pasien dengan GCS dibawah 9 dilakukan pemasangan ETT
b. Step 2
Riwayat Penyakit pertanyaan sebaiknya mencakup riwayat trauma,
riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes, merokok, alcohol,
riwayat pengobatan (khususnya kokain, warfarin, aspirin, antikoagulan yang
lain), penyakit hematologi, penyakit hati, neoplasma, dan infeksi, atau AVM.
c. Step 3
Penilaian gejala dengan menggunakan skala ROSIER (skor > 0,90 %
berpotensi untuk stroke) untuk diagnose, dan ICH (skor yang lebih besar,
hasil yang lebih jelek) dan skor FUNC (skor yang lebih besar,berpeluang
mempengaruhi kualitas hidup) untuk prognosis.
d. Step 4
Tes laboratorium dilakukan untuk pemeriksaan penunjang, menilai
faktor resiko ICH dan penyebab lain yang dapat menyebabkan ICH,
106
pemeriksaannya meliputi darah rutin, elektrolit, INR, PT, tes kehamilan, tes
toksikologi, matrix metalloproteinase, foto thorax dan ECG.
e. Step 5
Pemeriksaan Radiologi CT-scan dan MRI merupakan pilihan pertama
untuk pemeriksaan radiologi. Dengan menggunakan CTA “spot sign” dapat
diindikasi dimana merupakan faktor risiko terhadap perluasan hematom dan
sebagai peringatan terhadap prognosis yang jelek jika tidak segera ditangani.
f. Step 6
1) Terapi potensial untuk ICH: menghentikan atau memperlambat perdarahan
dini pada awal kejadian setelah onset (farmakoterapi, pembedahan, coiling
endovaskular).
2) Penatalaksanaan terhadap gejala,tanda,dan komplikasi seperti peningkatan
intra cranial,penurunan perfusi otak, dan terapi suportif untuk pasien
dengan trauma kepala berat.
Tabel 8. Flowchart untuk pendekatan stroke, khususnya perdarahan
intraserebral (ICH), dalam pengaturan perawatan akut dimulai dengan riwayat,
pemeriksaan laboratorium, pencitraan diagnostic dan pengobatan akut.(20)
Komponen Poin
Volume ICH (m3)
<30 4
30-60 2
>60 0
Umur (thn)
<70 2
70-79 1
>80 0
Lokasi ICH
Lobus 2
Perdarahan yang lebih 10
dalam
Infra tentorial
Skor GCS
107
≥9 2
≤8 0
Gangguan kognitif pre-ICH
Ada 1
Tidak ada 0
Tabel 9. Rosier Skala adalah alat penilaian stroke yang cepat yang
menggunakan tanda-tanda klinis untuk membantu menyingkirkan mimik
stroke. Itu berkisar skala dari -2 ke +5 poin, dengan skor pasien lebih besar
dari 0 menjadi cenderung memiliki stroke.(20)
108
membutuhkan lebih dari enam jam untuk menormalkan INR. Tekanan darah
harus dikontrol untuk mencegah perdarahan kembali dan expansi hematoma.
Beta-blocker, seperti Labetalol, dan ACE inhibitor, seperti enalapril, sering
digunakan untuk mencapai kontrol tekanan darah. Nitroprusside dapat
meningkatkan tekanan intrakranial dan harus dihindari, kecuali bila
diperlukan pada pasien dengan asma atau gagal jantung di mana betablocker
kontraindikasi. Kontrol hipertensi tergantung pada tekanan sistolik, berarti
tekanan arteri (MAP) dan ada tidaknya tekanan intrakranial pada masuk dan
berada di luar lingkup makalah ini, terdapat pada 2010 AHA/ASA
guidelines. Tekanan Intrakranial (ICP) manajemen bergantung pada elevasi
dari kepala tempat tidur untuk 40 derajat untuk meningkatkan jugularis vena
keluar. Terapi yang lebih agresif, seperti terapai osmotic (manitol,
hipertonik salin) membutuhkan tekanan intrakranial dan BP pemantauan
untuk mempertahankan otak yang memadai tekanan perfusi lebih besar dari
70 mmHg. Berikut adalah rutin digunakan selama transfer pasien dari pusat
perifer. Perhatian khusus harus diberikan kepada risiko iatrogenic hipotensi
yang disebabkan oleh hipertensi yang cepat dan agresif, yang dapat
menyebabkan ischemia serebral Untuk control kejang, pedoman 2010
AHA/ASA merekomendasikan bahwa pasien dengan kejang disertai
dengan perubahan status mental harus diperlakukan dengan benzodiazepin
untuk kejang control yang cepat dan Phenytoin untuk manajemen jangka
panjang.(20)
b. Operatif
Tujuan ideal pengobatan bedah ICH seharusnya membuang
sebanyak bekuan darah secepat mungkin dengan sedikitnya jumlah trauma
otak dari operasi itu sendiri.Jika memungkinkan, operasi juga harus
menghapus penyebab yang mendasari ICH, seperti malformasi arteri, dan
mencegah komplikasi ICH seperti efek hidrosefalus dan massa dari bekuan
darah. Kraniotomi telah menjadi pendekatan standar untuk ICH.Keuntungan
utamanya adalah eksposur yang memadai untuk membuang darah yang
menggumpal.Menghilangkan bekuan lebih lengkap dapat menurunkan ICP
110
dan efek tekanan lokal dari bekuan darah di sekitarnya otak.Kerugian utama
dari bedah lebih luasPendekatan adalah bahwa hal itu dapat menyebabkan
kerusakan otak lebih lanjut, khususnyapada pasien dengan perdarahan yang
dalam.Selain itu,efektivitas menghilangkan bekuan oleh kraniotomi jauh
dari Ideal.(20)
DAFTAR PUSTAKA
15. Spiotta A, Stiefel MF, Gracias VH, et al. Brain Tissue Oxygen-directed
Management and Outcome in Patients with Traumatic Brain Injury. America:
Journal of Neurosurgery; 2010.
16. Rasad, Sjahriar. Radiologi Diagnostik Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI; 2012.
17. Price, SA, Wilson, LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi ke-6. Jakarta: ECG; 2011.
18. Baehr M, Frotcsher M.Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi,
Tanda, Gejala. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012
19. SetyopranotoI. Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid. Jakarta:
Continuing Medical Education; 2012.
20. Raichart R, Frank S. Department of surgery. Germani: Jena University
Hospital, Friedrich-schiller-University, Erlanger Alle 101, D-07747 Jena
Germany; 2011.