Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

PARAPARESE PADA NN.M

DI RUANGAN MAWAR, RSUD UNDATA PALU

DISUSUN OLEH.
CINDY NURUL FARADILLA
(202001006)

CI LAHAN CI INSTITUSI

(Ns, Nova Ningsih S,Kep) (Ns, Abd Rahman, MH.Kes)

PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN


STIKES WIDYA NUSANTARA PALU
2022

1
A. KONSEP TEORITIS
1. Definisi
Paraparese adalah kelemahan otot kedua ekstremitas bawah pada fungsi motorik
dan sensorik pada segmen torakal, lumbal atau sacral medulla spinalis. Paraplegia
adalah cedera saraf tulang belakang yang disebabkan karena kecelakaan yang
merusak sensorik dan fungsi motorik di bagian tubuh. Paraplegia mengalami
kelumpuhan pada kedua tungkai kaki dan mati rasa pada bagian perut hingga ujung
kaki akibat cedera pada sumsum tulang belakang. Para penderita paraplegia juga
memiiki masalah lain seperti impotensia, BAK, BAB, selain itu emosional, depresi,
dan stres karena mereka tidak bisa berjalan lagi.
2. Etiologi
Penyebab paraparese menurut Smeltzer (2014) adalah sebagai berikut:
Faktor trauma tulang belakang, paling banyak terjadi karena jatuh dari ketinggian.
a) Faktor infeksi myelin
b) Tumor atau neoplasma pada medulla spinalis
c) Abses tuberculosa
d) Spina bifida thoracoumbal
e) Proses degenerasi medulla spinalis.

3. Patofisiologi
Lesi yang mendesak medulla spinalis sehingga merusak daerah saraf kortikospinalis
lateral dapat menimbulkan kelumpuhan UMN (Upper Motor Neuron) pada toto-otot
bagian tubuh yang terletak dibawah tingkat lesi. Lesi transversal medulla spinalis pada
tingkat servikal, Beberapa saraf di leher termasuk saraf oksipital besar dan kecil, saraf
supraklavikularis dan nervus frenikus. Pengelompokan saraf dalam tulang belakang leher
diberi nama setelah mencocokkan cakram serviks. Cakram atau (disk) ini diwakili oleh
huruf “C” dan angka sesuai dengan lokasi cakram antara vertebra lainnya yang
membentuk tulang belakang leher, dimulai dengan C1 di bagian atas dan bekerja turun ke
C8. Saraf di leher mengontrol berbagai fungsi tubuh manusia misalnya saraf C5 dapat
mengakibatkan kelumpuhan UMN (Upper Motor Neuron) pada otot-otot, kedua lengan
yang berasal dari miotoma saraf C6 sampai miotoma saraf C8, lalu otot-otot toraks dan

2
abdomen serta seluruh otot-otot kedua ekstremitas. Akibat terputusnya lintasan
somatosensory dan lintas autonom neuro vegetatif asendens dan desendens, maka dari
tingakat lesi kebawah, penderita tidak dapat melakukan buang air besar dan kecil, serta
tidak memperlihatkan reaksi neuro

vegetative.
Lesi transversal yang memotong medulla spinalis pada tingkat thorakal atau tingkat
lumbal atas mengakibatkan kelumpuhan yang pada dasarnya serupa dengan lesi yang
terjadi pada daerah servikal yaitu pada tingkat lesi terjadi gangguan motorik berupa
kelumpuhan LMN (Lower Motor Neuron) pada otot-otot yang merupakan sebagian kecil
dari otot-otot toraks dan abdomen, namun kelumpuhan yang terjadi tidak begitu jelas
terlihat dikarenakan peranan dari otot-otot tersebut kurang menonjol, hal ini dikarenakan
lesi dapat mengenai kornu anterior medulla spinalis. Dan dibawah tingkat lesi dapat
terjadi gangguan motorik berupa kelumpuhan UMN (Upper Motor

Neuron) karena saraf kortikospinal lateral segmen thorakal terputus (Bromley, 2006).

4. Manifestasi Klinik

Nurarif (2013) menjelaskan bahwa lesi yang terjadi pada medulla spinalis dapat
menimbulkan gejala klinis:
1. Gangguan fungsi motorik
a. Lesi pada medulla spinalis merusak kornu anterior medulla spinalis sehingga
menimbulkan kelumpuhan LMN pada otot-otot yang dipersyarafi oleh kelompok
motoneuron ynag terkena lesi dan menyebabkan nyeri punggung yang terjadi secara
tiba-tiba.
b. Gangguan motorik dibawah lesi: dapat terjadi kelumpuhan UMN karena jaras
kortikospinal lateral segmen thorakal terputus. Gerakan reflex tertentu yang tidak
dikendalikan oleh otak akan tetap utuh atau bahkan meningkat. Misalnya, reflex lutut
tetap ada dan bahkan meningkat. Meningkatnya reflex ini menyebabkan kejang
tungkai. Reflex yang tetap dipertahankan menyebabkan otot yang terkena menjadi
memendek sehingga terjadi kelumpuhan jenis spastik. Otot yang spastik teraba
kencang dan keras dan sering mengalami kedutan.
2. Gangguan fungsi sensorik : Karena lesi total juga merusak kornu posterior medulla
spinalis maka akan terjadi penurunan atau hilang fungsi sensitabilitas di bawah lesi.
Penderita tidak dapat merasakan adanya rangsangan taktil, rangsang nyeri, rangsang
thermal.
3
3. Gangguan fungsi autonomy : karena terputusnya jaras ascenden spinothalamicus maka
penderita kehilangan kontrol vesika urinaria dan kehilangan kontrol saat defekasi
(disfungsi kandung kemoh dan usus).

5. . Komplikasi
Komplikasi dapat meliputi (Kowalak, 2016):

a) Ulkus dekubitus, yaitu luka yang terjadi pada kulit yang terus tertekan akibat tidak
dapat menggerakan bagian tersebut.

b) Penggumpalan darah pada pembuluh darah tungkai (deep vein thrombosis).

c) Pneumonia atau infeksi paru-paru.

d) Depresi.

e) Kelumpuhan pada otot pernapasan.

4
1. Pathway
2. Lesi mendesak medulla spinalis

3. Kortikospinalis lateral

4. Kelumpuhan pada otot

5. terputusnya lintasan somatosensoty dan lintas autonom neurovegetatif asendens dan


desendens

6. gangguan motorik gangguan sensori gangguan fungsi autonomi

7. kelumpuhan otot-otot toraks dan abdomen

(Kowalak, 2016)

Diagnosa keperawatan

Untuk perumusan masalah keperawatan berpedoman pada buku Aplikasi Asuhan


Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NOC dan NIC (Nurarif, 2015).
Diagnosa keperawatan yang dapat terjadi pada pasien dengan paraparese yaitu:

1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuron fungsi motorik


dan sensori.

5
2. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan
imobilitas, penurunan sensori.

3. Retensi urine berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih secara


spontan, terputusnya saraf spinothalamikus.

4. Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan


autonomik, terputusnya saraf spinothalamikus.

5. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis.

6. Defisit pengetahuan berhubungan dengan penyakit dan pengobatan.

6
Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui penyakit


paraparese antara lain (Bromley, 2006).
1. MRI (Magnetic resonance imaging): menunjukkan daerah yang mengalami

fraktur, infark, haemoragik.


2. CT scan: untuk melihat adanya edema, hematoma, iskemi dan infark.

3. Rontgen: menunjukan daerah yang mengalami fraktur, dan kelainan tulang.

B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN

Pengkajian

1. Data dasar pengkajian (Bromley, 2006).


1) Aktivitas/isterahat

Tanda: kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok spinal) pada/dibawah


lesi. Kelemahan umum/kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
2) Sirkulasi

Gejala: berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi atau bergerak.


Tanda: hipotensi, hipotensi postural, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat,
hilangnya keringat pada daerah yang terkena.
3) Eliminasi

Gejala: inkontiensia defekasi dan berkemih.


Tanda: retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emesis
berwarna seperti koping tanah/hematemesis.
4) Integritas ego

Gejala: menyangkal, tidak percaya, sedih, marah.


Tanda: takut, cemas, gelisah, menarik diri,
5) Makanan/cairan

Tanda: mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik)

7
6) Higiene

Tanda: sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.


7) Neurosensori

Gejala: kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan/kaki. Paralisis


flasid/spastisitas dapat terjadi saat syok spinal teratasi, tergantung pada area
spinal yang sakit.

Tanda: Kelemahan, kelumpuhan (kejang dapat berkembang saat terjadi


perubahan pada saat syok spinal. Kehilangan sensai (derajat bervariasi dapat
kembali normal setelah syok spinal sembuh). Kehilangan tonus otot/vasomotor.
Kehilangan reflek/reflek asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan reaksi
pupil, ptosis, hilangnya keringat dari bagian tubuh yang terkena karena pengaruh
trauma spinal.
8) Nyeri/kenyamanan.

Gejala: nyeri/nyeri tekan otot, hiperestesia tepat diatas daerah trauma.


Tanda: mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
9) Pernafasan

Gejala: Napas pendek, “lapar udara”, sulit bernafas.


Tanda: Pernapasan dangkal, periode apnea, penurunan bunyi nafas, ronchi,
pucat, sianosis.
10) Keamanan

Gejala: suhu yang berfluktasi (suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).
11) Seksualitas

Gejala: keinginan untuk kembali seperti fungsi normal.


Tanda: ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur.
Intervensi Keperawatan

Penyusunan intervensi keperawatan berpedoman pada buku Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NOC dan NIC (Nurarif, 2015). Intervensi
keperawatan yang dapat disusun pada pasien dengan paraparese yaitu:

8
Tabel. 1.1 Tabel intevensi keperawatan individu dengan
Paraparese

No Diagnosa Keperawatan NOC NIC

Kode Hasil Kode Intervensi

1 Hambatan mobilitas fisik 0200 1. Ambulasi 0140 1. Peningkatan mekanikan

0201 2. Ambulasi: kursi roda 0221 2. Terapi latihan: ambulas

0280 3. Pergerakan

2. Resiko terhadap kerusakan 1101 1. Integritas jaringan: kulit dan 3500 1. Manajemen tekan
integritas kulit membrane mukosa
2690 2. Pencegahan Luka tekan

3590 3. Pengecekan kulit

3. Nyeri akut 1606 1. Kontrol nyeri 2210 1. Pemberian analgetik

2102 2. Tingkat nyeri 1400 2. Manajemen nyeri

2400 3. Bantuan pasien untuk m

11

pemberian analgesic

2260 4. Manajemen sedasi

4. Retensi urin 0503 1. Eliminasi urin 0580 1. Kateterisasi Urin

5. Konstipasi 0503 1. Eliminasi usus 0430 1. Manajemen saluran cern

1615 2. Perawatan ostomy sendiri 0450 2. Manajemen Konstipasi/

6. Defisit Pengetahuan 1844 1. Pengetahuan: manajemen penyakit 5602 1. Pengajaran proses penyak
akut

1803 2. Pengetahuan: proses penyakit

9
1823 3. Pengetahuan promosi kesehatan

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan nyeri


berkurang dengan kriteria hasil :

1. Pasien menunjukan ekspresi wajah rileks


2. Pasien dapat tidur atau beristirahat secara adekuat
3. Menyatakan rasa nyaman setelah nyerinya berkurang
4. Nyeri berkurang atau terkontrol
5. Skala nyeri 3-4 (ringan)

Implementasi Keperawatan

Tindakan keperawatan dilakukan dengan mengacu pada rencana

tindakan/intervensi keperawatan yang telah ditetapkan/dibuat.

Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan dilakukan untuk menilai apakah masalah keperawatan telah


teratasi, tidak teratasi atau teratasi sebagian dengan mengacu pada kriteria hasil
yang di targetkan pada intervensi keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA

http://repository.poltekeskupang.ac.id/1536/1/KTI%20FIX.pdf

10
Bararah, Taqiyyah., Jauhar, Mohammad. (2013). Asuhan Keperawatan: Panduan Lengkap
Menjadi Perawat Profesional Jilid 1. Prestasi Pustakaraya, Jakarta
Bulecheck, Gloria M. (2013). Nursing Intervention Classification (NIC), Sixth Edition. Missouri:
Elsevier Mosby.
Herdman, T. Heather. (2015). Nursing Diagnoses Definition and Classification 2015- 2017.
Oxford: Wiley-Blackwell.
Kowalak, P. J., Welsh, W., & Mayer, B. (2011). Buku Ajar Patofisologi. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif dkk. (2009). Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FK
UI
Moorhead, Sue et.al. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC), Fifth Edition.
Missouri: Elsevier Mosby
Nurarif, Amin Huda. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
NANDA, NIC-NOC Jilid 2.
Potter, P. A. & Perry, G. A. (2010). Fundamental of Nursing. Ed. 7. Volume 2.
Singapore. Elsevier Inc
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., and Cheever, K.H. (2014). Texbook of medical surgical
nursing. 12th ed. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins.
Sudoyo, Aru W. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II Ed. IV. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

11

Anda mungkin juga menyukai