PARAPREGIAL INFERIOR
OLEH
Widaningsih
2021207209013
FAKULTAS KESEHATAN
2022
LAPORAN PENDAHULUAN
PARAPREGIAL INFERIOR
I. KONSEP PENYAKIT
A. Definisi
Parapregial inferior adalah kelemahan otot kedua ekstremitas bawah
pada fungsi motoric dan sensorik pada segmen torakal, lumbal atau sacral
medulla spinalis (Sudoyo, 2019). Paraplegia adalah cedera saraf tulang
belakang yang disebabkan karena kecelakaan yang merusak sensorik dan
fungsi motorik di bagian tubuh. Paraplegia mengalami kelumpuhan pada
kedua tungkai kaki dan mati rasa pada bagian perut hingga ujung kaki akibat
cedera pada sumsum tulang belakang. Para penderita paraplegia juga
memiiki masalah lain seperti impotensia, BAK, BAB, selain itu emosional,
depresi, dan stres karena mereka tidak bisa berjalan lagi. Perbedaan
kuadraplegi, paraplegia, tetraplegia, paralisis dan parese. (Kowalak, 2011).
a. Kuadriplegik mengacu pada kehilangan gerakan dan sensasi pada
keempat ekstremitas dan badan yang dikaitkan dengan cedera pada
medulla spinalis cervikalis.
b. Paraplegia mengacu pada kehilangan gerak dan sensasi ekstremitas
bawah dan semua atau sebagian badan sebagai akibat cedera pada
torakal, lumbal atau sacral.
c. Paralisis merupakan hilangnya kekuatan untuk memindahkan tubuh
berhubungan dengan injury atau penyakit pada syaraf yang mengatur otot
dalam melakukan perpindahan tubuh.
d. Plegia yaitu kehilangan kekuatan.
e. Paresis yaitu kelemahan yang berarti pada otot yang terkena.
f. Parapregial inferior yaitu kelemahan tonus otot pada ekstremitas bawah.
g. Tetraparese yaitu kelemahan tonus otot yang melibatkan salah satu
segmen servikal medulla spinalis dengan disfungsi kedua lengan dan
kedua kaki.
Klasifikasi:
B. Etiologi
Penyebab Parapregial inferior menurut Smeltzer (2014) adalah
sebagai berikut:
1. Faktor trauma tulang belakang, paling banyak terjadi karena jatuh dari
ketinggian.
2. Faktor infeksi myelin
3. Tumor atau neoplasma pada medulla spinalis
4. Abses tuberculosa
5. Spina bifida thoracoumbal
6. Proses degenerasi medulla spinalis.
C. Manifestasi Klinis
Nurarif (2013) menjelaskan bahwa lesi yang terjadi pada medulla
spinalis dapat menimbulkan gejala klinis:
1. Gangguan fungsi motoric
a) Lesi pada medulla spinalis merusak kornu anterior medulla spinalis
sehingga menimbulkan kelumpuhan LMN pada otot-otot yang
dipersyarafi oleh kelompok motoneuron ynag terkena lesi dan
menyebabkan nyeri punggung yang terjadi secara tiba-tiba.
b) Gangguan motoric dibawah lesi: dapat terjadi kelumpuhan UMN
karena jaras kortikospinal lateral segmen thorakal terputus. Gerakan
reflex tertentu yang tidak dikendalikan oleh otak akan tetap utuh atau
bahkan meningkat. Misalnya, reflex lutut tetap ada dan bahkan
meningkat. Meningkatnya reflex ini menyebabkan kejang tungkai.
Reflex yang tetap dipertahankan menyebabkan otot yang terkena
menjadi memendek sehingga terjadi kelumpuhan jenis spastik. Otot
yang spastik teraba kencang dan keras dan sering mengalami
kedutan.
2. Gangguan fungsi sensorik
Karena lesi total juga merusak kornu posterior medulla spinalis maka
akan terjadi penurunan atau hilang fungsi sensitabilitas di bawah lesi.
Penderita tidak dapat merasakan adanya rangsangan taktil, rangsang
nyeri, rangsang thermal.
3. Gangguan fungsi autonomy karena terputusnya jaras ascenden
spinothalamicus maka penderita kehilangan kontrol vesika urinaria dan
kehilangan kontrol saat defekasi (disfungsi kandung kemoh dan usus).
D. Komplikasi
Mansjoer (2019) menjelaskan bahwa komplikasi yang dapat muncul
akibat dari Parapregial inferior adalah :
1. Gangguan penghubung dari lokasi pusat hambatan yang lebih tinggi di
otak.
2. Infeksi dan sepsis dari berbagai sumber meliputi saluran kemih, saluran
pernapasan dan decubitus.
E. Patofisiologi
Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien s
embuhsempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla,
(lebih salahsatu atau dalam kombinasi) sampai transaksi lengkap medulla
(membuat pasien paralisis). Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla
spinalis, darah dapat merembes keekstradul subdural atau daerah suaranoid
pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada cedera,
serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur (Sudoyo, 2019).
Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya
inisaja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada
cidera medulla spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian-
kejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia,edema, lesi, hemorargi.
Cidera medulla spinalis dapat terjadi pada lumbal 1-5 (Sudoyo, 2019).
Lesi 11 – 15 : kehilangan sensorik yaitu sama menyebar sampai lipat paha
dan bagian dari bokong.
Lesi L2 : ekstremitas bagian bawah kecuali 1/3 atas dari anterior paha.
Lesi L3 : Ekstremitas bagian bawah.
Lesi L4 : Ekstremitas bagian bawah kecuali anterior paha.
Lesi L5 : Bagian luar kaki dan pergelangan kaki.
Pathway
Trauma medulla spinalis, infeksi
myelin, trauma medulla spinalis
T2-T4: kelumpuhan anggota gerak bawah, hilangnya rasa pada kedua putting susu
T5-T8: kelumpuhan pada anggota gerak bagian bawah dan kehilangan rasa pada
daerah tulang dada
T9-T11: Kelumpuhan pada kaki dan kehilangan rasa pada daerah umbilicus
T12-L1: Kelumpuhan pada daerah dibawah paha
L2-L5: kelumpuhan pada keldua kaki
S1-S2: Kelumpuhan pada kedua kaki
S3-S5: Kehilangan kontrol pada kandung kemih dan usus. Kehilangan sensasi pada
daerah perineum
(Sudoyo, 2019)
F. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan cedera medulla spinalis menurut Mansjore
(2019) antara lain:
a. Penanganan awal cedera medulla spinalis, yaitu:
1) Mempertahankan usaha bernapas
2) Mencegah syok
3) Imobilisasi leher (neck collar dan long spine board)
4) Selain itu, fokus selanjutnya adalah mempertahankan tekanan darah
dan pernapasan, stabilisasi leher, mencegah komplikasi (retensi
urine atau alvi, komplikasi kardiovascular atau respiratorik, dan
thrombosis vena-vena profunda)
b. Penanganan lanjut trauma medulla spinalis dapat dilakukan dengan:
1) Farmakoterapi
Pemberian kortikosteroid dosis tinggi, khususnya metilprednisolon,
telah ditemukan unruk memperbaiki prognosis dan mengurangi
kecacatan bila diberikan dalam 8 jam cedera.
2) Hipotermia
Teknik pendinginan atau penyebaran hipotermia ke daerah cedera
dari medulla spinalis, untuk mengatasi kekuatan autodestruktif
yang mengikuti tipe cedera ini, cara ini keefektifannya masih
diselidiki.
3) Tindakan pernapasan
Oksigen diberikan untuk mempertahankan PO2 arteri tinggi, karena
anoksemia dapat menimbulkan atau memperburuk deficit
neurologic medulla spinalis. Intubasi endotrakea diberikan bila
perlu, perawatan ekstrem dilakukan untuk menghindari fleksi atau
ekstensi leher, yang dapat menimbulkan tekanan pada cidera
servikal diaphragma pacing (stimulasi listrik terhadap saraf frenik)
dapat dipertimbangkan unituk pasien dengan lesi servikal tinggi
tetapi biasanya dilakukan setelah fase akut.
4) Traksi dan Reduksi skelet
Penatalaksanaan cidera medulla spinalis memerlukan imobilisasi
dan reduksi dislokasi (memperbaiki posisi normal) dan stabilisasi
kolum vertebra.
5) Fraktur servikal dikurangi dan spinal servikal disejajarkan dengan
beberapa bentuk traksi seklet seperti tong seklet atau callipers, atau
dengan menggunakan alat halo.
6) Intervensi pembedahan, pembedahan diindikasikan bila :
a) Deformitas pasien tidak dapat dikurangi dengan traksi
b) Tidak ada kestabilan tulang servikal
c) Cedera terjadi pada daerah toraks atau lumbal
d) Status neurologic pasien memburuk.
Pembedahan dilakukan untuk mengurangi fraktur spinal atau
dislokasi atau dekompresi medulla. Laminektomi (eksisi cabang
posterior dan prossesus spinosus vertebra) diindikasikan pada
adanya defisit neurologic progresif, dicurigai adanya hematoma
epidural, atau cedera penetrasi yang memerlukan debridemen
pembedahan, atau memungkinkan visualisasi langsung dan
eksplorasi medulla.
Penderita menghadapi ketidakmampuan fisik sepanjang hidup
sehingga memerlukan tindak lanjut dan perawatan terus menerus dari
professional kesehatan seperti psikiatris, perawat rehabilitasi, ahli terapi
okupasi.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Potter & Perry (2019), pasien dengan Parapregial inferior
perlu dilakukan ROM. ROM terdiri dari gerakan pada persendian sebagai
berikut :
1. Leher, Spina, Servikal
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menggerakan dagu menempel ke dada, rentang 45°
Ekstensi Mengembalikan kepala ke posisi tegak, rentang 45°
Hiperektensi Menekuk kepala ke belakang sejauh rentang 40-
mungkin, 45°
Fleksi lateral Memiringkan kepala sejauh mungkin rentang 40-
sejauh mungkin kearah setiap bahu, 45°
Rotasi Memutar kepala sejauh mungkin dalam rentang
gerakan sirkuler, 180°
2. Bahu
3. Siku
4. Lengan bawah
5. Pergelangan tangan
7. Ibu jari
8. Pinggul
9. Lutut
11. Kaki
3. Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan Parapregial inferior akan timbul randa dan gejala
pada bagian neurosensorinya (Sudoyo, 2019). Sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan fisik pada :
a. Kesadaran: GCS
b. Fungsi motorik: Kelumpuhan, kelemahan
c. Fungsi sensorik: Kehilangan sensasi / sensibilitas.
d. Refleks fisiologis: Kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk
tendon dalam. Kehilangan tonus otot /vasomotor.
Skala
Tingkat Fungsi Otot %
Tingkat Skala Lovett
Normal
Tidak ada kontraktilitas 0 0 0 (nol)
Kontraktilitas ringan, tidak 1 10 T
ada gerakan (trace/mimimal)
Rentang gerak penuh, 2 25 P (poor/buruk)
tanpa gravitasi
Rentang gerak penuh, 3 50 F (fair/cukup)
dengan gravitasi
Rentang gerak penuh, 4 75 G (good/baik)
melawan gravitasi, terdapat
sedikit tahanan
Rentang gerak penuh, 5 100 N (normal)
melawan gravitasi, tahanan
penuh
4. Pemeriksaan Penunjang
Mansjoer (2019) menjelaskan bahwa pemeriksaan penunjang
untuk mengetahui penyebab dari Parapregial inferior adalah:
a. Pemeriksaan Laboratorium
b. Hematologi
1) Hemoglobin dapat menurun karena destruksi sum-sum tulang
vertebra atau perdarahan. Peningkatan leukosit menandakan
selain adanya infeksi juga karena kematian jaringan.
2) Kimia klinik: fungsi pembekuan darah sebelum terapi
antikoagulan.
3) Juga dapat terjadi gangguan elektrolit karena terjadi gangguan
dalam fungsi perkemihan dan fungsi gastrointestinal.
c. Radiognostik
1) CT Scan untuk melihat adanya edema, hematoma, iskemia dan
infark
2) MRI menunjukkan daerah yang mengalami fraktur, infark
hemoragik.
3) Rontgen menunjukkan daerah yang mengalami fraktur dan
kelainan tulang.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan
Parapregial inferior antara lain (Nurarif, 2013):
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakmampuan
berjalan
2. Retensi Urin berhubungan dengan cedera medulla spinalis
3. Konstipasi berhubungan dengan gangguan neurologis
4. Disfungsi seksual berhubungan dengan gangguan neurologis
5. Ketidakefektifan koping berhubungan dengan ketidakmampuan
beradaptif dengan situasi yang dialami.
C. Intervensi Keperawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN RENCANA KEPERAWATAN
1 Hambatan mobilitas Setelah dilakukan tindakan Lower Extremity Monitoring
fisik berhubungan keperawatan selama 3x24 jam, 1. Inspeksi hyiene kulit
dengan pasien mampu melakukan 2. Kaji adanya edema pada ekstremitas
ketidakmampuan mobilisasi secara bertahap dengan 3. Kaji kuku terhadap adanya penebalan jamur
berjalan kriteria: 4. Kaji warna kulit, suhu, hidrasi, tekstur
Joint Movement: 5. Kaji status mobility misalnya berjalan tanpa
Pasien mampu melakukan ROM pendamping, atau menggunakan alat bantu atau tidak
secara pasif atau aktif dengan bisa berjalan atau menggunakan kursi roda.
melakukan gerakan fleksi, 6. Inspeksi adanya kelaiann pada tungkai
ekstensi, hiperekstensi, abduksi, 7. Kaji capilar refill time
adduksi, rotasi dalam, rotasi luar, 8. Kaji reflex tendon
gerakan memutar.
Exercise Therapy: Joint Mobiltity
Body Mechanics Perfomance: 1. Kaji adanya keterbatasan pergerakan sendi dan kekuatan
Mempertahankan kekuatan otot otot pasien
yang normal 2. Jelaskan kepada pasien dan kelaurga tentang pentingnya
Mempertahankan fleksibilitas latihan
sendi yang normal 3. Kaji dan pantau areaynag nyeri selama melakukan
latihan ROM aktif
4. Lindungi pasien dari cedera selamaalatihan
5. Lakukan ROM paif atau aktif sesuai kemampuan pasien
6. Tentukan jadwal melakukan latihan ROM
7. Libatkan keluarga dalam latihan
8. Kaji respon pasie setelah melakukan latihan ROM
9. Beri pujian setiap tindakan yang dilakuakn pasien.
2 Retensi urin 1. setelah dilakukan tindakan Self care Assistence : Toileting
berhubungan dengan keprawatan salaam 3x24 jam 1. Sediakan alat bantu untuk berkemih (misal : kateter).
gangguan diharapkan pasien dapat 2. Monitor integritas kulit pasien terutama di daerah bokong.
neuromuskular mengontrol pola berkemih
dengan kriteria: Urinary Catheterization (0580)
Urinary Elimination 1. Jelaskan prosedur dan rasional dilakukan pemasangan
Pola eliminasi urun kembali kateter.
normal seperti semula. 2. Siapkan alat alat pemasangan kateter.
3. Pertahankan teknik aseptic.
4. Gunakan kateter yang paling kecil.
5. Hubungkan kateter dengan drainase bag.
6. Amankan atau rekatkan kateter di kulit.
7. Monitor intake dan output.
Kowalak, P. J., Welsh, W., & Mayer, B. (2011). Buku Ajar Patofisologi. Jakarta:
EGC
Mansjoer, Arif dkk. (2019). Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius FK UI
Moorhead, Sue et.al. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC), Fifth Edition.
Missouri: Elsevier Mosby
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., and Cheever, K.H. (2014). Texbook of
medical surgical nursing. 12th ed. Philadelphia: Lipincott Williams &
Wilkins.
Sudoyo, Aru W. (2019). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II Ed. IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.