TRAUMA SPINAL
DI RUANG ICU RSUD KANJURUHAN KEPANJEN
Disusun Oleh:
201920461011076
KELOMPOK 8
2020
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN
Trauma Spinal
OLEH :
ADILLA ZENARA NAFISA
NIM : 201920461011076
(.....................................) (...................................)
TRAUMA SPINAL
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Trauma Spinal merupakan gangguan pada medula spinalis yang
mengakibatkan perubahan sementara atau permanen pada fungsi motorik,
sensorik, atau otonom. Penyebab tersering cedera spinal adalah trauma pada
medula spinalis yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, kekerasan,
olahraga, atau jatuh (Alizadeh A dkk, 2019).
2. Klasifikasi
Menurrut Fildes (2008) mengatakan bahwa trauma medulla spinalis
diklasifikasikan berdasarkan level, beratnya defisit neurologis, dan sindroma
medulla spinalis.
A. Berdasarkan Level
Level neurologis adalah segmen paling kaudal yang masih memiliki fungsi
sensorik dan motorik normal di kedua sisi tubuh. Bila istilah level
sensorik yang digunakan berarti dipakai untuk menyebutkan bagian paling
kaudal dari medulla spinalis dengan fungsi sensorik normal. Level
motorik juga didefenisikan hampir sama, sebagai fungsi motorik pada
otot penanda yang paling rendah dengan kekuatan paling tidak 3/5. Pada
cedera komplit, bila ditemukan kelemahan fungsi sensorik atau motorik
dibawah segmen normal terendah hal ini disebut dengan zone preservasi
parsial. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penentuan level trauma pada
kedua sisi sangat penting. Perbedaan yang jelas terjadi antara lesi diatas
dan dibawah T1. Cedera pada segmen servikal 1 hingga 8 medulla spinalis
akan menyebabkan tetraplegi, dan lesi dibawah T1 menyebabkan
paraplegi. Level trauma pada tulang adalah pada tulang vertebra yang
mengalami kerusakan sehingga menyebabkan kerusakan pada medulla
spinalis. Level neurologis trauma dapat ditentukan pertama kali dengan
pemeriksaan fisik. Seringkali ditemukan perbedaan antara level tulang dan
neurologis karena nervus spinalis memasuki kanalis spinalis melalui
foramen dan naik atau turun didalam kanalis spinalis sebelum benar-
benar masuk ke medulla spinalis.
Secara lebih detail, National Spinal Cord Injury Association dan The
Christopher & Dana Reeve Foundation Sherped Centre and KPK interactive (2011)
mengkategorikan trauma medulla spinalis , menjadi:
a) High Cervical Nerves ( C1-C4)
Trauma medulla spinalis pada level ini menyebabkan tetraplegia.
Pasien mungkin tidak mampu untuk bernapas dan batuk dengan
kemampuan sendiri juga kehilangan kemampuan mengontrol defekasi,
berkemih. Terkadang kemampuan untuk berbicara juga terganggu
atau menurun.
b) Low Cervical Nerves (C5 – C8)
Trauma level ini memungkinkan pasien masih mampu bernapas dan
bicara normal seperti sebelumnya.
• Trauma C5
Pasien mampu menggerakkan tangan meraih siku,cenderung
memiliki beberapa atau kelumpuhan total dari pergelangan
tangan, tangan, badan dan kaki. Mampu berbicara menggunakan
diafragma, tetapi kemampuan bernapas melemah.
• Trauma C6
Saraf ini berfungsi untuk pergerakan ekstensi siku, jadi trauma
pada level ini menyebabkan gangguan pada kemampuan ekstensi
siku. Mampu berbicara menggunakan diafragma, tetapi
kemampuan bernapas melemah.
• Trauma C7
Sebagian besar pasien mampu menggerakkan bahu, dengan
gangguan ekstensi siku dan ekstensi jari – jari tangan. Tidak
terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol terhadap
fungsi berkemih atau defekasi.
• Trauma C8
Pasien masih mampu menggenggam dan melepaskan objek yang
digenggam. Tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit
kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi.
c) Thoracic Nerves (T1-T5)
Saraf pada level ini mempengaruhi otot dada atas, otot abdominal,
dan otot punggung atas. Trauma medulla spinalis level ini jarang
menyebabkan gangguan ekstremitas atas.
d) Thoracic Nerves (T6 – T12)
Saraf pada level ini, mempengaruhi otot perut dan punggung
tergantung dari level trauma medulla spinalis. Biasanya trauma
menyebabkan keluhan paraplegia dengan kekuatan ekstremitas atas
dalam kondisi normal. Pasien masih mampu mengendalikan
kemampuan dan keseimbangan tubuh untuk duduk dan mampu batuk
produktif selama otot abdominal masih intak. Tidak terdapat kontrol
atau tedapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi.
e) Lumbar Nerves (L1-L5)
Secara umum trauma ini menyebabkan gangguan fungsi panggul dan
kaki. Tidak terdapat kontrol atau tedapat sedikit kontrol terhadap
fungsi berkemih atau defekasi. Tergantung kekuatan kaki, pasien
mungkin memerlukan alat bantu untuk berjalan.
f) Sacral Nerves ( S1-S5)
Trauma menyebabkan kehilangan beberapa fungsi dari panggul dan
kaki. Tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol
terhadap fungsi berkemih atau defekasi. Pasien mampu berjalan
cukup baik.
B. Berdasarkan beratnya defisit neurologis
Berdasarkan beratnya defisit cedera medulla spinalis dibagi menjadi 4,
yaitu :
1) Paraplegia inkomplit (torakal inkomplit)
2) Paraplegia komplit (torakal komplit)
3) Tetraplegia inkomplit (servikal inkomplit)
4) Tetraplegia komplit (cedera servikal komplit)
Sangat penting untuk mencari tanda-tanda adanya preservasi fungsi
dari semua jaras medulla spinalis. Adanya fungsi motorik dan sensorik
dibawah level trauma menunjukkan adanya cedera inkomplit. Tanda-
tanda cedera inkomplit meliputi adanya sensasi atau gerakan volunter di
ekstremitas bawah, sacral sparing (contoh : sensasi perianal), kontraksi
sfinghter ani volunter, dan fleksi ibu jari kaki volunter. Reflek sakral,
seperti refleks bulbokavernosus atau kerutan anus, tidak termasuk dalam
sacral sparing.
C. Berdasarkan sindrom medulla spinalis
Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada
pasien dengan cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali
sehingga tidak membingungkan pemeriksa.
1) Central cord syndrome
Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih banyak
pada ekstremitas atas dibandingkan dengan ekstremitas bawah,
dengan kehilangan sensorik yang bervariasi. Biasanya sindrom ini
terjadi setelah adanya trauma hiperekstensi pada pasien yang telah
mengalami kanalis stenosis servikal sebelumnya. Dari anamnesis
didapatkan adanya riwayat jatuh kedepan dengan dampak pada daerah
wajah. Dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur tulang servikal atau
dislokasi.
Kasus Nontrauma
Menurut New PW & Marshall R (2014) Kasus nontraumatik
memberikan kontribusi untuk cedera spinal. NSCISC menyatakan 10% dari
seluruh kasus cedera spinal disebabkan oleh kasus medis, kasus operasi, dan
lainnya. Beberapa sebab kasus cedera spinal non trauma adalah sebagai
berikut :
• Kelainan kongenital (spina bifida, myelomeningocele, Arnold-Chiari
malformation, malformasi skeletal, syringomyelia)
• Penyakit degeneratif kolum vertebra (spondilosis vertebra, stenosis
spinalis, prolaps diskus, spondilolistesis)
• Kompresi tumor
• Iskemia vaskular
• Penyakit infeksi (polio, tuberkulosis, sifilis)
• Multiple sclerosis
• Transverse myelitis
• Fraktur vertebra akibat osteoporosis sekunder
• Iatrogenik (seperti injeksi spinal, kateter epidural, pungsi lumbal)
Faktor Risiko
Faktor risiko berbeda pada tiap populasi. Berdasarkan jenis kelamin,
lakilaki lebih sering mengalami cedera spinal dengan rasio perbandingan laki-
laki dan perempuan adalah 2:1.
Berdasarkan usia, kejadian cedera spinal meningkat di dua populasi.
Pertama, pasien laki - laki dewasa muda, cenderung mengalami cedera spinal
terkait trauma kecelakaan bermotor ataupun cedera yang berhubungan
dengan olahraga. Kedua adalah pasien geriatri. Pasien geriatri mengalami
cedera spinal diakibatkan oleh karena kasus jatuh, infeksi, tumor serta
kelainan tulang (Alizadeh A dkk, 2019).
4. Patofisiologi
a) Mekanisme trauma dan stabilitas fraktur
Menurut Gondowardaja and Purwata (2014) trauma medula spinalis
dapat menyebabkan komosio, kontusio, laserasi, atau kompresi medula
spinalis. Patomekanika lesi medulla spinalis berupa rusaknya traktus pada
medula spinalis, baik asenden ataupun desenden. Petekie tersebar pada
substansia grisea, membesar, lalu menyatu dalam waktu satu jam setelah
trauma. Selanjutnya, terjadi nekrosis hemoragik dalam 24-36 jam. Pada
substansia alba, dapat ditemukan petekie dalam waktu 3-4 jam setelah
trauma. Kelainan serabut mielin dan traktus panjang menunjukkan
adanya kerusakan struktural luas. Medula spinalis dan radiks dapat rusak
melalui 4 mekanisme berikut:
1) Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan
hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi
tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi
ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2) Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfleksi.
Toleransi medulla spinalis terhadap regangan akan menurun dengan
bertambahnya usia.
3) Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma
mengganggu aliran darah kapiler dan vena
4) Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior
akibat kompresi tulang
b) Mekanisme Kerusakan Primer dan Sekunder
Patofisiologi kerusakan jaringan pada trauma medulla spinalis dibagi
menjadi dua fase yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer
dapat terjadi secara cepat dan langsung disebabkan oleh trauma fisik ke
medulla spinalis, terdapat empat kategori utama pada cedera primer yaitu
dampak ditambah kompresi terus-menerus, dampak tersendiri dengan
kompresi sementara, gangguan dan laserasi atau transeksi. Pada saat
cedera primer jaringan medulla spinalis secara mekanik terganggu karena
mengalami pergeseran dan tekanan yang kuat baik secara langsung atau
tidak terkontrolnya pergerakan pada tulang belakang. Permulaan trauma
ini mengarah pada trauma mekanik, gangguan vaskuler, gangguan
pernapasan, syok neurogenik, peradangan, gangguan jaringan membran,
perubahan ion dan neurotransmitter dan akhirnya masuk dalam fase ke
dua pada trauma (Doulames and Plant, 2016).
Pada mekanisme kerusakan primer sel neuron akan rusak dan
kekacauan proses intraseluler akan turut berdampak pada selubung
mielin di dekatnya sehingga menipis; transmisi saraf terganggu, baik
karena efek trauma ataupun oleh efek massa akibat pembengkakan
daerah sekitar luka. Kerusakan substansia grisea akan ireversibel pada
satu jam pertama setelah trauma, sementara substansia alba akan
mengalami kerusakan pada 72 jam setelah trauma (Gondowardaja and
Purwata, 2014 ).
Sementara kerusakan fase primer mengarah ke penurunan cepat
fungsi neurologis, fase sekunder terdiri dari iskemia, inflamasi dan
excitotoxicity. Terdapat sekitar 25 mekanisme fase sekunder namun hanya
beberapa yang dapat menentukan manifestasi cedera. Kaskade biokimia
ini mengaktifkan jalur iskemik, yang mengarah ke gangguan
neurotransmitter mengakibatkan terjadinya excitotoxicity. Selain itu, dapat
terjadi peradangan dan respon kekebalan tubuh, pembengkakan, dan
apoptosis neuronal juga dapat terjadi.Pada trauma medulla spinalis terjadi
nekrosis pada lokasi cedera, yang mengarah ke kavitasi cystic,
menyebabkan kesenjangan di sirkuit, dan mencegah komunikasi dengan
pusat rostral sepanjang sistem saraf pusat (CNS) ke otak. Akson dalam
sumsum tulang belakang gagal untuk regenerasi setelah cedera dan
kembali ke arah soma dan sebagian besar berhenti menutup dekat
perbatasan cedera lesi. Secara keseluruhan hal ini meyebabkan perubahan
fungsi normal motorik, sensorik, dan fungsi otonom tergantung pada
lokasi trauma.
Pada manusia, luka pada daerah servikal atas sebagian besar dapat
meyebabkan paralisis penuh pada respirasi, berbicara, dan mengganggu
fungsi usus besar. Pada daerah servikal bawah meyebabkan paralisis
sebagian dan penurunan fungsi pada respirasi, usus,dan lengan tangan.
Trauma thoraks tergantung pada level dengan trauma level tinggi primer
menurunkan fungsi tungkai atas dan kaki serta pada level bawah
menurunkan fungsi usus dan kaki. Trauma pada lumbosakral
meyebabkan penurunan fungsi usus besar dan penurunan sebagian fungsi
pinggul dan kaki, tetapi pasien terkadang mengalami keterbatasan dalam
berjalan atau kemampuan berjalan sepenuhnya (Doulames and Plant,
2016).
5. Pathway
Kecelakaan Kasus jatuh Kasus kekerasan Cedera Olahraga
Lalu lintas (contoh : Luka tembak)
Suplai oksigen Ke tubuh inkontinensia inkontinensia kelumpuhan, cacat Harga Diri Rendah
Urin alvi
Hipoksia, sesak nafas penurrunan aktivitas Gangguan Mobilitas Fisik
Gangguan Eliminasi
Pola Nafas Tidak Urin Bedrest Gangguan Integritas Kulit
Efektif
6. Pemeriksaan penunjang
Menurut Chin (2016) bahwa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
yaitu :
A. Radiologis
1. Radiografi Polos - Radiografi hanya akan terlihat baik pada
permulaan dan akhir gambaran vertebra oleh karena itu, radiografi
harus memadai menggambarkan semua vertebra.
2. Computed Tomography (CT) scanning - Dicadangkan untuk
menggambarkan kelainan tulang atau fraktur; dapat digunakan
ketika radiografi polos tidak memadai atau gagal untuk
memvisualisasikan segmen kerangka aksial
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI) - Digunakan untuk mencurigai
lesi medulla spinalis, cedera ligamen, dan cedera jaringan lunak
lain atau patologi. Modalitas pencitraan ini harus digunakan untuk
mengevaluasi lesi nonosseous, seperti hematoma tulang belakang
ekstradural; abses atau tumor; disk yang pecah; dan perdarahan
pada sumsum tulang belakang, memar, dan / atau edema.
B. Laboratorium
Bahrudin (2016) menyatakan bahwa pemeriksaan laboratorium yang
dapat dilakukan yaitu :
1. Darah perifer lengkap
2. Gula darah sewaktu, ureum dan kreatinine
C. Neurofisiologi Klinik
Neurofisiologi klinik yag dapat dilakukan yaitu EMG
(Elektromiografi) merupakan teknik yang digunakan untuk
mengevaluasi fungsi saraf dan otot dengan cara menekan aktifitas
listrik yang dihasilkan oleh otot-otot skeletal, NCV (Nerve Conduction
Velocity) merupakan teknik yang digunakan untuk melihat bagaimana
sinyal-sinyal listrik cepat bergerak melalui saraf dan SSEP (Somato
Senseric Evoked Potential) merupakan pemeriksaan yang digunakan
untuk melihat atau mempelajari lesi-lesi yang letaknya lebih proksimal,
sepanjang jaras somato-sensorik (tidak terjangkau dengan EMG)
(Bahrudin, 2016)
7. Penatalaksanaan
A. Farmakoterapi
Terapi farmako yang dapat diberikan yaitu:
a. Berikan metilprednisolon 30 mg/KgBB, iv perlahan-lahan sampai 15
menit, 45 menit kemudian per infuse 5 mg/KgBB selama 24 jam.
Kortikosteroid mencegah peroksidasi lipid dan peningkatan sekunder
asam arakidonat
b. Bila terjadi spastisitas otot, berikan :
• Diazepam 3 x 5-10 mg/hari
• Bakloven 3 x 5 mg atau 3 x 20 mg perhari
c. Bila ada rasa nyeri dapat diberikan, antara lain ;
• Analgetika
• Antidepresan : amitriptilin 3 x 10 mg/hari
• Antikonvulsan : gabapentin 3 x 300 mg/hari
d. Bila terjadi hipertensi akibat gangguan saraf otonom (tensi
>180/100mmHg) pertimbangkan pemberian obat anti hipertensi
(Bahrudin , 2016).
B. Non Farmakoterapi
Gondowardaja and Purwata (2014) menyatakan bahwa tatalaksana
awal yang dapat dilakukan yaitu fase evaluasi meliputi observasi primer
dan sekunder serta terapi kerusakan primer. Observasi primer terdiri atas:
A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B: Breathing dan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan
D: Disabilitas (status neurologis)
E: Exposure (environmental control)
Terapi kerusakan primer : Trauma medula spinalis paling sering
menimbulkan syok neurogenik yang berhubungan dengan beratnya
trauma dan level kerusakan yang terjadi. Pada awalnya, akan terjadi
peningkatan tekanan darah, detak jantung serta nadi, dan kadar
katekolamin yang tinggi, diikuti oleh hipotensi serta bradikardia. Terapi
lebih ditujukan untuk mencegah hipoperfusi sistemik yang akan
memperparah kerusakan medula spinalis, menggunakan vasopresor;
namun, penggunaan vasopresor ini harus diimbangi dengan pemantauan
status cairan karena penggunaan vasopresor yang berlebihan justru akan
membuat vasokonstriksi perifer yang akan menurunkan aliran darah ke
perifer.
Bahrudin (2016) menyatakan bahwa penatalaksanaan yang dapat
dilakukan pada pasien dengan trauma medulla spinalis yaitu:
• Jika ada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis servikalis, segera
pasang collar fiksasi leher, jangan gerakan kepala atau leher
• Jika ada fraktur kolumna vertebralis torakalis, angkut pasien dalam
keadaan tertelungkup, lakukan fiksasi torakal (pakai korset)
• Fraktur daerah lumbal, fiksasi dengan korset lumbal
• Kerusakan medulla spinalis dapat menyebabkan tonus pembuluh
darah menurun karena paralisis fungsi sistem saraf ortosimpatik,
akibatnya tekanan darah turun beri infus bila mungkin plasma atau
darah, dextran-40 atau ekspafusin. Sebaiknya jangan diberikan cairan
isotonik seperti NaCl 0,9% atau glukosa 5%. Bila perlu berikan
adrenalin 0,2 mg s.k boleh diulang 1 jam kemudian. Bila denyut nadi
<44 kali/menit, beri sulfas atropin 0,25 mg iv (intravena).
• Gangguan pernapasan kalau perlu beri bantuan dengan respirator atau
cara lain dan jaga jalan nafas tetap lapang.
• Jika lesi diatas C-8: termoregulasi tidak ada, mungkin terjadi
hiperhidrosis usahakan suhu badan tetap normal
• Jika ada gangguan miksi; pasang kondom kateter atau dauer kateter
dan jika ada gangguan defekasi berikan laksan atau klisma
DATA UMUM
DATA KHUSUS
1. Subyektif:
Body system
B1 (breathing/pernapasan) • Pergerakan dada: -
• Penggunaan otot bantu napas : -
• Suara nafas:vesikuler/wheezing/ronchi/rales
Lokasi -
• Batuk: -
• Warna sputum :
• Alat bantu nafas: -
• Lain-lain : -
B2 (bleeding/cardiovascular) • Suara jantung: S1, S2, S3, S4 (tunggal, gallop,
murmur)
• Irama jantung : regular
• CRT : -
• JVP : -
• Edema : tidak ada
• Lain-lain :
B3 (brain/persyarafan) • GCS :
• Reaksi cahaya pupil : -
• Diameter pupil : isookor
• Lain-lain : -
ANALISA DATA
Alizadeh A, Dyck SM, Abdolrezaee SK. Traumatic Spinal Cord Injury: An Overview
of Pathophysiology, Models and Acute Injury Mechanisms. Front
Neurol.2019(10)1-25.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6439316/
Bahrudin, M. (2016). Neurologi klinis. Malang: UMM Press, Hal 13-16, 442-449
Chin, S.L. (2016). Spinal Cord Injuries. [online] Medscape. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/793582-
Doulames, M.V. and Plant, W.G. (2016). Induced Pluripotent Stem Cell Therapies fo
Cervical Spinal Cord Injury. International Journal of Molecular Sciences, 17(530),
pp. 1-5
Fildes, J. (2008). Advance Trauma Life Support for Doctors. 8th ed. Chicago: American
Collage of Surgeons Committee on Trauma.
Gondowardaja, Y. and Purwata, E.T. (2014). Trauma Medulla Spinalis: Patobiologi sdan
Tata Laksana Medikamentosa. Continuing Medical Education, 41(8), pp. 567-569
Middendorp, V.J.J et all. (2011). Diagnosis and Prognosis of Traumatic Spinal Cord Injury.
Global Spine Journal, 1(1), pp. 1-8
New PW, Marshall R. International Spinal Cord Injury Data Sets for non-traumatic
spinal cord injury. Spinal Cord. 2014(52)123-132.
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil, Edisi 1.
Jakarta: DPP PPNI.