Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA SPINAL
DI RUANG ICU RSUD KANJURUHAN KEPANJEN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Keperawatan Gawat Darurat

Disusun Oleh:

Adilla Zenara Nafisa

201920461011076

KELOMPOK 8

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2020
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN

Trauma Spinal

Di Ruang Icu Rsud Kanjuruhan Kepanjen

OLEH :
ADILLA ZENARA NAFISA
NIM : 201920461011076

Pembimbing Institusi Pembimbing Lahan

(.....................................) (...................................)
TRAUMA SPINAL

A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Trauma Spinal merupakan gangguan pada medula spinalis yang
mengakibatkan perubahan sementara atau permanen pada fungsi motorik,
sensorik, atau otonom. Penyebab tersering cedera spinal adalah trauma pada
medula spinalis yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, kekerasan,
olahraga, atau jatuh (Alizadeh A dkk, 2019).
2. Klasifikasi
Menurrut Fildes (2008) mengatakan bahwa trauma medulla spinalis
diklasifikasikan berdasarkan level, beratnya defisit neurologis, dan sindroma
medulla spinalis.
A. Berdasarkan Level
Level neurologis adalah segmen paling kaudal yang masih memiliki fungsi
sensorik dan motorik normal di kedua sisi tubuh. Bila istilah level
sensorik yang digunakan berarti dipakai untuk menyebutkan bagian paling
kaudal dari medulla spinalis dengan fungsi sensorik normal. Level
motorik juga didefenisikan hampir sama, sebagai fungsi motorik pada
otot penanda yang paling rendah dengan kekuatan paling tidak 3/5. Pada
cedera komplit, bila ditemukan kelemahan fungsi sensorik atau motorik
dibawah segmen normal terendah hal ini disebut dengan zone preservasi
parsial. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penentuan level trauma pada
kedua sisi sangat penting. Perbedaan yang jelas terjadi antara lesi diatas
dan dibawah T1. Cedera pada segmen servikal 1 hingga 8 medulla spinalis
akan menyebabkan tetraplegi, dan lesi dibawah T1 menyebabkan
paraplegi. Level trauma pada tulang adalah pada tulang vertebra yang
mengalami kerusakan sehingga menyebabkan kerusakan pada medulla
spinalis. Level neurologis trauma dapat ditentukan pertama kali dengan
pemeriksaan fisik. Seringkali ditemukan perbedaan antara level tulang dan
neurologis karena nervus spinalis memasuki kanalis spinalis melalui
foramen dan naik atau turun didalam kanalis spinalis sebelum benar-
benar masuk ke medulla spinalis.
Secara lebih detail, National Spinal Cord Injury Association dan The
Christopher & Dana Reeve Foundation Sherped Centre and KPK interactive (2011)
mengkategorikan trauma medulla spinalis , menjadi:
a) High Cervical Nerves ( C1-C4)
Trauma medulla spinalis pada level ini menyebabkan tetraplegia.
Pasien mungkin tidak mampu untuk bernapas dan batuk dengan
kemampuan sendiri juga kehilangan kemampuan mengontrol defekasi,
berkemih. Terkadang kemampuan untuk berbicara juga terganggu
atau menurun.
b) Low Cervical Nerves (C5 – C8)
Trauma level ini memungkinkan pasien masih mampu bernapas dan
bicara normal seperti sebelumnya.
• Trauma C5
Pasien mampu menggerakkan tangan meraih siku,cenderung
memiliki beberapa atau kelumpuhan total dari pergelangan
tangan, tangan, badan dan kaki. Mampu berbicara menggunakan
diafragma, tetapi kemampuan bernapas melemah.
• Trauma C6
Saraf ini berfungsi untuk pergerakan ekstensi siku, jadi trauma
pada level ini menyebabkan gangguan pada kemampuan ekstensi
siku. Mampu berbicara menggunakan diafragma, tetapi
kemampuan bernapas melemah.
• Trauma C7
Sebagian besar pasien mampu menggerakkan bahu, dengan
gangguan ekstensi siku dan ekstensi jari – jari tangan. Tidak
terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol terhadap
fungsi berkemih atau defekasi.
• Trauma C8
Pasien masih mampu menggenggam dan melepaskan objek yang
digenggam. Tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit
kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi.
c) Thoracic Nerves (T1-T5)
Saraf pada level ini mempengaruhi otot dada atas, otot abdominal,
dan otot punggung atas. Trauma medulla spinalis level ini jarang
menyebabkan gangguan ekstremitas atas.
d) Thoracic Nerves (T6 – T12)
Saraf pada level ini, mempengaruhi otot perut dan punggung
tergantung dari level trauma medulla spinalis. Biasanya trauma
menyebabkan keluhan paraplegia dengan kekuatan ekstremitas atas
dalam kondisi normal. Pasien masih mampu mengendalikan
kemampuan dan keseimbangan tubuh untuk duduk dan mampu batuk
produktif selama otot abdominal masih intak. Tidak terdapat kontrol
atau tedapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi.
e) Lumbar Nerves (L1-L5)
Secara umum trauma ini menyebabkan gangguan fungsi panggul dan
kaki. Tidak terdapat kontrol atau tedapat sedikit kontrol terhadap
fungsi berkemih atau defekasi. Tergantung kekuatan kaki, pasien
mungkin memerlukan alat bantu untuk berjalan.
f) Sacral Nerves ( S1-S5)
Trauma menyebabkan kehilangan beberapa fungsi dari panggul dan
kaki. Tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol
terhadap fungsi berkemih atau defekasi. Pasien mampu berjalan
cukup baik.
B. Berdasarkan beratnya defisit neurologis
Berdasarkan beratnya defisit cedera medulla spinalis dibagi menjadi 4,
yaitu :
1) Paraplegia inkomplit (torakal inkomplit)
2) Paraplegia komplit (torakal komplit)
3) Tetraplegia inkomplit (servikal inkomplit)
4) Tetraplegia komplit (cedera servikal komplit)
Sangat penting untuk mencari tanda-tanda adanya preservasi fungsi
dari semua jaras medulla spinalis. Adanya fungsi motorik dan sensorik
dibawah level trauma menunjukkan adanya cedera inkomplit. Tanda-
tanda cedera inkomplit meliputi adanya sensasi atau gerakan volunter di
ekstremitas bawah, sacral sparing (contoh : sensasi perianal), kontraksi
sfinghter ani volunter, dan fleksi ibu jari kaki volunter. Reflek sakral,
seperti refleks bulbokavernosus atau kerutan anus, tidak termasuk dalam
sacral sparing.
C. Berdasarkan sindrom medulla spinalis
Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada
pasien dengan cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali
sehingga tidak membingungkan pemeriksa.
1) Central cord syndrome
Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih banyak
pada ekstremitas atas dibandingkan dengan ekstremitas bawah,
dengan kehilangan sensorik yang bervariasi. Biasanya sindrom ini
terjadi setelah adanya trauma hiperekstensi pada pasien yang telah
mengalami kanalis stenosis servikal sebelumnya. Dari anamnesis
didapatkan adanya riwayat jatuh kedepan dengan dampak pada daerah
wajah. Dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur tulang servikal atau
dislokasi.

Gambar Central Cord Syndrome

2) Anterior Cord Syndrome


Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan kehilangan sensorik
disosiasi dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu. Fungsi kolumna
posterior (posisi, vibrasi, dan tekanan dalam) tetap bertahan. Biasanya
anterior cord syndrome disebabkan infark pada daerah medulla spinalis
yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior. Prognosis sindrom ini
paling buruk dibandingkan cedera inklomplit lainnya. Kehilangan
sensasi nyeri dan suhu pada level dibawah lesi tetapi sensoris terhadap
raba, tekanan, posisi, dan getaran tetap baik.

Gambar: Anterior Cord Syndrome


3) Brown Sequard Syndrome
Sindrom ini terjadi akibat hemiseksi medulla spinalis, biasanya akibat
luka tembus. Namun variasi gambaran klasik tidak jarang terjadi. Pada
kasus murni, sindrom ini terdiri dari kehilangan sistem motorik
ipsilateral (traktus kortikospinalis) dan hilangnya sensasi posisi
(kolumna posterior), disertai dengan hilangnya sensasi suhu serta
nyeri kontralateral mulai satu atau dua level di bawah level trauma
(traktus spinothalamikus). Walaupun sindrom ini disebabkan trauma
tembus langsung ke medulla spinalis, biasanya masih mungkin untuk
terjadi perbaikan

Gambar Brown Sequard Syndrome


3. Etiologi
Etiologi spinal cord injury atau cedera spinal umumnya disebabkan oleh
kasus trauma, akan tetapi sebagian kecil disebabkan oleh kasus-kasus non
trauma. Kasus trauma cedera spinal umumnya disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas, kasus kekerasan, olahraga dan kejadian jatuh. Kasus non trauma
dapat disebabkan oleh kelainan kongenital atau hasil dari iskemia, penyakit
autoimun, penyakit infeksi serta komplikasi dari prosedur medis.
Kasus Trauma
Kasus trauma masih menjadi penyebab terbesar spinal cord injury.
Berdasarkan National Spinal Cord Injury Statistical Center (NSCISC) pada tahun
2010 didapatkan, sebab cedera spinal di Amerika Serikat adalah sebagai
berikut:
• Kecelakaan lalu lintas
• Kasus jatuh
• Kasus kekerasan: terutama luka tembak
• Olahraga atau aktivitas rekreasi
(Alizadeh A dkk, 2019).

Kasus Nontrauma
Menurut New PW & Marshall R (2014) Kasus nontraumatik
memberikan kontribusi untuk cedera spinal. NSCISC menyatakan 10% dari
seluruh kasus cedera spinal disebabkan oleh kasus medis, kasus operasi, dan
lainnya. Beberapa sebab kasus cedera spinal non trauma adalah sebagai
berikut :
• Kelainan kongenital (spina bifida, myelomeningocele, Arnold-Chiari
malformation, malformasi skeletal, syringomyelia)
• Penyakit degeneratif kolum vertebra (spondilosis vertebra, stenosis
spinalis, prolaps diskus, spondilolistesis)
• Kompresi tumor
• Iskemia vaskular
• Penyakit infeksi (polio, tuberkulosis, sifilis)
• Multiple sclerosis
• Transverse myelitis
• Fraktur vertebra akibat osteoporosis sekunder
• Iatrogenik (seperti injeksi spinal, kateter epidural, pungsi lumbal)

Faktor Risiko
Faktor risiko berbeda pada tiap populasi. Berdasarkan jenis kelamin,
lakilaki lebih sering mengalami cedera spinal dengan rasio perbandingan laki-
laki dan perempuan adalah 2:1.
Berdasarkan usia, kejadian cedera spinal meningkat di dua populasi.
Pertama, pasien laki - laki dewasa muda, cenderung mengalami cedera spinal
terkait trauma kecelakaan bermotor ataupun cedera yang berhubungan
dengan olahraga. Kedua adalah pasien geriatri. Pasien geriatri mengalami
cedera spinal diakibatkan oleh karena kasus jatuh, infeksi, tumor serta
kelainan tulang (Alizadeh A dkk, 2019).
4. Patofisiologi
a) Mekanisme trauma dan stabilitas fraktur
Menurut Gondowardaja and Purwata (2014) trauma medula spinalis
dapat menyebabkan komosio, kontusio, laserasi, atau kompresi medula
spinalis. Patomekanika lesi medulla spinalis berupa rusaknya traktus pada
medula spinalis, baik asenden ataupun desenden. Petekie tersebar pada
substansia grisea, membesar, lalu menyatu dalam waktu satu jam setelah
trauma. Selanjutnya, terjadi nekrosis hemoragik dalam 24-36 jam. Pada
substansia alba, dapat ditemukan petekie dalam waktu 3-4 jam setelah
trauma. Kelainan serabut mielin dan traktus panjang menunjukkan
adanya kerusakan struktural luas. Medula spinalis dan radiks dapat rusak
melalui 4 mekanisme berikut:
1) Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan
hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi
tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi
ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2) Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfleksi.
Toleransi medulla spinalis terhadap regangan akan menurun dengan
bertambahnya usia.
3) Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma
mengganggu aliran darah kapiler dan vena
4) Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior
akibat kompresi tulang
b) Mekanisme Kerusakan Primer dan Sekunder
Patofisiologi kerusakan jaringan pada trauma medulla spinalis dibagi
menjadi dua fase yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer
dapat terjadi secara cepat dan langsung disebabkan oleh trauma fisik ke
medulla spinalis, terdapat empat kategori utama pada cedera primer yaitu
dampak ditambah kompresi terus-menerus, dampak tersendiri dengan
kompresi sementara, gangguan dan laserasi atau transeksi. Pada saat
cedera primer jaringan medulla spinalis secara mekanik terganggu karena
mengalami pergeseran dan tekanan yang kuat baik secara langsung atau
tidak terkontrolnya pergerakan pada tulang belakang. Permulaan trauma
ini mengarah pada trauma mekanik, gangguan vaskuler, gangguan
pernapasan, syok neurogenik, peradangan, gangguan jaringan membran,
perubahan ion dan neurotransmitter dan akhirnya masuk dalam fase ke
dua pada trauma (Doulames and Plant, 2016).
Pada mekanisme kerusakan primer sel neuron akan rusak dan
kekacauan proses intraseluler akan turut berdampak pada selubung
mielin di dekatnya sehingga menipis; transmisi saraf terganggu, baik
karena efek trauma ataupun oleh efek massa akibat pembengkakan
daerah sekitar luka. Kerusakan substansia grisea akan ireversibel pada
satu jam pertama setelah trauma, sementara substansia alba akan
mengalami kerusakan pada 72 jam setelah trauma (Gondowardaja and
Purwata, 2014 ).
Sementara kerusakan fase primer mengarah ke penurunan cepat
fungsi neurologis, fase sekunder terdiri dari iskemia, inflamasi dan
excitotoxicity. Terdapat sekitar 25 mekanisme fase sekunder namun hanya
beberapa yang dapat menentukan manifestasi cedera. Kaskade biokimia
ini mengaktifkan jalur iskemik, yang mengarah ke gangguan
neurotransmitter mengakibatkan terjadinya excitotoxicity. Selain itu, dapat
terjadi peradangan dan respon kekebalan tubuh, pembengkakan, dan
apoptosis neuronal juga dapat terjadi.Pada trauma medulla spinalis terjadi
nekrosis pada lokasi cedera, yang mengarah ke kavitasi cystic,
menyebabkan kesenjangan di sirkuit, dan mencegah komunikasi dengan
pusat rostral sepanjang sistem saraf pusat (CNS) ke otak. Akson dalam
sumsum tulang belakang gagal untuk regenerasi setelah cedera dan
kembali ke arah soma dan sebagian besar berhenti menutup dekat
perbatasan cedera lesi. Secara keseluruhan hal ini meyebabkan perubahan
fungsi normal motorik, sensorik, dan fungsi otonom tergantung pada
lokasi trauma.
Pada manusia, luka pada daerah servikal atas sebagian besar dapat
meyebabkan paralisis penuh pada respirasi, berbicara, dan mengganggu
fungsi usus besar. Pada daerah servikal bawah meyebabkan paralisis
sebagian dan penurunan fungsi pada respirasi, usus,dan lengan tangan.
Trauma thoraks tergantung pada level dengan trauma level tinggi primer
menurunkan fungsi tungkai atas dan kaki serta pada level bawah
menurunkan fungsi usus dan kaki. Trauma pada lumbosakral
meyebabkan penurunan fungsi usus besar dan penurunan sebagian fungsi
pinggul dan kaki, tetapi pasien terkadang mengalami keterbatasan dalam
berjalan atau kemampuan berjalan sepenuhnya (Doulames and Plant,
2016).
5. Pathway
Kecelakaan Kasus jatuh Kasus kekerasan Cedera Olahraga
Lalu lintas (contoh : Luka tembak)

Trauma Tulang Belakang memar sumsum tulang Perdarahan Iskemik

Fraktur Vertebra Nyeri hebat dan Gangguan peredaran darah


Akut
Gangguan neurologis syok hemoragic
Pada korda spinalis
Kematian
Hilangnya fungsi mual
Motorik dan sensorik muntah aspirasi Defisit Nutrisi

Kelemahan otot gangguan gangguan kerusakan saraf


Pernapasan fungsi VU fungsi rektum ekstermitas bawah

Suplai oksigen Ke tubuh inkontinensia inkontinensia kelumpuhan, cacat Harga Diri Rendah
Urin alvi
Hipoksia, sesak nafas penurrunan aktivitas Gangguan Mobilitas Fisik
Gangguan Eliminasi
Pola Nafas Tidak Urin Bedrest Gangguan Integritas Kulit
Efektif
6. Pemeriksaan penunjang
Menurut Chin (2016) bahwa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
yaitu :
A. Radiologis
1. Radiografi Polos - Radiografi hanya akan terlihat baik pada
permulaan dan akhir gambaran vertebra oleh karena itu, radiografi
harus memadai menggambarkan semua vertebra.
2. Computed Tomography (CT) scanning - Dicadangkan untuk
menggambarkan kelainan tulang atau fraktur; dapat digunakan
ketika radiografi polos tidak memadai atau gagal untuk
memvisualisasikan segmen kerangka aksial
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI) - Digunakan untuk mencurigai
lesi medulla spinalis, cedera ligamen, dan cedera jaringan lunak
lain atau patologi. Modalitas pencitraan ini harus digunakan untuk
mengevaluasi lesi nonosseous, seperti hematoma tulang belakang
ekstradural; abses atau tumor; disk yang pecah; dan perdarahan
pada sumsum tulang belakang, memar, dan / atau edema.
B. Laboratorium
Bahrudin (2016) menyatakan bahwa pemeriksaan laboratorium yang
dapat dilakukan yaitu :
1. Darah perifer lengkap
2. Gula darah sewaktu, ureum dan kreatinine
C. Neurofisiologi Klinik
Neurofisiologi klinik yag dapat dilakukan yaitu EMG
(Elektromiografi) merupakan teknik yang digunakan untuk
mengevaluasi fungsi saraf dan otot dengan cara menekan aktifitas
listrik yang dihasilkan oleh otot-otot skeletal, NCV (Nerve Conduction
Velocity) merupakan teknik yang digunakan untuk melihat bagaimana
sinyal-sinyal listrik cepat bergerak melalui saraf dan SSEP (Somato
Senseric Evoked Potential) merupakan pemeriksaan yang digunakan
untuk melihat atau mempelajari lesi-lesi yang letaknya lebih proksimal,
sepanjang jaras somato-sensorik (tidak terjangkau dengan EMG)
(Bahrudin, 2016)
7. Penatalaksanaan
A. Farmakoterapi
Terapi farmako yang dapat diberikan yaitu:
a. Berikan metilprednisolon 30 mg/KgBB, iv perlahan-lahan sampai 15
menit, 45 menit kemudian per infuse 5 mg/KgBB selama 24 jam.
Kortikosteroid mencegah peroksidasi lipid dan peningkatan sekunder
asam arakidonat
b. Bila terjadi spastisitas otot, berikan :
• Diazepam 3 x 5-10 mg/hari
• Bakloven 3 x 5 mg atau 3 x 20 mg perhari
c. Bila ada rasa nyeri dapat diberikan, antara lain ;
• Analgetika
• Antidepresan : amitriptilin 3 x 10 mg/hari
• Antikonvulsan : gabapentin 3 x 300 mg/hari
d. Bila terjadi hipertensi akibat gangguan saraf otonom (tensi
>180/100mmHg) pertimbangkan pemberian obat anti hipertensi
(Bahrudin , 2016).
B. Non Farmakoterapi
Gondowardaja and Purwata (2014) menyatakan bahwa tatalaksana
awal yang dapat dilakukan yaitu fase evaluasi meliputi observasi primer
dan sekunder serta terapi kerusakan primer. Observasi primer terdiri atas:
A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B: Breathing dan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan
D: Disabilitas (status neurologis)
E: Exposure (environmental control)
Terapi kerusakan primer : Trauma medula spinalis paling sering
menimbulkan syok neurogenik yang berhubungan dengan beratnya
trauma dan level kerusakan yang terjadi. Pada awalnya, akan terjadi
peningkatan tekanan darah, detak jantung serta nadi, dan kadar
katekolamin yang tinggi, diikuti oleh hipotensi serta bradikardia. Terapi
lebih ditujukan untuk mencegah hipoperfusi sistemik yang akan
memperparah kerusakan medula spinalis, menggunakan vasopresor;
namun, penggunaan vasopresor ini harus diimbangi dengan pemantauan
status cairan karena penggunaan vasopresor yang berlebihan justru akan
membuat vasokonstriksi perifer yang akan menurunkan aliran darah ke
perifer.
Bahrudin (2016) menyatakan bahwa penatalaksanaan yang dapat
dilakukan pada pasien dengan trauma medulla spinalis yaitu:
• Jika ada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis servikalis, segera
pasang collar fiksasi leher, jangan gerakan kepala atau leher
• Jika ada fraktur kolumna vertebralis torakalis, angkut pasien dalam
keadaan tertelungkup, lakukan fiksasi torakal (pakai korset)
• Fraktur daerah lumbal, fiksasi dengan korset lumbal
• Kerusakan medulla spinalis dapat menyebabkan tonus pembuluh
darah menurun karena paralisis fungsi sistem saraf ortosimpatik,
akibatnya tekanan darah turun beri infus bila mungkin plasma atau
darah, dextran-40 atau ekspafusin. Sebaiknya jangan diberikan cairan
isotonik seperti NaCl 0,9% atau glukosa 5%. Bila perlu berikan
adrenalin 0,2 mg s.k boleh diulang 1 jam kemudian. Bila denyut nadi
<44 kali/menit, beri sulfas atropin 0,25 mg iv (intravena).
• Gangguan pernapasan kalau perlu beri bantuan dengan respirator atau
cara lain dan jaga jalan nafas tetap lapang.
• Jika lesi diatas C-8: termoregulasi tidak ada, mungkin terjadi
hiperhidrosis usahakan suhu badan tetap normal
• Jika ada gangguan miksi; pasang kondom kateter atau dauer kateter
dan jika ada gangguan defekasi berikan laksan atau klisma

Tindakan operasi dilakukan bila :


1) Ada fraktur, pecahan tulang menekan medulla spinalis
2) Gambaran neurologis progresif memburuk
3) Fraktur, dislokasi yang labil
4) Terjadi herniasi diskus intervertebralis yang menekan medulla
spinalis
8. Pemeriksaan Fisik
A. Anamnesis
Evaluasi klinis pada pasien dengan trauma medulla spinalis membutuhkan
penilaian status neurologis lengkap, namun serupa dengan pasien trauma
lainnya evaluasi klinis awal dilakukan observasi primer.
Pada observasi primer, ABC (Airway,Breathing,Circulation) dinilai terlebih
dahulu. Setelah ketiga aspek tersebut dinilai stabil, maka penilaian status
neurologis baru dilaksanakan. Dugaan terhadap adanya trauma medulla
spinalis didapatkan melalui anamnesis yang menyeluruh baik mengenai
mekanisme trauma dan gejala yang berhubungan dengan trauma pada
daerah spinal (umumnya nyeri) dan adanya deficit motorik atau sensorik.
(Chin 2016). Meunurut World Health Organization berdasarkan anamnesis,
gejala dan keluhan yang sering muncul adalah :
• Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf
yang terkena
• Paraplegia
• Paralisis sensorik motorik total
• Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urin, distensi
kandung kemih)
• Penurunan fungsi pernapasan
• Gagal nafas
B. Pemeriksaan Fisik
Klasifikasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta level
trauma dapat diketahui melalui pemeriksaan motorik dan sensorik.
Pemeriksaan motorik dilakukan secara cepat dengan meminta pasien
menggenggam tangan pemeriksa dan melakukan dorsofleksi. Fungsi
autonom dinilai dengan melihat ada tidaknya retensi urin, priapismus,
atau hilang tidaknya tonus sfingter ani. Temperatur kulit yang hangat dan
adanya flushing menunjukkan hilangnya tonus vaskuler simpatis di bawah
level trauma (Gondowardaja and Purwata, 2014 ).
Menurut Bahrudin (2016) pada pasien dengan kelumpuhan pada
kedua tungkai (paraplegi) atau keempat ekstermitas (tetraplegi) yang
pertama kali kita pikirkan adalah apakah tipe kelumpuhan itu Upper motor
neuron (UMN) atau Lower motor neuron (LMN). Untuk menentukan tipe
kelumpuhan ini kita tetapkan dengan pemeriksaan neurologis reflex
fisiologis, reflex patologis, tonus otot . Pemeriksaan neurologis lain pada
trauma medulla spinalis menurut Middendorp et all (2011) yaitu dengan
menggunakan skala Frankel, 5-titik skala kerusakan, telah banyak
digunakan untuk menentukan keparahan dari trauma medulla spinalis.
Pasien diklasifikasikan sebagai lengkap (Kelas A), sensorik saja (kelas B),
motorik berfungsi (Kelas C), motorik berfungsi (kelas D), atau tidak ada
defisit neurologis atau pemulihan lengkap (kelas E).
Serta penilaian fungsi motorik dan sensorik dengan Standar
Internasional yang digunakan yaitu pengujian miotom dan dermatom
yang merupakan komponen kunci. Dermatom adalah segmen kulit yang
memperoleh persarafan sensorik melalui satu akar belakang saraf spinal,
sedangkan miotom merupakan sekelompok otot yang disarafi oleh satu
segmen spinal. Pengujian fungsi motorik menurut Standar Internasional
meliputi 10 miotom terlebih khusus untuk C5 , T1, L2 dan S1, sesuai
dengan lima keymuscles masing-masing pada lengan kiri dan kanan serta
kaki. Pengujian skor kunci motorik otot dinilai pada skala 5-point
diadaptasi dari Themedical Dewan Riset Scale. Pemeriksaan sensorik
berdasarkan pada pengujian yang dikenal sebagai titik kunci dalam setiap
28 dermatom pada kedua sisi kiri dan sisi kanan tubuh . Fungsi sensorik
dinilai sebagai berikut : Nomal =2, ada gangguan atau terdistorsi =1,
absen =0 dan tidak diuji =NT dan berdasarkan skor sensorimotor,
tingkat dan keparahan dari SCI dapat ditentukan berdasarkan skala yang
paling umum digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat keparahan
cedera yaitu Asia Impairment Scale . Tentukan tingkat sensorik dan motorik
untuk sisi kanan dan kiri, tentukan tingkat neurologis cedera dan tentukan
apakah cedera tersebut lengkap atau tidak lengkap (Middendorp et all,
2011).
Pemeriksaan neurologis lain yang digunakan yaitu Amerika Asosiasi
Cedera Spinal (ASIA) atau International Spinal Cord Masyarakat (ISCoS) atau
skala standar neurologis (AIS). (Middendorp et all, 2011).
ASIA Impairment Scale Lesi
A Tidak ada fungsi Kompleks
motorik dan sensorik
sampai S4-S5
B Fungsi sensorik masih Tidak Kompleks
baik tapi motorik
terganggu sampai
segmen sakral S4-S5
C Fungsi motorik Tidak Kompleks
terganggu dibawah
level tapi otot-otot
motorik utama masih
mempunyai kekuatan
<3
D Fungsi motorik Tidak Kompleks
terganggu dibawah
level, kekuatan otot-
otot motorik utama
>3
E Fungsi motorik dan Normal
sensorik normal
The American Spinal Injury Association/International Spinal Cord Society Neurological
Standard Scale
(Better known as the “ASIA Impairment Scale”)
ANALISA KASUS TRAUMA SPINAL

(A Case Report of Spinal Cord Injury Patient From a High Velocity


Gunshot Wound to the Lumbar Spine)
A 40-year-old man became paraplegic after a gunshot wound to the lumbar
spine. The injury occurred when he came under fire during a shooting
rampage while he was abroad. The perpetrator had fired an AR-15 rifle Ar-
maLite Model 15 (Colt Inc., Hartford, CT, USA), and the bullet went
through the victim’s back. After the incident, his bilateral lower limbs
showed no muscle contraction with sensory loss. The patient underwent
explorative laparotomy and was diagnosed with injuries to the spinal cord
and aorta. He was transferred to our hospital on the second post-traumatic
day. A computed tomography (CT) scan revealed a burst fracture of the
first lumbar vertebra, resulting from penetration by a bullet from the
gunshot through the right paraspinal muscles and L1-2 intervertebral disc
(Fig. 1). The bullet was fragmented, and one of the largest fragments was
lodged in the T12-L1 disc. Another large fragment was located between the
right vertebral body and aorta at the level of the renal arteries (Fig. 2). Apart
from bowel contusion, there was no evidence of intra-abdominal trauma
such as active bleeding or bowel perforation on the patient’s CT images.
The patient underwent L1 decompressive laminectomy, partial corpectomy,
removal of the bullet and T11-L3 posterior fixation. The dura in the level of
the first lumbar vertebra was severely damaged, and most parts of the cauda
equina were severed from the conus medullaris. A 0.8-cm bullet fragment at
the T12-L1 disc level was removed (Fig. 3). Subsequently, a rupture of the
abdominal aorta was treated by a vascular surgeon. A 1.0-cm bullet
fragment just anterior to the first lumbar vertebral body was also removed.
However, massive bleeding occurred following removal, so aorta graft
interposition with polytetrafluoroethylene was performed after resection of
the aorta between the renal artery and the superior mesenteric artery. A
possibility of a second insult to the spinal cord due to infarction caused by
massive bleeding was considered, although it could not be confirmed. A
postoperative spinal CT scan revealed multiple bone remnants and bullet
fragments in the L1-2 intervertebral disc and spinal canal space (Fig. 4).
The patient subsequently began range of motion exercise at bedside on the
13th post-traumatic day and tilting table exercise in the gym on the 18th
day.
On the 39th post-traumatic day, the patient was transferred to the
Department of Rehabilitation. His neurological level of injury was
determined as T12 according to the American Spinal Injury Association
Impairment Scale (AIS)-A. Sensory examination revealed sensory loss in L2
and below. The manual muscle test showed grade 0 in all the muscles of the
bilateral lower limbs. Deep tendon reflexes of the bilateral knees and ankle
joints were decreased and muscle tones of bilateral lower extremities were
flaccid. The bulbocavernosus reflex was absent. His bladder and bowel
sense decreased, and urodynamic examination revealed detrusor areflexia
with coordinated sphincter.
On the 53th post-traumatic day, the patient underwent an
electromyographic study. No responses were observed in motor nerve
conduction study, H reflex, F wave, somatosensory evoked potential and
bulbocavernosus reflex. The sensory nerve conduction study showed a nor-
mal value. Needle electromyography of all the muscles of the bilateral lower
extremities showed severe to profound abnormal spontaneous activities
with no motor unit action potential. The results were compatible with
polyradiculopathy or the anterior horn cell lesion below L1, and there was
no evidence of reinnervation. The patient complained of severe neuropathic
pain in the bilateral lower extremities (visual analogue scale [VAS], 7 to 8).
Neuropathic pain was characterized by tingling and squeezing, which were
aggravated at night. Although transcutaneous electrical nerve stimulation
(TENS) and many kinds of analgesics including gabapentin (900 mg/day),
pregabalin (450 mg/day), amitriptyline (25 mg/day), clonazepam (1
mg/day), oxycodone (20 mg/ day), and fentanyl patch (50 μg/hr) were tried
simultaneously and alternatively, he continued to suffer from pain that
waxed and waned in the range of 4 to 8 on the VAS.
On the 55th post-traumatic day, he performed parallel-bar (p-bar) gait with
both knee-ankle-foot orthosis (KAFO), in parallel with the Walking Index
for Spinal Cord Injury (WISCI) level 1. On the 90th post-traumatic day, he
managed axillary crutch gait with both KAFO in the p-bar. Seven months
after the trauma, however, there was no recovery in the neurological level of
his injury according to neurologic examinations including the manual
muscle test and sensory exam compared with the initial evaluation.
Moreover, the patient’s endurance and stability of gait function remained
poor to the point that he could only manage the p-bar gait for 2 cycles and
crutch gait for one quarter of a cycle in the p-bar (WISCI level 3). He
showed no significant improvement in the activities of daily living,
measured by the Korean Spinal Cord Independence Measure (KSCIM)
score over the course from the 39th to the 81st post-traumatic day (from 32
to 35 points). Improvement was shown in bathing, dressing and motion in
bed.
FORMAT PENGKAJIAN

(Intensive Care Unit)

DATA UMUM

Nama : Tn. A Tanggal MRS :


Umur : 40 Th Tanggal pengkajian:
JenisKelamin : Laki -laki
No.Registrasi : Pendidikan :-
Alamat :-
Dx.Medis : Trauma spinal akibat luka tembak

DATA KHUSUS
1. Subyektif:

Riwayat penyakit sekarang Klien menjadi lumpuh setelah luka tembak


• Keluhan utama saat MRS abdomen yang tembus sampai di tulang
• Keluhan utama saat belakang. Pasien mengeluh nyeri neuropatik
pengkajian parah pada ekstremitas bawah bilateral
(skala analog visual [VAS], 7 hingga 8).
Nyeri neuropatik ditandai dengan
PQRST (bila keluhannya nyeri)
kesemutan dan tekanan, yang diperburuk
- Provoke
pada malam hari.
- Quality
- Regio Pengkajian PQRST
- Severity P : luka tembak yang tembus tulang
- Time belakang
Q:-
R : eksteritas bawah
S : skala 7 – 8
T : Nyeri neuropatik ditandai dengan
kesemutan dan tekanan, yang diperburuk
pada malam hari.
Riwayat kesehatan sebelum sakit Tidak Terkaji
• Penyakit yang pernah di derita
• Obat-obatan yang biasadikonsumsi
• Kebiasaan berobat
• Riwayat alergi
• Lain lain
Riwayat kesehatan keluarga Tidak Terkaji
2. Obyektif

Keadaan umum Pasien mengalami kelumpuhan


Tanda-tanda vital BP : mmH N: menit RR: /menit T:ºC
PP: mmHg MAP: mmHg

Body system
B1 (breathing/pernapasan) • Pergerakan dada: -
• Penggunaan otot bantu napas : -
• Suara nafas:vesikuler/wheezing/ronchi/rales
Lokasi -
• Batuk: -
• Warna sputum :
• Alat bantu nafas: -
• Lain-lain : -
B2 (bleeding/cardiovascular) • Suara jantung: S1, S2, S3, S4 (tunggal, gallop,
murmur)
• Irama jantung : regular
• CRT : -
• JVP : -
• Edema : tidak ada
• Lain-lain :

B3 (brain/persyarafan) • GCS :
• Reaksi cahaya pupil : -
• Diameter pupil : isookor
• Lain-lain : -

B4 (bladder/perkemihan) Tidak Terkaji


• Urine: jumlah……warna……..
• Kateter: terpasang / tidak ,hari ke….
• GangguanBAK:ya .......... (sebutkan) / tidak
B5 (bowel) Tidak Terkaji
• Mukosa bibir : kering / lembab
• Lidah : kotor / bersih
• Nyeri telan : ya / tidak
• Abdomen : distensi / tidak
• Peristaltic usus : normal / meningkat / menurun
nilai…..
• Mual : ya / tidak
• Muntah : ya/tidak
Jumlah/frekuensi…
• Hematemesis : ya / tidak
Jumlah / frekuensi…
• Melena : ya / tidak
Jumlah/frekuensi…
• Terpasang NGT : ya / tidak
• Diare / konstipasi : ya/tidak
• Lain-lain…
B6 (bone/musculoskeletal) • Turgor : -
Perdarahan eksternal : Terjadi perdarahan masif
setelah Pengangkatan peluru.
• Icterus: -
• Akral : hangat
• Pergerakan send : -
• Fraktur: ada …(sebutkan letak dan jenis)/
tidak ada
• Luka terbuka : ada …(sebutkan letak dan jenis)/
tidak ada
• Lain-lain…
Pemeriksaan Penunjang - CT-scan 3-dimensi yang direkonstruksi preoperatif
• Laboratorium menunjukkan fraktur burst pada vertebra lumbar
• Diagnostiklain pertama.
- X-ray sederhana pra operasi tulang belakang
menunjukkan 2 fragmen peluru besar.
- Foto fragmen peluru di ruang disk T12-L1.
- Tomografi terkomputasi 3-dimensi postoperatif tulang
belakang menunjukkan fiksasi T11-L3 posterior dan
sisa fragmen peluru di kanal tulang belakang tingkat L1
Terapi gabapentin (900 mg/day),
pregabalin (450 mg/day),
amitriptyline (25 mg/day),
clonazepam (1 mg/day),
oxycodone (20 mg/ day), and
fentanyl patch (50 μg/hr)
Lain-lain
Tanda tangan

Nama terang Adilla Zenara Nafisa

ANALISA DATA

No. Data Penyebab Masalah Diagnosa


(Tanda Mayor Kepeawatan Keperawatan
dan Minor)
1. DS : Kehilangan Hipovolemia Hipovolemia
Pasien cairan aktif b/d Kehilangan
mengalami cairan aktif d.d
perdarahan Merasa lemas
masiv setelah Tekanan darah
pengangkatan menurun
peluru. Nadi teraba
DO : lemah
Merasa lemas Turgor kulit
Tekanan darah menurun
menurun
Nadi teraba
lemah
Turgor kulit
menurun

2. DS : Pasien Agen Pencedera Nyeri Akut Nyeri Akut b/d


mengeluh nyeri Fisik Agen Pencedera
neuropatik parah Fisik d.d Klien
pada ekstremitas tampak meringis
bawah bilateral menahan nyeri ,
dengan ditandai gelisah
kesemutan dan
tekanan
DO :
Klien tampak
meringis
menahan nyeri ,
Gelisah
3. DS : Gangguan Gangguan Gangguan
Pasien Neuromuskular Mobilitas Fisik Mobilitas Fisik
mengalami b/d Gangguan
kelumpuhan Neuromuskular
DO : d.d. Mengeluh
Mengeluh sulit sulit
menggerakkan menggerakkan
ekstermitas ekstermitas
Kekuatan otot Kekuatan otot
menurun menurun
Rentang gerak Rentang gerak
(ROM) menurun (ROM)
menurun
No. SDKI SLKI SIKI Implementasi Evaluasi

1. Hipovelemia Setelah dilakukan Manajemen Hipovolemia Manajemen Hipovolemia S: tidak terkaji


tindakan (1.03116) (1.03116) O:
keperawatan selam Observasi Observasi • Kekuatan nadi sedang
1x24 jam maka - Periksa tanda dan gejala hipovolemia - Memeriksa tanda dan • Turgor kulit sedang
status Cairan -Monitor intake dan output cairan gejala hipovolemia • Frekuensi nadi sedang
membaik dengan Teraupetik - Memonitor intake dan A: masalah belum teratasi
kriteria hasil : - Hitung kebutuhan cairan output cairan P: lanjutkan intervensi
Kekuatan nadi - Berikan posisi modified Teraupetik
meningkat trendelenburg - Menghitung kebutuhan
Turgor kulit - Berikan asupan secara oral cairan
meningkat Edukasi - Memberikan posisi
Frekuensi nadi -Anjurkan memperbanyak cairan oral modified trendelenburg
membaik Kolaborasi - Memberikan asupan
- Kolaborasi pemberian cairan IV secara oral
isotonis Edukasi
- Kolaborasi pemberian cairan IV -Menganjurkan
hipotonis memperbanyak cairan oral
- Kolaborasi pemberian cairan IV Kolaborasi
koloid - Berkolaborasi
- Kolaborasi pemberian produk darah memberikan cairan IV
isotonis
- Berkolaborasi
(Link DOPS memberikan cairan IV
Monitor balance cairan hipotonis
https://www.youtube.com/watch?v= - Berkolaborasi
Ki7YVMa78RM memberikan cairan IV
Prosedur Pemasangan infus : koloid
https://www.youtube.com/watch?v=j - Berkolaborasi
ygxKeZXoSI ) memberikan produk darah
2. Nyeri Akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri (1.08238) Manajemen Nyeri S: tidak terkaji
b/d Agen tindakan Observasi (1.08238) O:
Pencedera keperawatan selam -Identifikasi lokasi, karakteristik, Observasi • Keluhan nyeri sedang
Fisik d.d 1x24 jam maka frekuensi, kualitas, intensitas nyeri -Mengidentifikasi lokasi, • Meringis sedang
Klien tampak Tingkat Nyeri -Identifikasi skala nyeri karakteristik, frekuensi,
meringis Menurun dengan -Identifikasi faktor budaya terhadap kualitas, intensitas nyeri • Sikap protektif sedang
menahan kriteria hasil : respon nyeri -Mengidentifikasi skala • Gelisah sedang
nyeri , gelisah Keluhan nyeri Teraupetik nyeri • Sulit tidur menurun
menurun -Berikan terapi non farmakologis -Mengidentifikasi faktor A: masalah belum teratasi
Meringis menurun untuk mengurangi nyeri budaya terhadap respon P: lanjutkan intervensi
Sikap protektif -Fasilitasi istirahat tidur nyeri
menurun Edukasi Teraupetik
Gelisah menurun -Ajarkan teknik non farmakologis -Memberikan terapi non
Sulit tidur menurun farmakologis untuk
Frekuensi nadi mengurangi nyeri
-Memfasilitasi istirahat tidur
Edukasi
-Mengajarkan teknik non
farmakologis
3. Gangguan Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi (1.05173) Dukungan Mobilisasi S: tidak terkaji
Mobilitas tindakan Observasi (1.05173) O:
Fisik b/d keperawatan selam -Identifikasi adanya nyeri atau keluhan Observasi • Pergerakan ekstermitas
Gangguan 1x24 jam maka fisik lain lainnya -Mengidentifikasi adanya sedang
Neuromusku Mobilitas Fisik -Identifikasi toleransi fisik melakukan nyeri atau keluhan fisik lain
lar d.d. Meningkat dengan pergerakan lainnya • Kekuatan otot sedang
Mengeluh kriteria hasil : -Monitor frekuensi jantung dan -Mengidentifikasi toleransi • Rentang gerak (ROM)
sulit Pergerakan tekanan darah sebelum memulai fisik melakukan pergerakan
sedang
menggerakka ekstermitas mobilisasi -Memonitor frekuensi
n ekstermitas meningkat -Monitor kondisi umum selama jantung dan tekanan darah A: masalah belum teratasi
Kekuatan Kekuatan otot melakukan mobilisasi sebelum memulai mobilisasi P: lanjutkan intervensi
otot meningkat Teraupetik -Memonitor kondisi umum
menurun Rentang gerak -Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan selama melakukan
Rentang (ROM) meningkat alat bantu (mis. Pagar tempat tidur) mobilisasi
gerak (ROM) -Fasilitasi melakukan pergerakan, jika Teraupetik
menurun perlu -Memfasilitasi aktivitas
-Libatkan keluarga untuk membantu mobilisasi dengan alat
pasien dalam meningkatkan bantu (mis. Pagar tempat
pergerakan tidur)
Edukasi -Memfasilitasi melakukan
-Jelaskan tujuan dan prosedur pergerakan, jika perlu
mobilisasi -Melibatkan keluarga untuk
-Anjurkan melakukan mobilisasi dini membantu pasien dalam
-Ajarkan mobiliasasi sederhana yang meningkatkan pergerakan
harus dilakukan (mis. Duduk di tempat Edukasi
tidur) -Menjelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
-Menganjurkan melakukan
mobilisasi dini
-Mengajarkan mobiliasasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis. Duduk di
tempat tidur)
DAFTAR PUSTAKA

Alizadeh A, Dyck SM, Abdolrezaee SK. Traumatic Spinal Cord Injury: An Overview
of Pathophysiology, Models and Acute Injury Mechanisms. Front
Neurol.2019(10)1-25.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6439316/
Bahrudin, M. (2016). Neurologi klinis. Malang: UMM Press, Hal 13-16, 442-449
Chin, S.L. (2016). Spinal Cord Injuries. [online] Medscape. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/793582-
Doulames, M.V. and Plant, W.G. (2016). Induced Pluripotent Stem Cell Therapies fo
Cervical Spinal Cord Injury. International Journal of Molecular Sciences, 17(530),
pp. 1-5
Fildes, J. (2008). Advance Trauma Life Support for Doctors. 8th ed. Chicago: American
Collage of Surgeons Committee on Trauma.
Gondowardaja, Y. and Purwata, E.T. (2014). Trauma Medulla Spinalis: Patobiologi sdan
Tata Laksana Medikamentosa. Continuing Medical Education, 41(8), pp. 567-569
Middendorp, V.J.J et all. (2011). Diagnosis and Prognosis of Traumatic Spinal Cord Injury.
Global Spine Journal, 1(1), pp. 1-8
New PW, Marshall R. International Spinal Cord Injury Data Sets for non-traumatic
spinal cord injury. Spinal Cord. 2014(52)123-132.
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil, Edisi 1.
Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai