Anda di halaman 1dari 51

KEPERAWATAN KRITIS 2 ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TRAUMA MEDULA SPINALIS DAN SPINAL SYOK

Disusun Oleh: Kelompok 4 Kelas B Nor Zaidah Asyariyah Ema Kharismawati Woro Mustika Weni Rosidatus Salimah Annisa Nur Aini Muhamad Ihlasul Amal Rahma Erdha Yunita Yudisa Diaz Lutfi Sandi 131011080 131011088 131011095 131011103 131011112 131011123 131011131 131011140

Fasilitator: Erna dwi Wahyuni S.Kep.Ns., M.Kep.

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2014

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Penelusuran Masalah/Topik Penelitian. Makalah ini disusun khusus untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Riset Keperawatan. Pada kesempatan ini kami menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada: 1. Ibu Erna Dwi Wahyuni S.Kep.Ns., M.Kep. selaku fasilitator kelompok 4 kelas B Keperawatan Kritis 2. 2. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan spiritual maupun material. 3. Teman-teman yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini. 4. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satupersatu. Kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Segala kritik, koreksi, dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi perbaikan di masa mendatang. Terima kasih.

Surabaya, 02 April 2013

Penulis

ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...... Daftar Pustaka ... Bab 1 Pandahuluan 1.1 Latar Belakang ...... 1.2 Rumusan Masalah......................................................................... 1.3 Tujuan ... Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Anatomi dan Fisiologi................................................................... 2.2 Definisi Trauma Medula Spinalis.................................. 2.4 Etiologi Trauma Medula Spinalis.......... 2.5 Klasifikasi Trauma Medula Spinalis............................................. 2.6 Patofisiologi Trauma Medula Spinalis......... 2.7 Pemeriksaan Diagnostik Trauma Medula Spinalis.... 2.8 Penatalaksanaan Trauma Medula Spinalis ....... 2.9 Komplikasi Trauma Medula Spinalis............ 2.10 Prognosis Trauma Medula Spinalis .......... 2.11 WOC............................................................................................ Bab 3 Asuhan Keperawatan Trauma Medula Spinalis.................................. Bab 4 Penutup................................................................................................ Bab 1 Pandahuluan 1.1 Latar Belakang ...... 1.2 Rumusan Masalah......................................................................... 1.3 Tujuan ... Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Definisi Syok Spinal..................................................... 2.2 Etiologi Syok Spinal............................. 2.5 Patofisiologi Syok Spinal.............................. 2.7 Pemeriksaan Diagnostik Syok Spinal ...................... 2.8 Komplikasi Syok Spinal........................... 2.9 Penatalaksanaan Syok Spinal......................... 2.12 WOC............................................................................................ Bab 3 Asuhan Keperawatan Trauma Medula Spinalis.................................. Bab 4 Penutup................................................................................................ Daftar Pustaka ...

ii iii 1 2 2 3 5 5 6 9 12 13 16 17 19 22 30

31 31 32 31 31 34 34 34 35 36 37 50 51

iii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Cedera medula spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000 sampai 500.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan 20.000 cedera baru yang terjadi setiap tahun. Insiden tahunan spinal cord injury termasuk kematian pra-rumah sakit telah diperkirakan 43-77 per juta penduduk di Amerika Serikat yang setara dengan sekitar 20.000 pasien setiap tahun. (Bernhard et al, 2005) Sekitar 20% dari pasien ini meninggal sebelum mereka diterima di rumah sakit. Kejadian spinal cord injury dikaitkan dengan prevalensi sekitar 200.000 pasien di Amerika Serikat. Dari pasien SCI ini 50-70% adalah antara 15 dan 35 tahun usia, sedangkan 4-14% berusia 15 tahun atau lebih muda. Rasio kejadian pada pria dan wanita adalah 4:1. Estimasi biaya untuk perawatan Spinal cord injury di Amerika Serikat adalah sekitar US $ 4 miliar per tahun. Oleh karena itu, Spinal cord injury merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada orang muda dan sebagai hasilnya memiliki besar dampak pada masyarakat secara keseluruhan (Bernhard et al, 2005). Penyebab paling sering Spinal cord injury pada orang dewasa adalah kecelakaan kendaraan bermotor (40%), jatuh (21%), tindak kekerasan (15%), dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (13%). Pada anak-anak, spinal cord injury sebagian besar disebabkan karena olahraga (24%) dan kegiatan rekreasi air (13%). Dalam tampilan grafik retrospektif dari 331 pasien, pada penelitian yang dilakukan Domeier et al (2005), menggambarkan distribusi lokasi cidera spinal cord injury 29% terjadi pada servikal, 24% pada torakal, 37% pada lumbal, dan 10% pada sakral. Penilaian pada pasien trauma (Trauma Life Support) dilakukan pemeriksaan neurologis menyeluruh untuk mengidentifikasi cedera tulang belakang serta transfer pasien pada petugas kesehatan yang berkompeten. Kolaborasi tim kesehatan yang berasal dari multidisplin ilmu dapat mengelola penatalaksanaan pasien spinal cord injury. Medical and surgical tim serta nursing expertise bersama-sama memanajemen pasien mulai dari penanganan pertama yang tepat, fase hospitalisasi, pencegahan komplikasi seperti menghindari ulserasi dekubitus dan komplikasi lain dari cedera tulang belakang hingga fase rehabilitasi seperti rehabilitasi medik; dan psikososial. (White & Thumbikat, 2012). Pada kasus trauma ini, peran perawat sangat diperlukan untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan spinal cord injury baik saat prehospital management, fase hospital, maupun

rehabilitatif, sehingga masalah yang dihadapi oleh klien dapat teratasi dan terhindar dari komplikasi yang lebih lanjut. 1.2 Rumusan Masalah 1. 2. 3. 4. 5. 6. Apa pengertian Trauma Medula Spinalis? Bagaiman mekanisme Trauma Medula Spinalis? Apa penyebap terjadinya Trauma Medula Spinalis? Bagaimana patofisiologi Trauma Medula Spinalis? Bagaimana manifestasi klinis Trauma Medula Spinalis? Apa saja pemeriksaan penunjang untuk mengetahui terjadinya Trauma Medula Spinalis? 7. Bagaiamana pentalaksanaan medis bagi Trauma Medula Spinalis? 8. Apa saja komplikasi yang terjadi pada Trauma Medula Spinalis? 9. Bagaimana konsep Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Trauma Medula Spinalis? 1.3 Tujuan Umum Untuk memenuhi tugas kelompok yang diberikan oleh dosen fasilitator, serta mengetahui bagaimana konsep penyakit atau Trauma Medula Spinalis serta bagaimana Asuhan Keperawatannya. 1.4 Tujuan Khusus 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Mengetahui pengertian Trauma Medula Spinalis Mengetahui mekanisme terjadinya Trauma Medula Spinalis Mengetahui penyebap Trauma Medula Spinalis Mengetahui patofisiologi Trauma Medula Spinalis Mengetahui manifestasi klinis Trauma Medula Spinalis Mengidentifikasi pemeriksaan penunjang Trauma Medula Spinalis Mengidentifikasi penatalaksanaan dan algoritma medis Trauma Medula Spinalis 8. Mengetahui komplikasi yang terjadi pada Trauma Medula Spinalis 9. Mengidentifikasi dan menjelaskan konsep asuhan keperawatan Trauma Medula Spinalis

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Medula Spinalis adalah bagian dari sistem saraf yang membentuk sistem kontinu dengan batang otak yang keluar dari hemisfer serebral dan memberikan tugas sebagai penghubung otak dan saraf perifer, seperti pada kulit dan otot. Panjangnya rata-rata 45 cm dan menipis pada jari-jari. Medula spinalis ini memanjang dari foramen magnum di dasar tengkorak sampai bagian lumbar kedua tulang belakang, yang berakhir di dalam berkas serabut yang disebut konus medullaris. Seterusnya di bawah lumbar kedua adalah akar saraf, yang memanjang melebihi konus, dan disebut kauda equina dimana akar saraf ini menyerupai akar kuda. Saraf-saraf medula spinalis tersusun atas 33 segmen yaitu 7 segmen servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral, dan 5 segmen koksigius. Medula spinalis mempunyai 31 pasang saraf spinal, masing-masing segmen mempunyai satu untuk setiap sisi tubuh. Seperti otak, medula spinalis terdiri atas substansi grisea dan alba. Substansi grisea di dalam otak ada di daerah eksternal dan substansi alba ada pada bagian internal ( Sherwood,2001). Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut : a. Vetebrata Thoracalis (atlas). Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi hanya berupa cincin tulang. Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak. Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena mempunyai prosesus spinasus paling panjang. b. Vertebrata Thoracalis. Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax. c. Vertebrata Lumbalis. Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurnanya sehingga pergerakannya lebih luas kearah fleksi. d. Os. Sacrum. Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi. e. Os. Coccygis. Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter. Lengkung koluma vertebralis.kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior : lengkung vertikal pada daerah leher melengkung kedepan daerah torakal melengkung kebelakang,
6

daerah lumbal kedepan dan daerah pelvis melengkung kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu torakal dan pelvis, disebut promer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengna kepala membengkak ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder lengkung servikal berkembang ketika kanak-kanak mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak. Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh dan sekaligus bekerja sebagai penyangga kedengan prantaraan tulang rawan cakram intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan memungkinkan membonkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belkang terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul berat badan, menyediakan permukaan untuk kartan otot dan membentuk tapal batas pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga. Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula ablongata, menjulur kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir diantara vertebra-lumbalis pertama dan kedua. Disini medula spinalis meruncing sebagai konus medularis, dna kemudian sebuah sambungan tipis dasri pia meter yang disebut filum terminale, yang menembus kantong durameter, bergerak menuju koksigis. Sumsum tulang belakang yang berukuran panjang sekitar 45 cm ini, pada bagian depannya dibelah oleh figura anterior yang dalam, sementara bagian belakang dibelah oleh sebuah figura sempit. Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, servikal dan lumbal. Dari penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani anggota badan atas dan bawah dan plexus dari daerah thorax membentuk saraf-saraf interkostalis. Fungsi sumsum tulang belakang : 1. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit. 2. Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju selsel dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada karnu pasterior mendula spinalis. 3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan impuls-impuls menuju karnu anterior medula spinalis. 4. Sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut sarag motorik. 5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf motorik.

6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan rektum. 2.2 Definisi Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001). Trauma medulla spinalis adalah buatan kerusakan tulang dan sumsum yang mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang diklasifikasikan menurut Marilyn E. Doengoes, 1999;338) sebagai : - komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total) - tidak komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik) Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila Trauma itu mengenai daerah servikal pada lengan, badan dan tungkai mata penderita itu tidak tertolong. Dan apabila saraf frenitus itu terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan mekanik dapat digunakan. 2.3 Etiologi Penyebab dari Trauma medulla spinalis dibedakan menjadi dua, yaitu traumatic spinal-cord injury dan non-traumatic spinal-cord injury (McDonald & Sadowsky, 2002). Termasuk Traumatic spinal cord injury adalah kecelakaan di jalan raya (penyebab tersering), tindak kekerasan, terjatuh, kegiatan olahraga (menyelam), Luka tusuk; tembak; tikam, dan rekreasi. Sedangkan non-traumatic spinal-cord injury terdiri dari: Congenital and developmental, gangguan CNS Degenerative, Infeksi, Inflammatory: Multiple sclerosis, transverse myelitis Toxic, radiasi, dan Tumor. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medula spinalis non traumatic seperti spondiliosis servikal dengan mielopati (yang menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan cedera progresif terhadap medula spinalis dan akar), mielitis (akibat proses inflamasi infeksi maupun non-infeksi), osteoporosis (disebabkan oleh fraktur kompensasi pada vertebra), siringemelia, tumor infiltrasi maupun kompresi, dan penyakit vascular.

Gambar 2.1 penyakit penyebab non-traumatic spinal cord injury 2.4 Klasifikasi Klasifikasi fraktur dapat diklasifikasikan berdasar beberapa hal, diantaranya: 1. Berdasarkan dari besar kecilnya kerusakan anatomis atau berdasarkan stabil atau tidak stabil. Major Fracture bila fraktur mengenai pedikel, lamina atau korpus vertebra. Minor Fracture bila fraktur terjadi pada prosesus transversus, prrosesus spinosus atau prosesus artikularis.

Gambar 2.2 Major Frcture

Gambar 2.3 Minor Fracture Suatu fraktur disebut stable, bila kolumna vertebralis masih mampu menahan beban fisik dan tidak tampak tanda tanda pergeseran atau deformitas dari struktur vertebra dan jaringan lunak. Suatu fraktur disebut unstable, bila kolumna vertebralis tidak mampu menahan beban

normal, kebanyakan menunjukkan deformitas dan rasa nyeri serta adanya ancaman untuk terjadi gangguan neurologik. 2. Berdasarkan penyebab Klasifikasi SCI berdasarkan penyebabnya adalah traumatic dan nontraumatic spinal cord injury. Kecelakan di jalan raya serta trauma secara langsung lainnya merupakan jenis traumatic, sedangkan non traumatic akibat dari penyakit degenerative, infeksi, tumor, dan penyakit inflammatory lain. 3. Berdasarkan letak trauma Klasifikasi berdasar Letak trauma pada vertebra: (Hanafiah, 2007) a. Cervical Spine, terjadi sebanyak 55% b. Thoracic Spine, pada 15% kejadian c. Thoracolumbar Spine, 15% kejadian; dan d. Lumbosacral Spine, 15% kasus. 4. Berdasarkan mekanisme Klasifikasi berdasar mekanisme ini dibagi dua yakni complete dan incomplete. Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik dipergunakan Frankel Score. (Chin, 2013) a. FRANKEL SCORE A: kehilangan fingsi motorik dan sensorik lengkap/complete loss. Motoris (-) sensoris (-) b. FRANKEL SCORE B: Fungsi motoric hilang, fungsi sensorik utuh. Motoris (-), sensoris (+) c. FRANKEL SCORE C: Fungsi motoric ada tetapi secara praktis tidak berfungsi (dapat menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat berjalan). Motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+) d. FRANKEL SCORE D: Fungsi motoric terganggu (dapat berjalan tetapi tidak dengan normalgait). Motoris )+) dengan ROM 4, sensoris (+) e. FRANKEL SCORE E: Tidak terdapat gangguan neurologik. Motoris (+), sensoris (+) Klasifikasi menurut American Spinal Injury Association (ASIA) impairement scale (modifikasi dari klasifikasi frankle) (Chin, 2013) a. Grade A : komplit. Motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral s4-s5 b. Grade B : inkomplit. Motoris (-), sensoris (+) c. Grade C : inkomplit. Motoris (+) dengan kekuatan otot < 3 d. Grade D : inkomplit. Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3 atau lebih dari sama dengan 3 e. Grade E : Motoris dan sensoris normal

10

5. Berdasarkan level

Gambar 2.4 Level Kerusakan Spinal Cord, fungsi, dan aktivitas yang memungkinkan 6. Berdasarkan klasifikasi lain (Hanafiah, 2007) Metode Klasifikasi Dennis Metode ini dipakai untuk menilai fraktur didaerah torakolumbal dan daerah cervical.

Gambar 2.5 Tampak lateral dari 2 buah korpus vertebra Penilaian ini berdasarkan Teori 3 Kolom dari vertebra. a) Bagian Anterior adalah ligamentum longitudinale anterior dan 2/3 bagian depan dari korpus vertebra dan diskus. b) Bagian Tengah (Middle) adalah 1/3 bagian posterior dari korpus vertebra dan diskus serta ligamentum longitudinale posterior. c) Bagian Posterior adalah pedikel, lamina, facets, dan ligamentum posterior. Kolom Tengah (Middle Column) adalah kunci dari stabilitas.

11

Metode Klasifikasi Magerl Klasifikasi ini dipakai untuk menilai fraktur daerah torakolumbal.

Gambar 2.6 Klasifikasi Magerl pada fraktur torakolumbal Terdapat 3 jenis fraktur berdasarkan mekanismenya (mechanism of failure): a) Type A Compressive loads b) Type B Distraction forces c) Type C Multidirectional forces and translation Berdasarkan Gangguan Neurologik Yang dimaksud dengan gangguan neurologik (neurologic injury) ialah trauma yang mengenai medula spinalis, cauda equine dan radices (nerve roots). Keadaan ini mungkin terjadi karena kompresi dari vertebra, fragmen tulang, atau diskus terhadap struktur neurologik. Dalam hal ini semua struktur atau organ yang dipersarafi oleh saraf yang terkena/terganggu akan kehilangan fungsinya baik sebagaian taupun secara keseluruhan. 2.5 Patofisiologi Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien sembuh sempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla, (lebih salah satu atau dalam kombinasi) sampai transaksi lengkap medulla (membuat pasien paralisis). Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradural subdural atau daerah subaracnoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada cedera, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cidera medulla spinalis akut.

12

Hubungan pelepasan neurotransmiter terhadap cedera seluler telah diteliti baik pada cedera kepala maupun cedera spinal. Kebanyakan penyelidikan awal terpusat pada turunan asam amino eksitasi yaitu glutamat dan aspartat. Terdapat pelepasan dramatis glutamat dan aspartat hingga 6 kali kadar normal, dimana konsentrasi ini cukup untuk membunuh neuron. Hal ini dapat terjadi hingga 1 jam setelah cedera. Perbedaan peningkatan spesies asam amino mendukung bahwa aktivitas neuron lebih berperan daripada lisis sel. Berbagai model telah menunjukkan disfungsi ekstremitas dapat terjadi ketika cord terpapar asam amino eksitasi. Beberapa tipe reseptor kemungkinan berperan pada cedera sekunder pada spinal cord, termasuk reseptor kainate dan quisqualate, yang mengontrol saluran untuk sodium (natrium) influx dan potassium (kalium) efflux, serta reseptor Nmethyl-D-aspartate (NMDA) yang memiliki saluran untuk natrium dan kalium dan saluran untuk calcium influx. Akumulasi kalsium intraseluler dengan kalium efflux telah diamati pada pada SCI eksperimental. Awal dari pembengkakan neuron berhubungan dengan natrium influx, dimana dimana disintegrasi neuron disebabkan oleh calcium influx. Baik antagonis kompetitif seperti 3-(2carboxypiperazin-4-yl)-propyl-1-phosphoric acid dan aminophosphoheptanoates, serta antagonis nonkompetitif seperti phencyclidine, ketamin, magnesium, dextrorphan, dan MK-801 telah menunjukkan dapat menurunkan cedera neurologis sekunder. Substansi lain yang berperan adalah peptida opioid. Dynorphin, betaendorphin, leu-enkephalin, dan met-enkephalin bersifat aktif pada reseptor kappa, mu, dan delta. Opiat berhubungan dengan hipotensi yang terjadi setelah SCI. Perawatan dengan obat yang dapat bekerja sebagai antagonis opiat menghasilkan fungsi yang lebih baik. Mekanisme selanjutnya pada cedera sekunder melibatkan aktivasi membrane phospholipase, yang berakibat pada hidrolisis fosfolipid, bebasnya asam arakidonat dan asam lemak lain dari membran sel. Aktivitas enzimatik oleh siklooksigenase terhadap asam ini memproduksi peroksida lipid, sedangkan aktivitas enzimatik oleh lipooksigenase memproduksi leukotrien dan prostanoid. Lebih spesifik, level tromboksan A2 meningkat sesaat setelah terjadi SCI eksperimental, dimana rasio tromboksan terhadap prostasiklin meningkat abnormal hingga 18 jam. Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan cedera sekunder oleh karena terbatasnya perfusi jaringan. Faktanya, pada model eksperimental aliran darah pada spinal cord terukur pada 40-54% terhadap level kontrol. Penggunaan steroid dan analognya dapat meningkatkan pemulihan, kemungkinan berhubungan dengan inhibisi oleh substansi tersebut terhadap peroksidasi lipid atau supresinya terhadap pelepasan asam amino eksitasi. (Rowland, 2008)

13

2.6 Manifestasi Klinis Gejala bervariasi tergantung pada lokasi cedera. Cedera tulang belakang menyebabkan kelemahan dan hilangnya rasa pada lokasi cidera dan di bawahnya. Seberapa berat gejala yang ditimbulkan tergantung pada apakah seluruh corda spinalis cidera berat, (complete) atau hanya terluka sebagian (incomplete). Berikut adalah gejala yang timbul sesuai dengan lokasi cidera: (Bhimji, 2014) 1. Cervical (Neck) Injuries Ketika cedera tulang belakang terjadi pada daerah leher, gejala dapat mempengaruhi lengan, kaki, dan bagian tengah tubuh. Gejalagejala dapat terjadi pada satu atau kedua sisi tubuh. Gejala juga dapat mencakup kesulitan bernapas dari kelumpuhan otot-otot pernapasan, jika cedera yang terjadi setinggi/diatas leher. 2. Thoracic (Chest Level) Injuries Ketika cedera tulang belakang terjadi pada level dada, gejala dapat mempengaruhi kaki. Cedera yang terjadi pada cervical atau high thoracic spinal cord juga dapat mengakibatkan masalah tekanan darah, berkeringat abnormal, dan kesulitan mempertahankan suhu tubuh normal. 3. Lumbar Sacral (Lower Back) Injuries Ketika cedera tulang belakang terjadi pada level punggung bawah, gejala dapat mempengaruhi satu atau kedua kaki, serta otot-otot yang mengontrol usus dan kandung kemih. Cedera pada lumbar vertebra pertama dan di bawahnya tidak menyebabkan cedera tulang belakang (SCI). Namun, mereka dapat menyebabkan "sindrom cauda equina" yang trejadi cedera pada akar saraf di daerah ini. Jenis cedera tulang belakang yang seperti ini merupakan keadaan darurat medis dan membutuhkan operasi segera. Tanda dan gejala umum: (Bhimji, 2014) 1. Peningkatan tonus otot ( spastisitas ) 2. Kehilangan kontrol bowel dan bladder (konstipasi, inkontinensia, dan bladder spasms) 3. Kekebasan (numbness) 4. perubahan sensori 5. nyeri 6. Kelemahan dan kelumpuhan (paralysis)

14

2.7 Pemeriksaan Penunjang 1. Haemoglobin and haematocrit levels untuk memonitor kadar kehilangan darah 2. Renal function and electrolytes: dehidrasi. 3. urinalisis untuk mendeteksi terkait cedera genitourinary 4. X-ray : Pencitraan diagnostik dimulai dengan sinar - X dari wilayah yang terkena dampak dari tulang belakang. Di beberapa tempat, CT scan telah menggantikan plain X-ray dan menampilkann lokasi fraktur yang terlewat saat x-ray. Serangkaian pemeriksaan trauma X - ray biasanya pertama kali dilakukan (cervical spine, chest and pelvis). 3 standart views untuk pemeriksaan cervical spine yang direkomendasikan adalah anteroposterior, lateral and odontoid. 5. MRI

Fraktur C6 dengan burst component. A) pemeriksaan radiografi (x-ray) lateral view dari cervical spine. B) pemeriksaan CT scan axial. C) pemeriksaan MRI (T2-weighted sagittal) menunjukkan fraktur yang meluas di tiga kolumna vertebralis menyebabkan cidera yang ekstensif pada corda spinalis (bright signal dalam cord). Perubahan sinyal terang(bright signal) di sepanjang C anterior dari badan vertebra (panah) menunjukkan kerusakan ligament . Elemen posterior dari C4 terlihat fraktur (panah). CT scan yang paling baik dan berguna dalam menggambarkan cedera tulang, sedangkan MRI membantu untuk mengidentifikasi tingkat kerusakan corda dan ligament (Thumbikat et al, 2009) 6. CT myelography Jika lateral cervical radiograph dan CT scan negative, MRI merupakan pilihan investigasi untuk menyingkirkan ketidakstabilan. Pasien dengan focal neurological signs, yang dibuktikan dengan cord atau disc injury, and pasien yang membutuhkan pemeriksaan pre-operative Sebelum dikakukan operasi. Whole spine MRI diindikasikan untuk multilevel atau ligamentous injuries, dan cauda equine injuries. MRI merupakan pilihan terbaik untuk pemeriksaan suspected spinal cord lesions, cord compressions, vertebral fractures pada multiple levelsdan ligamentous

15

injuries atau soft tissue injuries lain maupun pathology. MRI digunakan untuk mengevaluasi soft tissue lesions, seperti extradural spinal haematoma, abscess atau tumour, spinal cord haemorrhage, contusion and/or oedema. Neurological kerusakan biasanya disebabkan karena secondary injury, resulting in oedema and/or haemorrhage. MRI adalah gambar diagnostik terbaik untuk menggambarkan perubahan ini. (Tidy, 2014) 2.8 Penatalaksanaan Didalam penatalaksanaan trauma spinal ada dua hal yang sangat penting yaitu, Instabilitas dari Kolumna Vertebralis (Spinal Instability) dan Kerusakan jaringan saraf, baik yang terancam maupun yang sudah terjadi (actual and potential neurologic injury) (Hanafiah, 2007). Yang dimaksud dengan instabilitas kolumna vertebralis (spinal instability) ialah hilangnya hubungan normal antara strukturstruktur anatomi dari kolumna vertebralis sehingga terjadi perubahan dari fungsi alaminya. Kolumna vertebralis tidak lagi mampu menahan beban normal. Deformitas yang permanen dari kolumna vertebralis dapat menyebabkan rasa nyeri; keadaan ini juga merupakan ancaman untuk terjadinya kerusakan jaringan saraf yang berat (catastrophic neurologic injury). Instabilitas dapat terjadi karena fraktur dari korpus vertebralis, lamina dan atau pedikel. Kerusakan dari jaringan lunak juga dapat menyebabkan dislokasi dari komponen komponen anatomi yang pada akhirnya menyebabkan instabilitas. Fraktur dan dislokasi dapat terjadi secara bersamaan. Terdapat lima prinsip-prinsip utama penatalaksanaan trauma spinal yaitu: immobilisasi, stabilisasi medis, mempertahankan posisi normal vertebrae, dokempresi dan stabilisasi spinal, serta rehabilitasi. (Hanafiah, 2007) 1. Immobilisasi Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal; dengan menggunakan cervical collar. Cegah agar leher tidak terputar (rotation). Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alas yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara 4 men lift atau menggunakan Robinsons orthopaedic stretcher 2. Stabilisasi Medis Terutama pada penderita tetraparesis/etraplegia. a. Periksa vital signs b. Pasang nasogastric tube c. Pasang kateter urin d. Segera normalkan vital signs. Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor

16

produksi urin, bila perlu monitor BGA (analisa gas darah), dan periksa apa ada neurogenic shock. Pemberian megadose Methyl Prednisolone Sodium Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat memperbaiki konntusio medula spinalis. 3. Mempertahankan posisi normal vertebra (Spinal Alignment) Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau Gardner- Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai terjadi reduksi. 4. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal Bila terjadi realignment artinya terjadi dekompresi. Bila realignment dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan open reduction dan stabilisasi dengan approach anterior atau posterior. 5. Rehabilitasi. Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program ini adalah bladder training, bowel training, latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi fungsi neurologik dan program kursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia. Hal-hal yang harus diperhatikan pada kasus trauma spinal adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. Penanganan trauma spinal telah dimulai sejak di tempat kejadian. Proteksi terhadap cervical spine merupakan hal yang sangat penting Mobilisasi penderita ke rumah sakit harus dilaksanakan dengan cara yang benar. Penatalaksanaan trauma spinal harus menurut prinsip-prinsip baku yang telah dianut. Tindakan operasi dan instrumentasi banyak menolong penderita dari cacat neurologik yang berat. (Hanafiah, 2007)

17

Gambar 2.7 Algoritma Spinal Cord Injury menurut U.S. National Library of Medicine, National Institute of Health. i. lakukan pengkajian terhadap faktor risiko adanya spinal cord injury, yaitu a. terdapat luka tusuk dan tembak b. terdapat luka terbuka/ langsung pada wajah, leher, atau punggung (misal karena kecelakaan) c. kecelakaan saat menyelam d. sengatan listrik e. putaran yang ekstrim pada tulang belakang f. cedera olahraga (mendarat di kepala)

18

ii.

iii.

iv.

v.

g. pukulan yang kuat dan besar pada kepala atau dada (kecelakaan mobil, jatuh dari ketinggian) jika tidak: mulailah untuk memberi pendidikan kesehatan a. Anjurkan untuk melakukan tindakan safety precautions: memakai helm, seatbelts, menghindari prilaku berisiko. b. Mencegah faktor risiko: mengindari mabuk saat mengemudi, penyalagunaan alcohol dan obat-obatan terlarang, bahaya industry, berenang dikolam dangkal atau sedikit air tanpa diketahui, berada ditempat tak berpagar. jika iya: kaji adanya a. posisi kepala yang tidak seperti biasa (abnormal) b. mati rasa atau kesemutan yang menjalar ke bawah lengan atau kaki c. kelemahan d. kesulitan berjalan e. paralisis lengan atau kaki f. tidak ada control baldder dan bowel g. syok: pucat, kulit lembab, dimgin, bibir dan kuku kebiruan, bertindak kebingungan, atau setengah sadar h. tidak sadar i. kaku leher, sakit kepala, sakit leher Diagnose ditegakkan, bahwa terdapat spinal cord injury. Buat perencanaan tindakan mengenai perkembangan dan persyaratan untuk rehabilitasi; diskusikan mengenai prosedur diagnostic, pemeriksaan radiologis. Pantau adanya tanda gejala dari komplikasi: autonomic disreflexia, neurogenic syok. Diskusikan menganai medikasi: steroid, atropine, vasopressor. Pastikan untuk membuat strategi untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat immobilisasi Lalu kaji apakah pasien berpotensi unstable. Jika iya, buat rencana perawatan mengenai potensial komplikasi: nurogenik syok. Autonomic disreflexia, spinal syok; rencana perawatan untuk hipoventilasi, pneumonia, sepsis, fraktur, neurogenic bladder, konstipasi, ileus pain, disuse syndrome.

2.9 Komplikasi 1. Perubahan tekanan darah yang ekstrim (autonomic hyperreflexia) 2. Chronic kidney disease 3. Komplikasi dari immobilisasi: Deep vein thrombosis Lung infections Skin breakdown Muscle contractures

19

4. Increased risk of injury to numb areas of the body 5. Peningkatan risiko urinary tract infections 6. Kehilangan control bladder 7. Kehilangan control bowel 8. Loss of feeling 9. Kehilangan fungsi seksual (male impotence) 10. Muscle spasticity 11. Nyeri 12. Paralysis dari otot pernafasan 13. Paralysis (paraplegia, quadriplegia) 14. Pressure sores 15. Shock (Bhimji, 2014) 2.10 Prognosis 1. Sumsum tulang belakang memiliki kekuatan regenerasi.yang sangat terbatas 2. Pasien dengan complete cord injury memiliki kesempatan recovery yang sangat rendah, terutama jika paralysis berlangsung selama lebih dari 72 jam. 3. Prognosis jauh lebih baik untuk incomplete cord syndromes 4. Prognosis untuk cervical spine fractures and dislocations sangat bervariasi, tergantung pada tingkat kecacatan neurologis. 5. Prognosis untuk defisit neurologis tergantung pada besarnya kerusakan saraf tulang belakang pada saat onset. 6. Selain disfungsi neurologis, prognosis juga ditentukan oleh pencegahan dan keefektifan pengobatan infeksi - misalnya, pneumonia, dan infeksi saluran kemih. 7. Secara umum, sebagian besar individu mendapatkan kembali beberapa fungsi motorik, terutama dalam enam bulan pertama, meskipun mungkin ada perbaikan lebih lanjut yang perlu diamati diamati di tahun akan dating. (Tidy, 2014)

20

BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Kasus Trauma Medula Spinalis

Tn. G, usia 28 tahun dibawa oleh polisi ke IRD RSUD Dr. Soetomo setelah mengalami kecelakaan kerja, Tn. G jatuh dari ketinggian 10 m. Selama perjalanan menuju rumah sakit Tn. G mengeluh tidak bisa menggerakkan tangan serta tungkainya, Tn. G terlihat sulit bernapas, napas pendek . RR 29 x/menit, TD 90/60mmHg, Nadi 60x/ menit, GCS: 2-4-1, skala nyeri 9. Dari hasil pemeriksaan nadi lemah, tekanan darah menurun, kesadaran menurun, urine keluar menetes, kandung kemih terisi penuh, . Dari hasil CT Scan terjadi dislokasi C 4. 3.2 Primary Survey 1. Airway Assessment : 1. Perhatikan patensi airway :Paten 2. Dengar suara napas: vesikuler Management : 1. Inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, bila diduga terjadi fraktur servikal maka lakukan jaw thrust, hilangkan benda yang menghalangi jalan napas 2. Immobilisasi stabilkan leher dalam posisi normal kalau ada pasang collar-neck untuk mencegah parahnya fraktur servikal 3. Mempertahankan posisi normal vertebra (Spinal Alignment) 1. Breathing Assesment 1. Periksa frekwensi napas : 29x/menit. 2. Perhatikan gerakan respirasi:asimetris dan dada tidak terlalu mengembang 3. Auskultasi dan dengarkan bunyi napas: bunyi nafas vesikuler Management: Lakukan bantuan ventilasi atau pasang ventilator 2. Circulation Assesment 1. Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi: 60x/menit. 2. Periksa tekanan darah: 90/60 mmHg. 3. Pemeriksaan pulse oxymetri 4. Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis) 5. Periksa keluaran urine Management 1. Resusitasi cairan dengan memasang iv lines

21

2. Pasang kateter untuk mengetahui haluaran urine dan untuk mencegah refluks urine karena kelumpuhan otot 3. Disability Assessment Respon : Alert Kesadaran : Compos Mentis GCS : 241 Pupil : Isokor Refleks Cahaya : Ada Keluhan Lain : Nyeri Management : Lakukan monitoring kesadaran dan kerusakan syaraf pusat 4. Exposure Assessment Deformitas : Tidak Contisio : Tidak Abrasi : Tidak Laserasi : Tidak Edema : Tidak Jejas : Terdapat jejas pada leher Keluhan Lain : Nyeri Management : Lakukan management nyeri 3.3 Pengkajian 1. Umur pasien: 28 tahun 2. 3. 4. 5. 6. Alergi terhadap obat, makanan tertentu: tidak ada Pengobatan terakhir: tidak ada Pengalaman pembedahan: tidak ada Riwayat penyakit dahulu: tidak ada Riwayat penyakit sekarang: Tn. G dibawa ke rumah sakit setelah mengalami kecelakaan kerja, jatuh dari ketinggian 10 m, selama perjalanan px mengeluh nyeri dan tidak bisa menggerakkan tungkai dan tangannya. 7. Keluhan: Nyeri (+), susah bernafas (+) 3.4 Pemeriksaan Fisik B 1(Sistem pernapasan)RR : 29 x/menit, napas pendek, kesulitan bernapas, dan terdapat kelemahan otot pernafasan B 2 (sistem kardiovaskuler): Brakikardi ( N: 60x/menit), TD 90/60 mmHg B 3 (sistem peersyarafan): GCS 2-4-1 B 4 (sistem perkemihan): palpasi kandung kemih penuh, urine keluar menetes B 5 (sistem pencernaan):22

B 6 (sistem muskuloskeletal): terdapat jejas dibagian leher, dan kelumpuhan pada seluruh badan 3.5 No 1 Analisa Data Data DS: pasien mengatakan kesulitan bernapas. DO: RR 29 x/mnt, napas pendek, cepat Etiologi Kecelakaan kerja Masalah keperawatan Pola nafas tidak efektif

Dislokasi C 4

Disfungsi C4

Gangguan pada otot diafragma

Pola nafas tidak efektif

DS: paien mengatakan tangan dan tungkai tidak bisa digerakkan DO: tungkai dan tangan tidak bisa digerakkan

Kecelakaan kerja

Hambatan mobilitas fisik

Dislokasi C4

Disfungsi C 4

Kerusakan fungsi motorik

Hambatan mobilitas fisik 3 DS: pasien mengeluh nyeri pada belakang leher Kecelakaan kerja Nyeri akut

Dislokasi C 4

23

DO: pasien terlihat kesakitan , skala nyeri 8

Kompresi saraf

Respon nyeri

Nyeri akut 4 DS: Px mengatakan urine keluar menetes DO: nyeri tekan pada abdomen bawah dan keinginan kencing saat palpasi. Kecelakaan kerja Perubahan pola eliminasi urin

Kelumpuhan saraf perkemihan

Kandung kemih terasa penuh

Otot detrusor tidak bereaksi

Perubahan pola eliminasi urin

3.6

Diagnosa Keperawatan 1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot diafragma 2. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik 3. Nyeri akut yang berhubungan dengan kompresi saraf 4. Perubahan pola eliminasi urine yang berhubungan dengan kelumpuhan saraf perkemihan

24

3.7

Intervensi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan : Ketidakefektifan Pola Nafas b.d gangguan persarafan pada kontrol gerak diafragma, kehilangan fungsi otot interkosta komplit/sebagian. Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam pasien akan menunjukkan pola nafas efektif yang ditandai dengan : RR dalam rentang normal Kriteria hasil : Pemeliharaan ventilasi yang memadai yang dibuktikan dengan tidak adanya gangguan pernapasan dan hasil dari BGA dalam batas yang dapat normal. Menunjukkan perilaku yang sesuai untuk mendukung upaya pernafasan Intervensi Keperawatan Kelola oksigen dengan metode yang sesuai, misal ventilator, masker, nasal kanul, intubasi. Berikan oksigen masker 3lpm Rasional Metode ditentukan oleh tingkat cedera, tingkat insufisiensi respirasi, dan jumlah pemulihan fungsi otot pernapasan setelah fase syok spinal. Menyediakan supply oksigen yang adekuat, meminimalkan resiko kelelahan, dan mencegah terjadinya ARDS. Pasien dengan cedera leher rahim tinggi dan gangguan muntah / batuk refleks akanmemerlu kan bantuan dalam mencegah aspirasi / mempertahankan jalan napas paten Perkembangan emboli paru dapat silent karena persepsi nyeri mengalami perubahan dan/atau thrombosis vena dalam tidak mudah dikenali. Hiperventilasi secara umum dapat menyebabkan akumulasi sekret, atelektasis dan pneumonia (komplikasi yang sering terjadi) Dapat menunjukkan kegagalan pernafasan, membutuhkan segera evaluasi pengobatan dan intervensi. pasien, Untuk mengoptimalkan fungsi pernafasan pasien,

Memelihara kepatenan jalan nafas: menjaga kepala dalam posisi yang tepat yaitu mempertahankan posisi normal vertebra (Spinal Alignment). Memeriksa serangan tiba-tiba dari dispnea, sianosis dan/atau tanda lain yang mengarah pada distress pernafasan. Auskultasi bunyi nafas. Catat area dimana terjadi perubahan suara nafas Kaji warna kulit dari sianosi, kehitam-hitaman

Latih

otot

pernafasan

25

dengan cara pengaturan dari fungsi dan untuk meningkatkan kekuatan otot pernafasan ventilator yang dipasang atau pasien. metode weaninguntuk pasien yang dipasang ventilator.

Diagnosa Keperawatan : Nyeri akut b.d kompresi saraf Tujuan : dalam waktu 1x24 jam pasien memperlihatkan penurunan rasa nyeri Kriteria hasil : pasien melaporkan penurunan rasa nyeri, mengidentifikasi cara-cara mengatasi nyeri, pasien bisa mendemontrasikan teknik relaksasi da distraksi Intervensi Keperawatan Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif. Seperti pereda nyeri golongan 1 yaitu morphinatau petidhin Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase. Rasional Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi, sehingga akan mengurangi nyerinya.

Ajarkan metode distraksi selama nyeri Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal akut. yang menyenangkan Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik. Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari. Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang. Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.

26

Diagnosa Keperawatan : perubahan pola eliminasi urine yang berhubungan dengan kelumpuhan otot perkemihan Tujuan : dalam waktu 2x24 jam pola eliminasi optimal sesuai keadaan normal Kriteria hasil : produksi urine 50 cc/jam, klien dapat melakukan eliminasi urin dengan atau tanpa pemasangan urine Intervensi Keperawatan Rasional Kaji pola berkemih, dan catat setiap 6 jam Untuk mengetahui fungsi ginjal sekali Palpasi adanya distensi kandung kemih, Menilai perubahan akibat dari inkontinensia dan observasi pengeluaran urine urine Anjurkan klien minum 2000 cc/hari Pasang well kateter Lakukan bladder training Membantu mempertahankan fungsi ginjal Membantu proses pengeluaran urine Membantu meningkatkan kemampuan pola eliminasi urin.

Diagnosa Keperawatan : Gangguan mobilitas fisik b.d. kerusakan fungsi motorik Tujuan : Gangguan mobilitas dapat diminimalkan. Kriteria hasil : Mempertahankan posisi fungsi yang dibuktikan dengan tidak adanya kontraktur, footdrop. Meningkatkan kekuatan tidak terpengaruh/kompensasi bagian tubuh. Menunjukkan teknik/perilaku yang memungkinkan dimulainya kembali kegiatan. Intervensi Keperawatan Rasional Kaji fungsi motorik secara berkala Evaluasi status situasi individu (gangguan sensorik-motorik) untuk tingkatan spesifik cedera dan memilih intervensi. o Menjaga pergelangan kaki 90 dengan Mencegah footdrop dan rotasi eksternal papan kaki. Gunakan trochanter rolls pangkal paha. sepanjang paha saat di ranjang. Ukur dan pantau tekanan darah pada fase Hipotensi orthostatic dapat terjadi sebagai akut atau hingga stabil. Ubah posisi secara hasil dari penyatuan vena (sekunder untuk perlahan. kehilangan tonus pembuluh darah). Inspeksi kulit setiap hari. Kaji terhadap area yang tertekan, dan memberikan perawatan kulit secara teliti. Perubahan sirkulasi, kehilangan sensai, dan paralisis memungkinkan pembentukan tekanan sakit. Ini merupakan pertimbangan seumur hidup

Membantu/mendorong pulmonary hygiene Imobilisasi/bedrest meningkatkan resiko seperti nafas dalam, batuk, suction

27

infeksi pulmonal. Kaji dari kemerahan,bengkak/ketegangan otot jaringan betis. Dalam presentasi tinggi pasien dengan cedera medulla spinal, thrombus berkembang karena sirkulasi perifer berubah, imobilisasi, dan paralisis lemah

28

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis vertebralis dan lumbali akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Gejala yang ditimbulkan bervariasi tergantung pada lokasi cedera. Cedera tulang belakang menyebabkan kelemahan dan hilangnya rasa (lumpuh) pada lokasi cidera dan pada area bawahnya. Klasifikasi dari trauma medula spinalis dibedakan menjadi 2 yaitu komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total) dan tidak komplet (kehilangan dari salah satu fungsi sensori dan fungsi motorik). 4.2 Saran Setelah anda mengetahui dampak dari trauma medula spinalis maka penting bagi kita untuk mengetahui cara menangani atau mencegah cedera medula spinalis agar tidak terjadi trauma yang lebih fatal atau parah lagi. Untuk kedepannya apabila terdapat korban kecelakaan di jalan maka kita sebagai tenaga kesehatan harus tahu cara yang benar dalam penanganan gawat darurat sebagai pencegahan terhadap trauma medula spinalis.

29

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Syok merupakan sindroma gangguan perfusi dan oksigenasi sel secara menyeluruh sehingga kebutuhan metabolisme jaringan tidak terpenuhi. Syok bukanlah suatu penyakit dan tidak selalu disertai kegagalan perfusi jaringan. Syok dapat terjadi setiap waktu pada siapapun dan bukanlah merupakan suatu diagnosis. Syok digolongkan menjadi 4 bagian yaitu syok kardiogenik, syok obstruktif, syok oligemik, dan syok distributif. Spinal syok (syok pada medula spinalis) termasuk syok distributif, terjadi karena volume darah secara abnormal berpindah tempat pada vaskuler seperti ketika darah berkumpul dalam pembuluh darah perifer (Moor, 2013). Penyebab terjadinya spinal syok adalah cedera pada medulla spinalis. Cedera medulla spinalis dapat terjadi akibat kecelakaan mobil, cedera karena terjatuh dan cedera olah raga (olah raga kontak fisik dan menyelam merupakan penyebab utama quadriplegia). Ducker dan Perrot melaporkan 40% spinal cord injury disebabkan kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, sport, kecelakaan kerja. Saat kecelakaan 3% penyebab kematian karena trauma langsung medulla pinalis, 2% karena multiple trauma. Insidensi trauma pada laki- laki 5 kali lebih besar dari perempuan (Japardi, 2012). Banyaknya angka kejadian cedera medulla spinalis akan berpengaruh pada peningkatan kejadian syok spinal. Terjadinya syok spinal terdiri dari 4 tahap. Beberapa manifestasi akan muncul pada pasien syok spinal antara lain paralisis flaksid di bawah tingkat cedera, hipotensi dan bradikardi, tak adanya aktivitas refleks di bawah tingkat cedera, ini dapat menyebabkan retensi urine, paralisis usus dan ileus serta kehilangan kontrol suhu/hipertermi. Penanganan syok spinal merupakan hal penting untuk menyelamatkan pasien. Oleh karena itu, perawat sebagai tenaga kesehatan harus mampu menguasai dan memmahami pengetahuan tentang asuhan keperawatan dan tindakan-tindakan yang dilakukan pada pasien dengansyok spinal. Sehingga pada tatanan praktiknya, perawat mampu mengaplikasikan teori dengan baik dan terampil. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah definisi syok spinal? 2. Apakah etiologi syok spinal? 3. Bagaimana patofisiologi syok spinal? 4. Bagaimana web of caution (WOC) syok spinal? 5. Apakah manifestasi klinis dari syok spinal? 6. Bagaimanakah pemeriksaan diagnostik pada syok spinal? 7. Bagaimanakah penatalaksanaan pada syok spinal?

30

8. Apakah komplikasi dari syok spinal? 9. Apakah prognosis dari syok spinal? 10. Bagaimanakah asuhan keperawatan klien dengan syok spinal? 1.3 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Mahasiswa dapat mengetahui dan melakukan asuhan keperawatan klien dengan syok spinal. 1.2.2 Tujuan Khusus 1. Mahasiswa dapat menjelaskan definisi syok spinal. 2. Mahasiswa dapat menjelaskan etiologi syok spinal. 3. Mahasiswa dapat menjelaskan patofisiologi syok spinal. 4. Mahasiswa dapat menjelaskan web of caution (WOC) syok spinal 5. Mahasiswa dapat menyebutkan manifestasi klinis syok spinal. 6. Mahasiswa dapat menjelaskan pemeriksaan diagnostik pada syok spinal. 7. Mahasiswa dapat menjelaskan penatalaksanaan klien dengan syok spinal. 8. Mahasiswa dapat menjelaskan komplikasi dari syok spinal. 9. Mahasiswa dapat menjelaskan prognosis klien syok spinal. 10. Mahasiswa menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada klien dengan syok spinal.

31

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Syok Spinal Spinal syok (syok pada medula spinalis) termasuk syok distributif, terjadi karena volume darah secara abnormal berpindah tempat pada vaskuler seperti ketika darah berkumpul dalam pembuluh darah perifer (Moor, 2013). Spinal syok / syok pada medula spinalis adalah suatu keadaan disorganisasi fungsi medula spinalis yang fisiologis dan berlangsung untuk sementara waktu, keadaan ini timbul segera setelah cedera dan dapat berlangsung dari beberapa jam hingga beberapa minggu. Syok spinal juga diketahui sebagai syok neurogenik adalah akibat dari kehilangan tonus vasomotor yang mengakibatkan dilatasi vena dan arteriol umum. Syok ini menimbulkan hipotensi, dengan penumpukan darah pada pembuluh penyimpan atau penampung dan kapiler organ splanknik. Tonus vasomotor dikendalikan dan dimediasi oleh pusat vasomotor di medulla dan serat simpatis yang meluas ke medulla spinalis sampai pembuluh darah perifer secara berurutan. Karenanya kondisi apapun yang menekan fungsi medulla atau integritas medulla spinalis serta persarafan dapat mencetuskan syok neurogenik/syok spinal (Tambayong, 2000).

2.2 Etiologi Neurogenik syok disebabkan oleh beberapa faktor yang menganggu CNS. Masalah ini terjadi akibat transmisi impuls yang terhambat dan hambatan hantaran simpatik dari pusat vasomotor pada otak. Dan penyebab utamanya adalah SCI . Syok neurogenik keliru disebut juga dengan syok tulang belakang. kondisi berikutnya mengacu pada hilangnya aktivitas neurologis dibawah tingkat cedera tulang belakang, tetapi tidak melibatkan perfusi jaringan tidak efektif (Linda D. Urden, 2008). Tipe syok ini bisa disebabkan oleh banyak faktor yang menstimulasi parasimpatik atau menghambat stimulasi simpatik dari otot vaskular. Trauma pada syaraf spinal atau medulla dan kondisi yang mengganggu suplai oksigen atau gulokosa ke medulla menyebabkan syok neorogenik akibat gangguan aktivitas simpatik. Obat penenang, anestesi, dan stres hebat beserta nyeri juga merupakan penyebab lainnya. 2.3 Manifestasi klinis Hilangnya sensasi,control motorik, dan reflek dibawah cedera. Suhu didalam tubuh akan menggambarkan suhu yang ada di lingkungan, kemudian tekanan darah akan menurun. Sedangkan frekuensi denyut nadi sering normal akan tetapi tetap disertai tekanan darah yang selalu rendah (Corwin, 2009).
32

2.4 Patofisiologi Terjadinya syok spinal biasanya diawali dengan adanya trauma pada spinal. Syok spinal merupakan hilangnya reflek pada segmen atas dan bawah lokasi terjadinya cederapada medulla spinalis. Reflek yang hilang antara lain reflek yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan usus, tekanan darah, dan suhu tubuh. Hal ini terjadi akibat hilangnya muatan tonik secara akut yang seharusnya disalurkan melalui neuron dari otak untuk mempertahankan fungsi reflek. Ketika syok spinal terjadi akan mengalami regresi dan hiperrefleksia ditandai dengan spastisitas otot serta reflex pengosongan kandung kemih dan usus (Corwin, 2009). Syok spinal akan menimbulkan hipotensi, akibat penumpukan darah pada pembuluh darah dan kapiler organ splanknik.tonus vasomotor di medulla dan saraf simpatis yang meluas ke medulla spinalis sampai pembuluh darah perifer secara berurutan. Kerena itu kondisi yang menekan fungsi medulla atau integritas medulla spinalis serta persarafan akan mengakibatkan syok neurogenik (Tambayong, 2000). 2.5 Komplikasi 1. Henti nafas karena kompresi saraf frenikus diantara C3 dan C5 akibat kerusakan dan pembengkakan pada area cedera. 2. Hiperrefleksia otonom ditandai dengan tekanan darah yang tinggi disertai bradikardi, serta berkeringat dan kemerahan pada kulit wajah. 3. Cedera yang lebih berat akan mempengaruhi system tubuh, hal ini dapat mengakibatkan terjadinya infeksi pada ginjal dan saluran kemih, kerusakan kulit hingga terjadi dekubitus, danterjadi atrofi pada otot. 4. Depresi, stress pada keluarga dan pernikahan, kehilangan pendapatan, serta biaya medis yang besar sebagai respon dari psikososial (Corwin, 2009). 2.7 Pemeriksaan diagnostic 1. Sinar X spinal: menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur , dislokasi), untuk kesejajaran traksi atau operasi 2. Scan CT: menentukan tempat luka/jejas, mengevalkuasi gangguan structural 3. MRI: mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi 4. Mielografi: untuk memperlihatkan kolumna spinalis jika terda[at oklusi pada subaraknoid medulla spinalis 5. Rongent torak : untuk memperlihatkan keadan paru

33

6. Pemeriksaan fungsi paru: mengukur volume inspirasi maksimal dan ekpirasi maksimal terutama pada kasus trauma servikal bagian bawah 7. GDA : menunjukan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.

2.6 Penatalaksanaan 1. Imobilisasi pasien untuk mencegah semakin beratnya cedera medulla spinalis atau kerusakan tambahan 2. Kolaborasi tindakan pembedahan untuk mengurangi tekanan pada medulla spinalis akibat terjadinya trauma yang dapat mengurangi disabilitas jangka panjang. 3. Pemberian steroid dosis tinggi secara cepat (satu jam pertama) untuk mengurangi pembengkakan dan inflamasi medulla spinalis serta mengurangi luas kerusakan permanen. 4. Fiksasi kolumna vertebralis melalui tindakan pembedahan untuk mempercepat dan mendukung proses pemulihan. 5. Terapi fisik diberikan setelah kondisi pasien stabil. 6. Penyuluhan dan konseling mengenai komplikasi jangka panjang seperti komplikasi pada kulit, system reproduksi, dan system perkemihan dengan melibatkan anggota keluarga (Corwin, 2009). Sedangkan menurut Batticaca dan Fransisca B, (2008) penatalaksanaan syok spinal yaitu : 1. Lakukan konpresi manual untuk mengosongkan kandung kemih secara teratur agar mencegah terjadinya inkontinensia overfloe dan dribbling 2. Lakukan pengosongan rectum dengan cara tambahkan diet tinggi serat, laksatif, supposutoria, enema untuk BAB atau pengosomngan secara teratur tanta terjai inkontinensia.

34

ALGORITMA NEUROGENIC SHOCK

Gambar 2.8 Algoritma Neurogenic Shock menurut U.S. National Library of Medicine, National Institute of Health.

35

BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Contoh Kasus Bapak A, laki-laki usia 45 tahun bekerja sebagai supir masuk ke RS X karena mengalami kecelakaan mobil dengan keluhan utama kelemahan ekstremitas bagian bawah sejak 3 hari yang lalu. Bapak A merasa sesak napas dan terjadi kelemahan anggota gerak bagian bawah yang semakin memberat . tidak ada keluhan pada makan dan minumnya, pasien menggunakan colar neck. Lima hari sebelum masuk RS X pasien mengalami kecelakaan mobil. mobil bapak A menabrak mobil didepannya dan Bapak A tidak mengenakan sabuk pengaman. Kepala pasien terbentur stir mobil dan jok mobil. saat itu pasien pingsan selama sekitar 20 menit, perdarahan THT (-), muntah (-), dan pasien masih mengingat kejadian sebelum kecelakaan. Pasien mengalami kelemahan pada anggota gerak bagian bawah ,tekanan darah yang rendah, nadi cepat,pasien tampak gelisah, nyeri hebat di area leher bagian belakang dengan skala nyeri 7,sesak nafas, pasien pertama mencoba berobat ke pengobatan alternatif, disana pasien didoai dan ditarik kepalanya. Pasien mengompol saat buang air kecil sehingga terpasang kateter, pasien juga kesulitan buang air besar. Nyeri terasa ketika pasien melakukan aktivitas. 3.2 Pengkajian Keperawatan Primary Survey 1. Airway : Adanya sumbatan jalan nafas/obstruksi/adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk. 2. Breathing : sesak nafas (RR : 30x/menit) , nadi cepat (120x/menit) 3. Circulation : Tekanan darah rendah (90/60 mmHg) , CRT>2detik , 4. Disability : compos mentis , GCS 456 , 5. Exposure : Suhu 38 C , ada jejas pada pada cervical karena telah terjadi benturan.

36

Secondary Survey Beberapa hal penting yang perlu dikaji pada cedera Spinal Cord Injury adalah, sebagai berikut: tanyakan riwayat trauma yang dialami oleh klien ( apakah karena KLL, olahraga atau yang lain), kemudian tanyakan apakah ada riwayat penyakit degeneratif (seperti: osteoporosis, osteoartritis, dll), bagaimana mekanisme terjadinya trauma pada pasien, kemudian stabilisasi dan monitoring pada pasien, lakukan pemeriksaan fisik pada pasien: lihat KU pasien, ukur TTV, adakah defisit neurologis pada pasien, tanyakan bagaimana status kesadaran awal klien saat kejadian, lakukan tes refleks, motorik, lokalis (look, feel, move) pada pasien, fokuskan pada deformitas leher, memar pada leher dan bahu, memar pada muka atau abrasi dangkal pada dahi, lakukan pemeriksaan neurologi penuh. Data fokus, didapatkan dengan melakukan pengkajian 11 pola Gordon: 1. Aktifitas dan istirahat: kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal 2. Sirkulasi: berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, hipotensi, bradikardia ekstremitas dingin atau pucat. 3. Eliminasi: inkontinensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut, peristaltik usus hilang. 4. Integritas ego: menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas, gelisah dan menarik diri. 5. Pola makan: mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang 6. Pola kebersihan diri: sangat ketergantungan dalam melakukan ADL 7. Neurosensori: kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid, hilangnya sensai dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi pupil, ptosis. 8. Nyeri/kenyamanan: nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma, dan mengalami deformitas pada derah trauma. 9. Pernapasan: napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis 10. Keamanan: suhu yang naik turun

37

11. Seksualitas: priapismus (pada laki-laki), haid tidak teratur (pada wanita) (Doengoes, 1999) Pemeriksaan Diagnostik Hasil Laboratorium Pemeriksaan Hemoglobin Hematokrit Leukosit Angka normal 13,0 18,0 gr/dl 40 - 50% 4.000 11.000/mm3 Trombosit 150.000 400.000/mm3 LED Ureum Kreatinin darah GDS Na K Cl 0 10 mm/jam 10 50 mg/dl 0,9 1,3 mg/dl 70 - 115 mg/dl 136 145 mmol/l 3,5 -5,0 mmol/l 98-106 mmol/l 25 mm 23 mg/dl 126 mg/dl 105 meq/l 4,2 meq/l 73 meq/l 244.000/uL Hasil Lab 13,2 g/dl 36% 16.500/uL Keterangan

Foto X servikal : dislokasi C1-C2 MRI : Fraktur C1 dengan dislokasi ke posterior, stenosis berat medulla spinalsi setinggi C1 C2 BGA : menunjukkan ketidakefektifan pola nafas karena hasil dari analisa gas darah menunjukan alkalosis respiratorik. pH 7,607 pCO2 21,5 mmHg pO2 76,7 mmHg

38

SO2 79 % BE 0,0 mmol/L Terapi : O2 rebreathing mask 6lpm IVFD NaCl 0,9 % per 12 jam Imobilisasi leher dengan colar neck Metilprednisolon tab 4x8 mg Ranitidin 2x1 amp injeksi NaCl tab 3x500mg Periksa AGD ulang 6 jam kemudian Diagnosis kerja : Tetraparesis Diagnosisi klinis : tetraparesis, inkontinensia urin dan retensi alvi, hiponatremi, hipoklorida, alkalosis respiratorik, leukositosis Diagnosa patologis : fraktur, dislokasi 3.3 Asuhan Keperawatan Pengkajian Identitas Nama Umur Alamat Pekerjaan : Tn A : 45 tahun : Surabaya : Sopir mobil : compos mentis dan terpasang collar neck

Keadaan umum

39

Keluhan utama : mengeluh kelemaha ekstrimitas sejak 3 hari yang lalu semakin memberat Riwayat penyakit sekarang : Tn A mengalami kelemahan anggota gerak, nyeri di area cidera, sesak napas dan muntah Riwayat penyakit dulu lalu Riwayat Alergi :: klien mengalami kecelakaan lalu lintas 5 hari yang

Riwayat penyakit keluarga :Keadaan umum TD : 100/60 mmHg N : 80 x/menit RR : 29x/menit T: 38,5 C Review of System B1 : napas pendek, sesak B2 : berdebardebar, hipotensi, suhu naik turun B3 : Nyeri area cidera B4 : inkontinensia urin B5 : konstipasi, distensi abdomen, peristaltik usus menurun B6 : Quadriplegi 3.4 Analisis Data No 1. Data Etiologi Masalah keperawatan

DS : Pasien mengeluh Blok saraf parasimpatis Pola napas tidak sesak napas C1 C2 efektif DO : Pasien terlihat menggunakan alat bantu Kelumpuhan otot pernapasan

40

pernapasan, pucat dan Ekspansi paru menurun pernapasan cuping hidung Pola napas tidak efektif RR 29 x/mnt, pendek, cepat napas

2.

DS : Pasien mengeluh Blok saraf parasimpatis Gangguan sesak C1 C2 Pertukaran Gas DO : Pernapasan cuping hidung Kelumpuhan otot pernapasan

Hasil BGA menunjukkan Ekspansi paru menurun ketidakefektifan pertukaran gas dan upaya Jumlah oksigen darah ventilasi dan jaringan menurun PH: 7,607 normal) (Basa/tdk Gangguan pertukaran gas

3.

Karbondioksida menurun DO : Nadi teraba lemah (bradikardi) TD 100x/ menit

Syok spinal Hipotensi dan bradikardi Gangguan perfusi jaringan perifer Fraktur Memar, kerusakan laserasi sumsum Pelepasan mediator kimia Nyeri hebat

Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer

4.

DS : Pasien mengeluh nyeri hebat, tidak bisa tidur DO : Skala nyeri pasien 8, klien gelisah, suhu tubuh naik turun N : 80x/menit S : 38,5 C DS : pasien mengeluh reflek BAK hilang DO : pasien BAK secara involunter dan terpasan kateter

Gangguan rasa nyaman nyeri

5.

Fraktur servikal dan lumbal kompresi medula spinalis Gangguan fungsi

Perubahan pola eliminasi urine

41

vesika urinaria Inkontinensia urin Gangguan eliminasi Cidera servikal

6.

DS : pasien mengeluh tidak bisa BAB

Gangguan eliminasi alvi

Kompresi medula DO : peristaltik usus spinalis klien menurun, abdomen distensi Kelumpuhan saraf usus dan rektum Gangguan eliminasi alvi Fraktur servikal dan lumbal Kompresi medula spinalis Gangguan motorik sensorik Kelumpuhan Gangguan mobilitas

7.

Ds : Pasien mengalami kelemahan pada keempat anggota geraknya. DO : klien membutuhkan bantuan dalam pemenuhan ADL

Gangguan mobilitas fisik

3.5 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul 1. Pola napas tidak efektif b.d kelumpuhan otot pernapasan (diafragma), kompresi medula spinalis 2. Gangguan pertukaran gas b.d kekurangan oksigen 3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran balik vena dan penurunan curah jantung 4. Nyeri akut b.d kompresi saraf 5. Gangguan BAK berhubungan dengan penurunan isyarat

kandungkemih atau kerusakan kemampuan untuk mengenali isyarat kandungkemih sekunder terhadap cedera medulla spinalis. 6. Gangguan eliminasi alvi : Konstipasi b.d penurunan peristaltik usus akibat kerusakan persarafan usus dan rektum

42

7. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakanfungsi motorik dan sensori. 3.6 Rencana Tindakan Keperawatan 1. Ketidakefektifan Pola Nafas b.d gangguan persarafan pada kontrol gerak diafragma, kehilangan fungsi otot interkosta komplit/sebagian. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatn 3x24 jam, pasien diharapkan menunjukkan status pernapasan ventilasi tidak terganggu. Kriteria hasil : Pemeliharaan ventilasi yang memadai yang dibuktikan dengan tidak adanya gangguan pernapasan dan BGA dalam batas yang dapat diterima. Menunjukkan perilaku yang sesuai untuk mendukung upaya pernafasan Ventilasi adekuat PaCO2 < 45 PaO2 > 80 RR 16-20 x/menit Tidak ada tanda tanda sianosis : CRT < 2 detik

Intervensi Keperawatan Kelola oksigen dengan metode yang sesuai, misal masker, nasal kanul, intubasi. Berikan oksigen masker 3lpm Memelihara kepatenan jalan nafas: menjaga kepala dalam posisi yang tepat. Menggunakan jalan nafas tambahan Memeriksa serangan tibatiba dari dispnea, sianosis dan/atau tanda lain yang mengarah pada distress pernafasan. Auskultasi bunyi nafas.

Rasional Metode ditentukan oleh tingkat cedera, tingkat insufisiensi respirasi, dan jumlah pemulihan fungsi otot pernapasan setelah fase syok spinal. Menyediakan supply oksigen yang adekuat, meminimalkan resiko kelelahan, dan mencegah terjadinya ARDS. Pasien dengan cedera leher rahim tinggi dan gangguan muntah / batuk refleks akanm emerlukan bantuan dalam mencegah aspirasi / mempertahankan jalan napas paten Perkembangan emboli paru dapat silent karena persepsi nyeri mengalami perubahan dan/atau thrombosis vena dalam tidak mudah dikenali. Hiperventilasi secara umum dapat
43

Catat area dimana terjadi perubahan suara nafas Kaji warna kulit dari sianosi, kehitam-hitaman Kaji distensi abdomen, dan spasme otot

menyebabkan akumulasi sekret, atelektasis dan pneumonia (komplikasi yang sering terjadi) Dapat menunjukkan kegagalan pernafasan, membutuhkan segera evaluasi pengobatan dan intervensi. Dapat menghambat perjalanan diafragma, mengurangi kapasitas ekspansi paru dan lebih jauh dapat mengurangi fungsi respirasi

2. Gangguan pertukaran gas b.d kekurangan oksigen Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, pasien mempunyai status pernapasan : pertukatan gas tidak terganggu Kriteria Hasil: a. b. c. d. Status neurologis dalam rentang yang diharapkan Dispnea pada saat istirahat dan aktivitas tidak ada PaO2, PaCO2c, pH arteri dan SaO2 dalam batas normal Tidak ada gelisah, sianosis, dan keletihan.

Intervensi Rasional Pantau saturasi O2 dengan oksimeter Dengan memantau O2 perawat nadi mengetahui kecukupan pasien akan O2 Pantau hasil gas darah Indikasi normalnya pertukaran gas di tubuh yaitu BGA Pantau kadar elektrolit Pantau status mental Status mental menunjukkan status pertukaran gas Observasi terhadap sianosis, terutama sianosis adalah indikator mukosa mulut ketidakadekuatan pertukaran O2 di darah dan jaringan Identifikasi kebutuhan pasien akan Jika pasien tidak dapat bernapas normal insersi jalan napas aktual/potensial Auskultai bunyi napas, tandai area Mengetahui fungsi paru dalam penurunan atau hilangnya ventilasi dan adanya bunyi tambahan Pantau status pernapasan dan Jika status pernapasan adekuat, status oksigenasi pertukaran gas juga adekuat.

44

3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran balik vena dan penurunan curah jantung Tujuan : mengembalikan perfusi jaringan yang adekuat Kriteria hasil : a. Irama jantung/frekuensi dan nadi perifer normal, tidak ada sianosis, akral hangat dan kering, haluaran urin dalam batas normal. b. Mengidentifikasi faktor-faktor yang meningkatkan sirkulasi perifer c. Mengidentifikasi cara medis, diet, pengobatan, aktivitas, yang meningkatkan vasodilatasi d. Mengidentifikasi faktor yang menghambat sirkulasi Intervensi Pertahankan ekstrimitas dengan posisi tergantung Mempertahakan ekstrimitas hangat Auskultasi frekuensi dan irama jantung. Catat terjadinya bunyi jantung ekstra Observasi perubahan status mental Observasi warna dan suhu kulit/ membran mukosa Berikan cairan IV sesuai indikasi Rasional Memudahkan aliran darah turun ke perifer Menghindari hipotermi pada pasien akibat ketidakcukupan sirkulasi perifer Menghindari komplikasi atau faktor lain penyebab penurunan perfusi jaringan Menghindari pasien jatuh ke kondisi koma Observasi menentukan apakah perfusi jaringan kembali adekuat atau tidak Rehidrasi untuk mencukupi kebutuhan perifer.

4. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan sesorik Tujuan: Memperbaiki mobilitas Kriteria Hasil: Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur, footdrop, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yangsakit /kompensasi, mendemonstrasikan teknik /perilaku yangmemungkinkan melakukan kembali aktifitas.

45

Intervensi: Intervensi Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam. Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilantubuh dan kenyamanan pasien. Beri papan penahan pada kaki Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplits Lakukan ROM Pasif setelah 4872 setelah cedera 4-5 kali/hari Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien. Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam. Rasional Menetapkan kemampuan keterbatasan pasien setiap 4 jam. Mencegah terjadinya dekubitus.

dan

Mencegah terjadinya foodrop Mencegah terjadinya kontraktur. Meningkatkan stimulasi dan mencehag kontraktur. Menunjukan adanya aktifitas yang berlebihan. Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien setiap 4 jam.

5. Gangguan BAK berhubungan dengan penurunan isyarat kandungkemih atau kerusakan kemampuan untuk mengenali isyarat kandungkemih sekunder terhadap cedera medulla spinalis. Tujuan: Peningkatan eliminasi urine Kriteria Hasil: Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder tanparesidu dan distensi, keadaan urine jernih, kultur urine negatif, intake danoutput cairan seimbang. Intervensi:

Intervensi Rasional Kaji tanda-tanda infeksi saluran Efek dari tidak efektifnya bladder kemih adalah adanya infeksi saluran kemih. Kaji intake dan output cairan Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan efektifnya blodder. Lakukan pemasangan kateter Efek trauma medulla spinalis adlah sesuai program adanya gangguan refleks berkemihsehingga perlu bantuan dalam pengeluaran urine Anjurkan pasien untuk minum 2- Mencegah urine lebih pekat yang 3 liter setiap hari berakibat timbulnya Cek bladder pasien setiap 2 jam Mengetahui adanya residu sebagai
46

akibat autonomic hyperrefleksiaf. Lakukan pemeriksaan urinalisa, Mengetahui adanya infeksig. kultur dan sensitibilitas Monitor temperatur tubuh setiap Temperatur yang meningkat indikasi 8 jam adanya infeksi 6. Gangguan eliminasi Alvi/ konstipasi b.d gangguan perstyarafan usus dan rektum Tujuan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi alvi/konstipasi Kriteria hasil : pasien bisa BAB secara teratur sehari 1 kali Intervensi Rasional

Auskultasi bising usus, catat lokasi Bising usus mungkin tidak ada dan karakteristiknya selama syok spinal Observasi adanya distensi perut Catat adanya keluhan mual dan Perdarahan gastrointestinal dan ingin muntah, pasang NGT lambung mungkin terjadi akibat trauma dan stress Berikan diet seimbang TKTP cair Meningkatkan konsistensi feses

Kolaborasikan obat pencahar sesuai Merangsang kerja usus indikasi 7. Nyeri akut b.d kompresi saraf Tujuan : penurunan rasa nyeri

Kriteria hasil : pasien melaporkan penurunan rasa nyeri 2x24 jam, mengidentifikasi cara-cara mengatasi nyeri, pasien bisa mendemontrasikan teknik relaksasi da distraksi

Intervensi Keperawatan Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif. Ajarkan Relaksasi : Tehniktehnik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang

Rasional Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi, sehingga akan

47

dapat menurunkan intensitas mengurangi nyerinya. nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase. Ajarkan metode distraksi selama Mengalihkan perhatian nyerinya ke halnyeri akut. hal yang menyenangkan Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik. Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari. Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang. Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.

48

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Spinal syok (syok pada medula spinalis) termasuk syok distributif, terjadi karena volume darah secara abnormal berpindah tempat pada vaskuler seperti ketika darah berkumpul dalam pembuluh darah perifer . Neurogenik syok disebabkan oleh beberapa faktor yang menganggu CNS. Manifestasi klinis yang ditunjukkan yaitu hilangnya sensasi,control motorik, dan reflek dibawah cedera. Suhu didalam tubung akan menggambarkan suhu yang ada di lingkungan, kemudian tekanan darah akan menurun. Sedangkan frekuensi denyut nadi sering normal akan tetapi tetap disertai tekanan darah yang selalu rendah. 4.2 Saran Setelah anda mengetahui dampak dari syok spinal maka penting bagi kita untuk mengetahui cara menangani atau mencegah syok spinal agar tidak terjadi trauma yang lebih fatal atau parah lagi. Untuk kedepannya apabila terdapat korban dengan syok spinal, kita dapat melakukan penanganan gawat darurat sebagai pencegahan syok spinal.

49

DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, B Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika Bernhard et all, 2005. Spinal cord injury (SCI)Prehospital management. Journal Elsevier Resuscitation 66 (2005) 127139. Bhimji, S. 2014. Spinal cord trauma. U.S. National Library of Medicine U.S. Department of Health and Human Services National Institutes of Health. A.D.A.M., Inc B.K. Kwon et al. / The Spine Journal 4 (2004) 451464. Pathophysiology and pharmacologic treatment of acute spinal cord injury. Brunner & Suddath. 2001. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran Care of Patients With Head and Spinal Cord Injuries. chapter 22. http://evolve.elsevier.com/deWit halaman 549-557 Carpenito, Lynda Jual. 2009. Diagnosa Keperawatan: Aplikasi pada Praktik Klinik, Ed. 9. Jakarta: EGC Chin, L. S. 2013. Spinal Cord Injuries. American Association of Neurological Surgeons WebMD LLC Doengoes, E Marilyn. 1999. Rencana Keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien edisi 3. Jakarta: EGC Domeier et al/ 2005. Prehospital clinical findings associated with spinal injury. Prehospital Emerge Care ;1:115. Journal Elsevier Hanafiah, H. 2007. Penatalaksanaan Trauma Spinal. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007. Medan McDonald, John W, & Cristina Sadowsky. THE LANCET Vol 359 February 2, 2002. Spinal-cord injury Rowland. 2008.. Neurosurgery Focus. American Association of Neurological Surgeons 2008;25(5):E2 WebMD LLC Sherwood, Lauralee.2001.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, edisi kedua. Jakarta : EGC

50

Tidy, C. 2014. Spinal Cord Injury and Compression. EMIS Egton Medical Information System www.patient.co.uk/doctor/spinal-cord-injury-and-compression. Tambayong, J. 2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Thumbikat, et al. 2009. Acute spinal cord injury. Orthopaedics II: spine and pelvis. SURGERY 27:7 282 Elsevier Ltd. All rights reserved. Urden, Linda D., Mary E. Lough. 2013. Critical Care Nursing - Diagnosis and Management. Elsevier - Health Sciences Division White, James P, & Pradeep Thumbikat. 2012. Orthopaedics Ii: Spine And Pelvis. Surgery 30:7 326 _ 2012 Elsevier Ltd. All Rights Reserved..

51

Anda mungkin juga menyukai