*SISTEM PERSARAFAN*
NAMA KELOMPOK :
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmatnya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang membahas tentang PENGELOLAAN
PASIEN DENGAN KEGAWATDARURATAN GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN.
Terima kasih kami ucapkan kepada para pengajar atas bimbingan dan pendidikan yang
diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik.
Makalah ini merupakan hasil diskusi kelompok kami dengan materi asuhan
keperawatan sistem Persarafan Pembahasan di dalamnya kami dapatkan dari buku dan
browsing internet,.Dengan pemahaman berdasarkan pokok bahasan masalah asuhan
keperawatan gawat darurat. Kami sadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi
kesempurnaannya.Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat
bermanfaat khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan dan dapat dijadikan
pelajaran bagi teman teman dan kami khususnya.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................1
DAFTAR ISI...................................................................................................................2
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………………..4
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………..9
1.3 TUJUAN…………………………………………………………………..10
3.3 JURNAL………………………………………………………………….104
BAB VI : PENUTUP…………………………………………………………………110
4.1 KESIMPULAN…………………………………………………………...110
3
4.2 SARAN…………………………………………………………………...110
4
DAFTAR SINGKATAN
5
DAFTAR GAMBAR
6
DAFTAR TABEL
7
BAB I
PENDAHULUAN
d. Sel syaraf Motorik : serabut syaraf yang membawa rangsang dari otak
e. Sel Syaraf Konektor : sel syaraf motorik atau sel syaraf satu dengan sel syaraf lain
8
1.4 Sistematika Penulisan
1.4.1 BAB I Pendahuluan
yang berisikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan sistematika
penulisan.
1.4.2 BAB II Tinjauan Teoritis
Yang berisikan tentang teori yang berupa pengertian dan definisi yang diambil dari
kutipan buku maupun jurnal yang berkaitan dengan asuhan keperawatan gawat
darudat dengan percobaan bunuh diri dan perilaku kekerasan yang berbentuk LP
(laporan pendahuluan).
1.4.3 BAB III Studi Kasus
Yang berisikan tentang studi kasus dari materi asuhan keperawatan percobaan bunuh
diri atau perilaku kekerasan dan pembahasan tentang studi kasus yang dibuat serta
jurnal pendukung.
1.4.4 BAB IV Penutup
Yang berisikan tentang kesimpulan dari semua materi yang telah dibuat dan saran
untuk para pembaca.
9
BAB II
KONSEP TEORI
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala merupakan adanya pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan atau
tanpa kehilangan kesadaran (Wijaya & Putri,2013).
2.1.2 Epidimiologi
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pengguna
kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya kesadaran untuk
menjaga keselamatan di jalan raya (Baheram, 2007). Lebih dari 50%kematian disebabkan
oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang
mengalami cedera kepala, 75.000 diantaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang
yang selamat akan mengalami disabilitas permanen (Widiyanto, 2010).
Cedera kepala juga menjadi penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak
dan orang dewasa umur 1-45 tahun. Cedera kepala sedang dan berat menjadi faktor penyebab
peningkatan kasus penyakit Alzheimer 4,5 kali lebih tinggi (Turliuc, 2010). Setiap tahun di
Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus cedera kepala, 52.000 pasien meninggal dan
selebihnya dirawat inap. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit.
Yang sampai di rumah sakit, 80% 12 dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR),
10
10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat
(CKB). Cedera kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma
yang dikaitkan dengan kematian (CDC, 2010).
Klasifikasi
klasifikasi cedera kepala menurut patofisiologinya dibagi menjadi dua: (Amid Huda
Nurarif,2015)
11
1. GCS 3 – 8
2. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
cakap, WOT 4
Bingung dapat bercakap tapi
disorientasi 3
mengerang
Tidak bersuara dgn rangsang
nyeri
3. Respon Motorik Nilai
Mematuhi perintah 6
5
Menunjuk lokasi nyeri 4
Reaksi fleksi
3
Fleksi abnormal thdp nyeri
2
(postur dekortikasi) 1
Ekstensi abnormal
Tidak ada respon, flaksid
Tingkat kesadaran :
1) Compos mentis (sadar penuh) nailainya : 15-14
12
2) Apatis (acuh tak acuh) nilainya : 12-13
3) Delirium ( membrontak/mengamuk) nilai : 9-11
4) Somnolen (mau tidur saja) nilai : 7-8
5) Stupor (semikoma, keadaan yang menyerupai koma) nilai 4-6
6) Koma ( keadaan kesadaran yang hilang sama sekali) nilai 3) Pendarahan yang dapat di
temukan pada cedera kepala:( M.Clevo Rendy, Margareth TH,2012)
I. Epidural Hematom
Hematom antara duramater dan tulang, biasanya sumber pendarahannya
adalah robeknya arteri meningal media. Di tandai dengan penurunan kesadaran
dengan ketidaksamaan neurologis sisi kiri dan kanan ( hemiparese atau hemiplegi,
pupil anisokor, reflek patologis satu sisi).
II. Subdural hematoma (SDH)
Hematoma di bawah lapisan duramater dengan sumber pendarahan dapat
berasal dari bridging vein, sinus venous. Subdural hematoma adalah terkumpulnya
darah antara duramater dan ajringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi
akibat pecahnya pembuluh darah vena, pendarahan lambat dan sedikit.
Subarachnoid Hematom (SAH)
III. Intracerebral Hematom
Pendarahan intracerebral adalah pendarahan yang terjadi pada jaringan otak
biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Indikasi
dilakukan operasi adanya daerah hiperdens, diameter > 3cm, perifer, adanya
pergeseran garis tengah.
2.1.3 Fatofisiologi
a) Etiologi
Mekanisme cidera kepala meliputi cedera akselerasi,deselerasi,akselerasi-
deselerasi,coup-countre coup,dan cedera rotasional.
- Cedera Akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak
(missal alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan kekepala).
- Cedera Deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam,seperti
pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan mobil.
- Cedera Akselerasi-Deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan
bermotor dan episode kekerasan fisik.
13
- Cedera Coup-countre coup terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak
bergerak dalam ruang cranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang
berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentur. Sebagai contoh pasien
dipukul di bagian belakang kepala.
- Cedera rotasional terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar dalam
rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam
substansi alba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian
dalam rongga tengkorak. ( Amid Huda Nurarif,2015)
b) Proses
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah
ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg
%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan
terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.( M.Clevo Rendy, Margareth
TH,2012)
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh
darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam
laktat akibat metabolisme anaerob.( M.Clevo Rendy, Margareth TH,2012)
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi .
Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol
otak tidak begitu besar.( M.Clevo Rendy, Margareth TH,2012)
a) Manifestasi klinis
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebungungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
14
6. Pusing kepala
7. Terdapat hematoma
8. Kecemasan
9. Sukar untuk dibangunkan
10. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
b) komplikasi
1. Hemorrhagie
2. Infeksi
3. Edema
4. Herniasi
15
2.1.4 Patway
Cedera Kepala
CK terbuka Resiko
Infeksi Terputusnya Jaringan otak rusak
kontinuitas jaringan (kontosio laserasi
Ringan Berat tulang
Perubahan autoregulasi
Terputusnya Sekresi
kontinuitas prostaglandin,histamine, Aliran darah ke otak
jaringan kulit brandikinin,leukotrien, menurun
(ringan/berat) ,otot
dan vaskuler
Nyeri akut Hipoksia CO2
Pendarahan hematoma
Ketidakefektifan perfusi
Perubahan sirkulasi CSS jaringan serebral
16
2.1.5 Pemeriksaan penunjang
a. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui
adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
b. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
c. Cerebral Angiography : Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
d. Serial EEG : Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
e. X-Ray : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
f. BAER : Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
g. PET : Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
h. CSF, Lumbal Punksi : Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
i. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intracranial.
j. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial.
k. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran
2.1.6 Penatalaksanaan Medis
a. Observasi 24 jam
b. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terebih dahulu. Makanan atau
cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya cairan infus dextrosa 5% .
Amnifusin, Aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan ), 2-3 hari
kemudian diberikan makanan lunak.
c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
d. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring.
e. Terapi obat-obatan:
Dexametasone atau kalmetahosen sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
17
Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa
40% atau gliserol 10%
Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin) atau infeksi anaerob
diberikan metronindasol.
Rencana Pemulangan
1. Jelaskan tentang kondisi pasien yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
2. Ajarkan keluarga untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran,
perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.
3. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari
pemberian obat.
4. Ajarkan keluarga untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah,
mempertahankan jalan nafas selama kejang.
5. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari
di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan
latihan ROM bila anak mengalami gangguan mobilitas fisik.
6. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
7. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
8. Ajarkan pada keluarga bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial.
1. Pengkajian
18
3. Tekanan darah sistolik dan diastole menunjukan adanya tanda syok
hipovolemik,hitung MAP, CRT lebih dari 3 detik maka perlu segera pasang
intra venous line berikan cairan kristaloid ringer laktat untuk dewasa
pemberian awal 2 liter,dan pada anak 20cc/kgg,bila pada anak sulit
pemasangan intra venous line bisa dilakukan pemberian cairan melalui
akses intra oseus tetapi ini dilakukan pada anak yang umurnya kurang dari
6 tahun.
4. Setelah diberikan cairan pertama lihat tanda-tanda vital. Sudah pasti ada
pendarahan maka kehilangan 1cc darah harus diganti dengan 9 cairan
kristaloid 3cc atau bila kehilangan darah 1cc maka diganti dengan darah
1cc (sejumlah darah)
5. Setelah itu dikaji disability dengan menilai tingkat kesadaran klien baik
dengan menilai menggunakan skala AVPU :Alert(klien sadar),Verbal
(klaen berespon dengan dipanggil namanya),Pain (klien baru berespon
dengan menggunakan rangsang nyeri), dan Unrespon baik dengan verbal
ataupun dengan rangsang nyeri).
6. Eksposure dan environment control buka pakaian klien lihat adanya
jejas,perdarahan dan bila ada perdarahan perlu segera ditangani bisa dengan
balut tekan atau segera untuk masuk ke kamar operasi untuk dilakukan
lapratomy eksplorasi.
7. Pasang kateter untuk menilai output cairan, terapi cairan yang diberikan
dan tentu saja hal penting lainnya adalah untuk melihat adanya pendarahan
pada urine.
8. Pasien dipuasakan dan pasang NGT (Nasogastrik tube) untuk
membersihkan perdarahan saluran cerna ,meminimalkan resiko mual dan
aspirasi ,serta bila tidak ada kontra indikasi dapat dilakukan lavage.
9. Observasi statusmental ,vomitus,nausea,rigid/kaku/,bising usus,urine
output setiap 15-30 menit sekali. Catat dan laporkan segera bila terjadi
perubahan secara cepat seperti tanda-tanda peritonitis dan pendarahan.
10. Jelaskan keadaan penyakit dan prosedur perawatan pada pasien bila
memungkinkan atau kepada penanggung jawab pasien hal ini
dimungkinkan atau kepada penanggung jawab pasien hal ini dimungkinkan
untuk meminimalkan tingkat kecemasan klien dan keluarga
19
11. Kolborasi pemasangan Central Venous Pressure (CVP) untuk melihat
status hidrasi klien,pemberian antibiotika,analgesic dan tindakan
pemeriksaan yang diperlukan untuk mendukung pada diagnosis seperti
laboratorium (AGD,hematology,PT,APTT,hitung jenis leukosit
dll),pemeriksaan radiology dan bila perlu kolaborasi setelah pasti untuk
tindakan operasi laparatomi eksplorasi.
Give Comfort (PQRST)
- Nyeri pada kepala
- Kaji nyeri dengan
P: Penyebab timbul rasa nyeri
Q: Seberapa berat keluhan nyeri
R: Lokasi dimana terjadinya nyeri
S: Skala dapat dilihat menggunakan GCS untuk gangguan kesadarn ,skla
nyeri/ ukuran lain yang berkaitan dengan keluhan.
T: Kapan keluhan nyeri ditemukan/dirasakan
b) Pengkajian Sekunder
Pemeriksaan fisik head to toe
1. Kulit/imtegumen:
a. Inspeksi (Lesi, warna)
b. Palpasi (teksture, kelembaban, edema)
2. Kepala
a. Inspeksi (bentuk, warna, kebersihan)
b. Palpasi (Ukuran)
3. Kuku
a. Inspeksi (Ketebalan, warna)
b. Palpasi (Sirkulasi)
4. Mata/penglihatan
a. Inspeksi (Bentuk, sclera, konjungtiva)
b. Palpasi (Adanya peradangan)
5. Hidung
a. Inspeksi (bentuk, polif)
b. Palpasi (Adanya peradangan)
6. Telinga
a. Inspeksi (Bentuk, posisi)
20
b. Palpasi (Adanya peradangan)
7. Mulut dan Gigi
a. Inspeksi (Bentuk, warna)
b. Palpasi (adanya peradangan)
8. Leher
a. Inspeksi (Bentuk, kekakuan)
b. Palpasi (Pembengkakan kelenjar tiroid, tekanan vena jugularis)
9. Dada
a. Inspeksi (Bentuk, pola nafas)
b. Palpasi (Letak atau posisi)
c. Perkusi (Mengetuk bagian dada)
d. Auskultasi (Bunyi atau irama)
10. Abdomen
a. Inspeksi (Bentuk)
b. Palpasi (meraba adanya hepar)
c. Perkusi (Mengetuk bagian abdomen)
d. Auskultasi (mendengar bisisn usus )
11. Genetalia
a. Inspeksi (Kebersihan)
b. Palpasi (Pembengkakan)
12. Extremitas atas dan bawah
a. Inspeksi (Bentuk, gerak)
b. Palpasi (Nyeri tekan)
c. Pemeriksaan fisik
1. B1 (Breathing)
Inspeksi : Didadaptakan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Terdapat retraksi
klavikula/ dada, pengembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada : dinilai penuh/ tidak
penuh dan kesimetrisannya. Ketidak simetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis,
lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pnemothoraks, atau penempatan
endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang tepat. Pada observasi ekspansi dada juga
perlu dinilai : retraksi dari otot – otot interkostal, substernal, pernapan abdomen, dan
respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot –
otot interkostal tidak mampu menggerakkan dinding dada.
21
Palpasi : Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan
apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.
Perkusi : Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma pada
thoraks/ hematothoraks.
Auskultasi : Bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi pada
klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun sering
didapatkan pada klien cedera kepala dengan penurunan tingkat kesadaran koma.
2. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok) hipovolemik yang
sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan berat.Hasil pemeriksaan
kardiovaskuler klien cedera kepala pada beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan
darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takikardia dan aritmia. Frekuensi nadi cepat
dan lemah berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan
kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia merupakan tanda dari perubahan perfusi
jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menandakan adanya penurunan kadar hemaglobin
dalam darah. Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda -tanda
awal dari suatu syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala akan
merangsang pelepasan antidiuretik hormon (ADH) yang berdampak pada kompensasi
tubuh untuk mengeluarkan retensi atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus.
Mekanisme ini akan meningkatkan konsentrasi elektolit meningkat sehingga
memberikan resiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem
kardiovaskuler.
3. B3(Brain)
Tingkat kesadaran : Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan. Pada keadaan lanjut
22
tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor,
semikomatosa, sampai koma.
Pemeriksan fungsi serebral
Status mental : Observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien
dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik pada klien cedera kepala tahap
lanjut biasanya status mental mengalami perubahan.
Fungsi intelektual : Pada keadaan klien cedera kepala didapatkan penurunan dalam
ingatan dan memori baik jangka pendek maupun jangka panjang
Lobus frontal : Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan bila trauma
kepala mengakibatkan adanya kerusakan pada lobus frontal kapasitas, memori atau
fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak disfungsi ini dapat
ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan
kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustasi dalam
program rehabilitasi mereka. Masalah psikologi lain juga umum terjadi dan
dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan, frustasi, dendam da kurang
kerja sama.
Hemisfer : Cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparase sebelah kiri tubuh,
penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga
kemungkinan terjatuh kesisi yang berlawanan tersebut. Cedera kepala pada hemisfer
kiri, mengalami hemiparase kanan, perilaku lambat dan sangat hati – hati, kelainan
bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia dan mudah frustrasi
Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I : Pada beberapa keadaan cedera kepala didaerah yang merusak anatomis dan
fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan pada fungsi penciuman/anosmia
unilateral atau bilateral.
Saraf II : Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan lapangan
penglihatan dan menggangu fungsi dari nervus optikus. Perdarahan diruang
intrakranial, terutama hemoragia subarakhnoidal, dapat disertai dengan perdarahan
diretina.
Saraf III, IV da VI : Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien dengan
trauma yang merusak rongga orbital. pada kasus-kasus trauma kepala dapat dijumpai
anisokoria. Gejala ini harus dianggap sebagai tanda serius jika midriasis itu tidak
bereaksi pada penyinaran. Tanda awal herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak
bereaksi pada penyinaran. Paralisis otot – otot okular akan menyusul pada tahap
23
berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat anisokoria dimana bukannya midriasis
yang ditemukan, melainkan miosis yang bergandengan dengan pupil yang normal pada
sisi yang lain, maka pupil yang miosislah yang abnormal. Miosis ini disebabkan oleh
lesi dilobus frontalis ipsilateral yang mengelola pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu
berarti pusat siliospinal menjadi tidak aktif sehingga pupil tidak berdilatasi melainkan
berkonstriksi.
Saraf V : Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis nervus
trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan menguyah
Saraf VII : Persepsi pengecapan mengalami perubahan
Saraf VIII : Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala ringan biasanya
tidak didapatkan penurunan apabila trauma yang terjadi tidak
melibatkan saraf vestibulokoklearis
Saraf IX dan Xl : Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.
Saraf XI : Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup baik dan
tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Saraf XII : Indra pengecapan mengalami perubahan
.Sistem motorik
Inspeksi umum : Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada
sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis (kelemahan salah satu sisi tubuh) adalah tanda
yang lain. Tonus otot : Didapatkan menurun sampai hilang.Kekuatan otot : Pada
penilaian dengan menggunakan grade kekuatan otot didapatkan grade O.
Keseimbangan dan koordinasi : Didapatkan mengalami gangguan karena hemiparase
dan hemiplegia.
Pemeriksaan reflek
Pemeriksaan reflek dalam : Pengetukan pAda tendon, ligamentum atau periosteum
derajat refleks pada respon normal.
Pemeriksaan refleks patologis : Pada fase akut refleks fisiologis sisi yag lumpuh akan
menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahului
dengan refleks patologis.
Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipertensi persepsi adalah ketidakmampuan untuk menginterpretasikan
sensasi. Disfungsi persepsivisual karena gangguan jaras sensorik primer diantara mata
dan korteks visiul. Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa kerusakan
sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan kehilangan propriosepsi (kemampuan
24
untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam
menginterpretasikan stimulasi visual, taktil dan auditorius.
4. B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik, termasuk berat jenis.
Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat
menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera kepala klien mungkin mengalami
inkontinensia urine karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan,
dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan
postural. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang.
Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia
urine yang berlanjut menunjukan kerusakan neurologis luas.
5. B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah
pada fase akut. Mual dan muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya
terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Pemeriksaan rongga mulut dengan
melakukan penilaian ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat
menunjukan adanya dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau
tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen.
Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis.
Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus dapat terjadi
akibat tertelannya udara yag berasal dari sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal.
d. Tulang (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh ekstremitas. Kaji
warna kulit, suhu kelembapan dan turgor kulit. Adanya perubahan warna kulit warna
kebiruan menunjukan adanya sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir
dan membran mukosa). Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan
dengan rendahnya kadar haemaglobin atau syok. Pucat dan sianosis pada klien yang
menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia. Joundice (warna
kuning) pada klien yang menggunakan respirator dapat terjadi akibat penurunan aliran
darah portal akibat dari penggunaan pocked red cells (PRC) dalam jangka waktu lama.
Pada klien dengan kulit gelap. Perubahan warna tersebut tidak begitu jelas terlihat.
25
Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya demam dan infeksi. Integritas
kulit untuk menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesukaran untuk beraktivitas
karena kelemahan, kehilangan sensorik atau paralisis/ hemiplegia, mudah lelah
menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
e. Pengkajian “SAMPLE” :
a. S(sign and Symptomps) : tanda dan gejala yang diobservasi dan dirasakan klien
b. A(allergies) : alergi yang dipunyai klien
c. M (medications) : obat yang diminum oleh klien untuk mengatasi masalah.
d. P ( Past illness) : riwayat penyakit yang di derita klien
e. L ( Last Meal) : apa makanan/ minuman terakhir dimakan atau di minum dan kapan
f. E (event ) : pencetus? Kejadian penyebab keluahan yang dirasa oleh klien.
f. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Biasanya klien merasakan rasa tidak enak pada dada kemudian di ikuti nyeri.
2. Riwayat penyakit sekarang
Tanyakan penyebab terjadinya nyeri dada bagaimana gambaran rasa nyerinya, apakah
menjalar atau tidak, ukur skala nyeri, dan kapan keluhan dirasakan.
3. Riwayat penyakit dulu
Tanyakan apakah pasien pernah menderita penyakit parah sebelumnya
4. Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah keluarga klien ada yang menderita penyaki yang sama dengan klien.
g. Pemeriksaan penunjang
a) CT-Scan
b) MRI
c) Cerebral
d) Serial EEG
e) X-Ray
f) BAER
g) PET :
i) ABGs
26
j) Kadar Elektrolit
k) Screen Toxicologi
2. Analisa data
N Symptom Etiologi problem
o
1 Do: - GCS klien Kecelakaan Ketidakefektifan
turun,gelisah perfusi jaringan
Mual,muntah Cedera Kepala serebral
Pupil anisokor
TD meningkataldigin Intra kranial
- Sianosis pada Jaringan otak rusak
kuku (kontosio laserasi
27
kepalanya Nafas cepat dan dangkal
- Nafas tidak
teratur
Ds : - keluarga
mengatakan klien terlihat
sesak nafas
- Keluarga
mengatakan
bunyi nafas
klien terdengar
ngorok
3 Do: - KU : lemah, gelisah Kecelakaan Nyeri akut
- Nyeri tekan Cedera Kepala berhubungan
pada kepala dengan agen cidera
Tulang cranial fisik
- Klien tampak Terputusnya kontiniutas jaringan
menahan nyeri tulang
- Skala nyeri 6
Sekresi
Ds: - klien mengeluh prostaglandir,histamine,brandikinin
kesakitan menahan nyeri , leukotrien
kepala
28
3.Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien cidera kepala
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan
aliran darah ke otak.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas.
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan imunitas port de entry
mikroorganisme.
5. Ketidakseimbangn nutrisi kurang dari kebuthan tubuh berhubungan
dengan peningkatan TIK ditandai dengan anoreksia.
4.Intervensi
No Diagnosa NOC NIC Rasional
tekanan
intracranial
-Peningkatan
kesadaran,
GCS ≥ 13
30
reguler, RR. pasien
16-24 untuk
ventilasi (minimal
- bebas C: Kolaborasi
sianosis terapi
dengan oksigen
batas
normal
pasien,
- kepatenan
jalan nafas
dapat
dipertahank
an
3 Nyeri akut berhubungan Setelah dilakuan O: Teliti - Mengidentifikasi
dengan agen cidera fisik
tindakan keluhan karakteristik
E: Berikan memilih
kenyamanan, sesuai.
misal - Menfokuskan
pedoman kembali
imajinasi, perhatian,
visualisasi, meningkatkan
berikan koping.
aktivitas - Tindakan
hiburan, alternatif
dengan untuk
pemberian menghilangkan
indikasi menghilangkan
analgesik;
antiansietas
misal
diazepam
(valium
teknik cuci
tangan
E: Anjurkan
klien untuk
memenuhi
nutrisi dan
hidrasi yang
adekuat.
C: Kolaborasi
pemberian
atibiotik sesuai
indikasi.
5 Ketidakseimbangan nutrisi setelah O: kaji intake -untuk mengetahui
kurang dari kebutuhan tubuh dilakukan nutrisi pasien status nutrisi pasien
berhubungan dengan tindakan asuhan N: beri pasien -untuk memberikan
peningkatan TIK ditandai keperawatan diit asupan nutrisi
dengan anoreksia selama E: anjurkan -untuk menambah
….x….jam pasien untuk nutisi pada tubuh
diharapkan makan pasien
nutrisi pasien sedikit tapi
seimbang sering
dengan kriteria C: Kolaborasi -untuk pemberian
hasil. dengan ahli nutrisi
-adanya gizi dalam
peningkatan pemberian
berat badan nutrisi
sesuai dengan
tujuan
-mampu
mengidentifikasi
kebutuhan
34
nutrisi
-tidak ada tanda-
tanda malnutrisi
-tidak terjadi
penurunan berat
badan
5.Implementasi
Dalam tahap ini akan dilaksanakan tindakan yang disesuaikan dengan rencana
keperawatan.
6.Evaluasi
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan aliran
darah ke otak.
- tidak ada pusing atau sakit kepala
- Tidak terjadi peningkatan tekanan intracranial
.- Peningkatan kesadaran, GCS ≥ 13
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas.
- Klien tidak mengatakan sesak nafas
-Retraksi dinding dada tidak ada, dengan tidak ada otot-otot dinding dada.
-Pola nafas reguler, RR. 16-24 x/menit, ventilasi adekuat
- bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien,
- kepatenan jalan nafas dapat dipertahankan
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik.
-Sekala nyeri berkurang 3-1
- Klien mengatakan nyeri mulai berkurang, ekspresi wajah klien rileks
4. Resiko infeksi berhubungan dengan imunitas port de entry mikroorganisme.
-Bebas tanda-tanda infeksi, Mencapai penyembuhan luka tepat
Waktu
-Suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5O)
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peningkatan TIK ditandai dengan anoreksia.
-Nutrisi seimbang
- tidak ada tanda-tanda malnutrisi
35
2.2 Konsep Dasar Penyakit Stroke
Stroke didefinisikan sebagai sebuah sindrom yang memiliki karakteristik tanda dan
gejala neurologis klinis fokal dan atau global yang berkembang dengan cepat. Adanya
gangguan fungsi sereberal dengan gejala yang berlangsung lebih dari 24 jam atau
menimbulkan kematian tanpa terdapatpenyebab selain yang berasal dari vesikuler
(Christanto, dkk,2014).
Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah
kebagian otak. Stroke atau cedera serebrovaskular adalah masalah neurologik primer di
Amerika Serikat dan di dunia. (Brunner dan Suddarth, 2012).
2.2.2 Epidemiologi
Stroke adalah penyakit kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai
darah ke bagian otak. Berdasarkan data WHO, di seluruh dunia tahun 2002 diperkirakan 5,5
juta orang meninggal akibat stroke. Di Asia khususnya Indonesia kasus stroke menduduki
peringkat pertama, setiap tahun diperkirakan 500 ribu orang mengalami serangan stroke.
Sekitar 28,5% klien dengan penyakit stroke di Indonesia meninggal dunia dan diperkirakan
tahun 2020 penyakit jantung dan stroke menjadi penyebab utama kematian di dunia
( Yayasan Stroke Indonesia, 2009).
Prevalensi stroke hemoragik di Jawa Tengah tahun 2011 adalah 0,03% sama dengan
angka tahun 2010. Prevalensi tertinggi tahun 2011 adalah di Kota Magelang sebesar 1,34%.
Sedangkan prevalensi stroke non hemoragik pada tahun 2011 sebesar 0,09%, sama dengan
prevalensi tahun 2010. Prevalensi tertinggi adalah di Kota Magelang sebesar 3,45% (Depkes
Jateng, 2011).
Dari hasil observasi di instalasi Gawat Darurat RSUD Sragen dari tanggal 2-28 juli
2012, penyakit stroke hemoragik merupakan penyakit yang jumlah kasusnya mencapai
41,5% dari 53 kasus gangguan cerebrovaskuler dan 2,89% dari 1833 kunjungan pasien di
IGD selama 1bulan.
2.2.3 Klasifikasi
Stroke di bagi menjadi dua yaitu stroke iskemik 70 – 80 % dan hermoragik (20 – 30%).
Stroke isemik terjadi ketika pembuluh darah ke otak mengalami sumbatan. Stroke
hermoragik terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang menuju ke otak. Stroke iskemik di
36
bagi menjadi 2 yaitu sumbatan akibat thrombus dan sumbatan akibat emboli. Stroke
perdarahan di bagi menjadi 2 yaitu stroke perdarahan intraserbal ( pada jaringan otak ) dan
stroke perdarahan subarachoid( di bawah jaringan pemungkus otak). (Christanto, dkk. 2014).
Gambar 1 : Stroke Hemoragik
Gambar 2 : Stroke Iskemik
2.2.4 Patofisiologi
a) Etiologi
1. Trombus Serebral
Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehinnga
menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan kongesti
disekitarnya.
2. Emboli
Emboli serebri merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah,
lemak dan udara. Emboli menyebabkan edema dan nekrosis diikuti thrombosis.
3. Iskemia
Penurunan aliran darah ke area otak.
b) Proses
Stroke non hemoragik disebabkan oleh trombosis akibat plak aterosklerosis yang
memberi vaskularisasi pada otak atau oleh emboli dari pembuluh darah diluar otak yang
tersangkut di arteri otak yang secara perlahan akan memperbesar ukuran plak sehingga
terbentuk thrombus.
Trombus dan emboli di dalam pembuluh darah akan terlepas dan terbawa hingga
terperangkap dalam pembuluh darah distal, lalu menyebabkan pengurangan aliran darah
yang menuju ke otak sehingga sel otak akan mengalami kekurangan nutrisi dan juga
oksigen, sel otak yang mengalami kekurangan oksigen dan glukosa akan menyebabkan
asidosis lalu asidosis akan mengakibatkan natrium, klorida, dan air masuk ke dalam sel
37
otak dan kalium meninggalkan sel otak sehingga terjadi edema setempat. Kemudian
kalsium akan masuk dan memicu serangkaian radikal bebas sehingga terjadi perusakan
membran sel lalu mengkerut dan tubuh mengalami defisit neurologis lalu mati (Esther,
2010).
Ketidakefektifan perfusi jaringan yang disebabkan oleh trombus dan emboli akan
menyebabkan iskemia pada jaringan yang tidak dialiri oleh darah, jika hal ini berlanjut
terus-menerus maka jaringan tesebut akan mengalami infark. Dan kemudian akan
mengganggu sistem persyarafan yang ada di tubuh seperti : penurunan kontrol volunter
yang akan menyebabkan hemiplagia atau hemiparese sehingga tubuh akan mengalami
hambatan mobilitas, defisit perawatan diri karena tidak bisa menggerakkan tubuh untuk
merawat diri sendiri, pasien tidak mampu untuk makan sehingga nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh. Defisit neurologis juga akan menyebabkan gangguan pencernaan
sehingga mengalami disfungsi kandung kemih dan saluran pencernaan lalu akan
mengalami gangguan eliminasi. Karena ada penurunan kontrol volunter maka
kemampuan batuk juga akan berkurang dan mengakibatkan penumpukan sekret sehingga
pasien akan mengalami gangguan jalan nafas dan pasien kemungkinan tidak mampu
menggerakkan otot-otot untuk bicara sehingga pasien mengalami gangguan komunikasi
c) Manifestasi Klinis
1. Hipertensi 7
2. Gangguan motoric
Disfungsi motoric paling umum adalah hemirolegial paralis pada salah satu
sisi dan hemiparesis (kelemahan salah satu sisi) dan disfugia.
3. Gangguan sensori
4. Gangguan komunikasi verbal
a. Nyeri kepala
b. Vertigo
c. Penurunan kesadaran
d. Proses kencing terganggu
e. Gangguan daya ingat
( Misbach,2011)
d) Komplikasi
1. Hipoksia serebral
38
2. Penurunan aliran darah serebral
3. Luasnya area cidera
4. Distritmia dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan penghentian
thrombus lokal.
( Misbach, 2011 )
39
2.2.5 WOC Stroke
Thrombus serebral
Emboli
40
2.2.6 Pemeriksaan penunjang
a. Elektrokar diografi
b. Laboratorium ( Kimia darah, Fungsi ginjal hemotologi, hemastosi, gula darah, unilasis,
analisi gas darah, dan elektrolit.
c. Foto toraks untuk melihat adanya gambaran kardiomegati sebagi penanda adanya
hipertensi untuk fakta resiko stroke
d. CT scan / MRI, gambaran hipodens / hipoitens di dapatkan pada stroke isemik dan
hiperdens / hipertens pada stok hemarogik pada tiwi
e. Trascranial dopler (TCD) dan doppler karotis antara lain untuk melihat adanya
penyumbatan dan patensi dinding pembuluh darah sebagai resiko stock
f. Analis cairan serebrospinal jika di pelukan
(Christanto, dkk. 2014)
41
Neuroproteksi adalah konsep terapi yang memperpanjang toleransi otak terhadap
iskemik. Obat yang menghentikan jalur eksitasi asam amino telah dibuktikan dapat
melindungi neuron dan gila pada hewa, tetapi belum pernah ada bukti penelitian tersebut
berhasil pada manusia. (Smith et al 2011).
42
Eye (penilaian maksimal 4)
4 : spontan
3 : dengan perintah
2 : rangsangan nyeri
1 : no respon
Verbal (penilaian maksimal 5)
5: tidak ada disorientasi
4 : bicara tidak jelas
3: kata tidak jelas
2 : mengarang
1 : no respon
Movement (penilaian maksimal 6)
6 : memenuhi perintah
5 : mengetahui lokasi nyeri
4 : menghindari rasa nyeri ( rangsangan)
3 :menghindari reaksi pleksi abnormal
2 : menghindari ekstensi abnormal
1 : no respon
Tingkat kesadaran :
7) Compos mentis (sadar penuh) nailainya : 15-14
8) Apatis (acuh tak acuh) nilainya : 12-13
9) Delirium ( membrontak/mengamuk) nilai : 9-11
10) Somnolen (mau tidur saja) nilai : 7-8
11) Stupor (semikoma, keadaan yang menyerupai koma) nilai 4-6
12) Koma ( keadaan kesadaran yang hilang sama sekali) nilai 3
5) Pemeriksaan fisik ( Head To Toe )
1. Kulit/integument :
a. Inspeksi ( Lesi,warna )
b. Paloasi ( tekstur, kelembaban, edema)
2. Kepala
a. Inspeksi ( bentuk, warna, kebersihan )
b. Palpasi ( ukuran )
3. Kuku
a. Inspeksi ( ketebalan, warna )
43
b. Palpasi ( sirkulasi )
4. Mata/penglihatan
a. Inspeksi (bentuk, sclera, konjungtiva)
b. Palpasi ( adanya peradangan )
5. Hidung
a. Inspeksi (bentuk, polif )
b. Palpasi ( adanya peradangan )
6. Telinga
a. Inspeksi ( bentuk, posisi )
b. Palpasi (adanya peradangan )
7. Mulut dan Gigi
a. Inspeksi ( bentuk, warna )
b. Palpasi ( adanya peradangan )
8. Leher
a. Inspeksi ( bentuk, kekakuan )
b. Palpasi (pembengkakan kelenjar tiroid,tekanan vena jugularis )
9. Dada
a. Inspeksi (bentuk, pola nafas )
b. Palpasi (letak atau posisi )
c. Perkusi ( mengetuk bagian dada)
d. Auskultasi ( bunyi atau irama )
10. Abdomen
a. Inspeksi (bentuk)
b. Palpasi ( meraba adanya hepar)
c. Perkusi (mengetuk bagian abdomen )
d. Auskultasi ( mendengar bising usus)
11. Genetalia
a. Inspeksi (kebersihan )
b. Palpasi ( pembengkakan )
12. Extremitas atas dan bawah
a. Inspeksi ( bentuk, gerak )
b. Palpasi ( nyeri tekan )
44
2. Analisa Data
No Analisa data Etiologi Problem
1. DS : 1. Keluarga pasien Thrombus serebral Ketidak efektifan
mengatakan Emboli perfusi jaringan
setengah badan Iskemia serebral
pasien tidak dapat
Penurunan suplai
digerakkan. darah ke otak
2. Keluarga pasien
mengatakan Hipoksia serebral
DO:1.Pasien tampak
tidak dapat Ketidakefektifan
menggerakkan perfusi jaringan
setengah badan. serebral
2. Pasien tampak
kebingungan.
dyspnea
ketidakefektif
an pola nafas
45
4. DS : Pasien mengatakan Mobilitas menurun Resiko kerusakan
hanya berbaring integritas kulit
saja. Tirah baring lama
DO : Kulit pasien tampak
lembab, integritas Resiko
kulit buruk. kerusakan
integritas kulit
5. DS : Keluarga pasien Kelemahan pada Gangguan menelan
mengatakan susah nervus
menelan
DO : Pasien tampak makan Kemampuan otot
habis /4 porsi. mengunyah
Gangguan
menelan
3. Diagnosa
1. Ketidak efektifan perfusi jaringan serebral b/d penurunan suplay O2 darah ke otak.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular.
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan neurologis.
4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan mobilitas menurun.
5. Gangguan menelan berhubungan dengan penurunan otot mengunyah.
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan suplai makanan.
46
47
4. Intervensi
No Diagnosa Tujuan dan KH Intervensi Rasional
Keperawatan (NOC) (NIC)
1. Ketidak NOC : NIC :
efektifan 1. Circulation status. 1. Peripheral
perfusi 2. Tissue perfusion: sensation
jaringan
cerebral. management
serebral b/d
penurunan Setelah dilakukan -Untuk
suplay O2 tindakan asuhan O : Observasi K/U mengetahui
darah ke otak keperawatan pasien dan TTV status tekanan
selama ...x... jam di pasien. intrakranial
harapkan pasien.
menunjukkan fungsi
sensori motoric N: Berikan posisi -Untuk
cranial yang utuh semi fowler. memberikan
dengan kriteria rasa nyaman
hasil : E : Anjurkan pada pasien.
3. tingkat kesadaran keluarga pasien -Untuk
membaik untuk menjaga menjaga
ketenangan ketenangan
4. tidak ada
lingkungan dan kenyaman
gerakan-gerakan pasien. pasien.
involunter C :Kolaborasi
dengan dokter
5. tekanan darah
dalam -Untuk
dalam batas pemberian O2. mempertahank
normal an keefektifan
perfusi
jaringan yang
menuju ke
otak.
49
19
52
2.3 Konsep Dasar Penyakit AMS
Altered mental status atau penurunan kesadaran adalah keadaan dimana penderita tidak
sadar dalam arti tidak terjaga atau tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu
memberikan respons yang normal terhadap stimulus. Kesadaran secara sederhana dapat
dikatakan sebagai keadaan dimana seseorang mengenal atau mengetahui tentang dirinya
maupun lingkungannya. (Padmosantjojo, 2011)
1. Kompos mentis
Kompos mentis adalah kesadaran normal, menyadari seluruh asupan dari panca indra
dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun dalam.
Mata cenderung menutup, mengantuk, masih dapat dibangunkan dengan perintah, masih
dapat menjawab pertanyaan walau sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi
terhadap sekitarnya menurun.
3. Stupor / Sopor
Mata tertutup dengan rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata atau bersuara
satu dua kata . Motorik hanya berupa gerakan mengelak terhadap rangsang nyeri.
4. Soporokoma / Semikoma
Mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri secara kuat, hanya dapat mengerang
tanpa arti, motorik hanya gerakan primitif.
53
5. Koma
Dengan rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata,
bicara maupun reaksi motorik
2.3.2 Epidemiologi
Prevalensi dan insiden dari koma dan gangguan kesadaran sulit untuk ditentukan
secara pasti,mengingat luas dan beragamnya factor penyebab dari koma. Laporan rawat
inap nasional dari inggris tahun 2002-2003 melaporkan bahwa 0,02% (2.499) dari
seluruh konsultasi rumah sakit disebabkan oleh gangguan terkait dengan koma dan
penurunan kesadaran, 82% dari kasus tersebut memerlukan rawat inap dirumah sakit.
Koma juga nampaknya banyak lebih banyak dialami oleh pasien usia paruh baya dan
lanjut usia, dengan trata-rata usia rawat inap untuk koma adalah 57 tahun pada laporan
yang sama. Hasil lain dilaporkan oleh dua rumah sakit daerah Boston, Amerika Serikat,
dimana koma diperkirakan menyebabkan hamper 3% dari seluruh diagnosis masuk
rumah sakit. Penyebab yang paling banyak dari laporan tersebut adalah alkoholisme,
trauma serebri dan stroke, di mana ketiga sebab tersebut menyebabkan kurang 82% dari
semua admisi.
2.3.3 Klasifikasi
1.Gangguan iskemik
2.Gangguan metabolik
3.Intoksikasi
4.Infeksi sistemis
5.Hipertermia
54
6.Epilepsi
b.Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal tapi disertai kaku kuduk :
1.Perdarahan subarakhnoid
3.Radang otak
1.Tumor otak
2.Perdarahan otak
3.Infark otak
4.Abses otak
2.3.4 Patofisiologi
1. S : Sirkulasi
2. E : Ensefalitis
3. M : Metabolik
55
4. E : Elektrolit
5. N : Neoplasma
6. I : Intoksikasi
Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan kimia dapat menyebabkan penurunan
kesadaran
7. T : Trauma
8. E : Epilepsi
Pasca serangan Grand Mall atau pada status epileptikus dapat menyebabkan
penurunan kesadaran.
Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni gangguan derajat
(kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan gangguan isi (kualitas, awareness,
alertness) kesadaran. Adanya lesi yang dapat mengganggu interaksi ARAS dengan
korteks serebri, apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan
mengakibatkan menurunnya kesadaran. Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat
kesadaran yang berada di kedua hemisfer serebri dan Ascending Reticular Activating
System (ARAS). Jika terjadi kelainan pada kedua sistem ini, baik yang melibatkan
sistem anatomi maupun fungsional akan mengakibatkan terjadinya penurunan
kesadaran dengan berbagai tingkatan. Ascending Reticular Activating System
merupakan suatu rangkaian atau network system yang dari kaudal berasal dari medulla
spinalis menuju rostral yaitu diensefalon melalui brain stemsehingga kelainan yang
mengenai lintasan ARAS tersebut berada diantara medulla, pons, mesencephalon
menuju ke subthalamus, hipothalamus, thalamus dan akan menimbulkan penurunan
derajat kesadaran. Neurotransmiter yang berperan pada ARAS antara lain
neurotransmiter kolinergik, monoaminergik dan gamma aminobutyric acid (GABA).
56
Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri
termasuk ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas), dengan ascending reticular
activating system (ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan bagian atas
pons. ARAS menerima serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris dan
melalui thalamic relay nuclei dipancarkan secara difus ke kedua korteks serebri.
ARAS bertindak sebagai suatu off-on switch, untuk menjaga korteks serebri tetap
sadar (awake). Respon gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan
kelainan yang berpengaruh kepada sistem arousal yaitu respon primitif yang
merupakan manifestasi rangkaian inti-inti di batang otak dan serabut-serabut saraf pada
susunan saraf. Korteks serebri merupakan bagian yang terbesar dari susunan saraf pusat
di mana kedua korteks ini berperan dalam kesadaran akan diri terhadap lingkungan atau
input-input rangsangan sensoris,hal ini disebut juga sebagai awareness.
Adapun gejala klinis dari penurunan kesadaran yaitu Penurunan kesadaran secara
kwalitatif, GCS kurang dari 13, sakit kepala hebat, muntah proyektil, asimetris pupil,
reaksi pupil terhadap cahaya melambat atau negative, demam, gelisah, kejang,
retensilender/sputum di tenggorokan, retensi atau inkontinensia urin, hipertensi atau
hipotensi, takikardi atau bradikardi,takipnu atau dyspnea, edema lokal atau anasarka,
sianosis, pucat dan sebagainya.
Komplikasi yang muncul dapat meliputi edema otak dimana dapat mengakibatkan
peningkatan TIK sehingga dapat menyebabkan kematian,selain edema otak hipoksia
sering terjadi karena edema paru atau radang paru akibat peningkatan permeabilitas
pembuluh darah kapiler di jaringan intersisial atau alveoli dan kelainan asam basa hampir
selalu terjadi alkaliosis respiratorik hiperventilasi, sedangkan alkaliosis metabolic terjadi
akibat hipokalemi. Asidosis metabolic dapat terjadi karena penumpukan asam laktat atau
asam organic lainnya akibat gagal ginjal., gangguan sirkulasi pada tahap akhir dapat
terjadi hipotensi, bradikardi maupun henti jantung
57
2.3.5 Pathways
Etiologi AMS
Sirkulasi,ensefalitis,metabolic,elektrolit,
neoplasma,intoksikasi,trauma,epilepsi
Penurunan kesadaran
Gangguan
Pertukaran gas
Pernafasan terganggu
Secret terakumulasi
Bersihan jalan
nafas tidak efektif
Sumber : https://docslide.us/document/pathways-pnurunan-ksdran.html
58
2.3.6 Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium darah
Meliputi tes glukosa darah, elektrolit, ammonia serum, nitrogen urea darah (BUN),
osmolalitas, kalsium, masa pembekuan, kandungan keton serum, alcohol, obat-
obatan dan analisa gas darah (BGA).
2. CT Scan
Pemeriksaan ini untuk mengetahui lesi-lesi otak
3. PET (Positron Emission Tomography)
Untuk meenilai perubahan metabolik otak, lesi-lesi otak, stroke dan tumor otak
5. MRI
6. Angiografi serebral
7. Ekoensefalography
Untuk mendeteksi sebuuah perubahan struktur garis tengah serebral yang disebabkan
hematoma subdural, perdarahan intraserebral, infark serebral yang luas dan
neoplasma.
8. EEG (elektroensefalography)
Untuk menilai kejaaang epilepsy, sindrom otak organik, tumor, abses, jaringan parut
otak, infeksi otak
9. EMG (Elektromiography)
59
Untuk membedakan kelemahan akibat neuropati maupun akibat penyakit lain.
2.3.7 Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan kesadaran dilakukan dengan cepat, tepat dan akurat, pengobatan
dilakukan bersamaan dalam saat pemeriksaan. Pengobatan meliputi dua komponen utama
yaitu umum dan khusus.
Umum
a.Tidurkan pasien dengan posisi lateral dekubitus dengan leher sedikit ekstensi bila
tidak ada kontraindikasi seperti fraktur servikal dan tekanan intrakranial yang
meningkat.
c Lakukan imobilisasi jika diduga ada trauma servikal, pasang infus sesuai dengan
kebutuhan bersamaan dengan sampel darah.
e.Pasang nasogastric tube, keluarkan isi cairan lambung untuk mencegah aspirasi,
lakukan bilas lambung jika diduga ada intoksikasi. Berikan tiamin 100 mg iv, berikan
destrosan 100 mg/kgbb. Jika dicurigai adanya overdosis opium/ morfin, berikan
nalokson 0,01 mg/kgbb setiap 5-10 menit sampai kesadaran pulih (maksimal 2 mg).
b.Berikan manitol 20% dengan dosis 1-2 gr/ kgbb atau 100 gr iv. Selama 10-20
60
d. Jika pada CT scan kepala ditemukan adanya CT yang operabel seperti epidural
hematom, konsul bedah saraf untuk operasi dekompresi.
61
A. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWAT DARURATAN
1.Pengkajian
A.Primary Survey
1) Airway
Apakah pasien berbicara dan bernafas secara bebas, terjadi penurunan kesadaran,
suara nafas abnormal : stridor, wheezing, mengi dll, penggunaan otot-otot bantu
pernafasan, gelisah , sianosis, kejang, retensi lendir / sputum di tenggorokan, suara
serak, batuk.
2) Breathing
3) Circulation
4) Disability
Menilai kesadaran dengan cepat,apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau atau
sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara yang cukup
jelas dan cepat adalah ;
62
d. U (unrespons) : kesadaran menurun, berespon terhadap rangsangan nyeri
B. Secondary Survey
1. Pemeriksaan Fisik
1. Kulit/imtegumen:
2. Kepala
b. Palpasi (Ukuran)
3. Kuku
b. Palpasi (Sirkulasi)
4. Mata/penglihatan
5. Hidung
6. Telinga
63
b. Palpasi (adanya peradangan)
8. Leher
9. Dada
10. Abdomen
a. Inspeksi (Bentuk)
11. Genetalia
a. Inspeksi (Kebersihan)
b. Palpasi (Pembengkakan)
2. SAMPLE
S (Sign and Symptom) : tanda gejala yang diobservasi dan dirasakan klien
64
M (Medications) : obat-obatan yang diminum klien dalam mengatasi masalah
P (Pertinent medical) : riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah diderita,
obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal.
L (Last meal) : obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa jam
sebelum kejadian,
3.Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Biasanya pasien dengan penurunan kesadaran GCS kurang dari 13, sakit kepala hebat,
asimetris pupil, reaksi pupil terhadap cahaya melambat atau negative, demam,
gelisah,atau hipotensi, takikardi atau bradikardi,takipnu atau dyspnea, pucat
Tanyakan pada keluarga pasien penyebab dari penurunan kesadaran apakah karena
penyakit cedera kepala,kejang atau factor lain
Tanyakan pada keluarga apakah pasien pernah mengalami penyakit ini sebelumnya atau
penyakit lain yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran pada pasien
Tanyakan apakah ada salah satu dari keluarga pasien pernah mengalami penyakit yang
seperti pasien alami
4.Pemeriksaan Penunjang
65
2.Analisa Data
Kelainan di ARAS
TIK meningkat
Kegagalan organ
Hipoventilasi
Gangguan pertukaran
gas
3 Ds : pasien mengatakan sulit Gg. Structural Bersihan jalan
bernafas karena terdapat nafas tidak
secret di jalan nafas efektif
Do : Pasien tampak sulit Kelainan di ARAS
mengeluarkan secret
TIK meningkat
Penurunan kesadaran
Pernafasan terganggu
66
Secret terakumulasi
3 Diagnosa keperawatan
3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas oleh
secret
67
4. Intervensi
68
sekret memperlihatkan untuk -Latihan nafas
kepatenan jalan napas menghindari dalam bentuk
-Ekspansi dada obstruksi jalan efektif
simetris napas dan dilakukan agar
-Bunyi napas bersih memberikan mudah
saat auskultasi pengeluaran mengeluarkan
sekresi yang sekret yang
optimal tertanam
E : Informasikan -Mempercepat
kepada pasien proses
dan keluarga penyembuhan
tentang teknik pasien
relaksasi nafas
dalam
C: Kolaborasi
dalam pemberian
oksigenasi sesuai
dengan indikasi
5. Implementasi
Dalam tahap ini maka akan dilaksanakan tindakan keperawatan yang disesuaikan dengan
rencana keperawatan.
6. Evaluasi
3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas oleh
secret
69
2.4 Konsep Dasar Penyakit Kejang
2.4.2 Epidemiologi
Risiko seumur hidup trhadap terjadinya kejang umum adalah 3-4% dengan puncak
kejadian dengan pada awal kejang. Kita ketahui epilepsi adalah salah satu penyakit tertua di
dunia dan menempati urutan kedua dari penyakit saraf setelah gangguan peredaran otak.
Penyakit ini diderita oleh kurang lebih 50juta orang dieluruh dunia. Epilepsi bertanggung
jawab terhadap 1 % dari beban penyakit global, dimana 80% beban tersebut berada di
Negara berkembang. Pada Negara berkembang di beberapa area 80-90% kasus idak
menerima pengobatan sama sekali.
Secara keseluruhan insiden epilepsy pada Negara maju berkisar antara 40-70 ksus per
100.000 orang pertahun. Di Negara berkembang insiden, insiden berkisar antara 100-190
kasus per 100.000 orang per tahun. Prevalensi dari epilepsy brvariasi antara 5-10 kasus per
1000 orang.
Di indonesia belum ada data yang pasti mengenai penderita epilepsy, tetapi diperkirakan
ada 1-2juta penderita epilepsy. Prevalensi epilepsy di Indonesia adalah 5-10 kasus per 1.000
orang dan insiden 50 kasus per 100.000 orang pertahun.(Widiyanto,2009)
Menurut Center For Disease and Prevention (CDC) Pada tahun 2010 di AS, epilepsy
mempengaruhi 2,5 juta orang. Survey dari dokter, pelaporan diri, dan penelitian dari
campuran beberapa sumber ini, disimpulkan bahwa kejadian dan prevalensi kejang dan
epilepsy, kejang epilepsy pertama terjadi pada 300.000 orang setiap tahunnya, 120.000 orang
berusia > 18 tahun, dan antara 75.000 dan 100.000 diantaranya adalah anak-anak muda yang
70
berusa 5 tahun yang engalami kejang demam. Laki-laki sedikit lebih beresiko dari pada
perempuan.
2.4.3 Klasifikasi
a. Kejang Tonik
Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah dengan masa
kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk
klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik
umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi
tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
b. Kejang Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan
multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 –3
detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak
diikuti oleh fase tonik.
c. Kejang Mioklonik
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat
anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek
moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat.
(Lumbang Tebing,2011)
2.4.4 Patofisiologi
A. Etiologi
Kejang paling sering terlihat pada pasien kritis. Dalam sebuah penelitian 55
pasien dengan serangan kejang onset terbaru dalam perawatan intensif care unit
diperoleh hasil lebih dari sepertiga kejang disebabkan oleh gangguan metabolisme akut
seperti hiponatremia, dan delapan orang pasien diperoleh kejangya disebabkan oleh
penggunaan obat antiaritmia atau antibiotik. (Sri,201O)
Penyebab lain yang mendasari timbulnya kejang adalah6
1. Idiopatik atau timbul dari penyebab yang tidak diketahui
2. Cryptogenic atau timbul dari penyebab yang diduga yang tidak diketahui atau tidak
jelas
71
3. Gejala atau yang timbul dari otak yang dikenal kelainan
4. Trauma serebral dengan hilangnya kesadaran . Secara umum, tidak ada risiko jika
hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit.
5. Space Occupaying lesions a. Tumor otak b. Malformasi arteri vena (AVM) c.
Hematoma subdural d. Neurofibromatosis
6. Infeksi Cerebral : a. Bakteri atau virus meningitis.
b. Radang otak
c. Abses otak
7. Kejang demam atipikal
8. Faktor genetic, seperti kromosom yg abnormal
9. Gangguan pembuluh darah serebral, seperti : hemoragis dan trombosis
10. Asidosis hipoksia
11. Riwayat keluarga
B. Proses Penyakit
Penyebab terbanyaknya adalah bakteri yang bersifat toksik. Toksis yang di hasilkan
oleh mikroorganisme dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui hematogen maupun
limfogen. Penyebaran toksis ke seluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus dengan
menaikkan pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda tubuh dalam bahaya secara
sistemik. Naiknya suhu dihipotalamus, otot, kulit, dan jaringan tubuh yang lain akan di
sertai pengeluaran mediator kimia sepeti epinefrin dan prostagladin.
Pengeluaran amediator kimia ini dapat merangsang peningkatan potensial aksi pada
neuron. Peningkatan potensial inilah yang merangsang perpindahan ion Natrium, ion
Kalium dengan cepat dari luar sel menuju ke dalam sel. Peristiwa inilah yang diduga dapat
menaikan fase depolarisasi neuron dengan cepat sehingga timbul kejang. Serangan yang
cepat itulah yang dapat menjadikan anak mengalami penurunan
respon kesadaran, otot ekstremitas maupun bronkus juga dapat mengalami spasme
sehingga anak beresiko terhadap injuri dan kelangsungan jalan nafas oleh penutupan
lidah dan spasme bronkus.
Manifestasi yang terjadi pada kejang adalah sebagian besar kejang demam terjadi
dalam 24 jam pertama sakit, sering sewaktu suhu tubuh meningkat cepat, tetapi pada
sebagian anak, tanda pertama penyakit mungkin kejang dan pada yang lain, kejang
terjadi saat demam menurun.
72
Komplikasi Kejang adalah Kerusakan sel otak, penurunan IQ pada kejang demam yang
berlangsung lama lebih dari 15 menit dan bersifat unilateral dan Kelumpuhan
73
.
2.4.5 WOC
Mikroorganisme
Kejang
Ketidakefektifan
pola nafas
74
2.4.6 Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dengan kejang demam
adalah meliputi:
a. Elektro encephalograft (EEG)
Untuk pemeriksaan ini dirasa kurang mempunyai nilai prognostik. EEG abnormal
tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya kejang yang berulang
dikemudian hari.
b. Pemeriksaan cairan cerebrospinal
Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya meningitis, terutama
pada pasien kejang yang pertama.
c. Darah
Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200 mq/dl)
BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro
toksik akibat dari pemberian obat.
Elektrolit : K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang, Kalium ( N 3,80 – 5,00
meq/dl ), Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi,
pendarahan penyebab kejang.
2.4.7 Penatalaksanaan
Saat anak mengalami Kejang hal penting yang harus kita lakukan antara lain :
1. Letakkan anak anda di lantai atau tempat tidur dan jauhkan dari benda yang keras
atau tajam
2. Palingkan kepala ke salah satu sisi sehingga saliva (ludah) atau muntah dapat
mengalir keluar dari mulut
3. Jangan menaruh apapun di mulut pasien. Anak anda tidak akan menelan lidahnya
sendiri.
4. Segera datangi rumah sakit atau dokter, terutama bila kejang terjadi saat pertama kali
5. Beri obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan
melalui interavena atau indra vectal. Dosis awal : 0,3 – 0,5 mg/kg/dosis IV (perlahan-
lahan). Bila kejang belum berhenti dapat diulang dengan dosis yang sama setelah 20
menit.
75
A. Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan pada kejang
1. Pengkajian
a. Pengkajian Primary Survey
6. Airway : Kepatenan jalan napas, apakah ada sekret, hambatan jalan napas.
7. Breathing : Pola napas, frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan, irama
pernapasan, tarikan dinding dada, penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan
cuping hidung.
8. Circulation : Frekuensi nadi, tekanan darah, adanya perdarahan, kapiler refill.
9. Disability : Tingkat kesadaran, GCS.
10. Exposure : Suhu
b. Secondary Survey
6) Data pasien : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, alamat rumah,tanggal masuk
rumah sakit.
7) Data penanggung jawab: , umur, jenis kelamin, pekerjaan, alamat rumah dan
hubungan dengan pasien.
8) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pengkajian “SAMPLE” :
m. S(sign and Symptomps) : tanda dan gejala yang diobservasi dan dirasakan
klien
n. A(allergies) : alergi yang dipunyai klien
o. M (medications) : obat yang diminum oleh klien untuk mengatasi masalah.
p. P ( Past illness) : riwayat penyakit yang di derita klien
q. L ( Last Meal) : apa makanan/ minuman terakhir dimakan atau di minum dan
kapan
r. E (event ) : pencetus? Kejadian penyebab keluahan yang dirasa oleh klien.
Data pemeriksaan fisik
a. Keadaaan umum:
Kesadaran :
GCS (Glascow Coma Scale) : Eye, Verbal, Motorik
1. Eye (penilaian maksimal 4)
4 : spontan
3 : dengan perintah
2 : rangsangan nyeri
1 : no respon
2. Verbal (penilaian maksimal 5)
76
5: tidak ada disorientasi
4 : bicara tidak jelas
3: kata tidak jelas
2 : mengarang
1 : no respon
3. Movement (penilaian maksimal 6)
6 : memenuhi perintah
5 : mengetahui lokasi nyeri
4 : menghindari rasa nyeri ( rangsangan)
3 :menghindari reaksi pleksi abnormal
2 : menghindari ekstensi abnormal
1 : no respon
Tingkat kesadaran :
13) Compos mentis (sadar penuh) nailainya : 15-14
14) Apatis (acuh tak acuh) nilainya : 12-13
15) Delirium ( membrontak/mengamuk) nilai : 9-11
16) Somnolen (mau tidur saja) nilai : 7-8
17) Stupor (semikoma, keadaan yang menyerupai koma) nilai 4-6
18) Koma ( keadaan kesadaran yang hilang sama sekali) nilai 3
b) Pemeriksaan fisik
1) B1 (Breathing)
Inspeksi : peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot
bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Terdapat retraksi
klavikula/ dada, pengembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada :
dinilai penuh/ tidak penuh dan kesimetrisannya.
Palpasi : melihat adanya kelainan pada dinding dada.
Perkusi : Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan
trauma pada thoraks/ hematothoraks.
Auskultasi : Bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor,
ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret karena
penurunan tingkat kesadaran koma.
2) B2 (Blood)
Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda
-tanda awal dari suatu syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari
trauma kepala akan merangsang pelepasan antidiuretik hormon (ADH)
yang berdampak pada kompensasi tubuh untuk mengeluarkan retensi
atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan
meningkatkan konsentrasi elektolit meningkat sehingga memberikan
77
resiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada
sistem kardiovaskuler.
3) B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan. Pada
keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya berkisar
pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa, sampai koma.
4) B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik,
termasuk berat jenis. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi
cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal.
Ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan kontrol
motorik dan postural. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius
eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan
kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang
berlanjut menunjukan kerusakan neurologis luas.
5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun pada fase akut. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi
akibat penurunan peristaltik usus akibat penurunan kesadaran.
Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya
lesi pada mulut atau lidah dapat menunjukan adanya penurunan
kesadaran sehingga pasien tidak mampu mengontrol dirinya yang bisa
membuat luka pada area mulut. Pemeriksaan bising usus untuk menilai
ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum
melakukan palpasi abdomen. Bising usus menurun atau hilang dapat
terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan observasi bising
usus selama ± 2 menit.
6) Tulang (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada
seluruh ekstremitas. Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena
kelemahan, kehilangan sensorik atau paralisis/ hemiplegia, mudah
lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
78
2. Analisa Data
Ketidakefektifan
Perfusi Jaringan
2. Ds : Keluarga Aktivitas otot Pola nafas tidak
mengatakan klien efektif
sulit bernafas Metabolisme
Do : - klien kejang / kaku
- Klien tampak sesak Kebutuhan o2
- Suhu tubuh Hypoventilasi
meningkat
Pola nafas tidak
efektif
3. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia jaringan
otak
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hipoventilasi
3. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran
4. Intervensi
N Diagnosa NOC NIC Rasional
o
1. Ketidakefektif Sirkulasi status : Peripheral
an perfusi Setelah dilakukan Sensation
79
jaringan tindakan Management :
serebral keperawatan 1. Kaji - Agar
berhubungan selama ....x24 jam tingkat kesadara
dengan diharapkan :
kesadaran n kmbali
hipoksia Sirkulasi darah di
jaringan dalam otak adekuat GCS normal
Dengan kriteria 2. Atur - Agar
hasil :
posisi tidak
1. Tingkat
pasien ke terjadi
kesadaran
posisi hipoksia
yang baik
trendelenb
2. Pengukuran
rug
tanda-tanda - Agar
3. Anjurkan
vital dalam tidak
pasien
rentang terjadi
untuk
normal perfusi
memberi
jaringan
minyak
pada
bagian
yang
dirasa
- Menjaga
pusing
aliran
4. Kolaboras
oksigen
i dengan
mencuk
dokter
upi
dalam
kebutuh
pemberian
an
oksigen
pasien
2. Ciptakan ah
81
lingkunga terjadiny
n yang a risiko
kondusif cidera
untuk
pasien - Agar
3. Anjurkan pasien
keluarga merasa
untuk aman
menemani dan
pasien nyaman
-
4. Kolaboras
i dengan
terapis
untuk
latihan
ROM
5. Implementasi
Dalam tahap ini akan dilaksanakan tindakan yang disesuaikan dengan rencana
keperawatan.
6. Evaluasi
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia jaringan :
- Tingkat kesadaran yang baik
- Pengukuran tanda-tanda vital dalam rentang normal
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi
- Tanda vital dalam rentang normal
- Pola nafas kembali efektif
3. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran
- Tidak ada cedera fisik
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
3.1
82
1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT/IGD/TRIAGE
83
Past Medical History : klien memiliki penyakit
Hipertensi, Jantung,.
Last Oral Intake/Makan terakhir: sebelum kejadian klien sempat
sarapan jajan dan segelas kopi.
Event leading injury : tidak ada
Masalah Keperawatan:
1. gangguan perfusi selebral
: Spontan
BREATHING
Nafas
Jenis : dipsnea
Masalah Keperawatan:
1. Resiko bersihan jalan napas tidak efektif
84
Nadi : Teraba
Tekanan Darah : 180/100 mmHg
Pucat : Ya
Sianosis : Tidak
Akral : Hangat S: 38 C
CIRCULATION
Turgor : Lambat
Diaphoresis: Tidak
Riwayat Kehilangan cairan berlebihan: Tidak Ada
Keluhan Lain: tidak ada
Masalah Keperawatan:
1. Resiko Ketidakseimbangan Volume Cairan
Kesadaran: apatis
DISABILITY
Pupil : Medriasis
Kekuatan Otot :
Keluhan Lain : Ada hematoma
85
Masalah Keperawatan:
Tidak ada
Deformitas : Tidak
Contusio : Tidak
Abrasi : Tidak
Penetrasi : Tidak
EXPOSURE
Laserasi : Tidak
Edema : Tidak
86
Monitoring Jantung : Sinus Takikardi
Saturasi O2 : 90%
FIVE INTERVENSI Kateter Urine : Ada
Skala :-
Timing :-
Masalah Keperawatan: -
87
Pemeriksaan SAMPLE/KOMPAK
(Fokus pemeriksaan pada daerah trauma/sesuai kasus non
trauma)
Kepala dan wajah :
a. Kepala: tidak ada nyeri tekan
b. Wajah : simetris
c. Mata : tidak ada nyeri tekan dan pembengkakan
HEAD TO TOE
d. Hidung: simetris
e. Mulut : simetris dan tidak ada pembengkakakan
f. Telinga : tidak ada nyeri tekan dan benjolan
g. Leher : tidak ada nyeri tekan dan benjolan
h. Dada : simetris kanan kiri
i. Abdomen dan Pinggang : tidak ada nyeri tekan
j. Pelvis dan Perineum : normal
k. Ekstremitas : normal
Masalah Keperawatan: -
Jejas : Ada
INSPEKSI BACK/ POSTERIOR SURFACE
Deformitas : Tidak
Tenderness : Tidak
Crepitasi : Tidak
Laserasi : Tidak
Masalah Keperawatan: -
Data Tambahan :
Pengkajian
1). Bio : ter
2). Psiko : klien merasa sangat tidak nyaman karena harus
terbaring lemas
88
3). Sosio : klien berinteraksi kurang baik karena susah
menggerakkn mulut
4). Ekonomi : klien memiliki tingkat ekonomi menengah
5). , Spritual : klien sebelum sakit klen rutin sembahyang
setiap hai
Terapi Medis :
89
2. ANALISA DATA
90
3 DS : Pasien mengatakan Mobilitas Ketidakefektifan
pola nafas
hanya berbaring saja. menurun
DO : Kulit pasien tampak
lembab, integritas kulit buruk.
Tirah baring lama
Resiko
kerusakan
91
INTERVENSI KEPERAWATAN
92
No Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional Paraf
Hasil
Dx (NIC)
(NOC)
11. tekanan
darah dalam
batas normal
93
No Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional Paraf
Hasil
Dx (NIC)
(NOC)
94
No Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional Paraf
Hasil
Dx (NIC)
(NOC)
95
4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
No Tgl/
Implementasi Respon Paraf
jam
1 Jumat, S:
1 maret
O : Mengobservasi K/U 1. klien mengatakan
2019.
pasien dan TTV pasien. badannya lemas dan
Jam : pusing
09.00
WITA O:
S:
1.keluarga klien tampak
mengerti dan menjaga
ketenangan lingkungan
96
No Tgl/
Implementasi Respon Paraf
jam
pasien
O:
1. lingkungan disekitar
pasien tampak tenang
S:
1. Klien mengatakan
sesak berkurang setelah
dipasang O2 .
O:
1. klien sudah diberikan
O2
97
No Tgl/
Implementasi Respon Paraf
jam
1. pasien tampak
menggerakkan anggota
badannya
S:
1. keluarga pasien
mengatakan mengerti
dengan KIE yang
diberikan
O:
2.keluarga px tampak
memperagakan teknik
mobilisasi kepada pasien
S:
1.klien mengatakan mau
untuk menjalani terapi
O:
2.klien sudah
menjalankan terapi dari
hari ini
98
No Tgl/
Implementasi Respon Paraf
jam
1. keluarga px sudah
mengolesi baby oil ke
C: Kolaborasi dengan
luka pasien
dokter untuk pemberian
salep.
S:
1. Klien mengatakan
sudah memakai baju
longgar
O:
1. px tampak memakai
baju longgar
S: -
O:
1. klien sudah diberikan
salep untuk lukanya
99
5. EVALUASI KEPERAWATAN
S: 36.5°C
A: Intervensi tercapai
P: pertahankan intervensi
3 maret S:
2
2019 Hambatan mobilitas
fisik b/d kerusakan 1. klien mengatakan sudah
Jam bisa menggerakkan angota
neuromuskular
12.30 badannya .
wita
O:
1. klien tampak miring kanan
kiri tanpa dibantu keluarganya
A: intervensi tercapai
100
No Tgl / Diagnosa Keperawatan
Catatan Perkembangan Paraf
jam
sebagian
P: lanjutkan intervensi
1. melalukan terapi
3 Resiko kerusakan
integritas kulit b/d
1 maret mobilitas menurun
2019
S:
Jam
16.00 1. Klien Mengatakan lukanya
wita sudah mengering
O:luka pasien tampak sudah
sembuh
A: intervensi tercapai
P: pertaankan intervensi
101
3.2 Hasil Dan Pembahasan
Masalah keperawatan Klien telah teratasi tetapi klien masih terus rutin menjalani terapi
stroke mempercepat penyembuhan dan bisa kembali normal lebih cepat dari pada orang yang
tidak melakukan terapi stroke
102
HUBUNGAN RIWAYAT HIPERTENSI DENGAN KEJADIAN
STROKE DI RSUP Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO
MAKASSAR 2012
*Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar
Abstrak
Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga dan penyebab kecacatan nomor satu di seluruh
dunia, sebanyak 80-85% stroke non hemoragik. Dari situs WHO stroke memasuki sepuluh top
penyakit penyebab kematian di dunia, dimana stroke menempati urutan ketujuh.
Tujuan penelitian ini unutk mengetahui hubungan riwayat hipertensi dengan kejadian stroke di
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Penelitian dengan rancangan case control. Populasi semua pasien stroke dengan jumlah sampel 20
sampel untuk kelompok kasus dan kontrol. Analisa data menggunakan Odd Ratio dan Mantel dan
Haenszel.
Hasil Penelitian dengan uji dengan odd ratio Cochran & Mantel Haenszel didapatkan hasil X2 hitung
(4.977) > X2 Tabel (3,841) atau p (0,026) > α (0,050) dan CI (1.120; 3.571). Orang dengan Riwayat
hipertensi lebih berisiko mengalami stroke 2.000 lebih besar dibandingkan orang yang tidak memiliki
riwayat hipertensi. Hipertensi faktor utama yang menyebabkan stroke ditunjukkan hasil uji
signifikansi chi square Cochran Mantel dan Haenszel didapatkan hasil X 2 Mantel dan Haenszel
sebesar 4.977 dengan p = 0.026.
B eban global penyakit bergeser dari penyakit menular ke penyakit tidak menular, dengan
kondi-Kasus dapat dilihat dari tabel dibawah ini :
si kronis seperti penyakit jantung dan stroke sekarang menjadi penyebab utama kematian global.
"Kami pasti melihat kecenderungan lebih sedikit orang meninggal karena penyakit menular di
seluruh dunia,"kata Dr. Dasi Boerma, Direktur Departemen WHO Statistik Kesehatan dan
Informatika." (World health Organisation,
2008). Dimana Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga dan penyebab kecacatan nomor
satu di seluruh dunia, sebanyak 80-85% stroke non hemoragik (Muhammad Hayyi, 2010). Dari situs
WHO stroke memasuki sepuluh top penyakit penyebab kematian di dunia, dimana stroke
menempati urutan ketujuh (WHO, update Juni 2011). Kemungkinan meninggal akibat stroke ini
adalah 30% sampai 35%, dan kemungkinan kecacatan mayor pada yang selamat adalah 35% sampai
40%.(Sylvia & Lorraine, 2005).
103
Penyebab stroke mencakup emboli (terbentuknya bekuan darah yang menyumbat arteri)
atau thrombosis (terbentuknya bekuan darah pada arteriarteriotak yang sebelumnya sudah
mengalami penyempitan oleh deposit lemak). Pecahnya arteri sering kali diakibatkan hipertensi
(MIMS Indonesia, 2010). Dimana faktor resiko utama stroke adalah hipertensi kronik yang lebih
dikenal oleh orang awam dengan tekanan darah tinggi dan sebagian besar kasus hipertensi dapat
diobati, sehingga penurunan tekanan darah ke tingkat normal akan mencegah stroke (Sylvia &
Lorraine, 2005).
Sementara data dari RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo pada poliklinik neurologis menyimpulkan
bahwa stroke berada pada urutan kedua sebagai pasien terbanyak di poliklinik neurologis pada
tahun 2011 dengan jumlah 1.112 orang dan ratarata tiap bulan adalah 93 orang (Poliklinik
Neurologis RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, 2011). Melihat polemik dan pembahasan di atas
peneliti tertarik untuk mengkaji. " apakah ada hubungan antara riwayat hipertensi dengan kejadian
stroke", yang nanti diharapkan bisa memberi kontribusi dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang akan dilaksanakan adalah penelitian kuantitatif, dengan rancangan
penelitian case control yaitu rancangan penelitian yang membandingkan antara kelompok kasus
dengan kelompok control untuk mengetahui proporsi kejadian berdasarkan riwayat ada tidaknya
paparan. Rancangan penelitian ini dikenal dengan sifat retrospektif yaitu rancangan bangun dengan
melihat ke belakang dari suatu kejadian yang berhubungan dengan kejadian kesakitan yang diteliti.
Yang menjadi populasi pada penelitian ini adalah semua pasien stroke yang dirawat inap di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo dalam rentang waktu Maret, April dan Mei dengan jumlah 105 pasien.
Sedangkan sampel pada populasi ini adalah keselurahan objek yang diteliti atau dianggap mewakili
seluruh populasi dengan criteria inklusi dimana sampel berjumlah 40 yang terdiri atas 20 sampel
untuk kelompok kasus dan 20 sampel untuk kelompok kontrol. Pengambilan sampel dilakukan
secara Nonprobability yaitu purposive sampling.
Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan data menggunakan alat ukur pengumpulan data yaitu
kuesioner. Dan menggunakan angket tertutup atau berstruktur dimana angket tersebut dibuat
sedemikian rupa sehingga pasien/ responden hanya tinggal memilih atau menjawab pada jawaban
yang sudah ada. Peneliti menggunakan Skala Guttman merupakan skala pengukuran dengan
jawabanya atau tidak dan setuju atau tidak setuju (Aziz Alimul hidayat, 2009:86).
HASIL PENELITIAN
Data yang diperoleh pada penelitian ini menggunakan alat ukur kuesioner, kemudian
dikumpulkan dan diolah dengan menggunakan program SPSS (Statistical Package for Social Science)
16.0 dan selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dengan penjelasan. Hasil penjelasan tersebut
adalah sebagai berikut :
Riwayat Hypertensi
104
Kelompok Kasus
105
Sumber : Data Primer, 2012
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan pada kelompok kontrol (riwayat hipertensi)
kebanyakan tidak memiliki riwayat hipertensi, yaitu sebanyak 16 responden (80%).
menggunakan odd ratio dan uji signifikansi dengan menggunakan chi square
Maentel & Haenzel dengan terlebih dahulu disusun dalam tabel kontingensi sebagai
berikut:
Diagnosa Riwayat hipertensi Total
Tabel 3. Analisa Bivariat Hubungan Riwayat Hipertensi Dengan Kejadian
Ya Tidak
Kasus 16 4 20
Kontrol 8 12 20
Total 24 16 40
Sumber : Data Primer, 2012
Hasil uji statistik dengan menggunakan SPSS versi 16.0 didapat hasil OR (Odds Ratio)
sebesar 2.000 dengan nilai CI (Confidence Interval) pada (1.120; 3.571). Hasil uji
signifikansi dengan chi square Cochran Mantel dan Haenszel didapatkan hasil X 2 Mantel
dan Haenszel sebesar 4.977 dengan p = 0.026.
Hasil uji statistik menunjukkan OR (Odds Ratio) sebesar 2.000 dengan X2 hitung
(4.977) > X2 Tabel (3,841) atau p (0,022) < α (0,050) dan CI (1.120; 3.571). Hasil
penelitian tersebut menunjukkan riwayat hipertensi memiliki hubungan dalam
mencetus terjadinya stroke, sehingga responden dengan riwayat hipertensi berpeluang
menderita stroke 2 kali lebih besar dari pada respoden yang tidak memiliki riwayat
hipertensi.
PEMBAHASAN
Hipertensi merupakan penyebab utama gagal jantung, stroke dan gagal ginjal.
Disebut juga sebagai “pembunuh diamdiam” karena orang dengan hipertensi sering
tidak menampakkan gejala (Suzanna & Brenda, 2002).
Faktor resiko utama stroke adalah hipertensi kronik yang lebih dikenal oleh orang awam
dengan tekanan darah tinggi. Dengan demikian, karena sebagian besar kasus hipertensi
dapat diobati, dan karena penurunan tekanan darah ke tingkat normal akan mencegah
stroke (Sylvia & Lorraine, 2005). Hipertensi adalah factor resiko utama, pengendalian
hipertensi merupakan kunci pencegahan stroke (Suzanna & Brenda, 2002).
106
Hasil pengamatan tabel 5.7 yang dilakukan terhadap 20 respoden stroke dan 20
responden non stroke, didapat hasil pada responden stroke yang memiliki riwayat
hipertensi yaitu 16 respoden dan 4 respoden yang tidak memiliki riwayat hipertensi.
Sedangkan pada responden non stroke yang memiliki riwayat hipertensi ada 8 respoden
dan tidak memiliki riwayat hipertensi 12 responden. Hasil ini menunjukkan pada
kelompok kasus yaitu stroke lebih banyak memiliki riwayat hipertensi dari pada
kelompok kontrol yaitu non stroke. Perbandingan secara keseluruhan dapat dilihat dari
nilai odd ratio sebesar 2.000. Odd ratio sebesar 2.000 menunjukkan peluang kejadian
terjadi stroke pada respoden yang memiliki riwayat hipertensi sebanyak 2.000 kali lebih
besar daripada respoden tanpa riwayat hipertensi. Uji signifikansi Mantel dan Haenszel
X2 hitung (4,977) > X2 Tabel (3,841) atau p (0,026) < (0,050) dan CI (1.120; 3.571) yang
menunjukkan riwayat hipertensi merupakan faktor utama penyebab stroke.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hipertensi merupakan penyebab utama terjadi
stroke, sehingga peneliti berasumsi bahwa tekanan darah yang tidak normal
mengakibatkan kerusakan sel-sel endotel pembuluh darah yang menimbulkan jejas pada
rongga vaskuler. Dan pada akhirnya jejas atau lesi vaskuler tersebut memicu terjadinya
trombosis dan akhirnya terjadi aterosklerosis yang membuat pembuluh darah
menyempit sehingga suplai darah ke otak menurun yang mengakibatkan kerusakan sel-
sel neuron pada sistem saraf pusat. Maka terjadilah stroke dimana seseorang akan
kehilangan fungsi motorik maupun sensoriknya tergantung daerah pada sistem saraf
pusat yang mengalami kerusakan.
PENUTUP
Kesimpulan
Hipertensi merupakan faktor utama penyebab stroke yang ditunjukkan pada uji
signifikasi dengan Cochran & Mantel Haenszel didapatkan hasil X 2 hitung
Penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya karena
baru pertama kali dilakukan. Melalui jumlah responden yang lebih besar.
107
Perawat dan petugas kesehatan lain terutama di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar agar mempublikasikan ke masyarakat luas akan dampak yang ditimbulkan
oleh hipertensi jika tidak ditangani dengan baik dan cepat karena dapat mengakibatkan
stroke.
Dalam pelaksanaan asuhan keperawatan yang profesional semoga dengan ada hasil
penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan terutama pada pasien
hipertensi untuk mencegahnya agar tidak terjadi stroke.
108
BAB VI
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sistem saraf merupakan salah satu sistem koordinasi yang bertugas
menyampaikan rangsangan dari reseptor untuk dideteksi dan direspon oleh
tubuh.Sistem saraf terdiri dari jutaan sel saraf (neuron).Fungsi sel saraf
adalah mengirimkan pesan (impuls) yang berupa rangsang atau
tanggapan.Sistem saraf dibagi menjadi dua, yaitu sitem saraf pusat dan
sistem saraf perifer.Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang
belakang.Sistem saraf perifer terdiri dari sitem saraf sadar dan sistem saraf
tidak sadar.
4.2 Saran
1. Bagi penulis
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan.Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat saya perlukan demi sempurnanya penyusunan makalah ini.
2. Bagi pembaca
Untuk dapat memahami sistem saraf, selain membaca dan memahami
materi-materi dari sumber keilmuan yang ada (buku, internet, dan lain-
lain) kita harus dapat mengkaitkan materi-materi tersebut dengan
kehidupan kita sehari-hari, agar lebih mudah untuk paham dan akan selalu
diingat.
109
Daftar Pustaka
http://med.unhas.ac.id/kedokteran/wpcontent/uploads/2016/09/Bahan-
Ajar-1-_-Kejang.pdf Diakses pada tanggal 25 Februari 2018
pukul 15.00 WITA
http://journal.uinalauddin.ac.id/index.php/kesehatan/article/download/941/
908
110