Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Trauma Medulla Spinalis adalah suatu fraktur atau pergeseran dari


satu/lebih tulang vertebra yang menyebabkan kerusakan medulla spinalis dan
akar-akar saraf sehingga mengakibatkan defisit neurologis dan perubahan persepsi
sensori / paralisis atau keduanya. ( Wahyu Widagdo, 1995 ).
Trauma medulla spinalis pada daerah lumbal pertama akan mengakibatkan
kelumpuhan semua area extremitas bawah, menyebar sampai lipat paha dan
bagian belakang dari bokong. Komplikasi yang di timbulkan adalah kelumpuhan
permanen, sehingga memerlukan perawatan yang kontinue dan lama serta
mengeluarkan biaya yang sangat besar bila akan dilaksanakan operasi.
Menurut catatan Rekam Medik RS. Polri Jakarta periode April 2003 – Juli
2003 terdapat penderita Trauma Medulla Spinalis sebanyak 23 orang terdiri dari
15 orang penderita laki-laki dan 3 orang penderita wanita, sedangkan terdapat 5
orang penderita dengan komplikasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membuat laporan
mengaenai trauma medulla spinalis, baik mengenai tinjauan teori maupun asuhan
keperawatan
B. Tujuan

a. Untuk mengetahui definisi trauma medula spinalis


b. Untuk mengetahui etiologi trauma medula spinalis
c. Untuk mengetahui klasifikasi trauma medula spinalis
d. Untuk mengetahui manifestasi klinis trauma medula spinalis
e. Untuk mengetahui patofisiologi trauma medula spinalis
f. Untuk mengetahui penatalaksanaan trauma medula spinalis
g. Untuk mengetahui asuhan keperawatan trauma medula spinalis

C. Manfaat

1 Mengetahui definisi trauma medula spinalis

1
2 Mengetahui etiliologi trauma medula spinalis
3 Mengetahui klasifikasi trauma medula spinalis
4 Mengetahui manifestasi klinis trauma medula spinalis
5 Mengetahui patofisiologi trauma medula spinalis
6 Mengetahui penatalaksanaan trauma medula spinalis
7 Mengetahui asuhan keperawatan trauma medula spinalis

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2
1. Pengertian
Trauma Medulla Spinalis adalah suatu fraktur atau pergeseran dari
satu/lebih tulang vertebra yang menyebabkan kerusakan medulla spinalis
dan akar-akar saraf sehingga mengakibatkan defisit neurologis dan
perubahan persepsi sensori / paralisis atau keduanya. ( Wahyu Widagdo,
1995 ).
Trauma Medulla Spinalis adalah suatu fraktur vertebra yang
mengakibatkan disfungsi neurologis pada daerah servikal, thoracal dan
lumbal yang menyebabkan kelumpuhan extremitas bawah, disfungsi
defekasi dan berkemih. ( Brunner and Suddarth, 2002 ).
2. Klasifikasi
Klasifikasi cedera medulla spinalis berdasarkan lokasi cedera, antara lain :
a. Cedera Cervikal
 Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot
platisma masih berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami
paralisis dan tidak ada gerakan volunter (baik secara fisik maupun
fungsional). Di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori pada
tingkat C1-C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah.
Pasien pada quadriplegia C1, C2 dan C3 membutuhkan perhatian
penuh karena ketergantungan terhadap ventilator mekanis. Orang ini juga
tergantung semua aktivitas kebutuhan sehari-harinya. Quadriplegia pada
C4 mungkin juga membutuhkan ventilator mekanis tetapi dapat dilepas.
Jadi penggunaannya secara intermitten saja.
 Lesi C5
Bila segmenC5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi
diafragma rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis
intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi pernafasan.
Quadriplegia pada C5 biasanya mengalami ketergantungan dalam

3
melakukan aktivitas seperti mandi, menyisir rambut, mencukur, tetapi
pasien mempunyai koordinasi tangan dan mulut yang lebih baik.
 Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena
paralisis intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya
akan terjadi gangguan pada otot bisep, triep, deltoid dan pemulihannya
tergantung pada perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien masih dapat
melakukan aktivitas higiene secara mandiri, bahkan masih dapat memakai
dan melepaskan baju.
 Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan
aksesoris untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari
tangan biasanya berlebihan ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7
mempunyai potensi hidup mandiri tanpa perawatan dan perhatian khusus.
Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan melepas pakaian melalui
ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah yang ringan
dan memasak.
 Lesi C8
Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi
duduk karena kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat
diminimalkan dengan pasien berubah secara bertahap dari berbaring ke
posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya mencengkram. Quadriplegia C8
harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam berpakaian, melepaskan
pakaian, mengemudikan mobil, merawat rumah, dan perawatan diri.
b. Cedera Torakal
 Lesi T1-T5
Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan
diafragmatik. Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan
lesi pada toraks. Hipotensi postural biasanya muncul. Timbul paralisis

4
parsial dari otot adductor pollici, interoseus, dan otot lumrikal tangan,
seperti kehilangan sensori sentuhan, nyeri, dan suhu.
 Lesi T6-T12
Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen. Dari
tingkat T6 ke bawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan pada
tingkat 12, semua refleks abdominal ada. Ada paralisis spastik pada tubuh
bagian bawah. Pasien dengan lesi pada tingkat torakal harus befungsi
secara mandiri.
Batas atas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah:
 T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas
 T3 Aksilla
 T5 Putting susu
 T6 Prosesus xifoid
 T7, T8 Margin kostal bawah
 T10 Umbilikus
 T12 Lipat paha
c. Cedera Lumbal
 Lesi L1-L5
Kehilangan sensori lesi pada L1-l5 yaitu:
 L1 Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha &
bagian belakang dari bokong.
 L2 Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek
anterior paha
 L3 Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel.
 L4 Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha.
 L5 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas
bawah dan area sadel.
d. Cedera Sakral
 Lesi S1-S6

5
Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa
perubahan posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis
dari otot kaki. Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, dan glans
penis, perineum, area anal, dan sepertiga aspek posterior paha.

e. Klasifikasi berdasarkan keparahan


1. Klasifikasi Frankel :
Grade A : motoris (-), sensoris (-)
Grade B : motoris (-), sensoris (+)
Grade C : motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)
Grade D : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)
Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+)

2. Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)


Grade A : motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral
Grade B : hanya sensoris (+)
Grade C : motoris (+) dengan kekuatan otot < 3
Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3
Grade E : motoris dan sensoris normal

3. Etiologi

Etiologi pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah kecelakaan


lalu lintas, jatuh dari tempat yang tinggi, kecelakaan karena olah raga,
pukulan yang sangat keras dan luka tusuk atau luka tembak pada daerah
vertebra. ( Hudak and Gallo, 1996 ).

4. Gejala Klinis

6
Gejala klinis pada klien dengan Trauma Medulla Spinalis adalah
disebabkan karena cedera pada servikal, thoracal dan lumbal sehingga
menyebabkan kehilangan kontrol kandung kemih, kehilangan kontrol
dalam defekasi, nyeri punggung, terjadi kelemahan atau penurunan
kekuatan tonus otot ( motorik ), hipotensi, bradikardi dan parestesia. ( Kurt
J. Iseelbacher, 2000 ).

5. Patofisiologi

Trauma Medulla Spinalis biasanya diakibatkan trauma vertebra yang


diakibatkan oleh benturan langsung/tidak langsung yang dapat
menyebabkan fraktur/dislokasi pada medulla spinalis. Kerusakan berkisar
dari komotio sampai kontusio, kompresi tulang yang mengakibatkan
pemotongan komplete atau inkomplete. Daerah yang sering dilibatkan
adalah daerah servikal, torakal dan lumbal. Pada awalnya oleh paralisis,
meskipun tidak ada perubahan mikroskopis atau jelas sekali terputusnya
medulla spinalis. Kemudian perdarahan kecil nampak pada substansia
kelabu dan meningkatnya perdarahan / nekrotik. ( Hudak and Gallo, 1996 ).

Cidera medulla spinalis dapat terjadi pada lumbal 1-5


- Lesi 11 – 15 : kehilangan sensorik yaitu sama menyebar sampai lipat
paha dan bagian dari bokong.
- Lesi L2 : ekstremitas bagian bawah kecuali 1/3 atas dari anterior paha.
- Lesi L3 : Ekstremitas bagian bawah.
- Lesi L4 : Ekstremitas bagian bawah kecuali anterior paha.
- Lesi L5 : Bagian luar kaki dan pergelangan kaki
Proses penyakit pada penderita Trauam Medulla Spinalis adalah
setelah trauma mengakibatkan kerusakan medulla spinalis berkisar dari
komotio sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla sampai
transeksi lengkap medulla spinalis.

7
Cedera parah dan keras, rotasi bersama dengan kelemahan relatif
sendi-sendi vertebra menyebabkan dislokasi anatar kolumna vertebralis
yang relatif mobil dengan ruas yang relatif terfiksasi yaitu antara segmen
torakal bagian bawah dan segmen lumbal bagian atas; antara segmen
lumbal bagian bawah dan segmen sacrum.

Perubahan primer menyebabkan perdarahan kecil dalam


substansia grisea akibat berkurangnya aliran darah medulla spinalis dan
hipoksia. Hipoksia substansia grisea merangsang pelepasan katekolamin
yang mendukung perdarahan dan nekrosis pada daerah toracal dan lumbal
sehingga menyebabkan paraparese / paraplegi. Apabila medulla spinalis
putus total maka semua sensasi integritas lintasan asendens medulla
spinalis berkurang / hilang sehingga dapat menyebabkan arefleksia spinalis
atau syok spinal. ( Price and Wilson, 1995 ).

SKEMA PERJALANAN PENYAKIT TRAUMA MEDULLA


SPINALIS

Trauma Vertebra

Dislokasi Koluimna Vertebralis

Perdarahan Kecil Dalam Substansia Grisea

Hipoksia Substansia Grisea

Disfungsi Medulla Spinalis Thoracal Lumbal Yang Menyeluruh

Paraparese/Paraplegi

Sumber : Sylvia Wilson, et.al, 1995, Patofisiologi Klinis-klinis Penyakit.

6. Penatalaksanaan

8
Penatalaksanaan Pra-Rumah Sakit
Penatalaksanaan TMS dimulai segera setelah terjadinya trauma. Berbagai studi
memperlihatkan pentingnya penatalaksanaan prarumah sakit dalam menentukan
prognosis pemulihan neurologis pasien. Fase evaluasi meliputi observasi primer dan
sekunder. Observasi primer terdiri atas:
A: Airway maintenance dengan kontrol pada
vertebra spinal
B: Breathing dan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan
D: Disabilitas (status neurologis)

E: Exposure/environmental control

Penatalaksanaan umum pada penderita trauma medulla spinalias adalah


sebagai berikut :

1). Konservatif
Penatalaksanaan konservatif terdiri atas :
a). Penatalaksanaan Perkemihan
Penatalaksanaan perkemihan pada trauma medulla spinalis
adalah pemasangan kateter urine dengan tujuan mempertahankan
sedikitnya 30 cc/jam.
b). Penatalaksanaan Pernafasan
Penatalaksanaan Pernafasan pada Trauma Medulla Spinalis
adalah dengan menggunakan ventilator mekanis, mengajarkan tehnik
batuk efektif untuk membantu membersihkan jalan nafas.
c). Latihan Usus
Tujuan dari latihan usus ini adalah untuk mempertahankan dan
mencapai kontinensia usus.

9
d). Perawatan Kulit
Perawatan kulit pada penderita trauma medulla spinalis adalah
menggunakan krim / lotion, menggunakan alas untuk mencegah
lembabnya kulit di bawah permukaan tubuh, menggunakan sepatu
yang cukup dengan ukuran kaki untuk menghindari benturan dan
gesekan kaki, memakai kaos kaki yang terbuat dari bahan katun dan
melakukan masase dengan teratur.

e). Obat-obatan
Pemberian farmakoterapi pada penderita Trauma Medulla
Spinalis adalah pemberian kortikosteroid dosis tinggi khususnya
metil prednison untuk memperbaiki prognosis dan mengurangi
kecacatan bila diberikan dalam 8 jam cedera. Kemudian pemberian
steroid dosis tinggi seperti Mannitol ( diberikan untuk menurunkan
edema ), Dextran ( diberikan untuk mencegah tekanan darah
menurun dan memperbaiki aliran daerah kapiler ).
f). Reduksi dan Traksi Skeletal
Penatalaksanaan Trauma medulla spinalis memerlukan
immobilisasi dan reduksi dislokasi ( memperbaiki posisi normal )
dan stabilisasi columna vertebra.
2). Operatif

Penatalaksanaan tindakan operatif pada penderita trauma


medulla spinalis adalah Laminectomy. ( Hudak and Gallo, 1996 )

7. ASUHAN KEPERAWATAN
Asuhan keperawatan merupakan bagian dari pelayanan kesehatan untuk
memberikan asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan proses
keperawatan yang meliputi pengkajian diagnosa keperawatan, perencanaan dan
evaluasi.

10
I. PENGKAJIAN

A. Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, status
perkawinan, alamat, pekerjaan, agama, pedidikan.
B. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan masa lalu meliputi apakah klien mempunyai
riwayat kecelakaan, jenis kecelakaan dan posisi klien pada saat
kecelakaan.
Riwayat kesehatan sekarang meliputi keluhan/ gangguan yang
dirasakan saat ini, apakah ada kelumpuhan otot pada / di bawah lesi,
inkontinensia defekasi dan berkemih serta kehilangan tonus otot
( motorik).
Riwayat kesehatan keluarga meliputi riwayat penyakit ada di
keluarga berhubungan dengan penyakit yang diderita oleh klien.
C.Dasar Data Pengkajian
Menurut Marylinn E. Doengoes, et.al, 2000, Rencana Asuhan
Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta adalah sebagai berikut :
Aktivitas / Istirahat pada penderita Trauma Medulla Spinalis
adalah ditandai dengan kelumpuhan otot ( terjadi kelemahan selama
syok spinal ) pada / di bawah lesi, kelemahan umum / kelemahan otot
( trauma dan adanya kompresi saraf ).
Sirkulasi pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah
ditandai dengan hipotensi, bradikardi, extremitas bawah dingin dan
pucat, hilangnya keringat pada daerah yang terkena, sedangkan
gejalanya berdebar-debar saat melakukan perubahan posisi / bergerak.
Integritas Ego pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah
ditandai dengan menyangkal, sedih dan marah, sedangkan gejalanya
takut, cemas dan gelisah.

11
Makanan / Cairan pada penderita Trauma Medulla Spinalis
adalah ditandai dengan distensi abdomen, peristaltik usus hilang, nafsu
makan meningkat.
Hygiene pada penderita Trauma Medulla Spinalis di tandai
dengan sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
Neurosensori pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah
ditandai kelumpuhan, kelemahan, kehilangan tonus otot / vasomotor,
kehilangan reflek termasuk tendon dalam, sedangkan gejalanya
kesemutan, paralisis.
Nyeri / kenyamanan pada penderita Trauma Medulla Spinalis
adalah ditandai dengan deformitas, nyeri vertebra, sedangkan
gejalanya nyeri tekan otot.
Pernafasan pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah
ditandai dengan pernafasan dangkal, dispneu, suara nafas ronkhi,
pucat, sianosis, sedangkan gejalanya sulit bernafas dan nafas pendek.
Keamanan pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah
ditandai dengan Gejala suhu yang berfluktuasi ( suhu tubuh ini diambil
dalam suhu kamar ).
Seksualitas pada pendertia Trauma Medulla Spinalis adalah
ditandai dengan menstruasi tidak teratur pada wanita, ereksi tidak
terkendali pada pria, sedangkan gejalanya adanya keinginan kembali
seperti fungsi normal.

D.Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan Diagnostik pada penderita Trauma Medulla


Spinalis menurut Marylinn E. Doengoes, et.al, 2000, Rencana Asuhan
Keperawatan , Edisi 3, EGC, Jakarta adalah : 1). Sinar X Spinal :
menentukan lokasi dan jenis cedera tulang, untuk kesejajaran operasi;
2). CT-SCAN : menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi
gangguan struktural; 3). MRI : mengidentifikasi adanya kerusakan

12
saraf spinal, edema dan komprasi; 4). Myelografi : memperlihatkan
columna spinal jika fraktur patologisnya tidak jelas atau dicurigai; 5).
Foto Rontgen Torax : memperlihatkan keadaan paru ( contoh :
perubahan pada diafragma, ateletaksis ).

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan Pada Penderita Trauma Medulla Spinalis
Menurut Marylinn E. Doengoes, et.al, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan,
Edisi 3, EGC, Jakarta adalah :
1. Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan
kerusakan persarafan dari diafragma.
2. Resiko tinggi terhadap trauma tambahan berhubungan dengan
kelemahan temporer.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler.
4. Perubahan sensori-perseptual berhubungan dengan kerusakan traktus
sensori.
5. Adanya nyeri berhubungan dengan cedera psikis.
6. Antisipasi berduka berhubungan dengan kehilangan yang dirasakan /
aktual tentang kesejahteraan fisiopsikologis.
7. Harga diri rendah berhubungan dengan cedera traumatik, krisis
situasional.
8. Inkontinensia usus / konstipasi berhubungan dengan persyarafan pada
usus dan rektum.
9. Perubahan pola eliminasi urinarius berhubungan dengan gangguan
persyarafan pada kandung kemih, hipotoni kandung kemih.

13
10. Resiko tinggi terhadap disrefleksia berhubungan dengan perubahan
fungsi syaraf ( cedera medulla spinalis pada Torakal 6 dan di atasnya ).
11. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
ketidak adekuatan sirkulasi perifer.
12. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
mengenai kondisi prognosis dan pengobatan.

3. PERENCANAAN
Perencanaan merupakan tahap ke-3 dalam proses keperawatan, pada
tahap ini menentukan prioritas masalah keperawatan yang dapat disesuaikan
dengan hirarki kebutuhan dasar Maslow, Tujuan yang akan dicapai dan
merencanakan tindakan, keperawatan serta menentukan kriteria hasil.
Rencana keperawatan Trauma Medulla Spinalis menurut Marylinn E.
Doengos, et.al, 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta.
Yaitu :

1. Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan


kerusakan persarafan diafragma. Tujuannya Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan jalan nafas kembali normal.
Kriteria Hasilnya Jalan nafas paten, dispneu hilang, syanosis bunyi nafas
normal, Frekuensi pernafasan normal ( 16-20 x / mnt). Adapun rencana
tindakan keperawatannya adalah :
Pertahankan jalan nafas : posisi kepala dalam keadaan netral,
tinggikan sedikit posisi kepala tempat tidur. Rasionalnya pasien dengan
trauma servikal bagian atas dan gangguan muntah/batuk akan membutuhkan
bantuan untuk mencegah aspirasi.
Auskultasi suara nafas. Rasionalnya hipoventilasi biasanya
menyebabkan akumulasi/pneumonia.
Anjurkan batuk efektif. Rasionalnya untuk memperlancar jalan
nafas.

14
Observasi warna kulit; adanya syanosis. Rasionalnya
menggambarkan akan terjadi gagal nafas yang memerlukan evaluasi dan
intervensi medis dengan segera.

2. Resiko tinggi terhadap trauma tambahan berhubungan dengan


kelemahan temporer. Tujuannya Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3 x 24 jam diharapkan trauma tambahan tidak terjadi. Kriteria hasilnya
trauma tidak terjadi, mempertahankan kesejajaran yang tepat dari spinal.
Adapun rencana tindakan keperawatannya adalah :
Pertahankan tirah baring. Rasionalnya menjaga kestabilan dari
columna vertebra dan membantu proses penyembuhan.
Ganti posisi secara periodik. Rasionalnya mempertahankan posisi
kolumna spinal yang tepat sehingga mengurangi resiko terjadinya trauma.
Gunakan penyokong / pelindung pada sisi tempat tidur. Rasionalnya
untuk mencegah terjadinya trauma.

3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan


neuromuskuler. Tujuannya Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3 x 24 jam diharapkan kontraktur tidak terjadi, kekuatan tonus otot
meningkat. Kriteria Hasil kontraktur tidak terjadi, kekuatan tonus otot
( motorik ) meningkat, mendemonstrasikan tehnik/perilaku yang
memungkinkan melakukan kembali aktivitas. Adapun rencana tindakan
keperawatannya adalah :
Kaji secara teratur fungsi motorik. Rasionalnya mengevaluasi
keadaan secara khusus.
Bantu / lakukan latihan ROM pada semua extremitas. Rasionalnya
meningkatkan sirkulasi, mempertahankan tonus otot dan mobilisasi sendi.
Ajarkan tehnik relaksasi. Rasionalnya mengurangi
tekanan/ketegangan otot, kelelahan dan membantu mengurangi nyeri, spasme
otot.

15
Inspeksi area kulit tiap 1x24 jam. Rasionalnya gangguan sirkulasi,
hilangnya sensasi kelumpuhan merupakan resiko tinggi terjadinya luka.

4. Perubahan sensori-perseptual berhubungan dengan kerusakan traktus


sensori. Tujuannya Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan kerusakan sensori-perseptual tidak terjadi. .Kriteria Hasil
mengenali kerusakan sensori-perseptual, mengidentifikasi perilaku untuk
mengkompensasi kekurangan. Adapun rencana tindakan keperawatannya
adalah :
Kaji fungsi sensori klien. Rasionalnya perubahan mungkin tidak
terjadi selama fase akut tetapi saat syok spinal membaik, digunakan kartu
dermatom/tanda peta anatomik.
Lindungi diri dari bahaya tubuh. Rasionalnya pasien mungkin tidak
merasakan nyeri/tidak sadar tentang posisi tubuh.
Berikan aktifitas hiburan. Rasionalnya membatu mempertahankan
orientasi realita dan memberikan rasa normal tiap hari.

5. Adanya nyeri berhubungan dengan cemas psikis. Tujuannya Setelah


dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri hilang /
terkontrol. Kriteria Hasil Nyeri hilang / terkontrol, Wajah tampak tenang,
rileks, Istirahat / tidur terpenuhi. Adapun rencana tindakan keperawatannya
adalah :
Kaji tingkat nyeri. Rasionalnya untuk mengantisipasi terjadinya
spasme otot, cedera dan nyeri di bawah tingkat cedera.
Ajarkan tehnik relaksasi. Rasionalnya mengurangi ketegangan otot
dan mengurangi nyeri.
Evaluasi peningkatan iritabilitas, tegangan otot dan perubahan vital
sign. Rasionalnya petunjuk non verbal dari nyeri / ketidaknyamanan
memerlukan intervensi.

6. Antisipasi berduka berhubungan dengan kehilangan yang


diraskan/actual tentang kesejahteraan fisiopsikologis. Tujuannya Setelah

16
dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan rasa berduka
hilang/terkontrol. Kriteria Hasil pola tidur adekuat, komunikasi kooperatif,
rasa berduka hilang/terkontrol, wajah ceria. Adapun Rencana Tindakan
Keperawatannya adalah :
Identifikasi tanda-tanda duka. Rasionalnya pasien mengalami
banyak rekasi emosional terhadap cedera dan dampak aktualisasi/potensi pada
hidup.
Pantau pola komuniaksi. Rasionalnya syok spinal adalah reaksi
awal berkenaan dengan cedera yang berlebihan.
Berikan informasi sederhana dan akurat pada pasien berkenaan
dengan perawatannya. Rasionalnya kesadaran pasien tentang sekitarnya dan
aktifitas mungkin terhambat pada awalnya. Dukungan emosional pada fokus
awal diarahkan pada orang terdekat.

7. Harga diri rendah berhubungan dengan cedera traumatik. Tujuannya


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
percaya diri klien meningkat. Kriteria Hasil klien dapat mengungkapkan
penerimaan diri sendiri dalam situasi, mengembangkan rencana realitas untuk
beradaptasi pada peran/perubahan peran baru. Adapun rencana tindakan
keperawatannya adalah :
Dengarkan keluhan klien. Rasionalnya memberikan petunjuk bagi
pasien dalam memandang dirinya, adanya perubahan peran dan kebutuhan
dan berguna untuk memberikan informasi pada saat tahap penerimaan.
Berikan arti kehilangan /perubahan. Rasionalnya perubahan yang
actual dari gambaran diri pasien mungkin berbeda dari yang dirasakan.
Libatkan pasien/orang terdekat dalam perawatan, biarkan pasien
membuat keputusan dan berperan dalam aktifitas serta perawatan diri.
Rasionalnya meyakinkan bahwa pasien masih bertanggung jawab atas
kehidupan sendiri dan memberikan perasaan untuk dapat mengatur
keadaan/situasi diri.

17
8. Inkontinensia usus / konstipasi berhubungan dengan gangguan
persarafan pada usus dan rectum. Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3x24 jam diharapkan eliminasi BAB kembali normal. Kriteria hasilnya
bising usus ada, BAB lancar 1-2x/hari, tidak terjadi distensi abdomen. Adapun
rencana tindakan keperawatannya adalah :
Auskultasi bising usus. Rasionalnya hilangnya bising usus
menandakan adanya paralitik ileus.
Anjurkan klien untuk makan makanan yang tinggi serat.
Rasionalnya mengkatkan konsistensi feses untuk dapat melewati usus dan
cepat dan mudah.
Observasi adanya distensi abdomen. Rasionalnya hilangnya
peristaltik melumpuhkan usus dan membuat distensi ileus dan usus.
Beri perawatan kulit. Rasionalnya hilangnya kontrol sfingter ani
dan saraf didaerah tertentu beresiko tinggi untuk iritasi / kerusakan kulit.

9. Perubahan pola eliminasi urinarius berhubungan dengan gangguan


persarafan kandung kemih dan hipotoni kandung kemih. Tujuannya setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan persarafan
kandung kemih kembali normal. Dengan kriteria hasil tidak terjadi distensi
kandung kemih, pola berkemih klien kembali normal, warna urine kuning
jernih. Adapun rencana tindakan keperawatannya adalah :

Kaji pola berkemih klien. Rasionalnya mengidentifikasi fungsi


kandung kemih.

Palpasi adanya distensi kandung kemih. Rasionalnya disfungsi


kandung kemih bervariasi, ketidak mampuan berhubungan dengan hilangnya
kontrakasi kandung kemih untuk merilekskan sfingter urinarius.

Anjurkan klien untuk minum + 2-4 liter/hari. Rasionalnya


membantu mempertahankan fungsi ginjal, mencegah infeksi dan
pembentukan batu.

18
Observasi adanya urine seperti berdarah, bau yang tidak enak.
Rasionalnya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan / ginjal dapat
menyebabkan sepsis.

Berikan perawatan kateter dan bersihkan daerah perineum.


Rasionalnya menurunkan resiko terjadinya infeksi dan iritasi kulit / kerusakan
kulit.

10. Resiko tinggi terhadap disrefleksia berhubungan dengan perubahan


fungsi saraf ( cedera medulla spinalis pada Torakal 6 dan di atasnya ).
Tujuannya setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan disrefleksia tidak terjadi. Dengan kriteria hasil tidak terjadi
spasme otot, tidak ada infeksi kandung kemih, tanda-tanda vital dalam batas
normal. Adapun rencana tindakan keperawatannya adalah :
Observasi tanda-tanda vital. Rasionalnya terapi/pengurangan
terhadap stimulus yang berlebihan dapat menyebabkan hipotensi, takikardi.
Berikan posisi semi fowler. Rasionalnya dengan terjadinya
hipotensi dapat mencegah perdarahan intra kranial, kejang/meninggal
Dampingi klien selama fase ini. Rasionalnya potensial untuk
terjadinya komplikasi sangat fatal, pemantauan / intervensi yang terus-
menerus dapat mengurangi kecemasan klien.

11. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan


ketidak adekuatan sirkulasi perifer. Tujuannya setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan keutuhan kulit terjaga. Kriteria
hasil tumbuh jaringan baru, tidak ada jaringan kulit yang terbuka. Adapun
rencana tindakan keperawatannya adalah :
Inspeksi area kulit. Rasionalnya kulit biasanya cenderung rusak
karena perubahan sirkulasi perifer.

19
Lakukan masase pada daerah punggung. Rasionalnya dapat
meningkatkan sirkulasi dan melindungi permukaan kulit dan mengurangi
terjadinya ulserasi.
Lakukan perawatan luka. Rasionalnya untuk mencegah terjadinya
infeksi.
Jagalah alat tenun tetap kering. Rasionalnya meningkatkan sirkulasi
pada kulit dan mengurangi tekanan pada daerah tulang yang menonjol.

12. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya Informasi


mengenai kondisi dan kebutuhan tindakan. Tujuannya Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 1 x 60 menit diharapkan klein mengerti dan
memahami kondisi, pengertian, penyebab, tanda dan gejala serta cara
pencegahan penyakit. Kriteria hasil menyatakan pemahaman kondisi,
pengertian, penyebab, tanda dan gejala, cara pencegahan dan pengobatan
penyakit. Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program
pengobatan. Adapun rencana tindakan keperawatannya adalah :
Berikan Informasi dalam bentuk tertulis dan verbal. Rasional kelemahan
dan depresi dapat mempengaruhi kemampuan untuk mengasimilasi informasi /
mengikuti program medik.
Berikan informasi dan demonstrasikan tehnik posisi Rasionalnya
meningkatkan pemahaman klien, meningkatkan sirkulasi dan mengurangi
tekanan pada jaringan serta resiko terjadinya komplikasi.
Diskusikan aspek ketidak mampuan dari penyakit, lamanya
penyembuhan dan harapan kesembuhan. Rasional informasi dapat
meningkatkan koping dan membantu menurunkan ansietas dan masalah
berlebihan.

4. EVALUASI

Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan. Dengan


adanya evaluasi dapat mengetahui sejauh mana tujuan keperawatan tercapai

20
sehingga dapat memutuskan apakah rencana tindakan keperawatan dapat
dihentikan, dipertahankan, dilanjutkan / dimodifikasi.
Evaluasi pada Trauma Medulla Spinalis dari masing-masing Diagnosa
Keperawatan adalah sebagai berikut :

Diagnosa 1
Evaluasi yang diharapkan adalah jalan nafas adekuat, bunyi nafas
normal, tidak ada dispneu dan sianosis, frekuensi pernafasan normal.

Diagnosa 2
Evaluasi yang diharapkan trauma tidak terjadi, dapat mempertahankan
kesejajaran yang tepat dari spinal.

Diagnosa 3

Evaluasi yang diharapkan adalah kontraktur tidak terjadi, kekuatan


tonus otot meningkat, mendemostrasikan tehnik / perilaku yang
memungkinkan melakukan kembali aktifitas.

Diagnosa 4

Evaluasi yang diharapkan adalah mengenal kerusakan sensori,


mengidentifikasi perilaku untuk mengkompensasi kekurangan.

Diagnosa 5

Evaluasi yang diharapkan adalah nyeri hilang/terkontrol, wajah


tampak rilex, istirahat/tidur dan peningkatan aktivitas dengan tepat

Diagnosa 6

Evaluasi yang diharapkan adalah pola tidur adekuat, komunikasi


kooperatif, ekspresi wajah ceria, cemas hilang dan sedih hilang.

Diagnosa 7

21
Evaluasi yang diharapkan adalah penerimaan diri sendiri dalam
situasi, mengembangkan rencana realitas untuk beradaptasi pada
peran/perubahan peran baru.

Diagnosa 8

Evaluasi yang diharapkan adalah bising usus ada, BAB normal


1-2 x / hari, tidak terjadi distensi abdomen.

Diagnosa 9

Evaluasi yang diharapkan adalah tidak terjadi distensi kandung kemih,


pola berkemih klien kembali normal, warna urine kuning jernih.

Diagnosa 10

Evaluasi yang diharapkan adalah tidak terjadi spasme otot, tidak ada
infeksi dalam kandung kemih, tanda-tanda vital dalam batas normal.
Diagnosa 11

Evaluasi yang diharapkan adalah keutuhan kulit terjaga, tumbuh


jaringan baru, tidak ada jaringan kulit yang tebuka dan infeksi tidak terjadi.

Diagnosa 12

Evaluasi yang diharapkan adalah menyatakan pemahaman kondisi,


pengertian, penyebab, tanda dan gejala, cara pencegahan dan pengobatan
penyakit serta melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam
program pengobatan.

(Marylinn E. Doengoes, et. al, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3,


EGC, Jakarta)

22
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Trauma Medulla Spinalis adalah suatu fraktur vertebra yang mengakibatkan


disfungsi neurologis pada daerah servikal, thoracal dan lumbal yang

23
menyebabkan kelumpuhan extremitas bawah, disfungsi defekasi dan
berkemih. Trauma Medulla Spinalis biasanya diakibatkan trauma vertebra
yang diakibatkan oleh benturan langsung/tidak langsung yang dapat
menyebabkan fraktur/dislokasi pada medulla spinalis. Kerusakan berkisar dari
komotio sampai kontusio, kompresi tulang yang mengakibatkan pemotongan
komplete atau inkomplete.

2. Saran

Perlu diaadakan sharing antar mahasiswa untuk mempelajari penyakit fraktur


secara lebih luas

24
DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Edisi 8,


Volume 3, EGC, Jakarta.

Carpenito Lynda Juall, 1998, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan,


Edisi 2, EGC, Jakarta.

Doengoes E Marylinn., et.al, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC,


Jakarta.

Guyton, 1994, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta.


Hudak and Gallo, 1996, Keperawatan Kritis, Edisi VI, Volume 2, EGC, Jakarta.
.Isselbacher Kurt J, A.B, M.D, 2000, Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam,
Edisi 13, Volume 5, EGC, Jakarta.

Wilson Sylvia, et.al, 1995, Patofisiologi Klinis-klinis Penyakit, Edisi 1, Volume 2,


EGC, Jakarta.

25
Wahyu Widagdo, 1995, Rencana Asuhan Keperawatan Neurologis, DEPKES RI,
Jakarta.

26

Anda mungkin juga menyukai