Anda di halaman 1dari 5

B.

Pengertian Trauma Servikal


Trauma servikal adalah suatu keadaan cedera pada tulang belakang servikal dan medulla
spinalis yang disebabkan oleh dislokasi, subluksasi, atau fraktur vertebra servikalis dan ditandai
dengan kompresi pada medula spinalis daerh servikal. Dislokasi servikal adalah lepasnya salah
satu struktur dari tulang servikal. Subluksasi servikal merupakan kondisi sebagian dari tulang
servikal lepas. Fraktur servikal adalah terputusnya hubungan dari badan tulang vertebra
servikalis (Muttaqin, 2011).
C. Etiologi
Cedera medulla spinalis servikal disebabkan oleh trauma langsung yang mengenai tulang
belakang di mana tulang tersebut melampaui kemampauan tulang belakang dalam melindungi
saraf-saraf belakangnya. Menurut Emma, (2011) Trauma langsung tersebut dapat berupa :
1. Kecelakaan lalulintas
2. Kecelakaan olahraga
3. Kecelakaan industri
4. Jatuh dari pohon/bangunan
5. Luka tusuk
6. Luka tembak
7. Kejatuhan benda keras
D. Patofisiologi
Kolumna vertebralis normal dapat menahan tekanan yang berat dan mempertahankan
integritasnya tampa mengalami kerusakan pada medula spinalis. Akan tetapi, beberapa
mekanisme trauma tertentu dapat merusak sistem pertahanan ini dan mengakibatkan kerusakan
pada kolumna vertebralis dan medula spinalis. Pada daerah kolumna servikal, kemungkinan
terjadinya cedera medula spinalis adalah 40%. Trauma servikal dapat ditandai dengan kerusakan
kolumna vertebralis (fraktur, dislokasi, dan subluksasi), kompresi diskus, robeknya ligamen
servikal, dan kompresi radiks saraf pada setiap sisinya yang dapat menekan spinal dan
menyebabkan kompresi radiks dan distribusi saraf sesuai segmen dari tulang belakang servikal
(Price, 2009).
Pada cidera hiperekstensi servikal, pukulan pada wajah atau dahi akan memaksa kepala
kebelakang dan tidak ada yang menyangga oksiput dan diskus dapat rusak atau arkus saraf
mengalami kerusakan. Pada cidera yang stabil dan merupakan tipe frakutur vertebra yang paling
sering di temukan. Jika ligamen posterior robek, cedera, bersifat tidak stabil dan badan vertebra
bagian atas dapat miring ke depan di atas badan vertebra di bawahnya. Trauma servikal dapat
menyebabkan cedera yang komponen vertebranya tidak akan tergeser oleh gerakan normal
sehingga sumsum tulang tidak rusak dan resiko biasanya lebih rendah (Muttaqin, 2011).
Cedera yang tidak stabil adalah cedera yang dapat mengalami pergeseran lebih jauh dan
perubahan struktur oseoligamentosa posterior (pedikulis, sendi permukaan, arkus tulang
posterior, ligamen interspinosa, dan supraspinosa), komponen pertengahan (sepertiga bagian
posterior badan vertebra, bagian posterior diskus intervertebra, dan ligamen longitudinal

posterior), dan kolumna anterior (duapertiga bagian anterior korpus vertebra, bagian anterior
diskus intervertebra dan ligamen longitudinal anterior) (Muttaqin, 2011).
Cedera spinal tidak stabil menyebabkan resiko tinggi cedera pada korda sehingga
menimbulkan masalah aktual atau resiko ketidakefektifan pola napas dan penurunan curah
jantung akibat kehilangnya kontrol organ viseral. Kompresi saraf dan spasme otot servikal
memberikan stimulasi nyeri. Kompresi diskus menyebabkan paralisis dan respons sistemik
dengan munculnya keluhan mobilisasi fisik, gangguan defekasi akibat penurunan peristaltik
usus, dan ketidak seimbangan nutrisi (Price, 2002).
Tindakan dekompresi dan stabilitas pada pascabedah akan menimbulkan port de entree luka
pascabedah yang menyebabkan masalah resiko tinggi infeksi. Selain itu, tindakan tersebut dapat
menyebabkan kerusakan neuromuskular, yang menimbulkan resiko trauma sekunder akibat
ketidaktahuan tentang teknik mobilisasi yang tepat. Kondisi psikologis karena prognosis
penyakit menimbulkan respons anastesi. Manipulasi yang tidak tepat akan menimbulkan keluhan
nyeri dan hambatan mobilitas fisik (Muttaqin, 2011)
F. Manifestasi Klinis
Menurut Hudak & Gallo, (1996) menifestasi klinis trauma servikal adalah sebagai berikut :
1. Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4. Otot trapezius, sternomastoid dan otot plastisma masih berfungsi. Otot
diafragma dan otot interkostal mengalami partalisis dan tidak ada gerakan (baik secara fisik
maupun fungsional0 di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat C1
malalui C3 meliputi daerah oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah. Kehilangan sensori
diilustrasikan oleh diagfragma dermatom tubuh.
Pasien dengan quadriplegia pada C1, C2, atau C3 membutuhkan perhatian penuh karena
ketergantungan pada semua aktivitas kebutuhan sehari-hari seperti makan, mandi, dan
berpakaian. quadriplegia pada C4 biasanya juga memerlukan ventilator mekanis tetapi mengkn
dapat dilepaskan dari ventilator secara. intermiten. pasien biasnya tergantung pada orang lain
dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari meskipun dia mungkin dapat makan sendiri
dengan alat khsus.
2. Lesi C5
Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma rusak sekunder
terhadap edema pascatrauma akut. paralisis intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai dengan
depresi pernapasan. Ekstremitas atas mengalami rotasi ke arah luar sebagai akibat kerusakan
pada otot supraspinosus. Bahu dapat di angkat karena tidak ada kerja penghambat levator
skapula dan otot trapezius. setelah fase akut, refleks di bawah lesi menjadi berlebihan.
Sensasi ada pada daerah leher dan triagular anterior dari daerah lengan atas.
3. Lesi C6
pada lesi segen C6 disters pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal dan edema
asenden dari medulla spinalis. Bahu biasanya naik, dengan lengan abduksi dan lengan bawah
fleksi. Ini karena aktivitasd tak terhambat dari deltoid, bisep dan otot brakhioradialis.
4. Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesori untuk
mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Ekstremitas atas mengambil posis yang sama
seperti pada lesi C6. Fleksi jari tangan biasnya berlebihan ketika kerja refleks kembali.

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Menurut Price, (2002 )menyampaikan manifestasi klinik pada fraktur adalah sebagai
berikut:
Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme otot,
tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur dan
extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot. paralysis dapat
terjadi karena kerusakan syaraf.
Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak terjadi
pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.

h. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan.
i. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot
yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan
bentuk normalnya.
j. Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.
G. Pemeriksaan Diagnostik
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Gambar 2.2 : Hasil pemeriksaan rontgen


Menurut Doenges, (2000) ada pun pemeriksaan penunjang trauma servikal yaitu:
Sinar X spinal
Menentukan loksi dan jenis cedera tulang (fraktur, disloksi) untuk kesejajaran, reduksi
setelah dilakukan traksi atau operasi.
CT scan
Menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan struktural.
MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi.
Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor patologisnya tidak
jelas atau di curigai adanya oklusi pada ruang subarakhnoid medulla spinalis.
Foto rontgen torak
Memperlihatkan keadaan paru (contohnya: perubahan pada diagfragma, anterlektasis).
GDA

Menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.


H. Komplikasi
a)

b)

c)
d)

I.

Menurut Emma, (2011) komplikasi pada trauma servikal adalah :


Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang desending pada
medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan
persarafan simpatis pada jantung sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral
serta ekstremitas bawah maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi hipotensi.
Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah terjadinya cedera
medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak seperti lesi komplit walaupun tidak
seluruh bagian rusak.
Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil dari cedera yang
mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau torakal atas.
Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut, keringat banyak, kongesti nasal, bradikardi
dan hipertensi.
Penatalaksanaan

Menurut ENA, (2000) penatalaksanaan pada pasien truama servikal yaitu :


1. Mempertahankan ABC (Airway, Breathing, Circulation)
2. Mengatur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway : headtil, chin lip, jaw thrust. Jangan
memutar atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi), mempertimbangkan pemasangan
intubasi nasofaring.
3. Stabilisasi tulang servikal dengan manual support, gunakan servikal collar, imobilisasi lateral
kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.
Gambar 2.3 : Servikal Collar
4. Stabililisasi tulang servikal sampai ada hasil pemeriksaan rontgen (C1 - C7) dengan
menggunakan collar (mencegah hiperekstensi, fleksi dan rotasi), member lipatan selimut di
bawah pelvis kemudian mengikatnya.
5. Menyediakan oksigen tambahan.
6. Memonitor tanda-tanda vital meliputi RR, AGD (PaCO2), dan pulse oksimetri.
7. Menyediakan ventilasi mekanik jika diperlukan.
8. Memonitor tingkat kesadaran dan output urin untuk menentukan pengaruh dari hipotensi dan
bradikardi.
9. Meningkatkan aliran balik vena ke jantung.
10. Berikan antiemboli
11. Tinggikan ekstremitas bawah
12. Gunakan baju antisyok.
13. Meningkatkan tekanan darah
14. Monitor volume infus.
15. Berikan terapi farmakologi ( vasokontriksi)

16. Berikan atropine sebagai indikasi untuk meningkatkan denyut nadi jika terjadi gejala bradikardi.
17. Mengetur suhu ruangan untuk menurunkan keparahan dari poikilothermy.
18. Memepersiapkan pasien untuk reposisi spina.
19. Memberikan obat-obatan untuk menjaga, melindungi dan memulihkan spinal cord : steroid
dengan dosis tinggi diberikan dalam periode lebih dari 24 jam, dimulai dari 8 jam setelah
kejadian.
a.

Memantau status neurologi pasien untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien.

b.

Memasang NGT untuk mencegah distensi lambung dan kemungkinan aspirasi jika ada indikasi.

c.

Memasang kateter urin untuk pengosongan kandung kemih.

d.

Mengubah posisi pasien untuk menghindari terjadinya dekubitus.

e.

Memepersiapkan pasien ke pusat SCI (jika diperlukan).

f.

Mengupayakan pemenuhan kebutuhan pasien yang teridentifikasi secara konsisten untuk


menumbuhkan kepercayaan pasien pada tenaga kesehatan.

g.

Melibatkan orang terdekat untuk mendukung proses penyembuhan.

Anda mungkin juga menyukai