Anda di halaman 1dari 27

HASIL SMALL GROUP DISCUSSION

ISU END OF LIFE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Oleh:
SGD 8
NI LUH DIAH PRADNYA KERTHIARI 1302105036
KOMANG EVA TRIJAYANTI

1302105047

NI LUH EKA PUTRI ULANDARI

1302105049

NI PUTU LILIK CAHYANI

1302105052

HARISTA MIRANDA SALAM

1302105059

PUTU ARI SINTYA DEWI

1302105070

I PUTU IWAN PRATAMA

1302105076

NI LUH TRISNAWATI

1302105079

DEWA AYU LIDYA CITRA DEWI1302105089

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2016

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat, rahmat, dan
karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan hasil Small Group Discussion Isu End Of Life
Keperawatan Gawat Darurat untuk memenuhi penugasan blok Keperawatan Komunitas IV
semester 7 Program Studi Ilmu keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Dalam penulisan laporan ini tidak lepas dari adanya hambatan dan kesulitan, namun berkat
bimbingan, bantuan, nasihat dan saran serta kerjasama dari berbagai pihak khususnya dosen,
fasilitator, dan anggota kelompok, segala hambatan tersebut akhirnya dapat dilalui dengan baik.
Harapan penulis bahwa kedepannya laporan SGD ini dapat menjadi referensi dalam
meningkatkan kualitas ilmu keperawatan profesional pada umumnya dan meningkatkan
pengetahuan terkait blok manajemen keperawatan pada khususnya. Semoga laporan ini
bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih.

Penulis

Kelompok SGD 8

LEARNING TASK
ISU END OF LIFE
1
2
3

Jelaskan perbedaan mati klinis dan mati biologis!


Apakah yang dimaksud dengan end of life care?
Buatlah laporan mengenai salah satu isu end of life care di bawah ini!
Withdrawing and withholding life support (kelompok 1-4)
Do not Resuscitation (kelompok 5-8)

NB

Sistematika laporan terdiri dari 3 bab (pendahuluan, isi, penutup)


Lengkapi dengan satu jurnal pendukung
Bab 2 memuat segala konsep mengenai isu yang dibahas, prinsip etik terkait isu tersebut,
ringkasan jurnal dan peran perawat.

PEMBAHASAN

Jelaskan perbedaan mati klinis dan mati biologis!


Mati klinis ditandai dengan henti nafas dan jantung (sirkulasi) serta berhentinya
aktivitas otak tetapi tidak irreversibel dalam arti masih dapat dilakukan resusitasi jantung
paru dan kemudian dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi. (Soenarjo et al, 2013)
Mati biologis merupakan kelanjutan mati klinis apabila pada saat mati klinis tidak
dilakukan resusitasi jantung paru. Mati biologis berarti tiap organ tubuh secara biologis akan
mati dengan urutan : otak, jantung, ginjal, paru-paru, dan hati. Hal ini disebabkan karena
daya tahan hidup tiap organ berbeda-beda, sehingga kematian seluler pada tiap organ terjadi
secara tidak bersamaan. (Soenarjo et al, 2013)

Perbedaan

Mati Klinis (Clinical Death)

Tanda

Berhentinya detak jantung, denyut nadi Kematian


dan pernafasan.

Fungsi Organ

Mati Biologis (Biological Death)


yang

terjadi

akibat

degenerasi jaringan di otak dan

organ lainnya.
Beberapa organ seperti mata dan ginjal Beberapa organ akan mati (tidak
akan tetap hidup saat terjadi mati klinis.

dapat berfungsi kembali) setelah

mati biologis.
Organ dalam Organ dalam tubuh dapat digunakan Organ dalam tubuh tidak dapat
tubuh
Sifat
Pemerikasaan

sebagai transplantasi.
Reversibel / dapat kembali
Pemeriksaan keadaan klinis

Suhu Tubuh

Pemeriksaan Neurologis
Hipertermia (> 36 C) dan terkadang Hipotermia (< 36oC)

Kriteria

digunakan untuk transplantasi.


Ireversibel/ tidak dapat kembali
Pemeriksaan keadaan klinis dan

ditemui Hipotermia
1) Berhentinya detak jantung
2) Berhentinya denyut nadi
3) Berhentinya pernafasan spontan.

1) Dilatasi bilateral dan fixaxi pupil


2) Berhentinya semua reflek
3) Berhentinya
respirasi
tanpa
bantuan
4) Berhentinya

aktivitas

cardiaovaskuler
5) Gambaran gelombang otak datar

Apakah yang dimaksud dengan end of life care?


End of life care merupakan salah satu tindakan yang membantu meningkatkan
kenyamanan seseorang yang mendekati akhir hidup (Ichikyo, 2016). End of life care adalah

perawatan yang diberikan kepada orang-orang yang berada di bulan atau tahun terakhir
kehidupan mereka (NHS Choice, 2015). End of life care akan membantu pasien meninggal
dengan bermartabat. Pasien yang berada dalam fase tersebut biasanya menginginkan
perawatan yang maksimal dan dapat meningkatkan kenyamanan pasien tersebut. End of life
care merupakan bagian penting dari keperawatan paliatif yang diperuntukkan bagi pasien
yang mendekati akhir kehidupan. End of life care bertujuan untuk membantu orang hidup
dengan sebaik-baiknya dan meninggal dengan bermartabat (Curie, 2014). End of life care
adalah salah satu kegiatan membantu memberikan dukungan psikososial dan spiritual
(Putranto, 2015). Jadi dapat disimpulkan bahwa End of life care merupaka salah satu
tindakan keperawatan yang difokuskan pada orang yang telah berada di akhir hidupnya,
tindakan ini bertujuan untuk membuat orang hidup dengan sebaik-baiknya selama sisa
hidupnya dan meninggal dengan bermartabat.
3

Jelaskan prinsip prinsip end of life care !


Menurut NSW Health (2005) Prinsip End Of Life Care antara lain :
a Menghargai kehidupan dan perawatan dalam kematian
Tujuan utama dari perawatan adalah menpertahankan kehidupan, namun ketika hidup
tidak dapat dipertahankan, tugas perawatan adalah untuk memberikan kenyamanan dan
martabat kepada pasien yang sekarat, dan untuk mendukung orang lain dalam
b

melakukannya.
Hak untuk mengetahui dan memilih
Semua orang yang menerima perawatan kesehatan memiliki hak untuk diberitahu
tentang kondisi mereka dan pilihan pengobatan mereka. Mereka memiliki hak untuk
menerima atau menolak pengobatan dalam memperpanjang hidup. Pemberi perawatan
memiliki kewajiban etika dan hukum untuk mengakui dan menghormati pilihan-pilihan

sesuai dengan pedoman.


Menahan dan menghentikan pengobatan dalam mempertahankan hidup
Perawatan end of life yang tepat harus bertujuan untuk memberikan pengobatan yang
terbaik untuk individu. Ini berarti bahwa tujuan utama perawatan

untuk

mengakomodasi kenyamanan dan martabat, maka menahan atau menarik intervensi


untuk mempertahankan hidup mungkin diperbolehkan dalam kepentingan terbaik dari
d

pasien yang sekarat.


Sebuah pendekatan kolaboratif dalam perawatan

Keluarga dan tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk bekerja sama untuk membuat
keputusan bagi pasien yang kurang bisa dalam pengambilan keputusan, dengan
e

mempertimbangkan keinginan pasien.


Transparansi dan akuntabilitas
Dalam rangka menjaga kepercayaan dari penerima perawatan, dan untuk memastikan
bahwa keputusan yang tepat dibuat, maka proses pengambilan keputusan dan hasilnya

harus dijelaskan kepada para pasien dan akurat didokumentasikan.


Perawatan non diskriminatif
Keputusan pengobatan pada akhir hidup harus non-diskriminatif dan harus bergantung
hanya pada faktor-faktor yang relevan dengan kondisi medis, nilai-nilai dan keinginan

pasien.
Hak dan kewajiban tenaga kesehatan
Tenaga kesehatan tidak berkewajiban untuk memberikan perawatan yang tidak rasional,
khususnya, pengobatan yang tidak bermanfaat bagi pasien. Pasien memiliki hak untuk
menerima perawatan yang sesuai, dan tenaga kesehatan memiliki tanggung jawab untuk
memberikan pengobatan yang sesuai dengan norma-norma profesional dan standar

hukum.
Perbaikan terus-menerus
Tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk berusaha dalam memperbaiki intervensi
yang diberikan pada standar perawatan end of life baik kepada pasien maupun kepada
keluarga.
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Do Not Resuscitate (DNR) atau Jangan Lakukan Resusitasi merupakan suatu
tindakan dimana dokter menempatkan sebuah instruksi berupa informed concent yang
telah disetujui oleh pasien ataupun keluarga pasien di dalam rekam medis pasien, yang
berfungsi untuk menginformasikan staf medis lain untuk tidak melakukan resusitasi
jantung paru (RJP) atau cardiopulmonary resuscitation (CPR) pada pasien. Pesan ini
berguna untuk mencegah tindakan yang tidak perlu dan tidak diinginkan pada akhir
kehidupan pasien dikarenakan kemungkinan tingkat keberhasilan CPR yang rendah
(Sabatino, 2015). Do Not Resusitate (DNR) adalah perintah yang dilakukan oleh dokter

berlisensi dalam konsultasinya dengan pasien atau pengambilan keputusan yang


menunjukkan dilakukan atau tidaknya CPR saat cardiac atau respiratory arrest terjadi
(Braddock, 2014). Secara etik DNR merupakan sebuah pesan ambigu untuk praktisi
kesehatan sehubungan dengan tugasnya dalam menyelamatkan hidup (Junod, 2002).
DNR merupakan keputusan untuk mengabaikan CPR dan secara resmi
diperkenalkan sebagai alternative untuk end of life care pada awal tahun 1970 (Fallahi et
al, 2016). Cardiopulmonary resuscitation (CPR) merupakan suatu prosedur medis yang
bersifat darurat dan dilakukan pada pasien dengan henti nafas dan serangan jantung,
namun dalam beberapa kasus tindakan ini tidak sepenuhnya berhasil dan memberikan
prognosis yang baik. Menurut Fallahi et al (2016), dalam jurnalnya disebutkan bahwa
hanya 20% pasien yang mampu bertahan hidup setelah dilakukan CPR. Temuan lain di
Amerika Serikat juga telah memverifikasi bahwa hanya 10-15% dari pasien yang dapat
bertahan hidup setelah dilakukannya CPR, statistik ini tidak berubah selama 30 tahun
terakhir (Yuen, 2011). Jarang sekali pasien dapat bertahan hidup setelah dilakukan CPR
ketika henti jantung yang timbul disebabkan oleh penyakit selain jantung atau disfungsi
organ. Harapan hidup pasien setelah dilakukan tindakan CPR sangat buruk (<5%) bila
henti jantung terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, kanker (kecuali dengan penyakit
yang minimal), atau AIDS; dan dengan tidak adanya penyakit penyebab yang
irreversible, diikuti dengan trauma, perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau
pneumonia. Dibatasinya pelaksanaan CPR telah meningkatkan derajat harapan hidup
pasien sebesar 10,5% setelah tindakan CPR meskipun 7-10% lainnya ditunda untuk
dilakukan CPR. Pada beberapa negara di Amerika Serikat, walaupun petugas gawat
darurat sudah membatasi dilakukannya tindakan CPR di lapangan, masih dapat
ditemukan bukti CPR yang tidak dikehendaki. Bahkan didapatkan 7% pasien yang
dipulangkan dari rumah sakit tidak menghendaki dilakukannya CPR (Hillberman,1997).
Sebelum tahun 1990, kebijakan formal untuk memfasilitasi pasien perioperative
dengan DNR order masih sangat jarang. Pada tahun 1993 The American Society of
Anesthesiologists melegalkan kebijakan ini sebagai pedoman dan diperbaharui lagi tahun
1998 (Ewanchuk & Brindley, 2006). Di Indonesia sendiri kebijakan DNR sudah lama
diterapkan. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
519/Menkes/Per/Iii/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan
Terapi Intensif di Rumah Sakit, disebutkan didalamnya bahwa prosedur pemberian atau

penghentian bantuan hidup ditetapkan berdasarkan klasifikasi setiap pasien di ICU dan
HCU yaitu semua bantuan kecuali RJP (DNAR = Do Not Attempt Resuscitation),
dilakukan pada pasien-pasien dengan fungsi otak yang tetap ada atau dengan harapan
pemulihan otak, tetapi mengalami kegagalan jantung, paru atau organ lain, atau dalam
tingkat akhir penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Tidak dilakukan tindakan-tindakan
luar biasa, pada pasien-pasien yang jika diterapi hanya memperlambat waktu kematian
dan bukan memperpanjang kehidupan. Untuk pasien ini dapat dilakukan penghentian
atau penundaan bantuan hidup. Sedangkan pasien yang masih sadar dan tanpa harapan,
hanya dilakukan tindakan terapeutik/paliatif agar pasien merasa nyaman dan bebas nyeri
(Depkes, 2011).
Walaupun telah diterapkan Amestiasih (2015) menyebutkan dalam jurnalnya,
keputusan DNR dapat menimbulkan dilema psikis pada perawat dikarenakan timbulnya
penolakan dalam hati nurani seorang perawat. Merawat pasien setiap hari, melihat
perkembangan kondisi pasien, membuat rencana DNR seperti dua sisi mata uang bagi
perawat, disatu sisi harus menerima bahwa pemberian tindakan CPR sudah tidak lagi
efektif untuk pasien namun di sisi lain muncul perasaan iba dan melihat pasien seolaholah keluarganya. Timbulnya dilema psikis ini juga dapat dipengaruhi oleh masih belum
adekuatnya sumber informasi tentang DNR yang dimiliki perawat. Yand, et al (2001)
mengatakan bahwa hampir semua perawat yang pernah merawat pasien dengan DNR
pernah merasa empati dan perawatan yang dilakukan menjadi terhambat diakibatkan oleh
perasaan empati tersebut.
Penegakkan diagnosa DNR menuntut perawat untuk menemukan cara terbaik
guna meningkatkan kualitas end of life care pada pasien (Fields, 2007). Perawat sebagai
care giver dituntut untuk tetap memberikan perawatan pada pasien DNR tidak berbeda
dengan pasien lain pada umumnya, perawat harus tetap memberikan pelayanan sesuai
dengan advice dan kebutuhan pasien tanpa mengurangi kualitasnya. End of life care yang
perawat lakukan dengan baik diharapkan dapat memberikan peacefull end of life bagi
pasien, seperti yang digambarkan dalam teori keperawatan peacefull end of life oleh
Rulland and Moore yang meliputi terhindar dari rasa sakit, merasakan kenyamanan,
penghormatan, kedamaian, dan mendapatkan kesempatan untuk dekat dengan seseorang
yang dapat merawatnya (Amestiasih, 2015).

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas maka penulis tertarik untuk
membahas lebih lanjut mengenai dilemma etik yang terjadi pada Do Not Resuscitate
(DNR).
2

Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah Bagaimana prinsip etik terkait isu Do
Not Resuscitate (DNR) dan bagaimana peran perawat dalam isu tersebut?

Tujuan
1
Tujuan Umum
Untuk mempelajari lebih jelas mengenai isu Do Not Resuscitate (DNR).
2
Tujuan Khusus
1
Untuk mengetahui konsep dari Do Not Resuscitate (DNR)
2
Untuk mengetahui Tahapan dari Do Not Resuscitate (DNR)
3
Untuk mengetahui peran perawat dalam pelaksanaa Do Not Resuscitate
4

(DNR)
Untuk mengetahui prinsip etik dalam pelasanaan Do Not Resuscitate

(DNR)
Untuk mengetahui dilemma etik yang terjadi pada Do Not Resuscitate

(DNR)
Untuk mengetahui ringkasan jurnal terkait Do Not Resuscitation dan
kaitannya dengan peran perawat

Manfaat Penullisan
1
Manfaat Teoritis
Hasil penulisan ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah ilmu
2

pengetahuan yang berhubungan dengan keperawatan gawat darurat.


Manfaat Praktik
Hasil penulisan ini diharapkan dapat dapat digunakan sebagai masukan dan acuan
dalam penatalaksanaan keperawatan gawat darurat.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep DNR


Do Not Resuscitation atau jangan lakukan resusitasi merupakan sebuah perintah
tidak melakukan resusitasi yang ditulis oleh seorang dokter dalam konsultasi dengan pasien
atau pengambil keputusan pengganti yang menunjukkan apakah pasien akan menerima atau
tidak tindakan CPR ( Cardiopulmonary Resuscitation ) (Braddock & Clark, 2014). DNR
merupakan keputusan untuk mengabaikan CPR dan secara resmi diperkenalkan sebagai
alternative untuk end of life care pada awal tahun 1970 (Fallahi et al, 2016). Do Not
Resuscitate (DNR) atau Jangan Lakukan Resusitasi merupakan suatu tindakan dimana
dokter menempatkan sebuah instruksi berupa informed concent yang telah disetujui oleh
pasien ataupun keluarga pasien di dalam rekam medis pasien, yang berfungsi untuk
menginformasikan staf medis lain untuk tidak melakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau
cardiopulmonary resuscitation (CPR) pada pasien. Pesan ini berguna untuk mencegah
tindakan yang tidak perlu dan tidak diinginkan pada akhir kehidupan pasien dikarenakan
kemungkinan tingkat keberhasilan CPR yang rendah (Sabatino, 2015). DNR diindikasikan
jika seorang dengan penyakit terminal atau kondisi medis serius tidak akan menerima
cardiopulmonary resuscitation (CPR) ketika jantung atau nafasnya terhenti. Form DNR

ditulis oleh dokter setelah membahas akibat dan manfaat dari CPR dengan pasien atau
pembuat keputusan dalam keluarga pasien (Cleveland Clinic, 2010).
American Heart Association (AHA) mengganti istilah DNR (Do Not Resuscitate)
dengan istilah DNAR (Do Not Attempt Resuscitate) yang artinya adalah suatu perintah untuk
tidak melakukan resusitasi terhadap pasien dengan kondisi tertentu, atau tidak mencoba
usaha resusitasi jika memang tidak perlu dilakukan, sehingga pasien dapat menghadapi
kematian secara alamiah, sedangkan istilah DNR (Do Not Resuscitate) mengisyaratkan
bahwa resusitasi yang dilakukan akan berhasil jika kita berusaha (Brewer, 2008).
Di Amerika Serikat dan Inggris telah merekomendasikan penggunaan DNR dan
secara teratur diperbaiki berbeda dengan di Switzerland. Penggunaan dan implikasi perintah
DNR di rumah sakit tidak pernah menarik perhatian media dan masyarakat. Swiss Academi
of Medical tidak menyebutkan DNR sampai tahun 1996 dan tidak pernah mendefinisikan
secara spesifik mengenai penggunaan dan implikasi perintah DNR (Perron, 2002).
Pengambilan keputusan DNR cenderung meningkat setiap tahunnya. Fenomena ini
disampaikan oleh Saczynski, et al (2012) melalui penelitiannya bahwa dari total pasien yang
berjumlah 4182 pasien antara tahun 2001 hingga 2007 di semua pusat kesehatan di
Massachusetts, total pasien yang mendapatkan tindakan DNR adalah sebanyak 1051 pasien.
Do Not Resusitation pada studi mayoritas digambarkan di rumah sakit telah dilakukan pada
pasien bedah, Unit perawatan intensif (ICU), pasien stroke hemoragik, dan populasi
medicare. Sementara itu, penelitian yang meneliti DNR dalam penatalaksanaan trauma,
termasuk cedera otak traumatis (TBI), pasien dirawat di ICU, dan terluka parah pasien yang
membutuhkan transfusi segera. Studi-studi sebelumnya pada pasien dengan trauma
melaporkan kematian yang tinggi dengan DNR (42-99 %), pasien bedah (23-37%), stroke
(40-64 %), dan ICU (51-83%). Pasien dengan trauma ditemukan lebih rendah dilakukan
DNR sekitar 5-7%, di bandingkan dengan bedah umum (4-65%), stroke (22-41%), dan ICU
(9-13%). Mengidentifikasi karakteristik awal yang dapat menyebabkan DNR sangat penting
untuk lebih dimanfaatkan . karena kurangnya studi DNR dalam pengaturan trauma, kami
mengusulkan untuk memeriksa perubahan dalam DNR dari waktu ke waktu (Salottolo,
2015).
Keputusan penolakan resusitasi (DNAR) menurut Brewer (2008) melibatkan tiga
prinsip moral yang dapat dikaji oleh perawat, yaitu autonomy, beneficience, dan
nonmalefecience, ketiga prinsip tersebut merupakan dilema etik yang menuntut perawat

berpikir kritis, karena terdapat dua perbedaan nilai terhadap profesionalisme dalam
memberikan asuhan keperawatan, secara profesional perawat ingin memberikan pelayanan
secara optimal, tetapi disatu sisi terdapat pendapat yang mengharuskan penghentian
tindakan.
2.2 Tahapan DNR
Sebelum menulis form DNR, dokter harus mendiskusikannya dengan pasien atau
seseorang yang berperan sebagai pengambil keputusan dalam keluarga pasien. Semua hal
yang didiskusikan harus didokumentasikan dalam rekam medis, siapa saja yang mengikuti
diskusi, dan yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, isi diskusi serta rincian
perselisihan apapun dalam diskusi tersebut. Dokter merupakan orang yang paling efektif
dalam membimbing diskusi dengan mengatasi kemungkinan manfaat langsung dari
resusitasi cardiopulmonary dalam konteks harapan keseluruhan dan tujuan bagi pasien.
Sebuah perintah DNR bukan berarti tidak memperlakukan, sebaliknya itu hanya berarti
pasien tidak akan dilakukan tindakan CPR. Pengobatan lain ( misalnya terapi antibiotic,
transfuse, dialysis, atau penggunaan ventilator ) yang memungkinkan memperpanjang hidup
masih diberikan. Formulir DNR harus ditandatangani oleh pasien atau oleh pembuatan
keputusahan yang diakui atau dipercaya oleh pasien jika pasien tidak dapat membuat atau
berkomunikasi kepada petugas kesahatan. Pembuat keputusan yang dipercaya oleh pasien
dan diakui secara hukum mewakili pasien seperti agen perawat kesehatan yang ditetapkan
dalam srata kuasa untuk perawatan kesehatan, konservator, atau pasangan / anggota keluarga
lainnya. Dokter dan pasien harus menandatangani formulir tersebut, menegaskan bahwa
pasien akan diakui secara hukum keputusan perawatan kesehatannya ketika telah
memberikan persetujuan instruksi DNR ( EMSA).
Beberapa standar yang harus dilakukan pada saat diskusi menentukan keputusan
DNAR yaitu, dokter harus menentukan penyakit/kondisi pasien, menyampaikan tujuan,
memutuskan prognosa, potensi manfaat dan kerugian dari resusitasi (CPR), memberikan
rekomendasi berdasarkan penilaian medis tentang manfaat/kerugian CPR, dokter
penanggung jawab harus hadir dalam diskusi, mendokumentasikan isi diskusi, dan alasan
pasien/keluarga dalam pengambilan keputusan ( Breault 2011).
2.3 Peran perawat dana pelaksanaan DNR

Peran perawat dalam Do Not Resuscitation adalah membantu dokter dalam


memutuskan DNR sesuai dengan hasil pemeriksaan kondisi pasien. Setelah rencana
diagnosa DNR diambil maka sesegera mungkin keluarga diberikan informasi mengenai
kondisi pasien dan rencana diagnosa DNR. Perawat juga dapat berperan dalam pemberian
informasi bersama- sama dengan dokter ( Amestiasih, 2015). Perawat sebagai care giver
dituntut untuk tetap memberikan perawatan pada pasien DNR tidak berbeda dengan pasien
lain pada umumnya, perawat harus tetap memberikan pelayanan sesuai dengan advice dan
kebutuhan pasien tanpa mengurangi kualitasnya. End of life care yang perawat lakukan
dengan baik diharapkan dapat memberikan peacefull end of life bagi pasien, seperti yang
digambarkan dalam teori keperawatan peacefull end of life oleh Rulland and Moore yang
meliputi terhindar dari rasa sakit, merasakan kenyamanan, penghormatan, kedamaian, dan
mendapatkan kesempatan untuk dekat dengan seseorang yang dapat merawatnya
(Amestiasih, 2015).
Perawat sebagai

advokat

pasien,

menerima

dan

menghargai

keputusan

pasien/keluarganya sekalipun keputusan tersebut tidak sesuai dengan harapan perawat,


karena perawat tidak dibenarkan membuat keputusan untuk pasien/keluarganya dan mereka
bebas untuk membuat keputusan (Kozier et al, 2010). Pemahaman tentang peran perawat
sebagai pendukung dan advokasi pasien dapat bertindak sebagai penghubung dan juru bicara
atas nama pasien/keluarganya kepada tim medis.
Menurut ANA (2004) Perawat sebaiknya memperhatikan dan berperan aktif terhadap
perkembangan kebijakan DNAR di institusi tempat mereka bekerja, dan diharapkan dapat
berkerja sama dengan dokter selaku penanggung jawab masalah DNAR. Perawat berperan
sebagai pemberi edukasi kepada pasien dan keluarga tentang keputusan yang mereka ambil
dan memberikan informasi yang relevan terkait perannya sebagai advokat bagi pasien dalam
memutuskan cara mereka untuk menghadapi kematian.
2.4 Prinsip etik pelaksanaan DNR
Keputusan keluarga/pasien untuk tidak melakukan resusitasi pada penyakit kronis
adalah merupakan keputusan yang dipandang sulit bagi dokter dan perawat, karena
ketidakpastian prognosis dan pada saat keluarga menghendaki untuk tidak lagi dipasang alat
pendukung kehidupan. Keputusan sulit tersebut disebabkan karena kurangnya kejelasan
dalam peran tenaga profesional dalam melakukan tindakan/bantuan pada saat kondisi kritis,

meskipun dukungan perawat terhadap keluarga pada proses menjelang kematian adalah
sangat penting (Adams, Bailey Jr, Anderson, dan Docherty (2011).
Pasien Do Not Attempt Resuscitate (DNAR) pada kondisi penyakit kronis/terminal
dari sisi tindakan keperawatan tidak akan berbeda dengan pasien pada umumnya, hanya
memiliki makna bahwa jika pasien berhenti bernapas atau henti jantung, tim medis tidak
akan melakukan resusitasi/Resusitasi Jantung Paru (RJP), hal ini sesuai dengan definisi yang
dikemukakan AHA, bahwa jika RJP yang dilakukan tidak memberikan hasil signifikan pada
situasi tertentu, dan lebih membawa kerugian bagi pasien/keluarganya dari segi materil
maupun imateril, maka pelaksanaan RJP tidak perlu dilakukan (Ardagh, 2000 dalam Basbeth
dan Sampurna, 2009).
Dalam pelaksanaan DNR masih terdapat dilema, dalam keperawatan prinsip etik
yang digunakan dalan pelaksanan DNR yaitu
Prinsip etik otonomy, di sebagian besar negara dihormati secara legal, tentunya hal
tersebut memerlukan keterampilan dalam berkomunikasi secara baik, perawat secara
kognitif memiliki komunikasi terapeutik yang dapat dijadikan acuan untuk membicarakan
hak otonomi pasien/keluarganya, melalui informed consent, pasien dan keluarga telah
menentukan pilihan menerima/menolak tindakan medis, termasuk resusitasi, meskipun
umumnya pasien/keluarga tidak memiliki rencana terhadap akhir kehidupannya. Pada
prinsip etik otonomy, perawat memberikan edukasi tentang proses tersebut dengan cara-cara
yang baik dan tidak menghakimi pasien/keluarga dengan menerima saran/masukan, tetapi
mendukung keputusan yang mereka tetapkan (AHA, 2005 dalam Basbeth dan Sampurna,
2009).
Prinsip etik beneficence pada penerimaan/penolakan tindakan resusitasi mengandung
arti bahwa pasien memilih apa yang menurut mereka terbaik berdasarkan keteranganketerangan yang diberikan perawat. Pada etik ini, perawat memberikan informasi akurat
mengenai keberhasilan resusitasi, manfaat dan kerugiannya, serta angka harapan hidup pasca
resusitasi, termasuk efek samping/komplikasi yang terjadi, lama masa perawatan, serta
penggunaan alat bantu pendukung kehidupan yang memerlukan biaya cukup besar. Datadata dan informasi yang diberikan dapat menjadi acuan pasien/keluarganya dalam
menentukan keputusan (Basbeth dan Sampurna, 2009).

Prinsip etik nonmalefecience berkaitan dengan pelaksanaan tindakan RJP tidak


membahayakan/merugikan pasien/keluarganya. Menurut Hilberman, Kutner J, Parsons dan
Murphy (1997) dalam Basbeth dan Sampurna (2009) dikatakan bahwa banyak pasien
mengalami gangguan neurologi berupa disabilitas berat yang diikuti dengan kerusakan otak
pasca RJP, menyebabkan kerusakan otak permanen (brain death), tingkat kerusakan otak
berkaitan dengan tindakan RJP bervariasi antara 10-83%. Tindakan RJP dikatakan tidak
merusak jika keuntungan yang didapatkan lebih besar. Pada etik ini, perawat membantu
dokter dalam mempertimbangkan apakah RJP dapat dilakukan atau tidak terutama pada
pasien dengan angka harapan hidup relatif kecil dan prognosa yang buruk.
Menurut Adam et al (2011) dikatakan bahwa beberapa penelitian menyebutkan
bahwa

masih

didapatkan

komunikasi

yang

kurang

baik

antara

perawat

dan

pasien/keluarganya mengenai pelaksanaan pemberian informasi proses akhir kehidupan,


sehingga keluarga tidak memiliki gambaran untuk menentukan/mengambil keputusan, serta
pengambilan keputusan pada proses menjelang kematian masih didominasi oleh perawat,
sebaiknya perawat berperan dalam memberikan dukungan, bimbingan, tetapi tidak
menentukan pilihan terhadap pasien/keluarganya tentang keputusan yang akan dibuat.
2.5 Dilema etik
Pengambilan keputusan DNR harus menghargai otonomi pasien. Otonomi
membentuk salah satu dari tiga prinsip etika biomedis yang diusulkan oleh Beaichamp dan
Chldress, dan mengacu untuk menghormati dalam pengambilan keputusan kapasitas
individu yang memungkinkan mereka untuk membuat suatu pilihan tentang informasi
kesehatan mereka. Dua prinip lainnya adalah kebaikan ( manfaat secara keseluruhan untuk
pasien) dan tidak bersifat mencelakakan (menghindari penyebab kerusakan). Namun bila
diterapkan dalam dilema etika, dari tiga prinsip tersebut akan saling bertentangan satu sama
lain sehingga mereka hanya menyediakan kerangka kerja untuk diskusi. Prinsip etika utama
paternalistik masa lalu, yaitu pandangan dokter dari manfaat langsung kepada pasien
(AAGBI, 2009).
Di Indonesia, kebijakan DNR sudah lama diterapkan namun masih menjadi dilema
bagi tenaga medis termasuk perawat. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 519/Menkes/Per/Iii/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
Anestesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit, disebutkan didalamnya bahwa prosedur

pemberian atau penghentian bantuan hidup ditetapkan berdasarkan klasifikasi setiap pasien
di ICU dan HCU yaitu semua bantuan kecuali RJP (DNAR = Do Not Attempt
Resuscitation), dilakukan pada pasien-pasien dengan fungsi otak yang tetap ada atau dengan
harapan pemulihan otak, tetapi mengalami kegagalan jantung, paru atau organ lain, atau
dalam tingkat akhir penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Tidak dilakukan tindakantindakan luar biasa, pada pasien-pasien yang jika diterapi hanya memperlambat waktu
kematian dan bukan memperpanjang kehidupan. Untuk pasien ini dapat dilakukan
penghentian atau penundaan bantuan hidup. Sedangkan pasien yang masih sadar dan tanpa
harapan, hanya dilakukan tindakan terapeutik/paliatif agar pasien merasa nyaman dan bebas
nyeri (Depkes, 2011).
Keputusan DNR dapat menimbulkan dilema psikis pada perawat dikarenakan
timbulnya penolakan dari hati nurani perawat terhadap label DNR dan kondisi dilema itu
sendiri. Timbulnya dilema psikis ini juga dapat dipengaruhi oleh masih belum adekuatnya
sumber informasi tentang DNR yang dimiliki oleh perawat. Perawat tidak dapat terhindar
dari perasaan dilema. Merawat pasien setiap hari, melihat perkembangan kondisi pasien,
membuat rencana DNR seperti dua sisi mata uang bagi perawat, disatu sisi harus menerima
bahwa pemberian tindakan CPR sudah tidak lagi efektif untuk pasien namun di sisi lain
muncul perasaan iba dan melihat pasien seolah-olah keluarganya. Dua hal tersebut dapat
menjadikan perawat merasa dilemma (Amestiasih, 2015). Perasaan empati juga dapat
dirasakan oleh perawat karena DNR. Perasan empati ini dapat disebabkan pula oleh
keputusan DNR yang ada dan tidak adekuatnya sumber informasi DNR yang dimiliki
perawat. Perasaan empati yang muncul juga dapat menjadi dampak dari tingginya intensitas
pertemuan antara perawat dengan pasien (Elpern, et al. 2005)
2.6 Ringkasan jurnal
2.5.1 Pengantar
Tidak Melakukan Resuscitation (DNAR) merupakan daerah yang sulit dan
menantang bagi banyak praktisi kesehatan. Cardiopulmonary resuscitation (CPR)
pertama kali dipraktek pada tahun 1960. Kemudian DNAR diterapkan di beberapa
rumah sakit dan muncul isu bahwa CPR dapat memperpanjang kematian pasien pada
pasien terminal. Dalam sebuah upaya untuk mencegah hal ini, permintaan DNAR
mulai dikembangkan pada 1970-an di Amerika Serikat. Sekarang terdapat beberapa

negara yang menerapkan DNAR tapi tidak semua memiliki kerangka hukum tertentu.
Terdapat beberapa variasi dalam pencatatan dan praktek DNAR. Tidak terlalu
diketahui tentang interaksi perawat dalam pelaksanaan DNAR dan bagaimana
perawat terlibat atau ingin menjadi dalam proses pengambilan keputusan DNAR.
2.5.2 Tujuan
Penelitian kami bertujuan untuk mengeksplorasi pendapat dan pengalaman
dari staf perawat atas permintaan DNAR.
2.5.3 Metode
Penelitian ini menggunakan survei cross-sectional dari semua perawat yang bekerja
di bangsal rawat inap selama 24 jam, pada 2 jenis RS yaitu rumah sakit pendidikan
universitas dan rumah sakit rehabilitasi. Digunakan 24-item kuesioner yang
dikembangkan oleh penulis setelah berkonsultasi dengan para ahli dan melakukan
tinjauan literatur. Kuesioner diujicobakan dengan 3 perawat yang terlibat dengan
rawat jalan untuk mengetahui tingkat kejelasan dari pertanyaan dan membuat
jawaban yang diberikan oleh responden menjadi terbuka serta tidak terkesan kaku.
Pendapat yang dicari mengenai kebijakan DNAR adalah bagaimana permintaan
DNAR harus dibuat dan digunakan serta apa perawatan yang tepat pada pasien
dengan permintaan DNAR. Beberapa pertanyaan pada kursioner yang diberikan yang
terdapat di kuisioner: 1.) Apakah permintaan DNR bersifat jelas?; 2.) Apakah pasien
kanker boleh di DNR?; 3.) Apakah pasien home care boleh di DNR?; 4.) Haruskah
bila keluarga menghendaki DNR, pasien harus mendapatkan informasi?; 5.)
Bagaimana format permintaan DNR?
2.5.4 Hasil
Dua ratus lima puluh satu perawat diundang untuk berpartisipasi dalam penelitian ini
dimana 178 yang diterima digunakan respon 70,9% sesuai dengan kriteria.
Distribusi staf responden di tiga wilayah klinis. Mereka terdiri bedah umum dan
bangsal medis (termasuk bangsal kedokteran geriatri akut); daerah perawatan
intensif; unit perawatan koroner, departemen darurat dan semua bangsal rawat inap
lainnya.
2.5.5 Tanggapan
Responden diberi kesempatan untuk memberikan pendapat umum atau umpan
balik di dua daerah survei. Pada pertanyaan 21, mereka diminta untuk mengomentari
apa yang akan mereka lakukan jika mereka tidak setuju dengan keputusan DNAR.

Terdapat beberapa tanggapan yang disampaikan oleh perawat sebagia responden


penelitian ini yaitu harus ada kebijakan DNAR tertulis untuk pasien menandatangani,
dan dimana dokter dan perawat juga ikut menandatanganinya; informasi harus
sebanyak mungkin untuk diberikan kepada pasien; adanya peningkatan otonomi
pasien dalam pengambilan keputusan; form DNR juga harus direview setiap
minggunya untuk merevisi hal-hal yang perlu diperbaharui; menjelaskan kualitas
kehidupan pasien pasca resusitasi; mempunyai sebuah tim etika harus tersedia untuk
berkonsultasi; memiliki sebuah protokol ringkas jelas dengan garis-garis komunikasi
yang efektif antara dokter, perawat dan pasien; pada laporan digunakan warna cerah
agar mudah ditemukan saat keadaan darurat; dan harus ada kejelasan antara status
DNAR dan pengobatan aktif.
2.5.6 Diskusi
Banyak bidang klinis tidak memiliki kebijakan tertulis resmi atas permintaan
DNAR. Dalam penelitian ini, sebagian besar permintaan DNAR berada dalam bentuk
tertulis saja (52%), dengan 45% baik tertulis maupun lisan. Namun, perawat
dilaporkan menggunakan catatan medis (99%), catatan keperawatan (62%) dan serah
terima secara lisan dari perawat (56%) untuk tetap diinformasikan sebagai status
resusitasi. Ketika ditanya apakah permintaan DNAR bekerja dengan baik, hanya 24%
merasa bahwa permintaan DNAR selalu jelas, dan 26% menjawab bahwa ketika ada
permintaan DNAR mereka selalu dilibatkan secara efektif. Namun dua pertiga dari
responden melaporkan bahwa dokter kadang-kadang hanya menjelaskan keputusan
mereka dan 11% mengatakan bahwa mereka tidak pernah melakukannya. Kemudian
2% merasa bahwa dokter tidak pernah membuat keputusan yang tepat tentang
permintaan DNAR, dengan 74% mengatakan kadang-kadang dan 24% selalu. Lebih
dari sepertiga melaporkan bahwa mereka telah setuju dengan keputusan DNAR pada
beberapa kesempatan dan ketika ditanya apakah mereka akan mematuhi permintaan
dalam hal apapun, sepertiga juga mengatakan mereka akan mematuhinya.
Di Inggris tidak ada kebijakan nasional atas permintaan DNAR, tetapi banyak
badan-badan profesional telah menerbitkan panduan mereka sendiri. pedoman yang
dikeluarkan oleh British Medical Association, Royal College of Nursing dan Dewan
Resuscitation menyatakan bahwa perawat didorong untuk mengambil lebih banyak

keterlibatan dalam keputusan DNAR. Ketika ditanya siapa yang harus memutuskan,
91% dari responden dalam penelitian ini merasa harus konsultasi terlebih dahulu
dengan anggota paling senior dari tim medis. Hanya 22% merasa bahwa perawat
harus memiliki peran. Hal ini bertentangan dengan penelitian oleh Thibault-Prevost
et al, di mana 81% responden merasa bahwa perawat harus terlibat (meskipun ini
adalah perawat bekerja di unit perawatan intensif). Lebih dari dua pertiga merasa
bahwa pasien atau keluarga mereka harus memiliki peran. Hal ini mirip dengan
Penelitian oleh Giles dan Moule mana 81% responden merasa bahwa keluarga harus
terlibat. Empat puluh lima persen setuju bahwa pasien harus selalu diberitahu tentang
tatanan DNAR, tetapi 47% mengatakan "kadang-kadang". Situasi klinis memang
menuntut pada beberapa kesempatan bahwa keluarga pasien harus diinformasikan,
misalnya, jika itu intervensi sia-sia atau jika intervensi itu dilakukan menyebabkan
beberapa bahaya. Sebagian besar responden merasa bahwa itu adalah tanggung
jawab dokter untuk menjaga pasien diinformasikan. Hanya 25% merasa bahwa
perawat memiliki tanggung jawab untuk memberikan informasi. Lebih dari setengah
dari perawat yang disurvei senang dengan keterampilan resusitasi mereka, tetapi tiga
perempat mengatakan mereka ingin lebih latihan. Hal ini menjelaskan bahwa
pedoman permintaan DNAR sangat diperlukan dalam pengambilan keputusan
dimana perawat harus mengajukan kepada pihak pengelola kebijakan rumah sakit
untuk dapat menyusun form atau lampiran permintaan DNR, sekaligus menyebutkan
kelebihan dan kekurangan apabila DNR dilakukan tanpa form, mengingat hitam di
atas putih diperlukan sebagai bukti dan arsip bagi pihak bersangkutan, dalam hal ini
yakni bagi pasien atau keluarga dan tenaga kesehatan. Lapisan kedua dalam advokasi
pembentukan form bagi permintaan DNR yakni mengembangkan kemampuan tenaga
kesehatan terkait penggunaan form DNR. Lapisan ketiga yang diperlukan adalah
menyebarkan peraturan terkait adanya form permintaan DNR serta membiasakan
tenaga kesehatan untuk menggunakannya. Perawat adalah kelompok yang sering
diabaikan ketika mengambil keputusan mengenai DNAR sehingga reformasi
pedoman DNAR harus mempertimbangkan pandangan mereka. Selain itu jelas
bahwa pendidikan interprofessional harus digunakan untuk membantu mencapai
kerjasama yang lebih baik antara Staf kesehatan di daerah penting dan relevan ini.

2.5.7 Kesimpulan
Ada minat yang cukup besar dalam permintaan DNAR antara staf
keperawatan. Sebagian menyatakan ketidakpuasan berkaitan dengan bagaimana
permintaan DNAR bekerja, dan khususnya, dengan dirasakan kurangnya komunikasi
dari dokter. Terdapat kebutuhan untuk pendidikan lebih lanjut mengenai intervensi
ini dan DNAR pedoman harus dirumuskan mempertimbangkan pandangan dari
semua pemegang kebijakan.
2.7 Ringkasan jurnal terkait Do Not Resuscitation dan kaitannya dengan peran perawat.
Do Not Resuscitation (DNR) merupakan perintah untuk tidak mencoba melakukan
resusitasi atau memberikan tindakan pertolongan berupak resusitasi jantung paru (RJP)
ketika terjadi permasalahan darurat pada jantung atau henti napas pada pasien. Perintah ini
ditulis atas permintaan pasien atau keluarga melalui konsultasi kepada dokter yang
berwenang untuk selanjutnya perawat dapat memutuskan tindakan-tindakan suportif yang
dapat diberikan untuk meningkatkan kenyamanan pasien dalam masa perawatan. Melalui
hal tersebut, maka kami memutuskan untuk mengulas jurnal berjudul Nurses attitudes
towards Do Not Attempt Resuscitation orders yang memperlihatkan peran perawat dalam
hal administratif terkait DNR, dengan terlebih dahulu mengulas secara singkat jurnal
berjudul The Iranian physicians attitude toward the do not resuscitate order yang
melihat gambaran deskriptif sikap dokter ketika ada keluarga yang meminta dilakukan
DNR, terkait dokterlah yang memutuskan suatu permintaan DNR.
Jurnal berjudul The Iranian physicians attitude toward the do not resuscitate order
menyebutkan bahwa tanggungjawab untuk memutuskan permintaan DNR terhadap pasien
dimiliki oleh dokter. Namun, penelitian yang telah banyak dilakukan menyatakan bahwa
hanya 20% pasien yang bertahan setelah dilakukan CPR. Studi lainnya menyebutkan bahwa
hanya 10%-15% jumlah pasien bertahan setelah dilakukan CPR. Selain itu, resusitasi yang
berhasil seringkali memberikan komplikasi pasca resusitasi, seperti fraktur tulang rusuk,
masalah neurologi permanen, dan kerusakan kondisi fisik. Namun, hingga kini aspek etika
menyebabkan dokter kesulitan dalam memberikan keputusan yang dibutuhkan oleh
keluarga. Hasil yang didapatkan oleh penelitian pada jurnal tersebut yakni adanya angka
menyetujui DNR oleh dokter yang merupakan permintaan keluarga kepada dokter. Dokter

dengan pendidikan yang lebih tinggi rata-rata menyetujui permintaan DNR. Hal tersebut
dapat mengindikasikan bahwa diperlukan analisis untuk menyetujui suatu permintaan DNR,
dan didapatkan bahwa DNR merupakan hak pasien atau keluarga yang memiliki
beneficience tergantung kondisi masing-masing pasien. Setelah melihat bahwa sebagian
besar DNR mendapatkan persetujuan dari dokter, maka selanjutnya kami mengulas jurnal
utama yang berjudul Nurses attitudes towards Do Not Attempt Resuscitation orders
yang menggambarkan peran perawat dalam hal administratif.
Ringkasan Jurnal dikaitkan dengan Peran Perawat Sebagai Advokator
Jurnal berjudul Nurses attitudes towards Do Not Attempt Resuscitation orders
menekankan pada bagaimana perawat harus berinteraksi dengan permintaan keluarga
terhadap DNR, serta bagaimana kejelasan suatu permintaan DNR. Tujuan dari jurnal
tersebut adalah untuk melihat opini dan pengalaman perawat terkait adanya permintaan
terhadap DNR. Hasil dari penelitian pada jurnal menunjukkan bahwa berkaitan dengan
peran perawat, kami terfokus pada beberapa pertanyaan yang diajukan oleh peneliti kepada
perawat tentang kejelasan DNR. Beberapa pertanyaan pada kursioner yang diberikan yang
menyita perhatian kami, di antaranya: 1.) Apakah permintaan DNR bersifat jelas?; 2.)
Apakah pasien kanker boleh di DNR?; 3.) Apakah pasien home care boleh di DNR?; 4.)
Haruskah bila keluarga menghendaki DNR, pasien harus mendapatkan informasi?; 5.)
Bagaimana format permintaan DNR?
Adapun pendapat yang diberikan oleh perawat yang menjadi responden terkait dengan
DNR, diantaranya perawat mengatakan bahwa dalam mengajukan maupun menyetujui
perminataan DNR diperlukan adanya pernyataan tertulis yang ditanda tangani oleh pasien
dan tenaga kesehatan. Selanjutnya, perawat juga menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus
memberikan informasi kepada pasien terkait ketepatan pengajuan DNR. Form DNR juga
harus direview setiap minggunya untuk merevisi hal-hal yang perlu diperbaharui. Ketika
terdapat pasien yang memerlukan resusitasi, perawat harus menjelaskan kepada keluarga
tentang kemungkinan keberhasilan dari resusitasi jika diperlukan. Perawat juga
menyebutkan bahwa diperlukan adanya tim etika untuk keluarga dapat melakukan
konsultasi dan tenaga kesehatan harus dengan segan menanyakan kepada keluarga terkait
dengan tindakan yang masih memiliki dilemma etik seperti DNR. Berkaitan dengan form
DNR, berhubungan dengan form yang diberikan pada saat keadaan gawat darurat, form

diharapkan ditulis dengan tulisan dengan warna mencolok sehingga poin yang ingin
disampaikan mudah terbaca oleh keluarga. Berkaitan dengan komunikasi antar tenaga
kesehatan terkait dengan permintaan DNR, perawat menyarankan untuk dibuatkan protokol
yang jelas. Harus terdapat kejelasan antara DNR serta intervensi yang harus diberikan untuk
menyelamatkan hidup pasien.
Melalui jurnal tersebut tampak jelas bahwa peneliti ingin membahas dengan
jelas peran perawat sebagai advokator kebijakan. Advokasi diartikan sebagai perubahanperubahan

secara

sistematis

untuk

menyikapi

suatu

kebijakan,

regulasi,

atau

pelaksanaannya. Advokasi menyangkut perubahan yang mengubah kebijakan tertentu.


Dalam melakukan advokasi terkait perlunya kebijakan bagi form permintaan DNR, perawat
perlu melakukannya melalui beberapa tahap. Lapisan pertama yang dapat dilakukan yaitu
melakukan permintaan, tuntutan, atau desakan perubahan terhadap aturan yang terdapat di
suatu institusi atau rumah sakit tempat perawat bekerja. Dalam hal ini, perawat harus
mengajukan kepada pihak pengelola kebijakan rumah sakit untuk dapat menyusun form atau
lampiran permintaan DNR, sekaligus menyebutkan kelebihan dan kekurangan apabila DNR
dilakukan tanpa form, mengingat hitam di atas putih diperlukan sebagai bukti dan arsip bagi
pihak bersangkutan, dalam hal ini yakni bagi pasien atau keluarga dan tenaga kesehatan.
Lapisan kedua dalam advokasi pembentukan form bagi permintaan DNR yakni
mengembangkan kemampuan tenaga kesehatan terkait penggunaan form DNR. Menurut
kami, jika form DNR telah terbentuk, tenaga kesehatan harus bias mengaplikasikan form
permintaan DNR kepada pasien maupun keluarga. Dalam hal ini, tenaga kesehatan
khususnya perawat harus mengetahui dan memahami dengan jelas isi dan konteks kebijakan
yang telah terbentuk (permintaan DNR), konsekuensi dan manfaat yang akan didapatkan
dari kebijakan jika seandainya DNR disetujui, siapa yang akan dipengaruhi oleh adanya
DNR tersebut (dalam hal ini kemungkinan keluarga akan mendapatkan pengaruh paling
signifikan dari segi psikologis), kapan seharusnya form DNR diberikan kepada keluarga
yakni apakah di awal pasien masuk ke rumah sakit (dengan kondisi menderita penyakit
krooni stadium lanjut) atau pada saat pasien mengalami henti jantung dan henti napas.
Lapisan ketiga yang diperlukan adalah menyebarkan peraturan terkait adanya form
permintaan DNR serta membiasakan tenaga kesehatan untuk menggunakannya. Dalam
mencegah form tidak digunakan dengan baik, pemberian form permintaan DNR menurut

kami dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam SOP bagi pasien dengan kondisi
tertentu. Melalui tahap tersebut, diharapkan dapat tersusun dan terbentuknya suatu form
yang dapat diberikan kepada keluarga yang memiliki permintaan DNR, sehingga permintaan
DNR memiliki suatu kejelasan secara tertulis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Do Not Resuscitation atau jangan lakukan resusitasi merupakan sebuah perintah
tidak melakukan resusitasi yang ditulis oleh seorang dokter dalam konsultasi dengan pasien
atau pengambil keputusan pengganti yang menunjukkan apakah pasien akan menerima atau
tidak tindakan CPR (Cardiopulmonary Resuscitation). DNR diindikasikan jika seorang
dengan penyakit terminal atau kondisi medis serius tidak akan menerima cardiopulmonary
resuscitation (CPR) ketika jantung atau nafasnya terhenti. Sebelum menulis form DNR,
dokter harus mendiskusikannya dengan pasien atau seseorang yang berperan sebagai
pengambil keputusan dalam keluarga pasien.
Peran perawat dalam Do Not Resuscitation adalah membantu dokter dalam
memutuskan DNR sesuai dengan hasil pemeriksaan kondisi pasien. Perawat berperan
sebagai care giver dituntut untuk tetap memberikan perawatan pada pasien DNR tidak
berbeda dengan pasien lain pada umumnya, perawat harus tetap memberikan pelayanan
sesuai dengan advice dan kebutuhan pasien tanpa mengurangi kualitasnya. Perawat sebagai
advokat pasien, menerima dan menghargai keputusan pasien/keluarganya, pemahaman
tentang peran perawat sebagai pendukung dan advokasi pasien dapat bertindak sebagai
penghubung dan juru bicara atas nama pasien/keluarganya kepada tim medis.
Dalam keperawatan prinsip etik yang digunakan dalan pelaksanan DNR diantaranya:
Prinsip etik otonomy dimana pada prinsip etik ini perawat memberikan edukasi tentang
proses tersebut dengan cara-cara yang baik dan tidak menghakimi pasien/keluarga dengan
menerima saran/masukan, tetapi mendukung keputusan yang mereka tetapkan. Prinsip etik
moral beneficence, perawat memberikan informasi akurat mengenai keberhasilan resusitasi,
manfaat dan kerugiannya, serta angka harapan hidup pasca resusitasi, termasuk efek
samping/komplikasi yang terjadi, lama masa perawatan, serta penggunaan alat bantu

pendukung kehidupan yang memerlukan biaya cukup besar. Sedangkan prinsip moral
nonmalefecience, perawat membantu dokter dalam mempertimbangkan apakah RJP dapat
dilakukan atau tidak terutama pada pasien dengan angka harapan hidup relatif kecil dan
prognosa yang buruk.
Di Indonesia, kebijakan DNR sudah lama diterapkan namun masih menjadi dilema
bagi tenaga medis termasuk perawat. Terdapat peraturan mentri kesehatan yang
menyebutkan bahwa prosedur pemberian atau penghentian bantuan hidup ditetapkan
berdasarkan klasifikasi setiap pasien di ICU dan HCU, dilakukan pada pasien-pasien dengan
fungsi otak yang tetap ada atau dengan harapan pemulihan otak, tetapi mengalami kegagalan
jantung, paru atau organ lain, atau dalam tingkat akhir penyakit yang tidak dapat
disembuhkan. Keputusan DNR dapat menimbulkan dilema psikis pada perawat dikarenakan
timbulnya penolakan dari hati nurani perawat terhadap label DNR dan kondisi dilema itu
sendiri. Timbulnya dilema psikis ini juga dapat dipengaruhi oleh masih belum adekuatnya
sumber informasi tentang DNR yang dimiliki oleh perawat.

3.2 Saran
Bagi mahasiswa, sebelum terjun ke lapangan diharapkan mencari dan memahami
dengan dalam mengenai tindakan RJP (kapan tindakan RJP harus dilakukan, bagaimana cara
melakukannya, prinsip dari RJP dll) dan memahami mengenai prinsip DNR (pasien yang
dilakukan DNR dan syarat dilakukan DNR). Hal tersebut dapat membantu mahasiswa ketika
menghadapi keadaan darurat sehingga mahasiswa dapat membantu dalam berkomunikasi
dengan keluarga pasien mengenai kondisi pasien dan menyarankan keluarga membuat
keputusan yang berdampak baik untuk pasien. Selain itu, mahasiswa juga dapat
mengidentifikasi suatu keluarga terkait cara komunikasi yang baik ketika terdapat kondisi
kegawatdaruratan.
Bagi praktisi kesehatan, saran yang dapat diberikan yakni adanya kegiatan terusmenerus untuk memperdalam referensi terkait isu mengenai DNR dan pedoman yang baku
mengenai DNR. Hal tersebut dapat dijadikan modal bagi perawat ketika terdapat perintah
DNR, perawat dapat membantu dokter dalam pengambilan keputusan sesuai dengan kondisi
pasien. Setelah rencana diagnosa DNR diambil maka perawat dapat membantu dalam
memberikan keluarga informasi sesegera mungkin mengenai kondisi pasien dan rencana
diagnosa DNR.

DAFTAR PUSTAKA
AAGBI. 2009. Do Not Attempt Resuscitation (DNAR) Decisions in the Perioperative Period.
London. The Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland
Adams, Judith A., Bailey Jr, Donald E., Anderson, Ruth A., &Docherty, Sharon L.
(2011).Nursing Roles and Strategies in End-of-Life Decision Making in Acute Care: A
Systematic Review of the Literature. Nursing Research and Practice. Volume
2011. http://dx.doi.org/10.1155/2011/527834 diakses pada 19 september 2016.
Amestiasih, Tia., Ratnawati, Retty., Setyo Rini, Ika. (2015). Studi Fenomenologi: Pengalaman
Perawat dalam Merawat Pasien dengan Do Not Resuscitate (DNR) di Ruang ICU
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, Jurnal Medika Respati
American Nurses Association. 2004. Home Health Nursing : Scope and Standards of Practice.
USA : Mosby
Basbeth, F; &Sampurna, B. (2009),Analisis etik terkait resusitasi jantung paru,Majalah
Kedokteran

Indonesia,

Volume:

59,

Nomor:

11,

Nop

2009;http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/691/696
diakses pada 19 september 2016.
Braddock, Clarence H., Clark, Jonna Derbenwick. (2014). Do Not Resusitate (DNR) Order.
University of Washington School of Medicine
Breault, Joseph L. (2011). DNR, DNAR, or AND? is language important. Ochsner J. 2011
Winter; 11(4): 302306. PMCID: PMC3241061
Brewer, Brenda Carol. (2008).Do not abandon, do not resuscitate; a patient advocay position.
Journal of Nursing Law.volume 12, number 2, 2008

Cleveland Clinic. 2010. Do Not Resuscitate (DNR) Orders and Comfort Care. Retrieved from
https://my.clevelandclinic.org/ccf/media/Files/Bioethics/DNR%20Handout
%204_28.pdf?la=en diakses pada 19 september 2016
Curie, M. 2014. What are palliative care and end of life care?. Marie Curie Support
Depkes RI. (2011). Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif di
Rumah Sakit. http://bppsdmk.depkes.go.id/web/filesa/peraturan/4.pdf diakses tanggal
19 September 2016
EMSA. EMERGENCY MEDICAL SERVICES PREHOSPITAL DO NOT RESUSCITATE
(DNR) FORM. Retrieved from http://www.emsa.ca.gov/media/default/pdf/dnrform.pdf
Ewanchuk, Mark., Brindley, Peter G. (2006). Ethics review: Perioperative do-not-resuscitate
orders doing nothing when something can be done, Critical Care
Fallahi et al. (2016). The Iranian Physicians Attitude Toward The Do Not Resuscitate Order,
Journal of Multidisciplinary Healthcare
Field, J. M., M. F. Hazinski, et al. (2010). Part 1: Executive Summary: 2010 American Heart
Association

Guidelines

for

Cardiopulmonary

Resuscitation

and

Emergency

Cardiovascular Care, Circulation 122.


Hilberman M., Kutner J., Parsons D., Murphy DJ. (1997). Marginally effective medikal care:
ethical analysis of issues in cardiopulmonary resuscitation (CPR), Journal of Medical
Ethics
Hanlon, S., Connor, M., Peters, C., Connor, M. (2013). Nurses attitudes towards do not attempt
resuscitation orders, Clinical Nursing Studies, Vol 1, (1), 43-50.
Ichikyo, K. 2016. End of Life: Helping With Comfort and Care. National Institute on Aging
Junod Perron, N., Morabia, A., Torrent, A. (2002). Evaluation of do not resuscitate orders
(DNR) in a Swiss Community Hospital, J Med Ethics

Kozier, Barbara., Erb, Glenora.,Berman, Audrey., &Snyder, Shirlee. J.,(2010),Fundamental of


nursing: concept, process, and practice. 7 th Edition. Alih Bahasa. Ed: Widiarti,
Dewi.,Mardella,Eka.Anisa.,Subekti, Budhi. Nike.,Helena, Leni., Jakarta. EGC.
NSW Health. (2005). Guidelines for end-of-life care. Sidney: NSW Department of Health.
Putranto, R. 2015. Modul Paliatif. Jakarta : Rumah Sakit DR Cipto Mangunkusumo
Perron. J, Morabia. A, Torrente. A. 2002. Evaluation of do not resuscitate orders (DNR) in a
Swiss community hospital. J Med Ethics. Vol. 28
Sabatino,

Charles.

(2015).

Do

Not

Resusitate

(DNR)

Order.

http://www.merckmanuals.com/home/fundamentals/legal-and-ethical-issues/do-notresuscitate-dnr-orders diakses 19 September 2016


Saczynski, J. S., E. Gabbay, et al. (2012). "Increase in The Proportion of Patients Hospitalized
With Acute Myocardial Infarction With Do-Not- Resuscitate Orders Already in Place
Between 2001 and 2007: A Nonconcurrent Prospective Study." Clinical Epidemiology
4: 267-274
Salottolo, K, et all. 2015. The epidemiology of do-not-resuscitate orders in patients with trauma:
a community level one trauma center observational experience. Scandinavian Journal of
Trauma,Resuscitation and Emergency Medicine. Vol. 23 (No, 9)
Treas, Leslie S., Wilkinson, Judith M. (2010).Basic nursing: concepts, skills, & reasoning.
New York. F.A. Davis.
Yuen JK., Reid C., Fetters MD. (2011). Hospital Do-Not-Resuscite Orders: Why They Have
Failed and How To Fix Them 26(7):791797, J Gen Intern Med

Anda mungkin juga menyukai