Disusun Oleh:
i
LEMBAR PENGESAHAN
Mengetahui,
Direktur Ka. Instalasi Gawat Darurat
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah berupa makalah yang berjudul
“Sistem Triase ESI (Emergency Severity Index)”. Penyusunan makalah ini diajukan sebagai
karya tulis ilmiah dalam rangka pengembangan profesi perawat ahli tahun 2019.
Dalam penyusunan karya tulis ini penulis mendapatkan dukungan dari berbagai pihak,
oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Jajaran direksi Rumah Sakit Jogja
2. dr. Alwahyulhaq Jati Sasmito, selaku Kepala Instalasi IGD RS Jogja.
3. Tim Penilai angka kredit tenaga fungsional kesehatan (untuk Daftar Usulan Pengajuan
Angka Kredit) RS Jogja.
4. Kabid dan Kasie Keperawatan Rumah Sakit Jogja.
5. Rekan-rekan perawat Ruang IGD Rumah Sakit Jogja.
6. Pihak-pihak lain yang telah memberikan bantuannya sehingga karya tulis ini dapat
diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan karya tulis ini masih jauh dari sempurna,
sehingga kritik dan saran senantiasa penulis harapkan demi perbaikan lebih lanjut.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul.......................................................................................................... i
Lembar Pengesahan.................................................................................................. ii
Kata Pengantar......................................................................................................... iii
Daftar Isi................................................................................................................... iv
Bab I Pendahuluan ................................................................................................... 01
A. Latar Belakang............................................................................................. 01
B. Tujuan Penulisan.......................................................................................... 02
Bab II TRIASE ....................................................................................................... 03
A. Pengertian Triase.......................................................................................... 03
B. Tujuan Triase .............................................................................................. 10
C. Prinsip dan Tipe Triase .......…………………………………………......... 11
D. Tipe TriaSe di Rumah Sakit ........................................................................ 11
E. Klasifikasi dan Penentuan Prioritas ............................................................. 12
F. Proses Triase ................................................................................................. 13
G. Dokumentasi Triase ...................................................................................... 11
Bab III TRIASE MODERN RUMAH SAKIT ...................................................... 13
A. Australasian Triage Scale ........................................................................... 15
B. Canadian Triage Acquity System ................................................................ 16
C. Manchester Triage Scale ............................................................................. 17
D. Emergency Severity IndeX ........................................................................... 19
Bab IV EMERGENCY SEVERITY INDEX ............................................................ 21
A. Triase ........................................................................................................... 21
1. Sejarah Triase ......................................................................................... 21
2. Ketajaman triase ..................................................................................... 23
B. Sistem Ketajaman Triase ............................................................................. 24
1. Standarisasi Ketajaman Triase ................................................................ 24
2. Sejarah Emergency Severity Index (ESI) ................................................ 26
3. Manfaat dari Emergency Severity Index (ESI) ....................................... 26
C. Leveling Emergency Severity Index (ESI) ................................................... 27
1. Triase ESI level 1 .................................................................................... 29
2. Triase ESI level 2 .................................................................................... 32
iv
3. Triase ESI level 3-5 ................................................................................ 34
D. Peran Tanda Vital Dalam Triase ESI .......................................................... 45
1. Apakah Tanda Vital itu? ......................................................................... 46
2. Tanda Vital Apa yang Diperlukan diTriase? .......................................... 46
3. Tanda Vital dan Triase ESI ..................................................................... 47
Bab V Penutup ......................................................................................................... 49
A. Kesimpulan................................................................................................... 49
B. Saran............................................................................................................. 50
Daftar Pustaka.......................................................................................................... 51
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Rumah sakit sebagai pelayanan kesehatan bagi masyarakat mempunyai kewajiban
untuk terus meningkatkan kualitas pelayanannya. Instalasi Gawat Darurat (IGD)
merupakan pintu utama rumah sakit untuk masuknya pasien yang mengalami gawat
darurat menjadikan IGD sebagai kunci bagi sebuah pelayanan di rumah sakit.
Pelayanan di IGD mengacu pada konsep triage dimana pasien akan dilayani
berdasarkan tingkat kegawat daruratannya, bukan berdasar seberapa cepat pasien itu
datang ke IGD. Triase adalah sistem manajemen risiko klinis yang digunakan di
departemen gawat darurat di seluruh dunia untuk mengelola aliran pasien dengan aman
bila kebutuhan klinis melebihi kapasitas. Ini merupakan sistem yang memberikan metode
yang dapat diajarkan dan dapat diaudit untuk menetapkan prioritas klinis dalam situasi
darurat.
Triase menjadi komponen yang sangat penting di unit gawat darurat terutama karena
terjadi peningkatan drastis jumlah kunjungan pasien ke rumah sakit melalui unit ini.
Berbagai laporan dari IGD menyatakan adanya kepadatan (overcrowding) menyebabkan
perlu ada metode menentukan siapa pasien yang lebih prioritas sejak awal kedatangan.2
Ketepatan dalam menentukan kriteria triase dapat memperbaiki aliran pasien yang datang
ke unit gawat darurat, menjaga sumber daya unit agar dapat fokus menangani kasus yang
benar-benar gawat, dan mengalihkan kasus tidak gawat darurat ke fasilitas kesehatan
yang sesuai.
Seiring dengan berkembangnya penelitian di bidang gawat darurat, sejak tahun 1950
an diterapkan metode triase di rumah sakit di Amerika Serikat, namun belum ada struktur
yang baku. Seiring dengan perkembangan keilmuan dibidang gawat darurat, triase rumah
sakit modern sudah berkembang menjadi salah satu penentu arus pasien dalam layanan
gawat darurat.
Di IGD RSUD Kota Yogyakarta sendiri sampai saat ini masih menggunakan Triase
konvensional/klasik yang mengadaptasi dari sistim triase bencana yang menetapkan
sistim pengambilan keputusan berdasarkan keadaan hidup dasar yaitu ABC approach dan
fokus pada kasus-kasus trauma. Setelah kriteria triase ditentukan, maka tingkat
kegawatan dibagi dengan istilah warna, yaitu warna merah, warna kuning, warna hijau
1
dan warna hitam. Penyebutan warna ini kemudian diikuti dengan pengembangan ruang
penanganan medis menjadi zona merah, zona kuning, dan zona hijau.
Sistem tiga level ini sebenarnya sudah tidak cocok bagi IGD rumah sakit modern
yang perlu mempertimbangkan evidence-based triage atau triase berbasis bukti.
B. TUJUAN
Adapun tujuan penulis menyusun makalah yang berjudul sistem triase ESI adalah :
1. Memberikan pengetahuan tentang sistem triase Emergency Severity Index (ESI)
2. Untuk mempelajari sistem triase ESI dan sebisa mungkin untuk mengaplikasikannya.
3. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang macam-macam triase dan
bagaimana pelaksanaannya di rumah sakit
4. Untuk memenuhi syarat pengembangan profesi dalam rangka peningkatan jabatan
fungsional perawat ahli.
2
BAB II
TRIASE
A. PENGERTIAN
Triase berasal dari bahasa perancis, trier, yang berarti memilah, Konsep ini
diperkenalkan di Perancis pada awal 1800an yang ditujukan untuk memprioritaskan
korban perang dan memberikan perawatan segera kepada korban yang terluka parah.
Kini istilah triage lazim digunakan untuk menggambarkan suatu konsep pengkajian yang
tepat dan terfokus dengan suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya
manusia dan peralatan serta fasilitas yang paling efisien untuk memberikan pertolongan
pada pasien di Instalasi Gawat Darurat. Pelbagai system triase mulai dikembangkan pada
akhir tahun 1950-an seiring jumlah kunjungan IGD yang telah melampaui kemampuan
sumber daya yang ada untuk melakukan penanganan segera.
Dalam kegawatdaruratan sehari-hari, triase lebih tepat dikatakan sebagai metode
untuk secara cepat menilai keparahan kondisi, menetapkan prioritas, dan memindahkan
pasien ke tempat yang paling tepat untuk perawatan (1).
Kepadatan pasien IGD selain mengupayakan keselamatan pasien, juga mengancam
privasi pasien, dan membuat frustasi staf IGD (2) sehingga proses triase dirasa sebagai
kebutuhan dan bukan sekedar pemenuhan standar.
Triase adalah tingkatan klasifikasi pasien berdasarkan penyakit, keparahan,
prognosis, dan ketersediaan sumber daya (3). Definisi ini lebih tepat diaplikasikan pada
keadaan bencana atau korban masal.
Sebagian besar rumah sakit di Indonesia masih menggunakan sistem triase
"klasik". Sistem triase ini sebenarnya mengadaptasi sistem triase bencana, dengan
membuat kategori cepat dengan warna hitam, merah, kuning, dan hijau. Hitam untuk
pasien meninggal, merah untuk pasien gawat (ada gangguan jalan nafas, pernafasan, atau
sirkulasi), kuning untuk pasien darurat, dan sisanya hijau. Sistem tiga level ini tidak
cocok bagi IGD rumah sakit modern yang perlu mempertimbangkan evidence-based
medicine atau kedokteran berbasis bukti.
Triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu cara
yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas yang
paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau menggolongkan semua pasien yang
3
memerlukan pertolongan dan menetapkan prioritas penanganannya (Kathleen dkk,
2008).
Triage adalah usaha pemilahan korban sebelum ditangani, berdasarkan tingkat
kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan prioritas penanganan
dan sumber daya yang ada.
Triage adalah suatu system pembagian/klasifikasi prioritas klien berdasarkan berat
ringannya kondisi klien/kegawatdaruratannya yang memerlukan tindakan segera. Dalam
triage, perawat dan dokter mempunyai batasan waktu (respon time) untuk mengkaji
keadaan dan memberikan intervensi secepatnya yaitu ≤ 10 menit.
Triase berasal dari bahasa Perancis trier dan bahasa inggris triage dan diturunkan
dalam bahasa Indonesia triase yang berarti sortir. Yaitu proses khusus memilah pasien
berdasar beratnya cidera/penyakit untuk menentukan jenis perawatan gawat darurat. Kini
istilah tersebut lazim digunakan untuk menggambarkan suatu konsep pengkajian yang
cepat dan berfokus dengan suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya
manusia, peralatan serta fasilitas yang paling efisien terhadap 100 juta orang yang
memerlukan perawatan di UGD setiap tahunnya.
B. TUJUAN TRIAGE
Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa. Tujuan
triage selanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau derajat kegawatan yang
memerlukan pertolongan kedaruratan.
Dengan triage tenaga kesehatan akan mampu :
1. Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada pasien
2. Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan lanjutan
3. Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses
penanggulangan/pengobatan gawat darurat
Sistem Triage dipengaruhi oleh :
1. Jumlah tenaga profesional dan pola ketenagaan
2. Jumlah kunjungan pasien dan pola kunjungan pasien
3. Denah bangunan fisik unit gawat darurat
4. Terdapatnya klinik rawat jalan dan pelayanan medis
4
C. PRINSIP DAN TIPE TRIAGE
“Time Saving is Life Saving (waktu keselamatan adalah keselamatan hidup), The
Right Patient, to The Right Place at The Right Time, with The Right Care Provider.
1. Triase seharusnya dilakukan segera dan tepat waktu
Kemampuan berespon dengan cepat terhadap kemungkinan penyakit yang
mengancam kehidupan atau injuri adalah hal yang terpenting di departemen
kegawatdaruratan.
2. Pengkajian seharusnya adekuat dan akurat
Ketelitian dan keakuratan adalah elemen yang terpenting dalam proses interview.
3. Keputusan dibuat berdasarkan pengkajian
Keselamatan dan perawatan pasien yang efektif hanya dapat direncanakan bila
terdapat informasi yang adekuat serta data yang akurat.
4. Melakukan intervensi berdasarkan keakutan dari kondisi
Tanggung jawab utama seorang perawat triase adalah mengkaji secara akurat
seorang pasien dan menetapkan prioritas tindakan untuk pasien tersebut. Hal
tersebut termasuk intervensi terapeutik, prosedur diagnostic dan tugas terhadap suatu
tempat yang diterima untuk suatu pengobatan.
5. Tercapainya kepuasan pasien
Perawat triase seharusnya memenuhi semua yang ada di atas saat menetapkan
hasil secara serempak dengan pasien
Perawat membantu dalam menghindari keterlambatan penanganan yang dapat
menyebabkan keterpurukan status kesehatan pada seseorang yang sakit dengan
keadaan kritis.
Perawat memberikan dukungan emosional kepada pasien dan keluarga atau
temannya.
Menurut Brooker, 2008. Dalam prinsip triase diberlakukan system prioritas,
prioritas adalah penentuan/penyeleksian mana yang harus didahulukan mengenai
penanganan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul dengan seleksi pasien
berdasarkan:
Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam hitungan menit
Dapat mati dalam hitungan jam
Trauma ringan
Sudah meninggal
Pada umumnya penilaian korban dalam triage dapat dilakukan dengan :
5
Menilai tanda vital dan kondisi umum korban
Menilai kebutuhan medis
Menilai kemungkinan bertahan hidup
Menilai bantuan yang memungkinkan
Memprioritaskan penanganan definitive
Tag warna
6
dipertimbangkan mencakup setiap gejala ringan yang cenderung berulang atau
meningkat keparahannya.
Beberapa hal yang mendasari klasifikasi pasien dalam system triage adalah kondisi
klien yang meliputi :
a. Gawat, adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan yang
memerlukan penanganan dengan cepat dan tepat.
b. Darurat, adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi memerlukan
penanganan cepat dan tepat seperti kegawatan.
c. Gawat darurat, adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa disebabkan oleh
gangguan ABC (Airway / jalan nafas, Breathing / Pernafasan, Circulation /
Sirkulasi), jika tidak ditolong segera maka dapat meninggal atau cacat (Wijaya,
2010)
Berdasarkan prioritas keperawatan dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi :
Tabel 2-1. Klasifikasi Triase
KLASIFIKASI KETERANGAN
Gawat darurat (P1) Keadaan yang mengancam nyawa / adanya
gangguan ABC dan perlu tindakan segera,
misalnya cardiac arrest, penurunan
kesadaran, trauma mayor dengan
perdarahan hebat
Gawat tidak darurat (P2) Keadaan mengancam nyawa tetapi tidak
memerlukan tindakan darurat. Setelah
dilakukan resusitasi maka ditindaklanjuti
oleh dokter spesialis. Misalnya : pasien
kanker tahap lanjut, fraktur, sickle cell dan
lainnya
Darurat tidak gawat (P3) Keadaan yang tidak mengancam nyawa
tetapi memerlukan tindakan darurat. Pasien
sadar, tidak ada gangguan ABC dan dapat
langsung diberikan terapi definitive. Untuk
tindak lanjut dapat ke poliklinik, misalnya
laserasi, fraktur minor / tertutup, otitis
media dan lainnya
Tidak gawat tidak darurat (P4) Keadaan tidak mengancam nyawa dan
tidak memerlukan tindakan gawat. Gejala
dan tanda klinis ringan / asimptomatis.
Misalnya penyakit kulit, batuk, flu, dan
sebagainya.
7
Tabel 2-2. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Prioritas (Labeling)
KLASIFIKASI KETERANGAN
Prioritas I (MERAH) Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu
resusitasi dan tindakan bedah segera,
mempunyai kesempatan hidup yang besar.
Penanganan dan pemindahan bersifat
segera yaitu gangguan pada jalan nafas,
pernafasan dan sirkulasi. Contohnya
sumbatan jalan nafas, tension
pneumothorak, syok hemoragik, luka
terpotong pada tangan dan kaki, combutio
(luka bakar tingkat II dan III > 25 %
Prioritas II (KUNING) Potensial mengancam nyawa atau fungsi
vital bila tidak segera ditangani dalam
jangka waktu singkat. Penanganan dan
pemindahan bersifat jangan terlambat.
Contoh : patah tulang besar, combutio
(luka bakar) tingkat II dan III < 25 %,
trauma thorak / abdomen, laserasi luas,
trauma bola mata.
Prioritas III (HIJAU) Perlu penanganan seperti pelayanan biasa,
tidak perlu segera. Penanganan dan
pemindahan bersifat terakhir. Contoh luka
superficial, luka-luka ringan.
Prioritas 0 (HITAM) Kemungkinan untuk hidup sangat kecil,
luka sangat parah. Hanya perlu terapi
suportif. Contoh henti jantung kritis,
trauma kepala kritis.
8
Beberapa petunjuk tertentu yang harus diketahui oleh perawat triage yang
mengindikasikan kebutuhan untuk klasifikasi prioritas tinggi. Petunjuk tersebut meliputi:
1. Nyeri hebat
2. Perdarahan aktif
3. Stupor / mengantuk
4. Disorientasi
5. Gangguan emosi
6. Dispnea saat istirahat
7. Diaforesis yang ekstern
8. Sianosis
9. Tanda vital diluar batas normal (Iyer, 2004).
F. PROSES TRIAGE
Proses triage dimulai ketika pasien masuk ke pintu UGD. Perawat triage harus
mulai memperkenalkan diri, kemudian menanyakan riwayat singkat dan melakukan
pengkajian, misalnya terlihat sekilas kearah pasien yang berada di brankar sebelumm
mengarahkan ke ruang perawatan yang tepat.
Pengumpulan data subjektif dan objektif harus dilakukan dengan cepat, tidak lebih
dari 5 menit karena pengkajian ini tidak termasuk pengkajian perawat utama. Perawat
triage bertanggung jawab untuk menempatkan pasien di area pengobatan yang tepat,
misalnya bagian trauma dengan peralatan khusus, bagian jantung dengan monitor
jantung dan tekanan darah, dll. Tanpa memikirkan dimana pasien pertama kali
ditempatkan setelah triage, setiap pasien tersebut harus dikaji ulang oleh perawat utama
sedikitnya sekali setiap 60 menit.
Untuk pasien yang dikategorikan sebagai pasien yang mendesak atau gawat
darurat, pengkajian dilakukan setiap 15 menit/lebih bila perlu. Setiap pengkajian ulang
harus didokumentasikan dalam rekam medis. Informasi baru dapat mengubah
kategorisasi keakutan dan lokasi pasien di area pengobatan. Misalnya kebutuhan untuk
memindahkan pasien yang awalnya berada di area pengobatan minor ke tempat tidur
bermonitor ketika pasien tampak mual atau mengalami sesak nafas, sinkope, atau
diaphoresis (Iyer, 2004).
Bila kondisi pasien ketika datang sudah tampak tanda-tanda objektif bahwa ia
mengalami gangguan pada airway, breathing, dan circulation, maka pasien ditangani
terlebih dahulu. Pengkajian awal hanya didasarkan atas data objektif dan data subjektif
sekunder dari pihak keluarga. Setelah keadaan pasien membaik, data pengkajian
9
kemudian dilengkapi dengan data subjektif yang berasal langsung dari pasien (data
primer)
Alur dalam proses Triage
1. Pasien datang diterima petugas / paramedic IGD
2. Diruang triase dilakukan anamneses dan pemeriksaan singkat dan cepat (selintas)
untuk menentukan derajat kegawatannya oleh perawat.
3. Bila jumlah penderita / korban yang ada lebih dari 50 orang, maka triase dapat
dilakukan di luar ruang triase (di depan gedung IGD)
4. Penderita dibedakan menurut kegawatannya dengan memberi kode warna :
a. Segera – Immediate (MERAH). Pasien mengalami cedera mengancam jiwa
yang kemungkinan besar dapat hidup bila ditolong segera. Misalnya : Tension
pneumothorax, distress pernafasan (RR<30x/menit), perdarahan internal, dsb
b. Tunda – Delayed (KUNING). Pasien memerlukan tindakan definitive tetapi
tidak ada ancaman jiwa segera. Misalnya : Perdarahan laserasi terkontrol,
fraktur tertutup pada ekstremitas dengan perdarahan terkontrol, luka bakar
<25% luas permukaan tubuh, dsb.
c. Minimal (HIJAU). Pasien mendapat cidera minimal, dapat berjalan dan
menolong diri sendiri atau mencari pertolongan. Misalnya : laserasi minor,
memar dan lecet, luka bakar superfisial.
d. Expextant (HITAM). Pasien mengalami cidera mematikan dan akan meninggal
meski mendapat pertolongan. Misalnya : luka bakar derajat 3 hampir diseluruh
tubuh, kerusakan organ vital, dsb.
e. Penderita/korban mendapatkan prioritas pelayanan dengan urutan warna :
merah, kuning, hijau, hitam.
f. Penderita/korban kategori triase merah dapat langsung diberikan pengobatan
diruang tindakan UGD. Tetapi bila memerlukan tindakan medis lebih lanjut,
penderita/korban dapat dipindahkan ke ruang operasi atau dirujuk ke rumah
sakit lain.
g. Penderita dengan kategori triase kuning yang memerlukan tindakan medis lebih
lanjut dapat dipindahkan ke ruang observasi dan menunggu giliran setelah
pasien dengan kategori triase merah selesai ditangani.
h. Penderita dengan kategori triase hijau dapat dipindahkan ke rawat jalan, atau
bila sudah memungkinkan untuk dipulangkan, maka penderita/korban dapat
diperbolehkan untuk pulang.
10
i. Penderita kategori triase hitam (meninggal) dapat langsung dipindahkan ke
kamar jenazah (Rowles, 2007).
G. DOKUMENTASI TRIAGE
Dokumen adalah suatu catatan yang dapat dibuktikan atau dijadikan bukti dalam
persoalan hukum. Sedangkan pendokumentasian adalah pekerjaan mencatat atau
merekam peristiwa dan objek maupun aktifitas pemberian jasa (pelayanan) yang
dianggap berharga dan penting.
Dokumentasi yang berasal dari kebijakan yang mencerminkan standar nasional
berperan sebagai alat manajemen resiko bagi perawat UGD. Hal tersebut memungkinkan
peninjau yang objektif menyimpulkan bahwa perawat sudah melakukan pemantauan
dengan tepat dan mengkomunikasikan perkembangan pasien kepada tim kesehatan.
Pencatatan, baik dengan computer, catatan naratif, atau lembar alur harus menunjukkan
bahwa perawat gawat darurat telah melakukan pengkajian dan komunikasi, perencanaan
dan kolaborasi, implementasi dan evaluasi perawatan yang diberikan, dan melaporkan
data penting pada dokter selama situasi serius. Lebih jauh lagi, catatan tersebut harus
menunjukkan bahwa perawat gadar bertindak sebagai advokat pasien ketika terjadi
penyimpangan standar perawatan yang mengancam keselamatan pasien (Anonimous,
2002).
Pada tahap pengkajian, pada proses triase yang mencakup dokumentasi :
1. Waktu dan datangnya alat transportasi
2. Keluhan utama
3. Pengkodean prioritas atau keakutan perawatan
4. Penentuan pemberi perawatan kesehatan yang tepat
5. Penempatan di area pengobatan yang tepat (missal : cardiac versus trauma,
perawatan minor vs perawatan kritis)
6. Permulaan intervensi (missal : balutan steril, es, pemakaian bidai, prosedur
diagnostic seperti pemeriksaan sinar X, EKG, GDA, dll
11
Riwayat pengobatan
Tingkat kegawatan pasien
Tanda-tanda vital
Pertolongan pertama yang diberikan
Pengkajian ulang
Pengkajian nyeri
Keluhan utama
Riwayat keluhan saat ini
Data subjektif dan data objektif
Periode menstruasi terakhir
Imunisasi tetanus terakhir
Pemeriksaan diagnostic
Administrasi pengobatan
Tanda tangan registered nurse
Rencana perawatan lebih sering tercermin dalam instruksi dokter serta
dokumentasi pengkajian dan intervensi keperawatan daripada dalam tulisan rencana
perawatan formal (dalam bentuk tulisan tersendiri). Oleh karena itu, dokumentasi oleh
perawat pada saat instruksi tersebut ditulis dan diimplementasikan secara berurutan, serta
pada saat terjadi perubahan status pasien atau informasi klinis yang dikomunikasikan
kepada dokter secara bersamaan akan membentuk “landasan” perawatan yang
mencerminkan ketaatan pada standar perawatan sebagai pedoman.
Dalam implementasi perawat gawat darurat harus mampu melakukan dan
mendokumentasikan tindakan medis dan keperawatan, termasuk waktu, sesuai dengan
standar yang disetujui. Perawat harus mengevaluasi secara continue perawatan pasien
berdasarkan hasil yang dapat diobservasi untuk menentukan perkembangan pasien kea
rah hasil dan tujuan dan harus mendokumentasikan respon pasien terhadap intervensi
pengobatan dan perkembangannya. Standar Joint Commision (1996) menyatakan bahwa
rekam medis menerima pasien yang sifatnya gawat darurat, mendesak, dan segera harus
mencantumkan kesimpulan pada saat terminasi pengobatan, termasuk disposisi akhir,
kondisi pada saat pemulangan, dan instruksi perawatan tindak lanjut.
12
BAB III
TRIASE MODERN RUMAH SAKIT
Triase rumah sakit bertujuan menetapkan kondisi yang paling mengancam nyawa
agar dapat mengerahkan segala daya upaya dan fokus untuk melakukan pertolongan
medis pada pasien sampai keluhan pasien dan semua parameter hemodinamik terkendali.
Prinsip yang dianut adalah bagaimana agar pasien mendapatkan jenis dan kualitas
pelayanan medik yang sesuai dengan kebutuhan klinis (prinsip berkeadilan) dan
penggunaan sumber daya unit yang tepat sasaran (prinsip efisien).
Selain tingkat kegawatan suatu kondisi medis, triase juga harus menilai urgensi
kondisi pasien. Urgensi berbeda dengan tingkat keparahan. Pasien dapat dikategorikan
memiliki kondisi tidak urgen tapi masih tetap membutuhkan rawat inap dirumah sakit
karena kondisinya.
Setelah penilaian keparahan (severity) dan urgensi (urgency), maka beberapa sistim
triase menentukan batas waktu menunggu. Yaitu berapa lama pasien dapat dengan aman
menunggu sampai mendapatkan pengobatan di IGD.
Sistim triase tidak pernah dirancang untuk membuat diagnosis, namun seiring
dengan berkembangnya ilmu kedokteran, tindakan-tindakan penyelamatan nyawa sudah
dapat dimulai secara simultan ketika triase berjalan, seperti tindakan pembebasan jalan
nafas dengan metode jaw thrust, pijat jantung luar, penekanan langsung sumber
perdarahan, pemasangan cervical collar.
Sistem triage yang efektif memberikan dampak yang penting seperti berikut ini:
Sebagai sebuah tempat masuk tunggal untuk semua pasien datang (pasien dengan
ambulans dan tanpa ambulans), sehingga semua pasien memperoleh proses penilaian
yang sama.
Lingkungan fisik yang sesuai untuk melakukan pemeriksaan singkat. Juga diperlukan
lingkungan yang memberikan kemudahan untuk pasien menyampaikan kondisi klinis,
memperoleh rasa aman dan persyaratan administrasi, serta ketersediaan peralatan
pertolongan pertama serta tersedianya fasilitas cuci tangan.
Sebuah sistem penerimaan pasien yang terorganisir akan memungkinkan kemudahan
aliran informasi kepada pasien dari unit triage sampai keseluruh komponen unit gawat
darurat, dari pemeriksaan sampai penanganan pasien.
13
Didapatnya data yang tepat waktu untuk kebutuhan pemberian pelayanan, termasuk
sistem untuk memberitahukan kedatangan pasien dengan ambulan dan pelayanan
gawat darurat lainnya.
Triase modern yang diterapkan di rumah sakit saat ini terbagi atas lima kelompok
(tabel 1) dengan berbagai macam penyebutan, dalam artikel ini akan diseragamkan
dengan sebutan kategori.
Tabel 3-1. Kategori triase berdasarkan beberapa sistem
Level (ESI) Warna (MTS) Kriteria CTAS Kriteria ATS
Segera mengancam
Level 1 Merah Resusitasi
nyawa
Level 2 Oranye Emergensi Mengancam nyawa
Potensi mengancam
Level 3 Kuning Segera (urgen)
nyawa
Level 4 Hijau segera (semi urgen) Segera
Level 5 Biru Tidak segera Tidak segera
Untuk membuat sistim triase yang efektif dan efisien, maka ada empat hal yang
harus dinilai yaitu utilitas, sistim triase harus mudah dipahami dan praktis dalam aplikasi
oleh perawat gawat darurat dan dokter. Valid, sistim triase harus mampu mengukur
urgensi suatu kondisi sesuai dengan seharusnya. reliabel, sistim triase dapat dilaksanakan
oleh berbagai petugas medis dan memberikan hasil yang seragam. Dan yang terakhir
keselamatan/keamanan, keputusan yang diambil melalui sistim triase harus mampu
mengarahkan pasien untuk mendapatkan pengobatan semestinya dan tepat waktu sesuai
kategori triase.
Gambaran dari sistem triage dapat dievaluasi berdasarkan empat kriteria sebagai
berikut:
Utility: Skala harus relative mudah dipahami dan mudah untuk diterapkan oleh
perawat dan dokter IGD.
Validitas: skala harus mampu mengukur urgensi suatu kondisi sesuai dengan
seharusnya, yaitu harus mampu mengukur urgensi klinis dari tingkat keparahan atau
kompleksitas penyakit atau beberapa aspek lain dari presentasi atau lingkungan
instalasi gawat darurat.
Reability/Keandalan: Penerapan skala harus konsisten, yaitu dapat dilaksanakan oleh
berbagai petugas medis dan memberikan hasil yang seragam. ‘’Inter-rater reliability”
adalah istilah yang digunakan untuk ukuran statistic kesepakatan yang dicapai oleh
dua atau lebih penilai dengan menggunakan skala yang sama.
14
Keselamatan: keputusan triage harus sesuai dengan criteria klinis yang obyektif dan
harus mengoptimalkan waktu untuk intervensi medis. Selain itu, skala triage harus
cukup peka untuk mengidentifikasi masalah pasien.
Metode triase rumah sakit yang saat ini berkembang dan banyak diteliti reliabilitas,
validitas, dan efektivitasnya adalah triase Australia (Australia Triage System/ATS), triase
Kanada (Canadian Triage Acquity System/CTAS), triase Amerika Serikat (Emergency
Severity Index/ESI) dan triase Inggris dan sebagian besar Eropa (Manchester Triage
Scale). Metode terstruktur disertai pelatihan khusus ini dikembangkan sehingga proses
pengambilan keputusan triase dapat dilaksanakan secara metodis baik oleh dokter
maupun perawat terlatih, tidak berdasarkan pengalaman dan wawasan pribadi
(educational guess) atau dugaan (best guess)
15
Di Australia, proses triase dilakukan oleh perawat gawat darurat. Karena triase
sangat diperlukan untuk alur pasien dalam UGD yang lancar dan aman, Australia
memiliki pelatihan resmi triase untuk perawat dan dokter. Tujuan pelatihan adalah untuk
meningkatkan konsistensi peserta dalam menetapkan kategori triase dan menurunkan
lama pasien berada di UGD.
Dalam sistim triase ATS, dikembangkan mekanisme penilaian khusus kondisi
urgen untuk pasien-pasien pediatri, trauma, triase di daerah terpencil, pasien obstetri, dan
gangguan perilaku.
16
C. MANCHESTER TRIAGE SCALE (MTS)
Metode Manchester Triage Scale (MTS) ini digunakan terutama di Inggris dan
Jerman. MTS berbeda baik dengan ATS maupun CTAS dalam hal pendekatan berbasis
algoritma untuk pengambilan keputusan. MTS menggunakan 52 flow chart yang
membutuhkan pembuat keputusan untuk memilih algoritma yang tepat berdasarkan
keluhan pasien, dan kemudian mengumpulkan dan menganalisis informasi sesuai dengan
kondisi yang mengancam nyawa, rasa sakit, perdarahan, tingkat kesadaran, suhu, dan
durasi tanda dan gejala.
MTS membutuhkan dokumentasi standar, dan pendekatan ini diyakini menghemat
waktu yang diperlukan untuk dokumentasi. Selain itu, pendekatan ini dianggap sangat
bermanfaat bagi perawat pemula karena proses pengambilan keputusan dilakukan
dengan parameter yang sudah ditetapkan. Kesulitan penerapan MTS adalah
membutuhkan sistem komputerisasi yang canggih.
The Manchester Triage System mencatat bahwa sistem lain dengan dasar
pemikiran untuk mencoba membuat diagnosis medis sementara pada triase akan gagal.
Kelompok ini percaya bahwa skala triase berbasis diagnosis sebenarnya bisa berbahaya
karena triase, menurut definisi, memiliki keterbatasan waktu, riwayat, dan data objektif
yang terbatas. Fokus triase yang tepat hanya untuk mengidentifikasi tanda / gejala
penting sehingga menempatkan pasien pada tingkat yang sesuai untuk ketajaman atau
risiko umum mereka.
17
Manchester Triage System ini terdiri dari 4 langkah utama selama triase, yaitu sebagai
berikut:
1. Identifikasi keluhan yang diajukan dan pilih grafik yang sesuai dari 52 pilihan
2. Pengumpulan dan analisa informasi menggunakan 6 general key discriminators
untuk menentukan tingkat prioritas. Pemisahan umum yang berlaku untuk semua
pasien meliputi:
• Ancaman hidup (tidak ada jalan nafas, pernapasan, dan sirkulasi)
• Rasa sakit
• Perdarahan
• Tingkat sadar
• Suhu
• keakutan (misalnya, dimulai atau sangat buruk dalam 7 hari sebelumnya)
Ini harus dipraktekkan pada setiap tingkat prioritas dan itu sangat penting bagi
petugas triase untuk memahami metode triase. Sebagai contoh: Nyeri dapat
18
menjadi sakit parah, nyeri sedang dan nyeri biasa. khusus Diskriminator berlaku
untuk presentasi individu atau kelompok kecil presentasi, yang cenderung
berhubungan dengan fitur kunci dari kondisi tertentu. Misalnya: sakit jantung atau
nyeri pleuritik. Dengan demikian, kriteria spesifik triase didasarkan pada urgensi
klinis.
3. Evaluasi dan pilih alternatif, gunakan diskrimator umum dan spesifik dalam bagan
untuk mengidentifikasi ketajaman umum pasien. Tingkat triase pasien ditentukan
oleh pembeda yang mempertimbangkan riwayat penyakit dan presentasi fisik saat
ini.
4. Dokumentasi Sederhana.
19
Pasien yang tidak memenuhi kriteria level 1 dan 2 akan memasuki tahap penilaian
kedua yaitu perkiraan kebutuhan pemakaian sumber daya UGD (pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan radiologi, tindakan atau terapi intravena) dan pemeriksaan
tanda vital lengkap. Apabila saat triase diperkirakan pasien yang datang tidak
membutuhkan pemeriksaan penunjang dan terapi intravena, maka pasien termasuk
kategori 5, apabila pasien diperkirakan perlu menggunakan satu sumber daya UGD
(laboratorium atau x ray atau EKG, atau terapi intravena) maka termasuk kategori 4,
apabila pasien diperkirakan membutuhkan lebih dari satu sumber daya UGD untuk
mengatasi masalah medisnya, maka akan masuk kategori 3 (apabila hemodinamik stabil)
atau kategori 2 (apabila hemodinamik tidak stabil).
20
BAB IV
ESI
(EMERGENCY SEVERITY INDEX)
A. TRIASE
1. Sejarah Triase
Kata "triase" berasal dari bahasa Prancis "trier," untuk "mengurutkan" atau
"memilih". Awalnya proses tersebut digunakan oleh militer untuk menyortir tentara yang
terluka dalam pertempuran untuk tujuan menetapkan prioritas pengobatan. Tentara yang
terluka diurutkan berdasarkan tingkat keparahan luka mereka mulai dari yang terluka
parah dan dianggap tidak dapat diselamatkan, kepada mereka yang membutuhkan
perawatan segera, kepada mereka yang dapat dengan aman menunggu untuk diobati.
Tujuan keseluruhan pemilahan adalah mengembalikan sebanyak mungkin tentara ke
medan perang secepat mungkin.
Perubahan dalam sistem pengiriman perawatan kesehatan memaksa Departemen
Emergensi (DE) AS mempertimbangkan cara alternatif untuk menangani peningkatan
jumlah pasien yang masuk selama tahun 1950an dan awal 1960an. Pada akhir 1950-an,
praktik dokter mulai berubah. Dokter beralih dari praktek pribadi; dokter panggilan dan
dokter keluarga menjadi hampir tidak terpakai lagi. Dokter membentuk praktik
kelompok berbasis kantor yang menawarkan jam kerja teratur dengan janji temu.
Departemen Emergensi menjadi penyedia utama perawatan medis primer saat kantor
dokter ditutup, terutama pada malam hari dan akhir pekan. Pada saat yang sama, lebih
banyak dokter memasuki spesialisasi daripada praktik umum. DE mulai mengalami
peningkatan volume yang besar. Peningkatan volume tersebut disebabkan oleh
kunjungan ke DE oleh pasien dengan masalah ketajaman/keparahan yang lebih rendah.
DE menyadari bahwa mereka memerlukan metode untuk mengurutkan pasien dan
mengidentifikasi mereka yang membutuhkan perawatan segera. Ini memberikan
dorongan untuk menempatkan sistem triase DE pada tempatnya. Dokter dan perawat
yang telah menggunakan proses triase secara efektif di militer pertama-tama
memperkenalkan triase ke DE sipil. Peralihan proses triase dari militer ke departemen
gawat darurat A.S. sangat berhasil.
21
Thompson and Dains (1982) mengidentifikasi tiga jenis sistem triase yang paling
umum:
Traffic director. Yaitu jenis sistem yang paling sederhana. Petugas nonklinis
menyapa pasien dan mengarahkan pasien ke area perawatan atau ruang tunggu
berdasarkan kesan awal mereka. Pada tahun 2002, jenis sistem ini tidak lagi
bekerja secara efektif.
Pemeriksaan di tempat. Sistem ini sesuai untuk departemen gawat darurat
volume rendah karena tidak memerlukan sumber daya berlebih untuk selalu
memiliki perawat terlatih pada triase karena pasien tidak perlu menunggu.
Sebagai gantinya, petugas registrasi menyapa pasien dan memanggil perawat
triase saat pasien datang. Perawat kemudian menentukan ketajaman pasien
berdasarkan penilaian triase singkat
Triase komprehensif. Sistem yang paling maju, terus berkembang di Amerika
Serikat. Ini didukung oleh Standar Perawat Darurat (Emergency Nurses
Association/ENA) dari Praktik Perawatan Darurat. Perawat darurat melakukan
triase pada setiap pasien dan menentukan prioritas perawatan berdasarkan
kebutuhan fisik, perkembangan dan psikososial serta faktor-faktor yang
mempengaruhi akses terhadap perawatan kesehatan dan aliran pasien melalui
sistem perawatan darurat. Triase dilakukan oleh perawat ED berpengalaman
yang telah menunjukkan kompetensi dalam peran triase. Tujuannya adalah
mengumpulkan secara cepat informasi "cukup" untuk menentukan ketajaman
triase (ENA, 1999, hal 23). Sistem ini direkomendasikan dapat dilakukan
dalam jangka waktu 2 sampai 5 menit, walau dalam pelaksanaannya masih
jauh dari yang diharapkan.
Pengenalan sistem triase ke dalam departemen darurat pada tahun 1960an, 1970an,
dan 1980an memiliki sejumlah manfaat yang jelas bagi pasien dan departemen. Beberapa
keuntungan termasuk:
Setiap pasien disambut oleh perawat triase yang berpengalaman.
Seorang pasien yang tidak dapat menunggu segera diidentifikasi.
Bantuan pertama diberikan.
Perawat terlatih tersedia untuk memenuhi kebutuhan emosional pasien dan
keluarga.
22
2. Ketajaman Triase
Saat ini kebanyakan departemen emergensi di Amerika Serikat menggunakan
beberapa jenis sistem ketajaman triase. Sistem ketajaman triase digunakan oleh petugas
medis di departemen emergensi untuk memilah pasien mana yang dapat dengan aman
menunggu dan pasien mana yang perlu segera dilihat/ditangani.
Skala tiga tingkat yang umum digunakan mencakup tingkat ketajaman ini:
Emergensi.
Urgen.
Non-urgen (ENA, 1997).
Pasien dinilai sebagai gawat darurat/emergensi jika mereka memiliki masalah yang
menimbulkan ancaman jiwa langsung atau sebagian. Pasien yang dianggap mendesak/
urgent adalah mereka yang membutuhkan perawatan segera, namun bisa menunggu
hingga beberapa waktu lamanya jika perlu. Non urgen adalah Pasien yang memiliki
kondisi yang membutuhkan perhatian, namun waktu bukanlah faktor penting.
Karena departemen emergensi dan sistem perawatan kesehatan terus berubah, nilai
skala penilaian ketajaman seperti ini mendapat sorotan yang semakin ketat. Pemeriksaan
ini menyebabkan penelitian yang menemukan bahwa model triase konvensional sudah
tidak memadai. Secara khusus, dokter darurat dan pemimpin keperawatan darurat
mempertanyakan keandalan dan validitas skala penilaian ketajaman tiga tingkat yang
digunakan oleh mayoritas DE di Amerika Serikat. Definisi emergensi, urgent, dan
nonurgent tidak jelas, tidak seragam dan sering bergantung pada rumah sakit dan
tergantung pada perawat.
Pemeriksaan pasien yang cepat dan akurat merupakan kunci sukses cara kerja
departemen darurat di abad ke-21. Secara khusus, kategorisasi ketajaman awal perawat
triase sangat penting. Under-categorization (undertriage) membuat pasien berisiko
mengalami kemunduran/penurunan saat menunggu. Overcategorization awal (overtriage)
menggunakan sumber daya yang terbatas, mengurangi tempat tidur DE yang tersedia
untuk pasien lain yang mungkin lebih memerlukan perawatan segera. Untuk alasan ini,
kategorisasi triase awal oleh perawat triase harus seakurat mungkin. Kategorisasi triase
yang akurat hanya dapat dicapai dengan menggunakan sistem ketajaman triase yang
andal dan valid dimana semua perawat DE telah dilatih secara memadai.
Departemen Emergensi/IGD adalah bagian yang unik dan menantang sehubungan
dengan pengendalian aliran pasien masuk dan keluar dari unit. Berbeda dengan unit
rawat inap yang tidak menerima pasien saat mereka sudah penuh, IGD umumnya
23
dianggap sebagai unit yang selalu terbuka, dengan kapasitas pasien yang berpotensi tak
terbatas. Sebagian besar instalasi gawat darurat memiliki sedikit kontrol atas kapan
penerimaan dapat ditransfer dari IGD ke tempat tidur rawat inap yang ditentukan. Salah
satu pilihan untuk IGD yang terlalu padat adalah mencoba mengendalikan "ujung
depan", atau jumlah pasien yang datang untuk mendapat perawatan.
Keselamatan pasien menjadi perhatian utama. Salah satu solusinya adalah
pengenalan prinsip triase dasar ke dalam gawat darurat. Saat ini, IGD sekali lagi
menghadapi masalah kepadatan/lonjakan jumlah pasien dan menemukan bahwa beberapa
solusi triase yang diberlakukan pada tahun 1950 tidak lagi efektif. Keadaan kepadatan
saat ini mengancam keselamatan pasien dan telah menyebabkan peningkatan fokus pada
triase. Proses triase, penggunaan standing order, dan peran dokter atau perawat praktisi
pada triase adalah semua konsep penting yang perlu diperiksa untuk mengoptimalkan
keamanan proses triase. Perhatian terhadap pelatihan perawat triase yang memadai
merupakan elemen penting lain yang memerlukan perhatian.
Meskipun semua masalah ini penting, pemilihan sistem triase yang valid dan andal
adalah keputusan mendasar untuk membantu memulai menangani keamanan saat triase.
Ada kebutuhan untuk mengganti sistem ketajaman triase tradisional/konvensional
dengan sistem berbasis penelitian, valid, dan dapat diandalkan. Indeks tingkat keparahan
Darurat (Emergency Severity Index / ESI),mungkin salah satu sistem triase modern yang
valid dan dapat diandalkan DE.
24
Table 4-1. Contoh Sistem Ketajaman Triage
2 Level 3 Level 4 Level 5 Level
Emergent Emergent Life-threatening Resuscitation
Non-emergent Urgent Emergent Emergent
Nonurgent Urgent Urgent
Nonurgent Non-urgent
Referred
Emergency Severity Index (ESI) adalah alat baru yang menjanjikan untuk penilaian
ketajaman triase di IGD. Ini telah terbukti dapat konsisten digunakan di seluruh wilayah
IGD, termasuk setting perkotaan dan pedesaan dan rumah sakit akademis dan komunitas
(Eitel, Travers, Rosenau, Gilboy & Wuerz, 2003).
Selain ESI, ada sistem triase lima tingkat yang dapat divalidasi dan dapat
diverifikasi dengan baik dan telah menjadi standar di negara lain. Tiga dari sistem
tersebut dijelaskan pada Tabel 2.
Ada dua jenis keandalan yang berhubungan dengan penilaian ketajaman triage.
Pertama, reliabilitas antar penilai adalah ukuran reproduktifitas: Akankah dua perawat
yang berbeda menilai pasien yang sama dengan tingkat ketajaman triase yang sama?
Keandalan antar penilai merupakan indikasi apakah perawat yang sama, dari waktu ke
25
waktu, akan menilai pasien yang sama dengan tingkat ketajaman yang sama. Kedua
adalah Validitas, yaitu keakuratan sistem pemeringkatan, dan menilai seberapa baik
sistem dapat mengukur apa yang dimaksudkannya untuk diukur. Validitas peringkat
ketajaman adalah indikasi apakah penilaian tersebut, misalnya, adalah penilaian yang
akurat mengenai ada atau tidak adanya urgensi masalah pasien DE.
2. Sejarah Emergency Severity Index / ESI
Emergency Severity Index (ESI) adalah skala triase lima level yang dikembangkan
oleh dokter ED Richard Wuerz dan David Eitel di Amerika Serikat (Gilboy et al., 1999;
Wuerz, Milne, Eitel, Travers & Gilboy, 2000). Kedua penggagas tersebut percaya bahwa
peran utama instrumen triase departemen darurat adalah untuk memfasilitasi prioritas
pasien berdasarkan urgensi kondisi pasien. Perawat triase menentukan prioritas dengan
mengajukan pertanyaan, "Siapa yang harus dilihat dulu?" Drs. Wuerz dan Eitel
menyadari, bagaimanapun, bahwa ketika lebih dari satu pasien prioritas utama hadir
bersamaan, pertanyaan berubah menjadi, "Berapa lama semua orang bisa menunggu?".
ESI dikembangkan sebagai konseptual baru dari triase DE. ESI terus
dikembangkan dalam beberapa versi dan penggunaan yang terakhir adalah ESI versi 4
yang disertai algoritma. Selain menanyakan pasien mana yang harus dilihat terlebih
dahulu, perawat triase menggunakan ESI untuk mempertimbangkan juga sumber daya
apa yang diperlukan untuk membawa pasien ke disposisi DE. Sehingga mendapatkan
pasien yang tepat dengan sumber daya yang tepat di tempat yang tepat dan pada waktu
yang tepat.
ESI unik karena memerlukan perawat triase untuk mengantisipasi kebutuhan
sumber daya yang diperlukan (misalnya, tes dan prosedur diagnostik), selain ketajaman,
untuk menentukan kategori triase untuk pasien yang kurang akut. Secara singkat,
penilaian ketajaman ditangani lebih dulu berdasarkan stabilitas fungsi vital pasien dan
kemungkinan adanya ancaman hidup atau organ segera. Kemudian kebutuhan sumber
daya yang dibutuhkan ditujukan untuk pasien yang stabil berdasarkan prediksi perawat
triase mengenai sumber daya yang dibutuhkan untuk menempatkan pasien berada dalam
keadaan darurat. Kebutuhan sumber daya bisa berkisar dari tidak sampai dua atau lebih.
26
terhadap pasien yang tidak perlu dilihat di IGD utama, namun dapat dengan aman dan
lebih efisien dilihat di pusat perawatan cepat atau mendesak (klinik 24 jam). Misalnya, di
banyak rumah sakit, kebijakan triase menetapkan bahwa semua pasien tingkat ESI 4 dan
5 dapat dikirim ke perawatan darurat medis atau area trauma ringan di IGD. ESI juga
merupakan alat yang berguna untuk meningkatkan alur pelayanan pasien di IGD.
27
Gambar 4-1. Algoritma ESI v.4
28
1. Triase ESI Level – 1
ESI level 1 dapat didefinisikan sebagai pasien yang berada dalam kondisi kritis
(tidak stabil), memerlukan tindakan life-saving segera, memiliki tingkat morbiditas
dan mortalitas yang tinggi.
Gambar 4-2a. Poin A: Apakah Pasien Sekarat?
Secara sederhana, pada poin A, perawat triase menanyakan apakah pasien ini
sedang sekarat. Jika jawabannya "ya," proses triase selesai dan pasien secara otomatis
dinyatakan sebagai tingkat ESI 1. Jawaban "tidak" akan mengarahkan pengguna ke
langkah berikutnya dalam algoritma, poin B. Dari poin A dapat dijelaskan bahwa jika
pasien masuk kriteria ESI level 1 berarti pasien tersebut membutuhkan resusitasi atau
life-saving sesegera mungkin. Adapun kriteria pasien yang memerlukan tindakan life-
saving segera adalah :
• Apneu
• Nadi tidak teraba
• Jalan nafas tidak paten
• Distress respirasi berat
• SpO2 < 90%
• Hanya merespon nyeri atau unresponsive
Intervensi life saving dapat berupa tindakan invasive maupun tindakan non
invasive. Semua intervensi itu ditujukan untuk pengontrolan jalan napas/airway
(intubasi), mempertahankan pernapasan/breathing (ventilasi), atau mendukung
sirkulasi/hemodinamik (kontrol perdarahan, IV akses dan obat-obatan).
29
Tabel 4-3. Tindakan live saving menurut pedoman ESI
Pasien ESI level 1 selalu datang ke gawat darurat dengan kondisi tidak stabil.
Pasien dengan ESI level 1 harus segera mendapatkan penanganan karena ketepatan waktu
intervensi dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.
Saat menentukan apakah pasien memerlukan intervensi life saving segera,
perawat triase juga harus menilai tingkat kesadaran pasien. Algoritma ESI
menggunakan skala AVPU (alert, verbal, pain, unresponsive).
Table 4-4. Empat level AVPU Scale
AVPU Tingkat Kesadaran
Level
A Alert. Pasien waspada, terjaga dan merespons suara. Pasien berorientasi pada
waktu, tempat dan orang. Perawat triase dapat memperoleh informasi subjektif.
30
Tujuan dari algoritma ini adalah untuk mengidentifikasi pasien yang mengalami
perubahan akut dalam tingkat kesadaran. Perawat triase perlu menilai pasien ini untuk
perubahan dari awal dan kekhawatiran kritisnya adalah pasien yang sebelumnya
waspada menjadi diberi label P (nyeri) atau U (tidak responsif). Tidak responsif
dinilai dalam konteks perubahan akut status neurologis, bukan untuk pasien yang
telah mengetahui keterlambatan perkembangan, demensia terdokumentasi, atau afasia.
Setiap pasien yang tidak responsif, termasuk pasien mabuk yang tidak responsif
terhadap rangsangan yang menyakitkan memenuhi kriteria ESI level 1 dan harus
segera dievaluasi. Contoh perubahan status mental akut yang memerlukan intervensi
segera adalah pasien dengan status mental menurun yang tidak dapat mempertahankan
jalan nafas atau mengalami gangguan pernapasan berat.
Pasien yang dinilai sebagai tingkat ESI 1 merupakan sekitar 1 - 3 % (persen)
dari semua pasien DE (Eitel, et al., 2003; Wuerz, Milne, Eitel, Travers & Gilboy,
2000; Wuerz, et al., 2001). Contoh ESI level-1:
• Henti jantung.
• Henti napas.
• Distress napas berat.
• SpO2 <90.
• Trauma trauma kritis dengan keadaan tidak responsif.
• Syok /hipoperfusi (karena sebab apapun).
• Bradikardi berat atau takikardia dengan tanda hipoperfusi.
• Hipotensi dengan tanda hipoperfusi.
• Reaksi anafilaksis.
• Bayi yang lemah.
• Aritmia tak stabil
• Kejang (sedang berlangsung).
• Koma dengan onset akut (karena sebab apapun).
Hasil akhir dari pasien dengan kriteria ESI level-1 adalah dirawat di unit
perawatan intensif (mayoritas), meninggal di gawat darurat dan beberapa pasien ESI
level-1 dipulangkan dari unit gawat darurat (jika mereka memiliki perubahan tingkat
kesadaran atau fungsi vital reversibel seperti hipoglikemia, kejang, keracunan alkohol,
atau anafilaksis).
31
2. Triase ESI Level – 2
Setelah perawat triase menentukan bahwa pasien tidak memenuhi kriteria untuk
ESI level-1, perawat triase bergerak poin B. Pada poin B perawat perlu memutuskan
apakah pasien ini bisa menunggu untuk segera ditangani atau tidak. Jika pasien tidak
bisa menunggu dan harus segera ditempatkan diruang pemeriksaan/ tindakan IGD
untuk segera ditangani oleh dokter, maka pasien ditriase sebagai ESI level-2. Tiga
pertanyaan umum digunakan untuk menentukan apakah pasien memenuhi kriteria
level 2:
tinggi?
2) Apakah pasien bingung, letargi
atau disorientasi?
3) Apakah pasien nyeri hebat atau
distress berat?
Perawat triase mengamati respons fisik terhadap nyeri akut yang mendukung
penilaian pasien. Misalnya, penderita sakit perut yang bersifat diaphoretic, takikardi,
dan memiliki tekanan darah tinggi; Atau pasien dengan nyeri panggul, muntah, kulit
pucat, dan riwayat kolik ginjal merupakan contoh bagus pasien dengan ESI level-2.
33
Gangguan fisiologis atau psikologis yang bersifat berat dan memerlukan
penanganan medis segera. Contoh distress termasuk korban kekerasan seksual, pasien
dengan percobaan bunuh diri, atau pasien bipolar yang sedang kumat. Proporsi pasien
dengan kriteria ESI level-2 adalah 20 - 30 dari pasien total pasien gawat darurat.
Begitu pasien ditriase ESI level-2, perawat triase perlu memastikan bahwa
pasien mendapatkan tindakan dengan tepat waktu. Pendaftaran bisa dilakukan oleh
anggota keluarga atau di samping tempat tidur. Pasien tingkat 2 ESI memerlukan
tanda vital dan penilaian keperawatan yang komprehensif namun tidak harus
dilakukan pada saat triase. Pasien dengan kriteria ESI level-2, 50-60 persen pasien
menjalani rawat inap.
Sangat penting bahwa perawat triase mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan
diatas saat melakukan triase setiap pasien. "Melewatkan" situasi berisiko tinggi dapat
menyebabkan masa tunggu yang lebih lama dan hasil pasien yang berpotensi negatif.
3. Triase ESI Level - 3, 4, 5
Secara historis, Sistem triase didasarkan pada penilaian perawat terhadap tanda
vital, informasi subjektif dan obyektif, riwayat kesehatan masa lalu, alergi, dan
pengobatan untuk menentukan ketajaman triase. Namun Sistem triase Emergency
Severity Index (ESI) menggunakan pendekatan baru untuk menentukan level triase
dengan memasukkan tidak hanya penilaian tentang siapa yang harus dilihat terlebih
dahulu, tetapi juga untuk pasien yang kurang akut, menambahkan perkiraan sumber
daya yang mungkin akan digunakan untuk membuat disposisi/keputusan untuk pasien.
Perkiraan sumber daya membedakan ESI dari sistem triase lain yang hanya
didasarkan pada ketajaman. Perkiraan penggunaan sumber daya merupakan bagian
integral dari ESI untuk pasien yang diidentifikasi sebagai ESI level 3, 4, atau 5. Tapi
Penting untuk dipahami bahwa alokasi sumber daya tidak berlaku untuk pasien
dengan kriteria ESI level 1 atau 2.
Dalam sistem triase ESI, penambahan pemanfaatan sumber daya untuk
menyediakan data tambahan dan memungkinkan keputusan triase yang lebih baik dan
akurat. Perawat triase gawat darurat berpengalaman dipercaya dapat memprediksi
sifat dan jumlah tes, intervensi terapeutik, dan konsultasi yang dibutuhkan pasien
selama masa pemeriksaan di gawat darurat.
34
Gambar 4-2c. Perkiraan Sumber Daya
Perkiraan sumber daya hanya dimulai ketika pasien tidak termasuk kriteria ESI
level-1 atau 2. Pada poin A dan B pada algoritma ESI, perawat menentukan pasien
mana yang memenuhi kriteria untuk ESI level-1 dan 2 hanya berdasarkan ketajaman
pasien. Namun, pada poin C, perawat memberikan ESI level 3-5 dengan menilai
ketajaman dan memperkirakan kebutuhan sumber daya. Jenis sumber daya yang
dimaksud adalah seluruh jenis tes diagnostik, tindakan terapi, prosedur, dan konsultasi
medis yang :
Cenderung memperpanjang lamanya pasien tinggal di IGD dan/atau melibatkan
staf/unit diluar IGD.
Diperlukan untuk mengatasi problem pasien selama ditangani di IGD, guna
mencapai keputusan/disposisi akhir.
Tabel 4-5. Jenis sumber daya (resources) menurut ESI
Pedoman untuk kategorisasi sumber daya dalam sistem triase ESI ditunjukkan
pada Tabel 5. Meskipun daftar sumber daya dalam Tabel 5 tidak lengkap, setidaknya
ini memberikan panduan umum mengenai jenis tes diagnostik, prosedur, dan
35
perawatan terapeutik yang merupakan sumber daya dalam sistem ESI. Tingkat ESI 3,
4, dan 5 dibedakan berdasarkan penentuan perawat tentang berapa banyak sumber
daya yang diperlukan untuk membuat disposisi/keputusan pasien. Berdasarkan
prediksi perawat triase, pasien yang diperkirakan memerlukan dua atau lebih sumber
daya ditetapkan sebagai ESI level-3, pasien yang cenderung memerlukan satu sumber
daya adalah ESI level-4, dan pasien yang diharapkan tidak memerlukan sumber daya
apapun diklasifikasikan sebagai ESI level-5.
Pedoman ESI dalam memperkirakan jumlah sumber daya yang dibutuhkan
pasien di IGD adalah sebagai berikut :
Beberapa sumber daya yang sama jenisnya diperhitungkan sebagai satu jenis
sumber daya. Contoh : pemeriksaan darah lengkap dan urinalisis = satu jenis
sumber daya (pemeriksaan laboratorium)
Prosedur yang bersifat sederhana diperhitungkan sebagai satu jenis sumber daya,
contoh : jahit luka, pemasangan kateter urin, dsb.
Prosedur yang bersifat komplek diperhitungkan sebagai > 2 jenis sumber daya,
contoh : prosedur yang melibatkan sedasi.
Wanita 45 tahun, obesitas, dengan nyeri dan bengkak tungkai kiri bawah, sejak 2
hari sebelumnya, setelah mengendarai mobil selam 12 jam.Prediksi jenis sumber
daya yang diperlukan : pemeriksaan laboratorium, EKG, rujuk / konsultasi
spesialis, dsb.
Laki-laki 22 tahun, nyeri abdomen kanan bawah, skor nyeri 5/10, mual dan
muntah. Prediksi jenis sumber daya yang diperlukan : pemberian cairan intravena,
pemeriksaan laboratorium, pemberian obat injeksi, rujuk / konsultasi spesialis,
dsb.
44
Anak laki-laki 10 tahun, klinis baik, tangan kiri gatal dan nyeri karena gigitan
serangga. Prediksi jenis sumber daya yang diperlukan : tidak ada
Pasien ESI level 3 datang di IGD dengan kondisi yang stabil dan memerlukan
pemeriksaan mendetail terkait keluhan utamanya. Dari sudut pandang klinis, pasien
ESI level 4 dan 5 memiliki kondisi yang stabil dan aman untuk menunggu dilayani
hingga beberapa jam. Namun, dari sudut pandang pelayanan konsumen, kelompok
pasien ini mungkin lebih baik dilayani di area fast track atau urgent care (contoh :
klinik 24 jam).
Proporsi pasien IGD dengan ESI level 3 adalah 30-40% dan pasien dengan ESI
level 4 dan 5 adalah 20-35% dari pasien yang datang ke IGD. Hasil akhir dari pasien
dengan kriteria ESI level 3-5 adalah Pasien yang membutuhkan dua atau lebih sumber
daya di IGD memiliki tingkat admisi RS, mortalitas, dan lama tinggal di IGD yang
lebih tinggi.
45
1. Apakah tanda vital itu?
Tanda vital secara sederhana mencakup pengukuran parameter fisiologis
sederhana termasuk suhu, tekanan darah, denyut nadi, dan laju pernafasan serta
saturasi oksigen (SPO2) (Tabel 6). The American Pain Society mengadopsi ungkapan
"Pain: tanda vital kelima" untuk meningkatkan kesadaran petugas kesehatan tentang
pentingnya penilaian dan pengelolaan rasa sakit. Penilaian rasa sakit merupakan
komponen penting ESI dan sebenarnya dinilai lebih awal dalam algoritma. Jadi, untuk
tujuan ESI, detak jantung, laju pernapasan, saturasi oksigen dan suhu pada anak di
bawah usia 3 adalah parameter tanda vital yang dipertimbangkan dalam poin D.
Table 4-6. Tanda Vital
Vital Sign Definisi
Tekanan atau ketegangan darah di dalam arteri sistemik, diatur oleh kontraksi
Tekanan Darah ventrikel kiri, hambatan arteriol dan kapiler, elastisitas dinding arteri, serta
viskositas dan volume darah. (Stedman, 1995).
Nadi Ukuran detak jantung, tercatat sebagai jumlah denyut per menit (Stedman, 1995).
Tingkat suhu, indikator adanya penyakit, atau ancaman kesehatan yang terlepas
Temperature
dari tanda lain yang dikumpulkan dari diagnosis fisik sederhana.
Respiratory rate Frekuensi bernapas, dicatat sebagai jumlah nafas per menit (Stedman, 1995).
Sensasi berbahaya yang dikirimkan oleh struktur saraf khusus ke otak, di mana
Nyeri
persepsi dimodifikasi oleh kognisi dan emosi (Paris, 1989; Tintinalli, et al., 2000).
jika dalam penilaian perawat triase, mengetahui tanda vital pasien akan
membantu analisis risiko, maka tanda vital harus diukur.
2. Tanda Vital Apa yang Diperlukan diTriase?
Dalam sistem triase tiga tingkat tradisional, tanda-tanda vital membantu
menentukan berapa lama pasien dapat menunggu pengobatan (yaitu, jika tidak ada
tanda vital abnormal yang ada, dalam banyak kasus, pasien dapat menunggu waktu
yang lebih lama). Tanda-tanda vital pada masa lalu berperan penting dalam penilaian
triase pasien, dengan penekanan variabel ditempatkan pada presentasi klinis.
46
Model triase yang lebih baru menganjurkan penggunaan tanda vital secara
selektif pada triase. Tanda vital awal bukanlah komponen wajib dari sistem triase lima
tingkat lainnya dan secara umum tidak dilaporkan selama fase triase pasien level 1
atau 2 (yaitu pasien dengan ketajaman tertinggi). Parameter tanda vital adalah salah
satu faktor yang membantu perawat triase menentukan tingkat ketajaman.
3. Tanda Vital dan Triase ESI
Dengan menggunakan Triase ESI, satu-satunya persyaratan absolut untuk
penilaian tanda vital adalah untuk pasien yang pada awalnya tidak memenuhi kriteria
tingkat 1 atau 2 dari ESI, jadi penggunaan tanda vital pada sistem ESI hanya untuk
pasien ESI level 3. Namun pemeriksaan tanda vital pada ESI level 1, 2, 4, atau 5
adalah opsional dan berdasarkan pertimbangan perawat triase. Meskipun sistem ESI
tidak memerlukan penilaian tanda vital pada semua pasien yang hadir pada triase,
kebijakan lokal mungkin menentukan prosedur yang berbeda. Secara umum saat
triaging pasien stabil, tidak ada salahnya untuk mendapatkan satu set tanda vital.
Tanda vital dapat memainkan peran yang lebih penting dalam evaluasi beberapa
pasien pada triase, terutama pasien ESI level 3. Rentang tanda vital dapat memberikan
data pendukung untuk indikator potensial penyakit serius. Jika salah satu tanda vital
zona bahaya terlampaui, disarankan perawat triase agar mempertimbangkan pasien
ESI level 3 menjadi ESI level 2.
ESI merekomendasikan agar tanda vital pada pasien di bawah usia 3 tahun
dinilai pada triase. Secara khusus, pengukuran suhu penting selama triase pada anak
dari bayi baru lahir sampai usia 36 bulan, dan evaluasi tanda vital sangat penting
untuk penilaian keseluruhan bayi demam yang diketahui di bawah usia 36 bulan. Ini
membantu membedakan pasien ESI level 2 dan 3 dan meminimalkan risiko anak-anak
yang berpotensi/beresiko tinggi akan mengalami penundaan yang tidak tepat. Ingat,
jika pasien berada dalam bahaya atau risiko tinggi, dia akan dinaikkan ke tingkat ESI
1 atau 2.
47
Tabel 4-7. Zona Bahaya tanda Vital
D. Zona Bahaya Vital Signs. Pertimbangkan meningkatkan ke ESI 2 jika
kriteria tanda vital terlampaui.
Tidak ada pedoman yang jelas untuk bayi berusia antara 28 hari - 3 bulan. ESI
merekomendasikan perawat triase bergantung pada pedoman rumah sakit setempat.
ESI menyarankan agar perawat triase mempertimbangkan untuk memutuskan
setidaknya ESI level 2 untuk pasien tersebut.
48
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Triase menjadi komponen yang sangat penting di instalasi gawat darurat terutama
karena terjadi peningkatan drastis jumlah kunjungan pasien ke rumah sakit melalui
instalasi gawat darurat ini. Untuk membuat sistem triase yang efektif dan efisien, maka
ada empat hal yang harus dinilai yaitu :
Utility: Skala harus relative mudah dipahami dan mudah untuk diterapkan oleh
perawat dan dokter IGD.
Validitas: skala harus mampu mengukur urgensi suatu kondisi sesuai dengan
seharusnya, yaitu harus mampu mengukur urgensi klinis dari tingkat keparahan atau
kompleksitas penyakit atau beberapa aspek lain dari presentasi atau lingkungan IGD.
Reability/Keandalan: Penerapan skala harus konsisten, yaitu dapat dilaksanakan oleh
berbagai petugas medis dan memberikan hasil yang seragam. ‘’Inter-rater reliability”
adalah istilah yang digunakan untuk ukuran statistic kesepakatan yang dicapai oleh
dua atau lebih penilai dengan menggunakan skala yang sama.
Keselamatan: keputusan triage harus sesuai dengan kriteria klinis yang obyektif dan
harus mengoptimalkan waktu untuk intervensi medis. Selain itu, skala triage harus
cukup peka untuk mengidentifikasi masalah pasien.
49
1. Identifikasi cepat pasien yang membutuhkan pertolongan segera
2. Membantu penempatan pasien di IGD secara tepat
3. Meningkatkan alur pelayanan pasien di IGD
B. SARAN
Perawat Instalasi Gawat Darurat senantiasa selalu meningkatkan wawasan dan
ilmu pengetahuan khususnya tentang triase dan penerapannya di Instalasi Gawat Darurat
Rumah Sakit agar dapat menentukan triase yang cepat dan tepat sehingga dapat
memberikan pelayanan sebaik mungkin terhadap pasien yang datang ke IGD.
Ada sedikitnya tiga alasan mengapa ESI lebih cocok diterapkan di sebagian besar
IGD di Indonesia. Pertama, perawat triase dipandu untuk melihat kondisi dan keparahan
tanpa harus menunggu intervensi dokter. Kedua, pertimbangan pemakaian sumber daya
memungkinkan IGD memperkirakan utilisasi tempat tidur. Ketiga, sistem triase ESI
menggunakan skala nyeri 1-10 dan pengukuran tanda vital yang secara umum dipakai di
Indonesia.
50
DAFTAR PUSTAKA
51