Anda di halaman 1dari 118

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS LAPORAN PRAKTEK RESIDENSI SPESIALIS


KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENERAPAN TEORI
KONSERVASI LEVINE PADA KASUS KARDIOVASKULER
DI RUMAH SAKIT JANTUNG HARAPAN KITA JAKARTA

KARYA ILMIAH AKHIR

Oleh
ANI WIDIASTUTI
1006800711

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM STUDI RESIDENSI ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
DEPOK, JULI 2012

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


`

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS LAPORAN PRAKTEK RESIDENSI SPESIALIS


KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENERAPAN TEORI
KONSERVASI LEVINE PADA KASUS KARDIOVASKULER
DI RUMAH SAKIT JANTUNG HARAPAN KITA JAKARTA

KARYA ILMIAH AKHIR


Disusun untuk memenuhi tugas akhir program profesi spesialis
keperawatan medikal bedah

Oleh
ANI WIDIASTUTI
1006800711

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM STUDI RESIDENSI ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
DEPOK, JULI 2012

xv

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012
Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012
KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan YME karena kasih dan karunia-Nya,
akhirnya peneliti dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir (KIA) dengan judul “Analisis
Laporan Praktek Residensi Spesialisasi Keperawatan Medikal Bedah Dengan Penerapan
Teori Konservasi Levine pada Kasus Kardiovaskuler Di Rumah Sakit Jantung Harapan
Kita Jakarta”. Dalam penyusunan KIA ini, peneliti banyak mendapat bimbingan dan
dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Dewi Irawaty, M.A., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia
2. Astuti Yuni Nursasi, S.Kp., MN. selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
3. Prof. Dra. Elly Nurachmah, SKp, M.App.Sc, D.N.Sc, RN, selaku supervisor utama
yang telah memberikan arahan dan masukan selama penyusunan KIA ini.
4. Tuti Herawati, SKp, MN, selaku supervisor praktek yang telah memberikan
bimbingan dan arahan selama penyusunan KIA ini
5. Debie Dahlia, S.Kp., MHSM, selaku pembimbing akademik yang telah memberikan
arahan selama mengikuti residensi
6. Staf akademik dan staf non akademik Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia
7. Rekan-rekan mahasiswa angkatan 2010, khususnya Program Residensi Keperawatan
Medikal Bedah spesialisasi kardiovaskuler yang telah saling mendukung dan
membantu selama proses residensi
8. Pimpinan dan rekan-rekan kerjaku di unit Edukasi dan keperawatan rumah sakit
Pondok Indah Jakarta yang telah memberi dukungan dan pengertian yang sangat besar
selama penulis menjalani pendidikan.
9. Pimpinan dan rekan-rekan kerjaku di Fakultas Ilmu-ilmu kesehatan Universitas
Pembangunan Nasional Jakarta program studi ilmu keperawatan yang telah memberi
dukungan selama penulis menjalani pendidikan.

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


`

10. Keluarga besarku terutama putra-putri kecilku tercinta Andru dan Naomi yang telah
bersabar menemani, memberi semangat dan membuat peneliti dapat tetap tersenyum
dan optimis menyelesaikan residensi dan KIA ini.
11. Serta semua pihak yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyusunan KIA ini.
Semoga segala bantuan dan kebaikan, akan mendapat berkat dan anugrah yang berlimpah
dari Tuhan YME. Peneliti menyadari tesis ini masih belum sempurna, dengan kerendahan
hati peneliti sangat mengharapkan masukan, saran dan kritik yang membangun demi
perbaikan KIA ini.

Depok, 12 Juli 2013

Peneliti

xv

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012
Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012
ABSTRAK

Ani Widiastuti

Spesialis Ilmu Keperawatan Peminatan Medikal Bedah FIK-UI

Analisis Laporan Praktek Residensi Spesialisasi Keperawatan Medikal Bedah Dengan


Penerapan Teori Konservasi Levine pada Kasus Kardiovaskuler Di Rumah Sakit Jantung
Harapan Kita Jakarta

xiv + 63 + 2 tabel + 1 skema + 2 gambar + 3 lampiran

Analisis laporan praktek residensi merupakan analisis yang dilakukan selama penulis
menjalankan praktek residensi 1, 2 dan 3 di rumah sakit jantung pusat nasional Harapan
Kita Jakarta. Laporan berisi asuhan keperawatan kasus kardiovaskuler yang terdiri dari 1
kasus kelolaan utama, dan 30 kasus resume, dengan penerapan teori keperawatan model
konservasi Levine, pembuatan evidence best nursing serta pembuatan inovasi
keperawatan. Tujuan analisis ini adalah untuk memberikan gambaran peran perawat
dalam penatalaksanaan keperawatan selama praktik residensi spesialis keperawatan
medikal bedah dengan penerapan teori konservasi Levine pada kasus kardiovaskuler di
RS Jantung Harapan Kita Jakarta dan merupakan salah satu bentuk pertanggung jawaban
terhadap pengelolaan kasus pasien acut coronary syndrome dengan intervensi CABG.
Teori Levine tepat digunakan mengingat pasien dengan kasus kardiovaskuler
membutukan kemampuan beradaptasi karena perubahan yang terjadi baik internal
maupun eksternal sehingga tercapai konservasi untuk kesembuhan pasien. Pelaksanaan
EBN (evidence base nursing) dilakukan di unit intermediate bedah yaitu melatih pasien
menggunakan otot-otot diafragma dan nafas dalam untuk memperbaiki ekspansi paru.
Hasil analisa menunjukan terdapat perbedaan yang significan pada oksigenasi pasien
sebelum dan sesudah intervensi (P value<0.05). Kegiatan inovasi dilakukan di unit ICU
yaitu membuat prosedur pemberian obat kewaspadaan tinggi dengan memperhatikan
prinsip safety. Hasil menunjukan perawat dapat menerima perubahan atau prosedur baru
yang bertujuan mencegah kesalahan dalam pemberian obat sesuai six goal patient safety
dari JCI (joint commision International)

Kata kunci : acute coronarry syndroma, teori konservasi Levine, coronarry artery
bypass graft, evidence base nursing, inovasi keperawatan

Daftar pustaka 29 (1999-2012)

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


`

ABSTRACT

Ani Widiastuti

Specialis of Nursing Science, specialty in Medical Surgical Nursing, Faculty of Nursing,


UI

Analysis of repport specialist practice, specialty in Medical Surgical Nursing with


aplicated conservation theory from Levine on Cardiovascular case at hospital of cardiac
centre Harapan Kita Jakarta

xiv + 63 + 2 tabel + 1 skema + 2 gambar + 3 lampiran

Analysis of repport specialist practice is analysis as a result of recidence practice 1,2 and
3 in hospital of cardiac centre Harapan Kita Jakarta. The contens of repport are nursing
care patient acute coronarry syndroma with coronarry artery bypass graft (CABG) and 30
cases others that base on Levine conservation nursing Theory, evidence base nursing and
nursing inovation. The purpose of this analysis is give description of nurse roles in
medical surgical nursing with aplication nursing theory Levine conservation and as
responsibility of nurse in nursing care plan. Levine nursing theory has been used because
of need for adaptation by every cardiac surgery patient to get energy conservation. The
aplication of was done at surgical intermediate unit. The result showed that there is a
significant influence of exercise breathing muscle and deep breathing to lung expansion
or oxygenation before and after exercise (p < 0.05). Nursing inovation about high allert
medication aplicate on intensive care unit. The result showed that every nurse can accept
the inovation, they very aware with new procedure about administration of high allert
medication. This inovation base on need of hospital for safety administration of high
allert medication and avoid medication error as one of six goal patient safety from JCI
(joint commision International).

Keywords : acute coronarry syndroma, theory of energy conservation by Levine,


coronarry artery bypass graft, evidence base nursing, Nursing inovation

Bibliography, 29 (1999-2012)

xv

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iv
HALAMAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .............................................. vi
SURAT PERNYATAAN .............................................................................. vii
ABSTRAK ..................................................................................................... viii
DAFTAR ISI.................................................................................................. x
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xii
DAFTAR SKEMA ........................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv
BAB 1. PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Tujuan ..................................................................................................... 7
C. Manfaat ................................................................................................... 7
BAB 2. TINJAUAN TEORI ...................................................................... 8
A. Konsep Acute Coronary Syndrome ......................................................... 8
1. Pengertian ................................................................................................. 8
2. Klasifikasi ACS ........................................................................................ 8
3. Etiologi ..................................................................................................... 10
4. Patofisiologi .............................................................................................. 13
5. Manifestasi klinik ..................................................................................... 14.
6. Komplikasi ............................................................................................... 15
7. Penatalaksanaan ........................................................................................ 15
B. Konsep CABG ......................................................................................... 18.
1. Pengertian ................................................................................................. 18
2. Klasifikasi ................................................................................................ 18
3. Indikasi ..................................................................................................... 18
4. Pemilihan arteri ........................................................................................ 19
5. Perawatan paska operasi .......................................................................... 20

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


`

6. Komplikasi ............................................................................................... 21
B. Konsep Teori Keperawatan ..................................................................... 21.
1. Model Konservasi Levine ........................................................................ 21
2. Integrasi Teori dalam Proses Keperawatan .............................................. 26
BAB 3. PENERAPAN TEORI KONSERVASI LEVINE PADA
ASKEP PASIEN DENGAN GANGGUAN KARDIOVASKULER ...... 28
A. Gambaran Kasus Kelolaan Utama .......................................................... 28
1. Identitas Pasien ......................................................................................... 2
2. Keluhan utama dan riwayat Kesehatan Sekarang .................................... 28
3. Riwayat Kesehatan Dahulu ...................................................................... 29
4. Riwayat Kesehatan Keluarga .................................................................... 29
B. PENERAPAN TEORI KONSERVASI LEVINE PADA KASUS
KELOLAAN UTAMA............................................................................. 29
1. Pengkajian Teori Konservasi .................................................................... 32
2. Judgement/ Tropicognosis ........................................................................ 32
3. Hipotesis/intervensi ................................................................................... 33
4. Implementasi ............................................................................................. 34
5. Evaluasi .................................................................................................... 34
C. Pembahasan .............................................................................................. 40
D. Analisis Penerapan Teori Konservasi Levine ....................................... 44
E. Analisis kasus Resume ............................................................................ 46
BAB 4. PENERAPAN PRAKTIK BERBASIS PEMBUKTIAN
(EVIDENCE BASED NURSING) ............................................................. 49
A. Penelaahan Kritis ..................................................................................... 49
B. Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian................................. ...... 51
C. Pelaksanaan Penerapan Evidence Based Nursing Practice ...................... 51
1. Rancangan penerapan EBN ................................................................. 51
2. Populasi dan Sampel EBN ................................................................... 52
3. Tempat dan Waktu ................................................................................ 52
4. Prosedur Penerapan EBN ...................................................................... 52
5. Hasil Penerapan EBN ........................................................................... 54
6. Pembahasan ........................................................................................... 54
BAB 5. KEGIATAN INOVASI PADA GANGGUAN
xv

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


SISTEM KARDIOVASKULER ................................................................ 56
A. Analisis Situasi ........................................................................................ 56
B. Kegiatan Inovasi ...................................................................................... 57
1. Kontrak Pelaksanaan Kegiatan ............................................................ 58
2. Desiminasi Awal Program Inovasi ..................................................... 58
3. Pelaksanaan Program Inovasi .............................................................. 58
4. Pelaksanaan Evaluasi ......................................................................... 60
C. Pembahasan ............................................................................................. 61
BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 62
A. Simpulan ................................................................................................. 62
B. Saran ........................................................................................................ 63
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


`

DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 2.1 Klasifikasi myokard infark menurut waktu kejadian……………………… 10
Tabel 2.2 Lokasi infark, lead EKG dan arteri koroner………………………………. 11

xv

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


DAFTAR SKEMA
Hal
Skema 2.1 Model konservasi Levine ........................................................... 23

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


`

DAFTAR GAMBAR
Hal
Tabel 4.1 Pergerakan otot diafragma........................................……………………… 53
Tabel 4.2 Pursed lip breathing………………………………....................................... 53

xv

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kasus resume


Lampiran 2. Proyek inovasi
Lampiran 3. Hasil reka data EBN

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Praktek residensi merupakan kegiatan praktek yang dilaksanakan pada tatanan
nyata dalam hal ini adalah di rumah sakit yang memungkinkan mahasiswa
memiliki pengalaman nyata dalam mengaplikasikan teori sekaligus melakukan
analisis dalam proses tersebut. Praktek residensi terbagi dalam residensi 1, 2 dan 3
yang berlangsung dalam 2 semester. Selama praktek residensi, banyak hal baru
dan menarik yang didapat dan dilakukan mahasiswa sebagai upaya meningkatkan
kemampuan dan pengalaman mahasiswa. Untuk itu perlu dibuat laporan praktek
residensi yang memaparkan dan membahas kegiatan praktek residensi
keperawatan medikal bedah dalam hal ini spesialisasi kardiovaskuler yang
Dilaksanakan di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta.

Kegiatan praktek didasari oleh kompetensi residensi yang harus dicapai


mahasiswa meliputi kompetensi dalam melakukan tindakan keperawatan
khususnya dalam mengelola kasus kardiovaskuler, serta kompetensi dalam
kemampuan berkomunikasi yang efektif dan terapeutik, kemampuan dalam
menampilkan perilaku profesional, serta kemampuan dalam melakukan diskusi
yang sistematis. Kompetensi spesialis kardiovaskuler meliputi kemampuan klinik
dan analitik dalam tahap pengkajian pasien dengan gangguan sistem
kardiovaskuler, intervensi hingga evaluasi. Rumah sakit jantung harapan kita
menjadi tempat praktek yang tepat untuk dapat mencapai kompetensi tersebut.
Pelayanan yang lengkap dan terpadu dengan jumlah kasus yang banyak dan
bervariasi memungkinkan mahasiswa dapat belajar sekaligus mengaplikasikan
teori keperawatan kardiovaskuler dengan baik. Mahasiswa diharapkan dapat
mencapai kompetensi tersebut selama menjalani praktek residensi 1.2 dan 3.

Laporan ini berisi pengalaman dan analisis mahasiswa dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskuler dengan salah
satu teori keperawatan yang dipilih dan diaplikasikan terhadap kasus yang

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


2

dikelola, termasuk pengalaman melakukan praktek berdasar pembuktian atau


Evidence Based Nursing Practice serta hasil analisa terhadap kegiatan inovasi
yang dilakukan di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta. Laporan ini juga
dilampirkan hasil pengelolaan yang dilakukan mahasiswa selama residensi
terhadap kasus-kasus kardiovaskuler yang dibuat dalam bentuk resume kasus.

Rumah Sakit Jantung Harapan Kita merupakan rumah sakit jantung pusat nasional
yang menjadi rujukan bukan saja dari Jakarta tetapi dari seluruh pelosok di
Indonesia. Jumlah kunjungan yang mencapai ribuan setiap tahunnya menjadikan
rumah sakit Harapan Kita sebagai centre of science bagi perkembangan ilmu dan
skill dalam penanganan pasien dengan kasus kardiovaskuler baik pada tingkat
Nasional maupun Internasional. Jumlah intervensi bedah yang sangat besar dilihat
dari jumlah tindakan bedah perhari yang mencapai 7-8 pasien dengan daftar
tunggu tindakan yang tidak pernah sepi mendorong pihak managemen Rumah
Sakit terus berbenah diri. Kemajuan diagnostik dan intervensi yang didukung
dengan peralatan terkini yang canggih baik bedah maupun non bedah serta
sumber daya manusia yang terus diperbaharui secara kuantitas dan kualitas
menjadi anadalan Rumah Sakit memberi pelayanan terbaik kepada pasien. Bukti
keseriusan Rumah Sakit terhadap mutu pelayanan juga dibuktikan dengan upaya
Rumah Sakit mengikuti akreditasio Internasional JCI dalam waktu dekat.

Gangguan Kardiovaskuler yang ditemukan mahasiswa selama praktek residensi di


RS Harapan Kita sangat bervariasi mulai kasus serangan akut pada saat pasien
masuk ke unit gawat darurat hingga penatalaksanaanya baik bedah maupun non
bedah. Kasus juga meliputi kelompok penyakit jantung koroner, gangguan katup
jantung, penyakit jantung kongenital serta berbagai gangguan kardiovaskuler
lainnya yang sangat kompleks dan menarik untuk di pelajari.

Penyakit jantung koroner merupakan bentuk yang paling umum ditemui selama
residensi dari berbagai kasus penyakit jantung yang ada. Menurut data American
Heart Association (AHA), 2006, lebih dari 13 juta penduduk Amerika menderita
penyakit jantung, dan 700 ribu diantaranya meninggal dunia setiap tahun. (

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


3

Shiplett, Barbara, 2007). Di Indonesia sendiri berdasarkan Hasil Survei Kesehatan


Rumah Tangga Nasional (SKRTN) tahun 2001, diketahui bahwa penyakit jantung
koroner merupakan penyebab kematian nomor 1 atau sekitar 26,4 % angka
kematian disebabkan oleh penyakit jantung koroner. (Anggraeni, 2008).

Acute coronary syndrome (ACS) merupakan sekumpulan gejala akut pada


pembuluh darah koroner akibat suplai darah yang tidak adekuat pada pembuluh
darah koroner, mencakup angina pectoris tidak stabil, infark myokard dengan
gelombang ST elevasi dan tanpa gelombang ST elevasi ( Brunner & Suddarth,
2002). ACS meliputi spektrum pasien-pasien yang mengalami nyeri dada atau
angina serta keluhan lain akibat ischemic atau infark miokard. Terdiri dari Angina
Pektoris Tidak Stabil, Infark Miokard dengan gambaran EKG ST elevasi dan non
ST elevasi. Ketiga keadaan tersebut merupakan keadaan kegawatan dalam sistem
kardiovaskuler yang memerlukan tatalaksana yang baik untuk menghindari
tejadinya kematian mendadak.

Intervensi bedah yang utama dan mayoritas pada penyakit jantung koroner adalah
operasi pintas jantung koroner (CABG). Karakteristik pasien yang makin bervariasi
dilihat dari rentang usia penderita penyakit jantung koroner yang makin
memanjang, mendorong penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang
pengelolaan dan asuhan keperawatan pasien dengan penyakit jantung koroner yang
dilakukan intervensi bedah CABG. Penulis juga menggali lebih dalam intervensi
keperawatan yang dapat membantu pasien pasca operasi terhindar dari komplikasi
akibat gangguan ekspansi paru dan komplikasi infeksi sehingga dapat mempercepat
proses penyembuhan, yang penulis kerjakan dalam bentuk kegiatan Evidence Base
Nursing (EBN). Proses penyembuhan yang memerlukan waktu lama
mengakibatkan hari rawat pasien di rumah sakit menjadi bertambah. Kondisi ini
dapat mempengaruhi pasien dan keluarga terutama dari segi finansial, dimana
membutuhkan biaya yang semakin banyak (Smeltzer, 2008).

Coronary Artery Bypass Graft (CABG) merupakan salah satu metode


revaskularisasi yang umum dilakukan pada pasien yang mengalami

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


4

atherosklerosis dengan 3 atau lebih penyumbatan pada arteri koroner atau


penyumbatan yang signifikan pada Left Main Artery Coroner (Chulay&Burns,
2006). Sebagai alternative terakhir penatalaksanaan penyakit jantung koroner,
tindakan CABG memiliki komplikasi yang tidak sedikit bagi pasien.
Hipovolemia, perdarahan, tamponade jantung, infeksi pneumonia, atelektasis
bahkan kegagalan proses weaning dari ventilator dapat terjadi akibat komplikasi
dari tindakan. Tindakan Untuk mencegah dan mengatasi komplikasi perlu
penanganan yang tepat dan cepat. Pencegahan terhadap kejadian komplikasi juga
harus dilakukan secara dini agar pasien terhindar dari masalah baru yang dapat
memperlambat proses penyembuhan. Perawat turut berperan penting dalam upaya
preventif terhadap komplikasi paska operasi.( Black & Hawks. (2005).

Program pendidikan Perawat spesialis dikembangkan dalam rangka menjawab


tuntutan kebutuhan masyarakat saat ini dan tuntutan perkembangan profesi
keperawatan, melalui berbagai perannya sehingga mampu bekerja sebagai
pemberi dan pengelola asuhan keperawatan, pendidik, peneliti, pembimbing dan
konselor, advokator, menerima dan melakukan rujukan dalam mengatasi masalah
klien dan pembaharu (change agent). Peran perawat professional secara umum
meliputi empat peran yaitu pemberi asuhan keperawatan, pendidik, peneliti dan
pengelola, baik dalam pelayanan keperawatan maupun dalam lingkungan
komunitas (Perry & Potter, 2005).

Perawat memiliki tanggung jawab pada setiap peran yang dijalankan dari keempat
peran perawat profesional. Pengalaman penulis selama praktik residensi di
Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta menjalankan peran perawat spesialis sebagai
pemberi asuhan keperawatan diberikan kepada pasien dengan berbagai macam
gangguan system kardiovaskuler seperti, gangguan koroner jantung, kongenital,
infeksi dan lain sebagainya namun demikian pada laporan praktek residensi ini
hanya menguraikan beberapa kasus yang pernah ditemukan dan dikelola, yang
penulis fokuskan pada asuhan pasien paska bedah pintas jantung koroner
(CABG).

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


5

Pengalaman penulis dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien


gangguan kardiovaskuler khususnya pasien acute coronary syndrome dengan
tindakan bedah pintas koroner jantung, yang sering ditemukan adalah munculnya
gangguan pada fungsi oksigenasi, seperti kesulitan bernafas, sesak, dada masih
sakit saat tarik nafas, ketakutan untuk berubah posisi semi fowler atau bergerak.
Setelah menganalisis teori yang tepat untuk keadaan tersebut maka penulis
mengembangkan penerapan asuhan keperawatan berdasarkan teori keperawatan
konservasi Levine. Teori ini memotivasi dan mendorong pasien mengeksplor dan
memaksimalkan kekuatan dan energi pasien mengatasi masalah secara fisiologis
dan psikologis sehingga dapat meningkatkan proses penyembuhan pasien dan
untuk mempertahankan kesehatannya. Dalam laporan praktek residensi ini
menggambarkan pengalaman penulis dalam menerapkan teori konservasi Levine
pada kasus Acute coronary Syndrome dengan intervensi bedah pintas jantung
koroner dan menganalisis pasien kelolaan selama praktek residensi di RS Jantung
Harapan Kita Jakarta.

Teori konservasi menurut Levine dinilai tepat untuk diterapkan pada kasus bedah
pintas koroner. Mengingat Levine mendasarkan teorinya pada kemampuan pasien
memelihara energi yang ada untuk mempertahankan kesehatan dan penyembuhan.
Pasien paska bedah jantung mengalami penurunan fungsi secara fisiologis dimana
proses operasi yang berlangsung lama serta mekanisme operasi yang dapat
menimbulkan trauma jaringan serta proses hipotermi mendorong pasien untuk
beradaptasi terhadap perubahan tersebut sehingga mendukung terjadinya
konservasi.

Penyakit jantung koroner memberi dampak sangat besar dalam kehidupan


penderitanya. Tindakan pembedahan pintas jantung koroner memberi harapan bagi
pasien untuk dapat menjalani kehidupan yang lebih baik dan berkualitas. Perawat
berperan penting dalam mendampingi dan memberikan asuhan yang tepat sehingga
pasien dapat melalui paska operasi dengan baik, lancar dan tanpa komplikasi. Pada
akhirnya pasien akan menjalani perawatan sesuai pathway yang diharapkan,
mengurangi lama rawat di rumah sakit dan tentunya mengurangi biaya perawatan.

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


6

Pemberian asuhan keperawatan yang sesuai dengan masalah dan kebutuhan pasien
paska operasi CABG salah satunya adalah monitoring hemodinamik, monitoring
intake dan output, memperbaiki ekspansi paru dan oksigenasi pasien. Hal inilah
yang membutuhkan peran penting perawat untuk melakukan asuhan secara
komprehensif. Keseluruhan aspek perlu dikaji, dimonitor dan dievaluasi. Setiap
intervensi yang diberikan harus dilakukan evaluasi secara menyeluruh. Kerjasama
interdisipliner diperlukan untuk dapat memberikan asuhan yang terbaik dan
maksimal kepada pasien.

Peran perawat sebagai peneliti, dilakukan dengan menerapkan hasil penelitian


dalam praktek klinik keperawatan (Evidence Based Nursing Practice), dalam hal
ini penulis melakukan cara sederhana tetapi efektif untuk memperbaiki ekspansi
paru dan oksigenasi yaitu dengan melatih pasien melakukan latihan otot
diafragma dan nafas dalam. Pasien paska operasi cenderung takut untuk mulai
bergerak dan berlatih. Ketakutan dan rasa malas disebabkan oleh banyak faktor
seperti rasa sakit, kurang semangat, kurang motivasi, yang pada akhirnya dapat
berakibat kurang optimalnya ekspansi paru sehingga oksigenasi terganggu, timbul
komplikasi seperti atelektasis, infeksi paru (pneumonia), dan menyebabkan lama
hari rawat makin memanjang serta biaya perawatan terus meningkat. Peran
perawat yang unik merupakan kunci dalam menilai, melaksanakan intervensi,
dan mengevaluasi dampak intervensi-intervensi pada seorang pasien. Intervensi
ini sebenarnya sudah dilakukan oleh fisioterapist, tetapi belum cukup efektif jika
hanya dilakukan sehari sekali. Perawat yang berada disamping pasien selama 24
jam memiliki kesempatan lebih besar untuk melatih dan memotivasi pasien
melakukan latihan tersebut. Perawat juga setiap saat memahami kondisi pasien
untuk berlatih sehingga hasilnya dapat lebih efektif. (Westerdahl, 2005)

Peran perawat sebagai innovator dilakukan dengan membuat proyek inovasi berupa
panduan dan SPO ( standard operational Procedure) obat-obatan dengan
kewaspadaan tinggi (high allert medication) di unit ICU ( Intensive care unit).
Inovasi ini bertujuan mengurangi risiko kesalahan yang ditimbulkan akibat

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


7

kesalahan dalam memberikan obat-obatan dengan kewaspadaan tinggi yang


seringkali digunakan di unit ICU. Obat-obat kewaspadaan tinggi merupakan jenis
obat-obatan yang sering menimbulkan kesalahan dalam proses pemberiannya dan
akibat kesalahan tersebut dapat menimbulkan dampak yang sangat fatal bagi
pasien. (JCI, 2012). Sosialisasi dan penerapan SPO ini diharapkan dapat
memudahkan perawat dalam pemberian obat-obatan tersebut serta mengurangi
risiko kesalahannya.

Berdasarkan uraian di atas penulis berkepentingan untuk membahas lebih lanjut


dalam “Analisis Laporan Praktek Residensi Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
dengan penerapan teori Konservasi Levine di RS Jantung Harapan Kita Jakarta.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum :
Untuk memberikan gambaran peran perawat dalam penatalaksanaan keperawatan
selama praktik residensi spesialis keperawatan medikal bedah dengan penerapan
teori konservasi menurut Levine di RS Jantung Harapan Kita Jakarta
2. Tujuan khusus
a. Melaporkan hasil analisa dan sintesa terhadap seluruh rangkaian praktek
residensi
b. Merupakan salah satu bentuk pertanggung jawaban terhadap pengelolaan
kasus pasien acut coronary syndrome dengan intervensi CABG
c. Merupakan salah satu persyaratan untuk ditetapkan sebagai Spesialis
Keperawatan Medikal Bedah.

C. Manfaat
1. Bagi Pelayanan Keperawatan
Analisis pengalaman ini dapat dijadikan sebagai gambaran bagi perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah kardiovaskuler
melalui penerapan teori keperawatan Konservasi menurut Levine yang akan
memberikan masukan tentang pentingnya menggali dan meningkatkan kekuatan
atau energi yang dimiliki pasien oleh perawat dan membantu mengembangkan
teori ini untuk meningkatkan kualitas asuhan kepada pasien.

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


8

2. Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan


Menambah kekayaan keilmuan khususnya keperawatan medikal bedah tentang
penerapan peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan, peneliti, pendidik
dan innovator dalam praktik residensi program ners spesialis kardiovaskuler.
3. Bagi Pendidikan Keperawatan
Laporan paktek residensi ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang
praktek residensi keperawatan medikal bedah kardiovaskuler, dan menjadi acuan
program ners kardiovaskuler serta untuk meningkatkan kualitas praktik residensi
pada masa yang akan datang.

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


9

BAB II
TINJAUAN TEORI

Pada bab ini akan diuraikan tentang konsep-konsep yang mendasari analisis
laporan yaitu tentang acut coronary syndroma, CABG (coronary artery bypass
graft) dan teori konservasi menurut Levine sebagai dasar dalam pengkajian
pasien. Selama menjalankan praktek residensi kejadian penyakit jantung koroner
menjadi mayoritas kasus yang ditemui. Intervensi pilihan terakhir yang dilakukan
untuk mengatasi stenosis koroner yang tidak dapat diatasi dengan intervensi yang
lain adalah intervensi bedah yaitu CABG.

A. Konsep Acut Coronary Syndroma (ACS)


1. Pengertian
Acut coronary syndrome (ACS) merupakan sekumpulan gejala akut pada
pembuluh darah koroner akibat suplai darah yang tidak adekuat pada pembuluh
darah koroner, mencakup angina pectoris tidak stabil, infark myokard dengan
gelombang ST elevasi dan tanpa gelombang ST elevasi ( Wood, 2005). Gejala
akut ini muncul akibat penyempitan pembuluh darah koroner. Pembuluh darah
koroner adalah pembuluh darah yang berfungsi menyuplai oksigen dan zat
makanan ke otot jantung, pembuluh ini dapat menyempit akibat pertumbuhan plak
sehingga diameter pembuluh darah tersebut menyempit dan pasokan darah ke otot
jantung menjadi berkurang dan otot jantung mengalami ischemic atau infark.

2. Klasifikasi
Penyakit jantung koroner akut atau acute coronary syndome (ACS) merupakan
salah satu dari tiga penyakit jantung yang terjadi akibat gangguan pada arteri
koroner. Penggabungan ketiga hal tersebut dalam satu istilah ACS, didasarkan
kesamaan dalam pathofisiologi, proses terjadinya arterosklerosis serta rupturnya
plak atherosklerosis yang menyebabkan trombosis intravaskular dan gangguan
suplay darah miokard, ketiga diagnosa tersebut adalah :
a. Angina Pektoris tidak stabil ( UAP)

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


10

Merupakan nyeri dada hebat yang terjadi sebagai respon terhadap suplai oksigen
yang tidak adekuat ke sel – sel miokardium. Nyeri yang timbul pada kasus angina
pectoris tidak stabil dapat muncul kapan saja, pada aktifitas maupun istirahat.
Nyeri angina dapat menyebar ke lengan kiri, ke punggung, ke rahang, atau ke
daerah abdomen. Jika beban kerja suatu jaringan meningkat maka kebutuhan
oksigen juga meningkat; pada jantung yang sehat, arteri koroner berdilatasi dan
mengalirkan lebih banyak darah dan oksigen ke otot jantung; namun jika arteria
koroner mengalami kekakuan atau menyempit akibat arterosklerosis dan tidak
dapat berdilatasi sebagai respon peningkatan kebutuhan akan oksigen, maka
terjadi iskemi miokardium; sel-sel miokardium mulai menggunakan glikolisis
anaerob untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Cara ini tidak efisien dan
menyebabkan terbentuknya asam laktat.(Corwin, 2009)

Kasus Angina pectoris tidak stabil dijumpai pada individu dengan perburukan
penyakit arteri koroner. Angina ini biasanya terjadi akibat arterosklerosis koroner,
yang ditandai oleh trombus yang tumbuh dan mudah mengalami spame. Nyeri
seperti tertekan di daerah perikardium, atau substernum dada, kemungkinan
menyebar ke lengan, rahang atau thoraks. Nyeri biasanya berkurang dengan
istirahat dan pemberian nitrat.
b. Infark miokard non ST elevasi ( NONSTEMI)
Merupakan kematian sel – sel miokardium yang terjadi akibat kekurangan oksigen
berkepanjangan, hal ini adalah respon letal terakhir terhadap iskemia miokard
yang tidak teratasi. Sel – sel miokardium mulai mati sekitar 20 menit mengalami
kekurangan oksigen. Setelah periode ini, kemampuan sel untuk menghasilkan
ATP secara aerobic lenyap, dan sel tidak dapat memenuhi kebutuhan energinya.
Pada kasus infark myokard ini, gambaran EKG tidak mengalami perubahan, tetapi
enzyme jantung biasanya meningkat dan nyeri dadanya khas infark
myokard.(Doug,
c. Infark miokard dengan ST elevasi (STEMI)
Merupakan infark myokard yang memiliki tanda dan gejala yang khas yaitu
muncul gambaran EKG ST elevasi atau gelombang QS disertai nyeri dada
retrosternal, seperti diremas-remas, ditekan, ditusuk atau ditindih barang berat.

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


11

Nyeri dapat menjalar ke lengan (umumnya kiri), bahu leher, rahang bahkan ke
punggung epigastrium. Nyeri berlangsung lebih lama dari angina pectosis dan
tidak responsive terhadap nitrogliserin. Kadang-kadang terutama pada pasien
diabetes dan orang tua, tidak ditemukan nyeri sama sekali. Nyeri dapat disertai
perasaan mual, muntah sesak, pusing keringat dingin, berdebar-debar atau
sinkope. Pasien sering tampak ketakutan, cemas dan gelisah. Kelainan pada
pemeriksaan fisik tidak ada yang spesifik dan dapat normal. Takikardia, kulit
yang pucat, dingin dan hipotensi ditemukan pada kasus yang relative lebih berat
kadang-kadang ditemukan pulsasi diskinetik yang tampak atau berada di dinding
dada pada Infark Miokard inferior. (Wood, 2005)

Infark miokard sendiri dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis yaitu


Menurut zona infark:
a. Zona nekrosis.
Ditandai gelombang Q phatologis pada elektroda yang berhadapan dengan daerah
nekrosis
b. Zona perlukaan/injuri.
Ditandai oleh deviasi segmen ST yaitu: pada daerah infark ditemukan elevasi
segmen ST yang cembung keatas pada daerah yang berlawanan ditemukan depresi
segmen ST.
c.Zona iskemik.
Ditandai oleh T terbalik yang berbentuk “kepala anak panah”.
Tabel 2.1. Infark menurut waktu kejadiannya
waktu setelah sakit
Deskripsi karakteristik ekg
pertama
- ST segmen elevasi
Hyperacute Menit sampai jam
- T wave tinggi
- ST segmen elevasi
T Wave inverted
Acut 24 jam sampai 7 hari
- Gelombang Q
patologis.
- T wave Inverted
1 minggu sampai 3
Recent - Gelombang Q
bulan.
patologis.
Old - Patologis Q Wafe Setelah 2 sampai 3 bulan
(Wood, 2005)
Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


12

Tabel 2.2. Infark menurut area atau lokasi dan arteri koroner yang terkena.
Arteri koroner yang
Lokasi Infark Lead
terkena
Anterior (V2), V3, V4 LAD

Septal V1, V2 LAD

Anteroseptal V1, V2, V3, (V4) LAD


I, aVL (high lateral)
Lateral LCX
V5, V6 (low lateral)
Anterolateral V3, V4, V5, V6, (I, aVL) LCX

Inferior II, III, aVF RCA

V7, V8, V9 atau


Posterior R C A dan atau L C X
Resiprokal di V1, V2, V3

Ventrikel kanan
V3R, V4R RCA
(RV Infark)
(Wood, 2005)

3. Etiologi
Selain hal tersebut diatas, ada faktor-faktor yang mempengaruhi yang disebut
faktor resiko, (Lewis, 2007), yaitu :
Faktor resiko yang tidak dapat diubah :
a. Usia
Karena pada usia yang makin meningkat terdapat perubahan fisiologis pada
kardiovaskuler, dimana hilangnya elastisitas dan komplians jantung, frekuensi
jantung istirahat, curah jantung dan volume sekuncup pada lansia menurun.
Dinding arteri juga hilang elastisitasnya, tonus vasomotor dan lumennya berubah
karena arteriosclerosis atau aterosklerosis, karena meningkatnya tahanan vaskuler
perifer.
b. Riwayat keluarga positif penderita jantung koroner.
Individu dengan keturunan penyakit jantung koroner dalam keluarga memiliki
kemungkinan lebih sering mengalami penyakit yang sama.
c. Jenis kelamin
Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


13

Terjadi tiga kali lebih sering pada pria dibanding wanita, tetapi wanita paska
menopouse, memiliki prevalensi yang sama dengan pria.

Faktor resiko yang dapat diubah, yaitu :


a. Merokok
Merokok berperan dalam memperparah terjadinya penyakit pada pembuluh darah
koroner melalui tiga cara, yaitu :
1). Menghirup asap akan meningkatkan kadar karbon monoksida (CO) darah.
Hemoglobin, komponen darah yang mengangkut oksigen, lebih mudah terikat
pada kepada CO daripada O, jadi oksigen yang disuplai ke jantung menjadi sangat
berkurang, membuat jantung bekerja lebih keras untuk menghasilkan energi yang
sama.
2). Asam nikotinat pada tembakau memicu pelepasan katekolamin, yang
menyebabkan konstriksi arteri. Aliran darah dan oksigenasi jaringan menjadi
terganggu.
3). Merokok meningkatkan adhesi trombosit, mengakibatkan kemungkinan
peningkatan pembentukan thrombus.
b. Tekanan darah tinggi
Tekanan darah tinggi adalah faktor yang paling membahayakan karena biasanya
tidak menunjukkan gejala sampai telah menjadi lanjut. Tekanan darah tinggi
menyebabkan terjadinya gradien tekanan yang harus yang harus dilawan oleh
ventikel kiri saat memompa darah. Tekanan tinggi yang terus menerus
menyebabkan suplai kebutuhan oksigen jantung jadi meningkat.
c. Kolesterol darah tinggi
Lemak yang tidak larut dalam air, terikat dengan lipoprotein yang larut dalam air,
yang memungkinkannya dapat dapat diangkut dalam sistem peredaran darah.
d. Hiperglikemia
Hubungan antara tingginya kadar glukosa dan meningkatnya penyakit jantung
koroner disebabkan karena hyperglikemia meningkatkan agregarsi tombosit, yang
dapat menyebabkan thrombus.
e. Pola perilaku

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


14

Stress dan perilaku tertentu diyakini mempengaruhi patogenesis penyakit jantung


koroner. Penelitian psikobiologis dan epidemiologis menunjukkan perilaku
seseorang yang rentan terhadap penyakit jantung koroner adalah orang yang
ambisius kompetitif, selalu tergesa, agresif dan kejam.
4. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya stenosis koroner akut diawali dengan pembentukan
Arterosklerosis (pengerasan dinding arteri) disebabkan karena penumpukan
lemak (plak) pada dinding arteri sehingga terjadi penebalan dan penyempitan
yang mengakibatkan berkurangnya aliran darah. Adapun prosesnya sebagai
berikut (Corwin, 2009).
a. Kerusakan intima (lapisan terdalam arteri) akibat rokok, hiperkolesterolemia,
diabetes melitus sehingga permukaan intimanya kasar.
b. Lemak tertarik, daerah yang kasar menarik sel-sel pembawa kolesterol dan
lemak lainnya.
c. Terbentuk plak, lapis demi lapis plak terbentuk, sehingga mempersempit
arteri dan mengurangi aliran darah di dalamnya.
d. Ruptur plak ateroma pada arteri koroner, kemudian diikuti oleh terjadinya
thrombus. Terjadinya thrombus ini disebabkan oleh ruptur plak yang
kemudian diikuti oleh pembentukan thrombus oleh trombocit.
e. Spasme arteri koroner
a. Pada saat arteri koroner mengalami penciutan (spasme), aliran arteri koroner
tidak mencukupi kebutuhan, hal inilah yang menimbulkan gangguan.
f. Emboli arteri koroner.
a. Dalam hal ini emboli terjadi di daerah pembuluh darah koroner, sehingga
suply oksigen jadi berkurang.

Seperti disebutkan diatas, setelah terjadi plak di arteri koroner baik itu yang
disebabkan oleh arteriosklerosis maupun hal lain, akan meningkatkan aktivasi
platelet dan terjadilah pembentukan thrombus atau penyempitan di daerah arteri
koroner sehingga suply oksigen menjadi berkurang atau tidak mendapatkan
oksigen dan makanan sama sekali dan dapat menyebabkan jaringan menjadi
nekrotik/kematian jaringan miokard dan akibatnya dapat terjadi gangguan

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


15

repolarisasi yang menyebabkan gangguan irama jantung dimana terlihat gambaran


EKG gelombang ST segmen elevasi dan muncul Q wafe, dan juga dapat
menyebabkan pelepasan enzim lisosom dapat dlihat dari peningkatan CPK,
CKMB dan LDH, selain itu terjadi glikolisis anaerob yang menyebabkan produksi
asam laktat meningkat sehingga timbul nyeri/angina.

Infark miokard yang mengenai endocardium sampai epikardium disebut infark


transmural, namun bisa juga hanya mengenai daerah subendokardial. Setelah 20
menit terjadinya sumbatan, infark sudah dapat terjadi pada subendokardium dan
bila berlanjut terus rata-rata dalam 4 jam telah terjadi infark transmural. Biasanya
bila yang terjadi oklusi di arteri left antherior descending , infark mengenai
dinding antherior ventrikel kiri dan bisa mengenai septum. Bila arteri left
circumflex yang oklusi, infark mengenai dinding lateral atau posterior dari
ventrikel kiri. Bila arteri koroner kanan yang terjadi oklusi, infark terutama
mengenai dinding inferior dari ventikel kiri, tetapi bisa juga septum dan ventrikel
kanan.
5. Manifestasi klinis (Ignativicius, 2006).
a. Nyeri dada. biasanya berlangsung lebih dari 30 menit dan makin lama
bertambah berat yang berlokasi di dada kiri menjalar ke rahang, leher ,lengan dan
punggung. Rasa nyeri ini dapat digambarkan oleh penderita sebagai perasaan
seperti tertekan benda berat, seperti diremas-remas, seperti terbakar atau seperti
ditusuk-tusuk.
b. Sesak nafas merupakan gejala yang sering menyertai nyeri dada pada acute
coronary syndroma akibat tidak adequatnya suply oksigen sehingga pasien merasa
dada seperti ditekan beban berat.
c. Timbul mual muntah yang berkaitan dengan nyeri dada yang hebat.
d. Perasaan lemas, kepenatan atau lelelahan. Jika jantung tidak efektif memompa,
maka aliran darah ke otot selama melakukan aktifitas akan berkurang,
menyebabkan penderita merasa lemas dan lelah. Gejala ini biasanya bersifat
ringan.
e. Kulit yang dingin, pucat, akibat vasokonstriksi syaraf simpatis.

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


16

f. Pengeluaran urine berkurang karena penurunan aliran darah ginjal serta


peningkatan aldosteron dan ADH.
g. Takhikardia akibat peningkatan stimulasi simpatis jantung.
h. Pusing atau pingsan, penurunan aliran darah karena denyut atau irama jantung
yang abnormal atau karena kemampuan memompa yang buruk, bisa
menyebabkan pusing/pingsan.
6. Komplikasi
a. Edema paru akut
Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga
interstitial maupun didalam alveoli. Edema paru adalah merupakan tanda adanya
kongesti paru tingkat lanjut, dimana cairan mengalami kebocoran melalui dinding
kapiler, menembus keluar, dan menimbulkan dispneu yang sangat berat. Kongesti
paru terjadi bila dasar vaskuler paru menerima darah yang berlebihan dari
ventricle kanan, yang tidak mampu diakomodasikan dan diambil oleh jantung kiri.
b. Gagal jantung
Gagal jantung sering disebut juga gagal jantung kongestif, adalah
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi
kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi. Istilah gagal jantung kongestif
paling sering disebut gagal jantung kiri atau gagal jantung kanan.
c. Kardiogenik shock
Shok kardigenik adalah merupakan stadium akhir disfungsi ventrikel kiri atau
gagal jantung kongestif, terjadi bila ventrikle kiri mengalami kerusakan yang luas.
Otot jantung kehilangan kontraktilitasnya menimbulkan penurunan curah jantung
dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat ke organ vital (jantung, otak, ginjal).
Derajat shok sebanding dengan disfungsi ventrikel kiri, meskipun kardiogenik
shock biasanya terjadi sebagai komplikasi miokard infark, namun bisa juga terjadi
pada tamponade jantung, emboli paru, kardiomyopati dan disritmia.

7. Penatalaksaan
a. Therapi
Ada tiga kelas obat-obatan yang biasa digunakan untuk meningkatkan suplay
oksigen, yaitu vasodilator (khususnya nitrat), antikoagulan, dan trombolitik.

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


17

Sedangkan analgetik dapat menghilangkan nyeri namun tidak diketahui apakah


bisa memperbaiki aliran koroner secara langsung.
1) Aspirin dan antipletelet secara oral dapat membantu sebelum diberikan
streptokinase. Dosis aspirin yang diberikan adalah 325 mg dikunyah/ditelan
lalu diteruskan 160 mg-325 mg/hari.
2) Pemberian Oksigen dengan nasal kanule pada semua pasien yang dicurigai
Miokard infark, Dan dapat diberikan secara facemask atau endotrakheal tube
terutama pada pasien yang mengalami edema paru atau kardigenik shock.
Pemberian besarnya oksigen tergantung dari keadaan klien dan hasil
laboratorium AGD dan saturasi oksigen/oxymetri.
3) Vasodilator
Vasodilator pilihan untuk mengurangi nyeri jantung adalah nitoglicerin
(NTG) intravena. Dosis NTG yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri
dada bervariasi antara satu pasien dengan pasien lainnya. Karena dosis NTG
yang berbeda-beda, maka jumlah NTG yang diberikan ditentukan dengan
berdasarkan jumlah untuk mampu menghilangkan nyeri, tetapi tetap
mempertahankan tekanan systolic dalam batas parameter teraupetik untuk
masing-masing pasien. Dosis ditentukan berdasarkan berat badan dan diukur
dalam miligram per kilogram berat badan. NTG ini menyebabkan dilatasi
arteri dan vena yang mengakibatkan pengumpulan darah di perifer, sehingga
menurunkan jumlah darah yang kembali ke jantung (preload) dan mengurangi
beban kerja (workload) jantung, dan karena NTG kerjanya di arteri maka
menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik yang juga merupakan tujuan
yang diharapkan. Tetapi efek samping utama obat ini adalah hipotensi klinis.
Obat ini dapat dimulai dengan 10-20 mikro/menit dan dievaluasi setiap 5-10
menit dan dapat diberikan secara terus menerus 24 jam -48 jam.
4) Antikoagulan
Heparin adalah antikoagulan pilihan untuk membantu mempertahankan
integritas jantung. Heparin memperpanjang waktu pembekuan darah,
sehingga dapat menurunkan kemungkinan pembentukan thrombus dan
selanjutnya menurunkan aliran darah. Dosis yang diberikan adalah bolus

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


18

5000 unit intravena dilajutkan dengan infuse 1000 unit/jam selama 4-5 hari
dengan menyesuaikan APTT 1,5 sampai 2 kali nilai normal.
5) Trombolitik
Tujuan trombolitik adalah untuk melarutkan setiap thrombus yang telah
terbentuk di arteri koroner, memperkecil penyumbatan dan juga luasnya
infark. Agar efektif obat ini harus diberikan pada awal terjadinya nyeri dada,
paling efektif diberikan sebelum 8 jam sejak nyeri dada dan maksimal 12 jam
setelah kejadian. Tiga macam obat trombolitik yang terbukti bermanfaat
melarutkan thrombus (trombolisis) adalah streptokinase, aktifator
plasminogen jaringan, dan anistreptase. Tetapi obat streptokinase bekerja
secara sistemik pada mekanisme pembekuan darah, meskipun obat ini
terbukti dapat melarutkan bekuan darah namun ada resiko terjadi potensial
perdarahan sistemik dan juga mempunyai faktor resiko reaksi alergi dan
terbukti lebif efektif bila diberikan langsung pada arteri koroner. Pemberian
langsung pada arteri koroner memerlukan fasilitas katerisasi jantung.
Sebelum pemberian trombolisis diberikan aspirin 160 mg dikunyah, dan
streptokinase diberikan dalam dosis 1,5 juta unit dalam NaCl 0.9% 100 cc
melalui infuse selama 1 jam.
6) Analgetik
Pemberian analgetik dibatasi hanya untuk pasien yang tidak efektif diobati
dengan nitrat dan antikoagulan, analgetik pilihan masih tetap morfin sulfat
yang diberikan secara intravena dengan dosis 1-2 mg. Respon kardiovaskuler
terhadap morfin dipantau dengan cepat khususnya tekanan darah yang dapat
sewaktu-waktu turun. Tetapi morfin dapat menurunkan preload dan afterload
dan merelaksasi bronchus sehingga oksigenasi meningkat, maka tetap ada
keuntungan teraupetik dengan pemberian obat ini selain menghilangkan
nyeri.

b. Tindakan Medis Yang Bertujuan Untuk Pengobatan


1). PTCA (Percutaneous Trans Coronary Angioplasty)
PTCA ini hanya memerlukan insersi kecil di pembuluh arteri lengan atau pangkal
paha untuk memasukkan kateter pada arteri yang menuju muara koroner, melalui

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


19

kateter ini dimasukkan kateter lain yang mempunyai balon diujungnya, pada
lokasi penyempitan balon ini dikembangkan, dan bila balon telah melebarkan
pembuluh darah koroner itu kemudian dikempeskan kembali dan ditarik keluar.
Dilakukan pemasangan stent setelah dilakukan tindakan dibalon, stent yang
berbentuk laksana cincin atau gorong-gorong ini dapat mempetahankan pelebaran
yang dilakukan balon. Dikenal jenis stent yang berlapis berbagai jenis obat yang
mampu mereduksi angka penyempitan ulang hingga dibawah 5 %. Selain itu
dikenal juga tehnik pengeboran sumbatan koroner yang mengeras termasuk
penggunaan laser.
2). CABG (Coroner arteri bypass Graft)
yaitu pembedahan dilakukan dengan tehnik terbuka, yaitu pembedahan di daerah
dada dengan beberapa tehnik pembedahan. Tehnik pembedahan pertama dengan
heart lung machine atau pompa jantung, dan tehnik kedua dengan operasi tanpa
alat pompa (off pump) tehnik ini disebut juga beating heart surgery atau operasi
jantung tanpa menggunakan mesin jantung.

B. Konsep CABG (Coronarry artery bypass Graft)


1. Pengertian
Coronary artery bypass grafting (CABG) adalah jenis pembedahan yang dikenal
revascularisation, yang bertujuan untuk memperbaiki aliran darah ke jantung pada
pasien dengan penyakit jantung koroner ( coronary artery disease) yang parah.
CABG merupakan penanganan penyakit jantung koroner dengan cara membuat
saluran baru melewati bagian arteri koronaria yang mengalami penyempitan atau
penyumbatan (Price & Wilson, 2006). diperkirakan.Pembedahan jantung yang
pertama kali dilakukan pada tahun 1895 oleh ahli bedah Itali de Vechi,dan yang
paling revolusioner adalah tehnik pintasan jantung paru pada tahun 1951 dan
kebanyakan prosedur adalah graf pintasan arteri Koroner atau yang sekarang
dikenal sebagai CABG( coronary artery bypass graft )

2. Kalsifikasi CABG
Pada operasi bedah jantung akibat penyakit jantung koroner, dapat dilakukan
melalui dua metode yaitu on pump CABG dan off pump CABG

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


20

a. On pump CABG yaitu operasi yang dilakukan dengan menggunakan mesin


pompa jantung. Sehingga denyut jantung dihentikan untuk sementara waktu
pemasangan pembuluh darah. Pada metode ini peredaran darah dalam tubuh
tetap terjaga dengan mesin pompa jantung paru.
b. Off pump CABG, yaitu operasi yang dilakukan tanpa menggunakan mesin
pompa jantung paru sehingga jantung tetap berdenyut selama jalannya
operasi.
3. Indikasi CABG
Indikasi utama pengobatan penyakit jantung koroner dengan CABG menurut
Woods, 2005 adalah sebagi berikut:
a. Menghilangkan Angina yang tidak dapat dikontrol dengan terapi medis
pemberian trombolitik, atau Percutaneus Coronary Intervention (PCI)
b. Pengobatan sumbatan arteri koroner utama kiri (left mean) atau penyumbatan
lebih dari 60% atau multivessel disease
c. Mencegah dan mengobati myokard infark, dysritmia atau gagal jantung
d. Pengobatan komplikasi kegagalan PCI (Percutaneus Coronary Intervention )
Untuk dilakukan pintasan arteri koroner harus sudah mengalami sumbatan
paling tidak 70% ( 60% pada arteri koroner utama kiri) untuk pertimbangan
dilakukan CABG. jika sumbatan pada arteri kurang dari 70% maka aliran
darah melalui arteri tersebut masih cukup banyak sehingga mencegah aliran
darah yang adekuat pada pintasan yang mengakibatkan akan terjadi bekuan
pada CABG, sehingga hasil operasi menjadi sia-sia.

CABG dilakukan dibawah anastesi umum. dibuat irisan sternotomi median dan
pasien dibawah control mesin pintasan jantung paru. pembuluh darah dari bagian
tubuh lain (misalnya vena safena, arteri mamaria interna) ditandur di distal arteri
koroner “memintas” sumbatan. Setelah selesai penutupan pasien kemudian
dimasukan ke unit perawatan kritis.

4. Pemilihan Arteri
Kemajuan terbaru dalam prosedur pembedahan adalah dalam hal banyaknya
pilihan pembuluh darah yang dapat digunakan untuk pintasan arteri koroner, yang

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


21

paling sering adalah vena safena magna, diikuti vena safena parva, vena sefalika
dan basilica. vena diambil dari tungkai ( atau lengan) dan ditandur ke aorta
asendens dan ke arteri koroner di sebelah distal sumbatan.
a. Vena safena digunakan pada prosedur CABG darurat karena dapat
diperoleh melalui satu kali pembedahan oleh satu tim bedah sementara tim bedah
lainnya melakukan pembedahan dada. Salah satu efek samping penggunaan vena
safena adalah sering terjadi edema pada ekstremitas yang diambil venanya.
derajad edema sangat bervariasi dan menghilang dalam waktu yang lama. Dapat
terjadi perubahan arterosklerotik simtomatis pada vena safena yang digunakan
untuk tandur 5 sampai 10 tahun setelah CABG. Perubahan yang sama juga bisa
terjadi pada vena lengan namun lebih cepat, kira-kira 3-6 tahun setelah
pembedahan.
b. Arteri mamaria kanan dan kiri juga digunakan, tetapi prosedur
pengambilan arteri ini dari dinding dada menyebabkan pasien terlalu lama di
bawah control anastesia dan mesin pintas jantung paru. Kemajuan di bidang
pintasan jantung paru dan anastesia, telah mampu menyingkat waktu yang
diperlukan untuk memulai prosedur pembedahan dan telah menurunkan resiko
panjangnya waktu pembedahan, sehingga timbul kecenderungan untuk kembali
menggunakan arteri untuk CABG. Penelitian menunjukan bahwa tandur arteri
tidak merubah arteriosklerotis dengan cepat dan tidak lebih lama dibanding tandur
vena, sehingga sekarang penggunaan arteri mamaria kanan dan kiri kembali
digunakan. Ujung proksimal arteri mamaria dibiarkan melekat, sedang ujung
distalnya dilepas dari dinding dada.Untuk arteri distal tersebut kemudian
ditandurkan ke artei koroner di distal lesi. Arteri mamaria interna kadang-kadang
kurang panjang selain itu diameternya kadang tidak mencukupi untuk CABG.
Salah satu efek samping penggunaan arteri mamaria adalah kerusakan sensori
saraf ulnaris, yang bisa bersifat sementara maupun permanen.
c. Arteri gastroepiploika ( terletak pada kurvatura mayor gaster) juga bisa
digunakan untuk CABG. Arteri ini suplai darahnya jauh lebih banyak ke
dindingnya, dibanding arteri mamaria interna, sehingga tidak berespon sebaik
arteri mamaria ketika digunakan sebagai tandur. Kerugian lain penggunaan arteri
gastroepiploika adalah irisan dada harus diperpanjang sampai perut sehingga

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


22

pasien terpajan lebih luas terhadap resiko infeksi akibat kontaminasi traktus
gastrointestinal pada tempat irisan.

5. Perawatan Paskaoperasi
a. Perawatan di rumah sakit
Pada mulanya perawatan pasien dipusatkan pada pencapaian atau pemeliharaan
stabilitas hemodinamik dan pemulihan dari anastesi umum. dalam 48 jam pertama
pasien tersebut dipindahkan ke unit elemetri atau bedah. Perawatan pasien
ditujukan pada perawatan luka, kemajuan aktivitas dan diit. selain itu harus
ditekankan pendidikan mengenai pengobatan dan modifikasi factor resiko. Pasien
menjalani rehabilitasi pada fase 1 ketika pasien masih di rawat dan terbaring di
rumah sakit.
b. Perawatan di rumah
Pemulangan pasien dari rumah sakit biasanya dilakukan 5 sampai 10 hari setelah
CABG. Pasien mulai menjalani rehabilitasi fase 2 dimana pasien yang telah
pulang rawat masih harus kembali ke rumah sakit mengikuti proses rehabilitasi
dengan pengawasan tenaga kesehatan. Selanjutnya pasien akan menjalani
rehabilitasi fase 3 dimana pasien dapat mengikuti program rehabilitasi di
masyarakat atau klub senam jantung yang terdapat di masyarakat. Pasien bisa
merasakan gejala penyakit jantung koronernya berkurang dan dapat menikmati
peningkatan kualitas hidup.
6. Komplikasi
Bedah pintas arteri koroner dengan tandur bisa menimbulkan komplikasi seperti
infark miokardium, disritmia dan perdarahan. penyebab dasar jantung koroner
sebenarnya belum dihilangkan, sehingga pasien bisa mengalami angina,
intoleransi aktifitas, atau gejala lain yang dirasakan sebelum CABG. Obat-obat
yang diperlukan sebelum operasi masih perlu dilanjutkan. penyesuaian gaya hidup
yang dianjurkan sebelum pembedahan tetap penting, bukan hanya untuk
penanganan penyakit,namun juga untuk mempertahankan viabilitas tandur yang
baru dipasang. Jadi dapat disimpulkan komplikasi yang dapat terjadi antara lain:
a. Postperfusion syndrome (pumphead), gangguan neurocognitive berhubungan
dengan cardiopulmonary bypass

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


23

b. Nonunion sternum; kurangnya vaskularisasi internal thoracic artery .


c. Myocardial infarction akibat embolisasi, hypoperfusion, kegagalan graft.
d. Angina atau myikardial infark berulang akibat stenosis yang terlambat atau
hypoperfusion.
e. Stroke, efek sekunder dari embolisasi atau hypoperfusi

C. Penerapan Teori konservasi Levine


Teori diperlukan karena merupakan landasan dan analisis berpikir. Terdapat
banyak teori dan konsep keperawatan yang diperkenalkan oleh para ahli
keperawatan. Salah satunya adalah teori Konservasi yang dikembangkan oleh
Myra Estrin Levine (1920-1996) di Chicago, Illinois. Fokus teori Konservasi dari
Levine ini adalah mempromosikan adaptasi konservasi (Schaefer & Pond, 2009;
Alligood & Tomey, 2006). Levine memandang bahwa adaptasi merupakan suatu
proses dimana individu melakukan interaksi dengan lingkungan untuk mencapai
dan mempertahankan integritas atau keutuhan diri (Schaefer & Pond,
2009;Alligood & Tomey, 2006).
1. Gambaran Teori Konservasi Levine
Individu sesungguhnya senantiasa hidup dalam interaksinya dengan lingkungan
dimana dalam proses interaksi tersebut, respon setiap individu terhadap perubahan
lingkungan berbeda antara satu dengan lainnya. Adapun lingkungan yang
melingkupi individu tersebut meliputi lingkungan internal dan eksternal.
Lingkungan internal melibatkan aspek fisiologi dan patofisiologi dari individu
dimana lingkungan ini secara konstan dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di
dalam lingkungan eksternal. Lingkungan eksternal sendiri meliputi lingkungan
perseptual, operasional, dan konseptual. Lingkungan perseptual merupakan
lingkungan yang berhubungan dengan kemampuan individu menginterpretasikan
sesuatu seperti halnya melalui penginderaan. Adapun lingkungan operasional
meliputi unsur-unsur yang mempengaruhi individu secara fisik namun tidak
secara langsung dirasakan oleh individu tersebut, contohnya seperti radiasi dan
mikroorganisme. Lingkungan eksternal lainnya adalah lingkungan konseptual
yang meliputi pola kebudayaan dan eksistensi spiritual dengan simbolisasi melalui

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


24

bahasa, pikiran, sejarah, nilai-nilai, dan keyakinan individu (Alligood & Tomey,
2006).

Keberhasilan individu dalam beradaptasi dengan berbagai perubahan lingkungan


akan mendukung terjadinya konservasi. Dengan kata lain, konservasi merupakan
hasil dari adaptasi (Alligood & Tomey, 2006; Schaefer & Pond, 1994). Melalui
konservasi maka seorang individu akan dapat memelihara energi yang ada untuk
mempertahankan kesehatan dan penyembuhan sehingga keutuhan diri
(wholeness/integrity) individu dapat tercapai dan dipertahankan (Alligood &
Tomey, 2006).

Levine pribadi menyatakan bahwa Ia tidak bertujuan khusus untuk


mengembangkan „teori keperawatan‟, tetapi ingin menemukan cara untuk
mengajarkan konsep-konsep utama dalam Keperawatan Medikal Bedah dan
berusaha untuk mengajarkan siswa keperawatan sebuah pendekatan baru dalam
kegiatan keperawatan. Levine juga ingin berpindah dari praktek keperawatan
pendidikan yang mernurutnya sangat prosedural dan kembali fokus pada
pemecahan masalah secara aktif dan perawatan pasien (George, 2002).
a. Model Konservasi Levine
Model konservasi levine merupakan Keperawatan praktis dengan konservasi
model dan prinsip yang berfokus pada pelestarian energi pasien untuk kesehatan
dan penyembuhan. Adapun prinsip konservasi tersebut adalah sbb:
b. Konservasi Energi
Individu memerlukan keseimbangan energi dan memperbaharui energi secara
konstan untuk mempertahankan aktivitas hidup. Konservasi energi dapat
digunakan dalam praktek keperawatan.
c. Konservasi Integritas Struktur
Penyembuhan adalah suatu proses pergantian dari integritas struktur. Seorang
perawat harus membatasi jumlah jaringan yang terlibat dengan penyakit melalui
perubahan fungsi dan intervensi keperawatan.
d. Konservasi Integritas Personal

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


25

Seorang perawat dapat menghargai klien ketika klien dipanggil dengan namanya.
Sikap menghargai tersebut terjadi karena adanya proses nilai personal yang
menyediakan privasi selama prosedur.
e. Konservasi Integritas Sosial
Kehidupan berarti komunitas social dan kesehatan merupakan keadaan social
yang telah ditentukan. Oleh karena itu, perawat berperan menyediakan kebutuhan
terhadap keluarga, membantu kehidupan religius dan menggunakan hubungan
interpersonal untuk konservasi integritas social.
f. Tiga Konsep Utama Dari Model Konservasi

Skema 2.1. Model Konservasi Levine

1) Wholeness (Keutuhan)
Erikson dalam Levine (1973) menyatakan wholeness sebagai sebuah sistem
terbuka. Keutuhan menekankan pada suara, organik, mutualitas progresif antara
fungsi yang beragam dan bagian-bagian dalam keseluruhan, batas-batas yang
terbuka. Levine menyatakan bahwa “interaksi terus-menerus dari organisme
individu dengan lingkungannya merupakan sistem yang „terbuka dan cair‟, dan
kondisi kesehatan, keutuhan, terwujud ketika interaksi atau adaptasi konstan
lingkungan, memungkinkan kemudahan (jaminan integritas) di semua dimensi
kehidupan”. Kondisi dinamis dalam interaksi terbuka antara lingkungan internal
dan eksternal menyediakan dasar untuk berpikir holistik, memandang individu
secara keseluruhan.
2) Adaptasi

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


26

Adaptasi merupakan sebuah proses perubahan yang bertujuan mempertahankan


integritas individu dalam menghadapi realitas lingkungan internal dan eksternal.
Konservasi adalah hasil dari adaptasi. Beberapa adaptasi dapat berhasil dan
sebagian tidak berhasil. Levine mengemukakan 3 karakter adaptasi yakni: historis,
spesificity, dan redundancy. Levin menyatakan bahwa setiap individu mempunyai
pola respon tertentu untuk menjamin keberhasilan dalam aktivitas kehidupannya
yang menunjukkan adaptasi historis dan spesificity. Redundancy
menggambarkan pilihan kegagalan yang terselamatkan dari individu untuk
menjamin adaptasi. Kehilangan redundancy memilih apakah melalui trauma,
umur, penyakit, atau kondisi lingkungan yang membuat individu sulit
mempertahankan hidup.
3) Lingkungan
Levine memandang setiap individu memiliki lingkungannya sendiri baik
lingkungan internal maupun eksternal. Perawat dapat menghubungkan lingkungan
internal individu dengan aspek fisiologis dan patofisiologis, dan lingkungan
eksternal sebagai level persepsi, opersional dan konseptual. Level perseptual
melibatkan kemampuan menangkap dan menginterpretasi dunia dengan organ
indera. Level operasional terdiri dari segala sesuatu yang mempengaruhi individu
secara fisiologis meskipun mereka tidak dapat mempersepsikannya secara
langsung, seperti mkroorganisme. Pada konseptual level, lingkungan dibentuk
dari pola budaya, dikarakteristikkan dengan keberadaan spiritual, dan ditengahi
oleh simbol bahasa, pikiran dan pengalaman.
g. Respon organisme
Respon organisme adalah kemampuan individu untuk beradaptasi dengan
lingkungannya, yang bisa dibagi menjadi fight atau flight, respon inflamasi,
respon terhadap stress, dan kewaspadaan persepsi.
1) Fight-flight merupakan respon yang paling primitif dimana ancaman yang
diterima individu baik nyata maupun tidak, merupakan respon terhadap ketakutan
melalui menyerang atau menghindar hal ini bersifat reaksi yang tiba-tiba. Respon
yang disampaikan adalah kewaspadaan untuk mencari informasi untuk rasa aman
dan sejahtera.

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


27

2) Respon peradangan atau inflamasi merupakan mekanisme pertahanan yang


melindungi diri dari lingkungan yang merusak, merupakan cara untuk
menyembuhkan diri, respon individu adalah menggunakan energi sistemik yang
ada dalam dirinya untuk membuang iritan atau patogen yang merugikan, untuk hal
ini sangat dibutuhkan kontrol lingkungan.
3) Respon terhadap stress menghasilkan respon defensif dalam bentuk
perubahan yang tidak spesifik pada manusia, perubahan structural dan kehilangan
energi untuk beradaptasi secara bertahap terjadi sampai rasa lelah terjadi,
dikarakteristikkan dengan pengaruh yang menyebabkan pasien atau individu
berespon terhadap pelayanan keperawatan.
4) Kewaspadaan perceptual, respon sensori menghasilkan kesadaran persepsi,
informasi dan pengalaman dalam hidup hanya bermanfaat ketika diterima secara
utuh oleh individu, semua pertukaran energi terjadi dari individu ke lingkungan
dan sebaliknya. Hasilnya adalah aktivitas fisiologi atau tingkah laku. Respon ini
sangat tergantung kepada kewaspadaan perceptual individu, hanya terjadi saat
individu menghadapi dunia (lingkungan) baru disekitarnya dengan cara mencari
dan mengumpulkan informasi dimana hal ini bertujuan untuk mempertahankan
keamanan dirinya.
h. Trophicognosis
Levine merekomendasikan trophicognosis sebagai alternatif untuk diagnosa
keperawatan. Ini merupakan metode ilmiah untuk menentukan sebuah penentuan
rencana keperawatan.
i. Konservasi
Levine menguraikan model Konservasi sebagai inti atau dasar teorinya.
Konservasi menjelaskan suatu system yang kompleks yang mampu melanjutkan
fungsi ketika terjadi tantangan yang buruk. Dalam pengertian Konservasi juga,
bahwa individu mampu untuk berkonfrontasi dan beradaptasi demi
mempertahankan keunikan mereka.
B. Integrasi Teori Konservasi dalam Proses Keperawatan
Teori keperawatan harus dapat diIntegrasikan dalam asuhan keperawatan. Hal ini
dikarenakan teori keperawatan merupakan teori yang dibangun berdasarkan
kesatuan konsep-konsep, definisi, dan asumsi yang menjelaskan dan menguraikan

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


28

fenomena dalam keperawatan. Selain itu, teori keperawatan juga merupakan


gambaran empiris dalam pengembangan ilmu keperawatan yang memberikan
arahan dalam asuhan keperawatan (Alligood & Tomey, 2006). Dengan kata lain,
integrasi teori keperawatan dalam asuhan keperawatan memberikan pedoman
dalam mengorganisasi setiap komponen dalam proses keperawatan (Christensen
& Kenney, 2009). Proses keperawatan merupakan suatu langkah sistematis yang
menuntun perawat untuk berpikir kritis dalam melaksanakan praktik keperawatan.
Dalam uraian umum proses keperawatan, perawat melakukan pengkajian terhadap
kondisi klien, menganalisis data hasil pengkajian dan menginterpretasikan data
tersebut dalam bentuk masalah dan diagnosa keperawatan, merumuskan rencana
penatalaksanaan asuhan keperawatan, menerapkan dan mengevaluasi setiap
tindakan keperawatan yang telah dilakukan (Christensen & Kenney, 2009).
Adapun langkah-langkah dalam proses keperawatan melalui integrasi teori
Konservasi sebagai berikut:
f. Assessment
Assessment atau pengkajian merupakan tahap awal dalam proses keperawatan.
Pada tahapan ini, perawat melakukan pengkajian secara komprehensif melalui
wawancara dan observasi. Adapun pengkajian yang dilakukan meliputi
pengkajian mengenai respon klien terhadap penyakit, telaah catatan medis dan
evaluasi hasil pemeriksaan diagnostik, dan menggali informasi lainnya terkait
kondisi kesehatan dan penyakit klien melalui wawancara dengan klien dan atau
keluarga. Pada klien usia bayi, wawancara dilakukan pada orangtua atau anggota
keluarga lainnya. Pada tahapan ini pula, perawat melakukan pengkajian mengenai
lingkungan, baik internal maupun eksternal, serta pengkajian terhadap hal-hal
yang mempengaruhi prinsip konservasi (Alligood & Tomey, 2006).
g. Judgement/Trophicognosis
Tahapan judgement merupakan tahapan dimana perawat menginterpretasikan atau
menetapkan masalah atau kebutuhan klien akan bantuan. Interpretasi ini dilakukan
atas dasar analisis terhadap data hasil pengkajian yang sebelumnya telah diperoleh
(Alligood & Tomey, 2006).
h. Hypothesis

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


29

Tahapan hypothesis memuat mengenai perencanaan asuhan keperawatan yang


akan dilakukan. Pada tahapan hypothesis ini, perawat menyusun rencana asuhan
keperawatan dimana rumusan rencana asuhan keperawatan ini didasarkan pada
tujuan untuk mempertahankan dan memelihara keutuhan diri klien (Alligood
&Tomey, 2006).
i. Intervention
Tahapan intervention merupakan tahapan dimana perawat melakukan intervensi
berupa asuhan keperawatan langsung pada klien. Pada tahapan ini, perawat
menggunakan hypothesis yang sebelumnya telah disusun sebagai panduan
melakukan asuhan keperawatan. Intervensi dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip
konservasi (Alligood & Tomey, 2006).
j. Evaluation
Evaluation merupakan tahapan dimana perawat mengobservasi respon organismik
klien terhadap asuhan keperawatan yang telah diberikan. Pada tahapan ini,
perawat juga mengobservasi apakah hypothesis yang sebelumnya telah disusun
dan dilakukan dalam bentuk asuhan keperawatan, mampu mendukung proses
adaptasi klien sehingga tujuan asuhan keperawatan pada klien untuk
mempertahankan dan memelihara keutuhan diri klien tersebut dapat tercapai.
Respon ini dapat dinilai dalam kemampuan pasien mengontrol nyeri, perbaikan
kualitas tidur, penurunan stress, komunikasi efektif, peningkatan energi dan
meningkatnya kepuasan pasien. (Alligood & Tomey, 2006).

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


30

BAB III
PENERAPAN TEORI KONSERVASI LEVINE PADA
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN
SISTEM KARDIOVASKULER

Bab ini akan membahas mengenai peran perawat spesialis sebagai pemberi
asuhan keperawatan yang mempunyai tanggung jawab terhadap kelangsungan dan
pemenuhan asuhan keperawatan terutama sebagai advisor untuk masalah
keperawatan kardiovaskuler. Berikut ini dipaparkan gambaran perawat dalam
mengelola satu kasus utama yaitu pasien dengan post operasi CABG dan
menganalisis 30 kasus kardiovaskuler lainnya dalam bentuk resuma yang dirawat
di rumah sakit Jantung Harapan Kita Jakarta.

A. Gambaran Kasus Kelolaan Utama


1. Identitas Pasien
Pasien Tn. HD, 44 tahun, nomer MR 2012-33-77-49, status menikah, suku Sunda,
asal Sukabumi Jawa Barat, Agama Islam, pendidikan akademi, pekerjaan
karyawan swasta, jaminan Gakin Jakarta. BB 70 kg, TB 160 cm. Pasien masuk
rumah sakit pada tanggal 24 April 2013 pukul 09.05 WIB ke ruang intermediate
bedah untuk persiapan operasi. Pengkajian dilakukan pada tanggal 25 April 2013
post operasi CABG dimana pasien masuk ICU jam 16.50 WIB.

2. Keluhan utama dan riwayat Kesehatan Sekarang


Pasien masuk ruang ICU post CABG 3x, LIMA-Intermediate, SVG-OM, SVG-
RCA distal, off pump, atas indikasi CAD 2VD+LM, EF 24%, Hipertensi, pasien
masih terpasang ETT sambung ventilator, WSD substernal, drain dalam batas
normal, undulasi (+), terpasang catether swan gans, hasil monitoring CO 4.2
L/mnt. CI 2.5 L/m2, terpasang dower catether, urine 50-60 ml/jam, setelah
bangun, keluhan nyeri luka operasi dan area pemasangan drain ada, skala 5,
pasien masih mengantuk, nafas masih dibantu ventilator.

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


31

3. Riwayat Kesehatan Dahulu


Pasien memiliki riwayat hipertensi sudah sekitar 5 tahun, merokok 1 bungkus
perhari, dan kurang berolah raga. TIMI score 4/7. Pasien didiagnosa CHF karena
old anterior MCI dan hipertensi. Pada bulan Desember pasien sudah pernah
dirawat selama 5 hari dengan keluhan nyeri dada disertai sesak nafas dan rasa
tertindih beban berat. Pasien mengeluh makin sesak dengan aktifitas. Pasien
dilakukan pemeriksaan koroner pada tanggal 17 Desember 2012 dengan hasil LM
stenosis 30% di distal, Intermediate stenosis 80% di proximal, LCX, stenosis 80%
di OM1, total oklusi OM2, RCA stenosis 60-70 % di proximal, 70% di distal.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Pasien memiliki riwayat penyakit jantung dan hipertensi dalam keluarga. Ayah
pasien meninggal karena penyakit jantung, kakak pasien juga pernah dirawat
akibat serangan jantung.
B. Penerapan Teori Konservasi Levine Pada Kasus Kelolaan Utama
1. Pengkajian Teori Konservasi
a. Perubahan lingkungan internal :
Pasien post operasi CABG 3x, LIMA-Intermediate, SVG-OM, SVG-RCA distal,
off pump, kesadaran masih dibawah pengaruh obat, TD 147/78 mmHg, nadi 82
x/mnt, RR dengan ventilator, suhu 35.6 oC. Pasien dilakukan CABG atas indikasi
CAD 2 VD dan LM disease. Hasil pemeriksaan didapatkan stenosis pada LM
30% distal, Intermediate stenosis 80% proximal, LCX, stenosis 80% OM1, total
oklusi OM2, RCA stenosis 60-70 % proximal, 70% distal. Kondisi ini juga telah
menyebabkan pasien dirawat dengan old anterior MCI serta CHF dengan EF 24%
dan menderita hipertensi sudah 5 tahun.
j. Perubahan lingkungan eksternal :
Pasien terpasang alat-alat invasive yaitu kateter arteri pada arteri radialis sinistra,
kateter CVC (central venous catheter) pada vena subclavia sinistra dan kateter PA
di vena jugularis interna dextra. Pasien juga terpasang slang drain pada substernal
dan intrapleural serta pace maker dengan 2 buah wire di ventrikel. Alat-alat
tersebut membatasi aktivitas pasien di tempat tidur dan membuat pasien tidak
nyaman. Pernafasan pasien juga dibantu ventilator, mode ASV 100%, FiO2 50%,

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


32

PEEP 5. Pasien masih kedinginan sehingga dipasang diathermi untuk


menghangatkan tubuh pasien.
k. Konservasi Energi :
Paska operasi, hemodinamik pasien cukup stabil, cardiac output (CO) 4.4 L/mnt,
cardiac index (CI) 2.5 L/m2, PCWP ( pulmonarry capilary wedge pressure) 14
mmHg, pasien masih mendapat obat-obatan untuk mensuport kebutuhan istirahat
pasien dan mengurangi nyeri serta perasaan tidak nyaman akibat alat-alat yang
terpasang. Meskipun demikian, pasien masih mengeluh nyeri pada luka operasi
dan area pemasangan drain, terutama saat ingin batuk atau tarik nafas panjang,
skala nyeri 7. Pernafasan masih dibantu ventilator, karena pasien masih
mengantuk akibat efek obat-obatan anestesi sehingga pernafasan spontan belum
adequat. Pasien masih dipuasakan, cairan infus mendapat Ringer lactat 60
ml/jam. Paska operasi, pasien dikunjungi oleh istri, anak dan keluarganya secara
bergantian.
l. Konservasi Integritas Struktur :
Aktifitas pasien masih dibantu, kebutuhan mandi, toileting, mobilisasi pasif masih
dibantu perawat karena pasien masih dibawah pengaruh obat-obatan sehingga
masih lemas dan mengantuk dan belum dapat dimandirikan. Hasil pemeriksaan
laboratorium Hb 11.4 g/dl, Ht 34 vol%, Leukosit 14980 /ul, GD 128 mg/dl.
Urine output 50-100 ml/jam
m. Konservasi Integritas Personal
Menurut istri pasien, pasien adalah seorang kepala rumah tangga sekaligus bapak
dan suami yang bertanggung jawab. Pasien lulusan akademi tetapi bekerja sebagai
karyawan swasta dengan gaji yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari
tanpa dapat menyisihkan untuk biaya kesehatan yang mahal, sehingga
pembiayaan operasi ditanggung melalui jaminan KJS (kartu Jakarta sehat). Pasien
juga taat beribadah, aktif mengikuti kegiatan masjid. Pasien melakukan sholat
tetap di tempat tidur. Pasien memiliki kultur sunda yang kuat dilihat dari gaya
bicara pasien dan nilai-nilai kesopanan dan menghargai aturan di rumah sakit.
n. Konservasi Integritas Sosial :
Pasien mempunyai hubungan persaudaraan yang kuat terbukti dari banyaknya
sanak saudara yang antri untuk membesuk. Pasien juga sangat kooperatif dalam

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


33

proses pengobatan dan mengikuti penjelasan yang diberikan perawa. Keluarga


memberi motivasi pasien untuk sembuh terlihat dari semangat keluarga menunggu
pasien selama dirawat dan membesuk pasien pada jam besuk. Komunikasi pasien
dan keluarga juga sangat harmonis. Istri selalu menceritakan tentang kondisi yang
baik tentang anak-anaknya dirumah.
o. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
Darah rutin Pre operasi Post operasi Normal-Satuan
Hb 15.9 11.4 13 -16 gr/dl
Ht 47 34 40 – 48 vol %
Leukosit 6980 14980 5000 – 10.000/ul
Trombosit 377 203 150 rb – 400 rb
Kimia Darah :
CK 192 187 20-40 u/l
CKMB 15 15 0-15 U/L
Cholesterol tot 212 mg/dl
Trigliserida 136 mg/dl
Uric acid 7.7 mg/dl
Ureum 25 27 mg/dl
Creatinin 1.18 0.9 mg/dl
GDS 101 128 70 – 200
Natrium 136 137 135 – 147
Kalium 3.4 4.0 3,5 – 5,5 mmol/l
Clorida 99 100 100–106 mmol/l
Alb 4.2 3.7 3-5 gr/dl
Ph 7.44 7.42 7.35-7.45 mmol/l
PO2 107 346 80-100 mmHg
PCO2 37 40 3.5-4.5 mmHg
HCO3 25.4 24.9 22-26 mmol/l
TCO2 26.5 21.8 23-27 mmol/l
BE 1.0 0.9 -2.4-2.3 mmol/l

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


34

p. Radiologi : Terdapat kardiomegali, CTR > 50%


q. Elektrokardiogram : Sinus rhytm, axis normal, LVH (+), terdapat t inverted di
II, III, aVF, ST depresi di v4-v6, poor r (QS) di v1-v3 dengan gel t masih
elevasi.
r. Echokardiografy : EDD 55, ESD 48, EF 28%, efusi perikardium minimal dan
efusi pleura minimal.
s. Managemen Terapi
1) Ventilasi mekanik : Mode ASV 100%, FiO2 50%, PEEP 5, RR 15x/mnt
2) Terapi injeksi/drip
a) Propofol 20 mg/jam, selanjutnya ganti paracetamol
b) Dobutamin 5 mcg/kgBB/mnt, selanjutnya stop
c) Nitroglicerin 0.5 mcg/mnt, selanjutnya stop
d) Lasix 2 x 1 amp
e) Sharox 3 x 1 gram
f) Ranitidin 2 x 1 amp
3) Terapi oral :
a) Aspilet 1x80 mg
b) Simvastatin 1x20 mg
c) Captopril 2x6.25 mg
d) Bisoprolol 1x1.25 mg
e) Paracetamol 3x1 gram
4) Terapi cairan : NaCl 0.9% untuk flushing 3 ml/jam, RL 60 ml/jam
5) Diet : diet jantung II, 1700 Kkalori/24 jam

2. Judgement/Trophicognosis
Diagnosa keperawatan didapat setelah melalui analisis dan pengumpulan data.
Adapun diagnosa yang diperoleh
adalah sebagai berikut
a. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan, luka insisi bedah dan iritasi
akibat pemasangan selang dada
b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kehilangan darah dan fungsi
jantung yang terganggu

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


35

c. Risiko gangguan perfusi jaringan perifer dan kardiak b.d penurunan fungsi
pompa jantung, intervensi intrakardiak
d. Resiko kekurangan volume cairan dan keseimbangan elektrolit berhubungan
dengan berkurangnya volume darah yang beredar, perdarahan
e. Risiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidakadekuatan ventilasi
penurunan ekspansi paru
f. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi, terpasang alat invasif,
imunosupresi

3. Hipotesis/intervensi
1. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan, luka insisi bedah dan
iritasi akibat pemasangan selang dada.
NOC (nursing outcomes classification) :
1) Pain Level
2) Pain control
3) Comfort level
Kriteria Hasil :
1) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, memberitahukan nyerinya)
2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang denkgan menggunakan manajemen nyeri
3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri diatasi dan berkurang
5) Tanda vital dalam rentang normal
NIC (Nursing Intervention classification)
1) Managemen nyeri : mengkaji skala nyeri, teknik distraksi, relaksasi otot,
2) Managemen lingkungan : cegah kebisingan, cahaya terlalu terang, batasi
pengunjung
3) Mengatur posisi : atur posisi semi fowler atau yang nyaman menurut pasien
4) Menurunkan cemas : support emosional, mendorong coping positif
5) Managemen obat : anestesi, analgesik, sedatif secara iv, im, oral

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


36

Implementasi
1) Mengkaji nyeri, skala nyeri 7, karakteristik nyeri seperti rasa perih dan panas,
lokasi pada luka operasi, lokasi donor (kaki kanan) dan area pemasangan
drain, timbul terutama saat ingin bergerak, batuk atau tarik nafas
2) Mengukur tanda-tanda vital, TD : 150/90 mmHg, nadi 90 x/mnt, suhu :
36.50C
3) Membantu pasien membedakan antara nyeri bedah dengan nyeri angina,
pasien mengatakan nyeri tidak menyebar dan meningkat saat ada pergerakan
4) Mengajarkan pasien untuk menekan dengan tangan dan bantal jika ingin
batuk
5) Mengontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan, mengurangi faktor presipitasi nyeri
dengan membatasi pengunjung.
6) Mengatur posisi nyaman dengan memperbaiki posisi bantal dan posisi tidur,
posisi kaki, membuat elevasi kepala, semifowler
7) Mengajarkan pasien menggunakan teknik relaksasi, distraksi dan imajinasi
saat nyeri timbul
8) Memberi dukungan pasien dan melibatkan keluarga, istri pasien untuk
memberi dukungan, untuk mengurangi cemas dan nyeri
9) Memberikan obat propofol bolus 20 mg iv, selanjutnya drip 20 mg/jam
Evaluasi
S : Pasien menyatakan lebih nyaman setelah posisi tidur diatur kembali, pasien
menyatakan lebih nyaman dengan meletakan bantal di dada saat ingin batuk,
pasien menyatakan masih sakit jika ada pergerakan.Pasien menyatakan lebih
nyaman dengan teknik imaginasi.
O : Pasien masih terlihat agak tegang terutama saat ingin batuk atau bergerak. TD
145/90-162/91 mmHg, nadi 80-96 x/mnt
A : Masalah nyeri masih ada, berkurang dan lebih nyaman dengan pengaturan
posisi, skala nyeri 3-5
P : Motivasi untuk menggunakan teknik imaginasi, teruskan pemberian propofol
drip 20 mg/jam dengan mengkaji terus penurunan nyeri

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


37

2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kehilangan darah


dan fungsi jantung yang terganggu.
NOC (nursing outcomes classification) :
1) Cardiac Pump effectiveness
2) Circulation Status
3) Perfusi jaringan kardiak dan perifer
4) Vital Sign Status
Kriteria Hasil :
1) Hemodinamik dan tanda-tanda vital dalam rentang normal
2) Perdarahan dapat dikontrol
3) Irama dan frekuensi jantung stabil
4) Dapat mentoleransi aktivitas, tidak sesak
5) Tidak terdapat tanda-tanda shoc
NIC (Nursing Intervention classification)
1) Mengontrol perdarahan : kaji perdarahan melalui drain, peradarahn luka,
pemberian cairan atau darah jika diperlukan
2) Cardiac care : Monitor irama jantung, tanda arytmia
3) Hemodinamic Monitoring : ukut tanda-tanda vital, ukur cardiac output,
cardiac index
4) Managemen shock
Implementasi
1) Mengukur hemodinamik : CO: 4.2 L/mnt, CI 2.4 L/m2 PCW 15, bobutamin 5
mcg/kgBB/mnt
2) Mengukur TD : 142/90, nadi : 86, pulsasi kuat, acral hangat, tidak pucat, CRT
< 2 detik
3) Mengukur cairan drain 50 ml/jam, komponen darah, CVP 9 mmHg, tidak
terdapat peningkatan vena jugularis
4) Mengukur urine output 70 ml/jam, distensi vena jugularis, penurunan haluran
urine
5) Monitoring pemberian infus, infus berjalan lancar, mengukur intake
output/24 jam : intake : 3250/24 jam, output : 2150

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


38

Evaluasi
S : Pasien mengatakan tidak ada pusing dan sesak. Pasien mengatakan sudah lebih
enakan.
O : Hasil pengukuran CO : 4.2 L/mnt, CI 2.4 L/m2, PCW 15, urine output 60-70
ml/jam, TD : 130/84, nadi 80, RR 18, CRT < 2 detik
A: cardiac output stabil, hemodinamik stabil
P : Monitoring terus urine output, hemodinamik, CRT.
3. Risiko gangguan perfusi jaringan perifer dan kardiak b.d penurunan
fungsi pompa jantung, intervensi intrakardiak.
NOC (nursing outcomes classification) :
1) Status sirkulasi
2) Perfusi kardiak
3) Perfusi renal
4) Perfusi cerebral
Kriteria Hasil :
1) Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan :
a) Hemodinamik stabil : cardiac output, cardiac indeks
b) Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang diharapkan
c) Tidak ada ortostatik hipertensi
d) Urine output 1 ml/kgBB/jam
2) Mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai dengan:
a) berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan
b) menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi
c) memproses informasi
d) membuat keputusan dengan benar
NIC (Nursing Intervention classification)
1) Managemen sirkulasi : kaji CRT, hemodinamik, tanda-tanda vital, kesadaran
2) Managemen shock : kaji tanda-tanda shock, pucat, sianosis, kaji urine output
3) Managemen sensasi perifer : kaji acral, kekuatan nadi

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


39

Implementasi
1) Mengkaji drain, jumlah cairan drain 40 ml/jam, isi darah.
2) Mengkaji tanda-tanda hipoperfusi : acral hangat, tidak pucat, kesadaran
compos mentis
3) Mengkaji hemodinamik, CO : 4.2 L/mnt, CI 2.4 L/m2, PCW 15 mmHg, urine
output 70 ml/jam, TD : 130/78 mmHg, nadi 83 x/mnt, pulsasi kuat, irama
teratur
4) Mengukur intake output/24 jam : intake : 3250/24 jam, output : 2150
5) Mengkaji CTR<2 detik, kesadaran kompos mentis, sudah dilakukan
ekstubasi, pasien sudah mulai minum dan makan bertahap
6) Mengkaji tanda dehidrasi : turgor kulit elastis, mukosa bibir lembab
7) Memonitor dan memberikan dobutamin 5 mcg/kgBB/mnt
8) Memonitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap
panas/dingin/tajam/tumpul
9) Memonitor adanya parestesi atau tidak ada, kemampuan motorik, kekuatan
otot-otot
10) Memotivasi pasien melakukan rehabilitasi dini dan menjelaskan fase atau
tahapan rehabilitasi selanjutnya selama di rumah sakit maupun setelah pulang
atau di rumah
Evaluasi
S : Pasien mengatakan sudah lebih baikan, tidak ada pusing, tidak sesak, nyeri
masih ada, tidak ada penurunan ambang rasa pada kulit
O : Hasil pengukuran CO : 4.2 L/mnt, CI 2.4 L/m2, PCW 15 mmHg, urine output
70 ml/jam, TD : 130/78, nadi 83, pulsasi kuat, irama teratur, CRT< 2 detik, hasil
echo ulang EF 28%
A : tidak terjadi masalah perfusi jaringan, fungsi renal baik, produksi urine cukup
P : Monitoring urine output, kekuatan nadi perifer, drainase.

4. Resiko kekurangan volume cairan dan keseimbangan elektrolit


berhubungan dengan perdarahan, drainase.
NOC (nursing outcomes classification) :

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


40

1) Fluid balance
2) Hydration
3) Nutritional Status : Food and Fluid Intake
Kriteria Hasil :
1) Mempertahankan urine output 0.5-1 ml/kgBB/jam
2) Hemodinamik/tanda-tanda vital dalam batas normal
3) Tidak ada tanda tanda dehidrasi,elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa
lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
NIC (Nursing Intervention classification)
1) Managemen cairan : berikan terapi cairan sesuai program, ukur intake output
2) Monitoring cairan : monitor cairan yang masuk, monitor intake output
3) Managemen hipovolemik : kaji CVP, kekuatan nadi, beri cairan sesuai
program
Implementasi
1) Mengukur TD 143/86. Nadi 88, CO : 4.2 L/mnt, CI 2.4 L/m2, PCW 15
mmHg, cairan drain 50 ml/jam, urine output 60 ml/jam
2) Monitor nadi perifer, kuat, capillary refill <2 detik, turgor kulit baik,
membrane mukosa baik
3) Memberikan minum teh manis 150 ml dan sirop 200 ml
4) Memberi makan lunak, habis ¾ porsi
5) Memonitor pemberian infus RL 60 ml/jam dan NaCl 3 ml/jam
6) Mengukur intake output/24 jam : intake : 3250 ml/24 jam, output : 2150ml/24
jam
Evaluasi
S : pasien mengatakan sudah mulai minum, sirop dan juice habis 1 gelas
O : Drainage Produksi urine 60-70 ml/jam, balance/24 jam intake : 3250 ml/24
jam, output : 2150 ml
A : Masalah kekurangan cairan tidak terjadi, pasien mulai minum dan makan
bertahap
P : Monitoring intake dan output , monitoring drainase

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


41

5. Risiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidakadekuatan


ventilasi penurunan ekspansi paru
NOC (nursing outcomes classification) :
1) Respiratory status : Ventilation
2) Respiratory status : Airway patency
3) Vital sign Status
Kriteria Hasil :
1) Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada
sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas
dengan mudah)
2) Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas
abnormal)
3) Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan)
NIC (Nursing Intervention classification)
1) Airway managemen : kaji jalan nafas, kaji penumpukan sekret,
2) Terapi oksigen : berikan oksigen sesuai kebutuhan, kaji saturasi oksigen
3) Monitoring hemodinamik, TTV: Ukur tekanan darah, CO, CI
Implementasi
1) Mengkaji frekuensi pernafasan dan kedalaman, RR 18x/mnt, pasien sudah
ekstubasi dan sudah bernafas spontan, tidak sesak
2) Memberikan oksigen binasal 4 lpm, SpO2 99%
3) Mengkaji bunyi nafas vesikuler, Ronchi (-), wheezing (-), BJ 1 dan 2 normal,
gallop (-)
4) Mengajarkan teknik bernafas dengan mengembangkan diafragma dan nafas
dalam
5) Memonitor pernafasan, ekspansi dada adequat, keluhan nyeri masih ada post
ekstubasi, posisi semi fowler
6) Mengajarkan pasien batuk dengan menekan dengan bantal, saliva paska
ekstubasi ada sedikit, mengajarkan batuk efektif
7) Mengkaji tanda sianosis : tidak ada, akral dan mukosa bibir lembab dan
kemerahan

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


42

8) Meninggikan kepala tempat tidur, pada posisi duduk atau semifowler.


Evaluasi
S : Pasien mengatakan tidak sesak nafas lagi paska selang dilepas, tetapi masih
sakit saat tarik nafas panjang
O : Bunyi nafas vesikuler, tidak ada bunyi nafas tambahan, RR 18x/mnt, ekspansi
dada optimal
A : Tidak terjadi gangguan pola nafas paska ekstubasi
P : Monitoring ekspansi dada, teruskan latihan batuk efektif dan nafas dalam
dengan bantuan bantal yang lembut

6. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi, terpasang alat


invasif, imunosupresi
NOC (Nursing outcomes classification) :
1) Immune Status
2) Knowledge : Infection control
3) Risk control
Kriteria Hasil :
1) Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
2) Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
3) Jumlah leukosit dalam batas normal
4) Menunjukkan perilaku hidup sehat
NIC (Nursing Intervention classification)
1) Infection Control (kontrol infeksi): kaji tanda-tanda infeksi, kaji pemeriksaan
darah, leukosit, kondisi luka.
2) Infection Protection (proteksi terhadap infeksi): cuci tangan, gunakan sarung
tangan, masker, skort jika diperlukan
3) Perawatan luka operasi: gunakan teknik septik-aseptik, kaji kondisi luka
Implementasi
1. Mengkaji balutan luka : bersih dan tidak ada rembesan pada luka
2. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan serta sebelum
kontak dengan pasien
3. Mempertahankan prinsip septik dan aseptik dalam melkukan tindakan

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


43

4. Memberitahu keluarga pasien untuk membatasi pengunjung yang mengalami


infeksi untuk tidak mendekat.
5. Mengkaji tanda-tanda vital TD : 124/80. Nadi 80, suhu 36.6 C
6. Membantu pasien mengubah posisi tidur dan menaikkan bagian kepala pasien
Evaluasi
S : Pasien mengatakan luka operasi masih terasa nyeri, pasien mengatakan tidak
ada demam atau meriang.
O: Hasil pengukuran tanda-tanda vital TD : 124/80. Nadi 80, suhu 36.6 C, irama
teratur, pulsasi kuat, kondisi balutan luka bersih, tidak ada rembesan
A: Masalah infeksi tidak terjadi dan tidak ditemukan tanda-tanda infeksi
P: monitoring terus tanda-tanda infeksi dan lakukan pencegahan secara terus
menerus

C. Pembahasan
Pembahasan merupakan analisa dari seluruh proses asuhan keperawatan yang
telah dilaksanakan , memaparkan aspek keunggulan dan kelemahan serta kondisi
yang terjadi pada pasien dengan post CABG yang di rawat di ruang ICU rumah
sakit pusat jantung Harapan Kita Jakarta.

1. Proses keperawatan
Pengkajian melalui anamnesa bertujuan untuk mendapatkan riwayat kesehatan
dan faktor risiko serta perubahan spesifik dalam tingkat kesejahteraan dan pola
kehidupan (Potter & Perry, 2006). Dari pengkajian didapatkan data riwayat bahwa
pasien memiliki riwayat hipertensi sudah sekitar 5 tahun, merokok 1 bungkus
perhari, dan kurang berolah raga. Faktor risiko lainnya, pasien juga mempunyai
riwayat keluarga dengan penyakit jantung dan hipertensi. Dari beberapa faktor
risiko tersebut memungkinkan pasien yang masih berusia cukup muda ( 44 tahun)
mengalami serangan jantung koroner bahkan didiagnosa CHF karena old anterior
MCI dan hipertensi.

Merokok berperan memicu penyakit jantung koroner dengan meningkatkan kadar


karbon monoksida (CO) darah, dimana hemoglobin, komponen darah yang
mengangkut oksigen, lebih mudah terikat pada CO dari pada Oksigen, sehingga
Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


44

oksigen yang disuplai ke jantung berkurang. Asam nikotinat pada tembakau juga
memicu pelepasan katekolamin, yang menyebabkan konstriksi arteri, aliran darah
dan oksigenasi jaringan menjadi terganggu. Merokok juga meningkatkan adhesi
trombosit, mengakibatkan kemungkinan peningkatan pembentukan thrombus.
(Wood, 2005). Pasien juga menderita tekanan darah tinggi yang menyebabkan
terjadinya gradien tekanan yang harus dilawan oleh ventikel kiri saat memompa
darah. Tekanan tinggi yang terus menerus menyebabkan suplai kebutuhan
oksigen jantung jadi meningkat. Selain itu pasien juga mempunyai kolesterol
darah tinggi, dimana lemak yang tidak larut dalam air, terikat dengan lipoprotein
yang larut dalam air, yang memungkinkannya dapat diangkut dalam sistem
peredaran darah. ( Ignativicius, 2008).

Pada bulan desember 2012 pasien sudah pernah dirawat selama 5 hari dengan
keluhan nyeri dada disertai sesak nafas dan rasa tertindih beban berat. Pasien
mengeluh makin sesak dengan aktifitas. Pasien dilakukan pemeriksaan koroner
pada tanggal 17 Desember 2012 dengan hasil LM stenosis 30% di distal,
Intermediate stenosis 80% di proximal, LCX, stenosis 80% di OM1, total oklusi
OM2, RCA stenosis 60-70 % di proximal, 70% di distal. Keterlambatan dalam
memeriksakan kesehatan secara intensif dan keteraturan dalam berobat membuat
pasien harus mengalami gagal jantung pada usia yang masih cukup muda dan
produktif. Gagal jantung merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien
dengan infark jantung dimana terjadi ketidakmampuan jantung untuk memompa
darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi
yang sering dikenal dengani istilah gagal jantung kongestif. (Bruner &Suddart,
2002).

Pasien dilakukan tindakan pembedahan CABG ( coronarry artery bypass graft)


untuk mengatasi masalah stenosis pada koroner. Tindakan CABG dilakukan
meskipun diagnosa pasien adalah 2VD ( two vessel disease), tetapi disertai LM
(left mean) disease yaitu stenosis 30% di distal, Intermediate stenosis 80% di
proximal. Disamping itu pasien juga telah jatuh pada komplikasi gagal jantung
kongestif dengan EF 24%. Usia pasien yang masih sangat produktif

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


45

memungkinkan pasien untuk dilakukan operasi CABG ini supaya kualitas dan
produktifitas pasien dapat ditingkatkan.

Diagnosa keperawatan prioritas utama paska operasi CABG adalah Nyeri akut
berhubungan dengan trauma jaringan, luka insisi bedah dan iritasi akibat
pemasangan selang dada. Nyeri dapat timbul karena beberapa factor, luka operasi
atau tindakan pembedahan salah satu faktor penyebab terjadinya nyeri, apabila
nyeri berkelanjutan tidak dihilangkan akan mengganggu aktivitas fisik yang
akhirnya dapat menyebabkan aliran darah terganggu (Perry & Potter, 2006).
Pasien post operasi jantung akan merasakan nyeri yang spesifik yaitu seperti
tajam dan terbakar pada area luka insisi atau pembedahan serta pada area
pemasangan drain dan area donor yaitu kaki kanan pasien. Nyeri harus dapat
dengan jelas identifikasi untuk membedakan apakah nyeri tersebut adalah nyeri
angina atau infark jantung yang biasanya menyebar ataukan nyeri tersebut lokal
hanya pada area luka operasi.(Ignatificius, 2006). Penatalaksanaan nyeri
difokuskan pada nyeri akibat insisi pembedahan, sehingga pasien diberikan terapi
antinyeri atau anestesi, yaitu propofol bolus 20 mg iv selanjutnya drip 20 mg/jam.

Pasien juga diajarkan teknik relaksasi dengan imagine dan teknik batuk agar
mengurangi perasaan nyeri yaitu dengan menekan dada dengan bantal yang
lembut. Salah satu tindakan yang dilakukan perawat dalam mengatasi nyeri adalah
memberikan arahan, menjelaskan tentang nyeri dan cara mengatasinya, dengan
bahasa yang dapat dimengerti dan sesuai dengan tingkat pendidikan untuk
melakukan relaksasi, distraksi dan imajinasi terbimbing (guided imagery). Upaya
ini dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun (Perry & Potter, 2006)

Masalah penurunan curah jantung berhubungan dengan kehilangan darah dan


fungsi jantung yang terganggu diangkat menjadi prioritas kedua mengingat pasien
sebelum operasi telah mengalami gagal jantung dan penurunan ejection fraction
yaitu 24%. Paska operasi pasien mendapat terapi dobutamin drip 5
mcg/kgBB/mnt untuk meningkatkan kontraktilitas jantung. Selama perawatan
pasien dapat mempertahankan hemodinamik tetap stabil, dengan tekanan darah

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


46

berkisar 124/80-165/90. Nadi 82-90, CO : 4.2 L/mnt, CI 2.4 L/m2, PCW 15


mmHg, urine output 60 ml/jam, nadi perifer, kuat, capillary refill <2 detik. Pasien
tidak terlihat pucat dan dapat recoverry di ICU dengan cepat. Penurunan curah
jantung merupakan salah satu komplikasi tersering yang dapat terjadi pada pasien
post bedah jantung yang dikenal dengan Postperfusion syndrome (pumphead)
yaitu berkurangnya suply oksigen akibat gangguan fungsi pompa jantung.
(Ignativicius, 2006).

Diagnosa risiko gangguan perfusi jaringan perifer dan kardiak b.d penurunan
fungsi pompa jantung, intervensi intrakardiak juga dirumuskan mengingat kondisi
pasien dengan masalah kardiak yang menyertai serta antisipasi tehdapat terjadinya
gangguan atau kegagalan organ lain seperti gagal ginjal. Masalah tidak terjadi
ditandai dengan produksi urine yang stabil baik yaitu antara 50-100 ml/jam, dan
balance cairan per 24 jam yang stabil cukup yaitu intake : 3250/24 jam, output :
2150.

Diagnosa berikutnya yaitu resiko kekurangan volume cairan dan keseimbangan


elektrolit berhubungan dengan berkurangnya volume darah yang beredar,
perdarahan. Diagnosa ini dimunculkan sebagai risiko. Pasien dipuasakan paska
operasi sampai saat pasien diekstubasi 6 jam kemudian. Masalah tidak terjadi, hal
ini dikarenakan belum diperolehnya data-data gangguan melainkan data-data yang
dalam monitoring masih dalam batas normal. Pasien sudah mulai minum dan
makan 2 jam paska ekstubasi. Pasien juga mendapat terapi infus RL 60 ml/jam
serta tidak ada keluhan mual dan muntah ketika pasien sudah mulai makan.

Diagnosa selanjutnya adalah risiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan
ketidakadekuatan ventilasi, penurunan ekspansi paru. Pasien sangat kooperatif dan
mau berpartisipasi dalam latihan batuk dan bernafas secara efektif sehingga
proses weaning dan ekstubasi berjalan lancar sesuai program dan tidak mengalami
kesulitan. Pasien diekstubasi 6 jam paska operasi dan selanjutnya mampu bernafas
spontan tanpa bantuan ventilasi mekanik dengan adequat.

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


47

Diagnosa antisipasi terhadap kejadian infeksi dirumuskan yaitu risiko tinggi


infeksi berhubungan dengan luka operasi, terpasang alat invasif, imunosupresi.
Hal ini mengingat pasien dalam keadaan terpasang beberapa alat invasive yang
memungkinkan menjadi sumber infeksi, selain itu pasien juga dalam kondisi
penurunan daya tahan tubuh paska operasi pembedahan jantung. Sampai pada saat
pasien pindah ke unit perawatan intermediate pasien tidak mengalami tanda-tanda
infeksi.

D. Analisis Penerapan Teori Pada Kasus Pasien Post CABG


Penerapan teori Levine pada kasus pasien post CABG diterapkan sebagai suatu
pendekatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada Tn. HD yang dirawat
dengan operasi coronary artery bypass graft atas indikasi 2VD dan LM disease
dengan EF 24%

Pengkajian perawatan dengan menggunakan pola pengkajian dari Levine yang


memandang bahwa adaptasi merupakan suatu proses dimana individu melakukan
interaksi dengan lingkungan untuk mencapai dan mempertahankan integritas atau
keutuhan diri (Alligood & Tomey, 2006). Individu sesungguhnya senantiasa
hidup dalam interaksinya dengan lingkungan dimana dalam proses interaksi
tersebut, respon setiap individu terhadap perubahan lingkungan berbeda antara
satu dengan lainnya. Lingkungan yang meliputi lingkungan internal dan
eksternal. Lingkungan internal melibatkan aspek fisiologi dan patofisiologi dari
individu dimana lingkungan ini secara konstan dipengaruhi oleh perubahan yang
terjadi di dalam lingkungan eksternal. Lingkungan eksternal sendiri meliputi
lingkungan perseptual, operasional, dan konseptual. (Alligood & Tomey, 2006).

Jadi pengkajian difokuskan pada kemampuan adaptasi pasien terhadap kondisinya


saat ini yaitu pasien paska operasi CABG dengan penggunaan berbagai alat
invasive yang mempengaruhi kemampuan pasien dalam beradaptasi terhadap
kesehatan dan kemampuanya. Sehingga pada pengkajian ini bisa tercapai
konservasi energi yang diharapkan untuk memperoleh kesembuhan dan kesehatan
pasien. Keberhasilan individu dalam beradaptasi dengan berbagai perubahan

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


48

lingkungan akan mendukung terjadinya konservasi. Dengan kata lain, konservasi


merupakan hasil dari adaptasi. Melalui konservasi maka seorang individu akan
dapat memelihara energi yang ada untuk mempertahankan kesehatan dan
penyembuhan sehingga keutuhan diri (wholeness/integrity) individu dapat
tercapai dan dipertahankan (Alligood & Tomey, 2006).

Proses keperawatan mulai dari pengkajian didasari oleh teori Levine yaitu
mengkaji perubahan lingkungan eksternal pasien yang mempunyai tiga tingkatan
perseptual, operasional dan konseptual. Adanya tingkatan tersebut memberikan
dimensi dalam interaksi antara individu dan lingkungan. Tingkatan perseptual
meliputi aspek kemampuan pasien dalam menerima dan memahami dunia dengan
indra yang dimiliki. Sedangkan operasional meliputi hal-hal yang mempengaruhi
fisik individu dan konseptual mengandung arti bahwa lingkungan itu dibentuk
dari pola budaya dan dimediasi oleh simbul bahasa ide dan sejarah. Pasien adalah
seorang Bapak dari kultur sunda yang kuat, yang memiliki tatanan kesopanan dan
tanggung jawab yang baik. Pasien dapat mengikuti arahan dengan baik selama
paska operasi, dapat berpartisipasi dengan baik mengikuti latihan pernafasan dan
mobilisasi bertahap yang diajarkan sehingga dapat pulih lebih cepat dan lepas dari
bantuan ventilasi mekanik dengan tepat waktu.

Pengkajian Levine juga diperlengkapi dengan pengkajian konservasi energy


berupa nutrisi, istirahat (tidur), waktu luang, pola koping, hubungan dengan
anggota keluarga/orang lain, pengobatan, lingkungan dan penggunaan energi
yakni fungsi dari beberapa sistem tubuh, emosi, stress sosial, dan pola kerja.
Pengkajian integritas struktur berupa pertahanan tubuh struktur fisik. Pengkajian
Integritas Personal yaitu keunikan, nilai, kepercayaan. Pengkajian Integritas
Sosial meliputi proses keputusan dari klien dan hubungan klien dengan orang lain
serta kesukaran dalam berhubungan dengan orang lain atau masyarakat.

Kelebihan pengkajian Levine ini adalah memungkinkan perawat untuk lebih


komprehensif dalam menggali data dari pasien mengingat Levine sangat
memperhatikan kemampuan adaptasi pasien, dimana memandang pasien sebagai

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


49

individu yang sangat unik, yang mempunyai kemampuan adaptasi yang berbeda.
Kemampuan perawat dalam menggali kemampuan adaptasi pasien sangat
diperlukan sehingga tercapai konservasi energi yang diharapkan berguna dalam
proses penyembuhan dan kesehatan.

Kelemahan dari teori Levine ini menurut penulis adalah ada beberapa komponen
dalam pengkajian yang seringkali membuat penulis kesulitan dalam
mengkategorikan seperti pada pengkajian Integritas personal dan integritas sosial,
dimana pada pengkajian kedua integritas tersebut seringkali sama-sama
melibatkan peran dan dukungan keluarga, lingkungan dan masyarakat terkait
nilai-nilai dan kepercayaan pasien serta perannya dalam keluarga dan masyarakat.
Hal ini membuat isi pengkajian sepertinya overlaping atau menjadi duplikasi
penulisan. Untuk mengantisipasi hal tersebut penulis perlu lebih teliti dalam
menyusun dan mengkategorikan hasil pengkajian.

Sosialisasi penggunaan teori Levine ini juga belum banyak dilakukan sehingga
masih jarang digunakan pada pengkajian keperawatan di rumah sakit di indonesia
khususnya di Jakarta. Mahasiswa sebagian besar juga masih pada tahap
mempelajari belum sampai pada tahap mengaplikasikan dalam pengkajian
langsung pasien di rumah sakit. Hal tersebut memungkinkan pengkajian
konservasi menurut model Levine belum banyak dikenal di pelayanan rumah
sakit.

E. Analisis Kasus Resume


Pada bagian ini akan diuraikan mengenai 30 kasus kelolaan lainnya yang
merupakan berbagai macam gangguan system musculoskeletal, dan merupakan
bagian dari laporan kasus, yaitu : 1) Gagal jantung kongestif, ADHF, 2) Diseksi
aortja 3) acute coronary syndroma 4) Arytmia jantung. 5) percutaneus coronary
intervention, 6) Kelainan jantung bawaan 7) Penyakit katup jantung 8) Post
partum cardiomyopati, 9) Post op selain CABG 10), Infeksi otot jantung

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


50

Pasien dalam kasus resume penulis ambil dari semua unit perawatan baik rawat
inap maupun seperti gedung perawatan, ICU (intensive care unit), intermediate
bedah dan medikal, dan cardiovascular care unit (CVCU) tetapi juga unit non
rawat inap seperti instalasi gawat darurat dan kamar operasi di Rumah sakit pusat
jantung nasional Harapan Kita.

Pengkajian pada pasien dilakukan dengan menggunakan format Levine. Proses


pengkajian meliputi perubahan lingkungan eksternal pasien yang mempunyai tiga
tingkatan perseptual, operasional dan konseptual. Tingkatan perseptual meliputi
aspek kemampuan pasien dalam menerima dan memahami dunia dengan indra
yang dimiliki. Sedangkan operasional meliputi hal-hal yang mempengaruhi fisik
individu dan konseptual mengandung arti bahwa lingkungan itu dibentuk dari pola
budaya dan dimediasi oleh simbul bahasa ide dan sejarah.

Usia pasien dengan gangguan kardiovaskuler sangat variatif dengan rentang


antara 20 sampai 60 tahun, dimana pasien sebagian besar berada pada usia
produktif dan rata-rata adalah laki-laki . Faktor risiko yang penulis identifikasi
dari seluruh kasus untuk kasus yang berkaitan dengan kelainan atau gangguan
pembuluh darah koroner adalah kebiasaan merokok, gaya hidup seperti pola
makan yang tidak sehat, kurang berolah raga, stress, hyperlipidemia dan penyakit
yang mendahului seperti diabetes melitus, hypertensi, dan faktor keturunan dalam
keluarga.

Semua kasus mengalami masalah kesehatan yang memungkinkan pasien


beradaptasi dengan keadaan tersebut sehingga tercapai konservasi energi yang
diharapkan untuk mencapai kesembuhan. Setiap pasien memiliki kemampuan
adaptasi yang berbeda-beda dilihat dari hasil pengkajian konservasi yang
dilakukan. Perawat bertugas menggali kemampuan adaptasi baik secara fisik
dalam integritas struktur dan konservasi energi serta adaptasi secara personal dan
sosial.

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


51

Masalah utama yang muncul pada sebagian besar kasus adalah nyeri, sesak nafas
dan intoleransi aktifitas. Keluhan nyeri secara umum dapat dikelompokkan
kedalam beberapa penyebab seperti nyeri karena gangguan koroner, sehingga
suply oksigen ke myokardium tidak adequat, seperti kasus ACS (acute coronary
syndrome), pasien dengan PCI (percutaneus coronarry intervention), TPM
(temporary pace maker), arytmia jantung. Nyeri karena proses infeksi jantung
seperti myokarditis, perikarditis, dan gangguan katup jantung akibat jantung
rematik. Nyeri karena tindakan pembedahan yang menyebabkan trauma jaringan
atau agen cedera fisik. Tindakan pembedahan menunjukkan insiden pengalaman
nyeri sedang sampai berat. Nyeri adalah mekanisme yang dimaksudkan untuk
menimbulkan kesadaran bahwa telah terjadi kerusakan jaringan (Sherwood,
2001).

Pompa jantung yang terganggu juga menjadi penyebab tidak adequatnya suply
darah dan oksigen ke organ kardiak dan organ vital lainnya. Hal ini terjadi pada
kasus gagal jantung, ADHF (acute decompensated heart failure) dan PPCM
(postpartum cardiomyopathy).

Nyeri akut terjadi secara akut akibat cedera atau trauma atau penyakit iskemik
atau setelah intervensi bedah dan mempunyai awitan yang cepat dengan intensitas
yang bervariasi (ringan sampai berat). Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi munculnya keluhan nyeri, untuk jenis kelamin tidak berbeda
secara bermakna. Terbukti pada kasus yang dikelola semuanya mengalami nyeri
walau dengan intensitas yang berbeda. Cara individu mengekspresikan nyeri
merupakan sifat kebuadayaan yang lain (Perry & Potter, 2006).

Untuk mengatasi nyeri ada berbagai implementasi yang sudah diberikan mulai
dari intervensi keperawatan berupa teknik relaksasi dan distraksi serta pengaturan
posisi yang nyaman, juga intervensi medis melalui pemberian obat-obatan anti
nyeri yang diberikan secara intravena, bolus maupun drip serta secara oral.

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


52

Masalah keperawatan kedua adalah penurunan curah jantung berhubungan dengan


kehilangan darah dan fungsi jantung yang terganggu diangkat menjadi prioritas
kedua mengingat pasien dengan gangguan otot jantung, katup jantung dan fungsi
pompa jantung, dapat menurunkan kontraktilitas jantung. Pengkajian yang
dilakukan adalah hemodinamik, tekanan darah, urine output , nadi perifer,
capillary refill. Penurunan curah jantung merupakan salah satu komplikasi
tersering yang dapat terjadi pada penyakit jantung yaitu berkurangnya suply
oksigen akibat gangguan fungsi pompa jantung. ( Ignativicius, 2006).

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


53

BAB IV.
PENERAPAN PRAKTIK BERBASIS PEMBUKTIAN
(EVIDENCE BASED NURSING)

Baba ini akan membahas mengenai peran perawat sebagai peneliti, dengan
memberi kontribusi pada praktik keperawatan berdasarkan pembuktian (evidence
based), dengan memaparkan hasil analisa dan sintesa secara kritis terhadap hasil
penelitian terkait dengan gangguan system kardiovaskuler. Pengalaman
melaksanakan evidence based nursing pada kasus yang dikelola selama praktek
residensi spesialis keperawatan dan hasil penelaahan terhadap pengalaman
melakukan evidence based nursing termasuk keunggulan, kelemahan.

A. Penelaahan Kritis (Critical Review)


Penyakit jantung koroner menjadi penyebab kematian nomor 1 berdasarkan
Survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRTN) tahun 2007. Menurut data
secara global pada tahun 2004, setidaknya, terdapat 12.1 juta orang hidup dengan
penurunan kualitas hidup akibat tidak adekuatnya aliran darah ke myokard atau
penyakit jantung koroner. (Schadewalt, 2010). Salah satu upaya mengembalikan
aliran darah koroner secara efektif adalah melalui tindakan pembedahan CABG
(Coronary Artery Bypass Graft). CABG merupakan salah satu metode
revaskularisasi yang umum dilakukan pada pasien yang mengalami
atherosklerosis dengan 3 atau lebih penyumbatan pada arteri koroner atau
penyumbatan yang signifikan pada Left Main Artery Coroner (Chulay&Burns,
2006).

Sebagai alternative terakhir penatalaksanaan penyakit jantung koroner, Tindakan


CABG memiliki komplikasi yang tidak sedikit bagi pasien. Hipovolemia,
perdarahan, tamponade jantung, infeksi pneumonia, atelektasis bahkan kegagalan
proses weaning dari ventilator dapat terjadi akibat komplikasi dari tindakan.
Pencegahan terhadap kejadian komplikasi harus dilakukan secara dini agar pasien
terhindar dari masalah baru yang dapat memperlambat proses penyembuhan.
Perawat turut berperan penting dalam upaya preventif terhadap komplikasi paska

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


54

operasi. Paska CABG, pasien akan menggunakan alat bantu pernafasan serta
dipasang slang atau WSD untuk mengeluarkan cairan intratorakal paska operasi.

Salah satu upaya preventif yang dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi
pasien post CABG adalah melatih pasien nafas dalam sekaligus melatih otot-
pernafasan. Tindakan ini bertujuan meningkatkan expansi paru-paru sekaligus
memperbaiki oksigenasi ke otot jantung. Latihan nafas dalam juga mencegah
atelektasis dan memperbaiki fungsi paru-paru yang dapat dilihat dari
pengembangan paru secara maksimal serta hasil pemeriksaan saturasi oksigen
dengan oksimetri maupun hasil pemeriksaan tekanan oksigen dan CO2 dalam
darah dapat kembali normal paska ekstubasi. Setiap keberhasilan tindakan
membutuhkan peran perawat sebagai petugas yang berada bersama pasien selama
24 jam. Melatih nafas dalam secara teratur paska pasien lepas dari ventilator dapat
memberi hasil yang signifikan terhadap meningkatnya kapasitas volume paru dan
memperbaiki nilai pertukaran gas pada pasien paska CABG. (Westerdahl, 2005).

Fenomena yang terjadi saat ini, pasien post CABG di RS Harapan Kita Jakarta
ruang intermediate bedah telah dilakukan fisioterapi dada dengan melatih batuk
efektif dan nafas dalam, akan tetapi kegiatan ini hanya dilakukan satu kali perhari
oleh petugas fisioterapi yang datang ke unit. Hal ini seringkali kurang efektif
mengingat proses latihan nafas dalam dengan mengembangkan otot-otot
diafragma harus dilakukan secara aktif dan berkelanjutan. (Jayasekara, 2011).
Perawat sebagai petugas yang berada 24 jam bersama pasien mempunyai
kesempatan besar untuk membantu pasien mengatasi permasalahan oksigenasi
paska operasi. Memotivasi dan mengajarkan pasien latihan otot-otot pernafasan
dapat membantu pasien terhindar dari komplikasi paska operasi CABG seperti
atelektasis, pneumonia serta memperbaiki ekspansi paru dan diafragma.
(Schadewalt, 2010).

Peran perawat sebagai peneliti harus dibuktikan melalui kegiatan meneliti dan
mengimplementasikan hasil penelitian tersebut sehingga bermanfaat bagi orang
lain atau bagi pasien. Penelitian keperawatan yang baik melahirkan temuan yang

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


55

akan menjadi dasar tindakan keperawatan yang efektif dan positif bagi usaha
penyembuhan pasien (Danim, 2002). Menurut pendapat Titler , (2008) Hasil
penilitan keperawatan dapat digunakan sebagai dasar perawat melaksanakan
praktik keperawatan. Dengan melaksanakan praktek keperawatan berdasarkan
pembuktian atau Evidence Based Nursing Practice (EBNP), pelayanan
keperawatan akan lebih bermutu dan berhasil guna.

Melalui praktik keperawatan berdasarkan pembuktian memberikan kerangka kerja


dan proses penggabungan hasil penelitian dan preferensi klien yang sistematis
dalam pengambilan keputusan klinik. Selama praktik residensi telah dilakukan
praktik keperawatan berdasarkan pembuktian yang berjudul “ Latihan otot
pernafasan dan nafas dalam untuk meningkatkan ekspansi dada dan paru pada pasien
post op coronary artery bypass graft di rumah sakit pusat jantung nasional harapan
Kita Jakarta”. Latar belakang dari praktik keperawatan berdasarkan pembuktian
yang telah dilakukan adalah timbulnya berbagai komplikasi yang berhubungan
dengan fungsi paru dan oksigenasi pasien. Tidak sedikit efek yang ditimbulkan
akibat tindakan pembedahan yang cukup lama, penggunaaan alat bantu nafas dan
mesin jantung paru, manipulasi atau trauma terhadap organ jantung dan paru,
serta efek hypotermi selama tindakan pembedahan. Hal-hal tersebut dapat
menimbulkan masalah seperti infeksi paru (pneumonia), atelektasis,
diaphragmatic palsy, lama rawat meningkat dan akhirnya berdampak pada
meningkatnya biaya perawatan dan terhambatnya proses
penyembuhan.(Schadewalt, 2010).

B. Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian


1. Rancangan Penerapan EBN
Penelitian kuantitatif dengan desain quasi eksperimen yaitu memberikan
perlakuan atau intervensi pada subyek penelitian kemudian efek perlakuan
tersebut diukur dan dianalisis. Rancangan penelitian dengan pendekatan desain
pre post test group design tanpa kelompok kontrol. Desain ini membandingkan
hasil intervensi latihan otot pernafasan dan nafas dalam yang diukur sebelum dan
sesudah dilakukan intervensi. Cara melakukan pengukuran pertama sebelum

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


56

dilakukan latihan, lalu dilanjutkan pengukuran kedua paska latihan terhadap hasil
tekanan darah, sistole dan diastole, frekuensi jantung, frekuensi nafas, saturasi
oksigen dan ekspresi serta pengalaman atau pendapat pasien paska latihan. Hasil
pre dan post dianalisis untuk melihat perbedaan yang significan hasil pengukuran
sebelum dan setelah latihan
2. Populasi dan Sampel EBN
Populasi adalah pasien post operasi CABG hari pertama yang telah dilakukan
ekstubasi dan masih terpasang WSD. Sampel merupakan sebagian dari populasi
yang di teliti, dalam hal ini diambil 20 pasien sebagai responden, yang dilakukan
intervensi berupa latihan otot pernafasan dan nafas dalam.
3. Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di unit intermediate bedah (IW bedah) RS Jantung Harapan
Kita Jakarta, dilaukan pada bulan April minggu pertama sampai minggu ketiga,
atau selama 2 minggu proses intervensi dan pengambilan data pre dan post test.
Pre test dilakukan sebelum intervensi atau latihan yaitu pada saat perawat selesai
memberi penjelasan kepada pasien dan pasien siap melakukan latihan, maka
diambil data-data tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan, dan saturasi oksigen.
Setelah intervensi selesai dilakukan dan perawat sudah lebih relaks, maka diambil
data post test.
4. Prosedur Penerapan EBN
a. Latihan otot pernafasan dengan Pernapasan Diaprahma (Westerdahl,
2005).
1) Atur posisi fowler atau semi fowler, punggung dan bahu di sangga
dengan bantal
2) Anjurkan pasien meletakkan tangan dengan rileks di atas dada (di
batas iga, rasakan dengan jari-jari gerakan dada turun.
3) Anjurkan pasien bernapas dengan perlahan-lahan dan dalam, hingga
iga dan otot-otot pernafasan tertarik ke arah dalam
4) Anjurkan pasien tarik nafas dalam melalui hidung dan mulut, biarkan
perut menggembung dan paru-paru terisi udara
5) Anjurkan pasien menahan nafas dalam hitungan 1-5

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


57

6) Anjurkan pasien menghembuskan nafas dan biarkan semua udara


keluar melalui hidung dan mulut
7) Ulangi latihan sebanyak 15 kali dengan tangan diletakkan didada, di
atas kepala atau disamping, periode istirahat sebentar setiap 5 kali
nafas.

Gambar 4.1. Pergerakan Diafragma Saat Pernapasan Diafrahma

b. Latihan nafas dalam dengan pursed lip breathing


1) Hirup udara perlahan-lahan melalui hidung hingga paru-paru terasa
penuh dengan udara dan diaphragma mengembang (lamanya dalam
4 hitungan).
2) Tahan napas dalam selama hitungan 1-5.
3) Hembuskan napas perlahan-lahan melalui bibir dengan bentuk
seperti bersiull
4) Lakukan hembusan napas dua kali lebih lama dari menghirup
udara (lamanya dalam 8 hitungan).
5) Jangan memaksa mengosongkan paru-paru

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


58

Gambar 4.2 . Pursed Lip Breathing. A: Inspirasi Melalui Hidung; B: Ekspirasi


Melalui Mulut Dengan Meniup, Bibir Seperti Bersiul ( Westerdahl, 2005).

c. Chek kembali keadaan umum, tanda–tanda vital/hemodinamik pasca


latihan
d. Lepaskan sarung tangan
e. Cuci tangan
f. Lanjutkan observasi pasien

5.Hasil Penerapan EBN


 Ada perbedaan yang significant tekanan darah pada pengukuran pertama
atau sebelum intervensi dan kedua atau sesudah intervensi ( sistolik P
value 0.001, diastolik P value 0.007.). Artinya rata-rata tekanan darah post
intervensi lebih rendah (normal) dibanding sebelum intervensi.
 Ada perbedaan yang significant frekuensi jantung pada pengukuran
pertama dan kedua ( P value 0.003). Artinya rata-rata frekuensi jantung
post intervensi lebih rendah (normal)dibanding sebelum intervensi
 Ada perbedaan yang significant frekuensi nafas pada pengukuran pertama
dan kedua ( P value 0.01) Artinya rata-rata frekuensi nafas post intervensi
lebih rendah(normal) dibanding sebelum intervensi
 Ada perbedaan yang significant saturasi oksigen pada pengukuran pertama
dan kedua ( P value 0.002) Artinya rata-rata saturasi oksigen post
intervensi lebih tinggi dibanding sebelum intervensi.
Hasil pendapat responden
Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


59

 60% Mengatakan “senang difasilitasi dan diingatkan untuk latihan


pernafasan karena jika sendiri suka malas atau lupa”
 70 % mengatakan “latihan ini sangat bermanfaat buat saya”
 15% mengatakan “masih nyeri di luka operasi jika tarik nafas panjang”
Dua orang pasien menolak dengan alasan “perut masih mual” dan “masih
ngantuk”

4.4. Pembahasan
Indikator timbulnya komplikasi pada pasien post CABG seperti atelektasis,
infeksi pneumonia dan masa perawatan yang makin lama di rumah sakit dapat
didapat dari berbagai cara seperti pemeriksaan rontgen thorax, pemeriksaan AGD,
dan pemeriksaan menggunakan spirometri. Tetapi untuk memudahkan perawat
dalam pelaksanaan, maka dapat diambil indikator sederhana melalui tanda-tanda
vital pasien, frekuensi nafas permenit, saturasi oksigen dan pengalaman atau
pendapat pasien setelah latihan. Meskipun tindakan latihan telah dilakukan oleh
petugas fisioterapist, tetapi latihan hanya dilakukan sekali perhari, sehingga masih
kurang efektif. Pada siang, sore atau malam hari ketika pasien dalam keadaan
bangun dan nyaman, pasien dapat dilatih melakukan latihan otot pernafasan dan
nafas dalam oleh perawat.

Keterbatasan penelitian ini tentunya dari instrumen evaluasi , karena


menggunakan indikator yang sederhana seperti tekanan darah, frekuensi denyut
jantung, frekuensi nadi, dan saturasi oksiegen, tidak menggunakan alat-alat yang
dapat mengukur secara lebih akurat seperti spirometri, pemeriksaan rontgen
thorax serta pemeriksaan AGD.
Jumlah sampel penelitian juga menjadi keterbatasan, dimana hanya dilakukan
pada duapuluh pasien pre dan post. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu
penelitian. Idealnya peneliti melakukan studi terhadap seluruh populasi untuk
menentukan bobot terhadap temuannya (Bailey, 1982), hal ini sangat penting
dalam análisis suatu penelitian. Jumlah sampel penting menurut Danim, (2008)
dalam menentukan sampel harus menjadi pertimbangan karena semakin kecil
sampel penelitian yang diambil dari kelompok populasi makin tinggi

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


60

kecenderungan kekeliruan pengambilan simpulan. Demikian juga pada penelitian


Westerdahl, 2005 penelitian dilakukan terhadap jumlah sampel yang cukup
banyak yaitu pada 90 pasien post CABG yang telah diekstubasi.
Pada kesimpulan yang didapatkan tentang latihan otot pernafasan dan nafas
dalam, didapat hasil efektif meningkatkan ekspansi paru dilihat dari peningkatan
hasil saturasi oksigen dan penurunan frekuensi pernafasan pasien ke normal. Hasil
lain yang didapat adalah bahwa latihan ini juga membuat pasien merasa relaks,
dilihat dari menurunnya frekuensi jantung ke nilai normal, dan tekanan darah
lebih stabil kembali ke normal. Meskipun indikator sangat sederhana, namun
dapat menggambarkan bahwa ekspansi paru dan fungsi oksigenasi pasien
meningkat paska latihan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Westerdahl, 2005 dan penelitian yang dilakukan oleh Lynne, 2005.

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


61

BAB V.
KEGIATAN INOVASI PADA GANGGUAN
SISTEM KARDIOVASKULER

A. Analisis Situasi
Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RSPJNHK) merupakan
rumah sakit yang menjadi rujukan bukan saja dari Jakarta tetapi dari seluruh
pelosok di Indonesia. Dengan visi menjadi institusi kardiovaskuler terpercaya di
Asia Pasifik dan misi menyelenggarakan pelayanan, pendidikan dan pelatihan
serta penelitian kardiovaskuler secara profesional, dan ditopang oleh tata kelola
yang baik, serta dengan moto patient first, maka Rumah sakit ini telah
membuktikan melalui pelayanan yang komprehensif dan terpadu bagi pasien
dengan masalah kardiovaskuler. Rumah sakit juga menetapkan tujuan yang
hendak dicapai yaitu 1). Terselenggaranya pelayanan kardiovaskuler yang berhasil
guna, bermanfaat secara luas, memenuhi standar mutu internasional, 2).
Terselenggaranya pendidikan pelatihan kardiovaskuler bagi tenaga kesehatan
Indonesia dan kawasan regional, 3). Terlaksananya penelitian kardiovaskuler yang
membawa manfaat pada pelayanan kardiovaskuler dan program pendidikan
pelatihan kardiovaskuler.

Jumlah kunjungan yang mencapai ribuan setiap tahunnya menjadikan rumah sakit
Harapan Kita sebagai centre of science bagi perkembangan ilmu dan skill dalam
penanganan pasien dengan kasus kardiovaskuler baik pada tingkat Nasional
maupun Internasional. Jumlah intervensi bedah yang sangat besar dilihat dari
jumlah tindakan bedah perhari yang mencapai 7-8 pasien dengan daftar tunggu
tindakan yang tidak pernah sepi mendorong pihak managemen Rumah Sakit terus
berbenah diri. Kemajuan diagnostik dan intervensi yang didukung dengan
peralatan terkini yang canggih baik bedah maupun non bedah serta sumber daya
manusia yang terus diperbaharui secara kuantitas dan kualitas menjadi anadalan
Rumah Sakit memberi pelayanan terbaik kepada pasien. Bukti keseriusan Rumah
Sakit terhadap mutu pelayanan juga dibuktikan dengan upaya Rumah Sakit
mengikuti akreditasio Internasional JCI dalam waktu dekat.

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


62

B. Kegiatan Inovasi
Inovasi dibuat oleh residensi keperawatan medikal bedah peminatan
kardiovaskuler berdasarkan kebutuhan unit dan kebutuhan Rumah Sakit yang
diperoleh dari analisis terhadap fenomena yang ada serta masukkan dari unit dan
rumah sakit Harapan Kita. Standar ke-3 dari 6 standar The JCI International
Patient Safety Goals (IPSG) adalah meningkatkan keamanan dari penggunaan
obat-obat dengan kewaspadaan tinggi (high alert medication) (JCI, 2010).
Institute for Safe Medication Practices/ISMP (2012), mendefinisikan “High alert
medication” atau obat dengan kewaspadaan tinggi adalah obat yang mempunyai
risiko tinggi yang dapat menyebabkan kerugian yang signifikan ketika terjadi
kesalahan penggunaan (ISMP, 2012). Dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011, menyebutkan rumah
sakit harus mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki keamanan
obat-obat yang perlu diwaspadai.

Ruang ICU dewasa RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RS PJNHK)
Jakarta, banyak sekali menggunakan obat-obatan yang termasuk ke dalam
kategori “high alert medication”, seperti pemberian elektrolit konsentrasi tinggi,
pemberian obat intravena secara titrasi, pemberian sedasi, serta beberapa obat
kardiovaskular yang memerlukan pengawasan tinggi, misalnya adrenalin,
dobutamin, dan dopamin. Karena itu diperlukan suatu panduan bagi perawat
dalam memberikan obat “high alert” sehingga risiko kesalahan dapat
diminimalkan. Mengetahui bahwa risiko pemberian obat-obatan terhadap
kesalahan (medication error) sangat tinggi, serta menanggapi tuntutan akreditasi
internasional (JCI) akan pentingnya pengawasan terhadap obat-obatan dengan
kewaspadaan tinggi, maka kelompok kami tertarik untuk membuat sebuah inovasi
sebagai upaya mencegah kejadian kesalahan dalam pemberian obat-obatan
tersebut. Inovasi ini akan memfasilitasi perawat dengan panduan dan standar
operasional prosedur (SPO) sehingga memudahkan perawat dalam bekerja.

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


63

Proyek inovasi ini bertujuan untuk memberikan panduan dan langkah-langkah


kerja yang jelas bagi perawat di unit ICU pada saat memberikan obat-obatan
dengan kewaspadaan tinggi. Melalui inovasi ini diharapkan risiko kesalahan
perawat dalam pemberian terapi obat-obatan dapat diminimalkan bahkan
dihilangkan. Hal ini tentu akan berdampak pada meningkatnya kualitas asuhan
dan pelayanan yang diberikan perawat di unit ICU kususnya dan Rumah sakit
pada umumnya.

Materi yang disosialisasikan adalah berupa panduan obat-obatan high allert atau
obat-obatan dengan kewaspadaan tinggi. Sosialisasi dilakukan secara bertahap
kepada kepala instalasi, kepala unit, leader, serta perawat pelaksana. Sosialisasi
juga dilakukan secara individu kepada perawat di unit ICU untuk mengetahui
pemahaman perawat terhadap penggunaan panduan dan SPO pemebrian obat-
obatan kewaspadaan tinggi.

Standar prosedur operasional ini dibuat menurut jenis obat atau nama obat guna
mengurangi risiko kesalahan akibat pemberian obat. Mengingat banyaknya jenis
obat kewaspadaan tinggi, maka kami memilih jenis obat yang banyak digunakan
di unit ICU dewasa serta memiliki risiko tinggi timbulnya kesalahan dalam
pemberian, yaitu kalium, adrenalin dan propofol.

1. Kontrak Pelaksanaan Kegiatan


Kegiatan inovasi dilaksanakan pada akhir masa praktek bertepatan dengan unit
terakhir yang harus dilalui kelompok kami adalah unit ICU dimana rencana
pelaksanaan inovasi adalah di unit ICU. Inovasi dimulai pada bulan April minggu
ketiga sampai awal bulan Mei 2013.

2.Desiminasi Awal Program Inovasi


Sosialisasi ini dilakukan pada tanggal 29 April 2013 yang dihadiri oleh kepala
instalasi, kepala ruangan, leader, serta perawat pelaksana. Materi sosialisasi
meliputi latar belakang perlunya panduan dan standar prosedur pemberian obat
kewaspadaan tinggi, pengertian obat kewaspadaan tinggi, jenis-jenis obat

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


64

kewaspadaan tinggi, strategi meningkatkan keamanan pemberian obat


kewaspadaan tinggi, kewenangan dan tanggung jawab perawat dalam pemberian
obat kewaspadaan tinggi, serta prosedur standar pemberian obat kewaspadaan
tinggi yang diferifikasi menggunakan form check list berisi SPO sesuai jenis atau
nama obat. (ISMP, 2012). Selanjutnya desiminasi dilanjutkan secara individu
kepada masing-masing perawat. Sepanjang proses sosialisasi juga diperoleh
masukan-masukkan dari para perawat yang kemudian ditambahkan lagi oleh
kelompok untuk memperbaiki panduan dan SPO yang telah dibuat.

Selama proses diskusi, diperoleh beberapa masukan dari para peserta sosialisasi
yang digunakan untuk melengkapi atau memperbaiki panduan dan SPO
pemberian obat kewaspadaan tinggi sehingga dapat lebih mudah dalam penerapan
oleh perawat. Beberapa masukkan antara lain bahwa SPO perlu dibuat lebih
simple dengan langkah-langkah tindakan lebih sistematis dan minimal. Sistematis
mengandung makna bahwa setiap prosedur harus diawali dengan pengucapan
salam, memastikan identitas pasien, dan menjelaskan tujuan prosedur. Masukkan
lain adalah bahwa perawat dengan standar kompetensi apa yang memiliki
kewenangan memberikan obat kewaspadaan tinggi. Pemberian label warna yang
jelas sesuai standar yang ada untuk masing-masing obat kewaspadaan tinggi juga
disarankan oleh peserta sosialisasi untuk dimasukkan. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi risiko kesalahan dalam pemberian obat. Proses sosialisasi dan diskusi
menghasilkan beberapa kesepakatan yang bertujuan melengkapi panduan,
prosedur standar operasional dan form ferifikasi.

3. Pelaksanaan Program Inovasi


Panduan pemberian obat kewaspadaan tinggi merupakan Inovasi keperawatan
yang dibuat berdasar pada berbagai sumber termasuk jurnal keperawatan dan
lainnya. Inovasi keperawatan berupa panduan pemberian obat ini difokuskan pada
intervensi keperawatan yaitu pemberian obat. Hal ini mengingat komponen lain
dari obat kewaspadaan tinggi (high allert medication) merupakan ranah farmasi
atau medis seperti proses pengadaan, penyediaan atau stock, permintaan serta

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


65

penyimpanan obat. ( JCI, 2012). Inovasi ini berguna untuk mencegah kesalahan
yang terjadi akibat pemberian obat kewaspadaan tinggi oleh perawat.

Inovasi dilakukan di ruang ICU (intensive care unit) lantai 2 gedung perawatan 1
RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita melalui tiga tahap yaitu persiapan,
pelaksanaan dan evaluasi. Tahap pelaksanaan, setelah selesai sosialisasi panduan,
standar prosedur operasional dan form ferifikasi (check list) untuk memastikan
perawat bekerja sesuai SPO, maka segera dilaksanakan inovasi di ICU.
Pelaksanaan awal dilakukan dengan pendampingan kepada masing-masing
perawat agar dapat melaksanakan pemberian obat-obatan risiko tinggi sesuai
dengan prosedur dalam inovasi. Ditemukan beberapa kesulitan perawat dalam
pelaksanaan prosedur seperti dosis obat yang perlu disesuaikan dengan
perhitungan di unit.

4. Pelaksanaan Evaluasi
Pada awal implementasi, perawat masih kesulitan membagi waktu untuk
pengisian form check list ferifikasi yang sebagian besar diakibatkan oleh
kesibukan perawatan pasien. Tetapi kesulitan ini sangat individual, dilihat dari
beberapa perawat tetap dapat melakukannya tanpa mengalami kesulitan dalam
pembagian waktu. Hal ini dapat saja dipengaruhi oleh kompleksitas masalah
pasien yang berbeda-beda.

Hasil observasi terhadap pelaksanaan SPO ditemukan beberapa hal terkait


langkah-langkah dalan prosedur, antara lain
a. Sebagian besar perawat sangat kooperatif dan merespon positif dengan
pembuatan prosedur ini, karena menurut mereka ini merupakan hal yang baik
untuk menghindari kesalahan pemberian obat, hal ini ditunjukan dengan
antusiasme perawat dalam memberi pertanyaan dan masukkan serta dalam
proses penerapan SPO.
b. Pada langkah identifikasi data pasien, sebelumnya, sebagian besar perawat
(80%) belum melakukan identifikasi ulang data pasien seperti mengecek
gelang pasien atau memastikan benar pasien dengan perawat lainnya pada

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


66

saat hendak memberikan obat kepada pasien. Setelah disosialisasikan


prosedur, meskipun nilai pastinya belum dapat diidentifikasi, tetapi semakin
banyak perawat menyadari pentingnya identifikasi data pasien.
c. Pada langkah prosedur pengecekan obat (doble check) sebelumnya, sekitar
70% perawat sudah melakukannya sebelum pemberian obat kewaspadaan
tinggi, sedangkan selebihnya tanpa melakukan double ceck. Dari data
tersebut, sebagian besar (80%) nya melakukan dengan tidak mencocokan
daftar obat dan obat pasien melainkan hanya mengecek obat berdua. Melalui
inovasi ini, perawat lebih memahami risiko kesalahan yang dapat berakibat
vatal akibat tidak melakukan pengecekan obat dengan benar.(
d. Pada langkah pendokumentasien, seluruh perawat sudah melakukan
dokumentasi pemberian obat dengan benar bahkan monitoring dilakukan
secara continous setiap jam.
Secara keseluruhan, inovasi ini dapat diterima dengan baik, didukung dan
diberikan respon positif oleh kepala ruangan, leader serta para perawat
pelaksana di unit ICU bedah jantung
C. Pembahasan
Kami sangat menyadari bahwa inovasi ini masih banyak kekurangan. Kekurangan
yang timbul dapat merupakan konten atau isi, sistematika, kemudahan dalam
pelaksanaan maupun Sumber atau referensi. Atas hal tersebut, kami sangat
terbuka menerima segala masukkan dan saran yang dapat melengkapi dan
memperbaiki panduan maupun prosedur standar pemberian obat kewaspadaan
tinggi.

Hal-hal lain yang menjadi kekurangan inovasi ini antara lain


1. Banyaknya jenis obat kewaspadaan tinggi ( high allert medication) yang
ada di sumber atau referensi serta di unit ICU, namun karena segala
keterbatasan yang ada, maka hanya 3 (tiga) jenis obat yang dapat kami
susun.
2. Masih cukup panjangnya langkah-langkah prosedur sehingga
menimbulkan kesulitan pada pemahaman maupun implementasinya

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


67

apalagi jika dikaitkan dengan kesibukan perawat dalam mengelola asuhan


keperawatan pasien.
3. Penggunaan dosis obat pada panduan dan SPO mengacu pada referensi
atau jurnal yang ada, yang memungkinkan untuk tidak sesuai dengan dosis
yang digunakan di unit ICU, hal ini dapat menyulitkan perawat dalam
proses pengecekan dan pemberian obat.

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


68

BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan tentang pengalaman praktek residensi,


penulis sebagai pemberi asuhan keperawatan, peneliti, pendidik, dan sebagai
innovator dalam asuhan keperawatan pasien dengan gangguan system
kardiovaskuler dapat merumuskan beberapa hal penting sebagai simpulan dan
saran, yaitu :

A. Simpulan
Perawat sebagai Pemberi asuhan keperawatan secara profesional pada pasien
gangguan system kardiovaskuler perlu mendasarkan pemahaman pada anatomi,
fisiologi, patofisiologi, penatalaksanaan keperawatan yang memadai, teori
keperawatan yang mendukung sebagai dasar asuhan keperawatan dan hasil riset
yang dapat dijadikan dasar yang kuat dalam pelaksanaan praktek klinik
keperawatan.

Teori keperawatan Konservasi dari Levine merupakan salah satu model yang
menekankan pada kemampuan adaptasi individu terhadap gangguan atau masalah
yang terjadi dengan menggali dan memanfaatkan energi yang dimiliki sehingga
dapat membantu mengatasi masalah yang dialami kususnya pada gangguan
kardiovaskuler.

Praktek keperawatan yang berbasis pembuktian ilmiah, berupa latihan otot-otot


diafragma dan latihan nafas dalam pada pasien CAD post CABG dengan teknik
pernafasan diafragma dan lip pursued breathing dapat meningkatkan ekspansi
paru dan fungsi oksigenasi pasien serta mencegah komplikasi seperti infeksi paru,
atelektasis dan sebagainya. Penerapan praktik berbasis pembuktian ini terbukti
dapat memberi dampak bagi pasien sebagai penerima asuhan keperawatan dan

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


69

efektif untuk dilaksanakan oleh perawat dalam praktek keperawatan


kardiovaskuler.

Pengembangan peran perawat sebagai innovator dan pendidik bermanfaat untuk


memperbaiki sistem pelayanan kesehatan, praktek pemberian asuhan keperawatan
serta promosi kesehatan pada pasien, keluarga kususnya dengan masalah
kardiovaskuler.

B. Saran
1. Diperlukan penelitian dan metodologi yang memadai serta indikator evaluasi
yang jelas untuk mengevaluasi sejauhmana penerapan teori Konservasi dari
Levine digunakan dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien
gangguan system kardiovaskuler.
2. Perawat sebagai seorang ners spesialis keperawatan medikal bedah peminatan
system kardiovaskuler, perlu terus mengembangkan diri secara terus menerus
berkelanjutan agar dapat menjalankan perannya sebagai pemberi asuhan
keperawatan, peneliti, pendidik dan innovator dimanapun perawat bekerja.
3. Manajemen asuhan keperawatan yang sudah dijalankan di RS jantung
Harapan Kita dapat terus ditingkatkan dan dikembangkan, agar lebih
mengacu kepada prosedur standar yang diharapkan sesuai akreditasi nasional
dan internasional.
4. Praktik keperawatan professional yang melibatkan ners spesialis
membutuhkan dukungan dari system pelayanan kesehatan yang ada,
dukungan organisasi profesi, praktek keperawatan berkelanjutan dan
perlindungan perawat berdasarkan undang-undang praktek keperawatan.

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


70

DAFTAR PUSTAKA

Bianchi. (2004). Chest wall kinematics and breathlessness during


pursed lip breathing in patients with COPD. American college of
chest physicians.

Black & Hawks. (2005). Medical surgical nursing clinical management


for positive outcomes. 7th(ed). St Louis, Missouri. Elsevier
Saunders.

Brunner & Suddarth, (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah


Volume 1. Jakarta: Penerbit Buku, Jakarta EGC.

Corwin, J. E. (2009) Buku saku patofisiologi. Jakarta : EGC

Delaune & Ladner ( 2006). Fundamental of nursing standards &


practice, third edition, Thomsom Delmar Learning, Clifton Park,
New York

Doenges, Moorhouse & Murr (2006). Nursing Care Plan Guidelines for
Individualizing Client Care Across The Life Span. Philadelphia :
FA Davis co

Eliot, Doug (2007). ACCCN,s Critical Care Nursing, National Library


of Australian, Smidmore street, Marrickville, NSW

Govil, S. R., M.P.H., Weidner, G., Merritt-Worden, T., & Ornish, D.


(2009). Socioeconomic status and improvements in lifestyle,
coronary risk factors, and quality of life: The multisite cardiac
lifestyle intervention program. American Journal of Public
Health, 99(7), 1263-70.

Ignatavicius & Workman ( 2006). Medical Surgical Nursing : Critical


thinking for hycollaborative care, fifth edition, St. Louis, Missouri
63146

Institute for Safe Medication Practices/ISMP (2012), “High alert


medication”

Jayasekara, Rasika.(2011). Cardiac Surgery : Respiratory


Physiotherapy. Evidence Summaries, Joanna Briggs Institute

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


71

Kozier B., Erb G., Berman A., Snyder S. (2008). Fundamentals of


Nursing: Concepts, Process, and Practice, Eighth Edition,
Pearson Prentice Hall

Koehn, K., Holay, S., & Schaefer, E. J. (2002). Cardiovascular risk


reduction and dietary compliance with a home-delivered diet and
lifestyle modification program. Journal of the Academy of
Nutrition and Dietetics, 102(10), 1445-51. Retrieved from
http://search.proquest.com/docview/218401812?accountid=17242

Lavie, C. J., & Milani, R. V. (1999). Effects of cardiac rehabilitation


and exercise trainng programs on coronary patients with high
levels of hostility. Mayo Clinic Proceedings, 74(10), 959-66.
Retrieved from

Lewis, S. L., Heitkemper, M. M., Dirksen, S. R., O‟Brien, P. G.,&


Bucher, L. (2007). Medical Surgical Nursing. Philadelpia : Mosby
Elsevier Inc.

Lynne Geddes, E., Darlene Reid, W., Crowe, J., Kelly O'Brien, &
Brooks, D. (2005). Inspiratory muscle training in adults with
chronic obstructive pulmonary disease: A systematic review.
Respiratory Medicine, 99(11), 1440-1458. doi:
http://dx.doi.org/10.1016/j.rmed.2005.03.006

NANDA. (2006). NANDA, NOC and NIC Linkages Nursing diagnoses:


definitions & Classification, NANDA International, philadelphia
Mosby, Elsevier

Potter, P.A & Perry, A.G. (2006). Fundamental Of Nursing: Concepts,


Procces and practice, St Louis: CV Mosby Company.

Price A. S., & Wilson M.L., (2006). Patofisiologi Konsep klinis Proses-
proses Penyakit, edisi 6 vol 2. Jakarta :EGC

Schadewaldt, V., & Schultz, T. (2010). A systematic review on the


effectiveness of nurse-led cardiac clinics for adult patients with
coronary heart disease [2010]. Adelaide, Australia, Adelaide:
Joanna Briggs Institute. Retrieved from
http://search.proquest.com/docview/356841717?accountid=17242

Smeltzer, S. C., Bare B.G., Hinkle J.L., Cheever K.H. (2008). Textbook
of Medical Surgical Nursing, 9th edition, Philadelphia, Lippincot,
Williams & Wilkins

Tarigan, Rosna. (2008). Pengaruh latihan otot pernafasan terhadap


ekspansi dada dan paru pada pasien PPOK di RS Adam Malik
Medan,Tesis, Universitas Indonesia, Depok.
Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


72

Titler MG. (1993). Critical analysis of research utilization (RU): An


historical perspective. Am J Crit Care 1993;2(3):264. 11.
Kirchhoff KT. State of the Science.

Tomey, A. M. (2006). Nursing Theorists and Their Work. Third


Edition. St. Louis: Mosby.

Tomey, A.M. & Alligood, M.R. (2006). Nursing theory: Utilization


and Application , Elsevier, Mosby.

Westerdahl, E., Lindmark, B., Eriksson, T., Örjan Friberg, & al, e.
(2005). Deep-breathing exercises reduce atelectasis and improve
pulmonary function after coronary artery bypass surgery*. Chest,
128(5), 3482-8.

Wynne, Rochelle. (2004). Post operative pulmonary dysfunction in


adults after cardiac surgery with cardiopulmonary bypass :
clinical significance and implications for practice. American
journal of critical care

Woods, Susan. Et.al. (2005). Cardiac Nursing, edisi 5, philadelphia, A


Wolters Kluwer Company, Lippincott Williams & Wilkins

http://www.uiowa.edu/~medtest/iss_reference/High%20Alert%20Medic
ations.pdf

Universitas Indonesia

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


RESUME ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER

DENGAN PENDEKATAN TEORI KONSERVASI MENURUT LEVINE

NO GAMBARAN UMUM KASUS PENGKAJIAN STATUS KESEHATAN, PENGKAJIAN KONSERVASI, DIAGNOSIS, PENETAPAN
TUJUAN, INTERVENSI DAN EVALUASI
SYNDOMA KORONER AKUT DAN CORONARY ARTERY DISEASE (CAD)
1 Ny. AL, 66 tahun, Pengkajian status kesehatan : mengeluh nyeri dada sudah 1 mgg smrs, cepat lelah, dada rasa berat,
Diagnosis CAD, 3VD, Catetherisasi hasil stenosis 80% di RCA, stenosis 80-90% distal LAD, 50% di LCX distal, 70% OM3.
post PCI, DM tipe 2, Tindakan PTCA 3 stent, 2 di LAD, 1 di RCA. Riw DM tipe 2 dan Hypertensi, EKG sinus rythm, rontgen
hipertensi St 2, MRS 06 cardiomegali, CTR 65%. TD : 140/78 mmHg, Nadi 87 x/mnt, RR : 18 x/mnt. VES (+)
September 2012 Pengkajian konservasi :lingkungan internal : stenosis koroner, infark myokard, mudah lelah dan sesak.
eksternal : jarang cek kesehatan, menopouse, jauh dari fasilitas pelayanan. Konservasi Energi : pasien
makan minum tidak bermasalah, cukup istirahat Integritas Struktur : Pasien mengeluh nyeri pada luka
tusukan di radialis. Kadang muncul VES. Mendapat terapi cordaron, ranitidhin dan omeprazol.Integritas
Sosial : Ibu rumah tangga, mengurus suami dan anak.Diagnosa : Nyeri luka tusukan, Risiko penurunan
cardiac output. Tujuan : Nyeri berkurang, Cardiac pump effektiveness. Intervensi :Dysrytmia management,
pain managemen, medication management, Oksegen management. Evaluasi : Pasien dapat beradaptasi
dengannyeri dan risiko penurunan cardiac output

2 Tn. BD, 44 tahun, ACS, Pengkajian status kesehatan : Mengeluh nyeri dada 3 jam smrs. menjalar ke lengan kiri, disertai sesak
infark di inferior, ST nafas. Keringat dingin, EKG ST elevasi di II, III, aVF. TD : 110/70 mmHg, HR 102 x/mnt
elevasi II. II. aVF, MRS 1
Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Pasien mengalami infark myokard akut, inferior, arytmia,
april 2013 sering timbul VT , Eksternal : Pasien merokok, bekerja terlalu lelah, kurang olah raga. Konservasi Energi :
Pasien pucat, keringat banyak Integritas Struktur : Pasien dilberikan terapi plavik loading, hemodinamik
pasien stabil. Integritas Sosial : Pasien sudah menikah dengan 3 orang anak, istri selalu menunggu di rumah
sakit.Diagnosa : Nyeri dada, penurunan cardiac output Tujuan : Pasien dapat beradaptasi dengan nyerinya.
Cardiac pump effektiveness Intervensi : Pain managemen, cardiac care, medication management, Oksigen
management. Evaluasi : Pasien dapat beradaptasi dengan nyerinya, hemodinamik stabil.
3 Ny. Adel, 82 tahun, ACS, Pengkajian status kesehatan : Mengeluh nyeri dada menjalar ke lengan kiri, disertai sesak nafas.
NSTEMI, TIMI 5/7, ADHF, Cateterisasi 3VD, TD : 159/74, HR : 70, sinus rhytm, RR : 20, SH 36,2, dipasang IABP, echo SV : 53.8 ml,

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


post PCI, rujukan dari CO : 3.9 L/mnt
RSPI, dengan IABP, MRS Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Pasien ada DM tipe 2 dan hypertensi, Eksternal : Pasien
08 April 2013 post menopouse, sibuk mengurus cucu. Konservasi Energi : Pasien udah makan, habis 1 porsi, istirahat
kurang karena sesak Integritas Struktur : Pasien diberikan terapi bisoprolol, candesartan, hemodinamik
pasien tidak stabil. Integritas Sosial : Ibu dari 8 anak, suami sudah meninggal, anak-anak bergantian
menjenguk.Diagnosa : Nyeri dada, penurunan cardiac output Tujuan : Pasien dapat beradaptasi dengan
nyerinya. Cardiac pump effektiveness Intervensi : Pain managemen, cardiac care, medication management,
Oksigen management. Evaluasi : Pasien tidak dapat beradaptasi dengan nyeri dan sesak, hemodinamik tidak
stabil setelah IABP di aff, pasien meninggal.
4 Tn. GR, 53 tahun, UAP, Pengkajian status kesehatan : mengeluh remas-remas, 4 jam smrs, timbul saat sedang tidur, nyeri
EKG : S persisten di V5- berkurang dengan pemberian ISDN sublingual, EKG sinus rythm, TD : 130/78 mmHg, Nadi 87 x/mnt, RR :
V6, T inverted di V1-V3, 18 x/mnt.
MRS 25 Maret 2013 Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Nyeri dada timbul menjalar disertai keringat dingin seperti
diremas-remas. Faktor risiko ,dyslipidemia.dan merokok Eksternal : pasien kurang olah raga. Konservasi
Energi : Pasien masih nyeri dada, makan sedikit, istirahat kurang karena sesak, Integritas Struktur : Pasien
dilberikan terapi ISDN, ascardia, lasix, EKG takikardia. Integritas Sosial : Pasien seorang bapak dengan 2
orang anak,istri menunggu.Diagnosa : Nyeri dada , penurunan cardiac output Tujuan : nyeri berkurang,
Cardiac pump effektiveness Intervensi : pain managemen, cardiac care, medication management, Oksigen
management. Evaluasi : Nyeri berkurang, pasien dapat beradaptasi dengan penurunan cardiac output,
hemodinamik stabil.
5 Tn. DD, 40 tahun, ACS, Pengkajian status kesehatan : Mengeluh nyeri dada menjalar ke lengan kiri, disertai sesak nafas. VT dan
infark di lateral, rujukan VF (+), dilakukan DC shock 360 joule, EKG ST elevasi di I, aVL, V5-V6, hiperacut T di V2-V6. Acute
dari RS Jakarta untuk PCI infark antero lateral ekstensif
3 stent DES di LAD, riw Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Stenosis koroner, total oklusi di mid, distal LAD. Infark di
post DC shock ec. VT, VF, laterla.Nyeri dada, sesak, post VT VF, Eksternal : Pasien merokok, bekerja terlalu lelah, kurang olah raga.
MRS 10 april 2013 Konservasi Energi : Pasien udah makan, habis 1 porsi, istirahat cukup Integritas Struktur : Pasien
dilakukan PCI, hemodinamik pasien stabil. Integritas Sosial : Pasien sudah menikah dengan 2 orang anak,
istri selalu menunggu di rumah sakit.Diagnosa : Nyeri dada, penurunan cardiac output Tujuan : Pasien
dapat beradaptasi dengan nyerinya. Cardiac pump effektiveness Intervensi : Pain managemen, cardiac care,
medication management, Oksigen management. Evaluasi : Pasien dapat beradaptasi dengan nyerinya,
hemodinamik stabil.
6 Tn. ZM, 54 tahun, acut Pengkajian status kesehatan : Mengeluh sesak nafas 6 jam smrs. Sesak saat berbaring dan istirahat, kadang

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


STEMI anterior dan dada rasa panas, lama 30 menit, TD : 205/95, HR : 80, on TPM
inferior, onset 6 jam Pengkajian konservasi :lingkungan internal : sesak timbul bahkan saat istirahat, pucat, acral dingin. faktor
SMRS, Killip 3, TIMI risiko ,dyslipidemia.dan merokok Eksternal : pasien kurang olah raga, dilakukan pemasangan TPM karena
5/14, ALO, TAVB, TPM, TAVB, Konservasi Energi : Pasien sudah mulai makan sedikit, istirahat cukup, Integritas Struktur :
MRS14 April 2013 Pasien dilberikan terapi ISDNl, ascardia, lasix, Integritas Sosial : Pasien seorang bapak, dengan 2 orang
anak, istri menunggu.Diagnosa : pola nafas, penurunan cardiac output Tujuan : pola nafas efektif, Cardiac
pump effektiveness Intervensi : cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi :
sesak berkurang, pasien dapat beradaptasi dengan penurunan cardiac output, hemodinamik stabil.
CRONIC HEART FAILURE, ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILLURE (CHF/ADHF)
1 Tn. DDG, 54 tahun, CHF Pengkajian status kesehatan : Mengeluh sesak nafas sudah beberapa hari ini, bertambah disertai nyeri dada
ec. ACS, hasil catheter : saat aktivitas, pasien riw jantung koroner
total oklusi LAD Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Stenosis koroner, total oklusi di distal LAD. RCA dan
proximal, LCX distal, RCA LCX, Eksternal : Pasien merokok, , kurang olah raga. Konservasi Energi : Pasien makan cukup, istirahat
proximal, MRS 11 januari cukup Integritas Struktur : Pasien dilberikan terapi bisoprolol, plavik, lasix, hemodinamik pasien stabil.
2013, Integritas Sosial : Pasien sudah menikah dengan 4 orang anak, istri selalu menunggu di rumah
sakit.Diagnosa : pola nafas, Nyeri dada, penurunan cardiac output Tujuan : pola nafas efektif, Pasien dapat
beradaptasi dengan nyerinya. Cardiac pump effektiveness Intervensi : airway managemen, Pain
managemen, cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi : sesak berkurang, pasien
dapat beradaptasi dengan nyerinya, hemodinamik stabil.
2 Tn. RS, 55 tahun, ADHF, Pengkajian status kesehatan : Mengeluh sesak nafas sudah 1 minggu smrs. Sesak saat berbaring dan sesak
riw STEMI, rencana PCI, bertambah saat aktivitasah, pernah dirawat dengan STEMI, TIMI 4/7, grace score 326, riw hipertensi. EKG
MRS 04 April 2013 SR, HR 46x/mnt
Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Faktor risiko dyslipidemia dan hipertensi., Eksternal :
Pasien merokok, , kurang olah raga. Konservasi Energi : Pasien makan sedikit, istirahat kurang karena
sesak, Integritas Struktur : Pasien dilberikan terapi bisoprolol, plavik, lasix, hemodinamik pasien stabil.
Integritas Sosial : Pasien sudah menikah dengan 2 orang anak, istri selalu menunggu di rumah
sakit.Diagnosa : pola nafas, penurunan cardiac output Tujuan : pola nafas efektif, Cardiac pump
effektiveness Intervensi : cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi : sesak
berkurang, pasien dapat beradaptasi dengan penurunan cardiac output, hemodinamik stabil.
3 Tn. BS, 56 tahun, CHF FC Pengkajian status kesehatan : Mengeluh sesak nafas sudah 5 hari smrs. Nyeri dada 12.5 jam smrs. Menjalar
II, ec HHD, HT tidak ke punggung, STEMI, inferior killip I, TIMI 2/14, riw hipertensi. EKG SR, ST elevasi V2-V4
terkontrol, STEMI, MRS Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Faktor risiko dyslipidemia dan hipertensi., Eksternal :

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


01 April 2013 Pasien merokok 2 bks perhari, Konservasi Energi : Pasien makan sedikit, istirahat kurang karena sesak,
Integritas Struktur : Pasien dilberikan terapi brilanta, plavik,ISDN, hemodinamik pasien stabil. Integritas
Sosial : Pasien sudah menikah dengan 3 orang anak, istri menunggu di rumah sakit.Diagnosa : Nyeri dada,
penurunan cardiac output Tujuan : Nyeri berkurang, Cardiac pump effektiveness Intervensi : pain
managemen, cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi : Nyeri berkurang, sesak
berkurang, pasien dapat beradaptasi dengan penurunan cardiac output, hemodinamik stabil.
4 Ny. ND, 60 tahun, ADHF Pengkajian status kesehatan : Mengeluh sesak nafas sudah 1 minggu smrs. Sesak saat berbaring dan sesak
pada ACS, NSTEMI, TIMI bertambah saat aktivitasah, disertai nyeri dada yang menjalar ke lengan kiri , TD : 137/82, HR : 105, sinus
5/7, Crusade 59, MRS 08 takikardia, EF 15%.
April 2013 Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Faktor risiko post menopouse, , dyslipidemia., Eksternal :
pasien kurang olah raga. Konservasi Energi : Pasien makan sedikit, istirahat kurang karena sesak, Integritas
Struktur : Pasien dilberikan terapi ISDNl, ascardia, lasix, EKG takikardia. Integritas Sosial : Pasien seorang
ibu rumah tangga, dengan 2 orang anak, suami sudah meninggal.Diagnosa : pola nafas, penurunan cardiac
output Tujuan : pola nafas efektif, Cardiac pump effektiveness Intervensi : cardiac care, medication
management, Oksigen management. Evaluasi : sesak berkurang, pasien dapat beradaptasi dengan penurunan
cardiac output, hemodinamik stabil.
5 Tn. DP, 61 tahun, ALO, Pengkajian status kesehatan : Mengeluh sesak nafas sudah 2 hari smrs. Sesak saat berbaring dan sesak
ADHF ec. Old anterior bertambah saat aktivitas, cepat lelah, udema di kaki , TD : 137/97, HR : 83, sinus rhytm, EF 31%.
MCI 3VD, CKD stage III, Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Faktor risiko hipertensi , dyslipidemia.DM Eksternal :
EF 31%, MRS 11 pasien kurang olah raga. Konservasi Energi : Pasien makan sedikit,minum masih dalam pembatasan cairan,
September 2012 istirahat kurang karena sesak, target balance -500 ml, Integritas Struktur : Pasien dilberikan terapi concor,
aspilet, lasix. Aktivitas dibantu, Integritas Sosial : Pasien seorang bapak, dengan 4 orang anak, istri sudah
meninggal.Diagnosa : pola nafas, penurunan cardiac output Tujuan : pola nafas efektif, Cardiac pump
effektiveness Intervensi : cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi : sesak
berkurang, pasien dapat beradaptasi dengan penurunan cardiac output, hemodinamik stabil.
Infeksi myokarditis, endokarditis
1 Tn. HS, 30 tahun, Pengkajian status kesehatan : Mengeluh nyeri dada seperti ditusuk-tusuk dan tidak menjalar, gambaran
diagnosa myokarditis, EKG sinus takikardi, ST elevasi di V2-V5. Hasil Rontgen : Efusi pleura bilateral. Pinggang jantung datar,
rujukan dari RSUD apex turun, EF 32 %.
tangerang, MRS 05 Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Beberapa hari sebelumnya pasien demam, disertai batuk dan
Maret 2013 nyeri dada. Pasien sering pilek dan demam. Sesak nafas muncul jika berbaring, Eksternal : Pasien merokok,
sering pulang malam. Konservasi Energi : Pasien tidak nafsu makan, istirahat cukup Integritas Struktur :

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


Pasien dilberikan terapi antibiotik dan antipiretik, hemodinamik pasien stabil. Integritas Sosial : Pasien
sudah menikah dengan 2 orang anak, istri selalu menunggu di rumah sakit.Diagnosa : Nyeri dada. Tujuan :
Pasien dapat beradaptasi dengan nyerinya. Intervensi Pain managemen, medication management, Oksigen
management. Evaluasi : Pasien dapat beradaptasi dengan nyerinya
2 Tn. HP, 20 tahun, Pengkajian status kesehatan : Mengeluh sesak nafas, hilang timbul, mual (+), muntah (-), BB turun 10 kg
diagnosa infeksi dalam 3 bulan, EKG sinus rhytm, T inverted di V1-V3, TD 119/71, HR 75x/mnt
endokarditis, PS Pengkajian konservasi :lingkungan internal : VSD closure, vegetasi, kultur darah streptococus
valvular, infundibuler , hemolitikus, demam naik turun sejak 4 bulan terakhir. Pasien sering pilek dan demam. Sesak nafas muncul
VSD, MRS 19 Maret 2013 jika berbaring, Eksternal : Pasien sering merasa kelelahan karena tugas-tugas dalam kuliah. Konservasi
Energi : Pasien tidak nafsu makan, istirahat terganggu karena sesak Integritas Struktur : Pasien dilberikan
terapi antibiotik dan antipiretik, hemodinamik pasien stabil. Integritas Sosial : Pasien masih kuliah, orang
tua selalu menunggu di rumah sakit.Diagnosa : Penurunan cardiac output. Tujuan : Cardiac pump
effektivenes. Intervensi : Cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi :
Hemodinamik stabil, sesak berkurang
Post Operasi
1 Tn. MT, 68 tahun, Pengkajian status kesehatan : mengeluh nyeri luka operasi, masih takut bergerak, post operasi CABG hari
Diagnosis, Post CABG 4x, ke-2, stenosis di LAD, RCA distal, OM1,2. EKG sinus takikardi, cardiomegali, CTR 65%. TD : 150/80
CAD, 3VD, EF 68%2ruang mmHg, Nadi 105 x/mnt, RR : 20 x/mnt.
IWB, MRS 10 Desember Pengkajian konservasi :lingkungan internal : stenosis koroner, infark myokard, post CABG hari ke-2,
2012 nyeri luka operasi, takut bergerak. Konservasi Energi : makan minum tidak bermasalah, cukup istirahat
Integritas Struktur : Paska operasi masih terpasang WSD substernal, intrapleural, Hemodinamik belum
stabil. Mendapat terapi captopril 10 mg, paracetamol 500 mg. Integritas Sosial : Pensiunan yang masih
aktif.Diagnosa : Nyeri akut luka operasi, risiko penurunan cardiac output. Tujuan : Nyeri berkurang, Cardiac
pump effektiveness. Intervensi Pain management, medication management, Oksigen management. Evaluasi
: Pasien dapat beradaptasi dengan nyeri, risiko penurunan cardiac output
Valve disease
1 Tn. AH, 20 tahun, Pengkajian status kesehatan : mengeluh sesak dan nyeri dada saat aktifitas, EKG sinus takikardi,
Diagnosis VSD dengan cardiomegali, CTR 65%. TD : 111/70 mmHg, Nadi 100 x/mnt, RR : 20 x/mnt.SpO2 88%
Eisenmengerisasi, GP 2, Pengkajian konservasi :lingkungan internal : VSD sejak bayi, menolak operasi karena biaya, sering sesak
MRS 27 September 2012 nafas dan nyeri dada, cepat lelah, Konservasi Energi : makan minum tidak bermasalah, cukup istirahat
Integritas Struktur : Pasien direncanakan operasi, memperbaiki keadaan umum,. Integritas Sosial : Anak
keduama dari 4 bersaudara, ayahnya selalu menunggu di rumah sakit.Diagnosa : Nyeri dada, penurunan

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


cardiac output. Tujuan : Nyeri berkurang, Cardiac pump effektiveness. Intervensi Pain management,
medication management, Oksigen management. Evaluasi : Pasien dapat beradaptasi dengan nyeri, risiko
penurunan cardiac output
2 Nn. DA, 21 tahun, Pengkajian status kesehatan : sejak remaja ditemukan kelainan katup jantung, mengeluh sesak dan nyeri
diagnosa AR sev, MR dada saat aktifitas, hasil echocardiografy menunjukan AR sev, MR mod, MS mod, PH sev,
mod, MS mod, PH sev, Tindakan MVR dan AVR, EKG sinus rytm selama tindakan, TD : 111/70 mmHg, Nadi 100 x/mnt, RR : 20
Tindakan MVR dan AVR, x/mnt.SpO2 88%
BB 37 kg, TB 160 cm, Pengkajian konservasi :lingkungan internal : VSD sejak remaja, menolak operasi karena biaya, sering
MRS 06 Desember 2012 sesak nafas dan cepat lelah dengan aktivitas minimal, Konservasi Energi : pasien dipuasakan untuk tindakan
operasi. cukup istirahat Integritas Struktur : Pasien dilakukan operasi perbaikan katup, selama operasi
hemodinamik pasien stabil. Integritas Sosial : Anak kedua dari 3 dari 4 bersaudara, ibunya selalu menunggu
di rumah sakit.Diagnosa : penurunan cardiac output. Tujuan : Cardiac pump effektiveness. Intervensi
medication management, Oksigen management. Evaluasi : Pasien dapat beradaptasi dengan risiko
penurunan cardiac output
Arytmia
1 Tn. BJ, 27 tahun, Pengkajian status kesehatan : Mengeluh berdebar-debar, sesak nafas dan rasa tidak nyaman di dada tiba-
arytmia, SVT, 150x/mnt, tiba ketika sedang ngobrol, pasien sudah beberapa kali masuk rumah sakit dengan keluhan yang sama dan
sering timbul sudah pulang kembali jika masalah sudah teratasi Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Kelainan pada
sejak kecil, MRS 15 impuls jantung, sudah diderita sejak kecil Eksternal : Pasien biasa olah raga dan tidak merokok Konservasi
Maret 2013 Energi : Pasien makan cukup, istirahat cukup Integritas Struktur : Pasien sering muncul keluhan jika
sedang stres, terlalu lelah atau bahkan sedang santai. EKG SVT, diberikan ATP 10 mg, kembali sinus.
hemodinamik pasien masih stabil. Integritas Sosial : Pasien belum menikah, berangkat ke rumah sakit
sendiri, Diagnosa : Penurunan cardiac output Tujuan : Cardiac pump effektiveness Intervensi : airway
managemen, cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi : hemodinamik stabil.
2 Tn. SP, 43 tahun, Pengkajian status kesehatan : Mengeluh dada berdebar-debar sudah 2 minggu terakhir smrs. Sesak saat
Arytmia, atrial flutter, sejak 2 jam smrs dan sesak bertambah saat aktivitasah, disertai udema di kaki , TD : 130/90, HR : 155x/mnt,
atrial fibrilasi, CHF FC III, RR 20 x/mnt
rencana Ablasi 3D, MRS Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Terdapat cardiomegali, CTR>60%, sudah pernah didiagnosa
12 November 2012 hypertropy cardiomiopati, Faktor risiko dyslipidemia., Eksternal : pasien kurang olah raga. Konservasi
Energi : Pasien makan sedikit, istirahat kurang karena sesak, Integritas Struktur : Pasien dilberikan terapi
captopril, lasix, EKG takikardia. Integritas Sosial : Pasien seorang bapak, dengan 2 orang anak, suami
sudah meninggal.Diagnosa : pola nafas, penurunan cardiac output Tujuan : pola nafas efektif, Cardiac

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


pump effektiveness Intervensi : cardiac care, medication management, Oksigen management. Evaluasi :
sesak berkurang, pasien dapat beradaptasi dengan penurunan cardiac output, hemodinamik stabil.
Diseksi Aorta
1 Ny, SH, 55 tahun, diseksi Pengkajian status kesehatan : Mengeluh sesak nafas sudah 1 minggu smrs. DOE (+), nyeri punggung saat
aorta debakey I, CHF FC berbaring , TD : 90/50, HR : 103, sinus takikardi, EF 30%.
III, ec. Old anterior MCI, Pengkajian konservasi :lingkungan internal : Faktor risiko post menopouse, , dyslipidemia., ada
rencana Benttal cardiomegali, CTR >60%Eksternal : Pasien jarang kontrol kesehatan, riwayat jantung koroner dan gagal
procedure, mRS 25 jantung. Konservasi Energi : Pasien makan sedikit, istirahat kurang karena nyeri dan sesak, Integritas
September 2012 Struktur : Pasien dilberikan terapi ISDNl, ascardia, lasix, EKG takikardia. Integritas Sosial : Pasien seorang
ibu rumah tangga, dengan 2 orang anak, suami sudah meninggal.Diagnosa : penurunan cardiac output
Tujuan : Cardiac pump effektiveness Intervensi : cardiac care, medication management, Oksigen
management. Evaluasi : pasien dapat beradaptasi dengan penurunan cardiac output, hemodinamik stabil.

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


PANDUAN
PEMBERIAN OBAT DENGAN KEWASPADAAN TINGGI
(HIGH ALERT MEDICATIONS)

 AGONIS ADRENERGIK: ADRENALIN


 SEDASI-HIPNOTIK: PROPOFOL
 KONSENTRAT ELEKTROLIT: KALIUM CHLORIDE 7,4%
DI RUANG ICU DEWASA
RS PUSAT JANTUNG NASIONAL HARAPAN KITA JAKARTA

Inovasi Praktek Residensi 3


PROGRAM NERS SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
KEKHUSUSAN KARDIOVASKULAR
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
MEI 2013

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


PANDUAN
PEMBERIAN OBAT DENGAN KEWASPADAAN TINGGI (HIGH ALERT
MEDICATIONS)
 AGONIS ADRENERGIK: ADRENALIN
 SEDASI-HIPNOTIK: PROPOFOL
 KONSENTRAT ELEKTROLIT: KALIUM CHLORIDE 7,4%
DI RUANG ICU DEWASA
RS PUSAT JANTUNG NASIONAL HARAPAN KITA JAKARTA

1. Supervisor Utama : Prof. Elly Nurrahman, DNSc


2. Supervisor klinik 1 : Ns. Rita Sekarsari, SpKV, MHSN
3. Supervisor klinik 2 : Ns. Harpen Dewi Sasmita, SpKV
4. Anggota Tim :
Ns. Dwi Nugroho Heri Saputro
Ns. Sadar Prihandana
Ns. Ani Widiastuti

Program Inovasi Praktek Residensi 3 Ners Spesialis KMB (Kardiovaskular)


Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta
Mei 2013

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


3

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


A. Latar belakang
Standar ke-3 dari 6 standar The JCI International Patient Safety Goals (IPSG) adalah
meningkatkan keamanan dari penggunaan obat-obat dengan kewaspadaan tinggi (high alert
medication) (JCI, 2010). Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1691/Menkes/Per/VIII/2011, menyebutkan rumah sakit harus mengembangkan suatu
pendekatan untuk memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai. Ruang ICU
dewasa RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RS PJNHK) Jakarta, banyak sekali
menggunakan obat-obatan yang termasuk ke dalam kategori “high alert medication”,
seperti pemberian elektrolit konsentrasi tinggi, pemberian obat intravena secara titrasi,
pemberian sedasi, serta beberapa obat kardiovaskular yang memerlukan pengawasan tinggi,
misalnya adrenalin, dobutamin, dan dopamin. Karena itu diperlukan suatu panduan bagi
perawat dalam memberikan obat “high alert” sehingga risiko kesalahan dapat
diminimalkan.

B. Tujuan
1. Sebagai acuan bagi perawat dalam memberikan obat kewaspadaan tinggi
2. Meningkatkan kewaspadaan perawat dalam memberikan obat kewaspadaan tinggi
sehingga risiko kesalahan obat dapat diminimalkan
3. Meningkatkan keselamatan pasien

C. Sasaran
Perawat yang bekerja di ICU Dewasa RS PJNHK Jakarta.

D. Ruang lingkup
Panduan ini membahas tentang kategori obat dengan kewaspadaan tinggi, peran dan
tanggung jawab perawat, perhatian perawat dalam memberikan obat kewaspadaan tinggi
yang meliputi adrenalin, propofol, dan koreksi kalium, di Ruang ICU Dewasa RS PJNHK
Jakarta

E. Pengertian “High Alert Medication”


Institute for Safe Medication Practices/ISMP (2012), mendefinisikan “High alert
medication” atau obat dengan kewaspadaan tinggi adalah obat yang mempunyai risiko
tinggi yang dapat menyebabkan kerugian yang signifikan ketika terjadi kesalahan
penggunaan (ISMP, 2012). Joint Commission International/JCI dalam Accreditation
Standards for Hospitals (2010), memasukkan obat yang termasuk ke dalam kategori
kewaspadaan tinggi adalah obat yang a) mempunyai persentasi kesalahan tertinggi, b)

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


menyebabkan dampak buruk bila diberikan tidak tepat, c) pengobatan yang mempunyai
risiko tinggi terjadinya efek samping, dan d) obat yang memiliki kemiripan baik nama
maupun bentuknya.

F. Jenis obat kewaspadaan tinggi


Jenis obat yang masuk ke dalam kategori obat kewaspadaan tinggi, tercantum dalam tabel 1
(ISMP, 2012).

Tabel 1. Jenis obat termasuk kategori kewaspadaan tinggi


No Kategori/kelas obat Contoh obat
1 Agonis adrenergik (i.v.) epinephrine, phenylephhrine, norepinephrine
2 Antagonis adrenergik (i.v.) propanolol, metoprolol, labetolol
3 Agen anestesi propofol, ketamine
(general, inhalasi, dan i.v.)
4 Anti aritmia (i.v.) lidocaine, amiodarone
5 Agen antitrombotik:
a. Antikoagulan warfarin, low molecular weight heparin (s.c.),
unfractionated heparin (i.v.)
b. Faktor Xa inhibitor Fondaparinux
c. Direct thrombin inhobitor argatroban, bivalirudin, dabigatranetexilate,
lepirudin
d. Thrombolitik alteplase, reteplase, tenecplase
e. Inhibitor glycoprotein eptifibatide
IIb/IIIa
6 Larutan kardioplegi
7 Agen kemoterapi
(parenteral dan oral)
8 Dextrose, hipertonik, 20% atau
lebih
9 Cairan dialisat (peritoneal dan
hemodialisa)
10 Obat epidural atau intrathecal
11 Obat hipoglikemik (oral)
12 Obat inotropik (i.v.) Digoksin, milrinone
13 Insulin (s.c. dan i.v.) Regular insulin
14 Obat dalam bentuk liposomal liposomal amphotericin B, amphotericin B
dan turunannya desoxycholate
15 Obat sedasi moderate dexmedetomidine, midazolam
16 Obat sedasi anak (oral) Chloralhydrate
17 Narkotik/opiat
a. i.v.
b. transdermal

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


Lanjutan tabel 1.
No Kategori/kelas obat Contoh obat
c. oral (termasuk konsentrat
cair, formulasi lepas lambat
dan cepat
18 Agen blok neuromuskular succinylcholine, rocuronium, vecuronium
19 Nutrisi parenteral
20 Agen radiokontras (i.v.)
21 Air steril (aqua) dalam kemasan
100 ml atau lebih untuk injeksi,
inhalasi, dan irigasi
22 NaCl konsentrasi lebih dari
0,9% untuk injeksi
Obat-obatan spesifik/khusus
1 Epoprostenol/Flolan (i.v.)
2 Magnesium sulate injeksi
3 Methotrexate penggunaan non onkologi (oral)
4 Opium tincture
5 Oxytosin i.v.
6 Nitroprusside sodium injeksi
7 Potassium chloride injeksi
8 Potassium phosphates injeksi
9 Promethazine (i.v.)
10 Vasopressin (i.v. atau intraosseus)

G. Strategi
Strategi yang tepat perlu disusun untuk meningkatkan keamanan pemberian obat
kewaspadaan tinggi. College of Registered Nurses of Nova Scotia/CRNNS (2011),
merumuskan strategi untuk meningkatkan keamanan pada pemberian obat kewaspadaan
tinggi, tercantum dalam tabel 2.

Tabel 2. Strategi meningkatkan keamanan pemberian obat kewaspadaan tinggi


1. Meningkatkan a. Memiliki pengetahuan tentang pemberian obat, meliputi:
kompetensi 1) Tekhnik aseptik
2) Matematika, dalam menghitung dosis
3) Nama generik dan nama dagang obat
4) Risiko interaksi obat ketika mendapat dua atau lebih obat
5) Obat yang boleh dan tidak boleh dihancurkan/ dibelah
6) Stabilitas, penyimpanan, dan pelabelan obat yang dilarutkan
b. Berkonsultasi dengan dokter penanggung jawab untuk verifikasi
ketepatan instruksi pengobatan

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


Lanjutan tabel 2
c. Melakukan pengecekan ganda (double check), meliputi:
1) Membandingkan label dan isi produk yang diterima dengan
instruksi yang tertulis di dokumentasi
2) Melakukan verifikasi setiap perhitungan obat yang
membutuhkan persiapan/pencampuran
3) Memastikan akurasi dari program pompa infus intravena
mengalir sesuai program, termasuk memasukkan berat badan
pasien
d. Memperhatikan nama obat yang mirip (look alike/sound alike)
sehingga dapat memastikan obat yang tepat
e. Melakukan pemantauan pasien selama dan sesudah pemberian
obat terhadap efek obat yang diharapkan dan efek sampingnya,
dan tindakan yang diperlukan
f. Mematuhi prinsip 10 benar dalam proses pemberian obat, yaitu:
1) benar pasien, 2) benar obat, 3) benar rute, 4) benar waktu, 5)
benar dosis, 6) benar alasan, 7) benar edukasi, 8) hak untuk
menolak, 9) benar evaluasi, dan 10) benar pendokumentasian
2. Meningkatkan a. Memeriksa riwayat pengobatan yang lalu dan sekarang
komunikasi b. Melakukan klarifikasi terhadap instruksi obat yang tidak
lengkap/jelas
c. Melakukan instruksi obat secara lisan hanya dalam keadaan
kegawatan
d. Menggunakan komunikasi yang konsisten dan jelas
e. Melakukan standarisasi tabel penghitungan dosis, misalnya x ml
= y mcg
f. Menuliskan di catatan obat atau label dengan huruf kapital untuk
membedakan obat yang mirip, misal DOBUtamine dan
DOPAmine
3. Meningkatkan a. Melakukan medication reconciliation, yaitu mencatat setiap
sistem riwayat obat yang telah diberikan kepada pasien
b. Menyiapkan dan mencampur obat di tempat yang bebas dari
gangguan
c. Membatasi dan melakukan standarisasi tempat penyimpanan
obat, stok, dan distribusi
d. Melakukan standarisasi peralatan untuk memberikan obat,
infusion pump, dengan meminimalkan pilihan merek dan jenis
alat, dan meningkatkan kemampuan dalam mengoperasionalkan
alat tersebut
e. Menyediakan tempat yang aman dan memadai untuk
menyiapkan pengobatan
4. Meningkatkan a. Melakukan edukasi dan memotivasi pasien untuk menanyakan
budaya obat yang digunakan
b. Menunjukkan perhatian pada setiap aspek dari tahapan
pemberian obat

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


Lanjutan tabel 2
c. Melihat instruksi bersama pasien saat pasien menunjukkan
perhatian tentang pengobatannya
d. Selalu mengidentifikasi penyebab masalah dari sistem yang
dapat mengakibatkan kesalahan pengobatan
e. Menciptakan budaya “tidak menyalahkan” sehingga kesalahan
penggunaan obat dapat tercatat
f. Melakukan pemantauan pasien selama dan sesudah pemberian
obat terhadap efek obat yang diharapkan dan efek sampingnya,
dan tindakan yang diperlukan
g. Menyimpan obat di lokasi yang aman bila ternyata obat belum
digunakan setelah disiapkan
h. Membuat label obat: Label di tempat infus adalah nama pasien,
obat, jumlah obat yang dimasukkan, data, dan waktu. Label di
pompa infus adalah obat, konsentrasi, dan tetesan infus. Label di
ujung selang adalah nama obat dan tempat insersi iv.
5. Meningkatkan a. Melakukan pencampuran obat secara benar. Perawat hanya
kewaspadaan memberikan obat yang disiapkan sendiri, kecuali dalam keadaan
emergensi yang membutuhkan kerja tim
b. Memperhatikan pemberian obat dengan dosis rentang dengan
memperhatikan klinis pasien
c. Memperhatikan pemberian obat yang diberikan dengan sliding
scale, algoritme, dan dosis koreksi, disesuaikan hasil
pemeriksaan laboratorium rutin dan keadaan klinis pasien
d. Membagi pil secara terukur dengan alat pemecah pil

H. Tanggung jawab dan kewenangan perawat


Perawat mempunyai tanggung jawab dan kewenangan dalam memberikan obat
kewaspadaan tinggi. Tanggung jawab dab kewenangannya adalah (CARNA, 2007):
a. Perawat yang dapat memberikan obat kewaspadaan tinggi adalah perawat yang
memiliki kompetensi tentang obat kewaspadaan tinggi.
b. Sebelum diberikan obat, perawat bertanggung jawab dalam mengkonsultasikan obat
dengan dokter yang menginstruksikan bila perawat mempunyai pertanyaan atau
masalah dengan obat yang diresepkan
c. Perawat dapat menggunakan “professional judgment” dalam parameter protokol medis,
untuk menentukan apakah pasien masuk kriteria untuk intervensi
d. Perawat harus menyiapkan sendiri obat yang akan diberikan ke pasien
e. Perawat mempunyai fleksibilitas untuk membuat keputusan dosis yang diberikan
berdasarkan kondisi klinis pasien, bila dosis yang diresepkan dalam bentuk dosis
rentang (range dose)

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


f. Perawat harus melakukan verifikasi persetujuan pasien sebelum diberikan obat dosis
awal atau ketika terapi obat berubah. Ketika pasien menolak pengobatan, perawat harus
bisa menentukan alasan penolakan dan kaji tingkat pemahaman pasien tentang efek obat
g. Perawat mendokumentasikan obat yang diberikan sendiri. Perawat tidak diperkenankan
untuk mendokumentasikan obat yang diberikan oleh perawat lain, kecuali dalam
keadaan kegawatan.
h. Perawat mendokumentasikan obat secara lengkap meliputi: nama pasien, nama obat,
dosis dan rute obat, waktu pemberian, dan tanda tangan perawat yang memberikan.
i. Perawat mendokumentasikan informasi yang berhubungan dengan pemberian obat,
misal pertanyaan pasien, keluhan pasien, penolakan pasien, intervensi tambahan seperti
edukasi kepada pasien, dan efek terapeutik atau efek samping.

I. Pemberian adrenalin
Adrenalin masuk kedalam jenis obat agonis adrenergik yang termasuk dalam obat
kewaspadaan tinggi. Tata laksana tercantum dalam tabel 3.

Tabel 3. Tata laksana pemberian obat adrenalin


Indikasi Hipotensi, cardiac output (CO) dan cardiac index (CI) yang rendah.
Kontra indikasi Jangan digunakan pada pasien dengan hipertensi, cerebral
arteriosclerosus, hipertiroidisme, glaukoma sudut sempit, selama
persalinan, atau pada pasien yang menerima obat digitalis
Efek terapeutik Mencapai tekanan darah, cardiac output dan cardiac index yang
efektif dan tanpa efek samping
Pencampuran 4 mg dalam 50cc NaCl 0,9% (80 mcg/ml)
Dosis a. Dosis awal: untuk efek inotropik, mulai dengan 0,02
mcg/kg/menit,
b. Dosis titrasi: setiap 5 menit ditambah 0,02 mcg/kg/menit sampai
maksimal 0,2 mcg/kg/menit sampai tercapai tekanan darah dan
cardiac output yang diinginkan
Rute pemberian a. Adrenalin harus diberikan melalui vena sentral, kecuali dalam
keadaan emergensi adrenalin bisa diberikan perifer
b. Infus adrenalin tidak boleh diberikan melalui tempat infus obat
dalam sirkuit hemodialisa
c. Adrenalin harus diberikan melalui pompa infus
Pengecekan ganda a. Bandingkan label dan isi produk yang diterima dengan instruksi
yang tertulis
b. Verifikasi pencampuran obat
c. Pastikan penghitungan tetesan infus awal tepat sesuai berat badan
pasien, dan tepat memasukkan pada infusion pump, termasuk
mengubah dosis titrasi pasien
Kewaspadaan a. Adrenalin hanya diberikan di area perawatan kritis dimana pasien

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


perawat sudah terpasang monitor jantung
b. Validasi instruksi untuk konsentrasi cairan, jumlah tetesan awal,
parameter tekanan darah awal. Instruksi harus dalam bentuk
mcg/kg/menit
c. Pastikan oksigenasi pasien adekuat ditandai dengan saturasi
oksigen 98-100%
d. Catat parameter hemodinamik untuk menentukan titrasi obat.
Parameter yang digunakan adalah tekanan darah sistole 100-120
mmHg, MAP > 60, atau CI>2).
e. Monitor tekanan darah pasien selama 5 menit di awal, kemudian
tiap 30 menit sampai 1 jam sampai terlihat tekanan darah yang
stabil atau cardiac output tercukupi
f. Monitor adanya nyeri dada, aritmia (terutama takikardi), dan
hipertensi. Sakit kepala, pusing, cemas, dan penurunan aliran
darah ke ginjal juga sering terjadi.
g. Laporkan bila tidak tercapai peningkatan tekanan darah sistolik
dan MAP pada keadaan dosis maksimal, takikardi atau aritmia
lain, dan perubahan signifikan lainnya.
h. Dokumentasikan setiap perubahan dosis yang terjadi, meliputi
waktu, dosis, dan parameter heodinamik pasien

J. Pemberian Propofol
Propofol adalah obat general anaestesi yang bekerja cepat dengan efek kerja dicapai dalam
waktu 40 detik. Propofol adalah cairan emulsi yang terdiri dari minyak dan air yang
berwarna putih yang bersifat isotonik dengan kepekatan1% (1ml=10 mg) dan mudah larut
dalam lemak. Propofol masuk ke dalam obat kewaspadaan tinggi. Tata laksana pemberian
propofol tercantum dalam tabel 4.

Tabel 4. Tata laksana pemberian obat propofol


Indikasi Sedasi dan hipnotik pada induksi maupun pemeliharaan pada
anestesi, pada pasien terintubasi atau pasien yang gelisah
Lanjutan tabel 4.
Kontra indikasi Tidak direkomendasikan untuk induksi pada pasien dibawah usia 3
tahun maupun pemeliharaan anestesi pada usia dibawah 2 bulan
karena keamanan dan keefektivitasnya tidak dipastikan
Efek terapeutik Pemeliharaan sedasi pada pasien terintubasi dan penurunan stress
pasien
Pencampuran Kemasan 200 mg dalam 10 ml, tidak dilakukan pencampuran
Dosis a. Dosis awal: 10 mcg/kg/menit, atau sesuai dengan instruksi
medis.
b. Dosis pemeliharaan: 5 mcg/kg/menit
c. Dosis titrasi: 10 mcg/kg/menit setiap 5-10 menit sampai tingkat
sedasi yang diinginkan dicapai (dengan dosis maksimum 50
mcg/kg/menit).

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


d. Pasien akan dipertahankan pada tingkat infus 10 sampai 50 mcg/
kg/menit.

Rute pemberian a. Pemberian melalui intra vena dengan kontrol infusion pump
b. Pemberian propofol secara bolus tidak dianjurkan, karena dapat
menyebabkan hipotensi, bolus hanya digunakan dalam keadaan
darurat untuk meningkatkan kedalaman sedasi secara cepat
Pengecekan ganda a. Bandingkan label dan isi produk yang diterima dengan instruksi
yang tertulis
b. Lakukan pemeriksaan visual botol obat terhadap partikel dan
perubahan warna
c. Pastikan penghitungan tetesan infus awal tepat sesuai dengan
berat badan pasien, dan tepat memasukkan pada infusion pump,
termasuk mengubah dosis titrasi pasien
Kewaspadaan a. Monitor adanya efek samping yang harus diperhatikan:
perawat 1) Pernafasan: depresi pernafasan, sesak nafas, bronkospasme
dan laringospasme.
2) Kardiovaskular: hipotensi, aritmia, takikardia, bradikardia,
dan hipertensi.
3) Susunan saraf pusat: sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, gerakan klonik-mioklonik, opistotonus,
kejang, mual dan muntah.
4) Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga
dianjurkan dicampur dengan lidokain pada saat pemberian.
Cara lain untuk mengurangi nyeri pada saat pemberian
propofol adalah dengan cara memilih vena yang besar.
b. Monitor tanda vital tiap 1 jam selama titrasi aktif
c. Berikan bersama dengan analgesik narkose bila perlu, karena
propofol tidak memiliki sifat analgesik
d. Ganti spuit dan selang infus setiap 12 jam, dengan tekhnik
aseptik yang ketat, karena propofol merupakan tempat yang baik
untuk perkembangbiakan mikroorganisme

Lanjutan tabel 4.

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


e. Pantau kadar lipid darah pada pasien dengan hiperlipidemi atau
yang berisiko terjadi hiperlipidemi
f. Hentikan bila kadar trigliserida menjadi sangat tinggi
g. Hentikan propofol 10-15 menit sebelum dilakukan ekstubasi.
h. Bila terjadi hipotensi ringan selama titrasi, kurangi kecepatan
infus dan tinggikan ekstremitas bawah pasien
i. Bila terjadi hipotensi berat dan bradikardi (depresi
kardiovaskular), hentikan infus propofol dan berikan terapi
vasopresor dan cairan intravena
j. Dokumentasikan setiap perubahan dosis yang terjadi, meliputi
waktu, indikasi, perubahan dosis, dan parameter hemodinamik

K. Pemberian KCl 7,4%


Koreksi hipokalemi merupakan hal yang sederhana tetapi bila tidak tepat dalam
melakukannya dapat mengakibatkan gejala yang memburuk, bahkan kematian. Hipokalemi
seringkali asimptomatik dan ditemukan bila dilakukan pemeriksaan elektrolit.
Hipokalemi ringan meningkatkan kecenderungan aritmia jantung pada pasien iskhemik,
gagal jantung atau hipertrofi ventrikel kanan. Asupan kalium harus dipikirkan untuk
menambah kalium pada level 3,5-4 mmol/L, tidak perlu menunggu kadar kalium turun
sampai < 3,5 mmol/L. Potensi digoksin untuk menyebabkan komplikasi aritmia jantung
bertambah bila ada hipokalemi pada pasien gagal jantung, sehingga kadar kalium serum
dipertahankan dalam kisaran 4,5-5 mmol/L.
Tatalaksana pemberian elektrolit KCl 7,4% tercantum dalam tabel 5.
Tabel 5. Tata laksana pemberian KCl 7,4%
Indikasi Koreksi Kalium atau untuk pemeliharaan kadar kalium darah post
operasi jantung
Kontra indikasi KCl tidak boleh diberikan sebelum didapatkan nilai kadar kalium
melalui pemeriksaan laboratorium
Efek terapeutik Kadar Kalium tercapai 4,0-4,5 mmol/L
Pencampuran a. Pemberian KCl harus diencerkan dalam volume yang besar,
dengan konsentrasi minimal adalah 80 mEq per liter.
b. Dalam kasus dimana dibutuhkan kalium secara cepat, dapat
diencerkan dengan 50-100 ml.
c. Konsentrasi yang direkomendasikan:
1) Pemeliharaan: 60 mEq per liter
2) Vena perifer: 20 mEq per 100 ml atau 40 mEq per 250 ml
3) Vena sentral: 40 mEq per 100 ml
d. Cara mencampur KCl adalah melepas terlebih dahulu insersi
yang ada di plabot, kemudian masukkan cairan KCl ke
dalammya, dan secara perlahan dikocok 10 kali untuk
memastikan tercampur sempurna.
e. Jangan memasukkan cairan KCl ketika plabot tergantung dan
tersambung dengan selang infus, karena cairan akan langsung
menuju ke bawah dan konsentrasi di bawah akan lebih tinggi.

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


Dosis Dosis total pemberian adalah 20-60 mEq dalam 24 jam dan tidak
boleh lebih dari 200 mEq dalam 24 jam
Rute pemberian c. Pemberian KCl harus melalui kontrol syringe pump
d. Pemberian KCl diatas 10 mEq harus melalui vena sentral dan
dengan kontrol intensif monitor jantung
e. Pemberian KCl tidak boleh diberikan secara bolus atau secara
push
Pengecekan ganda a. Identifikasi pasien
b. Bandingkan label dan isi produk yang diterima dengan instruksi
yang tertulis
c. Verifikasi pencampuran obat
d. Pastikan penghitungan tetesan infus awal tepat sesuai dengan
hasil laborat dan tepat memasukkan pada infusion pump,
termasuk mengubah dosis koreksi pasien
Kewaspadaan a. Monitor efek samping peningkatan kalium, yaitu: nyeri
perawat abdomen, bradikardi, nausea, muntah, disfagia, bingung,
kelemahan otot, distress respirasi, cardiac arrest, dan perubahan
EKG.
b. Periksa kadar kalium darah setiap 6 jam setelah koreksi, dan
setiap 12 jam untuk pemberian kalium secara maintenans.
c. Dokumentasikan pemberian KCl meliputi kadar kalium sebelum
diberikan, waktu pemberian, dosis, dan rute pemberian

L. Standar prosedur operasional (SPO)


Panduan obat dengan kewaspadaan tinggi dibuat setelah melalui proses konsultasi dan
koordinasi dengan pembimbing dan unit terkait untuk dapat memfasilitasi kebutuhan dan
harapan dari Rumah Sakit. Masukan dan saran yang ada kemudian disesuaikan dengan
referensi dan standar dari akreditasi internasional (JCI). Untuk dapat diimplementasikan
kepada pasien, maka panduan obat dengan kewaspadaan tinggi perlu dituangkan dalam
bentuk standar prosedur operasional (SPO) sehingga memudahkan perawat dalam bekerja.

Standar prosedur operasional ini dibuat menurut jenis obat atau nama obat guna
mengurangi risiko kesalahan akibat pemberian obat. Mengingat banyaknya jenis obat
kewaspadaan tinggi, maka kami memilih jenis obat yang banyak digunakan di unit ICU
dewasa serta memiliki risiko tinggi timbulnya kesalahan dalam pemberian. Adapun SPO
tersebut adalah sebagai berikut :

10

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


PROSEDUR KEAMANAN PEMBERIAN
OBAT “HIGH ALERT” AGONIS ADRENERGIK:
ADRENALIN
No. Dokumen No. Revisi Halaman: 2

Ditetapkan
Direktur Utama,

SPO Tanggal terbit:


dr. Hananto Andriantoro, Sp.JP(K), FIHA
NIP. 195711041986101001

Pengertian Adrenalin adalah obat yang masuk kategori obat kewaspadaan tinggi,
yang dapat menyebabkan kerugian yang signifikan ketika terjadi
kesalahan penggunaan.
Tujuan Meningkatkan keamanan dalam pemberian obat adrenalin
Kebijakan Setiap pasien yang mendapatkan Adrenalin masuk dalam kategori
Obat Kewaspadaan Tinggi, sehingga pemberian Adrenalin harus
terpasang monitor jantung, diberikan melalui vena sentral, dan
dikontrol dengan infusion pump.
Prosedur: 1. Verifikasi instruksi obat. Dokumentasikan obat yang akan
diberikan secara jelas, dokter yang meresepkan, waktu
pemberian, jumlah dosis, rute pemberian, dan cara pemberian
apakah single dose, uptitrasi, sliding scale, atau dosis rentang.
2. Verifikasi indikasi pemberian adrenalin: hipotensi, cardiac output
(CO) dan cardiac index (CI) yang rendah.
3. Pastikan tidak ada kontra indikasi: pasien dengan hipertensi,
cerebral arteriosclerosus, hipertiroidisme, glaukoma sudut
sempit, selama persalinan, atau pada pasien yang menerima obat
digitalis.
4. Validasi instruksi untuk konsentrasi cairan, jumlah tetesan awal,
parameter tekanan darah awal.
5. Pastikan instruksi ditulis dalam bentuk mcg/kg/menit.
6. Lakukan pengecekan ganda (double check) dengan perawat
kedua sebelum diberikan. Pengecekan meliputi:
a. Membandingkan label dan isi produk yang diterima dengan
instruksi yang tertulis di dokumentasi
b. Melakukan verifikasi setiap perhitungan obat yang
membutuhkan persiapan/pencampuran
c. Menjamin akurasi dari program pompa infus intravena
mengalir sesuai program, termasuk memasukkan berat badan
pasien.
7. Buat label obat:
a. Label di tempat infus: nama pasien, obat, jumlah obat yang

11

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


dimasukkan, tanggal dan waktu pemberian.
b. Label di pompa infus: nama obat, konsentrasi, dan tetesan
infus.
c. Label di ujung selang adalah nama obat dan tempat insersi iv
8. Pastikan oksigen pasien adequat ditandai dengan saturasi O2 98-
100%.
9. Lakukan pencampuran obat secara benar. Perawat hanya
memberikan obat yang disiapkan sendiri, kecuali dalam keadaan
emergensi yang membutuhkan kerja tim
10. Pastikan saat memulai infus, catat parameter hemodinamik untuk
menentukan titrasi obat. Parameter yang digunakan adalah
tekanan darah sistole 100-120 mmHg, MAP > 60, atau CI>2).
11. Berikan Adrenalin dalam konsentrasi 4 mg dalam 50cc NaCl
0,9% (80 mcg/ml).
12. Berikan dosis awal mulai 0,02 mcg/kg/menit, dan setiap 5 menit
ditambah 0,02 mcg/kg/menit sampai maksimal 0,2 mcg/kg/menit
sampai tercapai tekanan darah dan cardiac output yang
diinginkan
13. Lakukan dokumentasi setiap perubahan dosis yang terjadi,
meliputi dokter yang memberikan instruksi, waktu, indikasi,
perubahan dosis, dan double check.
14. Lakukan pemantauan terhadap pasien selama dan sesudah
pemberian obat terhadap efek obat yang diharapkan dan efek
sampingnya, dan tindakan yang diperlukan, seperti pemeriksaan
darah rutin dan pemeriksaan AGD
15. Monitor tekanan darah pasien tiap 5 menit selama 30 menit
pertama, kemudian tiap 1 jam sampai terlihat tekanan darah yang
stabil atau cardiac output tercukupi
16. Monitor adanya nyeri dada, aritmia (terutama takikardi), dan
hipertensi. Sakit kepala, pusing, cemas, dan penurunan aliran
darah ke ginjal juga sering terjadi.
17. Laporkan bila tidak tercapai peningkatan tekanan darah sistolik
dan MAP pada keadaan dosis maksimal, takikardi atau aritmia
lain, dan perubahan signifikan lainnya.
18. Dokumentasikan obat yang telah diberikan
Unit terkait ICU Dewasa Lantai 2

12

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


PROSEDUR KEAMANAN PEMBERIAN
OBAT “HIGH ALERT” SEDATIVE-HIPNOTIK: PROPOFOL
No. Dokumen No. Revisi Halaman: 2

Ditetapkan
Direktur Utama,

SPO Tanggal terbit:


dr. Hananto Andriantoro, Sp.JP(K), FIHA
NIP. 195711041986101001

Pengertian Propofol adalah obat yang bersifat sedative-hipnotik dimana obat ini
mempunyai risiko tinggi yang dapat menyebabkan kerugian yang
signifikan ketika terjadi kesalahan penggunaan.
Tujuan Meningkatkan keamanan dalam pemberian propofol
Kebijakan 1. Propofol masuk dalam kategori Obat Kewaspadaan Tinggi
2. Pemberian propofol harus terpasang monitor jantung, diberikan
melalui vena sentral dengan kontrol syringe pump.
3. Propofol diberikan untuk pemeliharaan sedasi pada pasien
terintubasi dan penurunan stress pasien
4. Propofol tidak dilakukan pengenceran
5. Propofol hanya diberikan oleh perawat yang telah lulus ACLS
6. Perawat hanya memberikan obat yang disiapkan sendiri, kecuali
dalam keadaan emergensi yang membutuhkan kerja tim.
7. Dosis pemberian propofol yang direkomendasikan:
a. Dosis awal: 10 mcg/kg/menit
b. Dosis pemeliharaan: 5 mcg/kg/menit
c. Dosis titrasi: 10 mcg/kg/menit setiap 5-10 menit sampai
tingkat sedasi yang diinginkan dicapai
d. Dosis maksimum 50 mcg/kg/menit
8. Pemberian propofol secara bolus tidak dianjurkan, karena dapat
menyebabkan hipotensi. Pemberian bolus hanya digunakan
dalam keadaan darurat untuk meningkatkan kedalaman sedasi
secara cepat
Prosedur: 1. Verifikasi instruksi obat dan tempelkan copy resep di dalam
status pasien.
2. Komunikasikan dengan dokter penanggung jawab bila ada kontra
indikasi
3. Periksa secara visual botol obat terhadap partikel dan perubahan
warna.
4. Lakukan pengecekan ganda (double check) sebelum diberikan.
Pengecekan meliputi:
a. Identifikasi pasien
b. Label dan isi produk yang diterima
c. Verifikasi jumlah dosis
d. Verifikasi tetesan infus di syringe pump
5. Buat label obat:
13

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


a. Tempat infus: nama pasien, obat, jumlah obat yang
dimasukkan, tanggal dan waktu pemberian.
b. Syringe pump: nama obat, konsentrasi, dan tetesan infus.
c. Ujung selang: nama obat dan tempat insersi iv
6. Berikan propofol melalui syringe pump, dan masukkan jumlah
tetesan dengan benar sesuai dosis yang diresepkan
7. Hentikan pemberian propofol 10-15 menit sebelum dilakukan
ekstubasi
8. Monitor:
a. Tekanan darah pasien tiap 1 jam selama titrasi aktif
b. Kadar lipid darah pada pasien hiperlipidemia dan pada pasien
yang beresiko hiperlipidemi. Hentikan pemberian propofol
bila kadar trigliserida menjadi sangat tinggi.
9. Ganti spuit dan selang infus setiap 12 jam, dengan tekhnik
aseptik yang ketat.
10. Dokumentasikan setiap perubahan dosis yang terjadi, meliputi
dokter yang meresepkan, waktu, indikasi, perubahan dosis, dan
parameter hemodinamik
Unit terkait ICU Dewasa Lantai 2

14

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


PROSEDUR KEAMANAN PEMBERIAN
OBAT “HIGH ALERT” KALIUM CHLORIDE 7,4%
No. Dokumen No. Revisi Halaman: 2

Ditetapkan
Direktur Utama,

SPO Tanggal terbit:


dr. Hananto Andriantoro, Sp.JP(K), FIHA
NIP. 195711041986101001

Pengertian High alert medication” KCl 7,4% adalah obat dengan kewaspadaan
tinggi dimana dalam pemberian memiliki risiko tinggi yang dapat
menyebabkan kerugian yang signifikan ketika terjadi kesalahan
penggunaan.
Tujuan Meningkatkan keamanan dalam pemberian KCl 7,4%
Kebijakan 1. KCl 7,4% masuk dalam kategori Obat Kewaspadaan Tinggi
2. Pemberian KCl 7,4% harus terpasang monitor jantung dengan
kontrol syringe pump
3. Pemberian KCl 7,4% lebih dari 10 mEq harus diberikan melalui
vena sentral
4. KCl 7,4% hanya dapat diberikan setelah didapatkan nilai kalium
melalui pemeriksaan laboratorium
5. Kadar Kalium yang diinginkan adalah 4,0-4,5 mmol/L
6. Pengenceran KCl 7,4% direkomendasikan:
1) Dosis pemeliharaan: 60 mEq per liter
2) Dosis koreksi: 20-25 mEq per 50 ml
3) Vena perifer: 20 mEq per 100 ml atau 40 mEq per 250 ml
4) Vena sentral: 20-25 mEq per 50 ml
7. KCl 7,4% hanya diberikan oleh perawat yang telah lulus ACLS
8. Perawat hanya memberikan obat yang disiapkan sendiri, kecuali
dalam keadaan emergensi yang membutuhkan kerja tim.
9. KCl 7,4% diberikan secara drip, tidak boleh diberikan secara
bolus atau secara push
10. Pemberian dosis KCl 7,4% dikurangi apabila terdapat gangguan
fungsi renal
11. Dosis total pemberian adalah 20-60 mEq dalam 24 jam dan tidak
boleh lebih dari 200 mEq dalam 24 jam
Prosedur: 1. Verifikasi instruksi obat dan tempelkan copy resep di dalam
status pasien.
2. Pastikan pasien terpasang infus vena sentral, monitor jantung, dan
tersedia syringe pump
3. Verifikasi indikasi pemberian KCl 7,4%
4. Lakukan pengenceran KCl 7,4% sesuai indikasi
5. Lakukan pengecekan ganda (double check) sebelum diberikan.
Pengecekan meliputi:
a. Identifikasi pasien

15

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


b. Label dan isi produk yang diterima
c. Verifikasi konsentrasi pengenceran
d. Verifikasi tetesan infus di syringe pump
6. Buat label obat:
a. Tempat infus: nama pasien, obat, jumlah obat yang
dimasukkan, tanggal dan waktu pemberian.
b. Syringe pump: nama obat, konsentrasi, dan tetesan infus.
c. Ujung selang: nama obat dan tempat insersi iv
7. Lakukan pengenceran KCl 7,4% dengan tepat, dengan cara:
a. Mencampur KCl 7,4% tidak boleh pada plabot yang
tergantung dan tersambung dengan selang infus
b. Lepas terlebih dahulu insersi selang ke plabot, kemudian
masukkan cairan KCl 7,4%, kemudian kocok 10 kali untuk
memastikan cairan tercampur sempurna
8. Berikan KCl 7,4% melalui syringe pump, dan masukkan jumlah
tetesan dengan benar sesuai dosis yang diresepkan
9. Monitor:
a. efek samping peningkatan kalium, yaitu: nyeri abdomen,
bradikardi, nausea, muntah, disfagia, bingung, kelemahan
otot, distress respirasi, cardiac arrest, dan perubahan EKG.
b. kadar kalium darah setiap 4-6 jam setelah koreksi
c. kadar magnesium. Magnesium yang adekuat diperlukan untuk
koreksi kalium
10. Dokumentasikan pemberian KCl 7,4% meliputi kadar kalium
sebelum dan sesudah pemberian, waktu pemberian, dosis, dan
rute pemberian
Unit terkait ICU Dewasa Lantai 2

Penutup
Perubahan membutuhkan kesabaran dan keinginan untuk menjadi lebih baik, sehingga
dapat melalui proses pengenalan, pemahaman maupun implementasi dengan hasil yang
baik. Dengan berfokus pada keselamatan pasien (patient safety) serta peningkatan
kualitas pelayanaan, maka perubahan akan terasa ringan dan mudah untuk
dilaksanakan. Atas dasar tersebut, kami dapat memberikan beberapa saran sebagai
berikut :
1. Pemberian obat kewaspadaan tinggi merupakan salah satu point dari six goal
patient safety menurut JCI dan merupakan tanggung jawab sekaligus tanggung
gugat perawat untuk memberikan obat sehingga dibutuhkan kesungguhan dan
keinginan yang kuat untuk dapat memberikan obat dengan benar sesuai prosedur
standar
16

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


2. Rumah sakit dapat memfasilitasi kebutuhan alat secara menyeluruh dan
berkelanjutan seperti penyediaan sarung tangan karena pemberian obat
kewaspadaan tinggi selalu membutuhkan sarung tangan guna meningkatkan
keselamatan pasien dan petugas kesehatan sesuai six goal patient safety.
3. Prosedur pemberian obat kewaspadaan tinggi dapat menjadi prosedur standar
keperawatan di unit ICU sehingga diharapkan dapat mengurangi risiko kesalah
akibat pemberian obat tersebut.

Laporan Inovasi ini menjadi bukti pelaksanaan kegiatan inovasi di unit ICU RS pusat
jantung nasional harapan kita jakarta sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab kami untuk
dapat menerapkan salah satu dari international patient safety goal dari JCI yang bertujuan
menurunkan risiko cedera pada pasien dengan terapi obat kewaspadaan tinggi. Kami
berharap. Kami berharap, semoga laporan ini dapat menjadi bahan pertimbangan dari pihak
managemen rumah sakit dalam menerapkan asuhan keperawatan guna meningkatkan
kualitas asuhan keperawatan dan keselamatan pasien

Jakarta, Mei 2013

Residensi Peminatan kardiovaskuler


Ani, Dwi, Sadar

17

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


DISTRIBUSI RATA-RATA TEKANAN DARAH SYSTOLIK
MENURUT PENGUKURAN PRE DAN POST LATIHAN

Variabel Mean SD SE P Value N


Tekanan 121.5 24.375 5.45
darah systolik
pengukuran 1
0.001 20
Tekanan 112.7 19.421 4.34
darah systolik
pengukuran 2

DISTRIBUSI RATA-RATA TEKANAN DARAH DIASTOLIK


MENURUT PENGUKURAN PRE DAN POST LATIHAN

Variabel Mean SD SE P Value N


Tekanan 64.1 24.375 9.9
darah systolik
pengukuran 1
0.007 20
Tekanan 60.95 19.421 9.38
darah systolik
pengukuran 2

DISTRIBUSI RATA-RATA FREKUENSI JANTUNG


MENURUT PENGUKURAN PRE DAN POST LATIHAN

Variabel Mean SD SE P Value N


Frekuensi 91.1 9.5 2.1
jantung
pengukuran 1
0.003 20
Frekuensi 87.3 9.0 2.0
jantung
pengukuran 2

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012


DISTRIBUSI RATA-RATA FREKUENSI PERNAFASAN
MENURUT PENGUKURAN PRE DAN POST LATIHAN

Variabel Mean SD SE P Value N


Frekuensi 28.3 16.9 3.7
pernafasan
pengukuran 1
0.01 20
Frekuensi 17.5 4.2 0.91
pernafasan
pengukuran 2

DISTRIBUSI RATA-RATA SATURASI OKSIGEN PERIFER


MENURUT PENGUKURAN PRE DAN POST LATIHAN

Variabel Mean SD SE P Value N


Saturasi 94.50 15.9 3.5
oksigen
pengukuran 1
0.002 20
Saturasi 99.0 1.2 0.28
oksigen
pengukuran 2

Analisis laporan....., Ani Widiastuti, FIK UI, 2012

Anda mungkin juga menyukai