Anda di halaman 1dari 177

UNIVERSITAS INDONESIA

PENDEKATAN MODEL KONSERVASI LEVINE PADA


PERAWATAN PASIEN DIABETES MELITUS DENGAN
PERIPHERAL ARTERIAL DISEASE (PAD)

KARYA ILMIAH AKHIR

Desak Made Widyanthari


1106042706

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
DEPOK
2014

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


UNIVERSITAS INDONESIA

PENDEKATAN MODEL KONSERVASI LEVINE PADA


PERAWATAN PASIEN DIABETES MELITUS DENGAN
PERIPHERAL ARTERIAL DISEASE (PAD)

KARYA ILMIAH AKHIR

Desak Made Widyanthari


1106042706

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
DEPOK
2014

ii

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmataNya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan praktek residensi spesialis
keperawatan medikal bedah ini. Selama proses pelaksanaan praktik residensi
selama 1 tahun hingga penulisan laporan Karya Ilmiah Akhir ini penulis
mendapat banyak bantuan, bimbingan, motivasi dan doa dari berbagai pihak,
karena itu pada kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada:

1. Dr. Ratna Sitorus, S.Kp., M.APP.Sc., selaku Supervisor Utama yang telah
memberikan bimbingan dengan penuh perhatian dan kesabaran pada penulis
dalam penyusunan laporan ini.
2. Yulia, S.Kp.,MN.,PhD selaku Supervisor yang telah memberikan bimbingan
dan arahan dengan penuh kesabaran pada penulis dalam penyusunan laporan
ini.
3. Yunisar Gultom, SKp.,MCIN selaku Supervisor Klinik yang telah
membimbing penulis selama menjalani praktek residensi di RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta.
4. Dra. Juaniti Sahar, M.App.Sc., PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
5. Direktur RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta beserta staf struktural
maupun fungsional yang telah memberikan ijin dan kesempatan pada kami
untuk melakukan kegiatan praktek residensi.
6. Penanggung jawab, Kepala ruangan dan perawat ruangan lantai 7 Gedung A ,
Poliklinik penyakit dalam dan IGD RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis selama
melakukan kegiatan praktek residensi.
7. Teman sejawat Program Residensi Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu
Keperawatan angkatan 2011 yang telah memberikan dukungan moril selama
penyusunan laporan ini.

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


8. Suamiku tercinta Sang Kompiang Gde Suyastawan, anakku Sang Ayu Putu
Carissa Indridita, Kedua Orang Tuaku dan mertua tersayang, serta seluruh
keluarga yang telah memberikan semangat, motivasi dan doa sehingga
menjadi penyemangat bagi penulis selama menjalani praktek residensi dan
menyelesaikan penulisan laporan ini.
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menjalani praktek
residensi dan penyelesaian laporan ini.

Tiada kata yang indah dan tulus selain ucapan terimakasih untuk semua bantuan,
dukungan dan doa yang telah diberikan kepada penulis, semoga Tuhan yang
Maha Pengasih dan Penyayang yang akan membalas dengan kebaikan.

Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran demi
penyempurnaan laporan ini sangat dibutuhkan dan semoga laporan ini bermanfaat
bagi pengembangan dan peningkatan ilmu keperawatan.

Depok,

Penulis

vi

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
ABSTRAK

Nama : Desak Made Widyanthari

Program Studi : Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu


Keperawatan Universitas Indonesia

Judul : Pendekatan Model Konservasi Levine pada Perawatan


Pasien Diabetes Melitus dengan Peripheral Arterial
Disease (PAD)

Laporan ini bertujuan untuk memaparkan analisis perawatan pasien diabetes


melitus dengan Peripheral Arterial Disease (PAD) yang menggunakan model
konservasi Levine sebagai kerangka kerjanya. 31 pasien DM juga terlibat dalam
perawatan ini. Proyek tindakan keperawatan berbasis pembuktian ilmiah
(Evidence Based Nursing Paractice) dilakukan untuk meningkatkan intervensi
pengukuran Ankle Brachial Index (ABI) post exercise pada pasien DM dengan
intermiten klaudikasio. Proyek inovasi menghasilkan panduan berupa booklet
latihan kekuatan dan keseimbangan padea pasien DM dengan neuropati perifer.
Hasil analisis menunjukkan bahwa model konservasi Levine dapat diterapkan
pada perawatan pasien DM dan pengukuran ABI menunjukkan hasil yang lebih
objektif jika pengukuran dilakukan setelah latihan. Pasien DM dengan neuropati
perifer memperoleh manfaat dari latihan kekuatan dan keseimbangan melalui
pemberian booklet.

Kata kunci: model konservasi Levine, Peripheral Arterial Disease (PAD), booklet
latihan kekuatan dan keseimbangan

viii

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


ABSTRACT

Name : Desak Made Widyanthari

Study program : Medical Surgical Nursing Specialist Faculty of


Nursing University of Indonesia

Title : Levine’s Conservation Model Approach on Diabetes


Mellitus Patients with Peripheral Arterial Disease (PAD)

This report aims to describe the analysis of nursing care for diabetic patients with
Peripheral Arterial Disease (PAD) using Levine’s conservation model as a
framework. 31 diabetic patients involve in this care. The Evidence Based Nursing
Practice (EBNP) project was conducted to improve the measurement intervention
of Ankle Brachial Index (ABI) post exercise in diabetic patients with intermitten
claudicatio. The inovation project produce guideline booklet of strength and
balance exercise in patients with diabetic peripheral neuropathy. The analysis
shows that Levine’s conservation model could be applied in the care for patients
with diabetes and the ABI measurement shows more objective results following
exercise. Diabetic patients with peripheral neuropathy are benefited from the
strength and balance exercise training are given from the booklet.

Keywords: Levine’s conservation medel, Peripheral Arterial Disease (PAD),


booklets of strenght and balance exercise.

ix

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................... i
PERNYATAAN KEASALIAN .................................................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................ v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................................... vii
ABSTRAK .................................................................................................. viii
ABSTRACT ................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ............................................................................................... x
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiv
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Tujuan Penelitian .......................................................................... 5
1.3 Manfaat Penelitian ........................................................................ 5

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep DM
2.1.1. Definisi .............................................................................. 7
2.1.2. Patofisiologi ...................................................................... 7
2.1.3. Diagnosis DM ................................................................... 9
2.1.4. Faktor risiko ...................................................................... 10
2.1.5. Komplikasi DM................................................................. 10
2.1.6. Penatalaksanaan ................................................................ 15
2.2 Konsep PAD
2.2.1. Definisi ................................................................................ 24
2.2.2. Patofisiologi ........................................................................ 25
2.2.3. Faktor risiko PAD ............................................................... 26
2.2.4. Diagnosis PAD .................................................................... 28
2.2.5. Penatalaksanaan PAD ......................................................... 29
2.3 Konsep Model Konservasi Levine
2.3.1. Biografi Myra Estrin Levine ............................................... 33
2.3.2. Konsep utama model konservasi ......................................... 33
2.3.3. Paradigma keperawatan ...................................................... 35
2.3.4. Prinsip-prinsip konservasi ................................................... 36
2.3.5. Proses keperawatan model konservasi Levine .................... 39
2.4 Penerapan model levine pada pasien DM ..................................... 42

3. Peneraan model konservasi levine pada asuhan keperawatan 31 pasien DM


3.1. Gambaran umum kasus ................................................................. 49
3.2. Pembahasan................................................................................... 66

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


4. Penerapan EBN
4.1. Latar belakang ............................................................................... 88
4.2. Pembuatan PICO dan penelusuran literatur .................................. 90
4.3. Pelaksanaan EBN .......................................................................... 92
4.4. Hasil penerapan EBN .................................................................... 93
4.5. Pembahasan................................................................................... 94

5. Kegiatan inovasi kelompok


5.1. Latar belakang ............................................................................... 97
5.2. Analisis situasi .............................................................................. 97
5.3. Kegiatan inovasi............................................................................ 99
5.4. Pembahasan................................................................................... 104

6. Simpulan dan Saran


6.1. Simpulan ....................................................................................... 107
6.2. Saran ............................................................................................. 107

DAFTAR REFERENSI .............................................................................. 109

xi

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Penilaian fungsional menggunakan Barthel Index 49

Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Glukosa Darah Ny N 50

Tabel 3.3 Status Kaki Diabetik 52

Tabel 4.1 Distribusi responden berdasarkan usia, lama DM, nilai ABI saat 81
istirahat dan setelah latihan

Tabel 4.2 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, riwayat 81


merokok dan riwayat hipertensi

Tabel 5.1 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dan tingkat 89


Pendidikan

Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan usia dan lama DM 89

Tabel 5.3 Hasil penilaian latihan 90

Tabel 5.4 Hasil penilaian evaluasi booklet 91

xii

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Profil farmakokinetik insulin manusia dan insulin analog 21

Gambar 2.2 Model konservasi Levine 36

Gambar 3.1 Penerapan model konservasi Levine pada Ny N 61

xiii

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Rencana asuhan keperawatan pada Ny N


Lampiran 2 Gambaran 30 Kasus Kelolaan Dengan Menggunakan
Pendekatan Model konservasi energi
Lampiran 3 Data demografi pasien
Lampiran 4 Protokol intervensi pengukuran ABI post exercise
Lampiran 5 Booklet latihan kekuatan dan keseimbangan
Lampiran 6 Format evaluasi quesioner booklet
Lampiran 7 Daftar Riwayat Hidup

xiv

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan kelenjar endokrin akan mengakibatkan berbagai penyakit, diantaranya
malnutrisi, tiroid, gangguan metabolik, gangguan pada sistem reproduksi maupun
keganasan. Gangguan yang paling banyak terjadi yaitu gangguan pada kelenjar
pankreas yang menimbulkan Diabetes Melitus (DM). DM mencapai 75% dari
kasus gangguan endokrin, selanjutnya diikuti oleh gangguan pada kelenjar tiroid
(15-20%) dan sisanya merupakan gangguan pada kelenjar lain yang menimbulkan
adanya disfungsi ereksi, gangguan hormonal bahkan keganasan
(http://kabelankunia.wordpress.com). DM merupakan suatu penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya (Sudoyo, 2009). Seseorang dikatakan menderita
DM bila terdapat gejala klasik DM dan kadar gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dl
atau gejala klasik DM dan kadar gula darah puasa ≥ 126 mg/dl atau kadar glukosa
darah 2 jam PP pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl
(PERKENI, 2011).

Diabetes merupakan satu ancaman utama bagi kesehatan manusia. Menurut atlas
IDF tahun 2013, jumlah pasien diabetes di dunia telah mencapai 382 juta orang
dan prevalensinya diperkirakan akan meningkat 55% menjadi 592 juta orang pada
tahun 2035. Indonesia menempati urutan ke tujuh setelah Cina, India,USA, Brazil,
Rusia dan Meksiko untuk populasi 10 negara utama penederita DM dengan usia
20-79 tahun (IDF, 2013). Jumlah populasi pasien diabetes yang berusia 20-79
tahun di Indonesia mencapai 8.554.170 orang, dengan prevalensi diabetes
nasional mencapai 5.55% dan angka kematian akibat DM mencapai 172.601
orang. Jumlah pasien DM tipe 2 dengan komplikasi di ruang rawat inap RSCM
selama tahun 2013 yaitu 1151 pasien dan DM tipe 1 dengan komplikasi sebanyak
8 pasien. Sejak tanggal 1 Januari hingga tanggal 24 Juni 2014, jumlah pasien DM
tipe 2 dengan komplikasi di ruang rawat inap sebanyak 368 pasien dan DM tipe 1
dengan komplikasi sebanyak 5 pasien (Rekam Medik RSCM, 2014).

1 UNIVERSITAS INDONESIA

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


2

Sebanyak 80% pasien DM berada pada daerah dengan pertumbuhan ekonomi


rendah dan menengah. Meningkatnya prevalensi DM, khususnya pada beberapa
negara berkembang diakibatkan oleh adanya peningkatan kemakmuran di negara
bersangkutan sehingga menimbulkan perubahan gaya hidup (Suyono dalam
Sudoyo dkk, 2009). Perkembangan peningkatan prevalensi DM juga mengikuti
perubahan sosial dan budaya, peningkatan usia, meningkatnya urbanisasi,
perubahan diit, menurunnya aktifitas fisik dan perilaku yang tidak sehat lainnya.
Pasien diabetes sangat berisiko untuk terkena berbagai masalah kesehatan lainnya.
Kurangnya manajemen diabetes akan berdampak pada munculnya komplikasi
bahkan kematian secara dini (IDF, 2013).

Seperti yang telah diuraikan diatas, dengan semakin meningkatnya jumlah pasien
diabetes, maka dilakukan berbagai upaya untuk mencegah perkembangan diabetes
itu sendiri. Menurut WHO, upaya pencegahan diabetes terdiri dari; pencegahan
primer yang bertujuan untuk mencegah timbulnya hiperglikemia pada populasi
umum, pencegahan sekunder untuk menemukan pasien DM itu sendiri dan
pencegahan tersier untuk mencegah komplikasi atau kecatan lebih lanjut. Dalam
melaksanakan upaya pencegahan, sasaran utama yang ingin dicapai yaitu
mendidik masyarakat agar memiliki gaya hidup yang sehat dan menghindari pola
hidup yang berisiko. Oleh karena itu, untuk menghindari ledakan jumlah pasien
diabetes dan komplikasi yang menyertai, diperlukan kerjasama multidisplin, yaitu
tim dokter, perawat, ahli gizi atau tenaga keseahatan lainnya.

Perawat sebagai komponen dalam tim kesehatan berperan penting dalam


menangani pasien dengan gangguan sistem endokrin. Melalui pemberian praktik
keperawatan professional, perawat diharapkan memiliki pengetahuan teoritis,
terutama ilmu keperawatan sebagai ilmu dasar dan ilmu sosial sebagai landasan
untuk melakukan asuhan keperawatan. Menurut American Nursing Association
(ANA) 1996 dalam Jansen dan Stauffacher (2010), spesialis perawat klinik atau
Clinical Nurse Specialist (CNS) adalah perawat yang ahli dalam klinik, mampu
memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien, meliputi
pengkajian kesehatan, perumusan diagnosa keperawatan, melakukan intervensi

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
3

keperawatan melalui upaya promotif dan preventif serta dapat mengelola masalah
kesehatan dalam area praktik klinik spesialis. Menurut PPNI (2005), ners spesialis
diharapkan mampu menguasai sains keperawatan lanjut, mengelola asuhan
keperawatan secara terampil dan inovatif dalam upaya promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif untuk memenuhi kebutuhan bio-psiko-sosio-spiritual secara
holistik dan berdasarkan pada standar asuhan keperawatan serta standar prosedur
operasional, memperhatikan keselamatan pasien, rasa aman dan nyaman;
melakukan riset berbasis bukti klinik dalam menjawab permasalahan sains,
teknologi dalam bidang spesialisasinya; mampu bekerjasama dengan tim
keperawatan lain dan berkolaborasi dengan tim kesehatan lain.

Peran perawat spesialis dalam memberikan asuhan keperawatan dilakukan pada


31 pasien diabetes dengan berbagai komplikasi. Tahap asuhan keperawatan yang
diberikan dimulai dari melakukan pengkajian, menegakkan diagnosa, menerapkan
intervensi dan implementasi keperawatan serta mengevaluasi asuhan keperawatan
yang telah diberikan. Seluruh asuhan keperawatan yang diberikan tersebut pada
dasarnya bertujuan untuk membantu pasien memperoleh derajat kesehatan secara
optimal (Potter & Perry, 2006). Untuk memberikan asuhan keperawatan pada
pasien dengan gangguan endokrin, kesinambungan energi maupun keutuhan
struktur dalam tubuh harus menjadi perhatian perawat. Asuhan keperawatan yang
berfokus pada keseimbangan energi ini telah dikembangkan melalui suatu model
keperawatan yaitu model konservasi oleh salah seorang theorist yaitu Myra E.
Levine.

Peran residen sebagai peneliti diaplikasikan melalui penerapan Evidence Based


Nursing pemeriksaan ABI yang dilakukan setelah latihan pada pasien dengan
keluhan intermiten klaudikasio dan atau yang memiliki nilai ABI borderline 0.91-
0.99 saat istirahat. Tujuan dari penerapan EBN ini yaitu untuk deteksi dini
kejadian Peripheral Arterial Disease (PAD) pada pasien diabetes, khususnya
yang memiliki keluhan nyeri intermiten kaludikasio. PAD umumnya tidak
terdiagnosis dan kurang mendapat perawatan optimal. Hanya 40% pasien
mengalami gelaja ini dan hanya 1/3 nya yang melaporkan gejalanya pada dokter

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
4

(O’Donnell et al,2011). Ketidaktepatan dalam diagnosis PAD mengakibatkan


ketidakadekuatan penanganan PAD dan hal ini dapat mengakibatkan kodisi yang
serius seperti amputasi, gangguan kapasitas fungsional, kualitas hidup dan
depresi.

Ketidakmampuan penilaian ABI saat istirahat dalam mendeteksi stenosis arteri


ringan diakibatkan oleh terjaganya tekanan perfusi di tempat tersebut. Hal ini
sesuai dengan hukum Poisseuille, kecepatan aliran darah melalui saluran yang
sempit berbanding lurus dengan pangkat empat jari-jari saluran (May et al dalam
Russell, 2006). Selama latihan, aliran darah tidak bisa meningkat melebihi zona
stenosis meskipun penurunan resistensi dihasilkan dari dilatasi arteriol, akibatnya
tekanan darah distal akan menurun (Capellen dalam Stein, 2006).

Peran perawat spesialis berikutnya yang dilakukan residen yaitu melakukan


proyek inovasi yang disesuaikan dengan kebutuhan pada lahan praktik. Inovasi
dilakukan secara berkelompok yaitu dengan membuat booklet prosedur latihan
kekuatan dan keseimbangan pada pasien diabetes yang mengalami neuropati
perifer. Pasien diabetes berisiko untuk timbulnya berbagai macam komplikasi,
salah satunya adalah neuropati perifer. Neuropati perifer mengakibatkan gangguan
pada saraf sensorik dan motorik, sehingga menyebabkan gangguan mobilitas,
gangguan berjalan dan keseimbangan (Allet et al, 2010). Kondisi lebih lanjut yang
dijumpai pada pasien ini adalah menurunnya kekuatan otot dan gangguan berjalan
yang mengakibatkan permukaan kaki yang tidak rata. Keseluruhan kondisi
tersebut akan mengakibatkan meningkatnya risiko jatuh pada pasien tersebut.
Oleh karena itu latihan kekuatan dan keseimbangan diberikan pada pasien ini
dengan tujuan untuk meningkatkan kekuatan otot terutama otot ekstremitas bawah
dan meningkatkan keseimbangan yang tujuan akhirnya resiko jatuh akan
menurun. Pelaksanaan latihan yang diikuti pemberian booklet latihan diharapkan
mampu meningkatkan kualitas pelayanan pada pasien diabetes dengan neuropati
perifer.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
5

Berdasarkan uraian diatas, maka residen akan memaparkan laporan praktik selama
di rumah sakit, yang meliputi laporan analisis kasus kelolaan dengan pendekatan
model konservasi Levine, analisis penerapan EBN dan pemaparan analisis proyek
inovasi yang secara keseluruhan diharapkan dapat meningkatkan derajat
kesehatan pasien serta meningkatkan pelayanan kesehatan yang optimal.
1.2 Tujuan penulisan
1.2.1 Tujuan Umun
Penulisan Karya Ilmiah Akhir ini bertujuan untuk memaparkan seluruh kegiatan
paraktik residensi Keperawatan Medikal Bedah peminatan Sistem endokrin yang
meliputi analisis penerapan model konservasi Levine dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien diabetes melitus, penerapan Evidence Based Nursing
dan proyek inovasi keperawatan yang dilaksanakan di RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta.

1.2.2 Tujuan Khusus


Penulisan Karya Ilmiah Akhir ini secara khusus bertujuan untuk melakukan
analisis kegiatan praktik residensi keperawatan yang terdiri dari:
a. Analisis model konservasi Levine dalam melaksanakan asuhan keperawatan
pada pasien diabetes melitus
b. Analisis penerapan Evidence Based Nursing mengenai pemeriksaan ABI post
exercise pada pasien DM dengan keluhan intermiten klaudikasio di RSUPN
Cipto Mangunkusumo Jakarta
c. Analisis penerapan proyek inovasi pada pasien DM dengan neuropati perifer
di Poli Endokrin RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta

1.3 Manfaat Penulisan


1.3.1 Pelayanan Keperawatan
Karya Ilmiah Akhir ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk
penyusunan prosedur tetap praktik keperawatan yang belum ada di RS dengan
mengintegrasikan model konservasi Levine dalam dalam melakukan asuhan
keperawatan, mengintegrasikan penerapan Evidence Based Nursing dalam
melakukan pengukuran ABI post exercise pada pasien DM dengan intermitten

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
6

klaudikasio dan pelaksanaan inovasi keperawatan latihan kekuatan dan


keseimbangan pada pasien DM dengan neuropati.

1.3.2 Pengembangan Keilmuan Keperawatan


Karya Ilmiah Akhir ini dapat memberikan informasi mengenai kajian dan
penerapan model konservasi Levine dalam melakukan asuhan keperawatan pada
pasien dengan gangguan sistem endokrin, memberikan informasi terkait
penerapan EBN pemeriksaan ABI post exercise pada pasien DM dengan
intermiten klaudikasio dan memberi informasi terkait penerapan inovasi
keperawatan latihan kekuatan dan keseimbangan pada pasien DM dengan
neuropati perifer.

1.3.3 Pendidikan Keperawatan


Hasil Karya Ilmiah Akhir ini diharapkan dapat dipertimbangkan agar dimasukkan
sebagai salah satu standar kompetensi ners spesialis, khususnya bidang endokrin.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai penyakit Diabetes Melitus (DM),
Peripheral Arterial Disease (PAD) dan konsep model konservasi Levine

2.1 Konsep DM
2.1.1 Definisi
DM merupakan suatu penyakit metabolik yang bersifat kronik dan
progresif, terjadi akibat ketidakmampuan pankreas dalam memproduksi
insulin, penurunan jumlah insulin atau resistensi insulin sehingga
mengakibatkan terjadinya hiperglikemia (Black & Hawk, 2009; ADA, 2014;
WHO, 2013).

DM diklasifikasikan dalam 4 tipe, yaitu; DM tipe 1, DM tipe 2, DM


gestasional dan DM tipe lain (Black & Hawk, 2009). DM tipe 1 terjadi
akibat autoimun yang merusak sel beta pankreas, sehingga menurunkan
jumlah insulin secara mutlak. Pada DM tipe 2, hiperglikemia disebabkan
oleh adanya gangguan sekresi insulin, resistensi insulin dan biasanya
berhubungan erat dengan obesitas. DM gestasional terjadi saat kehamilan,
sedangkan DM tipe lain dapat terjadi sebagai akibat gangguan genetik pada
fungsi sel beta, penyakit pada pankreas ataupun akibat obat-obatan.

2.1.2 Patofisiologi
Pada DM tipe 1, kondisi autoimun akan mengakibatkan kerusakan sel beta
pankreas. Infiltrasi pankreas oleh makrofag yang teraktivasi, limfosit T
sitotoksik dan supresor serta limfosit B menimbulkan insulitis destruktif
pada sel beta pankreas. Sekitar 70-90% sel beta akan hancur sebelum gejala
klinik muncul. Kondisi tersebut akan mengakibatkan defisiensi insulin
absolut sehingga terjadi hiperglikemia (Greenstein & Wood, 2010).

DM tipe 2 merupakan jenis diabetes yang paling sering terjadi dan


mencakup hingga 85% kasus DM. DM tipe 2 ini ditandai oleh resistensi

7 UNIVERSITAS INDONESIA

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


8

insulin dan defisiensi insulin relatif. Kondisi ini umumnya berkaitan dengan
obesitas dan menurunnya aktifitas fisik. Normalnya, insulin akan berikatan
dengan reseptor khusus pada permukaan sel, selanjutnya akan terjadi
rangkaian reaksi metabolisme glukosa di dalam sel tersebut. Adanya
resistensi insulin mengakibatkan penurunan reaksi intrasel, sehingga insulin
menjadi tidak efektif dalam pengambilan glukosa oleh sel, akibatnya
timbullah hiperglikemia. Sebagai kompensasi dari resistensi insulin dan
meningkatnya kadar glukosa dalam darah, maka terjadi peningkatan sekresi
insulin atau hiperinsulinemia. Lama-kelamaan sel beta pancreas tidak
mampu lagi mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin hingga
menyebabkan terjadinya hiperglikemia dan penurunan sel beta secara
progresif yang menciptakan suatu kondisi yang menyerupai DM tipe 1,
yaitu sel beta samasekali tidak bisa mensekresi insulin (Inzucchi, 2005;
Unger, 2007).

Patofisiologi DM gestasional melibatkan abnormalitas sensitifitas jaringan.


Perangsangan sel beta oleh glukosa menjadi abnormal sehingga
menyebabkan ketidakadekuatan respon insulin untuk mengontrol glukosa
darah (Catalono et al, 2003). Hal ini terjadi karena perubahan hormonal
yang terjadi selama kehamilan. Peningkatan konsentrasi hormon estrogen
dan progestin mengakibatkan menurunnya konsentrasi glukosa darah puasa
dan deposisi lemak, menurunkan pengosongan lambung dan meningkatkan
nafsu makan. Seiring dengan peningkatan gestasi, konsentrasi glukosa post
prandial meningkat dan sensitifitas jaringan terhadap insulin menurun.
Untuk memelihara kecukupan glukosa selama kehamilan, sel beta pankreas
ibu meningkatkan sekresi insulin untuk mengkompensasi penurunan
sensitifitas jaringan terhadap insulin. Pada beberapa kondisi, wanita hamil
yang mengalami diabetes gestasional tidak mampu meningkatkan produksi
insulin untuk mengkompensasi peningkatan resistensi insulin, akibatnya
timbullah hiperglikemia (Reece, Leguizamon & Wiznitzer, 2009).

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
9

Hal lain yang mengakibatkan diabetes berhubungan dengan beberapa


penyakit spesifik dan gangguan genetik yang sering disebut dengan DM tipe
lain atau diabetes sekunder. Yang masuk dalam kategori diabetes tipe lain
diantaranya; gangguan genetik pada fungsi sel beta, gangguan genetik pada
kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati lain, diabetes akibat
obat dan bahan kimia, infeksi, gangguan imun yang memicu terjadinya
diabetes serta sidrom genetik lain. Maturity Onset Diabetes of the Young
(MODY) merupakan hiperglikemia yang terjadi akibat adanya gangguan
pada autosom dominan dan umumnya terjadi sebelum usia 25 tahun.
Abnormalitas molekul insuli atau reseptornya juga dapat mengakibatkan
diabetes, namun kondisi ini jarang dijumpai pada infant. Adanya mutasi
genetik pada faktor transkripsi nuklear yang disebut peroxisome ploriferator
activated receptor γ (PPAR-γ) diketahui berhubungan erat dengan resistensi
insulin dan diabetes. Hiperglikemia juga dapat dapat terjadi pada individu
yang mengalami pankreatitis akut dan kronik atau penyakit lain yang
mengakibatkan gangguan pada parenkim pankreas, seperti hemocromatosis
cystic fibrosis ataupun karsinoma pankreas. Beberapa obat yang diketahui
dapat mengakibatkan resistensi insulin yaitu obat golongan glukokortikoid,
obat hormon pertumbuhan, levothyroxin dan niasin (Inzucchi, 2005).

2.1.3 Diagnosis DM

Menurut ADA (2014), diagnosis DM ditegakkan bila terdapat salah satu


kriteria berikut ini; terdapat nilai HbA1C ≥ 6,5 %, glukosa darah puasa ≥
126 mg/dl, glukosa darah 2 jam post prandial ≥ 200 mg/dl, glukosa darah
sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan gejala hiperglikemia polifagi, polidipsi,
poliuria serta penurunan berat badan.

Pada individu tanpa keluhan khas DM namun hasil pemeriksaan glukosa


darah satu kali abnormal, maka diperlukan pemeriksaan lanjut untuk
mendapatkan hasil satu kali lagi abnormal, baik itu glukosa darah puasa
(GDP) ≥ 126 mg/dl, kadar gula darah sewaktu (GDS) 200 mg/dl atau dari
hasil glukosa darah 2 jam post prandial (PP) ≥ 200 mg/dl.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
10

Individu akan dimasukkan dalam kategori Toleransi Glukosa Terganggu


(TGT) apabila didapatkan kadar glukosa plasma 2 jam post prandial antara
140-199 mg/dl. Individu akan masuk dalam kategori Gula Darah Puasa
Terganggu (GDPT) apabila glukosa plasma puasa didapatkan antara 100-
125 mg/dl.

2.1.4 Faktor risiko Diabetes Melitus


Menurut ADA (2014), individu yang berisiko untuk terkena DM yaitu;
individu yang memiliki nilai GDP 100-125 mg/dL, gula darah 2 jam PP
140-199 mg/dL, HbA1C 5.7%-6.4%. Sedangkan menurut Unger (2007),
faktor risiko DM yaitu; usia ≥ 45 tahun, obesitas, memiliki keluarga dengan
riwayat DM, dislipidemia, riwayat melahirkan bayi > 4000 gr, adanya
riwayat hipertensi dan vaskuler. Proses menua akan diikuti oleh perubahan
pada sel beta pankreas yang menghasilkan hormon insulin, perubahan pada
sel target jaringan, sistem saraf dan hormon yang secara keseluruhan
mengakibatkan terjadinya hiperglikemia terutama pada individu yang telah
berusia ≥ 45 tahun. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya DM terutama
pada individu dengan IMT > 23 kg/m² yang mengakibatkan resistensi
terhadap insulin. Menurut Black & Hawks (2009), sebanyak 85% pasien
DM tipe 2 mengalami obesitas. Risiko timbulnya DM meningkat seiring
dengan dislipidemia, khususnya pada individu dengan nilai HDL ≤ 35
mg/dL dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dL. Dislipidemia akan menyebabkan
resistensi insulin yang akhirnya menyebabkan hiperglikemia.

2.1.5 Komplikasi DM
Menurut Smeltzer & Bare (2003) dan Black & Hawks (2009), komplikasi
pada DM dapat dibagi menjadi dua, yaitu komplikasi akut dan komplikasi
kronik.
a. Komplikasi akut
Komplikasi akut meliputi hipoglikemia, ketoasidosis diabetic (KAD)
dan sindrom koma hiperglikemik hiperosmolar non ketotik (HHNK).
Hipoglikemia terjadi jika kadar glukosa darah turun dibawah 50

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
11

mg/dhingga 60 mg/dL. Hipoglikemia akut menunjukkan gejala triad


whipple, yaitu: 1) adanya keluhan yang menunjukkan kadar glukosa
darah yang rendah, 2) kadar glukosa darah yang rendah (< 3mmol/L)
dan 3) hilangnya secara cepat keluhan-keluhan tersebut setelah
dilakukan koreksi. Beberapa faktor yang menyebabkan hipoglikemia
yaitu; peningkatan kadar insulin yang kurang tepat, obat yang
meningkatkan sekresi isulin seperti golongan sulfonilurea, peningkatan
sensitifitas insulin seperti latihan fisik berlebihan atau asupan
karbohidrat yang kurang. Gejala hipoglikemia akut yang sering dijumpai
pada pasien diabetes yaitu; berkeringat dingin, jantung berdebar, tremor,
lapar, mual, nyeri kepala, mengantuk, sulit bicara dan koordinasi hingga
penurunan kesadaran sehingga penanganan harus segera dilakukan.
Menurut Black & Hawks (2009), Individu dengan hipoglikemi ringan
(tremor, takikardi, keringat dingin, parastesi, lapar berlebih, pucat dan
gemetar) dapat diberikan karbohidrat 10-15 gr, individu dengan
hipoglikemi sedang (kriteria hipoglikemia ringan disertai nyeri kepala,
merasa berputar, lekas marah, ketidakmampuan berkonsenstrasi,
mengantuk, gangguan bicara, penglihatan ganda) diberikan karbohidrat
30-30 gram, glucagon 1 mg sc/im dan individu dengan hipoglikemi berat
yang disertai penurunan kesadaran, disorientasi dan seizure dapat
diberikan 10-25 gr iv glukosa selama 1-3 menit, lalu diikuti pemberian
infus dextrose 5 % hingga klien stabil dan mampu untuk makan.

Hipoglikemia yang tidak disadari merupakan masalah yang sering terjadi


pada pasien DM yang mendapat terapi insulin, terutama pada anak dan
lansia. Penyebabnya hingga sekarang belum pasti ditemukan, namun
diyakini hal ini berkaitan dengan terputusnya paracrine-insulin cross-
talk di dalam islet cell, akibat produksi insulin endogen yang turun. Pada
lansia, respon otonomik cenderung turun dan sensitifitas perifer
epinefrin juga berkurang (Sudoyo, 2009).

Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan suatu kondisi yang disebabkan


oleh kurangnya insulin yang relatif atau absolut dan peningkatan hormon

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
12

kontra regulator seperti glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon


pertumbuhan. Kondisi ini akan mengakibatkan ganguan pada
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Adanya defisiensi insulin
dan peningkatan hormon kontra regulator Gambaran klinik pada KAD
yaitu dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis. Diagnosis KAD
ditegakkan bila; kadar glukosa > 250 mg/dL, pH< 7.35, HCO3 rendah,
anion gap tinggi dan keton serum positif. Prinsip penatalaksanaan KAD
yaitu; rehidrasi cairan, menekan lipolisis dan menekan glukoneogenesis
di hati melalui pemberian insulin, mengatasi sumber pencetus KAD dan
mengembalikan keadaan fisiologi normal melalui pemantauan yang
optimal serta penyesuaian pengobatan (Sudoyo, 2009).

Hiperglikemik hiperosmolar nonketotik (HHNK) merupakan keadaan


yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemi disertai
perubahan kesadaran. Gambaran klinik HHNK berupa hipotensi,
dehidrasi berat,takikardi dan tanda-tanda neurologis yang bervariasi
(perubahan sensori, kejang, hemiparesis). Faktor yang memulai
timbulnya HHNK yaitu glukosuria. Glukosuria mengakibatkan
kegagalan ginjal mengkonsentrasikan urin yang semakin memperberat
derajat kehilangan air. Penurunan volume intravaskuler mengakibatkan
penurunan laju GFR seingga konsentrasi glukosa akan meningkat.
Hiperglikemia dan peningkatan konsentrasi protein plasma yang
mengikuti hilangnya cairan intravaskuler menyebabkan kondisi
hiperosmolar yang memicu sekresi hormon ADH. Jika kondisi ini tidak
segera dikompensasi, maka akan timbul dehidrasi dan selanjutnya
hipovolemia yang menyebabkan gangguan perfusi jaringan. Stadium
akhir dari kondisi ini yaitu koma akibat gangguan elektrolit berat dalam
kaitannya dengan hipotensi. Penatalaksanaan meliputi rehidsi intravena
yang agresif, penggantian elektrolit, pemberian insulin intravena,
diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyerta serta
pencegahan.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
13

b. Komplikasi kronik
Komplikasi kronik DM akan terjadi jika pasien kehilangan kontrol
glikemik dalam jangka waktu tertentu. Komplikasi kronik dibagi
menjadi dua yaitu makrovaskuler dan mikrovaskuler. Komplikasi
makrovaskuler meliputi penyakit arteri koroner, penyakit
cerebrovaskuler, hipertensi, peripheral vascular disease. Komplikasi
mikrovaskuler meliputi retinopati, nefropati dan neuropati.

Manifestasi dari gangguan kardiovaskuler pada diabetes diantaranya


infark miokard, angina, gagal jantung dan kematian yang umumnya
disebabkan oleh aterosklerosis dan hipertensi. Beberapa faktor risiko
yang mengakibatkan gangguan kardiovaskuler ini yaitu dislipidemia,
hipertensi dan obesitas yang berkaitan dengan resistensi insulin dan
sindrom metabolik. Gangguan pada lipid seperti peningkatan kolesterol
LDL, trigliserid dan menurunnya HDL berperan penting pada
patogenesis aterosklerosis. Aterosklerosis secara umum berpengaruh
pada komplikasi makrovaskuler dan untuk peripheral arterial disease
akan dibahas dalam sub tersendiri.

Retinopati diabetik berperan besar terhadap adanya gangguan


pengelihatan. Hiperglikemia akan mengubah homeostasis biokimiawi sel
melalui beberapa jalur, seperti jalur reduktase aldosa, jalur stres oksidatif
sitoplasmik, pleiotropik protein kinase C dan terbentuknya glikosiloasi
intraseluler. Pada retinopati diabetik proliperatif, didapatkan hilangnya
perisit dan terjadi pembentukan mikroaneurisma. Selain itu terjadi
hambatan pada aliran pembuluh darah selanjutnya kapiler akan
tersumbat dan semua kelainan tersebat menyebabkan kelainan
mikrovaskuler berupa lokus iskemik dan hipoksia lokal. Sel retina akan
merespons dengan meningkatnya ekspresi faktor pertumbuhan endotel
(Vascular Endothelium Growth Factor=VEGF) yang memicu
neovaskularisasi pembuluh darah (Sudoyo, 2009). Diagnosis retinopati
ditegakkan dengan dengan menggunakan ophthalmoscopy, sehingga

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
14

dapat diketahui apakah individu mengalami retinopati atau tidak dan


seandainya ia mengalami retinopati dapat diklasifikasikan kembali
apakah bersifat nonproliferatif atau proliferatif. Pengontrolan glukosa
darah dan pengendalian hipertensi dikatakan mampu mengurangi risiko
perkembangan retinopati serta identifikasi dini dan penatalaksanaan
retinopati proliferatif dari edema makular dengan fotokoagulasi
dikatakan mampu mencegah hilangnya pengelihatan lebih lanjut
(Inzucchi, 2005).

Komplikasi diabetes pada ginjal dimulai ditemukannya mikroalbuniuria


yang selajutnya dapat berkembang menjadi proteinuria, penurunan laju
filtrasi glomerulus dan berakhir dengan gagal ginjal yang memerlukan
pengelolaaan secara cermat. Pemeriksaan terhadap mikroalbuminuria
harus delakukan secara cermat dan dapat dilakukan beberapa kali untuk
mendapatkan keyakinan yang lebih pasti terhadap diagnosa nefropati itu
sendiri. Dengan diketahuinya nefropati, diharapkan menajemen
pengelolaan DM dilakukan lebih intensif termasuk pengelolaan berbagai
faktor risiko, seperti kontrol tekanan darah, lipid, obesitas serta merokok.
Individu dengan nilai GFR < 30 mL/menit hendaknya mendapat terapi
pengganti ginjal atau dialisis (Sudoyo, 2009).

Neuropati diabetik diklasifikasikan berdasarkan lamanya menderita DM


dan berdasarkan jenis serabut saraf yang terkena,diantaranya; neruropati
sensorik, motorik dan otonom. Manifestasi klinis dari neuropati
bervariasi, bergantung pada jenis serabut saraf yang mengalami lesi bisa
besar atau kecil, lokasi proksimal atau distal, fokal atau difus, motorik
atau sensorik atau otonom, misalnya; kesemutan, nyeri, kebas, baal, rasa
tertusuk, rasa terbakar, seperti tertusuk, disobek. Namun yang paling
sering ditemukan yaitu polineuropati sensori motor simetris distal atau
distal symmetrical sensorymotor polyneuropathy (DPN). DNP ini
ditandai dengan berkurangnya fungsi sensorik secara progresif dan
fungsi motorik (lebih jarang) yang berlangsung dari bagian distal ke arah

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
15

proksimal. Diagnosis neuropati ini dilakukan melalui pengkajian


terhadap; refleks motorik, fungsi serabut saraf besar (biotensiometer),
rasa tekan (monofilamen), fungsi serabut kecil (dengan tes sensasi suhu)
serta elektromiografi untuk mengetahui lebih awal adanya gangguan
hantaran saraf. Pada pengkajian diabetic autonomic neuropathy (DAN)
untuk saraf parasimpatis delakukan dengan tes respon denyut jantung
terhadap valsava manuver dan variasi denyut jantung selama napas
dalam. Uji saraf simpatis dilakukan melalui respon tekanan darah saat
berdiri (penurunan sistolik) dan respon tekanan darah terhadap
gengguaman (peningkatan diastolik). Oleh karena itu diperlukan strategi
untuk mencegah lebih jauh perkembangan neuropati itu sendiri melalui;
diagnosis neuropati sedini mungkin, tercapainya kendali glikemik dan
perawatan kaki yang baik serta pengendalian keluhan neuropati/nyeri
neuropati (Sudoyo, 2009).

2.1.6 Penatalaksanaan
Tujuan jangka pendek penatalaksanaan DM adalah menghilangkan gejala
atau keluhan DM dam mempertahankan rasa nyaman dan sehat, sedangkan
tujuan jangka panjangnya yaitu mencegah penyulit dan progresifitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati dengan tujuan akhirnya
menurunkan morbiditas dan mortalitas. Untuk mencapai tujuan tersebut,
terdapat empat pilar yang harus dilaksanakan, yaitu; edukasi, perencanaan
makanan, latihan jasmani dan farmakoterapi (PERKENI, 2011).
a. Edukasi
Edukasi merupakan bagian integral dari perawatan pasien diabetes.
Edukasi diabetes merupakan pendidikan dan latihan yang diberikan
untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam perawatan
diabetes, yang diberikan pada setiap pasien diabetes, anggota keluarga,
kelompok masyarakat yang berisiko tinggi terkena DM maupun pehak-
pihak perencana pembuat kebijakan kesehatan (Waspadji, Sukardji &
Octarina, 2009). Dengan meningkatnya pengetahuan diharapkan terjadi
perubahan perilaku dan peningkatan kepatuhan yang pada akhirnya

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
16

mampu meningkatkan kualitas hidup penderita DM. Edukasi merupakan


suatu proses yang berlangsung secara terus menerus dan kemajuannya
harus terus diamati dan dievaluasi terutama oleh yang memberikan
penyuluhan (Soewondo, 2007). Materi edukasi yang dapat diberikan
pada pasien DM yaitu; pengertian diabetes, penyebab timbulnya diabetes
dan upaya pencegahan, pengelolaan diabetes secara umum, perencanaan
makan dan latihan jasmani, penggunaan obat, pencegahan dan
pengenalan komplikasi DM serta perawatan kaki.

b. Perencanaan makanan
Tujuan penatalaksanaan diit pada pasien DM yaitu untuk mencapai dan
mempertahankan kadar glukosa darah dan lipid mendekati normal,
mempertahankan berat badan dalam batas ideal, mencegah komplikasi
akut dan kronik serta meningkatkan kualitas hidup (Waspadji, Sukardji
& Octarina, 2009). Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan
komposisi yang seimbang, dengan memperhatikan 3J, yaitu jumlah,
jadwal dan jenis diit (Tjokroprawiro, 2006). Hal yang harus diperhatikan
terkait jumlah dan jenis diit ini yaitu indeks glikemik makanan. Indeks
glikemik merupakan respon glukosa darah tubuh terhadap makanan
dibandingkan dengan respons glukosa darah terhadap glukosa murni dan
indeks glikemik ini berguna untuk menentukan respon glukosa darah
terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Indeks glikemik
bahan makanan berbeda-beda tergantung dari fisiologi, bukan pada
kandungan bahan makanan (Waspadji, Sukardji & Octarina, 2009).
Makanan dengan indeks glikemik tinggi cepat dicerna dan diserap
sehingga gula darah juga akan cepat meningkat, sedangkan makanan
dengan indeks glikemik rendah lebih lambat untuk dicerna dan diserap,
peningkatan kadar glukosa pun akan terjadi secara perlahan-lahan.
Selain itu, makanan dengan indeks glikemik rendah mampu mengontrol
berat badan dengan memperlambat munculnya rasa lapar yang sangat
bermanfaat bagi pasien DM.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
17

Ada 8 jenis standar diit menurut kandungan energi yaitu dari 1100-2500
kkal. Adapun syarat diit penyakit DM menurut (Waspadji, Sukardji &
Octarina, 2009) yaitu cukup kalori untuk mencapai dan mempertahankan
berat badan ideal. Untuk menghitung jumlah kalori yang diperlukan,
terlebih dahulu dihitung jumlah kebutuhan ideal dengan menggunakan
rumus broca, yaitu: 90% x (TB dalam cm-100) x1 kg, namun jika tinggi
badan laki-laki < 160 cm atau perempuan < 150 cm, maka rumus yang
berlaku= (tinggi badan dalam cm-100) x 1 kg. Selanjutnya dihitung
kebutuhan kalori basal yaitu 30 kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25
kkal/kgBB untuk wanita. Selanjutnya kebutuhan kalori basal ditambah
dengan faktor koreksi. Faktor koreksi tersebut yaitu kebutuhan kalori
untuk aktifitas (10-30% sesuai dengan jenis aktifitas dan kalori yang
dikeluarkan), koreksi status gizi (gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan
kondisi stress (infeksi, dsb). Makanan dibagi dalam 3 porsi besar, yaitu
makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi kecil
untuk makanan selingan masing-masing 10-15% (Almatsier, 2010).

Kebutuhan protein 10-20% dari kebutuhan energi total. Pada pasien


dengan nefropati, kebutuhan asupan protein menjadi 0.8 g/kgBB perhari
atau10% dari kebutuhan energi dan 65% sebaiknya yang bernilai biologi
tinggi (PERKENI, 2011). Kebutuhan karbohidrat 45-65% dari
kebutuhan energi total, namun pada keadaan tertentu boleh mencapai 70-
75%. Kebutuhan lemak sedang, yaitu 20-25% dari kebutuhan energi
total. Kolesterol makanan dibatasi ≤ 300 mg/hr . Kebutuhan serat 25 g/hr
dengan mengutamakan serat larut air yang terdapat dalam sayur dan
buah.

Pasien DM dengan tekanan darah normal diperbolehkan mengkonsumsi


natrium dalam bentuk garam dapur seperti orang sehat, yaitu 3000 mg/hr
atau sama dengan 6-7 g (1 sendok teh) garam dapur, namun pada
individu yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg. Pemanis
dikelompokkan dalam pemanis berkalori dan tak berkalori. Yang

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
18

termasuk pemanis berkalori yaitu sukrosa dan fruktosa. Fruktosa tidak


dianjurkan digunakan pada individu DM karena efek samping pada
lemak darah. Gula masih dapat digunakan dalam jumlah terbatas, tidak
melebihi 5%dari kalori, misalnya digunakan pada bumbu masakan.
Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman Accepted
Daily Intake (ADI) (PERKENI, 2011; Waspadji, Sukardji & Octarina,
2009).

c. Latihan jasmani
Latihan fisik secara teratur sangat penting dalam penatalaksanaan DM.
Menurut Leutholtz & Ripoll (2011) manfaat latihan fisik pada individu
dengan DM yaitu: meningkatkan kesehatan jasmani, meningkatkan
jumlah mitokondria otot, mencegah dan mengurangi obesitas,
memperbaiki profil lipid, mengontrol kadar glukosa darah,
meningkatkan jumlah enzim oksidatif pada otot, meningkatkan densitas
kapiler otot, mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler serta bermanfaat
secara psikososial. Saat melakukan latihan maka kebutuhan otot
terhadap glukosa akan meningkat, terjadi penurunan kebutuhan insulin
dan peningkatan glukagon (Inzucchi, 2005). Selain itu, latihan juga akan
meningkatkan aliran darah sehingga banyak kapiler akan terbuka dan
lebih banyak reseptor insulin akibatnya reseptor menjadi lebih aktif
(Sudoyo,2009).

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, maka harus diperhatikan


prinsip-prinsip latihan, yaitu frekuensi, intensitas, durasi dan jenis.
Latihan sebaiknya dilakukan secara teratur dengan frekuensi 3-5 kali
perminggu, intensitas ringan dan sedang yaitu mencapai 60-70%
Maximum Heart Rate (MHR). Untuk menentukan intensitas latihan
digunakan MHR yang didapat melalui penghitungan 220-umur. Setelah
MHR didapatkan, lalu ditentukan Target Heart Rate (THR). Durasi
latihan sebaiknya 30-60 menit, disesuaikan dengan usia dan kemampuan
individu dan latihan yang dilakukan sebaiknya latihan yang bersifat

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
19

aerobik seperti jalan kaki, bersepeda, jogging dan berenang (Sudoyo,


2009; PERKENI 2011).

Penderita DM tipe I yang memiliki kadar glukosa darah ≥ 250 mg/dl dan
terdapat keton dalam urinnya serta penderita DM tipe II dengan kadar
glukosa ≥ 300 mg/dl mutlak tidak boleh melakukan olahraga Setelah
berolahraga selama 10 menit akan terjadi peningkatan glukosa 15 kali
jumlah kebutuhan pada keadaan biasa, sehingga jika diabetisi mengalami
hiperglikemi dan tetap melakukan latihan maka dapat mengakibatkan
produksi kadar glukosa darah dan badan keton yang dapat berakibat
fatal. (Barnes, 2012).

d. Farmakoterapi
Ketika individu telah melaksanakan perencanaan makanan dan latihan
fisik namun kadar glukosa darahnya belum terkendali, maka dibutuhkan
upaya yang lebih agresif melalui pemberian tindakan farmakologik tanpa
mengesampingkan upaya nonfarmakologik sebelumnya. Upaya
farmakologi tersebut dilakukan melalui pemberian obat hipoglikemik
oral (OHO), kombinasi OHO dengan insulin maupun terapi insulin saja.
Indikasi pemberian OHO menurut Soegondo, Soewondo & Subekti
(2013), yaitu: individu dengan usia lebih dari 40 tahun, mengalami
diabetes kurang dari lima tahun, memerlukan insulin dengan dosis
kurang dari 40 unit sehari serta DM tipe 2 dengan berat badan normal
atau lebih. Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan,
yaitu: pemicu sekresi insulin (insulin sekretagok), penambah sensitivitas
terhadap insulin, penghambat alfa glukosidase (acarbose) dan golongan
inkretin.
1) Pemicu sekresi insulin
Yang termasuk obat golongan ini yaitu golongan sulfonilurea dan
glinid. Golongan sulfonilurea seperti klorpropamid, glibenklamid,
glikasid, glikuidon, glipsid dan glimepirid. Golongan sulfonilurea
bekerja dengan meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
20

dan sebaiknya tidak diberikan pada penyakit hati, ginjal dan tiroid.
Efek samping pemberian golongan sulfonilurea meningkatkan berat
badan dan menyebabkan hipoglikemia, terutama glibenklamid,
sehingga pasien perlu diingatkan untuk melakukan jadwal makanan
yang ketat. Untuk memperoleh hasil yang baik, sulfonilurea
sebaiknya diberikan 1 jam sebelum makan untuk memperbaiki
pelepasan insulin fase pertama dan atau menjelang tidur untuk
mengurangi produksi glukosa oleh hepar (Unger, 2007). Obat
golongan glinid yaitu repaglinid dan nateglinid. Cara kerja obat ini
sama dengan golongan sulfonilurea dengan meningkatkan sekresi
insulin fase pertama.
2) Penambah sensitifitas terhadap insulin
Contoh obat ini yaitu golongan biguanid dan tiazolindion/glitazon.
Biguanid tidak merangsang sekresi insulin, ia bekerja di hati dengan
mengurangi hepatic glucose output dan menurunkan kadar glukosa
darah sampai normal (euglikemia) serta tidak mengakibatkan
hipoglikemia. Contoh obat golongan biguanid ini yaitu metformin
dengan efek samping yang ditimbulkan yaitu nausea, muntah, diare
sehingga lebih tepat jika obat ini diberikan pada pasien yang gemuk.
Obat ini sebaiknya diberikan bersama makanan dan bila dalam
bentuk XR dapat diberikan pada waktu makan malam. Adapun
kontraindikasi pemberian metformin yaitu; adanya ganguan fungsi
ginjal (kreatinin ≥ 1,5 mg/dL untuk laki-laki dan ≥ 1,4 mg/dL untuk
perempuan), gangguan fungsi hati, asidosis metabolik, usia lanjut
dan gagal jantung. Obat lainnya yaitu golongan tiazolindion atau
glitazon dengan contoh obat golongan ini yaitu pioglitazon dan
rosiglitazon. Obat ini bekerja dengan menurunakan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa yang
mengakibatkan peningkatan ambilan glukosa perifer dan
menghambat glukoneogenesis dan glikogenolisis hepar. Pemberian
obat ini tidak bergantung pada jadwal makan dan kontraindikasi

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
21

pada pasien dengan gagal jantung karena dapat memperberat edema


(Soegondo, Soewondo & Subekti, 2013).
3) Penghambat alfa glukosidase (acarbose)
Obat ini bekerja dengan menghambat enzim alfa glukosidase yang
terletak pada dinding usus halus. Enzim ini berfungsi untuk
menghidrolisis oligosakarida, trisakarida dan disakarida pada
dinding usus halus sehingga melalui inhibisi enzim ini, diharapkan
dapat mengurangi digesti karbohidrat kompleks dan absorbsinya,
akibatnya dapat menurunkan kadar glukosa post prandial. Selain itu,
acarbose juga menghambat alfa amilase pankreas yang berfungsi
melakukan hidrolisa tepung-tepung kompleks di dalam usus halus.
Obat ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu
makan sehingga pemberiannya dilakukan saat bersama suapan
pertama setiap kali makan dengan efek samping yaitu flatus, perut
terasa kurang enak dan kadang timbul diare (Soegondo, Soewondo
& Subekti, 2013).
4) Golongan inkretin.
Golongan obat ini yaitu inkretin mimetik dan penghambat DPP IV.
Obat golongan inkretin mimetik belum masuk ke Indonesia dengan
cara kerja obat ini yaitu merangsang sekresi insulin dan menghambat
sekresi glukagon. Penghambat DPP IV bekerja dengan menghambat
suatu enzim yang mendegradasi hormon inkretin endogen, hormon
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) dan GIP yang berasal dari usus,
sehingga meningkatkan kadarnya setelah makan, kemudian akan
meningkatkan sekresi insulin yang dirangsang glukosa, mengurangi
sekresi glukagon dan memperlambat pengosongan lambung. Obat ini
dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan. Contoh
obat golongan ini yaitu sitagliptin dan vildagliptin/glavus
(Soegondo, Soewondo & Subekti, 2013).

Selain pemberian obat oral hipoglikemia oral, terapi farmakologi lain yang
diberikan pada pasien DM yaitu terapi insulin. Menurut PERKENI (2011),

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
22

indikasi mutlak pemberian terapi insulin yaitu pada DM tipe 1, sedangkan indikasi
relatif pemberian insulin yaitu bila gagal mencapai target dengan penggunaan
kombinasi OHO dosis optimal (3-6 bulan), DM tipe 2 dengan kehamilan, TB
paru, kaki diabetik terinfeksi, fluktuasi gula darah yang tinggi, riwayat ketosis
berulang, riwayat pankreotomi, kondisi tertentu seperti penyakit hati kronik,
gangguan fungsi ginjal dan terapi steroid dosis tinggi. Berdasarkan puncak dan
jangka waktu efeknya, insulin dikategorikan menjadi empat yaitu; 1) insulin kerja
singkat (short acting) yang merupakan satu-satunya insulin jernih atau larutan
insulin, contoh actrapid dan humulin R, 2) insulin kerja cepat (rapid acting) yang
cepat diabsorbsi, contoh: novorapid, humaloh, apidra, 3) insulin kerja sedang
yaitu NPH, termasuk monotard, insulatard dan humulin N yang kadang sebagai
penyebab reaksi imunologik, yaitu urtikaria pada lokasi suntikan, 4) insulin kerja
panjang, seperti ultralente, glargine (lantus) dan determir (levemir).

Gambar 2.1 Profil farmakokinetik insulin manusia dan insulin analog.


Sumber: Hirsh IB. 2005. Insulin Analogues. N Engl J Med; 352:174-183

Yang perlu diketahui mengenai farmakokinetik insulin yaitu awal kerja, puncak
kerja dan lama kerja. Berdasarkan gambar diatas dapat kita lihat bahwa pada
insulin kerja cepat seperti lispro (humalog) dan aspart (novorapid) memiliki awal
kerja yang cepat yaitu 5-15 menit dengan puncak kerja 30-90 menit dan lama
kerja 4-6 jam. Pada insulin kerja pendek seperti Humulin R atau actrapid,
memiliki awal kerja 30-60 menit, puncak kerja 2-3 jam dan lama kerja 6-10 jam.
Insulin kerja menengah seperti humulin N dan insulatard memiliki awal kerja 2-4
jam, puncak kerja 4-10 jam dan lama kerja 12-20 jam. Insulin kerja panjang

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
23

mempunyai kadar zink yang tinggi untuk memperpanjang waktu kerjanya. Yang
termasuk dalam jenis ini yaitu ultra lente dan PZI (sudah tidak beredar di
Indonesia), ia memiliki awal kerja 6-10 jam, puncak kerja 10-16 jam dan lama
kerja 18-24 jam. Insulin basal seperti glargine (lantus) dan detemir (levemir),
dapat memenuhi kebutuhan basal insulin selama 24 jam dengan awal kerja 2-4
jam tanpa adanya efek puncak. Insulin ini mulai banyak digunakan dalam terapi
kombinasi baik dengan insulin (Hirsh, 2005 ; Soegondo, Soewondo & Subekti,
2013).

Kebutuhan insulin harian yaitu 0.2unit/kgBB. Insulin basal sebanyak 50% dari
kebutuhan insulin harian. Insulin prandial sebanyak 50% dari kebutuhan insulin
harian total dan dibagi menjadi 3 dosis. Untuk sebagian besar pasien bukan
penyakit kritis yang diterapi dengan insulin , sasaran glukosa darah sebelum
makan < 140 mg/dl dan glukosa darah acak < 180 mg/dl. Pada pasien yang
mendapat terapi insulin intravena akan membutuhkan transisi ke insulin subkutan
jika mereka mulai memakan makanan biasa. Insulin subkutan harus diberikan 1-4
jam sebelum infus iv dihentikan untuk mencegah hiperglikemia. Biasanya dosis
insulin subkutan yang diberikan antara 75-80% dari dosis insulin iv harian total,
selanjutnya dibagi proporsional menjadi komponen basal dan prandial
(PERKENI, 2011).

Untuk mencegah terjadinya komplikasi akut maupun kronik pada pasien DM,
tindakan pemantauan glukosa darah sangat penting. Pemantauan glukosa darah
bertujuan untuk mengetahui apakah sasaran telah mencapai target sasaran dan
pemeriksaan glukosa darah yang dilakukan meliputi pemeriksaan glukosa darah
puasa, glukosa darah 2 jam post prandial atau glukosa darah pada waktu yang lain
secara berkala sesuai kebutuhan. Selain pemantauan glukosa darah, pemeriksaan
HbA1C atau tes hemoglobin terglikosilasi juga dilaksanakan untuk menilai efek
perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya dan pemeriksaan ini hendaknya
dilakukan setiap 3 bulan atau minimal 2 kali dalam setahun (PERKENI, 2011).

Pada pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin dianjurkan
untuk melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dengan

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
24

menggunakan alat glukometer yang dijual bebas dan menggunakan darah kapiler.
Waktu pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan yaitu pada saat sebelum
makan, 2 jam setelah makan untuk menilai ekskursi maksimal glukosa, menjelang
waktu tidur untuk menilai risiko hipoglikemia dan diantara siklus tidur untuk
menilai adanya hipoglikemia nokturnal tanpa gejala atau ketika mengalami gejala
hypoglycemic spells (PERKENI, 2011).

Pengukuran glukosa urin hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak
mau memeriksa kadar glukosa darah, dimana batas ekskresi glukosa renal rata-
rata sekitar 180 mg/dL dan bervariasi pada beberapa pasien serta sangat
bergantung pada fungsi ginjal yang tidak dapat digunakan untuk menilai
keberhasilan terapi. Pemeriksaan lain yang tidak kalah penting yaitu pemeriksaan
benda keton dalam darah maupun dalam urin terutama pada pasien dengan
glukosa darah >300 mg/dL. Nilai normal asam beta hidroksibutirat darah yaitu <
0.6 mmol/L, diatas 1.0 mmol/L disebut ketosis dan >3.0 mmol/L indikasi adanya
KAD. Pengukuran kadar glukosa darah dan benda keton secara mandiri
bermanfaat untuk mencegah terjadinya komplikasi akut, terutama KAD
(PERKENI, 2011).

2.2 Konsep PAD


Peripheral Arterial Disease (PAD) terjadi pada 12 juta orang di Amerika dan data
dari Framingham Heart Study menyatakan bahwa 20% dari pasien yang
mengeluhkan gejala PAD mengalami diabetes dan diperkirakan nilainya
meningkat sebab mayoritas pasien PAD tidak menunjukkan gejala (ADA, 2003).
2.2.1. Pengertian
PAD merupakan manifestasi dari atherosklerosis yang ditandai dengan sumbatan
aterosklerotik pada extremitas bawah dan merupakan penanda penyakit
aterotrombosis pada vascular lainnya (ADA, 2003). PAD merupakan penyempitan
dari arteri bagian distal dari cabang aorta yang diakibatkan oleh aterosklerosis
(O’Donnell et al, 2007). Menurut Hamburg & Balady (2014), PAD pada
extremitas bawah secara nyata berisiko terhadap peningkatan morbiditas dan
mortalitas kardiovaskular. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa PAD merupakan suatu kondisi berkurangnya sirkulasi arteri, terutama

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
25

daerah ekstremitas bawah dan terjadi ketika pembuluh darah menyempit akibat
aterosklerosis.
2.2.2. Patofisiologi
Diabetes mengakibatkan abnormalitas endothelium, sel otot polos dan
platelet yang mengakibatkan gangguan pada vaskuler. Pada diabetes,
hiperglikemia, peningkatan asam lemak bebas dan resistensi insulin akan
mengakibatkan gangguan pada sel endotel. Kondisi ini mengakibatkan
gangguan fungsi endotel, vasokontriksi, meningkatkan inflamasi dan
meningkatkan thrombosis. Penurunan Nitric Oxide (NO) dan peningkatan
endotelin-1 dan angiotensin II meningkatkan tonus vascular, pertumbuhan
dan migrasi sel otot polos. Aktifasi dan transkripsi Nuclear Factor kappa ß
(NF-kB) serta activator protein-1 mengakibatkan respon inflamasi, melalui
peningkatan kemokin, sitokin dan adhesi molekul selular. Peningkatan
produksi faktor jaringan dan plasmin activator inhibitor 1 mengakibatkan
protrombotik melieu, mengakibatkan penurunan endothelium diikuti NO
serta aktivasi prostasiklin platelet. Hilangnya endothelium yang diikuti
penurunan NO mengakibatkan peningkatan aktivitas proinflamasi (NF-
kB), adhesi molekul leukosit, produksi kemokin dan sitokin. Kondisi ini
meningkatkan monosit dan migrasi sel otot polos, formasi makrofag ke
daerah intima vaskuler sehingga timbul aterogenesis (ADA, 2003;
Beckman, Creager & Libby, 2002)

Aterogenesis mengakibatkan penyempitan arteri, menyebabkan penurunan


aliran darah. Arteri yang paling sering terkena yaitu arteri pada tungkai,
terutama arteri femoralis dan poplitea. Jika sumbatan cukup besar dapat
mengakibatkan kematian jaringan pada bagian distal jaringan yang
diperdarahi hingga mampu menyebabkan amputasi. Gejala umum dari
PAD yaitu klaudikasio intermiten, yang merupakan perasaan tidak
nyaman, nyeri berat, mati rasa, kelemahan otot ekstremitas bawah
(O’Donnell,et al, 2011). Karakteristik klaudikasio adalah nyeri otot pada
betis, paha, pantat diperberat saat beraktifitas dan berkurang jika istirahat.
Lokasi klaudikasio intermiten berhubungan dengan daerah bagaian
proximal yang mengalami stenosis. Kaludikasio pada pantat, panggul atau

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
26

paha terjadi jika obstruksi pada aorta atau arteri iliaka dan beberapa
diantaranya juga berhubungan dengan disfungsi erektil. Klaudikasio pada
daerah betis yang paling dijumpai umumnya terjadi karena otot
gastrocnemius mengkonsumsi paling banyak oksigen selama ambulasi
disbanding otot tungkai lainnya, terjadi pada pasien yang mengalami
stenosis femoral dan popliteal. Klaudikasio pada kaki atau pergelangan
kaki terjadi jika adanya gangguan pada arteri tibial dan peroneal (Norgren
et al, 2007).

Ketika suplai darah ke kaki memburuk, nyeri dapat berlangsung terus-


menerus pada kaki atau tungkai. Nyeri iskemik istirahat umumnya dimulai
dari bagian distal jari kaki, nyeri memberat jika kaki dinaikkan dan
berkurang jika berdiri, duduk di kursi atau berjalan. Jika iskemi memberat
akan terjadi parastesi, dingin pada ektremitas, ulcerasi atau atau kematian
jaringan (Olin & Sealove, 2010). Iskemia yang terjadi lama-kelamaan
dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi otot seperti denervasi
dan drop out. Hilangnya serat-serat otot akan mengakibatkan penurunan
kekuatan dan atrofi otot.

2.2.3. Faktor risiko PAD


Aterosklerosis merupakan penyakit multifaktorial dan prosesnya berhubungan
dengan interaksi beberapa faktor risiko. Beberapa faktor risiko PAD menurut
Norgren & Hiatt (2007) yaitu; ras, jenis kelamin, usia, riwayat merokok, DM,
hipertensi, dislipidemia, Inflamatory marker, hiperviskositas dan hiperkoagulasi,
hiperhomosisteinemia dan insufisiensi ginjal kronik.

Menurut survey yang dilakukan oleh The National Health and Nutrition
examination di US, ditemukan nilai ABI <0.9 pada ras non Hispanic-black (7.8%)
dibandingkan pada ras Hispanic-white (4.4%). Prevalensi PAD meningkat seiring
dengan meningkatnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan wanita,
khususnya pada kelompok usia muda. Pada pasien dengan intermiten klaudikasio
rasio laki-laki:wanita antara 1:1 hingga 2:1. Beberapa penelitian lain juga

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
27

dikatakan distribusi PAD kurang lebih sama antara laki-laki dan perempuan
bahkan kadang-kadang lebih dominan wanita dengan Critical Limb Ischemia
(CLI) (Norgren & Hiatt (2007).

Perokok berisiko tiga kali lebih tinggi untuk terjadi klaudikasio intermiten dan
menunjukkan gejala 10 tahun lebih cepat dibandingkan dengan bukan perokok.
Perokok berisiko dua kali lipat untuk terjadi PAD dan penyakit arteri koroner.
Adanya hubungan yang erat antara perokok dan tingkat keparahan PAD
(O’Donnell et al, 2011). Terdapat hubungan yang erat antara DM dan PAD. Pada
pasien DM, setiap peningkatan 1% HbA1C akan terjadi peningkatan risiko PAD
sebanyak 26% (Selvin et al, 2004). Resistensi insulin meningkatkan faktor risiko
terjadinya PAD sebanyak 40-50% meskipun pada pasien tanpa DM. PAD lebih
cenderung terjadi pada pasien DM dibandingkan non DM, dengan keterlibatan
pembuluh darah besar ditambah dengan neuropati distal. Risiko terjadinya
amputasi 5-10 kali lebih besar pada pasien DM dibandingkan non DM. Hipertensi
juga berhubungan erat dengan seluruh penyakit kardiovaskular, diantaranya PAD.
33-35% pasien dengan PAD juga menunjukkan hipertensi (Clement, De Buyzere
& Duprez, 2004). Pada pasien PAD akan terjadi peningkatan nilai serum
trigliserid, Low Density Lipoprotein (LDL), kolesterol, Very Low Density
Lipoprotein (VLDL) trigliserid, VLDL protein, Intermediate Density Lipoprotein
(IDL) dan penurunan High Density Lipoprotein (HDL). Adanya suatu evidence
bahwa penatalaksanaan hiperlipidemia akan mengurangi progresivitas PAD dan
terjadinya intermiten claudikasio (Norgren & Hiatt, 2007).

Inflamasi telah diketahui sebagai penanda risiko penyakit aterotrombosis,


diantaranya PAD. Peningkatan C-Reactive Protein (CRP) berhubungan erat
dengan perkembangan PAD. Peningkatan CRP dapat ditemukan pada pasien
dengan gangguan toleransi glukosa dan diabetes (Beckman, Creager & Libby,
2002). Peningkatan CRP juga dapat sebagai penanda exaserbasi PAD. CRP akan
berikatan dengan reseptor sel endotel yang menyebabkan apoptosis. CRP juga
menstimulasi produksi endothelial procoagulan tissue factor, adhesi molekul
leukosit dan substansi kemostatis, menghalangi sintesa NO yang mengakibatkan

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
28

abnormalitas regulasi tonus vascular. Pada akhirnya CRP akan meningkatkan


produksi fibrinolisis, seperti plasminogen activator inhibitor (PAI).

Peningkatan hematokrit dan hiperviskositas dilaporkan terjadi pada pasien PAD,


sebagai akibat langsung dari merokok. Peningkatan fibrinogen sebagai faktor
risiko thrombosis berhubungan erat dengan PAD (Norgren & Hiatt, 2007).
Diabetes yang menyebabkan hiperkoagulasi dihubungkan dengan peningkatan
tissue factor oleh sel endothelial dan VSMCs seiring dengan peningkatan
konsentrasi faktor VII. Hiperglikemia juga berhubungan dengan penurunan
konsentrasi antitrombin dan protein C, gangguan fungsi fibrinolitik dan
peningkatan produksi PAI. Pada akhirnya akan meningkatkan viscositas darah dan
fibrinogen. Peningkatan viskositas dan fibrinogen ini berkaitan erat dengan
abnormalitas nilai ABI pada PAD (ADA, 2003).

Peningkatan kadar homosistein dalam darah digunakan sebagai faktor risiko


independen terjadinya thrombosis dan penyakit vascular dan kondisi
hiperhomosisteinemia akan lebih meningkatkan aterotrombosis vascular pada
individu yang merokok dan hipertensi (Irawan,Sja’bani & Astoni, 2005).
Hiperhomosisteinemia diketahui terjadi pada 30% pasien usia muda dengan PAD
(Norgren & Hiatt, 2007). Terdapat hubungan yang bermakna antara insufisiensi
renal dengan kejadian PAD. Studi yang dilakukan oleh Heart and
Estrogen/Progestin Replacement Study (HERS), insufiensi renal secara
independen berhubungan dengan kejadian PAD pada wanita postmenopause
(O’Hare, Vittinghoff, Hsia & Shlipak, 2004).

2.2.4. Diagnosis PAD


Pemeriksaan ABI merupakan lini pertama untuk screening dan diagnosis PAD
yang memiliki sensitifitas tinggi (79-95%) dan spesifisitas (95-96%)
dibandingkan dengan angiografi sebagai standar emas diagnosis PAD
Pengukuran ABI sangat mudah dan murah, meskipun ada beberapa variasi akurasi
dalam identifikasi stenosis yang signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh
Dachun et al (2010) menyebutkan tingginya spesifisitas (83%-99%) dan akurasi

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
29

(72.1%-89.2%) pada nilai ABI ≤ 0.9 untuk mendeteksi stenosis ≥ 50%, meskipun
terdapat perbedaan tingkat sensitifitas (15%-79%) dan nilai ABI ≤ 0.9 digunakan
sebagai acuan untuk mengidentifikasi adanya stenosis.

Pulse Volume Recording (PVR) merupakan tindakan noninvasive yang mengukur


aliran darah pada ektremitas atas atas maupun bawah. PVR merupakan tes
fungsional, yaitu alat ini tidak memeriksa pembuluh darah tertentu, melainkan
hanya menilai jumlah seluruh aliran darah pada tungkai yang diperiksa
(http://www.angiologist.com). Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan yaitu
duplex ultrasonography yang bertujuan untuk untuk mengetahui tempat lokasi
dari oklusi atau untuk mengetahui lebih lanjut tingkat keparahan PAD.
Ultrasonografi duplek dapat memberikan informasi mengenai ketebalan dinding
arteri, struktur pembuluh darah, kecepatan aliran darah dan turbulensi aliran
darah. Magnetic Resonance Angiography (MRA) akan mengevaluasi beberapa
arteri dalam tubuh dan mampu menemukan masalah yang terjadi, misalnya
stenosis, oklusi dan aneurisme. Ultrasonografi duplex telah dilaporkan kurang
sensitif dibandingkan dengan (MRA) dalam mendeteksi stenosis ≥ 50% pada arteri
ektremitas bawah (Collins et al, 2007).

2.2.5. Penatalaksanaan PAD


Penanganan PAD berupa intervensi untuk mengurangi gejala, meningkatkan
kualitas hidup dan mengurangi risiko komplikasi kardiovaskuler (Smith, 2012).
Intervensi meliputi:
1). Berhenti merokok
Adanya konseling cara berhenti merokok dan menghindari segala produk
tembakau dinilai efektif dalam perkembangan PAD. Berhenti merokok akan
mengurangi progresifitas aterosklerosis (ADA, 2003).
2). Diet atau manajemen berat badan
Pasien yang overweight (BMI 25-30) atau pasien obese (BMI>30) harus
mendapatkan konseling mengenai penurunan berat badan dengan
memperhatikan keseimbangan kalori negative melalui pengurangan intake
kalori, restriksi karbohidrat dan meningkatkan exercise.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
30

3). Latihan fisik


Latihan akan meningkatkan kontraksi otot dan akan meningkatkan
metabolism. Konsentrasi O2 lokal akan berkurang akibat penggunaan O2
yang lebih banyak pada sel-sel yang aktif melakukan metabolism untuk
fosforilasi oksidatif yang menghasilkan ATP. Proses ini akan mengakibatkan
perubahan kimiawi lokal, menyebabkan dilatasi arteriol lokal melalui
relaksasi otot polos arteriol (Sheerwood, 2011). Vasodilatasi arteriol lokal
akan menyebabkan peningkatan aliran darah ke daerah yang bersangkutan,
sehingga terjadilah hiperemia aktif. Jika kebutuhan metabolism sel
meningkat, akan dibutuhkan lebih banyak darah untuk menyerap O2 dan
nutrisi serta membuang sisa metabolism. Peningkatan aliran darah mampu
memenuhi peningkatan kebutuhan lokal ini. Laju aliran darah yang melewati
suatu pembuluh berbanding lurus dengan gradien tekanan pembuluh dan
berbanding terbalik dengan resistensi vaskuler. Sedangkan peningkatan dua
kali lipat jari-jari pembuluh akan menurunkan resistensi enam belas kali
lipat, sehingga berdasarkan hal ini peningkatan laju aliran darah berbanding
lurus dengan pangkat empat jari-jari pembuluh jika melewati gradien tekanan
yang sama. Semakin besar jari-jari pembuluh maka kecepatan aliran darah
juga semakin tinggi. Jantung secara bergantian berkontraksi untuk memompa
darah ke dalam arteri dan berelaksasi untuk menerima pemasukan darah dari
vena. Tekanan arteri rata-rata berfungsi untuk mendorong darah maju ke
jaringan selama seluruh siklus jantung.

Pada saat mencapai suatu organ yang diperdarahi, arteri akan bercabang
menjadi banyak arteriol dengan jari-jari pembuluh yang cukup kecil sehingga
mampu menghasilkan resistensi pembuluh darah yang tinggi. Hal ini akan
menyebabkan penurunan mencolok tekanan rata-rata ketika darah mengalir
melalui pembuluh ini. Penurunan tekanan pembuluh ini akan membentuk
perbedaan tekanan yang mendorong aliran darah dari jantung ke berbagai
organ di hilir.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
31

Tujuan latihan pada PAD yaitu mengurangi gejala pada kaki, meningkatkan
kapasitas latihan dan mecegah disabilitas fisik serta menurunkan terjadinya
gangguan kardiovaskuler (Hamburg & Balady, 2011). Isekmia jaringan pada
daerah yang perfusinya inadekuat akan menginduksi growth faktor, meliputi
vascular endhotelial growth factor dan hypoxia inducible factor-1α sehingga
merangsang angiogenesis (Patel et al, 2005). Latihan mampu menstimulasi
peningkatan aliran darah kolateral yang juga bergantung pada aktifitas growth
faktor dan peningkatan bioavailibilitas melalui stimulasi stres pada sintesis
NO endothelial. Adanya abnormalitas fungsi mitokondria mempengaruhi
penggunaan oksigen pada otot yang menghasilkan kerusakan endotel. Latihan
dipercaya mampu meningkatkan metabolism otot dan fungsi mitokondria.
Adanya inflamasi kronik akan mengakibatkan proses aterosklerosis. Penanda
inflamasi sistemik berupa C reactive protein dan adhesi soluble interselular
molekul-1 meningkatkan risiko perkembangan PAD. Aktifitas fisik diketahui
mampu menekan aktifasi inflamasi sehingga menekan perkembangan
aterosklerosis (Kasapis & Thompson, 2005). Sebuah penelitian eksperimental
pada pasien PAD dengan dan tanpa intermiten klaudikasio menyebutkan
bahwa latihan mampu meningkatkan jarak tempuh namun tidak mampu
meningkatkan ABI (Watson dalam Gibs, 2013).

4). Pengontrolan lemak


Semua pasien simptomatis PAD diharapkan mampu mencapai LDL-
kolesterol < 100 mg/dL. Pada pasien dengan PAD dan memiliki riwayat
penyakit vascular, misalnya penyakit arteri koroner diharapkan target LDL
kolesterolnya < 70 mg/dL. Semua pasien dengan simptomatis PAD dan tidak
memiliki riwayat penyakit jantung target LDL-kolesterol < 100 mg/dL. Pada
pasien yang mengalami peningkatan trigliserid dimana hasil LDL tidak
mampu dihitung secara akurat, nilai LDL diharapkan < 130 mg/dL. Untuk
mencapai target ini, harus dilakukan pendekatan modifikasi diet, meskipun
pada banyak kasus hanya terapi diet saja tidak mampu mengurangi tingkat
lipid, sehingga dibutuhkan terapi farmakologi. Pemberian statin terapi

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
32

diketahui mampu mengurangi tingkat LDL kolesterol (Norgren & Hiatt,


2007).
5). Pengontrolan hipertensi
Tekanan darah pada pasien hipertensi harus terkontrol (< 140/90 mmHg) atau
< 130/80 mmHg jika mereka juga memiliki diabetes atau insufisiensi ginjal.
JNC VII dan Europan guideline merekomendasikan penggunaan thiazide dan
ACE inhibitor diharapkan mampu menurunkan tekanan darah pada PAD
untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular. Pemberian penghambat
beta adrenergic juga tidak kontraindikasi untuk diberikan pada pasien PAD.
6). Pengontrolan kadar glukosa darah
Glukosa darah harus terkontrol dengan kriteria HbA1c < 7% atau mendekati
6% jika memungkinkan
7). Penggunaan terapi antiplatelet
Semua pasien dengan ada atau tidak riwayat penyakit kardiovaskular harus
diberikan obat antiplatelet jangka panjang untuk mengurangi risiko
morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Aspirin/ASA bermanfaat pada
pasien PAD yang juga mengalami penyakit kardiovaskular. Clopidogrel
efektif untuk mengurangi penyakit kardiovaskular pada pasien simptomatis
PAD.
8). Tindakan pembedahan
Pilihan terakhir penatalaksanaan pasien PAD yaitu melalui pembedahan.
Pembedahan diperlukan jika kondisi penyakit sudah berat, adanya klaudikasio
sehingga membatasi gaya hidup, nyeri iskemik saat istirahat dan atau
hilangnya jaringan (Smith, 2012).

2.3 Konsep Model Konservasi Levine


Model konservasi Levine dapat diterapkan pada asuhan keperawatan pada
pasien DM, karena pada pasien DM akan ditemukan adanya gangguan pada
integritas energi akibat gangguan fungsi dan kerja insulin dan mempengeruhi
integritas lainnya, seperti struktural, personal maupun sosialnya. Sebelum
membahas penerapan model konservasi Levine pada pasien DM, terlebih
dahulu akan dijelaskan mengenai biografi Myra Estrin Levine, konsep model

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
33

konservasi, metaparadigma, prinsip-prinsip konservasi dan integrasi model


konservasi dalam proses keperawatan hingga penerapannya pada pasien DM.

2.3.1 Biografi Myra Estrin Levine


Myra Estrin Levine lahir di Chicago, Illinois tahun 1920. Ia adalah anak
tertua dari tiga bersaudara. Levine mulai tertarik pada keperawatan karena
melihat kondisi ayahnya yang memerlukan perawatan akibat masalah
gastrointestinal. Levine lulus dari Cook County School of Nursing tahun
1944 dan mendapat gelar bachelor of nursing dari Universitas Chicago tahun
1949. Setelah lulus, Levine bekerja sebagai perawat sipil di US Army sebagai
supervisor perawat bedah dan administrasi keperawatan. Ia menyelesaikan
studi magister keperawatan di Universitas Wayne State tahun 1962. Ia juga
mengajar di beberapa institusi keperawatan, diantaranya Universitas Illionis
di Chicago dan Universitas Tel Aviv di Israel. Levine memiliki 77 artikel
publikasi, diantaranya “An Inroduction to Clinical Nursing”. Ia memperoleh
gelar Doktor tahun 1992 dari Universitas Loyola hingga pada akhirnya ia
meninggal tahun 1996 di usia 75 tahun.

Levine mengatakan awalnya ia tidak memiliki keinginan untuk


mengembangkan suatu teori, namun ia hanya menginginkan untuk
menemukan suatu cara yang bisa mengajarakan konsep utama dalam
keperawatan medikal bedah dan mengajarkan pendekatan baru kegiatan
keperawatan pada siswanya. Teori Levine dikenal dengan model konservasi.
Model ini menggunakan prinsip-prinsip konservasi dalam meningkatkan
adaptasi untuk kesehatan dan penyembuhan. Model ini memandu perawat
untuk berfokus pada pengaruh-pengaruh dan respon pada tingkat organismik.
Perawat mencapai tujuan dari model ini melalui konservasi energi, integritas
struktus, personal dan konservasi intergritas social (Parker, 2005).

2.3.2 Konsep Utama Model Konservasi


Tujuan dari model konservasi ini adalah meningkatkan adaptasi dan
memelihara keutuhan dengan menggunakan prinsip konservasi. Tiga konsep

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
34

utama dari model konseravasi yaitu;, adaptasi, keutuhan (wholeness) dan


konservasi.
a. Adaptasi
Adaptasi adalah proses berubah dan merupakan proses dimana klien
memelihara integritas di dalam lingkungan yang nyata baik internal
maupun eksternal (Levine dalam Parker, 2005). Karakteristik dari
adapatasi yaitu:
1) Historicity
Historicity mengandung makna bahwa respon adaptif didasarkan pada
riwayat personal dan genetik masa lalu.
2) Specificity
Spesifisitas mengandung makna bahwa setiap sistem pada manusia
memiliki respon stimulus yang unik dan respon tersebut distimulasi oleh
stressor spesifik dalam kehidupan seahari-hari.
3) Redundancy
Redundansi mengandung makna jika satu sistem atau jalur tidak mampu
beradaptasi, akan ada jalan lain yang melengkapi atau menyelesaikan
tugasnya. Redundansi bermanfaat jika tubuh merespon dengan baik,
namun kadangkala redundansi dapat merusak, misalnya ketika kondisi
autoimun yang menyerang sel tubuhnya sendiri sehingga dapat menyerang
jaringan tubuh yang sehat.

Kapasitas seseorang untuk beradaptasi terhadap lingkungan disebut


sebagai respon organismik. Respon ini membantu individu dalam
melindungi dan mempertahankan integritas mereka. Respon tersebut
dibagi menjadi empat, yaitu; 1) Fight-flight yang merupakan respon paling
primitif, seseorang mempersepsikan mengalami ancaman meskipun
ancaman tersebut sebenarnya tidak ada. 2) Respon Inflamasi, merupakan
mekanisme pertahanan untuk melindungi diri dari kerusakan lingkungan
dan cara untuk meningkatkan penyembuhan.3) Respon stres, merupakan
respon yang berkembang menurut waktu, dipengaruhi oleh pengalaman
dalam mempersepsikan stressor pada masing-masing individu. Stres

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
35

mengakibatkan perubahan hormonal yang berpengaruh pada perubahan


struktur tubuh. 4) Respon perseptual, mendapatkan informasi dari
lingkungan dan mengubahnya menjadi pengalaman yang berarti
b. Keutuhan/ wholeness
Keutuhan menurut Erikson digambarkan sebaagi suatu sistem yang
terbuka. Keutuhan dapat dipertahankan jika terjadi interaksi atau adaptasi
yang konstan dengan lingkungan. Keutuhan dapat dicapai jika perawat
mampu menerapkan prinsip-prinsip konservasi (Alligood, 2010).
c. Konservasi
Konservasi adalah hasil dari adaptasi, menjaga bersama-sama
kelangsungan sistem kehidupan, yaitu menjaga keseimbangan antara
energi yang didapatkan dengan energi yang dikeluarkan di dalam realitas
yang unik dari individu (Alligood, 2010).

2.3.3 Paradigma Keperawatan


Metaparadigma keperawatan menurut Alligood (2010) dan
www.currentnursing.com, yaitu:
a. Manusia
Menusia merupakan mahluk holistik yang terus menerus berusaha untuk
mempertahankan keutuhan dan integritas. Integritas diartikan sebagai
kemampuan seseorang untuk mengontrol kehidupannya.
b. Lingkungan
Lingkungan akan melengkapi keutuhan indivisu. Lingkungan dibagi
menjadi dua, yaitu lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal
menggabungkan aspek fisiologis dan psikologis dari individu. Lingkungan
eksternal meliputi prakonseptual, operasional dan konseptual.
Prakonseptual merupakan aspek yang mampu ditangkap oleh panca indera
manusia, diantaranya; cahaya, suhu, suara, sentuhan, perubahan bau dan
rasa serta keseimbangan. Lingkungan operasional merupakan unsur yang
mungkin secara fisik mempengaruhi individu, namun tidak mampu untuk
dirasakan, misalnya radiasi, mikroorganisme dan polutan. Konseptual

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
36

merupakan bagian dari lingkungan, diantaranya adanya keberadaan


spiritual, ide-ide nilai, keyakinan dan tradisi.
c. Kesehatan
Kesehatan dan penyakit merupakan pola perubahan yang adaptif.
Kesehatan adalah suatu keutuhan dan keberhasilan proses adaptasi. Tujuan
keperawatan yaitu untuk meningkatkan kesehatan dan kesehatan
digunakan sebagai jalan kembalinya individu dalam melakukan aktifitas
sehari-hari setelah kondisi sakit. Fokus tindakan keperawatan yang
dilakukan tidak hanya penyembuhan pada area yang terkena, namun juga
untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.
d. Keperawatan
Keperawatan melibatkan adanya interaksi manusia (Levine, 1973). Tujuan
keperawatan adalah untuk meningkatkan adaptasi, dan memelihara
keutuhan dengan melihat keunikan dari setiap individu. Perhatian pada
individu dilakukan sebagai tanggung jawab perawat untuk membantu
pasien meningkatkan penyembuhan. Tujuan keperawatan ini dapat dicapai
melalui penerapan prinsip-prinsip konservasi.

2.3.4 Prinsip-Prinsip Konservasi


a. Konsevasi energi
Konservasi energi bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara masukan
dan pengeluaran energi untuk menghindari kelelahan berlebihan. Individu
membutuhkan keseimbangan energi ini unutk menjaga kelangsungan
hidupnya (Leach, 2006; Basavanthappa, 2007). Contoh konservasi energi
yaitu meliputi istirahat dan latihan yang cukup, nutrisi adekuat.
b. Konservasi integritas struktur
Konservasi integritas struktur yaitu memelihara dan memulihkan struktur
tubuh dengan mencegah kerusakan fisik dan meningkatkan proses
penyembuhan. Misalnya perawat membantu mencegah kerusakan fisik,
meningkatkan penyembuhan, mencegah proses penyebaran infeksi,
membantu positioning, ROM, membantu personal hygiene

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
37

c. Konservasi intergritas personal


Mengakui individu sebagai seseorang yang ingin mendapatkan pengakuan,
penghormatan, kesadaran diri dan menentukan nasib sendiri. Konservasi
inegritas personal dilakukan dengan memelihara identitas diri, harga diri
dan mengakui keunikan klien. Misalnya, mengetahui dan melindungi
privasi klien.
d. Konservasi integritas sosial
Konservasi integritas sosial menekankan keasadaran bahwa pasien adalah
mahluk sosial, ia berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sosialnya
(Leach, 2006: Basavanthappa, 2007). Perawat berperan membantu pasien
dengan menghadirkan anggota keluarga, membantu kebutuhan religious
serta menggunakan hubungan interpersonal untuk konservasi integritas
sosial (Alligood & Tomey, 2006). Perawat juga dapat membantu mengatur
posisi bed pasien agar memudahkan interaksi dengan pasien lainnya,
mencegah distraksi dan mengajarkan keluarga hal-hal yang berkaitan
dengan kebutuhan pasien (Fawcett, 2005).

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
38

Model konservasi Levine secara umum dapat dijelaskan dalam gambar 2.2
dibawah ini:

Individu

Lingkungan internal Interaksi Lingkungan eksternal

Fisiologi Patofisiologis Persepsi Operasional Konseptual


s

Respon organismik
Fight-flight
Inflamasi
Stres
Konservasi : Perseptual
Integritas energi
Integritas struktur
Integritas Personal
Integritas sosial
Adaptasi

Keutuhan

Gambar 2.2 Model Konservasi Levine


Sumber: Tomey & Alligood, 2007

Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa manusia selalu berinteraksi


dengan lingkungan internal yang yang dipengaruhi oleh kondisi fisiologi dan
patofisiologi dan lingkungan eksternal yang dipengaruhi oleh persepsi,
operasional dan konseptual. Hasil interaksi manusia dengan lingkungan ini akan
menghasilkan proses adaptasi yang dapat dilihat dari respon organismik, meliputi
fight-flight, inflamasi, stres dan perseptual. Perawat bertujuan untuk

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
39

meningkatkan adaptasi melalui menerapkan prinsip konservasi; yaitu konservasi


integritas energi, struktural, personal dan sosial sehingga keutuhan tercapai.

2.3.5 Proses Keperawatan Menurut Model Konservasi Levine


Penerapan model konservasi Levine pada proses keperawatan mencakup proses
pengkajian, penetapan diagnosis melalui trophicognosis, menentukan hipotesa,
melakukan intervensi serta evaluasi.
a. Pengkajian
Pengkajian dilakukan melalui wawancara, pemeriksan fisik dan mencari
sumber data pendukung (hasil diagnostik atau pemeriksaan laboratorium).
Perawat menilai respon organismik dari pasien dan mengkaji riwayat
kesehatan sebelumnya. Pengkajian yang dilakukan bergantung dari aplikasi
konservasi yang dilakukan. Pada pengkajian konservasi energi, perawat
mengobservasi TTV, kondisi umum pasien, perilaku dan toleransi pasien
terhadap aktifitas keperawatan yang dilakukan. Pada pengkajian integritas
struktural, perawat mengkaji proses patofisiologis, proses penyembuhan dan
pengaruh dari tindakan pembedahan. Pengkajian pada integritas personal
mencakup; riwayat kehidupan pasien, menentukan partisispasi pasien dalam
membuat keputusan dan mengidentifikasi kesadaran diri pasien. Pengkajian
integritas sosial yaitu mengidentifikasi kehidupan sosial pasien,hubungan
pasien dengan keluarga, orang terdekat, keterlibatan dalam kegiatan sosial
dan budaya (Fawcett, 2005)
b. Diagnosa keperawatan (Trophicognosis)
Setelah melakukan pengkajian, langkah selanjutnya yaitu menyusun diagnosa
keperawatan atau trophicognosis. Penyusunan trophicognosis ini didasarkan
oleh data hasil observasi, disesuaikan dengan metode ilmiah. Fakta
dikumpulkan dan disusun agar dapat memecahkan masalah atau mencari jalan
keluar untuk kesulitan pasien.
c. Hipotesis dan Intervensi
Hipotesis merupakan intervensi keperawatan secara langsung dengan tujuan
mempertahankan keutuhan dan meningkatkan adaptasi. Perawat melakukan
validasi terhadap pasien mengenai masalahnya, selanjutnya membuat

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
40

hipotesis dan solusi mengenai masalah tersebut. Intervensi keperawatan


merupakan upaya untuk menguji hipotesis. Perawat mengimplementasikan
rencana keperawatan yang disesuaikan dengan kebijakan administratif,
tersedianya peralatan dan disesuaikan dengan standar keperawatan. Rencana
keperawatan bertujuan untuk meningkatkan adaptasi, disesuaikan dengan
prinsip konservasi.
d. Evaluasi
Perawat mengevaluasi pengaruh pemberian intervensi dan melakukan revisi
pada trophicognosis jika intervensi dirasakan belum sesuai dan perlu
perbaikan. Indikator keberhasilan intervensi yang diberikan yaitu dengan
melihat respon organismik pasien.

2.3.6 Penerapan Model Konservasi Levine Pada Perawatan Pasien


Levine membantu menunjukkan bagaimana keperawatan tersebut dengan
mengidentifikasi aktifitas keperawatan yang berdasarkan suatu prinsip
keilmuan. Kerangka kerja penerapan prinsip konservasi tidak hanya terbatas
digunakan pada perawatan pasien di Rumah Sakit , namun dapat juga
diterapkan di lingkungan atau komuitas. Hirschfeld (1976) dalam Tomey &
Alligood (2010) telah menggunakan prinsip-prinsip konservasi pada
perawatan pasien dewasa. Prinsip-prinsip konservasi juga telah digunakan
sebagai kerangka kerja pada beberapa tempat, misalnya di bagian kardiologi,
obstetri, gerontologi, neurologi, pediatrik, perawatan pasien yang lama,
perawatan gawat darurat, pasien kritis, neonatologi dan pada komunitas
(Savage & Culbert, 1989; Schaefer & Pond, 1991 dalam Tomey & Alligood,
2010). Cooper (1990) dalam Tomey & Alligood (2010) telah
mengembangkan suatu kerangka kerja perawatan luka yang berfokus pada
integritas struktural dengan mengintegrasikan seluruh integritas. Demikian
juga Leach (2014) yang menerapkan model konservasi untuk mengarahkan
praktik perawatan luka.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
41

Penerapan aplikasi model konservasi Levine pada pasien dengan Venous Leg
Ulcer digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.3 Penerapan model konseptual Levine pada manajemen luka


Sumber: http://www.ids-healthcare.com

Konservasi energi didasarkan keseimbangan energi dimana suatu penyakit


akan meningkatkan kebutuhan energi dan peningkatan energi ini dapat
diukur melalui tingkat keletihan. Perawat bertujuan untuk mengkonservasi
energi pasien dengan mengurangi durasi dari leg ulcer yaitu dengan
memilih penanganan luka yang tepat untuk memulihkan integritas kulit
dan meminimalkan pengeluaran energi. Untuk mengkonservasi integritas
struktural, pemberian terapi kompresi dapat memperbaiki integritas kulit
dan vena sehingga proses penyembuhan luka akan meningkat. Kondisi
tersebut akan berdampak pada menurunnya pengeluaran energi fisik untuk
proses penyembuhan, menurunakan depresi, kecemasan dan citra diri yang
negatif, menurunakan isolasi, imobilisasi dan pengeluaran finansial.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
42

Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengkonservasi intergritas struktural


berdampak sistemik pada konservasi energi, personal maupun sosial.

2.4 Penerapan Model Konservasi Levine pada Pasien Diabetes Melitus


2.4.1 Pengkajian
Pengkajian yang dilakukan pada pasien DM dititikberatkan pada
pengkajian pada prinsip konservasi, meliputi pengkajian konservasi
integritas energi, konservasi integritas struktural, konservasi integritas
personal dan konservasi integritas sosial

2.4.1.1 Konservasi integritas energi


a. Perubahan lingkungan internal
Perubahan lingkungan internal mencakup perubahan pada aspek fisiologis
dan psikologis yang mempengaruhi keseimbangan energi. Pengkajian ini
meliputi; pernafasan, oksigenasi, sirkulasi, nutrisi, aktifitas dan istirahat,
fungsi neurologis dan fungsi endokrin.
1). Pernafasan, oksigenasi dan sirkulasi
Pasien diabetes yang mengalami komplikasi, terutama ketoasidosis
diabetic (KAD) dan komplikasi jantung dapat mengalami masalah pada
pernafasan, oksigenasi dan sirkulasi. Pada pasien KAD dapat ditemukan
adanya pernafasan kusmaul sebagai kompensasi dari asidosis metabolik
yang terjadi. Dislipidemia yang menyertai diabetes dapat mengakibatkan
terjadinya penyumbatan pembuluh darah pada jantung sehingga
menurunkan sirkulasi darah pada tubuh. Aterogenesis yang terjadi di
tungkai dapat mengakibatkan terjadinya PAD, sehingga menurunakan
sirkulasi darah ke perifer. Perawat perlu mengkaji TTV, saturasi
oksigen,AGD dan ABI
2). Nutrisi
Resistensi insulin dan obesitas merupakan penyebab DM Tipe 2. Perawat
perlu mengkaji adanya obsesitas serta adanya lipolisis yang menyertai DM
mengakibatkan penurunan cadangan lemak sehingga terjadi penurunan
berat badan. Perawat perlu mengkaji adanya penurunan berat badan dan

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
43

antopometri pada pasien DM. Penilaian IMT pada pasien bertujuan untuk
menghitung kebutuhan kalori yang dibutuhkan pasien. Hal lainnya yang
dperlu dikaji yaitu tanda-tanda anemia, hasil lab Hb, albumin,
dislipidemia. Adanya komplikasi gastroparesis menimbulkan gangguan
intake nutrisi. Perawat perlu mengkaji tanda-tanda gastroparesis pada
pasien DM, seperti mual, muntah, perasaan kenyang, kembung, distensi
abdomen.
3). Cairan dan elektrolit
Pada pasien DM yang mengalami komplikasi nefropati, terlebih lagi pada
pasien yang menjalani HD pengkajian status cairan sangat penting
dilakukan. Pasien DM juga mengalami gangguan pada elektrolit,
diantaranya Natrium, Kalium dan magnesium. Perawat perlu
mengobservasi adanya perubahan pada nilai elektrolit kerena perubahan
ini berpengaruh pada metabolisme dan fungsi tubuh.
4). Aktifitas dan istirahat
Kelemahan/ fatigue yang menyertai DM dapat mempengaruhi aktifitas
pasien. Kelemahan yang terjadi umumnya akibat penurunan Hb dan
gangguan elektrolit. Perawat juga perlu mengkaji tingkat aktifitas yang
mampu dilakukan pasien dan mencari penyebab adanya gangguan isirahat
pada pasien.
5). Fungsi neurologis
Kondisi KAD, hipoglikemia maupun keadaaan sepsis yang menyertai DM
akan mengakibatkan perubahan fungsi neurologis. Pasien akan mengalami
penurunan kesadaran bahkan dapat menimbulkan kerusakan otak
permanen. Adanya neuropati perifer pada pasien DM dapat dikaji melalui
pemeriksaan menggunakan monofilament. Neuropati otonom dapat
diketahui dari penurunan distribusi rambut pada kaki, kulit kaki yang
kering. Neuropati motorik dapat dilihat dari perubahan bentuk kaki.
6). Fungsi endokrin
Pada semua pasien DM wajib dilakukan pemeriksaan HbA1c dan
pemeriksaan C-peptide pada pasien yang dicurigai menderita DM Tipe 1.
Perawat juga perlu mengkaji nilai gula darah pasien.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
44

b. Perubahan lingkungan eksternal


Perubahan lingkungan eksternal yang mempengaruhi integritas energi
meliputi adanya riwayat penyakit dahulu seperti stroke, hipertensi,
gangguan pernafasan, gangguan jantung. Riwayat pengobatan yang pernah
diterima, gaya hidup pasien sebelumnya, misalnya suka makanan junk
food, merokok, minum alkohol yang dapat mempengaruhi keadaan
sakitnya saat ini. Adanya riwayat penyakit keluarga yang menderita DM,
hipertensi ,jantung juga perlu dikaji.

2.4.1.2 Konservasi integritas struktural


a. Perubahan lingkungan internal mencakup perubahan pada aspek fisiologis
dan psikologis yang mempengaruhi struktur tubuh serta hal-hal yang
berkaitan dengan proses penyembuhan.
1) Eliminasi
Adanya gastroparesis yang menyertai DM, gangguan elektolit terutama
kalium berpengaruh pada eliminasi. Pasien dapat mengalami konstipasi
maupun diare yang mengakibatkan ketidaknyamanan, sehingga perawat
perlu mengkaji adanya gangguan eliminasi pada pasien DM.
2) Sensori persepsi
Perubahan lingkungan internal pada integritas struktur meliputi adanya
perubahan pada sensori persepsi. Data yang ditemukan meliputi adanya
penurunan pengelihatan akibat retinopati
3) Integumen
Adanya neuropati perifer dan trauma mengakibatkan pasien berisiko
mengalami luka pada kaki. Pengkajian lainnya yaitu adanya berubahan
bentuk kaki akibat neuropati motorik, kaki kering dan pertumbuhan
rambut kaki yang menipis akibat neuropati otonom serta adanya infeksi.
b. Perubahan lingkungan eksternal
Pengkajian pada perubahan lingkungan eksternal meliputi adanya riwayat
luka sebelumnya, perawatan luka selama dirumah, manajemen nutrisi dan
latihan fisik.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
45

2.4.1.3 Konservasi integritas personal


a. Perubahan lingkungan internal
Pengkajian integritas personal meliputi pengkajian pada konsep diri, yang
meliputi citra tubuh, harga diri, ideal diri dan identitas diri. Pasien
diabetes, terutama yang telah mengalami komplikasi diabetes, seperti
retinopati ataupun luka/amputasi akan memberikan dampak psikologis
pada pasien, terutama jika pemenuhan kebutuhan dasarnya tergantung
dengan orang lain. Pengkajian yang dapat dilakukan meliputi: menanyakan
bagaimana perasaan pasien akan kondisi sakitnya saat ini, apakah pasien
merasa dihargai, apa harapan pasien terhadap hidupnya sekarang,
bagaimana pasien melihat kondisi fisiknya saat ini. Perawat juga dapat
mengkaji nilai dan kepercayaan pasien terhadap pola
penerimaan/penolakan terhadap kondisinya.
b. Perubahan lingkungan eksternal
Pengkajian perubahan lingkungan eksternal meliputi pengkajian terhadap
pandangan keluarga atau orang terdekat mengenai kondisi fisik yang
mempengaruhi konsep diri pasien, bagaimana mereka menjadi pendengar
bagi pasien dan selalu memberikan dukungan pada pasien selama
perawatan. Status pernikahan saat ini,apakah pasien duda/janda, hubungan
dengan suami/istri juga mempengaruhi konsep diri pasien.

2.4.1.4 Konservasi integritas sosial


a. Perubahan lingkungan internal
Pengkajian lingkungan internal dapat dikaji melalui bagaimana hubungan
pasien dengan orang lain, keluarga serta masyarakat. Perawat dapat
mengkaji bagaimana hubungan pasien dengan pasien lainnya yang
sekamar, bagaimana pasien berpartisipasi untuk penyembuhan melalui
hubungannya dengan perawat, dokter atau petugas kesehatan lainnya.
Pengkajian lainnya yaitu bagaimana pekerjaan pasien selama ia sakit,
bagaimana pemenuhan religius pasien selama ia sakit.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
46

b. Perubahan lingkungan eksternal


Pengkajian lingkungan eksternal meliputi dukungan yang diperoleh pasien
dari suami/istri, keluarga, orang terdekat ataupun masyarakat selama ia
sakit dan gangguan yang terjadi selama ia berinteraksi dengan orang lain.

2.4.2 Diagnosa Keperawatan (Trophicognosis)


Model konservasi Levine tidak menjelaskan diagnosa
keperawatan/trophicognosis pada pasien DM, sehingga diagnosa
keperawatan yang dimunculkan disesuaikan dengan hasil pengkajian sesuai
dengan keempat prinsip konservasi, yaitu pengkajian pada konservasi
integritas energi, struktural, personal dan sosial yang mengacu pada
NANDA (2012).
a. Konservasi Integritas Energi
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pengkajian integritas energi yaitu;
gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan ventilasi dan
perfusi, risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor risiko
dislipidemia, DM dan hipertensi, risiko ketidakseimbangan elektrolit dengan
faktor risiko gangguan mekanisme regulasi pada DM, kelebihan volume
cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi,ketidakefektifan
perfusi jaringan perifer berhubungan dengan adanya sumbatan aterogenesis,
risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen
diabetes inefektif, status hipermetabolik atau proses infeksi, keletihan
berhubungan dengan penurunan energi metabolik.
b. Konservasi Integritas Struktural
Diagnosa keperawatan yang muncul pada integritas struktural yaitu; risiko
ketidakefektifan perfusi ginjal dengan faktor risiko hipertensi, kerusakan
integritas jaringan berhubungan dengan agen injuri fisik, neuropati perifer
dan infeksi, risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas,
gangguan sensori persepsi: pengelihatan b.d adanya komplikasi retinopati.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
47

c. Konservasi Integritas Personal dan Sosial


Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada integritas personal dan
sosial yaitu ketidakberdayaan berhubungan dengan regimen penyakit akibat
gangguan fisik dan ketergantungan terhadap orang lain.

2.4.3 Intervensi Keperawatan


Intervensi keperawatan yang dilakukan harus berdasarkan hipotesis yang
akan memberikan arahan dalam menetapkan intervensi keperawatan untuk
meningkatkan adaptasi dan menjaga keutuhan. Hipotesis ini merupakan
kriteria hasil yang ditetapkan dan intervensi keperawatan yang dilakukan
pada pasien DM mengacu pada NIC (2008) yaitu:
a. Intervensi konservasi energi
Intervensi yang mencakup konservasi integritas energi yaitu; respiratory
monitoring pada gangguan pertukaran gas, manajemen elektrolit untuk
mengatasi gangguan ketidakseimbangan elektrolit, energy management
pada masalah keletihan, manajemen shock cardiac untuk masalah risiko
penurunan perfusi jantung. Untuk mengatasi masalah ketidakefektifan
perfusi jaringan perifer, NIC yang dilakukan yaitu peripheral sensasion
management dan foot care. Intervensi untuk risiko ketidakstabilan kadar
glukosa darah yaitu manajemen hiperglikemia dan manajemen hipoglikemia
serta terapi nutrisi untuk masalah gangguan ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh.
b. Intervensi konservasi struktural
NIC yang mencakup konservasi integritas struktural yaitu wound care dan
infection control untuk masalah risiko infeksi dan kerusakan integritas
jaringan, fall prevention untuk masalah risiko cidera
c. Intervensi konservasi personal dan sosial
NIC yang mencakup konservasi integritas personal dan sosial akibat
ketidakberdayaan, keputusasaan dan harga diri rendah yaitu hope
inspiration dan self esteem enhancement.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
48

2.4.4 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi keperawatan berdasarkan Levine yaitu dilihat dari respon
organismik yang dihasilkan pasien dengan hasil baik atau supportive dan
tidak berhasil atau unsupportive. Evaluasi dikatakan berhasil jika terjadi
peningkatan perubahan perilaku sehat dan memberi kenyamanan pada
pasien, sedangkan dikatakan tidak berhasil jika kondisi pasien semakin
memburuk sehingga perlu dilakukan pengkajian ulang (Fawcett, 2005).

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
BAB 3
PENERAPAN MODEL KONSERVASI LEVINE PADA ASUHAN
KEPERAWATAN 31 PASIEN DENGAN DIABETES MELITUS

Pada BAB ini akan diuraikan apikasi peran perawat sebagai pemberi asuhan
keperawatan dengan menggunakan pendekatan teori model konservasi Levine.
Penerapan teori model ini dalam suatu asuhan keperawatan mengacu pada
rangkaian proses keperawatan yang dimulai dari pengkajian hingga evaluasi.
Pengkajian keperawatan dilakukan melalui proses observasi dan pengumpulan
data yang bisa diperoleh baik dari pasien, keluarga atau orang lain yang memiliki
hubungan dengan pasien, hasil pemeriksaan laboratorium maupun dari riwayat
medis sebelumnya. Perawat juga menggunakan pengkajian yang sesuai dengan
model konservasi ini yang meliputi pengkajian integritas energi, srtuktur, personal
dan sosial.

Perawat melakukan pengkajian konservasi energi dengan menentukan


kemampuan pasien untuk melakukan aktifitas tanpa memperlihatkan kelelahan.
Pada pengkajian konservasi struktur, perawat mengkaji fungsi fisik dari pasien
sedangkan pada pengkajian konservasi personal pengkajian dilakukan dengan
melihat nilai moral dan etik, konsep diri serta pengalaman hidup pasien. Perawat
juga melakukan pengkajian konservasi integritas sosial dengan menilai dukungan
dan peran serta keluarga, teman dan lingkungan dalam perawatan pasien.
Penerapan aplikasi teori Levine dalam asuhan keperawatan pasien DM dijabarkan
sebagai berikut:

3.1. Gambaran umum kasus


3.1.1 Pengkajian
a. Identitas klien
Nama : Ny N
Umur : 50 tahun
Jenis kelamin : Perempuan

49 UNIVERSITAS INDONESIA

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


50

Pendidikan : Tamat SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Jl. Kebon Nanas Selatan Cipinang
Cempedak Jatinegara, Jakarta Timur
Tanggal Masuk Rumah Sakit (MRS)
: IGD 25/3/2014 pukul 21.56 WIB
Pindah ke 715 C tgl 26/3/2014 pukul 17.30
Tanggal Pengkajian : 28/3/2014
Waktu pengkajian : 10.00
Diagnosa medis : DM tipe 2, post amputasi digiti V dan
debridement digiti III.
b. Keluhan utama:
Nyeri pada kaki kiri skala 3 sejak 1 minggu yang lalu
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien datang ke IGD RSCM dengan keluhan utama saat itu bengkak di kaki
kiri, terutama pada jari kelingking sejak 2 minggu Sebelum Masuk Rumah
Sakit (SMRS). Tidak diketahui penyebab luka dan luka tidak didahului
adanya trauma. Awalnya jari terasa nyeri, makin lama makin makin
membengkak, kemerahan dan timbul luka yang semakin membesar. Hasil
rontgen pedis: tidak ditemukan adanya tanda kelainan tulang pada pedis
sinistra. Digiti V tampak kehitaman, selanjutnya tanggal 26/3/2014 pasien
dilakukan amputasi digiti V dan debridement digiti III. Hasil lab selama di
IGD: GDS 593 mg/dL, keton 0.1 mmol/L (0.0-0.6), albumin 3.0 g/dL(3.4-
4.8) globulin 3.4, SGOT 10 U/L (< 27), SGPT 4 U/L (< 34), Ureum 10
mg/dL (< 50), creatinin darah 1.0 mg/dL (0.6-1.2). Hasil Analisa Gas Darah=
pH 7.42 (7.35-7.45), pCO2 24 (35-45), pO2 110 (75-100), HCO3 18.3 (21-
25), saturasi O2 98% (95-98), D-dimer 300 µg/dL (0-300), fibrinogen 701
mg/dL (136-384), APTT 22/31 dtk (31-47), PT 9/11 dtk (9.8-12.6). DPL= Hb
12.1 g/dL (12-15), Ht 34% (36-46), Leukosit 12.500/µL (5000-10.000),
Trombosit 321.000/ µL (150.000-400.000). Elektrolit= Na 135 mEq/L (132-

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
51

147), K 3.9 mEq/L (3.3-5.4), Cl 94 mEq/L (94-111). Terapi yang diberikan


selama di IGD yaitu ampicillin sulbactam 4x1.5 gram, paracetamol 3x500
mg, OMZ 1x40 mg, captopril 3x25 mg, simvastatin 1x20 mg, tramadol
3x100 mg. Cairan parenteral NS 0.9% 500 cc/8 jam, drip insulin 50 unit
dalam NS 0.9% 50 cc 1 unit/jam, correctional dose kelipatan 5 unit.
Tanggal 26/3/14 pukul 17.30 pasien dipindahkan ke ruang 715C untuk
perawatan selanjutnya. Kondisi pasien saat dipindahkan yaitu kesadaran
compos mentis, TD 130/70 mmHg, N=80, S=37, RR=18, dengan keluhan
nyeri di kaki skala 2. Pasien terpasang cairan parenteral NS 0.9% 500 cc/8
jam, drin insulin 0.5 unit/jam dan kadar glukosa darah 254 mg/dL. Masalah
keperawatan yang muncul saat itu yaitu ketidakstabilan kadar glukosa darah,
risiko perluasan infeksi dan nyeri akut.

d. Riwayat Kesehatan Sebelumnya


Pasien didiagnosis DM sejak 3 tahun yang lalu. Kontrol tidak teratur di klinik
dekat rumah karena merasa tubuh telah sehat dan tidak ada yang mengantar.
Pasien mendapat obat glimepirid, dosis tidak diketahui. Gula darah saat
kontrol 300-400 an. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi sejak 2 tahun
yang lalu, kontrol tidak teratur. Riwayat alergi/asma, TB disangkal. Ibu
pasien meninggal karena stroke.

3.1.1.1 Pengkajian konservasi integritas energi


Perawat melakukan pengkajian konservasi energi dengan menentukan
kemampuan pasien untuk melakukan aktifitas tanpa memperlihatkan
kelelahan. Perawat mengkaji adanya interaksi antara pasien dengan
lingkungan, baik lingkungan internal maupun eksternal.
a. Perubahan lingkungan internal
1) Oksigenasi, pernafasan dan sirkulasi
Kesadaran pasien compos mentis, konjungtiva tidak anemis, tidak tampak
tanda sianosis pada bibir maupun kuku. CRT 4 detik. Akral dingin.
Tekanan darah = 150/80 mmHg, N=88x/mnt, S= 37.3°C, RR=20 x/mnt.
JVP 5-2 cmH2O

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
52

Paru: suara nafas vesikuler/vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)


Jantung : bunyi jantung S1S2 tunggal, reguler, murmur/gallop tidak ada
EKG: SR, HR rate 90 , T wave normal, ORS int 0.08 s, ST-T change (-),
RVH (-), LVH (-), BBB (-). Ecchocardiografi tanggal 18/4/2014: global
normokinetik, fungsi sistolik Left Ventrikel (LV) dan Right Ventrikel (RV)
baik. Hasil laboratorium tanggal 27/3/2014: hasil pemeriksaan AGD= pH
7.372 (7.35-7.45), pCO2 42.5 mmHg(35-45), pO2 84.3 mmHg (75-100),
HCO3 25 mmol/L (21-25), Total CO2 26.3 mmol/L (21-27),Base Excess
0.2 mmol/L (-2.5-+2.5), O2 saturasi 95.6% (95-98). Hb 11.9 g/dL (12-15).
Hasil pemeriksaan trigliserida 120 mg/dL (< 150), kolesterol LDL 127
mg/dL (< 100), kolesterol HDL 47 mg/dL (≥ 40) dan kolesterol total 230
mg/dL (120-200). Pasien mengeluh kaki kiri terasa nyeri skala 3, baal dan
kesemutan.

Berdasarakan data diatas masalah integritas energi terjadi akibat nyeri yang
ditimbulkan oleh adanya penurunan sirkulasi ke bagian perifer dan pasien
berisiko untuk terjadinya masalah pernafasan akibat saturasi O2 yang berada
pada rentang borderline.

2) Nutrisi
Pasien mengatakan mengalami penurunan berat badan sekitar 10 kg dalam 6
bulan terakhir. Nafsu makan menurun, hanya habis ¼ porsi karena mual dan
tidak nafsu makan karena perut terasa kenyang. Pasien mengatakan tidak
suka dengan ayam, kecuali ayamnya digoreng.
Berat Badan (BB)= 58 kg, Tinggi Badan (TB)= 156 cm, Indeks Masa Tubuh
(IMT) = 23.8 (BB lebih), LLA=24.5 cm
Berat Badan Ideal (BBI)= (156-100) x 90%= 50,4 kg.
Tidak ada riwayat alergi makanan.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
53

Penghitungan kalori:
Kebutuhan basal : BBI x 25 kkal= 50.4x25= 1260
Koreksi:
Usia - 5% x 1260= 63
Aktifitas + 10% x 1260= 126
Stres + 30% x 1260= 378
BB - 20% x 1260 = 252 === 1449 1500 kkal
Pasien mendapat 3 kali makan besar dan 2 kali makan selingan. Extra telur
3 butir/hr.
Hasil laboratorium tanggal 27/3/2014, Hb 11.9 g/dL (12-15) dan albumin
3.0 g/dL(3.4-4.8) tanggal 26/3/2014.

Berdasarakan data diatas masalah integritas energi dapat terjadi akibat


penurunan asupan makan pasien.

3) Cairan dan elektrolit


Mukosa bibir lembab, turgor kulit baik. Berdasarkan hasil penghitungan
balans cairan, didapatkan total input 2600 cc yang berasal dari cairan oral
1100 cc dan infus 1500 cc. Total output didapatkan 2400 cc yang berasala
dari urin 1700 cc, IWL 600 cc, feses 100 cc, sehingga keseimbangan cairan
didapatkan kelebihan 200 cc.

Saat ini pasien mendapat terapi IVFD NS 0.9%/ 8jam. Hasil lab Elektrolit=
Na 139 mEq/L (132-147), K 4.31 mEq/L (3.3-5.4), Cl 96 mEq/L (94-111).
Magnesium 1.56 mg/dL.
Hasil lab tanggal 3/4/2014: Kalium 2.88 mEq/L, Natrium 121 mEq/L,
Klorida 86.4 mEq/L dan pasien mengeluh lemas.

Berdasarakan data diatas masalah integritas energi dapat terjadi akibat


adanya gangguan elektrolit.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
54

4) Aktifitas dan istirahat


Pasien tampak sering berbaring di tempat tidur, jarang terlihat duduk. Ia
memerlukan bantuan jika ingin duduk. Pasien mengatakan tidur kurang
nyenak karena nyeri pada kaki kiri. Skala nyeri 3. Keluhan pusing
disangkal. Untuk pemenuhan kebutuhan dasar seperti mandi, makan,
berganti baju memerlukan bantuan orang lain, yaitu perawat atau keluarga
pasien. Pengkajian penilaian fungsional pasien dengan menggunakan
barthel index didapatkan data sebagai berikut:

Tabel 3.1 Penilaian fungsional menggunakan Barthel Index


No Penilaian Sebelum masuk RS Saat masuk RS
1 Mengendalikan rangsang BAB Mandiri=2 Mandiri=2
2 Mengendalikan rangsang BAK Mandiri=2 Pakai kateter=0
3 Membersihkan diri (cuci muka, sisir Mandiri=1 Mandiri=1
rambut, sikat gigi)
4 Penggunaan jamban, masuk dan Mandiri=2 Butuh pertolongan pada
keluar (melepaskan, memakai beberapa kegiatan= 1
celana, membersihkan, menyiram)
5 Makan Mandiri=2 Mandiri=2
6 Berubah sikap dari berbaring ke Mandiri=3 Perlu bantuan 1 orang=2
duduk
7 Berpindah/berjalan Mandiri=3 Tidak mampu =0
8 Memakai baju Mandiri=2 Sebagian dibantu=1
9 Naik turun tangga Mandiri=2 Tidak mampu=0
10 Mandi Mandiri=2 Tergantung orang lain=0
Skor total 21 9
Sumber: Penilaian Bartel Index RSCM

Berdasarkan penilaian status fungsional tersebut pasien dikategorikan


kedalam tingkat ketergantungan sedang (skor 9-11). Untuk penilaian risiko
jatuh, pasien dikategorikan berisiko rendah, yaitu memiliki skor 40 (25-50).
Pengkajian risiko jatuh tersebut meliputi: riwayat jatuh 3 bulan terakhir
(tidak=0), diagnosis medis sekunder (Ya=15), alat bantu jalan(bed rest= 0),
menggunakan infus (ya=25), cara berjalan/berpindah (bed rest, imobilisasi=
0), status mental (orientasi sesuai kemampuan diri=0). Penilaian risiko
dekubitus menggunakan skala norton. Penilaian pengkajian menggunakan
skala norton ini yaitu: kondisi fisik= sedang (3), status mental sadar (4),
aktifitas di tempat tidur (1), mobilitas agak terbatas (3), inkontinensia

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
55

urin=2. Total skor yaitu 13 dan dikategorikan dalam risiko sedang untuk
terjadinya luka dekubitus.

Berdasarakan data diatas masalah integritas energi dapat terjadi akibat


menurunnya status fungsional.

5) Fungsi neurologis
Pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Orientasi terhadap
waktu, tempat dan orang baik. Pasien mengeluh terasa baal dan kadang
kesemutan pada kedua kaki. Berdasarkan pengkajian neuropati
menggunakan monofilament didapatkan pasien mengalami neuropati
sensorik pada kedua kaki. Pasien juga mengalami neuropati otonom, yaitu
kulit kaki terlihat kering, kalus minimal pada telapak kaki dan bulu rambut
kaki yang menipis. Pasien juga mengalami neuropati motorik berupa
perubahan bentuk jari kaki, yaitu claw toe. Pada pemeriksaan kekuatan otot
didapatkan kekuatan otot pada kedua tangan baik dengan skor 5 yaitu pasien
mampu mengangkat dan menahan gravitasi maupun tahanan secara
maksimal. Pada ekstremitas bawah, untuk kaki kanan, pasien juga
mendapatkan skor 5, sedangkan kekuatan otot untuk kaki kiri sulit dinilai,
karena pasien mengeluh nyeri saat kaki digerakkan.

6) Fungsi endokrin
Hasil gula darah pasien saat masuk IGD yaitu 593 mg/dL. Pemeriksaan
HbA1c tanggal 27/3/2014 yaitu 9.4%. Hasil pemeriksaan glukosa darah
yang dilakukan setiap hari sebelum makan yaitu:

Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Glukosa Darah Ny N


Waktu pemeriksaan
No Tanggal Sebelum Sebelum Sebelum
makan pagi makan siang makan malam
1 26 Maret 2014 240 294 90
2 27 Maret 2014 104 332 278
3 28 Maret2014 198 328 169

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
56

Berdasarkan hasil gula darah diatas dapat dilihat bahwa nilai glukosa darah
tidak stabil dan masih bervariasi. Pasien mendapatkan terapi drip insulin 1
unit/jam dan correctinal dose insulin humalog kelipatan 5 unit. Pasien
mengeluh lemas.
Berdasarakan data diatas masalah integritas energi dapat terjadi akibat
glukosa darah yang tidak stabil.

b. Perubahan lingkungan eksternal


Riwayat kesehatan keluarga yaitu ibu pasien meninggal karena stroke dan
saudara kandung pasien juga mengalami DM. Pasien memiliki riwayat suka
makan gorengan dan makanan yang bersantan. Salah satu alasan pasien
tidak kontrol yaitu tidak adanya keluarga yang mengantar karena sibuk.

3.1.1.2 Konservasi integritas struktural


Pengkajian pada integritas struktural meliputi pengkajian pada struktur
tubuh, melihat adanya kerusakan fisik dan upaya untuk meningkatkan
proses penyembuhan.
a. Perubahan lingkungan internal
Perubahan lingkungan internal pada konservasi integritas struktur mengacu
pada komplikasi mikrovaskuler dan makovaskuler yang terjadi. Pada
komplikasi mikrovaskuler yaang terkait retinopati, pasien mengeluh
pandangan mata agak kabur pada kedua mata terutama mata kiri . Saat ini
pasien tidak menggunakan alat bantu baca. Hasil konsul mata didapatkan
moderate Non Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) mata kiri, mild
NPDR mata kanan, katarak senilis pada kedua mata. Direncanakan konsul
poli retina RSCM jika sudah acc rawat jalan.

Pasien mengatakan sudah BAB hari, warna kuning, lembek, tidak ada darah
maupun lendir. Keluhan tidak ada. Pasien menggunakan foley
cateter,tanggal pemasangan cateter 25/3/14. Hasil lab ureum 22 mg/dL (<
50), creatinin darah 0.9 mg/dL (0.6-1.2), eGFR 74.8 mL/min/l.73m² (78-
116). Untuk mengetahui adanya komplikasi nefropati, dilakukan

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
57

pemeriksaan mikroalbuminuria sewaktu, hasilnya yaitu 4493 mg/g


(makroalbuminuria) kreatinin urin 86.8 mg/dL (mikroalbuminuria). Pada
pengkajian urin lengkap tanggal 18/4/2014 didapatkan hasil sebagai berikut:
protein 2+.
Komplikasi selanjutnya yaitu neuropati. Pada pengkajian neuropati sensoris
menggunakan monofilamen 10 gram didapatkan data bahwa pasien tidak
merasakan adanya sensasi pada semua bagian, sehingga pasien mengalami
neuropati sensoris bilateral. Pada pemeriksaan neuropati otonom dapat
dilihat adanya kulit yang kering dengan kalus minimal pada plantar pedis
dan menipisnya bulu rambut. Pasien juga mengalami perubahan bentuk
kaki. Secara umum, gambaran kaki pasien dapat dilihat pada tabel dibawah
ini:
Tabel 3.3 Status Kaki Diabetik
Kaki kanan Kaki kiri
Ya Tidak Ya Tidak
Kulit Kaki
Kering/bersisik √ √
Tumit pecah-pecah √ √
Bulu rambut menipis √ √
Tinea pedis √ √
Kalus √ √
Korn √ √
Hiperpigmentasi √ √
Edema √ √
Healed ulcer √ √
Kuku Kaki
Menebal √ √
Infeksi √ √
Perubahan warna √ √
Rapuh √ √
Ingrowing nail √ √
Atrofi √ √
Lain-lain (jamur) √ √
Telapak kaki
Hallux valgus √ √
Pes planus √ √
Charcot foot √ √
Jari kaki
Hammer toe √ √
Claw toe √ √
Hiperekstensi (cocked up) √ √
Maserasi interdigiti √ √
Amputasi digiti √ √
Sumber: World Diabetes Foundation & PERKENI

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
58

Pasien mengeluh nyeri skala 3 pada kaki kiri. Status lokalis kaki:
Pulsasi : Arteri Kanan kiri
Femoralis ++ ++
Poplitea ++ ++
Dorsalis pedis ++ +
Tibialis Posterior ++ +
ABI= 0.94/0.83
Extent : post amputasi digiti V dan debridement digiti
III
Depth : Dasar jaringan tampak nekrotik otot
Infection : Pus (+)
Sensibility : Berkurang dengan pemeriksaan monofilamen
pada 3 titik di kaki kanan serta 2 titik kaki kiri.
Akral kedua kaki dingin.

Pasien juga mengalami keluhan gastroparesis, seperti mual, penurunan


nafsu makan dan perasaan cepat kenyang. Porsi makan yang mampu
dihabiskan pasien yaitu ¼ porsi. Pasien juga mengalami infeksi yang dapat
dilihat dari adanya pus pada luka, kenaikan leukosit yaitu 12.480/µL (5000-
10.000), prokalsitonin 17.62 ng/ml (<0.1), Laju Endap Darah 118 mm (0-
20), CRP 430.39 mg/L (0-3).
Berdasarkan data diatas, masalah integritas struktural yang terjadi yaitu
telah timbulnya komplikasi DM berupa nefropati, retinopati, neuropati, dan
adanya infeksi yang berisiko untuk terjadi sepsis.

b. Perubahan lingkungan eksternal


Pasien memiliki riwayat DM sejak 3 tahun, kontrol tidak teratur.
Pengetahuan pasien mengenai diabetes dan perawatan kaki diabetes juga
masih kurang. Pasien mengatakan tidak tahu penyebab luka, tiba-tiba jari
kelingking kaki kiri sudah bengkak. Selama dirumah ia pernah
menggunakan alas kaki yang ada tonjolan, dikatakan oleh tetangga dapat
meningkatkan aliran darah karena kaki sering kesemutan. Pasien juga
mengatakan tidak mau makan ikan karena lukanya akan sulit sembuh.
Selama di rumah, pasien mengatakan suka makan gorengan dan makanan

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
59

yang bersantan serta jarang melakukan aktifitas fisik. Dirumah pasien


pernah merasa lemas dan keluar keringat dingin.

3.1.1.3 Konservasi integritas personal


Pengkajian pada integritas personal dilakukan dengan mengidentifikasi
konsep diri,harga diri, citra tubuh, harapan, moral dan etik pasien.
a. Perubahan lingkungan internal
Pasien mengeluh kenapa ia harus menderita sakit seperti ini. Pasien terlihat
menangis sehari sebelum amputasi dilakukan, ia mengatakan sangat sedih
saat kakinya akan diamputasi lagi. Pasien juga mengatakan ia tidak malu
dengan kondisi kakinya saat ini, namun ia bertanya mampukah dia merawat
cucunya lagi sekembalinya dari RS dengan kondisi yang seperti itu. Ia juga
mengatakan dengan kondisinya ini ia akan merepotkan banyak orang.
Pasien berharap segera diberi kesembuhan agar segera pulang dan bertemu
dengan cucunya.
Masalah yang muncul pada pasien terkait integritas personal yaitu
ketidakberdayaan dan harga diri rendah situasional.

b. Perubahan lingkungan eksternal


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga dan setiap hari ia menjaga 2
cucunya. Selama di RS, pasien dijaga oleh suami, anak dan menantu secara
bergantian dan terlihat suaminya sangat sabar dan perhatian padanya. Suami
juga selalu memberikan semangat agar istrinya tetap tabah dan ia juga ikut
terlibat selama perawatan pasien di RS.

3.1.1.4 Konservasi integritas sosial


Pengkajian integritas sosial menilai hubungan ataun interaksi pasien dengan
orang lain dan lingkungan sosialnya.
a. Perubahan lingkungan internal
Saat di RS, pasien terlihat mampu berinteraksi dengan pasien lainnya yang
satu kamar dengannya, dengan perawat maupun dokter yang merawatnya.
Pasien kooperatif terhadap rencana perawatan yang dilakukan padanya.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
60

Pasien beragama islam dan selama dirawat di RS ia selalu berdoa agar


diberi kesembuhan. Pasien mengatakan sakit yang ia alami adalah ujian dari
Allah dan ia percaya bahwa sakit tersebut murni karena penyakit medis
yang tidak ada hubungannya dengan masalah mistis.
b. Perubahan lingkungan eksternal
Pasien sering terlihat dikunjungi oleh keluarga terdekat dan tetangganya di
rumah. Mereka memberikan motivasi dan semangat untuk kesembuhan
pasien.

Berdasarkan data diatas, tidak ditemukan adanya masalah pada integritas


sosial, pasien mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan internal
dan eksternal yang terjadi.

3.1.2 Diagnosa Keperawatan (Trophicognosis)


a. Konservasi integritas energi
1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko
manajemen diabetes inefektif, status hipermetabolik atau proses infeksi.
2) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan adanya
stenosis
3) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor risiko
dislipidemia, DM dan hipertensi.
4) Risiko ketidakseimbangan elektrolit dengan faktor risiko gangguan
mekanisme regulasi pada DM.
b. Konservasi integritas struktural
1) Risiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan penurunan imunitas akibat
DM
2) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi atau
misinterpretasi informasi.
c. Konservasi integritas personal
1) Ketidakberdayaan berhubungan dengan gangguan fisik

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
61

2) Harga diri rendah situasional berhubungan dengan ketergantungan


terhadap orang lain.
d. Tidak ada masalah dengan integritas sosial

3.1.3 Rencana Asuhan Keperawatan


Rencana asuhan keperawatan yang dilakukan disesuaikan dengan tujuan (NOC)
dan intervensi keperawatan (NIC) yang dijabarkan dalam lampiran 1.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
62

3.1.4 Pelaksanaan dan Evaluasi


Pada diagnosa keperawatan ketidakefektifan perfusi jaringan perifer,
intervensi yang dilakukan yaitu upaya untuk meningkatkan perfusi ke
jaringan distal melalui ankle pump exercise terutama pada kaki kanan,
memposisikan kaki dependen disamping tempat tidur selama 10 menit
pada kaki kiri. Tindakan farmakologis yang diberikan untuk meningkatkan
sirkulasi yaitu dengan pemberian obat cilosatzol, simvastatin dan heparin.
Untuk mengatasi nyeri, tidakan keperawatan yang telah dilakukan yaitu
mengajarkan dan memotivasi pasien melakukan relaksasi nafas dalam dan
pemberian tindakan farmakologi. Adanya keluhan nyeri yang makin hebat
dari skala 3 hingga skala 6 meskipun telah dilakukan upaya farmakologi
dengan pemberian tramadol, dirasakan tidak memberikan manfaat yang
cukup signifikan, bahkan proses penyembuhan luka pun tidak sesuai
dengan harapan dan luka cenderung menjadi nekrotik. Tanggal 1/4/14
dilakukan pemeriksaan USG Doppler dengan hasil arteri femoralis sinistra
diameter 6 mm, PS 103.9 cm/s. Volflow 138.1 ml/min, trifasik, IMT 0.7
mm; arteri poplitea sinistra diameter 6.6 mm, PS 37.7 cm/s, Volflow 57.9
ml/min, trifasik, IMT 0.8 mm; arteri tibialis posterior diameter 1.7 mm, pS
5.1 cm/s, volflow 3.9 ml/min, bifasik, IMT tidak dapat dinilai; arteri
dorsalis pedis sinistra tidak dapat dinilai. Tanggal 4/4/2014 pasien
dilakukan amputasi digiti III dan IV pedis sinistra. Selanjutnya tanggal
15/4/2014 dilakukan arteriografi. Hasil: tampak stenosis > 50% di 1/3
medial a.tibialis anterior kiri dan stenosis > 50% di 1/3 proksimal a.
Tibialis posterior kiri, tidak tampak a.peroneal kiri. Tanggal 16/4/2014
pasien dilakukan amputasi below knee limb sinistra dan pemeriksaan ABI
dilakukan kembali tanggal 23/4/2014 yaitu ABI dextra 0.76 dan ABI
sinistra 1.059 yang diambil dari pengukuran arteri poplitea sinistra.

Pada diagnosa keperawatan ketidakstabilan kadar glukosa darah intervensi


yang telah dilakukan yaitu dengan menilai nilai gula darah harian pasien,
memantau porsi makan yang mampu dihabisakan, menganjurkan pasien
makan sedikit tapi sering saat pasien mendapat terapi drip insulin,

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
63

mengurangi gejala gastroparesis dengan meminta pasien duduk 1-2 jam


setelah makan, berkolaborasi dengan ahli gizi untuk perencanaan makan
pasien dan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian insulin. Nilai
glukosa darah pasien tidak stabil selama kurang lebih 3 minggu perawatan
dan selama masa itu pemberian insulin dilakukan melalui pemberian drip
insulin yang bervariasi mulai 0.5-2 unit/jam disertai pemberian insulin corr
dose kelipatan 5 unit. Pemberian insulin fix dose mulai diberikan ketika
pasien mampu menghabiskan makan > ½ porsi yaitu mulai diberikan
tanggal 7/4/2014 dan nilai glukosa darah mulai stabil setelah tanggal
15/4/2014.

Untuk diagnosa keperawatan risiko penurunan perfusi jaringan jantung


dengan faktor risiko dislipidemia, DM dan hipertensi, intervensi yang telah
dilakukan yaitu melakukan monitoring TTV/shift, berkolaborasi dalam
pengontrolan hipertensi dan dislipidemia melalui pemberian obat captopril
dan simvastatin, melakukan perekaman EKG dan kolaborasi dalam
pemeriksaan ecchokardiografi. Selama perawatan, kondisi tekanan darah
dan nadi pasien bervariasi yakni dari rentang 130/80 mmHg hingga
190/110 mmHg. Hasil pemeriksaan EKG: SR, HR rate 90 , T wave
normal, ORS int 0.08 s, ST-T change (-), RVH (-), LVH (-), BBB (-).
Hasil Ecchocardiografi tanggal 18/4/2014: global normokinetik, fungsi
sistolik LV dan RV baik.

Ketidakseimbangan elektrolit dengan faktor risiko gangguan mekanisme


regulasi pada DM mulai muncul tanggal 3/4/2014 yaitu hipokalemia,
hiponatremia, hipocklorida serta hipomagnesia yang muncul tanggal
8/4/2014. Intervensi yang dilakukan yaitu mengobservasi tanda dan gejala
hipokalemia, hoponatremia dan hipomagnesia. Selain itu melakukan
kolaborasi pemberian terapi farmakologik seperti pemberian KSR, drip
KCl serta pemberian aspar. Monitoring nilai laboratorium elektrolit setiap
3 hari juga dilakukan untuk memantau dan mengevaluasi efek terapi yang
diberikan.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
64

Untuk menurunkan risiko terjadinya infeksi/sepsis tindakan keperawatan


yang telah dilakukan yaitu mengajarkan keluarga dan pasien untuk
melakukan teknik cuci tangan, membantu pasien serta melibatkan keluarga
dalam meningkatkan personal hygine. Perawat mengajarkan cara
melakukan perawatan kateter dan mengganti setiap 1 minggu kateter yang
digunakan. Penggantian IV line juga dilakukan setiap 3 hari untuk
mencegah risiko infeksi. Dari hasil pemeriksaan thorax tanggal 3/4/2014
ditemukan adanya infiltrat di parakardial kanan dd bronkopneumonia dan
adanya keluhan batuk yang jarang. Pasien juga diminta untuk sering
duduk, miring kanan-kiri untuk mencegah terjadinya infeksi paru lebih
berat, selain itu pasien juga diberikan terapi farmakologi fluimucyl 3x10
cc dan keluhan batuk serta ronkhi menghilang setelah 5 hari intervensi.
Perawat juga melakukan observasi TTV, memonitor hasil lab leukosit,
LED, prokalsitonin, CRP. Kerjadi kenaikan suhu pasien hingga 39ºC
tanggal 1/4/2014 sampai dengan tanggal 3/4/2014 yang diikuti dengan
kenaikan leukosit hingga mencapai 30.270/µL. Antibiotik yang diberikan
sebelumnya yaitu ampicilin sulbactam 4x1.5 gram dan levofloxacin 1x750
mg. Tanggal 2/4/2014 dilakukan pemeriksaan biakan pus yang hasilnya
baru dapat diketahui tanggal 4/4/2014. Dari hasil tersebut diketahui bahwa
terdapat resistensi terhadap ampicilin sulbactam. Tanggal 3/4/2014, pasien
mendapatkan obat meropenem 3x1 gram yang selanjutnya hasil lab
leukosit dan TTV secara berangsur-angsur menunjukkan perbaikan, terjadi
penurunan leukosit hingga mencapai 11800/µL tanggal 20/4/2014.

Untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga, perawat


memberikan edukasi mengenai diabetes dan perawatannya. Perawat
memberikan edukasi mengenai pentingnya konsumsi ikan dan protein
untuk meningkatkan penyembuhan lukanya. Perawat juga memberikan
edukasi mengenai pentingnya menjaga kestabilan glukosa darah untuk
meminimalkan komplikasi yang terjadi, melakukan perawatan kaki berupa
anjuran menggunakan lotion pada area kaki yang kering dan mengajarkan

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
65

gerakan ankle pump exercise terutama pada kaki kanan untuk mencegah
perkembangan PAD lebih lanjut. Edukasi dilakukan bertahap, tidak
dilakukan satu kali waktu. Evaluasi dilakukan dengan meminta pasien
menyebutkan kembali edukasi yang telah diberikan dan pemantauan
terhadap beberapa perilaku setelah edukasi diberikan. Hasil yang diperoleh
yaitu, pasien mampu menjelaskan kembali mengenai diabetes, penyebab
DM, pencegahan DM, penanganan jika terjadi hipoglikemia, perawatan
kaki DM. Dari pengamatan menganai perbahan perilaku, pasien mampu
menghabiskan porsi makan hingga ¾ porsi, pasien mau makan ikan dan
telur yang diberikan, kaki yang kering telah diberi lotion meskipun
terkadang pasien atau keluarga lupa untuk mengoleskannya. Pasien dan
keluarga juga telah diberi edukasi dan demonstrasi untuk penyuntikan
insulin dan keluarga mampu melakukan teknik injeksi insulin tersebut.

Adanya perubahan fisik tubuh, terutama setelah dilakukan amputasi below


knee menyebabkan pasien mengalami ketidakberdayaan dan berkembang
menjadi harga diri rendah. Intervensi keperawatan yang telah dilakukan
yaitu mendengarkan dengan empati keluhan pasien, memberi penguatan
secara psikologis terhadap pasien dan meningkatkan harga diri pasien.
Secara bertahap pasien diajarkan untuk melakukan beberapa aktifitas fisik
yang mampu dilakukan secara mandiri seperti mengganti baju, melakukan
perineal hygine. Pasien mengatakan ia pasrah dan berserah diri pada Allah,
apapun yang terjadi pasti itu yang terbaik bagi dirinya dan kini ia ingin
sembuh dan segera bertemu cucu. Pasien juga diajarkan untuk mobilisasi
bertahap secara mandiri dari tempat tidur-duduk hingga duduk disamping
tempat tidur dan pasien mampu melakukan gerakan tersebut. Pasien
direncanakan untuk menggunakan kaki palsu. Dari hasil konsultasi dengan
rehab medik, sebelum pasien dilakukan pemasangan kaki palsu, terlebih
dahulu pasien/keluarga diajarkan cara membalut luka dengan elastic
bandage hingga membentuk angka 8 dengan tujuan agar penyembuhan
luka membentuk konus yang secara ergonomis memungkinkan kaki palsu
bisa masuk. Pasien keluar RS tanggal 24/4/2014 menggunakan kursi roda.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
66

Hasil follow up via telp dengan pasien dan keluaga, ia mengatakan hanya
sempat kontrol 3 kali ke poli bedah dan luka jahitan amputasi telah bagus
dan kering. Gula darah terkontrol berkisar 100-200 mg/dl, namun pasien
belum sepat kontrol ke rehab medik untuk pembuatan kaki palsu sebab
tidak ada yang mengantar. Pasien mengatakan akan kontrol ke rehab
medik setelah lebaran.

3.2. Pembahasan
Model konservasi Levine berfokus pada usaha meningkatkan adaptasi dan
memelihara keutuhan dengan menggunakan prinsip konservasi. Model ini
mengajak perawat untuk berfokus pada pengaruh dan respon pada tingkat
organismik. Konsep penting pada model ini adalah adaptasi dan keutuhan.

Adaptasi adalah proses berubah dan konservasi merupakan tujuan dari adaptasi.
Adaptasi merupakan suatu proses dimana pasien akan menjaga integritas
berdasarkan kenyataan yang ada di lingkungan. Adaptasi akan dicapai melalui
penggunaan sumber daya yang ada di lingkungan oleh individu tersebut dengan
cara terbaik.

Penerapan konservasi levine pada asuhan keperawatan pasien DM didasarkan atas


keyakinan bahwa aktivitas pasien tergantung dari adanya keseimbangan energi
dan kondisi sakit akan meningkatkan kebutuhan energi. Ketika jumlah insulin
tidak cukup atau kerja insulin kurang efektif, glukosa darah tidak dapat masuk
kedalam sel, terjadi gangguan regulasi energi sehingga pasien cenderung merasa
lemah dan lesu. Model konservasi Levine telah banyak diaplikasikan untuk
berbagai tujuan dalam praktik keperawatan, diantaranya dalam penerapan
NANDA,NIC NOC dengan menggunakan model konservasi levine dan perawatan
luka. Schaefer dan Potylycki (1993) juga menggunakan model ini untuk menilai
kelelahan yang terjadi pada pasien gagal jantung kongestive. Paul (2012)
menggunakan model konservasi Levine dalam penerapan studinya mengenai
kondisi luka yang gatal. Secara umum, model ini dapat digunakan sebagai
panduan dalam memberikan perawatan pada pasien area keperawatan medikal
bedah khususnya pasien DM.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
67

Berdasarkan hasil pengkajian pada Ny N menggunakan model Levine dapat


dijabarkan dalam bentuk gambar dibawah ini:

Ketidakseimbangan keutuhan pasien

Gagal melakukan konservasi

Porsi makan ¼ Luka amputasi pedis Gangguan fisik, Tidak ditemukan


porsi, mual, sinistra, infeksi, PAD, ketergantungan masalah pada
kuantitas dan retinopati, neuropati, sedang, harga integritas sosial
kualitas tidur hipertensi, dislipidemia, diri rendah
kurang, nyeri, oral hygine kurang
glukosa darah
tidak stabil

INTEGRITAS INTEGRITAS INTEGRITAS INTEGRITAS


ENERGI STRUKTUR PERSONAL SOSIAL

Tidak ada Peran serta Pasien menerima Adanya


gangguan keluarga dalam kondisi tubuhnya Dukungan dari
pernafasan dan perawatan kaki (citra diri baik) suami, keluarga
jantung (mengoleskan dan tetangga,
lotion) dan interaksi pasien
personal hygine dengan pasien
pasien lainnya baik

KONSERVASI

KEUTUHAN PASIEN

Gambar 3.1 Penerapan model konservasi Levine pada Ny N

Masalah yang terjadi pada integritas energi meliputi kurangnya intake makan,
kualitas dan kuantitas tidur/istirahat yang kurang. Nyeri dan ketidakstabilan kadar
glukosa darah. Kondisi tersebut akan mengakibatkan ketidakseimbangan antara

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
68

energi yang masuk dan yang keluar, menyebabkan pasien mengalami keletihan
sehingga pasien gagal melakukan konservasi dan keutuhan pasien tidak terjadi.
Masalah yang muncul pada integritas struktur merupakan gangguan akibat
lingkungan internal dan eksternal yang mengakibatkan individu gagal untuk
memelihara dan mengganti struktur tubuh, mencegah penyembuhan dan
mengakibatkan kerusakan fisik. Hal tersebut dapat kita lihat dari adanya luka
amputasi pedis sinistra, infeksi yang meningkat, PAD, komplikasi mirovaskuler
dan makrovaskuler disertai oral hygiene dan personal hygiene yang kurang.
Masalah pada integritas personal muncul akibat adanya keterbatasan fisik yang
mengakibatkan ketergantungan dan harga diri yang rendah, selanjutnya
mengakibatkan ketidakberdayaan. Tidak adanya gangguan jantung dan
pernafasan, citra tubuh yang masih baik serta dukungan yang tinggi oleh keluarga
merupakan suatu proses adaptasi yang mendukung konservasi. Tujuan
keperawatan adalah untuk meningkatkan adaptasi memelihara keutuhan dengan
melihat keunikan dari setiap individu. Perhatian pada individu dilakukan sebagai
tanggung jawab perawat untuk membantu pasien meningkatkan penyembuhan
atau kesehatan, dimana kesehatan ini merupakan suatu keutuhan dan keberhasilan
proses adaptasi. Secara umum, masalah-masalah yang terjadi dan menimbulkan
respon organismik akan dijabarkan sebagai berikut:

1) Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan manajemen


diabetes inefektif, status hipermetabolik dan proses infeksi.
Diabetes merupakan penyakit yang progresif, tanpa pengelolaan yang baik pasien
mudah mendapatkan komplikasi akut dan kronik. Kendali glikemik yang buruk
merupakan salah satu penyebab terpenting terjadinya komplikasi. Pasien dapat
mengalami ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan berbagai penyebab yang
mendasari. Pasien dapat mengalami hiperglikemia ataupun hipoglikemia, oleh
karena itu dibutuhkan strategi terapi yang lebih agresif agar mencapai kendali
glikemik yang baik, diantaranya yaitu melalui pemberian suntikan insulin.

Indikasi terapi insulin pada Ny N yaitu adanya DM tipe 2 dengan ulkus kaki
diabetik dan fluktuasi glukosa darah yang masih tinggi. Pada orang normal,
jumlah insulin endogen dipengaruhi oleh kondisi puasa dan makan. Pada keadaan

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
69

puasa atau sebelum makan, sel beta mensekresi insulin pada kadar tertentu yang
hampir sama sepanjang waktu puasa dan sebelum makan. Hal ini disebut insulin
basal, yang bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah puasa atau
sebelum makan selau dalam batas normal (< 100 mg/dl). Insulin prandial
bertujuan agar kadar glukosa darah setelah makan tetap dalam batas normal. Pada
setiap kali makan, dibutuhkan sejumlah insulin yang disekresikan oleh sel beta
secara cepat dalam kadar yang lebih tinggi untuk menekan kadar glukosa darah
setelah makan agar tetap dalam batas normal (tidak lebih dari 140 mg/dl)
(PERKENI, 2011). Awalnya program terapi insulin yang diberikan pada Ny N
yaitu drip insulin dengan correctional dose kelipatan 5. Setelah pasien mampu
menghabiskan porsi makan > ½ porsi drip insulin dihentikan dan diganti dengan
pemberian fix dose humalog 3x8 unit, selanjutnya naik menjadi 10-12-12 unit
hingga 3x14 unit. Pasien juga diberikan lantus 1x16 unit dan akhirnya naik
menjadi 1x18 unit. Lantus merupakan insulin basal eksogen, yaitu insulin kerja
panjang/ long insulin analog dengan awal kerja 2-4 jam, hampir tanpa puncak dan
lama kerja 24 jam, sehingga pemberiannya hanya 1 kali saja. Lantus ini diberikan
untuk memenuhi kebutuhan insulin basal. Pasien juga mendapat humalog yang
merupakan insulin kerja cepat dengan awal kerja 5-15 menit dengan puncak kerja
30-90 menit dan lama kerja 4-6 jam. Insulin humalog ini dapat diberikan
diberikan saat makan. Sebagai perawat kita harus mengevaluasi respon dari pasien
akibat pemberian insulin dan untuk mengevaluasi ketepatan pemberian insulin
perawat berkolaborasi dengan dokter untuk melakukan pencatatan gula darah
harian.

Sasaran kendali glikemik untuk pasien diabetes dewasa yaitu HbA1c < 7%, Kadar
gula darah puasa 70-130 mg/dl dan kadar gula darah post prandial < 180 mg/dl
(ADA, 2014). Nyeri kaludikasio akibat PAD dan timbulnya infeksi pada Ny N
akan memicu stres yang mengakibatkan terjadinya kenaikan gula darah pasien.
Pada kondisi stres akan terjadi aktivasi sistem saraf simpatis dan Cortikotropin
Releasing Hormone (CRH). Aktivasi sistem saraf simpatis akan menyebabkan
pelepasan katekolamin (epinefrin) yang mempunyai efek sangat kuat terhadap
reaksi glikogenolisis dan glokoneogenesis dalam hati, sehingga akan
meningkatkan pelepasan glukosa oleh hati masuk kedalam sirkulasi, menghambat

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
70

pemakaian glukosa di jaringan perifer, dan menghambat sekresi insulin oleh sel
beta pancreas. Perangsangan sistem CRH akan mengaktivasi aksis hipofisis-
adrenal. Hipofisis akan menghasilkan ACTH yang merangsang korteks adrenal
melepaskan kortisol. Kortisol ini akan merangsang proses glukoneogenesis 6-10
kali lipat dan selanjutnya akan meningkatkan kadar gula darah (Sheerwood,
2011).

Pasien Ny N juga mengeluh mual, terkadang nyeri perut dan porsi makan yang
mampu dihabiskan hanya ¼ porsi. Ketidakstabilan glukosa darah juga dapat
diakibatkan oleh asupan makan yang kurang akibat gastroparesis. Gastroparesis
merupakan kondisi motilitas gaster abnormal yang dikarakteristikkan dengan
pelambatan pengosongan lambung tanpa adanya obstruksi mekanis (Akheel ,
Rattansingh & Furtado, 2005). Gastroparesis terjadi pada lebih dari 50% pasien
yang lama mengalami DM. Gejala yang ditimbulkan dari gastroparesis ini
diantaranya mual, muntah, perut menjadi kembung, nyeri epigastrik. Pasien juga
berisiko untuk terjadinya malnutrisi, penurunan berat badan, gangguan absorbsi
obat, gangguan kontrol glikemik dan penurunan kualitas hidup. Dengan
meningkatnya kestabilan kadar glukosa darah, keluhan mual, muntah dan nyeri
perut pada pasien juga berkurang dan asupan makanpun bertambah hingga > ¾
porsi. Hal ini sesuai dengan pendapat Rayner (2001) bahwa perubahan
konsentrasi glukosa yang cepat berpengaruh terhadap kembalinya fungsi sensorik
dan motorik gastrointestinal (Rayner, 2001). Pengosongan lambung akan menurun
selama hiperglikemia dan meningkat saat hipoglikemia. Intervensi yang telah
dilakukan yaitu manajemen diit berupa menganjurkan pasien untuk duduk 1-2 jam
setelah makan, kolaborasi dengan ahli gizi untuk mengurangi makanan yang
tinggi serat dan intervensi farmakologi berupa kolaborasi pemberian obat
metoclorpamid 3x 5 mg iv. Obat ini bekerja dengan menstimulasi motilitas
saluran cerna bagian atas dan mempercepat pengosongan lambung, mengurangi
mual muntah dan meredakan gejala stasis lambung (Deglin & Vallerand, 2005).

Kondisi ketidakstabilan glukosa darah akan menimbulkan gangguan regulasi


energi pada pasien dan kondisi ini akan berdampak pada timbulnya masalah yang
lain yaitu gastroparesis. Gangguan intergritas energi akibat ketidakstabilan

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
71

glukosa darah juga mempengaruhi integritas struktural. Penyembuhan luka tidak


akan berlangsung dengan baik jika glukosa darah masih tidak terkontrol. Upaya
yang telah dilakukan perawat adalah mengadaptasikan pasien untuk melakukan
konservasi energi melalui manajemen hiperglikemia, manajemen diit,
hipoglikemia, manajemen diit dan manajemen energi.

2) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan adanya stenosis


Salah satu komplikasi makrovaskuler yang dapat terjadi pada pasien DM yaitu
aterosklerosis. Aterosklerosis akan mengakibatkan terjadinya penyempitan
pembuluh darah yang berkembang menjadi PAD, suatu kondisi berkurangnya
sirkulasi arteri terutama pada daerah extremitas bawah. Diagnosis PAD dapat
diketahui melalui pemeriksaan ABI, yaitu jika nilai ABI nya < 0.9. Pada hasil
pemeriksaan ABI Ny N saat masuk rumah sakit diketahui bahwa nilai ABI nya
0.94 pada kaki kanan dan 0.83 pada kaki kiri.

Adanya hiperglikemia, peningkatan asam lemak bebas dan resistensi insulin akan
mengakibatkan gangguan pada sel endotel. Adanya lapisan tunggal dari sel-sel
endotel yang melapisi permukaan bagian dalam pembuluh darah, mengakibatkan
adanya proses metabolik aktif antara darah dan jaringan. Pada sel endotel yang
normal akan terjadi sintesis substansi biologis dan pelepasan substansi tersebut
untuk menjaga hemostasis vascular, meningkatkan sirkulasi darah, transport
nutrisi serta mencegah thrombosis dan diapedesis leukosit. Nitric Oxide (NO)
adalah substansi penting yang disintesis oleh sel endotel, dihasilkan oleh NO
synthase (eNOS). Bioavailibilitas NO digunakan sebagai tanda vascular yang
sehat. NO mengakibatkan vasodilatasi melalui aktivasi guanilil siklase pada sel
otot polos. NO juga melindungi pembuluh darah dari cedera endogen, misalnya
aterosklerosis dengan mengeluarkan sinyal yang mencegah interaksi platelet dan
leukosit pada dinding pembuluh darah dan menghambat proliferasi dan migrasi
sel otot polos. Hilangnya endothelium yang diikuti penurunan NO mengakibatkan
peningkatan aktivitas proinflamasi Nuclear Factor kappa ß (NF-kB),
mengakibatkan adhesi molekul leukosit, produksi kemokin dan sitokin. Kondisi
ini meningkatkan monosit dan migrasi sel otot polos, formasi makrofag ke daerah

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
72

intima vaskuler sehingga timbul aterosklerosis (ADA, 2003; Beckman, Creager &
Libby, 2002).

Beberapa faktor risiko PAD yang ditemukan pada Ny N yaitu usia yang telah
mencapai 50 tahun, adanya riwayat hipertensi yang diketahui sejak 2 tahun,
riwayat DM sejak 3 tahun, dislipidemia, peningkatn CRP dan fibrinogen.
Prevalensi PAD akan meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Pada pasien
DM, setiap peningkatan 1% HbA1C akan terjadi peningkatan risiko PAD
sebanyak 26% (Selvin et al, 2004). Resistensi insulin meningkatkan faktor risiko
terjadinya PAD sebanyak 40-50% meskipun pada pasien tanpa DM. Resistensi
insulin meningkatkan pengeluaran asam lemak bebas dari jaringan adipose, yang
mengaktivasi enzim protein kinase C, menghalangi posphatidilinositol 3 (PI-3)
kinase dan meningkatkan produksi reaktif oksigen, mekanisme yang secara
langsung mengganggu produksi NO atau menurunkan bioavailibilitas (Beckman,
Creager & Libby, 2002). Sebanyak 33-35% pasien dengan PAD juga
menunjukkan hipertensi (Clement, De Buyzere & Duprez, 2004). Mayoritas
pasien dengan diabetes memiliki gangguan otonom perifer, suatu kondisi yang
menurunkan resistensi arterial. Meskipun terdapat bukti peningkatan endothelin-1,
angiotensin II, dan abnormalitas aktifitas sistem saraf simpatis, mekanisme
disfungsi sel otot polos pembuluh darah dan hipertensi pada diabetes masih belum
diketahui (Creager M, Luscher T & Beckman J, 2003).

Adanya penurunan sirkulasi perifer akan mengakibatkan gangguan integritas


struktural yaitu sulitnya penyembuhan luka. Kondisi ini akan diperparah dengan
gangguan integritas energi akibat hiperglikemia. Beberapa upaya telah dilakukan
untuk meningkatkan sirkulasi pada Ny N yaitu melalui pemberian latihan ankle
pump exercise dan menurunakan kaki disamping tempat tidur selama 10 menit.
Gerakan ankle pump exercise berupa gerakan dorsofleksi dan platarfleksi yang
bermanfaat untuk meningkatkan sirkulasi, mencegah kekakuan selama bedrest
dan menguatkan otot kaki. Peningkatan sirkulasi oksigen kaki setelah dilakukan
latihan menunjukkan meningkatnya perfusi ke kaki yang dihubungakan dengan
peningkatan hemodinamik makrovaskuler tungkai bawah. Posisi duduk efektif
untuk meningkatkan aliran darah ke bagian ektremitas bawah tidak hanya pada

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
73

individu yang sehat, namun juga berefek positif pada pasien dengan critical limb
iskhemia.Meskipun demikian, posisi kaki dependen tidak boleh terlalu lama,
sebab dapat meningkatkan edema dan penyembuhan luka yang lebih lama
(Kawasaki et al, 2013).

Pada pasien Ny N juga ditemukan adanya dislipidemia. Hasil pemeriksaan


trigliserida yaitu 120 mg/dL, kolesterol LDL 127 mg/dL , kolesterol HDL 47
mg/dL dan kolesterol total 230 mg/dL Penatalaksanaan dislipidemia berupa
pengontrolan lemak diketahui mampu mengurangi progresivitas PAD dan
terjadinya klaudikasio intermiten. Target pengendalian lipid yang harus dicapai
yaitu nilai LDL < 100 mg/dl, kolesterol total < 200 mg/dl, HDL > 45 mg/dl dan
trigliserid< 150 mg/dl (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2013). Untuk mencapai
sasaran, selain pengontrolan diit juga diberikan terapi farmakologis berupa
pemberian obat simvastatin 1x20 mg p.o yang diberikan pada malam hari.

Peningkatan kadar fibrinogen pada pasien DM merupakan indikator adanya


inflamasi vaskuler dan disfungsi endotel yang secara langsung terlibat dalam
aterosklerosis dan trombosis (Rikarni, Lillah & Yoesri, 2007). Hasil pemeriksaan
laboratorium Ny N menunjukkan peningkatan kadar fibrinogen yang mencapai
591.5 md/dL (136-384). Pada diabetes cenderung terjadi peningkatan koagulasi
dan gangguan fibrinolisis. Hal ini diakibatkan oleh adanya gangguan kapasitas
fibrinolitik karena peningkatan kadar plasminogen activator inhibitor tipe 1 pada
lesi aterosklerotik dan nonatheromatous arteries. Kondisi hiperglikemia dan
pecahnya produk proinsulin akan meningkatkan ekspresi faktor jaringan, sebuah
prokoagulan yang ampuh, dan faktor koagulasi plasma seperti faktor VII dan
menurunkan tingkat antikoagulan endogen seperti antitrombin III dan protein C
Platelet memiliki peranan penting dalam hubungannya dengan fungsi vaskular
dan trombosis. Abnormalitas platelet tidak hanya menyebabkan peningkatan
aterosklerosis, namun berpengaruh juga terhadap pecahnya plak dan
aterotrombosis. Diabetes akan mengakibatkan gangguan hemostasis kalsium yang
berpengaruh terhadap perubahan abnormal pada bentuk platelet , sekresi , dan
agregasi dan pembentukan tromboksan (Beckman, Creager & Libby, 2002).

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
74

Berdasarkan nilai laboratorium CRP pada Ny N ditemukan terjadi peningkatan


nilai CRP yaitu 430.39 mg/L (0-3). Peningkatan nilai CRP diketahui dapat
menjadi penanda exaserbasi PAD. CRP akan berikatan dengan reseptor sel
endotel yang menyebabkan apoptosis. CRP juga menstimulasi produksi
endothelial procoagulan tissue factor, adhesi molekul leukosit dan substansi
kemostatis, menghalangi sintesa nitric oxide (NO) yang mengakibatkan
abnormalitas regulasi tonus vascular. Pada akhirnya CRP akan meningkatkan
produksi fibrinolisis, seperti plasminogen activator inhibitor (PAI).

Upaya farmakologi yang dilakukan untuk meningkatkan sirkulasi yaitu melalui


pemberian obat cilostazol 2x100 mg p.o. Cilostazol adalah derivat quinolone yang
bekerja dengan menghambat anzym phosphodiaterase III (PDE III) dengan
mekanisme kerjanya yaitu berasal dari penghambatan PDE III yang akan
meningkatkan cAMP seingga mampu menghambat agregasi platelet, memperbaiki
metabolisme lipid serta dilatasi arteri secara langsung.

Respon organismik dari meningkatnya sirkulasi perifer yaitu peningkatan CRT,


akral yang hangat, menurunnya skala nyeri serta meningkatnya penyembuhan
luka. Nyeri yang berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan pola tidur dan
menyebabkan gangguan integritas energi pasien. Tindakan amputasi below knee
yang dilakukan pada Ny N bertujuan untuk mempertahankan keadekuatan
sirkulasi darah perifer yang sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan angiografi
untuk menentukan tingkat oklusi dan arteri yang masih baik. Dengan
meningkatnya sirkulasi, maka penyembuhan luka akan meningkat dan gejala nyeri
akan berkurang, dengan demikian upaya konservasi integritas struktural juga akan
meningkatkan konservasi energi pasien

3) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor risiko dislipidemia,


DM dan hipertensi.
Gangguan integritas struktural yang terjadi pada pasien Ny N berkaitan dengan
komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler yang terjadi. Hipertensi pada pasien

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
75

DM akan mengakibatkan peningkatan yang signifikan terhadap risiko komplikasi


vaskuler, diantaranya nefropati, retinopati serta gangguan serebrovaskuler dan
penyakit arteri koroner.

Resistensi insulin dan diabetes dapat mengakibatkan hipertensi dengan


menstimulasi sistem saraf simpatis, mengaktifkan sistem renin-angiotensin dan
meningkatkan retensi natrium. Diabetes juga berhubungan dengan meningkatnya
proliferasi sel otot polos pembuluh darah. Meningkatnya kadar glukosa dan
tekanan darah akan mengganggu sel endotel pembuluh yang meningkatkan stres
oksidatif dan reaktifitas vaskuler (Lago, Singh & Nesto, 2007). Dislipidemia juga
merupakan faktor risiko terjadinya gangguan kardiovaskuler pada pasien DM
yang dikarakteristikkan dengan peningkatan trigliserid, menurunnya HDL,
menigkatnya LDL. Adanya perubahan nilai lemak ini berkontribusi terhadap
peningkatan asam lemak bebas yang mengakibatkan resistensi insulin
(Mooradian, 2008). Untuk mencegah terjadinya komplikasi mikrovaskuler dan
makrovaskuler, maka target tekanan darah yang harus dicapai yaitu < 130/80
mmHg, kolesterol total < 200 mg/dL, LDL < 100 mg/dl, HDL >45 mg/dL dan
trigliserid < 150 mg/dL (Konsensus PERKENI, 2006). Upaya yang dilakukan
untuk mencapai target ini mayoritas merupakan intervensi kolaborasi medis tanpa
menghilangkan intervensi diit dan latihan.

Selama di RS, upaya yang dilakukan untuk meningkatkan integritas struktural


pada Ny N yaitu mengobservasi nilai TTV, kolaborasi pemberian obat
antihipertensi yaitu captopril 3x25 mg dan obat golongan statin seperti
simvastatin 1x20 mg. Captopril bekerja dengan menekan sistem renin-
angiotensin-aldosteron. Captopril mencegah produksi angiotensin II, sejenis
vasokonstriktor kuat yang menstimulasi produksi aldosteron dengan menghambat
proses konversinya ke bentuk aktif, sehingga terjadi vasodilatasi sistemik dan
tekanan darah akan menurun. Obat ini dapat diberikan 1 jam sebelum atau 2 jam
setelah makan karena makanan dapat menurunkan absorbsi obat 30-40% (Deglin
& Vallerand, 2005). Simvastatin diberikan sebagai adjuvan terapi diet dalam
penatalaksanaan hiperkolesterolemia primer. Obat ini bekerja dengan

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
76

menghambat enzim HMG-CoA reduktase yang bertanggungjawab untuk katalisis


tahap awal dalam sintesa kolesterol. Efek terapeutik obat ini yaitu menurunakan
kolesterol total dan LDL serta meningkatkan HDL. Simvastatin diberikan satu kali
menjelang tidur tanpa memperhatikan waktu makan. Implikasi keperawatan yang
harus diperhatikan salah satunya yaitu observasi tes fungsi hati termasuk SGPT
dan SGOT sebelum dan setiap 6 minggu selama terapi tiga bulan pertama dan bila
SGOT meningkat 3 kali normal, perawat harus mengingatkan dokter agar terapi
simvastatinnya harus dihentikan (Deglin & Vallerand, 2005).

4) Ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan gangguan mekanisme


regulasi pada DM.
Konsentrasi elektrolit yang tidak normal akan mengakibatkan terjadinya gangguan
dalam proses metabolisme yang pada akhirnya mempengaruhi integritas energi
pasien. Jumlah natrium, kalium dan klorida dalam tubuh merupakan cermin
keseimbangan antara yang masuk terutama dari saluran cerna dan yang keluar
terutama dari ginjal. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, diketahui pada tanggal
3/4/2014 pasien mengalami hiponatremia yaitu 121 mEq/L (132-147), hipokalemi
2.88 mEq/L (3.3-5.4) hipoklorenimia 86.4 mEq/L (94-111) dan hipomagnesia
1.56 mg/dl (1,7-2,55).

Natrium merupakan kation terbanyak dalam cairan extrasel yang jumlahnya bisa
mencapai 60 mEq per kilogram berat badan (Yaswir & Irawati, 2012). Pemasukan
natrium berasal dari diet melalui epitel mukosa saluran cerna dengan proses difusi
dan pengelurannya melalui ginjal atau saluran cerna atau keringat kulit, namun
eksresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal. Hal ini bertujuan untuk
mempertahankan homeostasis natrium yang sangat diperlukan untuk
mempertahankan volume cairan tubuh. Hiponatremia yang terjadi pada Ny N
dapat disebabkan karena gangguan fungsi glomerulus dan tubulus pada ginjal
yang dapat diperkuat oleh adanya mikroalbuminuria dan proteinuria. Kondisi
hiperglikemia dan dislipidemia juga berkontribusi terhadap kejadian
pseudohiponatremia pada pasien DM. Intervensi yang telah diberikan pada pasien
Ny N ini terkait gangguan hiponatremia dan hipoklorenimia ini yaitu melalui

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
77

kolaborasi pemberian terapi parenteral NS0.9% 500 cc serta NaCl 3x500 mg p.o
disamping monitoring tanda dan gejala gangguan elektrolit, serta pemantauan
hasil laboratorium terkait.

Sekitar 98% jumlah kalium dalam tubuh berada dalam cairan intrasel. Perbedaan
kadar kalium cairan intrasel dengan interstisial yaitu akibat adanya transpor aktif
kalium kedalam sel yang bertukar dengan natrium keluar sel. Kalium difiltrasi di
glomerulus, direabsorbsi secara aktif maupun pasif di tubulus proksimal dan
direabsorbsi bersama dengan natrium dan klorida di lenhgkung henle. Kalium
dikeluarkan dari tubuh melalui gastrointesinal, kulit serta urin. (Yaswir & Irawati,
2012). Penyebab hipokalemi pada Ny N yaitu akibat dari diare yang terjadi dan
jika hipokalemi yang tidak ditangani dengan segera akan mengakibatkan
bradikardi hingga cardiac arrest. Hipokalemia pada pasien DM juga dapat
diakibatkan oleh terapi insulin yang berlebihan yang mengakibatkan influks
Kalium dari ekstrasel kedalam sel. Intervensi yang telah dilakukan yaitu untuk Ny
N ini yaitu kolaborasi pemberian drip KCl 25 mEq dalam NS 0.9% 500 cc tiap 12
jam dan pemberian KSR 3x600 mg. Perawat mengevaluasi respon pasien terkait
tanda dan gejala hipokalemia, hiponatremia dan melakukan observasi hasil lab
elektrolit tersebut.

Magnesium merupakan kation keempat yang paling banyak dalam tubuh manusia
dan merupakan kation intraselular kedua setelah kalium. Magnesium berperan
penting sebagai kofaktor pada lebih dari 300 reaksi enzimatik yang melibatkan
metabolisme energi dan asam nukleat serta berperan dalam homeostasis glukosa
dan kerja insulin (Sales & Pedrosa, 2006). Magnesium berperan penting dalam
fosforilasi reseptor insulin dimana satu deplesi Mg intraseluler dapat
mengakibatkan defek fungsi tirosin kinase pada reseptor insulin sehingga
menurunkan kemampuan insulin untuk menstimulasi ambilan glukosa pada
jaringan yang sensitif insulin, akibatnya resistensi insulin terjadi dan bila terjadi
terus menerus dapat mengakibatkan perkembangan komplikasi DM yang lebih
cepat. Tanda dan gejala dari hipomagnesia yang ditemukan pada Ny N yaitu
insomnia, kram tungkai, mual, anoreksia dan diare. Intervensi yang telah

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
78

dilakukan pada Ny N yaitu berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian Aspar


3x100 mg p.o serta mengevaluasi pemantauan hasil laboratorium terkait.

5) Risiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM


DM merupakan penyakit kronik yang dapat menyebabkan beberapa kelainan
dalam sistem pertahanan tubuh sehingga mengakibatkan gangguan integritas
energi dan struktural. Terganggunya fungsi insulin mengakibatkan regulasi energi
terganggu yang dapat mempengaruhi fungsi sel , termasuk gangguan fungsi dan
produksi sel-sel imun (Wijayakusuma, 2004). Kondisi tersebut menyebabkan
peningkatan risiko terkena infeksi diantaranya infeksi saluran kemih akibat
pemakaian cateter, infeksi pada pernafasan akibat kurangnya mobilitas atau
pasien terlihat jarang duduk dan sering tiduran atau akibat luka post amputasi
digiti V dan debridement digiti III. Timbulnya luka terjadi akibat soft tissue injury
akibat neuropati. Adanya edema jaringan, inflamasi dan nekrosis pada barier kulit
mengakibatkan masuknya kuman yang mengakibatkan infeksi dan kondisi PAD
yang terjadi pada pasien akan mempersulit proses penyembuhan luka.

Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk meningkatkan proses adaptasi


pasien dalam mengurangi risko terjadinya sepsis yaitu mengajarkan pasien,
keluarga serta pengunjung melakukan teknik hand hygiene. Setiap tahun, ratusan
juta pasien diseluruh dunia mendapatkan infeksi yang diperoleh dari layanan
perawatan kesehatan yang sebetulnya infeksi yang didapat dari perawatan
kesehatan tersebut dapat dicegah melalui upaya menjaga kebersihan tangan yang
baik yaitu membersihkan tangan pada saat yang tepat dan dengan cara yang benar.
Oleh sebab itu WHO merekomendasikan adanya program hand hygiene dengan
five moments untuk petugas kesehatan dan program tersebut juga telah diterapkan
di RSCM. Lima waktu untuk melakukan hand hygiene yaitu sebelum ke pasien,
sebelum melakukan tindakan aseptik, setelah menyentuh pasien, setelah terpapar
dengan cairan tubuh pasien dan setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien.
Selain itu pasien, keluarga dan pengunjung juga diajarkan cara melakukan hand
hygiene dan pada masing-masing bed pasien telah disediakan hand rub. Upaya
lain yang dilakukan untuk mencegah risiko infeksi yaitu melakukan penggantian

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
79

IV line dan cateter urin sesuai dengan SOP yang berlaku. Untuk meminimalkan
risiko infeksi paru pasien dianjurkan agar sering duduk dan mobilisasi di tempat
tidur serta meningkatkan oral hygiene dan personal hygiene secara umum.
Meskipun dari hasil pemeriksaan rontgen thorax tanggal 3/4/2014 ditemukan
adanya infiltrat di parakardial kanan dd bronkopneumonia, pasien tidak
menunjukkan adanya keluhan batuk. Kondisi neuropati, mikroangiopati dan
makroangiopati serta penurunan respon imun mengakibatkan pasien mudah
terkena infeksi pada paru dan menurunnya refleks batuk disebabkan oleh
kurangnya motilitas silia (Wulandari & Sugiri, 2013).

Kolaborasi untuk pemilihan antibiotik yang sesuai juga amatlah penting untuk
mencegah perluasan infeksi dan kejadian sepsis. Pemilihan penggunaan antibiotik
oleh dokter disesuaikan dengan hasil kultur luka. Antibiotik yang diberikan
sebelumnya yaitu ampicilin sulbactam 4x1.5 gram dan levofloxacin 1x750 mg.
Tanggal 2/4/2014 dilakukan pemeriksaan biakan pus yang hasilnya baru dapat
diketahui tanggal 4/4/2014. Dari hasil tersebut diketahui bahwa terdapat resistensi
terhadap ampicilin sulbactam. Tanggal 3/4/2014, pasien mendapatkan obat
meropenem 3x 1 gram yang selanjutnya hasil lab leukosit dan TTV secara
berangsur-angsur menunjukkan perbaikan, terjadi penurunan leukosit hingga
mencapai 11800/µL tanggal 20/4/2014. Penurunan leukosit tersebut menunjukkan
adanya proses adaptasi yang mendukung upaya konservasi struktural sehingga
penyembuhan luka semakin cepat dan timbulnya infeksi sekunder dapat dicegah.

6) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi atau


misinterpretasi informasi.
Kurang pengetahuan merupakan kurangnya informasi kognitif yang berkaitan
dengan topik tertentu (NANDA, 2011). Kurangnya pengetahuan pada Ny N
berhubungan dengan kurangnya pajanan terhadap informasi mengenai DM. Salah
satu intervensi yang dapat diberikan yaitu memberikan pendidikan kesehatan
(Penkes) terkait DM. Namun sebelum penkes diberikan, sebagai seorang perawat
hendaknya kita mengkaji tingkat pendidikan klien, hal ini berkaitan dengan
proses penerimaan dan penyesuaian bahasa yang kita gunakan agar informasi

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
80

dapat dipahami oleh klien.Kita juga perlu mengetahui sampai sejauh mana
pemahaman klien akan penyakitnya, sehingga kita bisa menyusun pendidikan
kesehatan berdasarkan kebutuhan klien. Pendidikan kesehatan merupakan salah
satu pilar dalam penanganan DM yang bertujuan meningkatkan pengetahuan,
sehingga dengan meningkatnya pengetahuan diharapkan terjadi perubahan
perilaku dan peningkatan kepatuhan yang pada akhirnya mampu meningkatkan
kualitas hidup penderita DM.

Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan, praktikan memberikan


memberikan pendidikan kesehatan mengenai penyakit DM (penyebab, tanda&
gejala), terapi insulin, pentingnya dilakukan kontrol glukosa darah, diet pada DM,
perawatan kaki diabetik. Selain itu praktikan juga memberikan edukasi mengenai
tanda dan gejala hipoglikemi, sebab pasien pernah mengalami hipoglikemia
selama perawatan.

7) Ketidakberdayaan berhubungan dengan gangguan fisik


Ketidakberdayaan menurut NANDA (2012) didefinisikan sebagai persepsi bahwa
tindakan seseorang secara signifikan tidak akan mempengaruhi hasil, persepsi
kurang kendali terhadap situasi saat ini atau situasi yang akan segera terjadi.
Ketidakberdayaan merupakan salah satu masalah yang muncul pada integritas
personal. Adanya gangguan fisik akibat nyeri klaudikasio yang diakibatkan oleh
PAD dan tindakan amputasi yang dilakukan mengakibatkan ketidakberdayaan.
Tujuan keperawatan yaitu membantu pasien melakukan konservasi integritas
personal dengan membantu pasien memenuhi aktifitas harian berdasarkan
keterbatasan yang dimiliki dan memaksimalkan fungsi tubuh sehingga pasien
secara bertahap mampu meningkatkan kemampuan diri untuk memenuhi aktifitas
harian secara mandiri. Pasien diajarkan bagaimana ia memaksimalkan
keterbatasan fisik yang ia miliki sekarang mampu membuatnya merasa berharga
dan mengurangi tingkat ketergantungan pada orang lain. Secara bertahap pasien
diajarkan untuk melatih bagian kaki yang diamputasi, latihan bangun sendiri dari
tempat tidur, duduk hingga berdiri disamping tempat tidur secara mandiri.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
81

8) Harga diri rendah situasional berhubungan dengan ketergantungan terhadap


orang lain.
Ketidakberdayaan yang dialami oleh Ny N diakibatkan oleh adanya gangguan
fisik yang mengakibatkan ketergantungan terhadap orang lain. Hal ini sesuai
dengan penilaian fungsional Barthel index bahwa saat ini pasien berada pada
tingkat ketergantungan sedang. Beberapa pemenuhan aktifitas harian pasien
dibantu oleh keluarga atau perawat, sehingga pasien merasakan ketergantungan
dengan suami. Adanya ketidakberdayaan ini akan menyebabkan gangguan
integritas personal. Pengkajian lebih lanjut dilakukan untuk menggali masalah
ketidakberdayaan ini yaitu menggali konsep diri. Konsep diri merupakan semua
persepsi kita terhadap aspek diri kita yang meliputi aspek fisik, aspek sosial, aspek
psikologis yang terbentuk karena pengalaman masa lalu kita dan interaksi dengan
orang lain. Menurut NANDA (2012), harga diri rendah situasional merupakan
perkembangan persepsi negatif tentang harga diri sebagai respons terhadap situasi
saat ini, yaitu adanya gangguan fisik yang mengakibatkan ketergantungan
terhadap orang lain.

Manusia memiliki harga diri, keinginan untuk dihargai oleh orang lain. Kebutuhan
harga diri berhubungan dengan keinginan terhadap kekuatan, pencapaian, rasa
cukup, kompetensi, percaya diri dan kemerdekaan. Manusia juga membutuhkan
pengharagaan dari orang lain dan jika kebutuhan harga diri dan penghargaan dari
orang lain tidak terpenuhi, orang tersebut akan merasa tidak berdaya dan merasa
rendah diri ( Maslow dalam Potter & Perry, 2005). Jika konsep diri mengalami
perubahan karena perubahan dan keterbatasan fisik, maka seorang perawat
diharapkan mampu memberikan perawatan untuk meningkatkan konsep diri dan
gambaran diri. Tentu saja tindakan keperawatan tersebut bergantung pada sistem
dukungan dan kepribadian klien, penyebab dari gangguan konsep diri dan sumber
yang tersedia. Jika tingkat harga diri pasien sangat rendah, berarti mereka gagal
beradaptasi dan melakukan konservasi, sehingga perawat berkewajiban untuk
membantu memenuhi kebutuhan lain disamping upaya untuk meningkatkan harga
diri pasien.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
82

Terjadinya distres pada pasien diabetes merupakan suatu gejala unik yang
mengacu pada beban emosional yang tersembunyi dan munculnya kekhawatiran
akan pengalaman ketidakmampuan manajemen diabetes (Lawrence, Marilyn,
Joseph, Patricia & Russel, 2008). Menjadi pendengar yang baik dan memberi
kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan harapannya dapat menjadi acuan
seberapa besar keinginan pasien dalam menjalani perawatan saat ini. Hindari
menyembunyikan kebenaran atau memberi harapan palsu pada pasien mengenai
kondisi sakitnya. Perawat berkewajiban untuk memberi informasi yang benar
pada pasien maupun keluarga untuk membantu pasien mengambil keputusan yang
tepat dalam pengobatan maupiun perawatan yang dilakukan padanya.

Intervensi lain yang dilakukan yaitu mendorong pasien agar menerima perubahan
yang terjadi untuk menghadapi kehidupan dengan lebih optimis, selalu berfikir
positif dan libatkan keluarga untuk mencapai tujuan ini. Perawat juga harus dapat
memberikan penguatan yang positif mengenai diri pasien, membantu pasien untuk
beradaptasi sehingga tercapai integritas konservasi personal. Pelletier dalam
Lorentz (2006) mengatakan bahwa perasaan negatif seperti takut, putus asa dan
depresi akan mempengaruhi proses biokimia dalam tubuh, hal ini berkaitan
dengan konsep mind body healing, dimana pikiran berpengaruh terhadap proses
penyembuhan. Pikiran negatif akan memicu stres yang memicu peningkatan
glukosa darah pada pasien DM. Stres akan menstimulasi sympsthic-adrenal
medullary (SAM) dan hypothalamic pituitary adrenal (HPA) untuk merangsang
hormon epinefrin dan kortisol dari kelenjar adrenal yang akan meningkatkan
kadar glukosa darah.

Secara umum, penerapan teori model konservasi Levine ini dapat diterapkan pada
pasien dengan masalah endokrin, khususnya DM sebab pasien DM mengalami
masalah pada integritas energi akibat gangguan fungsi dan kerja insulin,
berdampak pada gangguan keseimbangan elektrolit dan pemenuhan nutrisinya.
Hiperglikemia juga akan mengakibatkan masalah pada integritas struktural terkait
dengan komplikasi yang ditimbulkan yaitu adanya ulkus diabetik yang diperparah
jika pasien juga mengalami PAD. Hal ini akan berdampak pada gangguan

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
83

integritas personal dan sosial akibat gangguan pada konsep dirinya. Peran perawat
adalah mengadaptasikan pasien mengalui penerapan prinsip konservasi sehingga
keutuhan dalam hal ini kesehatan pasien dapat tercapai.

Ada beberapa hambatan dalam mengintegrasikan konsep Levine dalam


pembuatan asuhan keperawatan. Levine tidak mendefinisikan secara jelas
bagaimana menyusun hipotesis. Levine hanya menjelaskan bahwa perawat akan
menyusun masalah dan solusinya, selanjutnya hipotesis ini akan menjadi rencana
keperawatan. Idealnya, dalam menyusun suatu rencana keperawatan terdiri dari
tujuan serta outcome dan hal ini tidak dijelaskan secara rinci pada model
konservasi levine. Sebagai contoh: Pada diagnosa keperawatan ketidakefektifan
perfusi jaringan perifer berhubungan dengan adanya stenosis, maka hipotesis yang
muncul yaitu perfusi jaringan akan meningkat jika sirkulasi baik. Levine tidak
menyebutkan outcome, dalam hal ini jika mengacu pada NOC, outcome yang
muncul yaitu CRT < 3dtk, akral hangat, pulsasi arteri kuat, nyeri (-), nekrosis (-),
edema (-). Oleh sebab itu evaluasi menjadi sulit untuk dilakukan.

3.3. Analisis penerapan model konservasi Levine pada 31 kasus kelolaan


Selama melakukan praktik di RSUPN Ciptomangunkusomo Jakarta, residen
mengelola 31 pasien endokrin. Mayoritas pasien yang dikelola yaitu pasien DM
Tipe 2, meskipun ada 1 pasien dengan DM Tipe 1. Komplikasi yang muncul pada
DM Tipe 2 yang membuat pasien menjalani perawatan di RS ditemukan
sebanyak 14 pasien mengalami ulkus diabetik, 10 pasien mengalami
hipoglikemia,7 pasien dengan komplikasi CKD St V dan 5 pasien dengan KAD.
Masalah keperawatan yang ditemukan pada 31 pasien kelolaan yaitu
ketidakstabilan kadar glukosa darah, risiko infeksi, ketidakseimbangan elektrolit
dan risiko penurunan perfusi jaringan jantung, ketidakefektifan perfusi jaringan
perifer, keletihan, kelebihan volume cairan, risiko syok, konstipasi, kurang
pengetahuan, ketidaberdayaan dan ketidakmampuan koping keluarga. Seluruh
pasien mengalami ketidakstabilan kadar glukosa darah dan risiko infeksi.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
84

Beberapa faktor risiko yang mengakibatkan kadar glukosa darah yang tidak stabil
yaitu; asupan diit yang tidak sesuai, pemantauan glukosa darah yang tidak tepat,
kurangnya kepatuhan terhadap manajemen diabetes, pemberian terapi medikasi
yang tidak tepat, kondisi stres maupun status kesehatan fisik (NANDA, 2012).
Perawat hendaknya memamtau porsi makan yang mampu dihabiskan pasien,
menghitung kebutuhan kalori pasien yang disesuaikan dengan porsi makanan
yang ia dapatkan. Dalam beberapa kasus terjadi suatu masalah yaitu pasien tidak
menghabiskan porsi makanan yang diberikan oleh RS dan setelah dihitung
kebutuhan kalorinya, didapatkan bahwa porsi makanan yang diberikan lebih dari
kebutuhan kalori yang seharusnya ia dapatkan. Peran kolaborasi antara perawat
dan ahli gizi sangat diperlukan. Gastroparesis yang terjadi pada pasien DM juga
mengakibatkan kurangnya nafsu makan akibat lambatnya pengosongan lambung
dan tentu saja hal ini akan mempengaruhi ketidakstabilan glukosa darah dan
cenderung terjadi hipoglikemia. Hipoglikemia yang terjadi pada pada 10 pasien
disebabkan oleh berbagai faktor, mayoritas terjadi pada pasien yang mendapat
terapi OHO golongan sulfonilurea. Pada pasien lansia cenderung untuk terjadi
hipoglikemia yang tidak disadari akibat adanya neuropati otonom dan penurunan
sensitifitas norepinefrin.

Adanya hiperglikemia yang dilanjutkan dengan KAD juga merupakan kondisi


ketidakstabilan kadar glukosa darah dan kondisi ini ditemukan pada 5 pasien.
Penyebab KAD pada pasien tersebut kemungkinan karena infeksi dari ulkus
diabetik. Infeksi akan meningkatkan sekresi kortisol dan glukagon sehingga
terjadi peningkatan kadar glukosa darah (Gotera & Budiyasa, 2010).

Adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama natrium, kalium dan magnesium


mempengaruhi proses metabolik dan keseimbangan energi pada pasien DM.
Hipokalemia pada pasien DM juga dapat diakibatkan oleh terapi insulin yang
berlebihan yang mengakibatkan influks Kalium dari ekstrasel kedalam sel.
Hipomagnesia yang tidak tertangani secara terus menerus akan mengakibatkan
perkembangan komplikasi DM yang lebih cepat. Hiponatremia dapat disebabkan
karena gangguan fungsi glomerulus dan tubulus pada ginjal, dibuktikan dengan

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
85

adanya mikroalbuminuria dan proteinuria. Kondisi hiperglikemia dan dislipidemia


juga berkontribusi terhadap kejadian pseudohiponatremia pada pasien DM.
Adanya mikroalbuminuria dan proteinuria juga menandakan tingat keparahan
nefropati diabetes, bahkan ditemukan beberapa pasien telah mengalami CKD
yang memerlukan terapi hemodialisis dan Continous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD). Pasien diabetes ini umumnya mengalami anemia akibat adanya
gangguan pada renal yang mengakibatkan produksi eritropoietin menurun.
Kondisi anemia ini akan mengakibatkan keletihan. Anemia lebih menonjol terjadi
pada pasien DM dibandingkan non DM dan dapat terjadi pada tahap awal
penyakit ginjal yaitu hanya dengan pemeriksaan mikroskopik ditemukannya
protein dalam urin (Thomas et al, 2003).

Pasien DM berisiko untuk terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh penurunan


imunitas. DM merupakan penyakit kronik yang dapat menyebabkan beberapa
kelainan dalam sistem pertahanan tubuh. Terganggunya fungsi insulin
mengakibatkan regulasi energi terganggu yang dapat mempengaruhi fungsi sel ,
termasuk gangguan fungsi dan produksi sel-sel imun (Wijayakusuma, 2004).
Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan risiko terkena infeksi, diantaranya
infeksi jamur, saluran kemih dan Tuberculosis (TB). Terdapat 3 dari 31 pasien
kelolaan yang mengalami TB. DM meningkatkan risiko TB aktif sebesar 3,11 kali
(Wulandari & Sugiri, 2013). Peningkatan prevalensi DM sebagai faktor risiko TB
juga disertai peningkatan prevalensi TB (Cahyadi & Venty, 2011). TB
disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis yang berbentuk batang, tidak
membentuk spora, bersifat aerob dan tahan asam. Kemungkinan penyebab
meningkatnya insiden TB paru pada penderita DM berupa defek pada fungsi sel-
sel imun dan mekanisme pertahanan penjamu. Dijelaskan juga bahwa aktivitas
bakterisidal leukosit berkurang pada pasien DM, terutama pada mereka yang
memiliki kontrol glukosa buruk. Meningkatnya risiko TB pada pasien DM juga
disebabkan oleh defek pada makrofag alveolar atau limfosit T. Terjadi
peningkatan jumlah makrofag alveolar matur (makrofag alveolar hipodens) pada
pasien TB paru aktif, namun tidak ditemukan perbedaan jumlah limfosit T yang
signifikan antara pasien TB dengan DM dan pasien TB saja. Proporsi makrofag

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
86

alveolar matur yang lebih rendah pada pasien TB yang disertai DM akan semakin
meningkatkan perluasan TB dan jumlah bakteri dalam sputum pasien TB dengan
DM (Cahyadi & Venty, 2011).

Kegagalan sistem imun menjadi penyebab DM sebagai faktor risiko aktivasi TB


laten. Kondisi paru penderita DM dapat dijumpai penebalan epitel alveolar dan
lamina basalis kapiler paru yang merupakan akibat sekunder dari komplikasi
mikroangiopati. Gangguan neuropati dari saraf otonom berupa hipoventilasi
sentral dan sleep apneu. Selain itu dapat terjadi penurunan elastisitas recoil paru,
penurunan kapasitas difusi karbon monoksida dan peningkatan endogen produksi
karbonmonoksida (Prakash dalam Wulandari & Sugiri, 2013). Kejadian infeksi
paru pada penderita DM merupakan akibat kegagalan sistem pertahanan tubuh
yakni gangguan pada fungsi epitel pernafasan juga motilitas silia. Gangguan
fungsi endotel kapiler vascular paru, kekakuan korpus sel darah merah, perubahan
kurva disosiasi oksigen akibat kondisi hiperglikemia yang lama menyebabkan
kegagalan fungsi mekanisme pertahanan tubuh melawan infeksi (Ljubiae dalam
Wulandari & Sugiri, 2013).

Beberapa pasien juga menunjukkan adanya pneumonia dari gambaran klinis dan
hasil rontgen. Fagositosis oleh makrogaf paru merupakan mekanisme pertahanan
dari inhalasi bakteri dan mekanisme pertahanan ini menurun pada pasien diabetes.
Kondisi asidosis mengganggu mekanisme bakterisidal oleh paru dan ini menjadi
faktor tambahan tidak terkontrolnya pasien DM terlebih lagi pada pasien DM
yang bedrest, kemungkinan terjadinya pneumonia akan lebih besar (Inzucchi,
2005).

Terdapat 14 pasien kelolaan yang mengalami ulkus diabetik. Penyebab terjadinya


ulkus diabetik yaitu akibat neuropati, iskemia maupun injury (Delmas, 2006).
Ulkus kaki diabetik merupakan luka kronis yang tidak akan sembuh dengan
sendirinya sehingga memerlukan penanganan aktif. Beberapa faktor yang telah
diidentifikasi pada penanganan dan manajemen ulkus kaki diabetik yaitu
pengontrolan kadar glukosa darah, pengontrolan infeksi, perawatan luka,

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
87

pemenuhan waktu tidur yang cukup dan menghilangkan nyeri (Holt, 2013).
Pemilihan antibiotik yang tepat disesuaikan dengan kultur luka akan menurunkan
kejadian infeksi lebih lanjut. Delmas (2006) juga mengatakan bahwa untuk
meningkatkan proses penyembuhan luka ada beberapa faktor yang harus
diperhatikan, yaitu; debridement jaringan, optimalisasi lingkungan luka,
pemilihan dresing yang tepat, menghindari trauma atau tekanan, pemilihan alas
kaki, meningkatkan oksigenasi dan perfusi serta pengontrolan infeksi. Beberapa
pasien diketahui mengalami PAD, sehingga pada pasien ini luka akan sulit
sembuh jika vaskularisasinya tidak ditangani. Adanya ulkus diabetik
mengakibatkan gangguan pada integritas struktural yang mempengaruhi integritas
lainnya, seperti integritas energi, sosial dan struktural. Luka yang mengalami
infeksi berat berisiko untuk terjadinya hiperglikemia dan KAD yang
meningkatkan kebutuhan energi. Luka diabetik juga mengakibatkan masalah pada
konsep diri pasien, terlebih lagi jika pasien mengalami amputasi yang
mengakibatkan harga diri rendah dan ketidakberdayaan. Dukungan dari keluarga
dan orang terdekat sangat membantu dalam upaya adaptasi untuk meningkatkan
konservasi sosial pada pasien.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
BAB 4
Penerapan Evidence Based Nursing (EBN)“Pengukuran Ankle Brachial Index
(ABI) Post Exercise pada Pasien DM dengan Klaudikasio Intermiten”

4.1 Latar Belakang


Peripheral Arterial Disease (PAD) merupakan kondisi yang ditandai adanya
penyempitan arteri perifer akibat proses aterosklerosis dan umumnya terjadi pada
arteri di kaki (Chesbro et al, 2011). Pasien dengan PAD berisiko tiga sampai
empat kali terkena penyakit kardiovaskuler dibandingkan pasien tanpa PAD
(Dachun et al, 2010). Prevalensi terjadinya PAD bervariasi, mulai dari 8 hingga
12 juta orang dan hampir setengah dari jumlah tersebut asimptomatik dan tidak
terdiagnosa (Cacoub, Cambou & Kownator, 2009). Menurut Allison et al (2007),
rata-rata 1 dari 16 orang dewasa yang berusia lebih dari 40 tahun di Unitede States
mengalami PAD. PAD umumnya terjadi pada orang African amerika, usia dewasa
tua, orang dewasa dengan riwayat penyakit aterosklerotik, penyakit
kardiovaskuler, diabetes, hiperkolesterolemia, klaudikasio intermiten, infark
miokard, obesitas penyakit ginjal dan merokok (Chesbro et al, 2011). PAD
umumnya tidak terdiagnosis dan kurang mendapat perawatan optimal. Hanya 40%
pasien mengalami gelaja ini dan hanya 1/3 nya yang melaporkan gejalanya pada
dokter (O’Donnell et al,2011). Gejala klasik dari PAD ini yaitu klaudikasio
intermiten, pasien umumnya mengeluh nyeri saat beraktifitas dan nyeri berkurang
jika beristirahat. Pada kondisi PAD berat dapat mengakibatkan amputasi atau
kematian.

Salah satu cara yang dilakukan untuk mendeteksi adanya PAD yaitu melalui
pemeriksaan Ankle Brachial Index (ABI). Pemeriksaan ABI merupakan gold
standard pengukuran noninvasive untuk deteksi PAD dan direkomendasikan
sebagai bagian dari pengkajian individu yang berisiko terhadap penyakit tersebut
(Migliacci, 2008). Nilai ABI ditentukan dengan membagi tekanan darah sistolik
tertinggi pada masing-masing ankle dengan tekanan darah sistolik tertinggi pada
brachial. ABI sangat membantu dalam menentukan beratnya suatu penyakit dan
mampu melakukan pemantauan hemodinamik yang signifikan pada beberapa

88 UNIVERSITAS INDONESIA

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


89

penyakit. Nilai ABI yang normal berkisar 0.91-1.3 meskipun nilai 0.91-0.99
dikatakan borderline PAD. Nilai 0.41-0.9 menunjukkan PAD ringan-sedang. Nilai
ABI ≤ 0.4 dikatakan mengalami PAD berat, sedangkan nilai ABI ≥ 1.3
menunjukkan adanya kalsifikasi pembuluh darah (Hirz et al, 2006).

Jika pasien memiliki nilai ABI normal, namun gejala klinis menunjukkan adanya
klaudikasio intermitten, maka pemeriksaan ABI post exercise harus dilakukan
(Cassar, 2006 dan Stein, 2006). Spesifisitas dan sensitifitas ABI saat istirahat
tinggi yaitu 99% dan 94-97% untuk mendeteksi tingkat stenosis yang setara
dengan angiografi dan hasil negative palsu muncul pada pasien PAD yang
memiliki nilai ABI normal namun nilai ABI menjadi rendah setelah dilakukan
latihan tungkai (Carter, Ouriel dalam Stein et al, 2006). Penelitian yang dilakukan
oleh Langen dkk (2009) juga menyebutkan pemeriksaan ABI post exercise lebih
reliabel dan mampu secara objektif dalam diagnosis pasien intermitten
claudikasio.

Ketidakmampuan penilaian ABI saat istirahat dalam mendeteksi stenosis arteri


ringan diakibatkan oleh terjaganya tekanan perfusi di tempat tersebut. Hal ini
sesuai dengan hukum Poisseuille, kecepatan aliran darah melalui saluran yang
sempit berbanding lurus dengan pangkat empat jari-jari saluran (May et al dalam
Stein, 2006). Selama latihan, aliran darah tidak bisa meningkat melebihi zona
stenosis meskipun penurunan resistensi dihasilkan dari dilatasi arteriol, akibatnya
tekanan darah distal akan menurun (Capellen dalam Stein, 2006).

Ketidaktepatan dalam diagnosis PAD mengakibatkan ketidakadekuatan


penanganan PAD dan hal ini dapat mengakibatkan kodisi yang serius seperti
amputasi, gangguan kapasitas fungsional, kualitas hidup dan depresi. PAD juga
merupakan penanda kuat aterosklerotik serta risiko kardiovaskuler dan telah
diketahui memiliki hubungan yang erat dengan risiko jantung koroner. Pasien ini
berisiko tinggi terhadap kematian, infark miokard, stroke, perawatan di RS
dengan rate tinggi yaitu sekitar 21% per tahun (Steg, et al, 2007).

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
90

Berdasarkan studi pendahuluan di Poliklinik Endokrin RSCM sejak 5 bulan


terakhir (Januari-Mei 2014) sebanyak 13.2% pasien berada dalam borderline PAD
(ABI 0.91-0.99) dan sebanyak 16% pasien telah mengalami PAD. Jumlah pasien
yang mengalami PAD kemungkinan akan bertambah, sebab pemeriksaan ABI saat
itu dilakukan dalam kondisi istirahat. Berdasarkan uraian diatas, residen merasa
tertarik untuk menerapkan evidence based, melakukan pengukuran ABI post
exercise pada pasien dengan gejala klaudikasio intermitten agar mendapatkan
nilai ABI yang lebih valid dalam diagnosis PAD.

4.2 Pembuatan PICO dan penelusuran literatur


Sebelum dilakukan penelusuran literatur, terlebih dahulu residen melakukan
membutan PICO dan pertanyaan klinis. Populasi pada EBN ini yaitu pasien DM
dengan keluhan nyeri klaudikasio intermitten namun memiliki nilai ABI normal
saat istirahat. Intervensi berupa pengukuran ABI post exercise dibandingkan
dengan pengukuran ABI saat istirahat. Outcome berupa hasil pengukuran ABI
post exercise lebih objektif untuk diagnosis PAD sehingga muncul pertanyaan
klinis “Apakah melakukan pengukuran ABI post exercise lebih objektif untuk
mendiagnosis PAD dibandingkan dengan pengukuran ABI saat istirahat pada
pasien dengan keluhan nyeri klaudikasio intermitten namun memiliki ABI normal
saat istirahat?”.

Langkah selanjutnya yaitu metode penelusuran literatur. Penelusuaran jurnal


terutama jenis penelitian dengan menggunakan randomized control trial (RCT)
dan systematic review. Kata kunci: leg exercise, foot exercise, ankle exercise,
ankle brachial index, ABI, ABPI, vascularization, circulation. Adapun jurnal
penelitian yang ditelusuri yaitu melalui Cochrane, PubMed, Proquest dan
EBSCO-CINAHL. Dari penelusuran tersebut, didapatkan dua jurnal yang
mendukung yaitu:
a) Langen H, Gurp J, Rubbens L. Interobserver variability of ankle brachial
index measurements at rest and post exercise in patients with intermittent
claudication. Vascular Medicine 2009; 14:221-226.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
91

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui reliabilitas pengukuran ABI saat


istirahat dan post exercise dalam praktik sehari-hari pada laboratorium
vascular. Subjek penelitian ini adalah variabilitas interobserver dari
pengukuran ABI saat istirahat dan post exercise pada pasien dengan gejala
intermiten klaudikasio. Pengukuran ABI post exercise dilakukan segera
setelah pasien diintruksikan melakukan jalan selama 5 menit pada treadmill
dengan kecepatan 3 km/jam dan slope 8%. Jika pasien tidak mampu
menyelesaikan latihan dan timbul gejala, pengukuran jarak tempuh tidak
dilakukan. Setelah 15 menit beristirahat, pasien dianjurkan melakukan
protocol yang sama dan penilaian akan dilakukan oleh observer kedua,
dimana observer ini tidak tahu hasil penilaian dari observer pertama.
Penilaian ABI ini dilakukan pada kedua kaki 20 pasien dengan gejala
klaudikasio intermiten. Hasil penelitian terhadap 40 pasang kaki
menunjukkan, rata-rata nilai ABI istirahat pada observer pertama yaitu 0.84
(SD ±0.18) dan observer kedua 0.84 (SD ±0.17). Rata-rata nilai ABI post
exercise 0.73 (SD ± 0.25) dan 0.74 (SD ±0.27). Standar deviasi dari
perbedaan ABI antarobserver adalah 0.08 saat istirahat dan 0.15 post exercise.
Interobserver variabilitas ABI yaitu 10% saat istirahat dan 21% post exercise.
Variabilitas interobserver post exercise lebih reliabel dan objektif untuk
diagnosis klaudikasio intermiten.

b) Stein R, Hriljac I, Halperin JL, Gustavson SM, Teodorescu V,Olin JW.


Limitation of resting ankle brachial index in symptomatic patients with
peripheral arterial disease. Vascular Medicine 2006;11:29-33.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengukuran diagnostic ABI saat
istirahat pada pasien yang yang dirujuk ke laboratorium vascular untuk
evaluasi suspek PAD, menilai pulse volume recording dan nilai ABI post
exercise pada pasien dengan ABI normal. Metode penelitian ini adalah
retrospective dan observasional studi. Penilaian ABI dilakukan saat istirahat
dan segera dilakukan setelah responden berjalan selama 5 menit dengan
treadmill atau hingga timbul gejala yang membuat pasien berhenti melakukan
exercise. Populasi penelitian ini 396 orang dengan usia rata-rata 69 tahun.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
92

Dari 396 responden, didapatkan nilai resting ABI normal yaitu 183 (46.2%),
abnormal 159 (40.2%) dan noncompressible 54 orang (13.6%). Beberapa
responden yang memiliki ABI normal tidak melakukan exercise testing
karena ketidakmampuan melakukan exercise, adanya penyakit jantung yang
berat dan responden menolak. Dari 138 pasien yang melakukan exercise, 84
orang memiliki ABI normal saat istirahat. Dari 84 responden, terdapat 26
orang yang nilai ABI nya < 0.9 setelah latihan. Kesimpulan dari penelitian
ini yaitu hampir separuh dari pasien yang dirujuk kelaboratorium vascular
karena suspek gangguan arteri memiliki nilai ABI normal saat istirahat. Saran
dari penelitian ini yaitu jika nilai ABI normal saat istirahat namun pasien
memiliki gejala intermiten klaudikasio, exercise testing direkomendasikan
untuk meningkatkan sensitifitas deteksi PAD.

4.3 Pelaksanaan EBN


Subyek penelitian ini adalah pasien DM yang datang ke Poliklinik Penyakit
Dalam RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta dengan kriteria inklusi adalah:
pasien DM, mengalami keluhan klaudikasio intermiten dan atau memiliki nilai
ABI istirahat borderline 0.91-0.99. Kriteria ekslusi: pasien dengan ulkus pada
plantar kaki dan pasien yang tidak mampu melakukan latihan heel raises exercise.
Tempat pelaksanaan EBN di Poliklinik Penyakit Dalam (Poli Kaki) RSUPN
Ciptomangunkusumo Jakarta. Setelah melakukan pengurusan perijinan ruangan
pada bidang diklat RS dan meminta ijin pada kepala ruangan dengan menjelaskan
tujuan penerapan EBN, selanjutnya residen melakukan sosialisasi kepada perawat
tanggal 18 Juni 2014 yang saat itu dihadiri oleh 11 perawat. Pelaksanaan EBN
dilakukan mulai tanggal 19-26 Juni 2014.

Prosedur pelaksanaan EBN yaitu melakukan screening pada pasien yang


memenuhi kriteria inklusi. Selanjutnya meminta persetujuan pasien dengan inform
consent dengan terlebih dahulu menjelaskan pada pasien mengenai tujuan,
manfaat dan prosedur pelaksanaan EBN. Setelah diberikan informed consent,
pasien dilakukan pengukuran ABI saat istirahat. Selanjutnya, pasien diminta
untuk melakukan latihan “heel raises” Pasien diminta untuk melakukan latihan

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
93

ini dengan mengangkat tumit hingga mencapai ketinggian dan kecepatan


maksimum yang mampu dicapai pasien selama kurang lebih 30 detik atau hingga
timbul gejala sehingga pasien tidak mampu untuk meneruskan latihan. Segera
setelah latihan, pasien dilakukan pengukran ABI kembali. Total keseluruhan
jumlah pasien yang memenuhi kriteria inklusi yaitu sebanyak 17 pasien.

4.4 Hasil Penerapan EBN


Karakteristik responden berdasarkan usia, lama mengalami DM, nilai ABI
saat istirahat dan setelah latihan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.1 Distribusi responden berdasarkan usia, lama DM, nilai ABI saat istirahat dan
setelah latihan di Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta, 19-26
Juni 2014 (n=17)

No Variabel Mean SD Minimal-Maksimal


1 Usia 60.59 7.46 44- 70
2 Lama DM 6.15 6.65 0.08 – 20.00
3 ABI istirahat
Dextra 1.057 0.081 0.900 - 1.232
Sinistra 1.038 0.123 0.798 - 1.312
4 ABI post exercise
Dextra 1.005 0.067 0.900 - 1.154
Sinistra 0.978 0.103 0.722 - 1.145

Rata-rata usia responden yaitu 60.59 tahun, memiliki riwayat DM sejak


6.15 tahun. Rata-rata hasil pemeriksaan ABI istirahat pada kaki kanan
yaitu 1.057 dan kaki kiri 1.038. Setelah dilakukan latihan heel raise, rata-
rata nilai ABI mengalami penurunan yaitu nilai ABI pada kaki kanan
1.005 dan pada kaki kiri 0.978.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
94

Karakteristik reponden berdasarkan jenis kelamin, riwayat merokok dan


riwayat hipertensi dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.2 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, riwayat merokok dan riwayat
hipertensi di Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta, 19-26 Juni
2014 (n=17)

No Variabel Frekuensi Persentase (%)


1 Jenis kelamin
Laki-laki 10 58.8
Perempuan 7 41.2
2 Riwayat merokok
Ya 1 5.9
Tidak 9 52.9
Sudah berhenti 7 41.2
3 Riwayat Hipertensi
Ya 10 58.8
Tidak 7 41.2

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa mayoritas responden berjenis


kelamin laki-laki yaitu sebanyak 10 orang (58.8%), tidak memiliki riwayat
merokok sebelumnya sebanyak 9 orang (52.9%) dan memiliki riwayat
hipertensi sebanyak 10 orang (58.8%).

4.5 Pembahasan
Pengukuran ABI merupakan lini pertama penyaringan dan diagnosis PAD
yang bersifat noninvasif, memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi
(Esther, Wattanakit & Gornik, 2012). Nyeri klaudikasio yang muncul pada
pasien DM diakibatkan oleh adanya penurunan suplai darah ke bagian distal
pada arteri yang mengalami penyempitan akibat sumbatan aterosklerosis.
Karakteristik klaudikasio adalah nyeri otot pada betis, paha, pantat
diperberat saat beraktifitas dan berkurang jika istirahat.

Berdasarkan karakeristik pasien diketahui bahwa rata-rata usia pasien yaitu


60.59 tahun dan memiliki riwayat DM sejak 6.15 tahun. Prevalensi PAD
akan meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Pada pasien DM, setiap
peningkatan 1% HbA1C akan terjadi peningkatan risiko PAD sebanyak
26% (Selvin et al, 2004). Resistensi insulin meningkatkan faktor risiko
terjadinya PAD sebanyak 40-50% meskipun pada pasien tanpa DM.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
95

Resistensi insulin meningkatkan pengeluaran asam lemak bebas dari


jaringan adipose, yang mengaktivasi enzim protein kinase C, menghalangi
posphatidilinositol 3 (PI-3) kinase dan meningkatkan produksi reaktif
oksigen, mekanisme yang secara langsung mengganggu produksi NO atau
menurunkan bioavailibilitas (Beckman, Creager & Libby, 2002).

Mayoritas pasien berjenis kelamin laki-laki dan memiliki riwayat hipertensi.


Meningkatnya risiko PAD pada laki-laki kemungkinan diakibatkan oleh
adanya riwayat merokok sebelumnya, meskipun dari data ditemukan
mayoritas pasien yaitu sebanyak 52.9% mengatakan mereka tidak merokok,
namun diketahui ada sebanyak 7 pasien (41.2%) pernah merokok dan kini
mereka sudah berhenti merokok. Asap rokok diketahui dapat menyebabkan
disfungsi endotel pembuluh darah, meningkatkan onsentrasi fibrinogen,
menurunkan aktivitas fibrinolitik dan meningkatkan agregasi platelet.
Perokok berisiko tiga kali lebih tinggi untuk terjadi klaudikasio intermiten
dan menunjukkan gejala 10 tahun lebih cepat dibandingkan dengan bukan
perokok. (O’Donnell et al, 2011). Hipertensi berhubungan erat dengan
seluruh penyakit kardiovaskular, diantaranya PAD. 33-35% pasien dengan
PAD juga menunjukkan hipertensi (Clement, De Buyzere & Duprez, 2004).
Meskipun demikian, mekanisme disfungsi sel otot polos pembuluh darah
dan hipertensi pada diabetes masih belum diketahui (Creager M, Luscher T
& Beckman J, 2014).

Berdasarkan hasil penerapan EBN, dapat dilihat bahwa terjadi penurunan


rata-rata hasil pemeriksaan ABI pada kedua kaki setelah dilakukan latihan
heel raises dibandingkan dengan pengukuran ABI saat istirahat. Meskipun
seluruh hasil nilai ABI tersebut berada dalam rentang normal (0.9-1.3),
namun pasien telah menunjukkan adanya gejala klaudikasio dan terbukti
terjadi penurunan nilai ABI. Ketidakmampuan penilaian ABI saat istirahat
dalam mendeteksi stenosis arteri ringan diakibatkan oleh terjaganya tekanan
perfusi di tempat tersebut. Hal ini sesuai dengan hukum Poisseuille,
kecepatan aliran darah melalui saluran yang sempit berbanding lurus dengan

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
96

pangkat empat jari-jari saluran/ pembuluh darah. Selama latihan, aliran


darah tidak bisa meningkat melebihi zona stenosis meskipun penurunan
resistensi dihasilkan dari dilatasi arteriol, akibatnya tekanan darah distal
akan menurun. Oleh karena itu pengukuran ABI post exercise lebih objektif
dan reliabel untuk diagnosis PAD pada pasien dengan keluhan klaudikasio
intermiten atau suspek PAD.

Hambatan yang ditemukan selama pelaksanaan EBN ini tidak ada, seluruh
pasien mampu melakukan gerakan heel raises selama 30 detik dengan
ketinggian dan kecepatan yang disesuaikan dengan kemampuan masing-
masing individu. Dari 17 responden, ditemukan sebanyak 15 responden
mengalami penurunan ABI rata-rata setelah latihan, 1 orang nilai ABI nya
tetap dan 1 orang yang nilai ABI nya meningkat. Asumsi residen melihat
kondisi ini yaitu akibat pencapaian latihan pada masing-masing individu
berbeda. Ada yang mengatakan gerakan heel raises selama 30 detik tersebut
telah mambuat kaki terutama betis dan pergelangan kaki menjadi nyeri,
namun ada juga yang mengatakan belum ada respon samasekali terhadap
gerakan tersebut.

Berdasarkan penerapan EBN ini, maka residen merekomendasikan agar


pemeriksaan ABI post exercise dapat dijadikan SOP pada pasien dengan
keluhan nyeri klaudikasio intermiten.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
BAB 5
Kegiatan Inovasi “Latihan kekuatan dan keseimbangan untuk mencegah
kejadian jatuh pada pasien diabetes lansia dengan neuropati perifer”

5.1 Latar belakang


Diabetes merupakan penyakit metabolik kompleks yang mengakibatkan
gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Salah satu
gejala komplikasi DM yaitu neuropati yang dapat ditemukan pada hampir
50% pasien DM yang berusia lebih dari 60 tahun (Corriveau, 2000).
Neuropati perifer akibat DM menyebabkan gangguan sensasi pada kaki,
perubahan gaya berjalan sehingga mengurangi kemampuan pasien untuk
menjaga keseimbangan selama melakukan aktifitas. Kondisi tersebut akan
meningkatkan risiko kejadian jatuh pada DM usia lanjut. Berdasarkan hasil
studi pendahuluan yang dilakukan di Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN
Ciptomangunkusumo Jakarta sejak Januari-Mei 2014, ditemukan data
sebanyak 18 orang dari 106 kunjungan pasien mengalami neuropati.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh perawat untuk mencegah risiko
jatuh pada pasien yang mengalami neuropati diabetik yaitu melalui
perencanaan latihan fisik berupa latihan kekuatan dan keseimbangan.
Dengan adanya latihan yang dilakukan secara kontinu diharapkan kekuatan
dan keseimbangan pasien terutama otot ekstremitas bawah akan meningkat
sehingga resiko jatuh dapat dicegah.
Di Poliklinik Penyakit DalamRSUPN Ciptomangunkusumo hingga saat ini
belum ada intervensi berupa latihan secara khusus yang diperuntukkan bagi
pasien DM yang mengalami neuropati.

5.2 Analisis Situasi


Proses pelaksanaan proyek inovasi ini dilakukan di Poliklinik Penyakit
Dalam RSUPN Cipto Mangunkusumo yang merupakan RS Pusat Rujukan
Nasional yang memiliki visi memberikan pelayanan keperawatan paripurna
yang bermutu dan professional dalam rangka menuju pelayanan
keperawatan terkemuka di Asia Pasifik tahun 2014. Untuk mencapai visi

97 UNIVERSITAS INDONESIA

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


98

tersebut, RSCM memiliki beberapa misi, diantaranya; memberikan


pelayanan kesehatan paripurna dan bermutu serta terjangkau oleh semua
lapisan masyarakat, menjadi tempat pendidikan dan penelitian tenaga
kesehatan, tempat penelitian dan pengembangan dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui manajemen yang
dinamis dan akuntabel.

Selanjutnya kami melakukan analisis situasi menggunakan SWOT.


Kekuatan yang dimiliki oleh RSCM yaitu adanya dukungan dari manajemen
termasuk perawat untuk melakukan tindakan keperawatan berdasarkan
Evidence Based Practice, proses monitoring dan evaluasi terus dilakukan
terkait 6 standar International Patient Safety Goals dan adanya 6 edukator
diabetes di Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Kelemahan/ weakness yaitu tidak tersedianya ruangan yang cukup memadai
untuk pelaksanaan latihan, pasien berfokus untuk menunggu panggilan
antrian dan keterbatasan tenaga perawat yang mengajarkan gerakan latihan.
Kesempatan/ opportunity yang dimiliki yaitu; RSUPN Dr Cipto
Mangunkusumo merupakan Rumah Sakit Pendidikan dan lahan praktik bagi
mahasiswa keperawatan untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat di
Pendidikan untuk diterapkan di lahan praktik, merupakan RS rujukan
nasional yang telah mendapatkan akreditasi dari Joint Commission
International (JCI) serta adanya Visi dan komitmen RSUPN Dr Cipto
Mangunkusumo untuk meningkatkan mutu pelayanan dan kepuasan
pelanggan. Ancaman/threat yang harus diwaspadai yaitu adanya Undang-
undang perlindungan konsumen yang menuntut adanya peningkatan kualitas
pelayanan keperawatan, responsibilitas dan akuntabilitas perawat telah
diatur dalam Undang-Undang Kesehatan RI serta adanya program speak up
yang dicanangkan RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo memberi kesempatan
masyarakat untuk lebih kritis terhadap pelayanan yang diberikan oleh
perawat.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
99

5.3 Kegiatan Inovasi


5.3.1 Tahap persiapan
Pada tahap ini kami melakukan pembuatan proposal inovasi, mendiskusikan
dengan kepala ruangan rencana kegitan inovasi yang akan dilakukan di
Poliklinik Penyakit Dalam. Selanjutnya menyusun panduan latihan berupa
booklet yang telah dikonsultasikan dengan pembimbing akademik dan
klinik.
5.3.2 Tahap pelaksanaan
Sebelum pelaksanaan proyek inovasi, terlebih dahulu kami melakukan
sosialisasi pada perawat di Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN Dr Cipto
Mangunkusumo pada tanggal 18 Juni 2014. Proses pelaksanaan proyek
inovasi ini dilakukan selama 6 hari yaitu sejak 19-26 Juni 2014.

Subjek pada proyek inovasi ini yaitu pasien DM dengan neuropati perifer,
berusia 50 tahun dan mampu berjalan/ambulasi secara mandiri. Sedangkan
pasien yang memiliki ulkus di kaki, memiliki penyakit akut, menggunakan
alat bantu berjalan (tongkat, walker, tripod), Fraktur ( Tungkai, Vertebra),
memiliki penyakit jantung berat, adanya amputasi tungkai dan charcoat foot
diekslusikan dalam penelitian ini.

Subjek yang telah memenuhi kriteria inklusi selanjutnya dilakukan beberapa


penilaian sebelum proses latihan dilakukan. Penilaian tersebut berupa waktu
berdiri tandem (dalam detik), jumlah berjalan tandem (dalam 1 menit),
waktu berdiri unipedal (dalam satuan detik), tes berdiri dan berjalan dalam 3
meter atau time up and go test (dalam detik), waktu selama lima kali berdiri
dari kursi (dalam detik) dan waktu tempuh berjalan 10 meter (dalam detik).
Penilaian tersebut dilakukan untuk menentukan baseline sehingga
progresifitas efek latihan akan dievaluasi berdasarkan nilai baseline ini.

Setelah dilakukan penilaian awal, selanjutnya pasien diajarkan cara


melakukan latihan kekuatan dan keseimbangan yang terdiri dari 5 gerakan,

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
100

yaitu: berdiri tandem, berjalan tandem, berdiri unipedal, berdiri dan duduk
di kursi serta gerakan melangkah. Gerakan berdiri tandem dan berdiri
unipedal dilakukan selama 3 menit pada masing-masing kaki, 2 set perhari.
Pada gerakan berjalan tandem, pasien diinstruksikan untuk berjalan dengan
satu kaki berada di depan kaki yang lain, berjalan sebanyak 10 langkah yang
dilakukan 5 set perhari. Untuk latihan kekuatan otot, pasien diintruksikan
untuk duduk dan bangkit dari kursi tanpa berpegangan tangan, gerakan ini
dilakukan sebanyak 10 kali selama 3 set perhari. Latihan terakhir yaitu
gerakan melangkah, pasien diintruksikan untuk melangkah 1 langkah
kedepan, ke belakang, kesamping kanan dan kiri. Gerakan ini dilakukan
sebanyak 10 kali, 3 set perhari.

Setelah dilakukan latihan, pasien diberikan booklet yang digunakan sebagai


panduan selama mereka melakukan latihan dirumah. Pasien diminta
mengisikan kuesioner evaluasi booklet mengenai; informasi yang diberikan,
tulisan booklet, tampilan dan warna gambar, kepraktisan dan manfaat
booklet serta kelanjutan penggunaan booklet dirumah.

5.3.3 Tahap evaluasi


Selama proses kegiatan inovasi ini yang dimuali dari pembuatan proposal,
booklet, sosialisasi dan tahap pelaksanaan berlangsung dengan baik. Meskipun
selama pelaksanaan proyek inovasi ini dilakukan oleh kelompok residen, namun
perawat Poliklinik Endokrin juga sempat melihat dan mengikuti kegiatan kami.
Hambatan yang ditemukan saat pelaksanaan yaitu terpecahnya konsentrasi dari
pasien akibat keluar masuknya pasien lain ke ruangan tersebut. Hal ini disebabkan
karena ruangan yang digunakan yaitu ruang Poli Kaki, dimana diruangan tersebut
juga ada kegiatan perawatan luka dan pemeriksaan deteksi kaki (pemeriksaan ABI
dan neuropati). Evaluasi hasil dilakukan pada pasien yang mendapatkan latihan
kekuatan dan keseimbangan yang berjumlah 10 pasien. Evaluasi yang dilakukan
berupa penilaian baseline selama latihan serta evaluasi terhadap penilaian booklet.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
101

Pada hasil penerapan proyek inovasi ini akan dipaparkan mengenai


karakteristik responden, hasil penilaian baseline latihan serta hasil evaluasi
booklet oleh responden.

Tabel 5.1 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dan tingkat pendidikan di
Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta, 19-26 Juni 2014 (n=10)

No Variabel Frekuensi Persentase (%)


1 Jenis kelamin
Laki-laki 7 70
Perempuan 3 30
2 Tingkat pendidikan
S1
SMA 3 30
SMP 4 40
3 30

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa mayoritas pasien adalah laki-
laki sebanyak 70% dan tingkat pendidikan mayoritas SMA sebanyak 40%.

Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan usia dan lama DM di Poliklinik Penyakit
Dalam RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta,
19-26 Juni 2014 (n=10)

No Variabel Mean SD Minimal-Maksimal


1 Usia 62.20 6.05 50 – 70
2 Lama DM 8.59 6.71 0.25 - 18

Berdasarkan tabel diatas, diketahui rata-rata usia responden yaitu 62.2 tahun
dengan standar deviasi 6.05 tahun. Rata-rata lama mengalami DM yaitu
8.59 tahun dengan standar deviasi 6.71 tahun.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
102

Tabel 5.3 Hasil penilaian latihan di Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN


Ciptomangunkusumo Jakarta,
19-26 Juni 2014 (n=10)

No Variabel Mean SD Minimal-Maksimal


1 Waktu berdiri tandem (detik)
Dextra 125.00 55.68 35-180
Sinistra 105.20 56.49 15-180
2 Jumlah langkah berjalan 34.30 8.11 17-45
tandem (dalam 1 menit)
3 Waktu berdiri unipedal
Dextra 95.80 64.71 20-180
Sinistra 42.50 44.28 2-120
4 Time up and go test (detik) 10.80 2.39 7-15
5 Waktu selama 5 kali berdiri 14.70 4.30 10-22
dari kursi (detik)
6 Waktu tempuh berjalan 10 15.40 2.55 12-18
meter (detik)

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa rata-rata waktu yang dapat
dicapat selama berdiri tandem pada kaki kanan yaitu 125 detik dan kaki kiri
105.2 detik. Rata-rata jumlah langkah berjalan tandem yang dapat dicapai
selama 1 menit yaitu 34.3 langkah. Rata-rata pencapaian waktu berdiri
unipedal menggunakan kaki kanan yaitu 95.8 detik, sementara kaki kiri 42.5
detik. Rata-rata pelaksanaan time up and go test membutuhkan waktu 10.8
detik dengan standar deviasi 2.39 detik. Rata-rata waktu yang dibutuhkan
selama 5 kali berdiri dari kursi yaitu 14.7 detik, sementara waktu tempuh
berjalan selama 10 meter yaitu 15.4 detik.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
103

Tabel 5.4 Hasil penilaian evaluasi booklet di Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN
Ciptomangunkusumo Jakarta,
19-26 Juni 2014 (n=10)
No Pertanyaan Frekuensi Persentase
(%)
1 Informasi yang diberikan jelas dan
mudah dimengerti
Sangat baik 8 80
Baik 2 20
Tidak baik 0 0
Sangat tidak baik 0 0
2 Tulisan dapat dibaca dengan jelas
Sangat baik
Baik 7 70
Tidak baik 3 30
Sangat tidak baik 0 0
0 0
3 Tampilan dan warna gambar jelas
Sangat baik
Baik 10 100
Tidak baik 0 0
Sangat tidak baik 0 0
0 0
4 Booklet ini media yang praktis
untuk digunakan
Sangat baik 8 80
Baik 2 20
Tidak baik 0 0
Sangat tidak baik 0 0
5 Manfaat booklet
Sangat baik 9 90
Baik 1 10
Tidak baik 0 0
Sangat tidak baik 0 0
6 Buku ini akan saya gunakan untuk
petunjuk latihan mandiri di rumah
dan sebagai media informasi dan
komunikasi dengan petugas Poli
endokrin
Ya
Tidak 10 100
0 0

Hasil evaluasi terhadap isi booklet menunjukkan mayoritas pasien mengatakan


sangat baik/sangat puas pada informasi yang disajikan dalam booklet, tulisan yang
dapat dibaca dengan jelas, tampilan dan warna gambar yang jelas, Mereka juga
memberi penilaian yang sangat baik bahwa booklet ini merupakan media yang
sangat praktis untuk digunakan, memberi manfaat yang sangat baik serta seluruh
pasien mengatakan akan menggunakan booklet ini sebagai petunjuk latihan
mandiri di rumah dan sebagai media informasi dan komunikasi dengan petugas

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
104

poliklinik Penyakit Dalam khususnya poli endokrin RSUPN Cipto


Mangunkusumo Jakarta.

5.4 Pembahasan
Neuropati perifer pada diabetes merupakan komplikasi kronis DM yang mengenai
lebih dari 50% pasien DM dan umumnya dimulai dengan adanya lesi pada saraf
perifer, berkembang pada saraf motoroik dan autonomik (Sartor et al, 2012).
Kondisi tersebut secara bertahap akan berkembang menjadi hilangnya sensasi
terhadap getaran, termal, perabaan dan sensitifitas proprioseptif.

Neuropati perifer mengakibatkan adanya gangguan sensorik dan motorik yang


berdampak pada disfungsi mobilitas dan adanya gangguan berjalan serta
gangguan keseimbangan (Allet et al, 2010). Pasien diabetes memiliki kecepatan
berjalan yang lebih rendah, irama dan langkah kaki yang lebih pendek
dibandingkan dengan pasien tanpa DM serta perubahan gaya berjalan ini
meningkat pada permukaan yang tidak teratur. Lebih jauh lagi pada pasien
diabetes akan dapat kita jumpai penurunan kemampuan rentang gerak sendi dan
kekuatan otot sesuai dengan lamanya DM. Allet et al (2009) juga menemukan
bahwa menurunnya kekuatan otot ektremitas bawah, ketakutan untuk jatuh dan
gangguan sensorik berhubungan dengan adanya gangguan berjalan. Pasien dengan
neuropati diabetik memperlihatkan ketidakseimbangan postural akibat
ketidaktepatan pada daerah tumpuan yang lebih besar, ayunan atau goyangan
yang lebih kuat dan ketidakseimbangan yang lebih kuat jika mata ditutup (Lafond,
Corriveau & Prince,2004).

Menurunnya kekuatan otot pada ekstremitas bawah, hilangnya keseimbangan dan


kemampuan berjalan telah diketahui sebagai faktor risiko kejadian jatuh terutama
pada lansia. Adanya gangguan jaringan sepanjang sendi bagian distal, diantaranya
penebalan struktur sendi, tendon dan ligamen ditemukan pada pasien DM
(Glacornozzi & Martelli, 2006). Jaringan ini mengandung jumlah kolagen yang
lebih besar dan terpapar dengan glikosilasi non enzimatik akibat hiperglikemia
sehingga mengurangi elastisitas jaringan. Akibatnya, kaki akan menjadi kaku dan

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
105

mobilitas berkurang. Berdasarkan hasil observasi menggunakan Magnetic


Resonance Image (MRI), telah ditemukan bahwa total jumlah otot kaki intrinsik
pada pada pasien DM yang mengalami neuropati lama adalah setengahnya
dibandingkan dengan pasien DM tanpa neuropati dan pasien sehat (Andreassen,
Jakobsen & Andersen, 2006). Oleh karena itu atrofi dari otot kaki ini
berhubungan erat dengan tingkat keparahan neuropati yang mengakibatkan
disfungsi motorik.

Penguatan otot ekstremitas bawah dapat ditingkatkan melalui program latihan


yang dilakukan secara kontinu. Adanya suatu konsensus yang menyebutkan
bahwa latihan yang tepat untuk pasien lansia yaitu kombinasi dari latihan
kekuatan otot belakang dan ekstremitas bawah, latihan keseimbangan dan berjalan
untuk mencegah fraktur vertebral dan nonvertebral.

Pada kesempatan ini kelompok melakukan latihan kekuatan otot dan


keseimbangan pada pasien DM yang mengalami neuropati. Sebelum latihan
dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pengukuran baseline sebelum latihan. Salah
satu pengukuran yang dilakukan yaitu Time Up and Go (TUG) Test. Tes TUG ini
digunakan untuk menilai kemampuan mobilitas pasien dan menurut Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) dikatakan bahwa pasien dengan nilai
TUG ≥ 12 berisiko untuk jatuh. Berdasarkan hasil penilaian terhadap responden,
diketahui bahwa rata-rata nilai TUG yaitu 10.80 detik, meskipun demikian
terdapat 4 responden yang memiliki nilai TUG ≥ 12. Latihan ini juga diharapkan
dapat meningkatkan jumlah langkah saat berjalan. Meningktnya waktu berdiri
unipedal dapat menghasilkan kestabilan saat berjalan dan gerakan berdiri tandem
dan berjalan tandem yang dilakukan akan meningkatkan jumlah langkah kaki
yang menyentuh tanah, dimana tumit dan ujung jari saling bersentuhan, gerakan
ini akan mencegh kejadian jatuh akibat adanya sandungan. Gerakan duduk dan
berdiri dari kursi bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot ekstremitas bawah.
Dengan meningkatnya kekuatan otot diharapkan risiko jatuh juga akan menurun.
Latihan diharapkan dilakukan selama 3 kali seminggu dan disesuaikan dengan
kemampuan pasein. Pada saat pelaksanaan latihan,ada beberapa pasien yang tidak

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
106

mampu melakukan gerakan berdiri tandem maupun berdiri unipedal selama 3


menit. Secara umum, gerakan-gerakan dalam latihan ini aman dan mampu
dilakukan oleh pasien diabetes lansia dengan neuropati dan kami percaya gerakan
ini mampu dilakukan oleh pasien selama dirumah dengan pendampingan dari
keluarga.
Berdasarkan hasil analisis SWOT yang telah dilakukan, penerapan proyek inovasi
ini telah mendapat dukungan dari manajemen termasuk perawat Poliklinik
Penyakit Dalam RSCM, namun beberapa kendala yang ditemukan terkait dengan
penerapan proyek inovasi ini kedepannya yaitu tidak adanya ruangan khusus dan
tenaga perawat yang kurang untuk pelaksanaan latihan ini. Harapannya pihak
manajemen mampu memfasilitasi hambatan ini dengan menyediakan ruangan
khusus dan tenaga perawat atau fisioterapi yang telah terlatih sehingga proyek ini
mampu dilaksanakan secara kontinu, mengingat manfaat pelaksanaan latihan yang
sangat besar pada pasien DM khususnya yang mengalami neuropati. Adanya
kontinuitas program latihan akan mendukung pencapaian Visi RSCM yaitu
meningkatkan mutu pelayanan dan memberikan kepuasan pada pasien.

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan
6.1.1 Teori model konservasi Levine memungkinkan untuk diaplikasikan dalam
pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem
endokrin, khususnya pasien DM, dimana umumnya pasien DM akan
mengalami masalah konservasi energi, struktural, personal dan sosial.
Perawat bertanggungjawab untuk meningkatkan proses adaptasi pasien
terhadap masalah yang terjadi sehingga tujuan dari model konservasi ini,
yaitu keutuhan akan tercapai.
6.1.2 Dalam penerapan EBN, terjadi penurunan rata-rata nilai ABI post exercise
dibandingkan dengan pengukuran saat istirahat. Oleh sebab itu, pada
pasien DM dengan keluhan nyeri klaudikasio intermiten diharapkan agar
pengukuran ABI dilakukan segera setelah latihan agar mendapatkan nilai
ABI yang lebih objektif. Ketepatan diagnosis akan mengakibatkan
ketepatan dalam pemberian intervensi.
6.1.3 Kegiatan inovasi penggunaan booklet dalam pelaksanaan intervensi
“Latihan kekuatan dan keseimbangan pada pasien DM dengan neuropati
perifer” dapat dijadikan sebagai petunjuk latihan mandiri dirumah. Rata-
rata pasien menunjukkan kepuasan tinggi terhadap informasi yang
disajikan dalam booklet. Diharapkan latihan dan pemberian booklet ini
mampu menurunkan risiko jatuh pada pasien DM dengan neuropati.

6.2 Saran
6.2.1 Bagi pelayanan keperawatan
a. Hendaknya dapat mengadopsi penerapan pendekatan model
konservasi levine dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien
DM.
b. Sebagai pemberi asuhan keperawatan, hendaknya perawat
memberikan intervensi keperawatan berdasarkan pembuktian

107 UNIVERSITAS INDONESIA

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


108

(evidence based practice) agar intervensi yang diberikan dapat


dipertanggungjawabkan.
c. Program inovasi berupa latihan kekuatan dan keseimbangan yang
dilanjutkan dengan pemberian booklet hendaknya dapat dilaksanakan
melalui integrasi program ini dengan PERSADIA
6.2.2 Bagi pendidikan dan perkembangan ilmu keperawatan
Hendaknya pemberian intervensi keperawatan berdasarkan EBN terus
dilakukan dan dikembangkan dan penerapan hasil EBN ini diharapkan
dapat dijadikan acuan dalam membuat standar kompetensi spesialis
perawat endokrin.

UNIVERSITAS INDONESIA

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


109

DAFTAR REFERENSI

Andreassen,C.,Jakobsen,J.,& Andersen,H. (2006). A Progressive late


complication in diabetic distal symmetric polyneuropathy. Diabetes, 55:
80-812

American Diabetes Association (ADA). (2003). Peripheral arterial disease in in


people with diabetes. Diabetes Care, 26,12.

American Diabetes Association (ADA). (2014). Standard of Medical Care in


Diabetes. Diabetes Care. 36:S11-S65.

Allet,L.,Armand, S.,Golay, A., Aminian, K.,& et al. (2010). The gait and balance
of patients with diabetes can be improved: a randomised controlled trial.
Diabetologia, 53, 458-466.

Allet, L., Armand, S.,de Bie RA.,& et al.(2009). Gait alterations of diabetic
patients while walking on different surfaces. Gait Posture, 29, 488-493.

American Diabetes Association. (2010). Standards of medical care in diabetes-


2010. Diabetes Care, 33 (1), 511-561.

Alligood,M., & Tomey,A. (2006). Nursing theory utilization & apllication


(3rd ed). USA: Mosby.

Alligood,M., & Tomey,A. (2010). Nursing theorist and their work.(7th ed). USA:
Mosby

Allison, MA.,Ho E.,Denenberg,JO.,& et al. (2007). Ethnic specific prevalence of


peripheral arterial disease in the united states. Am J Prev Med.32;328-333

Almatsier,S. (2010). Penuntun diet. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Barnes,D. (2012). Program olahraga diabetes. Yogyakarta:PT Citra Aji Parama.

Beckman, J.A.,Creager, M.A.,Libby, P. (2002). Diabetes and atherosclerosis:


epidemiolgy, pathophysiology and management. JAMA.287: 2570-2581

Bhasavanthappa, B.T. (2007). Nursing theories. New Delhi: JBMP.

Black,J., & HawksJ. (2009). Medical surgical nursing (8th ed). St Louis:
Saunders Elsevier.

Cacoub, P., Cambou, J.P., Kownator, S. & et al. (2009). Prevelance of peripheral
arte-rial disease in high-risk patients using ankle-brachial index in general
prac-tice: a cross-sectional study. Int J Clin Pract. 63:63-70

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


110

Cahyadi, A & Venty. (2011). Tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus. J
Indon Med Assoc, 61 (4).
Cassar, K. (2006). Intermitten Claudication. British medical journal, 333;1002-
1005

Catalono,P., Kirwan,M., John,P., Sylvie, H.,et al. (2003). Gestational diabetes and
insulin resistance. The journal of nutrition. June 17, 2014. ProQuest pg
S1674

Chesbro,S.,Asongwed,E.,Brown,J.,& John,E. (2011). Reliability of doppler and


stethoscope methods of determining systolic blood pressure: consideration
for calculating an ankle brachial index. J Natl Med Assoc.103;863-869

Clement, D.L.,De Buyzere, M.L.,& Duprez, D.A. (2004). Hypertension in


peripheral arterial disease. Curr Pharm.10 (29): 3615-20

Collins, R., Burch, J.,Cranny, G.,Ibanez, R.A.,Craig,D.,& et al. (2007). Duplex


untrasonography, magnetic resonance angiography and computed
tomography angiography for diagnosis and assesment of sympatomatic
lower limb peripheral arterial disease: a systematic review. BMJ. 334
(7606): 1257

Corriveau H, Prince F, Hébert R, Raîche M, Tessier D, Maheux P, Ardilouze JL.


Evaluation of postural stability in elderly with diabetic neuropathy.
Diabetes Care. 2000;23(8): 1187–91.

Creager,M.A.,Luscher, T.F.,Cosentino, F.,& Beckman,J.A. (2003). Diabetes and


vascular disease: pathophysiology, clinical consequences and medical
therapy part I. Circulation.108: 1527-1532

Dachun, X.,Jue L.,Liling Z.,Yawei,X.,& et al. (2010). Sensitivity and specificity


of the ankle brachial index to diagnose peripheral artery disease; a
structural review. Vascular medicine. 15 (5); 361-369

Deglin, JH & Vallerand, AH.2005. Pedoman obat untuk perawat ed 4. Jakarta:


EGC

Delmas, L.(2006). Best practice in the assessment and management of diabetic


foot ulcers. Rehabilitation Nursing. 31 (6): 228-234

Diabetes programme. (2014). World Health Organization. June, 10, 2014


http://www.who.int/diabetes/en/

Dochterman, J.M & Bulechek,G.M. (2008). Nursing Intervention Classification


(NIC). (5th ed). USA: Mosby

Fawcett, J. (2005). Contemporary nursing knowledge. (2nd ed). Philadelphia: FA


Davis Company

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


111

Gibbs, B.B.,Dobrosielski,D.A.,Althouse,A.D.,& Stewart,K.J.(2013). The effect of


exercise training on ankle brachial index in type 2 diabetes.
Atherosklerosis. 230: 125-130

Gotera, W & Budiyasa D,G. (2010). Penatalaksanaan ketoasidosis diabetik


(KAD). J.Penyakit Dalam, 11(2): 126-138

Greenstein, B., & Wood, D. (2010). At a glance sistem endokrin (2 nd ed).


Jakarta: Erlangga.

Hamburg,N.,& Balady, G,J.(2011). Exercise rehabilitation in pheripheral arteri


disease. Circulation.123: 87-97.

Herdman,T.H. (2012). NANDA International nursing diagnoses: definition &


classification,2012-2014.Oxford: Wiley-Blackwell

Hirsh, A.T.,Haskal, Z.J.,Hertzer, N.R.,& et al. (2006). ACC/AHA 2005 guidelines


for the management of patients with peripheral arte-rial disease (lower
extremity, renal, mesenteric, and abdominal aortic). Circulation,113; 463-
654

Hirsh IB. (2005). Insulin Analogues. N Engl J Med; 352:174-183

Holt,P. (2013). Assessment and management of patients with diabetic foot ulcers.
Nursing Standar, 27 (27): 49-55

IDF diabetes atlas 2013. June 10, 2014.


http://www.idf.org/sites/default/files/EN_6E_Atlas_Full_0.pdf

Inzucchi,S., Ellenberg, M., & Rifkin,H. (2005). The diabetes mellitus manual.
USA: Mc Graw Hill.

Iwamoto, J.,Suzuki,H.,Tanaka,K.,Kumakubo, T., Hirabayashi,H.,et al. (2009).


Preventative effect of exercise against falls in the elderly: a randomized
controlled trial. Osteoporos Int.20: 1233-1240

Jansen,M.P.,& Stauffacher,M.Z. (2010). Advance practice nursing core concepts


for professional role development. (4th ed). USA: Springer publishing
company.

Kasapis C, Thompson PD. 2005. The effects of physical activity on serum C-


reaktive protein and inflammatory markers: a systematic review. J Am Coll
Cardiol;45:1536-1569

Kawasaki,T.,Uemura,T.,Matsuo,K.,Matsumoto, K.,Harada,Y.,et al. (2013). The


effect of different positions on lower limbs skin perfusion pressure.Indian
Journal of Plastic Surgery.46: 508-512

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


112

Lafond,D.,Corriveau, H.,Prince,F. (2004). Postural control mechanism during


quiet standing in patients with diabetic sensory neuropathy. Diabetes Care.
27: 173-178

Lago, MR.,Singh,PP.,Nesto,RW. (2007). Diabetes and hypertension. Nature


Clinical Practice Endocrinology & Metabolism.3: 667

Langen HV, Gurp JV & Rubbens L.(2009). Interobserver variability of ankle


brachial index measurements at rest and post exercise in patients with
intermittent claudication. Vascular Medicine;14: 221-226

Lawrence, F., Marilyn,S.,Joseph,M.,Patricia,A.,Russel,G et al. (2008). A


longitudinal study of affective and anxiety disorders, depressive affect and
diabetes distress in adult with type 2 diabetes. Diabet Med.25 (9): 1096-
1101

Leach, M. J. Wound management: using conservation model to guide practice.


July 13, 2014. http://www.ids-
healthcare.com/common/paper/paper_105/leach_wound%20management.
htm

Leutholtz ,B., & Ripoll,I. (2011). Exercise and Disease Management (2 nd ed).
US: CRC Press.

Lorentz, M. (2006). Stress and psychoneuroimmunology revisited:using mind


body intervention to reduce stress. Alternative Journal of Nursing. 11: 1-
11

Moorhead,S.,Johnson,M.,Maas,M.L.,& Swanson,E. (2008). Nursing Outcome


Classification (NOC). (4th ed). USA: Mosby

Mooradian, AD. (2008). Dyslipidemia in type 2 diabetes mellitus. Nature Clinical


Practice Endocrinology & Metabolism.5: 150-159.

Migliacci, R., Nasorri, R., Ricciarini, P.,& Gresele, P. (2008). Ankle-brachial


index measured by palpation for the diagnosis of peripheral arterial
disease. Fam Pract. 25:228-232.

Norgen,L.,Hiatt,W.R., Dormandy,J.A., Nehler,M.R., et al. (2007). Inter-society


consensus for the management of pheripheral arterial disease. Eur J Vasc
Endovasc Surg.33

O’Donnell ME.,Reid JA, Lau LL,Hannon RJ & Lee B. (2011). Optimal


management of peripheral arterial disease for the non specialist. Ulster
Med J. ; 80(1): 33–41.

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


113

O’hare AM, Vittinghoff E, Hsia J, Shlipak ME. 2004. Renal insufficiency and the
risk of lower extremity peripheral arterial disease: result from the heart and
estrogen/Progestin Replacement Study (HERS). J Am Nephrol; 15: 1046-
51

Patel TH, Kimura H, Weiss CR, Semenza GL, Hofmann LV. 2005. Constitutively
active HIF-1 alpha improves perfusion and arterial remodeling in an
endovascular model of limb ischemia. Cardiovasc Res; 68:144-154

Paul,J.C. (2012). Itch occuring with chronic wounds. June 29,2014. ProQuest

Parker, M.E. (2005). Nursing theories and nursing practice. Philadelphia: F.A
Davis Company

PERKENI. (2011). Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe


2 di Indonesia. April 06, 2013.
www.perkeni.org/download/Konsensus%20DM%202011.zip

Persatuan Perawat Nasional Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Perawat


Indonesia. June 13, 2014. www.inna-ppni.or.id

Potter., & Perry.(2006). Fundamental keperawatan (4 th ed). Jakarta: EGC.

Reece,E.A.,Leguizamon,G.,& Wiznitzer,A. (2009). Gestational diabetes: the need


for a ommon ground. Lancet, 373,1789-1797

Rikarni.,Lillah.,& Yoesri. (2007). Hubungan kadar fibrinogen plasma dan


mikroalbuminuria pada penderita diabetes melitus tipe 2. Indonesian
Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, 14,1: 11-15

Sales,C.H.,& Pedrosa, L. (2006). Magnesium and diabetes mellitus;their relation.


Clinical Nutrition, 25: 554-562

Sartor CD, Watari R, Passaro AC, Picon AP & Hasue RH et al. (2012). Effects of
a combined strenghthening, stretching and functional training program
versus usual care on gait biomechanics and foot function for diabetis
neuropathy: a randomized controlled trial. BMC Musculoskleletal
Disorders, 13:36

Selvin, E., Marinopoulus, S., Berkenbilt, G., Rami, T., Brancati, F.L., Powe,
N.R.,& et al. (2004). Meta-analysis glycosylated hemoglobin and
cardiovascular disease in diabetes mellitus. Ann Intern Med; 141:421-31.

Sherwood, L. (2011). Fisiologi manusia (6 th ed). Jakarta: EGC

Smeltzer., & Bare. (2003). Keperawatan Medikal Bedah (8 th ed). Jakarta: EGC

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


114

Smith,L. (2012). Identifying and managing peripheral arterial disease. Nursing


Times, 108,43, 12-14

Soegondo,S., Soewondo,P., & Subekti, I. (2013). Penatalaksanaan diabetes


melitus terpadu (2 nd ed). Jakarta: Balai Penerbit FK UI

Soewondo,P. (2007). Hidup sehat dengan diabetes. Jakarta: BalaiPenerbit FK UI

Steg, P.G., Bhatt, D.L., Wilson, P.W., & et al (2007). One-year cardiovascular
event rates in outpatients with athero-thrombosis. JAMA. 297:1197–1206

Stein R, Hriljac I, Halperin JL, Gustavson SM, Teodorescu V & Olin J. (2006).
Limitation of the resting ankle brachial index in symptomatic patients with
peripheral arterial disease. Vascular Medicine; 11: 29-33

Sudoyo,W., Setiyohadi,B., Simadibrata,M., Alwi I., & Setiati,A. (2009).Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam.(5 th ed). Jakarta: Interna Publishing

Thomas MC, MacIsaac RJ, Tsalamandris C, Power D, Jerums G. (2003).


Unrecognized anemia in patients with diabetes: A cross-sectional
survey. Diabetes Care.26(4):1164–1169.

Tjokroprawiro, A. (2006). Hidup sehat dan bahagia bersama diabetes mellitus.


Jakarta: Gramedia Pustaka.

Unger,J. (2007). Diabetes management in primary care. USA: Lippincott


Williams & Wilkins

Waspadji, S.,Sukardji, K.,& Oktarina,M. (2009). Pedoman diit diabetes melitus.


Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Weinberg, I. (2010). Pulse Volume Recording. July, 16. 2014.


http://www.angiologist.com/vascular-laboratory/pulse-volume-recording/

Wijayakusuma MH. (2004). Bebas diabetes melitus ala Hembing. Jakarta: Puspa
Swara

Wulandari, ,D,R.,& Sugiri, Y,J. (2013). Diabetes Melitus dan permasalahannya


pada infeksi tuberculosa. J Respori Indo, 33,2.

Yaswir, R., & Ferawati, I. (2012). Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan


Natrium, Kalium dan Klorida serta Pemeriksaan Laboratorium . Jurnal
Kesehatan Andalas. 1,2 :80-85

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


Lampiran 1
Rencana Asuhan Keperawatan
No Perubahan lingkungan internal & eksternal Diagnosa Tujuan Rencana Intervensi Rasional
Keperawatan
1 Data subjektif; Ketidakefektifan Perfusi jaringan 1. Monitor CRT, akral 1. Menilai derajat
Nyeri pada kaki kiri, skala 3. perfusi jaringan perifer adekuat dan nilai ABI perkembangan PAD
Data Objektif: perifer berhubungan dengan kriteria 2. Pantau skala nyeri 2. Adanya klaudikasio
a. Terdapat luka amputasi digiti V dan post dengan adanya hasil: akral 3. Ajarkan teknik menunjukkan
debridement digiti III hr ke-2 stenosis hangat, skala relaksasi nafas dalam terjadinya sumbatan
b. Akral dingin, CRT 4 detik nyeri berkurang, 4. Posisikan kaki pembuluh darah dan
c. ABI= 0.94/0.83(PAD sinistra) CRT < 3 dtk, dependen disamping meningkatnya skala
Arteri Kanan kiri ABI 0.9-1.3, tempat tidur nyeri menunjukkan
Femoralis ++ ++ penyembuhan 5. Ajarkan pasien progresifitas PAD
Poplitea ++ ++ luka baik. melakukan ankle yang semakin berat
Dorsalis pedis ++ + Kolesterol total < pump exercise atau 3. Mengurangi nyeri
Tibialis Posterior ++ + 200 mg/dl, LDL senam kaki terutama 4. Meningkatkan
d. Hasil pemeriksaan trigliserida 120 mg/dL (< < 100 mg/dl, pada kaki kanan sirkulasi ke arah
150), kolesterol LDL 127 mg/dL (< 100), HDL > 45 mg/dl, 6. Kolaborasi pemberian distal
kolesterol HDL 47 mg/dL (≥ 40) dan kolesterol trigliserid < 150 obat cilostazol 5. Untuk
total 230 mg/dL (120-200). mg/dl 7. Kolaborasikan untuk meningkatkan
e. Hasil lab CRP 430.39 mg/L (0-3), fibrinogen pemberian analgetik sirkulasi, terutama
591.5 mg/dl (136-384). 8. Kolaborasikan untuk mencegah
pemeriksaan USG perkembangan PAD
dopler atau lebih lanjut
arteriografi 6. Menghambat
agregasi platelet,
memperbaiki
metabolisme lipid
dan vasodilatasi
pembuluh darah.
7. Meningkatkan
ambang nyeri
sehingga
menurunkan
persepsi nyeri

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


8. mengetahui tempat
lokasi dari oklusi
atau untuk
mengetahui lebih
lanjut tingkat
keparahan PAD
2 Data subjektif: Risiko ketidakstabilan Glukosa darah a. Pantau KGDH/hari a. Melihat grafik kadar
Makan tidak habis, hanya habis ¼ porsi. Tidak nafsu kadar glukosa darah stabil selama b. Pantau porsi makan glukosa darah dan
makan karena mual, perut terasa cepat kenyang. dengan faktor risiko perawatan yang mampu memantau
manajemen diabetes dengan kriteria dihabiskan pasien perkembangan
Data objektif: inefektif, status hasil: c. Anjurkan pasien terapi
a. HbA1C= 9.4% hipermetabolik atau Porsi makan makan duduk selama b. Kadar glukosa darah
b. Glukosa darah: proses infeksi. habis > ½ porsi, 1-2 jam setelah ditentukan oleh
GDS < 180 makan porsi makan yang
Tanggal Waktu pemeriksaan mg/dl, GDP < d. Kolaborasi mampu dihabiskan
Sebelum Sebelum Sebelum 140 mg/dl pemberian antiemetik pasien
makan makan makan Hipoglikemia (-), e. Kolaborasi c. Untuk mengurangi
pagi siang malam KAD (-), tanda- pemberian insulin gejala gastroparesis
26/3/2014 240 294 90 tanda infeksi (-) f. Kolaborasi d. Mengurangi mual
27/3/2014 104 332 278 tatalaksana sehingga nafsu
28/3/2014 198 328 169 hipoglikemia atau makan akan
hiperglikemia sesuai meningkat
c. Terdapat luka amputasi digiti V dan post indikasi e. Membawa glukosa
debridement digiti III hr ke-2. Hasil lab kedalam sel
leukosit 12.480/µL (5000-10.000), Protokol hipoglikemia:
prokalsitonin 17.62 ng/ml (<0.1), Laju Endap Stadium
Darah 118 mm (0-20), CRP 430.39 mg/L (0-3). permulaan/pasien sadar:
1. Berikan gula murni
30 gr (2 sendok
makan) dan makanan
yang mengandung
karbohidrat
2. Stop obat
hipoglikemik
sementara
3. Pantau GDS tiap 1-2

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


jam
4. Pertahankan GD
sekitar 200 mg/dl
(bila sebelumnya
tidak sadar
5. Cari penyebab

Stadium lanjut/koma
hipoglikemik atau tidak
sadar+ curiga
hipoglikemia
1. Bolus D40% 2 flacon
(50 ml)
2. Berikan IVFD D10%
500 cc/6 jam
3. Periksa GDS
Bila GDS < 50
mg/dl +bolus
D40% 50 ml
Bila GDS <100
mg/dl +bolus
D40% 25 ml
4. Periksa GDS setiap 1
jam setelah
pemberian D40%
Bila GDS < 50
mg/dl + bolus
D40% 50 ml
Bila GDS <100
mg/dl +bolus
D40% 25 ml
Bila GDS 100-200
mg/dl tanpa bolus
D40%
Bila GDS > 200
mg/dl

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


pertimbangkan
menurunkan
kecepatan drip D10%

5. Bila GDS > 100


mg/dl 3x berturut-
turut, cek GDS setiap
2 jam dengan
protocol sesuai
diatas. Bila
GDS>200 mg/dl,
kolaborasi untuk
mengganti infuse
dengan D5% atau NS
0.9%
6. Bila GDS > 100
mg/dl 3x berturut-
turut, cek GDS setiap
4 jam dengan
protocol sesuai
diatas. Bila
GDS>200 mg/dl,
kolaborasi untuk
mengganti infuse
dengan D5% atau NS
0.9%
7. Bila GDS > 100
mg/dl sebanyak 3
kali berturut-turut,
sliding scale setiap 6
jam kelipatan 5 unit.

Tatalaksana KAD (GD>


250, PH <7.35, HCO3
rendah,Anion gas tinggi,
keton serum positif dan

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


atau ketonuria)
1. Cairan
NS 0.9% diberikan
sebanyak 1-2 Lpada 1
jam pertama, lalu 1 L
pada jam kedua, lalu
0.5L pada jam ketiga
dan keekpat dan 0.25L
pada jam kelima dan
keenam, selanjutnya
sesuai kebutuhan
Jumlah cairan yang
diberikan dalam 15
jam sekitar 5L
Jika Na> 155
mEq/L ganti cairan
dengan NS0.45%
Jika GD < 200
mg/dL ganti dengan
dextrose 5%\
2. Insulin (regular
insulin=RI)
Diberikan setelah 2
jam rehidrasi cairan
RI bolus 180
mU/kgBB iv
dilajutkan RI drip
90mU/kgBB/jam
dalam NS 0.9%
Jika GD < 200mg/dL,
kecepatn dikurangi
RI drip
45mU/kgBB/jam
dalam NS 0.9%
Jika GD stabil 200-
300 mg/dL selama 12

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


jam RI drip 1-2
u/jam disertai sliding
scale setiap 6 jam
kelipatan 5 unit.
JIka GD < 100 mg/dl
drip RI dihentikan
Setelah dosis
koreksitiap 6 jam,
kolaborasi utk
kebutuhan insulin
sehari.
3. Kalium
KCl drip dimulai
bersamaan dengan drip
RI, dengan dosis
50mEq/6 jam. Syarat=
tidak ada gagal ginjal,
tidak ditemukan
gelombang T yang
lancip dan tinggi
padaEKG, jumlah urin
cukup adekuat
Bila K pada
pemeriksaan elektrolit
kedua:
<3.5 drip KCl
75mEq/6jam
3.0-4.5 drip KCl 50
mEq/6jam
4.5-6.0 drip KCl
25mEq/6jam
>6.0 drip distop
Bila OS sudah sadar,
diberikan K oral
selama seminggu

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


4. Bikarbonat
Kolaborasi Drip 100
mEq bila pH < 7.0,
disertai KCl 26 mEq
drip
50 mEq bila pH 7.0-7.1,
disertai KCl 13 mEq
drip
Juga diberikan pada
asidosis laktat dan
hiperkalemia yang
mengancam
Tata laksana umum,
kolaborasi:
O2 bila pO2 < 80
mmHg
Antibiotik adekuat
Heparin: bial ada DIC
atau hiperosmolar (>
380 mOsm/l)
Tatalaksana disesuaikan
dengan opemantauan
klinis:
TTV/jam
Kesadaran/jam
Keadaan hidrasi
(turgor, lidah)/jam
Produksi urin/jam,
balans cairan
Cairaninfus yang
masuk/jam

Jika kondisi dan


kesadaran OS mulai
stabil:
1. Monitor KGDH/hari

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


2. Kaji pemenuhan
nutrisi px
3. Beri HE tanda
hipoglikemia dan
penanganannya
3 Data subjektif: Risiko penurunan Tekanan darah a. Monitor tekanan a. Untuk melihat status
Memiliki hipertensi sejak 2 tahun dan DM 3 tahun perfusi jaringan dan nadi dalam darah dan nadi tiap hemodinamik
Data objektif: jantung dengan faktor batas normal, shift b. Mengevaluasi
a. Tekanan darah = 150/80 mmHg, risiko dislipidemia, tidak ada b. Monitor balans keseimbangan
N=88x/mnt DM dan hipertensi. gangguan pada cairan/hari cairan
b. Hasil pemeriksaan trigliserida 120 mg/dL (< hasil rekam c. Monitor saturasi c. Memantau kadar
150), kolesterol LDL 127 mg/dL (< 100), jantung/EKG, oksigen oksigen dalam darah
kolesterol HDL 47 mg/dL (≥ 40) dan nyeri dada (-), d. Lakukan perekaman d. Mengevaluasi
kolesterol total 230 mg/dL (120-200). Kolesterol total < jantung/EKG kondisi jantung
200 mg/dl, LDL e. Kolaborasi pasien
< 100 mg/dl, pemberian cairan IV e. Mempertahankan
HDL > 45 mg/dl, f. Kolaborasi preload yang
trigliserid < 150 pemberian obat optimal
mg/dl vasodilator, ACE f. untuk menurunkan
inhibitor afterload
g. Kolaborasi g. Menghambat 3-
pemberian statin hidroksi-3-metil
glutaril koenzim A
(HMG-CoA)
sehingga mampu
menurunakan kadar
kolesterol total,
LDL, trigliserid dan
meningkatkan
kolesterol HDL.

4 Data subjektif: Risiko Selama Manajemen hipokalemia


lemas, nafsu makan berkurang ketidakseimbangan dilakukan 1. Kaji tanda-tanda
elektrolit dengan perawatan, nilai hipokalemia (fatigue,

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


Data objektif: faktor risiko elektrolit dalam anoreksia, kelemahan
Hasil lab tanggal 3/4/2014 gangguan mekanisme batas normal, otot, penurunan
Kalium 2.88 mEq/L, Natrium 121 mEq/L, Klorida regulasi pada DM dengan kriteria motilitas bowel,
86.4 mEq/L. hasil: parasthesia, disritmia
Magnesium 1.56 mg/dL Na 132-147 jtg)
K 3,3-5,4 2. Kaji nilai lab yang
Cl 9,4-111 berhubungan dengan
Mg 1,7-2,55 hipokalemia (mis,
peningkatan glukosa,
alkalosis metabolic,
penurunan
osmolalitas urin,
hipokalsemia)
3. Monitor penyebab
penurunan kalium
berdasarkan
gastrointestinal (mis
diare, muntah)
4. Kolaborasi pemberian
kalium oral, mis KSR
atau iv Kcl
5. Monitor status cairan,
intake dan output
6. Pantau adanya
perubahan jantung
akibat hipokalemi
(hipotensi, gel T flat,
gel T inverted, adanya
gel u, takikardi, nadi
lemah)
7. Kolaborasi dengan
ahli gizi pemberian
diit tinggi kalium
seperti pisang
8. Pantau hasil lab K
Manajemen

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


hiponatremia
1. Pantau
kecederungan
terjadinya
penurunan Na
(mis. Pemakaian
diuretic,
hiperglikemia,
muntah, diare,
keringat berlebih,
SIADH,
insufisiensi
adrenal)
2. Pantau manifestasi
klinik
hiponatremia (mis;
letargi, nyeri
kepala, fatigue,
tremor, kelemahan
otot, kram,
peningkatan TD,
kulit teraba dingin,
mukosa mulut
kering, anorexia,
kram abdomen,
diare,oliguria)
3. Pantau nilai lab
(serum,
osmolalitas urin)
4. Pantau
ketidakseimbangan
elektrolit yang
berhubungan
dengan
hiponatremia mis;
hipokalemia,

10

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


asidosis metabolic,
hiperglikemia
5. Pantau intake &
output
6. Kolaborasi
pemberian cairan
parenteral atau
terapi oral yang
mengandung
natrium

Manajemen
hipomagnesium
1. Pantau keseimbangan
elektrolit yang
berhubungan dengan
hipomagnesia, mis;
hipokalemi atau
hipocalsemia
2. Pantau menurunna
magnesium, mis
diuretic, gangguan
pada ginjal,
pancreatitis akut
3. Pantau manifestasi
hipomagnesia
(letargi, insomnia,
kram tungkai,
nistagmus, mual,
muntah, anoreksia,
diare, distensi
abdomen)
4. Kolaborasi dengan
gizi pemberian
makanan tinggi
magnesium, seperti

11

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


sayur hijau, kacang-
kacangan
5. Kolaborasi
pemberian suplemen
yang mengandung
magnesium
6. Pantau efek samping
terapi magnesium
(mis; berkeringat,
perasaan panas,
hipokalsemia)

5 Data subjektif: Risiko infeksi (sepsis) Tanda-tanda a. Observasi TTV a. Sepsis ditandai
tidak ada batuk, tidak pernah gosok gigi selama berhubungan dengan infeksi tidak ada: b. Monitor nilai lab dengan adanya tanda
dirawat di RS penurunan imunitas TTV dalam batas leukosit, LED, Systemic Inflamatory
Data objektif: akibat DM normal, leukosit prokalsitonin, CRP Response Syndrome
a. Pasien terlihat sering tiduran, jarang duduk. 5000-10.000/ µL, c. Observasi adanya (SIRS) yaitu
b. Tekanan darah = 150/80 mmHg, prokalsitonin < keluhan batuk peningkatan suhu >
N=88x/mnt, S= 37.3°C, RR=20 x/mnt. 0.1 ng/ml, Laju d. Observasi nilai 38ºC atau < 36ºC,
c. Paru: suara nafas vesikuler/vesikuler, ronkhi Endap Darah 0- rontgen thorax nadi >90 x/mnt, RR>
(-), wheezing (-) 20 mm CRP 0.0- e. Bantu pasien untuk 20x/mnt, leukosit >
d. adanya pus pada luka, leukosit 12.480/µL 3.0 mg/L, meningkatkan 12.000/µL atau <
(5000-10.000), prokalsitonin 17.62 ng/ml rontgen thorax personal hygine dan 4000/µL
(<0.1), Laju Endap Darah 118 mm (0-20), normal, batuk (-), libatkan keluarga b. Prokalsitonin
CRP 430.39 mg/L (0-3). personal hygine f. Anjurkan pasien merupakan penanda
dilakukan dengan untuk spesifik infeksi
baik, tidak ada mobilisasi/sering bakteri, peningatan
bakteri/jamur duduk di tempat tidur CRP menunjukkan
pada g. Ajarkan pasien dan adanya proses
pemeriksaan keluarga teknik cuci inflamasi dan juga
urin, terjadi tangan/ hand rub dapat sebagai
proses yang benar penanda exaserbasi
penyembuhan h. Terapkan prinsip PAD.
luka yang baik. aseptik pada tidakan c. Menunjukkan salah
invasif satu gejala adanya
i. Pantau waktu infeksi pada saluran

12

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


pemasangan cateter nafas
dan IV line d. Sebagai penilaian
j. Pertahankan prinsip dan evaluasi yang
aseptik pada rawat lebih objektif adanya
luka infeksi pada paru
k. Lakukan kultur luka e. Mengurangi invasi
dan kultur urin mikroorganisme
l. Kolaborasi untuk aff f. Mengurangi risiko
cateter jika tidak infeksi
diindikasikan g. Mengurangi jumlah
m. Kolaborasi untuk kuman
pemberian antibiotik h. Menurunkan risiko
infeksi
i. IV line diganti setiap
3 hari, perawatan
cateter dilakukan
setiap hari dan
diganti setelah 1
minggu pemakaian
j. Menurunkan risiko
infeksi
k. Untuk menentukan
sensitivitas dan
resistensi terhadap
antibiotik diberikan
l. Mengurangi risiko
infeksi
m. Mengurangi kejadian
infeksi, disesuaikan
dengan hasil kultur
darah,luka atau urin
6 Data subjektif: Kurang pengetahuan Pengetahuan a. Jelaskan mengenai Dengan pemberian
selama dirumah pernah menggunakan alas kaki yang berhubungan dengan pasien meningkat penyakit DM edukasi yang
ada tonjolan, dikatakan oleh tetangga dapat kurangnya informasi dengan kriteria dengan bahasa disesuaikan dengan
meningkatkan aliran darah karena kaki sering atau misinterpretasi hasil: sederhana tingkat pendidikan dan
kesemutan. Tidak mau makan ikan karena lukanya informasi. a. Pasien dapat b. jelaskan tanda dan bahasa sederhana yang

13

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


akan sulit sembuh. Selama di rumah, suka makan menjelaskan gejala DM, tanda mudah dipahami oleh
gorengan dan makanan yang bersantan serta jarang kembali hipoglikemia, pasien serta keluarga
melakukan aktifitas fisik. Kontrol tidak rutin karena menganai hiperglikemia diharapkan
merasa tidak ada keluhan dan tidak ada yang penyakit c. jelaskan faktor- pengetahuan pasien dan
mengantar. Dirumah pasien pernah merasa lemas dan DM faktor yang dapat keluarga meningkat.
keluar keringat dingin. b. Pasien dapat mempengaruhi Dengan meningkatnya
Data objektif: menjelaskan ketidakstabilan gula pengetahuan
a. Tingkat pendidikan tamat SD kembali darah diharapkan terjadi
b. glukosa darah selama perawatan belum tanda dan d. Jelaskan komplikasi perubahan perilaku dan
stabil gejala DM, yang dapat terjadi peningkatan kepatuhan
tanda pada DM yang pada akhirnya
hipoglikemia e. jelaskan upaya yang mampu meningkatkan
c. Pasien dapat dapat pasien kualitas hidup penderita
menjelaskan lakukan bila gula DM.
kembali darah rendah
faktor-faktor f. Jelaskan pentingnya
yang dapat pengendalian diri
mempengaru dan kontrol yang
hi teratur
ketidakstabil g. Jelaskan perawatan
an gula kaki diabetik
darahnya h. Lakukan evaluasi
d. Pasien dapat setelah pasien diberi
menjelaskan edukasi
tanda i. Beri reinforcement
hipoglikemia postif pada pasien
dan ketika tujuan
penangannya edukasi mampu
selama tercapai
dirumah
e. Pasien dapat
menjelaskan
perawatan
kaki
dirumah.
7 Data subjektif: Ketidakberdayaan Tujuan a. Pantau tingkat Adanya gangguan fisik

14

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


Pasien mengeluh kenapa ia harus menderita sakit berhubungan dengan keperawatan kepercayaan diri dapat mengakibatkan
seperti ini. Pasien juga mengatakan ia tidak malu gangguan fisik dan yaitu pasien pasien terjadinya gangguan
dengan kondisi kakinya saat ini, namun ia bertanya ketergantungan mampu b. Kaji harapan pasien harga diri, peran dan
mampukah dia merawat cucunya lagi sekembalinya terhadap orang lain. beradaptasi c. Dorong pasien agar idel diri. Meningkatkan
dari RS dengan kondisi yang seperti itu. Ia juga terhadap ganguan menerima perubahan penerimaan serta
mengatakan dengan kondisinya ini ia akan fisik yang terjadi, diri yang baru memberikan penguatan
merepotkan banyak orang. Pasien berharap segera harga diri dan d. Bantu pasien agar yang positif akan
diberi kesembuhan agar segera pulang dan bertemu harapan diri menerima membantu pasien
dengan cucunya. meningkat ketergantungan diri meningkatkan
Data objektif: dengan kriteria pasien adaptasi pasien.
a. Pasien terlihat menangis sehari sebelum hasil: e. Beri penguatan yang
amputasi dilakukan Pasien mau positif mengenai diri
b. status fungsional pada barthel index skor 9 menerima pasien
(tingkat ketergantungan sedang) bantuan untuk f. Beri penghargaan
c. Pemenuhan kebutuhan pasien dibantu pemenuhan ketika pasien mampu
sebagian oleh keluarga maupun perawat. aktifitas fisik, mencapai tujuan
pasien
mengatakan tidak
ada perasaan
negatif terhadap
dirinya,
kepercayaan diri
meningkat

15

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


Resume 30 Kasus kelolaan menggunakan pendekatan model konservasi Levine

No Identitas dan kondisi pasien Pengkajian Konservasi dan Diagnosa Keperawatan Intervensi dan evaluasi
1 Pasien Ny M usia 51 tahun, beragama islam, Pengkajian lingkungan internal dan eksternal yang meliputi Manajemen hiperglikemia,
menikah, pendidikan tamat SMP, seorang ibu pengkajian 4 prinsip konservasi: manajemen hipoglikemia, manajemen
rumah tangga, alamat Pasar Rebo Jakarta. Integritas energi: energi, infection control, bleeding
Diagnosa medis DM tipe 2, hematemesis, Nafsu makan menurun akibat nyeri pada perut skala 4 dan mual. reduction, manajemen elektrolit:
hipertensi dan Pasien terlihat lemah, sering tiduran terus. Hb 11.9, Albumin hipokalemia, management shock
CAPD 1.69. TD= 150/90, N=100, S=37,RR=20. EKG= T inverted di cardiac, hope inspiration dan self
Riwayat penyakit sekarang (RPS): pasien datang lead II, III,avF,V1-V6. Elektrolit Na 135/K 2.8/Cl 92 Glukosa esteem enhancement.
ke IGD tgl 21/5/14 dengan keluhan mual muntah darah tidak stabil, KGDH 411/254/126
yang memberat sejak 2 hari SMRS. Setiap kali Evaluasi:
makan, pasien muntah. Muntah warna hitam ± Integritas Struktural: Glukosa darah mulai stabil setelah 4
200 cc. Gula darah di IGD 596, keton 0.3.OS BAB hitam (-), BAK normal, Rutin dilakukan CAPD oleh hari perawatan yaitu nilai GDS < 220,
dipindahkan ke ruangan tgl 23/5/14 dan keluarga, Hasil EGD= hiatal hernia, gastritis errosiva sedang. Tidak terjadi peningkatan leukosit,
pengkajian dilakukan saat itu juga. Leukosit 11.530, LED 65. lemas berkurang, tanda-tanda
Riwayat Penyakit dahulu: Riwayat DM sejak Integritas personal: ingin segera sembuh, sedih dan putus asa perdarahan tidak ditemukan, elektrolit
tahun 1985, mendapat terapi insulin novorapid 6- Integritas sosial: interaksi dengan keluarga, perawat dan dokter dalam batas normal, tekanan darah
10-12. riwayat amputasi th 2007, riwayat cukup baik terkontrol dengan pemberian captopril,
hipertensi sejak th 2007, minum obat valsatran. self esteem masih rendah.
Pasien diketahui sakit ginjal th 2011 dan hingga Diagnosa keperawatan:
saat ini pasien rutin CAPD sejak 6 bulan yang 1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor
lalu. risiko manajemen diabetes inefektif, intake nutrisi
kurang
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
3) Risiko perdarahan dengan faktor risiko gangguan
gastrointestinal
4) Risiko ketidakseimbangan elektrolit dengan faktor risiko
gangguan mekanisme regulasi pada DM.
5) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor
risiko dislipidemia, DM dan hipertensi.
6) Ketidakberdayaan berhubungan dengan regimen
penyakit dan ketergantungan terhadap orang lain.

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


2 Pasien Ny HP, 78 tahun , beragama kristen Integritas energi: Shock prevention, shock management:
protestan, janda, pendidikan tamat SMA, seorang Pasien terpasang NGT, kesadaran somnolen, GCS E3V4M5. TD= vasogenic, manajemen hiperglikemia,
ibu rumah tangga, alamat Pulomas Nangka 110/60, N=140, S=39,RR=35. Terpasang oksigen NRM 12 lpm. family integrity promotion
Timur. Diagnosa medis DM tipe 2 post amputasi Terdengar ronkhi bilateral paru. AGD= pH 7.416/PCO2 22.8/pO2
digiti II, riwayat hipoglikemia, CAP dd/TB Paru 68.3/ HCO3 14.8/BE -7.7/ saturasi O2 93.3. Glukosa darah tidak Evaluasi: pasien direncanakan untuk
dengan infeksi sekunder, sepsis stabil, KGDH 176/264/319/412, HbA1c= 6.6, betahidroksibutirat pindah ke ICU karena kondisinya
Riwayat penyakit sekarang: 0.9. drip insulin 2-3.5 unit/jam. semakin memburuk, namun keluarga
OS datang ke IGD RSCM tgl 1/5/14 dengan sangat lama untuk berdiskusi hingga
keluhan sejak 1 minggu SMRS timbul luka di Integritas Struktural: akhirnya pasien meninggal setelah 5
kaki kiri, riwayat trauma disangkal, luka Terapat luka post amputasi digiti II, luka terbalut verband, ABI hari perawatan.
menyebar hingga sela-sela jari terutama antara 0.77/0.615. Balans cairan -100 cc. Leukosit 29.620/ prokalsitonin
jari 1 & 2. OS berobat ke RS OMNI, lalu dirujuk 2.93.
ke RSCM. Dilakukan amputasi dig 2 di IGD. OS Integritas personal: sulit dikaji
dipindahkan ke ruangan tgl 2/5/14 dan pengkajian
dilakukan tgl 5/5/14. Integritas sosial: keluarga jarang standby menunggui pasien
Riwayat Penyakit dahulu: Riwayat DM sejak 30 dengan alasan sibuk
th, tidak kontrol rutin dan minum obat, riwayat Diagnosa keperawatan:
hipertensi dan jtg disangkal. Riwayat jatuh 4 th 1) Risiko syok dengan faktor risiko sepsis
yang lalu, klg mengatakan tulang paha kiri 2) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan
tergeser dan sejak itu pasien menggunakan kursi dengan adanya stenosis
roda. 3) ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko
manajemen diabetes inefektif, sepsis
4) Ketidakmampuan koping keluarga berhubungan dengan
koping inadekuat

3 Ny A, 64 tahun, beragama kristen, pendidikan Integritas energi: infection control, Shock prevention,
tamat SMA, menikah dan bekerja sebagai ibu Pasien terpasang NGT, mendapatkan diit 1700 kkal berupa diet shock management: vasogenic,
rumah tangga. OS masuk IGD RSCM tanggal cair 6x250 cc. kesadaran apatis-somnolen, GCS E3V4M5. TD= airway management, Manajemen
29/4/14 pukul 10.07 WIB dengan kondisi 110/60, N=116, S=38,7,RR=26. Terpasang oksigen simple mask hiperglikemia, manajemen
penurunan kesadaran sejak 2 jam SMRS. Gula 6 lpm. Terdengar ronkhi paru bilateral. Ro/ thorax (16/4/14)= hipoglikemia, , manajemen
darah saat MRS 24 mg/dl, selanjutnya dilakukan bronkopneumoni duplex elektrolit:hipokalemia,manajemen
protocol hipoglikemia bolus D40% 3 flacon dan Ro/ thorax AP (29/4/14)= edema paru hipervolemia
drip D10% 500cc/24 jam. Pasien kemudian sadar, Glukosa darah tidak stabil, KGDH 170/115/211/419, HbA1c=

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


Gula darah pukul 11.30=198, pk 12.30=168. 9.6. Na 136/K 2.8/Cl 102 Evaluasi:
Selanjutnya OS dipindahkan ke ruang 716B Setelah perawatan selama 4 hari,
tanggal 29/4/24 pukul Pengkajian dilakukan Integritas Struktural: sepsis masih ada, glukosa darah
tanggal 30/4/14. Tidak terdapat luka, Balans cairan +160 cc. Leukosit 12.350 belum stabil, elektrolit dalam batas
Dx medis: HCAP,CKD on HD, DM tipe 2 dengan Integritas personal: sulit dikaji normal dan pasien telah dipindahkan
riwayat hipoglikemia ke ruang HCU untuk mendapatkan
Riwayat penyakit dahulu: Integritas sosial: setiap hari pasien dijaga bergiliran oleh anak, perawatan lebih lanjut.
Riwayat DM 15 tahun, mendapat terapi obat menantu dan suaminya.
glikuidon. OS mengalami CKD diketahui sejak
11 bulan yang lalu, HD rutin Selasa-jumat sejak 7 Diagnosa keperawatan:
bulan yang lalu. 5 hari SMRS OS demam hingga 1. Risiko syok dengan faktor risiko sepsis
38.9°C. Sejak saat itu dirasakan OS jarang 2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
ngomong, sulit komunikasi, namun OS masih obstruksi jalan nafas oleh mucus.
mengenali namanya dan anak-anaknya. OS 3. ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko
cenderung sering tidur. manajemen diabetes inefektif, sepsis
4. ketidakseimbangan elektrolit: hipokalemia dengan faktor
risiko gangguan mekanisme regulasi pada DM.
5. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan
fungsi ginjal

4 Ny R 65 tahun, beragama islam, pendidikan tamat Integritas energi: wound care, infection control, pain
SMA, menikah dan bekerja sebagai ibu rumah Nafsu makan baik. Porsi makan yang diberikan RS habis > ¾ control, bowel management
tangga masuk IGD RSCM tanggal 17/4/14 porsi. OS mengeluh nyeri pada kaki skala 3. Tidur cukup. Gula
dengan keluhan luka di kaki kanan yang tidak darah stabil selama perawatan selalu < 200 mg/dl, HbA1c 6.8. Evaluasi:
kunjung sembuh sejak 1 minggu SMRS. Luka TD=110/70, N=78, S=36,5, RR=18. Tidak terjadi infeksi selama
awalnya seperti bisul kecil sebesar biji jagung. perawatan pasien, nyeri terkontrol
Riwayat trauma (-). Makin lama luka semakin Integritas Struktural: setelah perawatan hari ke-3,terjadi
besar, bernanah, demam (+). Gula darah 124 OS belum BAB sejak 3 hari, skibala (+). Terdapat luka di kaki penyembuhan luka hari ke -12 dengan
mg/dl. Selanjutnya OS dilakukan insisi drainage kanan, ukuran 6x3x1.5 cm, pus (-), jar nekrotik (-), granulasi (+). kondisi luka: ukuran luka mengecil
dan debridement di OK IGD tanggal 19/4/14 ABI= 1/1. Leukosit 8850/µL. 4x2x1 cm, pus (-), nerkrotik (-),
pukul 03.00 dan OS selanjutnya dipindahkan ke Integritas personal: ingin segera sembuh agar bisa olahraga granulasi (+). Konstipasi teratasi
ruang 715 E tanggal 19/4/14 pukul 09.30. setelah 2 hari intervensi.
Pengkajian dilakukan tanggal 21/4/16. Integritas sosial: interaksi dengan keluarga, perawat dan dokter
Dx medis: DM tipe 2, abses DM dextra post sangat baik dan kooperatif

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


debridement.
Riwayat kesehatan sebelumnya: Diagnosa keperawatan:
Pasien diketahui menderita DM sejak 3 tahun 1) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
yang lalu. Kontrol rutin di poli geriatri RSCM dan akibat DM
mendapat terapi obat OHO, namun OS lupa nama 2) Nyeri akut berhubungan dengan adanya trauma jaringan
obatnya. Riwayat hipertensi, jantung, asma, TB 3) Kerusakan integritas jaringan b.d ketidakadekuatan
disangkal. pertahanan tubuh primer
4) Konstipasi berhubungan dengan imobilisasi

5 Ny E, 56 tahun, beragama Islam, menikah, Integritas energi: infection control, manajemen


pendidikan tamat SMP datang ke IGD RSCM Nafsu makan kurang, makan habis < ½ porsi karena mual, Tidur hiperglikemia, manajemen
tanggal 15/4/2014 pukul 03.00 karena mual dan cukup. Pusing, Hb 7.8. Gula darah selama perawatan < 250 hipoglikemia, manajemen
muntah sejak 5 hari SMRS. Muntah ± 3-4 x/hr @ mg/dl, HbA1C 10.9. TD=150/80, N=88, S=36,1 , RR=20. hipervolemia manajemen asam basa:
150 cc berupa air. Sesak (+). OS memiliki Elektrolit Na 125/K 5/ Cl 98.3 asidosis metabolik, manajemen
riwayat DM sejak 5 tahun yang lalu, kontrol tidak energi, shock prevention, management
teratur, mendapat obat metformin 3 x 1 tab. Integritas Struktural: shock cardiac
Riwayat operasi batu ginjal 5 tahun yang lalu. Asites (+), edema ektremitas (+), Balance cairan + 400 cc.
Riwayat hipertensi diketahui sejak 1 minggu Creatinin 4.8, e GFR 9.9. Kolesterol total 508, LDL 418, Evaluasi: risiko infeksi masih ada,
SMRS. Dx medis: DM tipe 2 GD terkontrol trigliserid 322, Leukosit 13.820/µL. glukosa darah setelah 3 hari
OHO, HT gr II, CKD st V. OS dipindahkan ke perawatan < 200 mg/dl, mual
ruang 714 A tanggal 16/4/14 dan pengkajian Integritas personal: pasien mengatakan ia menerima kondisinya berkurang, makan habis > ½ porsi,
dilakukan tanggal 17/4/14 saat ini edema dan asites masih ada. pusing
berkurang, hipertensi belum
Integritas sosial: pasien tampak berinteraksi baik dengan pasien terkontrol. Tanggal 21/4/14 pasien
yang satu ruangan dengannya, demikian juga dengan perawat dipindahkan ke ruang 620
maupun dokter yang merawat.

Diagnosa keperawatan:
1) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
2) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor
risiko manajemen diabetes inefektif, infeksi
3) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


regulasi ginjal
4) Mual berhubungan dengan gangguan ginjal:asidosis
metabolic
5) Keletihan berhubungan anemia
6) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor
risiko dislipidemia, DM dan hipertensi

6 Ny L, 41 tahun, belum menikah masuk ke IGD Integritas energi: infection control, manajemen
RSCM tanggal 16/4/2014 dengan kondisi pingsan TD=150/90, N=80, S=36,5 , RR=20. Suara nafar ronkhi kasar hipoglikemia, manajemen
2 jam SMRS, kejang (-), riwayat jatuh (-). Gula bilateral. Nafsu makan baik, porsi makan habis > ½ porsi, pusing hipervolemia, manajemen energi,
darah saat itu 29 mg/dl, selanjutnya dilakukan Hb 7.7. Tidur cukup. Gula darah selama perawatan < 200 mg/dl, hope inspiration dan self esteem
protokol hipoglikemia. OS diketahui menderita HbA1C 7.7. enhancement.
DM sejak 3 tahun , kontrol di Puskesmas dan
mendapatkan obat metformin 3x1/2 tab. Riwayat Integritas Struktural:
hipertensi sejak 1 th mendapat nifedipin dosis Asites (-), edema ektremitas (+), Balance cairan + 200 cc.
tidak tahu. Riwayat TB , asma disangkal. Pasien Creatinin 3.8, e GFR 11.3. Leukosit 12.900/µL. Evaluasi: tidak terjadi peningkatan
dipindahkan ke ruangan tanggal 17/4/14 dan leukosit selama perawatan 10 hari,
pengkajian dilakukan tanggal 22/4/14. Dx medis: Integritas personal: pasien mengatakan ia ingin hidup sehat dan glukosa darah stabil <200mg/dl,
CKD St V dengan anemia, DM tipe 2, hipertensi, normal seperti orang lain, tidak seperti saat ini selalu tergantung pusing berkurang setelah diberikan
CHF Fc II, riwayat hipoglikemia dengan kakaknya. tranfusi PRC 1 kolf. Pasien menolak
untuk dilakukan HD.
Integritas sosial: interaksi pasien dengan perawat dan tenaga
kesehatan lainnya cukup. Pasien cenderung tertutup.
Diagnosa keperawatan:
1) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
2) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor
risiko manajemen diabetes inefektif, infeksi
3) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan
regulasi ginjal
4) Keletihan berhubungan anemia
5) Ketidakberdayaan berhubungan dengan regimen
penyakit dan ketergantungan terhadap orang lain

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


7 Ny MS, 70 th beragama islam, dibawa ke IGD Integritas energi: infection control, Shock prevention,
dengan kodisi tidak sadarkan diri sejak 7 jam Kesadaran: sopor, kontak inadekuat. GCS= E2V1M2.TD=157/90, shock management: vasogenic,
SMRS. Keluarga mengatakan bahwa sebelumnya N=137, S=38,5 , RR=27. Suara nafar ronkhi kasar bilateral. airway management, Manajemen
pasien merasakan tangan kanan bergerak sendiri Terpasang NGT. Gula darah tidak stabil hingga mencapai 433. hiperglikemia, manajemen
tidak terkontrol selama 30 detik, kemudian tangan HbA1C 6.3. CT scan serebral: infark multiple di capsula externa hipoglikemia, , manajemen
tersebut lemah tidak bertenaga, tiba-tiba bicara kanan, thalamus kiri dan paraventrikel lateralis kiri, lobus elektrolit:hipokalemia,manajemen
pelo dan mengeluh kepala terasa pusing . Pasien parietal. Atrofi serebri sinilis. Elektrolit Na 126/ K 4.38/CL 94.8 hipervolemia
muntah sebanyak 300 cc warna kehitaman seperti
kopi disertai keluhan nyeri perut, kemuadian Integritas Struktural: Evaluasi:
pasien tidak sadarkan diri dan dibawa ke IGD. Asites (-), edema ektremitas (+), Balance cairan -600 cc. Setelah perawatan selama 3 hari,
Riwayat kesehatan sebelumnya: Riwayat DM Creatinin 3.8, e GFR 11.3. Leukosit 12.900/µL. sepsis masih ada, glukosa darah
sejak 5 tahun, rutin kontrol ke puskesmas. GD belum stabil, elektrolit belum stabil,
200-300 an, mengkonsumsi obat glimepirid 1x/hr. Integritas personal: sulit dinilai kondisi terus memburuk hingga
Asma, TB, alergi disangkal pasien meninggal
Integritas sosial: anak pasien selalu mendampingi pasien selama
di RS.
Diagnosa keperawatan:
1. Ganggua perfusi jaringan serebral
2. Risiko syok dengan faktor risiko sepsis
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
obstruksi jalan nafas oleh mucus.
4. ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko
manajemen diabetes inefektif, sepsis
5. ketidakseimbangan elektrolit: hiponatremia dengan
faktor risiko gangguan mekanisme regulasi pada DM.
6. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan
fungsi ginjal

8 Ny M, 59 tahun, menikah, agama Islam, Integritas energi: infection control, manajemen


pendididkan tamat SMP,dibawa ke IGD RSCM TD=140/70, N=82, S=36,8 , RR=20. Suara nafar ronkhi kasar hipoglikemia, manajemen
tanggal 17/5/14dengan penurunan kesadaran sejak bilateral. Nafsu makan me nurun, porsi makan habis <½ porsi, elektrolit:hipokalemia, hiponatremia,
3 jam SMRS. Keluarga mengatakan sebelumnya terjadi penurunan BB 25 kg dalam waktu 3 bulan, lemas Hb 11, bowel management, edukasi
OS sempat dilakukan pengecekan gula hadar nilai Tidur cukup. Gula darah selama perawatan < 220 mg/dl, HbA1C manajemen diabetes
170, karena merasa khawatir OS lalu minum obat 6%. Elektrolit Na 128/ K 2.74/ Cl 89

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


glibenklamid milik suami. Di IGD dilakukan Integritas Struktural: Evaluasi: Setelah dilakukan tindakan
pengecekan gula darah, nilai 23. Selanjutnya Belum BAB sejak 3 hari, skibala (+) Leukosit 14.900/µL, keperawatan selama 5 hari,Tidak
dilakukan protokol hipoglikemia drip D40% 2 retinopati (+), neuropati (+) terjadi kenaikan leukosit selama
fl 10 cc/jam. Berangsur-angsur gula darah perawatan, hipoglikemia (-), Na 140/
meningkat. Selanjutnya tanggal 17/5/14 OS Integritas personal: pasien mengatakan ingin sembuh dari K 3.9/ Cl 96. Konstipasi (-), pasien
dipindahkan ke ruang perawatan. Dx medis: penyakit gula sehingga ia juga minum obat glibenklamid milik mampu menyebutkan kembali
riwayat penurunan kesadarah ec hipoglikemia, suami pencegahan dan penanganan
DM tipe 2, hipertensi. Riwayat DM dan hipertensi hipoglikemiasaat dirumah.Pasien
sejak 4 th, kontrol tidak teratur. Riwayat jantung, Integritas sosial: interaksi pasien dengan perawat dan petugas keluar RS tanggal 22/5/14
stroke, TB disangkal kesehatan sangat baik, begitu pula dengan pasien yang lain.
Diagnosa keperawatan:
1) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
2) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor
risiko manajemen diabetes inefektif
3) ketidakseimbangan elektrolit: hiponatremia, hipokalemia
dengan faktor risiko gangguan mekanisme regulasi pada
DM.
4) Konstipasi berhubungan dengan kurangnya moilisasi
5) Kurang pengetahuan berhubungan dengan misinformasi
9 Ny N, 66 tahun, pendidikan tamat SD, pekerjaan Integritas energi: Manajemen hiperglikemia,
Ibu rumah tangga datang ke IGD tanggal 17/5/14 TD=110/70, N=82, S=36,8 , RR=24, OS menggunakan O2 nasal manajemen diet, infection control,
dengan keluhan nyeri ulu hati sejak 1 hr SMRS, 3 lpm. Suara nafar ronkhi kasar bilateral. Nafsu makan menurun, airway management, Shock
mual (+), muntah (-). Nyeri tidakbergantung pada porsi makan habis ½ porsi, lemas. Hb 11.5, Tidur cukup. Gula prevention
masuknya makan. Sesak (+), Gula darah saat di darah belum stabil dengan rentang 100-350 mg/dl, HbA1C 11.9
IGD 554, beta hidroksi butirat 2.7, selanjutnya %.
dilaksanakan penatalaksanaan KAD dan tanggal Evaluasi:
18/5/14 pasien dipindahkan ke ruang Integritas Struktural: Glukosa darah secara bertahap mulai
perawatan.Pengkajian dilakukan tanggal 19/5/14. Tidak ada luka , Leukosit 6400/µL, retinopati (+), neuropati (+). menunjukkan perbaikan, dengan
Dx medis: riwayat KAD, DM tipe 2, dispepsia Ecchocardiografi: global normokinetik, fungsi sistolik dan kisaran < 250 setelah 4 hari
tipe ulkus, CHF Fc I-II, CAD lateral post CABG, diastolik LV & RV baik. perawatan, makan habis ¾ porsi, tidak
hipertensi, tekanan darah terkontrol. Riwayat terjadi peningkatn nilai leukosit dan
penyakit dahulu: DM sejak 26 tahun, mendapat Integritas personal: pasien mengatakan ingin segera pulang suhu selama perawatan, keluhan sesak
novorapid 3x10 unit, riwayat hipertensi 25 th, karena kangen cucu. Pasien tidak merasa malu dengan (-), ronkhi minimal, TTV dalam batas

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


riwayat penyakit jantung 6 th dan telah dilakukan penyakitnya. normal . Pasien keluar RS tanggal
CABG th 2008, riwayat kanker rahim th 2000 Integritas sosial: interaksi pasien dengan perawat dan petugas 25/5/14setelah mendapat perawatan
kesehatan sangat baik, selama di RS pasien dijaga bergantian oleh selama 8 hari.
anak dan menantu, suami pasien telah meninggal.
Diagnosa keperawatan:
1) ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko
manajemen diabetes inefektif
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
3) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
obstruksi jalan nafas oleh secret
4) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor
risiko DM dan hipertensi
10 Ny Dj, 56 tahun datang ke IGD RSCM tanggal Integritas energi: Manajemen hiperglikemia, infection
24/5/14 dengan keluhan sesak nafas yang TD=140/70, N=88, S=36,8 , RR=22, OS menggunakan O2 nasal control, Shock prevention ,airway
memberat sejak 2 hari SMRS. Gula darah saat di 3 lpm. Suara nafar ronkhi kasar bilateral. Nafsu makan management, manajemen elektroli:
IGD 220 mg/dl, keton 0.3, AGD= menurun,mual (+) porsi makan yang mampu dihabiskan ¼ porsi, hiperkalemia, manajemen asidosis
7.381/22.9/201.5/99.4/13.7, elektrolit Na 134/K lemas (-). Tidur cukup. Gula darah berkisar 100-230 mg/dl, metabolik, wound control,
7.2/Cl 103. Dx medis: DM tipe 2, CHF fc II ac HbA1C 7 %. EKG: sinus rytm, QRS rate 75x/mnt,PR int 0.16 self esteem enhancement.
HHD/CAD, cardiomiopati DM, acute on CKD dtk, QRS durasi 0.08 dtk, ST-t change (-), T inv di lead III, aVF,
dengan hiperkaleamia, asidosis metabolik, LVH (-), RVH (-). Elektrolit Na 139/ K 5.6/Cl 108 Evaluasi: Glukosa darah stabil setelah
hiperurisemia, hipertensi belum terkontrol. 3 hari perawatan yaitu < 200 mg/dl,
Tanggal 26/5/14 pasien dipindahkan ke ruang Integritas Struktural: leukosit 9810/µL, mual berkurang,
perawatan dan pengkajian dilakukan hari itu juga. Terdapat krusta multiple uk terkecil 1x1 cm, uk terbesar 10x15 nafsu makan mulai meningkat
Riwayat penyakit dahulu: cm mulai dari bawah lutut hingga ke pergelangan kaki. Pasien menjadi habis ½ porsi, TD dalam
DM sejak 7 tahun, kontrol rutin ke puskesmas dan mengatakan sebab luka tidak diketahui, tidak gatal dan tidak ada batas normal dengan kontrol obat,
mendapat glimepirid 1x5 mg. Gula darah saat nanah, luka hilang timbul. Jika sedang kambuh luka terasa lunak Elektrolit: Na 141/ K 3.2/ Cl 105.9.
kontrol berkisar 200-300 an. Pernah dilakukan dan, jika membaik luka kering dan timbul koreng. Pernah berobat Untuk kondisi luka, belum
laser mata di kirana, riwayat hipertensi sejak 5 th ke dr dikatakan jamur. Leukosit 14.200/, retinopati (+), neuropati menunjukkan perubahan yang
dan mengkonsumsi obat amlodipin 1x/hr, riwayat (+). signifikan, luka masih kering. Pasien
vertigo, terdapat jamur pada kaki kanan. mengatakan ia mulai menerima
Integritas personal: pasien mengatakan malu dengan kondisi kondisi kakinya tersebut dan berharap
kakinya dan terlihat selalu ditutupi dengan selimut. segera diberi kesembuhan.

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


Integritas sosial: interaksi pasien dengan perawat dan petugas
kesehatan baik, selama di RS pasien dijaga bergantian oleh anak
dan suami.

Diagnosa keperawatan:
1) ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko
manajemen diabetes inefektif
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
3) ketidakseimbangan elektrolit: hiperkalemia dengan
faktor risiko gangguan mekanisme regulasi akibat DM
dan CKD
4) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor
risiko DM dan hipertensi
5) Mual berhubungan dengan asidosis metabolik
6) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan invasi
jamur akibat gangguan imunologis
7) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan adanya
perubahan fisik tubuh
11 Ny RY, 41 tahun datang ke IGD RSCM tanggal Integritas energi: Manajemen hiperglikemia dan
11/2/14 dengan keluhan lemas. Pasien dikirim TD=130/70, N=88, S=36 , RR=18, batuk (+) Suara nafar ronkhi hipoglikemia, infection control,
dari poli endokrin RSCM ke IGD dengan keluhan bilateral. Nafsu makan menurun,mual (+) porsi makan yang wound control manajemen elektrolit:
lemas disertai keringat dingin sejak 4 jam SMRS. mampu dihabiskan ½ porsi. Pusing (+), Hb 9.9. Tidur kurang hipokalemia, Shock prevention , pain
Pasien diketahui belum makan dr tadi pagi. Gula kerena nyeri skala 3. Gula darah tidak stabil, berkisar 60-350. control, edukasi manajemen diabetes
darah 35 mg/dl, telah mendapat dextrose 40% 2 HbA1C 11,7 %. EKG: sinus rytm, QRS rate 80x/mnt,PR int 0.16
fl di poli endokrin. Pasien juga mengalami luka dtk, QRS durasi 0.08 dtk, ST-t change (-), T inv (-), LVH (-), Evaluasi: glukosa darah berkisari 100-
pada kaki kanan sejak 1 bulan SMRS, dilakukan RVH (-). Elektrolit K= 3.13 250 setelah perawatan 2 minggu,
debridement di OK tgl 12/2/14, selanjutnya OS leukosit 12.560/µL, kondisi luka
dipindahkan ke ruang perawatan tgl 13/2/14. Dx Integritas Struktural: membaik, slogh, pus, jaringan
medis: Abses DM pedis dextra post insisi Terdapat luka pada dursum pedis dextra ukuran 20x8 cm, platar nekrotik berkurang, Tekanan darah ≤
drainase + debridement, DM tipe 2, riwayat 20x4 cm, pus (+), slough (+), jar nekrotik (+). Pasien mengatakan 130/80 mmHg. Skala nyeri berkurang
hipoglikemia sebab luka tidak diketahui,awalnya luka kecil lalu dikorek dengan manjadi 2. Pasien mampu
Riwayat penyakit dahulu: jarum peniti oleh pasien, lam-kelamaan luka makin membesar menyebutkan kembali pencegahan
DM dan hipertensi sejak 3 tahun, dan mengeluarkan nanah. Leukosit 13.610/µL, retinopati (+), dan penanganan hipoglikemiasaat

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


kontrol rutin ke klinik dekat rumah dan mendapat neuropati (+). dirumah serta mampu menjelaskan
glibenklamid, metformin dan captopril. Gula perawatan kaki yang dapat dilakukan
darah saat kontrol berkisar 200-300 an. Integritas personal: pasien mengatakan tidak malu dengan kondisi pasien dan keluarga. Keluarga mampu
kaki yang seperti itu melakukan injeksi insulin mandiri.

Integritas sosial: interaksi pasien dengan perawat dan petugas


kesehatan baik, selama di RS pasien dijaga bergantian oleh anak
dan suami. Pasien terlihat sering dijenguk oleh kerabatnya.

Diagnosa keperawatan:
1) ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko
manajemen diabetes inefektif
2) Risiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan penurunan
imunitas akibat DM
3) ketidakseimbangan elektrolit: hipokalemia dengan faktor
risiko gangguan mekanisme regulasi akibat DM
4) Nyeri akut berhubungan dengan agens injuri fisik
5) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor
risiko DM dan hipertensi
6) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya
paparan informasi mengenai perawatan kaki DM

12 Ny RW, 52 tahun, kiriman dr G pro CAPD. 4 Integritas energi: Manajemen hiperglikemia dan
bulan SMRS OS sesak, batuk dan kaki bengkak, TD=170/90, N=78, S=36 , RR=18. Nafsu makan baik. porsi hipoglikemia,infection control, Shock
diketahui saat itu mengalami sakit ginjal. OS telah makan yang mampu dihabiskan > ¾ porsi. Gula darah berkisar prevention , hipervolemia
4x menjalani HD di RS medistra dan setelah itu 90-200. HbA1C 8.8%. EKG: sinus rytm, QRS rate 60x/mnt,PR management, anxiety reduction
tidak HD lagi. Sudah 1 bulan SMRS kaki OS int 0.16 dtk, QRS durasi 0.08 dtk, ST-t change (-), T inv lead I,
bengkak lagi dan direncanakan dilakukan CAPD. aVL, LVH (-), RVH (-). Ro thorax: kardiomegali. Evaluasi: glukosa darah terkontrol
Riwayat DM sejak 4 th, mendapat insulin yaitu < 200 selama perawatan, tidak
novorapid 3x10 unit, gula darah sekitar 100-200 Integritas Struktural: terjadi tanda-tanda peningkatan
an. Dx medis: CKD st V pro CAPD,DM tipe 2, Balans cairan + 100, asites (+), edema tungkai (+), Leukosit infeksi, sebelum CAPD digunakan
Hipertensi belum terkontrol 8900/µL, retinopati (+), neuropati (-) HD rutin senin-kamis, pasien telah 5
kali dilakukan latihan CAPD untuk
Integritas personal: pasien terlihat cemas 1 hari sebelum operasi kemandirian dirumah.

10

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


CAPD dilakukan.
Integritas sosial: interaksi pasien dengan pasien lainnya sangat
baik, terlihat pasien memberi support dengan pasien lainnya

Diagnosa keperawatan:
1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan
faktor risiko manajemen diabetes inefektif
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
3) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor
risiko DM dan hipertensi
4) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan
regulasi ginjal.
5) Ansietas berhububungan dengan tindakan operatif yang
akan dilakukan
13 Nn Y , 25 tahun, pendidikan sarjana masuk ke Integritas energi: Manajemen hiperglikemia dan
IGD tanggal 8/5/14 dengan penurunan kesadaran TD=100/70, N=100, S=36,8 , RR=20. Ronkhi (-), ro thorax hipoglikemia,infection control, bowel
sejak ½ jam SMRS. OS pingsan di kamar mandi 9/5/14= infiltrasi di parakardial kanan, penebalan pleura kanan dd incontinece care, electrolite
dan ditemukan mengalami kejang. Gula darah efusi pleura kanan minimal. Nafsu makan baik. porsi makan yang management: hypomagnesia
saat di IGD low, selanjutnya dilakukan protokol mampu dihabiskan > ¾ porsi. Hb 11.8, Alb 2,58. Gula darah
hipoglikemia, lalu pasien mulai sadar. Sejak 3 tidak stabil berkisar 60-430 an. HbA1C 10.3%. MSCT scan Evaluasi: hipoglikemia (-), gula darah
tahun yang lalu OS dikatakan mengalami DM tipe serebral : defek pada verteks, fokal atrofi lobus frontal bilateral, <300 mg/dl, leukosit menjadi
1 dengan pengobatan terakhir levemir 1x40 unit tdk tampak infark maupun perdarahan intrakranial. Kista retensi 8600/µL, diare mash ada namun
dan noorapid 3x20 unit. Sejak bulan februari OS sinus maksilaris kanan. Elektrolit Na 133/ K 3.5/ Cl 103.1, Mg frekuensi berkurangmenjadi 7x/hr dan
mengalami diare, demam (-), Hasil kolonoskopi 1.56 ampas mulai ada. Mg meningkat
menyatakan adanya colitis. OS juga mengalami manjadi 1.8. pasien keluar rumah
riwayat hipertiroid th 2011, mendapat obat PTU Integritas Struktural: sakit tagl 17/5/14 setelah mendapat
dan propanolol, namun sejak 1 th terakhir obat Diare ± 10 x/hr konsistensi air, ampas minimal. Colonoscopy: perawatan selama 9 hari.
sudah distop karena nilai T4 sudah normal. OS hemoroid sirkuler gr I=II,colitis. Balans cairan + 200 cc, Turgor
dipindahkan ke ruang perawatan tanggal 10/5/14 kulit masih baik. Leukosit 8570/µL
dan pengkajian dilakukan tanggal 12/5/14. Dx
medis: DM tipe 1, riwayat status epileptikus, Integritas personal: pasien ingin cepat sembuh dan ia mengatakan
diare kronik ia telah menerima kondisnya saat ini. Di rumah ia tidak bekerja,
tinggal bersama nenek. Ibu pasien telah lama meninggal karena

11

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


DM dan ayahnya saat ini juga mengalami DM.

Integritas sosial: selama sakit, pasien dijaga oleh pengasuhnya,


sesekali ayah dan neneknya datang menjenguk. Pasien sangat
kooperatif dengan perawatan yang diberikan

Diagnosa keperawatan:
1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan
faktor risiko manajemen diabetes inefektif
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
3) Diare berhubungan dengan adanya infalamasi pada usus
4) ketidakseimbangan elektrolit: hipomagnesia dengan
faktor risiko gangguan mekanisme regulasi akibat DM

14 Ny W, 48 tahun datang ke IGD RSCM tanggal Integritas energi: Manajemen hiperglikemia, infection
12/2/14 dengan keluhan luka pada jari manis dan TD=140/80, N=88, S=36 , RR=18, batuk (+) Suara nafas ronkhi control, wound care, energy
kelingking sejak 1 bulan SMRS. Awalnya luka bilateral. Nafsu makan baik. Pusing (+), Hb 9.5 Tidur kurang management, pain control, self esteem
seperti bisul, tidak ada riwayat trauma. Lama- kerena nyeri skala 4. Gula darah berkisar 100-250. HbA1C 10.8 enhancement
kelamaan luka makin besar, demam (+), nyeri (+), %.
nanah (+). dilakukan amputasi dig IV dan V tgl
13/2/14 di OK selanjutnya dipindahkan Integritas Struktural: Evaluasi: glukosa darah berkisar 100-
keruangan tanggal 14/2/14. Tanggal Terdapat luka pada lateral pedis sinistra, ukuran 23x8 cm, pus 250 setelah perawatan 3 minggu,
28/2/14pasien dilakukan debridement pedis minimal, slough minimal, granulasi minimal, dasar luka tendon leukosit 9870/µL, kondisi luka
sinistra. Pengkajian dilakukan tanggal 3/3/14. Dx dan otot. Luka pada plantar pedis sinistra uk 20x6x2 cm, luka membaik, slogh, pus, jaringan
medis: Ulkus Dm pedis sinistra post amputasi & pada plantar pedis dextra uk 5x4 cm, slough (+), granulasi dan nekrotik berkurang, Tekanan darah ≤
debridement, DM tipe 2. Riwayat penyakit pus minimal. 5460/µL, retinopati (+), neuropati (+). 140/80 mmHg. Skala nyeri berkurang
dahulu: DM sejak 6 th, kontrol tidak teratur, gula manjadi 2. Keluhan pusing (-) Pasien
darah tertinggi 600 an, mendapat obat metformin Integritas personal: pasien mengatakan tidak malu dengan kondisi mau menerima bantuan dari tetangga
3x500 mg. Riwayat hipertensi sejak 10 th, kaki yang seperti ini, karena sudah sering melihat penderitaan pasien, saat Keluar RS pasien
mendapat obat valsartan. orang-orang cacat pada LSM. Pasien berharap segera diberi dijemput oleh temannya
kesembuhan agar dia bisaaktif bekerja sebagai relawan di LSM
Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita (PPSDW)
Integritas sosial: selama sakit OS sering tidak ada yang

12

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


menunggu, dengan alasan keluarga ada di jawa, ia sudah bercerai
dengan suami dan anaknya tinggal di pesantren. Sesekali ia
terlihat dikunjungi oleh teman2 LSM nya. Pemenuhan aktifitas
harian dibantu POS dan perawat.

Diagnosa keperawatan:
1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan
faktor risiko manajemen diabetes inefektif
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM, luka pada kaki
3) Keletihan berhubungan dengan anemia
4) Nyeri akut berhubungan dengan agens injuri fisik
5) Ketidakberdayaan berhubungan dengan keterbatasan
fisik.
15 Ny. UK, 68 th datang ke IGD RSCM tanggal Integritas energi: Manajemen hiperglikemia dan
2/5/14 karena sesak nafas sejak 1 mggu SMRS. TD=120/80, N=88, S=37 , RR=18, batuk (+) Suara nafas ronkhi hipolikemia, infection control, wound
OS rujukan dari PJT dengan CHF dan DM. bilateral. Nafsu makan baik. Pusing (-).Gula darah berkisar 100- care
Pasien juga mengalami luka di kaki kaki kiri post 250. HbA1C 8.7 %.
debridemnt di iGD tgl 3/5/14. OS sempat dirawat Integritas Struktural: Evaluasi:
di HCU selama 5 hari sebelum dipindahkan ke Terdapat luka pada plantar pedis sinistra, ukuran 6x3cm, pus (-), Glukosa darah stabil selama
ruang perawatan tanggal 7/5/14. Diagnosa medis: slough (-), granulasi (+), dasar luka otot. retinopati (+), neuropati perawatan, hipoglikemia (-),
Ulkus DM pedis sinistra post debridement, DM (+). Leukosit 13.680/µL penyembuhan luka baik, batuk
tipe 2, CHF Fr II ec HHD, CAD. Riwayat Integritas personal: pasien mengatakan tidak malu dengan kondisi berkurang, leukosit 11840/µL. Pasien
penyakit dahulu: DM sejak 14 th, kontrol tidak kaki yang seperti ini. mengatakan jika dirumah anaknya
teratur, gula darah tertinggi 350 an, mendapat yang akan merawat lukanya. Pasien
terapi insulin novorapid 3x24 unit dan lantus Integritas sosial: selama sakit OS selalu ditunggui oleh suami dan keluar RS tanggal 14/5/14.
1x14 unit.Riwayat sakit jantung sejak th 2007 dan anaknya. OS kooperatif selama perawatan.
telah dipasang ring th 2011. Diagnosa keperawatan:
1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan
faktor risiko manajemen diabetes inefektif
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
16 Ny H, 52 tahun, Agama Islam, pendidikan tamat Integritas Energi: mengeluh mual dan makan 1/4 porsi, Mengeluh Manajemen hiperglikemia, infection
SMA. Pasien datang ke IGD dengan keluhan luka nyeri skala 3-4 pada daerah ulkus. Hb: 10.5, Albumin: 2.50, BB: control, wound care, pain

13

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


di kaki kiri yang tak kunjung sembuh sejak 1 70 kg, tinggi badan: 165 m (IMT = 25.71), GDS: 374 mg/dL, management, bowel elimination
bulan SMRS. Selama di rumah, luka dirawat HBA1c 6.5%, Hb 10.7 gr%.
sendiri oleh istrinya dengan menggunakan cairan
NaCl dan luka dibiarkan terbuka dan semakin Integritas struktur: Ulkus DM post amputasi digiti I-III, pus (-)
meluas, nanah (+). Pasien mengeluh tidak selera jaringan granulasi (+), slough (-). Leukosit 11.230 u/L. Belum
makan, badan terasa lemas, pusing, kadang- BAB sejak 4 hari, skibala (+) Setelah perawatan diberikan sleama
kadang mengalami keringat dingin, mual (+), tujuh hari, keluhan nyeri hilang, napsu
muntah (+), dan disertai demam. Hasil ro: pedis: Integritas personal: pasien memiliki konsep diri positif, selama makan baik, kadar glukosa darah stabil
osteomietilis, selanjutnya dilakukan amputasi interaksi kontak mata baik, menyadari dan menerima penyakit <200 mg/dl, mual tidak ada lagi,
digiti I-III. Dx medis: Ulkus DM post amputasi yang dialami adalah ujian dari Allah. kondisi luka baik, sudah belajar
digiti I-III, DT tipe 2 duduk, menunjukkan pemahaman
Riwayat penyakit DM sejak ± 1 tahun yang lalu, Integritas sosial: interaksi dengan pasien lain dan perawat baik, manajemen mandiri DM dan
pasien minum obat Glibenklamid dan Metformin suami pasien selalu menemani pasien selama di rumah sakit. berkeinginan untuk menjalani dalam
tapi tidak teratur, hanya kalau ingat pasien minum kehidupan sehari-hari.
kedua obat tersebut. Mata sebelah kiri mengalami Diagnosa keperawatan:
gangguan penglihatan, buram, pendengaran pada 1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan
kedua telinga berkurang. faktor risiko manajemen diabetes inefektif, infeksi
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
3) Nyeri akut berhubungan dengan agens injuri fisik
4) Konstipasi berhubungan dengan imobilisasi.

17 Ny. BN, 50 tahun datang ke IGD dengan keluhan Integritas energi: Tekanan darah: 170/90 mmHg, Nadi: 84 Manajemen hipervolemia, manajemen
sesak napas memberat pada malam hari. Pasien x/menit, P: 16 x/menit, S: 36.3ºC.Batuk (+), ronkhi +/-. Edema hiperglikemia, infection control
mengeluh batuk di malam hari dan kedua pada kaki, balans cairan -200 cc. CRT < 3 detik, Hb: 8.7 gr%,
ekstremitas bengkak sejak 2 minggu SMRS. HBA1c: 8.5 %, Albumin: 3.30 mmol/l, GDS 241 mg/dl, Ureum: Evaluasi: sesak (-), edema berkurang,
Pasien juga mengalami perut buncit sejak 1 206 mg/dl, Kreatinin: 8.4 mg/dl. pasien menjalani HD 2x/mggu, batuk
minggu SMRS dan BAK hanya 200 cc/hr. berkurang, leukosit dalam batas
Riwayat DM sejak 8 tahun, hipertensi sejak 7 Integritas struktur: kulit kering, bersisik, Lekosit: 5.700 /ul, normal.
tahun, riwayat jantung th 2007. Dx. Medis: CHF
CKD Stage V, DM Tipe 2 Integritas personal: pasien ingin segera diberi kesembuhan dan
cepat pulang

14

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


Integritas sosial: interaksi dengan pasien lain baik begitu juga
dengan perawat. Istri dan anak bergantian menjaga pasien.

Diagnosa keperawatan:
1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan
regulasi ginjal
2) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan
faktor risiko manajemen diabetes inefektif, infeksi
3) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM

18 Ny. RA, 55 tahun, seorang ibu rumah tangga Integritas energi: kadang-kadang sesak napas disertai batuk, Manajemen hiperglikemia, infection
mengeluh mual, muntah 4 hari SMRS. Muntah pernapasan 24 x/menit, irama pernapasan teratur, bunyi paru control, diet management, bleeding
sebanyak 5-10 x/hari. Pasien terlihat lemas, tidak vesicular +/+, ronki (-/-), wheezing (-/-). Kedua akral teraba reduction, manajemen elektrolit:
dapat beraktivitas, mengeluh demam 3 hari hangat, tidak ada tanda edema, makan 1/4 porsi, mual (+),pasien hiponatremia
SMRS. Nafsu makan menurun sejak 1 minggu suka makan makanan yang berlemak begitu juga dengan makanan
SMRS, perut terasa nyeri. BAB cair 1 hari SMRS yang manis. . Hasil pemeriksaan laboratorium: Hb: 13.5,
lebih dari 3x/hari, warna kotoran hitam, lendir Albumin: 2.50, BB: 55 kg, Tinggi badan: 155 m (IMT = 22.89). Setelah intervensi keperawatan
(+), ampas (+).mengalami penurunan BB > 20 kg Pasien memiliki riwayat penurunan berat badan sampai dengan 30 diberikan selama sepuluh hari, pasien
selama 3 bulan. Gula darah di IGD 455mg/dl, kg, tidak terdapat edema pada kedua ekstremitas, kulit kedua diijinkan pulang dengan keadaan tidak
keton 1.7. Dx. Medis: Ketoasidosis, DM Tipe 2, ekstremitas bawah kering.HBA1c; 10.3%, Keton: 1.70 mmol/l, ada keluhan sesak, gula darah
Gula darah dalam regulasi insulin. Natrium: 128/ K 3.5/ Cl 99 terkontrol < 200 mg/dl, terapi insulin
Riwayat DM sejak 12 tahun, tidak rutin kontrol Integritas struktur: Akral teraba hangat, kulit kering, kesemutan Lantus 1x10 unit subkutan, Natrium
dan minum obat kerena sudah merasa sembuh. pada kedua ujung jari kaki,ABI 0.9/0.85. Neuropati (+), Leukosit 140 mmol/l. Mampu mengerti
Datang ke dokter hanya jika merasa badan tidak 14.620/uL. manajemen mandiri DM dan
enak. Integritas personal: pasien menyadari penyakit yang dialami berkeinginan menjalankan manajemen
adalah karena tidak bisa mengontrol makan sehari-hari, suka DM di rumah
dengan makanan yang berlemak dan manis. Pasien menyadari
tidak pernah memeriksa kadar gula darah ke puskesmas, hanya
kalau terasa badan tidak baru ia pergi ke puskesmas

Integritas sosial: interaksi dengan lingkungan baik, kontak mata


baik ketika diajak berbicara, kooperatif terhadap perawatan.

15

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


Diagnosa keperawatan:

1) ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko


manajemen diabetes inefektif, infeksi
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
3) Perubahan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh bd intake
kurang , DM
4) Risiko perdarahan b.d adanya ulkus pada gastrointestinal
5) Gangguan ketidakseimbangan elektrolit: hiponatremia
6) Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri

19 Ny SR, 60 th, menikah, tamat SD, pekerjaan Integritas energi: Manajemen


pedagang. OS datang ke IGD karena luka pada TD=150/90, N=88, S=36 , RR=18, batuk (-) Nafsu makan baik. hiperglikemia,hipoglikemia, infection
kaki kanan yang tidak kunjung sembuh. 2 minggu Pusing (-), Hb 11.5 Tidur agak kurang kerena nyeri skala 4. Gula control, wound care, pain
SMRS OS menginjak beling, hal itu tidak darah 187. HbA1C 9.8 %. BB = 62 kg, TB=155 cm, IMT: 25,8. management, self esteem
disadari OS sehinga timbul luka pada telapak OS post amputasi transmetatarsal, ADL mampu dilakukan sendiri enhancement
kaki kanan, luka dirasakan makin melebar, ada namun kadangkala dibantu oleh anak. Seluruh aktifitas dilakukan
nanah dan terasa nyeri hingga OS sulit tidur. OS di tempat tidur. Evaluasi:
Dilakukan amputasi transmetatarsal dextra. Integritas Struktural:
Riwayat penyakit dahulu:OS memiliki riwayat Terdapat luka post amputasi transmetatarsal, pus (-), slough Setelah perawatan diberikan selama 4
DM diketahui sejak 8 th yl, kontrol ke puskesmas minimal, granulasi (+), retinopati (+), neuropati (+). Leukosit hari keluhan nyeri terkontrol, kadar
dekat rumah namun tidak rutin, mendapat obat 12.100/µL. glukosa darah stabil <200 mg/dl
metformin, glibenklamid tetapi dosis tidak tahu. Integritas personal: pasien mengatakan sedih dengan kondisinya, setelah 8 hari perawatan, kondisi luka
Memiliki riwayat HT, mendapat obat captopril, apakah nanti ia bisa berjualan lagi. baik, pasien mengatakan pelan-pelan
dosis tidak diketahui. Integritas sosial: interaksi dengan pasien sekitar, keluarga dan jika kondisinya baik dia akan
Dx medis: DM tipe 2, ulkus DM post amputasi perawat baik. berjualan lagi.
transmetatarsal.
Diagnosa keperawatan:
1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan
faktor risiko manajemen diabetes inefektif, infeksi
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM, luka pada kaki

16

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


3) Nyeri akut berhubungan dengan agens injuri fisik
4) Ketidakberdayaan berhubungan dengan keterbatasan
fisik.
20 Ny G, 46 tahun, tamat SMP, pekerjaan penjahit. Integritas energi: Manajemen hiperglikemia, infection
Masuk IGD tgl 28 November 2013. OS adalah TD=130/80, N=92, S=37 , RR=18, batuk (+) Suara nafas ronkhi control, wound care, pain
pasien rujukan dari RS Tarakan.. OS dibawa ke bilateral. Nafsu makan menurun. Pusing (-).Gula darah 256 management, bleeding reduction,
IGD RSCM karena terdapat luka pada kaki kiri mg/dl. HbA1C 12.6 %. Umumnya OS mampu melakukan ADL manajemen elektrolit: hipomagnesia,
yang tak kunjung sembuh sejak 1 bln SMRS. mandiri, bantuan minimal dari perawat, OS mengatakan tidur edukasi manajemen diabetes.
Luka dikarenakan menggunakan sepatu yang cukup. Lab elektrolit Na/K/Cl/ Mg= 143/3.72/101.3/ 1.4 low
sempit, makin lama makin besar, berbau dan Integritas Struktural: Evaluasi: glukosa darah selama
mengeluarkan nanah. Terdapat demam, naik Hasil USG Dopler tgl 3/12/13= Right:arteri femoralis comunis perawatan rentang 80-300, perluasan
turun namun tidak tinggi. 2 minggu SMRS dextra, plaque tdkada, trifasik vol flow 132.3. Arteri poplitea infeksi tidak terjadi, batuk (-),
terdapat muntah disertai darah, BAB warna dextra plaque tdk ada, monofasik, vol flow 14.1. Left: arteri kelemahan (-), Mg 1.9. tanda-tanda
hitam. OS berobat kedokter umum, diberikan femoralis comunis sinistra, plaque tdkada, stenosis tdk ada, perdarahan (-). Pasien mengatakan
obat untuk menghentikan perdarahan dan obat trifasik vol flow 1218. Arteri poplitea sinistra stenosis tdk ada, akan mengikuti saran dari perawat
lambung. Muntah darah berhenti namun BAB trifasik, vol flow 577.5. Arteri dorsalis pedis sinistra alitan tidak dan dokter agar lekas sembuh dan
masih hitam dan lembek. Mual ada, muntah tidak bisa dinilai. Arteri tibialis posterior sinistra, plaque > 50%, tidak ingin kehilangan kaki untuk
ada, nafsu makan menurun. Saat di IGD monofasik, aliran sulit dinilai. OS mengatakan nyeri di kaki kiri, kedua kalinya. Ia juga mengatakan
dilakukan pemeriksaan EKG. Hasil: SR< HR 120 skala nyeri 3 . Status lokalis luka: Luka tertutup verband. Luka akan rajin kontrol, menjaga
x/mnt, LVH/RVH (-), BBB (-). Rontgen thorax= rembes (-).Post debridement dan amputasi digiti 5 pedis sinistra makannya, serta memperhatikan
cor dan pulmo dalam batas normal. H-17, post debridement ke-3 H+1 pedis sinistra. Leukosit 7.41/ kakinya.
Rontgen pedis sinistra: destruksi sisi proksimal trombosit 370.000/ d dimer 200/ fibrinogen 573.4/prokalsitonin
phalang digiti V dan amputasi phalang digiti I 1.08.
pedis sinistra dengan soft tissue swelling dan
emfisema subkutis region metatarsal V pedis Intergritas personal: Umumnya OS mampu melakukan ADL
sinistra. mandiri, bantuan minimal dari perawat, OS tidak malu dengan
Dx medis saat masuk IGD: kondisinya, sebab dia sudah beradaptasi krn sudah pernah
Ulkus + gangrene DM Pedis sinistra, mengalami amputasi kaki kanan th 2010. Dia ingin segera
DM normoweight dengan ketosis DM (keton 2.2, sembuh agar bisa menjahit lagi
GD= 686), Hiperkalemia(K= 6.1)
AKI dd acute on CKD st III (Ur/Cr= 58.4/1,723) Integritas sosial: selama sakit OS sering terlihat sendiri, jarang
Hiponatremia ec hiperglikemia (Hiponatremia ditunggui oleh keluarga. OS aktif berinteraksi dengan pasien
Hiperosmolar Euvolemik) (Na 124) diruangnnya, bahkan dia dijuluki Ibu Lurah di ruangan tersebut.
Hipoalbumin ec susp wound loss dd renal loss Diagnosa keperawatan:

17

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


(Alb 2.58)
Selanjutnya dilakukan debridement dan amputasi 1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor
digiti V pedis sinistra di IGD OK. Tgl risiko manajemen diabetes inefektif
30/11/2013 2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
Pasien dipindahkan ke Ruangan tanggal 1 akibat DM
Desember 2013. 3) Risiko perdarahan berhubungan dengan adanya ulkus
Debridement ke-2 tgl 9/12/2013 gastrointestinal
Debridement ke -3 tgl 16/12/2013 4) ketidakseimbangan elektrolit: hipomagnesia dengan faktor
Pengkajian dilakukan tgl 17/12/13 risiko gangguan mekanisme regulasi akibat DM
OS diketahui menderita DM sejak th 2003, saat 5) Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik
melahirkan anak kedua > 4 kg. Riwayat amputasi 7) Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri
below knee dextra tahun 2010.

21 Ny S, 55 tahun datang ke IGD tanggal Integritas energi: Manajemen hiperglikemia, infection


15/10/2013 dengan keluhan nyeri pada kaki Dada simetris, pernafasan reguler 18 x/mnt, Sesak (-), wheezing - control, wound care, pain
sebelah kiri. 10 hari SMRS px mengeluh timbul /-, ronkhi +/-. Keluhan batuk disangkal. Bunyi jantung S1 S2 management, manajemen elektrolit:
centing di jari jempol kiri. Makin lama makin tunggal, murmur (-), gallop (-), JVP 5-2 cmH2O, TD=130/80 hiponatremia, manajemen energi
besar. Demam tinggi hingga 39°C. 2 hari SMRS mmHg, nadi= 84x/mnt. EKG tgl 15/10/13 sinus rhytm, RBBB
luka mengeluarkan nanah. Lalu pergi ke IGD inkomplit, hipertrofi tidak ada. Rontgen thorax: infiltrate lapang Evaluasi:
RSCM. Mual (+), muntah (-), nafsu makan baik. paru kanan dan parakardial kiri. Konjungtiva anemis (+), Glukosa darah 100-230 mg/dl, batuk (-
Batuk/sesak/nyeri BAK/BAB tidak ada. Gula keluahan pusing (+) Mukosa mulut bersih, lembab. BB = 60 kg, ), leukosit 11.300/uL
darah saat masuk IGD 386 mg/dl, keton 2,11. TB=162 cm, IMT: 23,4. Porsi makan habis. Diit= 1700 kkal, Tgl 28/10/2013 dilakukan operasi
Debridement pedis sinistra dilakukan tgl protein 1,2 gr/kgbb. Hb 8,3,, Ht 24,7. GDS= 234, HbA1c= 8%. STSG, Na 137, CL 95, Keluhan
17/10/2013.Tgl 18/10/2013 px dipindahkan ke Elektrolit Na/K/Cl = 127/4,23/92,9 pusing (-), Hb 10.2
ruang 708D. Integritas Struktural:
Px memiliki riwayat DM diketahui sejak 10 th Px mengatakan nyeri di kaki kiri, edema cruris sinistra +, nyeri
SMRS. Px tidak rutin kontrol ke Puskesmas, dirasakan hilang timbul, skala nyeri 3, nyeri spt ditusuk. Status
hanya sesekali ke dr praktik. 5 th SMRS px lokalis luka: luka tertupverban. Luka rembes minimal, odor
mengalami luka pada digiti IV pedis dextra, (+).ABI=1,1/1,3.Pemeriksaan neuropati dgn monofilament 10
dibersihkan di poli kaki RSCM. 2 th SMRS gr= tidak normal/tidak normal. Leukosit
pernah dirawat di RS Budi Asih karena luka di 23.030/trombosit490.000
jari jempol kiri , hanya dibersihkan tanpa operasi.
Riwayat HT sejak 4 th yl, riwayat TB dan asma Intergritas personal: Px mengatakan ia tidak malu dengan luka
disangkal. yang di kakinya.

18

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


Pengkajian dilakukan tgl 21/10/ 2013.
Dx medis: DM tipe 2, hipertensi, Post post Integritas sosial: OS kooperatif tehadap perawatan yang
debridement pedis sinistra dilakukan padanya
Diagnosa keperawatan:

1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor


risiko manajemen diabetes inefektif
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
3) ketidakseimbangan elektrolit: hiponatremia dengan faktor
risiko gangguan mekanisme regulasi akibat DM
4) Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik
5) Keletihan berhubungan dengan anemia

22 Ny EM, 51 th datang ke IGD tgl 18 November Integritas energi: Manajemen hiperglikemia, infection
2013 dengan keluhan luka di kaki kanan. 4 bulan Pernafasan regular RR= 18x/mnt, Sesak (-), wheezing -/-, ronkhi control, wound care, pain
SMRS pangkal ibu jari kanan lecet akibat -/-. Pergerakan dada simetris. Bunyi jantung S1 S2 tunggal,. management, peripheral sensasion
bergesekan dengan sandal, lalu tibul luka yang TD=131/78 mmHg, nadi= 92x/mnt. CRT < 3 dtk. management, foot care
kering dan tidak bernanah.. Luka tidak diobati. 1 Konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-), keluahan pusing (-).
bulan SMRS, px demam, kaki kanan bengkak, Mukosa mulut bersih, lembab. BB = 55 kg, TB=160 cm, IMT: Evaluasi: Gula darah selama
selanjutnya berobat ke RS Budi Asih, diberikan 21,48. Px mendapatkan 3 kali porsi makan besar dan 2 kali perawatan stabil yaitu 100-210, tidak
obat penurun panas dan boleh pulang. Beberapa snack. Porsi makan tidak habis karena perut terasa penuh karena terjadi perluasan infeksi, penyebuhan
hari kemudian kaki semakin bengkak, lalu px belum BAB. Hb 10.2, Alb 2.28. GDS= 221, HbA1C 11.2% luka baik, leukosit dalam batas
dibawa ke RS Polri namun luka makin besar. normal, nyeri berkurang, pasien
Selanjutnya px dibawa ke IGD RSCM, mual (+), Integritas Struktural: mampu melakukan plantar flexi
nafsu makan menurun sejak 2 mggu terakhir Px mengeluh belum BAB sejak 4 hari yang lalu dan px juga exercise.
SMRS, BAB dan BAK saat itu tak ada keluhan. mengatakan telah minum sirup lactulose namun tetap belum bisa
Hasil EKG saat MRS tgl 18/11/2013 ditemukan bab. Pemeriksaan skibala (+). BU (+).Px mengatakan nyeri di
PVC. Hasil rontgen pedis ditemukan kaki kanan. Nyeri muncul kadang-kadang, terutama jika
osteomielitis.. Px juga saat itu mengalami dikakukan rawat luka, skala nyeri 4, nyeri seperti teriris. Status
hiponatremia dengan Na 133 dan hipoalbumin lokalis luka: Luka gr 3 (wagner), ukuran lukan 18 x 8 pada
dengan hasil alb 2.35, GDS 178 dan nilai keton dorsum pedis, 23x10x 2 pada plantar pedis. Aputasi dig IV pedis
0.1. dextra. Pus (-), odor minimal, jaringan nekrotik 10%, slough

19

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


Tgl 20/11/2013= debridement di OK IGD 40%. Granulasi 40%. Dasar luka otot. ABI = sulit dinilai/ 1
Tgl 25/11/2013= redebridement Pemeriksaan neuropati dgn monofilament 10 gr= tidak
Tgl 2/12/2013= redebridement dan amputasi normal/tidak normal. Leukosit 8.5/ trombosit 625.000/ d dimer
digiti IV pedis dextra. Pengkajian dilakukan tgl 9 100/ fibrinogen 439,7
Desember 2013. Dx medis: Dm tipe 2, post
amputasi dig IV pedis dextra Intergritas personal: Px beragama islam. Ia percaya sakit yang
dialami murni karena medis dan ketidakpatuhannya. Ia hanya
bisa berdoa agar diberi kesembuhan

Integritas sosial: OS kooperatif tehadap perawatan yang


dilakukan padanya

Diagnosa keperawatan:

1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor


risiko manajemen diabetes inefektif
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
3) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan
dengan adanya stenosis
4) Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik
5) Konstipasi berhubungan dengan imobilisasi

23 Ny MA, 56 tahun bekerja sebagai ibu rumah Integritas energi: tekanan darah: 170/90 mmHg, pernapasan: 24 Manajemen hiperglikemia,
tangga dengan tingkat pendidikan tamat SLTA x/menit, nadi: 96 x/menit. Sesak, lemas, edema pada kedua managemen hipervolemia, infection
datang ke IGD dengan keluhan sesak napas ekstremitas grade 3, akral hangat, CRT < 2 detik, balans cairan control, manajemen elektrolit:
terutama jika berbaring dan berkurang jika posisi +200 ccdalam 24 jam, GDS: 138/245/244, Hb: 8.4 Hematokrit: hiperkalemia, bowel elimination
duduk. Perut bengkak, ekstremitas edema. 25, Eritrosit: 275, , Protein total: 4.60, Albumin: 2.40, Globulin:
Riwayat DM sejak 7 tahun lalu. Dx. Medis: DM 2.30, Ureum: 131, Kreatinin: 6.4, HBA1c: 6%, Kalium: 5.9, Evaluasi:
tipe 2 + CKD stadium V Klorida: 109. Keluhan sesak berkurang, balans
cairan -100- 200 cc, pasien bersedia
Integritas struktur: belum BAB sejak 3 hari, skibala(+), edema untuk HD. edema berkurang leukosit
grade 2, kulit kering dan bersisik, akral hangat. LED: 113 dalam batas normal, Kalium
berangsur-angsur menurun hingga

20

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


Integritas personal: pasien khawatir dengan kondisi penyakitny 4.9, pasien sudah bisa BAB setelah 2
saat ini dan bertanya-tanya apakah ia dapat hidup normal kembali hari perawatan.
setelah dilakukan HD

Integritas sosial: pasien dapat berinteraksi baik dengan pasien


sekitar tempat ridur, keluarga dan perawat. Pasien ditemani
anaknya selama dirawat.

Diagnosa keperawatan:
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan
regulasi ginjal
2. Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan
faktor risiko manajemen diabetes inefektif
3. ketidakseimbangan elektrolit: hiperkalemia berhubungan
dengan gangguan regulasi ginjal
4. Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
5. Konstipasi berhubungan dengan imobilisasi
6. Ansietas berhubungan dengan penyakitnya
24 Ny. SS, 57 tahun, Islam, tamat SD, bekerja Integritas energi: makan 1/2 porsi, mual, muntah (-). Mukosa Manajemen hipoglikemia, infection
sebagai ibu rumah tangga, janda. Dirawat dengan mulut kering, lesi (-), Hasil laboratorium: Albumin 3.40 dan Hb control, wound care, pain
riwayat tidak sadarkan diri satu hari sebelum 10.5 gr%, GDS= 36, Keton 0.40. BB : 55 kg, TB: 155 cm, IMT: management, peripheral sensasion
masuk rumah sakit. Pagi hari sebelum kejadian, 22.9 (normal). Riwayat penurunan BB (-). management, foot care.
sarapan 3 sendok makan lalu minum obat gula.
Setelah minum obat, pasien merasa pusing, lemas Integritas struktur: Ulkus plantar pedis sinistra, Nyeri skala 3
dan akhirnya tidak sadar, saat dicek GDS: 36 terutama bila digerakkan, pus (+) sedikit,terdapat beberapa
gr/dL. Setelah sadar, mengeluh mual dan lemas, jaringan nekrosis (+), jaringan granulasi (+). Akral teraba hangat, Evaluasi: Setelah dilakukan perawatan
bicara pelo, dan pusing. BB: 55 kg, TB: 155 cm, baal (-), kesemutan (-). Sensori pada ujung jari-jari kaki kanan selama lima hari, selera makan
IMT: 22.89. Pasien didiagnosis DM tipe 2 oleh dan kiri (+). ABI kanan 0.93 dan kiri 0.87. Pasien mengetahui membaik, glukosa darah dalam batas
dokter di Puskesmas sejak 2 bulan yang lalu mengidap penyakit DM tapi tidak mengetahui manajemen normal (100-200 mg/dl), hipoglikemia
(Desember 2012) dan diberi Glibenclamide 5 mg mandiri DM. Leukosit 13.200/ uL, trombosit 525.000/ d dimer (-), kondisi ulkus (granulasi positif,
dan satu macam obat yang pasien lupa namanya. 100/ fibrinogen 437 pus berkurang), perluasan infeksi (-),
Saat itu pasien berobat karena kaki kiri tertusuk leukosit 11.720/ uL.
paku, luka di kaki sukar sembuh. Integritas personal: pasien pasrah dengan kondisi sakitnya saat ini

21

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


Dx. Medis: DM tipe 2, riwayat dan ia berharap segera diberi kesembuhan agar dapat berkumpul
hipoglikemia,Ulkus Pedis sinistra dengan keluarga.
Integritas sosial: interaksi dengan lingkungan sosial baik

Diagnosa keperawatan:

1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor


risiko manajemen diabetes inefektif
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
3) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan
dengan adanya stenosis
4) Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik

25 Ny. RN, 52 tahun bekerja sebagai ibu rumah Integritas energi: tanda vital: T : 37ºC, TD : 110/80 mmHg, R : Manajemen hiperglikemia, protokol
tangga datang ke IGD dengan keluhan mual dan 26 x/m, N : 96 x/m, HBA1c: 9.6%, GDS 432 mg/dl, Keton: 3.40 KAD, infection control, nausea
muntah sejak 2 hari SMRS. Muntah sebanyak 3-4 mmol/l, Lekosit: 15.9 ribu/ul, pH : 7.3, pCO2 : 22.1 mmHg, PO2 management
x/hr, warna kecoklatan, badan terasa lemas, sakit : 124.2 mmHg, HCO3 : 12.1 mmol/L, O2 saturasi : 98.4 %, Total Evaluasi: setelah dilakukan protokol
kepala (+), selera makan berkurang, makan hanya CO2 : 12.8 mml/L . Pasien mengeluh lemas, banyak kencing dan KAD selama 24 jam, glukosa darah
1-2 sendok. Setiap yang dimakan dikelurakan haus., mual (+) pasien mulai stabil < 250 mg/dl, keton
kembali. Pasien memiliki riwayat DM sejak 7 0.3, tanda-tanda dehidrasi (-), turgor
tahun, kontrol tidak teratur sebab tidak ada yang Integritas struktur: kulit kaki kering, terdapt fisura, bentuk kaki baik. Mual berkurang
mengantar. hammer toes. Leukosit 15.780 /uL
Dx. Medis: DM tipe 2 dengan KAD
Integritas personal: pasien menyadari penyakit yang dialami
adalah murni karena sakit medis

Integritas sosial: interaksi dengan lingkungan baik, pasien


kooperatif terhadap perawatan yang dilakukan

Diagnosa keperawatan:

1) Ketidakstabilan kadar glukosa darah, KAD berhubungan


dengan proses infeksi

22

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


2) Risko kekurangan volume cairan berhubungan dengan
diuresis
3) Nausea berhubungan dengan peningkatan asam lambung,
asidosis metabolik

26 Tn. SA, 53 tahun dibawa ke IGD karena lemas, Integritas energi: TD= 90/60, N= 98 x/mnt, S=37, RR=22x.mnt. Manajemen hipoglikemia, infection
hingga tidak sanggup bangun ataupun berjalan, batuk (+), vesicular +/+, ronki basah kasar (+/+), wheezing (-). control, edukasi manajemen diabetes:
berbicara menjadi sulit, dan kadar glukosa darah Makan 2-3 sendok, keluhan mual, muntah. Lemas (+), Hb: 10.5. pengenalan hipoglikemia dan
saat masuk RS yaitu 35 mg/dL. Pasien penanganannya selama dirumah
mengatakan nafsu makan berkurang karena mual, Integritas struktur: sering terasa terasa kesemutan pada ujung jari
hanya makan 2-3 sendok dan obat DM tetap kaki, kulit kering. Lekosit: 12.300/ul Evaluasi: setelah dilakukan protokol
diminum. Pasien juga mengeluh sering batuk, hipoglikemia dan dilakukan
keluar keringat dingin di malam hari dan berat Integritas personal: Pasien mengatakan tidak paham aturan pemantauan secara ketat, selama 24
badan menurun drastis. Riwayat TB 4 tahun yang minum obat DM, hanya berfikir minum obat agar gula tidak jam, glukosa darah pasien mulai stabil
lalu, minum OAT selama 6 bulan dan telah tinggi. yaitu 100-200 mg/dl, hipoglikemia (-
dinyatakan sembuh oleh dokter. Dx Medis: Integritas sosial: pasien kooperatif terhadap tindakan keperawatan ), pasien dan keluarga mampu
Hipoglikemia, DM Tipe 2, on protocol yang dilakukan padanya. menyebutkan tanda-tanda
hipoglikemia, Susp. TB hipoglikemia dan penanganannya
Diagnosa keperawatan: selama dirumah.

1) Ketidakstabilan kadar glukosa darah hipoglikemia


berhubungan dengan manajemen diabates tidak efektif
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
3) Kurang pengetahuan berhubungan dengan mispersepsi
informasi

27 Ny RA, 42 tahun masuk rumah sakit karena nyeri Integritas energi: Kedua akral teraba hangat, edema pada kaki Manajemen hiperglikemia,
pada kaki kanan disertai bengkak dan kemerahan, bilateral. Pedis dextra tampak hiperemis, nadi teraba (+), pulsasi manajemen diit, infection control,
tapi tidak ada keluhan demam. Pasien tidak tahu (+), luka pada dorsum pedis kering. makan 1/4 porsi dari manajemen elektrolit: hipokalemia,
awalnya sampai kaki kanan bengkak, kemerahan makanan yang disediakan RS, mual. Pemeriksaan Hb: 10.5 gr%, edukasi manajemen DM
dan terasa nyeri. Riwayat DM sejak tahun 2008, Albumin: 3.30. Na 138/ K 2.9/ Cl 101. GDS 234 ,HbA1c 8.8%
rutin minum obat Glibenklamid (2x5 mg PO). Integritas struktur: nyeri kaki kanan skala 6, akral teraba hangat,
Keluhan poliphagia, polidipsia dan poliuria (+) kulit kering, kadang-kadang terasa nyeri pada daerah dorsum Setelah dirawat selama tujuh hari,

23

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


sejak 5 tahun, mengatur pola makan walau sering pedis dextra, baal pada pada ujung jari kaki kiri, sensasi baik pada pasien diijinkan pulang oleh dokter,
tidak dapat mengontrol makanan yang dimakan. kedua ekstremitas, CRT < 2 menit, edema pada ekstremitas kiri. hasil pemeriksaan GDS 393 mg/dl,
Pasien suka makanan yang manis-manis. jarang memahami manajemen mandiri DM
mengontrol kadar gula darah, kalau perasaan Integritas personal: pasien selalu bertanya mengenai kondisi terutama dalam pengaturan makanan,
tidak enak baru pasien kontrol gula darah ke lukanya, apakah luka akan makin besar. Leukosit 11.9/µL serta mampu menyuntikkan insulin
puskesmas. sendiri serta melakukan perawatan
Integritas sosial: interaksi baik dengan pasien di sekitar, keluarga luka mandiri di rumah.
Dx. Medis: Selulitis DM Pedis Sinistra, DM Tipe dan perawat.
2 Diagnosa keperawatan:

1) Ketidakstabilan kadar glukosa darah hipoglikemia


berhubungan dengan manajemen diabates tidak efektif
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
3) ketidakseimbangan elektrolit: hiponatremia dengan faktor
risiko gangguan mekanisme regulasi akibat DM
4) Ansietas berhubungan dengan perubahan kondisi fisik

28 Ny N, 47 th. Datang ke IGD dengan keluhan luka Integritas energi: Manajemen hiperglikemia,
dan nyeri pada kaki kiri. 7 hari SMRS Px Px mengeluh batuk sejak 1 hr yl, dahak susah keluar. Pernafasan manajemen diit, infection control,
mengeluh muncul luka pada jempol kaki kiri. regular RR= 18x/mnt, Sesak (-), wheezing -/-, ronkhi +/-. edukasi manajemen DM: perawatan
Luka spt bisul kecil, kemudian pecah, luka Pergerakan dada simetris. Bunyi jantung S1 S2 tunggal,. kaki, pain control
menjadi semakin membesar. Luka terdapat pada TD=120/80 mmHg, nadi= 84x/mnt. Nafsu makan menurun,
dorsalis pedis sinistra dan digiti I pedis dextra. merasa cepat kenyang. Porsi makan habis <1/2 porsi. Pusing (-), Evaluasi:
Nyeri (+), demam (+), kesadaran menurun saat GDS 213 mg/dl, HbA1c 8.9% Setelah dirawat selama 2 minggu hari,
dibawa ke RS. pasien keluar RS, hasil pemeriksaan
Hasil fotopedis tgl 14/9/13= osteomielitis head Integritas struktur: nyeri kaki kiri skala 4. adanya luka Post GDS 220 mg/dl, memahami
metatarsal IV pedis sinistra debridement Pedis Sinistra + digiti I pedis dextra, kulit kering. manajemen mandiri DM terutama
Ro thorax: pneumonia, aorta elongasi ABI 0.89/0.85. Leukosit 12.880/µL melakukan perawatan kaki dan senam
Tgl 15/9/2013= dilakukan debridement pedis kaki, nyeri berkurang, batuk (-),
sinistra + digiti I pedis dextra. Px memiliki Integritas personal: pasien tidak malu dengan kondisinya ronkhi (-).
riwayat DM diketahui sejak 1 th SMRS. Riwayat
HT, jantung, stroke disangkal. Ibu Px juga Integritas sosial: interaksi baik dengan pasien di sekitar, keluarga

24

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


menderita DM. Sebelum sakit px merokok 1 dan perawat.pasien kooperatif terhadap tindakan yang diberikan
batang/hr. Px kontrol ke Puskesmas setiap bulan,
mendapatkan obat minum , nama abat dan dosis Diagnosa keperawatan:
px tidak tahu.
Dx medis: DM Tipe 2, Post debridement Pedis 1) Ketidakstabilan kadar glukosa darah hipoglikemia
Sinistra + digiti I pedis dextra berhubungan dengan manajemen diabates tidak efektif
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
3) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan
dengan adanya stenosis
4) Nyeri akut berhubungan dengan agens injuri fisik

29 Ny. SY, 31 th, tamat akademi datang ke IGD Integritas energi: Manajemen hiperglikemia,
tanggal 7/12/13 dengan keluhan kaki bengkak TD=110/80 mmHg, nadi= 84x/mnt. Pernafasan regular RR= manajemen diit, infection control,
sejak 1 minggu SMRS, tidak diketahui 18x/mnt, Sesak (-), wheezing -/-, ronkhi + bilateral, Pergerakan edukasi manajemen DM, pain
penyebabnya, trauma (-). Telapak kaki kiri dada simetris. Bunyi jantung S1 S2 tunggal,. Nafsu makan control, enhance coping
awalnya hanya berwarna putih, lama kelamaan menurun, mual. Porsi makan habis ¼ porsi. Pusing+,Hb 8.8,
bengkak semakin besar, semakin nyeri dan GDS 280 mg/dl, HbA1c 13.1%. Na 138/K 3.6/Cl 99 Evaluasi:
berwarna kemerahan. GD saat masuk 563. Keton Setelah dirawat selama 9 hari, pasien
2.7. Mual (+), muntah (+). Riwayat DM sejak 5 Integritas struktur: nyeri kaki kiri skala 4, kemerahan, akral keluar RS, hasil pemeriksaan GDS
th, tidak rutin kontrol. Obat yang diminum hangat. ABI 0.9/1,0. Leukosit 11.560/µL berkisar 100-200 mg/dl, nafsu makan
glibenklamid 1x1. Pengkajian dilakukan tgl 9-12- meningkat, habis ¾ porsi, pasien
13. Integritas personal: pasien takut kakinya dioperasi memahami manajemen mandiri DM
Dx medis: abses DM pedis sinistra, DM Tipe 2, terutama melakukan perawatan kaki,
riwayat KAD. Integritas sosial: interaksi baik dengan pasien di sekitar, keluarga nyeri berkurang, ronkhi berkurang,
dan perawat pasien menyetujui dilakukan tindakan
insisi pada plantar pedis sinistra.
Diagnosa keperawatan: Penyembuhan luka baik.

1) Ketidakstabilan kadar glukosa darah hipoglikemia


berhubungan dengan manajemen diabates tidak efektif
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
3) Nyeri akut berhubungan dengan agens injuri fisik

25

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


4) Ansietas berhubungan dengan tindakan selam perawatan

30 Ny NN, 48 th, menikah, IBU Rumah Tangga. Px Integritas energi: Manajemen hiperglikemia,
dibawa ke IGD RSCM tanggal 28 November TD=110/80 mmHg, nadi= 84x/mnt. Px mengeluh batuk sejak 3 manajemen diit, infection control,
2013 karena mencret sejak 3 hr SMRS. Mencret mggu, dahak susah keluar. Pernafasan regular RR= 18x/mnt, edukasi manajemen DM: perawatan
> 10 kali sehari, ampas (-), lendir (-), darah (-). Sesak (-), wheezing -/-, ronkhi + bilateral, Pergerakan dada kaki, pain control
Ada demam yang naik turun, tidak menggigil. simetris. Bunyi jantung S1 S2 tunggal,. Nafsu makan menurun,
Mual (+), makan hanya ½ porsi. 3 bulan SMRS merasa cepat kenyang. Porsi makan habis <1/2 porsi. Pusing (-), Evaluasi:
pasien px mengalami luka di kaki kiri, luka GDS 310 mg/dl, HbA1c 9.1% Setelah dirawat selama 13 hari, pasien
digaruk, semakin membesar dan tak kunjung keluar RS, hasil pemeriksaan GDS
sembuh. Px sempat dirawat di RSCM Lt 7 selama Integritas struktur: diare (-), nyeri kaki kiri skala 3. adanya luka 220 mg/dl, memahami manajemen
½ bulan dan saat pulang mendapat terapi OAT. Post debridement Pedis Sinistra + digiti I pedis dextra, kulit mandiri DM terutama melakukan
Setelah pulang px hanya kontrol di poli bedah kering. ABI 0.9/0.87. Leukosit 11.880/µL perawatan kaki dan senam kaki, nyeri
saja, tidak pernah kontrol ke poli penyakit dalam berkurang, batuk (-), ronkhi
dan poli paru. Integritas personal: pasien ingin lekas sembuh, sudah bosan di RS berkurang, OS saat ini dalam
Dx medis saat masuk IGD: GEA dgn pemberian OAT, pasien mengatakan
hipokalemia, TB paru on OAT, Ulkus pedis DM Integritas sosial: interaksi baik dengan pasien di sekitar, keluarga akan rajin kontrol sepulang dari RS
sinistra, DM T2 dengan hipoglikemia GD 58, dan perawat.pasien kooperatif terhadap tindakan yang diberikan agar tidak masuk kembali dengan
AKI kondisi yang sama.
Selanjutnya px dipindahkan ke 708 C tgl 1 Diagnosa keperawatan:
Desember 2013 dan tgl 4 Desember 2013
dilakukan debridement ulkus pedis sinistra. 1) Ketidakstabilan kadar glukosa darah hipoglikemia
Px memiliki riwayat DM diketahui sejak 1 th berhubungan dengan manajemen diabates tidak efektif
SMRS. Riwayat HT, jantung, stroke disangkal. 2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
Ibu Px juga menderita DM. Setelah pulang dari akibat DM
RS sejak 3 bln yl, px kontrol ke poli bedah. Px 3) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan
mendapatkan OAT sejak bulan Oktober 2013. dengan adanya stenosis
Putus obat ± 1 bulan dan dilanjutkan kembali 4) Nyeri akut berhubungan dengan agens injuri fisik
dalam perawatan saat ini. 5) Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri

26

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


PROSEDUR PENGUKURAN ABI

1. Posisikan pasien supine selama 5 menit sebelum pemeriksaan


2. Ukur tekanan darah sistolik pada kedua lengan dan pada kedua ankle,
yaitu pada arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior.
3. Letakkan manset sekitar 1 inci diatas fossa antecubital untuk mengukur
tekanan sistolik brachial dan sekitar 2 inci diatas medial meleolus untuk
menilai tekanan ankle.
4. Pastikan sinyal denyut nadi arteri harus terdengar dengan jelas
menggunakan probe Doppler sebelum manset dipompa.
5. Pompa manset minimal 20 mmHg diatas tanda dimana suara arterial
Doppler telah menghilang, selanjutnya secara perlahan pompa
dikendorkan hingga suara Doppler muncul kembali. Suara doppler
pertama yang muncul itulah yang disebut tekanan darah sistolik pada
pembuluh darah tersebut.
6. Tentukan nilai ABI
Nilai ABI ditentukan dengan membagi nilai tertinggi dari dua tekanan
sistolik ankle pada masing-masing kaki dengan nilai tertinggi dari dua
tekanan sistolik brachial. Nilai tertinggi dari dua tekanan brachial
digunakan sebagai denominator untuk menilai kemungkinan stenosis arteri
subklavia, yang mampu menurunkan tekanan darah pada ekstremitas atas.
Penilaian ABI dilakukan pada masing-masing kaki dan nilai terendah
merupakan nilai ABI keseluruhan pasien.
7. Instruksikan pasien untuk melakukan heel rise exercise selama 30 detik.
Ketinggian tumit dan kecepatan gerak disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing pasien.
8. Posisikan pasien supine, segera ukur ABI kembali setelah latihan selesai
dilakukan.

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


Lampiran 4

PROSEDUR PENGUKURAN ABI

1. Posisikan pasien supine selama 5 menit sebelum pemeriksaan


2. Ukur tekanan darah sistolik pada kedua lengan dan pada kedua ankle,
yaitu pada arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior.
3. Letakkan manset sekitar 1 inci diatas fossa antecubital untuk mengukur
tekanan sistolik brachial dan sekitar 2 inci diatas medial meleolus untuk
menilai tekanan ankle.
4. Pastikan sinyal denyut nadi arteri harus terdengar dengan jelas
menggunakan probe Doppler sebelum manset dipompa.
5. Pompa manset minimal 20 mmHg diatas tanda dimana suara arterial
Doppler telah menghilang, selanjutnya secara perlahan pompa
dikendorkan hingga suara Doppler muncul kembali. Suara doppler
pertama yang muncul itulah yang disebut tekanan darah sistolik pada
pembuluh darah tersebut.
6. Tentukan nilai ABI
Nilai ABI ditentukan dengan membagi nilai tertinggi dari dua tekanan
sistolik ankle pada masing-masing kaki dengan nilai tertinggi dari dua
tekanan sistolik brachial. Nilai tertinggi dari dua tekanan brachial
digunakan sebagai denominator untuk menilai kemungkinan stenosis arteri
subklavia, yang mampu menurunkan tekanan darah pada ekstremitas atas.
Penilaian ABI dilakuian pada masing-masing kaki dan nilai terendah
merupakan nilai ABI keseluruhan pasien.
7. Instruksikan pasien untuk melakukan heel rise exercise selama 30 detik.
Ketinggian tumit dan kecepatan gerak disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing pasien.
8. Posisikan pasien supine, segera ukur ABI kembali setelah latihan selesai
dilakukan.

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


PANDUAN

Latihan Kekuatan dan Keseimbangan


pada Diabetes Melitus dengan
Neuropati

Semoga Bermanfaat

Kelompok Residensi Endokrin RSCM:


Desak Made Widyanthari
Fiolenti B.M Sitorus Nama : …………………………………………..…………...

Jon Hafan Sutawardana


Titi Iswanti Afelya Umur : ……………..………………………………………...

Alamat : ……………………………………………………….

Copy right
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2014 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2014

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


Page 2 LATIHAN KEKUATAN OTOT KAKI LEMBAR PEMANTAUAN LATIHAN Page 7

Pengertian No Penilaian Bln Bln Bln Bln Bln Bln


ke-0 ke-2 ke-4 Ke-6 ke-8 ke-
Latihan kekuatan adalah jenis latihan fisik yang dilakukan 10
dengan memberikan tahanan atau beban pada kaki. 1. Waktu Berdiri tandem
(detik)
Latihan keseimbangan adalah latihan fisik yang dilakukan
untuk mempertahankan kontrol tubuh yang tepat, baik dalam 2. Jumlah langkah berjalan
posisi diam maupun bergerak. tandem (dalam 1 menit)
3. Waktu berdiri unipedal
(detik)
Tujuan Latihan
4. Tes waktu berdiri dan
Latihan ini bertujuan untuk mencegah jatuh dengan mening- berjalan dalam 3 meter
katkan kekuatan otot dan keseimbangan tubuh pada orang (detik)
dengan diabetes yang mengalami gangguan saraf pada 5. Waktu selama 5 kali
tungkai bawah. berdiri dari kursi (detik)
6. Waktu tempuh berjalan
10 meter (detik)
Hal-hal yang perlu diperhatikan
Paraf pemeriksa
1. Latihan ini terdiri dari 5 (lima) gerakan, dengan masing- masing
gerakan dilakukan selama 2-3 menit.
2. Latihan dilakukan 3 (tiga) kali dalam satu minggu (misalnya:
senin, rabu dan jumat)
3. Latihan ini dilakukan dengan pendampingan (pelatih atau ang-
Referensi
gota keluarga).
Allet L, Armand R, Golay A, Monnin D, Aminian K, Staal et al. 2010.
Keseimbangan gaya berjalan pada pasien diabetes dapat diperbaiki: a
randomized controlled trial. Diabetologia; 53: 458-466
Persiapan Pasien
Iwamoto, J., Suzuki, H., Tanakaka, Kumakubo, T., Hirabyasi, H., et al.
1. Gunakan alas kaki yang sesuai dan tidak licin. (2009). Pengaruh latihan untuk mencegah risiko jatuh pada lansia: ran-
2. Segera hentikan latihan jika merasa pusing. domized controlled trial. Osteoporost int. 20: 1233-1240

Morrison S, Colberg S, Mariano M, Parson H, Vinik A. (2010). Latihan


Keseimbangan menurunkan risiko jatuh pada penyandang DM tipe 2.
Diabetes Care;33 (4): 748-750

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


LATIHAN MELANGKAH
Page 6 1. KESEIMBANGAN TUBU H Page 3

Latihan keseimbangan terdiri dari 3 (tiga) gerakan yaitu berdiri


1 2
tandem, berjalan tandem dan berdiri unipedal

Pasien berdiri dengan satu kaki


berada di depan kaki yang lain.
Kedua tangan menyilang di
dada. Pandangan mata ke
depan.

Gerakan dilakukan selama 3


menit pada masing-masing ka-
ki, 2 set/hari.
3 4

Latihan dilakukan dengan gerakan 1 langkah ke depan,


belakang, ke kanan dan ke kiri dengan tangan menyilang
di depan dada. Gerakan dilakukan sebanyak 10 kali, 3 set/
hari .

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


Page 4 LATIHAN KEKUATAN OTOT KAKI LATIHAN KEKUATAN OTOT KAKI Page 5

1 2
B Berjalan Tandem

3 4
4. BERDIRI SEMI-TANDEM
Pasien berjalan dengan satu kaki berada di depan kaki yang
lain.Berjalan sebanyak 10 langkah, dilakukan 5 set/hari.

C Berdiri Unipedal

Pasien berdiri dengan satu


kaki, kedua tangan menyilang
di dada dan pandangan mata
lurus ke depan

Lakukan bergantian pada kaki


yang lain.

Gerakan dilakukan selama 3


menit pada masing-masing Pasien berdiri dari kursi tanpa berpegangan, kemudian duduk
kaki, 2 set/hari kembali. Gerakan dilakukan sebanyak 10 kali, 3 set/hari.

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


Lampiran 6

LEMBAR KUISIONER BOOKLET

A. Data Demografi Pasien


Nama Pasien :
Umur :
Lama DM :
Status Pendidikan :

B. Petunjuk Pengisian Kuisioner Booklet


Setelah anda melihat dan membaca booklet “Panduan Latihan Kekuatan
dan Keseimbangan pada pasien Diabetes Melitus dengan Neuropati”,
isilah lembar pertanyaan di bawah ini dengan memberikan tanda silang
(X) pada pilihan jawaban yang sesuai dengan pendapat anda terkait isi
booklet.

Sangat
Tidak
Sangat Baik Tidak
No Pertanyaan Baik
Baik
1 2 3 4
Informasi yang diberikan jelas
1
dan mudah dimengerti
Tulisan dapat dibaca dengan
2
jelas
Tampilan dan warna gambar
3
jelas
Booklet ini media yang praktis
4
untuk digunakan.
5 Manfaat booklet
Buku ini akan saya gunakan Ya Tidak
untuk petunjuk latihan mandiri
6 di rumah dan sebagai media
informasi dan komunikasi
dengan petugas poli Endokrin

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014


Lampiran 7
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Desak Made Widyanthari


Tempat/tanggal lahir : Tambahan/ 30 Agustus 1985
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : PNS
Alamat rumah : Jl. Batuyang Gang Bangau XB no 9X Batubulan-Gianyar
Alamat Institusi : PSIK FK UNUD, Jl PB Sudirman Denpasar
Riwayat pendidikan :
Lulus Sekolah Dasar Negeri 5 Kawan Bangli tahun
1997
Lulus SLTP N 1 Bangli tahun 2000
Lulus SMUN 4 Denpasar tahun 2003
Lulus S1 Keperawatan PSIK Universitas Airlangga
Surabaya tahun 2007
Lulus Ners PSIK Universitas Airlangga Surabaya
tahun 2008
Riwayat Pekerjaan :
2008-sekarang : PSIK FK Universitas Udayana

Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai