ii
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmataNya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan praktek residensi spesialis
keperawatan medikal bedah ini. Selama proses pelaksanaan praktik residensi
selama 1 tahun hingga penulisan laporan Karya Ilmiah Akhir ini penulis
mendapat banyak bantuan, bimbingan, motivasi dan doa dari berbagai pihak,
karena itu pada kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada:
1. Dr. Ratna Sitorus, S.Kp., M.APP.Sc., selaku Supervisor Utama yang telah
memberikan bimbingan dengan penuh perhatian dan kesabaran pada penulis
dalam penyusunan laporan ini.
2. Yulia, S.Kp.,MN.,PhD selaku Supervisor yang telah memberikan bimbingan
dan arahan dengan penuh kesabaran pada penulis dalam penyusunan laporan
ini.
3. Yunisar Gultom, SKp.,MCIN selaku Supervisor Klinik yang telah
membimbing penulis selama menjalani praktek residensi di RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta.
4. Dra. Juaniti Sahar, M.App.Sc., PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
5. Direktur RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta beserta staf struktural
maupun fungsional yang telah memberikan ijin dan kesempatan pada kami
untuk melakukan kegiatan praktek residensi.
6. Penanggung jawab, Kepala ruangan dan perawat ruangan lantai 7 Gedung A ,
Poliklinik penyakit dalam dan IGD RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis selama
melakukan kegiatan praktek residensi.
7. Teman sejawat Program Residensi Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu
Keperawatan angkatan 2011 yang telah memberikan dukungan moril selama
penyusunan laporan ini.
Tiada kata yang indah dan tulus selain ucapan terimakasih untuk semua bantuan,
dukungan dan doa yang telah diberikan kepada penulis, semoga Tuhan yang
Maha Pengasih dan Penyayang yang akan membalas dengan kebaikan.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran demi
penyempurnaan laporan ini sangat dibutuhkan dan semoga laporan ini bermanfaat
bagi pengembangan dan peningkatan ilmu keperawatan.
Depok,
Penulis
vi
Kata kunci: model konservasi Levine, Peripheral Arterial Disease (PAD), booklet
latihan kekuatan dan keseimbangan
viii
This report aims to describe the analysis of nursing care for diabetic patients with
Peripheral Arterial Disease (PAD) using Levine’s conservation model as a
framework. 31 diabetic patients involve in this care. The Evidence Based Nursing
Practice (EBNP) project was conducted to improve the measurement intervention
of Ankle Brachial Index (ABI) post exercise in diabetic patients with intermitten
claudicatio. The inovation project produce guideline booklet of strength and
balance exercise in patients with diabetic peripheral neuropathy. The analysis
shows that Levine’s conservation model could be applied in the care for patients
with diabetes and the ABI measurement shows more objective results following
exercise. Diabetic patients with peripheral neuropathy are benefited from the
strength and balance exercise training are given from the booklet.
ix
HALAMAN JUDUL................................................................................... i
PERNYATAAN KEASALIAN .................................................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................ v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................................... vii
ABSTRAK .................................................................................................. viii
ABSTRACT ................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ............................................................................................... x
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiv
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Tujuan Penelitian .......................................................................... 5
1.3 Manfaat Penelitian ........................................................................ 5
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep DM
2.1.1. Definisi .............................................................................. 7
2.1.2. Patofisiologi ...................................................................... 7
2.1.3. Diagnosis DM ................................................................... 9
2.1.4. Faktor risiko ...................................................................... 10
2.1.5. Komplikasi DM................................................................. 10
2.1.6. Penatalaksanaan ................................................................ 15
2.2 Konsep PAD
2.2.1. Definisi ................................................................................ 24
2.2.2. Patofisiologi ........................................................................ 25
2.2.3. Faktor risiko PAD ............................................................... 26
2.2.4. Diagnosis PAD .................................................................... 28
2.2.5. Penatalaksanaan PAD ......................................................... 29
2.3 Konsep Model Konservasi Levine
2.3.1. Biografi Myra Estrin Levine ............................................... 33
2.3.2. Konsep utama model konservasi ......................................... 33
2.3.3. Paradigma keperawatan ...................................................... 35
2.3.4. Prinsip-prinsip konservasi ................................................... 36
2.3.5. Proses keperawatan model konservasi Levine .................... 39
2.4 Penerapan model levine pada pasien DM ..................................... 42
xi
Tabel 4.1 Distribusi responden berdasarkan usia, lama DM, nilai ABI saat 81
istirahat dan setelah latihan
xii
xiii
xiv
Diabetes merupakan satu ancaman utama bagi kesehatan manusia. Menurut atlas
IDF tahun 2013, jumlah pasien diabetes di dunia telah mencapai 382 juta orang
dan prevalensinya diperkirakan akan meningkat 55% menjadi 592 juta orang pada
tahun 2035. Indonesia menempati urutan ke tujuh setelah Cina, India,USA, Brazil,
Rusia dan Meksiko untuk populasi 10 negara utama penederita DM dengan usia
20-79 tahun (IDF, 2013). Jumlah populasi pasien diabetes yang berusia 20-79
tahun di Indonesia mencapai 8.554.170 orang, dengan prevalensi diabetes
nasional mencapai 5.55% dan angka kematian akibat DM mencapai 172.601
orang. Jumlah pasien DM tipe 2 dengan komplikasi di ruang rawat inap RSCM
selama tahun 2013 yaitu 1151 pasien dan DM tipe 1 dengan komplikasi sebanyak
8 pasien. Sejak tanggal 1 Januari hingga tanggal 24 Juni 2014, jumlah pasien DM
tipe 2 dengan komplikasi di ruang rawat inap sebanyak 368 pasien dan DM tipe 1
dengan komplikasi sebanyak 5 pasien (Rekam Medik RSCM, 2014).
1 UNIVERSITAS INDONESIA
Seperti yang telah diuraikan diatas, dengan semakin meningkatnya jumlah pasien
diabetes, maka dilakukan berbagai upaya untuk mencegah perkembangan diabetes
itu sendiri. Menurut WHO, upaya pencegahan diabetes terdiri dari; pencegahan
primer yang bertujuan untuk mencegah timbulnya hiperglikemia pada populasi
umum, pencegahan sekunder untuk menemukan pasien DM itu sendiri dan
pencegahan tersier untuk mencegah komplikasi atau kecatan lebih lanjut. Dalam
melaksanakan upaya pencegahan, sasaran utama yang ingin dicapai yaitu
mendidik masyarakat agar memiliki gaya hidup yang sehat dan menghindari pola
hidup yang berisiko. Oleh karena itu, untuk menghindari ledakan jumlah pasien
diabetes dan komplikasi yang menyertai, diperlukan kerjasama multidisplin, yaitu
tim dokter, perawat, ahli gizi atau tenaga keseahatan lainnya.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
3
keperawatan melalui upaya promotif dan preventif serta dapat mengelola masalah
kesehatan dalam area praktik klinik spesialis. Menurut PPNI (2005), ners spesialis
diharapkan mampu menguasai sains keperawatan lanjut, mengelola asuhan
keperawatan secara terampil dan inovatif dalam upaya promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif untuk memenuhi kebutuhan bio-psiko-sosio-spiritual secara
holistik dan berdasarkan pada standar asuhan keperawatan serta standar prosedur
operasional, memperhatikan keselamatan pasien, rasa aman dan nyaman;
melakukan riset berbasis bukti klinik dalam menjawab permasalahan sains,
teknologi dalam bidang spesialisasinya; mampu bekerjasama dengan tim
keperawatan lain dan berkolaborasi dengan tim kesehatan lain.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
4
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
5
Berdasarkan uraian diatas, maka residen akan memaparkan laporan praktik selama
di rumah sakit, yang meliputi laporan analisis kasus kelolaan dengan pendekatan
model konservasi Levine, analisis penerapan EBN dan pemaparan analisis proyek
inovasi yang secara keseluruhan diharapkan dapat meningkatkan derajat
kesehatan pasien serta meningkatkan pelayanan kesehatan yang optimal.
1.2 Tujuan penulisan
1.2.1 Tujuan Umun
Penulisan Karya Ilmiah Akhir ini bertujuan untuk memaparkan seluruh kegiatan
paraktik residensi Keperawatan Medikal Bedah peminatan Sistem endokrin yang
meliputi analisis penerapan model konservasi Levine dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien diabetes melitus, penerapan Evidence Based Nursing
dan proyek inovasi keperawatan yang dilaksanakan di RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
6
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dipaparkan mengenai penyakit Diabetes Melitus (DM),
Peripheral Arterial Disease (PAD) dan konsep model konservasi Levine
2.1 Konsep DM
2.1.1 Definisi
DM merupakan suatu penyakit metabolik yang bersifat kronik dan
progresif, terjadi akibat ketidakmampuan pankreas dalam memproduksi
insulin, penurunan jumlah insulin atau resistensi insulin sehingga
mengakibatkan terjadinya hiperglikemia (Black & Hawk, 2009; ADA, 2014;
WHO, 2013).
2.1.2 Patofisiologi
Pada DM tipe 1, kondisi autoimun akan mengakibatkan kerusakan sel beta
pankreas. Infiltrasi pankreas oleh makrofag yang teraktivasi, limfosit T
sitotoksik dan supresor serta limfosit B menimbulkan insulitis destruktif
pada sel beta pankreas. Sekitar 70-90% sel beta akan hancur sebelum gejala
klinik muncul. Kondisi tersebut akan mengakibatkan defisiensi insulin
absolut sehingga terjadi hiperglikemia (Greenstein & Wood, 2010).
7 UNIVERSITAS INDONESIA
insulin dan defisiensi insulin relatif. Kondisi ini umumnya berkaitan dengan
obesitas dan menurunnya aktifitas fisik. Normalnya, insulin akan berikatan
dengan reseptor khusus pada permukaan sel, selanjutnya akan terjadi
rangkaian reaksi metabolisme glukosa di dalam sel tersebut. Adanya
resistensi insulin mengakibatkan penurunan reaksi intrasel, sehingga insulin
menjadi tidak efektif dalam pengambilan glukosa oleh sel, akibatnya
timbullah hiperglikemia. Sebagai kompensasi dari resistensi insulin dan
meningkatnya kadar glukosa dalam darah, maka terjadi peningkatan sekresi
insulin atau hiperinsulinemia. Lama-kelamaan sel beta pancreas tidak
mampu lagi mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin hingga
menyebabkan terjadinya hiperglikemia dan penurunan sel beta secara
progresif yang menciptakan suatu kondisi yang menyerupai DM tipe 1,
yaitu sel beta samasekali tidak bisa mensekresi insulin (Inzucchi, 2005;
Unger, 2007).
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
9
2.1.3 Diagnosis DM
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
10
2.1.5 Komplikasi DM
Menurut Smeltzer & Bare (2003) dan Black & Hawks (2009), komplikasi
pada DM dapat dibagi menjadi dua, yaitu komplikasi akut dan komplikasi
kronik.
a. Komplikasi akut
Komplikasi akut meliputi hipoglikemia, ketoasidosis diabetic (KAD)
dan sindrom koma hiperglikemik hiperosmolar non ketotik (HHNK).
Hipoglikemia terjadi jika kadar glukosa darah turun dibawah 50
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
11
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
12
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
13
b. Komplikasi kronik
Komplikasi kronik DM akan terjadi jika pasien kehilangan kontrol
glikemik dalam jangka waktu tertentu. Komplikasi kronik dibagi
menjadi dua yaitu makrovaskuler dan mikrovaskuler. Komplikasi
makrovaskuler meliputi penyakit arteri koroner, penyakit
cerebrovaskuler, hipertensi, peripheral vascular disease. Komplikasi
mikrovaskuler meliputi retinopati, nefropati dan neuropati.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
14
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
15
2.1.6 Penatalaksanaan
Tujuan jangka pendek penatalaksanaan DM adalah menghilangkan gejala
atau keluhan DM dam mempertahankan rasa nyaman dan sehat, sedangkan
tujuan jangka panjangnya yaitu mencegah penyulit dan progresifitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati dengan tujuan akhirnya
menurunkan morbiditas dan mortalitas. Untuk mencapai tujuan tersebut,
terdapat empat pilar yang harus dilaksanakan, yaitu; edukasi, perencanaan
makanan, latihan jasmani dan farmakoterapi (PERKENI, 2011).
a. Edukasi
Edukasi merupakan bagian integral dari perawatan pasien diabetes.
Edukasi diabetes merupakan pendidikan dan latihan yang diberikan
untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam perawatan
diabetes, yang diberikan pada setiap pasien diabetes, anggota keluarga,
kelompok masyarakat yang berisiko tinggi terkena DM maupun pehak-
pihak perencana pembuat kebijakan kesehatan (Waspadji, Sukardji &
Octarina, 2009). Dengan meningkatnya pengetahuan diharapkan terjadi
perubahan perilaku dan peningkatan kepatuhan yang pada akhirnya
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
16
b. Perencanaan makanan
Tujuan penatalaksanaan diit pada pasien DM yaitu untuk mencapai dan
mempertahankan kadar glukosa darah dan lipid mendekati normal,
mempertahankan berat badan dalam batas ideal, mencegah komplikasi
akut dan kronik serta meningkatkan kualitas hidup (Waspadji, Sukardji
& Octarina, 2009). Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan
komposisi yang seimbang, dengan memperhatikan 3J, yaitu jumlah,
jadwal dan jenis diit (Tjokroprawiro, 2006). Hal yang harus diperhatikan
terkait jumlah dan jenis diit ini yaitu indeks glikemik makanan. Indeks
glikemik merupakan respon glukosa darah tubuh terhadap makanan
dibandingkan dengan respons glukosa darah terhadap glukosa murni dan
indeks glikemik ini berguna untuk menentukan respon glukosa darah
terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Indeks glikemik
bahan makanan berbeda-beda tergantung dari fisiologi, bukan pada
kandungan bahan makanan (Waspadji, Sukardji & Octarina, 2009).
Makanan dengan indeks glikemik tinggi cepat dicerna dan diserap
sehingga gula darah juga akan cepat meningkat, sedangkan makanan
dengan indeks glikemik rendah lebih lambat untuk dicerna dan diserap,
peningkatan kadar glukosa pun akan terjadi secara perlahan-lahan.
Selain itu, makanan dengan indeks glikemik rendah mampu mengontrol
berat badan dengan memperlambat munculnya rasa lapar yang sangat
bermanfaat bagi pasien DM.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
17
Ada 8 jenis standar diit menurut kandungan energi yaitu dari 1100-2500
kkal. Adapun syarat diit penyakit DM menurut (Waspadji, Sukardji &
Octarina, 2009) yaitu cukup kalori untuk mencapai dan mempertahankan
berat badan ideal. Untuk menghitung jumlah kalori yang diperlukan,
terlebih dahulu dihitung jumlah kebutuhan ideal dengan menggunakan
rumus broca, yaitu: 90% x (TB dalam cm-100) x1 kg, namun jika tinggi
badan laki-laki < 160 cm atau perempuan < 150 cm, maka rumus yang
berlaku= (tinggi badan dalam cm-100) x 1 kg. Selanjutnya dihitung
kebutuhan kalori basal yaitu 30 kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25
kkal/kgBB untuk wanita. Selanjutnya kebutuhan kalori basal ditambah
dengan faktor koreksi. Faktor koreksi tersebut yaitu kebutuhan kalori
untuk aktifitas (10-30% sesuai dengan jenis aktifitas dan kalori yang
dikeluarkan), koreksi status gizi (gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan
kondisi stress (infeksi, dsb). Makanan dibagi dalam 3 porsi besar, yaitu
makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi kecil
untuk makanan selingan masing-masing 10-15% (Almatsier, 2010).
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
18
c. Latihan jasmani
Latihan fisik secara teratur sangat penting dalam penatalaksanaan DM.
Menurut Leutholtz & Ripoll (2011) manfaat latihan fisik pada individu
dengan DM yaitu: meningkatkan kesehatan jasmani, meningkatkan
jumlah mitokondria otot, mencegah dan mengurangi obesitas,
memperbaiki profil lipid, mengontrol kadar glukosa darah,
meningkatkan jumlah enzim oksidatif pada otot, meningkatkan densitas
kapiler otot, mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler serta bermanfaat
secara psikososial. Saat melakukan latihan maka kebutuhan otot
terhadap glukosa akan meningkat, terjadi penurunan kebutuhan insulin
dan peningkatan glukagon (Inzucchi, 2005). Selain itu, latihan juga akan
meningkatkan aliran darah sehingga banyak kapiler akan terbuka dan
lebih banyak reseptor insulin akibatnya reseptor menjadi lebih aktif
(Sudoyo,2009).
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
19
Penderita DM tipe I yang memiliki kadar glukosa darah ≥ 250 mg/dl dan
terdapat keton dalam urinnya serta penderita DM tipe II dengan kadar
glukosa ≥ 300 mg/dl mutlak tidak boleh melakukan olahraga Setelah
berolahraga selama 10 menit akan terjadi peningkatan glukosa 15 kali
jumlah kebutuhan pada keadaan biasa, sehingga jika diabetisi mengalami
hiperglikemi dan tetap melakukan latihan maka dapat mengakibatkan
produksi kadar glukosa darah dan badan keton yang dapat berakibat
fatal. (Barnes, 2012).
d. Farmakoterapi
Ketika individu telah melaksanakan perencanaan makanan dan latihan
fisik namun kadar glukosa darahnya belum terkendali, maka dibutuhkan
upaya yang lebih agresif melalui pemberian tindakan farmakologik tanpa
mengesampingkan upaya nonfarmakologik sebelumnya. Upaya
farmakologi tersebut dilakukan melalui pemberian obat hipoglikemik
oral (OHO), kombinasi OHO dengan insulin maupun terapi insulin saja.
Indikasi pemberian OHO menurut Soegondo, Soewondo & Subekti
(2013), yaitu: individu dengan usia lebih dari 40 tahun, mengalami
diabetes kurang dari lima tahun, memerlukan insulin dengan dosis
kurang dari 40 unit sehari serta DM tipe 2 dengan berat badan normal
atau lebih. Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan,
yaitu: pemicu sekresi insulin (insulin sekretagok), penambah sensitivitas
terhadap insulin, penghambat alfa glukosidase (acarbose) dan golongan
inkretin.
1) Pemicu sekresi insulin
Yang termasuk obat golongan ini yaitu golongan sulfonilurea dan
glinid. Golongan sulfonilurea seperti klorpropamid, glibenklamid,
glikasid, glikuidon, glipsid dan glimepirid. Golongan sulfonilurea
bekerja dengan meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
20
dan sebaiknya tidak diberikan pada penyakit hati, ginjal dan tiroid.
Efek samping pemberian golongan sulfonilurea meningkatkan berat
badan dan menyebabkan hipoglikemia, terutama glibenklamid,
sehingga pasien perlu diingatkan untuk melakukan jadwal makanan
yang ketat. Untuk memperoleh hasil yang baik, sulfonilurea
sebaiknya diberikan 1 jam sebelum makan untuk memperbaiki
pelepasan insulin fase pertama dan atau menjelang tidur untuk
mengurangi produksi glukosa oleh hepar (Unger, 2007). Obat
golongan glinid yaitu repaglinid dan nateglinid. Cara kerja obat ini
sama dengan golongan sulfonilurea dengan meningkatkan sekresi
insulin fase pertama.
2) Penambah sensitifitas terhadap insulin
Contoh obat ini yaitu golongan biguanid dan tiazolindion/glitazon.
Biguanid tidak merangsang sekresi insulin, ia bekerja di hati dengan
mengurangi hepatic glucose output dan menurunkan kadar glukosa
darah sampai normal (euglikemia) serta tidak mengakibatkan
hipoglikemia. Contoh obat golongan biguanid ini yaitu metformin
dengan efek samping yang ditimbulkan yaitu nausea, muntah, diare
sehingga lebih tepat jika obat ini diberikan pada pasien yang gemuk.
Obat ini sebaiknya diberikan bersama makanan dan bila dalam
bentuk XR dapat diberikan pada waktu makan malam. Adapun
kontraindikasi pemberian metformin yaitu; adanya ganguan fungsi
ginjal (kreatinin ≥ 1,5 mg/dL untuk laki-laki dan ≥ 1,4 mg/dL untuk
perempuan), gangguan fungsi hati, asidosis metabolik, usia lanjut
dan gagal jantung. Obat lainnya yaitu golongan tiazolindion atau
glitazon dengan contoh obat golongan ini yaitu pioglitazon dan
rosiglitazon. Obat ini bekerja dengan menurunakan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa yang
mengakibatkan peningkatan ambilan glukosa perifer dan
menghambat glukoneogenesis dan glikogenolisis hepar. Pemberian
obat ini tidak bergantung pada jadwal makan dan kontraindikasi
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
21
Selain pemberian obat oral hipoglikemia oral, terapi farmakologi lain yang
diberikan pada pasien DM yaitu terapi insulin. Menurut PERKENI (2011),
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
22
indikasi mutlak pemberian terapi insulin yaitu pada DM tipe 1, sedangkan indikasi
relatif pemberian insulin yaitu bila gagal mencapai target dengan penggunaan
kombinasi OHO dosis optimal (3-6 bulan), DM tipe 2 dengan kehamilan, TB
paru, kaki diabetik terinfeksi, fluktuasi gula darah yang tinggi, riwayat ketosis
berulang, riwayat pankreotomi, kondisi tertentu seperti penyakit hati kronik,
gangguan fungsi ginjal dan terapi steroid dosis tinggi. Berdasarkan puncak dan
jangka waktu efeknya, insulin dikategorikan menjadi empat yaitu; 1) insulin kerja
singkat (short acting) yang merupakan satu-satunya insulin jernih atau larutan
insulin, contoh actrapid dan humulin R, 2) insulin kerja cepat (rapid acting) yang
cepat diabsorbsi, contoh: novorapid, humaloh, apidra, 3) insulin kerja sedang
yaitu NPH, termasuk monotard, insulatard dan humulin N yang kadang sebagai
penyebab reaksi imunologik, yaitu urtikaria pada lokasi suntikan, 4) insulin kerja
panjang, seperti ultralente, glargine (lantus) dan determir (levemir).
Yang perlu diketahui mengenai farmakokinetik insulin yaitu awal kerja, puncak
kerja dan lama kerja. Berdasarkan gambar diatas dapat kita lihat bahwa pada
insulin kerja cepat seperti lispro (humalog) dan aspart (novorapid) memiliki awal
kerja yang cepat yaitu 5-15 menit dengan puncak kerja 30-90 menit dan lama
kerja 4-6 jam. Pada insulin kerja pendek seperti Humulin R atau actrapid,
memiliki awal kerja 30-60 menit, puncak kerja 2-3 jam dan lama kerja 6-10 jam.
Insulin kerja menengah seperti humulin N dan insulatard memiliki awal kerja 2-4
jam, puncak kerja 4-10 jam dan lama kerja 12-20 jam. Insulin kerja panjang
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
23
mempunyai kadar zink yang tinggi untuk memperpanjang waktu kerjanya. Yang
termasuk dalam jenis ini yaitu ultra lente dan PZI (sudah tidak beredar di
Indonesia), ia memiliki awal kerja 6-10 jam, puncak kerja 10-16 jam dan lama
kerja 18-24 jam. Insulin basal seperti glargine (lantus) dan detemir (levemir),
dapat memenuhi kebutuhan basal insulin selama 24 jam dengan awal kerja 2-4
jam tanpa adanya efek puncak. Insulin ini mulai banyak digunakan dalam terapi
kombinasi baik dengan insulin (Hirsh, 2005 ; Soegondo, Soewondo & Subekti,
2013).
Kebutuhan insulin harian yaitu 0.2unit/kgBB. Insulin basal sebanyak 50% dari
kebutuhan insulin harian. Insulin prandial sebanyak 50% dari kebutuhan insulin
harian total dan dibagi menjadi 3 dosis. Untuk sebagian besar pasien bukan
penyakit kritis yang diterapi dengan insulin , sasaran glukosa darah sebelum
makan < 140 mg/dl dan glukosa darah acak < 180 mg/dl. Pada pasien yang
mendapat terapi insulin intravena akan membutuhkan transisi ke insulin subkutan
jika mereka mulai memakan makanan biasa. Insulin subkutan harus diberikan 1-4
jam sebelum infus iv dihentikan untuk mencegah hiperglikemia. Biasanya dosis
insulin subkutan yang diberikan antara 75-80% dari dosis insulin iv harian total,
selanjutnya dibagi proporsional menjadi komponen basal dan prandial
(PERKENI, 2011).
Untuk mencegah terjadinya komplikasi akut maupun kronik pada pasien DM,
tindakan pemantauan glukosa darah sangat penting. Pemantauan glukosa darah
bertujuan untuk mengetahui apakah sasaran telah mencapai target sasaran dan
pemeriksaan glukosa darah yang dilakukan meliputi pemeriksaan glukosa darah
puasa, glukosa darah 2 jam post prandial atau glukosa darah pada waktu yang lain
secara berkala sesuai kebutuhan. Selain pemantauan glukosa darah, pemeriksaan
HbA1C atau tes hemoglobin terglikosilasi juga dilaksanakan untuk menilai efek
perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya dan pemeriksaan ini hendaknya
dilakukan setiap 3 bulan atau minimal 2 kali dalam setahun (PERKENI, 2011).
Pada pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin dianjurkan
untuk melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dengan
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
24
menggunakan alat glukometer yang dijual bebas dan menggunakan darah kapiler.
Waktu pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan yaitu pada saat sebelum
makan, 2 jam setelah makan untuk menilai ekskursi maksimal glukosa, menjelang
waktu tidur untuk menilai risiko hipoglikemia dan diantara siklus tidur untuk
menilai adanya hipoglikemia nokturnal tanpa gejala atau ketika mengalami gejala
hypoglycemic spells (PERKENI, 2011).
Pengukuran glukosa urin hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak
mau memeriksa kadar glukosa darah, dimana batas ekskresi glukosa renal rata-
rata sekitar 180 mg/dL dan bervariasi pada beberapa pasien serta sangat
bergantung pada fungsi ginjal yang tidak dapat digunakan untuk menilai
keberhasilan terapi. Pemeriksaan lain yang tidak kalah penting yaitu pemeriksaan
benda keton dalam darah maupun dalam urin terutama pada pasien dengan
glukosa darah >300 mg/dL. Nilai normal asam beta hidroksibutirat darah yaitu <
0.6 mmol/L, diatas 1.0 mmol/L disebut ketosis dan >3.0 mmol/L indikasi adanya
KAD. Pengukuran kadar glukosa darah dan benda keton secara mandiri
bermanfaat untuk mencegah terjadinya komplikasi akut, terutama KAD
(PERKENI, 2011).
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
25
daerah ekstremitas bawah dan terjadi ketika pembuluh darah menyempit akibat
aterosklerosis.
2.2.2. Patofisiologi
Diabetes mengakibatkan abnormalitas endothelium, sel otot polos dan
platelet yang mengakibatkan gangguan pada vaskuler. Pada diabetes,
hiperglikemia, peningkatan asam lemak bebas dan resistensi insulin akan
mengakibatkan gangguan pada sel endotel. Kondisi ini mengakibatkan
gangguan fungsi endotel, vasokontriksi, meningkatkan inflamasi dan
meningkatkan thrombosis. Penurunan Nitric Oxide (NO) dan peningkatan
endotelin-1 dan angiotensin II meningkatkan tonus vascular, pertumbuhan
dan migrasi sel otot polos. Aktifasi dan transkripsi Nuclear Factor kappa ß
(NF-kB) serta activator protein-1 mengakibatkan respon inflamasi, melalui
peningkatan kemokin, sitokin dan adhesi molekul selular. Peningkatan
produksi faktor jaringan dan plasmin activator inhibitor 1 mengakibatkan
protrombotik melieu, mengakibatkan penurunan endothelium diikuti NO
serta aktivasi prostasiklin platelet. Hilangnya endothelium yang diikuti
penurunan NO mengakibatkan peningkatan aktivitas proinflamasi (NF-
kB), adhesi molekul leukosit, produksi kemokin dan sitokin. Kondisi ini
meningkatkan monosit dan migrasi sel otot polos, formasi makrofag ke
daerah intima vaskuler sehingga timbul aterogenesis (ADA, 2003;
Beckman, Creager & Libby, 2002)
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
26
paha terjadi jika obstruksi pada aorta atau arteri iliaka dan beberapa
diantaranya juga berhubungan dengan disfungsi erektil. Klaudikasio pada
daerah betis yang paling dijumpai umumnya terjadi karena otot
gastrocnemius mengkonsumsi paling banyak oksigen selama ambulasi
disbanding otot tungkai lainnya, terjadi pada pasien yang mengalami
stenosis femoral dan popliteal. Klaudikasio pada kaki atau pergelangan
kaki terjadi jika adanya gangguan pada arteri tibial dan peroneal (Norgren
et al, 2007).
Menurut survey yang dilakukan oleh The National Health and Nutrition
examination di US, ditemukan nilai ABI <0.9 pada ras non Hispanic-black (7.8%)
dibandingkan pada ras Hispanic-white (4.4%). Prevalensi PAD meningkat seiring
dengan meningkatnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan wanita,
khususnya pada kelompok usia muda. Pada pasien dengan intermiten klaudikasio
rasio laki-laki:wanita antara 1:1 hingga 2:1. Beberapa penelitian lain juga
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
27
dikatakan distribusi PAD kurang lebih sama antara laki-laki dan perempuan
bahkan kadang-kadang lebih dominan wanita dengan Critical Limb Ischemia
(CLI) (Norgren & Hiatt (2007).
Perokok berisiko tiga kali lebih tinggi untuk terjadi klaudikasio intermiten dan
menunjukkan gejala 10 tahun lebih cepat dibandingkan dengan bukan perokok.
Perokok berisiko dua kali lipat untuk terjadi PAD dan penyakit arteri koroner.
Adanya hubungan yang erat antara perokok dan tingkat keparahan PAD
(O’Donnell et al, 2011). Terdapat hubungan yang erat antara DM dan PAD. Pada
pasien DM, setiap peningkatan 1% HbA1C akan terjadi peningkatan risiko PAD
sebanyak 26% (Selvin et al, 2004). Resistensi insulin meningkatkan faktor risiko
terjadinya PAD sebanyak 40-50% meskipun pada pasien tanpa DM. PAD lebih
cenderung terjadi pada pasien DM dibandingkan non DM, dengan keterlibatan
pembuluh darah besar ditambah dengan neuropati distal. Risiko terjadinya
amputasi 5-10 kali lebih besar pada pasien DM dibandingkan non DM. Hipertensi
juga berhubungan erat dengan seluruh penyakit kardiovaskular, diantaranya PAD.
33-35% pasien dengan PAD juga menunjukkan hipertensi (Clement, De Buyzere
& Duprez, 2004). Pada pasien PAD akan terjadi peningkatan nilai serum
trigliserid, Low Density Lipoprotein (LDL), kolesterol, Very Low Density
Lipoprotein (VLDL) trigliserid, VLDL protein, Intermediate Density Lipoprotein
(IDL) dan penurunan High Density Lipoprotein (HDL). Adanya suatu evidence
bahwa penatalaksanaan hiperlipidemia akan mengurangi progresivitas PAD dan
terjadinya intermiten claudikasio (Norgren & Hiatt, 2007).
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
28
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
29
(72.1%-89.2%) pada nilai ABI ≤ 0.9 untuk mendeteksi stenosis ≥ 50%, meskipun
terdapat perbedaan tingkat sensitifitas (15%-79%) dan nilai ABI ≤ 0.9 digunakan
sebagai acuan untuk mengidentifikasi adanya stenosis.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
30
Pada saat mencapai suatu organ yang diperdarahi, arteri akan bercabang
menjadi banyak arteriol dengan jari-jari pembuluh yang cukup kecil sehingga
mampu menghasilkan resistensi pembuluh darah yang tinggi. Hal ini akan
menyebabkan penurunan mencolok tekanan rata-rata ketika darah mengalir
melalui pembuluh ini. Penurunan tekanan pembuluh ini akan membentuk
perbedaan tekanan yang mendorong aliran darah dari jantung ke berbagai
organ di hilir.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
31
Tujuan latihan pada PAD yaitu mengurangi gejala pada kaki, meningkatkan
kapasitas latihan dan mecegah disabilitas fisik serta menurunkan terjadinya
gangguan kardiovaskuler (Hamburg & Balady, 2011). Isekmia jaringan pada
daerah yang perfusinya inadekuat akan menginduksi growth faktor, meliputi
vascular endhotelial growth factor dan hypoxia inducible factor-1α sehingga
merangsang angiogenesis (Patel et al, 2005). Latihan mampu menstimulasi
peningkatan aliran darah kolateral yang juga bergantung pada aktifitas growth
faktor dan peningkatan bioavailibilitas melalui stimulasi stres pada sintesis
NO endothelial. Adanya abnormalitas fungsi mitokondria mempengaruhi
penggunaan oksigen pada otot yang menghasilkan kerusakan endotel. Latihan
dipercaya mampu meningkatkan metabolism otot dan fungsi mitokondria.
Adanya inflamasi kronik akan mengakibatkan proses aterosklerosis. Penanda
inflamasi sistemik berupa C reactive protein dan adhesi soluble interselular
molekul-1 meningkatkan risiko perkembangan PAD. Aktifitas fisik diketahui
mampu menekan aktifasi inflamasi sehingga menekan perkembangan
aterosklerosis (Kasapis & Thompson, 2005). Sebuah penelitian eksperimental
pada pasien PAD dengan dan tanpa intermiten klaudikasio menyebutkan
bahwa latihan mampu meningkatkan jarak tempuh namun tidak mampu
meningkatkan ABI (Watson dalam Gibs, 2013).
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
32
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
33
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
34
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
35
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
36
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
37
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
38
Model konservasi Levine secara umum dapat dijelaskan dalam gambar 2.2
dibawah ini:
Individu
Respon organismik
Fight-flight
Inflamasi
Stres
Konservasi : Perseptual
Integritas energi
Integritas struktur
Integritas Personal
Integritas sosial
Adaptasi
Keutuhan
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
39
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
40
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
41
Penerapan aplikasi model konservasi Levine pada pasien dengan Venous Leg
Ulcer digambarkan sebagai berikut:
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
42
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
43
antopometri pada pasien DM. Penilaian IMT pada pasien bertujuan untuk
menghitung kebutuhan kalori yang dibutuhkan pasien. Hal lainnya yang
dperlu dikaji yaitu tanda-tanda anemia, hasil lab Hb, albumin,
dislipidemia. Adanya komplikasi gastroparesis menimbulkan gangguan
intake nutrisi. Perawat perlu mengkaji tanda-tanda gastroparesis pada
pasien DM, seperti mual, muntah, perasaan kenyang, kembung, distensi
abdomen.
3). Cairan dan elektrolit
Pada pasien DM yang mengalami komplikasi nefropati, terlebih lagi pada
pasien yang menjalani HD pengkajian status cairan sangat penting
dilakukan. Pasien DM juga mengalami gangguan pada elektrolit,
diantaranya Natrium, Kalium dan magnesium. Perawat perlu
mengobservasi adanya perubahan pada nilai elektrolit kerena perubahan
ini berpengaruh pada metabolisme dan fungsi tubuh.
4). Aktifitas dan istirahat
Kelemahan/ fatigue yang menyertai DM dapat mempengaruhi aktifitas
pasien. Kelemahan yang terjadi umumnya akibat penurunan Hb dan
gangguan elektrolit. Perawat juga perlu mengkaji tingkat aktifitas yang
mampu dilakukan pasien dan mencari penyebab adanya gangguan isirahat
pada pasien.
5). Fungsi neurologis
Kondisi KAD, hipoglikemia maupun keadaaan sepsis yang menyertai DM
akan mengakibatkan perubahan fungsi neurologis. Pasien akan mengalami
penurunan kesadaran bahkan dapat menimbulkan kerusakan otak
permanen. Adanya neuropati perifer pada pasien DM dapat dikaji melalui
pemeriksaan menggunakan monofilament. Neuropati otonom dapat
diketahui dari penurunan distribusi rambut pada kaki, kulit kaki yang
kering. Neuropati motorik dapat dilihat dari perubahan bentuk kaki.
6). Fungsi endokrin
Pada semua pasien DM wajib dilakukan pemeriksaan HbA1c dan
pemeriksaan C-peptide pada pasien yang dicurigai menderita DM Tipe 1.
Perawat juga perlu mengkaji nilai gula darah pasien.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
44
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
45
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
46
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
47
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
48
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
BAB 3
PENERAPAN MODEL KONSERVASI LEVINE PADA ASUHAN
KEPERAWATAN 31 PASIEN DENGAN DIABETES MELITUS
Pada BAB ini akan diuraikan apikasi peran perawat sebagai pemberi asuhan
keperawatan dengan menggunakan pendekatan teori model konservasi Levine.
Penerapan teori model ini dalam suatu asuhan keperawatan mengacu pada
rangkaian proses keperawatan yang dimulai dari pengkajian hingga evaluasi.
Pengkajian keperawatan dilakukan melalui proses observasi dan pengumpulan
data yang bisa diperoleh baik dari pasien, keluarga atau orang lain yang memiliki
hubungan dengan pasien, hasil pemeriksaan laboratorium maupun dari riwayat
medis sebelumnya. Perawat juga menggunakan pengkajian yang sesuai dengan
model konservasi ini yang meliputi pengkajian integritas energi, srtuktur, personal
dan sosial.
49 UNIVERSITAS INDONESIA
Pendidikan : Tamat SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Jl. Kebon Nanas Selatan Cipinang
Cempedak Jatinegara, Jakarta Timur
Tanggal Masuk Rumah Sakit (MRS)
: IGD 25/3/2014 pukul 21.56 WIB
Pindah ke 715 C tgl 26/3/2014 pukul 17.30
Tanggal Pengkajian : 28/3/2014
Waktu pengkajian : 10.00
Diagnosa medis : DM tipe 2, post amputasi digiti V dan
debridement digiti III.
b. Keluhan utama:
Nyeri pada kaki kiri skala 3 sejak 1 minggu yang lalu
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien datang ke IGD RSCM dengan keluhan utama saat itu bengkak di kaki
kiri, terutama pada jari kelingking sejak 2 minggu Sebelum Masuk Rumah
Sakit (SMRS). Tidak diketahui penyebab luka dan luka tidak didahului
adanya trauma. Awalnya jari terasa nyeri, makin lama makin makin
membengkak, kemerahan dan timbul luka yang semakin membesar. Hasil
rontgen pedis: tidak ditemukan adanya tanda kelainan tulang pada pedis
sinistra. Digiti V tampak kehitaman, selanjutnya tanggal 26/3/2014 pasien
dilakukan amputasi digiti V dan debridement digiti III. Hasil lab selama di
IGD: GDS 593 mg/dL, keton 0.1 mmol/L (0.0-0.6), albumin 3.0 g/dL(3.4-
4.8) globulin 3.4, SGOT 10 U/L (< 27), SGPT 4 U/L (< 34), Ureum 10
mg/dL (< 50), creatinin darah 1.0 mg/dL (0.6-1.2). Hasil Analisa Gas Darah=
pH 7.42 (7.35-7.45), pCO2 24 (35-45), pO2 110 (75-100), HCO3 18.3 (21-
25), saturasi O2 98% (95-98), D-dimer 300 µg/dL (0-300), fibrinogen 701
mg/dL (136-384), APTT 22/31 dtk (31-47), PT 9/11 dtk (9.8-12.6). DPL= Hb
12.1 g/dL (12-15), Ht 34% (36-46), Leukosit 12.500/µL (5000-10.000),
Trombosit 321.000/ µL (150.000-400.000). Elektrolit= Na 135 mEq/L (132-
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
51
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
52
Berdasarakan data diatas masalah integritas energi terjadi akibat nyeri yang
ditimbulkan oleh adanya penurunan sirkulasi ke bagian perifer dan pasien
berisiko untuk terjadinya masalah pernafasan akibat saturasi O2 yang berada
pada rentang borderline.
2) Nutrisi
Pasien mengatakan mengalami penurunan berat badan sekitar 10 kg dalam 6
bulan terakhir. Nafsu makan menurun, hanya habis ¼ porsi karena mual dan
tidak nafsu makan karena perut terasa kenyang. Pasien mengatakan tidak
suka dengan ayam, kecuali ayamnya digoreng.
Berat Badan (BB)= 58 kg, Tinggi Badan (TB)= 156 cm, Indeks Masa Tubuh
(IMT) = 23.8 (BB lebih), LLA=24.5 cm
Berat Badan Ideal (BBI)= (156-100) x 90%= 50,4 kg.
Tidak ada riwayat alergi makanan.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
53
Penghitungan kalori:
Kebutuhan basal : BBI x 25 kkal= 50.4x25= 1260
Koreksi:
Usia - 5% x 1260= 63
Aktifitas + 10% x 1260= 126
Stres + 30% x 1260= 378
BB - 20% x 1260 = 252 === 1449 1500 kkal
Pasien mendapat 3 kali makan besar dan 2 kali makan selingan. Extra telur
3 butir/hr.
Hasil laboratorium tanggal 27/3/2014, Hb 11.9 g/dL (12-15) dan albumin
3.0 g/dL(3.4-4.8) tanggal 26/3/2014.
Saat ini pasien mendapat terapi IVFD NS 0.9%/ 8jam. Hasil lab Elektrolit=
Na 139 mEq/L (132-147), K 4.31 mEq/L (3.3-5.4), Cl 96 mEq/L (94-111).
Magnesium 1.56 mg/dL.
Hasil lab tanggal 3/4/2014: Kalium 2.88 mEq/L, Natrium 121 mEq/L,
Klorida 86.4 mEq/L dan pasien mengeluh lemas.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
54
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
55
urin=2. Total skor yaitu 13 dan dikategorikan dalam risiko sedang untuk
terjadinya luka dekubitus.
5) Fungsi neurologis
Pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Orientasi terhadap
waktu, tempat dan orang baik. Pasien mengeluh terasa baal dan kadang
kesemutan pada kedua kaki. Berdasarkan pengkajian neuropati
menggunakan monofilament didapatkan pasien mengalami neuropati
sensorik pada kedua kaki. Pasien juga mengalami neuropati otonom, yaitu
kulit kaki terlihat kering, kalus minimal pada telapak kaki dan bulu rambut
kaki yang menipis. Pasien juga mengalami neuropati motorik berupa
perubahan bentuk jari kaki, yaitu claw toe. Pada pemeriksaan kekuatan otot
didapatkan kekuatan otot pada kedua tangan baik dengan skor 5 yaitu pasien
mampu mengangkat dan menahan gravitasi maupun tahanan secara
maksimal. Pada ekstremitas bawah, untuk kaki kanan, pasien juga
mendapatkan skor 5, sedangkan kekuatan otot untuk kaki kiri sulit dinilai,
karena pasien mengeluh nyeri saat kaki digerakkan.
6) Fungsi endokrin
Hasil gula darah pasien saat masuk IGD yaitu 593 mg/dL. Pemeriksaan
HbA1c tanggal 27/3/2014 yaitu 9.4%. Hasil pemeriksaan glukosa darah
yang dilakukan setiap hari sebelum makan yaitu:
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
56
Berdasarkan hasil gula darah diatas dapat dilihat bahwa nilai glukosa darah
tidak stabil dan masih bervariasi. Pasien mendapatkan terapi drip insulin 1
unit/jam dan correctinal dose insulin humalog kelipatan 5 unit. Pasien
mengeluh lemas.
Berdasarakan data diatas masalah integritas energi dapat terjadi akibat
glukosa darah yang tidak stabil.
Pasien mengatakan sudah BAB hari, warna kuning, lembek, tidak ada darah
maupun lendir. Keluhan tidak ada. Pasien menggunakan foley
cateter,tanggal pemasangan cateter 25/3/14. Hasil lab ureum 22 mg/dL (<
50), creatinin darah 0.9 mg/dL (0.6-1.2), eGFR 74.8 mL/min/l.73m² (78-
116). Untuk mengetahui adanya komplikasi nefropati, dilakukan
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
57
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
58
Pasien mengeluh nyeri skala 3 pada kaki kiri. Status lokalis kaki:
Pulsasi : Arteri Kanan kiri
Femoralis ++ ++
Poplitea ++ ++
Dorsalis pedis ++ +
Tibialis Posterior ++ +
ABI= 0.94/0.83
Extent : post amputasi digiti V dan debridement digiti
III
Depth : Dasar jaringan tampak nekrotik otot
Infection : Pus (+)
Sensibility : Berkurang dengan pemeriksaan monofilamen
pada 3 titik di kaki kanan serta 2 titik kaki kiri.
Akral kedua kaki dingin.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
59
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
60
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
61
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
62
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
63
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
64
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
65
gerakan ankle pump exercise terutama pada kaki kanan untuk mencegah
perkembangan PAD lebih lanjut. Edukasi dilakukan bertahap, tidak
dilakukan satu kali waktu. Evaluasi dilakukan dengan meminta pasien
menyebutkan kembali edukasi yang telah diberikan dan pemantauan
terhadap beberapa perilaku setelah edukasi diberikan. Hasil yang diperoleh
yaitu, pasien mampu menjelaskan kembali mengenai diabetes, penyebab
DM, pencegahan DM, penanganan jika terjadi hipoglikemia, perawatan
kaki DM. Dari pengamatan menganai perbahan perilaku, pasien mampu
menghabiskan porsi makan hingga ¾ porsi, pasien mau makan ikan dan
telur yang diberikan, kaki yang kering telah diberi lotion meskipun
terkadang pasien atau keluarga lupa untuk mengoleskannya. Pasien dan
keluarga juga telah diberi edukasi dan demonstrasi untuk penyuntikan
insulin dan keluarga mampu melakukan teknik injeksi insulin tersebut.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
66
Hasil follow up via telp dengan pasien dan keluaga, ia mengatakan hanya
sempat kontrol 3 kali ke poli bedah dan luka jahitan amputasi telah bagus
dan kering. Gula darah terkontrol berkisar 100-200 mg/dl, namun pasien
belum sepat kontrol ke rehab medik untuk pembuatan kaki palsu sebab
tidak ada yang mengantar. Pasien mengatakan akan kontrol ke rehab
medik setelah lebaran.
3.2. Pembahasan
Model konservasi Levine berfokus pada usaha meningkatkan adaptasi dan
memelihara keutuhan dengan menggunakan prinsip konservasi. Model ini
mengajak perawat untuk berfokus pada pengaruh dan respon pada tingkat
organismik. Konsep penting pada model ini adalah adaptasi dan keutuhan.
Adaptasi adalah proses berubah dan konservasi merupakan tujuan dari adaptasi.
Adaptasi merupakan suatu proses dimana pasien akan menjaga integritas
berdasarkan kenyataan yang ada di lingkungan. Adaptasi akan dicapai melalui
penggunaan sumber daya yang ada di lingkungan oleh individu tersebut dengan
cara terbaik.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
67
KONSERVASI
KEUTUHAN PASIEN
Masalah yang terjadi pada integritas energi meliputi kurangnya intake makan,
kualitas dan kuantitas tidur/istirahat yang kurang. Nyeri dan ketidakstabilan kadar
glukosa darah. Kondisi tersebut akan mengakibatkan ketidakseimbangan antara
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
68
energi yang masuk dan yang keluar, menyebabkan pasien mengalami keletihan
sehingga pasien gagal melakukan konservasi dan keutuhan pasien tidak terjadi.
Masalah yang muncul pada integritas struktur merupakan gangguan akibat
lingkungan internal dan eksternal yang mengakibatkan individu gagal untuk
memelihara dan mengganti struktur tubuh, mencegah penyembuhan dan
mengakibatkan kerusakan fisik. Hal tersebut dapat kita lihat dari adanya luka
amputasi pedis sinistra, infeksi yang meningkat, PAD, komplikasi mirovaskuler
dan makrovaskuler disertai oral hygiene dan personal hygiene yang kurang.
Masalah pada integritas personal muncul akibat adanya keterbatasan fisik yang
mengakibatkan ketergantungan dan harga diri yang rendah, selanjutnya
mengakibatkan ketidakberdayaan. Tidak adanya gangguan jantung dan
pernafasan, citra tubuh yang masih baik serta dukungan yang tinggi oleh keluarga
merupakan suatu proses adaptasi yang mendukung konservasi. Tujuan
keperawatan adalah untuk meningkatkan adaptasi memelihara keutuhan dengan
melihat keunikan dari setiap individu. Perhatian pada individu dilakukan sebagai
tanggung jawab perawat untuk membantu pasien meningkatkan penyembuhan
atau kesehatan, dimana kesehatan ini merupakan suatu keutuhan dan keberhasilan
proses adaptasi. Secara umum, masalah-masalah yang terjadi dan menimbulkan
respon organismik akan dijabarkan sebagai berikut:
Indikasi terapi insulin pada Ny N yaitu adanya DM tipe 2 dengan ulkus kaki
diabetik dan fluktuasi glukosa darah yang masih tinggi. Pada orang normal,
jumlah insulin endogen dipengaruhi oleh kondisi puasa dan makan. Pada keadaan
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
69
puasa atau sebelum makan, sel beta mensekresi insulin pada kadar tertentu yang
hampir sama sepanjang waktu puasa dan sebelum makan. Hal ini disebut insulin
basal, yang bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah puasa atau
sebelum makan selau dalam batas normal (< 100 mg/dl). Insulin prandial
bertujuan agar kadar glukosa darah setelah makan tetap dalam batas normal. Pada
setiap kali makan, dibutuhkan sejumlah insulin yang disekresikan oleh sel beta
secara cepat dalam kadar yang lebih tinggi untuk menekan kadar glukosa darah
setelah makan agar tetap dalam batas normal (tidak lebih dari 140 mg/dl)
(PERKENI, 2011). Awalnya program terapi insulin yang diberikan pada Ny N
yaitu drip insulin dengan correctional dose kelipatan 5. Setelah pasien mampu
menghabiskan porsi makan > ½ porsi drip insulin dihentikan dan diganti dengan
pemberian fix dose humalog 3x8 unit, selanjutnya naik menjadi 10-12-12 unit
hingga 3x14 unit. Pasien juga diberikan lantus 1x16 unit dan akhirnya naik
menjadi 1x18 unit. Lantus merupakan insulin basal eksogen, yaitu insulin kerja
panjang/ long insulin analog dengan awal kerja 2-4 jam, hampir tanpa puncak dan
lama kerja 24 jam, sehingga pemberiannya hanya 1 kali saja. Lantus ini diberikan
untuk memenuhi kebutuhan insulin basal. Pasien juga mendapat humalog yang
merupakan insulin kerja cepat dengan awal kerja 5-15 menit dengan puncak kerja
30-90 menit dan lama kerja 4-6 jam. Insulin humalog ini dapat diberikan
diberikan saat makan. Sebagai perawat kita harus mengevaluasi respon dari pasien
akibat pemberian insulin dan untuk mengevaluasi ketepatan pemberian insulin
perawat berkolaborasi dengan dokter untuk melakukan pencatatan gula darah
harian.
Sasaran kendali glikemik untuk pasien diabetes dewasa yaitu HbA1c < 7%, Kadar
gula darah puasa 70-130 mg/dl dan kadar gula darah post prandial < 180 mg/dl
(ADA, 2014). Nyeri kaludikasio akibat PAD dan timbulnya infeksi pada Ny N
akan memicu stres yang mengakibatkan terjadinya kenaikan gula darah pasien.
Pada kondisi stres akan terjadi aktivasi sistem saraf simpatis dan Cortikotropin
Releasing Hormone (CRH). Aktivasi sistem saraf simpatis akan menyebabkan
pelepasan katekolamin (epinefrin) yang mempunyai efek sangat kuat terhadap
reaksi glikogenolisis dan glokoneogenesis dalam hati, sehingga akan
meningkatkan pelepasan glukosa oleh hati masuk kedalam sirkulasi, menghambat
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
70
pemakaian glukosa di jaringan perifer, dan menghambat sekresi insulin oleh sel
beta pancreas. Perangsangan sistem CRH akan mengaktivasi aksis hipofisis-
adrenal. Hipofisis akan menghasilkan ACTH yang merangsang korteks adrenal
melepaskan kortisol. Kortisol ini akan merangsang proses glukoneogenesis 6-10
kali lipat dan selanjutnya akan meningkatkan kadar gula darah (Sheerwood,
2011).
Pasien Ny N juga mengeluh mual, terkadang nyeri perut dan porsi makan yang
mampu dihabiskan hanya ¼ porsi. Ketidakstabilan glukosa darah juga dapat
diakibatkan oleh asupan makan yang kurang akibat gastroparesis. Gastroparesis
merupakan kondisi motilitas gaster abnormal yang dikarakteristikkan dengan
pelambatan pengosongan lambung tanpa adanya obstruksi mekanis (Akheel ,
Rattansingh & Furtado, 2005). Gastroparesis terjadi pada lebih dari 50% pasien
yang lama mengalami DM. Gejala yang ditimbulkan dari gastroparesis ini
diantaranya mual, muntah, perut menjadi kembung, nyeri epigastrik. Pasien juga
berisiko untuk terjadinya malnutrisi, penurunan berat badan, gangguan absorbsi
obat, gangguan kontrol glikemik dan penurunan kualitas hidup. Dengan
meningkatnya kestabilan kadar glukosa darah, keluhan mual, muntah dan nyeri
perut pada pasien juga berkurang dan asupan makanpun bertambah hingga > ¾
porsi. Hal ini sesuai dengan pendapat Rayner (2001) bahwa perubahan
konsentrasi glukosa yang cepat berpengaruh terhadap kembalinya fungsi sensorik
dan motorik gastrointestinal (Rayner, 2001). Pengosongan lambung akan menurun
selama hiperglikemia dan meningkat saat hipoglikemia. Intervensi yang telah
dilakukan yaitu manajemen diit berupa menganjurkan pasien untuk duduk 1-2 jam
setelah makan, kolaborasi dengan ahli gizi untuk mengurangi makanan yang
tinggi serat dan intervensi farmakologi berupa kolaborasi pemberian obat
metoclorpamid 3x 5 mg iv. Obat ini bekerja dengan menstimulasi motilitas
saluran cerna bagian atas dan mempercepat pengosongan lambung, mengurangi
mual muntah dan meredakan gejala stasis lambung (Deglin & Vallerand, 2005).
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
71
Adanya hiperglikemia, peningkatan asam lemak bebas dan resistensi insulin akan
mengakibatkan gangguan pada sel endotel. Adanya lapisan tunggal dari sel-sel
endotel yang melapisi permukaan bagian dalam pembuluh darah, mengakibatkan
adanya proses metabolik aktif antara darah dan jaringan. Pada sel endotel yang
normal akan terjadi sintesis substansi biologis dan pelepasan substansi tersebut
untuk menjaga hemostasis vascular, meningkatkan sirkulasi darah, transport
nutrisi serta mencegah thrombosis dan diapedesis leukosit. Nitric Oxide (NO)
adalah substansi penting yang disintesis oleh sel endotel, dihasilkan oleh NO
synthase (eNOS). Bioavailibilitas NO digunakan sebagai tanda vascular yang
sehat. NO mengakibatkan vasodilatasi melalui aktivasi guanilil siklase pada sel
otot polos. NO juga melindungi pembuluh darah dari cedera endogen, misalnya
aterosklerosis dengan mengeluarkan sinyal yang mencegah interaksi platelet dan
leukosit pada dinding pembuluh darah dan menghambat proliferasi dan migrasi
sel otot polos. Hilangnya endothelium yang diikuti penurunan NO mengakibatkan
peningkatan aktivitas proinflamasi Nuclear Factor kappa ß (NF-kB),
mengakibatkan adhesi molekul leukosit, produksi kemokin dan sitokin. Kondisi
ini meningkatkan monosit dan migrasi sel otot polos, formasi makrofag ke daerah
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
72
intima vaskuler sehingga timbul aterosklerosis (ADA, 2003; Beckman, Creager &
Libby, 2002).
Beberapa faktor risiko PAD yang ditemukan pada Ny N yaitu usia yang telah
mencapai 50 tahun, adanya riwayat hipertensi yang diketahui sejak 2 tahun,
riwayat DM sejak 3 tahun, dislipidemia, peningkatn CRP dan fibrinogen.
Prevalensi PAD akan meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Pada pasien
DM, setiap peningkatan 1% HbA1C akan terjadi peningkatan risiko PAD
sebanyak 26% (Selvin et al, 2004). Resistensi insulin meningkatkan faktor risiko
terjadinya PAD sebanyak 40-50% meskipun pada pasien tanpa DM. Resistensi
insulin meningkatkan pengeluaran asam lemak bebas dari jaringan adipose, yang
mengaktivasi enzim protein kinase C, menghalangi posphatidilinositol 3 (PI-3)
kinase dan meningkatkan produksi reaktif oksigen, mekanisme yang secara
langsung mengganggu produksi NO atau menurunkan bioavailibilitas (Beckman,
Creager & Libby, 2002). Sebanyak 33-35% pasien dengan PAD juga
menunjukkan hipertensi (Clement, De Buyzere & Duprez, 2004). Mayoritas
pasien dengan diabetes memiliki gangguan otonom perifer, suatu kondisi yang
menurunkan resistensi arterial. Meskipun terdapat bukti peningkatan endothelin-1,
angiotensin II, dan abnormalitas aktifitas sistem saraf simpatis, mekanisme
disfungsi sel otot polos pembuluh darah dan hipertensi pada diabetes masih belum
diketahui (Creager M, Luscher T & Beckman J, 2003).
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
73
individu yang sehat, namun juga berefek positif pada pasien dengan critical limb
iskhemia.Meskipun demikian, posisi kaki dependen tidak boleh terlalu lama,
sebab dapat meningkatkan edema dan penyembuhan luka yang lebih lama
(Kawasaki et al, 2013).
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
74
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
75
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
76
Natrium merupakan kation terbanyak dalam cairan extrasel yang jumlahnya bisa
mencapai 60 mEq per kilogram berat badan (Yaswir & Irawati, 2012). Pemasukan
natrium berasal dari diet melalui epitel mukosa saluran cerna dengan proses difusi
dan pengelurannya melalui ginjal atau saluran cerna atau keringat kulit, namun
eksresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal. Hal ini bertujuan untuk
mempertahankan homeostasis natrium yang sangat diperlukan untuk
mempertahankan volume cairan tubuh. Hiponatremia yang terjadi pada Ny N
dapat disebabkan karena gangguan fungsi glomerulus dan tubulus pada ginjal
yang dapat diperkuat oleh adanya mikroalbuminuria dan proteinuria. Kondisi
hiperglikemia dan dislipidemia juga berkontribusi terhadap kejadian
pseudohiponatremia pada pasien DM. Intervensi yang telah diberikan pada pasien
Ny N ini terkait gangguan hiponatremia dan hipoklorenimia ini yaitu melalui
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
77
kolaborasi pemberian terapi parenteral NS0.9% 500 cc serta NaCl 3x500 mg p.o
disamping monitoring tanda dan gejala gangguan elektrolit, serta pemantauan
hasil laboratorium terkait.
Sekitar 98% jumlah kalium dalam tubuh berada dalam cairan intrasel. Perbedaan
kadar kalium cairan intrasel dengan interstisial yaitu akibat adanya transpor aktif
kalium kedalam sel yang bertukar dengan natrium keluar sel. Kalium difiltrasi di
glomerulus, direabsorbsi secara aktif maupun pasif di tubulus proksimal dan
direabsorbsi bersama dengan natrium dan klorida di lenhgkung henle. Kalium
dikeluarkan dari tubuh melalui gastrointesinal, kulit serta urin. (Yaswir & Irawati,
2012). Penyebab hipokalemi pada Ny N yaitu akibat dari diare yang terjadi dan
jika hipokalemi yang tidak ditangani dengan segera akan mengakibatkan
bradikardi hingga cardiac arrest. Hipokalemia pada pasien DM juga dapat
diakibatkan oleh terapi insulin yang berlebihan yang mengakibatkan influks
Kalium dari ekstrasel kedalam sel. Intervensi yang telah dilakukan yaitu untuk Ny
N ini yaitu kolaborasi pemberian drip KCl 25 mEq dalam NS 0.9% 500 cc tiap 12
jam dan pemberian KSR 3x600 mg. Perawat mengevaluasi respon pasien terkait
tanda dan gejala hipokalemia, hiponatremia dan melakukan observasi hasil lab
elektrolit tersebut.
Magnesium merupakan kation keempat yang paling banyak dalam tubuh manusia
dan merupakan kation intraselular kedua setelah kalium. Magnesium berperan
penting sebagai kofaktor pada lebih dari 300 reaksi enzimatik yang melibatkan
metabolisme energi dan asam nukleat serta berperan dalam homeostasis glukosa
dan kerja insulin (Sales & Pedrosa, 2006). Magnesium berperan penting dalam
fosforilasi reseptor insulin dimana satu deplesi Mg intraseluler dapat
mengakibatkan defek fungsi tirosin kinase pada reseptor insulin sehingga
menurunkan kemampuan insulin untuk menstimulasi ambilan glukosa pada
jaringan yang sensitif insulin, akibatnya resistensi insulin terjadi dan bila terjadi
terus menerus dapat mengakibatkan perkembangan komplikasi DM yang lebih
cepat. Tanda dan gejala dari hipomagnesia yang ditemukan pada Ny N yaitu
insomnia, kram tungkai, mual, anoreksia dan diare. Intervensi yang telah
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
78
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
79
IV line dan cateter urin sesuai dengan SOP yang berlaku. Untuk meminimalkan
risiko infeksi paru pasien dianjurkan agar sering duduk dan mobilisasi di tempat
tidur serta meningkatkan oral hygiene dan personal hygiene secara umum.
Meskipun dari hasil pemeriksaan rontgen thorax tanggal 3/4/2014 ditemukan
adanya infiltrat di parakardial kanan dd bronkopneumonia, pasien tidak
menunjukkan adanya keluhan batuk. Kondisi neuropati, mikroangiopati dan
makroangiopati serta penurunan respon imun mengakibatkan pasien mudah
terkena infeksi pada paru dan menurunnya refleks batuk disebabkan oleh
kurangnya motilitas silia (Wulandari & Sugiri, 2013).
Kolaborasi untuk pemilihan antibiotik yang sesuai juga amatlah penting untuk
mencegah perluasan infeksi dan kejadian sepsis. Pemilihan penggunaan antibiotik
oleh dokter disesuaikan dengan hasil kultur luka. Antibiotik yang diberikan
sebelumnya yaitu ampicilin sulbactam 4x1.5 gram dan levofloxacin 1x750 mg.
Tanggal 2/4/2014 dilakukan pemeriksaan biakan pus yang hasilnya baru dapat
diketahui tanggal 4/4/2014. Dari hasil tersebut diketahui bahwa terdapat resistensi
terhadap ampicilin sulbactam. Tanggal 3/4/2014, pasien mendapatkan obat
meropenem 3x 1 gram yang selanjutnya hasil lab leukosit dan TTV secara
berangsur-angsur menunjukkan perbaikan, terjadi penurunan leukosit hingga
mencapai 11800/µL tanggal 20/4/2014. Penurunan leukosit tersebut menunjukkan
adanya proses adaptasi yang mendukung upaya konservasi struktural sehingga
penyembuhan luka semakin cepat dan timbulnya infeksi sekunder dapat dicegah.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
80
dapat dipahami oleh klien.Kita juga perlu mengetahui sampai sejauh mana
pemahaman klien akan penyakitnya, sehingga kita bisa menyusun pendidikan
kesehatan berdasarkan kebutuhan klien. Pendidikan kesehatan merupakan salah
satu pilar dalam penanganan DM yang bertujuan meningkatkan pengetahuan,
sehingga dengan meningkatnya pengetahuan diharapkan terjadi perubahan
perilaku dan peningkatan kepatuhan yang pada akhirnya mampu meningkatkan
kualitas hidup penderita DM.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
81
Manusia memiliki harga diri, keinginan untuk dihargai oleh orang lain. Kebutuhan
harga diri berhubungan dengan keinginan terhadap kekuatan, pencapaian, rasa
cukup, kompetensi, percaya diri dan kemerdekaan. Manusia juga membutuhkan
pengharagaan dari orang lain dan jika kebutuhan harga diri dan penghargaan dari
orang lain tidak terpenuhi, orang tersebut akan merasa tidak berdaya dan merasa
rendah diri ( Maslow dalam Potter & Perry, 2005). Jika konsep diri mengalami
perubahan karena perubahan dan keterbatasan fisik, maka seorang perawat
diharapkan mampu memberikan perawatan untuk meningkatkan konsep diri dan
gambaran diri. Tentu saja tindakan keperawatan tersebut bergantung pada sistem
dukungan dan kepribadian klien, penyebab dari gangguan konsep diri dan sumber
yang tersedia. Jika tingkat harga diri pasien sangat rendah, berarti mereka gagal
beradaptasi dan melakukan konservasi, sehingga perawat berkewajiban untuk
membantu memenuhi kebutuhan lain disamping upaya untuk meningkatkan harga
diri pasien.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
82
Terjadinya distres pada pasien diabetes merupakan suatu gejala unik yang
mengacu pada beban emosional yang tersembunyi dan munculnya kekhawatiran
akan pengalaman ketidakmampuan manajemen diabetes (Lawrence, Marilyn,
Joseph, Patricia & Russel, 2008). Menjadi pendengar yang baik dan memberi
kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan harapannya dapat menjadi acuan
seberapa besar keinginan pasien dalam menjalani perawatan saat ini. Hindari
menyembunyikan kebenaran atau memberi harapan palsu pada pasien mengenai
kondisi sakitnya. Perawat berkewajiban untuk memberi informasi yang benar
pada pasien maupun keluarga untuk membantu pasien mengambil keputusan yang
tepat dalam pengobatan maupiun perawatan yang dilakukan padanya.
Intervensi lain yang dilakukan yaitu mendorong pasien agar menerima perubahan
yang terjadi untuk menghadapi kehidupan dengan lebih optimis, selalu berfikir
positif dan libatkan keluarga untuk mencapai tujuan ini. Perawat juga harus dapat
memberikan penguatan yang positif mengenai diri pasien, membantu pasien untuk
beradaptasi sehingga tercapai integritas konservasi personal. Pelletier dalam
Lorentz (2006) mengatakan bahwa perasaan negatif seperti takut, putus asa dan
depresi akan mempengaruhi proses biokimia dalam tubuh, hal ini berkaitan
dengan konsep mind body healing, dimana pikiran berpengaruh terhadap proses
penyembuhan. Pikiran negatif akan memicu stres yang memicu peningkatan
glukosa darah pada pasien DM. Stres akan menstimulasi sympsthic-adrenal
medullary (SAM) dan hypothalamic pituitary adrenal (HPA) untuk merangsang
hormon epinefrin dan kortisol dari kelenjar adrenal yang akan meningkatkan
kadar glukosa darah.
Secara umum, penerapan teori model konservasi Levine ini dapat diterapkan pada
pasien dengan masalah endokrin, khususnya DM sebab pasien DM mengalami
masalah pada integritas energi akibat gangguan fungsi dan kerja insulin,
berdampak pada gangguan keseimbangan elektrolit dan pemenuhan nutrisinya.
Hiperglikemia juga akan mengakibatkan masalah pada integritas struktural terkait
dengan komplikasi yang ditimbulkan yaitu adanya ulkus diabetik yang diperparah
jika pasien juga mengalami PAD. Hal ini akan berdampak pada gangguan
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
83
integritas personal dan sosial akibat gangguan pada konsep dirinya. Peran perawat
adalah mengadaptasikan pasien mengalui penerapan prinsip konservasi sehingga
keutuhan dalam hal ini kesehatan pasien dapat tercapai.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
84
Beberapa faktor risiko yang mengakibatkan kadar glukosa darah yang tidak stabil
yaitu; asupan diit yang tidak sesuai, pemantauan glukosa darah yang tidak tepat,
kurangnya kepatuhan terhadap manajemen diabetes, pemberian terapi medikasi
yang tidak tepat, kondisi stres maupun status kesehatan fisik (NANDA, 2012).
Perawat hendaknya memamtau porsi makan yang mampu dihabiskan pasien,
menghitung kebutuhan kalori pasien yang disesuaikan dengan porsi makanan
yang ia dapatkan. Dalam beberapa kasus terjadi suatu masalah yaitu pasien tidak
menghabiskan porsi makanan yang diberikan oleh RS dan setelah dihitung
kebutuhan kalorinya, didapatkan bahwa porsi makanan yang diberikan lebih dari
kebutuhan kalori yang seharusnya ia dapatkan. Peran kolaborasi antara perawat
dan ahli gizi sangat diperlukan. Gastroparesis yang terjadi pada pasien DM juga
mengakibatkan kurangnya nafsu makan akibat lambatnya pengosongan lambung
dan tentu saja hal ini akan mempengaruhi ketidakstabilan glukosa darah dan
cenderung terjadi hipoglikemia. Hipoglikemia yang terjadi pada pada 10 pasien
disebabkan oleh berbagai faktor, mayoritas terjadi pada pasien yang mendapat
terapi OHO golongan sulfonilurea. Pada pasien lansia cenderung untuk terjadi
hipoglikemia yang tidak disadari akibat adanya neuropati otonom dan penurunan
sensitifitas norepinefrin.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
85
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
86
alveolar matur yang lebih rendah pada pasien TB yang disertai DM akan semakin
meningkatkan perluasan TB dan jumlah bakteri dalam sputum pasien TB dengan
DM (Cahyadi & Venty, 2011).
Beberapa pasien juga menunjukkan adanya pneumonia dari gambaran klinis dan
hasil rontgen. Fagositosis oleh makrogaf paru merupakan mekanisme pertahanan
dari inhalasi bakteri dan mekanisme pertahanan ini menurun pada pasien diabetes.
Kondisi asidosis mengganggu mekanisme bakterisidal oleh paru dan ini menjadi
faktor tambahan tidak terkontrolnya pasien DM terlebih lagi pada pasien DM
yang bedrest, kemungkinan terjadinya pneumonia akan lebih besar (Inzucchi,
2005).
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
87
pemenuhan waktu tidur yang cukup dan menghilangkan nyeri (Holt, 2013).
Pemilihan antibiotik yang tepat disesuaikan dengan kultur luka akan menurunkan
kejadian infeksi lebih lanjut. Delmas (2006) juga mengatakan bahwa untuk
meningkatkan proses penyembuhan luka ada beberapa faktor yang harus
diperhatikan, yaitu; debridement jaringan, optimalisasi lingkungan luka,
pemilihan dresing yang tepat, menghindari trauma atau tekanan, pemilihan alas
kaki, meningkatkan oksigenasi dan perfusi serta pengontrolan infeksi. Beberapa
pasien diketahui mengalami PAD, sehingga pada pasien ini luka akan sulit
sembuh jika vaskularisasinya tidak ditangani. Adanya ulkus diabetik
mengakibatkan gangguan pada integritas struktural yang mempengaruhi integritas
lainnya, seperti integritas energi, sosial dan struktural. Luka yang mengalami
infeksi berat berisiko untuk terjadinya hiperglikemia dan KAD yang
meningkatkan kebutuhan energi. Luka diabetik juga mengakibatkan masalah pada
konsep diri pasien, terlebih lagi jika pasien mengalami amputasi yang
mengakibatkan harga diri rendah dan ketidakberdayaan. Dukungan dari keluarga
dan orang terdekat sangat membantu dalam upaya adaptasi untuk meningkatkan
konservasi sosial pada pasien.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
BAB 4
Penerapan Evidence Based Nursing (EBN)“Pengukuran Ankle Brachial Index
(ABI) Post Exercise pada Pasien DM dengan Klaudikasio Intermiten”
Salah satu cara yang dilakukan untuk mendeteksi adanya PAD yaitu melalui
pemeriksaan Ankle Brachial Index (ABI). Pemeriksaan ABI merupakan gold
standard pengukuran noninvasive untuk deteksi PAD dan direkomendasikan
sebagai bagian dari pengkajian individu yang berisiko terhadap penyakit tersebut
(Migliacci, 2008). Nilai ABI ditentukan dengan membagi tekanan darah sistolik
tertinggi pada masing-masing ankle dengan tekanan darah sistolik tertinggi pada
brachial. ABI sangat membantu dalam menentukan beratnya suatu penyakit dan
mampu melakukan pemantauan hemodinamik yang signifikan pada beberapa
88 UNIVERSITAS INDONESIA
penyakit. Nilai ABI yang normal berkisar 0.91-1.3 meskipun nilai 0.91-0.99
dikatakan borderline PAD. Nilai 0.41-0.9 menunjukkan PAD ringan-sedang. Nilai
ABI ≤ 0.4 dikatakan mengalami PAD berat, sedangkan nilai ABI ≥ 1.3
menunjukkan adanya kalsifikasi pembuluh darah (Hirz et al, 2006).
Jika pasien memiliki nilai ABI normal, namun gejala klinis menunjukkan adanya
klaudikasio intermitten, maka pemeriksaan ABI post exercise harus dilakukan
(Cassar, 2006 dan Stein, 2006). Spesifisitas dan sensitifitas ABI saat istirahat
tinggi yaitu 99% dan 94-97% untuk mendeteksi tingkat stenosis yang setara
dengan angiografi dan hasil negative palsu muncul pada pasien PAD yang
memiliki nilai ABI normal namun nilai ABI menjadi rendah setelah dilakukan
latihan tungkai (Carter, Ouriel dalam Stein et al, 2006). Penelitian yang dilakukan
oleh Langen dkk (2009) juga menyebutkan pemeriksaan ABI post exercise lebih
reliabel dan mampu secara objektif dalam diagnosis pasien intermitten
claudikasio.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
90
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
91
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
92
Dari 396 responden, didapatkan nilai resting ABI normal yaitu 183 (46.2%),
abnormal 159 (40.2%) dan noncompressible 54 orang (13.6%). Beberapa
responden yang memiliki ABI normal tidak melakukan exercise testing
karena ketidakmampuan melakukan exercise, adanya penyakit jantung yang
berat dan responden menolak. Dari 138 pasien yang melakukan exercise, 84
orang memiliki ABI normal saat istirahat. Dari 84 responden, terdapat 26
orang yang nilai ABI nya < 0.9 setelah latihan. Kesimpulan dari penelitian
ini yaitu hampir separuh dari pasien yang dirujuk kelaboratorium vascular
karena suspek gangguan arteri memiliki nilai ABI normal saat istirahat. Saran
dari penelitian ini yaitu jika nilai ABI normal saat istirahat namun pasien
memiliki gejala intermiten klaudikasio, exercise testing direkomendasikan
untuk meningkatkan sensitifitas deteksi PAD.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
93
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
94
Tabel 4.2 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, riwayat merokok dan riwayat
hipertensi di Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta, 19-26 Juni
2014 (n=17)
4.5 Pembahasan
Pengukuran ABI merupakan lini pertama penyaringan dan diagnosis PAD
yang bersifat noninvasif, memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi
(Esther, Wattanakit & Gornik, 2012). Nyeri klaudikasio yang muncul pada
pasien DM diakibatkan oleh adanya penurunan suplai darah ke bagian distal
pada arteri yang mengalami penyempitan akibat sumbatan aterosklerosis.
Karakteristik klaudikasio adalah nyeri otot pada betis, paha, pantat
diperberat saat beraktifitas dan berkurang jika istirahat.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
95
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
96
Hambatan yang ditemukan selama pelaksanaan EBN ini tidak ada, seluruh
pasien mampu melakukan gerakan heel raises selama 30 detik dengan
ketinggian dan kecepatan yang disesuaikan dengan kemampuan masing-
masing individu. Dari 17 responden, ditemukan sebanyak 15 responden
mengalami penurunan ABI rata-rata setelah latihan, 1 orang nilai ABI nya
tetap dan 1 orang yang nilai ABI nya meningkat. Asumsi residen melihat
kondisi ini yaitu akibat pencapaian latihan pada masing-masing individu
berbeda. Ada yang mengatakan gerakan heel raises selama 30 detik tersebut
telah mambuat kaki terutama betis dan pergelangan kaki menjadi nyeri,
namun ada juga yang mengatakan belum ada respon samasekali terhadap
gerakan tersebut.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
BAB 5
Kegiatan Inovasi “Latihan kekuatan dan keseimbangan untuk mencegah
kejadian jatuh pada pasien diabetes lansia dengan neuropati perifer”
97 UNIVERSITAS INDONESIA
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
99
Subjek pada proyek inovasi ini yaitu pasien DM dengan neuropati perifer,
berusia 50 tahun dan mampu berjalan/ambulasi secara mandiri. Sedangkan
pasien yang memiliki ulkus di kaki, memiliki penyakit akut, menggunakan
alat bantu berjalan (tongkat, walker, tripod), Fraktur ( Tungkai, Vertebra),
memiliki penyakit jantung berat, adanya amputasi tungkai dan charcoat foot
diekslusikan dalam penelitian ini.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
100
yaitu: berdiri tandem, berjalan tandem, berdiri unipedal, berdiri dan duduk
di kursi serta gerakan melangkah. Gerakan berdiri tandem dan berdiri
unipedal dilakukan selama 3 menit pada masing-masing kaki, 2 set perhari.
Pada gerakan berjalan tandem, pasien diinstruksikan untuk berjalan dengan
satu kaki berada di depan kaki yang lain, berjalan sebanyak 10 langkah yang
dilakukan 5 set perhari. Untuk latihan kekuatan otot, pasien diintruksikan
untuk duduk dan bangkit dari kursi tanpa berpegangan tangan, gerakan ini
dilakukan sebanyak 10 kali selama 3 set perhari. Latihan terakhir yaitu
gerakan melangkah, pasien diintruksikan untuk melangkah 1 langkah
kedepan, ke belakang, kesamping kanan dan kiri. Gerakan ini dilakukan
sebanyak 10 kali, 3 set perhari.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
101
Tabel 5.1 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dan tingkat pendidikan di
Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta, 19-26 Juni 2014 (n=10)
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa mayoritas pasien adalah laki-
laki sebanyak 70% dan tingkat pendidikan mayoritas SMA sebanyak 40%.
Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan usia dan lama DM di Poliklinik Penyakit
Dalam RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta,
19-26 Juni 2014 (n=10)
Berdasarkan tabel diatas, diketahui rata-rata usia responden yaitu 62.2 tahun
dengan standar deviasi 6.05 tahun. Rata-rata lama mengalami DM yaitu
8.59 tahun dengan standar deviasi 6.71 tahun.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
102
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa rata-rata waktu yang dapat
dicapat selama berdiri tandem pada kaki kanan yaitu 125 detik dan kaki kiri
105.2 detik. Rata-rata jumlah langkah berjalan tandem yang dapat dicapai
selama 1 menit yaitu 34.3 langkah. Rata-rata pencapaian waktu berdiri
unipedal menggunakan kaki kanan yaitu 95.8 detik, sementara kaki kiri 42.5
detik. Rata-rata pelaksanaan time up and go test membutuhkan waktu 10.8
detik dengan standar deviasi 2.39 detik. Rata-rata waktu yang dibutuhkan
selama 5 kali berdiri dari kursi yaitu 14.7 detik, sementara waktu tempuh
berjalan selama 10 meter yaitu 15.4 detik.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
103
Tabel 5.4 Hasil penilaian evaluasi booklet di Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN
Ciptomangunkusumo Jakarta,
19-26 Juni 2014 (n=10)
No Pertanyaan Frekuensi Persentase
(%)
1 Informasi yang diberikan jelas dan
mudah dimengerti
Sangat baik 8 80
Baik 2 20
Tidak baik 0 0
Sangat tidak baik 0 0
2 Tulisan dapat dibaca dengan jelas
Sangat baik
Baik 7 70
Tidak baik 3 30
Sangat tidak baik 0 0
0 0
3 Tampilan dan warna gambar jelas
Sangat baik
Baik 10 100
Tidak baik 0 0
Sangat tidak baik 0 0
0 0
4 Booklet ini media yang praktis
untuk digunakan
Sangat baik 8 80
Baik 2 20
Tidak baik 0 0
Sangat tidak baik 0 0
5 Manfaat booklet
Sangat baik 9 90
Baik 1 10
Tidak baik 0 0
Sangat tidak baik 0 0
6 Buku ini akan saya gunakan untuk
petunjuk latihan mandiri di rumah
dan sebagai media informasi dan
komunikasi dengan petugas Poli
endokrin
Ya
Tidak 10 100
0 0
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
104
5.4 Pembahasan
Neuropati perifer pada diabetes merupakan komplikasi kronis DM yang mengenai
lebih dari 50% pasien DM dan umumnya dimulai dengan adanya lesi pada saraf
perifer, berkembang pada saraf motoroik dan autonomik (Sartor et al, 2012).
Kondisi tersebut secara bertahap akan berkembang menjadi hilangnya sensasi
terhadap getaran, termal, perabaan dan sensitifitas proprioseptif.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
105
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
106
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
6.1.1 Teori model konservasi Levine memungkinkan untuk diaplikasikan dalam
pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem
endokrin, khususnya pasien DM, dimana umumnya pasien DM akan
mengalami masalah konservasi energi, struktural, personal dan sosial.
Perawat bertanggungjawab untuk meningkatkan proses adaptasi pasien
terhadap masalah yang terjadi sehingga tujuan dari model konservasi ini,
yaitu keutuhan akan tercapai.
6.1.2 Dalam penerapan EBN, terjadi penurunan rata-rata nilai ABI post exercise
dibandingkan dengan pengukuran saat istirahat. Oleh sebab itu, pada
pasien DM dengan keluhan nyeri klaudikasio intermiten diharapkan agar
pengukuran ABI dilakukan segera setelah latihan agar mendapatkan nilai
ABI yang lebih objektif. Ketepatan diagnosis akan mengakibatkan
ketepatan dalam pemberian intervensi.
6.1.3 Kegiatan inovasi penggunaan booklet dalam pelaksanaan intervensi
“Latihan kekuatan dan keseimbangan pada pasien DM dengan neuropati
perifer” dapat dijadikan sebagai petunjuk latihan mandiri dirumah. Rata-
rata pasien menunjukkan kepuasan tinggi terhadap informasi yang
disajikan dalam booklet. Diharapkan latihan dan pemberian booklet ini
mampu menurunkan risiko jatuh pada pasien DM dengan neuropati.
6.2 Saran
6.2.1 Bagi pelayanan keperawatan
a. Hendaknya dapat mengadopsi penerapan pendekatan model
konservasi levine dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien
DM.
b. Sebagai pemberi asuhan keperawatan, hendaknya perawat
memberikan intervensi keperawatan berdasarkan pembuktian
UNIVERSITAS INDONESIA
DAFTAR REFERENSI
Allet,L.,Armand, S.,Golay, A., Aminian, K.,& et al. (2010). The gait and balance
of patients with diabetes can be improved: a randomised controlled trial.
Diabetologia, 53, 458-466.
Allet, L., Armand, S.,de Bie RA.,& et al.(2009). Gait alterations of diabetic
patients while walking on different surfaces. Gait Posture, 29, 488-493.
Alligood,M., & Tomey,A. (2010). Nursing theorist and their work.(7th ed). USA:
Mosby
Black,J., & HawksJ. (2009). Medical surgical nursing (8th ed). St Louis:
Saunders Elsevier.
Cacoub, P., Cambou, J.P., Kownator, S. & et al. (2009). Prevelance of peripheral
arte-rial disease in high-risk patients using ankle-brachial index in general
prac-tice: a cross-sectional study. Int J Clin Pract. 63:63-70
Cahyadi, A & Venty. (2011). Tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus. J
Indon Med Assoc, 61 (4).
Cassar, K. (2006). Intermitten Claudication. British medical journal, 333;1002-
1005
Catalono,P., Kirwan,M., John,P., Sylvie, H.,et al. (2003). Gestational diabetes and
insulin resistance. The journal of nutrition. June 17, 2014. ProQuest pg
S1674
Holt,P. (2013). Assessment and management of patients with diabetic foot ulcers.
Nursing Standar, 27 (27): 49-55
Inzucchi,S., Ellenberg, M., & Rifkin,H. (2005). The diabetes mellitus manual.
USA: Mc Graw Hill.
Leutholtz ,B., & Ripoll,I. (2011). Exercise and Disease Management (2 nd ed).
US: CRC Press.
O’hare AM, Vittinghoff E, Hsia J, Shlipak ME. 2004. Renal insufficiency and the
risk of lower extremity peripheral arterial disease: result from the heart and
estrogen/Progestin Replacement Study (HERS). J Am Nephrol; 15: 1046-
51
Patel TH, Kimura H, Weiss CR, Semenza GL, Hofmann LV. 2005. Constitutively
active HIF-1 alpha improves perfusion and arterial remodeling in an
endovascular model of limb ischemia. Cardiovasc Res; 68:144-154
Paul,J.C. (2012). Itch occuring with chronic wounds. June 29,2014. ProQuest
Parker, M.E. (2005). Nursing theories and nursing practice. Philadelphia: F.A
Davis Company
Sartor CD, Watari R, Passaro AC, Picon AP & Hasue RH et al. (2012). Effects of
a combined strenghthening, stretching and functional training program
versus usual care on gait biomechanics and foot function for diabetis
neuropathy: a randomized controlled trial. BMC Musculoskleletal
Disorders, 13:36
Selvin, E., Marinopoulus, S., Berkenbilt, G., Rami, T., Brancati, F.L., Powe,
N.R.,& et al. (2004). Meta-analysis glycosylated hemoglobin and
cardiovascular disease in diabetes mellitus. Ann Intern Med; 141:421-31.
Smeltzer., & Bare. (2003). Keperawatan Medikal Bedah (8 th ed). Jakarta: EGC
Steg, P.G., Bhatt, D.L., Wilson, P.W., & et al (2007). One-year cardiovascular
event rates in outpatients with athero-thrombosis. JAMA. 297:1197–1206
Stein R, Hriljac I, Halperin JL, Gustavson SM, Teodorescu V & Olin J. (2006).
Limitation of the resting ankle brachial index in symptomatic patients with
peripheral arterial disease. Vascular Medicine; 11: 29-33
Wijayakusuma MH. (2004). Bebas diabetes melitus ala Hembing. Jakarta: Puspa
Swara
Stadium lanjut/koma
hipoglikemik atau tidak
sadar+ curiga
hipoglikemia
1. Bolus D40% 2 flacon
(50 ml)
2. Berikan IVFD D10%
500 cc/6 jam
3. Periksa GDS
Bila GDS < 50
mg/dl +bolus
D40% 50 ml
Bila GDS <100
mg/dl +bolus
D40% 25 ml
4. Periksa GDS setiap 1
jam setelah
pemberian D40%
Bila GDS < 50
mg/dl + bolus
D40% 50 ml
Bila GDS <100
mg/dl +bolus
D40% 25 ml
Bila GDS 100-200
mg/dl tanpa bolus
D40%
Bila GDS > 200
mg/dl
10
Manajemen
hipomagnesium
1. Pantau keseimbangan
elektrolit yang
berhubungan dengan
hipomagnesia, mis;
hipokalemi atau
hipocalsemia
2. Pantau menurunna
magnesium, mis
diuretic, gangguan
pada ginjal,
pancreatitis akut
3. Pantau manifestasi
hipomagnesia
(letargi, insomnia,
kram tungkai,
nistagmus, mual,
muntah, anoreksia,
diare, distensi
abdomen)
4. Kolaborasi dengan
gizi pemberian
makanan tinggi
magnesium, seperti
11
5 Data subjektif: Risiko infeksi (sepsis) Tanda-tanda a. Observasi TTV a. Sepsis ditandai
tidak ada batuk, tidak pernah gosok gigi selama berhubungan dengan infeksi tidak ada: b. Monitor nilai lab dengan adanya tanda
dirawat di RS penurunan imunitas TTV dalam batas leukosit, LED, Systemic Inflamatory
Data objektif: akibat DM normal, leukosit prokalsitonin, CRP Response Syndrome
a. Pasien terlihat sering tiduran, jarang duduk. 5000-10.000/ µL, c. Observasi adanya (SIRS) yaitu
b. Tekanan darah = 150/80 mmHg, prokalsitonin < keluhan batuk peningkatan suhu >
N=88x/mnt, S= 37.3°C, RR=20 x/mnt. 0.1 ng/ml, Laju d. Observasi nilai 38ºC atau < 36ºC,
c. Paru: suara nafas vesikuler/vesikuler, ronkhi Endap Darah 0- rontgen thorax nadi >90 x/mnt, RR>
(-), wheezing (-) 20 mm CRP 0.0- e. Bantu pasien untuk 20x/mnt, leukosit >
d. adanya pus pada luka, leukosit 12.480/µL 3.0 mg/L, meningkatkan 12.000/µL atau <
(5000-10.000), prokalsitonin 17.62 ng/ml rontgen thorax personal hygine dan 4000/µL
(<0.1), Laju Endap Darah 118 mm (0-20), normal, batuk (-), libatkan keluarga b. Prokalsitonin
CRP 430.39 mg/L (0-3). personal hygine f. Anjurkan pasien merupakan penanda
dilakukan dengan untuk spesifik infeksi
baik, tidak ada mobilisasi/sering bakteri, peningatan
bakteri/jamur duduk di tempat tidur CRP menunjukkan
pada g. Ajarkan pasien dan adanya proses
pemeriksaan keluarga teknik cuci inflamasi dan juga
urin, terjadi tangan/ hand rub dapat sebagai
proses yang benar penanda exaserbasi
penyembuhan h. Terapkan prinsip PAD.
luka yang baik. aseptik pada tidakan c. Menunjukkan salah
invasif satu gejala adanya
i. Pantau waktu infeksi pada saluran
12
13
14
15
No Identitas dan kondisi pasien Pengkajian Konservasi dan Diagnosa Keperawatan Intervensi dan evaluasi
1 Pasien Ny M usia 51 tahun, beragama islam, Pengkajian lingkungan internal dan eksternal yang meliputi Manajemen hiperglikemia,
menikah, pendidikan tamat SMP, seorang ibu pengkajian 4 prinsip konservasi: manajemen hipoglikemia, manajemen
rumah tangga, alamat Pasar Rebo Jakarta. Integritas energi: energi, infection control, bleeding
Diagnosa medis DM tipe 2, hematemesis, Nafsu makan menurun akibat nyeri pada perut skala 4 dan mual. reduction, manajemen elektrolit:
hipertensi dan Pasien terlihat lemah, sering tiduran terus. Hb 11.9, Albumin hipokalemia, management shock
CAPD 1.69. TD= 150/90, N=100, S=37,RR=20. EKG= T inverted di cardiac, hope inspiration dan self
Riwayat penyakit sekarang (RPS): pasien datang lead II, III,avF,V1-V6. Elektrolit Na 135/K 2.8/Cl 92 Glukosa esteem enhancement.
ke IGD tgl 21/5/14 dengan keluhan mual muntah darah tidak stabil, KGDH 411/254/126
yang memberat sejak 2 hari SMRS. Setiap kali Evaluasi:
makan, pasien muntah. Muntah warna hitam ± Integritas Struktural: Glukosa darah mulai stabil setelah 4
200 cc. Gula darah di IGD 596, keton 0.3.OS BAB hitam (-), BAK normal, Rutin dilakukan CAPD oleh hari perawatan yaitu nilai GDS < 220,
dipindahkan ke ruangan tgl 23/5/14 dan keluarga, Hasil EGD= hiatal hernia, gastritis errosiva sedang. Tidak terjadi peningkatan leukosit,
pengkajian dilakukan saat itu juga. Leukosit 11.530, LED 65. lemas berkurang, tanda-tanda
Riwayat Penyakit dahulu: Riwayat DM sejak Integritas personal: ingin segera sembuh, sedih dan putus asa perdarahan tidak ditemukan, elektrolit
tahun 1985, mendapat terapi insulin novorapid 6- Integritas sosial: interaksi dengan keluarga, perawat dan dokter dalam batas normal, tekanan darah
10-12. riwayat amputasi th 2007, riwayat cukup baik terkontrol dengan pemberian captopril,
hipertensi sejak th 2007, minum obat valsatran. self esteem masih rendah.
Pasien diketahui sakit ginjal th 2011 dan hingga Diagnosa keperawatan:
saat ini pasien rutin CAPD sejak 6 bulan yang 1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor
lalu. risiko manajemen diabetes inefektif, intake nutrisi
kurang
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
3) Risiko perdarahan dengan faktor risiko gangguan
gastrointestinal
4) Risiko ketidakseimbangan elektrolit dengan faktor risiko
gangguan mekanisme regulasi pada DM.
5) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor
risiko dislipidemia, DM dan hipertensi.
6) Ketidakberdayaan berhubungan dengan regimen
penyakit dan ketergantungan terhadap orang lain.
3 Ny A, 64 tahun, beragama kristen, pendidikan Integritas energi: infection control, Shock prevention,
tamat SMA, menikah dan bekerja sebagai ibu Pasien terpasang NGT, mendapatkan diit 1700 kkal berupa diet shock management: vasogenic,
rumah tangga. OS masuk IGD RSCM tanggal cair 6x250 cc. kesadaran apatis-somnolen, GCS E3V4M5. TD= airway management, Manajemen
29/4/14 pukul 10.07 WIB dengan kondisi 110/60, N=116, S=38,7,RR=26. Terpasang oksigen simple mask hiperglikemia, manajemen
penurunan kesadaran sejak 2 jam SMRS. Gula 6 lpm. Terdengar ronkhi paru bilateral. Ro/ thorax (16/4/14)= hipoglikemia, , manajemen
darah saat MRS 24 mg/dl, selanjutnya dilakukan bronkopneumoni duplex elektrolit:hipokalemia,manajemen
protocol hipoglikemia bolus D40% 3 flacon dan Ro/ thorax AP (29/4/14)= edema paru hipervolemia
drip D10% 500cc/24 jam. Pasien kemudian sadar, Glukosa darah tidak stabil, KGDH 170/115/211/419, HbA1c=
4 Ny R 65 tahun, beragama islam, pendidikan tamat Integritas energi: wound care, infection control, pain
SMA, menikah dan bekerja sebagai ibu rumah Nafsu makan baik. Porsi makan yang diberikan RS habis > ¾ control, bowel management
tangga masuk IGD RSCM tanggal 17/4/14 porsi. OS mengeluh nyeri pada kaki skala 3. Tidur cukup. Gula
dengan keluhan luka di kaki kanan yang tidak darah stabil selama perawatan selalu < 200 mg/dl, HbA1c 6.8. Evaluasi:
kunjung sembuh sejak 1 minggu SMRS. Luka TD=110/70, N=78, S=36,5, RR=18. Tidak terjadi infeksi selama
awalnya seperti bisul kecil sebesar biji jagung. perawatan pasien, nyeri terkontrol
Riwayat trauma (-). Makin lama luka semakin Integritas Struktural: setelah perawatan hari ke-3,terjadi
besar, bernanah, demam (+). Gula darah 124 OS belum BAB sejak 3 hari, skibala (+). Terdapat luka di kaki penyembuhan luka hari ke -12 dengan
mg/dl. Selanjutnya OS dilakukan insisi drainage kanan, ukuran 6x3x1.5 cm, pus (-), jar nekrotik (-), granulasi (+). kondisi luka: ukuran luka mengecil
dan debridement di OK IGD tanggal 19/4/14 ABI= 1/1. Leukosit 8850/µL. 4x2x1 cm, pus (-), nerkrotik (-),
pukul 03.00 dan OS selanjutnya dipindahkan ke Integritas personal: ingin segera sembuh agar bisa olahraga granulasi (+). Konstipasi teratasi
ruang 715 E tanggal 19/4/14 pukul 09.30. setelah 2 hari intervensi.
Pengkajian dilakukan tanggal 21/4/16. Integritas sosial: interaksi dengan keluarga, perawat dan dokter
Dx medis: DM tipe 2, abses DM dextra post sangat baik dan kooperatif
Diagnosa keperawatan:
1) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
2) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor
risiko manajemen diabetes inefektif, infeksi
3) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan
6 Ny L, 41 tahun, belum menikah masuk ke IGD Integritas energi: infection control, manajemen
RSCM tanggal 16/4/2014 dengan kondisi pingsan TD=150/90, N=80, S=36,5 , RR=20. Suara nafar ronkhi kasar hipoglikemia, manajemen
2 jam SMRS, kejang (-), riwayat jatuh (-). Gula bilateral. Nafsu makan baik, porsi makan habis > ½ porsi, pusing hipervolemia, manajemen energi,
darah saat itu 29 mg/dl, selanjutnya dilakukan Hb 7.7. Tidur cukup. Gula darah selama perawatan < 200 mg/dl, hope inspiration dan self esteem
protokol hipoglikemia. OS diketahui menderita HbA1C 7.7. enhancement.
DM sejak 3 tahun , kontrol di Puskesmas dan
mendapatkan obat metformin 3x1/2 tab. Riwayat Integritas Struktural:
hipertensi sejak 1 th mendapat nifedipin dosis Asites (-), edema ektremitas (+), Balance cairan + 200 cc.
tidak tahu. Riwayat TB , asma disangkal. Pasien Creatinin 3.8, e GFR 11.3. Leukosit 12.900/µL. Evaluasi: tidak terjadi peningkatan
dipindahkan ke ruangan tanggal 17/4/14 dan leukosit selama perawatan 10 hari,
pengkajian dilakukan tanggal 22/4/14. Dx medis: Integritas personal: pasien mengatakan ia ingin hidup sehat dan glukosa darah stabil <200mg/dl,
CKD St V dengan anemia, DM tipe 2, hipertensi, normal seperti orang lain, tidak seperti saat ini selalu tergantung pusing berkurang setelah diberikan
CHF Fc II, riwayat hipoglikemia dengan kakaknya. tranfusi PRC 1 kolf. Pasien menolak
untuk dilakukan HD.
Integritas sosial: interaksi pasien dengan perawat dan tenaga
kesehatan lainnya cukup. Pasien cenderung tertutup.
Diagnosa keperawatan:
1) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
2) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor
risiko manajemen diabetes inefektif, infeksi
3) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan
regulasi ginjal
4) Keletihan berhubungan anemia
5) Ketidakberdayaan berhubungan dengan regimen
penyakit dan ketergantungan terhadap orang lain
Diagnosa keperawatan:
1) ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko
manajemen diabetes inefektif
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
3) ketidakseimbangan elektrolit: hiperkalemia dengan
faktor risiko gangguan mekanisme regulasi akibat DM
dan CKD
4) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor
risiko DM dan hipertensi
5) Mual berhubungan dengan asidosis metabolik
6) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan invasi
jamur akibat gangguan imunologis
7) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan adanya
perubahan fisik tubuh
11 Ny RY, 41 tahun datang ke IGD RSCM tanggal Integritas energi: Manajemen hiperglikemia dan
11/2/14 dengan keluhan lemas. Pasien dikirim TD=130/70, N=88, S=36 , RR=18, batuk (+) Suara nafar ronkhi hipoglikemia, infection control,
dari poli endokrin RSCM ke IGD dengan keluhan bilateral. Nafsu makan menurun,mual (+) porsi makan yang wound control manajemen elektrolit:
lemas disertai keringat dingin sejak 4 jam SMRS. mampu dihabiskan ½ porsi. Pusing (+), Hb 9.9. Tidur kurang hipokalemia, Shock prevention , pain
Pasien diketahui belum makan dr tadi pagi. Gula kerena nyeri skala 3. Gula darah tidak stabil, berkisar 60-350. control, edukasi manajemen diabetes
darah 35 mg/dl, telah mendapat dextrose 40% 2 HbA1C 11,7 %. EKG: sinus rytm, QRS rate 80x/mnt,PR int 0.16
fl di poli endokrin. Pasien juga mengalami luka dtk, QRS durasi 0.08 dtk, ST-t change (-), T inv (-), LVH (-), Evaluasi: glukosa darah berkisari 100-
pada kaki kanan sejak 1 bulan SMRS, dilakukan RVH (-). Elektrolit K= 3.13 250 setelah perawatan 2 minggu,
debridement di OK tgl 12/2/14, selanjutnya OS leukosit 12.560/µL, kondisi luka
dipindahkan ke ruang perawatan tgl 13/2/14. Dx Integritas Struktural: membaik, slogh, pus, jaringan
medis: Abses DM pedis dextra post insisi Terdapat luka pada dursum pedis dextra ukuran 20x8 cm, platar nekrotik berkurang, Tekanan darah ≤
drainase + debridement, DM tipe 2, riwayat 20x4 cm, pus (+), slough (+), jar nekrotik (+). Pasien mengatakan 130/80 mmHg. Skala nyeri berkurang
hipoglikemia sebab luka tidak diketahui,awalnya luka kecil lalu dikorek dengan manjadi 2. Pasien mampu
Riwayat penyakit dahulu: jarum peniti oleh pasien, lam-kelamaan luka makin membesar menyebutkan kembali pencegahan
DM dan hipertensi sejak 3 tahun, dan mengeluarkan nanah. Leukosit 13.610/µL, retinopati (+), dan penanganan hipoglikemiasaat
Diagnosa keperawatan:
1) ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko
manajemen diabetes inefektif
2) Risiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan penurunan
imunitas akibat DM
3) ketidakseimbangan elektrolit: hipokalemia dengan faktor
risiko gangguan mekanisme regulasi akibat DM
4) Nyeri akut berhubungan dengan agens injuri fisik
5) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor
risiko DM dan hipertensi
6) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya
paparan informasi mengenai perawatan kaki DM
12 Ny RW, 52 tahun, kiriman dr G pro CAPD. 4 Integritas energi: Manajemen hiperglikemia dan
bulan SMRS OS sesak, batuk dan kaki bengkak, TD=170/90, N=78, S=36 , RR=18. Nafsu makan baik. porsi hipoglikemia,infection control, Shock
diketahui saat itu mengalami sakit ginjal. OS telah makan yang mampu dihabiskan > ¾ porsi. Gula darah berkisar prevention , hipervolemia
4x menjalani HD di RS medistra dan setelah itu 90-200. HbA1C 8.8%. EKG: sinus rytm, QRS rate 60x/mnt,PR management, anxiety reduction
tidak HD lagi. Sudah 1 bulan SMRS kaki OS int 0.16 dtk, QRS durasi 0.08 dtk, ST-t change (-), T inv lead I,
bengkak lagi dan direncanakan dilakukan CAPD. aVL, LVH (-), RVH (-). Ro thorax: kardiomegali. Evaluasi: glukosa darah terkontrol
Riwayat DM sejak 4 th, mendapat insulin yaitu < 200 selama perawatan, tidak
novorapid 3x10 unit, gula darah sekitar 100-200 Integritas Struktural: terjadi tanda-tanda peningkatan
an. Dx medis: CKD st V pro CAPD,DM tipe 2, Balans cairan + 100, asites (+), edema tungkai (+), Leukosit infeksi, sebelum CAPD digunakan
Hipertensi belum terkontrol 8900/µL, retinopati (+), neuropati (-) HD rutin senin-kamis, pasien telah 5
kali dilakukan latihan CAPD untuk
Integritas personal: pasien terlihat cemas 1 hari sebelum operasi kemandirian dirumah.
10
Diagnosa keperawatan:
1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan
faktor risiko manajemen diabetes inefektif
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
3) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor
risiko DM dan hipertensi
4) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan
regulasi ginjal.
5) Ansietas berhububungan dengan tindakan operatif yang
akan dilakukan
13 Nn Y , 25 tahun, pendidikan sarjana masuk ke Integritas energi: Manajemen hiperglikemia dan
IGD tanggal 8/5/14 dengan penurunan kesadaran TD=100/70, N=100, S=36,8 , RR=20. Ronkhi (-), ro thorax hipoglikemia,infection control, bowel
sejak ½ jam SMRS. OS pingsan di kamar mandi 9/5/14= infiltrasi di parakardial kanan, penebalan pleura kanan dd incontinece care, electrolite
dan ditemukan mengalami kejang. Gula darah efusi pleura kanan minimal. Nafsu makan baik. porsi makan yang management: hypomagnesia
saat di IGD low, selanjutnya dilakukan protokol mampu dihabiskan > ¾ porsi. Hb 11.8, Alb 2,58. Gula darah
hipoglikemia, lalu pasien mulai sadar. Sejak 3 tidak stabil berkisar 60-430 an. HbA1C 10.3%. MSCT scan Evaluasi: hipoglikemia (-), gula darah
tahun yang lalu OS dikatakan mengalami DM tipe serebral : defek pada verteks, fokal atrofi lobus frontal bilateral, <300 mg/dl, leukosit menjadi
1 dengan pengobatan terakhir levemir 1x40 unit tdk tampak infark maupun perdarahan intrakranial. Kista retensi 8600/µL, diare mash ada namun
dan noorapid 3x20 unit. Sejak bulan februari OS sinus maksilaris kanan. Elektrolit Na 133/ K 3.5/ Cl 103.1, Mg frekuensi berkurangmenjadi 7x/hr dan
mengalami diare, demam (-), Hasil kolonoskopi 1.56 ampas mulai ada. Mg meningkat
menyatakan adanya colitis. OS juga mengalami manjadi 1.8. pasien keluar rumah
riwayat hipertiroid th 2011, mendapat obat PTU Integritas Struktural: sakit tagl 17/5/14 setelah mendapat
dan propanolol, namun sejak 1 th terakhir obat Diare ± 10 x/hr konsistensi air, ampas minimal. Colonoscopy: perawatan selama 9 hari.
sudah distop karena nilai T4 sudah normal. OS hemoroid sirkuler gr I=II,colitis. Balans cairan + 200 cc, Turgor
dipindahkan ke ruang perawatan tanggal 10/5/14 kulit masih baik. Leukosit 8570/µL
dan pengkajian dilakukan tanggal 12/5/14. Dx
medis: DM tipe 1, riwayat status epileptikus, Integritas personal: pasien ingin cepat sembuh dan ia mengatakan
diare kronik ia telah menerima kondisnya saat ini. Di rumah ia tidak bekerja,
tinggal bersama nenek. Ibu pasien telah lama meninggal karena
11
Diagnosa keperawatan:
1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan
faktor risiko manajemen diabetes inefektif
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
3) Diare berhubungan dengan adanya infalamasi pada usus
4) ketidakseimbangan elektrolit: hipomagnesia dengan
faktor risiko gangguan mekanisme regulasi akibat DM
14 Ny W, 48 tahun datang ke IGD RSCM tanggal Integritas energi: Manajemen hiperglikemia, infection
12/2/14 dengan keluhan luka pada jari manis dan TD=140/80, N=88, S=36 , RR=18, batuk (+) Suara nafas ronkhi control, wound care, energy
kelingking sejak 1 bulan SMRS. Awalnya luka bilateral. Nafsu makan baik. Pusing (+), Hb 9.5 Tidur kurang management, pain control, self esteem
seperti bisul, tidak ada riwayat trauma. Lama- kerena nyeri skala 4. Gula darah berkisar 100-250. HbA1C 10.8 enhancement
kelamaan luka makin besar, demam (+), nyeri (+), %.
nanah (+). dilakukan amputasi dig IV dan V tgl
13/2/14 di OK selanjutnya dipindahkan Integritas Struktural: Evaluasi: glukosa darah berkisar 100-
keruangan tanggal 14/2/14. Tanggal Terdapat luka pada lateral pedis sinistra, ukuran 23x8 cm, pus 250 setelah perawatan 3 minggu,
28/2/14pasien dilakukan debridement pedis minimal, slough minimal, granulasi minimal, dasar luka tendon leukosit 9870/µL, kondisi luka
sinistra. Pengkajian dilakukan tanggal 3/3/14. Dx dan otot. Luka pada plantar pedis sinistra uk 20x6x2 cm, luka membaik, slogh, pus, jaringan
medis: Ulkus Dm pedis sinistra post amputasi & pada plantar pedis dextra uk 5x4 cm, slough (+), granulasi dan nekrotik berkurang, Tekanan darah ≤
debridement, DM tipe 2. Riwayat penyakit pus minimal. 5460/µL, retinopati (+), neuropati (+). 140/80 mmHg. Skala nyeri berkurang
dahulu: DM sejak 6 th, kontrol tidak teratur, gula manjadi 2. Keluhan pusing (-) Pasien
darah tertinggi 600 an, mendapat obat metformin Integritas personal: pasien mengatakan tidak malu dengan kondisi mau menerima bantuan dari tetangga
3x500 mg. Riwayat hipertensi sejak 10 th, kaki yang seperti ini, karena sudah sering melihat penderitaan pasien, saat Keluar RS pasien
mendapat obat valsartan. orang-orang cacat pada LSM. Pasien berharap segera diberi dijemput oleh temannya
kesembuhan agar dia bisaaktif bekerja sebagai relawan di LSM
Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita (PPSDW)
Integritas sosial: selama sakit OS sering tidak ada yang
12
Diagnosa keperawatan:
1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan
faktor risiko manajemen diabetes inefektif
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM, luka pada kaki
3) Keletihan berhubungan dengan anemia
4) Nyeri akut berhubungan dengan agens injuri fisik
5) Ketidakberdayaan berhubungan dengan keterbatasan
fisik.
15 Ny. UK, 68 th datang ke IGD RSCM tanggal Integritas energi: Manajemen hiperglikemia dan
2/5/14 karena sesak nafas sejak 1 mggu SMRS. TD=120/80, N=88, S=37 , RR=18, batuk (+) Suara nafas ronkhi hipolikemia, infection control, wound
OS rujukan dari PJT dengan CHF dan DM. bilateral. Nafsu makan baik. Pusing (-).Gula darah berkisar 100- care
Pasien juga mengalami luka di kaki kaki kiri post 250. HbA1C 8.7 %.
debridemnt di iGD tgl 3/5/14. OS sempat dirawat Integritas Struktural: Evaluasi:
di HCU selama 5 hari sebelum dipindahkan ke Terdapat luka pada plantar pedis sinistra, ukuran 6x3cm, pus (-), Glukosa darah stabil selama
ruang perawatan tanggal 7/5/14. Diagnosa medis: slough (-), granulasi (+), dasar luka otot. retinopati (+), neuropati perawatan, hipoglikemia (-),
Ulkus DM pedis sinistra post debridement, DM (+). Leukosit 13.680/µL penyembuhan luka baik, batuk
tipe 2, CHF Fr II ec HHD, CAD. Riwayat Integritas personal: pasien mengatakan tidak malu dengan kondisi berkurang, leukosit 11840/µL. Pasien
penyakit dahulu: DM sejak 14 th, kontrol tidak kaki yang seperti ini. mengatakan jika dirumah anaknya
teratur, gula darah tertinggi 350 an, mendapat yang akan merawat lukanya. Pasien
terapi insulin novorapid 3x24 unit dan lantus Integritas sosial: selama sakit OS selalu ditunggui oleh suami dan keluar RS tanggal 14/5/14.
1x14 unit.Riwayat sakit jantung sejak th 2007 dan anaknya. OS kooperatif selama perawatan.
telah dipasang ring th 2011. Diagnosa keperawatan:
1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan
faktor risiko manajemen diabetes inefektif
2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
16 Ny H, 52 tahun, Agama Islam, pendidikan tamat Integritas Energi: mengeluh mual dan makan 1/4 porsi, Mengeluh Manajemen hiperglikemia, infection
SMA. Pasien datang ke IGD dengan keluhan luka nyeri skala 3-4 pada daerah ulkus. Hb: 10.5, Albumin: 2.50, BB: control, wound care, pain
13
17 Ny. BN, 50 tahun datang ke IGD dengan keluhan Integritas energi: Tekanan darah: 170/90 mmHg, Nadi: 84 Manajemen hipervolemia, manajemen
sesak napas memberat pada malam hari. Pasien x/menit, P: 16 x/menit, S: 36.3ºC.Batuk (+), ronkhi +/-. Edema hiperglikemia, infection control
mengeluh batuk di malam hari dan kedua pada kaki, balans cairan -200 cc. CRT < 3 detik, Hb: 8.7 gr%,
ekstremitas bengkak sejak 2 minggu SMRS. HBA1c: 8.5 %, Albumin: 3.30 mmol/l, GDS 241 mg/dl, Ureum: Evaluasi: sesak (-), edema berkurang,
Pasien juga mengalami perut buncit sejak 1 206 mg/dl, Kreatinin: 8.4 mg/dl. pasien menjalani HD 2x/mggu, batuk
minggu SMRS dan BAK hanya 200 cc/hr. berkurang, leukosit dalam batas
Riwayat DM sejak 8 tahun, hipertensi sejak 7 Integritas struktur: kulit kering, bersisik, Lekosit: 5.700 /ul, normal.
tahun, riwayat jantung th 2007. Dx. Medis: CHF
CKD Stage V, DM Tipe 2 Integritas personal: pasien ingin segera diberi kesembuhan dan
cepat pulang
14
Diagnosa keperawatan:
1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan
regulasi ginjal
2) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan
faktor risiko manajemen diabetes inefektif, infeksi
3) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
18 Ny. RA, 55 tahun, seorang ibu rumah tangga Integritas energi: kadang-kadang sesak napas disertai batuk, Manajemen hiperglikemia, infection
mengeluh mual, muntah 4 hari SMRS. Muntah pernapasan 24 x/menit, irama pernapasan teratur, bunyi paru control, diet management, bleeding
sebanyak 5-10 x/hari. Pasien terlihat lemas, tidak vesicular +/+, ronki (-/-), wheezing (-/-). Kedua akral teraba reduction, manajemen elektrolit:
dapat beraktivitas, mengeluh demam 3 hari hangat, tidak ada tanda edema, makan 1/4 porsi, mual (+),pasien hiponatremia
SMRS. Nafsu makan menurun sejak 1 minggu suka makan makanan yang berlemak begitu juga dengan makanan
SMRS, perut terasa nyeri. BAB cair 1 hari SMRS yang manis. . Hasil pemeriksaan laboratorium: Hb: 13.5,
lebih dari 3x/hari, warna kotoran hitam, lendir Albumin: 2.50, BB: 55 kg, Tinggi badan: 155 m (IMT = 22.89). Setelah intervensi keperawatan
(+), ampas (+).mengalami penurunan BB > 20 kg Pasien memiliki riwayat penurunan berat badan sampai dengan 30 diberikan selama sepuluh hari, pasien
selama 3 bulan. Gula darah di IGD 455mg/dl, kg, tidak terdapat edema pada kedua ekstremitas, kulit kedua diijinkan pulang dengan keadaan tidak
keton 1.7. Dx. Medis: Ketoasidosis, DM Tipe 2, ekstremitas bawah kering.HBA1c; 10.3%, Keton: 1.70 mmol/l, ada keluhan sesak, gula darah
Gula darah dalam regulasi insulin. Natrium: 128/ K 3.5/ Cl 99 terkontrol < 200 mg/dl, terapi insulin
Riwayat DM sejak 12 tahun, tidak rutin kontrol Integritas struktur: Akral teraba hangat, kulit kering, kesemutan Lantus 1x10 unit subkutan, Natrium
dan minum obat kerena sudah merasa sembuh. pada kedua ujung jari kaki,ABI 0.9/0.85. Neuropati (+), Leukosit 140 mmol/l. Mampu mengerti
Datang ke dokter hanya jika merasa badan tidak 14.620/uL. manajemen mandiri DM dan
enak. Integritas personal: pasien menyadari penyakit yang dialami berkeinginan menjalankan manajemen
adalah karena tidak bisa mengontrol makan sehari-hari, suka DM di rumah
dengan makanan yang berlemak dan manis. Pasien menyadari
tidak pernah memeriksa kadar gula darah ke puskesmas, hanya
kalau terasa badan tidak baru ia pergi ke puskesmas
15
16
17
18
22 Ny EM, 51 th datang ke IGD tgl 18 November Integritas energi: Manajemen hiperglikemia, infection
2013 dengan keluhan luka di kaki kanan. 4 bulan Pernafasan regular RR= 18x/mnt, Sesak (-), wheezing -/-, ronkhi control, wound care, pain
SMRS pangkal ibu jari kanan lecet akibat -/-. Pergerakan dada simetris. Bunyi jantung S1 S2 tunggal,. management, peripheral sensasion
bergesekan dengan sandal, lalu tibul luka yang TD=131/78 mmHg, nadi= 92x/mnt. CRT < 3 dtk. management, foot care
kering dan tidak bernanah.. Luka tidak diobati. 1 Konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-), keluahan pusing (-).
bulan SMRS, px demam, kaki kanan bengkak, Mukosa mulut bersih, lembab. BB = 55 kg, TB=160 cm, IMT: Evaluasi: Gula darah selama
selanjutnya berobat ke RS Budi Asih, diberikan 21,48. Px mendapatkan 3 kali porsi makan besar dan 2 kali perawatan stabil yaitu 100-210, tidak
obat penurun panas dan boleh pulang. Beberapa snack. Porsi makan tidak habis karena perut terasa penuh karena terjadi perluasan infeksi, penyebuhan
hari kemudian kaki semakin bengkak, lalu px belum BAB. Hb 10.2, Alb 2.28. GDS= 221, HbA1C 11.2% luka baik, leukosit dalam batas
dibawa ke RS Polri namun luka makin besar. normal, nyeri berkurang, pasien
Selanjutnya px dibawa ke IGD RSCM, mual (+), Integritas Struktural: mampu melakukan plantar flexi
nafsu makan menurun sejak 2 mggu terakhir Px mengeluh belum BAB sejak 4 hari yang lalu dan px juga exercise.
SMRS, BAB dan BAK saat itu tak ada keluhan. mengatakan telah minum sirup lactulose namun tetap belum bisa
Hasil EKG saat MRS tgl 18/11/2013 ditemukan bab. Pemeriksaan skibala (+). BU (+).Px mengatakan nyeri di
PVC. Hasil rontgen pedis ditemukan kaki kanan. Nyeri muncul kadang-kadang, terutama jika
osteomielitis.. Px juga saat itu mengalami dikakukan rawat luka, skala nyeri 4, nyeri seperti teriris. Status
hiponatremia dengan Na 133 dan hipoalbumin lokalis luka: Luka gr 3 (wagner), ukuran lukan 18 x 8 pada
dengan hasil alb 2.35, GDS 178 dan nilai keton dorsum pedis, 23x10x 2 pada plantar pedis. Aputasi dig IV pedis
0.1. dextra. Pus (-), odor minimal, jaringan nekrotik 10%, slough
19
Diagnosa keperawatan:
23 Ny MA, 56 tahun bekerja sebagai ibu rumah Integritas energi: tekanan darah: 170/90 mmHg, pernapasan: 24 Manajemen hiperglikemia,
tangga dengan tingkat pendidikan tamat SLTA x/menit, nadi: 96 x/menit. Sesak, lemas, edema pada kedua managemen hipervolemia, infection
datang ke IGD dengan keluhan sesak napas ekstremitas grade 3, akral hangat, CRT < 2 detik, balans cairan control, manajemen elektrolit:
terutama jika berbaring dan berkurang jika posisi +200 ccdalam 24 jam, GDS: 138/245/244, Hb: 8.4 Hematokrit: hiperkalemia, bowel elimination
duduk. Perut bengkak, ekstremitas edema. 25, Eritrosit: 275, , Protein total: 4.60, Albumin: 2.40, Globulin:
Riwayat DM sejak 7 tahun lalu. Dx. Medis: DM 2.30, Ureum: 131, Kreatinin: 6.4, HBA1c: 6%, Kalium: 5.9, Evaluasi:
tipe 2 + CKD stadium V Klorida: 109. Keluhan sesak berkurang, balans
cairan -100- 200 cc, pasien bersedia
Integritas struktur: belum BAB sejak 3 hari, skibala(+), edema untuk HD. edema berkurang leukosit
grade 2, kulit kering dan bersisik, akral hangat. LED: 113 dalam batas normal, Kalium
berangsur-angsur menurun hingga
20
Diagnosa keperawatan:
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan
regulasi ginjal
2. Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan
faktor risiko manajemen diabetes inefektif
3. ketidakseimbangan elektrolit: hiperkalemia berhubungan
dengan gangguan regulasi ginjal
4. Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
akibat DM
5. Konstipasi berhubungan dengan imobilisasi
6. Ansietas berhubungan dengan penyakitnya
24 Ny. SS, 57 tahun, Islam, tamat SD, bekerja Integritas energi: makan 1/2 porsi, mual, muntah (-). Mukosa Manajemen hipoglikemia, infection
sebagai ibu rumah tangga, janda. Dirawat dengan mulut kering, lesi (-), Hasil laboratorium: Albumin 3.40 dan Hb control, wound care, pain
riwayat tidak sadarkan diri satu hari sebelum 10.5 gr%, GDS= 36, Keton 0.40. BB : 55 kg, TB: 155 cm, IMT: management, peripheral sensasion
masuk rumah sakit. Pagi hari sebelum kejadian, 22.9 (normal). Riwayat penurunan BB (-). management, foot care.
sarapan 3 sendok makan lalu minum obat gula.
Setelah minum obat, pasien merasa pusing, lemas Integritas struktur: Ulkus plantar pedis sinistra, Nyeri skala 3
dan akhirnya tidak sadar, saat dicek GDS: 36 terutama bila digerakkan, pus (+) sedikit,terdapat beberapa
gr/dL. Setelah sadar, mengeluh mual dan lemas, jaringan nekrosis (+), jaringan granulasi (+). Akral teraba hangat, Evaluasi: Setelah dilakukan perawatan
bicara pelo, dan pusing. BB: 55 kg, TB: 155 cm, baal (-), kesemutan (-). Sensori pada ujung jari-jari kaki kanan selama lima hari, selera makan
IMT: 22.89. Pasien didiagnosis DM tipe 2 oleh dan kiri (+). ABI kanan 0.93 dan kiri 0.87. Pasien mengetahui membaik, glukosa darah dalam batas
dokter di Puskesmas sejak 2 bulan yang lalu mengidap penyakit DM tapi tidak mengetahui manajemen normal (100-200 mg/dl), hipoglikemia
(Desember 2012) dan diberi Glibenclamide 5 mg mandiri DM. Leukosit 13.200/ uL, trombosit 525.000/ d dimer (-), kondisi ulkus (granulasi positif,
dan satu macam obat yang pasien lupa namanya. 100/ fibrinogen 437 pus berkurang), perluasan infeksi (-),
Saat itu pasien berobat karena kaki kiri tertusuk leukosit 11.720/ uL.
paku, luka di kaki sukar sembuh. Integritas personal: pasien pasrah dengan kondisi sakitnya saat ini
21
Diagnosa keperawatan:
25 Ny. RN, 52 tahun bekerja sebagai ibu rumah Integritas energi: tanda vital: T : 37ºC, TD : 110/80 mmHg, R : Manajemen hiperglikemia, protokol
tangga datang ke IGD dengan keluhan mual dan 26 x/m, N : 96 x/m, HBA1c: 9.6%, GDS 432 mg/dl, Keton: 3.40 KAD, infection control, nausea
muntah sejak 2 hari SMRS. Muntah sebanyak 3-4 mmol/l, Lekosit: 15.9 ribu/ul, pH : 7.3, pCO2 : 22.1 mmHg, PO2 management
x/hr, warna kecoklatan, badan terasa lemas, sakit : 124.2 mmHg, HCO3 : 12.1 mmol/L, O2 saturasi : 98.4 %, Total Evaluasi: setelah dilakukan protokol
kepala (+), selera makan berkurang, makan hanya CO2 : 12.8 mml/L . Pasien mengeluh lemas, banyak kencing dan KAD selama 24 jam, glukosa darah
1-2 sendok. Setiap yang dimakan dikelurakan haus., mual (+) pasien mulai stabil < 250 mg/dl, keton
kembali. Pasien memiliki riwayat DM sejak 7 0.3, tanda-tanda dehidrasi (-), turgor
tahun, kontrol tidak teratur sebab tidak ada yang Integritas struktur: kulit kaki kering, terdapt fisura, bentuk kaki baik. Mual berkurang
mengantar. hammer toes. Leukosit 15.780 /uL
Dx. Medis: DM tipe 2 dengan KAD
Integritas personal: pasien menyadari penyakit yang dialami
adalah murni karena sakit medis
Diagnosa keperawatan:
22
26 Tn. SA, 53 tahun dibawa ke IGD karena lemas, Integritas energi: TD= 90/60, N= 98 x/mnt, S=37, RR=22x.mnt. Manajemen hipoglikemia, infection
hingga tidak sanggup bangun ataupun berjalan, batuk (+), vesicular +/+, ronki basah kasar (+/+), wheezing (-). control, edukasi manajemen diabetes:
berbicara menjadi sulit, dan kadar glukosa darah Makan 2-3 sendok, keluhan mual, muntah. Lemas (+), Hb: 10.5. pengenalan hipoglikemia dan
saat masuk RS yaitu 35 mg/dL. Pasien penanganannya selama dirumah
mengatakan nafsu makan berkurang karena mual, Integritas struktur: sering terasa terasa kesemutan pada ujung jari
hanya makan 2-3 sendok dan obat DM tetap kaki, kulit kering. Lekosit: 12.300/ul Evaluasi: setelah dilakukan protokol
diminum. Pasien juga mengeluh sering batuk, hipoglikemia dan dilakukan
keluar keringat dingin di malam hari dan berat Integritas personal: Pasien mengatakan tidak paham aturan pemantauan secara ketat, selama 24
badan menurun drastis. Riwayat TB 4 tahun yang minum obat DM, hanya berfikir minum obat agar gula tidak jam, glukosa darah pasien mulai stabil
lalu, minum OAT selama 6 bulan dan telah tinggi. yaitu 100-200 mg/dl, hipoglikemia (-
dinyatakan sembuh oleh dokter. Dx Medis: Integritas sosial: pasien kooperatif terhadap tindakan keperawatan ), pasien dan keluarga mampu
Hipoglikemia, DM Tipe 2, on protocol yang dilakukan padanya. menyebutkan tanda-tanda
hipoglikemia, Susp. TB hipoglikemia dan penanganannya
Diagnosa keperawatan: selama dirumah.
27 Ny RA, 42 tahun masuk rumah sakit karena nyeri Integritas energi: Kedua akral teraba hangat, edema pada kaki Manajemen hiperglikemia,
pada kaki kanan disertai bengkak dan kemerahan, bilateral. Pedis dextra tampak hiperemis, nadi teraba (+), pulsasi manajemen diit, infection control,
tapi tidak ada keluhan demam. Pasien tidak tahu (+), luka pada dorsum pedis kering. makan 1/4 porsi dari manajemen elektrolit: hipokalemia,
awalnya sampai kaki kanan bengkak, kemerahan makanan yang disediakan RS, mual. Pemeriksaan Hb: 10.5 gr%, edukasi manajemen DM
dan terasa nyeri. Riwayat DM sejak tahun 2008, Albumin: 3.30. Na 138/ K 2.9/ Cl 101. GDS 234 ,HbA1c 8.8%
rutin minum obat Glibenklamid (2x5 mg PO). Integritas struktur: nyeri kaki kanan skala 6, akral teraba hangat,
Keluhan poliphagia, polidipsia dan poliuria (+) kulit kering, kadang-kadang terasa nyeri pada daerah dorsum Setelah dirawat selama tujuh hari,
23
28 Ny N, 47 th. Datang ke IGD dengan keluhan luka Integritas energi: Manajemen hiperglikemia,
dan nyeri pada kaki kiri. 7 hari SMRS Px Px mengeluh batuk sejak 1 hr yl, dahak susah keluar. Pernafasan manajemen diit, infection control,
mengeluh muncul luka pada jempol kaki kiri. regular RR= 18x/mnt, Sesak (-), wheezing -/-, ronkhi +/-. edukasi manajemen DM: perawatan
Luka spt bisul kecil, kemudian pecah, luka Pergerakan dada simetris. Bunyi jantung S1 S2 tunggal,. kaki, pain control
menjadi semakin membesar. Luka terdapat pada TD=120/80 mmHg, nadi= 84x/mnt. Nafsu makan menurun,
dorsalis pedis sinistra dan digiti I pedis dextra. merasa cepat kenyang. Porsi makan habis <1/2 porsi. Pusing (-), Evaluasi:
Nyeri (+), demam (+), kesadaran menurun saat GDS 213 mg/dl, HbA1c 8.9% Setelah dirawat selama 2 minggu hari,
dibawa ke RS. pasien keluar RS, hasil pemeriksaan
Hasil fotopedis tgl 14/9/13= osteomielitis head Integritas struktur: nyeri kaki kiri skala 4. adanya luka Post GDS 220 mg/dl, memahami
metatarsal IV pedis sinistra debridement Pedis Sinistra + digiti I pedis dextra, kulit kering. manajemen mandiri DM terutama
Ro thorax: pneumonia, aorta elongasi ABI 0.89/0.85. Leukosit 12.880/µL melakukan perawatan kaki dan senam
Tgl 15/9/2013= dilakukan debridement pedis kaki, nyeri berkurang, batuk (-),
sinistra + digiti I pedis dextra. Px memiliki Integritas personal: pasien tidak malu dengan kondisinya ronkhi (-).
riwayat DM diketahui sejak 1 th SMRS. Riwayat
HT, jantung, stroke disangkal. Ibu Px juga Integritas sosial: interaksi baik dengan pasien di sekitar, keluarga
24
29 Ny. SY, 31 th, tamat akademi datang ke IGD Integritas energi: Manajemen hiperglikemia,
tanggal 7/12/13 dengan keluhan kaki bengkak TD=110/80 mmHg, nadi= 84x/mnt. Pernafasan regular RR= manajemen diit, infection control,
sejak 1 minggu SMRS, tidak diketahui 18x/mnt, Sesak (-), wheezing -/-, ronkhi + bilateral, Pergerakan edukasi manajemen DM, pain
penyebabnya, trauma (-). Telapak kaki kiri dada simetris. Bunyi jantung S1 S2 tunggal,. Nafsu makan control, enhance coping
awalnya hanya berwarna putih, lama kelamaan menurun, mual. Porsi makan habis ¼ porsi. Pusing+,Hb 8.8,
bengkak semakin besar, semakin nyeri dan GDS 280 mg/dl, HbA1c 13.1%. Na 138/K 3.6/Cl 99 Evaluasi:
berwarna kemerahan. GD saat masuk 563. Keton Setelah dirawat selama 9 hari, pasien
2.7. Mual (+), muntah (+). Riwayat DM sejak 5 Integritas struktur: nyeri kaki kiri skala 4, kemerahan, akral keluar RS, hasil pemeriksaan GDS
th, tidak rutin kontrol. Obat yang diminum hangat. ABI 0.9/1,0. Leukosit 11.560/µL berkisar 100-200 mg/dl, nafsu makan
glibenklamid 1x1. Pengkajian dilakukan tgl 9-12- meningkat, habis ¾ porsi, pasien
13. Integritas personal: pasien takut kakinya dioperasi memahami manajemen mandiri DM
Dx medis: abses DM pedis sinistra, DM Tipe 2, terutama melakukan perawatan kaki,
riwayat KAD. Integritas sosial: interaksi baik dengan pasien di sekitar, keluarga nyeri berkurang, ronkhi berkurang,
dan perawat pasien menyetujui dilakukan tindakan
insisi pada plantar pedis sinistra.
Diagnosa keperawatan: Penyembuhan luka baik.
25
30 Ny NN, 48 th, menikah, IBU Rumah Tangga. Px Integritas energi: Manajemen hiperglikemia,
dibawa ke IGD RSCM tanggal 28 November TD=110/80 mmHg, nadi= 84x/mnt. Px mengeluh batuk sejak 3 manajemen diit, infection control,
2013 karena mencret sejak 3 hr SMRS. Mencret mggu, dahak susah keluar. Pernafasan regular RR= 18x/mnt, edukasi manajemen DM: perawatan
> 10 kali sehari, ampas (-), lendir (-), darah (-). Sesak (-), wheezing -/-, ronkhi + bilateral, Pergerakan dada kaki, pain control
Ada demam yang naik turun, tidak menggigil. simetris. Bunyi jantung S1 S2 tunggal,. Nafsu makan menurun,
Mual (+), makan hanya ½ porsi. 3 bulan SMRS merasa cepat kenyang. Porsi makan habis <1/2 porsi. Pusing (-), Evaluasi:
pasien px mengalami luka di kaki kiri, luka GDS 310 mg/dl, HbA1c 9.1% Setelah dirawat selama 13 hari, pasien
digaruk, semakin membesar dan tak kunjung keluar RS, hasil pemeriksaan GDS
sembuh. Px sempat dirawat di RSCM Lt 7 selama Integritas struktur: diare (-), nyeri kaki kiri skala 3. adanya luka 220 mg/dl, memahami manajemen
½ bulan dan saat pulang mendapat terapi OAT. Post debridement Pedis Sinistra + digiti I pedis dextra, kulit mandiri DM terutama melakukan
Setelah pulang px hanya kontrol di poli bedah kering. ABI 0.9/0.87. Leukosit 11.880/µL perawatan kaki dan senam kaki, nyeri
saja, tidak pernah kontrol ke poli penyakit dalam berkurang, batuk (-), ronkhi
dan poli paru. Integritas personal: pasien ingin lekas sembuh, sudah bosan di RS berkurang, OS saat ini dalam
Dx medis saat masuk IGD: GEA dgn pemberian OAT, pasien mengatakan
hipokalemia, TB paru on OAT, Ulkus pedis DM Integritas sosial: interaksi baik dengan pasien di sekitar, keluarga akan rajin kontrol sepulang dari RS
sinistra, DM T2 dengan hipoglikemia GD 58, dan perawat.pasien kooperatif terhadap tindakan yang diberikan agar tidak masuk kembali dengan
AKI kondisi yang sama.
Selanjutnya px dipindahkan ke 708 C tgl 1 Diagnosa keperawatan:
Desember 2013 dan tgl 4 Desember 2013
dilakukan debridement ulkus pedis sinistra. 1) Ketidakstabilan kadar glukosa darah hipoglikemia
Px memiliki riwayat DM diketahui sejak 1 th berhubungan dengan manajemen diabates tidak efektif
SMRS. Riwayat HT, jantung, stroke disangkal. 2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
Ibu Px juga menderita DM. Setelah pulang dari akibat DM
RS sejak 3 bln yl, px kontrol ke poli bedah. Px 3) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan
mendapatkan OAT sejak bulan Oktober 2013. dengan adanya stenosis
Putus obat ± 1 bulan dan dilanjutkan kembali 4) Nyeri akut berhubungan dengan agens injuri fisik
dalam perawatan saat ini. 5) Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri
26
Semoga Bermanfaat
Alamat : ……………………………………………………….
Copy right
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2014 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2014
1 2
B Berjalan Tandem
3 4
4. BERDIRI SEMI-TANDEM
Pasien berjalan dengan satu kaki berada di depan kaki yang
lain.Berjalan sebanyak 10 langkah, dilakukan 5 set/hari.
C Berdiri Unipedal
Sangat
Tidak
Sangat Baik Tidak
No Pertanyaan Baik
Baik
1 2 3 4
Informasi yang diberikan jelas
1
dan mudah dimengerti
Tulisan dapat dibaca dengan
2
jelas
Tampilan dan warna gambar
3
jelas
Booklet ini media yang praktis
4
untuk digunakan.
5 Manfaat booklet
Buku ini akan saya gunakan Ya Tidak
untuk petunjuk latihan mandiri
6 di rumah dan sebagai media
informasi dan komunikasi
dengan petugas poli Endokrin