Anda di halaman 1dari 195

i

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS APLIKASI TEORI MODEL ADAPTASI ROY


PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN DAN
INTERVENSI CRYOTHERAPY UNTUK MENURUNKAN
NYERI KANULASI PASIEN HEMODIALISIS
DI RSUP FATMAWATI JAKARTA

KARYA ILMIAH AKHIR

RITA DWI HARTANTI

NPM. 1106043192

PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN


KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2014

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Ilmiah Akhir dengan judul “Analisis Aplikasi Teori Model Adaptasi Roy pada
Pasien Gangguan Sistem Perkemihan dan Intervensi Cryotherapy untuk
Menurunkan Nyeri Kanulasi Pasien Hemodialisis di RSUP Fatmawati Jakarta “.
Karya Ilmiah Akhir ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Ners
Spesialis Keperawatan Medikal Bedah di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.

Penulis menyadari Karya Ilmiah Akhir ini dapat penulis susun dengan baik berkat
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan ini,
penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat :
Dr. Junaiti Sahar, S.Kp, M.App.Sc, selaku Dekan Fakultas Ilmu keperawatan
Universitas Indonesia.
Agung Waluyo, S.Kp., M.Sc., PhD, selaku supervisor utama yang telah
meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk memberikan bimbingan dengan
penuh kesabaran selama penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini.
Lestari Sukmarini, S.Kp, M.N, selaku sekretaris Program Pasca Sarjana Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dan selaku supervisor yang juga telah
meluangkan waktu, pikiran dan tenaga memberikan bimbingan dengan penuh
kesabaran selama penyusunan Karya Ilmiah Akhir.
Seluruh jajaran Direktur beserta staf RSUP Fatmawati, Ka. Instalasi Gedung

Rawat Inap dan Gedung Bougenville, Kepala Ruang penyakit dalam dan
kepala ruang bedah beserta staf, atas kesempatan yang diberikan kepada
penulis untuk melaksanakan praktek residensi spesialis Keperawatan Medikal
Bedah.
5. Seluruh dosen pengajar Program Pasca Sarjana Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia, Khususnya Spesialis Keperawatan Medikal Bedah

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


v

yang telah membantu selama proses pembelajaran serta penyusunan Karya


Tulis Ilmiah.
6. Bapak dan Ibu serta ananda tercinta Muhammad Aqeela Farizky yang banyak
memberikan semangat, dukungan dan do’a hingga penulis dapat melanjutkan
pendidikan Program Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
7. Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Program Ners Spesialis Keperawatan
Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, atas
inpirasi, kerja sama dan dukungan motivasi, serta pihak lain yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang membantu penulis dalam menyelesaikan
Karya Tulis Ini.
Penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan atas segala kebaikan
yang telah diberikan.

Depok, Juli 2014

Rita Dwi Hartanti

vi

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


vii

PROGRAM NERS SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA

Karya Ilmiah Akhir, Juli 2014

Analisis aplikasi Teori Model Adaptasi Roy pada pasien gangguan sistem
perkemihan dan intervensi cryotherapy untuk menurunkan nyeri kanulasi pasien
hemodialisis di RSUP Fatmawati Jakarta.
xii + 127 hal + 1 skema + 2 diagram + 1 lampiran

Abstrak
Aplikasi Teori Adaptasi Roy dalam asuhan keperawatan pasien dengan gangguan
perkemihan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap
perubahan perilaku fisik dan psikologis yang disebabkan oleh berbagai stimulus
fokal, residual dan konstektual. Masalah keperawatan yang umumnya terjadi
pada pasien dengan gangguan perkemihan diantaranya kelebihan volume cairan,
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, intoleran aktifitas,
gangguan pola tidur, cemas, koping tidak efektif. Implementasi keperawatan
untuk mengatasi masalah tersebut meliputi pelaksanaan intervensi keperawatan
yang terdiri dari berbagai aktivitas regulator dan kognator. Dalam penerapan teori
adaptasi Roy menunjukkan pelaksanaan praktek keperawatan berbasis
pembuktian dengan Cryotherapy, efektif untuk mengurangi nyeri kanulasi pada
pasien hemodialsis dan penerapan pemberian booklet manajemen hemodialisis
menunjukkan dapat meningkatkan pengetahuan pasien tentang manajemen
hemodialisis.

Kata kunci : gangguan sistem perkemihan, model adaptasi Roy, Cryotherapy,


booklet edukasi manjemen hemodialisis.

Daftar pustaka : 34 (1997 -2012)

vii

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


viii

MEDICAL SURGICAL NURSE SPECIALIST


FACULTY OF NURSING SCIENCE
UNIVERSITY OF INDONESIA

Final Scientific Work, July 2014

The analysis of Roy Adaptation Model Theory application in patients with urinary
system disorders and interventional cryotherapy to reduce cannulation pain in
hemodialysis patients in Fatmawati Jakarta.

Abstract

Application Roy Adaptation Theory in nursing care of patients with urinary


disorders aims to improve the ability of adaptation to the physical and
psychological behavior changes induced by various stimuli focal, contextual and
residual. Nursing problems that commonly occur in patients with urinary
disorders including fluid volume overload, imbalance nutrition less than body
requirements, activity intolerance, impaired sleep patterns, anxiety, coping
ineffective. Implementation of nursing include the implementation of nursing
intervention that consisted of various of kognator and regulators activities. The
application of Roy's adaptation theory suggests the implementation of evidence-
based nursing practice with Cryotherapy than effective for reducing pain
cannulation in hemodialysis patients and application of educational booklets
mangement of hemodialysis has been shown to increase knowledge about the
management of patients on hemodialysis.

Keywords: Urinary disorders, Roy adaptation model, Cryotherapy, educational


booklets mangement of hemodialysis.

Bibliography: 34 (1997 -2012)

viii

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................... ii
HALAMAN PESETUJUAN .................................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................. iv
KATA PENGANTAR ........................................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................... vii
DAFTAR ISI ........................................................................................ ix
DAFTAR SKEMA................................................................................ x
DAFTAR TABEL .............................................................................. xi
DAFTAR DIAGRAM........................................................................... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................... 1


1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan................. ..................................................... 4
1.3 Sistematika Penulisan ............................................................... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 7


2.1 Penyakit Ginjal Tahap Akhir ...................................................... 7
2.2 Teori Adaptasi Roy .................................................................... 13
2.3 Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Asuhan Keperawatan Pasien
dengan Penyakit Ginjal tahap Akhir............................................ 23

BAB 3 PROSES RESIDENSI ............................................................... 36


3.1 Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Asuhan Keperawatan Pasien
dengan Gangguan Sistem Perkemihan........................................ 36
3.2 Evidence Base Practice Cryotherapy ........................................... 89
3.3 Kegiatan Inovasi ........................................................................ 96

BAB 4 PEMBAHASAN ....................................................................... 104


4.1 Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy....................................... 104
4.2 Pembahasan Penerapan Evidence Base Cryotherapy .................... 117
4.3 Pembahasan Penerapan Inovasi ................................................. 122

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN


5.1 Simpulan .................................................................................. 126
5.2 Saran ........................................................................................ 127

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ix

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


x

DAFTAR SKEMA

Skema 2.1 Model Konseptual Roy “Manusia Sebagai Sistem Adaptasi”..............14

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


x

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Rencana Asuhan Keperawatan dan Implementasi.................................47

Tabel 3.2 Catatan Perkembangan.........................................................................54

xi

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


x

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 3.1 Distribusi Skala Nyeri Penusukan AV Fistula Pre dan Post
Intervensi pada kelompok Perlakuan .................................................. 96

Diagram 3.2 Distribusi Skala Nyeri Penusukan AV Fistula Pre dan Post
Intervensi pada kelompok Kontrol ...................................... 97

xii

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


1

BAB 1
PENDAHULUAN

Latar belakang
Pelayanan keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan profesional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan berbentuk pelayanan bio-
psiko-sosial-spiritual yang komprehensif. Pelayanan keperawatan yang ditujukan
kepada individu, kelompok dan masyarakat baik sehat maupun sakit merupakan
disiplin profesional yang menerapkan pengetahuan dan kemampuan berfikir kritis
dalam menghadapi setiap situasi pasien melalui pemberian asuhan keperawatan
berdasarkan pada ilmu dan kiat praktik keperawatan. Peningkatan mutu dan
kualitas pelayanan keperawatan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan
derajat kesehatan seseorang baik individu, kelompok dan masyarakat secara bio-
psiko-sosial-spiritual (Perry dan Potter, 2009). Salah satu upaya peningkatan mutu
dan kualitas pelayanan keperawatan adalah dengan meningkatkan jenjang
pendidikan berkelanjutan bagi perawat seperti praktik klinik residensi spesialis
keperawatan. Praktik klinik residensi spesialis keperawatan medikal bedah
peminatan sistem perkemihan merupakan salah satu strategi peningkatan kualitas
pelayanan keperawatan dengan memperdalam kemampuan berfikir kritis,
menganalisis dan peningkatan ketrampilan klinik terkait dengan berbagai masalah
keperawatan yang dihadapi oleh klien dalam sistem perkemihan serta
meningkatkan peranan perawat dalam tatanan pelayanan keperawatan dalam
sistem perkemihan baik kepada individu, kelompok dan masyarakat.

Laporan praktik ini merupakan laporan praktik klinik residensi spesialis


keperawatan medikal bedah peminatan sistem perkemihan yang dilaksanakan di
RSUP Fatmawati Jakarta selama dua semester. Ruangan yang digunakan untuk
praktik klinik tersebut adalah ruang perawatan penyakit dalam lantai V selatan
gedung teratai, ruang perawatan bedah perkemihan lantai IV Selatan dan IV Utara
gedung teratai, IGD, Poli klinik Bedah perkemihan dan unit hemodialisis Instalasi

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


2

Pelayanan dan Pemeriksaan khusus (IP2K) gedung Bougenvile. Selama menjalani


praktik klinik residensi sistem perkemihan ini praktikan menerapkan peran dan
fungsinya sebagai perawat spesialis dengan menerapkan teori keperawatan dalam
melakukan asuhan keperawatan dengan kompetensi yang dicapai selama praktik
klinik residensi berupa kemampuan melaksanakan asuhan keperawatan kepada
pasien dengan gangguan sistem perkemihan, melaksanakan tindakan keperawatan
mandiri dengan basis pembuktian ilmiah (evidence based nursing practice), dan
berperan sebagai edukator/pendidik bagi perawat di ruangan/pasien/keluarga serta
melakukan program inovasi pemberian booklet manejemen hemodialisis dalam
upaya memberikan pengembangan intervensi keperawatan berdasarkan hasil riset
keperawatan.

Selama praktik residensi berlangsung praktikan melaksanakan peran perawat


sebagai pemberi asuhan keperawatan dengan melakukan pemberian asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan. Pemberian asuhan
keperawatan praktikan lakukan dengan menerapkan teori model Adaptasi Roy.
Teori Adaptasi Roy dapat digunakan pada pasien dengan gangguan sistem
perkemihan karena pada pasien gangguan sistem perkemihan dapat menimbulkan
dampak perawatan yang panjang dan membutuhkan penatalaksanaan yang
panjang untuk mempertahankan kesehatan tubuh, seperti pada pasien dengan
penyakit ginjal tahap akhir yang membutuhkan terapi pengganti ginjal sebagai
terapi berkelanjutan untuk mengganti fungsi ginjal yang telah rusak, pasien
dengan striktur uretra atau BPH memerlukan pemasangan kateter yang
berkepanjangan sampai gejala teratasi, dan sebagainya. Pasien dengan gangguan
sistem perkemihan juga memerlukan penerimaan terhadap kondisi sakitnya serta

beradaptasi terhadap berbagai perubahan terhadap kondisi penyakit dan gaya


hidupnya selama sakit.

Teori Adaptasi Roy diharapkan mampu meningkatkan kemampuan adaptasi


pasien dengan gangguan sistem perkemihan dengan meningkatkan kemampuan
beradaptasi terhadap perubahan perilaku fisik maupun psikologis yang disebabkan

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


3

oleh berbagai stimulus dengan merubah perilaku yang tidak adaptif menjadi
perilaku adaptif kembali. Teori adaptasi Roy memandang bahwa manusia sebagai
makhluk yang holistik yang berinteraksi secara konstan dengan perubahan
lingkungan. Dalam penerapan teori adaptasi Roy diharapkan perawat dapat
berperan sebagai profesi yang memberikan asuhan keperawatan yang berfokus
pada proses hidup manusia, dimana perawat merupakan teladan dalam
meningkatkan kesehatan bagi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat secara
keseluruhan. Dalam teori Roy perawat juga berperan sebagai untuk
mengembangkan kemampuan individu dalam beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan serta mengkaji perilaku dan stimulus yang mempengaruhi adaptasi
tersebut (Roy & Andrew, 1999 dalam Phillip, 2006).

Penerapan teori keperawatan Adaptasi Roy dilakukan pada setiap kasus gangguan
sistem perkemihan yang praktikan temukan selama praktik residensi yaitu
sebanyak 34 kasus dengan kasus terbanyak adalah pasien dengan penyakit ginjal
tahap akhir (PGTA) dengan penatalaksaan tindakan hemodialisis yang salah
satunya menjadi kasus kelolaan utama praktikan. Kasus penyakit ginjal tahap
akhir ini praktikan ambil karena pada kasus yang praktikan temukan sebagai
kelolaan utama didapatkan bahwa pasien memiliki usia yang masih muda, dengan
riwayat mengkonsumsi minuman berenergi, dan pasien memerlukan bantuan
untuk melakukan adaptasi terhadap berbagai penatalaksanaan pengobatan dan
perawatan yang memerlukan tindak lanjut jangka panjang. Kasus lain yang
menjadi kasus kelolaan praktikan antara lain : pasien gagal ginjal kronik dengan
penatalaksanaan peritoneal dialisis, benigna prostat hiperplasia (BPH), batu
saluran kemih dengan hidronefrosis, Batu Cetak Pielum, Vesicolithiasis, trauma

bladder dan Gross hematuri.

Dalam pemberian asuhan keperawatan praktikan juga menerapkan evidence based


practice (EBP) pada intervensi keperawatan yang diberikan kepada pasien berupa
penerapan Cryotherapy Untuk Mengurangi Nyeri Saat Penusukan Arterivenous
(AV) Fistula Pada Pasien Penyakit Ginjal Tahap Akhir dengan Hemodialisis. Hal

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


4

ini dilakukan berdasarkan fenomena yang praktikan temukan saat melakukan


praktik di ruang hemodialisis bahwa 80% pasien mengeluhkan nyeri saat
dilakukan penusukan akses vaskuler saat tindakan hemodialisis meskipun pasien
tergolong pasien yang sudah lebih dari 6 bulan melakukan hemodialisis.
Penggunaan cryoterapy bersifat lokal sehingga tidak berpengaruh besar terhadap
sistem hemodinamika tubuh, sehingga penggunaan cryotherapy bermanfaat untuk
mengurangi nyeri yang dapat juga bersifat terlokalisasi (Nadler dan Kruse, 2004).
Selain sebagai pemberi asuhan keperawatan praktikan sebagai calon perawat
spesialis juga berperan sebagai inovator atau agen pembaharu.
Untuk meningkatkan peran perawat spesialis sebagai inovator atau agen
pembaharu, praktikan juga melaksanakan inovasi sesuai dengan kebutuhan pasien
dan ruangan yang digunakan sebagai lahan praktik. Kegiatan inovasi yang
praktikan berikan bersama kelompok adalah dengan membuat dan menyusun
pedoman manajemen pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis
melalui pembuatan media booklet manajemen pasien penyakit ginjal tahap akhir
dengan hemodialisis sebagai sarana edukasi kepada pasien dengan PGTA karena
memberikan edukasi merupakan salah satu peran perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan. Inovasi ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan khususnya dalam pemberian asuhan dan upaya
meningkatkan kualitas hidup pasien PGTA dengan hemodialisis.
Berdasarkan uraian di atas maka dalam penulisan laporan analisa praktik residensi
ini praktikan akan memaparkan analisa kegiatan praktik residensi dalam
menjalankan peran sebagai perawat spesialis yang meliputi pemberi asuhan
keperawatan yang didalamnya terdapat peran sebagai peneliti, kolaborator,
pendidik, advokator dan inovator yang berbasis pembuktian ilmiah
dan
melakukan inovasi untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan untuk
mencapai derajat kesehatan pasien yang optimal.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


5

Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai pengalaman praktek residensi
dan menganalisis penerapan model konsep dan teori Adaptasi Roy dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem
perkemihan di RSUP Fatmawati Jakarta.

1.2.2 Tujuan Khusus

Melakukan analisis hasil kegiatan praktek residensi keperawatan medikal bedah


meliputi:
Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan pada pasien gangguan sistem
perkemihan dengan pendekatan Teori Adaptasi Roy di RSUP Fatmawati Jakarta.
Peran perawat sebagai researcher dalam penerapan praktek berdasarkan
pembuktian (evidence based nursing practice) dalam menerapkan hasil penelitian
pada area keperawatan pada pasien gangguan sistem perkemihan di RSUP
Fatmawati.
Peran perawat sebagai inovator dalam memberikan asuhan keperawatan pada
pasien dengan gangguan sistem perkemihan di RSUP Fatmawati.
Peran perawat sebagai educator dengan memberikan pendidikan kesehatan guna
meningkatkan pengetahuan tentang penyakit dan pelaksaan program terapi pada
pasien, keluarga serta sebagai sumber informasi bagi sumber daya
manusia dalam Keperawatan (Teman Sejawat Perawat) di RSUP Fatmawati

1.3 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan dalam karya ilmiah akhir ini terdiri dari lima bab yang
berisi berbagai pokok bahasan. Bab satu pendahuluan, mencakup latar belakang,
tujuan penulisan dan sistematika penulisan. Bab dua tinjauan teori, terdiri dari
tinjauan teori kasus kelolaan utama yaitu penyakit ginjal terminal tahap akhir
(PGTA), konsep teori yang diterapkan pada pemberian asuhan keperawatan yaitu
teori Adaptasi Roy dan aplikasi penerapan teori adaptasi Roy pada kasus pasien

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


6

dengan penyakit ginjal tahap akhir. Bab tiga, mencakup laporan dan analisis kasus
kelolaan utama, laporan pelaksanaa evidence based nursing dan laporan
pelaksanaan program inovasi. Bab empat, berisi pembahasan yang meliputi
pembahasan mengenai penerapan teori adaptasi Roy dalam asuhan keperawatan
pasien dengan gangguan sistem perkemihan dan penjelasan terkait penerapan
evidence based nursing serta inovasi yang dilaksanakan selama pratikan
menjalani praktik residensi. Bab lima mencakup penutup yang berisi simpulan
dan saran selama proses residensi guna perbaikan praktik residensi keperawatan
medikal medah terutama pada peminatan sistem perkemihan.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


7

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan landasan teori mengenai Gangguan pada Sistem Perkemihan
dengan penyakit ginjal tahap akhir, teori Adaptasi Roy dan penerapan teori
adaptasi Roy pada asuhan keperawatan pasien dengan penyakit gagal ginjal
kronik.

2.1 Penyakit Ginjal Tahap Akhir


2.1.1 Pengertian

Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA) adalah penurunan secara progresif dari
fungsi ginjal yang bersifat irreversibel sehingga tubuh mengalami kegagalan
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan serta elektrolit
yang dapat mengakibatkan uremia atau azotemia (retensi urea dan zat nitrogen
lain di dalam darah) (Williams & Hopper, 2007; Smeltzer & Bare, 2008; Black &
Hawk, 2009). Menurut Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO)
tahun 2012 mendefinisikan PGTA adalah kerusakan ginjal yang berupa
abnormalitas struktural atau fungsional ginjal yang terjadi minimal 3 bulan atau
lebih yang dapat terjadi dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LGF) < 15 ml/menit yang berakibat pada terganggunya kesehatan (Suhardjono,
2013).

2.1.2 Etiologi
Etiologi atau penyebab penyakit gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh
kelainan sistemik seperti diabetes mellitus (DM), hipertensi, infeksi traktus
urinarius, glomerulonephritis, pyelonephritis, obstruksi traktus urinarius,
congestive hearth failure (CHF), multiple myeloma, amyloidosis, renal
tuberculosis, sarcoidosis, hiperkalsemia dan hipokalemia kronik serta kelainan
herediter seperti penyakit ginjal polikistik, renovascular disease, lupus nephritis
atau agen toksik. Lingkungan dan agen berbahaya juga dapat menyebabkan

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


penyakit 7 terlibatan dari nya ke
gagal ginjal cadmium, merkuri
sepertinya dan
ada

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


8

chromium (Williams & Hopper, 2007; Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawk,
2009; Timby & Smith, 2010; Robinson & Burghardt, 2012).

National Kidney Foundation (2004) dan United States Renal Data System (2004)
menyebutkan penyebab tersering dari gagal ginjal kronik meliputi diabetes
(34,6%), hipertensi (22,9%), glumerolunephiritis (15,6 %), penyakit ginjal kistik
(4,3%), kelainan urologi lainnya (1,9%) dan penyebab lain yang tidak diketahui
(20,1%) (Chitokas, Noreen & Gunderman et al, 2005). Sedangkan penyebab gagal
ginjal kronik berdasarkan survey dari Indonesia Renal Registry (IRR) tahun 2009
menyebutkan bahwa penyebab tersering penyakit ginjal terminal di Indonesia
meliputi hipertensi (29%), penyakit ginjal diabetes (23%), obstruksi dan
pielonefritis (21%), glumerulonefritis kronik (17%), ginjal polikistik dan nefropati
(9%), dan penyebab yang tidak diketahui (1%).

2.1.3 Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik atau tanda gejala klinik pada pasien dengan PGTA terjadi
sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. Keparahan tanda dan gejala penyakit
gagal ginjal kronik tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi
lain yang mendasari dan usia pasien. Manifestasi klinik dari gagal ginjal kronik
meliputi : kelainan kardiovaskuler, meliputi hipertensi, gagal jantung kongestif,
edema paru dan perikarditis; kelainan hemopoesis, dimanifestasikan dengan
anemia; kelainan saluran cerna, meliputi mual, muntah, cegukan, stomatitis
uremia, mukosa kering, lesi ulserasi luas; kelainan neuromuskular, meliputi
perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi, kedutan otot dan
kejang; kelainan integumen, meliputi rasa gatal (pruritus) dan adanya butiran
uremik (Smeltzer dan Bare, 2008)

Menurut data dari USRDS 2002 dalam Chitokas, Noreen & Gunderman et al,
2005 menyatakan 22,9 % dari 86.739 pasien dengan gagal ginjal kronik memiliki
riwayat hipertensi yang akan mengalami left ventricular hypertrophy (LVH) dan
congestive heart failure (CHF), kelainan pada kulit berupa pruritus, kulit kering,

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


9

echymosis dan purpura, yang diakibatkan tingginya kadar kalsium dan akibat
adanya uremia. Pada sistem pencernaan akan mengakibatkan anoreksia, mual, dan
muntah yang terjadi karena adanya akumulasi urea dalam darah yang
menyebabkan asidosis metabolisme dan peningkatan kadar amonia dalam darah,
pada sistem muskuloskeletal berupa nyeri tulang, mudah fraktur, kram otot, rasa
kesemutan dan seperti terbakar terutama di daerah kaki, drop foot, kelemahan otot
dan hipotrofi otot, sedangkan pada sistem metabolik tubuh mengakibatkan
gangguan keseimbangan elektrolit dan asidosis metabolik (Chitokas, Noreen &
Gunderman et al, 2005; Ignativius & Workman, 2006; Williams & Hopper, 2007;
Smeltzer & Bare, 2008; Johnson, 2010; Timby & Smith, 2010).

2.1.4 Klasifikasi

Klasifikasi tahapan pada penyakit PGTA digunakan untuk mengkategorikan


keparahan kondisi PGTA. Klasifikasi tahapan pada PGTA menurut National
Kidney Foundation (NKF) didefinisikan berdasarkan penurunan laju filtrasi
glumerulus (LGF) yaitu : stadium 1, Kerusakan minimal pada ginjal dengan laju
filtrasi glumerulus yang normal atau meningkat, dengan fungsi ginjal masih
normal tetapi terjadi abnormalitas patologi dan komposisi darah dan urin dengan
laju filtrasi glumerulus > 90 ml/min/1.73m2; stadium 2, ketika kerusakan ginjal
dengan laju filtrasi glumerulus menurun ringan, dengan fungsi ginjal menurun
ringan dan ditemukan abnormalitas komposisi dari darah dan urin dengan laju
filtrasi glumerulus 60-89 ml/min/1.73m2; stadium 3, jika kerusakan ginjal dengan
laju filtrasi glumerulus menurun sedang dengan laju filtrasi glumerulus 30-59
l/min/1.73m2; stadium 4, jika kerusakan ginjal dengan laju filtrasi glumerulus
menurun berat dan sudah terjadi penurunan fungsi ginjal yang berat dan dilakukan
persiapan terapi pengganti ginjal dengan laju filtrasi glumerulus 15-
29ml/min/1.73m2; stadium 5, jika gagal ginjal yang memerlukan terapi pengganti
ginjal secra permanen (dialisis atau transplantasi) dengan laju filtrasi glumerulus <
15 ml/min/1.73m2.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


10

Patofisiologi
Proses patofisiologi kerusakan ginjal diawali ketika fungsi ginjal menurun, yang
mengakibatkan berkurangnya laju filtrasi glumerulus. Penurunan fungsi ginjal
yang kurang dari 25 % normal, manifestasi klinik penyakit ginjal tahap akhir
masih minimal karena nefron yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang
rusak. Nefron yang sehat yang masih tersisa meningkatkan kecepatan filtrasi,
reabsobsi, dan sekresinya serta mengalami hipertropi, sehingga seiring
progresifitas penyakit maka semakin banyak nefron yang bertambah rusak. Ketika
lebih dari 75 % massa nefron mengalami kerusakan, maka kecepatan filtrasi dan
beban zat toksik terlarut semakin tinggi dan berakibat terhadap peningkatan beban
kerja ginjal. Peningkatan beban kerja ginjal akan mengakibatkan keseimbangan
glomerulus dan tubulus ginjal (keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan
peningkatan reabsorbsi oleh tubulus) tidak dapat lagi dipertahankan, yang
berakibat langsung ginjal mengalami penurunan fungsi untuk mempertahankan
metabolisme tubuh sehingga produk akhir sisa metabolisme dan protein yang
secara normal dikeluarkan ginjal menumpuk dan berakibat terhadap gangguan
keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit serta penurunan fungsi dalam
metabolisme protein yang berdampak pada penimbunan ureum di dalam darah
(uremia). Uremia dapat mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh dimana semakin
tinggi kadar uremia maka semakin berat gejala yang ditimbulkannya (Price,
2006).

Berbagai kelainan fungsi tubuh yang terjadi akibat sindrom uremik meliputi
gangguan keseimbangan volume cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan
metabolisme (asam basa dan nitrogen), kelainan kardiovaskuler, endokrin,
muskuloskeletal, dan sistem saraf. Semakin banyak akumulasi ureum dalam darah
maka kelainan yang terjadi pada berbagai sistem tubuh juga semakin berat. Go,
Chertow & Fan (2004) dalam penelitiannya tentang penyebab komplikasi dan
kematian pada pasien gagal ginjal kronik menyebutkan bahwa pasien yang
mengalami gagal ginjal beresiko 3,5 kali lipat untuk meninggal dengan
komplikasi kelainan jantung dibandingan dengan orang yang tidak mengalami

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


11

gagal ginjal ( Price, S.A, 2006; Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawk, 2009;
Timby & Smith, 2010).

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dengan penyakit ginjal tahap
akhir meliputi : pemeriksaan laboratorium, yang meliputi : pemeriksaan
penurunan fungsi ginjal (ureum, kreatinin dan asam urat serum); pemeriksaan
identifikasi etiologi gagal ginjal (analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia
darah, elektrolit, imunodiagnosis); pemeriksaan identifikasi perjalanan penyakit
(progresifitas penurunan fungsi ginjal, pemeriksaan hemopoesis, elektrolit,
endokrin terhadap nilai PTH dan T3,T4); pemeriksaan radiologi (foto polos
abdomen, USG, nefrotogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade) (Buku
Ilmu Penyakit Dalam, 2006)

2.1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada penyakit ginjal tahap akhir bertujuan untuk


mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin, yang meliputi :
Penatalaksanaan konservatif, meliputi pengaturan diet, cairan dan garam,
memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa, mengendalikan
hipertensi, penanggulangan asidosis, pengobatan neuropati, deteksi dan mengatasi
komplikasi.
Penatalaksanaan pengganti diantaranya dialisis (hemodialisis, peritoneal dialysis
dan transplantasi ginjal).
Hemodialisis
Hemodialisis adalah proses terapi pengganti ginjal dengan menggunakan
selaput membran semipermiabel (dialiser) yang berfungsi sebagai
pengganti nefron di dalam mesin hemodialisa sehingga dapat
mengeluarkan produk sisa metabolisme protein dan mengoreksi
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien penyakit ginjal
terminal. Hemodialisis melibatkan penggunaan ginjal buatan untuk
membuang produk limbah dan kelebihan air antara kompartemen darah

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


12

dengan kompartemen dialisat melalui membran semipermeabel pada


pasien dengan gagal ginjal stadium terminal (end stage renal disease)
yang membutuhkan terapi jangka panjang atau permanen (Williams &
Hopper, 2007; Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawk, 2009; Timby &
Smith, 2010).
b. Peritoneal Dialisis
Peritoneal dialisis merupakan terapi pengganti ginjal dengan
menggunakan rongga peritoneum sebagai selaput membran
semipermiabel (dialiser) yang berfungsi sebagai pengganti nefron
sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme protein dan zat
racun serta mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
pada pasien penyakit ginjal terminal.
c. Transplantasi ginjal

Transpalasi ginjal merupakan pilihan terakhir bagi penderita penyakit


ginjal tahap akhir. Transplantasi dengan menanamkan ginjal dari donor
hidup manusia keresipien yang mengalami gagal ginjal tahap akhir.

Terapi Simptomatik
Koreksi hiperkalemi

Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi dapat


menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama harus diingat
adalah jangan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan
darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan EEG dan EKG. Bila
terjadi hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi
intake kalium, pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infuse glukosa.
b. Koreksi anemia
Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb.
Transfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misal
pada adanya insufisiensi koroner.
c. Koreksi asidosis metabolik

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


13

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena dapat meningkatkan serum


kalium (hiperkalemia). Koreksi asidosis metabolik dilakukan dengan
memberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus
segera diberikan intravena bila PH ≤ 7,35 atau serum bicarbonat ≤ 20
mEq/L.
d. Pengendalian hipertensi
Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa, dan vasodilator dilakukan.
Mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-
hati karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi natrium.

2.2 Teori Adaptasi Roy

Sister Calista Roy lahir pada tanggal 14 Oktober 1939 di Los Angeles California,
seorang profesor keperawatan dari Saint Josept of Corondelet, mulai
mengembangkan teori adaptasi keperawatan pada tahun 1964-1966 dan baru
dioperasionalkan pada tahun 1968. Roy mengembangkan ilmu dan filosofisnya
melalui tiga pendekatan teori sistem. Roy mengkombinasikan dengan teori
adaptasi Harry Helson (1964) untuk membangun pengertian konsepnya. Dalam
teori Helson (1964) respon adaptif merupakan fungsi dari stimulus yang diterima
dan level adaptasi. Stimulus merupakan faktor yang menimbulkan respon yang
mungkin muncul dari lingkungan internal dan eksternal. Sistem diartikan Helson
sebagai seperangkat bagian yang saling berhubungan satu dengan bagian lain,
dimana masing-masing bagian saling memiliki ketergantungan. Sistem
mempunyai input, output, kontrol, proses dan umpan balik. Pendekatan kedua
yang dikembangkan Roy berasal dari Teori Melson. Melson menyatakan perilaku
manusia adalah hasil adaptasi dari lingkungan dan kekuatan organisme. Perilaku
adaptif adalah berfungsinya stimulus dan tingkatan adaptasi, yang dapat
berpengaruh terhadap stimulus fokal, stimulus kontekstual, dan stimulus residual,
dimana adaptasi dipandang sebagai suatu proses adanya respon positif terhadap
perubahan lingkungan. Respon tersebut merupakan refleksi keadaan organisme
terhadap stimulus. Selain konsep tersebut, Roy juga mengadaptasi konsep
humanisme dalam model konseptualnya yang berasal dari konsep Abraham

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


14

Maslow. Menurut Roy humanisme dalam keperawatan adalah keyakinan


terhadap kemampuan koping individu sehingga dapat meningkatkan derajat
kesehatannya.

Roy mengidentifikasikan empat hal utama dari teori sistem umum dan teori
adaptation-level. Empat hal utama dari teori sistem yang teridentifikasi tersebut
adalah : 1) ada satu kesatuan (holism); 2) ada proses kontrol yang saling
tergantung (interdependence control processes); 3) ada umpan balik informasi
(information feedback), dan 4) adanya kompleksitas dari sistem kehidupan
(complexity of living systems). Hal utama dari teori adaptation-level yang
teridentifikasi pada model adaptasi Roy adalah bahwa 1) perilaku (behavior)
merupakan kemampuan beradaptasi; 2) adaptasi dipandang sebagai fungsi
stimulasi dan tingkat adaptasi; 3) individu memiliki tingkat adaptasi yang
dinamis; serta 4) adanya proses merespon yang bersifat positif dan aktif dari
manusia (Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006).

Teori Roy yang dikenal dengan model adaptasi Roy merupakan teori model
keperawatan yang menguraikan bagaimana individu mampu meningkatkan
kesehatannya dengan cara mempertahankan perilaku secara adaptif serta mampu
merubah perilaku yang inefektif. Roy menjelaskan bahwa manusia sebagai
makhluk holistik yang berinteraksi secara konstan dengan perubahan lingkungan
sebagai sistem adaptif sebagai satu kesatuan yang mempunyai input, kontrol,
output, dan proses umpan balik.
Skema 2.1 model konseptual Roy ’’Manusia Sebagai Sistem Adaptasi’’

Masukan Proses kontrol Efektor Keluaran

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


Tingkat 15
adaptasi
(stimulus Mekanisme Fungsi Respons
fokal, koping fisiologis adaptif dan
konstektual (Regulator Konsep diri inefektif
dan Kognator) Fungsi peran
residual

Feed back

Sumber : Tomey dan Alligood. 2006.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


Konsep Roy memiliki 4 konsep sentral yang meliputi : manusia, lingkungan,
kesehatan, dan keperawatan. Empat elemen tersebut saling mempengaruhi satu
sama lain karena merupakan suatu sistem, yaitu :

Manusia
Sistem sebagai manusia termasuk manusia sebagai individu atau dalam kelompok,
keluarga, organisasi, komunitas dan masyarakat secara keseluruhan. Sistem
manusia mempunyai kapasitas pikiran dan perasaan yang berakar pada kesadaran
dan pengertian dimana mereka menyesuaikan diri secara efektif terhadap
perubahan lingkungan dan efek dari lingkungan. Roy mendefinisikan manusia
merupakan fokus utama dalam keperawatan, penerima asuhan keperawatan,
sesuatu yang hidup menyeluruh (komplek), sistem adaptif dengan proses internal
(kognator dan regulator) yang aplikasinya dibagi dalam empat komponen adaptasi
(fisiologi, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi). Roy mengemukakan
bahwa manusia sebagai sebuah sistem adaptif yang meliputi : (Roy & Andrew,
1999 dalam tomey & Alligood, 2010)
Manusia sebagai makhluk biologi, psikologi dan sosial yang berinteraksi dengan
lingkungan secara terus menerus.
Manusia menggunakan mekanisme pertahanan untuk mengatasi perubahan-
perubahan biopsikososial. Manusia sebagai sistem adaptif, dapat digambarkan
secara holistik sebagai satu kesatuan yang mempunyai masukan (input), kontrol,
keluaran (output) dan proses umpan balik (feedback).
Input
Menurut Roy input adalah sebagai stimulus yang merupakan kesatuan
informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan
yang dapat
menimbulkan respon. Selain itu sebagai suatu sistem yang dapat
menyesuaikan diri dengan menerima masukan dari lingkungan dalam
individu itu sendiri, dimana dibagi dalam tiga tingkatan yaitu stimulus
fokal, kontekstual, dan stimulus residual.
Stimulus fokal merupakan stimulus internal maupun eksternal yang secara
langsung dapat menyebabkan ketidakseimbangan atau keadaan sakit yang
dialami saat ini. Misalnya: penyakit ginjal kronik yang menyebabkan
pasien mengalami kelebihan volume cairan.

Stimulus kontekstual merupakan semua rangasangan yang lain yang


datang dalam situasi yang memberikan efek dari stimulus fokal. Dengan
kata lain, stimulus yang dapat menunjang terjadinya sakit (faktor
pencetus)/ keadaan tidak sehat. Keaadaan ini tidak terlihat langsung pada
saat ini. Misalnya ketidakpatuhan pelaksanaan terapi hemodialisis pada
pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir.

Stimulus residual adalah faktor internal maupun eksternal manusia dengan


efek pada situasi saat ini yang tidak jelas. Merupakan keyakinan dan
pemahaman individu yang dapat mempengaruhi terjadinya keadaan tidak
sehat atau disebut dengan faktor predisposisi sehingga terjadi kondisi
fokal. Misalnya persepsi klien tentang penyakit, gaya hidup, peran dan
fungsi.

b. Kontrol

Menurut Roy proses kontrol seseorang adalah bentuk mekanisme koping


yang digunakan untuk melakukan kontrol yang terdiri dari subsistem
regulator dan kognator. Subsistem regulator mempunyai komponen :
input-proses, dan output. Input stimulus berupa internal atau eksternal.
Transmitter regulator system adalah kimia, neural atau endokrin.
Terjadinya refleks otonom merupakan output perilaku yang dihasilkan
dari regulator sistem, banyak sistem fisiologis yang dapat dinilai sebagai
perilaku subsistem regulator.

Subsistem kognator merupakan stimulus yang berupa ekternal maupun


internal. Output perilaku dari subsistem regulator dapat menjadi stimulus
umpan balik untuk subsistem kognator. Proses kontrol subsistem kognator
berhubungan dengan fungsi otak dalam memproses informasi, penilaian,
dan emosi. Persepsi atau proses informasi berhubungan dengan proses
internal dalam memilih perhatian, mencatat dan mengingat.

c. Output

Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat diamati, diukur atau
secara subjektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam maupun dari
luar. Perilaku ini merupakan umpan balik dari sistem. Roy
mengidentifikasi output sistem sebagai respon yang adaptif atau respon
yang mal adaptif. Respon adaptif dapat meningkatkan integritas seseorang
yang secara keseluruhan dapat terlihat bila seseorang mampu memenuhi
tujuan hidup, berupa kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi, dan
menjadi manusia yang berkualitas. Sedangkan respon yang mal adaptif
merupakan perilaku yang tidak mendukung tujuan seseorang.

d. Efektor

Roy mengembangkan proses internal seseorang sebagai sistem adaptasi


dengan menetapkan sistem efektor, yang memiliki empat mode adaptasi
yang meliputi : 1) fungsi fisiologis, 2) konsep diri, 3) penampilan peran, 4)
interdependensi. Fungsi fisiologis yang berhubungan dengan struktur
tubuh dan fungsinya. Roy mengidentifikasi sembilan kebutuhan dasar
fisiologis yang harus dipenuhi untuk mempertahankan integritas dan
bagaimana proses adaptasi dilakukan untuk mengatur sembilan kebutuhan
fisiologis tersebut, yaitu oksigenasi, cairan dan elektrolit, nutrisi, eliminasi,
aktivitas dan istirahat, fungsi sistem endokrin, integritas kulit,
sensori/indra dan fungsi neurologis.

Konsep diri, berupa seluruh keyakinan dan perasaan yang dianut individu
dalam satu waktu tertentu, berupa persepsi dan partisipasi terhadap reaksi
orang lain dan tingkah laku langsung. Konsep diri menurut Roy terdiri dari
dua komponen yaitu the physical self dan the personal self. The physical
self, yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya berhubungan dengan
sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya. Sedangkan The personal self,
berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, moral – etik, spiritual dan
perasaan cemas diri orang tersebut.
Penampilan peran, yaitu penampilan fungsi peran yang berhubungan
dengan tugas individu dilingkungan sosial/ mode fungsi peran yang
mengenal pola - pola interaksi sosial seseorang dalam hubungannya
dengan orang lain. Fokusnya pada bagaimana seseorang dapat
memerankan dirinya dimasyarakat sesuai kedudukannya.

Interdependensi, adalah hubungan individu dengan orang lain dan sebagai


support sistem. Fokus interdependensi adalah interaksi untuk saling
memberi dan menerima cinta dan kasih sayang, perhatian dan saling
menghargai. Model fungsi interdependensi juga melihat keseimbangan
antara ketergantungan dan kemandirian dalam menerima sesuatu untuk
dirinya. Ketergantungan ditunjukkan dengan kemampuan untuk afiliasi
dengan orang lain. Kemandirian ditunjukkan oleh kemampuan berinisiatif
untuk melakukan tindakan bagi dirinya. Interdependensi dapat dilihat dari
keseimbangan antara dua nilai ekstrim, yaitu memberi dan menerima.
Untuk mencapai suatu homeostasis atau terintegrasi, seseorang harus beradaptasi
sesuai dengan perubahan yang terjadi.
Kemampuan beradaptasi manusia berbeda-beda antara satu dengan yang
lainnya, jika seseorang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan maka ia

mempunyai kemampuan untuk menghadapi rangsangan baik positif maupun


negatif. Adaptasi merupakan proses dan hasil dari pikiran dan perasaan
seseorang, sebagai individu atau kelompok, menggunakan kesadaran dan
memilih dalam interaksi manusia dan lingkungan. Adaptasi merupakan hasil
stimulus dari tiga klasifikasi yaitu : stimulus fokal, kontekstual dan residual.
Lingkungan.
Roy menyatakan bahwa lingkungan merupakan semua kondisi, keadaan dan
pengaruh sekitarnya yang mempengaruhi perkembangan serta perilaku manusia
sebagai individu atau kelompok, dengan suatu pertimbangan khusus dari
mutualitas sumber daya manusia dan sumber daya alam yang mencakup stimulus
fokal, kontekstual dan residual. Lingkungan merupakan masukan (input) bagi
manusia sebagai sistem yang adaptif sama halnya lingkungan sebagai stimulus
internal dan eksternal. Faktor lingkungan dapat mempengaruhi seseorang dan
dapat dikategorikan dalam stimulus fokal, kontekstual dan residual Roy &
Andrew, 1999; Tomey & Alligood, 2010).

2.2.3 Kesehatan

Kesehatan dipandang sebagai keadaan dan proses menjadi manusia secara utuh
dan integrasi secara keseluruhan. Sehat merupakan cermin dari adaptasi, yang
merupakan interaksi manusia dengan lingkungan. Definsi kesehatan menurut Roy
lebih dari tidak adanya sakit tapi termasuk penekanan pada kondisi baik. Sehat
bukan berarti tidak terhindarkan dari kematian, penyakit, ketidakbahagiaan dan
stress akan tetapi merupakan kemampuan untuk mengatasi masalah tersebut
dengan baik ( Andrew &Roy, 1991; Tomey & Alligood, 2010).

Proses adaptasi termasuk fungsi holistik (bio-psiko-sosio-spiritual) untuk


mempengaruhi kesehatan secara positif dan itu meningkatkan integritas. Proses
adaptasi termasuk semua interaksi manusia dan lingkungan dua bagian proses.
Bagian pertama dari proses ini dimulai dengan perubahan dalam lingkungan
internal dan eksternal yang membutuhkan sebuah respon. Perubahan-perubahan

tersebut adalah stresor-stresor atau stimulus fokal dan ditengahi oleh faktor-faktor
kontekstual dan residual. Bagian-bagian stressor menghasilkan interaksi yang
biasanya disebut stress, bagian kedua dari stress adalah mekanisme koping yang
merangsang menghasilkan respon adaptif dan inefektif. Melalui adaptasi energi
individu dibebaskan dari upaya-upaya koping yang tidak efektif dan dapat
digunakan untuk meningkatkan integritas, penyembuhan dan meningkatkan
kesehatan. Integritas menunjukkan hal-hal yang masuk akal yang mengarah pada
kesempurnaan atau keutuhan ( Andrew &Roy, 1991; Tomey & Alligood, 2010).

2.2.4. Keperawatan.
Roy (1983) secara spesifik menggambarkan keperawatan sebagai ilmu dan
praktek dari peningkatan adaptasi untuk meningkatkan kesehatan sebagai tujuan
untuk mempengaruhi kesehatan secara positif. Keperawatan dianggap sebagai
ilmu dan praktik meningkatkan adaptasi agar individu dan kelompok dapat
berfungsi secara holistik melalui apklikasi proses keperawatan untuk
mempengaruhi kesehatan secara positif. Model adaptasi keperawatan
menggambarkan lebih spesifik perkembangan ilmu keperawatan dan praktek
keperawatan yang berdasarkan ilmu keperawatan yang terdiri dari tujuan
keperawatan dan aktivitas keperawatan.

Tujuan keperawatan adalah meningkatkan respon adaptif individu dengan


lingkungan dengan menggunakan empat cara adaptasi yaitu : fungsi fisiologis,
konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Dorongan terhadap peningkatan
integritas adaptasi dan berkontribusi terhadap kesehatan manusia, kualitas hidup
dan kematian dengan damai.

Proses keperawatan terkait model adaptasi Roy dapat diterapkan dalam lima
langkah, yaitu : (Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006)
Pengkajian yang terdiri dari dua tahap yaitu :
Pengkajian perilaku (behavior)
Perilaku didefinisikan sebagai aksi dan reaksi manusia dalam keadaan

tertentu. Pengkajian perilaku (behavior) merupakan langkah pertama


proses keperawatan menurut model adaptasi Roy. Pengkajian perilaku
bertujuan untuk mengumpulkan data dan menganalisis apakah perilaku
pasien adaptif atau maladaptif. Hasil dari pengkajian perilaku merupakan
respon perilaku adaptif maupun perilaku inefektif. Apabila ditemukan
sesuatu yang tidak sesuai dengan kondisi normal maka hal ini
mengindikasikan adanya kesulitan adaptasi. Keadaan itu dapat disebabkan
oleh tidak efektifnya aktifitas regulator dan kognator. Data perilaku
meliputi empat mode adaptif, yaitu : 1) fisiologis, yang terdiri dari
pengkajian kebutuhan oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat,
proteksi, sensori/ pengindraan, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis,
fungsi endokrin; 2) konsep diri, meliputi fisik diri dan pribadi; 3) fungsi
peran, meliputi proses transisi peran, perilaku peran, integrasi peran, pola
penguasaan peran, dan proses koping; 4) Interdependen, meliputi pola
memberi dan menerima, dan strategi koping perpisahan dan kesendirian.
b. Pengkajian stimulus

Pengkajian stimulus didefinisikan sebagai kondisi yang memprovokasi


sebuah respon. Stimulus dapat bersifat internal dan eksternal yang
mencakup semua kondisi, keadaan yang mempengaruhi perkembangan dan
perilaku seseorang. Stimulus umum yang mempengaruhi adaptasi antara
lain budaya (status sosial ekonomi, etnis, dan sistem keyakinan), keluarga
(struktur dan tugas perkembangan keluarga), tahap perkembangan (faktor
usia, jenis, tugas, keturunan, dan genetik), integritas mode adaptif
(fisiologis yang mencakup patologi penyakit, fisik (sumber daya), identitas
diri, konsep diri, fungsi peran, dan interdependensi), level adaptasi,
efektivitas kognator (persepsi, pengetahuan, ketrampilan), pertimbangan
lingkungan (perubahan lingkungan internal atau eksternal, pengelolaan
medis, menggunakan obat-obat, alkohol, tembakau). Pengkajian stimulus
diarahkan pada stimulus fokal, kontekstual, dan residual (Roy & Andrews,
1999 dalam Alligood & Tomey, 2006).

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan hasil proses pendapat dalam penyampaian
pernyataan status adaptasi seseorang. Penetapan diagnosa keperawatan dibuat
dengan cara menghubungkan antara perilaku (behavior) dengan stimulus. Ada
tiga hal yang mendukung penetapan diagnosa keperawatan yaitu: a) suatu
pernyataan dari perilaku dengan stimulus yang sangat mempengaruhi, b) suatu
ringkasan tentang perilaku dengan stimulus yang relevan, c) penamaan/pemberian
label yang meringkaskan pola perilaku ketika lebih dari satu mode dipengaruhi
oleh stimulus yang sama.

3. Penetapan tujuan keperawatan.


Tujuan adalah pembentukan pernyataan yang jelas dari outcome perilaku dalam
asuhan keperawatan yang dicatat sebagai indikasi perilaku dari perkembangan
adaptasi masalah pasien. Pernyataan masalah meliputi perilaku. Pernyataan tujuan
meliputi: perilaku, perubahan yang diharapkan dan waktu. Tujuan umum dari
intervensi keperawatan yaitu mempertahankan dan meningkatkan perilaku adaptif
dan merubah perilaku inefektif. Tujuan jangka panjang menggambarkan
perkembangan individu, dan proses adaptasi terhadap masalah dan tersedianya
energi untuk tujuan lain (kelangsungan hidup, tumbuh, dan reproduksi). Tujuan
jangka pendek mengidentifikasi hasil perilaku pasien setelah pengaturan terhadap
stimulus fokal dan kontektual serta keadaan perilaku pasien itu indikasi koping
dari sub sistim regulator dan kognator.

4. Intervensi dan implementasi

Intervensi merupakan proses seleksi dari pendekatan keperawatan untuk


meningkatkan adaptasi dengan merubah stimuli atau penguatan dari proses
adaptif. Tujuan intervensi keperawatan adalah mempertahankan dan
mempertinggi perilaku adaptif serta merubah perilaku tidak efektif menjadi
perilaku adaptif. Fokus intervensi adalah mengarah pada suatu stimulus yang
mempengaruhi suatu perilaku. Langkah dalam menyusun intervensi keperawatan
meliputi penetapan atas empat hal yaitu : a) apa pendekatan alternatif yang akan
dilakukan, b) apa konsekuensi yang akan terjadi, c) apakah mungkin tujuan
tercapai oleh alternatif tersebut, d) nilai alternatif itu diterima atau tidak.
Intervensi keperawatan ini dilakukan melalui kerjasama dengan orang lain
(pasien, keluarga, dan tim kesehatan) (Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood &
Tomey, 2006)
Implementasi keperawatan merupakan uraian yang lebih rinci dari intervensi
keperawatan yang telah terpilih. Perawat harus menentukan dan memulai langkah-
langkah yang akan merubah stimulus dengan tepat. Implementasi keperawatan
dilaksanakan terus menerus sesuai dengan perkembangan pasien. Implementasi
dapat berubah-ubah dalam cara, teknik, dan pendekatan yang tergantung pada
perubahan tingkat adaptasi pasien.

5. Evaluasi

Evaluasi merupakan penilaian keefektifan dari intervensi keperawatan dalam


hubungannya dengan perilaku dari sistem manusia yang menjadi refleksi dari
tujuan keperawatan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk dapat menetapkan
suatu intervensi keperawatan efektif atau tidak maka perawat harus melakukan
pengkajian perilaku berkaitan dengan manejemen stimulus pada intervensi
keperawatan tersebut (Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006).

2.3 Penerapan Teori Adaptasi Roy pada Asuhan keperawatan Pasien dengan
Penyakit Ginjal tahap Akhir

Asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien penyakit ginjal tahap akhir
(PGTA) dilakukan secara holistik dengan menggunakan pendekatan Teori
Adaptasi Roy. Model Adaptasi Roy memungkinkan untuk diterapkan pada
pasien dengan PGTA karena pasien membutuhkan adaptasi
terhadap berbagai
stimulus yang mempengaruhi proses perjalanan penyakit dan penatalaksanaan
untuk mempertahankan kesehatan yang maksimal dengan adanya kerusakan
fungsi ginjal pada pasien PGTA, untuk itu peran perawat spesialis sangat
dibutuhkan dalam menerapkan asuhan keperawatan dengan menggunakan
pendekatan Model Adaptasi Roy.
Pengkajian Perilaku dan Stimulus
1. Mode Adaptasi Fisiologis
Menurut Roy dan Andrews (1999) dalam Philips (2010) Mode adaptasi fisiologi
merupakan proses tubuh manusia terhadap kerja fisik, respon interaksi dengan
lingkungan baik internal maupun eksternal. Ada dua kelompok besar pada mode
fisiologi yaitu lima kebutuhan dasar pada integritas fisiologi yang terdiri dari
oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, dan empat aktivitas fisiologis
yang membantu aktivitas regulator dan mengintegrasikan fungsi fisiologis yang
terdiri dari sensasi, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis, dan fungsi endokrin.
a. Oksigenasi dan sirkulasi

Pada oksigenasi menurut Roy koping yang diharapkan adalah terjaganya


proses oksigenasi secara tepat seperti ventilasi, pertukaran gas dan transportas
gas (Philips, 2010). Pada pasien dengan PGTA terjadi perubahan fungsi ginjal
akibat destruksi nefron secara progresif sehingga terjadi penurunan laju
filtrasi glomerulus yang mengakibatkan retensi cairan diseluruh tubuh
termasuk jaringan paru yang dapat mengganggu proses ventilasi. Transportasi
oksigen pada PGTA dapat terjadi akibat penurunan jumlah sel darah merah
akibat terganggunya produksi eritropoitien (Price, 2005). Pengkajian perilaku
keperawatan masalah oksigenasi dan sirkulasi meliputi : pola napas, frekuensi
napas, suara napas, tanda sianosis, warna membran mukosa, tekanan darah,
nasi, bunyi jantung, capillary refill time (CRT), dan analisa gas darah.
Pengkajian terhadap stimulus fokal, konstektual dan residual difokuskan pada
kondisi yang memepengaruhi perilaku maladaptif.

b. Nutrisi
Menurut Roy, koping mekanisme yang diharapkan pada nutrisi adalah
mempertahankan fungsi tubuh, meningkatkan pertumbuhan, dan mengganti
jaringan yang rusak dengan cara ingesti dan asimilasi makanan. Pengkajian
perilaku pola nutrisi pasien PGTA meliputi berat badan, tinggi badan, indeks
masa tubuh (IMT), kebiasaan makan, keluhan tidak nafsu makan, adanya
mual dan muntah, kesulitan menelan, kebersihan gigi dan mulut, riwayat
alergi, menu diet yang dijalani. Pasien PGTA sering mengeluhkan kondisi
tidak nafsu makan, mual dan muntah yang dapat terjadi akibat peningkatan
kadar ureum darah. Pasien PGTA juga sering mengalami edema akibat
pembatasan cairan yang tidak adekuat sehingga diperlukan data tentang berat
badan secara aktual agar kebutuhan pemenuhan energi dan kalori dapat
diketahui secara tepat. Pengkajian stimulus yang perlu dikaji meliputi
Stimulus fokal yang menjadi penyebab terjadinya kondisi maladaptif
dimungkinkan karena komplikasi penyakit yang memperberat kondisi serta
kebiasaan dan pola makan pasien yang tidak sesuai anjuran, stimulus
kontekstual peningkatan nilai ureum darah sehingga mempengaruhi sistem
pencernaan. Stimulus residual berupa pengaturan terhadap kepatuhan diit dan
makanan yang harus dihindari dan dibatasi oleh .

c. Eliminasi

Mekanisme koping menurut Roy pada eliminasi adalah terjadinya proses


pembuangan dari saluran cerna dan ginjal dengan pengkajian perilaku
eliminasi adalah buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB). Pasien
dengan PGTA mengalami penurunan terhadap jumlah urin yang disebabkan
karena penurunan fungsi ginjal yang berakibat terhadap penurunan laju
filtrasi glomerulus sehingga terjadi retensi cairan didalam tubuh dan
penurunan terhadap fungsi ekskresi ginjal. Pengkajian perilaku meliputi
frekuensi dan jumlah urin, warna urin, keluhan saat BAK, nilai clearance
creatinin (CCT), nilai laboratorium urinalisa. Stimulus fokal yang menjadi
penyebab gangguan eliminasi adalah penurunan fungsi glomerulus, stimulus
kontekstual berupa overload cairan, stimulus residual mendapatkan terapi
diuretik.

d. Aktivitas dan Istirahat


Mekanisme koping yang diharapkan dari pengkajian aktivitas dan istirahat
adalah mempertahankan keseimbangan antara aktivitas fisik dan istirahat.
Pengkajian perilaku terkait aktivitas dan istirahat meliputi keluhan lemas dan
lelah, kemampuan melakukan aktivitas fisik, perawatan diri dan mobilisasi
diri, kuantitas dan kualitas tidur, gangguan tidur. Stimulus fokal yang menjadi
penyebab adalah respon fisiologis penyakit, stimulus kontekstual adalah
koping tidak efektif dan stimulus residual adalah kurang pengetahuan.

e. Proteksi
Menurut Roy & Andrews 1999 dalam Philips (2010), mekanisme koping
yang diharapkan adalah mempertahankan tubuh melawan infeksi, trauma,
dan perubahan temperatur. Pengkajian perilaku pada proteksi meliputi
kondisi kulit pasien, adanya luka atau tidak dan karakteristik luka, drainase
luka, riwayat alergi dan infeksi. Pasien dengan PGTA sering mengeluhkan
gatal dan kulit bersisik serta menghitam yang diakibatkan peningkatan urum
dalam darah (Ureumia). Pengkajian stimulus fokal disebabkan karena
penurunan fungsi glomerulus, stimulus kontekstual adalah koping tidak
efektif dan stimulus residual adalah kurang pengetahuan.

f. Sensori

Sensasi merupakan bagian dari proses fisiologis yang membantu aktivitas


regulator dan mengintegrasikan fungsi fisiologis. Hal ini berkaitan dengan
sistem pendengaran, sistem penglihatan, dan sistem
somatosensoris. Mekanisme koping yang diharapkan adalah memungkinkan
individu untuk berinteraksi dengan lingkungan. Pengkajian perilaku dan
stimulus pada pengkajian sensori pasien dengan PGTA adalah pengkajian
terhadap keluhan sistem penginderaan yang meliputi penglihatan,
pendengaran, penciuman,
pengecapan dan perabaan.

g. Cairan dan Elektrolit


Mekanisme koping yang diharapkan Roy adalah dapat mempertahakan
keseimbangan cairan dan elektrolit serta asam basa yang dapat memperbaiki
Keadaan seluler dan ekstraseluler serta fungsi sistemik. Pengkaian perilaku
terkait cairan dan elektolit pada pasien PGTA meliputi keseimbangan cairan
tubuh selama 24 jam, adanya tanda edema, asites, tanda adanya edema paru,
peningkatan vena jugularis, peningkatan frekuensi napas, pengkajian
laboratorium terkait pemeriksaan kimia darah dan kadar elektrolit. Pengkajian
stimulus fokal disebabkan karena penurunan fungsi glomerulus, stimulus
kontekstual adalah peningkatan nilai ureum dan kreatinin dan stimulus
residual adalah kurang pengetahuan.

h. Fungsi neurologis

Mekanisme koping yang terjadi menurut Roy sebagai akibat adanya


koordinasi dan kontrol pergerakan tubuh, tingkat kesadaran, dan proses
kognitif emosional. Pengkajian perilaku dan stimulus pada fungsi neurologis
meliputi tingkat kesadaran, adanya aktivitas kejang, respon motorik, orinetasi
dan respon kognitif emosional pasien

i. Fungsi endokrin

Fungsi endokrin mengintegrasikan dan mengkoordinasikan fungsi tubuh


sehingga metabolisme tubuh dapat berfungsi dengan baik. Pengkajian
perilaku dan stimulus terkait dengan fungsi endokrin meliputi adanya riwayat
menderita penyakit DM, pembesaran kelanjar serta pemeriksaan kadarkadar
glukosa darah.

2. Mode Adaptasi Konsep diri


Pengkajian mode konsep diri terdiri dari 1) Body sensation, perlu dikaji perasaan
Pasien PGTA terkait perubahan fungsi tubuh secara fisik akibat berbagai
perkembangan proses penyakit dan terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis
dan peritoneal dialisis yang membutuhkan waktu sepanjang hidup (Smeltzer &
Bare, 2008); 2) Body Image, perubahan body image pada pasien PGTA
disebabkan karena pemasangan akses vaskuler doble lumen atau cimino yang
mengalami dilatasi setelah pemakaian yang lama yang dapat menimbulkan
berbagai kondisi psikologis seperti merasa tertekan dan merasa hidupnya tidak
berharga akibat pengobatan yang terjadi seumur hidup 3) Self consistency,
manajemen pasien PGTA dengan terapi pengganti ginjal mengakibatkan pula
perubahan gaya hidup yang harus dijalani. Penting sekali mengkaji bagaimana
perasaan klien saat terdiagnosis PGTA dan bagaimana kesiapan pasien menjalani
terapi pengganti ginjal 4) Moral-spiritual-ethical-self, mengkaji kemampuan klien
memandang diri secara positif, pola hubungan pasien dengan orang-orang
terdekat dan dukungan sosial. Dukungan dari orang terdekat tidak saja terkait
dukungan emosional tapi juga dukungan secara financial. Selain itu perlu dikaji
kemampuan spiritual mereka baik menyangkut kepercayaan dan kekuatan.
3. Mode Adaptasi Fungsi Peran

Kebutuhan dasar dalam mode fungsi peran yang adaptif adalah integritas
dalam hubungan sosial. Mode fungsi peran berhubungan dengan pola
interaksi sosial seseorang dalam berhubungan dengan orang lain yang
berfokus pada bagaimana seseorang menempatkan dirinya dalam hubungan
bermasyarakat. Menurut Capernito (2005) dalam Harkreader (2007) performa
peran adalah terpenuhinya peran seseorang dan tanggung jawabnya didalam
kehidupan yang meliputi tindakan, pikiran, serta perasaan yang berhubungan
dengan peran tersebut. Perubahan peran pada pasien dengan PGTA dapat
terjadi diakibatkan karena kondisi penyakit yang membutuhkan terapi
pengganti ginjal yang harus berlangsung seumur hidup sehingga
mengakibatkan perubahan fisik dan mental yang mempengaruhi peran-peran
mereka dalam kehidupan sehari-hari. Pengkajian fungsi peran dilakukan
dengan melakukan anamnesa dan mengeksplore perasaan pasien terkait
perubahan peran yang dialami dan dampak perubahan fungsi peran itu
sendiri.

4. Mode Saling Ketergantungan (Interdependence)


Mode saling ketergantungan berfokus pada interaksi untuk saling memberi
dan menerima cinta/kasih sayang, perhatian dan saling menghargai. Pasien
dengan PGTA dapat mengalami kecemasan, rasa tidak berdaya,
ketergantungan dengan orang lain terutama anggota keluarga. Bentuk
pengkajian mode saling ketergantungan meliputi bentuk perhatian dari
keluarga dan orang terdekat, bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain,
interaksi saling memberi dan menerima cinta dan kasih sayang, perhatian dan
saling menghargai.

Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan yang diperoleh dari suatu
perumusan interpretasi data terhadap status adaptasi seseorang yang dihubungkan
antara perilaku dengan beberapa stimulus yang berkaitan. Diagnosa keperawatan
yang dapat muncul pada pasien penyakit ginjal tahap akhir menurut diagnosa
keperawatan dari Nanda (2010) dan diangkat berdasarkan empat mode adaptasi
diantaranya adalah :
1. Mode fisiologis

Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan berdasarkan mode fisiologis


meliputi : a) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi akibat penurunan fungsi ginjal, b) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat,
c) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara masukan
dan kebutuhan oksigen akibat anemia dan kelelahan, d) Resiko penurunan
perfusi jaringan (perifer, kardiopulmonal, renal) berhubungan dengan penurunan
oksigen jaringan akibat anemia, e) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan peningkatan ureum, kelembaban kulit kurang

2. Mode konsep diri


Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan berdasarkan mode konsep diri
meliputi cemas berhubungan dengan krisis situasi terkait dengan proses penyakit,
pengobatan dan perawatan yang akan dijalani

3. Mode fungsi peran


Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan berdasarkan mode fungsi peran
meliputi perubahan peran berhubungan dengan penyakit kronis dan hospitalisasi;
tidak dapat menjalankan peran dengan baik.
4. Mode interdependensi
Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan berdasarkan mode interdependensi
meliputi mekanisme koping tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi akibat
penyakit kronis dan pengobatan yang lama dan kompleks; kurang pengetahuan
tentang koping yang efektif.

2.3.3 Tujuan keperawatan

Tujuan keperawatan pada pemberian asuhan keperawatan merupakan perilaku


yang diharapakan dapat tercapai dari pemberian asuhan keperawatan, yang terdiri
dari 3 kesatuan, yaitu : a) perilaku yang diobservasi, b) perubahan yang
diharapkan, dan c) waktu yang disusun untuk mencapai tujuan. Tujuan
keperawatan menurut Roy pada pasien penyakit ginjal tahap akhir tercapai ketika
pasien mampu beradaptasi secara adaptif terhadap berbagai stimulus pada model
adaptasi fisiologi, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.

2.3.4 Intervensi keperawatan

Intervensi keperawatan direncanakan dalam asuhan keperawatan bertujuan


merubah stimulus fokal, kontekstual dan residual untuk meningkatkan
kemampuan mekanisme koping dan adaptasi pasien pada tatanan yang adaptif,
sehingga total stimuli berkurang dan kemampuan adaptasi meningkat. Intervensi
keperawatan yang dilakukan pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir
berpedoman pada Nursing Intervension Classification (NIC) dan Nursing
Outcome Classification (NOC) (Dochterman & Bulechek, 2007), dengan
menggunakan pendekatan Teori Adaptasi Roy adalah sebagai berikut:
1. Kelebihan volume cairan
Intervensi keperawatan yang direncanakan pada masalah keperawatan
kelebihan cairan, meliputi : a) monitoring cairan, b) manajemen
cairan/elektrolit, c) rencana penatalaksanaan terapi pengganti ginjal.

Aktivitas regulator pada intervensi keperawatan pada masalah keperawatan


kelebihan cairan meliputi : a) kaji status cairan (timbang badan tiap hari,
keseimbangan masukan dan pengeluaran cairan, turgor kulit dan edema,
distensi vena jugularis, tekanan darah, denyut nadi dan irama nadi); b) catat
pemasukan dan pengeluaran cairan secara akurat; c) batasi pemasukan cairan;
d) monitor perubahan berat badan sebelum dan sesudah pelaksanaan dialysis;
e) kolaborasi dengan medis dalam pemberian diuretik; f) identifikasi sumber
potensial cairan (medikasi dan cairan yang digunakan untuk pengobatan,
makanan); g) monitor nilai laboratorium (nilai serum dan elektrolit urin, kadar
elektrolit darah).

Aktivitas cognator meliputi : Edukasi tentang pentingnya pembatasan cairan


dan caranya; edukasi tentang pencatatan cairan; edukasi tentang kelebihan
cairan, penyebab dan bahayanya; edukasi tentang pentingnya menjaga diet;
edukasi tentang manajemen rasa haus dan cara pengaturan intake cairan

2. Gangguan perfusi jaringan


Intervensi keperawatan yang direncanakan pada masalah keperawatan
gangguan perfusi jaringan, meliputi : a) Circulatory care (perawatan
sirkulasi), b) Peripheral sensation management (manajemen sensasi perifer)

Aktivitas regulator pada intervensi gangguan perfusi jaringan meliputi :


a) Pemantauan tanda-tanda vital; b) monitor intake dan output cairan;

c) pengaturan posisi semi foller; d) monitoring kecepatan, irama dan


kedalaman pernafasan; e) auskultasi bunyi jantung dan suara paru;
f) monitoring adanya diritmia; g) monitoring adanya kelelahan, tahkipnea,
orthopnea; h) perawatan sirkulasi: observasi warna, kelembaban kulit,
evaluasi edema, CRT; i) batasi aktivitas; j) anjurkan ROM aktif atau pasien
selama bed rest; k) terapi oksigen 2 – 4 lt/ menit; l) pantau dan interpretasi
nilai laboratorium; m) kolaborasi manajemen pengobatan

Aktivitas cognator meliputi : Edukasi tentang penurunan perfusi jaringan


3. Intoleransi aktivitas
Intervensi keperawatan yang direncanakan pada masalah keperawatan
intoleransi aktivitas, meliputi : a) Manajemen energy; b) Terapi aktivitas

Aktivitas regulator pada intervensi masalah keperawatan intoleransi aktivitas


meliputi : a) Awasi TD, nadi, pernafasan, selama & sesudah aktivitas; b)
Catat respon terhadap aktivitas; c) kaji faktor yang menimbulkan keletihan:
anemia, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, retensi produk sampah; d)
kaji faktor yang menimbulkan depresi; e) monitor intake nutrisi yang adekuat;
f) berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat cukup; g) monitor
respon oksigenasi pasien terhadap perawatan diri atau aktivitas keperawatan;
h) tingkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang dapat
ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi; i) bantu pasien memilih aktivitas yang
sesuai dengan kemampuan fisik; j) anjurkan pasien untuk menghentikan
aktivitas bila palpitasi, nyeri dada, nafas pendek, lelah atau pusing; k)
anjurkan untuk beristirahat setelah dialysis; l) kolaborasi pemberian oksigen
dan transfusi bila perlu

Aktivitas Cognator pada intervensi masalah keperawatan intoleransi aktivitas


meliputi: a) Jelaskan penyebab keletihan; b) edukasi teknik untuk menghemat
energy; c) edukasi alternative perawatan diri sesuai dengan keterbatasan

4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh


Intervensi keperawatan yang direncanakan pada masalah keperawatan
ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh,
a) Manajemen mual, b) Manajemen
meliputi : nutrisi, dan c) Monitoring nutrisi

Aktivitas regulator direncanakan pada masalah keperawatan


ketidakseimbangan nutrisi meliputi : a) Monitoring intake / pemasukan nutrisi
dan kalori; b) Pantau adanya tanda/gejala hiperglikemia (trias poli,
kelemahan, sakit kepala, hipotensi, penurunan kesadaran); c) anjurkan makan
sedikit tapi sering; d) tentukan program diit dan pola makan pasien;
e) observasi keluhan mual atau muntah; f) anjurkan untuk sering melakukan
perawatan mulut; g) Kolaborasi pemeriksaan laboratorium (Nilai
laboratorium : BUN, albumin serum, transferin, natrium & kalium; h) Batasi
kalium, natrium & pemasukan fosfat sesuai indikasi; i) Berikan diit tinggi
kalori, rendah garam, rendah/sedang protein.

Intervensi terhadap aktivitas cognator direncanakan pada masalah


keperawatan ketidakseimbangan nutrisi meliputi : a) Edukasi tentang
pentingnya nutrisi dan mematuhi diet; b) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang
jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dubutuhkan.

5. (Resiko) kerusakan integritas kulit

Intervensi keperawatan yang direncanakan pada masalah keperawatan


kerusakan integritas kulit, meliputi : a) manajemen gatal, b) Perawatan kaki
dan c) Perawatan luka

Intervensi aktivitas regulator yang direncanakan pada masalah keperawatan


kerusakan integritas kulit meliputi : a) Inspeksi kulit terhadap perubahan
warna, turgor, vascular; Inspeksi area tergantung terhadap edema;
b) Pertahankan linen kering, bebas keriput; c) Anjurkan pasien untuk merubah
posisi dengan sering; d) kaji keluhan gatal; e) Lakukan kompres lembab &
dingin untuk memberikan kenyamanan pada area pruritus;
f) Kolaborasi pemberian therapy sesuai kebutuhan.

Intervensi aktivitas Cognator yang direncanakan pada masalah keperawatan


kerusakan integritas kulit meliputi : a) Jelaskan tentang pengaruh penyakit,
rasa gatal dan efek samping bila dilakukan garukan.
6. Cemas
Intervensi keperawatan yang direncanakan pada masalah keperawatan cemas,
meliputi a) Anxiety reduction dan b) Relaxation Therapy

Intervensi aktivitas regulator yang direncanakan pada masalah keperawatan


cemas meliputi : a) Mengobservasi tanda verbal dan non verbal kecemasan
klien dan lakukan pendekatan dengan tenang dan meyakinkan; b) Dorong
pengungkapan secara verbal tentang perasaan, persepsi dan kecemasan;
c) Kontrol stimulasi yang dapat menimbulkan stress bila diperlukan sesuai
kebutuhan klien; d) Dukung penggunaan mekanisme koping yang tepat
misalnya berdoa; e) Kaji pengetahuan pasien tentang penyakit; f) Motivasi
untuk mengungkapkan perasaan; g) Libatkan keluarga untuk memberikan
dukungan moril; h) Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang
menimbulkan kecemasan; i) Kontrol stimulant, yang sesuai dengan
kebutuhan pasien; j) Dukung mekanisme pertahanan yang layak; k) Dampingi
pasien untuk menjelasan gambaran yang realistis terhadap peristiwa yang
akan terjadi; l) Tunjukkan pada pasien penggunaan tehnik relaksasi; m) Kaji
kemampuan pasien untuk mengambil keputusan; n) Kolaborasi dengan tim
medis untuk pemberian obat menurunkan kecemasan

Intervensi aktivitas cognator yang direncanakan pada masalah keperawatan


cemas tmeliputi : a) Edukasi proses penyakit dan regimen terapi; b) Edukasi
metode mengurangi kecemasan

7. Perubahan penampilan peran


Intervensi keperawatan yang direncanakan pada masalah keperawatan
perubahan penampilan peran, meliputi a) Peningkatan peran dan b) Dukungan
keluarga

Intervensi aktivitas regulator yang direncanakan pada masalah keperawatan


perubahan penampilan peran meliputi : a) Bantu pasien mengidentifikasi
berbagai peran yang masih dapat dioptimalkan; b) Bantu pasien
mengidentifikasi perannya dalam keluarga; c) Bantu pasien mengidentifikasi
transisi peran; d) Bantu pasien dalam mengidentifikasi kegagalan peran;
e) Bantu psien dalam mengidentivikasi perubahan peran akibat sakit atau
ketidakmampuan; f) Bantu pasien mengidentifikasi perilaku yg dibutuhkan
untuk peran baru; g) Fasilitasi komunikasi antara pasien dan keluarga atau
antara anggota keluarga; h) Bantu pasien dan keluarga dalam
mengidentifikasi dan mengatasi konflik

Intervensi aktifitas cognator yang direncanakan pada masalah keperawatan


perubahan penampilan peran meliputi : a) Diskusikan perubahan peran yang
terjadi; b) Diskusikan koping yang positif dalam menghadapi perubahan
peran; c) Diskusikan dengan keluarga tentang perubahan peran pasien;
d) Anjurkan kelurga untuk terus memberikan dukungan kepada pasien.

8. Koping tidak efektif


Intervensi keperawatan yang direncanakan pada masalah keperawatan koping
tidak efektif, meliputi : a) Dukungan spiritual, b) Lakukan komunikasi
terapeutik dan c) Peningkatan koping

Intervensi aktivitas regulator yang direncanakan pada masalah keperawatan


koping tidak efektif, meliputi : a) Nilai pengertian pasien terhadap proses
penyakit; b) Dukung pasien akan harapan yang realistik sebagai cara terkait
dengan perasaan tak berdaya; c) Bantu pasien dalam pengembangan penilaian
objektif; d) Sediakan bagi pasien pilihan yang realistik mengenai aspek-aspek

perawatan yang pasti; e) Evaluasi kemampuan pasien membuat keputusan;


f) Coba untuk mengerti perspektif pasien terhadap situasi yang penuh stress;
g) Jangan dukung keputusan yang dibuat pasien bila pasien dalam keadaan
stress; h) Dukung penggunaan sumber-sumber spiritual, jika diinginkan;
i) Dukung pasien menggunakan mekanisme pertahanan yang tepat; j) Bantu
pasien mengembangkan jalan keluar yang konstruktif untuk marah dan
permusuhan; k) Bantu pasien mengidentifikasi respon positif dari orang lain;
l) Dukung pasien mengidentifikasi nilai-nilai hidup yang spesifik;
Perkenalkan pasien pada seseorang atau kelompok yang mempunyai
pengalaman sama dan berhasil menjalani; m) Bantu pasien menilai sumber-
sumber yang ada untuk menemukan tujuan; n) Nilai keinginan pasien
terhadap dukungan social; o) Bantu pasien untuk mengidentifikasi support
sistem yang ada.

Intervensi aktivitas cognator yang direncanakan pada masalah keperawatan


koping tidak efektif, meliputi : Konseling; Edukasi manajemen stress;
Berikan pembelajaran individual

2.3.5 Evaluasi

Tahap terakhir dari proses keperawatan adalah evaluasi. Evaluasi merupakan


penetapan keefektifan dari intervensi keperawatan. Evaluasi yang dilakukan
adalah membandingkan respon perilaku yang dihasilkan setelah dilakukan
intervensi keperawatan dengan perilaku yang dirumuskan pada rumusan tujuan
inetervensi keperawatan yang direncanakan.
37

BAB 3
PROSES RESIDENSI

Pada bab 3 ini akan menguraikan dan menggambarkan tentang pelaksanaan proses
residensi yang terdiri dari penerapan asuhan keperawatan pada satu kasus kelolaan
utama pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) dan analisis asuhan
keperawatan dari kasus kelolaan lainnya pada pasien dengan gangguan sistem
perkemihan selama penulis melakukan pratik residensi dengan menggunakan
pendekatan teori adaptasi Roy. Pada bab ini jugan menjabarkan tentang
pelaksanaan penerapan salah satu intervensi yang dipilih berdasarkan bukti ilmiah
Evidence Based Practice Cryotherapy Untuk Mengurangi Nyeri Saat Penusukan
Arterivenous Fistula Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Hemodialisis.
Selain itu juga menjelaskan program inovasi yang praktikan lakukan dalam
praktik residensi berupa manajemen pada pasien penyakit ginjal tahap akhir
dengan hemodialisis.

3.1 Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Pemberian Asuhan Keperawatan


Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan

3.1.1 Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Kasus Kelolaan Utama


pada Pasien dengan Penyakit Ginjal Tahap Akhir
1. Gambaran kasus kelolaan utama
Pasien bernama Nn. LM, umur 28 tahun, status belum menikah, agama islam,
pendidikan terakhir tamat akademik, pekerjaan pegawai swasta, alamat Ciputat
Tangerang Selatan. Pasien dirawat di RSUP Fatmawati sejak tanggal 18 april

2014 dengan keluhan utama sesak napas yang memberat sejak 10 hari sebelum
masuk rumah sakit disertai mual dan memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pada saat pengkajian tanggal 21 april 2014 keluhan pasien adalah sesak
napas terutama ketika tidur, nyeri dada seperti tertindih, kaki bengkak, nyeri di
area perut bagian atas, tidak nafsu makan dan mual disertai muntah. Nyeri di area
perut atas dirasakan terus menerus, dengan skala nyeri berada pada rentang 5-6

36

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


38

saat nyeri lepas dan nyeri meningkat saat ditekan dengan skala nyeri berada pada
rentang 7-8.

Pasien 2 minggu sebelumnya pernah dirawat selama 2 hari di RS UIN dengan


keluhan yang sama yaitu sesak napas dan bengkak seluruh tubuh. Pasien sudah
mengetahui bahwa dirinya menderita penyakit ginjal dan hipertensi sejak 8 bulan
yang lalu sebelum masuk rumah sakit saat di rawat di RS UIN dan sudah
dianjurkan untuk melakukan cuci darah, tetapi pasien masih belum setuju untuk
dilakukan tindakan cuci darah tersebut dan pasien hanya mengkonsumsi obat
yang diberikan yaitu amlodipin 1 x 10 mg dan captopril 1 x 25 mg. Pasien tidak
memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus dan tidak memiliki riwayat alergi
terhadap obat dan makanan. Pasien memiliki riwayat mengkonsumsi minuman
berenergi selama 2 tahun sebelum sakit untuk menjaga stamina saat bekerja, dan
kebiasaan tersebut berhenti sejak dinyatakan sakit ginjal.

Proses Asuhan keperawatan Berdasarkan Teori Adaptasi Roy

Asuhan keperawatan dilakukan secara holistik dan komprehensif yang dimulai


dari melakukan pengkajian sampai dengan melakukan evaluasi dari asuhan
keperawatan yang diberikan dengan menggunakan pendekatan teori adaptasi Roy.
Pengkajian Perilaku dan Stimulus
Mode Adaptasi Fisiologis
Oksigenasi dan sirkulasi

Pengkajian Perilaku Oksigenasi


:
pasien mengeluhkan sesak napas yang memberat jika digunakan untuk
tidur terlentang.
Pemeriksaan fisik :
RR 32 x/menit, teratur, tidak ada sekret pada jalan napas, terpasang
oksigen simple mask 6 L/menit, bunyi nafas vesikuler +/+, ronkhi +/+,
tidak terdapat penggunaan otot bantu pernapasan (tidak ada

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


39

penggunaan napas cuping hidung dan tidak ada restraksi dinding dada
ke dalam), vokal fremitus dada kanan dan kiri sama
Pertukaran gas : hasil pemeriksaan Lab AGD (19/04/2014) PH :
7,260; PCO2 : 31,6; PO2 : 66,2; BP : 752; HCO3 : 13,9; O2 saturasi :
90,5; BE -11,9; Total CO2 : 14,8.
Foto thorak tanggal 19 april 2014 : kardiomegali dengan tanda
bendungan paru dan suspek pleura bilateral.

Sirkulasi :

TD 150/100 mmHg, HR 92 x/menit, nadi kuat dan teratur, akral


hangat, JVP 5±2 cm H2O, tidak ada riwayat sinkop dan pusing, tidak
terdapat diaforesis, ekstremitas atas hangat tetapi ektremitas bawah
dingin, pengisian CRT < 3 detik. Bunyi jantung S1 dan S2 normal,
tidak terdapat gallop dan murmur, konjungtiva tidak anemis. Terjadi
perubahan tanda vital saat perubahan posisi, yaitu saat perubahan
posisi dari tidur terlentang menjadi duduk dengan tanda vital saat tidur
terlentang TD 150/100 mmHg, HR 92 x/menit, RR 32 x/menit,
setelah digunakan untuk duduk TD 150/100 mmHg, HR 94 x/menit,
RR 28 x/menit.

ii. Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal : penurunan complain paru, stimulus konstektual :


edema paruakibat kelebhan volume cairan, stimulus residual : pasien
mengalami cemas dengan perkembangan penyakitnya.

b) Nutrisi
i. Pengkajian Perilaku
Sejak sakit pasien mengeluh tidak nafsu makan karena merasa mual.
Pasien makan hanya 1-2 sendok makan sekali makan dengan
frekuensi makan 2 x/hari saat dirumah (± 300 Kkal/Hari dari diet yang
dianjurkan 1700Kkal/Hari) . Saat pengkajian pasien mengatakan mual

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


40

dan muntah. Muntah sudah 3 kali sejak bangun tidur jam 05.00 WIB
(jumlah muntah ± 200 cc sekali muntah berisi sisa makanan dan air).
Sejak dirawat 2 hari yang lalu pasien makan hanya 1 sendok makan
nasi saja tanpa lauk dan sayur dengan frekuensi makan 2 x/hari. BB
sebelum sakit (1 bulan yang lalu) 65 kg dan BB saat ini 60 kg (turun 5
kg dalam 1 bulan atau 8,5 %), TB 155 cm, IMT : 24. Pemeriksaan
fisik diperoleh data konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, mukosa
mulut kering, bising usus 10 x/menit.
Pemeriksaan biokimia (19/04/2014) : Hb: 9,8 g/dl , Ht: 30 %, GDS :
110 gr/dl

ii. Pengkajian Stimulus


Stimulus Fokal : mual, muntah dan tidak nafsu
makan
Stimulus Kontekstual : kadar Ureum darah pasien 338
mg/dl Stimulus Residual : kurang pengetahuan

Eliminasi
Pengkajian Perilaku

Eliminasi BAB : pasien mengatakan saat dirumah BAB 1 kali/hari tidak


ada keluhan. Saat pengkajian pasien mengatakan BAB normal 1 x/hari,
feses berwarna kuning, konsistensi lunak, tidak terdapat kesulitan dan
tidak nyeri saat BAB, BAB dikamar mandi dibantu oleh keluarga.

Eliminasi BAK : pasien mengatakan saat dirumah masih bisa BAK


secara spontan, tidak ada keluhan nyeri namun merasakan jumlah air
kencingnya berkurang dari sebelum sakit ginjal. Saat pengkajian
didapatkan data pasien tidak terpasang kateter, BAK Spontan, frekuensi
5-6 x sehari semalam, tidak terdapat nyeri pada kandung kemih, warna
kuning jernih. Jumlah urin : 800 cc/24 jam. Pasien mendapatkan terapi
injeksi intravena lasix 3 x 40 mg. Nilai CCT hitung (dengan nilai
cretinin 19/04/2014) : 3,3 ml/menit. Hasil urinalisa (22/04/2014) :

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


41

protein urin +3, berat jenis 1,020, warna kuning jernih, nitrit (+), PH
Urin 7 Darah (HB) +1, Eritrosit 2-3, Bakteri (+)

ii. Pengkajian stimulus


Fokal : overload cairan
Kontekstual : penurunan fungsi glomerulus
dengan CCT Hitung 3,3 ml/menit
Residual : Terapi diuretik

Aktivitas dan istirahat


Pengkajian Perilaku

Aktivitas : saat pengkajian pasien masih terlihat lemah dan terlihat


sesak napas, perawatan diri dan mobilisasi dilakukan dengan bantuan
keluarga dan perawat, aktivitas BAB dan BAK dilakukan di kamar
mandi dengan bantuan perawat atau keluarga. Pasien mengatakan
masih merasakan sesak napas dan lemas, sesak bertambah jika tidur
terlentang serta setelah berjalan dari kamar mandi, tetapi pasien tidak
mau BAK dan BAB di atas tempat tidur sehingga untuk BAK dan
BAB tetap di kamar mandi dengan bantuan keluarga atau perawat.
Penilaian resiko jatuh dengan nilai Morse : 45 (Resiko Sedang).

Istirahat : pasien mengatakan semalam tidak bisa tidur dan sering


terbangun jika tidur karena merasakan sesak dan nyeri di area perut
atas. Pasien mengatakan sering memikirkan kondisi penyakitnya dan
memikirkan pemasangan catheter double lumen (CDL) dan tindakan
hemodialisis yang harus ia jalani seumur hidup. Wajah pasien terlihat
letih, tidak tampak lingkar hitam disekitar mata.

ii. Pengkajian Stimulus


Fokal : Respon fisiologis penyakit

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


42

Kontekstual : koping tidak efektif


Residual : Kurang pengetahuan

e) Proteksi
i. Pengkajian Perilaku
Orientasi baik, tidak ada letargi. Kulit kering, terdapat edema pada
ekstremitas bawah dengan derajat pitting edema derajat 1. Pasien
mengeluhkan nyeri di area perut atas, nyeri dirasakan terus menerus
dengan skala nyeri lepas berada pada rentang 5-6 dan nyeri meningkat
saat ditekan dengan skala nyeri berada pada rentang 7-8. Pasien
tampak meringis kesakitan saat abdomen atas ditekan perlahan.

ii. Pengkajian Stimulus


Fokal : kerusakan fungsi glomerulus
Kontekstual : edema
Residual : Kurang pengetahuan tentang manajemen cairan dan
manajemen nyeri

Sensori
Pengkajian Perilaku

Pemeriksaan sensori penglihatan : mata simetris, reaksi cahaya


langsung dan tidak langsung (+), refleks kornea (+), ketajaman
penglihatan tidak mengalami penurunan, tidak ada diplopia.
Pemeriksaan sensori pendengaran : telinga simetris, alat bantu dengar
(-), pendengaran pasien masih normal, pemeriksaan sensori perabaan :
kulit kering, sentuhan kulit (+), indra peraba normal..

ii. Pengkajian Stimulus


Tidak ditemukan masalah maladaptif pada pengkajian perilaku
sehingga tidak ditemukan stimulus fokal, kontekstual dan residual.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


43

g) Cairan dan elektrolit


i. Pengkajian Perilaku
Tekanan darah : 150/ 100 mmHg, nadi : 90 x/menit, jugularis vena
pressure (JVP) : 5 +2 cmH2O, membran mukosa bibir lembab, turgor
kulit baik, tidak mengalami diaforesis, Terdapat muntah sudah 3 kali
sejak bangun tidur jam 05.00 WIB (jumlah muntah ± 200 cc sekali
muntah berisi sisa makanan dan air), mendapat terapi pembatasan
cairan 600 cc/hari dan lasix 3 x 40 mg perhari. Terdapat edema pada
ekstremitas bawah dan ascites dengan lingkar perut 98 cm. Intake
cairan : minum : 1500 cc/hari. Output : urin (800 cc/hari) + IWL 500
cc/24 jam. Balance cairan : + 200 cc. Nilai laboratorium (19/04/2014)
Natrium : 136 mEq/L, klorida 101 mEq/L, Kalium 4,73 mEq/L, ureum
338mg/dl, creatinin : 23,8 mg/dl.

ii. Pengkajian Stimulus


Fokal : Penurunan fungsi ginjal

Kontekstual : Riwayat Pasien duka minum minuman berkarbonasi


dan minuman penambah energi selam 2 tahun
Residual : Kurang pengetahuan
tentang kondisi penyakit dan tidak
memahami pentingnya pembatasan cairan pada pasien
penyakit ginjal tahap akhir

Fungsi Neurologi
Pengkajian perilaku
Penampilan umum lemah, tingkat kesadaran composmentis (GCS 15),
status mental baik, fungsi intelektual baik, tidak terjadi gangguan pada
nervus kranialis, reflek fisiologis (+), reflek patologi (-), sensorik baik,
otonom baik, pasien dapat berkomunikasi dengan baik, tidak terdapat
tanda defisit fungsi neurologis. Pasien dapat berorientasi terhadap
tempat, orang dan waktu.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


44

ii. Pengkajian Stimulus


Tidak ditemukan masalah maladaptif pada pengkajian perilaku
sehingga tidak ditemukan stimulus fokal, kontekstual dan residual.

i) Fungsi Endokrin
i. Pengkajian Perilaku
Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid, tidak memiliki riwayat
DM, ascites dengan lingkar perut 98 cm, GDS : 110 mg/dl.
ii. Pengkajian Stimulus
Tidak ditemukan masalah maladaptif pada pengkajian perilaku
sehingga tidak ditemukan stimulus fokal, kontekstual dan residual.

Fungsi Reproduksi
Pengkajian Perilaku
Pasien belum menikah dan selama ini tinggal bersama saudaranya.
Fungsi menstruasi normal sebulan sekali.

ii. Pengkajian Stimulus


Tidak ditemukan masalah maladaptif pada pengkajian perilaku
sehingga tidak ditemukan stimulus fokal, kontekstual dan residual.

Mode Adaptasi Konsep Diri


Pengkajian Perilaku
Sensasi Diri : Pasien mengatakan tubuhnya terasa lemas. Pasien mengatakan
takut melakukan hemodialisa dan takut dilakukan
pemasangan catheter doubel lumen (CDL), pasien juga takut dengan
kondisi penyakitnya jika makin memburuk. Pasien pasrah mengikuti
saran dokter dan perawat agar bisa sembuh
ii. Ideal diri dan Body Image : Pasien mengatakan tidak malu dengan
kondisi sakitnya dan menerima kondisinya dengan pasrah. pasien
mengatakan takut mau menjalani cuci darah dan takut mau dipasang

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


45

catheter doubel lumen (CDL). Pasien mengatakan hanya sedih dan


takut karena harus cuci darah terus.
iii. Self Consistency : Pasien selama sakit tetap semangat mencari
pengobatan dan menuruti nasihat dokter dan perawat karena ingin
cepat sembuh dan dapat melakukan aktivitas lagi tanpa rasa sakit.
iv. Moral-etik-spiritual : Pasien selama sakit tidak melakukan kegiatan
ibadah sholat.

b. Pengkajian Stimulus

Fokal : respon diri terhadap penerimaan kondisi sakit dan


hospitalisasi Kontekstual : Rencana pemasangan CDL dan
tindakan Hemodialisa Residual : Kurang pengetahuan
terhadap tindakan Pemasangan CDL
dan Hemodialisis
Mode Fungsi Peran
Pengkajian Perilaku

Pasien belum menikah dan sejak sakit sudah tidak bekerja dan
kebutuhannya ditanggung oleh saudara saudaranya. Pasien ingin segera
sembuh dan dapat beraktivitas seperti sebelum sakit dapat bekerja dan
melakukan kegiatan bersosialisasi dengan teman dan tetangganya.

b. Pengkajian Stimulus
Fokal : respon diri terhadap penerimaan kondisi sakit dan
hospitalisasi
: tidak dapat bekerja dan bersosialisasi
Kontekstual
Residual : Kurang pengetahuan terhadap tindakan perawatan dan
terapi pengganti ginjal.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


46

4) Mode Adaptasi Interdependen


a. Pengkajian Perilaku
1) Receptive Behaviour : Pasien sudah menerima penyakit tetapi masih
takut untuk dipasang CDL dan takut untuk menjalani tindakan
hemodialisis seumur hidup. Pasien mendapat dukungan dari saudara
dan keluarganya, sehingga memberikan semangat kepada pasien
untuk melakukan pengobatan dan semangat untuk segera sembuh.

2) Contributor Behaviour : Pasien Kooperatif, hubungan dengan


keluarga dan tetangga baik, menyayangi keluarganya. Keluarganya
selalu mensupport pasien, dan terlibat secara aktif dalam perawatan.

b. Pengkajian Stimulus
Fokal : respon diri terhadap penerimaan kondisi sakit dan
hospitalisasi
Kontekstual : rencana pemasangan CDL dan tindakan Hemodialisis
Residual
: kurang pengetahuan terhadap tindakan
Pemasangan CDL dan Hemodialisis

Diagnosa keperawatan

Berdasarkan data hasil pengkajian, diagnosa keperawatan yang muncul pada Nn.
LM adalah sebagai berikut :
Mode adaptasi fisiologi
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi akibat penurunan fungsi ginjal; kurang pengetahuan tentang
manajemen cairan dan diit.
b. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan menurunnya suplai oksigen
jaringan akibat menurunnya kapasitas pengangkutan oksigen (anemia);
kelemahan/ keletihan umum; tidak adekuat intake nutrisi.
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia; penurunan masukan oral; mual
d. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kecemasan akan kondisi penyakit

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


47

2. Mode adaptasi konsep diri


a. Cemas berhubungan dengan perubahan gaya hidup; kompleksitas
pengobatan dan kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan
kebutuhan pengobatan.

3. Mode adaptasi fungsi interdependensi


a. Koping tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi akibat penyakit
kronis dan pengobatan yang lama dan kompleks; kurang pengetahuan
tentang koping yang efektif.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


47

c. Intervensi keperawatan
Tabel 3.1
Rencana Asuhan Keperawatan dan Implementasi pada Nn. LM
Pengkajian Perilaku Pengkajian Diagnosa Tujuan Intervensi (NIC) & Implementasi
Stimulus Keperawatan
Respon inefektif pada mode Stimulus fokal : Kelebihan volume Setelah dilakukan tindakan 1. Monitoring cairan
adaptasi fisik : Kelebihan GGK  cairan berhubungan keperawatan selama 3 x 2. Manajemen cairan
volume cairan Penurunan dengan gangguan 24 jam terjadi perbaikan 3. Rencana terapi pengganti ginjal
filtrasi mekanisme regulasi kelebihan volume cairan
akibat penurunan ditandai:
glomerulus Aktivitas regulator :
fungsi ginjal; kurang 1. Tekanan darah stabil
1. Kaji status cairan
Data Subjektif : pengetahuan tentang 2. Edema berkurang atau
a. Timbang berat badan harian
 Pasien mengeluh sesak napas manajemen cairan dan tidak ada
b. Ukur keseimbangan masukan dan
yang memberat terutama jika diit 3. Ascites berkurang atau
haluaran cairan tubuh
tidur terlentang Stimulus Fokal : tidak ada
c. Turgor kulit dan edema
Penurunan 4. Tidak ada peningkatan
d. Distensi vena leher
fungsi ginjal JVP
e. Tekanan darah, denyut nadi dan
Data Objektif : 5. Pasien patuh terhadap
irama nadi.
 TD : 150/100 mmHg, pembatasan cairan
Stimulus 2. Catat pemasukan dan pengeluaran
nadi : 90 x/menit, 6. Intake dan out put cairan
Kontekstual : akurat
RR : 32 x/ menit tubuh seimbang
3. Batasi masukan cairan
 Intake oral cairan ± 1500 riwayat minum 4. Monitoring perubahan BB sebelum dan
cc/hari. Terdapat edema pada minuman sesudah tindakan hemodialisis
ekstremitas bawah berkarbonasi 5. Monitoring nilai serum dan elektrolit
 ascites dengan lingkar perut dan penambah 6. Identifikasi sumber potensial cairan.
98 cm. a. Jumlah medikasi dan cairan
 Intake cairan : minum : 1500

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


48

cc/hari. Output : urin (800 energi ± 2 tahun untuk pengobatan


cc/hari) + IWL 500 cc/24 b. Makanan
jam. Balance cairan : + 200 Stimulus 7. Kolaborasi medikasi (Lasix 3 x 40 mg)
cc. 8. Kolaborasi pelaksanaan hemodialisis
residual: Kurang
 Pemeriksaan laboratorium
pengetahuan
(21/04/2014) ureum : 338 Aktivitas cognator :
mg/dl; creatinin 23,8 mg/dl, tentang kondisi a. Edukasi tentang penting pembatasan
fosfor 5,7 mg/dl, natrium penyakit dan cairan dan caranya
136 mmol/l, kalium 4,37 tidak memahami b. Ajarkan pasien/klg untuk
mmol/l, clorida 101 mmol/l, pentingnya mengumpulkan/ mencatat urine 24 jam.
GDS : 110 mg/dl. pembatasan c. Jelaskan pada pasien dan keluarga
 CCT Hitung : 4,76 ml/menit kelebihan cairan, penyebab dan
cairan pada
bahayanya.
pasien penyakit d. Edukasi cara mengurangi rasa haus, spt
ginjal tahap minum air dingin, mengulum batu es
akhir dan mengunyah permen karet.
e. Self efficacy tentang restriksi cairan

Respon inefektif pada Stimulus fokal : Perubahan nutrisi Setelah perawatan 7x24 1. Manajemen mual
model adaptasi fisik: penumpukan kurang dari kebutuhan jam perawatan, masukan
Perubahan nutrisi toksin (ureum tubuh berhubungan nutrisi adekuat ditandai 2. Monitoring nutrisi
338 mg/dl)  dengan anoreksia, dengan :
3. Manajemen nutrisi
rasa mual-mual penurunan masukan
Data Subjektif : dan tidak nafsu oral, mual sekunder 1. Tidak ada anoreksia
 Pasien mengeluh mual dan 2. Tidak ada mual-mual Aktivitas Regulator :
makan terhadap uremia 1. Monitoring intake / pemasukan nutrisi
muntah sudah 3 kali sejak 3. Tidak ada muntah
bangun tidur jan 05.00 WIB 4. Berat badan ideal dan kalori
5. Tonus otot meningkat 2. Kaji/catat pemasukan diet
jumlah ± 200 cc berisi
6. Intake nutrisi 3. Perhatikan keluhan mual/muntah
makanan dan air
4. Anjurkan makan sedikit tapi sering

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


49

 Pasien mengungkapkan tidak Stimulus mual meningkat 5.Anjurkan untuk sering melakukan
nafsu makan, makan hanya muntah dan 7. Ureum menurun perawatan mulut
habis 1-2 sendok makan saja tidak nafsu 6.
 Pasien mengungkapkan tidak makan
tahu tentang diet makanan Kolaborasi :
pada pasien penyakit ginjal Stimulus 1. Nilai laboratorium : albumin serum,
tahap akhir residual: kurang transferin, natrium & kalium
2. Berikan diit Diet Ginjal 1700 kkal/hari
Pengetahuan
Data Objektif :
mengenai diet
Aktivitas Cognator :
 Diet Ginjal 1700 kkal/hari pada pasien 1. Libatkan pasien dan keluarga dalam
 Pasien tampak lemah penyakit ginjal perencanaan makanan.
 Hasil laboratorium : Hb 9,8 tahap akhir 2. Jelaskan rasional pembatasan diet &
g/dl, Ht 30 g/dl, hubungannya dengan penyakit ginjal &
 Kadar ureum : 338 mg/dl peningkatan urea & kadar kreatinin.
 GDS : 110 mg/dl 3. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang
jumlah kalori dan jenis nutrisi yang
dibutuhkan

Respon inefektif pada Stimulus fokal : Intoleransi aktivitas Setelah perawatan 4 x24 1. Manajemen energy
mode adaptasi fisik: kelemahan, berhubungan dengan: jam, diharapkan pasien
Intoleransi aktivitas anemia Hb : 9,8 a. Menurunnya suplai dapat menunjukkan 2. Terapi aktivitas
mg/dl oksigen jaringan kemampuan untuk
akibat anemia melakukan aktifitas tanpa Aktivitas Regulator
Data Subjektif : b.kelemahan/ mengeluh adanya 1. Kaji faktor yang menimbulkan
Stimulus keletihan : Anemia,
 Pasien mengungkapkan keletihan umum kelainan. Ditandai dengan
kontekstual : : Ketidakseimbangan cairan dan
badannya lemas sekali intake nutrisi 1. Pasien berpartisipasi elektrolit, Retensi produk sampah,
kurang adekuat, dalam aktivitas yang Depresi
Data Objektif :
2. Monitor intake nutrisi yang adekuat.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


50

 Pasien tampak lemah restriksi cairan. dapat ditoleransi. 3. Awasi TD, nadi, pernafasan, selama &
 Haemoglobin : 9,8 gr/dl. 2. Pasien melaporkan sesudah aktivitas. Catat respon
 Konjungtiva anemis Stimulus peningkatan rasa terhadap aktivitas.
residual: kurang sejahtera/nyaman 4. Monitor respon oksigenisasi pasien
3. Pasien melakukan terhadap perawatan diri atau aktifitas
pengetahuan
istirahat & aktivitas keperawatan.
secara bergantian 5. Berikan aktivitas alternatif dengan
4. Tidak terjadi periode istirahat yang cukup.
perubahan TTV 6. Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas
selama atau setelah perawatan diri yang dapat ditoleransi,
aktivitas bantu jika keletihan terjadi.
5. Haemoglobin 10 gr/dl 7. Anjurkan pasien untuk menghentikan
aktivitas bila palpitasi, nyeri dada,
nafas pendek, kelemahan atau pusing.
8. Anjurkan untuk beristirahat setelah
dialisis.

Aktivitas Cognator :
1. Jelaskan kepada pasien penyebab
kelatihan
2. Ajarkan pasien teknik penghematan
energy, misal mandi dengan duduk,
duduk untuk melakukan tugas-tugas.
3. Ajarkan alternative perawatan diri
sesuai keterbatasan

Respon inefektif pada Stimulu Gangguan pola tidur Setelah dilakukan 1. Sleep Enhancement
mode fungsi fisiologis: s fokal: berhubungan dengan perawatan 3 x 24 jam,
Gangguan pola tidur . Cemas, kebutuhan tidur terpenuhi, 2. Anxiety reduction

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


51

penyakit respon kecemasan ditandai dengan : Aktifitas Regulator:


kronis
Data subyektif: 1. Jumlah jam istirahat 1. Monitor pola tidur & jumlah jam tidur
 Pasien mengatakan malam Stimulu tidur bertambah pasien
susah tidur, tidur malam 2- s
2. Pasien lebih segar 2. Bantu pasien mengidentifikasi factor-
3 jam. kontekst
faktor yang mungkin menyebabkan
 Sebelum sakit pasien tidur ual: 3. Pasien melakukan kurang tidur seperti, ketakutan,
6-8 jam / hari Koping teknik untuk keemasan.
 Pasien mengatakan tidur tidak meningkatkan jumlah
malam sering terbangun. efektif jam tidur . 3. Anjurkan pasien untuk mengurangi
 Pasien kepikiran dan cemas tidur siang
memikirkan penyakitnya Stimulu
dan rencana harus dipasang s 4. Ajarkan/anjurkan relaksasi otot atau
CDL dan cuci darah residual: teknik relaksasi lainnya
seumur hidup kurang
Aktifitas Cognator:
pengeta 1. Jelaskan pentingnya tidur bagi proses
Data objektif: huan penyembuhan
2. Diskusikan dengan pasien & keluarga
 Pasien terlihat kusut
pentingnya kenyamanan, teknik
 Pasien terlihat mengantuk
 Tidak tampak lingkar hitam meningkatkan tidur yang dapat
disekitar mata memfasilitasi tidur yang optimal.

Respon inefektif pada Stimulus fokal : Cemas berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1. Anxiety reduction
mode konsep diri: CKD, penyakit dengan kurang keperawatan selama 3 x 24
cemas kronis pengetahuan tentang jam, Cemas berkurang 2. Relaxation therapy

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


52

Stimulus kondisi, prognosis dan atau hilang, ditandai Aktivitas Regulator:


kontekstual : kebutuhan pengobatan. dengan : a. Jalin kepercayaan dengan komunikasi
Data Subjektif : Pasien sebagai terbuka dengan pasien
 Pasien mengatakan belum kepala keluarga 1. Pasien mampu b. Berikan kesempatan kepada pasien
siap jika harus cuci darah beradaptasi dalam untuk mengungkapkan pikiran dan
seumur hidup, karena akan Stimulus menghadapi penyakit perasaanya mengenai kecemasan.
yang dialaminya. c. Kaji ketakutan dan kecemasan pasien
merepotkan keluarga residual : 2. Pasien memahami d. Kaji mekanisme koping yang biasa
 Pasien juga mengatakan pengetahuan psn penyakit dan digunakan pasien dalam mengurangi
cemas dengan rencana kurang pentingnya pengobatan kecemasan
pemasangan double lumen 3. Pasien berpartisipasi e. Dukung mekanisme koping yang tepat
 Pasien juga menanyakan dalam program yang telah digunakan : berdoa.
apakah cuci darah harus pengobatan. f. Evaluasi perubahan makna bagi
dilakukan selamanya 4. Pasien mengukapkan pasien dan anggota keluarga atau
kesiapannya menjalani pasangannya.
Data Objektif : pemasangan double g. Motivasi pasien untuk membagi
 Pasien tampak cemas, dengan lumen dan tindakan perasaannya keluarganya.
skala cemas pada skala 4-5 cuci darah seumur h. Ajarkan teknik relaksasi, seperti tarik
 Pasien terlihat banyak hidup. nafas dalam, meditasi, dsb.
melamun i. Libatkan keluarga untuk memberikan
dukungan moril.

Aktivitas Cognator :
a. Berikan pendidikan kesehatan mengenai
pengertian, penyebab, tanda dan
gejala CKD serta terapi pengganti
ginjal (tindakan hemodialisa).

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


53

Respon inefektif pada Stimulus fokal: Koping tidak efektif Setelah dilakukan 1. Dukungan spiritual
mode interdependensi : penyakit kronis berhubungan dengan perawatan 3x24 jam, 2. Komunikasi therapeutik
koping tidak efektif menyebabkan krisis situasi akibat koping kriteria hasil : 3. Peningkatan koping
penyakit kronis; 4. Konseling
berhubungan dengan stress dan
kurang pengetahuan 1. Pasien mengatakan
penyakit kronis dan ketergantungan tentang koping yang
pengobatan yang lama; akan terapi; memahami penyakit Aktifitas Regulator:
efektif.
kurang pengetahuan yang dialaminya. 1. Bantu pasien dalam pengembangan
tentang koping yang Stimulus 2. Pasien mengatakan penilaian obyektif.
efektif kontekstual: kemauannya untuk 2. Dukung pasien akan harapan yang
kelemahan fisik. menggunakan sumber- realistik.
Data: sumber yang ada dalam 3. Dukung pasien dalam penggunaan
Stimulus meningkatkan mekanisme pertahan yang tepat
 Pasien mengatakan masih residual : kurang kopingnya yang efektif. 4. Bantu pasien mengidenstifikasi support
belum percaya jika ia pengetahuan. 3. Pasien mampu system yang ada.
menderita gagal ginjal dan menggunakan support 5. Bantu
harus menjalani cuci darah pasien mengidentifikasi
system yang ada di kemampuan dalam mengatasi stress
seumur hidup.
 Pasien masih sering rumah sakit. 6. Eksplorasi koping yang biasa
kepikiran dan merasa sedih, 4. Pasien dapat digunakan, dukung koping yang positif.
namun pasien masih mau menggunakan teknik 7. Identifikasi harapan pasien.
menjalani prosedur relaksasi saat 8. Berikan pujian atas koping positif.
pengobatan dan perawatan mengalami stres 9. Perkenalakan pasien pada seseorang
yang dilakukan terhadapnya.
atau kelompok yang mempunyai
pengalaman sama dan berhasil
menjalaninya.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


54

Aktifitas cognator:
1. Berikan pendidkan dalam manejemen
stres.
2. Diskusikan dengan pasien tentang
koping yang efektif
3. Diskusikan peran keluarga dlm
merubah perilaku dan membantu pasien
dlm beradaptasi & meningkatkan
koping efektif dalam kehidupan.
4. Jelaskan kepada pasien dan keluarga
tentang penyakit dan penatalak
sanaannya agar pasien dapat
mengambil keputusan dengan tepat.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


55

d. Catatan Perkembangan

Tabel 3.2
Catatan Perkembangan perawatan Nn. LM dengan diagnosa medis Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA)
1. Diagnosa Keperawatan : Kelebihan Volume Cairan

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 09/09/2013

Subjective: Subjective: Subjective: Subjective:

 Pasien mengeluh sesak napas  Pasien mengeluh sesak napas  Pasien masih mengeluh sesak  Pasien mengatakan sudah lebih
terutama jika tidur terlentang terutama jika tidur terlentang napas dan semalam saat tidur baik meskipun masih sesak
pasien sering terbangun karena napas
dada terasa begah dan sesak
 Pasien mengungkapkan masih
Objective: Objective:  Pasien mengungkapkan masih susah untuk membatasi minum
susah untuk membatasi minum
 Derajat Pitting edema pada  Derajat Pitting edema pada
tetapi mencoba tetap sesuai
ekstremitas bawah +1 ekstremitas bawah +1
anjuran
Objective:
 Ascites +, LP 98 cm  Ascites +, LP 98 cm
 Pitting edema pada
 BC : + 100 cc  BC : + 200 cc ekstremitas bawah +2
Objective:

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


56

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 09/09/2013

 CCT 4,76 cc/mnt  CCT 4,76 cc/mnt  Sudah tidak terdapat edema  Ascites +, LP 96 cm
pada ekstremitas
 CCT 4,76 cc/mnt
 Ascites +, LP 94 cm
Analisa: Analisa:
 CCT 4,76 cc/mnt
Kelebihan volume cairan dan Kelebihan volume cairan dan Analisa:
elektrolit Respon pasien belum elektrolit Respon pasien belum
adaptif adaptif Kelebihan volume cairan dan
Analisa: elektrolit Respon pasien belum
adaptif
Kelebihan volume cairan dan
Intervensi: Intervensi: elektrolit Respon pasien belum
adaptif
1. Manajemen cairan 1. Manajemen cairan Intervensi:
2. Monitoring cairan 2. Monitoring cairan
3. Rencana terapi pengganti 3. Rencana terapi pengganti ginjal 1. Manajemen cairan
Intervensi: 2. Monitoring cairan
ginjal
Aktivitas regulator : 3. Rencana terapi pengganti ginjal
1. Manajemen cairan
Aktivitas regulator :
1. Kaji status cairan 2. Monitoring cairan Aktivitas regulator :
1. Kaji status cairan 3. Rencana terapi pengganti ginjal
2. Timbang badan harian 1. Kaji status cairan
2. Timbang badan harian
3. Keseimbangan masukan dan

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


57

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 09/09/2013

3. Keseimbangan masukan dan haluaran cairan Aktivitas regulator : 2. Timbang badan harian
haluaran cairan
4. Turgor kulit dan edema 1. Kaji status cairan 3. Keseimbangan masukan dan
4. Turgor kulit dan edema haluaran cairan
5. Distensi vena leher 2. Timbang badan harian
5. Distensi vena leher 4. Turgor kulit dan edema
6. Tekanan darah, denyut nadi dan 3. Keseimbangan masukan dan
6. Tekanan darah, denyut nadi irama nadi. haluaran cairan 5. Distensi vena leher
dan irama nadi.
7. Catat pemasukan dan 4. Turgor kulit dan edema 6. Tekanan darah, denyut nadi dan
7. Catat pemasukan dan pengeluaran akurat irama nadi.
pengeluaran akurat 5. Distensi vena leher
8. Batasi masukan cairan 7. Catat pemasukan dan
8. Batasi masukan cairan 6. Tekanan darah, denyut nadi dan pengeluaran akurat
9. Kolaborasi pemberian diuretic & irama nadi.
9. Kolaborasi pemberian persiapan tindakan hemodialisa 8. Batasi masukan cairan
diuretic & persiapan 7. Catat pemasukan dan
tindakan hemodialisa 10. Monitoring perubahan BB pengeluaran akurat 9. Kolaborasi pemberian diuretic
sebelum dan sesudah tindakan & persiapan tindakan
10. Monitoring perubahan BB hemodialisis 8. Batasi masukan cairan hemodialisa
sebelum dan sesudah
tindakan hemodialisis 11. Monitoring nilai serum dan 9. Kolaborasi pemberian diuretic 10. Monitoring perubahan BB
elektrolit dan restriksi cairan & persiapan tindakan sebelum dan sesudah tindakan
11. Monitoring nilai serum dan hemodialisa hemodialisis
12. Identifikasi sumber potensial

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


58

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 09/09/2013

elektrolit dan restriksi cairan cairan 10. Monitoring perubahan BB 11. Monitoring nilai serum dan
sebelum dan sesudah tindakan elektrolit dan restriksi cairan
12. Identifikasi sumber potensial 13. Kolaborasi medikasi (Lasix 3 x hemodialisis
cairan 40 mg) 12. Identifikasi sumber potensial
11. Monitoring nilai serum dan cairan
13. Kolaborasi medikasi (Lasix 3 Aktivitas cognator : elektrolit dan restriksi cairan
x 40 mg) 13. Kolaborasi medikasi (Lasix 3 x
1. Edukasi tentang penting 12. Identifikasi sumber potensial 40 mg)
Aktivitas cognator : pembatasan cairan dan caranya cairan
1. Edukasi tentang penting 2. Ajarkan pasien/klg untuk 13. Kolaborasi medikasi (Lasix 3 x
pembatasan cairan dan mengumpulkan/ mencatat urine 40 mg) Aktivitas cognator :
caranya 24 jam.
1. Edukasi tentang penting
2. Ajarkan pasien/klg untuk 3. Jelaskan pada pasien dan pembatasan cairan dan caranya
mengumpulkan/ mencatat keluarga kelebihan cairan, Aktivitas cognator :
urine 24 jam. penyebab dan bahayanya. 2. Ajarkan pasien/klg untuk
1. Edukasi tentang penting mengumpulkan/ mencatat
3. Jelaskan pada pasien dan 4. Edukasi cara mengurangi rasa pembatasan cairan dan urine 24 jam.
keluarga kelebihan cairan, haus, spt minum air dingin, caranya
penyebab dan bahayanya. mengatur alokasi jumlah 3. Jelaskan pada pasien dan
minum/hari dan mengunyah 2. Ajarkan pasien/klg untuk keluarga kelebihan cairan,
4. Edukasi cara mengurangi permen karet. mengumpulkan/ mencatat penyebab dan bahayanya.
rasa haus, spt minum air urine 24 jam.
4. Edukasi cara mengurangi rasa

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


59

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 09/09/2013

dingin, mengatur alokasi 5. Self efficacy tentang restriksi 3. Jelaskan pada pasien dan haus, spt minum air dingin,
jumlah minum/hari dan cairan keluarga kelebihan cairan, mengatur alokasi jumlah
mengunyah permen karet. penyebab dan bahayanya. minum/hari dan mengunyah
permen karet.
5. Self efficacy tentang 4. Edukasi cara mengurangi rasa
restriksi cairan Evaluasi: haus, spt minum air dingin, 5. Self efficacy tentang restriksi
mengatur alokasi jumlah cairan
1. Pasien mengatakan masih sesak
minum/hari dan mengunyah
napas dan makin sesak jika
permen karet.
Evaluasi: digunakan untuk banyak bergerak
5. Self efficacy tentang restriksi Evaluasi:
1. Pasien mengatakan masih 2. Tidur masih menggunakan dua
cairan
sesak napas dan makin sesak bantal  Pasien mengatakan masih sesak
jika digunakan untuk banyak napas dan makin sesak jika
bergerak 3. Terpasang oksigen simple mask 6 digunakan untuk banyak
l/menit Evaluasi: bergerak
2. Tidur masih menggunakan
dua bantal 4. Derajat Pitting edema ekstremitas 1. Pasien mengatakan masih sesak  Tidur masih menggunakan dua
bawah +1 napas dan makin sesak jika bantal
3. Terpasang oksigen simple digunakan untuk banyak
mask 6 l/menit 5. TD : 150/100 mmHg, HR : 96  Pasien mengatakan sudah mulai
bergerak
x/menit, RR : 22 x/ menit mencoba menggunyah permen
4. Derajat Pitting edema 2. Tidur masih menggunakan dua karet saat haus
ekstremitas bawah +1 6. Intake oral cairan ± 1000cc/24
jam, output/24 jam: 400cc+500

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


60

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 09/09/2013

5. TD : 150/1000 mmHg, HR : (IWL) BC: +100cc/ 24 jam bantal  Pasien sudah mulai tidak
96 x/menit, RR : 22 x/ menit menggunakan oksigen
Kimia Darah (19/04/2014); 3. Pasien mengatakan sudah
6. Intake oral cairan ± mencoba menggunakan terapi  Pitting edema ekstremitas
1000cc/24 jam, output/24  Ureum : 338 mg/dl (< 50) permen karet untuk mengurangi bawah +3
jam: 400cc+500 (IWL)  Creatinin : 23,8 mg/dl (0,5 – haus
BC: +100cc/ 24 jam 1,5)  TD : 140/90 mmHg, HR : 96
 GDS 110 g/dl (70-200) 4. Terpasang oksigen 3 l/menit x/menit, RR : 22 x/ menit
Kimia Darah (19/04/2014);
5. Pitting edema ekstremitas  Intake oral cairan ± 1200cc/24
bawah +3 jam, output/24 jam: 400cc+500
 Ureum : 338 mg/dl (<
(IWL) BC: +300cc/ 24 jam
50) 6. TD : 140/100 mmHg, HR : 96
 Creatinin : 23,8 mg/dl x/menit, RR : 24 x/ menit
(0,5 – 1,5)
 GDS 110 g/dl (70-200) 7. Intake oral cairan ± 1200cc/24
jam, output/24 jam: 400cc+500
(IWL) BC: +300cc/ 24 jam

Asupan yang bebas dapat Asupan yang bebas dapat Asupan yang bebas dapat Asupan yang bebas dapat
menyebabkan beban sirkulasi menyebabkan beban sirkulasi menyebabkan beban sirkulasi menyebabkan beban sirkulasi
menjadi berlebihan, dan edema, menjadi berlebihan, dan edema, menjadi berlebihan, dan edema, menjadi berlebihan, dan edema,

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


61

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 09/09/2013

sedangkan asupan yang terlalu sedangkan asupan yang terlalu sedangkan asupan yang terlalu sedangkan asupan yang terlalu
rendah mengakibatkan rendah mengakibatkan dehidrasi, rendah mengakibatkan dehidrasi, rendah mengakibatkan dehidrasi,
dehidrasi, hipotensi, dan hipotensi, dan gangguan fungsi hipotensi, dan gangguan fungsi hipotensi, dan gangguan fungsi
gangguan fungsi ginjal. ginjal. ginjal ginjal

2. Diagnosa keperawatan : Intoleransi Aktivitas

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

Data Subjektif : Data Subjektif : Data Subjektif : Data Subjektif :

 Pasien mengungkapkan  Pasien mengungkapkan lemas  Pasien mengungkapkan lemas dan  Pasien mengungkapkan lemas
badannya lemas sekali dan cepat capek cepat capek dan cepat capek

 Sesak jika beraktivitas berat  Sesak jika beraktivitas berat  Sesak jika beraktivitas berat

Data Objektif :

 Pasien tampak lemah Data Objektif : Data Objektif : Data Objektif :

 Haemoglobin : 9,8 gr/dl.  Pasien tampak lemah  Pasien tampak lemah  Pasien tampak lemah

 Konjungtiva anemis  Haemoglobin : 8.3gr/dl.  Haemoglobin : 8.3gr/dl.  Haemoglobin : 8.3gr/dl.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


62

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

 Konjungtiva anemis  Konjungtiva anemis  Konjungtiva anemis

Intervensi :  TTV setelah berjalan dari


km.mandi :TD : 140/100
1. Manajemen energy mmHg, HR : 96 x/menit, RR :
26 x/ menit
2. Terapi aktivitas Intervensi :

Intervensi : 1. Manajemen energy

Aktivitas Regulator 1. Manajemen energy 2. Terapi aktivitas


Intervensi :
a. Kaji faktor yang menimbulkan 2. Terapi aktivitas
keletihan : Anemia, 1. Manajemen energy
Ketidakseimbangan cairan dan Aktivitas Regulator
elektrolit, Retensi produk 2. Terapi aktivitas
Aktivitas Regulator a. Kaji faktor yang menimbulkan
sampah, Depresi
keletihan : Anemia,
a. Kaji faktor yang menimbulkan Ketidakseimbangan cairan dan
b. Monitor intake nutrisi yang
keletihan : Anemia, elektrolit, Retensi produk sampah, Aktivitas Regulator
adekuat.
Ketidakseimbangan cairan dan Depresi
c. Awasi TD, nadi, pernafasan, elektrolit, Retensi produk a. Kaji faktor yang menimbulkan
selama & sesudah aktivitas. sampah, Depresi b. Monitor intake nutrisi yang keletihan : Anemia,
Catat respon terhadap adekuat. Ketidakseimbangan cairan dan
b. Monitor intake nutrisi yang elektrolit, Retensi produk

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


63

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

aktivitas. adekuat. c. Awasi TD, nadi, pernafasan, sampah, Depresi


selama & sesudah aktivitas. Catat
d. Monitor respon oksigenisasi c. Awasi TD, nadi, pernafasan, respon terhadap aktivitas. b. Monitor intake nutrisi yang
pasien terhadap perawatan diri selama & sesudah aktivitas. adekuat.
atau aktifitas keperawatan. Catat respon terhadap aktivitas. d. Monitor respon oksigenisasi
pasien terhadap perawatan diri c. Awasi TD, nadi, pernafasan,
e. Berikan aktivitas alternatif d. Monitor respon oksigenisasi atau aktifitas keperawatan. selama & sesudah aktivitas.
dengan periode istirahat yang pasien terhadap perawatan diri Catat respon terhadap
cukup. atau aktifitas keperawatan. e. Berikan aktivitas alternatif aktivitas.
dengan periode istirahat yang
f. Tingkatkan kemandirian dalam e. Berikan aktivitas alternatif cukup. d. Monitor respon oksigenisasi
aktivitas perawatan diri yang dengan periode istirahat yang pasien terhadap perawatan diri
dapat ditoleransi, bantu jika cukup. f. Tingkatkan kemandirian dalam atau aktifitas keperawatan.
keletihan terjadi. aktivitas perawatan diri yang
f. Tingkatkan kemandirian dalam dapat ditoleransi, bantu jika e. Berikan aktivitas alternatif
g. Anjurkan pasien untuk aktivitas perawatan diri yang keletihan terjadi. dengan periode istirahat yang
menghentikan aktivitas bila dapat ditoleransi, bantu jika cukup.
palpitasi, nyeri dada, nafas keletihan terjadi. g. Anjurkan pasien untuk
pendek, kelemahan atau menghentikan aktivitas bila f. Tingkatkan kemandirian dalam
pusing. g. Anjurkan pasien untuk palpitasi, nyeri dada, nafas aktivitas perawatan diri yang
menghentikan aktivitas bila pendek, kelemahan atau pusing. dapat ditoleransi, bantu jika
h. Anjurkan untuk beristirahat palpitasi, nyeri dada, nafas keletihan terjadi.
setelah dialysis. pendek, kelemahan atau pusing. h. Anjurkan untuk beristirahat
g. Anjurkan pasien untuk

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


64

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

i. Kolaborasi medikasi (asam h. Anjurkan untuk beristirahat setelah dialysis. menghentikan aktivitas bila
folat 1x1, B12 3x1, amlodipin setelah dialysis. palpitasi, nyeri dada, nafas
1 x 10 mg, allupurinol 1 x 200 i. Kolaborasi medikasi (asam folat pendek, kelemahan atau
mg) i. Kolaborasi medikasi (asam folat 1x1, B12 3x1, amlodipin 1 x 10 pusing.
1x1, B12 3x1, amlodipin 1 x 10 mg, allupurinol 1 x 200 mg)
mg, allupurinol 1 x 200 mg) h. Anjurkan untuk beristirahat
setelah dialysis.
Aktivitas Cognator :
Aktivitas Cognator : i. Kolaborasi medikasi (asam
a. Jelaskan kepada pasien Aktivitas Cognator : folat 1x1, B12 3x1, amlodipin
penyebab kelatihan a. Jelaskan kepada pasien penyebab
1 x 10 mg, allupurinol 1 x 200
a. Jelaskan kepada pasien kelatihan
mg)
b. Ajarkan pasien teknik penyebab kelatihan
penghematan energy, misal b. Ajarkan pasien teknik
mandi dengan duduk, duduk b. Ajarkan pasien teknik penghematan energy, misal mandi
untuk melakukan tugas-tugas. penghematan energi, misal dengan duduk, duduk untuk Aktivitas Cognator :
mandi dengan duduk, duduk melakukan tugas-tugas.
c. Ajarkan alternative perawatan untuk melakukan tugas-tugas. a. Jelaskan kepada pasien
diri sesuai keterbatasan c. Ajarkan alternative perawatan diri penyebab kelatihan
c. Ajarkan alternative perawatan sesuai keterbatasan
diri sesuai keterbatasan b. Ajarkan pasien teknik
penghematan energy, misal
Evaluasi : mandi dengan duduk, duduk
Evaluasi :
untuk melakukan tugas-tugas.
1. Pasien mengatakan tubuhnya

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


65

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

masih lemas Evaluasi : 1. Pasien mengatakan tubuhnya c. Ajarkan alternative perawatan


masih lemas diri sesuai keterbatasan
2. Pasien mengatakan belum 1. Pasien mengatakan tubuhnya
kuat berjalan ke kamar masih lemas 2. Pasien mengatakan belum kuat
mandi sendiri berjalan ke kamar mandi sendiri
2. Pasien mengatakan belum kuat Evaluasi :
3. Pasien mengatakan semua berjalan ke kamar mandi 3. Pasien mengatakan semua
aktivitas dibantu oleh sendiri aktivitas dibantu oleh keluarga 1. Pasien mengatakan tubuhnya
keluarga dan dilakukan dan dilaku masih lemas
diatas tempat tidur 3. Pasien mengatakan semua
aktivitas dibantu oleh keluarga 2. Pasien mengatakan belum
dan dilaku kuat berjalan ke kamar
mandi sendiri

3. Pasien mengatakan semua


aktivitas dibantu oleh
keluarga

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


66

3. Diagnosa Keperawatan : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

Data Subjektif : Data Subjektif : Data Subjektif : Data Subjektif :

 Pasien mengeluh mual dan  Pasien mengeluh masih  Pasien mengeluh mual (+),  Pasien mengeluh mual
muntah dengan isi merasakan mual dan muntah (-) (+), muntah (-)
makanan dan minuman (± muntah dengan isi makanan
200cc), muntah sudah 3 dan minuman baru 1 kali  Pasien mengungkapkan  Pasien mengungkapkan
kali sejak bangun tidur sejak bangun tidur (± nafsu makan kurang dan nafsu makan kurang dan
200cc) hanya mengahabiskan ¼ hanya mengahabiskan ¼ -
 Pasien mengungkapkan porsi porsi
nafsu makan kurang dan  Pasien mengungkapkan
makan hanya 1 sendok nafsu makan kurang dan  Pasien mengatakan hanya  Pasien mengatakan hanya
saja itu pun dipaksakan makan hanya 1 sendok saja makan makanan yang makan makanan yang
itu pun dipaksakan disajikan dari rumah sakit disajikan dari rumah sakit
 Pasien mengungkapkan
tidak tahu tentang diet  Pasien mengungkapkan
pada pasien gagal ginjal tidak tahu tentang diet pada
Data Objektif : Data Objektif :
pasien gagal ginjal
Porsi yang diberikan hanya habis ¼ Porsi yang diberikan hanya habis
Data Objektif : porsi dari Diet Ginjal 1700 kkal/hari ¼ porsi dari Diet Ginjal 1700

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


67

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

Porsi yang diberikan hanya habis 1 Data Objektif : kkal/hari


sendok makan dari Diet Ginjal
1700 kkal/hari Porsi yang diberikan hanya habis ¼ Pasien tampak lemah
porsi dari Diet Ginjal 1700
kkal/hari Pasien tampak lemah

Pasien tampak lemah Analisa:

Pasien tampak lemah Nutrisi kurang dari kebutuhan Analisa:

Respon pasien belum adaptif Nutrisi kurang dari kebutuhan

Analisa: Analisa: Respon pasien belum adaptif

Nutrisi kurang dari kebutuhan Nutrisi kurang dari kebutuhan Intervensi:

Respon pasien belum adaptif Respon pasien belum adaptif 1. Manajemen mual Intervensi:

2. Manajemen nutrisi 1. Manajemen mual

Intervensi: Intervensi: 3. Monitoring nutrisi 2. Manajemen nutrisi

1. Manajemen mual 1. Manajemen mual 3. Monitoring nutrisi

2. Manajemen nutrisi 2. Manajemen nutrisi Aktivitas Regulator :

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


68

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

3. Monitoring nutrisi 3. Monitoring nutrisi 1. Monitoring intake / pemasukan Aktivitas Regulator :


nutrisi dan kalori
1. Monitoring intake /
2. Pantau tanda dan gejala pemasukan nutrisi dan kalori
Aktivitas Regulator : Aktivitas Regulator : hiperglikemi (tria poli,
kelemahan, sakit kepala, 2. Pantau tanda dan gejala
1. Monitoring intake / 1. Monitoring intake / pemasukan hiperglikemi (tria poli,
hipotensi, penurunan kesadaran
pemasukan nutrisi dan kalori nutrisi dan kalori kelemahan, sakit kepala,
3. Kaji/catat pemasukan diet hipotensi, penurunan
2. Kaji/catat pemasukan diet 2. Pantau tanda dan gejala
kesadaran
hiperglikemi (tria poli, 4. Perhatikan keluhan mual/muntah
3. Perhatikan keluhan kelemahan, sakit kepala, 3. Kaji/catat pemasukan diet
mual/muntah hipotensi, penurunan kesadaran 5. Anjurkan makan sedikit tapi
sering 4. Perhatikan keluhan
4. Anjurkan makan sedikit tapi 3. Kaji/catat pemasukan diet mual/muntah
sering 6. Anjurkan untuk sering melakukan
4. Perhatikan keluhan perawatan mulut 5. Anjurkan makan sedikit tapi
5. Anjurkan untuk sering mual/muntah sering
melakukan perawatan mulut
5. Anjurkan makan sedikit tapi 6. Anjurkan untuk sering
sering Kolaborasi : melakukan perawatan mulut
Kolaborasi : 6. Anjurkan untuk sering 1. Nilai laboratorium : albumin
1. Nilai laboratorium : albumin melakukan perawatan mulut serum, transferin, natrium &

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


69

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

serum, transferin, natrium & kalium Kolaborasi :


kalium
Kolaborasi : 2. Diit sesuai anjuran Diet Ginjal 1. Nilai laboratorium : albumin
2. Diit sesuai anjuran Diet 1700 kkal/hari serum, transferin, natrium &
Ginjal 1700 kkal/hari 1. Nilai laboratorium : albumin kalium
serum, transferin, natrium &
kalium 2. Diit sesuai anjuran Diet
Aktivitas Cognator : Ginjal 1700 kkal/hari
2. Diit sesuai anjuran Diet Ginjal
1500 kkal/hari 1. Libatkan pasien dan keluarga
Aktivitas Cognator :
2. dalam perencanaan makanan. Aktivitas Cognator :
1. Libatkan pasien dan keluarga
Aktivitas Cognator : 3. Jelaskan rasional pembatasan diet 1. Libatkan pasien dan keluarga
dalam perencanaan makanan. & hubungannya dengan penyakit
1. Libatkan pasien dan keluarga ginjal & peningkatan urea & dalam perencanaan makanan.
2. Jelaskan rasional pembatasan kadar kreatinin.
diet & hubungannya dengan dalam perencanaan makanan. 2. Jelaskan rasional pembatasan
penyakit ginjal & peningkatan 4. Kolaborasi dengan ahli gizi diet & hubungannya dengan
urea & kadar kreatinin. 2. Jelaskan rasional pembatasan tentang jumlah kalori dan jenis penyakit ginjal & peningkatan
diet & hubungannya dengan nutrisi yang dibutuhkan urea & kadar kreatinin.
3. Kolaborasi dengan ahli gizi penyakit ginjal & peningkatan
tentang jumlah kalori dan jenis urea & kadar kreatinin. 3. Kolaborasi dengan ahli gizi
nutrisi yang dibutuhkan tentang jumlah kalori dan jenis
3. Kolaborasi dengan ahli gizi

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


70

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

tentang jumlah kalori dan jenis Evaluasi: nutrisi yang dibutuhkan


nutrisi yang dibutuhkan
Evaluasi: 4. Pasien mengatakan badannya
lemes
1. Pasien mengatakan badannya Evaluasi:
lemes Evaluasi: 5. Pasien mengatakan masih
merasakan mual dan tidak nafsu 1. Pasien mengatakan badannya
2. Pasien mengatakan masih 1. Pasien mengatakan badannya makan lemes
merasakan mual dan tidak lemes
nafsu makan 6. Pasien mengatakan makan habis 2. Pasien mengatakan masih
2. Pasien mengatakan masih ¼ porsi saja merasakan mual dan tidak
3. Pasien mengatakan makan merasakan mual dan tidak nafsu nafsu makan
habis 1 sendok makan saja makan 7. Pasien mengatakan masih
menjadi tahu tentang diet untuk 3. Pasien mengatakan makan
4. Hasil laboratorium : Hb 9,8 3. Pasien mengatakan makan habis penyakit ginjal habis 1/4 porsi saja
g/dl, Ht 30 g/dl, Kadar ureum : 1 sendok makan saja
338 mg/dl 4. Pasien mengatakan menjadi
4. Hasil laboratorium : Hb 9,8 belum tahu tentang diet untuk
5. Pasien mengatakan masih g/dl, Ht 30 g/dl, Kadar ureum : penyakit ginjal
belum tau tentang diet untuk 338 mg/dl
penyakit ginjal
5. Pasien mengatakan masih
belum tau tentang diet untuk

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


71

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

penyakit ginjal

Analisa /Progress Report Analisa /Progress Report Analisa /Progress Report Analisa /Progress Report

Ps mengalami lemas dapat Ps mengalami lemas dapat Ps mengalami lemas dapat Ps mengalami lemas dapat
diakibatkan karena status asupan diakibatkan karena status asupan diakibatkan karena status asupan diakibatkan karena status asupan
yang tidak adekuat dan mual. yang tidak adekuat dan mual. Faktor yang tidak adekuat dan mual. Faktor yang tidak adekuat dan mual.
Faktor tingginya ureum dalam tingginya ureum dalam darah dapat tingginya ureum dalam darah dapat Faktor tingginya ureum dalam
darah dapat menyebabkan juga menyebabkan juga kondisi mual menyebabkan juga kondisi mual darah dapat menyebabkan juga
kondisi mual sehingga perut terasa sehingga perut terasa begah. Kadar sehingga perut terasa begah. Kadar kondisi mual sehingga perut terasa
begah. Kadar ureum yang ureum yang berlebihan air liur akan ureum yang berlebihan air liur akan begah. Kadar ureum yang
berlebihan air liur akan diubah diubah oleh bakteri di mulut diubah oleh bakteri di mulut menjadi berlebihan air liur akan diubah
oleh bakteri di mulut menjadi menjadi amonia sehingga napas amonia sehingga napas berbau oleh bakteri di mulut menjadi
amonia sehingga napas berbau berbau amonia. Protein dalam amonia. Protein dalam makanan amonia sehingga napas berbau
amonia. Monitor hasil makanan harus diatur. Diet dengan harus diatur. Diet dengan rendah amonia. Protein dalam makanan
pemeriksaan darah (Hb, albumin, rendah protein yang mengandung protein yang mengandung asam harus diatur. Diet dengan rendah
eritrosit) memberikan informasi asam amino amino esensial, sangat dianjurkan protein yang mengandung asam
esensial, sangat dianjurkan untuk untuk pasien dengan penyakit ginjal amino esensial, sangat dianjurkan

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


72

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

tentang status nutrisi pasien. pasien dengan penyakit ginjal terminal untuk mengurangi jumlah untuk pasien dengan penyakit
terminal untuk mengurangi jumlah dialisis. ginjal terminal untuk mengurangi
dialisis. jumlah dialisis.

4. Diagnosa Keperawatan : Gangguan Pola Tidur berhubungan dengan kecemasan dengan perkembangan dan kondisi penyakit

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

Data Subjektif : Data Subjektif : Data Subjektif : Data Subjektif :

pasien mengatakan semalam pasien mengatakan semalam pasien mengatakan semalam tidak pasien mengatakan semalam
tidak bisa tidur dan sering masih belum bisa tidur pulas dan bisa tidur dan sering terbangun tidak bisa tidur dan sering
terbangun jika tidur karena sering terbangun jika tidur jika tidur karena merasakan sesak terbangun jika tidur karena
merasakan sesak dan nyeri di karena merasakan sesak dan dan nyeri di area perut atas. merasakan sesak dan nyeri di
area perut atas. Pasien merasa beda dengan di rumah. Pasien mengatakan sering

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


73

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

mengatakan sering memikirkan Pasien mengatakan sering memikirkan kondisi penyakitnya area perut atas.
kondisi penyakitnya dan memikirkan kondisi penyakitnya dengan tindakan hemodialisis
memikirkan pemasangan dan memikirkan pemasangan yang harus ia jalani seumur hidup.
catheter double lumen (CDL) catheter double lumen (CDL) Data Objektif :
dan tindakan hemodialisis yang dan tindakan hemodialisis yang
harus ia jalani seumur hidup. harus ia jalani seumur hidup. Data Objektif : Wajah pasien tampak lebih
segar dari kemarin
Pasien lebih segar dari kemarin
Data Objektif : Data Objektif :

Wajah pasien terlihat letih, Wajah pasien terlihat letih, tidak Analisa:
tidak tampak lingkar hitam tampak lingkar hitam disekitar Analisa:
disekitar mata. mata. Kesulitan untuk mulai tidur dapat
terjadi akibat melebarnya persepsi Kesulitan untuk mulai tidur dapat
Pasien tampak lemah Pasien tampak lemah diri akibat kecemasan yang dialami terjadi akibat melebarnya persepsi
pasien dengan kondisi penyakit yang diri akibat kecemasan yang
dialaminya dialami pasien dengan kondisi
penyakit yang dialaminya

Analisa: Analisa: Intervensi:


Intervensi:
Kesulitan untuk mulai tidur dapat Kesulitan untuk mulai tidur dapat

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


74

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

terjadi akibat melebarnya persepsi terjadi akibat melebarnya persepsi 1. Sleep Enhancement 1. Sleep Enhancement
diri akibat kecemasan yang diri akibat kecemasan yang dialami
dialami pasien dengan kondisi pasien dengan kondisi penyakit 2. Anxiety reduction 2. Anxiety reduction
penyakit yang dialaminya yang dialaminya

Aktifitas Regulator:
Intervensi: Intervensi:
Aktifitas Regulator: 5. Monitor pola tidur & jumlah
1. Sleep Enhancement 1. Sleep Enhancement jam tidur pasien
1. Monitor pola tidur & jumlah
2. Anxiety reduction 2. Anxiety reduction jam tidur pasien 6. Bantu pasien
mengidentifikasi factor-
2. Bantu pasien mengidentifikasi faktor yang mungkin
factor-faktor yang mungkin menyebabkan kurang tidur
Aktifitas Regulator: Aktifitas Regulator: menyebabkan kurang tidur seperti, ketakutan, keemasan.
seperti, ketakutan, keemasan.
1. Monitor pola tidur & jumlah 1. Monitor pola tidur & jumlah 7. Anjurkan pasien untuk
jam tidur pasien jam tidur pasien 3. Anjurkan pasien untuk mengurangi tidur siang
mengurangi tidur siang
2. Bantu pasien 2. Bantu pasien mengidentifikasi 8. Ajarkan/anjurkan relaksasi
mengidentifikasi factor- factor-faktor yang mungkin 4. Ajarkan/anjurkan relaksasi otot otot atau teknik relaksasi
faktor yang mungkin menyebabkan kurang tidur atau teknik relaksasi lainnya lainnya
menyebabkan kurang tidur seperti, ketakutan, keemasan.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


75

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

seperti, ketakutan, keemasan. 3. Anjurkan pasien untuk


mengurangi tidur siang
3. Anjurkan pasien untuk Aktifitas Cognator: Aktifitas Cognator:
mengurangi tidur siang 4. Ajarkan/anjurkan relaksasi
otot atau teknik relaksasi 1. Jelaskan pentingnya tidur bagi 1. Jelaskan pentingnya tidur bagi
4. Ajarkan/anjurkan relaksasi lainnya proses penyembuhan proses penyembuhan
otot atau teknik relaksasi
lainnya 2. Diskusikan dengan pasien & 2. Diskusikan dengan pasien &
keluarga pentingnya keluarga pentingnya
Aktifitas Cognator: kenyamanan, teknik kenyamanan, teknik
meningkatkan tidur yang dapat meningkatkan tidur yang
Aktifitas Cognator: 1. Jelaskan pentingnya tidur bagi memfasilitasi tidur yang optimal. dapat memfasilitasi tidur yang
proses penyembuhan optimal.
1. Jelaskan pentingnya tidur
bagi proses penyembuhan 2. Diskusikan dengan pasien &
keluarga pentingnya Evaluasi:
2. Diskusikan dengan pasien & kenyamanan, teknik Evaluasi:
keluarga pentingnya meningkatkan tidur yang dapat 1. Pasien mengatakan badannya
kenyamanan, teknik memfasilitasi tidur yang lebih segar 1. Pasien mengatakan badannya
meningkatkan tidur yang optimal. lemes
dapat memfasilitasi tidur 2. Pasien mengatakan masih
yang optimal. kepikiran dengan penyakitnya 2. Pasien mengatakan masih
dan ingin segera sembuh, tetapi kepikiran dengan penyakitnya
Evaluasi: Evaluasi: pasien menrasa tidurnya lebih dan ingin segera sembuh,
pasien menrasa tidurnya lebih

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


76

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

1. Pasien mengatakan badannya 1. Pasien mengatakan badannya nyenyak dari hari kemarin nyenyak dari hari kemarin
lemes lemes

2. Pasien mengatakan masih 2. Pasien mengatakan masih


kepikiran dengan penyakitnya kepikiran dengan penyakitnya
dan ingin segera sembuh dan ingin segera sembuh

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


77

5. Diagnosa Keperawatan : cemas berhubungan dengan kompleksitas pengobatan dan kurang pengetahuan tentang kondisi
, prognosis dan kebutuhan pengobatan

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

Data Subjektif : Data Subjektif : Data Subjektif : Data Subjektif :

Pasien mengatakan cemas dan Pasien mengatakan masih merasa Pasien mengatakan sudah mulai Pasien mengatakan lebih tenang
takut melakukan hemodialisa dan cemas dan takut melakukan memahami pengobatan dan dari kemarin
takut dilakukan pemasangan hemodialisa dan takut dilakukan perawatan yang diberikan kepadanya
catheter doubel lumen (CDL), pemasangan catheter doubel lumen
pasien juga takut dengan kondisi (CDL), pasien juga takut dengan
Data Objektif :
penyakitnya jika makin kondisi penyakitnya jika makin
Data Objektif :
memburuk. Pasien pasrah memburuk. Pasien pasrah Wajah pasien terlihat tegang
mengikuti saran dokter dan mengikuti saran dokter dan perawat Wajah pasien terlihat tegang
perawat agar bisa sembuh agar bisa sembuh Pasien tampak lemah
Pasien tampak lemah

Data Objektif : Data Objektif : Intervensi:


Intervensi:
Wajah pasien terlihat tegang Wajah pasien terlihat tegang 1. Anxiety reduction
1. Anxiety reduction
Pasien tampak lemah Pasien tampak lemah 2. Relaxation therapy

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


78

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

2. Relaxation therapy

Intervensi: Intervensi: Aktivitas Regulator:

1. Anxiety reduction 1. Anxiety reduction Aktivitas Regulator: 1. Jalin kepercayaan dengan


komunikasi terbuka dengan
2. Relaxation therapy 2. Relaxation therapy 1. Jalin kepercayaan dengan pasien
komunikasi terbuka dengan
pasien 2. Berikan kesempatan kepada
pasien untuk mengungkapkan
Aktivitas Regulator: Aktivitas Regulator: 2. Berikan kesempatan kepada pikiran dan perasaanya
pasien untuk mengungkapkan mengenai kecemasan.
1. Jalin kepercayaan dengan 1. Jalin kepercayaan dengan
pikiran dan perasaanya mengenai
komunikasi terbuka dengan komunikasi terbuka dengan
kecemasan. 3. Kaji ketakutan dan kecemasan
pasien pasien
pasien
3. Kaji ketakutan dan kecemasan
2. Berikan kesempatan kepada 2. Berikan kesempatan kepada
pasien 4. Kaji mekanisme koping yang
pasien untuk mengungkapkan pasien untuk mengungkapkan
biasa digunakan pasien dalam
pikiran dan perasaanya pikiran dan perasaanya 4. Kaji mekanisme koping yang mengurangi kecemasan
mengenai kecemasan. mengenai kecemasan. biasa digunakan pasien dalam
mengurangi kecemasan 5. Dukung mekanisme koping
3. Kaji ketakutan dan kecemasan 3. Kaji ketakutan dan kecemasan
yang tepat yang telah
pasien pasien 5. Dukung mekanisme koping yang digunakan : berdoa.
tepat yang telah digunakan :
4. Kaji mekanisme koping yang 4. Kaji mekanisme koping yang
6. Evaluasi perubahan makna

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


79

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

biasa digunakan pasien dalam biasa digunakan pasien dalam berdoa. bagi pasien dan anggota
mengurangi kecemasan mengurangi kecemasan keluarga atau pasangannya.
6. Evaluasi perubahan makna bagi
5. Dukung mekanisme koping 5. Dukung mekanisme koping pasien dan anggota keluarga atau 7. Motivasi pasien untuk
yang tepat yang telah yang tepat yang telah digunakan pasangannya. membagi perasaannya
digunakan : berdoa. : berdoa. keluarganya.
7. Motivasi pasien untuk membagi
6. Evaluasi perubahan makna 6. Evaluasi perubahan makna bagi perasaannya keluarganya. 8. Ajarkan teknik relaksasi,
bagi pasien dan anggota pasien dan anggota keluarga seperti tarik nafas dalam,
keluarga atau pasangannya. atau pasangannya. 8. Ajarkan teknik relaksasi, seperti meditasi, dsb.
tarik nafas dalam, meditasi, dsb.
7. Motivasi pasien untuk 7. Motivasi pasien untuk membagi 9. Libatkan keluarga untuk
membagi perasaannya perasaannya keluarganya. 9. Libatkan keluarga untuk memberikan dukungan moril.
keluarganya. memberikan dukungan moril.
8. Ajarkan teknik relaksasi, seperti
8. Ajarkan teknik relaksasi, tarik nafas dalam, meditasi, dsb.
seperti tarik nafas dalam, Aktivitas Cognator :
meditasi, dsb. 9. Libatkan keluarga untuk Aktivitas Cognator :
memberikan dukungan moril. Berikan pendidikan kesehatan
Berikan pendidikan kesehatan mengenai pengertian, penyebab,
9. Libatkan keluarga untuk mengenai pengertian, penyebab, tanda dan gejala CKD serta therapi
memberikan dukungan moril. tanda dan gejala CKD serta therapi pengganti ginjal (tindakan
Aktivitas Cognator : pengganti ginjal (tindakan hemodialisa).
hemodialisa).
Berikan pendidikan kesehatan

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


80

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

Aktivitas Cognator : mengenai pengertian, penyebab,


tanda dan gejala CKD serta therapi
Berikan pendidikan kesehatan pengganti ginjal (tindakan Evaluasi: Evaluasi:
mengenai pengertian, penyebab, hemodialisa).
tanda dan gejala CKD serta therapi Hubungan saling percaya antara Hubungan saling percaya antara
pengganti ginjal (tindakan praktikan dan pasien terbina, pasien praktikan dan pasien terbina,
hemodialisa). mengatakan lebih tenang meskipun pasien mengatakan lebih tenang
masih merasa kuatir dengan tindakan meskipun masih merasa kuatir
hemodialisis dengan tindakan hemodialisis

Evaluasi:
Evaluasi:
Hubungan saling percaya antara
praktikan dan pasien terbina, Pasien sudah mengetahui tentang
pasien mau sedikit terbuka prosedur dan persiapan pada
manceritakan masalah tentang pemasangan CDL dan sudah
kecemasan dan ketakutannya diberikan inisiasi hemodialisis
menjalani prosedur terapi
perawatan dan pengobatan

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


81

6. Diagnosa Keperawatan : Koping tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi akibat penyakit kronis dan pengobatan yang
lama dan komplek, kurang pengetahuan tentang koping yang efektif

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

Data Subjektif : Data Subjektif : Data Subjektif : Data Subjektif :

Pasien sudah menerima Pasien sudah menerima penyakit Pasien mengatakan sudah mulai Pasien mengatakan sudah mulai
penyakit tetapi masih takut tetapi masih takut untuk dipasang memahami pengobatan dan memahami pengobatan dan
untuk dipasang CDL dan takut CDL dan takut untuk menjalani perawatan yang diberikan kepadanya. perawatan yang diberikan
untuk menjalani tindakan tindakan hemodialisis seumur Pasien mengatakan rasa takutnya kepadanya. Pasien mengatakan
tentang hemodialisis sedikit rasa takutnya tentang hemodialisis
hemodialisis seumur hidup. hidup. Pasien mendapat
berkurang sedikit berkurang. Dan pasien
Pasien mendapat dukungan dari dukungan dari saudara dan

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


82

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

saudara dan keluarganya, keluarganya, sehingga ingin cepat sembuh.


sehingga memberikan memberikan semangat kepada
Data Objektif :
semangat kepada pasien untuk pasien untuk melakukan
melakukan pengobatan dan pengobatan dan semangat untuk Wajah pasien terlihat lebih tenang
semangat untuk segera sembuh segera sembuh
Pasien tampak lemah Data Objektif :

Wajah pasien terlihat tenang


Data Objektif : Data Objektif :
Intervensi: Pasien tampak lemah
Wajah pasien terlihat tegang Wajah pasien terlihat tegang
1. Dukungan spiritual
Pasien tampak lemah Pasien tampak lemah 2. Komunikasi therapeutik
3. Peningkatan koping Intervensi:
4. Konseling
1. Dukungan spiritual
Intervensi: Intervensi: 2. Komunikasi therapeutik
3. Peningkatan koping
1. Dukungan spiritual 1. Dukungan spiritual Aktifitas Regulator:
4. Konseling
2. Komunikasi therapeutik 2. Komunikasi therapeutik 1. Bantu pasien dalam
3. Peningkatan koping 3. Peningkatan koping pengembangan penilaian obyektif.
Aktifitas Regulator:
4. Konseling 4. Konseling 2. Dukung pasien akan harapan yang
1. Bantu pasien dalam
realistik.
pengembangan penilaian
3. Dukung pasien dalam penggunaan
obyektif.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


83

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

Aktifitas Regulator: Aktifitas Regulator: mekanisme pertahan yang tepat 2. Dukung pasien akan harapan
1. Bantu pasien dalam 1. Bantu pasien dalam 4. Bantu pasien mengidenstifikasi yang realistik.
pengembangan penilaian pengembangan penilaian support system yang ada. 3. Dukung pasien dalam
obyektif. obyektif. 5. Bantu pasien mengidentifikasi penggunaan mekanisme
2. Dukung pasien akan harapan 2. Dukung pasien akan harapan kemampuan dalam mengatasi pertahan yang tepat
yang realistik. yang realistik. stress 4. Bantu pasien mengidenstifikasi
3. Dukung pasien dalam 3. Dukung pasien dalam 6. Eksplorasi koping yang biasa support system yang ada.
penggunaan mekanisme penggunaan mekanisme pertahan digunakan, dukung koping yang 5. Bantu pasien mengidentifikasi
pertahan yang tepat yang tepat positif. kemampuan dalam mengatasi
4. Bantu pasien mengidenstifikasi 4. Bantu pasien mengidenstifikasi 7. Identifikasi harapan pasien. stress
support system yang ada. support system yang ada. 8. Berikan pujian atas koping positif.
6. Eksplorasi koping yang biasa
5. Bantu pasien mengidentifikasi 5. Bantu pasien mengidentifikasi 9. Perkenalakan pasien pada digunakan, dukung koping
kemampuan dalam mengatasi kemampuan dalam mengatasi seseorang atau kelompok yang yang positif.
stress stress mempunyai pengalaman sama dan 7. Identifikasi harapan pasien.
6. Eksplorasi koping yang biasa 6. Eksplorasi koping yang biasa berhasil menjalaninya. 8. Berikan pujian atas koping
digunakan, dukung koping digunakan, dukung koping yang positif.
yang positif. positif. Aktifitas cognator: 9. Perkenalakan pasien pada
7. Identifikasi harapan pasien. 7. Identifikasi harapan pasien. 1. Berikan pendidkan dalam seseorang atau kelompok yang
8. Berikan pujian atas koping 8. Berikan pujian atas koping manejemen stres. mempunyai pengalaman sama
positif. positif. 2. Diskusikan dengan pasien tentang dan berhasil menjalaninya.
9. Perkenalakan pasien pada 9. Perkenalakan pasien pada koping yang efektif
seseorang atau kelompok yang seseorang atau kelompok yang 3. Diskusikan peran keluarga dlm Aktifitas cognator:

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


84

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

mempunyai pengalaman sama mempunyai pengalaman sama merubah perilaku dan membantu 1. Berikan pendidkan dalam
dan berhasil menjalaninya. dan berhasil menjalaninya. pasien dlm beradaptasi & manejemen stres.
meningkatkan koping efektif 2. Diskusikan dengan pasien
Aktifitas cognator: Aktifitas cognator: dalam kehidupan. tentang koping yang efektif
1. Berikan pendidkan dalam 1. Berikan pendidkan dalam 4. Jelaskan kepada pasien dan 3. Diskusikan peran keluarga dlm
manejemen stres. manejemen stres. keluarga tentang penyakit dan merubah perilaku dan
2. Diskusikan dengan pasien 2. Diskusikan dengan pasien penatalak sanaannya agar pasien membantu pasien dlm
tentang koping yang efektif tentang koping yang efektif dapat mengambil keputusan beradaptasi & meningkatkan
3. Diskusikan peran keluarga dlm 3. Diskusikan peran keluarga dlm dengan tepat. koping efektif dalam
merubah perilaku dan merubah perilaku dan membantu kehidupan.
membantu pasien dlm pasien dlm beradaptasi & 4. Jelaskan kepada pasien dan
beradaptasi & meningkatkan meningkatkan koping efektif Evaluasi: keluarga tentang penyakit dan
koping efektif dalam dalam kehidupan. penatalak sanaannya agar
Hubungan saling percaya antara
kehidupan. 4. Jelaskan kepada pasien dan praktikan dan pasien terbina, pasien pasien dapat mengambil
4. Jelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit dan mengatakan lebih tenang meskipun keputusan dengan tepat.
keluarga tentang penyakit dan penatalak sanaannya agar pasien masih merasa kuatir dengan tindakan
penatalak sanaannya agar dapat mengambil keputusan hemodialisis
pasien dapat mengambil dengan tepat. Evaluasi:
keputusan dengan tepat. Hubungan saling percaya antara
Evaluasi: praktikan dan pasien terbina,
Evaluasi: pasien mengatakan lebih tenang
Pasien masih merasa takut dan meskipun masih merasa kuatir

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


85

HARI KE 1 HARI KE 2 HARI KE 3 HARI KE 4

21/04/2014 22/04/2014 23/04/2014 24/04/2014

Hubungan saling percaya antara kuatir dengan tindakan hemodialisis dengan tindakan hemodialisis.
praktikan dan pasien terbina, yang dijalaninya. Pasien juga mengatakan ingin
pasien mau sedikit terbuka segera sembuh.
manceritakan masalah tentang
kecemasan dan ketakutannya
menjalani prosedur terapi
perawatan dan pengobatan

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


74

3. Analisis Kasus Utama Asuhan Keperawatan Pada Penyakit Ginjal Tahap


Akhir Berdasarkan Teori Adaptasi Roy

Pada sub bab ini akan dibahas mengenai asuhan keperawatan pada Nn. LM
dengan penyakit ginjal tahap akhir dengan menggunakan teori model adaptasi
Roy. Pembahasan meliputi masalah maladaptif yang ditemukan pada pengkajian 4
mode adaptasi yaitu mode fisiologis, mode konsep diri, mode fungsi peran dan
mode interdependensi. Pembahasan yang akan diuraikan adalah menganalisi
masalah keperawatan yang muncul berdasarkan pengkajian, justifikasi intervensi
yang dilakukan untuk mengatasi masalah yang dilakukan dengan menggunakan
teori dan konsep yang mendasari fenomena yang terjadi serta penelitian lain yang
mendukung intervensi sebagai bukti ilmiah.

Diagnosa atau masalah keperawatan yang muncul pada kasus Nn. LM dengan
penyakit ginjal tahap akhir meliputi :
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
akibat penurunan fungsi, kurang pengetahuan tentang manajemen cairan dan
diit.
Kelebihan volume cairan merupakan suatu keadaan peningkatan retensi cairan
isotonik yang berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi, kelebihan
asupan cairan dan kelebihan asupan natrium (Herdman, NANDA 2012-2014).
Kelebihan volume cairan pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir dapat
terjadi sebagai akibat penurunan fungsi glomerulus yang terjadi secara progresif
mengakibatkan peningkatan kadar ureum dan creatinin yang berakibat lanjut
terhadap berkurangnya kemampuan ginjal untuk melakukan fungsi ekskresi cairan
(urin) dari dalam tubuh, sehingga terjadi retensi cairan, garam dan produk sisa
metabolisme di dalam ginjal dan terjadi penumpukan air didalam tubuh (Smeltzer
dan Bare, 2001; Black & Hawks, 2005). Kelebihan cairan didalam tubuh ditandai
dengan kondisi berat badan yang meningkat secara tiba-tiba, peningkatan tekanan
darah, edema pada ekstremitas dan sekitar mata, ascites, kesulitan bernapas karena
edema paru serta dapat mengakibatkan gagal jantung jika kondisi berlangsung
lama (Landley, Aspinall, Gardiener & Garthwaite, 2011).

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


75

Berdasarkan pengkajian perilaku tentang kebutuhan cairan pada Nn. LM


didapatkan data bahwa pasien mengalami sesak napas, tekanan darah : 150/ 100
mmHg, nadi : 90 x/menit, jugularis vena pressure (JVP) : 5 +2 cmH2O, membran
mukosa bibir kering, turgor kulit baik, tidak mengalami diaforesis, Terdapat
muntah sudah 3 kali sejak bangun tidur jam 05.00 WIB (jumlah muntah ± 200 cc
sekali muntah berisi sisa makanan dan air), mendapat terapi pembatasan cairan
600 cc/hari dan lasix 3 x 40 mg perhari. Terdapat edema pada ekstremitas bawah
dan ascites dengan lingkar perut 98 cm. Intake cairan : minum : 1500 cc/hari.
Output : urin (800 cc/hari) + IWL 500 cc/24 jam. Balance cairan : + 200 cc. Nilai
laboratorium (19/04/2014) natrium : 136 mEq/L, klorida 101 mEq/L, kalium 4,73
mEq/L, ureum 338mg/dl, creatinin : 23,8 mg/dl. Pasien memiliki riwayat
mengkonsumsi minuman berenergi selama 2 tahun sebelum sakit untuk menjaga
stamina saat bekerja, dan kebiasaan tersebut berhenti sejak dinyatakan sakit ginjal.
Dari data tersebut terlihat bahwa pasien mengalami masalah keperawatan
kelebihan volume cairan dan elektrolit.

Kelebihan volume cairan yang terjadi pada Nn. LM terjadi akibat karena
kerusakan nefron ginjal yang dapat disebabkan karena kebiasaan pasien
mengkonsumsi minuman berenergi dalam jangka waktu yang lama sehingga zat
kimia yang terdapat dalam minuman berenergi tersebut menjadi toksik dan
merusak struktur dan fungsi ginjal. Kerusakan nefron ginjal yang terjadi secara
progresif menyebabkan penurunan atau hilangnya fungsi ginjal yang berakibat
terhadap penurunan laju filtrasi glomerulus dan menurunnya clearance creatinin
(bersihan kreatinin) yang berakibat lanjut terhadap hilangnya fungsi sekresi dan
ekskresi ginjal. Ginjal tidak mampu mengeluarkan kelebihan air di dalam tubuh

dan terjadi retensi cairan tubuh yang berakibat lanjut terhadap kelebihan volume
cairan tubuh (Chitokas, Gunderman dan Oman, 2006). Kondisi yang berlanjut
pada Nn. LM merupakan progesifitas dari penyakit ginjal tahap akhir dimana
terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus ginjal yang dapat mencapai hingga < 15
ml per menit. Kondisi penurunan laju filtrasi glomerulus ini juga menyebabkan
hilangnya kemampuan ginjal sebagai fungsi ekskresi dan menyaring darah

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


76

sehingga jumlah urin yang dikeluarkan juga akan mengalami penurunan (Oliguri)
mencapai hingga < 500 cc/24 jam dan jika kondisi berlanjut dapat menyebabkan
anuria sehingga berakibat terhadap retensi cairan didalam tubuh (Price, 2006).

Kelebihan cairan didalam tubuh pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir dapat
mengakibatkan beban jantung menjadi meningkat dan berat, sehingga dapat
menjadi komplikasi pada sistem kardiovaskular yang mengakibatkan curah
jantung mengalami penurunan. Kondisi lanjut dari penurunan curah jantung jika
berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan komplikasi Cronic Hearth
Failure (CHF), sehingga pasien megeluhkan cepat lelah dan sesak napas terutama
jika beraktivitas berat. Pada pasien Nn. LM juga mengeluhkan pasien cepat lelah
dan lemas, serta sesak semakin berat terutama setelah beraktivitas. Hal ini
menunjukkan perburukan terhadap fungsi jantung (CHF) yang dialaminya.

Intervensi keperawatan yang diberikan kepada Nn. LM untuk mengatasi masalah


keperawatan kelebihan volume cairan meliputi : monitoring cairan dan elektrolit,
manajemen cairan serta pemberian terapi pengganti ginjal dengan hemodialisis
dengan melakukan aktivitas kognator dan aktivitas regulator untuk meningkatkan
adaptasi pasien terhadap berbagai stimulus yang mempengaruhi kondisi sakitnya
hingga tercapai kondisi yang adaptif.

Pemantauan atau monitoring status cairan sebagai aktivitas regulator dalam


mengatasi kelebihan volume cairan dan elektrolit pada pasien dengan penyakit
ginjal terminal digunakan sebagai parameter untuk mengetahui kondisi pasien dan
mencegah perburukan penyakit ginjal tahap akhir yang diderita pasien serta untuk

menentukan status cairan dan kebutuhan pasien penyakit ginjal tahap akhir.
Pemantauan atau monitoring terhadap status cairan dan elektrolit meliputi :
menimbang berat badan harian, mengkaji keseimbangan cairan tubuh dan
halauaran urin, mengkaji edema dan distensi vena leher, perubahan tekanan darah
dan nadi, perubahan bunyi jantung dan suara napas serta peningkatan kesulitan
untuk bernapas (Smeltzer dan Bare, 2006).

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


77

Manajemen cairan dan elektrolit berupa pembatasan jumlah cairan yang masuk
dan perhitungan keseimbangan cairan berfungsi untuk mempertahankan fungsi
ginjal, mencegah edema dan kompllikasi kardiovaskuler. Keseimbangan cairan
tubuh diperoleh dengan membuat keseimbangan antara jumlah cairan yang masuk
dengan jumlah cairan yang keluar baik melalui urin dan insesible water loss
(IWL), dengan jumlah air yang keluar melalui IWL 500-800 ml, maka jumlah
cairan tubuh yang dianjurkan untuk dikonsumsi adalah jumlah cairan yang keluar
(Urin) ditambah dengan 500 – 800 cairan tubuh yang hilang dalam IWL (Ilmu
Penyakit dalam, 2006). I

Pada pasien Nn. LM sebelum diberikan intervensi, pasien belum mengetahui jika
jumlah cairan yang masuk kedalam tubuhnya harus dibatasi. Dalam sehari pasien
minum sesuai dengan keinginanya terutama jika rasa haus meningkat maka
jumlah cairan yang diminum juga lebih banyak. Jumlah cairan yang diminum
pasien dalam sehari ± 1500-2000 ml/hari. Setelah diberikan implementasi berupa
pembatasan cairan pada hari perawatan ke-3 pasien sudah mampu membatasi
masukan cairan dan minum yaitu pasien minum sebanyak 600-800 ml/hari. Pasien
tampak kooperatif dengan program pembatasan cairan. Implementasi lain yang
dilakukan dalam manajemen cairan dan elektrolit meliputi, monitoring nilai serum
(Ureum dan Cretainin) dan elektrolit (Natrium, kalium dan clorida) dengan
pemeriksaan laboratorium, kolaborasi pemberian diuretik (injeksi lasik 3 x 40
mg), kolaborasi penatalaksanaan terapi hemodialisis.

Aktivitas kognator yang dilakukan untuk mengatasi masalah kelebihan cairan


meliputi : pemberian edukasi tentang cairan tubuh dan pembatasan cairan,
mengajarkan pasien untuk mencatat halauran urin dan mengukur keseimbangan
cairan secara mandiri, dan edukasi cara mengurangi haus (dengan menggunakan
air dingin, mengulum batu es, dan mengunyah permen karet). Haus merupakan
respon alamaiah dari pembatasan cairan yang dilakukan oleh pasien akibat
menurunnya rangsang dan stimulasi terhadap kelenjar glandula saliva sehingga
sekresi saliva berkurang. Mengulum batu es dan mengunyah permen karet akan

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


78

meningkatkan rangsang glandula saliva secara mekanis sehingga dapat


merangsang sekresi saliva. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Casper,
Brand, Veerman, et al (2005) menyatakan bahwa bahwa mengunyah permen karet
dapat meningkatkan pengeluaran saliva dan mengurangi rasa haus pada pasien
penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis. Penelitian ini menunjukkan
bahwa dengan mengunyah permen karet ketika rasa haus muncul dapat
menurunkan level haus pasien penyakit ginjal dan meningkatkan sekresi dari
kelenjar saliva sehingga menjaga mulut dari kekeringan dan mengakibatkan berat
badan selama dua sesi hemodialisis lebih stabil.

Aktivitas regulator lainnya yang dilakukan pada pasien Nn. LM adalah


penatalaksanaan terapi pengganti ginjal yaitu terapi hemodialisis. Hemodialisis
adalah terapi pengganti ginjal yang metabolisme bertujuan untuk mengeluarkan
sampah metabolisme tubuh dan mengeluarkan kelebihan cairan dan elektrolit
tubuh melalui membran semipermeabel yang disambungkan dengan mesin dialisis
(Sukandar, 2006). Tindakan hemodialisis yang diprogramkan kepada pasien Nn.
LM dilakukan sebanyak 2 kali dalam seminggu dengan akses vaskuler double
lumen. Pasien kooperatif selama pelaksanaan hemodialisis dan kondisi fisik dan
hemodinamika pasien stabil saat hemodialisis stabil.

Evaluasi akhir pasien setelah dilakukan implementasi pada hari ke-14 dengan
pendekatan teori adaptasi Roy menunjukkan perilaku adaptif dimana masalah
keperawatan kelebihan cairan teratasi yang ditandai dengan tekanan darah 130/90
mmHg,Nadi 78 x/menit, pernapasan 20 x/menit, pasien sudah tidak tampak sesak,
edema pada ekstremitas tidak ada, tidak ada peningkatan vena jugularis, pasien

mampu mengontrol jumlah cairan yang masuk sebanyak 600-800 cc/24 jam,
balance cairan seimbang dan pasien dapat melakukan pengukuran dan perhitungan
balance cairan secara mandiri. Pasien juga menyatakan bahwa akan menaati
program terapi hemodialisis yang diprogramkan 2 kali dalam seminggu.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


79

b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


penurunan masukan oral
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh didefinisikan sebagai
asupan nutrisi yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh
(NANDA, 2012-2014). Faktor resiko yang berhubungan dengan masalah ini
dalam NANDA 2012-2014 adalah faktor biologis dan ketidakmampuan dalam
mengabsorbsi nutrien. Faktor resiko yang berhubungan dalam NANDA 2012-
2014 berdasarkan pengkajian Roy adalah stimulus yang mempengaruhi terjadinya
perubahan perilaku, pada data terlihat bahwa stimulus yang mempengaruhi
adalah penurunan transportasi nutrisi pada tingkat sel yang diakibatan oleh intake
nutrisi yang tidak adekuat. Intake nutrisi yang tidak adekuat pada pasien penyakit
ginjal terminal dapat terjadi karena kadar uremia yang tinggi sehingga berakibat
secara fisiologis peningkatan asam lambung, mual dan reflek muntah pada sistem
pencernaan.

Pengkajian perilaku dalam mode fisiologis nutrisi pada pasien Nn. LM didapatkan
data pasien mengeluh tidak nafsu makan karena merasa mual. Pasien makan
hanya 1-2 sendok makan sekali makan dengan frekuensi makan 2 x/hari saat
dirumah (± 300 Kkal/Hari dari diet yang dianjurkan 1700Kkal/Hari). Saat
pengkajian pasien mengatakan mual dan muntah. Muntah sudah 3 kali sejak
bangun tidur jam 05.00 WIB (jumlah muntah ± 200 cc sekali muntah berisi sisa
makanan dan air). Sejak dirawat 2 hari yang lalu pasien makan hanya 1 sendok
makan nasi saja tanpa lauk dan sayur dengan frekuensi makan 2 x/hari. BB
sebelum sakit (1 bulan yang lalu) 65 kg dan BB saat ini 60 kg (turun 5 kg dalam 1
bulan), TB 155 cm, IMT : 24. Pemeriksaan fisik diperoleh data konjungtiva

anemis, sklera tidak ikterik, mukosa mulut kering, bising usus 10 x/menit.
Pemeriksaan biokimia (19/04/2014) : Hb: 9,8 g/dl , Ht: 30 %, GDS : 110 gr/dl

Dari data diatas terlihat bahwa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh merupakan masalah yang harus segera diatasi, karena kondisi ini akan
memberi dampak pada kondisi metabolik dan proses penyembuhan penyakit.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


80

Pasien penyakit ginjal tahap akhir juga menyebabkan keseimbangan nutrisi yang
berat akibat masukan yang tidak adekuat (mual dan muntah), gangguan
pemakaian glukosa dan sintesis protein, serta peningkatan katabolisme jaringan.
Asupan nutrisi yang kurang juga memberi dampak secara langsung terhadap
penurunan Hb dan albumin. Masalah nutrisi pada pasien penyakit ginjal terminal
juga dapat terjadi akibat kerusakan ginjal yang menyebabkan filtrasi glomerulus
protein plasma meningkat sehingga terjadi kebocoran pada filtrat glomerulus yang
menyebabkan proteinuria (protein plasma dan albumin keluar bersama urin).
Pembatasan asupan protein pada pasien penyakit ginjal tahap akhir juga dapat
memperburuk kekurangan nuptrisi (Price, 2006 dan ilmu penyakit dalam, 2006).

Nutrisi dan diet menjadi bagian penatalaksanaan yang penting pada pasien dengan
penyakit ginjal terminal terutama diet protein dan fosfat karena keduanya berasal
dari sumber makanan yang sama. Intervensi diet pada pasien penyakit ginjal
tahap akhir mencakup pengaturan yang cermat terhadap protein, asupan cairan
tubuh, asupan natrium dan pembatasan kalium (Smeltzer dan Bare, 2006).
Pembatasan asupan protein pada pasien dengan penyakit ginjal terminal akan
mengurangi sindrom uremia, asupan protein yang berlebih akan mengakibatkan
perubahan hemodinamika ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan
intraglomerulus yang dapat meningkatkan progresifitas perburukan ginjal ( ilmu
Penyakit Dalam, 2006).

Pada Nn. LM, ketidakseimbangan nutrisi terjadi karena kondisi peningkatan


uremia yang menimbulkan berbagai gejala seperti tidak nafsu makan, mual dan
muntah (Ilmu penyakit Dalam, 2006). Uremia pada pasien dengan penyakit ginjal
terminal dapat terjadi akibat penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh
berbagai penyebab penyakit. Peningkatan uremia akan meningkatkan gejala
keracunan uremik yang diperberat dengan berbagai keadaan seperti penurunan
atau terganggunya produksi hormon seperti hormon eritropoietien, renin dan
dihydrovitamin D3 serta kelainan metaolik lain yang menyertai (Chitokas,
Gunderman dan Oman, 2006).

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


81

Intervensi keperawatan yang diberikan kepada Nn. LM untuk mengatasi masalah


keperawatan perubahan nutrisi meliputi : manajemen mual, monitoring nutrisi dan
manajemen nutrisi dengan melakukan aktivitas kognator dan aktivitas regulator
untuk meningkatkan adaptasi pasien terhadap berbagai stimulus yang
mempengaruhi kondisi sakitnya hingga tercapai kondisi yang adaptif. Aktivitas
regulator dan cognator yang dilakukan meliputi : manajemen mual
(Menganjurkan makan sedikit tapi sering, makan dalam kondisi hangat, sering
melakukan perawatan gigi dan mulut); Manajemen nutrisi (Libatkan pasien dan
keluarga dalam perencanaan makanan, makan sesuai dengan diet yang dianjurkan,
Jelaskan rasional pembatasan diet & hubungannya dengan penyakit ginjal dan
peningkatan urea & kadar kreatinin; kolaborasi dengan ahli gizi tentang jumlah
kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan yaitu dengan memberikan diit Diet Ginjal
1700 kkal/hari,); Monitoring nutrisi (jumlah asupan makanan, mengkaji adanya
keluhan mual dan muntah, frekuensi makan, jenis makanan, pola makan, masukan
diet, pemasukan nutrisi dan kalori).

Hasil evaluasi akhir pada Nn. LM pada hari ke-6 didapatkan sebagian perilaku
adaptif, yang ditandai dengan pasien mengatakan badannya lemes, masih
merasakan mual dan tidak nafsu makan, makan habis 1/4 porsi saja. Hasil
evaluasi pada hari perawatan ke-14 menunjukkan perilaku terhadap adaptasi
kebutuhan perilaku adaptif yang ditandai dengan pasien lebih toleransi terhadap
kebutuhan makan dan menu makanan, pasien mulai menghabiskan ¾-1 porsi dari
menu yang disajikan oleh rumah sakit, pasien juga mengetahui menu atau
makanan yang harus dibatasi dan makanan yang harus dihindari untuk

dikonsumsi.

c. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan menurunnya suplai oksigen jaringan


akibat menurunnya kapasitas pengangkutan oksigen (anemia), kelemahan
umum dan tidak adekuatnya intake nutrisi.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


82

Intoleransi aktivitas adalah suatu kondisi dimana seseorang yang tidak cukup
mempunyai energi baik secara fisiologis atau psikologis untuk bertaan atau
memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-hari. Batasan karakteristik dari definisi
intoleransi aktivitas meliputi ketidaknyamanan atau dispnea yang membutuhkan
pergerakan tenaga, melaporkan keletihan atau kelemahan secara verbal, denyut
jantung atau tekanan darah tidak normal sebagai respon terhadap aktivitas dan
adanya perubahan terhadap rekaman EKG selama aktivitas. Faktor yang
berhubungan dengan intoleransi aktivitas diantaranya : tirah baring (imobilisasi),
nyeri kronis, kelemahan umum dan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen (Wilkinson, 2007).

Pengkajian perilaku dalam mode fisiologis aktivitas pada pasien Nn. LM


didapatkan data saat pengkajian pasien masih terlihat lemah dan terlihat sesak
napas, perawatan diri dan mobilisasi dilakukan dengan bantuan keluarga dan
perawat, aktivitas BAB dan BAK dilakukan di kamar mandi dengan bantuan
perawat atau keluarga. Pasien mengatakan masih merasakan sesak napas dan
lemas dan bertambah sesak dan lemas terutama setelah berjalan dari kamar
mandi, tetapi pasien tidak mau BAK dan BAB di atas tempat tidur dan
menghendaki BAK dan BAB di kamar mandi. Penilaian resiko jatuh dengan nilai
Morse : 45 (Resiko Sedang). Berdasarkan data tersebut maka dapat dirumuskan
masalah keperawatan yang dialami pasien Nn. LM adalah intoleransi aktivitas.

Faktor yang mempengaruhi intoleransi aktivitas pada pasien dengan penyakit


ginjal terminal dapat disebabkan oleh menurunnya kapasitas pengangkutan
oksigen (anemia), kelemahan umum dan tidak adekuatnya intake nutrisi. Anemia
pada penyakit ginjal terminal dapat terjadi sebagai akibat dari produksi dari
hormon eritropoietien yang dihasilkan ginjal mengalami penurunan sehingga
ginjal gagal untuk menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit.
Faktor lain yang menyebabkan anemia pada penyakit ginjal terminal diantara
memendeknya usia eritrosit, intake nutrisi tidak adekuat dan resiko perdarahan

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


83

terutama pada saluran gastrointestinal akibat status uremik yang tinggi pada
pasien penyakit ginjal terminal (Smeltzer dan Bare, 2006).

Intervensi keperawatan yang diberikan kepada Nn. LM untuk mengatasi masalah


keperawatan intoleransi aktivitas meliputi : manajemen energi dan terapi aktivitas
dengan melakukan aktivitas kognator dan aktivitas regulator untuk meningkatkan
adaptasi pasien terhadap berbagai stimulus yang mempengaruhi kondisi sakitnya
hingga tercapai kondisi yang adaptif. Aktivitas regulator yang dilakukan praktikan
utnuk mengatasi masalah intoleransi aktivitas, meliputi : mengkaji faktor yang
menimbulkan keletihan (anemia, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
dan depresi), memonitor intake nutrisi, mengawasi tanda vital sebelum dan
sesudah aktivitas, memantau respon oksigenasi pasien terhadap aktivitas,
meningkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri sesuai kemampuan dan
menganjurkan pasien beristirahat setelah dialisis. Sedangkan aktivitas kognator
yang dilakukan meliputi : menjelaskan kepada pasien penyebab keletihan,
mengajarkan kepada pasien teknik penghematan energi (melakukan BAK dan
BAB diatas tempat tidur dengan bantuan keluarga atau perawat serta melakukan
aktivitas sesuai kemampuan).

Hasil evaluasi akhir pada Nn. LM pada hari ke-11 didapatkan sebagian perilaku
adaptif, yang ditandai dengan pasien mengatakan badannya lebih segar dan
baikan, terutama setelah cuci darah, wajah tampak lebih segar tidak pucat. Hasil
evaluasi pada hari perawatan ke-14 menunjukkan perilaku terhadap adaptasi
kebutuhan perilaku adaptif yang ditandai dengan pasien lebih toleransi terhadap
aktivitas, pasien sudah mampu melakukan perawatan diri dan eliminasi BAB dan

BAK secara mandiri tanpa keluhan kelemahan dan keletihan, wajah lebih segar,
tanda vital sebelum dan sesudah aktivitas stabil serta tidak ada keluhan sesak
napas.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


84

d. Gangguan pola tidur berhubungan dengan respon kecemasan terhadap


penyakit dan kebutuhan pengobatan
Gangguan pola tidur merupakan gangguan terhadap jumlah dan kuantitas tidur
(penghentian kesadaran secara alami dan periodik yang dibatasi waktu terhadap
jumlah dan kualitas tidur. Batasan karakeristikpada gangguan pola tidur dapat
berupa batasan karakteristik secara subjektif dan objektif. Batasan secara
subjektif, meliputi : bangun lebih awal, ketidakpuasan tidur, keluhan verbal
tentang kesulitan untuk tidur dan tentang perasaan tidak dapat beristirahat dengan
baik. Batasan secara objektif, meliputi : penurunan proporsi untuk tidur dalam
fase Rapid Eye Movement (REM), penurunan proporsi tidur tahap 3 dan 4,
peningkatan proporsi tidur tahap 1 dan imsomnia pada saat tidur. Faktor yang
berhubungan dengan gangguan pola tidur meliputi : ansietas, agen biokimia, dan
perlambatan atau kemajuan fase tidur (Wilkinson, 2007).

Pengkajian perilaku dalam mode fisiologis istirahat tidur pada pasien Nn. LM
didapatkan data saat pengkajian pasien mengatakan semalam tidak bisa tidur dan
sering terbangun jika tidur karena merasakan sesak dan nyeri di area perut atas.
Pasien juga kepikiran dengan penyakitnya yang makin burk dan harus dipasang
catheter double lumen (CDL) dan cuci darah terus menerus. Wajah pasien terlihat
letih, tidak tampak lingkar hitam disekitar mata. Berdasarkan hasil oengkajian
tersebut maka dapat dirumuskan masalah keperawatan yang muncul adalah
gangguan pola tidur.

Tidur merupakan proses bioligis yang bersiklus yang bergantian dengan periode
yang lebih lama dari kondisi terjaga (bangun). Tidur melibatkan suatu urutan
keadaan fisiologis yang dipertahankan oleh integrasi tinggi aktivitas sistem saraf
pusat yang berhubungan dengan perubahan dalam sistem saraf periferal, endokrin,
kardiovaskuler, pernapasan dan muskular. Kontrol dan pengaturan tidur
tergantung pada hubungan antara dua mekanisme serebral yang mengaktivasi
secara intermitten dan menekan pusat otak tertinggi untuk mengontrol tidur dan
terjaga. Secara normal pada orang dewasa pola tidur rutin dimulai dengan periode

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


85

sebelum tidur dan selama seseorang terjaga hanya pada rasa kantuk yang bertahap
berkembang secara teratur. Periode sebelum tidur, secara normal berakhir 10 -30
menit, tetapi untuk seseorang yang memiliki kesulitan untuk tertidur akan
berlangsung satu jam atau lebih (Perry & Potter, 2005).

Pasien dengan penyakit ginjal terminal sering mengalami keluhan terhadap


gangguan tidur termasuk insomnia, permulaan tidur yang tertunda dan henti napas
atau sesak napas saat tidur. Sulitnya untuk memulai tidur dan mempertahankan
tidur pada malam hari dapat mengakibatkan penurunan kewaspadaan dan
konsentrasi dan menguras energi sehingga berdampak terhadap kulaitas hidup
pasien dengan penyakit ginjal terminal (Afshar, Emany, Saremi, Shavandi and
Sanavi, 2011). Pasien juga dapat mengalami gangguan pola tidur akibat dari efek
hospitalisasi. Rumah sakit, fasilitas perawatan dan tindakan keperawatan dapat
menyebabkan gangguan dalam tidur atau mencegah pasien tertidur dalam waktu
biasanya. Kondisi lingkungan yang asing dapat juga mempengaruhi kemampuan
adaptas seseorang berhubungan dengan kebiasaan tidur. Jika siklus tidur-bangun
seseorang berubah secra bermakna maka akan menghasilkan kulaitas tidur yang
buruk. Gejala umum yang dapat muncul pada pasien dengan gangguan pola dan
kualitas tidur diantaranya kecemasan, mudah tersinggung dan gangguan penilaian
serta gangguan konsentrasi (Perry & Potter, 2005).

Pada pasien Nn. LM dengan masalah gangguan pola tidur rmemerlukan intervensi
yang tepat untuk mengatasi masalah keperawatan tersebut. Intervensi keperawatan
yang diberikan kepada Nn. LM untuk mengatasi masalah keperawatan gangguan
pola tidur meliputi : sleep enhancement dengan melakukan aktivitas regulator dan

aktivitas kognator untuk meningkatkan adaptasi pasien terhadap berbagai stimulus


yang mempengaruhi kondisi sakitnya hingga tercapai kondisi yang adaptif.
Aktivitas regulator yang dilakukan meliputi : monitor pola tidur dan jumlah jam
tidur pasien serta kualitas tidur pasien, membantu faktor yang menjadi penyebab
kesulitan tidur, menganjurkan pasien untuk mengurangi tidur pada siang hari.
Sedangkan aktivitas kognator yang diberikan kepada pasien Nn. LM meliputi :

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


86

menjelaskan pentingnya dan manfaat tidur bagi proses penyembuhan,


mendiskusikan dengan pasien dan keluarga pentingnya kenyamanan dan teknik
meningkatkan kemudahan untuk tidur. Kebiasaan tidur dan pola tidur yang
adekuat bermanfaat terhadap perkembangan kesehatan dan bermanfaat untuk
memelihara fungsi jantung (Perry & Potter, 2005).

Hasil evaluasi akhir pada Nn. LM pada hari ke-7 didapatkan sebagian perilaku
adaptif, yang ditandai dengan pasien mengatakan lebih mudah tertidur dan sudah
mampu beradaptasi dengan ruanga perawatan, pasien terkadang masih terbangun
saat malam hari, sesak napas kadang masih ada meski saat tidur. Hasil evaluasi
pada hari perawatan ke-14 menunjukkan perilaku terhadap adaptasi kebutuhan
perilaku adaptif yang ditandai dengan pasien lebih toleransi terhadap lingkuangan
di ruang perawatan, keluhan sesak napas saat tidur sudah tidak ada, pasien
mengatakan sudah tidak sering terbangun saat malam hari, kecuali jika haus dan
ingin BAK.

e. Cemas berhubungan dengan penyakit kronis, pengobatan yang lama dan


kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan.
Cemas merupakan suatu perasaan ketidaknyamanan berupa keresahan yang tidak
mudah yang disertai dengan respon autnomis dimana individu tidak mengetahui
sumbernya secara spesifik yang dapat disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya.
Batasan karakteristik yang menjadi asalah keperawatan cemas meliputi : gelisah,
imsomnia dan mengekspresikan keluhan akibat perubahan kejadian dalam hidup
(Wilkinson, 2007). Masalah keperawatan cemas dapat muncul pada Nn. LM
berdasarkan data pada pengkajian perilaku dan stimulus mode adaptasi konsep

diri ditemukan data bahwa pasien mengatakan takut mau menjalani cuci darah
(hemodialisis) dan takut mau dipasang catheter doubel lumen (CDL), pasien juga
takut dengan kondisi penyakitnya jika makin memburuk. Pasien terlihat cemas
saat mengungkapkan perasaannya.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


87

Kondisi sakit dan perkembangan penyakit yang dialami seseorang dapat


menimbulkan reaksi yang berbeda-beda. Reaksi emosi dan perilaku individu
bergantung pada asal penyakit, sikap klien dalam menghadapi penyakit, reaksi
orang lain dan orang yang berharga terhadap kondisi sakit yang dialaminya.
Penyakit dengan jangka waktu pendek dan tidak mengancam kehidupan akan
sedikit menimbulkan perubahan perilaku dalam fungsi pasien dan keluarga.
Sedangkan penyakit berat dan mengancam kehidupan dapat menimbulkan
perubahan emosi berupa kecemasan, syok, penolakan dan menarik diri. Penyakit
ginjal tahap akhir merupakan penyakit dengan perkembangan perburukan yang
progresif jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat. Penyakit ginjal tahap akhir
juga memerlukan terapi pengganti ginjal yang berkelanjutan dan berlangsung
seumur hidup. Kondisi inilah yang dapat mengakibatkan perubahan perilaku dan
fungsi keluarga serta menimbulkan kecemasan dan ketakutan pada pasien dan
keluarga (Perry & Potter, 2006).

Intervensi keperawatan yang diberikan kepada Nn. LM untuk mengatasi masalah


keperawatan cemas meliputi anxiety reduction dan relaxation therapy. Intervensi
keperawatan diberikan dengan melakukan aktivitas regulator dan aktivitas
kognator untuk meningkatkan adaptasi pasien terhadap berbagai stimulus yang
mempengaruhi kondisi sakitnya hingga tercapai kondisi yang adaptif. Aktivitas
regulator yang dilakukan meliputi : menjalin komunikasi dan hubungan saling
percaya dengan pasien dna keluarga, memberikan kesempatan kepada pasien
untuk mengungkapakan kecemasannya, mengkaji ketakutan dan kecemasan
pasien, mengkaji mekanisme koping yang biasa digunakan pasien untuk
mengurangi cemas, evaluasi perkembangan dan perubahan makna bagi pasien dan

keluarga, mengajarkan teknik relaksasi (tarik napas dalam, meditasi dan berdoa)
dan melibatkan keluarga untuk memberikan dukungan moril. Aktivitas kognator
yang dilakukan untuk mengatasi masalah cemas, meliputi : memberikan
pendidikan kesehatan tentang penyakit dan kemungkinan terapi yang harus
dijalani serta komplikasi dan kemungkinan perburukan dari penyakit.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


88

Hasil evaluasi akhir pada Nn. LM pada hari ke-7 didapatkan pasien mampu
mengatasi cemasnya dan menjadi adaptif, yang ditandai dengan pasien
mengatakan menjadi lebih paham dengan perkembangan penyakit dan kondisinya,
pasien menyatakan bersedia menjalani pengobatan dan perawatan yang dianjurkan
seperti pembatasan cairan, pemasangan CDL dan penatalaksanaan Hemodialisis
yang berlangsung seumur hidup. Pasien juga mengungkapkan tidak kuatir lagi
dengan penyakitnya karena semua keluarga mendukung dan memberikan motivasi
untuk segera sembuh.

f. Koping tidak efektif berhubungan dengan penyakit kronik, pengobatan


yang lama dan komplek serta kurang pengetahuan tentang koping yang
efektif.
Koping tidak efektif merupakan ketidakmampuan dalam membuat penilaian yang
tepat terhadap stesor yang, ketidakmampuan untuk menggunakan sumber yang
tersedia dan ketidakmampuan bertindak secara adekuat terhadap respon atau
stimulus yang terjadi. Batasan karakteristik masalah keperawatan koping tidak
efektif meliputi : perubahan dalam pola berkomunikasi, ketidakmampuan dalam
mengatasi masalah dan meminta bantuan secara verbal, ketidakmampuan
memenuhi pran yang diharapkan dan penurunan dalam dukungan sosial
(Wilkinson, 2007). Pada pengkajian perilaku dan stimulus mode adaptasi konsep
diri ditemukan data bahwa pasien masih takut untuk dipasang CDL dan takut
untuk menjalani tindakan hemodialisis seumur hidup. Berdasarkan data tersebut
maka dapat dirumuskan masalah keperawtan yang muncul yaitu koping tidak
efektif berhubungan dengan penyakit kronik, pengobatan yang lama dan komplek
serta kurang pengetahuan tentang koping yang efektif.

Koping yang tidak efektif dapat menimbulkan respon yang negatif terhadap
mekanisme pertahanan tubuh, yang berakibat terhadap kemampuan adaptasi
seseorang terhadap berbagai perubahan situasi akibat penyakit kronis dan
pengobatan dan perawatan yang lama (Perry & Potter, 2006). Intervensi
keperawatan yang praktikan dan perawat ruangan lakukan untuk meningkatkan
mekanisme koping pasien Nn. LM meliputi memberikan dukungan spiritual,

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


89

melakukan komunikasi terapeutik, meningkatkan mekanisme koping dan


melakukan konseling tentang penyakit dan penatalaksanaan pengobatan dan
perawatan yang harus dijalani. Pemberian intervensi juga diberikan dengan
melakukan aktivitas regulator dan aktivitas kognator untuk meningkatkan adaptasi
pasien terhadap berbagai stimulus yang mempengaruhi kondisi sakitnya hingga
tercapai kondisi yang adaptif. Aktivitas regulator yang diberikan meliputi :
membantu pasien dalam menilai penyakit secara objektif, membantu pasien
menggunakan dan memanfaatkan support sistem yang tepat (keluarga dan teman
terdekat), mengidentifikasi harapan pasien dan memberikan pujian positif atas
koping yang positif.

Aktivitas kognator meliputi : memberikan pendidikan kesehatan tentang


manajemen stres, mendiskusikan dengan pasien tentang koping yang efektif dan
support sistem yang ada dan menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang
penyakit dan penatalaksanaan pengobatan dan perawatan agar pasien mampu
mengambil keputusan yang tepat tentang perawatan dan pengobatan. Hasil
evaluasi akhir pada Nn. LM pada hari ke-11 didapatkan pasien mampu
beradaptasi terhadap regimen pengobatan dan perawatan dan mampu
meningkatkan mekanisme koping menyatakan bersedia menjalani pengobatan dan
perawatan yang dianjurkan seperti pembatasan cairan, pemasangan CDL dan
penatalaksanaan Hemodialisis yang berlangsung seumur hidup. Pasien juga
mengungkapkan tidak takut lagi dengan prosedur pemasangan CDL dan terapi
hemodialisis.

3.2 Evidence Base Practice Cryotherapy Untuk Mengurangi Nyeri Kanulasi


Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Hemodialisis
Pada sub bab ini menguraikan pengalaman praktikan selama menjalani praktik
residensi di RSUP Fatmawati dalam menjalankan peran perawat spesialis dalam
melakukan praktik mandiri berbasis bukti tentang Cryotherapy (Kompres es)
dalam mengurangi nyeri saat penusukan arteriovenous fistula pada pasien PGTA

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


90

dengan hemodialisis di Unit hemodialisis IP2K (Bougenvile) RSUP Fatmawati


Jakarta.

Hemodialisis merupakan salah satu terapi penatalaksanaan pengganti ginjal pada


pasien dengan penyakit ginjal tahap. Dalam tindakan hemodialisis pasien
memerlukan pemasangan akses vaskuler yang berfungsi untuk mengalirkan darah
dari tubuh pasien ke mesin hemodialisis atau sebaliknya. Akses vaskuler
merupakan tindakan pungsi atau penusukan pada pembuluh darah vena dan arteri
yang bertujuan untuk mempermudah akses hemodialisis dalam meningkatkan
aliran darah vena ke dalam mesin hemodialisis (Dias, Neto & Coasta, 2008).
Terdapat tiga jenis akses yang digunakan untuk akses vaskular saat dilakukan
hemodialisis, yaitu Arteriovenous fistula (AVF), arteriovenous graft (AVG) dan
central venous cateter (CVC) (Votroubek & tobacco, 2010). Salah satu masalah
keperawatan yang dapat timbul dan sering dikeluhkan oleh pasien dengan
hemodialisis dari proses penusukan akses vaskuler adalah nyeri. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Hassan, Darwish, El-Samman dan Fadel (2012)
menyatakan bahwa nyeri yang disebabkan oleh kanulasi atau penusukan
arterivenous fistula merupakan salah satu kasus yang menjadi perhatian pada
pasien penyakit ginjal tahap akhir yang mendapatkan terapi hemodialisis baik
pada pasien anak dan dewasa.

Dari hasil pengamatan praktikan saat praktik residensi 1-2 di Ruang Hemodialisa
RSUP Fatmawati melihat bahwa masalah keperawatan nyeri merupakan masalah
utama yang sering dikeluhkan oleh pasien saat proses penusukan akses vaskuler
yang digunakan sebagai akses terapi Hemodialisis. Di RSUP Fatmawati 90%

pasien yang mendapatkan terapi hemodialisis terpasang akses vaskuler berupa


cimino. Dan 80% menyatakan bahwa saat penusukan jarum pada akses vaskuler
pasien mengalami nyeri. Kualitas nyeri yang dirasakan pasien adalah nyeri sedang
hingga berat dengan rentang skala nyeri 5-8 dengan sifat nyeri adalah nyeri tajam,
yang berlangsung saat penusukan akses vaskuler. Dengan gejala objektif pasien
tampak meiringis kesakitan atau memegang tempat tidur pada saat penusukan

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


91

jarum akses vaskuler berlangsung. Hal yang sudah dilakukan oleh perawat ruang
hemodialisis untuk mengurangi nyeri saat penusukan akses vaskuler adalah
meminta pasien untuk menarik napas dalam saat penusukan akses vaskuler
berlangsung.

Nyeri merupakan salah satu masalah keperawatan, dimana secara umum nyeri
adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat, menurut
International Association for Study of Pain (IASP) nyeri adalah pengalaman
perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual
maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Peran
perawat untuk mengatasi masalah nyeri pada pasien adalah dengan memberikan
asuhan keperawatan yang cepat dan tepat sehingga pasien dapat merasakan nyeri
yang minimal. Salah satu asuhan keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi
nyeri yaitu dengan memberikan terapi farmakologi dan terapi non farmakologi.
Salah satu terapi non farmakologi yang dapat diterapkan oleh perawat
hemodialisis adalah dengan memberikan cryotherapy (Asmaa et al, 2012).

Berdasarkan uraian tersebut di atas praktikan kemudian mengimplementasikan


intervensi keperawatan yang berbasis bukti tentang penggunaan cryotherapy
untuk mengurangi nyeri kanulasi pada pasien gagal ginjal kronik dengan
hemodialisis di Unit Hemodialisis Gedung IP2K (Bougenvil) RSUP Fatmawati
Jakarta.
3.2.1 PICO (Problem / Population / Patient, Interventiton,
Comparative, Outcome)
1. Problem /Population/Patient:

Pada klien penyakit ginjal tahap akhir yang menjalani hemodialisis, sebagian
besar mengalami nyeri pada saat penusukan jarum pada akses vaskuler terutama
pada akses arteriovena fistula (AV Fistula). Berdasarkan pengamatan praktikan
saat praktik residensi KMB 1-2 nyeri pada saat penusukan jarum akses vaskuler
AV Fistula pada pasien penyakit ginjal tahap akhir yang menjalani hemodialisis
masuk dalam kategori nyeri sedang hingga berat, dimana pasien biasanya

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


92

mengeluhkan nyeri, menyeringai kesakitan dan berpegangan pada pinggiran


tempat tidur untuk menahan nyeri.

2. Intervention
Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi nyeri saat penusukan akses vaskuler
pada pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis adalah dengan
melakukan teknik cryotherapy pada tempat penusukan akses vaskuler.

3. Comparison Intervention

Intervensi pembanding yang praktikan berikan pada kelompok kontrol adalah


penggunaan manajemen distraksi nyeri menarik napas dalam saat dilakukan
kanulasi akses vaskuler AV Fistula pada kelompok kontrol.

4. Outcome
Dengan penerapan manajemen nyeri dengan cryotherapy, diharapkan pasien
penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis mengalami penurunan terhadap
kualitas dan rasa nyeri saat penusukan jarum akses vaskuler AV Fistula dilakukan.

3.2.2 Hasil Telaah Jurnal (Critical Review)

Penelusuran Evidence Based Practice (EBP) melalui Google Scholar dan


Proquest dengan kata kunci yang digunakan adalah akses vasculer, pain relief
and hemodialysis. Hasil penelusuran tersebut ditemukan beberapa artikel terkait
maupun jurnal yang terkait dengan penggunaan Cryotherapy (kompres es)
untuk mengurangi nyeri pada penusukan akses vaskuler arteriovenofistula pada
pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis dan selanjutnya dilakukan telaah
terhadap jurnal yang mendukung, yang meliputi :
1. The impact of cryotherapy on pain intensity at puncture sites of arteriovenous
fistula among childrend undergoing hemodialysis (Hassan, Darwish, Samman
dan Fadel, 2012)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan penggunaan
Cryotherapy untuk mengurangi nyeri yang dirasakan secara subjektif pada

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


93

pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis. Literatur yang


digunakan dalam jurnal ini mulai tahun 1988 sampai dengan tahun 2011.
Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan desain quasy
eksperiment dengan pre-post test dimana responden dibagi menjadi
kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Kriteria inklusi dalam penelitian
ini adalah usia 8-18 tahun, menjalani hemodialisis dengan akses vaskuler AV
Fistula, tidak mengalami peradangan atau infeksi kulit di sekitar tempat
penusukan AV Fistula. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data
adalah penilaian hasil isian kuesioner tentang karakteristik responden dan
pengukuran skala nyeri penusukan akses vaskuler. Uji Statistik yang
digunakan adalah chi squared dan paired t-test. Dari hasil penelitian terhadap
40 responden pada kelompok kontrol (hari 1) dan kelompok intervensi (hari
ke-2) memiliki perbedaan yang signifikan dengan nilai X2 = 24. Dari hasil
penelitian ini dapat disimpulkan Cryotherapy efektif digunakan untuk
mengurangi intensitas nyeri pada saat penusukan jarum akses vaskuler pada
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.

2. Effect Of Cryotherapy on arteriovenous fistula puncture related pain in


hemodialysis patient (Sabitha, Khaka, Mahajan, Gupta, Agarwal dan Yadav,
2008)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan penggunaan
Cryotherapy untuk mengurangi nyeri yang dirasakan secara subjektif pada
pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis. Penelitian ini
merupakan penelitian eksperimen dengan 2 kelompok yang dipilih secara
acak untuk kelompok kontrol dan intervensi. Teknik penentuan sampel

penelitian ini menggunakan Non probability sampling dengan metode tabel


sampel acak. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah pasien yang
terpasang akses vaskular arteri vena fistula / cimino, usia lebih sama dengan
16 tahun, secara mental dan fisik mampu berpartisipasi dan menyelesaikan
studi penelitian. Metode dan alat ukur yang digunakan dalam pengumpulan
data adalah penilaian hasil isian kuesioner dan lembar observasi terhadap

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


94

tanda objektif terhadap nyeri. Dari hasil penelitian ini terhadap 30 responden
pada kelompok eksperimen dengan p value 0,001 sedangkan pada kelompok
kontrol diperoleh p value 0,23. Hal ini membuktikan bahwa ada hubungan
yang signifikan terhadap efektivitas cryotherapy dapat mengurangi nyeri pada
saat penusukan jarum akses vaskuler pada pasien gagal ginjal kronik dengan
hemodialisis.

3.2.3 Aplikasi Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian

Pelaksanaan evidence based practice (EBP) mengacu pada penelitian yang


dilakukan oleh Hassan, Darwish, Samman dan Fadel, 2012; dan Sabitha, Khaka,
Mahajan, Gupta, Agarwal dan Yadav, 2008. Praktikan melaksanakan EBP
cryotherapy untuk mengurangi nyeri penusukan akses vaskuler arteriovenafistula
pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis di ruang Hemodialisis
Gedung IP2K (Bougenvile) RSUP Fatmawati Jakarta. Pelaksanaan EBP diawali
dengan Pelaksanaan EBP diawali dengan prosedur perizinan pada pihak yang
terkait yaitu komite keperawatan, kepala instalasi gedung IP2K dan penanggung
jawab ruangan Hemodialisis RSUP Fatmawati dengan mengajukan proposal EBP.
Selanjutnya dilakukan sosialisasi dihadapan komite keperawatan, kepala instalasi
gedung teratai, kepala ruangan, wakil kepala ruangan dan perawat primer serta
perawat pelaksana di unit Hemodialisis.
Penerapan EBP ini mulai dilakukan pada April 2014 dengan melibatkan perawat
dan sesama mahasiswa residensi. EBP diawali dengan mengidentifikasi
pasien yang memenuhi kriteria inklusi dengan melihat status rekam medik
pasien dan observasi langsung ke pasien. Adapun kriteria inklusi adalah
pasien gagal ginjal dengan hemodialisis yang terpasang Akses Vaskuler
arteriovenafistula/cimino, usia pasien lebih sama dengan 16 tahun, secara mental
dan fisik mampu berpartisipasi dan menyelesaikan penerapan EBP. Selanjutnya
menjelaskan pada pasien tentang tujuan, manfaat, dan prosedur pelaksanaan EBP
dengan memberikan format informed consent.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


95

Prosedur EBP cryotherapy untuk mengurangi nyeri saat penusukan AV fistula


pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis adalah (Hassan,
Darwish, El-Saman, dan Fadel, 2012) :
1. Pasien diminta untuk mengisi kuesioner yang berisi data demografi dan data
medis.
2. Praktikan memberikan alas di bawah ekstremitas yang akan dilakukan
Cryotherapy (Kompres Es) untuk mencegah basah pada laken tempat tidur

Praktikan memberikan baby oil (satu atau dua tetes) pada area penusukan akses
vaskuler fistula yang akan dilakukan Cryotherapy (Kompres Es)
kemudian lakukan Cryotherapy (Kompres Es) dengan gerakan memutar perlahan
secara sirkular dengan menggunakan batu ice di atas tempat penusukan akses
vaskuler. Gerakan sirkular yang dilakukan adalah sejauh 2-3 cm.
Prosedur cryotherapy dimulai 10 menit sebelum penusukan AV fistula dan
dilanjutkan sampai penusukan selesai dilakukan (sekitar 2 menit).
Setelah selesai penusukan praktikan melakukan observasi respon objektif pasien
terhadap nyeri seperti ekspresi wajah, bahasa tubuh, ungkapan verbal, respon
fisiologi (tanda-tanda vital) dan perilaku interpersonal.
Kemudian pasien juga diminta untuk menyebutkan skala nyeri yang dirasakan
(skala 1-10) saat penusukan Akses AV Fistula.

Pasien yang terlibat dalam pelaksanaan EBP ini adalah sebanyak 20 pasien yang
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu sebagai kelompok intervensi dan kelompok
kontrol. 10 pasien sebagai kelompok intervensi yaitu dilakukan Cryotherapy,
sedangkan 10 pasien sebagai kelompok kontrol yaitu tidak dilakukan

Cryotherapy. Pelaksanaan EBP Cryotherapy dilaksanakan sekali sewaktu dan


langsung dilakukan evaluasi terhadap skala nyeri yang dirasakan oleh pasien.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


96

3.2.4 Hasil Penerapan Evidence Base Practice Cryotherapy Untuk


Mengurangi Nyeri Saat Penusukan Arterivenous Fistula Pada Pasien
Penyakit Ginjal Tahap Akhir dengan Hemodialisis
Hasil penerapan Evidence Base Practice Cryotherapy Untuk Mengurangi Nyeri
Saat Penusukan AV Fistula Pada Pasien Penyakit Ginjal Tahap Akhir dengan
Hemodialisis disajikan dalam tabel sebagai berikut :
Diagram 3.1
Distribusi skala nyeri kanulasi Pre dan Post Intervensi
pemberian cryotheraphy pada Kelompok yang diberikan tindakan Cryotherapy
di Unit Hemodialisis IP2K RSUP Fatmawati Jakarta

70%
60%
50%
40%
30% Pre Cryotherapy
20% Post Cryotherapy
10%
0%
Nyeri Nyeri Nyeri
Berat
Ringan Sedang

Pada diagram 3.1 menunjukkan bahwa setelah pemberian Cryotherapy


menunjukkan bahwa skala nyeri penususkan AV Fistula mengalami penurunan.
Pada diagram diatas menunjukkan pada kelompok intervensi sebelum dilakukan
Cryotherapy menunjukkan tidak ada pasien yang mengalami nyeri ringan dan
60% pasien mengalami nyeri berat. Sementara setelah dilakukan intervensi
Cryotherapi skala nyeri pasien menunjukkan 30 % pasien mengalami nyeri ringan
dan hanya 10% pasien yang mengalami nyeri berat.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


97

Diagram 3.2
Distribusi skala nyeri kanulasi Pre dan Post Intervensi
pemberian cryotheraphy pada kelompok yang tidak diberikan Cryotherapy
di Unit Hemodialisis IP2K RSUP Fatmawati Jakarta
60%
50%
40%

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


30% 98
Pre Cryotherapy
20%
Post Cryotherapy
10%
0%
Nyeri Ringan Nyeri Nyeri Berat
Sedang

Pada diagram 3.2 menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol yang tidak
mendapatkan Cryotherapy menunjukkan tidak terjadi penurunan kualitas nyeri
berdasarkan skala VAS. Jumlah pasien yang mengalami nyeri berat maupun nyeri
sedang masih dalam jumlah yang sama, yaitu 50 % pasien mengeluhkan nyeri
sedang dan 50% pasien juga mengeluhkan nyeri berat.

Kegiatan Inovasi Booklet Manajemen Hemodialisis pada Pasien Penyakit Ginjal


Tahap Akhir

Selama praktik residensi, praktikan dalam perannya sebagai perawat spesialis juga
menjalankan fungsinya sebagai leader/ pemimpin dan agen pembaharu dengan
melakukan inovasi dalam pemgembangan intervensi keperawatan. Kegiatan
inovasi dilakukan di instalasi Bougenville ruang hemodialisis RSUP Fatmawati
Jakarta. Kegiatan inovasi yang dilakukan adalah memberikan edukasi berupa
booklet kepada pasien PGTA yang rutin menjalani hemodialisis di unit
hemodialisis.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


Analisa Situasi
Awal pendiriannya pada tahun 1954 RSUP Fatmawati Jakarta mengkhususkan
sebagai rumah sakit untuk penderita TBC anak dan rehabilitasinya. Namun seiring
perkembangannya saat ini RSUP Fatmawati merupakan Rumah Sakit pendidikan
tipe A yang menjadi rumah sakit pusat rujukan terutama untuk wilayah Jakarta
Selatan. RSUP Fatmawati memiliki tugas pokok menyelenggarakan dan
melaksanakan fungsi perumahsakitan di Indonesia dibawah naungan kementrian
Kesehatan. RSUP Fatmawati juga menjadi pusat rujukan untuk pasien penyakit
ginjal terminal tahap akhir yang memerlukan penatalaksanaan Hemodialisis.
Sebagai rumah sakit rujukan RSUP Fatmawati melaksanakan peran dan fungsinya
melalui upaya pelayanan kesehatan promotif, kuratif, preventif dan rehabilitativ
secara terpadu.
\

RSUP Fatmawati sebagai sarana pelayanan publik selalu berusaha meningkatkan


mutu pelayanan kesehatan yang terbukti pada bulan Desember tahun 2013 lalu
RSUP Fatmawati lulus standar Joint Commition International (JCI). RSUP
Fatmawati dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat dan sebagai
RS rujukan untuk terapi hemodialisis juga berusaha meningkatkan pelayanan bagi
pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan meningkatkan ketersedian sarana dan
prasarana serta meningkatkan sumber daya manusia keperawatannya dengan
memberikan atau mengirimkan perawatnya untuk mengikuti pelatihan terkait
dengan kebutuhan dalam pengembangan unit hemodialisis.

Unit hemodialisa merupakan sarana pelayanan penunjang yang berada di bawah


instalasi rawat jalan Bougenville. Saat ini mesin hemodialisis yang tersedia di unit
hemodialisis sebanyak 20 buah mesin hemodialisis yang terdiri dari 10 buah
mesin Fresineus dan 10 buah mesin Nipro. Dua buah mesin hemodialisis di ruang
HCU Lantai V Selatan dan satu mesin hemodialisis di Ruang ICU RSUP
Fatmawati Jakarta. Perawat di ruang hemodialisis berjumlah 20 orang dengan
tingkat pendidikan rata-rata S1 Keperawatan dan D3 keperawatan yang sudah
memiliki sertifikasi pelatihan pelaksanaan hemodialisis. Pelayanan hemodialisis
pada pasien dilakukan rutin setiap hari sesuai jam kerja dari hari senin sampai
sabtu. Pelayanan hemodilisis terdiri dari 2 shift yaitu pagi dari jam 7.00 – 13.00
dan siang jam 11.00 – 20.00 WIB. Durasi waktu yang diberikan pada proses
hemodialisis adalah 4 jam setiap kali hemodialisis. Pada setiap shiftnya petugas
yang melaksanakan kegiatan hemodialisis berjumlah 7 – 8 orang termasuk kepala
ruang dan dokter yang bertanggung jawab pada pelaksanaan hemodialisis
tersebut. Bila ada kegiatan hemodialisis cito maka perawat yang melakukannya
adalah perawat yang terjadwal sesuai dengan hari pelaksanaan namun diutamakan
perawat yang bertugas shift sore.

Jumlah pasien yang menjalani hemodialisis di unit hemodialisis RSUP Fatmawati


setiap harinya sekitar 37-38 pasien. Berdasarkan observasi praktikan selama
praktek residensi 1, 2 dan 3 kami tidak melihat adanya pemberian pendidikan
kesehatan berupa tulisan (leaflet, booklet) kepada pasien yang menjalani
hemodialisis rutin maupun keluarga. Berdasarkan wawancara praktikan dengan
kepala instalasi Bougenville dan kepala ruang hemodialisis, sebelumnya mereka
pernah memberikan leaflet pendidikan kesehatan kepada pasien yang sumber
informasinya juga berasal dari mahasiswa residensi yang berpraktek di ruangan
hemodialisis tersebut. Namun dalam pelaksanaan selanjutnya mengalami
hambatan karena panjangnya birokrasi dan biaya pengadaan yang tinggi terhadap
media tersebut, sehingga informasi tentang manajemen hemodialisis diberikan
secara langsung kepada pasien atau keluarga yang menanyakan kepada perawat.,
dan terkadang informasi diberikan oleh sesama pasien dengan saling bertukar
informasi yang mereka ketahui dari media lain.

Berdasarkan hasil observasi tersebut maka parktikan bersama kelompok memiliki


inisiatif untuk membuat booklet tentang manajemen hemodialisis sebagai media
dan sarana informasi tentang manajemen hemodialisis yang diperlukan untuk
pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis yang menjalani terapi
hemodialisis di RSUP Fatmawati Jakarta. Booklet yang kami berikan informasi
tentang manajemen hemodialisis.
100

Kegiatan inovasi pemberian booklet praktikan dan kelompok lakukan pada


minggu terakhir bulan april 2014 dan evaluasi dilakukan di awal minggu bulan
mei 2014. Booklet manajemen hemodialisis diberikan kepada pasien yang
menjalani terapi hemodialisis sebanyak 60 booklet. Booklet manajemen
hemodialisis yang kani buat dan berikan kepada pasien berisi tentang 1) pengantar
ginjal beserta fungsinya, 2) pengobatan PGTA, 3) apa yang harus dilakukan
selama menjalani hemodialisis diantaranya mengontrol gula darah, menjaga
tekanan darah dalam batas normalnya penderita PGTA, mengontrol kolesterol,
mengikuti aturan diet ginjal, membatasi pemasukan cairan, cara mensiasati rasa
haus dan melakukan olah raga teratur, 4) cara mengatasi rasa gatal (pruritus).
Booklet yang kami berikan juga kami sertakan lembar pencatatan harian status
cairan (berat badan harian pasien, tekanan darah) dan nilai laboratorium
(hemoglobin, ureum dan Cretainin) pasien selama pasien menjalani hemodialisis.

Selama ini berdasarkan hasil wawancara dan observasi praktikan beserta


kelompok kepada pasien, pencatatan data pasien berupa berat badan sebelum dan
sesudah hemodialisis, tanda vital pasien (tekanan darah, nadi dan frekuensi
napas), dan hasil pengukuran laboratorium sebelum dan sesudah hemodialisis
hanya ditulis pada rekam medik pasien saja, sehingga pasien kadang lupa dan
tidak dapat mengontrol secara mandiri. Dengan pencapaian evaluasi yang
diharapkan oleh praktikan dan kelompok adalah berupa evaluasi terhadap perawat
(peran serta perawat dalam pemberian edukasi melalui booklet) dan evaluasi
terhadap pasien (pengetahuan pasien dan pasien membawa booklet untuk
melakukan pencatatan harian selama menjalani hemodialisis).

Kegiatan Inovasi
Kegiatan dalam inovasi pemberian booklet meliputi berbagai tahap, diantaranya :
1. Tahap persiapan
Pada tahap ini praktikan melakukan wawancara baik pada pasien, perawat
pelaksana dan perawat primer serta kepala ruangan, melakukan observasi
kegiatan-kegiatan di unit hemodialisa untuk memperoleh fenomena/gambaran
101

masalah klinik yang muncul terkait program inovasi yang akan dilakukan.
Praktikan melakukan identifikasi dan mengadakan pendekatan untuk
mendiskusikan fenomena yang ditemukan dan rencana inovasi yang dapat
dilakukan di ruangan dengan kepada kepala ruangan, perawat primer, dan
clinical instructur (CI). Persiapan selanjutnya adalah pembuatan proposal
yang dikonsultasikan kepembimbing akademik dan selanjutnya persiapan
pembuatan booklet serta sosialisasi.

Booklet yang dibuat berisikan tentang manajemen pasien hemodiaisis yaitu


mengenai pembatasan cairan, diet makanan, olah raga teratur,
penatalaksanaan gatal pada pasien penyakit ginjal terminal serta dilengkapi
dengan lembar pencatatan keseimbangan cairan yang harus dijaga pada
pasien penyakit ginjal terminal. Dalam pembuatan booklet setiap mahasiswa
residensi kelompok perkemihan bertanggungjawab pada materi yang telah
diberikan. Praktikan sendiri bertanggungjawab dalam pembuatan materi
diet dan nutrisi pada pasien penyakit ginjal terminal. Dalam membuat materi
yang menjadi tanggungjawab praktikan dilakukan dengan mencari sumber
yang up to date dengan melakukan penelusuran baik di media internet dan
buku. Setelah diperoleh sumber materi maka praktikan mengkonsultasikan
terlebih dahulu dengan pembimbing akademik.

2. Desiminasi Awal Program Inovasi


Program desiminasi awal dimulai dengan pembuatan proposal kegiatan
program inovasi dan media yang digunakan. berupa booklet yang diperlukan
untuk pelaksanaan program inovasi mengenai manajemen hemodialisis pada
pasien penyakit ginjal terminal. Proposal kegiatan dikonsultasikan kepada
pembimbing klinik dan pembimbing akademik, yang kemudian
disosialisasikan kepada kepala ruang dan staf perawat dan dokter penanggung
jawab di unit hemodialisis IP2K Gedung Bougenvile RSUP Fatmawati.
Langkah selanjutnya adalah mempresentasikan proposal inovasi yang
dilakukan pada tanggal 27 Maret 2013. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan
102

komite keperawatan, kabid keperawatan, kepala Instalasi, supervisor


instalasi, kepala ruangan, wakil kepala ruangan dan perawat primer,
pembimbing klinik dan pembimbing akademik.

3. Tahap Pelaksanaan
Pada pelaksanaan edukasi dengan media booklet ini awalnya praktikan
melakukan identifikasi pasien hemodialisis yang sesuai dengan kriteria,
kemudian praktikan membuat kontrak terlebih dahulu dengan menjelaskan
pada pasien tujuan dan prosedur penerapan edukasi. Selanjutnya praktikan
memberikan edukasi dengan menjelaskan isi yang terdapat di dalam booklet
manajemen hemodialisis. Edukasi diberikan secara bertahap pada masing-
masing pasien dan keluarga sesuai dengan kemampuan dan kesiapan pasien.
Edukasi diberikan saat pasien menjalani sesi hemodialisis dengan pemberian
edukasi selama 15 - 30 menit pada masing-masing. Evaluasi pasien
dilakukan pada minggu kemudian setelah pemberian materi dan booklet
manajemen hemodialisis tersebut.

3.3.3 Tahap Evaluasi

Evaluasi kegiatan dilakukan setelah 1 minggu pelaksanaan inovasi. Evaluasi yang


dilakukan meliputi :
1. Evaluasi Proses

Proses pelaksanaan kegiatan inovasi ini yang diawali dengan pembuatan


proposal, sosalisasi dan tahap pelaksanaan berjalan dengan baik dan
memperoleh dukungan yang penuh dari pihak ruangan dan manajemen RS
maupun fungsional. Pasien juga merasa terbantu dengan adanya booklet,
karena pasien menjadi lebih tahu dan dapat memantau perkembangan
kesehatannya dan memantau pembatasan cairan yang dibutuhkan pasien.
Pihak manajemen RS sangat mengharapkan bahwa booklet ini dapat diadakan
di RSUP Fatmawati untuk memfasilitasi dan meningkatkan edukasi pasien
tentang manajemen hemodialsis pasien penyakit ginjal tahap akhir.
103

Dalam evaluasi proses ini juga dilakukan evaluasi terhadap peran serta
perawat yang ada diruang hemodialisis dalam pelaksanaan pemberian edukasi
menggunakan booklet ini. Menurut perawat hemodialisis metode edukasi
dengan pemberian booklet lebih efektif karena menimbulkan minat dan
keinginana pasien untuk membaca booklet dan meningkatkan motivasi pasien
untuk mengikuti saran yang disampaikan didalam isi booklet. Perawat di
ruang hemodialisis juga menilai bahwa pelaksanaan edukasi dengan metode
pemberian booklet akan meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga
tentang manajemen pasien hemodialisis.

2. Evaluasi Hasil

Evaluasi hasil dilakukan pada 20 pasien hemodialisis yang mendapatkan


edukasi dengan pemberian booklet manajemen hemodialisis. Evaluasi yang
dilakukan adalah menilai pengetahuan pasien tentang manajemen
hemodialisis seperti yang sudah dituliskan di dalam booklet dan
mengevaluasi apakah pasien membawa kembali booklet setiap melakukan
hemodialisis serta melakukan pencatatan terhadap kenaikan berat badan,
tanda vital dan nilai pemeriksaan laboratorium. Evaluasi mengenai
pengetahuan yang dilakukan meliputi tentang hal apa saja yang harus pasien
hemodialisis lakukan selama menjalani hemodialisis. Evaluasi tentang
pengetahuan dan pemahaman pasien didapatkan bahwa dari 20 pasien yang
dilakukan evaluasi, terdapat sebanyak 50 % pasien sudah memahami dan
mampu menjelaskan kembali manajemen pasien hemodialisis sesuai dengan
isi booklet yang diberikan. Dan evaluasi terhadap pencatatan, dari 20 pasien
terdapat sebanyak 90 % pasien membawa kembali booklet dan mengisi data
tentag dirinya saat menjalani hemodialisis.
104

BAB IV
PEMBAHASA
N

Dalam sub bab ini memaparkan tentang analisis hasil penerapan Teori Adaptasi
Roy dalam pemberian asuhan keperawatan dengan gangguan sistem perkemihan
yang berbagai klasifikasi atau kategori kasus, menjelaskan tentang penerapan
evidence base practice cryotherapy untuk mengurangi nyeri saat penusukan
arterivenous fistula pada pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis
dan menjelaskan tentang pelaksanaan inovasi pemberian booklet manajemen
hemodialisis pada pasien penyakit ginjal tahap akhir.

4.1 Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy

Dalam pemberian dan pelaksanaan asuhan keperawatan yang praktikan lakukan


dalam praktik residensi spesialis peminatan sistem perkemihan ini praktikan
menggunakan pendekatan teori keperawatan Adaptasi Roy. Teori keperawatn
adaptasi Roy praktikan gunakan dalam pemberian asuhan keperawatan pada
pasien dengan gangguan sisitem perkemihan karena dalam teori adaptasi Roy
menjelaskan dan menguraikan bagaimana individu mampu meningkatkan
kemampuan adaptasinya terhadap berbagai perubahan perilaku dan psikologis
untuk meningkatkan kesehatannya. Dalam teori adaptasi Roy merubah perilaku
yang tidak adaptif menjadi perilaku yang adaptif terhadap perkembangan kondisi
sakit yang dapat terjadi karena penyakit kronis dan penatalaksanaan perawatan
dan pengobatan yang lama seperti pada berbagai kasus pada pasien dengan
gangguan sistem perkemihan (Roy & Andrew, 1999 dalam Phillip, 2006).

Selama praktik residensi yang praktikan selesaikan dari tanggal 9 september 2013
sampai tanggal 9 mei 2014 di RSUP Fatmawati jakarta, praktikan memaparkan
asuhan keperawatan yang menjadi kasus kelolaan utama dengan penyakit ginjal
tahap akhir. Selain kasus kelolaan utama, praktikan juga melakukan dan
memaparkan laporan kasus kelolaan yang menjadi resum asuhan keperawatan
pada 34 kasus lainnya dengan gangguan sistem perkemihan. Kasus yang menjadi

104

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


105

kelolaan praktikan selama praktik residensi sebagian besar adalah kasus dengan
penyakit ginjal yaitu 20 kasus, selanjutnya adalah kasus dengan kegawatan pada
sistem perkemihan : 3 kasus, kasus obstruksi : 7 kasus, kasus dengan keganasan
sistem perkemihan : 3 kasus dan kasus dengan trauma sistem perkemihan : 1
kasus.

4.1.1 Mode Adaptasi Fisiologis

Dalam mode adaptasi fenomena masalah yang ditemukan berbeda pada masing-
masing kasus. Intervensi keperawatan yang diberikan juga disesuaikan dengan
masalah yang muncul pada masing-masing kasus. Kasus yang praktikan temukan
selama praktik residensi, praktikan klasifikasikan menjadi beberpa kasus,
diantaranya :
1. Kasus Penyakit Ginjal

Kasus renal disease yang praktikan temukan dan kelola selama praktik residensi
spersialis terdapat 20 kasus dengan penyakit ginjal tahap akhir. Beberapa
fenomena yang praktikan temukan selama pengelolaan kasus renal disease dengan
penyakit ginjal tahap akhir memiliki kesamaan diantaranya adanya keluhan sesak
napas yang semakin memberat dengan suara napas ronkhi (+), cepat merasa lelah,
adanya keluhan edema terutama edema pada kedua ekstremitas dan adanya
ascites, adanya peningkatan tekanan vena jugularis yang menandakan adanya
masalah kelebihan volume cairan pada pasien, keluhan mual, tidak nafsu makan,
pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan nilai ureum dan creatinin.
Masalah keperawatan yang menjadi masalah keperawatan juga memiliki
kesamaan yaitu kelebihan volume cairan dan elektrolit, intoleransi aktivitas dan
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, resiko penurunan curah jantung
dan gangguan integritas kulit. Dari semua masalah keperawtan yangmuncul
tersebut, masalah keperawatan utama yang terdapat pada pasien dengan penyakit
ginjal tahap akhir adalah kelebihan volume cairan dan elektrolit, intoleransi
aktivitas dan perubahan nutrisi.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


106

Berbagai masalah keperawatan yang muncul diakibatkan oleh kerusakan nefron


ginjal lebih dari 75 % sehingga mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus
dan mengakibatkan terjadinya retensi cairan dan elektrolit didalam tubuh dan
terjadi kelebihan volume cairan dan elektrolit dan meningkatnya akumulasi
uremia di dalam tubuh (Price, 2006; Smeltzer and Bare, 2006). Asuhan
keperawatan yang diberikan kepada pasien denganpenyakit ginjal tahap akhir
bertujuan untuk mengatasi masalah keperawatan yang muncul dan
mengadaptasikan pasien terhadap perubahan yang muncul baik secara fisik
maupun psikologis berdasarkan teori adaptasi Roy.

Intervensi keperawatan yang diberikan untuk mengatasi masalah keperawatan


tersebut meliputi berbagai aktivitas regulator dan kognator yang diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan adaptasi pasien dalam mengatasi masalah keperawatan
yang muncul. Intervensi yang diberikan meliputi : monitor cairan, manajemen
cairan, manajemen mual, manajemen nutrisi dan manajemen terapi pengganti
ginjal. Manajemen terapi pengganti ginjal yang dilakukan kepada pasien saat
praktikan memberikan asuhan keperawatan sebagian besar yaitu 19 kasus
menggunakan hemodialisis dan hanya satu kasus menggunakan peritoneal dialisis.

Pada kasus renal disease dengan penyakit ginjal tahap akhir, penerapan teori Roy
sangat tepat karena pada pasien penyakit ginjal tahap akhir memerlukan berbagai
adaptasi dan penerimaan terhadap perkembangan penyakit dan terhadap
penatalaksanaan perawatan dan pengobatan yang lama termasuk terapi pengganti
ginjal yang membutuhkan penanganan seumur hidup. Bentuk adaptasi pada pasien
dengan penyakit ginjal tahap akhir diantaranya adalah kemampuan beradaptasi

terhadap masalah perburukan penyakit ginjal tahap akhir, adaptasi terhadap


pembatasan cairan dan adaptasi terhadap terapi pengganti ginjal seperti
hemodialisis dan peritoneal dialisis. Kemampuan adaptasi yang baik dan
kepatuhan terhadap berbagai regimen penatalaksanaan pengobatan dan perawatan
pasien akan menurunkan mortalitas dan meningkatkan kualitas hidup pasien

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


107

penyakit ginjal tahap akhir (Smeltzer dan Bare, 2008 dan Cleary & Drennan,
2005).

2. Kasus Kegawatan Sistem Perkemihan


Kasus kegawatan sistem perkemihan juga merupakan kasu kegawatan yang
memerlukan penanganan yang tepat dan cepat, untuk mencegah perburukan dan
komplikasi dari penyakit. Kasus kegawatan sistem perkemihan yang praktikan
berikan asuhan keperawtaan terdapat tiga kasus dengan kegawatan pada penyakit
ginjal tahap akhir. Kegawatan pada penyakit ginjal tahap akhir yang sering
praktikan temukan adalah gangguan pada pernapasan yang berupa sesak napas
berat akibat adanya kelebihan volume cairan dan elektrolit. Pasien penyakit ginjal
tahap akhir datang ke ruang instalasi gawat darurat dikarenakan adanya keluhan
sesak napas yang memberat, adanya riwayat edema ekstremitas, ascites dan
edema seluruh tubuh yang tidak membaik dengan obat-obatan yang diminum serta
adanya keluhan badan semakin lemas. Masalah keperawatan yang sering muncul
adalah kelebihan volume cairan dan elektrolit dan gangguan pola napas tidak
efektif.

Intervensi kegawatan pada pasien penyakit ginjal tahap akhir terhadap keluhan
pernapasan pasien adalah pemberian terapi oksigenasi untuk meningkatkan status
oksigenasi dan ventilasi serta perfusi pasien dan meningkatkan kenyamanan
pasien, kemudian ditindaklanjuti dengan kolaborasi pemberian lasix (diuretik)
sebagai terapi diuresis dan tindakan hemodialisis cito sebagai penatalaksanaan
awal dari kelebihan voleme cairan pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir.

Menurut analisis praktikan penerapan teori keperawatan adaptasi Roy pada kasus
kegawat daruratan akut tidak dapat diterapkan secara langsung, yang disebabkan
pasien biasanya datang dalam kondisi kegawatdaruratan berupa sesak napas yang
berat yang disertai dengan edema derajat 3 pada ekstremitas dan ascites, bahkan
terkadang pasien sudah datang dalam kondisi penurunan kesadaran sehingga

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


108

memerlukan penatalaksanaan yang segera untuk mengatasi gejala yang


mengganggu ataupun gejala yang mengancam nyawa.

Intervensi keperawatan sesuai teori adaptasi Roy baru dapat dilaksanakan saat
tanda vital pasien sudah stabil dan saat dalam pemantauan di ruang IGD asuhan
keperawatan yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan adaptasi pasien
terhadap kelanjutan intervensi yang diberikan untuk mengatasi situasi kegawatan
tersebut. Intervensi keperawatan yang diberikan untuk mengatasi masalah
keperawatan tersebut meliputi aktivitas regulator dan kognator yang terdiri dari :
monitoring status cairan pasien, manajemen cairan pasien dan penatalaksanaan
terapi hemodialisis cito.

3. Kasus Obstruksi Sistem Perkemihan

Obstruksi sistem perkemihan merupakan suatu kondisi kelainan atau gangguan


sistem perkemihan yang disebabkan oleh adanya sumbatan. Kasus obstruksi
sistem perkemihan yang akan praktikan paparkan dan menjadi kelolaan praktikan
selama praktik residensi adalah obstruksi akibat batu ginjal dengan 2 pasien
obstruksi batu ureter, 1 pasien batu pielum, 2 pasien dengan BPH dan 2 pasien
dengan hidronefrosis. Berdasarkan pengkajian perilaku dan stimulus
menunjukkan bahwa pasien memiliki perilaku inefektif pada mode fisiologis.

Pada pasien dengan batu ginjal dan batu ureter pengkajian terhadap mode
fisiologis ditunjukkan dengan pasien mengeluhkan nyeri di daerah pinggang yang
menjalar ke paha pada pasien dan nyeri yang bersifat terus menerus. Masalah
keperawatan yang dirumuskan pada pasien dengan kasus batu ureter, batu ginjal

dan hidronefrosis diantaranya adalah nyeri akut, perubahan pola eliminasi dan
resiko infeksi. Pada pasien BPH perilaku inefektif pada mode fisiologis meliputi
nyeri di daerah vesika urinaria, ketidakmampuan dalam mengosongkan kandung
kemih, kencing menetes dan kencing lebih sering dan tidak lampias. Sedangkan
masalah utama yang dapat muncul pada pasien dengan BPH diantaranya retensi
urin, nyeri akut yang berhubungan dengan kontraksi dan distensi vesika urinaria

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


109

atau tindakan pembedahan atau operasi Trans Uretral Resection Prostate (TURP).
Tujuan umum penatalaksanaan terhadap gangguan obstruksi meliputi
mengidentifikasi dan memperbaiki penyebab obstruksi, menangani infeksi yang
terjadi, mengatasi nyeri dan mempertahankan serta melindungi fungsi renal
(Smeltzer dan Bare, 2008).

Nyeri yang terjadi pada pasien batu ureter atau batu ginjal berbeda penyebabnya
dengan nyeri yang terjadi pada pasien BPH. Nyeri sendiri merupakan suatu
pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan yang dihubungkan
dengan kerusakan jaringan secara aktual maupun potensial. Nyeri merupakan
hasil stimulasi reseptor sensorik yang meghasilkan reaksi ketidaknyamanan,
distress atau menderita. Nyeri juga didefinisikan sebagai rasa tidak nyaman
dengan awitan yang tiba-taba atau perlahan dari intensitas ringan hingga berat
yang dapat diantisipasi sebelumnya dengan durasi kurang dari enam bulan (Perry
& Potter, 2006 dan Wilkinson, 2007). Nyeri pada pasien dengan batu ureter dan
batu ginjal dapat terjadi akibat proses peradangan adanya benda asing (batu) pada
saluran kemih yang dapat mengakibatkan meningkatnya sekresi mediator kimia
dari proses peradangan tersebut (Prostaglandin, kinin, histamin) yang
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dan menimbulkan keluhan nyeri.
Nyeri pada batu ginjal dapat bervariasi dari nyeri ringan hingga nyeri berat
(kolik), dimana kondisi nyeri dipengaruhi oleh letak batu dalam saluran
perkemihan. Batu yang terletak di ureter lebih bersifat nyeri berat (kolik) dan
tajam (Price, 2006 dan Smeltzer dan Bare, 2008).

Pada pasien BPH pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra


prostatika dan menghambat aliran urin, yang berakibat lanjut peningkatan tekanan
intravesikel sehingga buli-buli berkonstraksi lebih kuat untuk mendorong urin
keluar. Tekanan intravesikel juga akan menimbulkan aliran balik urin dari buli ke
ureter (refluks vesikoureter) dan berakibat juga banyak urin yang tertahan didalam
vesika urinaria akan mengakibatkan terjadinya distensi kandung kemih, sehingga

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


110

menambah keluhan nyeri yang dirasakan oleh pasien dengan BPH (Purnomo,
2011).
Untuk mengatasi nyeri yang terjadi pada obstruksi sistem perkemihan intervensi
spesifik yang dilakukan adalah dengan melakukan aktivitas regulator dan
cognator yang meliputi: pemantauan tanda vital, mengkaji penyebab nyeri dan
karakteristik nyeri yang dirasakan, manajemen nyeri, manajemen lingkungan dan
pemberian edukasi tentang penyakit serta kolaborasi pemberian analgetik
(ultracet, asam mefenamat). Intervensi keperawatan untuk manajemen nyeri
meliputi latihan relaksasi seperti nafas dalam, guided imagery, terapi distraksi dan
relaksasi otot progresif. Hasil evaluasi menunjukkan rata-rata pasien dapat
menunjukkan perilaku adaptif pada hari ke-4 sampai hari ke-7 perawatan, yang
ditunjukkan dengan pasien dapat mengontrol nyeri dan mampu melakukan
manajemen nyeri.

Untuk mengatasi masalah retensi urin pada pasien obstruksi juga dilakukan
intervensi keperawatan melalui adaptasi terhadap aktivitas regulator dan cognator
yang meliputi melakukan perawatan retensi urin, kateterisasi urinari, perawatan
kateter urin dan irigasi kandung kemih. Pada pasien BPH sebelum kateter dilepas
pasien juga dilakukan bladder training dan juga diajarkan keagel exercise untuk
menghindari kejadian inkontinensia urin akibat pemakaian kateter yang lama.
Hasil evaluasi didapatkan rata-rata pasien BPH menunjukkan perilaku adaptif
eliminasi urin pada hari ke-7 post operasi TURP dan pasien dianjurkan untuk
pulang setelah hari perawatan ke-7.

Penggunaan teori adaptasi Roy dapat digunakan untuk memberikan asuhan


keperawatan pada pasien dengan gangguan obstruksi sistem perkemihan. Teori
adaptasi Roy dapat meningkatkan kemampuan adaptasi pasien karena pada pasien
dengan gangguan osbtruksi juga memerlukan peningkatan keefektifan adaptasi
terhadap perubahan fisik, perubahan psikologs dan perawatan atau
penatalaksanaan medis seperti pemasangan kateter yang lama pada pasien dengan
BPH.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


111

4. Kasus Keganasan Sistem Perkemihan


Pasien kasus keganasan sistem perkemihan yang praktikan kelola terdapat 2
kasus, yaitu kasus dengan kanker prostat yang pasien kelola di poli rawat jalan
saat pasien melakukan kontrol dan kasus dengan tumor buli yang praktikan
berikan asuhan keperawatan di ruang bedah lantai IV utara. Pengkajian perilaku
yang ditunjukkan pada mode fisiologis adalah adanya retensi urin, pasien
mengalami hematuria dengan perdarahan masif, adanya bekuan darah pada urin
dan adnya keluhan nyeri yang dirasakan pasien dengan karakteristik nyeri berat
dan terasa panas. Berdasarkan data hasil pengkajian tersebut maka diagnosa
keperawatan yang dapat dirumuskan adalah perubahan pola eliminasi urin (retensi
urin) berhubungan dengan adanya obstruksi mekanik saluran perkemihan (tumor
buli); nyeri akut berhubungan dengan tindakan reseksi tumor bladder dan
perdarahan masif serta resiko syok hipovolemik berhubungan dengan adanya
perdarahan masif.

Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah


keperawatan yang muncul pada kasus keganasan sistem perkemihan meliputi
manajemen nyeri (teknik relaksasi menggunakan relaksasi napas dalam, guide
imagery, distraksi, kolaborasi analgetik), manajemen eliminasi urin (mengkaji
kepatenan eliminasi dan jumlah urin, kepatenan drainase urin), pemasangan
kateter urin, mempertahankan kepatenan kateter, memonitor intake dan output
cairan, memonitor tanda dan gejala retensi urin dan kolaborasi dalam irigasi
kandung kemih, dan monitor perdarahan. Hasil evaluasi menunjukkan pasien
menunjukkan respon yang adaptif, terhadap program perawatan dan rencana
program pengobatan kemoterapi dan dapat menunjukkan perilaku adaptif dengan

mengikuti prosedur yang direncanakan.

Pada kasus kanker prostat yang pasien kelola di poli rawat jalan asuhan
keperawatan berdasarkan teori adaptasi Roy tidak dapat diterapkan dengan
maksimal, karena singkatnya waktu kunjungan pasien dan singkatnya kesempatan
pasien untuk mendapatkan perawatan dari praktikan. Intervensi yang diberikan

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


112

meliputi manajemen nyeri (teknik relaksasi menggunakan relaksasi napas dalam,


guide imagery, distraksi, kolaborasi analgetik).

Hasil evaluasi menunjukkan pasien menunjukkan respon yang adaptif, terhadap


program perawatan dan rencana program biopsi, pasien dapat menunjukkan
perilaku adaptif dengan mengikuti prosedur yang direncanakan, tetapi pasien
belum mampu beradaptasi terhadap kemungkinan perubahan fisik dan psikologi
setelah dilakukan biopsi dan pasien masih mengungkapkan cemas dengan
prosedur biopsi yang akan dijalani.

5. Kasus Trauma Sistem Perkemihan

Pasien kasus keganasan sistem perkemihan yang praktikan kelola terdapat 1kasus,
yaitu trauma uretra. Traumam uretra yang terjadi pada pasien tersebut adalah
akibat benturan keras yang mengenai uretra yang menyebabkan uretra terputus.
Berdasarkan pengkajian perilaku yang ditunjukkan pada mode fisiologis diperoleh
data pasien BAK darah pada awal kejadian dan 8 jam kemudian tidak bisa BAK
secara spontan serta vesika urinaria teraba penuh, nyeri dengan kualitas berat
seperti perih dan teriris dengan skala nyeri 7-8. Berdasarkan data hasil pengkajian
tersebut maka diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan adalah nyeri akut
berhubungan dengan terputusnya inkontinuitas jaringan dan perubahan pola
eliminasi urin (retensi urin) berhubungan dengan terputusnya saluran kemih.

Untuk mengatasi nyeri yang terjadi pada obstruksi sistem perkemihan intervensi
spesifik yang dilakukan adalah dengan melakukan aktivitas regulator dan
cognator yang meliputi: mengkaji penyebab nyeri, karakteristik nyeri yang

dirasakan, pemantauan tanda vital dan manajemen nyeri, manajemen lingkungan


dan kolaborasi pemberian analgetik (ultracet, asam mefenamat). Intervensi
keperawatan untuk manajemen nyeri meliputi latihan relaksasi seperti nafas
dalam, guided imagery, terapi distraksi dan relaksasi otot progresif. Hasil evaluasi
menunjukkan pasien dapat menunjukkan perilaku adaptif pada hari ke-3 sampai

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


113

hari ke-7 perawatan, yang ditunjukkan dengan pasien dapat mengontrol nyeri dan
mampu melakukan manajemen nyeri.

Untuk mengatasi masalah perubahan pola eliminasi urin (retensi urin)


berhubungan dengan terputusnya saluran kemih juga dilakukan intervensi
keperawatan melalui adaptasi terhadap aktivitas regulator dan cognator yang
meliputi melakukan pemasangan kateter sistotomi, perawatan kateter sistotomi,
serta edukasi tentang manfaat pemasangan sistotomi dan perawatannya. Pasien
juga diajarkan dan dilatih utnuk mampu beradaptasi terhadap alternatif
penatalaksanaan untuk mengatasi masalah perubahan pola eliminas dengan
pemasngan sistotomi. Hasil evaluasi menunjukkan pasien dapat menunjukkan
perilaku adaptif pada hari ke-5 sampai hari ke-7 perawatan, yang ditunjukkan
dengan menerima pemasangan sistotomi dengan lapang dada dan mampu
melakukan perawatan sistotomi secara mandiri.

4.1.2 Mode Adaptasi Konsep Diri

Konsep diri merupakan pengetahuan individu tentang diri dan citra diri secara
subjektif dan merupakan percampuran komplek dari perasaan, sikap dan persepsi
bawah sadar maupun sadar (Kozier, Berman & Snyder, 2008; Perry & Potter,
2005). Dari ke-34 kasus kelolaan praktikan, pengkajian mode adaptasi konsep diri
sebagian besar menunjukkan perilaku inefektif didapatkan data pasien mengalami
kecemasan dengan perkembangan penyakitnya dan rencana pengobatan yang akan
dijalani. Dimana pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir yang menjalani
terapi hemodialisis untuk pertama kalinya mengeluhkan kecemasan terhadap
tindakan dan ketakutan pasien akan prosedur pemasangan CDL yang digunakan
sebagai akses vaskuler terapi hemodialisis. Berdasarkan pengkajian praktikan
pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir dan pasien dengan keganasan memiliki
tingkat kecemasan paling tinggi terutama pada pasien yang baru mengetahui
diagnosa penyakitnya pertama kali dan mendapatkan tindakan pemasangan CDL
dan terapi hemodialisis untuk pertama kali. Sedangkan pasien dengan keganasan
mereka menyatakan kecemasan akibat perkembangan penyakit dan adanya

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


114

kemungkinan untuk sembuh. Peringkat tingkat kecemasan yang selanjutnya


adalah kecemasan yang dialami pasien dengan obstruksi sitem perkemihan. Pasien
dengan obstruksi mengungkapkan cemas dengan tindakan operasi karena ini
adalah pengalaman pertamanya.

Kecemasan adalah suatu keresahan, perasaan tidak nyaman dan perasaan kwatir
yang tidak mudah yang disertai respon autonomis dengan sumber penyebab yang
tidak spesifik atau tidak diketahui individu dan merupakan antisipasi terhadap
bahaya atau ancaman. Batasan karakteristik pengangkatan diagnosa cemas
meliputi : keterbatasan produktivitas, mengekspresikan keluhan karena perubahan
pada kejadian kehidupan, gelisah, perasaan tidak adekuat, peningkatan
kekhawatiran dan berfokus pada diri sendiri (Wilkinson, 2007). Menurut Kaplan
dan Sadock (1997 dalam Lutfa 2008) tingkat kecemasan seorang pasien
dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya 1) faktor Intrinsik yaitu usia pasien,
pengalaman pasien menjalani pengobatan, konsep diri dan peran serta 2) faktor
ekstrinsik, yang meliputi : kondisi medis (diagnosa penyakit), tingkat pendidikan,
akses informasi dan proses adaptasi, tingkat sosial ekonomi dan komunikasi
terapeutik.

Berdasarkan data yang praktikan dapatkan dari hasil pengkajian maka dapat
dirumuskan masalah keperawatan utama pada mode adaptasi konsep diri dari
semua kasus kelolaan umumnya adalah cemas berhubungan dengan kurang
pengetahuan tentang proses penyakit, prognosis & kebutuhan pengobatan serta
krisis situasi. Intervensi yang praktikan lakukan untuk meningkatkan respon
adapatasi dan mekanisme koping pasien pada mode adaptasi konsep diri adalah

manajemen anxietas (kecemasan) dan terapi relaksasi dengan aktivitas regulator


dan cognator sebagai berikut pada mode konsep diri ini umumnya meliputi
membina hubungan saling percaya, mengkaji ketakutan dan kecemasan pasien,
tingkatkan dukungan mekanisme koping yang tepat, ajarkan teknik relaksasi
(relaksasi napas dalam, meditasi, guide imagery) memberikan edukasi tentang
proses penyakit dan kebutuhan pengobatan.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


115

Hasil evaluasi menunjukkan pada pasien renal disease akibat penyakit ginjal
tahap akhir dan sindrom nefrotik adaptasi terhadap konsep diri dengan masalah
keperawatan kecemasa terjadi antara hari ke-8 sampai hari ke-12 perawatan,
ketika pasien sudah 2-3 kali mendapatkan terapi hemodialisis. Pasien obstruksi
adaptasi terhadap respon kecemasan terjadi pada hari ke-7 sampai hari ke-10
perawatan, sedangkan pada pasien neoplasma adaptasi terhadap respon terjadi
pada pada hari ke-7 sampai hari ke-10 perawatan. Perbedaan pencapaian ini
kemungkinan disebabkan oleh karena pada pasien renal disease dan neoplasma
umumnya pasien mengalami perburukan terhadap kondisi kesehatan.

4.1.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran

Pada pengkajian mode adaptasi fungsi peran pasien selama sakit dari kasus
kelolaan utama dengan penyakit ginjal tahap akhir dan 33 kasus pasien yang
dijadikan resume, sebagian pasien mengalami perilaku inefektif. Gangguan pada
sistem perkemihan seperti penyakit ginjal tahap akhir dan keganasan sistem
perkemihan mengakibatkan pasien mengalami berbagai ketidakmampuan,
sehingga membuat pasien harus menjalani perawatan yang lebih lama
dibandingkan pasien lainnya. Pengobatan dan perawatan yang lama pada pasien
penyakit ginjal tahap akhir dan keganasan sistem perkemihan terkadang membuat
pasien harus kehilangan pekerjaannya, karena kondisi kesehatan yang tidak
memungkinkan pasien untuk bekerja dengan optimal. Kondisi ini membuat pasien
mengalami gangguan dalam menjalankan perannya, baik peran sebagai kepala
keluarga, pencari nafkah ataupun yang lainnya.

Intervensi keperawatan yang praktikan lakukan untuk meningkatkan mode


adaptasi fungsi peran adalah dengan meningkatkan mekanisme koping regulator
dan cognator pasien, yang meliputi : membantu pasien mengidentifikasi berbagai
peran dalam hidupnya, membantu pasien mengidentifikasi ketidakmampuan
peran, membantu pasien mengidentifikasi peran baru sesuai kemampuan pasien,
membantu pasien mengidentifikasi strategi positif untuk menjalani peran baru,

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


116

dan sebagainya. Hasil evaluasi menunjukkan perilaku adaptif rata-rata dicapai


pasien pada hari ke-7 sampai hari ke-12 perawatan, yang ditandai dengan
kepasrahan pasien dengan kondisinya dan menerima keadaannya dan bersemangat
untuk sembuh.

4.1.4 Mode Adaptasi Interdependensi


Pada pengkajian mode adaptasi interdependensi pasien selama sakit dari kasus
kelolaan utama dengan penyakit ginjal tahap akhir dan 33 kasus pasien yang
dijadikan resume dengan berbagai gangguan pada sistem perkemihan, sebagian
pasien mengalami perilaku inefektif. Gangguan pada sistem perkemihan seperti
penyakit ginjal tahap akhir dan keganasan sistem perkemihan dapat
mengakibatkan kondisi yang tidak stabil, dan memerlukan perawatan dan
pengobatan yang lama untuk mempertahankan kondisinya sehingga membuat
pasien merasa lebih cemas. Pengobatan dan perawatan yang lama pada pasien
penyakit ginjal tahap akhir dan keganasan sistem perkemihan, adanya tindakan
prosedur operasi pada pasien BPH dan batu pielum atau batu ureter terkadang
membuat pasien lebih cemas yang disebabkan kurang pengetahuan pasien tentang
prosedur perawatan dan pengobatan. Kondisi ini membuat pasien mengalami
mekanisme koping yang tidak efektif.

Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk meningkatkan mekanisme koping


regulator dan cognator pada mode interdependensi adalah dengan melakukan
dukungan spiritual, komunikasi terapeutik, family support, dan coping
enhancement. Hasil evaluasi pada pasien kelolaan utama dan resume secara
keseluruhan menunjukkan adanya perubahan perilaku pada pasien menjadi lebih

efektif. Pasien menunjukkan kesiapan dalam menjalani perawatan dan pengobatan


serta kooperatif selama perawatan berlangsung. Perawat perlu meningkatkan
motivasi pasien untuk sembuh dan motivasi menjalani perawatan dan
pengobatannya dengan baik untuk mendukung kesehatan dan keberhasilan
perawatan dan pengobatan.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


117

Penerapan Teori Model Adaptasi Roy terhadap kasus kelolaan utama dan 33
kasus kelolaan resume dapat disimpulkan bahwa pemberian asuhan keperawatan
dengan pendekatan Teori Adaptasi Roy dapat memberikan asuhan keperawatan
secara holistik, karena teori ini memperhatikan seluruh aspek baik fisik,
psikologis, sosial, kultural dan spiritual. Namun penerapan pendekatan teori
Adaptasi Roy pada kondisi kegawatdaruratan membutuhkan cara yang berbeda.
Pada kondisi kegawatdaruratan pendekatan teori adaptasi digunakan pada saat
kondisi kegawatdaruratan pasien teratasi dan kondisi pasien dalam pemantauan
atau pemulihan. Pada kondisi kegawatdaruratan penanganan pertama dilakukan
untuk mengatasi kegawatdaruratan yang mengancam nyawa dan mencegah
kecacatan serta perburukan kondisi penyakit.

Selama menjalankan praktik residensi, praktikan tidak menemukan kendala yang


berarti dalam penerapan Teori Adaptasi Roy pada asuhan keperawatan pasien
dengan berbagai gangguan pada sistem perkemihan. Secara ilmiah pasien
merupakan makluk yang beradaptasi dan proses adaptasi sendiri merupakan
bagian yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan manusia. Intervensi
keperawatan yang praktikan berikan yaitu dengan menggabungkan intervensi
dalam Teori Adaptasi Roy dengan Nursing Intervention Criteria (NIC) dan
Nursing Outcome Criteria (NOC). Intervensi keperawatan seperti yang terdapat
NIC dan NOC terdiri dari aktivitas-aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan
aktivitas regulator dan cognator dalam Teori Adaptasi Roy sehingga tidak
memerlukan modifikasi yang luas dan Nursing Intervention Criteria (NIC) dan
Nursing Outcome Criteria (NOC) dapat diterapkan secra efektif sesuai dengan
pendekatan Teori Adaptasi Roy.

Pembahasan Penerapan Evidence Base Practice Cryotherapy Untuk Mengurangi


Nyeri Saat Penusukan Arterivenous Fistula Pada Pasien Penyakit Ginjal Tahap
Akhir dengan Hemodialisis

Nyeri merupakan salah satu masalah keperawatan yang muncul pada saat
penusukan akses vaskuler Arteriovena Fistula Pada pasien dengan hemodialisis.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


118

Nyeri penusukan ini termasuk dalam kategori nyeri akut. Nyeri akut merupakan
suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul
akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial dengan awitan yang tiba-tiba
atau lambat dengan intensitas ringan hingga berat yang dapat diantisipasi dan
berlangsung < 6 bulan (Herdman, 2012).

Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan


berhubungan dengan kerusakan jaringan, dan merupakan komponen sensori,
komponen diskriminatori serta respon yang mengantarkan ataupun reaksi yang
ditimbulkan oleh berbagai stimulus (Perry & Potter, 2006 dan Sherwood, 2012).
Patofisiologi nyeri terjadi karena adanya respon dari trauma atau stimulus yang
diberikan kepada jaringan sehingga mengakibatkan teraktivasinya nosiseptor
(reseptor sel-sel syaraf). Nosiseptor ini menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke
sumsum tulang belakang dan otak untuk mempersepsikan nyeri. Stimulus pada
jaringan akan merangsang nosiseptor melepaskan zat kimia yang terdiri dari
prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, substansi P dan enzim proteolitik.
Zat kimia ini yangakan mensintesisasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls ke
otak untuk mempersepsikan nyeri ( Nadler dan Kruse, 2004).

Rangsangan nyeri penusukan AVF merupakan salah satu jenis nyeri cepat karena
stimulus nyeri dirasakan oleh pasien dalam waktu 0,1 detik setelah diberikan
stimulus. Nyeri penusukan AVF digambarkan sebagai salah satu nyeri tusuk.
Rangsangan nyeri yang dirasakan oleh pasien saat penusukan akan diantarkan ke
system saraf pusat oleh ujung saraf bebas yang tersebar diseluruh permukaan
superfisial kulit dan juga di jaringan. Meskipun semua reseptor nyeri merupakan

ujung serabut saraf bebas dalam menjalankan sinyal rasa nyeri ke sisitem saraf
pusat, ujung-ujung serabut saraf ini menggunakan dua jaras yang terpisah
berdasarkan tipe nyeri yang diterima oleh pasien. Sinyal nyeri tajam yang cepat
dirangsang oleh stimuli mekanik atau suhu, sinyal ini dijalarkan melalui saraf
perifer ke medula spinalis oleh serabut-serabut kecil tipe A pada kecepatan
perjalanan sampai 30 m/detik. Sebaliknya, tipe rasa nyeri lambat khususnya

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


119

dirangsang oleh stimuli nyeri tipe kimiawi tetapi juga oleh stimuli mekanik dan
suhu yang menetap, nyeri lambat kronik ini dijalarkan oleh serabut tipe C dengan
kecepatan perjalanan antara 0,5 sampai 2 m/detik (Perry & Potter, 2005 dan
Sherwood, 2012).

Peran perawat untuk mengatasi masalah nyeri pada pasien adalah dengan
memberikan asuhan keperawatan yang cepat dan tepat sehingga pasien dapat
merasakan nyeri yang minimal. Salah satu asuhan keperawatan yang dilakukan
untuk mengatasi nyeri yaitu dengan memberikan terapi farmakologi dan terapi
non farmakologi. Salah satu terapi non farmakologi yang dapat diterapkan oleh
perawat hemodialisis untuk mengatasi nyeri saat penusukan akses vaskuler adalah
dengan memberikan cryotherapy (Asmaa et al, 2012).

Cryotherapy merupakan salah satu terapi non farmakologis dengan menggunakan


terapi suhu dingin lokal untuk mengurangi rasa sakit. Penggunaan Cryotherapy
bertujuan untuk menstimulasi serabut-serabut syaraf dengan menstransmisikan
sensasi tidak nyeri dengan memblok atau menghambat transmisi impuls nyeri
(Sabitha et al, 2008). Kelebihan dari Cryotherapy untuk diterapkan pada pasien
yang menjalani hemodialisis adalah mudah untuk diaplikasikan, aman untuk
digunakan dan pasien dapat berlatih untuk menerapkan cryotherapy secara
mandiri (Smyth, 2009).

Cryotherapy adalah intervensi teraupetik yang dapat dilakukan pada tubuh yang
dapat mengakibatkan penurunan suhu jaringan. Efek dari cryoterapi dapat
menurunkan aliran darah ke jaringan akibat dari adanya vasokonstriksi pembuluh
darah, menurunkan metabolisme jaringan, menurunkan penggunaan oksigen,
peradangan dan spasme otot sehingga mengakibatkan berkurangnya pelepasan
mediator kimia penyebab nyeri seperti kalium, prostaglandin, histamin yang dapat
mengakibatkan berkurangnya rasa nyeri. Penggunaan cryoterapi bersifat lokal
sehingga tidak berpengaruh besar terhadap sistem hemodinamika tubuh, sehingga
penggunaan cryotherapi bermanfaat untuk mengurangi nyeri yang dapat juga

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


120

bersifat terlokalisasi (Nadler dan Kruse, 2004). Tetapi pada penusukan AV Fistulat
penggunaan cryotherapy tidak menimbulkan efek vasikonstriksi pembuluh darah,
karena pada AV Fistula pembuluh darah atau akses vaskuler yang digubakan
sudah mengalami dilatasi pembuluh darah dan memiliki aliran darah vena dan
arteri yang besar sehingga vasokonstriksi tidak terjadi.

Teknik cryoterapy yang diberikan pada pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan
hemodialisis, dengan menggunakan kompres batu es besar yang dikompreskan
pada area tempat penusukan akses vaskuler arteriovena fistula secara langsung
selama 10-15 menit sebelum penusukan berlangsung. Penelitian yang dilakukan
oleh Nadler dan Kruse (2004) menyatakan bahwa kompres es secara langsung
pada akses vaskuler AV Fistula lebih efektif menurunkan nyeri dibandingkan
dengan kompres menggunakan ice cube (kantong es). Penilaian kualitas nyeri
penusukan AV Fistula dilakukan sesaat setelah penusukan berlangsung, dimana
pada kelompok intervensi sebelum penusukan AV Fistula dilakukan cryotherapy
dengan kompres batu es selama 10-15 menit. Penilaian kualitas nyeri dilakukan
dengan menggunakan skala Visual Analog Scale (VAS) untuk nyeri dan dengan
mengobservasi wajah pasien terhadap nyeri sebagai tanda gejala secara objektif
dengan menggunakan Wong baker Faces Pain rating Scale.

Efek dan manfaat Cryotherapy yang diberikan pada pasien Hemodialisis saat
penusukan AV Fistula juga mengaktifkan gerbang kendali nyeri sehingga nyeri
menjadi teralihkan (teori Gerbang kendali nyeri/Teori Gate Control). Teori
gerbang kendali nyeri ini merupakan proses dimana terjadi interaksi antara
stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang mengirim sensasi tidak

nyeri memblok transmisi impuls nyeri melalui sirkuit gerbang penghambat


(Taylor, 2005). Sel-sel inhibitor dalam kornu dorsalis medula spinalis
mengandung eukafalin yang menghambat transmisi nyeri dan terjadi interkoneksi
antara sistem neural desenden dan traktus sensori asenden. Traktus asenden
berakhir pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls
dipancarkan ke korteks serebri. Interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis yang

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


121

ketika diaktifkan, menghambat atau memutuskan transmisi informasi yang


menyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dari jaras ascenden (Taylor, 2005;
Smeltzer dan Bare, 2008).

Bersadarkan journal of American Science 2012, dengan judul jurnal the impact of
cryotherapy on pain intensity at puncture sites of arteriovenous fistula among
childrend undergoing hemodialysis. Mengatakan bahwa pemberian cryotherapy
efektif untuk menurunkan intensitas nyeri yang terjadi pada pasien anak-anak
yang diberikan penusukan arteriovenous fistula (Asmaa et al, 2012). Jurnal
penelitian terkait yang berjudul effect of cryotheraphy on arteriovenous fistula
puncture-related pain in hemodialysis patiens. Didapatkan hasil bahwa
cryotheraphy berpengaruh secara signifikan (p 0.001) untuk menurunkan skala
nyeri objective dan subjektif pada pasien yang menjalani penusukan AVF saat
dilakukan hemodialisa (Sabitha et al, 2008).

4.3 Pembahasan Penerapan Kegiatan Inovasi Booklet Manajemen


Hemodialisis pada Pasien Penyakit Ginjal Tahap Akhir
4.3.1 Analisa Penerapan Inovasi

Analisa penerapan inovasi tentang pemberian informasi mengenai manajemen


hemodialisis pasien penyakit ginjal tahap akhir melalui pemberian booklet yang
diberikan oleh kelompok selama praktik residensi dilakukan dengan
menggunakan analisa SWOT untuk mengetahui sejauh mana penerapan program
inovasi berjalan dengan baik. Analisa SWOT yang dapat dirumuskan adalah
sebagai berikut :
1. Strenghth (Kekuatan)
Kekuatan meliputi :
a. RSUP fatmawati menjadi sentral rujukan tindakan hemodialisis pasien
dengan penyakit ginjal terminal disekitar Jakarta, Bogor, Tanggerang dan
Depok
b. RSUP Fatmawati mempunyai program-program pengembangan kualitas
pelayanan asuhan keperawatan seperti penerapan intervensi keperawatan

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


122

berbasis evidence based practice (EBP) yang saat ini dalam proses
pengembangan
c. Instalasi Hemodialisis memiliki 21 orang perawat dengan tingkat
pendididkan D3 keperawatan dan S1 keperawatan
d. Semua sumberdaya perawat sudah mengikuti dan mendapatkan sertifikat
pelatihan hemodialisis; memiliki tim kerja yang kompak yang sudah
dibagi menjadi tim dan sudah terdapat perawat penanggung jawab
sebagai Primary Nurse (PN)
e. Rata-rata tingkat pendidikan pasien sudah memiliki tingkat pendidikan
menengah dan tinggi.
Wieakness (Kelemahan)
Kelemahan meliputi :
Instalasi hemodialisis belum memiliki SOP edukasi manajemen hemodialisis,
instalasi hemodialisis belum memiliki tim edukasi tentang manajemen dan
permasalahan hemodialisis
Pemberian edukasi dan informasi kepada pasien hemodialisis diberikan secara
langsung ketika pasien bertanya dan belum terstruktur
Kurangnya pemanfaatan edukasi kelompok oleh pasien dan keluarga, di unit
hemodialisis belum terdapat fasilitas (Media) yang mendukung edukasi tentang
hemodialisis.
Oportunity (Kesempatan)
Kesempatannya meliputi :
Di unit hemodialisa terdapat ruang edukasi yang dapat digunakan sebagai tempat
untuk konsultasi keluarga pasien.
Pasien dan keluarga kooperatif dengan semua pemeriksaan dan tindakan

keperawatan yang dilakukan selama proses hemodialisis


c. Ruangan hemodialisa kondusif dan nyaman dengan 20 mesin
hemodialisis yang digunakan
d. Dialiser yang digunakan single use (sekali pakai) sehingga kualitas hidup
pasien lebih meningkat dan mencegah resiko infeksi nosokomial.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


123

e. Adanya dukungan baik dari ruangan dan penentu kebijakan untuk


melakukan perubahan, sebagai upaya peningkatan kualitas asuhan
keperawatan.
4. Threat (Ancaman)
Ancamannya meliputi
a. Tuntutan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan
Penyelenggara jaminan sosial (BPJS) 2014
Beban biaya yang harus ditanggung RS dalam pengadaan booklet
Tingginya daftar antrian pasien untuk mendapatkan terapi hemodialisis
Tuntutan Rumah sakit tetap melaksanakan JCI

4.3.2 Pembahasan Hasil Penerapan Inovasi

Berdasarkan fenomena yang praktikan temui di instalasi Hemodialisis RSUP


Fatmawati Jakarta bahwa kepatuhan pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan
hemodialisis tentang penatalaksanaan manajemen hemodialisis sangat rendah.
Penelitian yang dilakukan oleh Lee & Mollasiotis (2002) mengungkapkan hampir
sebagian besar pasien tidak mematuhi pengaturan makan atau diit, asupan cairan,
gaya hidup dan program pengobatan. Ketidakpatuhan terhadap manajemen
hemodialisis dapat menjadi salah satu hambatan tercapainya kondisi yang optimal
dan dapat menurunkan kualitas hidup psien dengan penyakit ginjal tahap akhir.

Manajemen hemodialisis yang diperlukan pada pasien penyakit ginjal tahap akhir
terdiri dari manajemen cairan dengan menjaga keseimbangan dan mengontrol
haus, manajemen diit dengan makan makanan sesuai anjuran dan latihan fisik
serta program pengobatan. Ketidakpatuhan manajemen hemodialisis pada pasien

PGTA dapat disebabkan karena ketidaktahuan yang disebabkan kurangnya


informasi yang diterima pasien. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan edukasi
untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan memberikan motivasi serta
semangat pasien meningkatkan kepatuhan terhadap manajemen hemodialisis.
Edukasi yang diberikan oleh perawat juga dapat meningkatkan kemandirian untuk
mematuhi manajemen hemodialisis sehingga kualitas hidup pasien meningkat

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


124

yang ditandai pasien dapat mengendalikan gaya hidup yang sehat dan termotivasi
untuk menjadi mitra perawat serta mematuhi regimen terapeutik (Tsay & Hung,
2004). Edukasi yang diberikan oleh praktikan dan kelompok melalui pemberian
booklet manajemen hemodialisis.

Pelaksanaan inovasi manajemen hemodialisis dengan menggunakan booklet ini


dilakukan dengan menyampaikan materi dan cara melakukan pencatatan secara
langsung kepada pasien dan keluarganya selama 15-30 menit. Dan evaluasi
terhadap pengetahuan dan kemampuan pasien melakukan pencatatan dilakukan 1
minggu setelah pemberian booklet. Dari hasil evaluasi didapatkan bahwa evaluasi
tentang pengetahuan dan pemahaman pasien didapatkan bahwa dari 20 pasien
yang dilakukan evaluasi, terdapat sebanyak 50% pasien sudah memahami dan
mampu menjelaskan kembali manajemen pasien hemodialisis sesuai dengan isi
booklet yang diberikan. Evaluasi terhadap pencatatan, dari 20 pasien terdapat
sebanyak 90% pasien membawa kembali booklet dan mengisi data tentag dirinya
saat menjalani hemodialisis.

Berdasarkan hasil evaluasi dari eduaksi dengan pemberian booklet yang dilakukan
oleh praktikan bersama kelompok menunjukkan bahwa tujuan pemberian edukasi
tercapai dengan maksimal. Tujuan edukasi keperawatan seperti yang disampaikan
Setiawati (2008) adalah untuk mmempertahankan status kesehatan, mencegah
timbulnya penyakit dan masalah kesehatan serta membantu memaksimalkan peran
dan fungsi pasien selama sakit serta mengatasi masalah kesehatan pasien.

Dari hasil evaluasi tersebut juga dapat disimpulkan pula rata-rata pasien
mengalami peningkatan pengetahuan. Dimana sebelum pemberian materi dan
booklet rata-rata pasien berada pada kondisi tidak bisa melakukan manajemen
hemodialisis dan merubah kebiasaan sedangkan pada saat evaluasi rata-rata pasien
mampu melaksanakan perubahan dan termotivasi untuk melakukan perubahan.
Dibuktikan dengan pasien menyatakan mengikuti aturan diit sesuai anjuran dan

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


125

mampu membatasi mimun seta kenaikan berat badan diantara waktu hemodialisis
berkisar 1-2 kg.

Berdasarkan hasil penerapan manajemen hemodialisis dengan menggunakan


media booklet terbukti efektif dan bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan
dan motivasi pasien untuk mematuhi dan menerapkan manajemen hemodialisis.
Lingerfelt & Thornton (2011) menyatakan setelah diberikan edukasi pasien
penyakit ginjal tahap akhir menunjukkan peningkatan terhadap pengetahuan
dengan nilai p value 0.000. Inovasi yang dilakukan kelompok dengan edukasi
manajemen hemodialisis dengan pemberian booklet sangat bermanfaat bagi
pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis dalam mendapatkan
informasi dan meningkatkan pengetahuan dalam melaksanakan manajemen
hemodialisis secara mandiri. Booklet yang kelompok buat dapat digunakan oleh
semua pasien yang menjalani hemodialisis karena memuat materi tentang
manajemen hemodialisis yang menggunakan bahas yang mudah dipahami. Selain
itu bookleyt ini juga dapat digunakan sebagai catatan untuk memantau kondisi
pasien dan keseimbangan cairan tubuh ketika melaksanakan terapi hemodialisis
karena di dalam booklet ini juga disediakan kolom pencatatan hasil pemeriksaan
tekanan darah, berat badan baik sebelulm maupun setelah hemodialisis, dan hasil
pemeriksaan laboratorium terkait hemoglobin, ureun dan kreatinin.

Untuk mengembangkan dan menjadikan booklet ini sebagai media dalam


memberikan edukasi tentang manajemen hemodialisis diperlukan komitmen dari
berbagai pihak yang terkait dalam hal ini adalah pemegang kebijakan
(komite
keperawtan,
IP2K gedungkepala instansi serta
Bougenvile IP2Kkepala
gedungruang
Bougenvile dan manajerIP2K
unit hemodialisis keperawatan
gedung
Bougenvile) untuk memperbanyak dan menjadikan media edukasi pada pasien
penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis baik yang dirawat maupun yang
menjalani rawat jalan.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


126

BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN

Bab ini menguraikan simpulan dan saran analisis pengalaman praktik residensi
spesialis keperawatan dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai pemberi
asuhan keperawatan, berdasarkan degan aplikasi penerapan asuhan keperawatan
dengan pendekatan Teori Adaptasi Roy pada pasien dengan gangguan sistem
perkemihan, penerapan intervensi keperawatan berdasarkan pembuktian ilmiah
(evidence based nursing) dan pelaksanaan program inovasi keperawatan.

5.1 Simpulan
5.1.1 Penerapan Teori Adaptasi Roy dalam Pemberian Asuhan Keperawatan

Teori Adaptasi Roy dapat diterapkan pada asuhan keperawatan pasien dengan
gangguan sistem perkemihan, karena pada gangguan sistem perkemihan memiliki
prognosa penyakit dengan awitan yang panjang dan penatalaksanaan keperawatan
dan pengobatan yang komplek dan dapat berlangsung seumur hidup. Pada
gangguan sistem perkemihan memerlukan berbagai adaptasi terhadap semua
aspek kebutuhan dari pasien, yaitu meliputi pemenuhan kebutuhan fisik, konsep
diri, peran dan fungsi interdependensi. Dengan penerapan Teori Adaptasi Roy ini
diharapkan pasien mampu beradaptasi dengan prognosa penyakitnya, perawatan
dan pengobatan yang komplek dan membut,hkan penanganan yang lama seperti
pelaksanaan dialisis yang harus dijalan pasien seumur hidup.

5.1.2 Pada praktek keperawatan berdasarkan pembuktian ilmiah


Berdasarkan perlaksanaan intervensi dan praktek keperawatan berdasarkan
pembuktian ilmiah didapatkan bahwa menerapan EBN Cryotherapy penusukan
akses vaskuler arteriovena fistula di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati
dapat mengurangi nyeri pasien saat dilakukan penusukan akses vaskuler
arteriovena fistula hingga 50 %. Pasien menyatakan rasa sakit saat penusukan
lebih berkurang dan pasien merasakan lebih nyaman.

126

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


127

5.1.3 Pelaksanaan kegiatan inovasi merupakan pengembangan metode intervensi


atau sarana prasarana (dapat berupa modifikasi metode yang sudah ada atau
menciptakan metode baru) dalam pemberian asuhan dan praktek keperawatan
yang disusun berdasarkan fenomena yang ditemukan pada lahan praktek yang
disesuaikan dengan kebutuhan ruangan, yang dikembangkan melalui proses
journal reading dan study literature. Proyek inovasi yang dilakukan praktikan
adalah pemberian booklet manajemen hemodialisis kepada pasien penyakit ginjal
tahap akhir yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP
Fatmawati.

5.2 Saran
Saran yang dapat penulis berikan ketika menjadi praktikan dalam praktik residensi
keperawatan medikal bedah meliputi :
5.2.1 Teori Adaptasi Roy hendaknya dapat diterapkan dan dikembangan dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem
perkemihan pada seluruh kasus.

5.2.2 Diharapkan dalam penerapan intervensi keperawatan mandiri dilaksanakan


berdasarkan pembuktian ilmiah dengan mengaplikasikan EBN sebagai salah satu
acuan dalam pelaksanaan intervensi keperawatan yang berguna dalam
meningkatkan kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien.

5.2.3 Diharapkan penerapan program inovasi yang sudah diterapkan dan


dilakukan analisis dapat terus dipergunakan sebagai media untuk meningkakan
pengetahuan pasien tentang manajemen hemodialisis dan dapat dijadikan
pedoman untuk pengembangan dan meningkatkan asuhan keperawatan yang
diberikan kepada pasien, khususnya pasien penyakit ginjal teminal yang
mendapatkan terapi hemodialisis.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


128

DAFTAR PUSTAKA

Alligood, M. R., & Tomey, A. M. (2010). Nursing theory : Utilization and


application (4rd edition). St. Louis: Elsevier.

Barnett, T., Yoong L., Pinikahana J. & Yen S.T. (2008). Fluid compliance among
patients having haemodialysis: can an educational programme make a
difference?. Journal Advabced Nursing. Vol. 61(3)

Black, J.M & Hawks, J.H. (2009). Medical surgical nursing clinical management
for positive outcome (8th ed). St. Louis : Elsevier.

Casper, Brand, Veerman, Korevar, Benz , Bezemer, et al. (2005). Chewing gum
and a saliva subtitute alleviate thirst and xerostomia in patients on
hemodialysis. Nephrology Dialysis Transplantation 20 : 578-584.

Chitokas, Noreen, Gunderman, Annette, Oman, &Terina. (2006). Uremic


syndrome and end stage renal disease : physical manifestations and
beyond. Journal or the American Academy of Nurse Pratitioners, 2006
(18), proquest nursing & allied health source : 195

Dias, T.S., Neto, M.M, &Da Costa, C. J.A,. ( 2008). Arteriovenous fistula
puncture : an essessntial factor for hemodialysis efficiency.Informa Health
Care Renal Failure, 2008. 30: 870-876. Diperoleh dari
http://www.proquest.com

Go, A.S, Chertow, G. M, & Fan, D. (2004). Chronic kidney disease and the risks
of death, cardiovasculer, events, and hospitalization. The new england
journal of medicine, 351 (13), 1296-1308.

KDOQI. (2006). Updates Clinical Practice Guidelines and Recommendations for


Hemodialysis Adequacy 2006, Peritoneal Dialysis Adequacy 2006 and
Vascular Access 2006. USA: National Kidney Foundation, Inc.

Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. (2008). Fundamental of Nursing:
concepts, process, and practice. California: Prentice Hall.

Lindley, E., Aspinall, L., Gardinier, C., & Garthwaite. (2011). Management of
Fluid Status. Diunduh di www.intechopen.com

Hassan, Darwish, Samman & Fadel. (2012). The impact of cryotherapy on pain
intensity at puncture sites of arteriovenous fistula among children undergoing
hemodialysis. Journal of American science. 2012; 8 (12).

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


129

Herdman. (2012). Diagnosis keperawatan : definisi dan klasifikasi 2012-2014.


Jakarta : EGC.

Ignativius, D.D & Workman, L.M. (2006). Medical surgical mursing critical
thingking for collaboration care (5th). St Louis Elsevier

Johnson, J.Y. (2010). Hand book brunner & suddarth’s text book of medical
surgical nursing (11th ed). Wolter kluwer health : Lippincott williams &
wilkins

Nadler dan Kruse. (2004). The Physiologic basis and clinical applications of
Cryotherapy and Thermotherapy for the pain practitioner. Journal of pain
Physician, (2004) : 395-399, ISSN 1533-3159

Perhimpunan nefrologia Indonesia (pernefri). (2003). Konsensus dialisis. Naskah


tidak dipublikasikan

Perry, A.P. & Potter, A.G. (2005). Fundamentals of Nursing. (7th Edition). Alih
bahasa : Andrina Ferderika. Jakarta : Salemba medika

Potter, A.P. & Perry, A.G. (2009). Fundamentals of Nursing. (8th Edition).
Australia: Elsevier Inc .

Phillips,K.D. (2006). Sister Calista Roy : Adaptation Model Dalam Tomey , A.N,
Alligood, M.R (editor), Nursing Theorist and their work. St. Louis
Missouri : Mosby

Price, S.,A., & Wilson, L.,M. (2007). Fisiologi Proses-Proses Penyakit. Alih
bahasa oleh Peter Anugrah. Jakarta: EGC.

Purnomo, B.B. (2011). Dasar-dasar Urologi. Jakarta: CV Sagung Seto.

Robinson, J & Burghardt , J.C. (2012). Lippincott’s review for medical nursing
certification (5th ed). Philladelphia : Lippincott williams & wilkins

Roy, C. & Andrew, H. (1999). The Roy Adaptation Model. New Jersey: Prentice
Hall.

Sabitha et al. (2008). Effect of cryotherapy on erteriovenous fistula puncture-


related pain in hemodialysis patient. Indian journal of vephrology. Volume
18. Issue 4.

Setiawati. (2008). Proses pembelajaran dalam pendidikan kesehatan. Jakarta :


Salemba Medika

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


130

Sherwood, L. (2012). Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Alih Bahasa oleh
Pendit, B. Jakarta: EGC

Smeltzer & Bare. (2008). Textbook of medical surgical nursing (11th ed).
Philladelphia : Lippincott williams & wilkins.

Smyth, J. (2009). Cryotherapy or cold theraphy. Available. At: http:/www.


Articlesbase.com/health. Accesses at : 11/05/2013.

Suhardjono. (2013). Penyakit ginjal kronik, dampak dan penanganannya. Seminar


nasional perhimpunan nefrologi Indonesia : naskah tidak dipublikasikan.
Starkey. (2004). Therapeutic Modalities. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.

Taylor, L.C. & Le Mone, P.( 2005). Fundamental of Nursing: The Art and
Science of Nursing Care. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Timby, B.K & Smith, N.E. (2010). Introductory medical-surgical nursing (10th
ed) : Wolters kluwer health : lippincott williams & wilkins
Torrace C & Serginson E. (1997). Surgical Nursing. Bridgend, midglamorgan:
WBC book Manufactures Ltd.

Tsay, S.L. & Lee, Y.H. (2005). Effect of an Adaptation Training Programme for
Patients with End Stage Renal Disease. Journal of Advanced Nursing.
Votroubek &Tobacco, RN. (2010). Pediatric Home Care for Nurses: A Family-
Centered Approach. _:Jones& Bartlett Learning.

Williams, L.S & Hopper, P.D. (2007). Understanding medical surgical nursing
(3th ed) : FA Davis company.

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 131 -

Lampiran 1

RESUME ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN

DENGAN PENDEKATAN TEORI ADAPTASI ROY

NO. Identitas Pasien Keluhan Utama Pengkajian Aspek Spesifik teori Model

KASUS KEGAWATAN

1. Tn. RH (47 th) laki- Diagnosa medis : CKD stage V Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
laki, agama islam, dengan overload. Keluhan utama : 180/90 mmHg, nadi : 90 x/menit, frekuensi napas kelebihan volume cairan, gangguan pola
status menikah, suku sesak napas sejak 3 bulan sebelum : 28 x/menit, suhu : 36,50C. Kesadaran napas, ketidakseimbangan nutrisi kurang
jawa, pendidikan masuk rumah sakit (SMRS) dan composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak dari kebutuhan, ketidakpatuhan
tamat perguruan badan makin lama makin bengkak, iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas
tinggi, pekerjaan edema sejak 1 bulan SMRS. Pasien vesikuler, Ronchi (+), whezzing (-), CRT > 3 Intervensi : fluid management, fluid
swasta. mengetahui menderita penyakit ginjal detik dan tampak pucat, JVP 5+2 cmH2O, edema monitoring, nutrition management, coping
sejak 3 bulan yang lalu. Pasien sulit anasarka, derajat pitting edema : derajat 3,
enhancement, teaching individual and
tidur karena sesak dan tidur dengan kemaluan edema (skrotum dan penis edema),
family.
posisi duduk. Batuk (-), pilek (-). ascites dengan lingkar perut 132 cm. Pemeriksaan
Nafsu makan menurun karena mual, laboratorium : hemoglobin : 4,9 mg/dl, , ureum
tidak ada muntah, pasien belum 310 mg/dl, creatinin 13,3 mg/dl, GDS : 143
membatasi minum dan dalam sehari mg/dl. Pemeriksaan analisa gas darah (AGD) : Evaluasi : setelah 2 hari perawatan diruang
kira-kira minum 1000-1500 ml air. pH : 7,049; PCO2 : 31,2; PO2 46,1; BP 750; IGD pasien masih sesak napas dengan
Pasien dalam 5 hari ini sulit untuk HCO3 : 8,4; O2 saturasi 64; BE -21; total CO2
Frekuensi napas : 28 x/menit, TD : 160/90
BAK karena kemaluan bengkah, 9,4. Elektrolit : natrium : 128 mmol/l, kalium :
mmHg, nadi : 92 x/menit. Jumlah output
jumlah urin mulai menurun. Pasien 6,07 mmol/l; clorida 112 mmol/l.
memiliki riwayat penyakit DM dan
urin dalam 24 jam : 800 cc (dengan
Hipertensi sejak 3 tahun yang lalu. pemasangan kateter dan lasik drip 6 x 40
mg/24 jam). Masih terdapat mual dan tidak
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
ada muntah. Nafsu makan masih kurang
hipertensi dan DM, residual : ketidakpatuhan
makan hanya habis 3 sendok makan
terhadap restriksi cairan.
dengan frekuensi makan 3 kali sehari. Pada

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 132 -

hari kedua pasien dipindahkan k e ruang


perawatan High Care unit (HCU) lantai 5
selatan

2. Tn. AK (59 th), laki Diagnosa medis : CKD stage V on Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
laki, agama islam, HD Overload, CHF Keluhan utama : 170/80 mmHg, nadi : 114 x/menit, frekuensi gangguan pola napas, kelebihan volume
status : menikah, Sesak dan Nyeri dada. Pasien sesak napas : 28 x/menit, suhu : 36,50C. Kesadaran cairan, Nyeri akut, ketidakseimbangan
suku jawa, memberat 6 hari SMRS dan sudah composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak nutrisi kurang dari kebutuhan,
pendidikan terakhir : dibawa ke IGD RSUP Fatmawati 6 iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas
ketidakpatuhan
tamat SMP, hari yang lalu tetapi pulang paksa. vesikuler, Ronchi (+), whezzing (+) saat
pekerjaan : tidak Kemudian di rumah kambuh kembali ekspirasi, CRT < 3 detik, JVP 5+2 cmH2O, Intervensi : pain management, fluid
bekerja. dan 3 hari yang lalu disertai Nyeri edema pada kedua ekstremitas bawah dengan management, fluid monitoring, nutritiin
dada dengan intensitas nyeri hilang derajat pitting edema derajat 3, tidak ada ascites.
management, coping enhancement,
timbul, skala nyeri dada 4-5 Pemeriksaan laboratorium : hemoglobin : 7,2
meningkat jika digunakan untuk
teaching individual and family.
mg/dl, , ureum 220 mg/dl, creatinin 12,5 mg/dl,
aktivitas dan berkurang dengan napas GDS : 59 mg/dl. Pemeriksaan analisa gas darah
dalam dan istirahat tidur. Batuk (+), (AGD) : pH : 7,376; PCO2 : 19,2; PO2 138,3; BP
pasien sulit tidur dan sering 751; HCO3 : 8,4; O2 saturasi 11; BE 98,8; total Evaluasi : setelah 2 hari perawatan diruang
terbangun saat nyeri dada meningkat. CO2 11,6. Elektrolit : natrium : 136 mmol/l, IGD pasien masih sesak napas dengan
Pasien mengetahui sakit ginjal sejak kalium : 4,45 mmol/l; clorida 109 mmol/l. CK
Frekuensi napas : 24 x/menit, TD : 160/80
1 tahun yang lalu dan mengatakan 107 U/L, CKMB 28 U/L
sulit untuk membetasi minum
mmHg, nadi : 102 x/menit. Jumlah output
meskipun sudah berusaha untuk urin dalam 24 jam : 800 cc (dengan
minum sedikit sesuai anjuran. Jumlah pemasangan kateter dan lasik drip 2 x 40
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
minum dalam sehari ± 1200 cc/ 24 mg/24 jam). Nyeri dada berkurang dengan
CHF dan DM, residual : ketidakpatuhan terhadap
jam. Pasien HD rutin 2 x/minggu. skala nyeri 3-4, sifat masih hilang timbul..
restriksi cairan.
Jumlah urin dalam sehari ± 700 - 800 Pada hari kedua pasien dipindahkan ke
cc/24 jam. Pasien memiliki riwayat ruang perawatan lantai 5 Utara.
CHF dan DM tipe 2 sejak ± 9 tahun
yang lalu dan berobat tidak rutin.

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 133 -

3. Tn. MA (61 tahun), Diagnosa medis : CKD stage V on Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
laki-laki, agama HD Overload, Hipertensi Urgency, 200/100 mmHg, nadi : 110 x/menit, frekuensi gangguan pola napas, kelebihan volume
islam, suku : sunda, ACS NStemi Keluhan utama : Sesak napas : 32 x/menit, suhu : 36,5 0C. Kesadaran cairan, Nyeri akut, ketidakpatuhan
pendidikan : tamat berat sejak 1 hari SMRS dengan composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
SMP, tidak bekerja Nyeri dada dengan intensitas nyeri iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas Intervensi : pain managem ent, fluid
hilang timbul (kadang-kadang), skala vesikuler, Ronchi (+), whezzing (+) saat management, fluid monitoring, nutrition
nyeri dada 3-4 meningkat jika ekspirasi, CRT > 3 detik, tampak pucat, akral management, coping enhancement,
digunakan untuk aktivitas dan dingin, JVP 5+0 cmH2O, edema pada ekstremitas teaching individual and family.
berkurang dengan napas dalam dan bawah dengan derajat pitting edema pada derajat
istirahat tidur. Pasien mengetahui 2, tidak ada ascites. Pemeriksaan laboratorium :
sakit ginjal sejak 10 tahun yang lalu hemoglobin : 9,1 mg/dl, , ureum 161 mg/dl,
dan mengatakan sulit untuk creatinin 11 mg/dl, GDS : 254 mg/dl. Evaluasi : setelah 2 hari perawatan diruang
membatasi minum meskipun sudah Pemeriksaan analisa gas darah (AGD) : pH : IGD pasien masih sesak napas dengan
berusaha untuk minum sedikit sesuai 7,166; PCO2 : 32; PO2 : 65,6; BP 749; HCO3 : Frekuensi napas : 24 x/menit, TD : 210/100
anjuran. Jumlah minum dalam sehari 11,3; O2 saturasi 87,6; BE -16; total CO2 12,3. mmHg, nadi : 102 x/menit. Jumlah output
± 1200 cc/ 24 jam. Pasien HD rutin 2 Elektrolit : natrium : 136 mmol/l, kalium : 4,24
urin dalam 24 jam : 800 cc (dengan
x/minggu. Jumlah urin dalam mmol/l; clorida 105 mmol/l. CK 256 U/L, CKMB
pemasangan kateter dan lasik drip 5 mg/
sehari 42 U/L
± 700 - 800 cc/24 jam. Pasien jam). Nyeri dada berkurang dengan skala
memiliki riwayat CHF dan DM tipe 2 nyeri 2-3, sifat masih hilang timbul.. Pada
sejak ± 10 tahun yang lalu dan hari kedua pasien dipindahkan ke ruang
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
berobat rutin. Obat yang diminum perawatan lantai 5 Utara.
CHF dan DM, residual : ketidakpatuhan terhadap
ISDN, Lasik, Ascardia dan Captopril
restriksi cairan
25 mg.

RENAL DISEASE

4. Ny. AA, 82 tahun, Diagnosa Medis : CKD Stage V, Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
perempuan, islam, CHF, DM Tipe 2 keluhan utama : 160/80 mmHg, nadi : 95 x/menit, frekuensi napas gangguan pola napas, kelebihan volume
janda, suku sunda, sesak napas berat sejak 2 minggu : 40 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
pendidikan : tamat yang lalu SMRS, 4 hari SMRS sudah composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
SD, tidak bekerja pernah dirawat di RS Bekasi selama iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas Intervensi : pain management, fluid

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 134 -

3 hari dan pulang paksa kemudian vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3 management, fluid monitoring, nutrition
saat perjalanan pulang sesak detik, tampak pucat, akral dingin, JVP 5+2 management, manajemen energi, coping
meningkat sehingga dibawa ke RSUP cmH2O, edema pada ekstremitas bawah dengan enhancement, teaching individual and
Fatmawati. derajat pitting edema pada derajat 2, ascites family.
dengan lingkar perut 136 cm. Anjuran diet DM
Saat pengkajian pasien mengeluh Ginjal 1500 Kkal/Hari, dengan restriksi cairan
sesak napas dan badan lemas. Pasien 600-800 cc/hari
juga mengatakan sudah pasrah Evaluasi : setelah 5 hari perawatan di ruang
dengan penyakitnya dan tidak mau
penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
dilakukan cuci darah karena takut
sesak napas sudah berkurang Frekuensi
dan tidak mau merepotkan anak-
napas : 22 x/menit, TD : 160/80 mmHg,
anaknya
Pemeriksaan laboratorium (19/09/2013) : nadi : 88 x/menit. Jumlah output urin
hemoglobin : 10,7 mg/dl, , ureum 135 mg/dl, tampung dalam 24 jam : 800 cc (dengan
creatinin 11,3 mg/dl, GDS : 123 mg/dl.
lasik drip 40 mg/ 24 jam. pasien tetap tidak
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
menghendaki untuk dilakukan cuci darah.
(19/09/2013) : pH : 7,295; PCO2 : 21,8; PO2 :
107,3; BP 753; HCO3 : 10,4; O2 saturasi 97,5; Dan pasien menginginkan pulang meski
BE -13,8; total CO2 11. Elektrolit : natrium : 136 belum diijinkan. Pasien pulang pada hari
mmol/l, kalium : 4,24 mmol/l; clorida 105 ke-6 atas permintaan sendiri.hasil evaluasi
mmol/l. diperoleh perilaku pada model fisiologis
cairan dan elektrolit adaptif setelah 6 hari
Pemeriksaan Foto Thorak (19/09/2013) : perawatan, sedangkan perilaku pada mode
kardiomegali dengan aorta kalsifikasi & elongasi
konsep diri, fungsi peran dan
disertai tanda bedungan paru.
interdependensi belum adaptif.
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
CHF dan DM, residual : ketidakpatuhan terhadap
restriksi cairan

5. Tn. AS, 55 th laki- Diagnosa Medis : CKD Stage V, CHF Hasil pengkajian fisik didapatkan data : pasien Masalah keperawatan yang muncul:
laki, agama islam NYHA Clas III-IV keluhan utama : tampak sesak berat dan demam, TD : 140/80 gangguan pola napas, kelebihan volume
status menikah, suku sesak napas berat dan nyeri mmHg, nadi : 102 x/menit, frekuensi napas : 28 cairan, hipertermi, nyeri, cemas
sunda, pendidikan : pinggang sejak 2 minggu yang lalu x/menit, suhu : 38,50C. Pasien demam dan

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 135 -

tamat SLTA, SMRS, sesak berkurang jika duduk menggigil sejak malam ketika dipasang CDL, Intervensi : pain management, fluid
pekerjaan : Swasta dan sesak mengganggu aktivitas CDL terdapat rembesan darah segar, dan terdapat management, fluid monitoring, nutrition
fisik, pasien sering terbangun malam nyeri pada pemasangan CDL terasa seperti teriris, management, manajemen energi, coping
Masuk RS : 7 hari karena merasa sesak yang berat senut senut dengan skala nyeri pada skala 5,
september 2013
enhancement, teaching individu al
da langsung terbangun untuk duduk kesadaran composmentis konjungtiva anemis,
family.
akibat sesak. Pasien memiliki riwayat sklera tidak iketrik. Pasien tampak sesak napas
Pengkajian : 11
sakit DM sejak 2010 dan pernah berat, suara napas vesikuler, Ronchi (+),
september 2013
dirawat karena hipoglikemia. Pasien whezzing (-), bunyi jantung S1-II reguler.
juga memiliki riwayat hipertensi Murmur (-), gallop (-), CRT < 3 detik, tampak Evaluasi : setelah 5 hari perawatan di ruang
tidak terkontrol sejak 10 tahun. pucat, akral dingin, JVP 5+2 cmH2O, edema pada penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
Pasien juga merupakan perokok berat ekstremitas bawah dengan derajat pitting edema sesak napas sudah berkurang, nyeri di
sejak remaja ± 2 bungkus/hari dan pada derajat 3.. Anjuran diet Ginjal 1900
daerah insisi CDL sudah tidak terasa, dan
sudah berhenti mulai sakit ini. Kkal/Hari rendah garam, dengan restriksi cairan
darah sudah tidak merembes, Frekuensi
800 cc/hari.
Pasien baru terpasang CDL 2 hari napas : 22 x/menit, TD : 160/80 mmHg,
yang lalu dan sudah menjalani HD Jumlah urin tampung (24 jam tgl 12/09/2013) : nadi : 88 x/menit. Suhu : 37 0C, Jumlah
sebanyak 2 x. 800 cc output urin tampung dalam 24 jam : 800-
1000 cc (dengan lasik 3 x 40 mg/ 24 jam
Pemeriksaan laboratorium (07/09/2013) :
injeksi intravena). Pada hari ke-8
hemoglobin : 5,2 mg/dl, Ht : 16%, ureum 334
perawatan kondisi pasien makin membaik,
mg/dl, creatinin 18,9 mg/dl, GDS : 149 mg/dl.
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD) sesak napas berkurang RR : 22 x/menit,
(07/09/2013) : pH : 7,211; PCO2 : 16,5; PO2 : tidak terdapat demam dengan suhu :
135,73; BP 751; HCO3 : 6,5; O2 saturasi 98,2; 36,50C. Hasil evaluasi diperoleh perilaku
BE -18,8; total CO2 7,0 mmol/L. Elektrolit : pada model fisiologis cairan dan elektrolit
natrium : 142 mmol/l, kalium : 4,56 mmol/l; adaptif setelah hari ke 10 dan perilaku pada
clorida 90 mmol/l. mode konsep diri adaptif setelah hari ke-12
perawatan, pasien mangungkapkan sudah
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
siap untuk menjalani perawatan
CHF, residual : ketidakpatuhan terhadap restriksi
cairan penyakitnya dengan menggunakan terapi
hemodialisis seumur hidup.

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 136 -

6. Ny.SS, 57 th, Diagnosa Medis : CKD Stage V on Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
perempuan, islam, HD rutin, CHF kelas II-III keluhan 140/80 mmHg, nadi : 98 x/menit, frekuensi napas gangguan pola napas, kelebihan volume
status : menikah, utama : sesak napas berat terutama : 28 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
suku : betawi, saat tiduran, dan mengeluh perut composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
pendidikan : tamat buncit asites tidak kempes sudah 2 iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas Intervensi : fluid management, fluid
akademik, pekerjaan bulan. Kenaikan berat badan 5 kg. vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3 monitoring, nutrition management,
: PNS Pasien memiliki riwayat CKD sejak 2 detik, tampak pucat, akral dingin, JVP 5+2 manajemen energi, coping enhancement,
tahun yang lalu, dengan program HD cmH2O, edema pada ekstremitas bawah dengan teaching individual and family.
Masuk RS : rutin. Tetapi pasien sulit untuk derajat pitting edema pada derajat 2, ascites
5/09/2013 mengontrol minum dan masih sering dengan lingkar perut 136 cm. Anjuran diet Ginjal
minum air es 1600 Kkal/Hari, dengan restriksi cairan 600-800
Pengkajian :
cc/hari Evaluasi : setelah 5 hari perawatan di ruang
19/09/2013
penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
sesak napas sudah berkurang, tidak
Pemeriksaan laboratorium (19/09/2013) : terdapat edema pada ekstremitas bawah.
hemoglobin : 8,2 mg/dl, Ht : 25 mg/dl , ureum 86 Lingkar perut 130 masih terdapat ascites.
mg/dl, creatinin 4,3 mg/dl, GDS : 123 mg/dl. Frekuensi napas : 22 x/menit, TD : 160/80
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD) mmHg, nadi : 88 x/menit. Jumlah output
(19/09/2013) : pH : 7,295; PCO2 : 21,8; PO2 : urin tampung dalam 24 jam : 800 cc
107,3; BP 753; HCO3 : 10,4; O2 saturasi 97,5;
(dengan lasik drip 40 mg/24 jam. pasien
BE -13,8; total CO2 11. Elektrolit : natrium : 130
mendapatkan 3 kali terapi hemodialisis dan
mmol/l, kalium : 5,09 mmol/l; clorida 105
mmol/l. Kalsium : 7,99 mg/dl, magnesium : 2,20
hari ke 13 dianjurkan untuk pulang dan
mg/dl. melanjutkan terapi hemodialisis. Hasil
evaluasi diperoleh perilaku pada model
fisiologis cairan dan elektrolit adaptif
setelah hari ke 11, meskipun pasien masih
memerlukan pengawasan dari keluarga
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual : untuk mampu mengontrol minum dan
CHF dan DM, residual : ketidakpatuhan terhadap perilaku pada mode konsep diri adaptif
restriksi cairan setelah hari ke-12.

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 137 -

7. Ny. S, 58 tahun, Diagnosa Medis : CKD Stage V on Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
perempuan agama HD rutin, keluhan utama : sesak 150/80 mmHg, nadi : 88 x/menit, frekuensi napas gangguan pola napas, kelebihan volume
islam, status : napas berat terutama saat tiduran dan : 28 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
menikah suku : jawa, berkurang dengan duduk. Pasien composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
pendidikan: tamat memiliki riwayat CKD sejak 4 tahun iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas Intervensi : fluid management, fluid
SMA, pekerjaan : yang lalu, dengan program HD rutin. vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3 monitoring, nutrition management,
ibu Rumah Tangga Tetapi pasien sulit untuk mengontrol detik, tampak pucat, akral dingin, JVP 5+2 manajemen energi, coping enhancement,
minum dan masih sering minum air cmH2O, edema pada ekstremitas bawah dengan teaching individual and family.
es derajat pitting edema pada derajat 2, ascites
dengan lingkar perut 140 cm. Anjuran diet Ginjal
Masuk RS :
1700 Kkal/Hari, dengan restriksi cairan 600-800
20/09/2013
cc/hari Evaluasi : setelah 5 hari perawatan di ruang
Pengkajian : penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
20/09/2013 sesak napas sudah berkurang, tidak
Pemeriksaan laboratorium (20/09/2013) : terdapat edema pada ekstremitas bawah.
hemoglobin : 8,7 mg/dl, Ht : 23 mg/dl , ureum 98 Lingkar perut 130 masih terdapat ascites.
mg/dl, creatinin 7,8 mg/dl, GDS : 123 mg/dl. Frekuensi napas : 22 x/menit, TD : 160/80
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD) mmHg, nadi : 88 x/menit. Jumlah output
(20/09/2013) : pH : 7,115; PCO2 : 22,8; PO2 : urin tampung dalam 24 jam : 800 cc
107,3; BP 753; HCO3 : 10,4; O2 saturasi 97,5;
(dengan lasik drip 40 mg/ 24 jam. pasien
BE -13,8; total CO2 11. Elektrolit : natrium : 130
mendapatkan 3 kali terapi hemodialisis dan
mmol/l, kalium : 5,09 mmol/l; clorida 105
mmol/l. Kalsium : 7,99 mg/dl, magnesium : 2,20
dianjurkan untuk pulang pada hari ke 14
mg/dl. dan melanjutkan terapi hemodialisis. Hasil
evaluasi diperoleh perilaku pada model
fisiologis cairan dan elektrolit adaptif
setelah hari ke 12, pasien menunjukkan
perilaku mulai adaptif, pasien dapat
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual : mengatur dan membatasi cairan walaupun
CHF dan DM, residual : ketidakpatuhan terhadap terkadang masih minum lebih dari

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 138 -

restriksi cairan ketentuan, namun IDWG tidak lebih dari 2


kg diantara HD. Perilaku pada mode
konsep diri adaptif setelah hari ke-14
perawatan.

8. Tn. RS, 17 th, laki- Diagnosa Medis : Sindrom nefrotik, Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
laki, islam, status: keluhan utama : Bengkak di wajah, 150/100 mmHg, nadi : 90 x/menit, frekuensi gangguan pola napas, kelebihan volume
belum menikah, perut dan kaki. napas : 24 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
suku betawi, composmentis konjungtiva tidak anemis, sklera
pendidikan : Tamat Pasien mengatakan bengkak-bengkak tidak iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara Intervensi : fluid management, fluid
SMP, Pekerjaan : sejak 3 bulan SMRS dan disertai napas vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < monitoring, nutrition management,
Pelajar BAK berbusa. Pasien sering 3 detik, JVP 5+2 cmH2O, edema pada manajemen energi, coping enhancement,
terbangun pada malam hari karena ekstremitas bawah dengan derajat pitting edema
Masuk RS : BAK. Pasien juga mengatakan sesak teaching individual and family.
pada derajat 2, ascites dengan lingkar perut 100
22/09/2013 napas, napas bertambah jika berjalan cm, shifting dulness (+), edema pada wajah, dan
dan lebih baik jika duduk. Tidak ekstremitas bawah dengan derajat edema 2. Urin
Pengkajian : terdapat nyeri dada. Pasien sering tampung : 3500 cc dengan input : 600 cc. Evaluasi : setelah 12 hari perawatan di
23/09/2013 menderita mual dan muntah jika
ruang penyakit dalam lantai 5 selatan
makan sejak perut membesar. Pasien mendapatkan restriksi cairan : 600 cc/ 24
pasien sudah tidak sesak napas, tidak
jam. BB : 60 Kg.
Pasien memiliki riwayat sakit ISPA, terdapat edema. Lingkar perut 85, tidak
dan memiliki kebiasaan merokok 1 terdapat ascites. Frekuensi napas : 22
bungkus /hari dan kebiasaan minum x/menit, TD : 160/80 mmHg, nadi : 88
kopi. Pemeriksaan laboratorium (22/09/2013) : Protein
x/menit. BB : 47 Kg. Hasil evaluasi
Urin Kualitatif : 1,681 EU/dl urinalisa : Protein
diperoleh perilaku pada model fisiologis
urin : +3; Urinalisa Darah : +3, Urinalisa Eritrosit
10-15/LPB, urinalisa bakteri : Positif (+), cairan dan elektrolit adaptif setelah hari ke
pemeriksaan fungsi hati : SGOT : 24 U/L, SGPT : 12 dan perilaku pada mode konsep diri
11 U/L, Protein Total : 3 g/dl, Albumin : 1,4 g/dl, adaptif setelah hari ke-14 perawatan
Globulin : 1,6 g/dl. . Elektrolit : natrium : 139
mmol/l, kalium : 3,43 mmol/l; clorida 114

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 139 -

mmol/l. Fungsi ginjal : Nilai ureum : 88 mg/dl,


creatinin : 1,1 mg/dl.

Pemeriksaan USG Abdomen (23/0902013) :


tampak cairan bebas intraabdomen perihepatik,
morison pouch dan rongga pelvis tampak efusi
pleura bilateral. Ukuran dan bentuk ginjal normal,
dinding tidak menebal, dan tidak ada slaudge
(batu). Kesan : renal Parenchymal disease
bilateral, ascites dengan efusi pleura bilateral,
slight abdominally enchostructur hepar.

Stimulus fokal : penurunan fungsi glomerulus,


konstektual : sindrom nefrotik, residual : kurang
pengetahuan tentang penyakit.

9. Olid, 38 th, laki-laki, Diagnosa Medis : CKD Stage V on Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
islam, status : HD rutin, efusi pleura dekstra. 130/80 mmHg, nadi : 92 x/menit, frekuensi napas gangguan pola napas, kelebihan volume
menikah, pendidikan keluhan utama : sesak napas berat : 28 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
: tamat SMA; sejak 2 hari SMRS terutama saat composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
pekerjaan : Swasta tiduran dan berkurang dengan duduk. iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas Intervensi : fluid management, fluid
Pasien memiliki riwayat CKD sejak vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3 monitoring, nutrition management,
Masuk RS : 11 bulan yang lalu, dengan program detik, tampak pucat. JVP 5+2 cmH2O, edema (-), manajemen energi, coping enhancement,
21/09/2013 HD rutin. Tetapi pasien sulit untuk ascites (-), terpasang O2 3L/menit. Anjuran diet
teaching individual and family.
mengontrol minum dan masih sering Ginjal 1700 Kkal/Hari dengan protein 1 gr/kgBB,
Pengkajian :
minum air es. Pasien memiliki dengan restriksi cairan 600-800 cc/hari
23/09/2013
riwayat merokok sejak remaja 2
bungkus sehari dan sering minum Evaluasi : setelah 5 hari perawatan di ruang
minuman berenergi dan makan mie penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
Pemeriksaan laboratorium (21/09/2013) :
instan. Pasien jarang minum air sesak napas sudah berkurang, . Frekuensi

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 140 -

putih. hemoglobin : 10,5 mg/dl, Ht : 23 mg/dl , ureum napas : 18 x/menit, TD : 130/80 mmHg,
83 mg/dl, creatinin 4,88 mg/dl, GDS : 87 mg/dl. nadi : 88 x/menit. Jumlah output urin
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD) tampung dalam 24 jam : 800 cc.. pasien
(20/09/2013) : pH : 7,427; PCO2 17,8; PO2 :
mendapatkan 2 kali terapi hemodialisis dan
142,6 BP 753; HCO3 : 11,5 O2 saturasi 98,9; BE
dianjurkan untuk pulang dan melanjutkan
-9,9; total CO2 12. Elektrolit : natrium : 138
terapi hemodialisis dari rumah. Hasil
mmol/l, kalium : 3,85 mmol/l; clorida 95 mmol/l.
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual : evaluasi diperoleh perilaku pada model
CHF dan DM, residual : ketidakpatuhan terhadap fisiologis cairan dan elektrolit adaptif
restriksi cairan. setelah hari ke 10, pasien menunjukkan
dapat mengontrol minum meski dengan
sedikit pengawasan dengan IDWG 2 kg
dan perilaku pada mode konsep diri adaptif
setelah hari ke-12 perawatan

10. Ny. SM, 51 tahun, Diagnosa Medis : CKD Stage V on Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
perempuan agama HD rutin, keluhan utama : sesak 150/90 mmHg, nadi : 88 x/menit, frekuensi napas gangguan pola napas, kelebihan volume
islam, status : napas terutama saat tiduran dan : 24 x/menit, suhu : 370C. Terpasang O2 3LPM. cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
menikah suku : jawa, berkurang dengan duduk. Pasien Kesadaran composmentis konjungtiva anemis,
pendidikan: tamat memiliki riwayat CKD sejak 6 bulan sklera tidak iketrik. Pasien tampak sesak napas, Intervensi : fluid management, fluid
SMA, pekerjaan : yang lalu, dan diprogramkan untuk suara napas vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), monitoring, nutritiin management,
ibu Rumah Tangga mendapat terapi hemdoialisis CRT < 3 detik, tampak pucat, akral dingin, JVP manajemen energi, coping enhancement,
sehingga dirujuk ke RS Fatmawati. 5+2 cmH2O, edema pada ekstremitas bawah
teaching individual and family.
Pasien mengatakan sulit untuk dengan derajat pitting edema pada derajat 2, tidak
mengontrol minum dan masih sering ada ascites. Anjuran diet Ginjal 1500 Kkal/Hari,
Masuk RS :
minum air es. Pasien memeiliki rendah garan < 2 gr/KgBB/hari Protein 40
2/10/2013
riwayat Hipertensi sejak 12 tahun gr/KgBB/Hari. dengan restriksi cairan 600-800 Evaluasi : setelah 7 hari perawatan di ruang
Pengkajian : Yang lalu. Tidak ada DM, Asma dan cc/hari. penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
2/10/2013 sakit jantung sesak napas sudah berkurang, tidak
terdapat edema pada ekstremitas bawah.

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 141 -

Pemeriksaan laboratorium (03/10/2013) : Frekuensi napas : 22 x/menit, TD : 160/80


hemoglobin : 10,3 mg/dl, Ht : 29,9 mg/dl , ureum mmHg, nadi : 88 x/menit. Jumlah output
344 mg/dl, creatinin 26,44 mg/dl, GDS : 87 urin tampung dalam 24 jam : 800 cc.
mg/dl. Pemeriksaan analisa gas darah (AGD) pasien mendapatkan 1 kali terapi
(03/10/2013) : pH : 7,237; PCO2 : 7,237; PO2 :
hemodialisis dan dianjurkan untuk pulang
110,3; BP 753; HCO3 : 8,3; O2 saturasi 97,5; BE
dan melanjutkan terapi hemodialisis. Hasil
-16,4; total CO2 8,9. Elektrolit : natrium : 126
mmol/l, kalium : 7,1 mmol/l; clorida 101 mmol/l. evaluasi diperoleh perilaku pada model
fisiologis cairan dan elektrolit adaptif
setelah hari ke 10, pasien menunjukkan
dapat mengontrol minum meski dengan
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
Hipertensi, residual : ketidakpatuhan terhadap
sedikit pengawasan dengan IDWG 1 kg
restriksi cairan. dan perilaku pada mode konsep diri adaptif
setelah hari ke-12 perawatan

11. Tn. WS, 59 tahun, Diagnosa Medis : CKD Stage V, Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
laki-laki, islam, keluhan utama : pasien mengeluh 150/90 mmHg, nadi : 86 x/menit, frekuensi napas gangguan pola napas, kelebihan volume
status : menikah, sesak napas dan badan terasa lemas. : 24 x/menit, suhu : 370C. Terpasang O2 3LPM. cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
suku : betawi, Pasien sudah 1 minggu merasa cepat Kesadaran composmentis konjungtiva anemis,
pegawai swasta, lelah dan susah untuk BAK. Pasien sklera tidak iketrik. Pasien tampak sesak napas, Intervensi : fluid management, fluid
tamat SLTA menderita CKD dan hipertensi suara napas vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), monitoring, nutrition management,
pernah dirawat tahun 2012 dan CRT < 3 detik, tampak pucat, akral dingin, JVP manajemen energi, coping enhancement,
Masuk RS : terakhir HD maret 2012, setelah 5+2 cmH2O, edema pada ekstremitas bawah
04/10/2013 teaching individual and family.
itu dengan derajat pitting edema pada derajat 2, tidak
pasien tidak HD lagi hanya kontrol
ke poli jika ada keluhan.. pasien ada ascites, akral dingin. Anjuran diet Ginjal
Pengkajian :
merasa jumlah BAK berkurang sejal 1700 Kkal/Hari, rendah garan < 2 gr/KgBB/hari
04/10/2013
2 minggu SMRS. Protein 40 gr/KgBB/Hari lemak 30 Evaluasi : setelah 7 hari perawatan di ruang
gr/KgBB/Hari. dengan restriksi cairan 600-800 penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
cc/hari sesak napas sudah berkurang, edema pada
ekstremitas bawah dengan derajat pitting
edema 2 Frekuensi napas : 22 x/menit, TD

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 142 -

Pemeriksaan laboratorium (07/10/2013) : : 150/80 mmHg, nadi : 92 x/menit. Jumlah


hemoglobin : 6,2 mg/dl, Ht : 20 mg/dl , ureum output urin tampung dalam 24 jam : 600
208 mg/dl, creatinin 33,7 mg/dl, GDS : 87 mg/dl. cc. pasien mendapatkan 2 kali terapi
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD) hemodialisis dan dianjurkan untuk pulang
(07/10/2013) : pH : 7,327; PCO2 : 31,8; PO2 :
pada hari ke 10 perawatan dan melanjutkan
111,5; BP 753; HCO3 : 16,3; O2 saturasi 97,5;
terapi hemodialisis. Hasil evaluasi
BE -8,4; total CO2 17,3. Elektrolit : natrium : 135
mmol/l, kalium : 5,53 mmol/l; clorida 104 diperoleh perilaku pada model fisiologis
mmol/l. cairan dan elektrolit adaptif setelah hari ke
10, dan perilaku pada mode konsep diri
adaptif setelah hari ke-10 perawatan
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
Hipertensi , residual : ketidakpatuhan terhadap
regimen pengobatan.

12. Ny. SA, 34 tahun, Diagnosa Medis : CKD Stage V, Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
perempuan, islam, Anemia, keluhan utama : pasien 140/90 mmHg, nadi : 88 x/menit, frekuensi napas gangguan pola napas, kelebihan volume
menikah, suku mengeluh sesak napas dan batuk : 28 x/menit, suhu : 370C. Terpasang O2 3 LPM. cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
sunda, pendidikan : sejak 1 minggu SMRS, sesak dirasa Kesadaran composmentis konjungtiva anemis,
tamat SMA, makin lama makin berat. Pasien sklera tidak iketrik. Pasien tampak sesak napas, Intervensi : fluid management, fluid
Pekerjaan : Ibu mengalami mual dan muntah sudah 5 suara napas vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), monitoring, nutrition management,
Rumah Tangga x sejak pagi dengan Output cair. CRT < 3 detik, tampak pucat, akral dingin, JVP manajemen energi, coping enhancement,
Tidak nafsu makan dan badan terasa 5+2 cmH2O, edema pada ekstremitas atas dan
Masuk RS : teaching individual and family.
lemas. Pasien memiliki riwayat bawah dengan derajat pitting edema pada derajat
minum jamu 1 teko dalam sehari 2, tidak ada ascites, akral dingin. Anjuran diet
8/10/2013
selama 2 tahun. Riwayat sakit kuning Ginjal 1500 Kkal/Hari, restriksi protein 0,6
Pengkajian : saat kecil dan terdapat struma pada gr/kgBB/Hari, rendah garam < 2 gr/KgBB/hari, Evaluasi : setelah 7 hari perawatan di ruang
10/10/2013 leher kanan dan kiri yang ikut Protein 40 gr/KgBB/Hari, lemak 30 penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
bergerak jika menelan. gr/KgBB/Hari. dengan restriksi cairan 600-800 sesak napas sudah berkurang, edema
cc/hari. Pasien mendapat transfusi PRC 500 ml.
pada
ekstremitas bawah dengan derajat pitting
Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 143 -

TB : 150 cm, BB : 39 Kg edema 2 Frekuensi napas : 22 x/menit, TD


: 150/80 mmHg, nadi : 92 x/menit.
Pemeriksaan laboratorium (08/10/2013) : Pasien mendapat koreksi bicnat 200 meQ
hemoglobin : 4,3 mg/dl, Ht : 14 mg/dl , ureum
dan transfusi PRC 500 cc.
298 mg/dl, creatinin 12,6 mg/dl, GDS : 87 mg/dl.
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD) Laboratorium Analisa Gas Darah
(09/10/2013) : pH : 7,175; PCO2 : 12,2; PO2 :
(14/10/2013) : pH : 7,211; PCO2 : 23,2;
145,5; BP 752; HCO3 : 4,4; O2 saturasi 98,5; BE
PO2 : 107,5; BP 752; HCO3 : 9,1; O2
–21,4; total CO2 4,8 Elektrolit : natrium : 126
mmol/l, kalium : 4,75 mmol/l; clorida 96 mmol/l.
saturasi 97; BE –16,8; total CO2 9,8
Fungsi hati : Protein total : 5,5 g/dl, albumin :
Jumlah output urin tampung dalam 24 jam
3,00 g/dl, globulin : 2,5 g/dl; bilirubin total : 0,20
: 600 cc. pasien mendapatkan 2 kal i terapi
mg/dl; bilirubin direk : 0,10 mg/dl; bilirubin
indirek : 0,10 mg/dl. hemodialisis dan dianjurkan untuk pulang
dan melanjutkan terapi hemodialisis.

Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :


Hipertensi, Residual : ketidakpatuhan terhadap
regimen pengobatan.

13. Ny. MG, 38 tahun, Diagnosa Medis : CKD Stage V on Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
perempuan, katholik, HD rutin, Anemia, CHF kelas II-III 140/90 mmHg, nadi : 98 x/menit, frekuensi napas Kelebihan volume cairan, Intoleransi
status : menikah, keluhan utama : sesak napas berat : 28 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran Aktivitas, cemas
suku : batak , terutama saat tiduran, berkurang composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
pendidikan : tamat dengan istirahat, dan mengeluh kaki iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas Intervensi : fluid management, fluid
SMA, tidak bekerja dan tangannya bengkak. Pasien juga vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3 monitoring, nutrition management,
mengeluh cepat lelah dan badan sakit detik, tampak pucat, akral dingin, JVP 5+2 manajemen energi, coping enhancement,
Masuk RS : semua. Pasien dinyatakan sakit ginjal cmH2O, edema pada ekstremitas atas dan bawah
10/10/2013 teaching individual and family.
kronik sejak 1 tahun yang lalu dan dengan derajat pitting edema pada derajat 2.

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 144 -

Pengkajian : dianjurkan untuk cuci darah. Pasien Anjuran diet Ginjal 1800 Kkal/Hari, dengan
10/10/2013 memiliki riwayat Hipertensi restriksi cairan 600-800 cc/hari
Evaluasi : setelah 7 hari perawatan di ruang
penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
Pemeriksaan laboratorium (11/10/2013) : sesak napas sudah berkurang, edema
hemoglobin : 8,2 mg/dl, Ht : 24 mg/dl , ureum ekstremitas atas sudah tidak ada, edema
353 mg/dl, creatinin 19,2 mg/dl, GDS : 203 ekstremitas bawah dengan derajat pitting
mg/dl. Pemeriksaan analisa gas darah (AGD) edema derajat 1, Frekuensi napas : 22
(11/10/2013) : pH : 7,189; PCO2 : 7,8; PO2 : x/menit, TD : 150/80 mmHg, nadi : 92
173,4; BP 753; HCO3 : 2,9; O2 saturasi 98,8; BE x/menit. Jumlah output urin tampung
-22,2; total CO2 3,1. Elektrolit : natrium : 131 dalam 24 jam : 800 cc (dengan lasik 3 x 40
mmol/l, kalium : 154 mmol/l; clorida 92 mmol/l. mg/24 jam, intravena). pasien
CK : 837U/L, CKMB : 85 U/L, Troponin T : < 50
mendapatkan 2 kali terapi hemodialisis dan
ng/L.
dianjurkan untuk pulang dan melanjutkan
terapi hemodialisis. Hasil evaluasi
diperoleh perilaku pada model fi siologis
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
cairan dan elektrolit adaptif setelah hari ke
CHF, residual : ketidakpatuhan terhadap restriksi
10, pasien menunjukkan dapat mengontrol
cairan.
minum meski dengan sedikit pengawasan
dengan IDWG tidak lebih 2 kg dan
perilaku pada mode konsep diri adaptif
setelah hari ke-12 perawatan.

14. Ny. S, 65 tahun, Diagnosa Medis : CKD Stage V dan Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
perempuan, islam, Anemia, keluhan utama : sesak napas 150/80 mmHg, nadi : 88 x/menit, frekuensi napas gangguan pola napas, kelebihan volume
status : janda, suku : berat terutama saat tiduran dan : 24 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
jaka, tidak bekerja. berkurang dengan duduk. Pasien composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
memiliki riwayat CKD sejak 4 tahun iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas Intervensi : fluid management, fluid
Masuk RS : yang lalu, dan hipertensi 10 tahun vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3 monitoring, nutritiin management,

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 145 -

17/10/2013 yang lalu dengan pengobatan tidak detik, tampak pucat, akral dingin, JVP 5+2 manajemen energi, coping enhancement,
rutin. Pasien dianjurkan untuk cmH2O, edema pada ekstremitas bawah dengan teaching individual and family.
Pengkajian : menjalani terapi hemodialisa. Pasien derajat pitting edema pada derajat 2, tidak
17/10/2013 merasa semakin lemas dan tidak terdapat ascites. Anjuran diet Ginjal 1700
nafsu makan, lemas, pusing, mual Kkal/Hari, dengan restriksi cairan 600-800
dan makan hanya habis 1 sendok. cc/hari. Resiko jatuh (Morse) : 45 (tidak beresiko) Evaluasi : setelah 7 hari perawatan di ruang
Frekuensi dan jumlah air kencing penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
berkurang ± 600-800 cc/24 jam. sesak napas sudah berkurang, tidak
Pemeriksaan laboratorium (20/10/2013) : terdapat edema pada ekstremitas bawah.
hemoglobin : 5,8 mg/dl, Ht : 22 mg/dl , ureum Frekuensi napas : 22 x/menit, TD : 160/80
272 mg/dl, creatinin 17,7 mg/dl, GDS : 86 mg/dl. mmHg, nadi : 88 x/menit. Jumlah output
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD) urin tampung dalam 24 jam : 800 cc
(20/09/2013) : pH : 7,218; PCO2 : 16,3; PO2 : (dengan lasik drip 40 mg/ 24 jam. pasien
125; BP 750; HCO3 : 6,5 ; O2 saturasi 97,9 ; BE mendapatkan 4 kali terapi hemodialisis dan
-13,8; total CO2 11. Elektrolit : natrium : 140 dianjurkan untuk pulang pada hari ke 14
mmol/l, kalium : 5,28 mmol/l; clorida 112 dan melanjutkan terapi hemodialisis. Hasil
mmol/l.
evaluasi diperoleh perilaku pada model
Pemeriksaan USG (23/09/2013) : fisiologis cairan dan elektrolit adaptif
setelah hari ke 14, pasien menunjukkan
Nefritis bilateral. dapat mengontrol minum meski dengan
sedikit pengawasan dengan IDWG 2 kg
Pemeriksaan darah tepi (18/10/2013) : anemia
normositik normokrom diantara penatalaksanaan HD dan perilaku
pada mode konsep diri adaptif setelah hari
ke-14 perawatan

Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :


Anemia, residual : ketidakpatuhan terhadap terapi
pengobatan

15. Ny. SR, 73 tahun, Diagnosa Medis : CKD Stage V on Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
perempuan,Tamat HD rutin, CHF kelas II-III keluhan 160/90 mmHg, nadi : 88 x/menit, frekuensi napas Kelebihan volume cairan, Intoleransi
SMA , Status : utama : sesak napas berat terutama : 28 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 146 -

Menikah, suku : saat tiduran, berkurang dengan composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak Aktivitas, cemas
jawa , tidak bekerja. istirahat, dan mengeluh kaki dan iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas
tangannya bengkak. Pasien juga vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3 Intervensi : fluid management, fluid
Masuk RS : mengeluh cepat lelah dan badan sakit detik, tampak pucat, akral dingin, JVP 5+2 monitoring, nutrition management,
04/01/2014 semua. Pasien dinyatakan sakit ginjal cmH2O, edema pada bawah dengan derajat manajemen energi, coping enhancement,
kronik sejak 1 tahun yang lalu dan pitting edema pada derajat 2. Anjuran diet Ginjal teaching individual and family.
Pengkajian :
rutin cuci darah 2x/minggu. Keluarga 1700 Kkal/Hari, dengan restriksi cairan 600-800
04/01/2014
mengatakan pasien masih sulit untuk cc/hari
mengurangi minum. Pasien memiliki
riwayat Hipertensi sejak 10 tahun Evaluasi : setelah 14 hari perawatan di
yang lalu. ruang penyakit dalam lantai 5 selatan
Pemeriksaan laboratorium (04/01/2014) :
hemoglobin : 8,2 mg/dl, Ht : 24 mg/dl , ureum pasien sesak napas sudah berkurang,
288 mg/dl, creatinin 16,8 mg/dl, GDS : 203 edema ekstremitas atas sudah tidak ada,
mg/dl. Pemeriksaan analisa gas darah (AGD) edema ekstremitas bawah dengan derajat
(04/01/2014) : pH : 7,367; PCO2 : 33,3; PO2 : pitting edema derajat 1, Frekuensi napas :
147,2; BP 753; HCO3 : 18,7; O2 saturasi 98,8; 22 x/menit, TD : 150/80 mmHg, nadi : 92
BE –5,6; total CO2 : 19,7. Elektrolit : natrium : x/menit. Jumlah output urin tampung
131 mmol/l, kalium : 154 mmol/l; clorida 92 dalam 24 jam : 800 cc (dengan lasik 3 x 40
mmol/l. mg/24 jam, intravena). pasien
mendapatkan 2 kali terapi hemodialisis dan
dianjurkan untuk pulang pada hari ke-12
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual : dan melanjutkan terapi hemodialisis. Hasil
CHF, residual : ketidakpatuhan terhadap restriksi evaluasi diperoleh perilaku pada model
cairan
fisiologis cairan dan elektrolit adaptif
setelah hari ke 10, pasien menunjukkan
dapat mengontrol minum meski dengan
sedikit pengawasan dengan IDWG 1 kg
dan perilaku pada mode konsep diri adaptif
setelah hari ke-12 perawatan.

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 147 -

16. Tn. DS, 33 tahun, Diagnosa Medis : CKD Stage V Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
laki-laki, islam, Overload, Efusi Pleura keluhan 140/90 mmHg, nadi : 102 x/menit, frekuensi Kelebihan volume cairan, nutrisi kurang
status : menikah, utama : pasien mengalami penurunan napas : 28 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran dari kebutuhan tubuh, Intoleransi Aktivitas,
suku : jawa, SMA, kesadaran, tingkat kesadaran delirium konjungtiva anemis, sklera tidak iketrik. cemas
tidak bekerja. delirium. Berdasarkan wawancara Pasien tampak sesak napas (terpasang O2 Nasal
dengan keluarga didapatkan bahwa canule 3 LPM), suara napas vesikuler, Ronchi (-),
Masuk RS : sejak 2 bulan SMRS pasien whezzing (+), CRT > 3 detik, tampak pucat, akral
09/02/2014 mengeluh sesak napas yang semain dingin, JVP 5+2 cmH2O, tidak terdapat edema Intervensi : fluid management, fluid
berat disertai nyeri dada kadang pada ekstremitas. Terdapat ascites dengan lingkar monitoring, nutrition management,
Pengkajian :
kadang, nyeri seerti ditusuk tusk perut 105 cm. Anjuran diet Ginjal 1700 manajemen energi, coping enhancement,
12/02/2014
berdasarkan keterangan keluarga dan Kkal/Hari, dengan restriksi cairan 600-800 teaching individual and family.
berkurang dengan istirahat. Keluarga cc/hari.
juga mengatakan perut tampak
buncit. Pasien menderita gagal ginjal Pemeriksaan Rontgen Thorak (13/02/2014) :
kronik dan memiliki riwayat kardiomegali dengan awal bendungan paru, Evaluasi : setelah 8 hari perawatan di ruang
hipertensi sejak 3 tahun yang lalu. pneumonia dengan efusi pleura kanan. HCU lantai 5 selatan pasien masih sesak
Pasien sudah ½ tahun tidak menjalani napas, masih terdapat ascites dengan
HD lagi. Pasien datang ke IGD RS lingkar perut 95 cm, Frekuensi napas : 24
Fatmawati dalam keadaan tidak Pemeriksaan laboratorium (12/02/2014) : x/menit, TD : 150/80 mmHg, nadi : 98
sadar. hemoglobin : 8,0 mg/dl, Ht : 24 mg/dl , ureum x/menit. Jumlah output urin tampung
135 mg/dl, creatinin 6,2 mg/dl, GDS : 81 mg/dl.
dalam 24 jam : 800 cc (dengan lasik 3 x 40
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
mg/24 jam, intravena).
(13/02/2014) : pH : 7,371; PCO2 : 33,3; PO2 :
143,9; BP 751; HCO3 : 18,8; O2 saturasi 98,8; Pasien dilakukan pungsi ascites
BE –5,4; total CO2 : 19,7. Elektrolit : natrium :
(14/02/2014) : pungsi ascites 3 x 25 ml
134 mmol/l, kalium : 4,32 mmol/l; clorida 103
cairan dialirkan sebanyak 1300 ml, dengan
mmol/l.
analisa cairan ascites : warna kuning agak
keruh dengan jumlah sel secara
mikroskopis 1,000/UL.
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
CHF, residual : ketidakpatuhan terhadap restriksi
cairan dan terapi penatalaksanaan dengan

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 148 -

Hemodialisis Pada hari perawatan ke 9 pasien


mengalami penurunan kesadaran, koma,
TD : 80/60 mmHg dan makin drop
hemodinamika tubuh tidak stabil. Pasien
tidak mampu beradaptasi secara fisik dan
psikologi terhadap stimulus fokal,
konstektual dan residual. Pasien meninggal
pada hari perawatan ke 9.

17. Tn. H, 59 tahun, Diagnosa Medis : CKD Stage V On Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
laki-laki, islam, suku HD, Syok Hipovolemik. keluhan 130/90 mmHg, nadi : 98 x/menit, frekuensi napas Kelebihan volume cairan, nutrisi kurang
: sunda, tamat utama : pasien mengalami penurunan : 28 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran delirium dari kebutuhan tubuh, perfusi jaringan
akademi, PNS kesadaran, tingkat kesadaran konjungtiva anemis, sklera tidak iketrik. Pasien serebra, Intoleransi Aktivitas
delirium dan tampak sesak, dengan tampak sesak napas (terpasang O2 Nasal canule 3
Masuk RS : RR : 28 x/menit (terpasang nasal LPM), suara napas vesikuler, Ronchi (-), Intervensi : fluid management, fluid
19/02/2014 canul 3 LPM). Berdasarkan whezzing (-), CRT > 3 detik, tampak pucat, akral monitoring, nutrition management,
wawancara dengan keluarga dingin, bibir kering, JVP 5+2 cmH2O, terdapat
Pengkajian : manajemen energi, coping enhancement,
didapatkan data pasien sudah edema pada ekstremitas bawah dengan pitting
24/02/2014 teaching individual and family.
mengeluh badannya makin lama edema derajat. Anjuran diet Ginjal 1700
makin lemas sejak 1 minggu SMRS, Kkal/Hari Protein 1,2 gr/KgBB/Hari, dengan
tidak nafsu makan dan mual tetapi restriksi cairan 600-800 cc/hari. TB : 178 cm, BB
tidak pernah muntah. Pasien juga : 67 Kg. Evaluasi : setelah 10 hari perawatan di
mengalami demam ± 1 bulan, demam ruang HCU lantai 5 selatan pasien masih
naik turun. Pasien menderita gagal
sesak napas, Frekuensi napas : 28 x/menit,
ginjal kronik sejak 5 tahun dengan
Pada tanggal 27/02/2014 pasien mengalami TD : 110/60 mmHg, nadi : 98 x/menit.
HD rutin di RS OMNI, pasien
gelisah bicara merancau kesadaran deliirium. RR Jumlah output urin tampung dalam 24 jam
memiliki riwayat hipertensi sejak 10
: 30 x/menit (dengan O2 simple mask 6 LPM), : 10 cc (dengan lasik 3 x 40 mg/24 jam,
tahun yang lalu.
TD : 120/60 mmHg, N : 108 x/menit. Nilai intravena). BC (24 jam ) : + 455 cc.
Ureum :229 gr/dl; creatinin : 11,9 gr/dl. Produksi
urin 24 jam : 10 cc, dengan BC (24 jam ) : + 495 Pada hari perawatan ke 12 pasien

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 149 -

cc. Sudah tidak ada edema pada ekstremitas mengalami penurunan kesadaran, koma,
bawah hemodinamika tubuh tidak stabil. Pasien
tidak mampu beradaptasi secara fisik dan
psikologi terhadap stimulus fokal,
Pemeriksaan Rontgen Thorak (19/02/2014) : konstektua dan residual. Pasien meninggal
perselubungan paru (+) di lobus paru kanan, pada hari perawatan ke 12.
infiltrat (+) di kedua lapang paru.

Pemeriksaan laboratorium (21/02/2014) :


hemoglobin : 12,2 mg/dl, Ht : 37 mg/dl , ureum
118 mg/dl, creatinin 5,7 mg/dl, GDS : 77 mg/dl.
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
(21/02/2014) : pH : 7,435; PCO2 : 36,9; PO2 :
65,9; BP 755; HCO3 : 24,2; O2 saturasi 93,7; BE
0,3; total CO2 : 25,4. Elektrolit : natrium : 142
mmol/l, kalium : 5,92 mmol/l; clorida 96 mmol/l.

Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :syok


hipovolemik, residual : ketidakpatuhan terhadap
restriksi cairan

18. Ny. DP, 64 tahun, Diagnosa Medis : CKD Stage V dan Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
perempuan, islam, CHF, keluhan utama : sesak napas 150/90 mmHg, nadi : 96 x/menit, frekuensi napas gangguan pola napas, kelebihan volume
suku sunda, status berat terutama saat tiduran dan : 28 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
menikah , tidak berkurang dengan duduk. Sesak composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
bekerja. napas disertai nyeri dada yang hilang iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas Intervensi : fluid management, fluid
timbul, nyeri seperti ditusuk-tusuk. vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3 monitoring, nutrition management,
Masuk RS : Pasien dinyatakan mengalami detik, tampak pucat, akral dingin, JVP 5+2 manajemen energi, coping enhancement,
02/03/2014 penyakit gagal ginjal sejak 4 tahun cmH2O, tidak terdapat edema. Anjuran diet
teaching individual and family.
yang lalu. Pasien memiliki riwayat Ginjal 1700 Kkal/Hari, pasien makan ½ porsi dari
Pengkajian :
penyakit hipertensi dan DM sejak 10 diet yang disediakan (850 Kkal/hari). Pasien
03/03/2014

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 150 -

tahun yang lalu. mendapatkan restriksi cairan 600 cc/hari. Resiko Evaluasi : setelah 7 hari perawatan di ruang
jatuh (Morse) : 45 (tidak beresiko). Balance penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
cairan : + 200 cc/24 jam. sesak napas sudah berkurang, tidak
terdapat edema pada ekstremitas bawah.
Frekuensi napas : 24 x/menit, TD : 160/80
Pemeriksaan laboratorium (05/03/2014) : mmHg, nadi : 88 x/menit. Jumlah output
hemoglobin : 7,2 mg/dl, Ht : 22 mg/dl , ureum urin tampung dalam 24 jam : 800 cc
143 mg/dl, creatinin 10,0 mg/dl, GDS : 86 mg/dl. (dengan injeksi lasik 40 mg/ 24 jam. pasien
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
mendapatkan 4 kali terapi hemodialisis dan
(03/03/20143) : pH : 7,350; PCO2 : 39,5; PO2 :
dianjurkan untuk pulang pada hari ke 12
57,6; BP 753; HCO3 : 21,3 ; O2 saturasi 88,8 ;
BE -3,9; total CO2 22,5. Elektrolit : natrium : 137
dan melanjutkan terapi hemodialisis. Hasil
mmol/l, kalium : 4,95 mmol/l; clorida 106 evaluasi diperoleh perilaku pada model
mmol/l. fisiologis cairan dan elektrolit adaptif
setelah hari ke 12, pasien menunjukkan
Pemeriksaan darah tepi (04/03/2013) : anemia dapat mengontrol minum meski dengan
normositik normokrom dengan leukopenia sedikit pengawasan dengan IDWG 2 kg
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual : diantara penatalaksanaan HD dan perilaku
CHF dan Anemia, residual : ketidakpatuhan pada mode konsep diri adaptif setelah hari
terhadap terapi pengobatan ke-12 perawatan

19. Ny. EM, 58 tahun, Diagnosa Medis : CKD Stage V Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
perempuan, kristen, overload, DM dan CHF, keluhan 160/100 mmHg, nadi : 96 x/menit, frekuensi gangguan pola napas, kelebihan volume
status : menikah, utama : sesak napas berat terutama napas : 28 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
tamat SMP, saat tiduran dan berkurang dengan composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
pekerjaan : IRT duduk. Sesak napas disertai nyeri iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas Intervensi : fluid management, fluid
dada yang hilang timbul, nyeri vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3 monitoring, nutrition management,
Masuk RS : seperti ditusuk-tusuk. Pasien tidak detik, tampak pucat, akral dingin, JVP 5+2 manajemen energi, coping enhancement,
06/03/2014 bisa tidur terlentang. Untuk cmH2O, pasien mengalami edema anasarka
teaching individual and family.
melakukan aktivitas pasien dibantu dengan derajat pitting edema derajat 4. Anjuran
Pengkajian :
oleh keluarga. Pasien dinyatakan diet Ginjal 1700 Kkal/Hari. Pasien mendapatkan
07/03/2014
mengalami penyakit gagal ginjal restriksi cairan 600 cc/hari. Resiko jatuh (Morse)

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 151 -

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 152 -
sejak 1 tahun yang lalu. Pasien : 25 (resiko sedang). Balance cairan : - 150 cc/24 Evaluasi : setelah 7 hari perawatan di ruang
memiliki riwayat penyakit hipertensi jam. penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
dan DM sejak 25 tahun yang lalu.
Pasien mendapatkan lantus 1 x 10 IU.
sesak napas sudah berkurang, edema
Pasien pernah dirawat 1 bulan yang anasarka dengan pitting edema derajat 3.
lalu dengan penyakit yang sama. Pemeriksaan laboratorium (05/03/2014) : Frekuensi napas : 24 x/menit, TD : 160/80
hemoglobin : 7,5 mg/dl, Ht : 24 mg/dl , ureum mmHg, nadi : 88 x/menit. Jumlah output
123 mg/dl, creatinin 7,8 mg/dl, GDS : 86 mg/dl. urin tampung dalam 24 jam : 800 cc
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD) (dengan injeksi lasik 40 mg/ 24 jam. Pasien
(05/03/20143) : pH : 7,247; PCO2 : 55,8; PO2 : juga belum dapat mengontrol jumlah
195; ,5 BP 753; HCO3 : 23,8 ; O2 saturasi 99,1 ;
minum sesuai anjuran. Pasien mengatakan
BE -4,3; total CO2 25,5. Elektrolit : natrium : 141
tidak mau dilakukan terapi hemodialisis
mmol/l, kalium : 4,73 mmol/l; clorida 110
karena merasa belum siap dan ti dak mau
mmol/l.
merepotkan keluarga. Pasien pasrah
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual : dengan keadaan kesehatannya dan minta
CHF dan Anemia, residual : ketidakpatuhan dipulangkan saja. Pasien pulang pada hari
terhadap terapi pengobatan ke-7 atas permintaan sendiri.hasil evaluasi
diperoleh perilaku pada model fisiologis
cairan dan elektrolit adaptif setelah 7 hari
perawatan, sedangkan perilaku pada mode
konsep diri, fungsi peran dan
interdependensi belum adaptif.

20. Ny. IK, 48 tahun, Diagnosa medis : CKD stage V on Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
perempuan, islam, HD Overload, Hipertensi Urgency. 160/90 mmHg, nadi : 88 x/menit, frekuensi napas gangguan pola napas, kelebihan volume
Tamat SMA, Keluhan utama : Sesak berat sejak 1 : 28 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran cairan, Nyeri akut, ketidakpatuhan
Menikah, tidak hari SMRS dengan Nyeri dada composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
bekerja dengan intensitas nyeri hilang timbul iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas Intervensi : pain management, fluid
(kadang-kadang), skala nyeri dada 3- vesikuler, Ronchi (+), whezzing (-) saat ekspirasi, management, fluid monitoring, nutrition
Masuk RS : 3 meningkat jika digunakan untuk CRT > 3 detik, tampak pucat, akral dingin, JVP management, coping enhancement,

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


21/03/2014 aktivitas dan berkurang dengan napas 5+2 cmH2O, edema pada ekstremitas bawah teaching individual and family.
dalam dan istirahat tidur. Pasien dengan derajat pitting edema pada derajat 2,
Pengkajian :
mengetahui sakit ginjal sejak 2 tahun tidak ada ascites. Pemeriksaan laboratorium
24/03/2014
yang lalu dan mengatakan sulit untuk (21/03/2014) : hemoglobin : 10,5 mg/dl, Ht : 33
membatasi minum meskipun sudah mg/dl, ureum 295 mg/dl, creatinin 9,5 mg/dl, Evaluasi : setelah 7 hari perawatan diruang
berusaha untuk minum sedikit sesuai GDS : 254 mg/dl. Pemeriksaan analisa gas darah penyakit dalam lantai V selatan pasien
anjuran. Jumlah minum dalam sehari (AGD) : pH : 7,420; PCO2 : 41,8; PO2 : 48,7; BP masih sesak napas dengan Frekuensi napas
± 1200 cc/ 24 jam. Pasien HD rutin 2 751; HCO3 : 26,5; O2 saturasi 85,1; BE 1,8; total : 24 x/menit, TD : 210/100 mmHg, nadi :
x/minggu. Jumlah urin dalam CO2 27,8. Elektrolit : natrium : 136 mmol/l, 102 x/menit. Jumlah output urin dalam 24
sehari kalium : 4,24 mmol/l; clorida 105 mmol/l. jam : 800 cc (dengan injeksi lasik 2 x 40
± 700 - 800 cc/24 jam. Pasien mg). Nyeri dada berkurang dengan skala
memiliki riwayat CHF dan DM tipe 2 Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
CHF dan DM, residual : ketidakpatuhan terhadap nyeri 2-3, sifat masih hilang timbul.
sejak ± 10 tahun yang lalu dan
berobat rutin. Obat yang diminum restriksi cairan
Pasien mendapatkan 4 kali terapi
ISDN, Lasik, Ascardia dan Captopril hemodialisis dan dianjurkan untuk pulang
25 mg.
pada hari ke 12 dan melanjutk an terapi
hemodialisis. Hasil evaluasi diperoleh
perilaku pada model fisiologis cairan dan
elektrolit adaptif setelah hari ke 12, pasien
menunjukkan dapat mengontrol minum
meski dengan sedikit pengawasan dengan
IDWG 2 kg diantara penatalaksanaan HD
dan perilaku pada mode konsep diri adaptif
setelah hari ke-12 perawatan

21. Ny. YR, 64 tahun, Diagnosa Medis : CKD Stage V dan Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
perempuan, islam, Anemia, keluhan utama : sesak napas 140/80 mmHg, nadi : 82 x/menit, frekuensi napas gangguan pola napas, kelebihan volume
tamat SMA, berat terutama saat tiduran dan : 24 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
menikah, tidak berkurang dengan duduk. Pasien composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
bekerja memiliki riwayat CKD sejak 2 tahun iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas Intervensi : fluid management, fluid
yang lalu, dan hipertensi 10 tahun vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3 monitoring, nutritiin management,
Masuk RS : yang lalu dengan pengobatan tidak detik, tampak pucat, akral dingin, JVP 5+2 manajemen energi, coping enha ncement
22/03/2014 rutin. Pasien dianjurkan untuk cmH2O, edema pada ekstremitas bawah dengan ,
teaching individual and family.
menjalani terapi hemodialisa. Pasien derajat pitting edema pada derajat 2, tidak
Pengkajian :
merasa semakin lemas dan tidak terdapat ascites. Anjuran diet Ginjal 1700
24/03/2014 nafsu makan, lemas, pusing, mual Kkal/Hari, dengan restriksi cairan 600-800
dan makan hanya habis 1 sendok. Evaluasi : setelah 8 hari perawatan di ruang
cc/hari. Resiko jatuh (Morse) : 45 (tidak beresiko)
Frekuensi dan jumlah air kencing penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
berkurang ± 600 cc/24 jam. sesak napas sudah berkurang, tidak
Pemeriksaan laboratorium (22/02/2014) : terdapat edema pada ekstremitas bawah.
hemoglobin : 8,6 mg/dl, Ht : 26 mg/dl , ureum Frekuensi napas : 20 x/menit, TD : 150/80
102 mg/dl, creatinin 5,7 mg/dl, GDS : 158 mg/dl. mmHg, nadi : 90 x/menit. Jumlah output
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD) urin tampung dalam 24 jam : 800 cc
(22/02/2014) : pH : 7,128; PCO2 : 15,3; PO2 : (dengan lasik drip 40 mg/ 24 jam. pasien
123; BP 745; HCO3 : 6,5 ; O2 saturasi 97,9 ; BE mendapatkan 4 kali terapi hemodialisis dan
-13,8; total CO2 11. Elektrolit : natrium : 138
dianjurkan untuk pulang pada hari ke 12
mmol/l, kalium : 5,28 mmol/l; clorida 110
dan melanjutkan terapi hemodialisis. Hasil
mmol/l.
evaluasi diperoleh perilaku pada model
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual : fisiologis cairan dan elektrolit adaptif
Anemia, residual : ketidakpatuhan terhadap terapi setelah hari ke 12, pasien menunjukkan
pengobatan dapat mengontrol minum meski dengan
sedikit pengawasan dengan IDWG 1,5 kg
diantara penatalaksanaan HD dan perilaku
pada mode konsep diri adaptif setelah hari
ke-12 perawatan

22. Ny. UM, 52 tahun, Diagnosa Medis : CKD Stage V DM Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
perempuan, islam, tipe 2 dan Hipertensi, keluhan utama 190/90 mmHg, nadi : 82 x/menit, frekuensi napas gangguan pola napas, kelebihan volume
Status : Menikah, : sesak napas berat 3 hari SMRS, : 24 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
Tamat SMP, tidak sesak bertambah jika digunakan composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
bekerja untuk aktivitas dan berkurang dengan iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas Intervensi : fluid management, fluid
duduk. Pasien memiliki riwayat CKD vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3 monitoring, nutrition management,
sejak 2 tahun yang lalu, dan detik, tampak pucat, akral dingin, JVP 5+2 manajemen energi, coping enhancement,
dianjurkan untuk melakukan HD cmH2O, edema pada ekstremitas bawah dengan teaching individual and family.
tetapi belum siap. Pasien juga derajat pitting edema pada derajat 3, tidak
memiliki riwayat penyakit DM dan terdapat ascites. Anjuran diet Ginjal 1700
hipertensi 7 tahun yang lalu dengan Kkal/Hari, dengan restriksi cairan 600-800
pengobatan tidak rutin. pasien juga cc/hari. Resiko jatuh (Morse) : 45 (tidak beresiko) Evaluasi : setelah 8 hari perawatan di ruang
memiliki riwayat penyakit TB Paru penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
dengan pengobatan 6 bulan. Pasien sesak napas sudah berkurang, edema
mengatakan masih sulit untuk ekstremitas bawah dengan derajat edema
Pemeriksaan laboratorium (22/02/2014) :
membatasi minum sesuai anjuran
hemoglobin : 8,6 mg/dl, Ht : 26 mg/dl , ureum pada derajat 1. Frekuensi napas : 22
apalagi saat udara terasa panas.
102 mg/dl, creatinin 5,7 mg/dl, GDS : 158 mg/dl. x/menit, TD : 160/90 mmHg, nadi : 90
Frekuensi dan jumlah air kencing
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD) x/menit. Jumlah output urin tampung
berkurang ± 600- 800 cc/24 jam.
(22/02/2014) : pH : 7,128; PCO2 : 15,3; PO2 : dalam 24 jam : 800 cc (dengan lasik drip
123; BP 745; HCO3 : 6,5 ; O2 saturasi 97,9 ; BE 40 mg/ 24 jam. pasien mendapatkan 4 kali
-13,8; total CO2 11. Elektrolit : natrium : 138
terapi hemodialisis dan dianjurkan untuk
mmol/l, kalium : 5,28 mmol/l; clorida 110
pulang pada hari ke 12 dan melanjutkan
mmol/l.
terapi hemodialisis. Hasil evaluasi
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual : diperoleh perilaku pada model fisiologis
Anemia, residual : ketidakpatuhan terhadap terapi cairan dan elektrolit adaptif setelah hari ke
pengobatan 12, pasien menunjukkan dapat mengontrol
minum meski dengan sedikit pengawasan
dengan IDWG 1,5 kg diantara
penatalaksanaan HD dan perilaku pada
mode konsep diri adaptif setelah hari ke-12
perawatan
23. Ny. AD, 51 tahun, Diagnosa Medis : batu Pielum kiri, Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul: nyeri,
perempuan,islam, batu cetak multipel pole inferior. 150/90 mmHg, nadi : 88 x/menit, frekuensi napas ganghuan pola tidur, cemas
status : janda, tamat Keluhan utama : nyeri pada luka : 20 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
SMA, tidak bekerja. insisi operasi di perut kuadran II, composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak Intervensi : monitor tanda vital dan
nyeri seperti teriris dengan skala iketrik. Pasien tampak kesakitan dan menyatakan hemodinamika tubuh, pain management,
Masuk RS : nyeri 6-7, nyeri bersifat terus sakit di daerah perut kiri atas di kuadran II sleep management, manajemen perawatan
2/10/2013 menerus dan bertambah jika dengan luka operasi post op extended luka, manajemen energi, coping
digunakan untuk bergerak. Pasien pyelolitotomi dan pemasangan DJ Stent hari 1 enhancement, teaching individual and
Pengkajian :
semalam tdak bisa tidur karena dengan kualitas nyeri seperti teriris, skala 6-7,
7/10/2013 family.
merasakan nyeri. nyeri dirasakan terus menerus, suara napas
vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3
Pasien mengeluh nyeri hilang timbul detik, tampak pucat, akral dingin. Terpasang
sejak bulan mei 2013 dan kateter dengan warna urin kuning dengan sedikit Evaluasi : setelah 3 hari perawatan di ruang
diperiksakan ke RS Fatmawati dan keruh. bedah lantai 4 selatan, nyeri pasien
didiagnosa batu ginjal sehingga
direncanakan operasi di bulan Balutan luka operasi kering, tidak ada rembesan
berkurang pada skala 3-4,nyeri seperti
oktober. pada balutan, terpasang drain dengan produksi teriris dengan nyeri hilang timbul. Drain
darah segar Pasien juga mengeluhkan tidak bisa luka di aff dan tidak ada rembesan. Balutan
tidur sejak semalam karena merasakan sakit yang luka kering, jahitan luka kering tidak ada
sangat. pus. Hasil evaluasi diperoleh perilaku pada
mode fisiologis, konsep diri, fungsi peran
Pemeriksaan laboratorium (04/10/2013) :
dan interdependensi menunjukkan perilaku
hemoglobin : 9,1 mg/dl, Ht : 28 mg/dl, lekosit :
yang adaptif.
18,7 ribu mg/dl, ureum 17 mg/dl, creatinin 0,7
mg/dl, GDS : 76 mg/dl. Elektrolit : natrium : 142
mmol/l, kalium : 4,21 mmol/l; clorida 110
mmol/l.

Stimulus fokal : batu ginjal , konstektual :


tindakan operasi, residual : mekanisme koping
tidak efektif
24. Tn. A, 55 tahun, Diagnosa Medis : batu ureter Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul: nyeri
laki-laki, status : bilateral. 140/90 mmHg, nadi : 82 x/menit, frekuensi napas dan cemas terapi pengobatan
menikah, tamat SD, : 18 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
swasta Keluhan utama : pasien mengeluh composmentis konjungtiva tidak anemis, sklera Intervensi : monitor tanda vital dan pain
nyeri dan pegal di kedua pinggang. tidak iketrik. Pasien tampak menahan sakit, management, coping enhancement,
Pengkajian di poli Nyeri berlangsung terus menerus, suara napas vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), teaching individual and family.
Bedah urologi : terasa seperti senut –senut dan CRT < 3 detik, akral hangat. Pasien direncanakan
13/10/2013 terkadang perih, nyeri dirasakan pada untuk dilakukan tindakan operasi pemasangan DJ
skala 4-5, dan nyeri dirasa sangat STent
menganggu aktivitas Evaluasi : setelah intervensi 1 x 30 menit,
Pemeriksaan USG (09/10/2013) : hidronefrosis yang praktikan berikan pasien mengatakan
bilateral dapat disebabkan batu ureter. mampu mengontrol nyeri dan mampu
Pemeriksaan laboratorium (12/10/2013) : waktu melaksanakan manajemen nyeri yang telah
protrombin : 11,4 (11,8-14,4 detik), INR : 0,8, diajarkan. Pasien juga mengatakan siap
APTT : 25,3 (25,9-39,5 detik). Penanda tumor untuk menjalani perawatan dan pengobatan
(PSA) : 2,77 (<4,0 ng/ml) yang akan datang serta operasi pemasangan
DJ Stent. Hasil evaluasi diperoleh perilaku
Stimulus fokal : batu ureter , konstektual :
pada mode fisiologis, konsep diri, fungsi
tindakan operasi, residual : mekanisme koping
peran dan interdependensi menunjukkan
tidak efektif
perilaku yang adaptif.

25. Tn. SS, 59 tahun, Diagnosa Medis : batu ureter distal Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul: nyeri
laki-laki, status : kanan. 100/60 mmHg, nadi : 80 x/menit, frekuensi napas dan cemas terapi pengobatan
menikah, suku : : 18 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
melayu, pekerjaan : Keluhan utama : pasien mengeluh composmentis konjungtiva tidak anemis, sklera Intervensi : monitor tanda vital dan pain
wiraswasta, tamat nyeri dan pegal di kedua pinggang. tidak iketrik. Pasien tampak menahan sakit, management, coping enhancement,
SMA. Nyeri berlangsung hilang timbul, suara napas vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), teaching individual and family.
terasa seperti berdenyut dan CRT < 3 detik, akral hangat. Pada tanggal
terkadang perih, nyeri dirasakan pada 25/03/2014 pasien menjalani operasi
skala 4-5, dan nyeri dirasa sangat ureterolitotomi dekstra dan pasang DJ stent. Pada
menganggu aktivitas post operasi hari 1 pasien mengeluhkan nyeri di Evaluasi : setelah intervensi hari ke 2
perut kanan kuadran III, nyeri seperti berdenyut, perawatan, pasien mengatakan mampu
- 157 -

dengan skala nyeri 5-6. Pasien tampak meringis mengontrol nyeri dan mampu
kesakitan. Balutan luka kering, terpasang drain melaksanakan manajemen nyeri yang telah
dengan produksi drain darah, dengan volume ± 5 diajarkan. Hasil evaluasi diperoleh perilaku
ml. pada mode fisiologis, konsep diri, fungsi
Pemeriksaan laboratorium (12/03/2014) : Hb : peran dan interdependensi menunjukkan
14,7 mg/dl, Ht : 42 %, APTT : 26,1 (25,9-39,5 perilaku yang adaptif.
detik), Ko APTT : 31,5, PT : 12,4 INR: 0,90

Stimulus fokal : batu ureter , konstektual :


tindakan operasi, residual : mekanisme koping
tidak efektif

26. Tn. S, 64 tahun, laki- Pasien merupakan pasien yang Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul: nyeri
laki, suku : betawi, berobat ke poli bedah urologi. 130/80 mmHg, nadi : 88x/menit, frekuensi napas dan cemas terapi pengobatan
Tamat SMA, PNS : 18 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
Diagnosa Keperawatan : Kanker composmentis konjungtiva tidak anemis, sklera Intervensi : monitor tanda vital dan pain
Pemeriksaan Poli : Prostat tidak iketrik. Suara napas vesikuler, Ronchi (-), management, coping enhancement,
12/11/2013 whezzing (-), CRT < 3 detik, akral hangat.
Keluhan utama : pasien mengeluhkan teaching individual and family.
kemaluannya (penisnya) membesar Pasien mendapatkan penatalaksanaan Pro
dan tidak sembuh sembuh. Pasien Kemoterapi. Pasien tampak cemas dan tidak tahu
mengatakan BAK sering tidak tuntas tentang prosedur kemoterapi. Evaluasi : setelah intervensi 1 x 30 menit,
dan panas, pasien sering kencing di
yang praktikan berikan pasien mengatakan
malam hari 3x/malam.
mampu mengontrol nyeri dan mampu
Pemeriksaan PSA (22/02/2013) : melaksanakan manajemen nyeri yang telah
diajarkan. Pasien juga mengatakan siap
PSA : 41 ng/ml (<3,0), PAP : 37,81 ng/ml (0-5
untuk menjalani perawatan dan pengobatan
ng/ml) dan FPSA : 36,88 (<0,7).
yang akan datang. Hasil evaluasi diperoleh

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 158 -

Pemeriksaan Biopsi (09/12/2012) : perilaku pada mode fisiologis, konsep diri,


fungsi peran dan interdependensi
Adenokarsinoma prostat, berdiferensisi sedang
menunjukkan perilaku yang adaptif.
(pT2C) gleason score : 4+3, derajat anaplasia inti
:2

Stimulus fokal : keganasan prostat, konstektual :


tindakan kemoterapi, residual : mekanisme
koping tidak efektif

27. Tn. MD, 58 tahun, Diagnosa Medis : gross hematuri Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul: nyeri,
islam, tamat dengan Tumor Buli. 120/100 mmHg, nadi : 120 x/menit, frekuensi resiko defisit Volume cairan dan elektrolit
perguruan tinggi, napas : 22 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran dan cemas terapi pengobatan
Kawin, Swasta Keluhan utama : pasien mengatakan composmentis konjungtiva tidak anemis, sklera
nyeri di daerah vesica urinaria dan tidak iketrik. Pasien tampak menahan sakit, Intervensi : monitor tanda vital dan
Masuk RS : supra pubis, nyeri dengan skala 6-7 suara napas vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), monitor tanda syoh hipovolemik, monitor
27/03/2014 dengan kualitas panas dan terbakar. CRT < 3 detik, akral hangat. BAK keluar darah balance cairan, pain management, coping
Pasien juga mengeluhkan kencing masif.
Pengkajian : berdarah sejak 1 bulan yang lalu, enhancement, teaching individual and
27/03/2014 pasien datang ke poli dan diberikan Pasien dilakukan irigasi kandung kemih family.
obat serta direncanakan operasi 2 menggunakan Nacl 0,9 % selama 7 hari, dengan
bulan kemudian, namun 2 minggu perdarahan makin lama makin berkurang.
SMRS pasien mengalami kencing
Pemeriksaan laboratorium (27/03/2014) : Hb : Evaluasi : setelah intervensi hari ke 10
berdarah, sehingga pasien datang ke
10,4 mg/dl, Ht : 32 %, VER : 81,2, HER : 26,4 : perawatan, pasien mengatakan mampu
IGD untuk dirawat, dan kemudian
pasien mendapatkan perawatan di RDW : 14,6 SGOT : 88 SGPT : 63, ureum : 109, mengontrol nyeri dan mampu
ruang bedah lantai IV selatan. creatinin 3,7, APTT : 26,1 (25,9-39,5 detik), Ko melaksanakan manajemen nyeri yang telah
APTT : 31,5, Ko PT : 13 INR: 0,96 diajarkan, perdarahan terkontrol urin
Pasien dengan riwayat kanker buli,

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 159 -

dan sudah dijadwalkan sejak 22 april Stimulus fokal : Kanker Buli , konstektual : berwarna jernih orange kemerahan. Hasil
2014. Perdarahan masif, residual : mekanisme koping evaluasi diperoleh perilaku pada mode
tidak efektif fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan
interdependensi menunjukkan perilaku
yang adaptif.

28. Ny. NS, 49 tahun, Diagnosa : Tumor Ginjal kanan Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul: nyeri,
islam, suku sunda, 120/80 mmHg, nadi : 100 x/menit, frekuensi intoleransi aktivitas, cemas akan terapi
Tamat SMA, Keluhan utama : pasien mengeluh napas : 18 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran pengobatan
Menikah, Tidak lemas, nyeri di pinggang ± 3 bulan composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
Bekerja SMRS, dan benjolan di pinggang iketrik. Pasien tampak menahan sakit, suara napas Intervensi : monitor tanda vital, pain
kanan (ginjal teraba membesar) ± 3 vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3 management, coping enhancement,
Mausk RS : minggu SMRS. Pasien memiliki detik, akral dingin. BAK Spontan jumlah urin ± teaching individual and family.
21/11/2013 riwayat abses retroperitoneal, 900 cc/hari, ADL Dibantu oleh keluarga dan
hidronefrosis, dan nefrolithiasis perawat.
Pengkajian : ginjal kanan. Pasien juga memiliki
22/11/2013 riwayat penyakit ginjal sejak tahun Pemeriksaan laboratorium (21/11/2013) : Hb : 8,5
2003. mg/dl, Ht : 29 %, VER : 71,2, HER : 20,7 :
RDW : 21,2 SGOT : 27 Stimulus fokal : Tumor Evaluasi : setelah intervensi har i ke 14
Ginjal , konstektual : , residual : mekanisme perawatan, pasien mengatakan mampu
koping tidak efektif mengontrol nyeri dan mampu
melaksanakan manajemen nyeri yang telah
diajarkan, tetapi mengatakan badannya
masih lemas. Hasil evaluasi diperoleh
perilaku pada mode fisiologis, konsep diri,
fungsi peran dan interdependensi
menunjukkan perilaku yang adaptif.

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 160 -

29. Tn. SP, 70 tahun, Diagnosa Medis : BPH Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
islam, Tamat SMA, 130/80 mmHg, nadi : 88 x/menit, frekuensi napas gangguan eliminasi urin : inkontinensia
Pensiunan PNS. Keluhan utama : pasien mengeluh : 18 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran urin, cemas akan terapi pengobatan
tidak bisa BAK sejak 6 bulan SMRS. composmentis konjungtiva tidak anemis, sklera
Pengkajian Poli : Pasien mengatakan sulit berkemih tidak iketrik. Suara napas vesikuler, Ronchi (-), Intervensi : monitor tanda vital, , coping
08/11/2013 dan berkemih tidak tuntas dan whezzing (-), CRT < 3 detik, akral hangat. enhancement, teaching individual and
pancaran berkemih lemah. Pasien Terpasang kateter sudah 1 bulan belum di ganti family.
terakhir ganti kateter sejak 1 bulan jumlah urin ± 1200-1500 cc/hari, kondisi kateter
yang lalu. kotor, terdapat krusta atau kerak di ujung selang
kateter dengan uretra dan di dalam selang
kantong urin. Evaluasi : setelah intervensi 1 x 30 menit,
kateter bersih, kantong urin bersih dan
Pemeriksaan USG (08/07/2013) :
masih kosong. Pasien mengatakan
Kesan : multipel cyst di pole tengah ginjal kiri, menjadi tahu tentang cara melakukan
BPH. perawatan kateter.

Prostat membesar permukaan reguler. Tidak ada Hasil evaluasi diperoleh perilaku pada
batu. Volume buli maksimum 60 cc, volume post mode fisiologis, konsep diri, fungsi peran
vid : 9,7 cc dan interdependensi menunjukkan perilaku
yang adaptif.
Ukuran prostat : 3,3 x 4,6 x 3,8 cm (± vol 28 cc)

Stimulus fokal : BPH , konstektual : penuaan ,


residual : mekanisme koping tidak efektif

30. Tn. MS, 77 tahun, Diagnosa Medis : BPH Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
laki-laki, islam, 120/70 mmHg, nadi : 80 x/menit, frekuensi napas gangguan eliminasi urin : ink ontinensia
tamat SD, menikah, Keluhan utama : pasien mengeluh : 18 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran urin, cemas akan tindakan operasi
pedagang. tidak bisa BAK sejak 6 bulan SMRS. composmentis konjungtiva tidak anemis, sklera
Pasien mengatakan sulit memulai tidak iketrik. Suara napas vesikuler, Ronchi (-), Intervensi : monitor tanda vital, perawatan
Masuk RS : untuk berkemih dan pancaran whezzing (-), CRT < 3 detik, akral hangat. kateter, coping enhancement, teaching
17/03/2014 berkemih lemah. Pasien mengatakan

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 161 -

Pengkajian : BAK sering tiba tiba terputus dan Kateter diganti 1 minggu yang lalu, jumlah urin ± individual and family.
18/03/2014 kemudian lancar lagi dan BAK. 1200-1500 cc/hari, kondisi kateter bersih, urin
Terasa tidak puas. BAK ± 8 x/hari, kuning jernih.
keluar sedikit-sedikit, sering BAK
Malam hari, BAK tidak bisa ditahan Pada hari perawatan ke-2 pasien mendapatkan Evaluasi : setelah intervensi hari perawatan
sampai akhirnya 6 bl yang lalu pasien terapi operasi TURP. Kondisi pasien baik. ke 3 setelah operasi, perdarahan kandung
tidak bisa BAK sama sekali. Tidak Dilakukan irigasi lambung dengan perdarahan mulai berkurang, warna urin dan output
ada nyeri saat BAK, tidak ada BAK makin lama makin berkurang. irigasi berwarna kuning orange, kateter
Berdarah. Pasien terpasang kateter bersih.
Pemeriksaan PSA (09/08/2013) : 16,40 ng/ml
sejak 6 bulan yang lalu dan diganti
setiap 1 bulan sekali. Pasien dirawat Pemeriksaan USG (16/10/2013) : Pada hari ke 13 post operasi pasien sudah
karena direncanakan untuk dilakukan tidak terpasang kateter, pasien dapat BAK
operasi TURP. Kesan : CKD Bilateral grade I, multipel kista Spontan sebnayk 6 -8 kali perhari lancar
ginjal bilateral, BPH (Estimasi vol. 200 cc). dan tanpa keluhan. Pasien pulang pada hari
Ukuran Prostat : 8,07 x 6,70 x 7,45 dengan ke 14 perawatan post operasi. Hasil
estimasi vol. 200 cc. Tampak kalsifikasi, SOL (-).
evaluasi diperoleh perilaku pada mode
Pemeriksaan Laboratorium Pre Operasi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan
( 05/03/2014) Hb : 12,2 mg/dl, Ht : 39%, lekosit : interdependensi menunjukkan perilaku
5,4 ribu/ul, trombosit 191 ribu/ul, eritrosit : 4,36 yang adaptif.
juta/ul. Masa perdarahan : 1,5 menit, masa
pembekuan 4,0 menit, SGOT : 14 u/L, SGPT : 7
u/L, ureum : 32 gr/dl, creatinin : 0,9 gr/dl,
natrium : 142 mmol/L, kalium : 3,9 mmol/l dan
clorida : 112 mmol/L. APTT : 32,9 detik, Ko
APTT : 34,2 detik, PT : 13,4 detik, Ko PT : 13,7
detik, INR : 0,97 detik.

Pemeriksaan Post Operasi : (19/03/2014)

Hb : 11,4 mg/dl, Ht : 36 %, Lekosit : 7,8 ribu/ul,


trombosit : 191 ribu/ul, eritrosit 3,99 juta/ul,
Natrium139 mmol/L, kalium : 4,12 mmol/l dan

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 162 -

clorida : 109 mmol/L.

Stimulus fokal : BPH , konstektual : penuaan ,


residual : mekanisme koping tidak efektif

31. Tn. SA, 48 tahun, Diagnosa Medis : Hidronefrosis Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
laki-laki, Tamat kanan 90/70 mmHg, nadi : 88 x/menit, frekuensi napas : gangguan eliminasi urin : nyeri, , cemas
SMA, Menikah, 18 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran akan terapi pengobatan
Wiraswasta Keluhan utama : pasien mengeluh composmentis konjungtiva tidak anemis, sklera
Pengkajian Poli : sakit pinggang sejak 1 bulan yang tidak iketrik. Suara napas vesikuler, Ronchi (-), Intervensi : monitor tanda vital, pain
11/11/2014 lalu dan badan makin lama makin whezzing (-), CRT < 3 detik, akral hangat. Teraba management , coping enhancement,
lemas. massa yang kenyal di perut kuadran III pada teaching individual and family.
pemeriksaan palpasi abdomen.

Pemeriksaan USG (09/09/2013) :


Evaluasi : setelah intervensi 1 x 30 menit,
Kesan : hidronefrosis ginjal kanan dengan
internal echo dalam pelvikalis yang melebar
kateter bersih, kantong urin bersih dan
(kemungkinan debris/pus), pelviokaliektasis masih kosong. Pasien mengatakan
ringan ginjal kiri, kista ginjal kiri, vesicolitiasis ± menjadi tahu tentang cara melakukan
4,6 cm x 1,6 cm serta batu pada vesicolithiasis perawatan kateter.
junction kanan ± 1 cm, endapan debris/pus dalam
buli. Hasil evaluasi diperoleh perilaku pada
mode fisiologis, konsep diri, fungsi peran
USG (11/09/2013) : batu buli 4,9 cm, dan interdependensi menunjukkan perilaku
hidronefrosis kanan grade 4. yang adaptif.
Prostat membesar permukaan reguler. Tidak ada
batu. Volume buli maksimum 60 cc, volume post
vid : 9,7 cc

Ukuran prostat : 3,3 x 4,6 x 3,8 cm (± vol 28 cc)

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 163 -

Stimulus fokal : Hidronefrosis , stimulus


konstektual : Infeksi, stimulus residual :
mekanisme koping tidak efektif

32. Tn. SS, 68 tahun, Diagnosa Medis : Hidronefrosis Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
laki-laki, islam, kanan 130/80 mmHg, nadi : 88 x/menit, frekuensi napas gangguan eliminasi urin : nyeri, , cemas
tamat SMA, Swasta : 18 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran akan terapi pengobatan
Keluhan utama : sejak 3 bulan composmentis konjungtiva tidak anemis, sklera
Masuk RS : SMRS, pasien merasa saat kencing tidak iketrik. Suara napas vesikuler, Ronchi (-), Intervensi : monitor tanda vital,
19/03/2014 kadang berhenti tapi bisa mengalir whezzing (-), CRT < 3 detik, akral hangat. management, coping e pain
lagi, tidak ada nyeri. Kemudian
Pengkajian RS : teaching individual and nhancement
pasien dipasang DJ stent sudah 3
bulan dan direncanakan dilakukan family.
20/03/2014 Pasien dilakukan pelepasan DJ stent dan
pelepasan DJ Stent dan Pro
sistoskopi, sehingga pasien dirawat di Sistoskopi pada hari ke-3 perawatan.
RS. Pasien memiliki riwayat batu Evaluasi : pasien mengatakan setelah
ureter proksimal sinistra.
operasi hari ke-2 atau perawatan hari ke-5
Pemeriksaan Radiologi (04/04/2014) : pasien merasa lebih baik dan mengatakan
Kesan : terpasang DJ Stent dengan ujung cemas berkurang
proksimal setinggi para vertebra L1 kiri proyeksi
Hasil evaluasi diperoleh perilaku pada
ginjal kiri dan ujung distal di rongga pelvis pada
mode fisiologis, konsep diri, fungsi peran
proyeksi buli. Tidak tampak batu radiopak
sepanjang traktus urinarius. dan interdependensi menunjukkan perilaku
yang adaptif.
Pemeriksaan laboratorium ( 18/02/2014)

Hb : 12,1 mg/dl, Ht : 38%, lekosit : 3,5 ribu/ul,


trombosit 169 ribu/ul, eritrosit : 4,17 juta/ul.
SGOT : 17 u/L, SGPT : 21 u/L, ureum : 28 gr/dl,
creatinin :1,1 gr/dl, natrium : 142 mmol/L, kalium
: 3,9 mmol/l dan clorida : 110 mmol/L.

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 164 -

Stimulus fokal : Hidronefrosis , stimulus


konstektual : Pelepasan DJ Stent, stimulus
residual : mekanisme koping tidak efektif

33. Tn. DS, 60 tahun, Diagnosa Medis : Gross hematuri Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
laki-laki, islam. akibat Trauma Uretra 120/80 mmHg, nadi : 80 x/menit, frekuensi napas gangguan eliminasi urin, nyeri, , cemas
Tamat SMP, swasta. : 18 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran akan terapi pengobatan
Keluhan utama : pasien mengatakan composmentis konjungtiva tidak anemis, sklera
Masuk RS : tidak bisa BAK sejak 2 hari SMRS, tidak iketrik. Suara napas vesikuler, Ronchi (-), Intervensi : monitor tanda vital, pain
15/03/2014 dan kemaluan berdarah. whezzing (-), CRT < 3 detik, akral hangat. management, coping enhancement,
Pengkajian RS : Pasien memiliki riwayat jatuh teaching individual and family.
16/03/2014 terpeleset dan kemaluan terbentur
bak mobil pic up kemudian berdarah Pasien terpasang sistostomi sejak 2 hari dari
(pasien terpasang Sistostomi pada tanggal pengkajian , kandung kemih tidak teraba
Evaluasi : pasien mengatakan perawatan
tanggal 14/03/2014), pada awalnya penuh.
berdarah dan kemudian setelah itu hari ke-5 pasien merasa lebih baik dan
pasien tidak bisa BAK. Pemeriksaan genitalia elsterna : tampak keluar mengatakan cemas berkurang, tet api ingin
dari orifisium uretra, tidak tampak inflamasi, segera dilakukan operasi supaya bisa BAK
buah pelir memar, bengkak dan terasa nyeri normal lagi. Pasien sudah dapat melakukan
diarea sekitarnya dengan nyeri skala 4-5. perawatan kateter secara mandiri.

Hasil evaluasi diperoleh perilaku pada


Pemeriksaan Ureterosistografi 21/03/2014) : mode fisiologis, konsep diri, fungsi peran
dan interdependensi menunjukkan perilaku
Kesan : ruptur uretra post bulbori yang adaptif.

Pemeriksaan laboratorium ( 21/03/2014)

Hb : 12,6 mg/dl, Ht : 36%, , trombosit 7,2 ribu/ul,


eritrosit : 3,96 juta/ul. SGOT : 31 u/L, SGPT : 23
u/L, ureum : 47 gr/dl, creatinin : 0,8 gr/dl,

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014


- 165 -

natrium : 135 mmol/L, kalium : 3,45 mmol/l dan


clorida : 97 mmol/L.

Stimulus fokal : trauma uretra, stimulus


konstektual : gangguan eliminasi urin, stimulus
residual : mekanisme koping tidak efektif

Universitas Indonesia

Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai