Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
UNIVERSITAS INDONESIA
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
Universitas Indonesia
ii
Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014
iii
Tulisan yang terdapat dalam Karya Ilmiah Akhir ini belum pernah disampaikan atau
diajukan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Ners Spesialis Keperawatan
Medikal Bedah di institusi pendidikan manapun. Berdasarkan pengetahuan dan keyakinan
penulis, Karya Ilmiah Akhir ini tidak memuat tulisan-tulisan yang pernah dipublikasikan
orang lain secara keseluruhan kecuali tulisan tersebut digunakan sebagai bahan rujukan.
NPM : 1106122890
TandaTangan :
iii
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Spesialis Keperawatan Medikal
Bedah, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : Juli, 2014
iv
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunan laporan praktik residensi spesialis keperawatan medikal
bedah ini. Selama proses pelaksanaan praktik residensi selama 1 tahun hingga penulisan
laporan Karya Ilmiah Akhir ini penulis mendapat banyak bantuan, bimbingan, motivasi
dan doa dari berbagai pihak, karena itu pada kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis
ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada:
1. Dr. Ratna Sitorus, S.Kp., M.APP.Sc., selaku Supervisor Utama yang telah memberikan
bimbingan dengan penuh perhatian dan kesabaran pada penulis dalam penyusunan
laporan ini.
2. Yulia, S.Kp.,MN.,Ph.D selaku Supervisor yang telah memberikan bimbingan dan
arahan dengan penuh kesabaran pada penulis dalam penyusunan laporan ini.
3. Yunisar Gultom, S.Kp.,MCINsg selaku Supervisor Klinik yang telah membimbing
penulis selama menjalani praktik residensi di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
4. Ernawati, M.Kep.,Sp.Kep.MB, selaku Penguji yang telah memberikan bimbingan dan
arahan dengan penuh kesabaran pada penulis dalam penyusunan laporan ini.
5. Dra. Juaniti Sahar, M.App.Sc., P.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
6. Direktur RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta beserta staf struktural maupun
fungsional yang telah memberikan ijin dan kesempatan pada kami untuk melakukan
kegiatan praktek residensi.
7. Penanggung jawab, Kepala ruangan dan perawat ruangan lantai 7 Gedung A ,
Poliklinik penyakit dalam dan IGD RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta yang telah
memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis selama melakukan kegiatan
praktek residensi.
8. Teman sejawat Program Residensi Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu
Keperawatan angkatan 2011 yang telah memberikan dukungan moril selama
penyusunan laporan ini.
9. Orangtua tercinta Ayahanda Suwarno dan Ibunda Sumini Suti serta seluruh keluarga
yang telah memberikan semangat, motivasi dan doa sehingga menjadi penyemangat
bagi penulis selama menjalani praktek residensi dan menyelesaikan penulisan laporan
ini.
Universitas Indonesia
v
Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014
vi
10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menjalani praktek residensi dan
penyelesaian laporan ini.
Tiada kata yang indah dan tulus selain ucapan terima kasih untuk semua bantuan,
dukungan dan doa yang telah diberikan kepada penulis, semoga Tuhan yang Maha
Pengasih dan Penyayang yang akan membalas dengan kebaikan.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran demi
penyempurnaan laporan ini sangat dibutuhkan dan semoga laporan ini bermanfaat bagi
pengembangan dan peningkatan ilmu keperawatan.
Penulis
vi Universitas Indonesia
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertandatangan di bawah ini:
NPM : 1106122890
Yang menyatakan
ABSTRAK
Salah satu kelompok penyakit metabolik yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau keduanya adalah Diabetes Melitus (DM) yang ditandai dengan hiperglikemia. Kondisi
hiperglikemia yang berkepanjangan menyebabkan DM menjadi salah satu masalah kesehatan yang
besar di seluruh dunia karena komplikasinya dapat muncul secara akut maupun kronik. Perawat
berperan penting dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas melalui Diabetes Self-
Management Education (DSME) dan Diabetes Self-Management Support (DSMS) untuk
mencegah komplikasi dan membantu meningkatkan perubahan gaya hidup yang penting bagi
individu. Penerapan DSME dan DSMS dapat dilakukan perawat dengan mengaplikasikan teori Self
Care Dorothea Orem pada proses keperawatan. Penerapan teori ini berfokus pada kemampuan
individu dalam melakukan tindakan keperawatan mandiri, mengenali dan mengatur kebutuhan
perawatannya. Penerapan evidence based practice sesuai program DSME dan DSMS dalam upaya
meningkatkan self care pasien DM adalah melalui penggunaan buku harian Pemantauan Gula
Darah Mandiri (PGDM). Proyek inovasi latihan kekuatan otot dan keseimbangan dilakukan pada
pasien DM lansia untuk mencegah jatuh, meningkatkan kekuatan otot dan keseimbangan berjalan.
Kata kunci: Diabetes Melitus, Orem’s Self care, Pemantauan Gula Darah Mandiri (PGDM)
ABSTRACT
One of metabolic diseases that occurs due to abnormalities in insulin secretion, insulin action or
both is diabetes mellitus (DM). It is characterized by hyperglycemia. Prolonged of hyperglycemia
causes various complication become major health problem worldwide. Nurses play an important
role in reducing morbidity and mortality through the Diabetes Self-Management Education
(DSME) and Diabetes Self-Management Support (DSMS) to prevent the complications and
improve lifestyle changes. Framework of DSME and DSMS were applied using Dorothea Orem’s
Self Care. The application of this theory focuses on the individual's ability to independently
perform nursing actions, identify and manage the treatment needs. Evidence-based practice related
to DSME and DSMS programs by using Self Monitoring Blood Glucose Diary (SMBG). The
inovation project was muscle strengths and balances exercises in elderly diabetic patients with
neuropathy, in other to prevent falls and improve the muscle strengths and balances.
Keywords: Diabetes Mellitus, Orem’s Self care, Self Monitoring Blood Glucose (SMBG)
Universitas Indonesia
ix
Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................................i
PERNYATAAN ORISINALITAS ..............................................................................iii
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... ..iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................. ..v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...................................................... ..vii
ABSTRAK .............................................................................................................. ..viii
ABSTRACT ............................................................................................................ ..ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ..x
DAFTAR TABEL.................................................................................................... ..xii
DAFTAR SKEMA................................................................................................... ..xiii
DAFTAR GRAFIK.................................................................................................. ..xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ ..xv
DAFTAR SINGKATAN.......................................................................................... ..xvi
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan ..................................................................................... 3
1.3 Manfaat Penulisan ..................................................................................... 4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus ................................................................................... 5
2.1.1 Definisi ................................................................................. 5
2.1.2 Patofisiologi ................................................................................. 6
2.1.3 Diagnosis DM ................................................................................. 7
2.1.4 Penatalaksanaan ................................................................................. 8
2.1.5 Komplikasi ................................................................................. 12
2.2 DSME dan DSMS ................................................................................... 25
2.2.1 Struktur Internal ................................................................................. 26
2.2.2 Input Ekstrenal ................................................................................. 26
2.2.3 Akses ................................................................................. 27
2.2.4 Koordinasi Program ..................................................................... 27
2.2.5 Staf Instruksional ...................................................................... 27
2.2.6 Kurikulum ................................................................................. 27
2.2.7 Individu dan Peserta ..................................................................... 27
2.2.8 Dukungan ................................................................................. 28
2.2.9 Perkembangan Pasien ..................................................................... 28
2.2.10 Peningkatan Kualitas ..................................................................... 28
2.3 Pemantauan Gula Darah Mandiri (PGDM) ............................................. 29
2.4 Konsep Teori Self Care Defisit Dorothea E. Orem ................................. 31
2.4.1 Konsep utama Teori Self Care Orem .............................................. 32
2.4.2 Proses Keperawatan ...................................................................... 36
Universitas Indonesia
x
Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014
xi
4. Penerapan EBN
4.1 Telaah Jurnal ................................................................................................ 95
4.2 Penerapan Buku Harian ....................................................................... 98
PGDM
4.3 Pembahasan ................................................................................................. 107
Universitas Indonesia
xi
Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014
xii
DAFTAR TABEL
Universitas Indonesia
xii
Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014
xiii
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1 Sistem Keperawatan Self Care Theory pada pasien DM................ 35
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Gambaran kadar gula darah rata-rata pada kelompok kontrol
dan kelompok buku harian PGDM........................................... 106
DAFTAR LAMPIRAN
xv
Universitas Indonesia
DAFTAR SINGKATAN
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu kelompok penyakit metabolik yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya adalah Diabetes Melitus (DM) (Purnamasari, 2009). Diabetes
melitus (DM) ditandai dengan peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemia)
(Suyono, 2009; ADA, 2013). Kondisi hiperglikemia yang berkepanjangan menyebabkan
DM menjadi salah satu masalah kesehatan yang besar di seluruh dunia karena
komplikasinya dapat muncul secara akut maupun kronik (Ignativicius & Workman, 2010).
Universitas Indonesia
1
Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014
2
komplikasi sirkulasi perifer 136 dan koma ketoasidosis sebanyak 12 kasus. Dan pada
periode Januari hingga Juni 2014 tercatat sebanyak 1070 kasus DM tipe 1 dan DM tipe 2,
dengan komplikasi multipel sebanyak 172 kasus, komplikasi ginjal 8 kasus, komplikasi
sirkulasi perifer 22 kasus dan koma ketoasidosis sebanyak 3 kasus. Sedangkan data rawat
inap RSUPN Cipto Mangunkusumo pada periode Januari hingga Desember 2013 mencatat
sebanyak 2070 kasus DM tipe 1 dan DM tipe 2, dengan komplikasi multipel sebanyak
1179 kasus, komplikasi ginjal 69 kasus, komplikasi sirkulasi perifer 171 dan koma
ketoasidosis sebanyak 58 kasus. Dan pada periode Januari hingga Juni 2014 tercatat
sebanyak 1085 kasus DM tipe 1 dan DM tipe 2, dengan komplikasi multipel sebanyak 376
kasus, komplikasi ginjal 50 kasus, komplikasi sirkulasi perifer 70 kasus dan koma
ketoasidosis sebanyak 42 kasus (RM RSUPN Cipto Mangunkusumo, 2014).
Untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien DM disertai dengan
komplikasi multipel dan komplikasi lainnya sangat diperlukan peran dari tenaga kesehatan
profesional khususnya perawat. Perawat berperan sebagai pemberi layanan asuhan
keperawatan, menjadi penghubung antara pasien dan multidsiplin lainnya, pemberi
informasi bagi pasien hingga membuat keputusan klinis yang tepat dan akurat
berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan praktik berbasis bukti dalam memberikan asuhan
keperawatan secara holistik (National Diabetes Nursing Knowledge and Skills Framework,
2009). Perawat juga diharapkan dapat memahami kondisi pasien yang disebut sebagai
spesialis perawat klinik atau Clinical Nurse Specialist (CNS). Clinical Nurse Specialist
(CNS) meningkatkan pelayanan keperawatan melalui pendidikan, konsultasi, penelitian,
dan sebagai agen pembaharu dalam sistem kesehatan (Jansen & Staufacher; 2010).
Oleh karena itu, perawat diharapkan dapat menerapkan asuhan keperawatan berbasis
evidence based practice nursing, dan sebagai inovator dengan menerapkan hal-hal yang
terbaru dalam bidang keperawatan yang bertujuan untuk meningkatkan asuhan
keperawatan serta tidak luput menjalani peran lainya seperti pemimpin, kolaborator, agen
pembaharu, role model dan advokasi terhadap pasien. Pengelolaan pasien tersebut
dilakukan di ruang rawat inap lantai 7 gedung A RSCM, di Instalasi Gawat Darurat, dan di
Poliklinik Endokrin. Asuhan keperawatan yang diberikan menggunakan pendekatan teori
Self Care Dorothea Orem. Penerapan teori ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
seseorang dalam merawat dirinya sendiri dan bukan menempatkan pasien dalam posisi
bergantung (Christensen & Kenney, 2009).
Universitas Indonesia
Di samping sebagai praktisi, perawat spesialis juga berperan sebagai peneliti, pembaharu
dan role model dengan menerapkan tindakan keperawatan berbasis bukti (evidence based
nursing atau EBN). Evidence Based Nursing (EBN) yang diterapkan adalah penerapan
buku harian pemantauan gula darah mandiri (PGDM). Self-Monitoring Blood Glucose
(SMBG) atau Pemantauan Gula Darah Mandiri (PGDM) merupakan komponen penting
dalam terapi modern untuk pasien DM. Pemantauan Gula Darah Mandiri (PGDM) telah
direkomendasikan untuk pasien DM dan profesional perawatan kesehatan dalam rangka
untuk mencapai kendali glikemik dan mencegah hipoglikemia. Peran sebagai peneliti ini
dapat dilihat pada BAB IV.
Peran perawat spesialis selanjutnya yang telah dilakukan residen adalah sebagai inovator
dengan menerapkan latihan untuk meningkatkan kekuaatan otot dan keseimbangan pada
pasien DM dengan neuropati. Inovasi ini dilakukan sesuai dengan kebutuhan lahan praktik
dan dilakukan secara berkelompok. Inovasi dilakukan dengan membuat dan menyusun
panduan latihan kekuatan otot dan keseimbangan untuk pasien DM dengan neuropati dan
panduan untuk perawat atau pendamping pasien. Peran residen sebagai inovator dibahas
pada BAB V.
Berdasarkan uraian maka dalam penulisan analisa praktik residensi ini, residen akan
memaparkan penerapan pendekatan teori self care Dorothea Orem pada pasien DM dengan
multiple ulkus, CKS stage V, dan hipoglikemia berulang dalam menjalankan peran sebagai
perawat spesialis dengan menerapkan tindakan keperawatan berbasis bukti ilmiah dan
melakukan inovasi untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan untuk mencapai
derajat kesehatan yang optimal.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN TEORI
Penatalaksanaan DM di Indonesia, diuraikan dalam empat pilar utama yaitu edukasi, terapi
nutrisi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologi. American Diabetes Association
(ADA) (2014) dalam Standard of Medical Care in Diabetes dan National Standard for
Diabetes merekomendasikan Diabetes Self-Management Education (DSME) dan Diabetes
Self-Management Support (DSMS) untuk mencegah komplikasi dan membantu
meningkatkan perubahan gaya hidup yang penting bagi pasien DM. Oleh sebab itu strategi
menggunakan pendekatan teori keperawatan diterapkan dalam pengelolaan pasien DM
sebagai salah satu upaya untuk mencapai perubahan gaya hidup. Salah satu model yang
sesuai bagi pasien DM adalah teori self care Dorothea Orem yang difokuskan untuk
mengidentifikasi kebutuhan perawatan diri pasien DM dan tindakan keperawatan guna
memenuhi kebutuhan tersebut. Orem menekankan pentingnya tindakan intervensi untuk
kebutuhan self care dan upaya terus menerus untuk mempertahankan kehidupan dan
kesehatannya serta mengatasi dampaknya. Oleh karena itu pada BAB ini akan diuraikan
mengenai karakteristik dan patofisiologi DM, penatalaksanaan medis, komplikasi dan
pendekatan teori self care Orem dalam pemberian asuhan keperawatan DM.
5 Universitas Indonesia
yang diakibatkan oleh kerusakan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (ADA,
2013). Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis progresif yang dikarakteristikkan
dengan ketidakmampuan tubuh dalam metabolisme karbohidrat, protein dan lemak
(Black & Hawks, 2009).
Diabetes melitus (DM) adalah kondisi jangka panjang yang memerlukan pengendalian
gula darah dengan mempertahankan diet, latihan dan pengobatan yang tepat
(Wilkinson, Whitehead, & Ritchie, 2013). Semua pasien DM baik tipe 1 dan tipe 2
memerlukan pemantauan untuk mencegah timbulnya komplikasi makrovaskular dan
mikrovaskular yang dapat memicu terjadinya ulkus kaki diabetik (Edmons, Foster, &
Sanders, 2008).
2.1.2 Patofisiologi
1) DM tipe 1
Penyebab DM tipe 1 adalah kehancuran autoimun sel beta pankreas yang
menyebabkan defisiensi insulin absolut. Infiltrasi pulau pankreas oleh makrofag
yang teraktifasi, limfosit T sitotoksik dan supresor, dan limfosit B menimbulkan
insulitis destruktif yang sangat selektif terhadap populasi sel beta. Sekitar 70-90 %
sel beta hancur sebelum timbul gejala klinis (Greenstein & Woods, 2010; Smeltzer
& Bare, 2010). Diabetes tipe 1 merupakan gangguan poligenik dengan peran faktor
genetik sebesar 30%. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang
memiliki tipe antigen Human Leucocyte Antigen (HLA) tertentu yakni kumpulan
gen yang bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses imun lainnya.
Kondisi defisiensi insulin absolut menyebabkan pasien DM tipe 1 membutuhkan
insulin untuk kontrol glikemik (Greenstein & Wood, 2010).
Universitas Indonesia
2) DM tipe 2
Pasien DM tipe II memiliki dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin,
yaitu resistensi insulin dan atau gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan
terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya
insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme
glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai dengan penurunan
reaksi intrasel yang mengakibatkan insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan (Black & Hawk, 2009;
Ignativicius & Workman, 2010).
2.1.3 Diagnosis
International Expert Commitee yang terdiri dari ADA, IDF, dan European
Association for The Study of Diabetes (EASD), merekomendasikan tes hemoglobin
glikosilat (A1C/HbA1C) untuk mendiagnosa DM dengan standar ≥ 6.5% (ADA,
2013). Sementara di Indonesia, PERKENI (2011) menentukan kriteria diagnosa DM
dengan ditemukannya salah satu dari kondisi berikut: 1) terdapat gejala klasik DM
(poliuria, polifagi, polidipsi dan penurunan berat badan) dan glukosa plasma sewaktu
≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L). 2) terdapat gejala klasik DM (poliuria, polifagi, polidipsi
dan penurunan berat badan) dan kadar glukosa plasma puasa ≤ 126 mg/dL (7.0
mmol/L), dan 3) kadar gula plasma 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥
200 mg/dL (11.1 mmol/L). Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria
normal atau DM, maka pasien dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi
glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu atau GDPT
(PERKENI, 2011).
Universitas Indonesia
2.1.4 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup pasien
DM. Tujuan penatalaksanaan DM dibedakan ke dalam tujuan jangka pendek, tujuan
jangka panjang, dan tujuan akhir: 1) tujuan jangka pendek adalah menghilangkan
keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan mencapai tanrget
pengendalian glukosa darah. 2) tujuan jangka panjang adalah dengan mencegah dan
menghambat progresifitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati,
dan 3) tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM
(PERKENI, 2011).
Penanganan pasien DM dilakukan secara holistik oleh berbagai profesi yang terdiri
dari dokter, perawat, ahli gizi, apoteker,dan tim kesehatan lain. Rencana pengelolaan
harus dirumuskan sebagai terapi kolaboratif antara pasien dan keluarga, perawat,
dokter, dan anggota lain dari tim perawatan kesehatan. Berbagai strategi dan teknik
berbeda digunakan untuk menyediakan fasilitas pendidikan dan pengembangan
kemampuan memecahkan masalah dalam berbagai aspek manajemen DM tipe 1, DM
tipe 2, dan DM tipe lainnya (ADA, 2013).
1) Perencanaan Makan
Prinsip pengaturan makan pada pasien DM hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum yaitu makan seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing. Pada pasien DM perlu ditekankan pentingnya
keteraturam makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama
pada mereka yang menggunakan obat hipoglikemik atau insulin (PERKENI, 2011).
Terapi nutrisi merupakan komponen integral dari pencegahan, pengelolaan dan
edukasi self-management. Selain sebagai manajemen pencegahan dan kontrol DM,
TNM juga merupakan bagian penting dalam keseluruhan perilaku hidup sehat
(Tjokroprawiro, 2006).
Universitas Indonesia
2) Latihan Jasmani
Latihan merupakan bagian penting dari rencana pengelolaan DM. Latihan secara
teratur telah terbukti meningkatkan kontrol glukosa darah, mengurangi faktor risiko
kardiovaskular, berkontribusi terhadap penurunan berat badan, dan meningkatkan
kesejahteraan. Selain itu, latihan rutin dapat mencegah diabetes tipe 2 pada
individu yang berisiko tinggi. Latihan yang dilakukan sebagai intervensi minimal 8
minggu telah terbukti menurunkan A1C lebih rendah (rata-rata 0,66%) pada pasien
DM tipe 2 (Waspadji, 2009).
Pada DM tipe 2, latihan jasmani berperan utama dalam pengaturan kadar glukosa
darah. Produksi insulin umumnya tidak terganggu terutama pada awal menderita
DM tipe 2. Masalah utama pada DM tipe 2 adalah kurangnya respon reseptor
terhadap insulin. Karena adanya gangguan tersebut insulin tidak dapat membantu
transfer glukosa dalam sel. Kontraksi otot memiliki sifat seperti insulin.
Permeabilitias membran terhadap glukosa meningkat pada otot yang sedang
berkontraksi. Pada saat olahraga resistensi insulin berkurang, sebaliknya
sensitivitas insulin meningkat, hal ini menyebabkan kebutuhan insulin pada DM
tipe 2 akan berkurang. Respon ini hanya terjadi setiap kali berolahraga, tidak
merupakan efek yang menetap atau berlangsung lama, oleh karena itu latihan
jasmani harus dilakukan terus menerus dan teratur (Ilyas, 2013).
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih
30 menit, yang sifatnya sesuai continous, rhytmical, interval, progressive,
endurance training (CRIPE). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85%
denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi
penyakit penyerta. Sebagai contoh olahraga ringan adalah berjalan kaki biasa
Universitas Indonesia
selama 30 menit, olahraga sedang adalah berjalan cepat selama 20 menit dan
olahraga berat misalnya jogging (Waspadji, 2013).
3) Pengelolaan Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan. Penggunaan farmakologi dalam diabetes dapat berupa obat hipoglikemik
oral yang memicu sekresi insulin seperti sulfonilurea dan glinid, dapat juga obat
penambah sensitivitas terhadap insulin seperti biguanid dan tiazolidion,
penghambat glukosidase alfa dan incretin mimetic yang merupakan penghambat
DPP-4. Untuk kondisi dimana obat oral tidak memungkinkan lagi untuk digunakan
maka penggunaan insulin dapat menjadi pilihan (PERKENI, 2011).
Insulin eksogen sebagai terapi diindikasikan bagi semua pasien DM tipe 1, pada
pasien DM tipe 2 yang tidak dapat mencapai target pengendallian kadar glukosa
darah dengan terapi jenis lain, pasien DM tipe 2 dengan kondisi stres berat (infeksi
berat, tindakan pembedahan), ketoasidosis diabetik (KAD), pengobatan sindroma
hiperglikemia hiperosmolar non-ketotik, gangguan fungsi ginjal atau hati yang
berat, dan pada pasien DM dengan kontrainsikasi atau alergi terhadap OHO
(Soegondo, 2013).
4) Edukasi
Edukasi merupakan bagian integral dari asuhan keperawatan pasien DM. Edukasi
diabetes adalah pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan keterampilan
Universitas Indonesia
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. PGDM
dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin.
Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada tujuan pemeriksaan yang
pada umumnya terkait dengan terapi yang diberikan. Waktu yang dianjurkan
adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal
glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara
siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa
gejala),atau ketika mengalami gejala seperti hypoglycemic spells. PDGM terutama
dianjurkan pada pasien DM yang mendapat terapi insulin, pasien dengan A1C yang
tidak mencapai target setelah terapi,wanita hamil dengan hiperglikemia dan
kejadian hipoglikemia berulang (PERKENI, 2011)
Universitas Indonesia
2.1.5 Komplikasi
1) Komplikasi akut
a) Hipoglikemia
(1) Definisi
Menurut Smeltzer & Bare (2008), hipoglikemia merupakan kondisi
dimana kadar gula darah turun di bawah 50 hingga 60 mg/dl (2.7 hingga
3.3 mmol/L). Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau
preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau
karena aktivitas fisik yang berat. Hipoglikemia dapat terjadi setiap saat
pada siang atau malam hari. Kejadian ini bisa dijumpai sebelum makan,
khususnya jika waktu makan tertunda atau bila pasien lupa makan
camilan. Sebagai contoh, hipoglikemia siang hari terjadi bila insulin
Universitas Indonesia
Hipoglikemia ringan
Respon fisiologis kontraregulasi terhadap hipoglikemia melibatkan
pelepasan hormon, terutama glukagon dan adrenalin (Heller, 2011).
Hormon-hormon ini merangsang produksi glukosa hepatik dan
menghambat penyerapan glukosa di perifer, sehingga kadar glukosa
meningkat. Menurut American Diabetes Association (ADA) (2005)
ambang glikemik untuk glukagon dan pelepasan adrenalan jika gula darah
3.6 mmol/L hingga 3.9 mol/L. Akan tetapi dengan perjalanan DM,
Universitas Indonesia
Hipoglikemia sedang
Fungsi otak yang normal tergantung pada pasokan glukosa terus menerus.
Penurunan kadar glukosa darah menyebabkan sel-sel otak tidak
memperoleh cukup bahan bakar untuk bekerja dengan baik (Smeltzer &
Bare, 2008; Bilous & Donnelly 2010). Tanda-tanda gangguan fungsi pada
sistem saraf pusat mencakup ketidakmampuan berkonsentrasi, sakit
kepala, vertigo, konfusi, penurunan daya ingat, patirasa di bibir serta lidah,
bicara pelo, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan emosional, perubahan
perilaku, penglihatan ganda, dan perasaan ingin pingsan. Kombinasi gejala
ini (disamping gejala adrenergik) dapat terjadi pada hipoglikemia sedang
(Smetzer & Bare, 2008).
Hipoglikemia berat
Fungsi sistem saraf pusat mengalami gangguan berta sehingga pasien
memerlukan pertolongan orang lain. Gejala meliputi perilaku yang
disorientasi, serangan kejang, sulit dibangunkan dari tidur atau bahkan
kehilangan kesadaran. Gejala hipoglikemia dapat terjadi mendadak dan
tanpa terduga sebelumnya. Kombinasi semua gejala dapat bervariasi pada
pasien (Smetzer & Bare, 2008).
Universitas Indonesia
gangguan sistem saraf pusat yang sedang atau berat (Smetzer & Bare,
2008).
Glukagon intramuskular
Glukagon 1 mg intramuskular dapat diberikan oleh tenaga nonprofesional
yang terlatih dan hasilnya akan tampak dalam 10 menit. Kecepatan kerja
glukagon tersebut sama dengan pemberian glukosa intravena. Bila pasien
sudah sadar pemberian glukagon harus diikuti dengan pemberian glukosa
oral 20 g dan dilanjutkan dengan pemberian 40 g karbohidrat dalam
bentuk tepung untuk pemulihan. Pada keadaan puasa yang panjang atau
hipoglikemia yang diinduksi alkohol, pemberian glukagon mungkin
tergantung dari stimulasi glikogenolisis yang terjadi (Soemadji, 2009).
Glukosa intravena
Glukosa intravena harus diberikan dengan hati-hati. Pemberian glukosa
dengan konsentrasi 50% terlalu toksik untuk jaringan dan 75-100 ml
glukosa 20% atau 150-200 ml glukosa 10% dianggap lebih aman (Heller,
20011).
2) Komplikasi kronis
Pasien DM dalam jangka waktu yang panjang berisiko terhadap komplikasi
kronik yang merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Komplikasi
Universitas Indonesia
kronik dapat mempengaruhi dan merusak sistem organ dalam tubuh pada pasien
DM tipe 1 dan tipe 2 (Wilkinson, Whitehead, & Ritchie, 2013). Komplikasi ini
diklasifikasikan menjadi komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular.
Komplikasi makrovaskular meliputi penyakit arteri koroner, penyakit
serebrovaskular, hipertensi, penyakit vaskular perifer dan infeksi. Sedangkan
komplikasi mikrovaskular terdiri dari retinopati, nefropati dan neuropati (Black
& Hawks, 2009; Ignativicius & Workman, 2010; Greenstein & Wood, 2010).
Komplikasi vaskular pada pasien DM yang memicu terjadinya nefropati dan
neuropati disebabkan oleh hiperglikemi kronis yang mengakibatkan penebalan
pada dinding membran yang bersifat irreversible, sehingga secara langsung dan
tidak langsung toksisitas glukosa ini mempengaruhi integritas sel. Kondisi
iskemi kronis pada pembuluh darah kecil mengakibatkan hipoksia dan
mikroiskemia pada jaringan pengikat (Ignativicius & Workman, 2010).
a) Nefropati diabetik
Nefropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi
pada pasien diabetes. Pada penyakit ini terjadi kerusakan pada filter ginjal
atau yang dikenal dengan glomerulus. Oleh karena terjadi kerusakan
glomerulus maka sejumlah protein darah diekskresikan ke dalam urin secara
abnormal. Protein utama yang diekskresikan adalah albumin. Pada keadaan
normal albumin diekskresikan dalam jumlah sedikit dalam urine. Peningkatan
kadar albumin dalam urine merupakan tanda awal adanya kerusakan ginjal
oleh karena diabetes. Penyakit ginjal diabetik dapat dibedakan menjadi dua
kategori utama berdasarkan jumlah albumin yang hilang pada ginjal, yaitu
(Waspadji, 2009):
(1) Mikroalbuminuria
Terjadi kehilangan albumin dalam urine sebesar 30-300 mg/hari.
Mikroalbuminuria juga dikenal sebagai tahapan nefropati insipien
(O’Callaghan, 2009).
(2) Proteinuri
Terjadi bila terjadi kehilangan albumin dalam urine lebih dari
300mg/hari. Keadaan ini dikenal sebagai makroalbuminuria atau
nefropati overt (O’Callaghan, 2009).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
b) Neuropati diabetik
Komplikasi mikrovaskular secara patogenetik disebabkan oleh meningkatnya
pembentukan Advance Glycosilated End Products (AGEs) akibat
hiperglikemi kronis, yang kemudian terakumulasi sehingga menyebabkan
penebalan otot membran basalis. Membran basalis mengelilingi sel-sel
endotel kapiler (Effendi & Waspadji, 2012). Komplikasi mikrovaskular
meliputi retionopati, nefropati dan neuropati (Smeltzer & Bare, 2008; Black
& Hawks, 2009; Ignativicius & Workman, 2010). Pada pasien DM,
keberadaan neuropati atau penurunan fungsi sel saraf merupakan faktor risiko
terjadinya UKD selain kerusakan perfusi, abnormalitas biokimia dan trauma
(Frykberg, 2003; Bryant & Nix, 2008; Boulton, 2010).
Universitas Indonesia
dibagi dalam dua tipe yaitu iskemi dan entrapment. Neuropati fokal
disebabkan oleh kondisi akut pada sel saraf misalnya pada neuropati kranial
dan femoral. Neuropati fokal entrapment terjadi ketika sel saraf tertekan
pada area tubuh tertentu. Hal ini lebih progresif berkembang dan sering pada
lokasi asimetris seperti luka pada telapak tangan dan telapak kaki (Bryant &
Nix, 2008).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
(3) Klasifikasi
Terdapat beberapa sistem klasifikasi sebagai parameter untuk menilai
UKD berdasarkan infeksi, neuropati, iskemia, kedalaman dan lokasi
jaringan. Beberapa sistem klasifikasi UKD antara lain klasifikasi luka
diabetik Universitas Texas San Antonio, sistem klasifikasi PEDIS
(perfusion/perfusi, extent/luas, depth/kedalaman, infection/infeksi, dan
sensation/sensasi), klasifikasi SAD (size/luas, area/lokasi, dan
depth/kedalaman), dan sistem klasifikasi Wagner (Bryant & Nix, 2008;
RNAO, 2013).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 2.3
Intervensi Keperawatan pada pasien UKD
Pengelolaan Tujuan Penatalaksanaan Tim Kesehatan
Off loading Alas kaki terapi dan protektif Primary care
Insoles, orthosis nurse, dan
Total contact casr, walkers spesialis
Kruk,wheelchair, bed rest diabetik nurse
Mechanical
Evaluasi Evaluasi abnormalitas kaki
kontrol
deformitas dan bekerja sama dengan
kaki multidisiplin ilmu lainnya
dalam penatalaksanaan
deformitas
Wound bed Debridement, topical Active foot
preparation treatment disease :
Kontrol eksudat diabetes
Jenis balutan luka multidisiplinary
Moist wound healing foot
Kontrol infeksi
Wound
kontrol
Penatalaksana Insisi, drainase, dan amputasi
an jaringan
mati
Manajemen Terapi analgetik
nyeri Imobilisasi, manajemen
cemas, TNS
Microbiologi Penatalaksana Antibiotik Active foot
cal kontrol an infeksi Insisi, drainase disease :
Reseksi diabetes
multidisiplinary
foot
Meningkatkan Revaskularisasi endovaskular Active foot
perfusi Rekonstruksi bedah vaskular disease :
(bypass) diabetes
Senam kaki Terapi obat vaskular multidisiplinary
Vascular
diabetik Mengurangi edema foot
kontrol
Hyperbaric oxygen
Penatalaksana Terapi kompresi ekstrenal
an edema Kompresi intermitten
Diuretik
Metabolic Kontrol Insulin Primary care
kontrol metabolik Pengaturan nutrisi nurse dan atau
spesialist
diabetik nurse
Semua pasien Terdiri dari : Primary care
Educational
DM harus 1. Kesadaran diri terhadap nurse
kontrol
memperoleh faktor risiko
Universitas Indonesia
Pencegahan Footcare
recurrence Footnail,Footwear
(Sumber: Edmons, Foster, & Sanders, 2008; Sanchez, 2012; RNAO, 2011;
RNAO, 2013)
Universitas Indonesia
diperlukan untuk pradiabetes dan perawatan diri pasien DM. Proses ini
menggabungkan kebutuhan, tujuan, dan pengalaman hidup pasien DM atau
pradiabetes dan dipandu oleh standar berbasis bukti. Tujuan keseluruhan dari DSME
adalah untuk mendukung informasi pengambilan keputusan, perilaku perawatan diri,
pemecahan masalah, dan kolaborasi aktif dengan tim aktif kesehatan dan untuk
meningkatkan hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup (ADA, 2013).
Universitas Indonesia
2.2.3 Akses
Penyedia DSME menentukan siapa saja yanng bertugas untuk memberikan
pelayanan atau perawatan, menentukan cara terbaik dalam memberikan
pendidikan diabetes dengan penduduk, dan sumber daya apa dapat memberikan
dukungan yang berkelanjutan bagi pasien DM (ADA, 2013).
2.2.6 Kurikulum
Sebuah kurikulum tertulis yang mencerminkan bukti saat dan mempraktekkan
pedoman, kriteria untuk mengevaluasi hasil, akan berfungsi sebagai kerangka
kerja untuk penyediaan DSME. Melalui kurikulum ini akan diketahui sejauh
mana kebutuhan pendidikan yang akan diberikan kepada individu tersebut
(Hass, Maryniuk, Pharmd, Cox, Duker, Edwards et al, 2013).
Universitas Indonesia
2.2.8 Dukungan
Peserta dan instruktur akan bersama-sama mengembangkan rencana tindak
lanjut untuk dukungan manajemen diri yang berkesinambungan dan
berkelanjutan. Tujuan peserta dan rencana dukungan manajemen diri yang
sedang berlangsung akan dikomunikasikan kepada anggota lain oleh tim
perawatan kesehatan (ADA, 2013).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Bagi sebagian besar pasien yang memerlukan insulin, pemeriksaan kadar gula darah
sebanyak 2 sampai 3 kali sehari dianjurkan. Bagi pasien yang menggunakan insulin
sebelum makan, diperlukan sedikitnya tiga kali pemeriksaan per hari untuk
menentukan dosis yang aman. Pasien yang tidak memakai insulin diperbolehkan untuk
mengukut kada gula darahnya minimal dua hingga tiga kali per minggu (Smeltzer &
Bare, 2008).
Penerapan teori keperawatan Orem pada kasus DM sejalan dengan program DSME dan
DSMS dan salah satu pilar pengelolaan DM di Indonesia (edukasi) yang bertujuan
untuk mengubah perilaku dan meningkatkan partisipasi pasien DM. Dimana teori Orem
menerapkan 3 (tiga) konstruk utama yaitu keharusan perawatan diri, perawatan diri dan
sistem keperawatan. Di Indonesia teori self care Orem pada kasus DM telah banyak
diterapkan, salah satunya adalah pengelolaan pasien DM yang dilakukan oleh Ernawati
(2013).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Skema 2.1
Sistem Keperawatan Self Care Theory pada pasien DM
Menyelesaikan Self-care
Tindakan klien
Edukasi footcare, footwear,
Tindakan Mengatur latihan dan
Perawat perkembangan Self-care
Sistem Dukungan-Pendidikan
Teori Orem didasarkan pada tiga konstruk utama yaitu keharusan perawatan
diri, perawatan diri dan sistem keperawatan. Sentral dari teori Orem adalah
keyakinan bahwa individu berfungsi untuk mempertahankan hidup,
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
basic conditioning faktor, universal self care requisites, developmental self care
requisites dan health deviation self care requisites (Alligood & Tomay, 2010).
a) Basic conditioning factor
Menurut Orem (2001) Basic conditioning faktor merupakan kondisi atau
situasi yang dapat mempengaruhi individu dalam memenuhi kebutuhan
dirinya sendiri. Pengkajian basic conditioning factor pada pasien DM
meliputi usia, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, budaya, ras, status
perkawinan, agama, pekerjaan, lingkungan tempat tinggal, status kesehatan,
sistem pelayanan kesehatan, dan bagaimana pemanfaatan fasilitas tersebut
saat mengalami masalah kesehatan (Ernawati, 2013).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
3) Intervensi
Intervensi berdasarkan teori Orem berpedoman pada self care demand dan
bertujuan untuk mendorong pasien sebagai self care agent. Pola keperawatan
yang dapat dilakukan adalah bantuan sepenuhnya, bantuan sebagian, atau
dorongan dan edukasi. Secara detail Orem tidak menguraikan intervensi pada
proses keperawatan. Namun berdasarkan pengkajian dan penegakkan diagnosa,
intervensi keperawatan bedasarkan self care demand dari teori self care dapat
menggunakan NIC dan NOC (Wilson, 2008) sesuai standar NANDA. Intervensi
keperawatan berdasarkan universal self care requisites, developmental self care
Universitas Indonesia
requisites dan health deviation self care requisites dapat dilihat pada tabel
berikut;
Tabel 2.4
Rencana Asuhan Keperawatan berdasarkan universal self care requisites, developmental self
care requisites dan health deviation self care requisites
Tujuan dan kriteria hasil
Diagnosa Keperawatan (NANDA) Intervensi (NIC)
(NOC)
Ketidakseimbangan nutrisi: lebih/kurang dari Nutritional status: Feeding
kebutuhan tubuh berhubungan dengan Food and fluid intake Nutrition management
etidakseimbangan asupan makanan; kurang Nutrient intake Nutrition therapy
pengetahuan;koping individu tidak efektif; Weight control Weigh gain assistance
asupan berlebihan dalam kaitannya dengan
kebutuhan metabolic
Risiko kekurangan volume cairan Electrolyte & acid/base Fluid management
berhubungan perubahan cairan; kegagalan balance Fluid monitoring
mekanisme regulator; dieresis hyperglikemic; Fluid balance
poliuri; muntah;diare; penurunan asupan oral; Hydration
dehidrasi
Risiko ketidakstabilan gula darah: Blood glucose control Monitor blood glucose
berhubungan dengan resistensi insulin, Blood glucose level level
ketidakmampuan pankreas mensekresi insulin Provide simple
carbohydrat
Hyperglycemia
management
Hypoglycemia
management
Kerusakan membran mukosa oral Oral Hygiene Oral health
berhubungan dengan perubahan sirkulasi Tissue integrity: skin restoration
mikrovaskuler ; kadar glukosa darah yang tak & mucous membrane
terkontrol; dehidrasi; stres; trauma
Gangguan eliminasi urinarius dan retensi Urinary elimination Urinary elimination
urinarius berhubungan dengan nefropati Kidney function management
diabetik Urinary retention
management
Konstipasi berhubungan dengan neuropati Bowel elimination Constipation/impaction
diabetik (gastropati diabetik) management
Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan Wound healing: primary Wound care
penurunan sirkulasi; peningkatan kadar intention Wound irrigation
glukosa darah Wound Healing:secondary
intention
Risiko infeksi berhubungan dengan Immune status Infection control
peningkatan kadar glukosa darah; penurunan Knowledge: Infection Infection protection
perfusi jaringan; tidak adekuatnya mekanisme management
pertahanan primer; efek dari penyakit kronik Risk control
- Risk detection
Resiko cidera berhubungan dengan profil Risk control: visual Risk identification
darah yang abnormal, disfungsi impairment Vital signs monitoring
imunautoimun, fisik (integritas kulit tidak Risk detection
utuh, gangguan mobilitas, kerusakan persepsi Blood glucose level
sensori: visual (retinopati)
Nyeri akut/kronik berhubungan dengan agen Comfort level Pain management
cedera (bilogis, kimia, fisik), kerusakan Pain control Analgesic administration
jaringan, dan disfungsi saraf perifer (diabetik
Universitas Indonesia
Sumber: Modifikasi Smeltzer & Bare, (2008); Black dan Hawk (2009); Ignatavisius dan Workman (2010);
Ackley dan Ladwig, (2011); NANDA ; NOC ;NIC
4) Implementasi
Orem (2001) memandang implementasi keperawatan sebagai asuhan kolaboratif
dengan saling melengkapi antara pasien dan perawat. Perawat bertindak dalam
berbagai strategi untuk meningkatkan kemampuan pasien. Dalam implementasi
rencana keperawatan, pasien dan perawat secara bersama-sama melakukan aktivitas
dalam membantu kebutuhan perawatan diri pasien. Pelaksanaan tindakan
keperawatan diberikan sesuai dengan tiga tingkat kemampuan pasien. Ada enam
cara yang dapat dilakukan perawat untuk mengimplementasikan rencana
keperawatan yaitu melakukan tindakan langsung, memberikan pedoman atau
petunjuk, memberikan dukungan psikolgi, memberikan dukungan fisik,
memberikan perkembangan lingkungan yang suportif, dan mengajarkan atau
memberikan pendidikan kesehatan (Renpenning & Taylor, 2014).
Universitas Indonesia
5) Evaluasi
Universitas Indonesia
BAB III
PENERAPAN TEORI SELF CARE DOROTHEA OREM PADA ASUHAN
KEPERAWATAN DENGAN DIABETES MELITUS
Bab ini akan menguraikan pengalaman penulis sebagai care provider, yaitu pemberi
asuhan keperawatan dengan menggunakan landasan teori keperawatan self care Orem.
Format pengkajian dan asuhan keperawatam diadopsi dan dimodifikasi dari buku Nursing
Concept of Practice (Orem, 2001), Self Care Theory in Nursing: Selected Papers of
Dorothea Orem (Renpenning & Taylor, 2003), dan Nursing Theorists and Their Work
Editon (Alligood & Tomay, 2014). Format pengakjian dapat dilihat pada lampiran 1.
Adapun asuhan keperawatan yang diberikan dengan pendekatan teori keperawatan self
care Orem adalah pasien DM Tipe 2 dengan multipel ulkus, gagal ginjal dan hipoglikemia
berulang sebagai kasus kelolaan utama. Pada BAB ini juga akan diuraikan 30 kasus
lainnya yang dikelola selama praktik residensi dengan menggunakan pendekatan teori self
care Orem. Gambaran resume 30 kasus kelolaan dapat dilihat pada lampiran 2.
Pendekatan teori self care dalam asuhan keperawatan selama proses residensi memberikan
kerangka rujukan yang dapat diterapkan pada setiap komponen dari proses keperawatan
meliputi pengkajian, perumusan diagnosa, penyusunan rencana keperawatan, implementasi
dan evaluasi keperawatan. Pendekatan teori self care Orem selama proses residensi
membantu dalam keterampilan berpikir kritis, terutama dalam mengumpulkan, mengatur
dan mengklasifikasi data, memahami, menganalisis, dan menginterpretasikan situasi
kesehatan pasien, memandu perumusan diagnosa, merencanakan, menerapkan dan
mengevaluasi asuhan keperawatan, menjelaskan tindakan keperawatan dan interaksi
dengan pasien, menguraikan dan menjelaskan respon pasien, serta mendiskusikan hasil
akhir yang ingin dicapai pasien.
44 Universitas Indonesia
Ny. Mw, asal jakarta, berusia 41 tahun, dengan keluhan utama sesak dan lemas. Pasien
masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) tanggal 13 November 2013, dan dipindahkan ke
rg rawat lt 7 pada 22 november 2013. Sesak dan lemas dialami sejak semalam (08-12-13)
disertai dengan kesadaran yang tidak stabil (pasien kadang-kadang mengantuk dan apatis).
Keluhan dirasakan berkurang setelah pasien menjalani hemodialisa cito pada malam yang
sama. Keluhan lemas dan sesak dirasakan pasien sejak pertama kali masuk ke RSCM
(IGD, 13-11-2013) yang diketahui mengalami KAD dengan gula darah > 500 mg/dl,
multiple ulkus pada pedis dextra+sinistra dan ulkus ca mamae pada dada sebelah kanan.
Awalnya pasien mengalami demam sejak 3 minggu sebelum MRS (23-10-2013), terus
menerus, tidak menggigil, dan nafsu makan menurun. Pasien dirawat selama 11 hari di
IGD dengan protocol KAD selama 3 hari, hemodialisa, dan perawatan luka pada multiple
ulkus. Pada pemeriksaan fisik diketahui TD: 130/90 mmHg, N: 100x/mnt, P: 22x/mnt, S:
370C. Bernapas dengan bantuan binasal kanul 4 ltm, pernapasan dalam, suara napas ronkhi
basah kasar pada kedua lapang paru, konjungtiva pucat, sclera tidak ikterik. Terpasang
chateter double lumen (CDL) pada leher sebelah kanan, pedis sinistra terbalut elastic
perban sepanjang tibia hingga ke dorsum; rembesan darah (-)/pus (+)/bau (+), femur kanan
terbalut elastic perban; rembesan darah (-)/pus(-)/bau(+). Kesadaran tampak mengantuk
dan gelisah, status neurologis GCS 13 E3V4M6, Pasien tidak berorientasi baik terhadap
tempat, orang dan waktu. Turgor kulit tidak elastis, edema ekstremitas (-). pasien
menggunakan foley kateter hari ke-9, dan kateter intravena pada lengan kiri hari ke-4.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Elektrolit (07-12-13)
Universitas Indonesia
Elektrolit (07-12-13)
Na 135mEq/L/K 3.49 mEq/L/Cl 100.8 mEq/L.
5. Eliminasi S: BAB lancar 2 hari sekali. BAK menggunakan foley kateter Risiko kurang volume cairan
O: dan elektrolit
- Pola BAB 2 hari sekali, lunak, berwarna coklat.
- Hemoroid (-).
- Kebutuhan cairan/24 jam (35-50 cc/kgBB)= 1575 – 2250 cc/24 jam input cairan dibatasi
600cc/24 jam dengan balance -500 cc/24 jam
- BAK melalui folley kateter. urin output 24 jam (08-12-13, 06.00-09-12-13, 06.00)= 600 cc, IWL
24 jam=±450 cc. input; oral: ± 450 cc, parenteral: ± 200 cc, makanan: ± 100 cc= 650 cc
Balance= -400 cc/24 jam
- Pemeriksaan penunjang
Fungsi ginjal (07-12-13)
Kreatinin ↑2.6 mg/Dl/Ureum 32/ Egfr ↓ 22.1 ml/min/1.73^2
6. Keselamatan S: - Kerusakan integritas kulit dan
O: jaringan
- Terdapat 7 ulkus DM pada pedis bilateral Hambatan mobilitas fisik
Risiko penyebaran infeksi
sekunder
4 Risiko cedera
5 3
6
7 2
Universitas Indonesia
7. Endokrin S: DM sejak 1 th lalu, lemas, belum menstruasi sejak masuk RS. - Ketidakstabilan gula darah
O: - Risiko tidak efektifnya
- Kadar gula darah fluktuatif penatalaksanaan program
08-12-13: 06.00= 60 mg/Dl, 11.00= 291 mg/Dl, 16.00= 153 mg/Dl terapeutik
09-12-13 : 06.00= 67 mg/Dl, 11.00= 113 mg/Dl - Risiko cedera
GDP cenderung hipoglikemia
- Pembesaran tiroid (-)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Catatan:
Pada pengkajian kasus Ny. Mw ditemukan 14 masalah keperawatan yakni gangguan
pertukaran gas, fatigue, risiko perubahan perfusi jaringan cerebral, ketidakstabilan gula darah,
risiko tidak efektifnya penatalaksanaan program terapeutik, risiko cedera, ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan, risiko kurang volume cairan dan elektrolit, defisit perawatan
diri, hambatan mobilitas fisik, nyeri akut, kerusakan integritas kulit dan jaringan, risiko
penyebaran infeksi, dan kurang pengetahuan. Dari 14 masalah keperawatan ini terdapat 8
masalah keperawatan prioritas dimana intervensi keperawatannya telah mencakup 6 masalah
keperawatan lainnya.
Terapi Medikasi dan Nutrisi
1 Ampicilin sulbactam 1.5 gr/12 jam/intravena hari ke-4
2 Vancomicyn 500mg/12 jam/ intravena hari ke-4
3 Bicnat 500 mg/8 jam/oral
4 CaCo3 500 mg/8 jam/oral
5 B 12 50 meq/8 jam/oral
6 Captopril 25 mg/8 jam/oral
7 Inahalasi ventolin 100 mcg/6 jam/inhalasi
8 Novorapid 10 unit/8 jam/subkutan
9 Lasix 20 mg/12 jam/drips
10 Diet DM 1500 kkal (protein 0.8-1 gr/kgBB/hr)
11 Hemodialisa 2 kali/minggu (rabu dan sabtu)
Universitas Indonesia
Skema 3.1 Konsep Map Ny. Mw Konsep Map Ny. Mw dengan Multipel Ulkus Diabetik
Debridemen (pembedahan)
penebalan membrane basalis ubah matriks ekstraseluler Konversi glukosa intraseluler Starvasi sel
glomerulus
defek makrofag alveolar
nefropati diabetik ↓ sintesis sel saraf Terputusnya kont jar dan Kelemahan (keterbatasan
risiko infeksi kulit aktivitas)
Universitas Indonesia
Tabel 3.3
Intervensi Keperawatan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Managemen Nutrisi :
1. Tentukan apakah klien
memiliki alergi terhadap
makanan
2. Kolaborasi kebutuhan
nutrisi klien (diit DM
dengan CKD dan
multiple ulkus 1500
kkal dan protein 0.8
g/kgBB)
3. Motivasi klien terhadap
program diit yang
diberikan
4. Berikan snack bila
diperlukan
5. Pastikan bahwa
makanan mengandung
Universitas Indonesia
3 9/12/13 Ketidakstabilan glukosa darah berhubungan dengan resistensi insulin, kurang NOC : NIC:
pengetahuan tentang DM dan ketidakpatuhan pada rencana manajemen DM Blood Glucose control Monitor Blood Glucose
DS: DM sejak 1 th lalu, lemas(+) Blood Glucose Level Level
DO: Indikator : 1. Monitor kadar glukosa
- Kadar gula darah fluktuatif darah sebelum dan sesudah
08-12-13: 06.00= 60 mg/Dl, 11.00= 291 mg/Dl, 16.00= 153 mg/Dl Selama dilakukan perawatan, makan.
09-12-13 : 06.00= 67 mg/Dl, 11.00= 113 mg/Dl diharapkan kadar glukosa darah 2. Monitoring tanda dan
GDP cenderung hipoglikemia pada pagi hari terkontrol, dengan kriteria ; gejala hipoglikemi
- Komplikasi DM (+) ; - GDP < 140 mg/Dl 3. Monitoring tanda dan
Neuropati diabetik (+) neuropati perifer bilateral (+), neuropati autonomic: - GDS < 200 mg/Dl gejala hiperglikemi
kulit kering dan anhidrosis pada kedua kaki - GDP 70 -130 mg/Dl 4. Evaluasi regimen medikasi
Nefropati diabetik (+) - HbA1C < 7% yang dapat mengubah
- Glukosa urin (-) kadar glukosa darah.
- Keton urin (-) 5. Monitor tanda tanda vital
sebelum dan setelah
beraktifitas.
6. Kolaborasi pemberian
terapi insulin sesuai
program.
Provide simple
Universitas Indonesia
Manajemen hyperglikemia
:
1. monitor tanda dan gejala
hiperglikemia
2. monitor adanya keton
dalam urin
3. monitor AGD dan
elektrolit
4. monitor TTV
5. berikan insulin sesuai
program
6. dukung intake cairan
peroral
7. identifikasi kemungkinan
penyebab hiperglikemia
8. fasilitasi regimen terapi
diit dan latihan.
Manajemen Hypoglikemia :
1. identifikasi faktor resiko
hipogikemia
Universitas Indonesia
4 9/12/13 Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera (trauma jaringan) NIC :
NOC Pain Management
S: nyeri luka di dada dan perih pada ulkus pedis sinistra - Pain Level Aktifitas :
O: - Pain Control 1. Pertahankan imobilisasi
- nyeri hilang timbul pada luka di dada terutama saat bergerak, skala 3, VAS 3, Indikator :
nyeri dirasakan berdenyut ± 30 detik. pada area yang sakit
1 = severe
- Terdapat 7 ulkus diabetik pada pedis bilateral.: dengan tirah baring dan
2 = substansial
nyeri ulkus (perih) pada fibula pedis sinistra, skala 4, VAS 3, durasi ± 1 menit 3 = moderately pembebat dll.
terutama saat rawat luka 4 = mildly 2. Elevasikan ekstremitas
nyeri ulkus maleolus lateral pedis sinistra, skala 3, VAS 3, durasi ± 1 menit 5 = not dengan ulkus
terutama saat rawat luka 3. Evaluasi keluhan nyeri
Setelah dilakukan tindakan /ketidaknyamanan,
keperawatan selama 3 x 24 jam perhatikan lokasi dan
masalah nyeri akut pasien
karakteristik termasuk
terkontrol, pasien teradaptasi
dengan kriteria hasil: skala nyeri. Perhatikan
- Menyatakan nyeri terkontrol respon non verbal
- Perbaikan nyeri ulkus VAS 3 terhadap nyeri.
VAS 1 4. Jelaskan prosedur
- Menunjukkan penggunaan sebelum memulai
keterampilan relaksasi tindakan.
5. Berikan alternative
tindakan kenyamanan
misalnya perubahan
posisi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pendidikan kesehatan :
- Ajarkan pentingnya
hygiene kaki dan
perawatan kaki
Kolaborasi :
- Kultur pus
- Berikan antibiotic
sesuai program.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
3.3 Pembahasan
3.3.1 Universal Self Care Requisites
Penatalaksanaan therapeutic nursing dengan pendekatan teori self care Orem
berdasarkan pada universal self care requisites, developmental self care requisites dan
health self care requisites. Implementasi therapeutic nursing pada fase perkenalan
tidak mengalami hambatan, pasien dapat bekerja sama dalam setiap tindakan terapeutik
dan pemberian terapi medikasi. Namun Pasien belum cukup percaya dan mandiri untuk
mengenali kemampuan dirinya dalam mengatasi masalah kesehatan selama dirawat.
Sehingga komunikasi terapeutik dalam kasus ini sangat bermanfaat terutama dalam
mengeksplorasi dan memotivasi pasien dan keluarga.
Pada universal self care requisites dan health self care requisites, tindakan terapeutik
yang diberikan dilakukan untuk meningkatkan dan mempertahankan kebutuhan udara,
air, makanan, keseimbangan antara menyendiri dan interaksi sosial, pemberian
perawatan dalam proses eliminasi dan eksresi, pencegahan bahaya, dan peningkatan
perkembangan pasien.
Universitas Indonesia
Gangguan pertukaran gas pada pasien ini diakibatkan oleh CAP yang dibuktikan
dengan adanya infiltrat pada paru. Infeksi ini disebabkan oleh adanya abnormalitas
dalam imunitas yang diperantarai oleh sel dan fungsi fagosit berkaitan dengan
hiperglikemia, termasuk berkurangnya vaskularisasi. Neutrofil merupakan
granulosit dalam sirkulasi dengan fungsi utama adalah fasositosis dan berperan
dalam inflamasi terhadap infeksi. Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden
infeksi paru pada diabetes dapat berupa defek pada fungsi sel-sel imun dan
mekanisme pertahanan pejamu. Selain itu, ditemukan juga aktivitas bakterisidal
leukosit yang berkurang pada pasien DM, terutama pada mereka yang memiliki
kontrol gula darah yang buruk. Meningkatnya risiko infeksi pada pasien DM
diperkirakan disebabkan oleh defek pada makrofag alveolar atau limfosit. Hal ini
mengakibatkan gangguan pertukaran gas pada membaran alveolar-kapiler yang
dibuktikan dengan hasil analisa gas darah yang abnormal yaitu asidosis metabolic
(Greenstein & Wood, 2009; O’Callaghan, 2009).
Pada pasien dengan asidosis metabolik, konsentrasi plasma dan filtrat rendah. Pada
pasien dengan fungsi ginjal yang normal, asidodis secara langsung menstimulasi
metabolisme glutamine pada tubulus proksimal, menghasilkan NH+4 untuk ekskresi
dan membentuk bikarbonat baru. Asidosis juga meningkatkan sekresi H+ sehingga
meningkatkan rearbsobsi bikarbonat pada tubulus proksimal dan distal. Respon
ginjal ini bertujuan untuk mengembalikan penurunan pH dan HCO3 kembali dalam
batas normal. Selain ginjal paru juga berperan dalam mempertahankan
keseimbangan asam basa pasien. Penurunan pH memicu kemeresptor arteri
terutama di badan karotis dan meningkatkan laju ventilasi sebagai mekanisme
kompensasi untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Hal ini terlihat pada frekuensi
(22x/menit) dan pola napas pasien dalam dan cepat (kusmaul). Pada kasus ini,
pasien telah mengalami infeksi pada paru (CAP) dan CKD stage V, sehingga
peningkatan frekuensi dan perubahan pola napas (kusmaul) tidak dapat memenuhi
kebutuhan oksigen. Sementara itu gagal ginjal yang dialami pasien mengakibatkan
gangguan sekresi H+ dan kehilangan bikarbonat tidak dapat direabsorbsi kembali.
Namun pada pasien dengan kesan asidosis metabolic (saturasi oksigen 63%) ini
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada saat praktikan melakukan evaluasi pada 25-12-13, pasien masih dalam
perawatan dan pemantauan AGD dan elektrolit. Gangguan pertukaran gas
mengalami perbaikan (teratsi sebagian) yang dibuktikan dari hasil AGD (20-12-13)
dengan peningkatan nilai pH (7.28 7.41), HCO3 17.4 mmol/L, pernapasan
16x/menit, sianosis (-), dan suara napas ronkhi basarh kasar. Meskipun demikian,
berdasarkan sistem keperawatan teori self care Orem, pasien telah mengalami
perkembangan tingkat kebutuhan secara bertahap dari kompensatori utuh menjadi
supportif-edukatif. Pasien secara perlahan-lahan belajar akan kebutuhan
oksigenasinya dan telah mampu mengenali serta mengatasi kebutuhan ini, dengan
duduk posisi fowler/semifowler, dan kepatuhan terhadap terapi inhalasi.
Pasien didiagnosa anemia. Kebutuhan energi pasien dengan BB=45 kg, TB=155
cm. BBI=49.5 – 60.5 kg, IMT= 18.75 kg/m2(normal) disertai faktor koreksi usia >
40th, aktivitas ringan, dan stress metabolic adalah 1500 kkal. Saat ini mengalami
penurunan nafsu makan, dan kadang disertai mual dan muntah. Pasien sering tidak
menghabiskan porsi makannya. Hasil laboratorium (lampiran) pada tanggal 07-12-
13 menunjukkan pasien mengalami anemia (Hb= 7g/dl).
Universitas Indonesia
Anemia pada sebagian besar pasien gagal ginjal kronik, mulai terjadi bila LFG
(laju filtrasi glomerulus) turun sampai 35ml/menit. Walaupun penyebab anemia
pada CKD terjadi karena defisiensi eritropoietin tetapi masih ada faktor lain yang
dapat mempermudah terjadinya anemia antara lain menurunnya daya survival sel
darah merah, inhibisi sumsum tulang, kehilangan darah intestinal, dan paling sering
defisiensi besi dan folat. Anemia pada CKD mempengaruhi kualitas hidup pasien
dan menyebabkan terjadi peningkatan morbiditas dan mortalitas. Penatalaksanaan
anemia meliputi beberapa hal, yaitu terapi Eritroproetin (EPO), pemberian transfusi
darah, serta mengidentifikasi dan mencari etiologinya (Hoffbrand, Petit & Moss,
2005).
Pada pasien DM dengan gagal ginjal stage V, secara laboratorik anemia dijabarkan
sebagai penurunan kadar hemoglobin, eritrosit dan hematokrit di bawah normal.
Derajat anemia pada pasien ini adalah anemia berat sesuai dengan klasifikasi WHO
Hb= 6-5-7.7 g/dL. Klasifikasi anemia pada pasien ini didasarkan atas morfologik
dan etiopatogenesis yaitu anemia mikrositik, anemia defisiensi besi dengan
penurunan nilai MCV, MCH, dan nilai MCHC yang normal (lihat lampiran,
pemeriksaan laboratorium) serta penyebab anemia pada pasien ini oleh karena
penurunan fungsi ginjal. Penyebab utama terjadinya anemia pada gagal ginjal
adalah penurunan produksi eritropoietin oleh ginjal. Akan tetapi banyak faktor non
renal yang ikut berkontribusi antara lain infeksi, inflamasi, masa hidup eritrosit
yang memendek, dan faktor-faktor yang berpotensi menurunkan fungsi sumsum
tulang seperti defisiensi besi, dan asam folat (Hoffbrand, Petit & Moss, 2005).
Pada pasien dengan CKD dan Hb 7 g/dL ini tidak dilakukan lakukan transfusi
darah. Target pencapaian Hb dengan transfusi pada pasien CKD adalah 7-9 g/dL.
Transfusi diberikan pada pasien CKD jika Hb < 7 g/dL disertai perdarahan akut
dengan gejala gangguan hemodinamik, dan adanya gejala hipoksia (peningkatan
frekuensi napas, sianosis, dan gejala-gejala yang karena terjadi gangguan pada
otak). Transfusi diberikan dalam bentuk Packed Red Cell (PRC), untuk
menghindari kelebihan cairan diberikan secara bertahap bersamaan dengan waktu
hemodialisis. Bukti klinis menunjukkan bahwa pemberian transfusi sampai Hb 10-
12 g/dL tidak terbukti bermanfaat dan menimbulkan peningkatan mortalitas (Holk,
Cockram, Flyvbjerg, & Goldstein, 2010). Meskipun pada pasien ditemukan sesak
Universitas Indonesia
dan anemia, namun pasien tidak mengalami perdarahan akut dan hipoksia berat.
Sehingga transfusi darah belum diberikan (jika Hb 7 g/dL) oleh karena defisiensi
besi dipenuhi dengan pemberian asam folat dan memaksimalkan asupan nutrisi.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Disamping itu sejalan dengan penurunan fungsi ginjal pada pasien yang diikuti
oleh penurunan kliren insulin oleh ginjal, akumulasi toksik uremik, asidosis
metabolik secara bersama turut berperan memicu resitensi melalui berbagai
mekanisme yang kemudian memperberat keadaan resistensi insulin. Respon yang
diharapkan terjadi pada keadaan gangguan sensitifitas insulin adalah peningkatan
sekresi insulin sebagai upaya memperbaiki metabolisme glukosa. Akan tetapi pada
banyak kasus ternyata hal ini tidak terjadi. Penekanan sekresi insulin ini terjadi
pada gangguan fungsi ginjal tahap lanjut, akibatnya pasien cenderung mengalami
gangguan toleransi glukosa. Salah satu faktor yang menyebabkan penekanan
sekresi insulin pada CKD adalah keadaan asidosis metabolik.
Pada awal CKD hanya terjadi sedikit perubahan kliren insulin oleh ginjal. Pada
pasien, sebagai mekanisme kompensasi terhadap penurunan filtrasi glomerulus
terjadi peningkatan pengambilan insulin peritubuler, mekanisme ini mampu
dipertahankan sampai laju filtrasi glomerulus menurun sampai 15-20 ml/menit.
Pada tahap ini terjadi penurunan kliren insulin yang diperantarai oleh penurunan
metabolisme insulin di hati yang terjadi secara bersamaan. Gangguan metabolisme
insulin dihati diinduksi oleh toksin uremik, keadaan ini membaik setelah dialisis.
Universitas Indonesia
Pada kondisi normal glukagon dan epinefrin disekresi pada kejadian hipoglikemia
akut. Glukagon hanya bekerja di hati. Glukagon mula-mula meningkatkan
glikogenolisis dan kemudian glukoneogenesis. Epinefrin selain meningkatkan
glikogenolisis dan glukoneogenesis di hati juga menyebabkan lipolisis di jaringan
lemak serta glikogenolisis dan proteolisis di otot. Gliserol (hasil lipolisis serta asam
amino alanin dan aspartat) merupakan bahan baku (precursor) glukoneogenesis
hati (Black, 2009). Pada pasien Ny. MW, hipoglikemia berulang yang terjadi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Proses penyembuhan yang tidak maksimal pada ulkus ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu malnutrisi, infeksi, gangguan sirkulasi. Pengelolaan ulkus
kaki diabetik dilakukan dengan berkolaborasi dengan tim bedah vaskuler, dan ahli
gizi setiap hari. Pengelolaan luka pada kasus ini bertujuan untuk mencapai
Universitas Indonesia
Luka dapat memproduksi eksudat mulai dari jumlah sedikit, sedang, hingga
banyak. Luka dengan eksudat yang banyak dapat menyebabkan maserasi pada kulit
sekitar luka dilain pihak luka dengan eksudat sedikit atau tidak ada dapat menjadi
kering. Oleh karena itu perlu ada keseimbangan kelembaban pada luka. Untuk
menjaga keseimbangan kelembaban pada luka maka dilakukan penutupan luka
dengan kasa lembab dan kering
Penyembuhan luka berfokus pada perawatan kulit sekitar luka. Tepi luka yang
berwarna pink merupakan gambaran luka yang sehat sebaliknya tepi luka yang
menebal atau tidak jelas batasnya merupakan gambaran luka yang kurang baik.
Universitas Indonesia
Perawatan tepi luka pada Pasien dilakukan dengan mengontrol eksudat agar tidak
mengenai tepi luka, memberi kelembaban pada kulit sekitar luka menggunakan
skin lotion. Gambaran luka dengan granulasi yang baik serta kontrol infeksi dan
inflamasi yang adekuat.
Disamping wound care, pengelolaan kerusakan integritas kulit dan jaringan juga di
lakukan dengan keadekuatan asupan nutrisi, edukasi dan latihan (ROM) ankle,
serta mengevaluasi status vaskular (sirculation care) serta pematauan pemeriksaan
laboratorium (PT/APTT, albumin, Hb, dan trombosit) untuk mengetahui kondisi
perfusi perifer. Perfusi perifer berperan dalam penyembuhan luka dan harus dikaji
pada pasien dengan ulkus. Sirkulasi yang terganggu meningkatkan risiko
kegagalan penyembuhan, PAD dan amputasi. Saat dilakukan evaluasi pada 25-12-
13, masalah kerusakan kulit dan jaringan belum teratasi. Pada 20-12-13 dilakukan
redebridement pada ulkus maleolus lateral pedis sinistra dan direncanakan untuk
skin graft pada 26-12-13. Selama 14 proses keperawatan, pasien sangat bekerja
sama dalam pengelolaan ulkus diabetik. Berdasarkan teori self care Orem, pasien
tidak mengalami perubahan dalam tingkat ketergantungan (kompensatori
sebagian), namun pasien telah mau belajar dan mengatasi nyeri secara mandiri
terutama saat rawat luka.
Sesuai dengan kondisi ini, berdasarkan teori self care Orem pasien berada pada
kebutuhan kompensatori sebagian dimana pasien berada dalam ketidakmampuan
untuk melakukan sebagian aktivitas perawatan diri. Hal ini diakibatkan karena
Universitas Indonesia
Prinsip pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit pada pasien DM dengan CKD
adalah menjaga keseimbangan fisiologis tubuh (cairan, elektrolit, asam basa darah,
dan nutrisi) serta mencegah dan mengobati komplikasi. Sehingga aspek terapi
cairan bertujuan untuk mempertahankan keseimbangan fisiologis tubuh yang
terkait pula dengan nutrisi. Pada pasien ini, perawat melakukan kolaborasi untuk
menjaga keseimbangan cairan yang bertujuan untuk memelihara sirkulasi internal
dan volum ekstraselular secara konstan dengan mengatur asupan cairan pasien.
Terapi cairan pada CKD dapat berbeda pada satu pasien dengan pasien lainnya,
dan berbeda pula pada seorang pasien dari hari kehari. Sebelum memberikan terapi
cairan harus ditentukan terlebih dahulu status hidrasi pasien, apakah hipovolemia,
normovolemia, atau kelebihan cairan (overload). Pada pasien ini, perawat
melakukan pengkajian dan evaluasi terhadap status hidrasi dengan pemeriksaan
turgor kulit, auskultasi paru untuk menilai edema paru, pemeriksaan edema
tungkai, catatan keluar dan masuk cairan setiap hari, dan pengukuran berat badan.
Pasien cukup bekerja sama dalam proses keperawatan yang dilakukan selama 14
hari. Tidak terjadi perubahan tingkat ketergantungan (kompensatori sebagian) pada
pasien, namun pasien mau belajar untuk memenuhi kebutuhan cairan (minum)
sebanyak 600 cc/24 jam, dan mau mencatat setiap masukan dan produksi urin
dalam 24 jam.
Universitas Indonesia
Pada pasien dengan DM tipe II terjadi kerusakan dalam produksi maupun sistem
kerja insulin, sedangkan insulin sangat dibutuhkan dalam melakukan regulasi
metabolisme karbohidrat. Akibatnya, pasien diabetes mellitus akan mengalami
gangguan pada metabolisme karbohidrat. Insulin tidak dapat menjalankan fungsi
penting pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Kondisi ini menghambat
transport glukosa ke dalam sebagian besar sel sehingga pasien mengalami
kelemahan yang diperberat oleh asupan nutrisi yang tidak adekuat.
Universitas Indonesia
Pada 07-12-13 ditemukan perubahan jumlah granulosit yakni Leu ↑15070/uL, Bas
0.6%/Eos 3.6%/Neut ↑81.5%/Limf ↓10.3 /Mon 4.0%/LED ↑131 mm. Terjadinya
lekositosis neutrofil pada pasien dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, inflamasi
dan nekrosis jaringan (ulkus diabetik), asidosis metabolic, dan uremia (akibat gagal
ginjal). Peningkatan jumlah neurtofil ini biasanya disertai dengan demam akibat
Universitas Indonesia
Selama proses keperawatan, pasien hanya sesekali melakukan kontak sosial dengan
pasien lain, petugas kesehatan dan orang lain setiap hari. Pasien belum berkeluarga
sehingga support system dalam keluarga adalah kakak pasien dan keponakan. Pasien
Universi