Anda di halaman 1dari 208

i

UNIVERSITAS INDONESIA

PENERAPAN TEORI SELF CARE DOROTHEA OREM PADA


ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2
DENGAN MULTIPLE ULKUS, CKD ST V, DAN HIPOGLIKEMIA
BERULANG DI RSUPN CIPTO MANGUNKUSUMO

KARYA ILMIAH AKHIR

Titi Iswanti Afelya


1106122890

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
DEPOK
2014

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


ii

UNIVERSITAS INDONESIA

PENERAPAN TEORI SELF CARE DOROTHEA OREM PADA


ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2
DENGAN MULTIPLE ULKUS, CKD ST V, DAN HIPOGLIKEMIA
BERULANG DI RSUPN CIPTO MANGUNKUSUMO

KARYA ILMIAH AKHIR

Diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh


Gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah

Titi Iswanti Afelya


1106122890

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
DEPOK
2014

Universitas Indonesia
ii
Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014
iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tulisan yang terdapat dalam Karya Ilmiah Akhir ini belum pernah disampaikan atau
diajukan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Ners Spesialis Keperawatan
Medikal Bedah di institusi pendidikan manapun. Berdasarkan pengetahuan dan keyakinan
penulis, Karya Ilmiah Akhir ini tidak memuat tulisan-tulisan yang pernah dipublikasikan
orang lain secara keseluruhan kecuali tulisan tersebut digunakan sebagai bahan rujukan.

Nama : Titi Iswanti Afelya

NPM : 1106122890

TandaTangan :

Tanggal : Juli 2014

iii
Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


iv

HALAMAN PENGESAHAN

Karya Ilmiah ini diajukan oleh:

Nama : Titi Iswanti Afelya


NPM : 1106122890
Program Studi : Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia
Judul Karya Ilmiah : Penerapan Teori Self Care Dorothea Orem pada Pasien DM
dengan Multipel Ulkus, CKD Stage V, dan Hipoglikemia
Berulang di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta

Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Spesialis Keperawatan Medikal
Bedah, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : Dr. Ratna Sitorus, S.Kp.,M.App.Sc ( )

Pembimbing II : Yulia, PhD ( )

Penguji : Yunisar Gultom, SKp.,MCIN ( )

Penguji : Ernawati, M.Kep.,Sp.Kep.MB ( )

Ditetapkan di : Depok
Tanggal : Juli, 2014

iv
Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunan laporan praktik residensi spesialis keperawatan medikal
bedah ini. Selama proses pelaksanaan praktik residensi selama 1 tahun hingga penulisan
laporan Karya Ilmiah Akhir ini penulis mendapat banyak bantuan, bimbingan, motivasi
dan doa dari berbagai pihak, karena itu pada kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis
ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada:

1. Dr. Ratna Sitorus, S.Kp., M.APP.Sc., selaku Supervisor Utama yang telah memberikan
bimbingan dengan penuh perhatian dan kesabaran pada penulis dalam penyusunan
laporan ini.
2. Yulia, S.Kp.,MN.,Ph.D selaku Supervisor yang telah memberikan bimbingan dan
arahan dengan penuh kesabaran pada penulis dalam penyusunan laporan ini.
3. Yunisar Gultom, S.Kp.,MCINsg selaku Supervisor Klinik yang telah membimbing
penulis selama menjalani praktik residensi di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
4. Ernawati, M.Kep.,Sp.Kep.MB, selaku Penguji yang telah memberikan bimbingan dan
arahan dengan penuh kesabaran pada penulis dalam penyusunan laporan ini.
5. Dra. Juaniti Sahar, M.App.Sc., P.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
6. Direktur RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta beserta staf struktural maupun
fungsional yang telah memberikan ijin dan kesempatan pada kami untuk melakukan
kegiatan praktek residensi.
7. Penanggung jawab, Kepala ruangan dan perawat ruangan lantai 7 Gedung A ,
Poliklinik penyakit dalam dan IGD RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta yang telah
memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis selama melakukan kegiatan
praktek residensi.
8. Teman sejawat Program Residensi Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu
Keperawatan angkatan 2011 yang telah memberikan dukungan moril selama
penyusunan laporan ini.
9. Orangtua tercinta Ayahanda Suwarno dan Ibunda Sumini Suti serta seluruh keluarga
yang telah memberikan semangat, motivasi dan doa sehingga menjadi penyemangat
bagi penulis selama menjalani praktek residensi dan menyelesaikan penulisan laporan
ini.

Universitas Indonesia
v
Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014
vi

10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menjalani praktek residensi dan
penyelesaian laporan ini.

Tiada kata yang indah dan tulus selain ucapan terima kasih untuk semua bantuan,
dukungan dan doa yang telah diberikan kepada penulis, semoga Tuhan yang Maha
Pengasih dan Penyayang yang akan membalas dengan kebaikan.

Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran demi
penyempurnaan laporan ini sangat dibutuhkan dan semoga laporan ini bermanfaat bagi
pengembangan dan peningkatan ilmu keperawatan.

Depok, Juli 2014

Penulis

vi Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


vii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Titi Iswanti Afelya

NPM : 1106122890

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Kekhususan : Keperawatan Medikal Bedah

Fakultas : Ilmu Keperawatan

Jenis Karya : Karya Ilmiah Akhir

Demi pengembangan ilmu pengetahuan , menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non – Eksklusif (Non-exclusive Royalty -
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: “Penerapan Teori Self Care Dorothea
Orem pada Pasien DM dengan Multipel Ulkus, CKD Stage V, dan Hipoglikemia Berulang di
RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta” , beserta perangkat yang ada (jika diperlukan).
Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mangalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (data base), merawat,
mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di: Depok

Pada tanggal: Juli 2014

Yang menyatakan

(Titi Iswanti Afelya)

vii Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


viii

ABSTRAK

Nama : Titi Iswanti Afelya


Program Studi : Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
Judul : Penerapan Teori Self Care Dorothea Orem pada Pasien DM dengan
Multipel Ulkus, CKD Stage V, dan Hipoglikemia Berulang di
RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta

Salah satu kelompok penyakit metabolik yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau keduanya adalah Diabetes Melitus (DM) yang ditandai dengan hiperglikemia. Kondisi
hiperglikemia yang berkepanjangan menyebabkan DM menjadi salah satu masalah kesehatan yang
besar di seluruh dunia karena komplikasinya dapat muncul secara akut maupun kronik. Perawat
berperan penting dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas melalui Diabetes Self-
Management Education (DSME) dan Diabetes Self-Management Support (DSMS) untuk
mencegah komplikasi dan membantu meningkatkan perubahan gaya hidup yang penting bagi
individu. Penerapan DSME dan DSMS dapat dilakukan perawat dengan mengaplikasikan teori Self
Care Dorothea Orem pada proses keperawatan. Penerapan teori ini berfokus pada kemampuan
individu dalam melakukan tindakan keperawatan mandiri, mengenali dan mengatur kebutuhan
perawatannya. Penerapan evidence based practice sesuai program DSME dan DSMS dalam upaya
meningkatkan self care pasien DM adalah melalui penggunaan buku harian Pemantauan Gula
Darah Mandiri (PGDM). Proyek inovasi latihan kekuatan otot dan keseimbangan dilakukan pada
pasien DM lansia untuk mencegah jatuh, meningkatkan kekuatan otot dan keseimbangan berjalan.

Kata kunci: Diabetes Melitus, Orem’s Self care, Pemantauan Gula Darah Mandiri (PGDM)

viii Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


ix

ABSTRACT

Nama : Titi Iswanti Afelya


Program Studi : Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
Judul : Orem's Self Care Theory Application in Type 2 Diabetes Mellitus
Patient Nursing Care with Multiple Ulcers, Kidney failure, and
Recurrent Hypoglycemia in RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta

One of metabolic diseases that occurs due to abnormalities in insulin secretion, insulin action or
both is diabetes mellitus (DM). It is characterized by hyperglycemia. Prolonged of hyperglycemia
causes various complication become major health problem worldwide. Nurses play an important
role in reducing morbidity and mortality through the Diabetes Self-Management Education
(DSME) and Diabetes Self-Management Support (DSMS) to prevent the complications and
improve lifestyle changes. Framework of DSME and DSMS were applied using Dorothea Orem’s
Self Care. The application of this theory focuses on the individual's ability to independently
perform nursing actions, identify and manage the treatment needs. Evidence-based practice related
to DSME and DSMS programs by using Self Monitoring Blood Glucose Diary (SMBG). The
inovation project was muscle strengths and balances exercises in elderly diabetic patients with
neuropathy, in other to prevent falls and improve the muscle strengths and balances.

Keywords: Diabetes Mellitus, Orem’s Self care, Self Monitoring Blood Glucose (SMBG)

Universitas Indonesia
ix
Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014
x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................i
PERNYATAAN ORISINALITAS ..............................................................................iii
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... ..iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................. ..v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...................................................... ..vii
ABSTRAK .............................................................................................................. ..viii
ABSTRACT ............................................................................................................ ..ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ..x
DAFTAR TABEL.................................................................................................... ..xii
DAFTAR SKEMA................................................................................................... ..xiii
DAFTAR GRAFIK.................................................................................................. ..xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ ..xv
DAFTAR SINGKATAN.......................................................................................... ..xvi

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan ..................................................................................... 3
1.3 Manfaat Penulisan ..................................................................................... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus ................................................................................... 5
2.1.1 Definisi ................................................................................. 5
2.1.2 Patofisiologi ................................................................................. 6
2.1.3 Diagnosis DM ................................................................................. 7
2.1.4 Penatalaksanaan ................................................................................. 8
2.1.5 Komplikasi ................................................................................. 12
2.2 DSME dan DSMS ................................................................................... 25
2.2.1 Struktur Internal ................................................................................. 26
2.2.2 Input Ekstrenal ................................................................................. 26
2.2.3 Akses ................................................................................. 27
2.2.4 Koordinasi Program ..................................................................... 27
2.2.5 Staf Instruksional ...................................................................... 27
2.2.6 Kurikulum ................................................................................. 27
2.2.7 Individu dan Peserta ..................................................................... 27
2.2.8 Dukungan ................................................................................. 28
2.2.9 Perkembangan Pasien ..................................................................... 28
2.2.10 Peningkatan Kualitas ..................................................................... 28
2.3 Pemantauan Gula Darah Mandiri (PGDM) ............................................. 29
2.4 Konsep Teori Self Care Defisit Dorothea E. Orem ................................. 31
2.4.1 Konsep utama Teori Self Care Orem .............................................. 32
2.4.2 Proses Keperawatan ...................................................................... 36

3. Penerapan Teori Self Care Orem pada Asuhan Keperawatan DM


3.1 Gambaran Kasus Kelolaan ..................................................................... 45
3.2 Penerapan Teori self care Dorothea Orem ............................................. 46

Universitas Indonesia
x
Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014
xi

3.3 Pembahasan ..................................................................... 67


3.4 Analisis Penerapan Teori Self Care Orem ................................................ 84

4. Penerapan EBN
4.1 Telaah Jurnal ................................................................................................ 95
4.2 Penerapan Buku Harian ....................................................................... 98
PGDM
4.3 Pembahasan ................................................................................................. 107

5. Analisis Kegiatan Inovasi Kelompok


5.1 Analisis Situasi ......................................................................................... 114
5.2 Kegiatan Inovasi ......................................................................................... 117
5.3 Evaluasi ......................................................................................... 118
5.4 Pembahasan ......................................................................................... 123

6. Kesimpulan dan Saran


6.1 Kesimpulan .............................................................................................. 126
6.2 Saran .............................................................................................. 127

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 128

Universitas Indonesia
xi
Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014
xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kelompok OHO Pada Kejadian Hipoglikemia.............................. 13


Tabel 2.2 Klasifikasi UKD berdasarkan Wagner (modifikasi)....................... 23
Tabel 2.3 Intervensi Keperawatan pada pasien UKD.................................... 24
Tabel 2.4 Rencana Asuhan Keperawatan berdasarkan universal self care
requisites, developmental self care requisites dan health
deviation self care requisites.......................................................... 41
Tabel 3.1 Tabel Data Pengkajian................................................................... 46
Tabel 3.2 Perumusan Diagnosa Keperawatan............................................... 52
Tabel 3.3 Intervensi Keperawatan.................................................................. 55
Tabel 4.1 Distribusi Subjek berdasarkan Jenis Kelamin, Pendidikan, topik
edukasi, Penyakit lain yang diderita, dan Keluhan Hipoglikemia 104
Tabel 4.2 Distribusi Subjek berdasarkan Usia dan Lama Menderita DM...... 105
Tabel 4.3 Distribusi rata-rata kadar gula darah puasa, kadar gula darah
sebelum makan siang dan sebelum makan malam......................... 105
Tabel 5.1 Distribusi Subjek berdasarkan Jenis Kelamin dan Pendidikan..... 119
Tabel 5.2 Distribusi Subjek berdasarkan Usia dan Lama Menderita DM...... 120
Tabel 5.3 Distribusi Subjek berdasarkan waktu berdiri tandem, berdiri
unipedal, jumlah langkah, waktu berdiri dan berjalan, waktu
berdiri dan duduk, dan waktu tempuh jalan.................................. 120
Tabel 5.4 Evaluasi Buku Panduan Latihan Kekuatan dan Keseimbangan..... 122

Universitas Indonesia
xii
Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014
xiii

DAFTAR SKEMA

Skema 2.1 Sistem Keperawatan Self Care Theory pada pasien DM................ 35

Skema 3.1 Konsep Map Ny. Mw dengan Multipel Ulkus Diabetik................. 54

xiii Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014 ix


xiv

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1 Gambaran kadar gula darah rata-rata pada kelompok kontrol
dan kelompok buku harian PGDM........................................... 106

xiv Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Format Pengkajian


Lampiran 2 Gambaran 30 Resume Kasus Kelolaan Menggunakan
Pendekatan Teori Self Care Dorothea Orem
Lampiran 3 Informed Consent Penerapan PGDM
Lampiran 4 Data Identitas Pasien post exercise Penerapan PGDM
Lampiran 5 Buku Harian PGDM
Lampiran 6 Buku Panduan Latihan Kekuatan dan Keseimbangan pada
Pasien DM dengan Neuropati
Lampiran 7 Lembar Kuesioner Booklet Interaktif
Lampiran 8 Daftar Riwayat Hidup

xv
Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


xvi

DAFTAR SINGKATAN

ABI : Ankle Brachial Index


ADA : American Diabetes Association
AGD : Analisa Gas Darah
AGEs : Advanced Glycosilated End Products
CDL : Chateter Double Lumen
CNS : Clinical Nurse Specialist
DM : Diabetes Melitus
DSME : Diabetic Self Management Education
DSMS : Diabetic Self Management Support
EBN : Evidence Based Nursing
HGBI : High Blood Glucose Index
LBGI : Low Blood Glucose Index
EASD : European Association for The Study of Diabetes
IDF : International Diabetes Federation
KAD : Ketoasidosis Diabetik
ND : Nefropati Diabetik
OHO : Obat Hipoglikemik Oral
PAD : Peripheral Arterial Disease
PERKENI : Persatuan Endokrinologi Indonesia
PGDM : Pemantauan Gula Darah Mandiri
PNP : Peripheral Neurophaty
PVD : Peripheral Vascular Disease
RNAO : Registered Nurse of Ontario
SMBG : Self Monitoring Blood Glucose
SWME : Semme-Weinstein Monofilament Examination
UKD : Ulkus Kaki Diabetik
WHO : World Health Organization

xvi Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem endokrin adalah salah satu dari dua sistem regulatorik utama dalam tubuh, yang
terdiri dari kelenjar endokrin tanpa duktus yang tersebar di seluruh tubuh. Kelenjar
endokrin melaksanakan fungsinya dengan mengeluarkan hormon ke dalam darah, dan
terdapat banyak interaksi fungsional di antara berbagai kelenjar endokrin. Pankreas adalah
salah satu organ yang berperan dalam sistem endokrin dan berfungsi dalam mengatur
metabolisme bahan bakar. Sel endokrin pada pankreas dikenal sebagai pulau langerhans,
meliputi sel α yang menghasilkan glukagon dan sel β yang menghasilkan insulin
(Sherwood, 2012).

Salah satu kelompok penyakit metabolik yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya adalah Diabetes Melitus (DM) (Purnamasari, 2009). Diabetes
melitus (DM) ditandai dengan peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemia)
(Suyono, 2009; ADA, 2013). Kondisi hiperglikemia yang berkepanjangan menyebabkan
DM menjadi salah satu masalah kesehatan yang besar di seluruh dunia karena
komplikasinya dapat muncul secara akut maupun kronik (Ignativicius & Workman, 2010).

Organisasi Kesehatan dunia World Health Organization (WHO) memprediksi jumlah


pasien DM di seluruh dunia meningkat menjadi 366 juta jiwa pada tahun 2030 (WHO,
2006). Data terbaru menurut Diabetes Atlas bahwa jumlah pasien DM diseluruh dunia
pada tahun 2030 diperkirakan meningkat mencapai 552 juta jiwa dari 371 jiwa di tahun
2012. Sebaran prevalensi DM ke dalam beberapa wilayah menunjukkan bahwa Indonesia
termasuk dalam sebaran pasien DM terbanyak pada tahun 2011 hingga tahun 2030 (IDF,
2012).

Peningkatan jumlah pasien DM di Indonesia turut meningkatkan jumlah pasien yang


mengalami komplikasi akibat DM. Hal ini dibuktikan oleh data yang dicatat oleh Rumah
Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo sebagai Rumah Sakit
rujukan nasional di Indonesia. Data rawat jalan RSUPN Cipto Mangunkusumo pada
periode Januari hingga Desember 2013 mencatat sebanyak 2834 kasus DM tipe 1 dan DM
tipe 2, dengan komplikasi multipel sebanyak 760 kasus, komplikasi ginjal 67 kasus,

Universitas Indonesia
1
Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014
2

komplikasi sirkulasi perifer 136 dan koma ketoasidosis sebanyak 12 kasus. Dan pada
periode Januari hingga Juni 2014 tercatat sebanyak 1070 kasus DM tipe 1 dan DM tipe 2,
dengan komplikasi multipel sebanyak 172 kasus, komplikasi ginjal 8 kasus, komplikasi
sirkulasi perifer 22 kasus dan koma ketoasidosis sebanyak 3 kasus. Sedangkan data rawat
inap RSUPN Cipto Mangunkusumo pada periode Januari hingga Desember 2013 mencatat
sebanyak 2070 kasus DM tipe 1 dan DM tipe 2, dengan komplikasi multipel sebanyak
1179 kasus, komplikasi ginjal 69 kasus, komplikasi sirkulasi perifer 171 dan koma
ketoasidosis sebanyak 58 kasus. Dan pada periode Januari hingga Juni 2014 tercatat
sebanyak 1085 kasus DM tipe 1 dan DM tipe 2, dengan komplikasi multipel sebanyak 376
kasus, komplikasi ginjal 50 kasus, komplikasi sirkulasi perifer 70 kasus dan koma
ketoasidosis sebanyak 42 kasus (RM RSUPN Cipto Mangunkusumo, 2014).

Untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien DM disertai dengan
komplikasi multipel dan komplikasi lainnya sangat diperlukan peran dari tenaga kesehatan
profesional khususnya perawat. Perawat berperan sebagai pemberi layanan asuhan
keperawatan, menjadi penghubung antara pasien dan multidsiplin lainnya, pemberi
informasi bagi pasien hingga membuat keputusan klinis yang tepat dan akurat
berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan praktik berbasis bukti dalam memberikan asuhan
keperawatan secara holistik (National Diabetes Nursing Knowledge and Skills Framework,
2009). Perawat juga diharapkan dapat memahami kondisi pasien yang disebut sebagai
spesialis perawat klinik atau Clinical Nurse Specialist (CNS). Clinical Nurse Specialist
(CNS) meningkatkan pelayanan keperawatan melalui pendidikan, konsultasi, penelitian,
dan sebagai agen pembaharu dalam sistem kesehatan (Jansen & Staufacher; 2010).

Oleh karena itu, perawat diharapkan dapat menerapkan asuhan keperawatan berbasis
evidence based practice nursing, dan sebagai inovator dengan menerapkan hal-hal yang
terbaru dalam bidang keperawatan yang bertujuan untuk meningkatkan asuhan
keperawatan serta tidak luput menjalani peran lainya seperti pemimpin, kolaborator, agen
pembaharu, role model dan advokasi terhadap pasien. Pengelolaan pasien tersebut
dilakukan di ruang rawat inap lantai 7 gedung A RSCM, di Instalasi Gawat Darurat, dan di
Poliklinik Endokrin. Asuhan keperawatan yang diberikan menggunakan pendekatan teori
Self Care Dorothea Orem. Penerapan teori ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
seseorang dalam merawat dirinya sendiri dan bukan menempatkan pasien dalam posisi
bergantung (Christensen & Kenney, 2009).

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


3

Di samping sebagai praktisi, perawat spesialis juga berperan sebagai peneliti, pembaharu
dan role model dengan menerapkan tindakan keperawatan berbasis bukti (evidence based
nursing atau EBN). Evidence Based Nursing (EBN) yang diterapkan adalah penerapan
buku harian pemantauan gula darah mandiri (PGDM). Self-Monitoring Blood Glucose
(SMBG) atau Pemantauan Gula Darah Mandiri (PGDM) merupakan komponen penting
dalam terapi modern untuk pasien DM. Pemantauan Gula Darah Mandiri (PGDM) telah
direkomendasikan untuk pasien DM dan profesional perawatan kesehatan dalam rangka
untuk mencapai kendali glikemik dan mencegah hipoglikemia. Peran sebagai peneliti ini
dapat dilihat pada BAB IV.

Peran perawat spesialis selanjutnya yang telah dilakukan residen adalah sebagai inovator
dengan menerapkan latihan untuk meningkatkan kekuaatan otot dan keseimbangan pada
pasien DM dengan neuropati. Inovasi ini dilakukan sesuai dengan kebutuhan lahan praktik
dan dilakukan secara berkelompok. Inovasi dilakukan dengan membuat dan menyusun
panduan latihan kekuatan otot dan keseimbangan untuk pasien DM dengan neuropati dan
panduan untuk perawat atau pendamping pasien. Peran residen sebagai inovator dibahas
pada BAB V.

Berdasarkan uraian maka dalam penulisan analisa praktik residensi ini, residen akan
memaparkan penerapan pendekatan teori self care Dorothea Orem pada pasien DM dengan
multiple ulkus, CKS stage V, dan hipoglikemia berulang dalam menjalankan peran sebagai
perawat spesialis dengan menerapkan tindakan keperawatan berbasis bukti ilmiah dan
melakukan inovasi untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan untuk mencapai
derajat kesehatan yang optimal.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Memberikan analisis tentang penerapan teori self care Dorothea Orem dalam pemberian
asuhan keperawatan pasien DM dengan multiple ulkus, CKD stage V, dan hipoglikemia
berulang dalam menjalankan peran sebagai perawat spesialis dengan menerapkan tindakan
keperawatan berbasis bukti ilmiah (evidence based nursing) dan melakukan inovasi untuk
meningkatkan kualitas asuhan keperawatan.

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


4

1.2.2 Tujuan Khusus


a. Menganalisis kegiatan praktik sebagai pemberi asuhan keperawatan dengan pendekatan
teori self care Dorothea Orem pada pasien DM dengan multiple ulkus, CKD stage V,
dan hipoglikemia berulang.
b. Menganalisis kegiatan praktik sebagai peneliti dalam melakukan penerapan tindakan
keperawatan berbasis bukti ilmiah (evidence based nursing) yaitu penerapan buku
harian pemantauan gula darah mandiri (PGDM).
c. Menganalisis kegiatan praktik sebagai inovator dalam melakukan penerapan latihan
kekuatan otot dan keseimbangan pada pasien DM dengan neuropati.

1.3 Manfaat Penulisan


1.3.1 Pelayanan Keperawatan
Karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan menjadi acuan dalam
melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem endokrin
menggunakan pendekatan teori self care, meningkatkan pengetahuan dan motivasi perawat
dalam melakukan tindakan keperawatan menggunakan penerapan berbasis pembuktian
ilmiah yaitu penerapan buku harian PGDM serta meningkatkan kemampuan perawat untuk
senantiasa melakukan inovasi-inovasi keperawatan dalam rangka meningkatkan kualitas
asuhan keperawatan.

1.3.2 Pengembangan Keilmuan Keperawatan


Karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan keperawatan
dalam pemberian asuhan keperawatan dengan pendekatan model atau teori keperawatan,
penerapan EBN dan inovasi serta menjadi salah satu acuan dalam pengelolaan pasien DM
tipe 1 dan 2 dengan komplikasi sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kemandirian
pasien dan keluarga. Melalui KIA ini diharapkan pula adanya pengembangan berbagai
strategi PGDM untuk pencegahan komplikasi akut dan kronis pada pasien DM.

1.3.3 Pendidikan Keperawatan


Hasil praktik keperawatan residensi keperawatan dapat memberikan manfaat kepada
pendidikan keperawatan dengan menjadikan salah satu rujukan bahan ajar tentang asuhan
keperawatan pasien gangguan sistem endokrin dengan pendekatan menggunakan teori self
care yang dapat semakin dikembangkan oleh mahasiswa.

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


5

BAB II

TINJAUAN TEORI

Hiperglikemia yang berkepanjangan pada pasien DM akan menimbulkan komplikasi baik


akut maupun kronik. Komplikasi akut yang ditemukan oleh residen sepanjang
melaksanakan praktik residensi di ruang rawat yaitu terjadinya hipoglikemia. Sedangkan
komplikasi kronis yang ditemui yakni komplikasi ginjal meliputi gagal ginjal kronik akibat
nefropati dan ulkus kaki diabetik (UKD) yang terjadi akibat neuropati dan gangguan pada
sirkulasi perifer. Disamping nefropati dan neuropati, kondisi hiperglikemi yang tidak
terkontrol juga mengakibatkan penurunan imunitas yang mengakibatkan gangguan pada
mekanisme pertahanan tubuh. Kondisi ini merupakan faktor risiko terhadap infeksi kuman
penyakit lainnya seperti tuberculosis dan pneumonia.

Penatalaksanaan DM di Indonesia, diuraikan dalam empat pilar utama yaitu edukasi, terapi
nutrisi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologi. American Diabetes Association
(ADA) (2014) dalam Standard of Medical Care in Diabetes dan National Standard for
Diabetes merekomendasikan Diabetes Self-Management Education (DSME) dan Diabetes
Self-Management Support (DSMS) untuk mencegah komplikasi dan membantu
meningkatkan perubahan gaya hidup yang penting bagi pasien DM. Oleh sebab itu strategi
menggunakan pendekatan teori keperawatan diterapkan dalam pengelolaan pasien DM
sebagai salah satu upaya untuk mencapai perubahan gaya hidup. Salah satu model yang
sesuai bagi pasien DM adalah teori self care Dorothea Orem yang difokuskan untuk
mengidentifikasi kebutuhan perawatan diri pasien DM dan tindakan keperawatan guna
memenuhi kebutuhan tersebut. Orem menekankan pentingnya tindakan intervensi untuk
kebutuhan self care dan upaya terus menerus untuk mempertahankan kehidupan dan
kesehatannya serta mengatasi dampaknya. Oleh karena itu pada BAB ini akan diuraikan
mengenai karakteristik dan patofisiologi DM, penatalaksanaan medis, komplikasi dan
pendekatan teori self care Orem dalam pemberian asuhan keperawatan DM.

2.1 Diabetes Melitus


2.1.1 Definisi
Diabetes melitus (DM) adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Smeltzer & Bare, 2010),

5 Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


6

yang diakibatkan oleh kerusakan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (ADA,
2013). Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis progresif yang dikarakteristikkan
dengan ketidakmampuan tubuh dalam metabolisme karbohidrat, protein dan lemak
(Black & Hawks, 2009).

Diabetes melitus (DM) adalah kondisi jangka panjang yang memerlukan pengendalian
gula darah dengan mempertahankan diet, latihan dan pengobatan yang tepat
(Wilkinson, Whitehead, & Ritchie, 2013). Semua pasien DM baik tipe 1 dan tipe 2
memerlukan pemantauan untuk mencegah timbulnya komplikasi makrovaskular dan
mikrovaskular yang dapat memicu terjadinya ulkus kaki diabetik (Edmons, Foster, &
Sanders, 2008).

2.1.2 Patofisiologi
1) DM tipe 1
Penyebab DM tipe 1 adalah kehancuran autoimun sel beta pankreas yang
menyebabkan defisiensi insulin absolut. Infiltrasi pulau pankreas oleh makrofag
yang teraktifasi, limfosit T sitotoksik dan supresor, dan limfosit B menimbulkan
insulitis destruktif yang sangat selektif terhadap populasi sel beta. Sekitar 70-90 %
sel beta hancur sebelum timbul gejala klinis (Greenstein & Woods, 2010; Smeltzer
& Bare, 2010). Diabetes tipe 1 merupakan gangguan poligenik dengan peran faktor
genetik sebesar 30%. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang
memiliki tipe antigen Human Leucocyte Antigen (HLA) tertentu yakni kumpulan
gen yang bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses imun lainnya.
Kondisi defisiensi insulin absolut menyebabkan pasien DM tipe 1 membutuhkan
insulin untuk kontrol glikemik (Greenstein & Wood, 2010).

Pasien DM tipe 1 lebih berisiko terhadap komplikasi makrovaskular dibandingkan


pasien DM tipe 2 (Black & Hawk, 2009), dan memiliki risiko tertentu terhadap
komplikasi mikrovaskular (Greenstein & Woods, 2010). Salah satu komplikasi
makrovaskular yang memicu terjadinya UKD adalah peripheral vascular disease
(PVD) atau penyakit vaskular perifer yang ditandai dengan adanya iskemi pada
ekstremitas bawah (Ikem, Ikem, Adebayo & Soyoye, 2010).

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


7

2) DM tipe 2
Pasien DM tipe II memiliki dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin,
yaitu resistensi insulin dan atau gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan
terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya
insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme
glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai dengan penurunan
reaksi intrasel yang mengakibatkan insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan (Black & Hawk, 2009;
Ignativicius & Workman, 2010).

Faktor risiko terjadinya DM tipe 2 menurut American Diabetes Association (ADA,


2013) terdiri dari: 1) faktor risiko mayor yakni riwayat keluarga DM, obesitas,
kurang aktifitas fisik, ras/etnik, hipertensi, riwayat DM pada kehamilan dan
sindrom polikistik ovarium, dan 2) faktor risko lainnya berupa asupan nutrisi
berlebih, konsumsi alkohol, stres, merokok, paritas dan asupan zat besi.
Berdasarkan faktor risiko ini, maka kontrol glikemik pasien DM tipe 2 dilakukan
dengan pengaturan pola makan, perubahan gaya hidup, dan obat hipoglikemik
untuk mencegah komplikasi akut maupun kronis.

2.1.3 Diagnosis
International Expert Commitee yang terdiri dari ADA, IDF, dan European
Association for The Study of Diabetes (EASD), merekomendasikan tes hemoglobin
glikosilat (A1C/HbA1C) untuk mendiagnosa DM dengan standar ≥ 6.5% (ADA,
2013). Sementara di Indonesia, PERKENI (2011) menentukan kriteria diagnosa DM
dengan ditemukannya salah satu dari kondisi berikut: 1) terdapat gejala klasik DM
(poliuria, polifagi, polidipsi dan penurunan berat badan) dan glukosa plasma sewaktu
≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L). 2) terdapat gejala klasik DM (poliuria, polifagi, polidipsi
dan penurunan berat badan) dan kadar glukosa plasma puasa ≤ 126 mg/dL (7.0
mmol/L), dan 3) kadar gula plasma 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥
200 mg/dL (11.1 mmol/L). Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria
normal atau DM, maka pasien dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi
glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu atau GDPT
(PERKENI, 2011).

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


8

2.1.4 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup pasien
DM. Tujuan penatalaksanaan DM dibedakan ke dalam tujuan jangka pendek, tujuan
jangka panjang, dan tujuan akhir: 1) tujuan jangka pendek adalah menghilangkan
keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan mencapai tanrget
pengendalian glukosa darah. 2) tujuan jangka panjang adalah dengan mencegah dan
menghambat progresifitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati,
dan 3) tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM
(PERKENI, 2011).

Penanganan pasien DM dilakukan secara holistik oleh berbagai profesi yang terdiri
dari dokter, perawat, ahli gizi, apoteker,dan tim kesehatan lain. Rencana pengelolaan
harus dirumuskan sebagai terapi kolaboratif antara pasien dan keluarga, perawat,
dokter, dan anggota lain dari tim perawatan kesehatan. Berbagai strategi dan teknik
berbeda digunakan untuk menyediakan fasilitas pendidikan dan pengembangan
kemampuan memecahkan masalah dalam berbagai aspek manajemen DM tipe 1, DM
tipe 2, dan DM tipe lainnya (ADA, 2013).

Penatalaksanaan DM di Indonesia, diuraikan dalam empat pilar utama yaitu


perencanaan makan, latihan jasmani, obat berkhasiat hipoglikemia, dan penyluhan
atau edukasi (PERKENI, 2011; Waspadji, 2013);

1) Perencanaan Makan
Prinsip pengaturan makan pada pasien DM hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum yaitu makan seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing. Pada pasien DM perlu ditekankan pentingnya
keteraturam makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama
pada mereka yang menggunakan obat hipoglikemik atau insulin (PERKENI, 2011).
Terapi nutrisi merupakan komponen integral dari pencegahan, pengelolaan dan
edukasi self-management. Selain sebagai manajemen pencegahan dan kontrol DM,
TNM juga merupakan bagian penting dalam keseluruhan perilaku hidup sehat
(Tjokroprawiro, 2006).

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


9

Waspadji (2013) dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu menguraikan


standar makanan yang dianjurkan bagi pasien DM, yaitu makanan dengan
kompisisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan
kecukupan gizi baik; karbohidrat 45-60%, protein 10-20%, dan lemak 20-25%.
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan
kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman.

2) Latihan Jasmani
Latihan merupakan bagian penting dari rencana pengelolaan DM. Latihan secara
teratur telah terbukti meningkatkan kontrol glukosa darah, mengurangi faktor risiko
kardiovaskular, berkontribusi terhadap penurunan berat badan, dan meningkatkan
kesejahteraan. Selain itu, latihan rutin dapat mencegah diabetes tipe 2 pada
individu yang berisiko tinggi. Latihan yang dilakukan sebagai intervensi minimal 8
minggu telah terbukti menurunkan A1C lebih rendah (rata-rata 0,66%) pada pasien
DM tipe 2 (Waspadji, 2009).

Pada DM tipe 2, latihan jasmani berperan utama dalam pengaturan kadar glukosa
darah. Produksi insulin umumnya tidak terganggu terutama pada awal menderita
DM tipe 2. Masalah utama pada DM tipe 2 adalah kurangnya respon reseptor
terhadap insulin. Karena adanya gangguan tersebut insulin tidak dapat membantu
transfer glukosa dalam sel. Kontraksi otot memiliki sifat seperti insulin.
Permeabilitias membran terhadap glukosa meningkat pada otot yang sedang
berkontraksi. Pada saat olahraga resistensi insulin berkurang, sebaliknya
sensitivitas insulin meningkat, hal ini menyebabkan kebutuhan insulin pada DM
tipe 2 akan berkurang. Respon ini hanya terjadi setiap kali berolahraga, tidak
merupakan efek yang menetap atau berlangsung lama, oleh karena itu latihan
jasmani harus dilakukan terus menerus dan teratur (Ilyas, 2013).

Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih
30 menit, yang sifatnya sesuai continous, rhytmical, interval, progressive,
endurance training (CRIPE). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85%
denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi
penyakit penyerta. Sebagai contoh olahraga ringan adalah berjalan kaki biasa

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


10

selama 30 menit, olahraga sedang adalah berjalan cepat selama 20 menit dan
olahraga berat misalnya jogging (Waspadji, 2013).

3) Pengelolaan Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan. Penggunaan farmakologi dalam diabetes dapat berupa obat hipoglikemik
oral yang memicu sekresi insulin seperti sulfonilurea dan glinid, dapat juga obat
penambah sensitivitas terhadap insulin seperti biguanid dan tiazolidion,
penghambat glukosidase alfa dan incretin mimetic yang merupakan penghambat
DPP-4. Untuk kondisi dimana obat oral tidak memungkinkan lagi untuk digunakan
maka penggunaan insulin dapat menjadi pilihan (PERKENI, 2011).

Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 akan memerlukan insulin


eksogen untuk mengendalikan kadar gula darahnnya (Waspadji, 2013). Insulin
eksogen adalah insulin yang disuntikkan dan merupakan suatu produk farmasi.
Insulin mempunyai beberapa terhadap jaringan tubuh. Insulin menstimulasi
pemasukan asam amino ke dalam sel dan kemudian meningkatkan sintesa protein.
Insulin meningkatkan penyimpanan lemak dan mencegah penggunaan lemak
sebagai bahan energi. Insulin menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel untuk
digunakan sebagai sumber energi dan membantu penyimpanan glikogen di dalam
sel otot dan hati (Soegondo, 2013).

Insulin eksogen sebagai terapi diindikasikan bagi semua pasien DM tipe 1, pada
pasien DM tipe 2 yang tidak dapat mencapai target pengendallian kadar glukosa
darah dengan terapi jenis lain, pasien DM tipe 2 dengan kondisi stres berat (infeksi
berat, tindakan pembedahan), ketoasidosis diabetik (KAD), pengobatan sindroma
hiperglikemia hiperosmolar non-ketotik, gangguan fungsi ginjal atau hati yang
berat, dan pada pasien DM dengan kontrainsikasi atau alergi terhadap OHO
(Soegondo, 2013).

4) Edukasi
Edukasi merupakan bagian integral dari asuhan keperawatan pasien DM. Edukasi
diabetes adalah pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan keterampilan

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


11

bagi pasien DM yang bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk


meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya, yang diperlukan untuk
mencapai keadaan sehat, optimal dan penyesuaian keadaan psikologik serta
kualitas hidup yang lebih baik (Waspadji, 2013). Pemberdayaan pasien DM
memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan
mendampingi pasien dalam menuju perubahan aktif perilaku sehat. Untuk
mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif
dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah
mandiri (PGDM), tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus
diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah (PGDM) dapat
dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus (PERKENI, 2011).

Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. PGDM
dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin.
Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada tujuan pemeriksaan yang
pada umumnya terkait dengan terapi yang diberikan. Waktu yang dianjurkan
adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal
glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara
siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa
gejala),atau ketika mengalami gejala seperti hypoglycemic spells. PDGM terutama
dianjurkan pada pasien DM yang mendapat terapi insulin, pasien dengan A1C yang
tidak mencapai target setelah terapi,wanita hamil dengan hiperglikemia dan
kejadian hipoglikemia berulang (PERKENI, 2011)

Dalam pengelolaan sehari-hari, pengobatan dan perawatan pasien DM tipe 1 harus


dipantau secara terencana. Pemantauan dapat dilakukan dengan melakukan
anamnesa, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang
dapat dilakukan adalah 1) pemeriksaan kadar glukosa darah untuk mengetahui
apakah sasaran terapi telah tercapat disamping untuk penyesuaian dosis obat.
Pemeriksaan kadar gula darah dapat dilakukan secara mandiri pada pasien yang
telah mendapatkan edukasi. 2) pemeriksaan hemoglobin glikosilat atau HbA1C,
merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu
sebelumnya, namun tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka
pendek. Pemeriksaan HbA1C dinajurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


12

dalam setahun. 3) Pemantauan gula darah mandiri (PGDM), PGDM dianjurkan


bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin. Waktu
pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada tujuan pemeriksaan yang pada
umumnya terkait dengan terapi yang diberikan. Waktu yang dianjurkan adalah
pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal
glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara
siklus tidur(untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa
gejala),atau ketika mengalami gejala seperti hypoglycemic spells. 4) pemeriksaan
glukosa urin, pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung.
Batas ekskresi glukosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dl, dapat bervariasi pada
beberapa pasien. Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi ginjal dan tidak
dapat digunakan untuk menilai keberhasilan terapi. 5) pemantauan benda keton,
Pemeriksaan benda keton juga diperlukan pada penyandang diabetes yang sedang
hamil. Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat, sementara benda keton
yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Saat ini telah dapat dilakukan
pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam darah secara langsung dengan
menggunakan strip khusus. Kadar asam beta hidroksibutirat darah <0,6 mmol/L
dianggap normal, di atas 1,0 mmol/L disebut ketosis dan melebihi 3,0 mmol/L
indikasi adanya KAD. Pengukuran kadar glukosa darah dan benda keton secara
mandiri, dapat mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya KAD
(PERKENI, 2011).

2.1.5 Komplikasi
1) Komplikasi akut
a) Hipoglikemia
(1) Definisi
Menurut Smeltzer & Bare (2008), hipoglikemia merupakan kondisi
dimana kadar gula darah turun di bawah 50 hingga 60 mg/dl (2.7 hingga
3.3 mmol/L). Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau
preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau
karena aktivitas fisik yang berat. Hipoglikemia dapat terjadi setiap saat
pada siang atau malam hari. Kejadian ini bisa dijumpai sebelum makan,
khususnya jika waktu makan tertunda atau bila pasien lupa makan
camilan. Sebagai contoh, hipoglikemia siang hari terjadi bila insulin

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


13

reguler yang disuntikkan pada pagi hari mencapai puncaknya, sementara


hipoglikemia pada sore hari timbul bersamaan dengan puncak kerja NPH
yang diberikan pada pagi hari. Hipoglikemia pada tengah malam dapat
terjadi akibat pencapaian puncak kerja NPH yang disuntikkan pada malam
hari, khususnya bila pasien tidak makan camilan sebelum tidur.

Terapi farmakologi yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia dapat


dibedakan dalam dua kelompok yaitu kelompok obat dengan risiko rendah
hipoglikemia (grup 1) dan kelompok obat dengan risiko tinggi
hipoglikemia (grup 2). Kelompok OHO ini dapat di lihat pada tabel
berikut.
Tabel 2.1
Kelompok OHO pada kejadian hipoglikemia
Kelompok obat risiko rendah Kelompok Obat risiko tinggi
hipoglikemia hipoglikemia
Metformin Gliclazide, Glimepiride
Acarboce Glyburide
Proglitazone Nateglinide, Repaglinide
Saxagliptin, Sitagliptin Clorpopamide, tolbutamide
Liraglutide, Exanatide

Sumber: Canadian Journal of Diabetes, 2013

(2) Tanda dan Gejala


Gejala hipoglikemia dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu
gejala adrenergik dan gejala sistem saraf pusat.

Hipoglikemia ringan
Respon fisiologis kontraregulasi terhadap hipoglikemia melibatkan
pelepasan hormon, terutama glukagon dan adrenalin (Heller, 2011).
Hormon-hormon ini merangsang produksi glukosa hepatik dan
menghambat penyerapan glukosa di perifer, sehingga kadar glukosa
meningkat. Menurut American Diabetes Association (ADA) (2005)
ambang glikemik untuk glukagon dan pelepasan adrenalan jika gula darah
3.6 mmol/L hingga 3.9 mol/L. Akan tetapi dengan perjalanan DM,

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


14

produksi glukagon secara bertahap menjadi terganggu, sehingga respon


otonom untuk hipoglikemia tergantung pada pelepasan adrenalin yang
menyebabkan gejala adrenergik seperti tremor, kelaparan, palpitasi,
takikardi, dan berkeringat (Heller 2011).

Hipoglikemia sedang
Fungsi otak yang normal tergantung pada pasokan glukosa terus menerus.
Penurunan kadar glukosa darah menyebabkan sel-sel otak tidak
memperoleh cukup bahan bakar untuk bekerja dengan baik (Smeltzer &
Bare, 2008; Bilous & Donnelly 2010). Tanda-tanda gangguan fungsi pada
sistem saraf pusat mencakup ketidakmampuan berkonsentrasi, sakit
kepala, vertigo, konfusi, penurunan daya ingat, patirasa di bibir serta lidah,
bicara pelo, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan emosional, perubahan
perilaku, penglihatan ganda, dan perasaan ingin pingsan. Kombinasi gejala
ini (disamping gejala adrenergik) dapat terjadi pada hipoglikemia sedang
(Smetzer & Bare, 2008).

Hipoglikemia berat
Fungsi sistem saraf pusat mengalami gangguan berta sehingga pasien
memerlukan pertolongan orang lain. Gejala meliputi perilaku yang
disorientasi, serangan kejang, sulit dibangunkan dari tidur atau bahkan
kehilangan kesadaran. Gejala hipoglikemia dapat terjadi mendadak dan
tanpa terduga sebelumnya. Kombinasi semua gejala dapat bervariasi pada
pasien (Smetzer & Bare, 2008).

Faktor lain yang berperan dalam menimbulkan perubahan gejala


hipoglikemia adalah penurunan respon hormonal (adrenergik) terhadap
hipoglikemia. Keadaan ini terjadi pada sebagian pasien yang telah
menderita diabetes selama bertahun-tahun. Penurunan respon adrenergik
tersebut dapat berhubungan dengan salah satu komplikasi kronis DM yaitu
neuropati otonom. Dengan penurunan kadar glukosa darah, pelepasan
adrenalin yang normal tidak terjadi. Pasien tidak merasakan gejala
adrenergik yang lazim. Keadaan hipoglikemia ini terdeteksi setelah timbul

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


15

gangguan sistem saraf pusat yang sedang atau berat (Smetzer & Bare,
2008).

(3) Pengelolaan Hipoglikemia


Glukosa oral
Sesudah diagnosis hipoglikemia ditegakkan dengan pemeriksaan glukosa
darah kapiler, 10-20 g glukosa oral harus segera diberikan. Idealnya dalam
bentuk tablet, jelly, atau 150-200 ml minuman yang mengandung glukosa
seperti jus buah segar. Sebaiknya coklat manis tidak diberikan karena
lemak dalam coklat dapat menghambat absorbsi glukosa. Bila belum ada
jadwal makan dalam 1-2 jam perlu diberikan tambahan 10-20 g
karbohidrat kompleks Bila pasien kesulitan menelan dan keadaan tidak
terlalu gawat, pemberian madu atau gel glukosa lewat mukosa rongga
mulut (buccal) dapat dicoba (Soemadji, 2009).

Glukagon intramuskular
Glukagon 1 mg intramuskular dapat diberikan oleh tenaga nonprofesional
yang terlatih dan hasilnya akan tampak dalam 10 menit. Kecepatan kerja
glukagon tersebut sama dengan pemberian glukosa intravena. Bila pasien
sudah sadar pemberian glukagon harus diikuti dengan pemberian glukosa
oral 20 g dan dilanjutkan dengan pemberian 40 g karbohidrat dalam
bentuk tepung untuk pemulihan. Pada keadaan puasa yang panjang atau
hipoglikemia yang diinduksi alkohol, pemberian glukagon mungkin
tergantung dari stimulasi glikogenolisis yang terjadi (Soemadji, 2009).

Glukosa intravena
Glukosa intravena harus diberikan dengan hati-hati. Pemberian glukosa
dengan konsentrasi 50% terlalu toksik untuk jaringan dan 75-100 ml
glukosa 20% atau 150-200 ml glukosa 10% dianggap lebih aman (Heller,
20011).

2) Komplikasi kronis
Pasien DM dalam jangka waktu yang panjang berisiko terhadap komplikasi
kronik yang merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Komplikasi

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


16

kronik dapat mempengaruhi dan merusak sistem organ dalam tubuh pada pasien
DM tipe 1 dan tipe 2 (Wilkinson, Whitehead, & Ritchie, 2013). Komplikasi ini
diklasifikasikan menjadi komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular.
Komplikasi makrovaskular meliputi penyakit arteri koroner, penyakit
serebrovaskular, hipertensi, penyakit vaskular perifer dan infeksi. Sedangkan
komplikasi mikrovaskular terdiri dari retinopati, nefropati dan neuropati (Black
& Hawks, 2009; Ignativicius & Workman, 2010; Greenstein & Wood, 2010).
Komplikasi vaskular pada pasien DM yang memicu terjadinya nefropati dan
neuropati disebabkan oleh hiperglikemi kronis yang mengakibatkan penebalan
pada dinding membran yang bersifat irreversible, sehingga secara langsung dan
tidak langsung toksisitas glukosa ini mempengaruhi integritas sel. Kondisi
iskemi kronis pada pembuluh darah kecil mengakibatkan hipoksia dan
mikroiskemia pada jaringan pengikat (Ignativicius & Workman, 2010).

a) Nefropati diabetik
Nefropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi
pada pasien diabetes. Pada penyakit ini terjadi kerusakan pada filter ginjal
atau yang dikenal dengan glomerulus. Oleh karena terjadi kerusakan
glomerulus maka sejumlah protein darah diekskresikan ke dalam urin secara
abnormal. Protein utama yang diekskresikan adalah albumin. Pada keadaan
normal albumin diekskresikan dalam jumlah sedikit dalam urine. Peningkatan
kadar albumin dalam urine merupakan tanda awal adanya kerusakan ginjal
oleh karena diabetes. Penyakit ginjal diabetik dapat dibedakan menjadi dua
kategori utama berdasarkan jumlah albumin yang hilang pada ginjal, yaitu
(Waspadji, 2009):
(1) Mikroalbuminuria
Terjadi kehilangan albumin dalam urine sebesar 30-300 mg/hari.
Mikroalbuminuria juga dikenal sebagai tahapan nefropati insipien
(O’Callaghan, 2009).

(2) Proteinuri
Terjadi bila terjadi kehilangan albumin dalam urine lebih dari
300mg/hari. Keadaan ini dikenal sebagai makroalbuminuria atau
nefropati overt (O’Callaghan, 2009).

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


17

Patogenesis nefropati diabetik pada DM tipe 2 bervariasi. Pasien sering


didiagnosi sudah dengan mikroalbuminuria yang disebabkan karena
keterlambatan diagnosis dan faktor lain yang mempengaruhi ekskresi protein.
Sebagian kecil pasien dengan mikroalbuminuria akan berkembang menjadi
penyakit ginjal tahap lanjut. Tanpa intervensi, sebanyak 30% pasien akan
berkembang menjadi nefropati dengan proteinuria yang nyata, dan setelah 20
tahun mengalami nefropati, sekitar 20% akan berkembang menjadi penyakit
ginjal tahap akhir. Diabetes yang lama menyebabkan perubahan pada
pembuluh darah kecil yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal dimana
kerusakan ginjal tersebut dapat menyebabkan kegagalan ginjal yang berat.
Kerusakan ginjal dapat dimulai sejak tahun pertama setelah terdiagnosis
menderita DM tipe I dan dapat ditemukan pada saat terdiagnosis DM tipe II.
Namun diperlukan waktu sekitar 5-10 tahun untuk menjadi masalah
kerusakan ginjal yang bermakna (Greenstein & Wood, 2010).

Pada keadaan normal insulin berperan penting dalam proses biologis di


dalam tubuh terutama menyangkut metabolisme karbohidrat. Hormone ini
berfungsi dalam proses utilisasi glukosa pada hampir seluruh jaringan tubuh,
terutama otot, lemak dan hati. Selain hati, ginjal berperan penting dalam
metabilisme glukosa. Dari total kliren insulin secara keseluruhan, sekitar 60%
terjadi melalui filtrasi di glomerulus dan 40 % di ekstraksi dari pembuluh
darah peritubuler yang kemudian disekresi oleh tubulus. Insulin dari lumen
tubulus memasuki sel tubulus proksimal melalui carier mediated endocytosis
dan kemudian di bawa melalui lisosom dimana kemudian di metabolisme
menjadi asam amino. Pada akhirnya hanya kurang dari 1% insulin yang di
filtrasi keluar melalui urin. Kecepatan kliren insulin oleh ginjal 200 ml/menit,
melebihi kecepatan laju glomerulus karena ada kontribusi sekresi insulin oleh
tubulus. Oleh karena itu dapat diperkirakan bahwa setiap hari sekitar 6-8 unit
insulin di degradsi oleh ginjal, setara dengan 25 % produksi insulin oleh
pankreas setiap hari (Krentz; 2002; O’Callaghan, 2009; Prodosudjadi, 2009).

Pengaruh genetik, lingkungan, faktor metabolik dan hemodinamik


berpengaruh terhadap terjadinya proteinuria. Gangguan awal pada jaringan
ginjal sebagai dasar terjadinya nefropati adalah terjadinya proses hiperfiltrasi-

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


18

hiperperfusi membran basal glomeruli. Gambaran histologi jaringan pada ND


memperlihatkan adanya penebalan membran basal glomerulus, ekspansi
mesangial glomerulus yang akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis,
hyalinosis arteri eferen dan eferen serta fibrosis tubulo interstitial.
Peningkatan glukosa yang menahun (glukotoksisitas) pada pasien yang
mempunyai predisposisi genetik merupakan faktor-faktor utama ditambah
faktor lainnya dapat menimbulkan nefropati. Glukotoksisitas terhadap basal
membran dapat melalui 2 jalur (Black & Hawks, 2009; Ignativicius &
Workman, 2010; Greenstein & Wood, 2010):

(1) Alur metabolik (metabolic pathway)


Faktor metabolik diawali dengan hiperglikemia, glukosa dapat bereaksi
secara proses non enzimatik dengan asam amino bebas menghasilkan
AGE’s (advance glycosilation end-products). Peningkatan AGE’s akan
menimbulkan kerusakan pada glomerulus ginjal. Terjadi juga akselerasi
jalur poliol, dan aktivasi protein kinase C. Pada alur poliol (polyol
pathway) terjadi peningkatan sorbitol dalam jaringan akibat
meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim aldose reduktase.
Peningkatan sorbitol akan mengakibatkan berkurangnya kadar inositol
yang menyebabkan gangguan osmolaritas membran basal (O’Callaghan,
2009).

(2) Alur Hemodinamik


Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada pasien DM terjadi
akibat glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel endotel
pembuluh darah. Faktor hemodinamik diawali degan peningkatan
hormon vasoaktif seperti angiotensin II. angiotensin II juga berperan
dalam perjalanan ND. Angiotensin II berperan baik secara hemodinamik
maupun non-hemodinamik. Peranan tersebut antara lain merangsang
vasokontriksi sistemik, meningkatkan tahanan kapiler arteriol
glomerulus, pengurangan luas permukaan filtrasi, stimulasi protein
matriks ekstra selular, serta stimulasi chemokines yang bersifat
fibrogenik (Greesnstein & Woods, 2009).

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


19

Hipotesis ini didukung dengan meningkatnya kadar prorenin, aktivitas


faktor von Willebrand dan trombomodulin sebagai penanda terjadinya
gangguan endotel kapiler. Hal ini juga yang dapat menjelaskan mengapa
pada pasien dengan mikroalbuminuria persisten, terutama pada DM tipe
2, lebih banyak terjadi kematian akibat kardiovaskular dari pada akibat
gagal ginjal terminal (GGT). Peran hipertensi dalam patogenesis diabetik
kidney disease masih kontroversial, terutama pada pasien DM tipe 2
dimana pada pasien ini hipertensi dapat dijumpai pada awal malahan
sebelum diagnosis diabetes ditegakkan. Hipotesis mengatakan bahwa
hipertensi tidak berhubungan langsung dengan terjadinya nefropati tetapi
mempercepat progesivitas ke arah GGT pada pasien yang sudah
mengalami diabetik kidney disease. Dari kedua faktor diatas maka akan
terjadi peningkatan TGF beta yang akan menyebabkan proteinuria
melalui peningkatan permeabilitas vaskuler. TGF beta juga akan
meningkatkan akumulasi ektraseluler matrik yang berperan dalam
terjadinya ND (O’Callghan, 2009).

b) Neuropati diabetik
Komplikasi mikrovaskular secara patogenetik disebabkan oleh meningkatnya
pembentukan Advance Glycosilated End Products (AGEs) akibat
hiperglikemi kronis, yang kemudian terakumulasi sehingga menyebabkan
penebalan otot membran basalis. Membran basalis mengelilingi sel-sel
endotel kapiler (Effendi & Waspadji, 2012). Komplikasi mikrovaskular
meliputi retionopati, nefropati dan neuropati (Smeltzer & Bare, 2008; Black
& Hawks, 2009; Ignativicius & Workman, 2010). Pada pasien DM,
keberadaan neuropati atau penurunan fungsi sel saraf merupakan faktor risiko
terjadinya UKD selain kerusakan perfusi, abnormalitas biokimia dan trauma
(Frykberg, 2003; Bryant & Nix, 2008; Boulton, 2010).

Neuropati diabetes mengacu pada sekelompok penyakit yang menyerang


semua tipe saraf, termasuk saraf perifer, otonom dan spinal. Patogenesis
neuropati dalam diabetes dikaitkan dengan mekanisme vaskuler atau
metabolik atau keduanya (Smeltzer & Bare, 2008). Neuropati dapat
dibedakan menjadi neuropati fokal dan neuropati difus. Neuropati fokal

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


20

dibagi dalam dua tipe yaitu iskemi dan entrapment. Neuropati fokal
disebabkan oleh kondisi akut pada sel saraf misalnya pada neuropati kranial
dan femoral. Neuropati fokal entrapment terjadi ketika sel saraf tertekan
pada area tubuh tertentu. Hal ini lebih progresif berkembang dan sering pada
lokasi asimetris seperti luka pada telapak tangan dan telapak kaki (Bryant &
Nix, 2008).

Neuropati difus meliputi polineuropati sensorik dan neuropati otonom yang


terjadi akibat kondisi metabolik, vaskular dan struktural yang abnormal.
Kondisi ini sering ditemukan pada pasien DM (Bryant & Nix, 2008;
Ignativicius & Workman, 2010). Polineuropati sensorik disebut juga
neuropati perifer. Neuropati perifer mengenai bagian distal serabut saraf,
khususnya saraf ekstremitas bawah (Smeltzer & Bare, 2008). Neuropati
meningkatkan risiko UKD dengan perurunan fungsi pada saraf sensori
(kontrol sensasi), saraf motorik (kontrol fungsi motorik), dan saraf otonom
(kontrol fungsi kelenjar keringat, aliran darah, dan heart rate) (Bryant & Nix,
2008). Gejala permulaannya adalah parastesi dan rasa terbakar (pada malam
hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati, kaki terasa baal. Penurunan
sensibilitas nyeri dan suhu membuat pasien neuropati berisiko untuk
mengalami cedera dan infeksi pada kaki tanpa diketahui (Armstrong &
Lavery, 2003).

Ulkus Kaki Diabetik


(1) Definisi
Ulkus kaki diabetik atau UKD didefinisikan sebagai luka terbuka pada
kaki yang dapat menembus kulit, jaringan lunak hingga ke tulang yang
diawali dengan penetrasi penebalan kulit kaki pada pasien DM
(Edmuns, Foster, & Sanders, 2008; Boada, 2012). Ulkus kaki diabetik
(UKD) merupakan komplikasi yang umum terjadi, bersifat kronis dan
memerlukan biaya tinggi, dengan faktor risiko riwayat ulkus
sebelumnya. Ulkus kaki diabetik (UKD) tidak dengan sendirinya
didiagnosis tetapi merupakan manisfestasi spektrum komorbiditas yang
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien DM dan menjadi
penyebab utama amputasi kaki (Jeffcoate & Harding, 2003; Stanley &

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


21

Collier, 2008; Hokkam, 2009; Vatankhah, Khamseh, Noude, Aghili,


Baradaran & Haeri, 2009; Vedhara, Beattie, Metcalfe, Roche, Weinman,
Cullum et al, 2012).

(2) Etiologi dan Faktor Risiko


Ulkus kaki diabetik (UKD) merupakan hasil dari beberapa faktor risiko
yang terjadi bersama-sama pada pasien DM. Beberapa faktor risiko ini
memicu terjadinya ulkus pada kaki pasien DM dengan mengakibatkan
kerusakan kulit atau menghalangi penyembuhan luka. Pada kebanyakan
pasien DM, neuropati perifer menjadi penyebab utama. Neuropati perifer
menyebabkan kekuatan yang abnormal pada kaki dimana iskemi
mengakibatkan kulit menjadi lemah untuk menahan. Komplikasi lain
yang berkontribusi terhadap terjadinya UKD termasuk penglihatan yang
buruk, mobilitas sendi yang terbatas, dan penyakit kardiovaskular
(Jeffcoate & Harding, 2003; Leung, 2007; Boulton, 2010). Akan tetapi
pencetus UKD yang paling umum adalah trauma yang didahului oleh
neuropati perifer terutama akibat penggunakan alas kaki yang kurang
tepat dan penyakit vaskular perifer. Setelah kulit rusak, banyak proses
yang berkontribusi terhadap kegagalan penyembuhan. Beberapa faktor
risiko yang menyebabkan UKD antara lain faktor instrinsik, faktor
ekstrinsik dan perilaku pasien (Frykberg, Zgonis, Armstrong, Driver,
Giurini, Kravits, et al, 2006; Rhim & Harkless, 2012):
(a) Faktor instrinsik. Faktor-faktor ini meliputi plantar hiperkeratosis
(kalus), deformitas progresif (hammer toe, pes cavus, penonjolan
metatarsal/ mata ikan), mobilitas minim, dan deformitas kaki berat
akibat charcot neuroarthropathy (Frykberg, Zgonis, Armstrong,
Driver, Giurini, Kravits, et al, 2006).
(b) Faktor ekstrinsik, meliputi penggunaan alas kaki yang kurang tepat,
trauma mekanik, benda asing, keterbatasan pengetahuan tentang
diabetes dan manifestasi gangguan pada kaki (Rhim & Harkless,
2012).
(c) Faktor perilaku pasien, seperti kebiasaan berjalan tanpa alas kaki,
kurangnya perawatan kaki, kurangnya self-care , higienitas tidak

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


22

baik, dan merokok (Frykberg, Zgonis, Armstrong, Driver, Giurini,


Kravits, et al, 2006).

(3) Klasifikasi
Terdapat beberapa sistem klasifikasi sebagai parameter untuk menilai
UKD berdasarkan infeksi, neuropati, iskemia, kedalaman dan lokasi
jaringan. Beberapa sistem klasifikasi UKD antara lain klasifikasi luka
diabetik Universitas Texas San Antonio, sistem klasifikasi PEDIS
(perfusion/perfusi, extent/luas, depth/kedalaman, infection/infeksi, dan
sensation/sensasi), klasifikasi SAD (size/luas, area/lokasi, dan
depth/kedalaman), dan sistem klasifikasi Wagner (Bryant & Nix, 2008;
RNAO, 2013).

Sistem klasifikasi luka diabetik Universitas Texas San Antonio,


membedakan luka diabetik ke dalam empat grade (0, I, II dan III), dan
empat stage (A, B,C dan D) berdasarkan kedalaman luka, proses luka,
dan keberadaan infeksi atau iskemi (Armstrong, Lavery & Harkless,
2003; RANO, 2013). Sistem klasifikasi PEDIS diperkenalkan oleh The
International Working Group of The Diabetik Foot (IWGDF) pada tahun
2003. Setiap kategori pada sistem PEDIS dinilai berdasarkan tingkat
keparahannya. Kategori sistem ini meliputi perfusi (tiga grade: 1, 2, dan
3), luas luka, kedalaman luka (tiga grade, 1, 2 dan 3), infeksi (empat
grade: 1, 2, 3, dan 4) dan sensasi (dua grade: 1 dan 2) (RNAO, 2013).
Klasifikasi SAD merupakan sistem klasifikasi UKD yang membedakan
UKD ke dalam empat grade (0, 1, 2 dan 3) berdasarkan area/lokasi,
depth/kedalaman luka, sepsis, arteriopati dan kondisi denervasi (Bryan
& Nix, 2008).

Sistem klasifikasi ulkus diabetik yang secara luas digunakan di seluruh


dunia adalah sistem klasifikasi Wagner (Bryan & Nix, 2008). Parameter
untuk menilai ulkus diabetik di Indonesia, bervariasi menggunakan
beberapa sistem klasifikasi di atas. Bab ini menguraikan sistem
klasifikasi Wagner karena telah digunakan secara luas termasuk di
tempat penelitian yang akan dilakukan. Sistem klasifikasi Wagner

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


23

dimodifikasi oleh WOCN pada tahun 2004 dengan menambahkan infeksi


dan iskemi ke dalam klasifikasi UKD. Pada sistem Wagner, lesi yang
ditemukan pada UKD dibedakan ke dalam enam grade (0-5) berdasarkan
kedalaman lesi, keberadaan osteomilelitis atau gangren, infeksi, dan (A:
iskemi, B: infeksi). Klasifikasi UKD menurut Wagner dengan modifikasi
dapat dilihat pada tabel 2.2 di bawah ini.
Tabel 2.2
Klasifikasi UKD berdasarkan Wagner (modifikasi)
Grade Deskripsi A B
0 Tidak ada lesi, mungkin memiliki Iskemi Infeksi
deformitas atau selulitis
1 Ulkus superfisial Iskemi Infeksi
2 Ulkus dalam hingga tendon atau Iskemi Infeksi
sendi
3 Ulkus dalam dengan abses, Iskemi Infeksi
osteomilitis, dan sepsis persendian
4 Gangren lokal (kaki depan dan tumit) Iskemi Infeksi
5 Penyebaran gangren hingga ke Iskemi Infeksi
seluruh kaki
(Sumber; Chand, Mishra, Kumar, & Agarwal; 2012)

(4) Pengelolaan Ulkus Kaki Diabetik


Pengelolaan kasus pasien DM dengan UKD mengacu pada empat pilar
penatalaksanaan DM sesuai dengan Konsensus PERKENI 2011 yaitu
edukasi, terapi nutrisi medis, latihan fisik dan terapi farmakologi untuk
mencapai dan mempertahkan tujuan umum dan tujuan akhir pengelolaan
DM yakni meningkatkan kualitas hidup, serta menurunkan morbiditas dan
mortalitas pada pasien DM dengan UKD. Intervensi keperawatan yang
dapat dilakukan perawat pada pasien UKD antara lain kontrol mekanik,
kontrol luka, kontrol infeksi, kontrol vaskular,kontrol metabolik dan
edukasi (Edmonds, Faster, & Sanders, 2008). Intervensi keperawatan pada
pasien dengan UKD dijelaskan pada tabel 2.3 di bawah ini

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


24

Tabel 2.3
Intervensi Keperawatan pada pasien UKD
Pengelolaan Tujuan Penatalaksanaan Tim Kesehatan
Off loading Alas kaki terapi dan protektif Primary care
Insoles, orthosis nurse, dan
Total contact casr, walkers spesialis
Kruk,wheelchair, bed rest diabetik nurse
Mechanical
Evaluasi Evaluasi abnormalitas kaki
kontrol
deformitas dan bekerja sama dengan
kaki multidisiplin ilmu lainnya
dalam penatalaksanaan
deformitas
Wound bed Debridement, topical Active foot
preparation treatment disease :
Kontrol eksudat diabetes
Jenis balutan luka multidisiplinary
Moist wound healing foot
Kontrol infeksi
Wound
kontrol
Penatalaksana Insisi, drainase, dan amputasi
an jaringan
mati
Manajemen Terapi analgetik
nyeri Imobilisasi, manajemen
cemas, TNS
Microbiologi Penatalaksana Antibiotik Active foot
cal kontrol an infeksi Insisi, drainase disease :
Reseksi diabetes
multidisiplinary
foot
Meningkatkan Revaskularisasi endovaskular Active foot
perfusi Rekonstruksi bedah vaskular disease :
(bypass) diabetes
Senam kaki Terapi obat vaskular multidisiplinary
Vascular
diabetik Mengurangi edema foot
kontrol
Hyperbaric oxygen
Penatalaksana Terapi kompresi ekstrenal
an edema Kompresi intermitten
Diuretik
Metabolic Kontrol Insulin Primary care
kontrol metabolik Pengaturan nutrisi nurse dan atau
spesialist
diabetik nurse
Semua pasien Terdiri dari : Primary care
Educational
DM harus 1. Kesadaran diri terhadap nurse
kontrol
memperoleh faktor risiko

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


25

Pengelolaan Tujuan Penatalaksanaan Tim Kesehatan


edukasi dasar 2. Pemeriksaan rutin kaki
foot care. 3. Perawatan kulit dan kuku
Terdiri dari kaki yang sesuai
yang bertujuan 4. Pencegahan trauma atau
untuk cedera
meningkatkan 5. Kapan mencari pertolongan
pengetahuan pada spesialis
dan perilaku 6. Promoting self care
self care
Implementasi Edukasi pasien dan staf diabetes
perawatan Support dan follow up multidisiplinary
sistemik Koordinasi multidisiplin, foot
komunikasi, senam kaki
diabetik

Pencegahan Footcare
recurrence Footnail,Footwear
(Sumber: Edmons, Foster, & Sanders, 2008; Sanchez, 2012; RNAO, 2011;
RNAO, 2013)

2.2 Diabetes Self-Management Education (DSME) dan Diabetes Self-Management


Support (DSMS)
Salah satu pilar pengelolaan DM di Indonesia adalah dengan edukasi atau penyuluhan.
Edukasi atau penyuluhan dilakkukan dengan memberikan informasi untuk mencegah,
menunda komplikasi dan perubahan gaya hidup pasien DM. Edukasi merupakan
elemen penting dari perawatan untuk semua pasien DM dan mereka yang berisiko
terhadap kompllikasi DM. Hal ini diperlukan untuk mencegah atau menunda
komplikasi DM dan memiliki unsur-unsur yang terkait perubahan gaya hidup sebagai
bagian dari upaya untuk mencegah penyakit. American Diabetes Association (ADA )
(2013) dalam Standard of Medical Care in Diabetes dan National Standard for
Diabetes merekomendasikan Diabetes Self-Management Education (DSME) dan
Diabetes Self-Management Support (DSMS) untuk mencegah komplikasi dan
membantu meningkatkan perubahan gaya hidup yang penting bagi individu sebagai
salah satu upaya untuk mencegah penyakit.

Diabetes Self-Management Education atau DSME adalah proses yang sedang


berlangsung dengan memfasilitasi pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


26

diperlukan untuk pradiabetes dan perawatan diri pasien DM. Proses ini
menggabungkan kebutuhan, tujuan, dan pengalaman hidup pasien DM atau
pradiabetes dan dipandu oleh standar berbasis bukti. Tujuan keseluruhan dari DSME
adalah untuk mendukung informasi pengambilan keputusan, perilaku perawatan diri,
pemecahan masalah, dan kolaborasi aktif dengan tim aktif kesehatan dan untuk
meningkatkan hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup (ADA, 2013).

Sedangkan Diabetes Self-Management Support (DSMS) adalah kegiatan yang


membantu orang dengan pradiabetes atau pasien DM dalam melaksanakan dan
mempertahankan perilaku yang diperlukan untuk mengelola kondisinya secara terus-
menerus di luar atau di luar pelatihan manajemen diri formal. Manajemen suport ini
berupa dukungan dalam perilaku, pendidikan, psikososial, atau klinis (Hass,
Maryniuk, Pharmd, Cox, Duker, Edwards et al, 2013).

National Standards for Diabetes Self-Management Education and Support


menguraikan 10 (sepuluh) standar dalam penatalaksanaan DSME dan DSMS,
meliputistruktur internal, input eksternal, akses, koordinasi program, staf
instruksional, kurikulum, individu atau peserta, dukungan, pengembangan pasien, dan
peningkatan kualitas (ADA, 2013):
2.2.1 Struktur Internal
Penyedia atau pelaku DSME akan mendokumentasikan struktur organisasi,
pernyataan misi, dan tujuan. Bagi penyedia kerja dalam organisasi yang lebih
besar, organisasi mengakui dan mendukung kualitas DSME sebagai komponen
integral dari diabetes peduli (Hass, Maryniuk, Pharmd, Cox, Duker, Edwards et
al, 2013).

2.2.2 Input Eksternal


Penyedia DSME secara terus-menerus berusaha mencari informasi dan
keterlibatan dari pemangku kepentingan eksternal dan ahli dalam rangka untuk
meningkatkan kualitas program tersebut (Hass, Maryniuk, Pharmd, Cox, Duker,
Edwards et al, 2013).

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


27

2.2.3 Akses
Penyedia DSME menentukan siapa saja yanng bertugas untuk memberikan
pelayanan atau perawatan, menentukan cara terbaik dalam memberikan
pendidikan diabetes dengan penduduk, dan sumber daya apa dapat memberikan
dukungan yang berkelanjutan bagi pasien DM (ADA, 2013).

2.2.4 Koordinasi Program


Seorang koordinator akan ditunjuk untuk mengawasi program DSME.
Koordinator akan memiliki tanggung jawab pengawasan untuk perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi edukasi (ADA, 2013).

2.2.5 Staf Instruksional


Satu atau lebih instruktur akan memberikan DSME dan bila diperlukan juga
memberikan DSMS. Setidaknya salah satu instruktur bertanggung jawab untuk
merancang dan perencanaan DSME dan DSM S menjadi seorang edukator
(perawat, ahli gizi, dokter, apoteker) dengan pelatihan dan pengalaman
bersertifikasi untuk perawatan dan pendidikan DM. Petugas kesehatan lainnya
dapat memberikan kontribusi untuk DSME dan memberikan DSM dengan
pelatihan yang tepat pada diabetes dan dengan pengawasan dan dukungan
(ADA, 2013).

2.2.6 Kurikulum
Sebuah kurikulum tertulis yang mencerminkan bukti saat dan mempraktekkan
pedoman, kriteria untuk mengevaluasi hasil, akan berfungsi sebagai kerangka
kerja untuk penyediaan DSME. Melalui kurikulum ini akan diketahui sejauh
mana kebutuhan pendidikan yang akan diberikan kepada individu tersebut
(Hass, Maryniuk, Pharmd, Cox, Duker, Edwards et al, 2013).

2.2.7 Individu atau Peserta


Manajemen diri diabetes, pendidikan, dan kebutuhan dukungan dari masing-
masing peserta akan dinilai oleh satu atau lebih instruktur. Peserta dan instruktur
kemudian akan bersama-sama mengembangkan rencana pendidikan individual
dan dukungan yang difokuskan pada perubahan perilaku (Hass, Maryniuk,
Pharmd, Cox, Duker, Edwards et al, 2013).

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


28

2.2.8 Dukungan
Peserta dan instruktur akan bersama-sama mengembangkan rencana tindak
lanjut untuk dukungan manajemen diri yang berkesinambungan dan
berkelanjutan. Tujuan peserta dan rencana dukungan manajemen diri yang
sedang berlangsung akan dikomunikasikan kepada anggota lain oleh tim
perawatan kesehatan (ADA, 2013).

2.2.9 Perkembangan pasien


Penyedia DSME dan DSMS akan memantau apakah peserta mencapai tujuan
pengelolaan diri diabetes dan hasil lainnya sebagai cara untuk mengevaluasi
efektivitas intervensi pendidikan edukasi dengan menggunakan pengukuran
yang sesuai (Hass, Maryniuk, Pharmd, Cox, Duker, Edwards et al, 2013).

2.2.10 Peningkatan Kualitas


Penyedia DSME akan mengukur atau mengevaluasi efektivitas pendidikan dan
dukungan serta mencari cara untuk mengatasi kesenjangan dalam edukasi atau
kualitas layanan menggunakan tinjauan sistematis proses dan hasil data (ADA,
2013).

Di Indonesia tepatnya di Jakarta, pelaksanaan DSME dan DSMS dilakukan dengan


memberikan edukasi secara terpadu dan kontinu kepada pasien dan keluarga, yang
bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai perjalanan penyakit, pencegahan,
penyulit, dan penatalaksanaan DM. Dalam konteks ini keberadaan organisasi
perkumpulan penyandang diabetes seperti Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(PERKENI), (Persatuan Diabetes Indonesia (PERSADIA), dan Perhimpunan Edukator
Diabetes Indonesia (PEDI), dan lain- sangat mendukung dan membantu membantu
meningkatkan pengetahuan penyandang diabetes tentang penyakitnya dan
meningkatkan peran aktif mereka dalam memodifikasi pengobatan DM. Namun untuk
mendapatkan hasil pengelolaan yang tepat guna dan berhasil guna, serta untuk
menekan angka kejadian penyulit DM, diperlukan suatu standar pelayanan minimal
bagi pasien DM. Penyempurnaan dan revisi secara berkala standar pelayanan harus
selalu dilakukan dan disesuaikan dengankemajuan-kemajuan ilmu mutakhir, sehingga
dapat diperoleh manfaat yang sebesar- besarnya bagi penyandang diabetes.

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


29

2.3 Pemantauan Gula Darah Mandiri (PGDM)


Dalam rangka meningkatkan manajemen diri dan mencapai perubahan perilaku pada
pasien DM melalui edukasi yang komprehensif, diperlukan kerja sama antara pasien
DM dan petugas kesehatan dalam pemantauan kadar glukosa darah. Perubahan
perilaku pasien DM dapat diawali dengan memantau gula darah secara mandiri.
American Diabetes Association (2014) dan International Diabetes Federation (2008)
menyarankan self-monitoring blood glucose (SMBG) atau Swa-Monitoring Gula
Darah (SMGD) atau Pemantauan Gula Darah Mandiri (PGDM) bagi pasien DM yang
menggunakan insulin maupun yang belum menggunakan. Self-Monitoring Blood
Glucose (SMBG) atau Pemantauan Gula Darah Mandiri (PGDM) merupakan
komponen penting dalam terapi modern untuk pasien DM..

Pemantauan Gula Darah Mandiri (PGDM) telah direkomendasikan untuk pasien DM


dan profesional perawatan kesehatan dalam rangka untuk mencapai kendali glikemik
dan mencegah hipoglikemia. Tujuan dari PGDM adalah untuk mengumpulkan
informasi tentang kadar glukosa darah di beberapa waktu untuk memungkinkan
mempertahankan kadar glukosa darah normal atau mendekati normal dengan rejimen
yang lebih tepat. Hal ini dapat digunakan untuk membantu dalam penyesuaian terapi
berdasarkan kadar glukosa darah pasien DM dan untuk membantu individu
menyesuaikan asupan makanan mereka, aktivitas fisik, dan dosis insulin untuk
meningkatkan control glikemik sehari-hari (Benjamin, 2002).

Pada individu yang mengalami hipoglikemia, respon fisiologis terhadap penurunan


glukosa darah tidak hanya membatasi makin parahnya perubahan metabolisme
glukosa, tetapi juga menghasilkan berbagai keluhan dan gejala yang khas. Petugas
kesehatan terutama perawat, pasien dan keluarganya belajar mengenal keluhan dan
gejala tersebut sebagai episode hipoglikemia dan dapat segera melakukan tindakan-
tindakan koreksi dengan memberikan glukosa oral atau bentuk karbohidrat yang lain.
Kemampuan mengenal gejala awal sangat penting bagi pasien DM yang mendapat
terapi insulin yang ingin mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah normal
atau mendekati normal (Heller, 2011). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk
mencegah hipoglikemia dan mengendalikan kadar gula darah pada pasien DM dengan
insulin adalah Self-Monitoring Blood Glucose (SMBG) atau Pemantauan Gula Darah

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


30

Mandiri (PGDM) (Ignativicius & Workman, 2010; Wang, Mattews, Charron-


Prochownik, Sreika, & Siminerio, 2012).

Self-Monitoring Blood Glucose (SMBG) atau Pemantauan Gula Darah Mandiri


(PGDM) adalah salah satu manajamen diabetes yang memungkinkan pasien untuk
memantau respon glikemik untuk diet mereka, aktivitas, obat-obatan oral, dan terapi
insulin. Self-Monitoring Blood Glucose (SMBG) atau Pemantauan Gula Darah
Mandiri (PGDM) telah terbukti berhubungan dengan peningkatan kontrol gula darah
pada pasien DM tipe 1 dan tipe 2 dengan insulin (Bode, 2007). Pemantauan Gula
Darah Mandiri (PGDM) sangat membantu pasien diabetes dalam empat cara yang
berbeda (Klonoff, 2007): (1) memungkinkan pasien, perawat dan dokter untuk
mendeteksi kadar glukosa darah tinggi atau rendah, sehingga memfasilitasi
penyesuaian terapi untuk mencapai tujuan jangka panjang, (2) PGDM membantu
melindungi pasien dengan memungkinkan mereka untuk segera mengkonfirmasi
hipoglikemia akut atau hiperglikemia, (3) PDGM merupakan metode edukasi yang
memfasilitasi pasien dan keluarga untuk lebih bertanggung jawab dan mandiri dalam
perawatan diri, dan (4) PGDM memotivasi orang untuk berperilaku sehat.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa PGDM teratur meningkatkan kontrol glikemik


pada pasien diabetes tipe 1 dan tipe 2 dengan pengobatan insulin, serta pada pasien
diabete tipe 2 yang tidak menggunakan insulin. Penelitian yang dilakukan Davidson et
al dalam Klonoff (2007) menunjukkan bahwa ada korelasi terbalik antara frekuensi
PGDM dan nilai-nilai A1c pada pasien diabetes. Pasien yang menggunakan PGDM
memiliki A1C lebih rendah daripada mereka yang tidak. Para peneliti menemukan
bahwa semakin sering orang-orang memeriksa kadar glukosa darah mereka setiap
hari, semakin rendah A1C mereka. Hal yang sama juga dikemukakan dari hasil
penelitian retrispektif yang dilakukan Karter et al terhadap 24000 responden, bahwa
peningkatan frekuensi PGDM berkorelasi kuat dengan peningkatan A1C terlepas dari
jenis diabetes atau terapi yang digunakan (Bode, 2007).

Berbagai penelitian menunjukkan manfaat PGDM sebagai alat untuk mencegah


hipoglikemia dan menyesuaikan pengobatan, diet, dan aktivitas untuk mencapai target
glikemik yang diinginkan. Pemantauan Gula Darah Mandiri (PGDM) telah dilakukan
secara luas oleh sekitar 40% pasien diabetes tipe 1 dan 26% pasien diabetes tipe 2 di

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


31

Amerika. Tujuan SMBG menurut American Diabetes Association antara lain


(Soewondo, 2013); (1) mencapai dan memelihara kendali gula darah: PGDM
memberikan informasi kepada dokter dan perawat mengenai kendali gula darah, (2)
mencegah dan mendeteksi hipoglikemia, (3) mencegah hiperglikemia berat, (4)
menentukan dan menyesuaikan terapi insulin.

Bagi sebagian besar pasien yang memerlukan insulin, pemeriksaan kadar gula darah
sebanyak 2 sampai 3 kali sehari dianjurkan. Bagi pasien yang menggunakan insulin
sebelum makan, diperlukan sedikitnya tiga kali pemeriksaan per hari untuk
menentukan dosis yang aman. Pasien yang tidak memakai insulin diperbolehkan untuk
mengukut kada gula darahnya minimal dua hingga tiga kali per minggu (Smeltzer &
Bare, 2008).

2.4 Konsep Teori Self Care Defisit Dorothea E. Orem


Dorothea Orem pertama kali menerapkan konsepnya tentang keperawatan pada tahun
1959, dan kemudian dikembangkan lebih jauh serta melakukan perbaikan secara terus
menerus (Renpenning & Taylor, 2003). Pada awalnya Orem merancang modelnya
untuk kurikulum keperawatan guna membedakan tindakan keperawatan. Model ini
difokuskan untuk mengidentifikasi prasyarat atau kebutuhan perawatan diri pasien dan
tindakan keperawatan dalam memenuhi kebutuhan tersebut (Cristensen and Kenney,
2009). Beberapa perawat telah menguraikan penerapan model Orem di lingkungan
praktik yakni Feathers (1989), Gast et al (1989), Riehl-Sisca (1989), Taylor (1990),
Morales-Mann dan Jiang (1993) (Renpenning & Taylor, 2003).

Penerapan teori keperawatan Orem pada kasus DM sejalan dengan program DSME dan
DSMS dan salah satu pilar pengelolaan DM di Indonesia (edukasi) yang bertujuan
untuk mengubah perilaku dan meningkatkan partisipasi pasien DM. Dimana teori Orem
menerapkan 3 (tiga) konstruk utama yaitu keharusan perawatan diri, perawatan diri dan
sistem keperawatan. Di Indonesia teori self care Orem pada kasus DM telah banyak
diterapkan, salah satunya adalah pengelolaan pasien DM yang dilakukan oleh Ernawati
(2013).

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


32

2.4.1 Konsep Utama Teori Orem


Pandangan teori Orem dalam tatanan pelayanan keperawatan ditujukan kepada
kebutuhan individu dalam melakukan tindakan keperawatan mandiri serta
mengatur dalam kebutuhannya. Dalam konsep praktik keperawatan, Orem
mengembangkan tiga bentuk teori self care, di antaranya (Alligood & Tomay,
2010; Christensen & Kenney, 2009):
(1) Teori Self Care
Menggambarkan kebutuhan pasien yang akan dipenuhi oleh perawat, oleh
pasien itu sendiri atau kedua–duanya. Sistem keperawatan didesain berupa
sistem tindakan yang dilakukan oleh perawat untuk melatih/ meningkatkan
self agency seseorang yang mengalami keterbatasan dalam pemenuhan self
care. Sistem keperawatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan self
care pasien yakni wholly compensatory system (sistem bantuan
penuh/ketergantungan total), partially compensatory system (sistem bantuan
sebagian/ketergantungan sebagian) dan supportifeEducative system
(Renpenning & Taylor, 2003; Alligood & Tomay, 2010).
(2) Teori Self Care Defisit
Self care defisit merupakan bagian penting dalam perawatan secara umum
dimana perencanaan keperawatan diberikan pada saat perawatan dibutuhkan.
Keperawatan dibutuhkan seseorang pada saat tidak mampu atau terbatas
untuk melakukan self care nya secara terus menerus. Orem memiliki metode
untuk proses tersebut diantaranya bertindak atau berbuat untuk orang lain,
sebagai pembimbing orang lain, memberi support, meningkatkan
pengembangan lingkungan untuk pengembangan pribadi serta mengajarkan
atau mendidik pada orang lain (Renpenning & Taylor, 2003; Christensen and
Kenney, 2009).

(3) Teori Self Care


Merupakan hubungan antara therapeutic self care demands dengan kekuatan
self care agency yang tidak adekuat. Kemampuan Self care agency lebih
kecil dibandingkan dengan therapeutic self care demands sehingga self care
tidak terpenuhi. Kondisi ini menentukan adanya kebutuhan perawat (nursing
agency) melalui sistem keperawatan (Alligood & Tomay, 2010).

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


33

(a) Nursing Agency (Agen keperawatan) yakni karakteristik orang yang


mampu memenuhi status perawat dalam kelompok – kelompok sosial
(Alligood & Tomay, 2010).
(b) Self care agency (Agen perawatan diri) adalah kekuatan individu yang
berhubungan dengan perkiraan dan esensial operasi – operasi produksi
untuk perawatan mandiri (Alligood & Tomay, 2010).
(c) Therapeutik self care demand (Permintaan perawatan diri) yakni totalitas
upaya –upaya perawatan diri sendiri yang ditampilkan untuk beberapa
waktu agar menemukan syarat–syarat perawatan mandiri dengan cara
menggunakan metode–metode yang valid dan berhubungan dengan
perangkat–perangkat operasi atau penanganan (Renpenning & Taylor,
2003).
(d) Self–care (perawatan diri) adalah suatu kontribusi berkelanjutan orang
dewasa bagi eksistensinya, kesehatannya dan kesejahteraannya.
Perawatan diri adalah aktivitas dimana individu – individunya memulai
dan menampilkan kepentingan mereka dalam mempertahankan individu,
kesehatan dan kesejahteraan (Christensen & Kennery, 2009).
(e) Self–care deficit adalah hubungan antara self – care agency dengan self
care demand yang didalamnya self care agency tidak cukup mampu
menggunakan self care demand (Alligood & Tomay, 2010)

(4) Aplikasi Teori Orem


Penerapan teori self care Dorothea Orem didasarkan pada tiga teori yang
berfokus pada peran manusia dalam menyeimbangkan kehidupan, kesehatan
dan kesejahteraannya dengan merawat diri mereka sendiri. Peran perawat
adalah memenuhi kebutuhan perawatan diri klien untuk mencapai
kemandirian dan kesehatan yang optimal (Tomey & Alligood, 2010).

Pengelolaan DM merupakan pengelolaan penyakit yang melibatkan kerja


sama multidisiplin ilmu, pasien dan keluarga dalam mengendalikan gula
darah dengan melakukan latihan fisik, asupan nutrisi yang terencana, kontrol
glikemik (farmakologi), dan edukasi untuk meningkatkan self care
management. Salah satu program yang direkomendasikan oleh ADA (2013)
untuk meningkatkan self care pasien adalah Diabetic Self Management

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


34

Education (DSME). Penerapan self care theory pada pasien DM bertujuan


untuk mencapai perawatan diri atau kebebasan merawat diri dimana pasien
harus memiliki kemampuan untuk mengenal, memvalidasi dan proses dalam
memvalidasi mengenai anatomi dan fisiologi manusia yang berintegrasi
dalam lingkaran kehidupan dengan melakukan hal-hal dibawah ini
(Chrisstensen & Kenney, 2009; Ernawati, 2013);
(a) Pemeliharaan kecukupan pemasukan udara.
(b) Pemeliharaan kecukupan pemasukan makanan.
(c) Pemeliharaan kecukupan pemasukan cairan.
(d) Mempertahankankan hubungan perawatan proses eliminasi dan eksresi
(e) Pemeliharaan keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
(f) Pemeliharaan keseimbangan antara solitude dan interaksi sosial
(g) Pencegahan resiko-resiko untuk hidup, komorbiditas, fungsi usia dan
kesehatan manusia.
(h) Peningkatan promosi fungsi tubuh dan pengimbangan manusia dalam
kelompok sosial sesuai dengan potensinya
(Orem, 1980,p.231)
Penerapan self care theory pada pasien DM dapat dilihat melalui skema 2.1
di berikut ini

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


35

Skema 2.1
Sistem Keperawatan Self Care Theory pada pasien DM

Menyelesaikan self-care Tindakan klien


terbatas
terapeutik klien

Tindakan Kompensasi terhadap


Perawat ketidakmampuan klien terlibat
dalam self-care

Dukung dan lindungi klien

Wholly Compensatory system

Melakukan beberapa tindakan


self-care untuk klien
Tindakan Kompensasi terhadap
Perawat keterbatasan self-care klien

Bantu klien sesuai kebutuhan

Melakukan beberapa tindakan


self care

Mengatur self-care agency


Tindakan klien
Menerima asuhan dan bantuan
dari perawat
Partial Compensatory System

Menyelesaikan Self-care

Tindakan klien
Edukasi footcare, footwear,
Tindakan Mengatur latihan dan
Perawat perkembangan Self-care

Sistem Dukungan-Pendidikan

Teori Orem didasarkan pada tiga konstruk utama yaitu keharusan perawatan
diri, perawatan diri dan sistem keperawatan. Sentral dari teori Orem adalah
keyakinan bahwa individu berfungsi untuk mempertahankan hidup,

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


36

kesehatan dan kesejahteraan dengan merawat diri mereka sendiri. Jika


individu tidak mampu memenuhi kebutuhannya (keharusan perawatan diri),
maka terjadi defisit perawatan diri dan timbl tuntutan perawatan diri
terapeutik yang mengarah pada bantuan perawatan (bagan 2.1 wholly
compensatory system/ kompensatori utuh, partial compensatory system/
kompensatori sebagian, dan sistem dukungan pendidikan). Ketiga keharusan
diri adalah universal, perkembangan dan penyimpangan kesehatan. Ketika
kebutuhan perawatan diri melebihi kapabiltas perawatan diri individu, maka
terjadi defisit perawatan diri yang membutuhkan intervensi keperawatan
(Ernawati, 2013).

Sistem keperawatan kompensatori utuh digunakan pada pasien DM yang


tidak mampu terlibat dalam segala bentuk tindakan yang disengaja, yang
tidak dapat atau tidak boleh melakukan tindakan, atau yang tidak mampu
memperhatikan diri mereka sendiri. Tidakan keperawatan terdiri atas
melakukan perawatan diri terapeutik pasien, mengompensasi
ketidakmampuan, dan mendukung serta melindungi pasien. Sedangkan pada
kompensatori sebagian ditujukan pada pasien yang tidak mampu melakukan
sebagian aktivitas perawatan diri, seperti keterbatasan aktual dan
ketidakadekuatan pengetahuan atau keterampilan. Perawat melakukan
sebaguan aktivitas perawatan diri untuk mengkompenasasi keterbatasan
pasien atau membantu pasien sesuai kebutuhan. Pada sistem dukungan –
pendidikan, perawat membantu pasien DM yang mampu atau dapat belajar
melakukan perawatan diri terapeutik, namun membutuhkan bantuan dalam
pengambilan keputusan (Renpenning & Taylor, 2003; Christensen &
Kenney, 2009).

2.4.2. Proses Keperawatan Berdasarkan Teori Self Care Dorothea Orem


1) Pengkajian
Pengkajian keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi adanya
ketidakmampuan pemenuhan perawatan diri sehingga perlu mengumpulkan data
tentang adanya tuntutan perawatan diri, kemampuan melakukan perawatan diri,
kebutuhan perawatan diri, kebutuhan perawatan diri secara umum dan
penyimpangan kebutuhan perawatan diri. Pengkajian menurut Orem terdiri dari

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


37

basic conditioning faktor, universal self care requisites, developmental self care
requisites dan health deviation self care requisites (Alligood & Tomay, 2010).
a) Basic conditioning factor
Menurut Orem (2001) Basic conditioning faktor merupakan kondisi atau
situasi yang dapat mempengaruhi individu dalam memenuhi kebutuhan
dirinya sendiri. Pengkajian basic conditioning factor pada pasien DM
meliputi usia, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, budaya, ras, status
perkawinan, agama, pekerjaan, lingkungan tempat tinggal, status kesehatan,
sistem pelayanan kesehatan, dan bagaimana pemanfaatan fasilitas tersebut
saat mengalami masalah kesehatan (Ernawati, 2013).

b) Universal self care requisites


Universal self care requisites menggambarkan delapan tipe kebutuhan self
care, yaitu (Tomay & Alligood, 2006; Christensen, 2009; Ernawati, 2013):
(1) Keseimbangan pemasukan udara atau oksigenasi
Pasien DM memiliki risiko untuk mengalami infeksi saluran pernapasan
akibat penurunan sistem kekebalan tubuh. Pasien DM memiliki risiko 2
kali untuk menderita tuberkulosis paru dibandingkan orang tanpa DM.
Pasien DM mengalami peningkatan kepekaan terhadap kuman TB. Hal
ini disebabkan hiperglikemia pada DM menurunkan aktivitas sel fagosit
“respiratory burst” untuk membunuh mikroorganisme dalam lekosit
(Priyanto, 2007). Pengkajian keseimbangan pemasukan udara udara
pasien DM meliputi frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan, bunyi
napas, batuk dengan atau tanpa sputum, batuk berdarah, nyeri dada, dan
pengembangan dada (Alligood & Tomay, 2010; Ernawati, 2013).

(2) Keseimbangan cairan dan elektrolit


Hiperglikemia yang melebihi ambang ginjal menimbulkan gejala
glukosuria sehingga mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan
pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsi). Pengkajian
keseimbangan cairan dan elektrolit meliputi keadaan cairan tubuh,
kebutuhan mendapatkan cairan, jenis cairan, kemampuan pemasukan
mendapatkan cairan, tanda-tanda dehidrasi, dan hasil laboratorium

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


38

berkaitan dengan pemeriksaan cairan dan elektrolit (hemoglobin,


hematokrit, dan elektrolit) (Ernawati, 2013).

(3) Pemenuhan kebutuhan nutrisi


Katabolisme akibat defisiensi insulin dan pemecahan protein dan lemak
pada pasien DM menyebabkan keseimbangan kalori negatif dan berat
badan menurun sehingga pasien mengalami polifagi. Pasien DM harus
dapat melakukan perubahan pola makan secara konsisten baik dalam
jadwal, jumlah dan jenis makanan sehari-hari. Pemenuhan kebutuhan
nutrisi yang perlu dikaji meliputi nafsu makan pasien, mual, muntah,
penurunan berat badan, kepatuhan pasien dalam diet, bantuan yang
diperlukan dalam memenuhi diet, pengetahuan pasien tentang diet dan
hasil laboratorium berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi
(glukosa darah, hemoglobin, dan kadar albumin) (Ernawati, 2013).

(4) Pemenuhan kebutuhan eliminasi


Kebutuhan eliminasi pada pasien DM perlu dikaji berkaitan dengan
poliuri akibat diuresis osmotik dan adanya gangguan saraf otonom akibat
neuropati diabetik. Pengkajian eliminasi meliputi perubahan pola,
retensio urin, dan inkonstinensia urin atau alvi. Hasil pemeriksaan
laboratorium glukosa urin, protein urin, ureum darah dan kreatinin darah
dapat menggambarkan kemampuan filtrasi glomerulus pasien DM akibat
kondisi nefropati diabetik (Greestein & Wood, 2009; Ernawati, 2013).

(5) Kebutuhan aktivitas dan istirahat


Pasien DM yang mengalami luka gangren dan kelemahan otot akibat
hipokalemia menyebabkan pasien tidak mampu mobilisasi dan
melaksanakan aktifitas sehari-hari dengan optimal. Istirahat pasien
terganggu karena nokturia yang dialami pasien DM. Pengkajian meliputi
kemampuan mobilisasi, beraktivitas, gangguan tidur, tingkat nyeri,
penurunan tonus dan kekuatan otot (Ernawati, 2013).

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


39

(6) Interaksi dan isolasi sosial


Penyakit DM yang bersifat kronis dapat menyebabkan pasien kehilangan
kontrol atas dirinya sehingga menimbulkan manifestasi gejala depresi.
Pegkajian meliputi tingkat stres pasien, tingkat kecemasan, tingkat
ketergantungan pada orang lain, penerimaan terhadap penyakit, kontak
sosial, support system, dan partisipasi dalam perawatan di rumah sakit
(Renpenning & Taylor, 2003; Ernawati, 2013).

(7) Pencegahan terhadap risiko yang mengancam jiwa


Komplikasi DM dapat menyebabkan risiko yang mengancam kehidupan.
Pengkajian yang harus dilkakukan meliputi risiko terjadinya cedera,
risiko terjadinya ulkus diabetik, risiko hipoglikemia, dan ketoasidosis
(Ernawati, 2013).

(8) Peningkatan fungsi dan perkembangan hidup dalam kelompok sosial


Pengkajian meliputi: sistem pendukung (orang terdekat, perkumpulan
pasien DM, dan pelayanan kesehatan terdekat), dan kemampuan self care
pasien (Ernawati, 2013).

c) Developmental self care requisites


Kebutuhan self care sesuai dengan proses perkembangan dan kematangan
sesorang menuju fungsi yang optimal untuk mencegah terjadinya kondisi
yang dapat menghambat perkembangan tersebut. Terdapat 3 (tiga) jenis
developmental self care requisites yaitu mempertahankan kondisi yang
meningkatkan perkembangan diri, pencegahan atau menanggulangi akibatn
kondisi manusia dan situasi kehidupan yang dapat merugikan perkembangan
manusia. Perubahan fisik pasien DM antara lain menimbulkan peningkatan
dalam berkemih, rasa haus, selera makan, keletihan, kelemahan, luka pada
kulit, infeksi atau pandangan yang kabur (Christensesn & Kenney, 2009;
Ernawati, 2013).

d) Health deviation self care requisites


Terdapat 3 (tiga) tipe dari kebutuhan healt deviation self care requisites yang
penting yaitu berhubungan dengan perubahan struktur fisik, berhubungan

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


40

dengan perubahan fungsi fisik, dan dihubungkan dengan perubahan perilaku.


Kebutuhan yang berkaitan dengan adanya penyimpangan kesehatan seperti
adanya sindrom hiperglikemia yang dapat menimbulkan kehilangan cairan
dan elektrolit, hipotensi, perubahan, sensori, kejang-kejang, takikardi, dan
hemiparesis. Pada pasien DM yang terjadi ketidakseimbangan antara
kebutuhan yang harus dipenuhi dengan kemampuan yang dimiliki. Pasien
DM akan mengalami penurunan pola makan dan adanya komplikasi yang
dapat menghalangi aktivitas sehari-hari seperti kesulitan dalam membaca
karena sudah mengalami retinopati (Christensen & Kenney, 2009; Ernawati,
2013).

2) Diagnosa Keperawatan dan Perencanaan


Dalam teori self care, Orem tidak menjelaskan mengenai diagnosa keperawatan
yang dapat dikembangkan dengan kerangka teori ini. Namun dalam Alligood
dan Tomay (2010), Orem memberikan panduan dalam perumusan dan
penegakan diagnosa keperawatan. Penegakan diagnosa keperawatan dalam teori
ini disesuaikan dengan therapeutic self care demand yang merupakan uraian
dari pengkajian universal self care requisites, developmental self care requisites
dan health deviation self care requisites. Dalam proses penegakan diagnosa
akan dilakukan analisis terkait dengan ketidakadekuatan therapeutic self care
demand. Dari penegakan diagnosa keperawatan ini kemudian dibuatlah
perencanaan keperawatan yang berpedoman pada tingkat ketergantungan pasien
apakah wholly compensatory nursing system, partially compensatory nursing
system atau education nursing system.

3) Intervensi
Intervensi berdasarkan teori Orem berpedoman pada self care demand dan
bertujuan untuk mendorong pasien sebagai self care agent. Pola keperawatan
yang dapat dilakukan adalah bantuan sepenuhnya, bantuan sebagian, atau
dorongan dan edukasi. Secara detail Orem tidak menguraikan intervensi pada
proses keperawatan. Namun berdasarkan pengkajian dan penegakkan diagnosa,
intervensi keperawatan bedasarkan self care demand dari teori self care dapat
menggunakan NIC dan NOC (Wilson, 2008) sesuai standar NANDA. Intervensi
keperawatan berdasarkan universal self care requisites, developmental self care

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


41

requisites dan health deviation self care requisites dapat dilihat pada tabel
berikut;
Tabel 2.4
Rencana Asuhan Keperawatan berdasarkan universal self care requisites, developmental self
care requisites dan health deviation self care requisites
Tujuan dan kriteria hasil
Diagnosa Keperawatan (NANDA) Intervensi (NIC)
(NOC)
Ketidakseimbangan nutrisi: lebih/kurang dari Nutritional status:  Feeding
kebutuhan tubuh berhubungan dengan  Food and fluid intake  Nutrition management
etidakseimbangan asupan makanan; kurang  Nutrient intake  Nutrition therapy
pengetahuan;koping individu tidak efektif;  Weight control  Weigh gain assistance
asupan berlebihan dalam kaitannya dengan
kebutuhan metabolic
Risiko kekurangan volume cairan  Electrolyte & acid/base  Fluid management
berhubungan perubahan cairan; kegagalan balance  Fluid monitoring
mekanisme regulator; dieresis hyperglikemic;  Fluid balance
poliuri; muntah;diare; penurunan asupan oral;  Hydration
dehidrasi
Risiko ketidakstabilan gula darah:  Blood glucose control  Monitor blood glucose
berhubungan dengan resistensi insulin,  Blood glucose level level
ketidakmampuan pankreas mensekresi insulin  Provide simple
carbohydrat
 Hyperglycemia
management
 Hypoglycemia
management
Kerusakan membran mukosa oral  Oral Hygiene Oral health
berhubungan dengan perubahan sirkulasi  Tissue integrity: skin restoration
mikrovaskuler ; kadar glukosa darah yang tak & mucous membrane
terkontrol; dehidrasi; stres; trauma
Gangguan eliminasi urinarius dan retensi  Urinary elimination  Urinary elimination
urinarius berhubungan dengan nefropati  Kidney function management
diabetik  Urinary retention
management
Konstipasi berhubungan dengan neuropati Bowel elimination Constipation/impaction
diabetik (gastropati diabetik) management

Diare berhubungan dengan neuropati diabetik Bowel continence Diarehea management

Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan  Wound healing: primary  Wound care
penurunan sirkulasi; peningkatan kadar intention  Wound irrigation
glukosa darah  Wound Healing:secondary
intention
Risiko infeksi berhubungan dengan  Immune status  Infection control
peningkatan kadar glukosa darah; penurunan  Knowledge: Infection  Infection protection
perfusi jaringan; tidak adekuatnya mekanisme management
pertahanan primer; efek dari penyakit kronik  Risk control
-  Risk detection
Resiko cidera berhubungan dengan profil  Risk control: visual  Risk identification
darah yang abnormal, disfungsi impairment  Vital signs monitoring
imunautoimun, fisik (integritas kulit tidak  Risk detection
utuh, gangguan mobilitas, kerusakan persepsi  Blood glucose level
sensori: visual (retinopati)
Nyeri akut/kronik berhubungan dengan agen  Comfort level  Pain management
cedera (bilogis, kimia, fisik), kerusakan  Pain control  Analgesic administration
jaringan, dan disfungsi saraf perifer (diabetik

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


42

Tujuan dan kriteria hasil


Diagnosa Keperawatan (NANDA) Intervensi (NIC)
(NOC)
neuropati)  Pain level

Ketidakefektifan perfusi jaringan (ginjal)  Circulation status  Circulatory care: arterial


berhubungan dengan kerusakan transport  Fluid balance insufficiency
oksigen melalui membrane kapiler, asidosis  Hydartion  Fluid management
metabolic, hipovolemia, diabetes melitus.  Fluid monitoring
 Hemodinamic regulation
Ketidakefektifan pola seksual berhubungan  Sexual identity  Sexual function
dengan autonomi neuropati, penurunan  Psychososial Adjustment:  Sexual counceling
sirkulasi atau masalah psikologis life change  Teaching sexuality

Harga diri rendah situasional berhubungan  Self esteem  Motivation


dengan ketidakmampuan dalam manajemen  Self esteem enhancement
mandiri pengobatan diabetes

Ansietas berhubungan dengan diagnosa  Anxiety level Anxietas reduction


diabetes; potensial komplikasi diabetes;  Anxiety self control
regimen perawatan mandiri

Ketakutan berhubungan dengan diagnosa Fear level  Truth telling


diabetes; potensial komplikasi; regimen  Journaling
perawatan mandiri

Ketidakefektifan koping dan koping keluarga Coping  Family coping


berhubungan dengan penyakit kronis,  Coping enhancement
perawatan mandiri; penurunan dukungan
sosial

Sumber: Modifikasi Smeltzer & Bare, (2008); Black dan Hawk (2009); Ignatavisius dan Workman (2010);
Ackley dan Ladwig, (2011); NANDA ; NOC ;NIC

4) Implementasi
Orem (2001) memandang implementasi keperawatan sebagai asuhan kolaboratif
dengan saling melengkapi antara pasien dan perawat. Perawat bertindak dalam
berbagai strategi untuk meningkatkan kemampuan pasien. Dalam implementasi
rencana keperawatan, pasien dan perawat secara bersama-sama melakukan aktivitas
dalam membantu kebutuhan perawatan diri pasien. Pelaksanaan tindakan
keperawatan diberikan sesuai dengan tiga tingkat kemampuan pasien. Ada enam
cara yang dapat dilakukan perawat untuk mengimplementasikan rencana
keperawatan yaitu melakukan tindakan langsung, memberikan pedoman atau
petunjuk, memberikan dukungan psikolgi, memberikan dukungan fisik,
memberikan perkembangan lingkungan yang suportif, dan mengajarkan atau
memberikan pendidikan kesehatan (Renpenning & Taylor, 2014).

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


43

5) Evaluasi

Evaluasi merupakan penilaian efektivitas terhadap intervensi keperawatan


berhubungan dengan tingkah laku pasien. Orem mengemukakan bahwa pasien
membutuhkan kemandirian dalam hal mengatasi masalah kesehatan, sehingga
salam evaluasi juga akan dinilai kemajuan pasien dalam kemandirian melakukan
perawatan diri. Control operation merupakan bentuk evaluasi dari tindakan yang
telah dilakukan. Hal ini merupakan evaluasi dari tindakan yang dilakukan bersama-
sama dengan pasien. Perawat mengkaji kembali perubahan (internal dan eksternal
pasien) dan tercapainya tujuan dari rencana tindakan yang ditetapkan. Evaluasi
memonitor dan meniai efektifitas dari tindakan keperawatan, pencapaian tujuan,
dan penyelesaian masalah dalam diagnosis keperawatan. Membuat keputusan
berdasarkan pertimbangan dari hasil kajian ulang terhadap masalah keperawatan
(Hidayati, 2013).

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


44

BAB III
PENERAPAN TEORI SELF CARE DOROTHEA OREM PADA ASUHAN
KEPERAWATAN DENGAN DIABETES MELITUS

Bab ini akan menguraikan pengalaman penulis sebagai care provider, yaitu pemberi
asuhan keperawatan dengan menggunakan landasan teori keperawatan self care Orem.
Format pengkajian dan asuhan keperawatam diadopsi dan dimodifikasi dari buku Nursing
Concept of Practice (Orem, 2001), Self Care Theory in Nursing: Selected Papers of
Dorothea Orem (Renpenning & Taylor, 2003), dan Nursing Theorists and Their Work
Editon (Alligood & Tomay, 2014). Format pengakjian dapat dilihat pada lampiran 1.
Adapun asuhan keperawatan yang diberikan dengan pendekatan teori keperawatan self
care Orem adalah pasien DM Tipe 2 dengan multipel ulkus, gagal ginjal dan hipoglikemia
berulang sebagai kasus kelolaan utama. Pada BAB ini juga akan diuraikan 30 kasus
lainnya yang dikelola selama praktik residensi dengan menggunakan pendekatan teori self
care Orem. Gambaran resume 30 kasus kelolaan dapat dilihat pada lampiran 2.

Pendekatan teori self care dalam asuhan keperawatan selama proses residensi memberikan
kerangka rujukan yang dapat diterapkan pada setiap komponen dari proses keperawatan
meliputi pengkajian, perumusan diagnosa, penyusunan rencana keperawatan, implementasi
dan evaluasi keperawatan. Pendekatan teori self care Orem selama proses residensi
membantu dalam keterampilan berpikir kritis, terutama dalam mengumpulkan, mengatur
dan mengklasifikasi data, memahami, menganalisis, dan menginterpretasikan situasi
kesehatan pasien, memandu perumusan diagnosa, merencanakan, menerapkan dan
mengevaluasi asuhan keperawatan, menjelaskan tindakan keperawatan dan interaksi
dengan pasien, menguraikan dan menjelaskan respon pasien, serta mendiskusikan hasil
akhir yang ingin dicapai pasien.

Selama melaksanakan praktik residensi di RSUPN Ciptomangunkusumo, selain


mempraktikan kiat dan ilmu keperawatan, penulis juga mengemban tanggung jawab dan
akuntabilitas terhadap pasien, anggota tim, pemberi perawatan kesehatan lainnya. Selain
sebagai perawat, praktikan juga menjadi bagian dari anggota tim dalam sistem layanan
kesehatan dan mengemban berbagai peran dan tanggung jawab meliputi sebagai praktisi,

44 Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


45

pendidik, edukator, penasihat (advocate), peneliti, inovator, kolaborator, manager kasus


dan administrator.

3.1 Gambaran Kasus Kelolaan

Ny. Mw, asal jakarta, berusia 41 tahun, dengan keluhan utama sesak dan lemas. Pasien
masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) tanggal 13 November 2013, dan dipindahkan ke
rg rawat lt 7 pada 22 november 2013. Sesak dan lemas dialami sejak semalam (08-12-13)
disertai dengan kesadaran yang tidak stabil (pasien kadang-kadang mengantuk dan apatis).
Keluhan dirasakan berkurang setelah pasien menjalani hemodialisa cito pada malam yang
sama. Keluhan lemas dan sesak dirasakan pasien sejak pertama kali masuk ke RSCM
(IGD, 13-11-2013) yang diketahui mengalami KAD dengan gula darah > 500 mg/dl,
multiple ulkus pada pedis dextra+sinistra dan ulkus ca mamae pada dada sebelah kanan.
Awalnya pasien mengalami demam sejak 3 minggu sebelum MRS (23-10-2013), terus
menerus, tidak menggigil, dan nafsu makan menurun. Pasien dirawat selama 11 hari di
IGD dengan protocol KAD selama 3 hari, hemodialisa, dan perawatan luka pada multiple
ulkus. Pada pemeriksaan fisik diketahui TD: 130/90 mmHg, N: 100x/mnt, P: 22x/mnt, S:
370C. Bernapas dengan bantuan binasal kanul 4 ltm, pernapasan dalam, suara napas ronkhi
basah kasar pada kedua lapang paru, konjungtiva pucat, sclera tidak ikterik. Terpasang
chateter double lumen (CDL) pada leher sebelah kanan, pedis sinistra terbalut elastic
perban sepanjang tibia hingga ke dorsum; rembesan darah (-)/pus (+)/bau (+), femur kanan
terbalut elastic perban; rembesan darah (-)/pus(-)/bau(+). Kesadaran tampak mengantuk
dan gelisah, status neurologis GCS 13 E3V4M6, Pasien tidak berorientasi baik terhadap
tempat, orang dan waktu. Turgor kulit tidak elastis, edema ekstremitas (-). pasien
menggunakan foley kateter hari ke-9, dan kateter intravena pada lengan kiri hari ke-4.

Riwayat Kesehatan Sebelumnya

a. Pasien menderita DM sejak 1 tahun yang lalu. Berobat tidak teratur.


b. Riwayat hipertensi, kanker, sakit jantung dan gagal ginjal disangkal.
c. Riwayat dirawat di IGD dengan KAD 3 minggu lalu dengan gula darah > 500 mg/dl.

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


46

3.2 Penerapan Teori self care Dorothea Orem


3.2.1 Pengkajian
Tabel 3.1
Tabel Data Pengkajian

No Pengkajian Data Masalah Keperawatan


Pengkajian universal self care requires
1. Oksigenasi S: sesak Gangguan pertukaran gas
O:
- P: 22 x/mnt, pernapasan cepat dan dalam, suara napas ronkhi basah kasar kedua lapang paru.
- Bentuk dada normal, rasio AP:lateral=1:2, simetris, clubbing finger (-), sianosis (-), pada dada
kanan tampak luka seperti bisul yang terbalut kasa.
- Deviasi trakea (-), krepitasi (-), taktil fremitus menurun pada paru kanan dan kiri
- Foto Thoraks (13-11-2013)
Kesan : tampak infiltrate kedua lapang paru. Jantung kesan tidak membesar, aorta dan
mediatinum tidak menebal, trakea di tengah.
Foto Thoraks (28-11-2013)
Kesan : 46etabolism di kedua paru bertambah dd/ TB paru dibandingkan foto thorak 13-11-
2013/ aorta kalsifikasi, mediastinum sup tidak melebar.
- Analisa Gas darah (08-12-13)
Ph ↓7,208/Pco2 ↑48.5/Po2 ↓40.8/HCO3 ↓19.5/BE ↓-8.1/Sat O2 63,7/Standar HCO3 ↓17.2. 
kesan asidosis metabolic
2. Sirkulasi S: lemas Fatique
O:
- TD: 132/90, N=100x/mnt, S: 370C
- iktus cordis tidak terlihat, bunyi jantung S1 reguler di atas daerah mitral dan S2 reguler di atas
daerah aorta, mur-mur (-), gallop (-)
- JVP 5-2 cmH2O
- konjungtiva pucat, udema tungkai (-), akral hangat, hipotermi tungkai (-).
- Arteri tibialis posterior dan arteri dorsalis teraba normal pada pedis dextra. Arteri tibialis
posterior dan arteri dorsalis pada pedis sinistra sulit dinilai (terbalut elastic perban)
- Pemeriksaan darah perifer lengkap (07-12-13)
Hb ↓7.1 g/Dl/Ht ↓21.7%/Eritrosit ↓2.73.10^6/Ul/ MCV ↓79.5 Fl/MCH ↓26 Pg/MCHC 32.7
g/Dl  anemia

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


47

No Pengkajian Data Masalah Keperawatan


3 Makanan/Cairan S: tidak nafsu makan, mual (-), muntah (-), penurunan BB lupa Ketidakseimbangan nutrsi
O: kurang dari kebutuhan
- Antropometri: BB=45 kg, TB= 155 cm, BBI=49 kg, IMT=18.75 (normal)
- LILA: 20 cm  kurang gizi kronis (< 23.5 cm) Risiko kurang volume cairan
- Status gizi= (BB actual: BB ideal)x 100% = 91.8% (BB normal) dan elektrolit
- Kebutuhan kalori basal= BBIx 25 kal= 1225 kalori
- Kebutuhan total energy = kebutuhan kalori basal+ faktor koreksi (aktivitias ringan:+10%, usia
>40 th: -5%,status gizi normal dg aktivitas ringan: +30, stress metabolic (infeksi dan luka post
debridement:+30%)
= 1225 + (BBIx10%)-(BBIx5%)+30+(BBIx30%)
= 1225+4.9+(-2.45)+30+14.7
=1272.15  dibulatkan menjadi 1300 kkal (dibagi dalam 3 porsi makan besar dan 2 porsi
makan kecil/selingan)
- Kebutuhan energy total dengan riwayat ulkus diabetik post debridement dan diberikan protein
65 gr (0.8 gr/kg BB/hari), sehingga kebutuhan kalori dibulatkan menjadi 1500 kkal.
- Sarapan pagi hanya dihabiskan 4 sendok makan
- Bising usus aktif 4 kuadran.
- Kondisi gigi: beberapa tanggal, yang tampak gigi seri atas dan bawah dan kurang bersih. alergi
makanan (-), mukosa mulut dan bibir kering, turgor kulit tidak 47etabol.
- Kebutuhan cairan/24 jam (35-50 cc/kgBB)= 1575 – 2250 cc/24 jam  input cairan dibatasi
600cc/24 jam dengan balance -500 cc/24 jam
- Urin output 24 jam (08-12-13, 06.00-09-12-13, 06.00)= 600 cc, IWL 24 jam=±450 cc. input;
oral: ± 450 cc, parenteral: ± 200 cc, makanan: ± 100 cc= 650 cc  Balance= -400 cc/24 jam
- Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah perifer lengkap (07-12-13)
Hb ↓7.1 g/Dl/Ht ↓21.7%/Eritrosit ↓2.73.10^6/Ul/ MCV ↓79.5 Fl/MCH ↓26 Pg/MCHC 32.7
g/Dl  anemia

Elektrolit (07-12-13)

Na 135mEq/L/K 3.49 mEq/L/Cl 100.8 mEq/L.

Albumin (8-12-13): ↓2.11 g/Dl  hipoalbumin


4. Aktivitas/Istirahat S: lemas, sulit istirahat Fatigue
O: Deficit perawatan diri
- Ps beraktivitas di tempat tidur Hambatan mobilitas fisik
- Durasi istirahat sejak sakit 4-6 jam/hari.

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


48

No Pengkajian Data Masalah Keperawatan


- aktivitas membersihkan diri, BAK/BAB, makan, memakai baju, dan mandi membutuhkan
bantuan. Berubah posisi dapat dilakukan, berpindah membutuhkan bantuan. skor BARTHEL
INDEX=11 (ketergantungan sedang)
- kekuatan otot
4444 4444
3333 2222
- Pemeriksaan darah perifer lengkap (07-12-13)
Hb ↓7.1 g/Dl/Ht ↓21.7%/Eritrosit ↓2.73.10^6/Ul/ MCV ↓79.5 Fl/MCH ↓26 Pg/MCHC 32.7
g/Dl  anemia

Elektrolit (07-12-13)
Na 135mEq/L/K 3.49 mEq/L/Cl 100.8 mEq/L.
5. Eliminasi S: BAB lancar 2 hari sekali. BAK menggunakan foley kateter Risiko kurang volume cairan
O: dan elektrolit
- Pola BAB 2 hari sekali, lunak, berwarna coklat.
- Hemoroid (-).
- Kebutuhan cairan/24 jam (35-50 cc/kgBB)= 1575 – 2250 cc/24 jam  input cairan dibatasi
600cc/24 jam dengan balance -500 cc/24 jam
- BAK melalui folley kateter. urin output 24 jam (08-12-13, 06.00-09-12-13, 06.00)= 600 cc, IWL
24 jam=±450 cc. input; oral: ± 450 cc, parenteral: ± 200 cc, makanan: ± 100 cc= 650 cc 
Balance= -400 cc/24 jam
- Pemeriksaan penunjang
Fungsi ginjal (07-12-13)
Kreatinin ↑2.6 mg/Dl/Ureum 32/ Egfr ↓ 22.1 ml/min/1.73^2
6. Keselamatan S: - Kerusakan integritas kulit dan
O: jaringan
- Terdapat 7 ulkus DM pada pedis bilateral Hambatan mobilitas fisik
Risiko penyebaran infeksi
sekunder
4 Risiko cedera
5 3
6

7 2

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


49

No Pengkajian Data Masalah Keperawatan


- Ulkus 1: ukuran 3x2x2 cm, warna dasar luka kuning kehijauan, Slough 100%, epitelisasi tepi
luka (-), granulasi (-), darah (-), bau (-), infeksi (+)
- Ulkus 2: ukuran 8x4x0.2 cm, slough (-), warna dasar luka merah muda, darah (+), epitelisasi
tepi luka maksimal, granulasi (+), pus (-)
- Ulkus 3: ukuran 2x2x0.2 cm slough (-), warna dasar luka merah muda, darah (+), epitelisasi tepi
luka maksimal, granulasi (+), pus minimal
- Ulkus 4: ukuran 3x2x0.2 cm, slough (-), warna dasar luka merah muda pucat, darah (+),
epitelisasi tepi luka (+), granulasi (+), pus minimal
- Ulkus 5: ukuran 2x1x0.2 cm, slough (-), warna dasar luka merah muda, darah (+), epitelisasi
tepi (+), granulasi (+), pus minimal
- Ulkus 6: ukuran 3x2x0.2 cm, slough (-), warna dasar luka merah muda, darah (+), epitelisasi
tepi luka maksimal, granulasi (+), pus minimal
- Ulkus 7: ukuran 2x2x0.2 cm, slough (-), warna dasar luka merah muda, darah (+), epitelisasi
tepi luka (+), granulasi (+), pus minimal
- kulit kedua tungkai kering, kuku menebal, deformitas kuku dan kaki belum tampak, baal (+),
neuropati perifer pedis bilateral (+).
- a.dorsalis pedis dan a. tibialis posterior dextra dan sinistra teraba, normal, teratur.
- Radiologi (29-11-2013)
Kesan: soft tissue swelling region cruris dextra

Foto Thoraks (28-11-13)


Kesan : 49etabolism di kedua paru bertambah dd/ TB paru dibandingkan foto thorak 13-11-
2013/ aorta kalsifikasi, mediatinum sup tidak melebar.
- Penurunan imunitas  KGDH fluktuatif, status nutrisi kurang gizi kronik (LILA=20 cm),
Pemeriksaan darah perifer lengkap dan hitung jenis (07-12-13)
Leu ↑15070/Ul, Bas 0.6%/Eos 3.6%/Neut ↑81.5%/Limf ↓10.3 /Mon 4.0%/LED ↑131 mm
- Penilaian risiko jatuh; diagnosis medis sekunder >1, alat bantu jalan tergantung orang lain,
menggunakan infuse, lemas dan mampu berpindah. Skor >/= 51 (Risiko tinggi)
Pengkajian Health Deviation Self Care

7. Endokrin S: DM sejak 1 th lalu, lemas, belum menstruasi sejak masuk RS. - Ketidakstabilan gula darah
O: - Risiko tidak efektifnya
- Kadar gula darah fluktuatif penatalaksanaan program
08-12-13: 06.00= 60 mg/Dl, 11.00= 291 mg/Dl, 16.00= 153 mg/Dl terapeutik
09-12-13 : 06.00= 67 mg/Dl, 11.00= 113 mg/Dl - Risiko cedera
GDP  cenderung hipoglikemia
- Pembesaran tiroid (-)

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


50

No Pengkajian Data Masalah Keperawatan


- Komplikasi DM (+) ;
Neuropati diabetik (+) neuropati perifer bilateral (+), neuropati autonomic: kulit kering dan
anhidrosis pada kedua kaki
Nefropati diabetik (+)
- Pemeriksaan penunjang
USG abdomen (15-11-2013)
Kesan: sesuai dengan gambaran penyakit ginjal kronik bilateral
8. Neurosensori S:- - Risiko perubahan perfusi
O: jaringan cerebra
- Kesadaran tampak mengantuk, Status neurologis GCS 13 E3V4M6  Ps tidak berorientasi - Risiko cedera l
baik terhadap waktu, tempat dan orang
- GDP cenderung hipoglikemia (08-12-13, 06.00= 60 mg/Dl, 09-12-13, 06.00=67 mg/Dl)
- Fungsi saraf Kranial:
N I: sulit mengikuti perintah
N II: sulit mengikuti perintah, strabismus (+)
N III: Ps sulit mengikuti perintah
N IV: Ps sulit mengikuti perintah
N V: Ps dapat melakukan gerakan mengunyah
N VI: Ps sulit mengikuti perintah
N VII: Fs pengecapan baik, ekspresi wajah sesuai perintah
N VIII: Fs pendengaran baik, keseimbangan tidak dilakukan
N IX: tidak ada gangguan menelan dan pengecapan
N X: Fs berbicara baik. Refleks muntah tidak dikaji
N XI: Ps sulit mengikuti perintah
N XII: Ps sulit mengikuti perintah
- Baal pada kedua telapak kaki, neuropati perifer bilateral (+).
9. Nyeri/Ketidaknyamana S: nyeri luka di dada dan perih pada ulkus pedis sinistra Nyeri akut
n O:
- nyeri hilang timbul pada luka di dada terutama saat bergerak, skala 3, VAS 3, nyeri dirasakan
berdenyut ± 30 detik.
- Terdapat 7 ulkus diabetik pada pedis bilateral.:
nyeri ulkus (perih) pada fibula pedis sinistra, skala 4, VAS 3, durasi ± 1 menit terutaa saat
rawat luka
nyeri ulkus maleolus lateral pedis sinistra, skala 3, VAS 3, durasi ± 1 menit terutama saat rawat
luka

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


51

No Pengkajian Data Masalah Keperawatan


10. Higiene S: kebersihan diri dibantu Defisit perawatan diri
O: Hambatan mobilitas fisik
- aktivitas membersihkan diri, BAK/BAB, makan, memakai baju, dan mandi membutuhkan
bantuan. Berubah posisi, berpindah tidak dapat dilakukan. skor BARTHEL INDEX=11
(ketergantungan sedang)
- kondiri rambut lepek, mudah tercabut
- Kondisi badan cukup bersih
- Kuku tangan dan kaki panjang.

Pengkajian Developmental self-care Requisites


12. Interaksi Sosial S: - -
O:
- Selama dirawat pasien ditemani oleh kakak laki-lakinya dan 1 orang keponakan
- Kerabat dan tetangga belum ada yang mengunjungi
11. Integritas Ego S: Bosan, ingin segera pulang
O:
- status emosional/psikologis: sedih
- status mental: kesadaran tidak penuh, sering moody
- masalah financial: pasien tidak bekerja, pekerjaan sehari-hari sebagai tukang cuci dan tukang
masak, gaya hidup kelas menengah
13. Penyuluhan/Pembelajar S: Ps tidak paham tentang penyakitnya Kurang pengetahuan
an O:
- Pendidikan terakhir: SD, Keterbatasan kognitif (+)
- Harapan Ps saat ini: ingin pulang dan berobat jalan

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


52

3.2.2 Perumusan Diagnosa Keperawatan


Tabel 3.2
Perumusan Diagnosa Keperawatan
Diagnosa
Petunjuk pelaksanaan
Terapeutik self-care Keadekuatan self-care
Diagnosa Keperawatan (metode)
demand agency
Kebutuhan inadekuat Gangguan pertukaran gas Menyediakan kebutuhan
Oksigenasi/udara berhubungan infiltrate fisik dan psikologi
paru, perubahan
membrane alveolar-
kapiler
Kecukupan pemasukan In adekuat Ketidakseimbangan Menyediakan kebutuhan
makanan nutrisi kurang dari fisik dan edukasi
kebutuhan berhubungan
dengan ketidakadekuatan
asupan nutrisi
Kecukupan pemasukan In adekuat Risiko kurang volume Menyediakan kebutuhan
cairan cairan dan elektrolit fisik dan edukasi
Kemampuan Adekuat - Mempertahankan
mempertahankan ketersediaan kebutuhan
eliminasi fisik dan edukasi
Keseimbangan aktivitas In adekuat Hambatan mobilitas fisik Menyediakan kebutuhan
berhubungan dengan fisik dan edukasi
perubahan metabolism
seluler, penurunan
kekuatan otot dan
malnutrisi
Keseimbangan antara Adekuat Mempertahankan
interaksi sosial dan ketersediaan kebutuhan
kesendirian fisik dan edukasi
Risiko yang mengancam Adekuat Mempertahankan
kehidupan dan ketersediaan kebutuhan
kesejahteraan fisik, psikolgis dan
edukasi
Peningkatan fungsi dan Adekuat Mempertahankan
perkembangan selama ketersediaan kebutuhan
hidup psikologis dan edukasi
Kemampuan Inadekuat Ketidakstabilan glukosa Menyediakan kebutuhan
mepertahankan stastus darah berhubungan fisik dan edukasi
kesehatan/ manajemen dengan kurang
penyakit pengetahuan tentang
manajemen diabetes dan
kurang kepatuhan pada
rencana manajemen
metabolik
In adekuat Risiko penyebaran infeksi Menyediakan kebutuhan
sekunder berhubungan fisik dan edukasi
dengan penyakit kronis
dan ketidakadekuatan
pertahanan sekunder
In adekuat Nyeri akut berhubungan Menyediakan kebutuhan
dengan agen cedera fisik dan edukasi
(trauma jaringan)

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


53

Catatan:
Pada pengkajian kasus Ny. Mw ditemukan 14 masalah keperawatan yakni gangguan
pertukaran gas, fatigue, risiko perubahan perfusi jaringan cerebral, ketidakstabilan gula darah,
risiko tidak efektifnya penatalaksanaan program terapeutik, risiko cedera, ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan, risiko kurang volume cairan dan elektrolit, defisit perawatan
diri, hambatan mobilitas fisik, nyeri akut, kerusakan integritas kulit dan jaringan, risiko
penyebaran infeksi, dan kurang pengetahuan. Dari 14 masalah keperawatan ini terdapat 8
masalah keperawatan prioritas dimana intervensi keperawatannya telah mencakup 6 masalah
keperawatan lainnya.
Terapi Medikasi dan Nutrisi
1 Ampicilin sulbactam 1.5 gr/12 jam/intravena hari ke-4
2 Vancomicyn 500mg/12 jam/ intravena hari ke-4
3 Bicnat 500 mg/8 jam/oral
4 CaCo3 500 mg/8 jam/oral
5 B 12 50 meq/8 jam/oral
6 Captopril 25 mg/8 jam/oral
7 Inahalasi ventolin 100 mcg/6 jam/inhalasi
8 Novorapid 10 unit/8 jam/subkutan
9 Lasix 20 mg/12 jam/drips
10 Diet DM 1500 kkal (protein 0.8-1 gr/kgBB/hr)
11 Hemodialisa 2 kali/minggu (rabu dan sabtu)

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


54

Skema 3.1 Konsep Map Ny. Mw Konsep Map Ny. Mw dengan Multipel Ulkus Diabetik

Genetik, diet tinggi KH, kurang aktivitas,

NOC ; intake nutrition,


NOC ; glucose control, NIC ;
Kelainan sel B pankreas glucose level Monitoring nutrisi
Management nutrisi
NIC ;
Resistensi insulin/defisiensi insulin Monitoring glucose level
Provide simple carbohydrate
Management hyperglicemia
↑ glukosa darah (hiperglkemi tidak Ketidakseimbangan
Management hypoglicemia
↑ advanced glicosilated end products (AGEs) nutrisi kurang dari
terkontrol) kebutuhan tubuh

mikrovaskular ↑ enzim aldolase reduktase dan Ketidakstabilan gula darah malnutrisi


sorbitol dehidrogenase

Debridemen (pembedahan)
penebalan membrane basalis ubah matriks ekstraseluler Konversi glukosa intraseluler Starvasi sel
glomerulus
defek makrofag alveolar

nefropati diabetik ↓ sintesis sel saraf Terputusnya kont jar dan Kelemahan (keterbatasan
risiko infeksi kulit aktivitas)

gagal ginjal NOC ; wound healing Neuropati diabetik


NIC ; Nyeri akut Hambatan mobilitas fisik
Wound care
Infection control ↓ sensasi perifer
Nutrition management NOC ; pain control, pain NOC ; activity tolerance,
level fatigue level
Neuropati sensorik, motorik, otonomik NIC ; NIC ;
pain management Exercise promotion
Kerusakan integritas kulit Ulkus DM Energy management
dan jaringan

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


55

3.2.3 Intervensi Keperawatan

Tabel 3.3
Intervensi Keperawatan

No Tgl Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi


1 09/12/13 Gangguan pertukaran gas berhubungan infiltrate paru, perubahan membrane NOC: NIC:
alveolar-kapiler - Pertukaran gas dan ventilasi Manajemen jalan napas
DS: sesak adekuat, dengan 55etabolis: dan asam basa
1. Monitoring frekuensi,
DO:  Nilai AGD kembali
irama, kedalaman dan
- P: 22 x/mnt, pernapasan cepat dan dalam (kusmaul), suara napas ronkhi basah normal:
kasar kedua lapang paru. usaha dalam bernafas.
Ph arteri 7,35 – 7,45
- Deviasi trakea (-), krepitasi (-), taktil fremitus menurun pada paru kanan dan kiri Catat pergerakan dada
PCO2 35-45 mmHg
- sianosis (-) terhadap kesimetrisan
PoO 75-100 mmHg
- Foto Thoraks (13-11-2013) 2. Auskultasi suara nafas,
Kesan : tampak infiltrate kedua lapang paru. Jantung kesan tidak membesar, HCO3 21-25 mmol/L
catat area yang menurun
aorta dan mediatinum tidak menebal, trakea di tengah. BE -2.5-+2.5 mmol/L
dan suara tambahan dan
Foto Thoraks (28-11-2013) Sat O2 95-98 %
Kesan : 55etabolism di kedua paru bertambah dd/ TB paru dibandingkan foto auskulatasi suara paru
 suara nafas vesikuler
thorak 13-11-2013/ aorta kalsifikasi, mediastinum sup tidak melebar. setelah pemberian terapi
 RR 12-20 x/menit
- Analisa Gas darah (08-12-13) untuk mengetahui
Ph ↓7,208/Pco2 ↑48.5/Po2 ↓40.8/HCO3 ↓19.5/BE ↓-8.1/Sat O2 63,7/Standar  Pola napas normal
perkembangan
HCO3 ↓17.2.  kesan asidosis metabolic  Sianosis (-) 3. Kolaborasi pemeriksaan
AGD. Bila Ph < 7 saat
masuk diperiksa setiap
6 jam s/d Ph > 7.1.
Selanjutnya setiap hari
hingga stabil
4. Kaji penggunaan otot otot
aksesori dan
supraclaviculer serta
retraksi otot-otot
intercosta.
5. Monitor pola nafas;
bradipnue, tacipneu,

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


56

No Tgl Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi


pernafasan kussmaul
6. Palpasi ekspansi dada
pada ke dua lapang paru
7. Catat serangan dan
karakteristik dan lamanya
batuk
8. Monitor hasil X-Ray
dada
9. Observasi status saturasi
O2
10. Kolaborasi pemberian
nebulizer V:B:Ns
11. Kolaborasi pemberian
bicarbonate tablet jika
mengalami asidosis berat.
Jika Ph</= 7, diskusikan
untuk pemberian
bicarbonate/iv dalam
beberapa jam secara
perlahan.
2 09/12/13 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan NOC: NIC :
ketidakadekuatan asupan nutrisi - Intake nutrisi adekuat (tidak
DS: tidak nafsu makan, mual (-), muntah (-), penurunan BB lupa ada mual, muntah, anoreksia Monitoring Nutrisi :
DO: dan diit yang disediakan 1. Monitor berat badan dan
- Antropometri: BB=45 kg, TB= 155 cm, BBI=49 kg, IMT=18.75 (normal) mampu dihabiskan) kecenderungan
- LILA: 20 cm  kurang gizi kronis (< 23.5 cm) - Pemeriksaan kimia darah kehilangan dan
- Status gizi= (BB actual: BB ideal)x 100% = 91.8% (BB normal) dalam batas normal: peningkatan berat badan
- Kebutuhan kalori basal= BBIx 25 kal= 1225 kalori Hb 12-15 g/Dl klien
- Kebutuhan total energy = kebutuhan kalori basal+ faktor koreksi (aktivitias Ht 36-46 % 2. Monitor adanya keluhan
ringan:+10%, usia >40 th: -5%,status gizi normal dg aktivitas ringan: +30, Erit 3.8 – 4.8x 10^6/Ul anoreksia, mual dan
stress metabolic (infeksi dan luka post debridement:+30%) MCV 80-95 Fl muntah.
= 1225 + (BBIx10%)-(BBIx5%)+30+(BBIx30%) MCH 27-31 Pg 3. Monitor kadar albumin,
= 1225+4.9+(-2.45)+30+14.7 MCHC 32-36 g/Dl total protein,

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


57

No Tgl Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi


=1272.15  dibulatkan menjadi 1300 kkal (dibagi dalam 3 porsi makan besar Albumin 3.4-4.8 g/Dl hemoglobin dan
dan 2 porsi makan kecil/selingan) - BB meningkat (45 kg  BBI hemotokrit.
- Kebutuhan energy total dengan riwayat ulkus diabetik post debridement dan 49 kg) 4. Monitor level energy,
diberikan protein 65 gr (0.8 gr/kg BB/hari), sehingga kebutuhan kalori - Bebas dari tanda dan gejala malaise, fatique dan
dibulatkan menjadi 1500 kkal. malnutrisi: turgor kulit elastic, kelemahan.
- Sarapan pagi hanya dihabiskan 4 sendok makan mukosa bibir lembab, rambut 5. Monitor intake kalori
- Bising usus aktif 4 kuadran. tidak mudah tercabut dan nutrisi klien.
- Kondisi gigi: beberapa tanggal, yang tampak gigi seri atas dan bawah dan - Ps mengenali faktor-faktor Identifikasi makanan
kurang bersih. alergi makanan (-), mukosa mulut dan bibir kering, turgor kulit penyebab malnutrisi yang dsukai klien.
tidak elastic, rambut rauh dan mudah tercabut 6. Catat perubahan penting
- Pemeriksaan penunjang dalam status nutrisi.
Pemeriksaan darah perifer lengkap (07-12-13) 7. Monitor terhadap tanda
Hb ↓7.1 g/Dl/Ht ↓21.7%/Eritrosit ↓2.73.10^6/Ul/ MCV ↓79.5 Fl/MCH ↓26 dan gejala malnutrsi
Pg/MCHC 32.7 g/Dl  anemia (penurunan turgor kulit,
Albumin (8-12-13): ↓2.11 g/Dl  hipoalbumin kulit kering, konjungtiva
pucat, disorientasi,
rambut rapuh dan
mudah tercabut)

Managemen Nutrisi :
1. Tentukan apakah klien
memiliki alergi terhadap
makanan
2. Kolaborasi kebutuhan
nutrisi klien (diit DM
dengan CKD dan
multiple ulkus 1500
kkal dan protein 0.8
g/kgBB)
3. Motivasi klien terhadap
program diit yang
diberikan
4. Berikan snack bila
diperlukan
5. Pastikan bahwa
makanan mengandung

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


58

No Tgl Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi


tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
6. Monitor intake dan
output klien
7. Berikan informasi
tentang kebutuhan
nutrisi klien.
8. Klien dengan anemia,
kolaborasi pemberian
vitamin B12, C Fe, dan
asam folat.
9. Kolaborasi pemberian
albumin jika diperlukan
sesuai indikasi.

3 9/12/13 Ketidakstabilan glukosa darah berhubungan dengan resistensi insulin, kurang NOC : NIC:
pengetahuan tentang DM dan ketidakpatuhan pada rencana manajemen DM Blood Glucose control Monitor Blood Glucose
DS: DM sejak 1 th lalu, lemas(+) Blood Glucose Level Level
DO: Indikator : 1. Monitor kadar glukosa
- Kadar gula darah fluktuatif darah sebelum dan sesudah
08-12-13: 06.00= 60 mg/Dl, 11.00= 291 mg/Dl, 16.00= 153 mg/Dl Selama dilakukan perawatan, makan.
09-12-13 : 06.00= 67 mg/Dl, 11.00= 113 mg/Dl diharapkan kadar glukosa darah 2. Monitoring tanda dan
GDP  cenderung hipoglikemia pada pagi hari terkontrol, dengan kriteria ; gejala hipoglikemi
- Komplikasi DM (+) ; - GDP < 140 mg/Dl 3. Monitoring tanda dan
Neuropati diabetik (+) neuropati perifer bilateral (+), neuropati autonomic: - GDS < 200 mg/Dl gejala hiperglikemi
kulit kering dan anhidrosis pada kedua kaki - GDP 70 -130 mg/Dl 4. Evaluasi regimen medikasi
Nefropati diabetik (+) - HbA1C < 7% yang dapat mengubah
- Glukosa urin (-) kadar glukosa darah.
- Keton urin (-) 5. Monitor tanda tanda vital
sebelum dan setelah
beraktifitas.
6. Kolaborasi pemberian
terapi insulin sesuai
program.

Provide simple

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


59

No Tgl Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi


carbohydrate
1. Diskusi dan konsultasi
pada ahli gizi untuk
perhitungan kembali
jumlah diet
karbohidrat/kalori klien
dengan multiple ulkus,
CKD dan CAP
2. Anjurkan klien untuk
menghabiskan diit yang
sudah diberikan dan
menghindari makan
makanan yag berasal dari
luar.

Manajemen hyperglikemia
:
1. monitor tanda dan gejala
hiperglikemia
2. monitor adanya keton
dalam urin
3. monitor AGD dan
elektrolit
4. monitor TTV
5. berikan insulin sesuai
program
6. dukung intake cairan
peroral
7. identifikasi kemungkinan
penyebab hiperglikemia
8. fasilitasi regimen terapi
diit dan latihan.

Manajemen Hypoglikemia :
1. identifikasi faktor resiko
hipogikemia

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


60

No Tgl Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi


2. monitor level gula darah
3. monitor tanda dan gejala
hipoglikemia serta tanda-
tanda vital
4. sediakan penambahan
asupan karbohidrat
5. kolaborasi pemberian
dextrose (iv atau drips)
jika kllien hipoglikemia

4 9/12/13 Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera (trauma jaringan) NIC :
NOC Pain Management
S: nyeri luka di dada dan perih pada ulkus pedis sinistra - Pain Level Aktifitas :
O: - Pain Control 1. Pertahankan imobilisasi
- nyeri hilang timbul pada luka di dada terutama saat bergerak, skala 3, VAS 3, Indikator :
nyeri dirasakan berdenyut ± 30 detik. pada area yang sakit
1 = severe
- Terdapat 7 ulkus diabetik pada pedis bilateral.: dengan tirah baring dan
2 = substansial
nyeri ulkus (perih) pada fibula pedis sinistra, skala 4, VAS 3, durasi ± 1 menit 3 = moderately pembebat dll.
terutama saat rawat luka 4 = mildly 2. Elevasikan ekstremitas
nyeri ulkus maleolus lateral pedis sinistra, skala 3, VAS 3, durasi ± 1 menit 5 = not dengan ulkus
terutama saat rawat luka 3. Evaluasi keluhan nyeri
Setelah dilakukan tindakan /ketidaknyamanan,
keperawatan selama 3 x 24 jam perhatikan lokasi dan
masalah nyeri akut pasien
karakteristik termasuk
terkontrol, pasien teradaptasi
dengan kriteria hasil: skala nyeri. Perhatikan
- Menyatakan nyeri terkontrol respon non verbal
- Perbaikan nyeri ulkus VAS 3 terhadap nyeri.
VAS 1 4. Jelaskan prosedur
- Menunjukkan penggunaan sebelum memulai
keterampilan relaksasi tindakan.
5. Berikan alternative
tindakan kenyamanan
misalnya perubahan
posisi

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


61

No Tgl Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi


6. Dorong untuk
menggunakan tehnik
relaksasi untuk
menurunkan nyeri seperti
relaksasi napas dalam,
distraksi progresif muscle
relaxation.
7. Kolaborasi / berikan
analgestik sesuai indikasi
4 9/12/13 Kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan gangguan metabolic NOC: Monitoring :
dan malnutrisi - Perbaikan integritas kulit dan - Monitor tanda tanda
S: - jaringan dengan indicator: perluasan infeksi
O: Perfusi jaringan baik - Monitor suhu tubuh
- Terdapat 7 ulkus DM pada pedis bilateral temperature hangat, CRT < 3 - Monitor pertumbuhan
detik, ABI normal) granulasi
Kulit kaki tidak kering - Monitor dan catat
4 Tidak ada lesi/luka baru perubahan kondisi luka
5 3 Tidak ada jaringan nekrotik : warna, adanya
6 - Penyembuhan luka tepat waktu granulasi, pus dan lain
Tidak terjadi infeksi pada ulkus lain0
7 2
- Observasi sensasi kulit
terhadap sentuhan ,
1 nyeri dan suhu
- Kaji hidrasi termasuk
kekeringan kulit,
- Ulkus 1: ukuran 3x2x2 cm, warna dasar luka kuning kehijauan, Slough 100%, kondisi kuku dan yang
epitelisasi tepi luka (-), granulasi (-), darah (-), bau (-), infeksi (+) lainnya.
- Ulkus 2: ukuran 8x4x0.2 cm, slough (-), warna dasar luka merah muda, darah
(+), epitelisasi tepi luka maksimal, granulasi (+), pus (-) Sirculatory care : arterial
- Ulkus 3: ukuran 2x2x0.2 cm slough (-), warna dasar luka merah muda, darah (+), insufficiency
epitelisasi tepi luka maksimal, granulasi (+), pus minimal - Cek pulsasi di radialis,
- Ulkus 4: ukuran 3x2x0.2 cm, slough (-), warna dasar luka merah muda pucat, brakhialis, femoral,
darah (+), epitelisasi tepi luka (+), granulasi (+), pus minimal popliteal, dorsalis pedis
- Ulkus 5: ukuran 2x1x0.2 cm, slough (-), warna dasar luka merah muda, darah secara bilateral
(+), epitelisasi tepi (+), granulasi (+), pus minimal - Observasi warna kulit di

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


62

No Tgl Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi


- Ulkus 6: ukuran 3x2x0.2 cm, slough (-), warna dasar luka merah muda, darah daerah tungkai dan suhu
(+), epitelisasi tepi luka maksimal, granulasi (+), pus minimal pada perabaan
- Ulkus 7: ukuran 2x2x0.2 cm, slough (-), warna dasar luka merah muda, darah - Cek capilary refill time
(+), epitelisasi tepi luka (+), granulasi (+), pus minimal - Kaji adanya nyeri pada
- kulit kedua tungkai kering, kuku menebal, deformitas kuku dan kaki belum ekstremitas bawah dan
tampak, baal (+), neuropati perifer pedis bilateral (+). karakteristiknya
- a.dorsalis pedis dan a. tibialis posterior dextra dan sinistra teraba, normal, teratur. - Ajarkan pada pasien
- Radiologi (29-11-2013) dan keluarga melakukan
Kesan: soft tissue swelling region cruris dextra aktifitas latihan di
tempat tidur untuk
kakinya (senam kaki /
ROM kaki)
- Pantau nilai dari ABI
- Kolaborasi pemberian
antiplatelet dan
antikoagulasi
- Monitoring nilai PT dan
APTT setiap hari
Wound care :
- Catat karakteristik luka
dan drainase
- Rawat luka setiap hari
dengan prinsip steril
- Cegah penekanan pada
area luka
- Berikan kelembaban
pada area luka
- Bersihkan dengan agen
antibakteri atau dengan
normal saline
- Balut luka sesuai
kebutuhan
- Inspeksi luka setiap kali
mengganti balutan,
bandingkan dan catat
secara teratur setiap

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


63

No Tgl Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi


perubahan luka
- Lakukan debridement
pada jaringan nekrotik
- Anjurkan pada keluarga
untuk memberikan
lotion pada area yang
kering
- Anjurkan keluarga
untuk menjaga
kebersihan kulit pasien
dan daerah sekitar
pasien
- Ajarkan pada keluarga
cara perawatan kaki
yang benar.

Pendidikan kesehatan :
- Ajarkan pentingnya
hygiene kaki dan
perawatan kaki

Kolaborasi :
- Kultur pus
- Berikan antibiotic
sesuai program.

6 9/12/13 Risiko Kurang volume cairan elektrolit NOC: NIC:


- Keseimbangan Electrolyte Managemen cairan dan
Faktor Risiko: - Keseimbangan cairan manajemen hipovolemi:
- Kulit kering, turgor kulit tidak 63etabol - Hydration - Pantau haluaran urine, catat
- Kebutuhan cairan/24 jam (35-50 cc/kgBB)= 1575 – 2250 cc/24 jam  input jumlah dan warna saat hari
cairan dibatasi 600cc/24 jam dengan balance -500 cc/24 jam dengan kriteria hasil; dimana diuresis terjadi.
BAK melalui folley kateter. urin output 24 jam (08-12-13, 06.00-09-12-13, - Volume cairan stabil dengan - Pantau/hitung keseimbangan
06.00)= 600 cc, IWL 24 jam=±450 cc. input; oral: ± 450 cc, parenteral: ± 200 cc, keseimbangan masukan dan pemasukan dan
makanan: ± 100 cc= 650 cc  Balance= -400 cc/24 jam pengeluaran (Balance -500 cc) pengeluaran selama 24
- Pemeriksaan penunjang - Tanda vital dalam batas normal jam.

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


64

No Tgl Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi


Fungsi ginjal (07-12-13) - kulit tidak kering, turgor kulit - Timbang berat badan tiap
Kreatinin ↑2.6 mg/Dl/Ureum 32/ Egfr ↓ 22.1 ml/min/1.73^2 elastis hari terutama sebelum dan
- Pemeriksaan penunjang - Menyatakan pemahaman tentang setelah hemodialisa
Pemeriksaan darah perifer lengkap (07-12-13) pembatasan cairan individual. - Pantau TD dan CVP (bila
Hb ↓7.1 g/Dl/Ht ↓21.7%/Eritrosit ↓2.73.10^6/Ul/ MCV ↓79.5 Fl/MCH ↓26 ada)
Pg/MCHC 32.7 g/Dl  anemia - Catat peningkatan letargi,
hipotensi, kram otot,
kelembaban kulit, dan
turgor kulit
- Pemberian obat sesuai
indikasi, cth: Diuretik :
Lasix
- Mempertahankan
cairan/pembatasan natrium
sesuai indikasi
- Monitor serum dan
osmolaritas urin,
BUN/ceratinin ratio,
hematokrit.
7 9/12/13 Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot dan NOC: NIC:
malnutrisi - Ambulasi Exercise therapy dan Self-
S: lemas, aktivitas kebersihan diri dibantu - Self-care: ADL care: ADL
O: 1. Observasi kemampuan
- aktivitas membersihkan diri, BAK/BAB, makan, memakai baju, dan mandi klien dalam beraktifitas
membutuhkan bantuan. Berubah posisi dapat dilakukan, berpindah Dengan criteria hasil: 2. Kaji faktor faktor yang
membutuhkan bantuan. skor BARTHEL INDEX=11 (ketergantungan sedang) - Peningkatan status fungsional berkontribusi tehadap
- kekuatan otot (BARTHEL INDEX) kemampuan aktiftas
ketergantung sedang pasien seperti gangguan
4444 4444 ketergantung ringan/mandiri elektrolit dan penurunan
dengan skor 12-20 Hb
3333 2222 - Peningkatan kekuatan otot 3. Monitor nutrisi dan
sumber energy yang
- Pemeriksaan darah perifer lengkap (07-12-13) adekuat
Hb ↓7.1 g/Dl/Ht ↓21.7%/Eritrosit ↓2.73.10^6/Ul/ MCV ↓79.5 Fl/MCH ↓26 4. Monitor respon
Pg/MCHC 32.7 g/Dl  anemia kardiovaskuler terhadap
aktifitas
Elektrolit (07-12-13)

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


65

No Tgl Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi


Na 135mEq/L/K 3.49 mEq/L/Cl 100.8 mEq/L. 5. Monitor pola tidur dan
istirahat pasien
6. Bantu pasien dalam
mobilitas yang sesuai
7. Atur penggunaan energy
untuk mengatasi atau
mencegah keletihan dan
memaksimalkan fungsi
8. Kolaborasi dengan
fisioterapi untuk latihan
(ROM bertahap) yang
sesuai
8 9/12/13 Risiko penyebaran infeksi sekunder berhubungan dengan penyakit kronis dan NOC: NIC:
ketidakadekuatan pertahanan sekunder - Status imun Pengandalian dan 65etabol
Faktor Risiko: - peningkatan pengetahuan: infeksi
- Ps dengan penyakit kronis dan kurang pengetahuan manajemen infeksi, 1. observasi dan catat tanda
- Terdapat 7 ulkus diabetik pada pedis dextra dan sinistra pengendalian dan proteksi serta gelaja infeksi
- Foto Thoraks (28-11-13) infeksi (kemerahan, peningkatan
Kesan : 65etabolism di kedua paru bertambah dd/ TB paru dibandingkan foto dengan criteria hasil: suhu tubuh, perubahan nilai
thorak 13-11-2013/ aorta kalsifikasi, mediatinum sup tidak melebar. - bebas dari gejala infeksi: laboratorium seperti leukosit
- Penurunan imunitas  KGDH fluktuatif, status nutrisi kurang gizi kronik suhu tubuh dalam batas normal, dan hitung jenis darah)
(LILA=20 cm), lekopenia tidak terjadi (Leukosit 2. Ps dengan CAP: kaji suara
- Pemeriksaan hitung jenis (07-12-13) 5000-10000/Ul) paru, dan warna serta
Leu ↑15070/Ul, Bas 0.6%/Eos 3.6%/Neut ↑81.5%/Limf ↓10.3 /Mon 4.0%/LED - pemeriksaan darah (hitung jenis karakteristik sputum.
↑131 mm ) dalam batas normal: gunakan air steril untuk
Bas 0.5-1.0 % melakukan oral hygiene.
Eosinofil 1-4 % 3. evaluasi dan tingkatkan cuci
Neutrofil 55-70% tangan pada Ps dan keluarga
Limfosit 20-40 % untuk mengurangi
Monosit 2-8 % komtaminasi silang
LED 0-20mm mikroorganisme
4. Patuhi SOP dam gunakan
sarung tangan selama
melakukan kontak dengan
darah, membrane mukis,
kulit/jaringan yang terbuka,

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


66

No Tgl Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi


dan substansi tubuh lainnya
kecuali keringat.
5. cek lokasi insersi kateter iv
terhadap tanda dan gejala
infeksi (phlebitis). ganti per
3 hari secara berkala
6. cek area perineal dan katater
urin. lakukan perawatan
kateter urin setiap hari.
observasi tanda dan gejala
infeksi pada urin
7. berikan informasi tentang
tanda dan gejala infeksi serta
pencegahannya pada pasien
dan keluarga.
8. kolaborasi pemberian
antibiotic yang sesuai.
monitor resistensi dan
sensitifitas antibiotic (hasil
kultur) setelah pemberian
hari ke 10.

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


67

3.3 Pembahasan
3.3.1 Universal Self Care Requisites
Penatalaksanaan therapeutic nursing dengan pendekatan teori self care Orem
berdasarkan pada universal self care requisites, developmental self care requisites dan
health self care requisites. Implementasi therapeutic nursing pada fase perkenalan
tidak mengalami hambatan, pasien dapat bekerja sama dalam setiap tindakan terapeutik
dan pemberian terapi medikasi. Namun Pasien belum cukup percaya dan mandiri untuk
mengenali kemampuan dirinya dalam mengatasi masalah kesehatan selama dirawat.
Sehingga komunikasi terapeutik dalam kasus ini sangat bermanfaat terutama dalam
mengeksplorasi dan memotivasi pasien dan keluarga.

Pada universal self care requisites dan health self care requisites, tindakan terapeutik
yang diberikan dilakukan untuk meningkatkan dan mempertahankan kebutuhan udara,
air, makanan, keseimbangan antara menyendiri dan interaksi sosial, pemberian
perawatan dalam proses eliminasi dan eksresi, pencegahan bahaya, dan peningkatan
perkembangan pasien.

1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan infiltrat paru dan perubahan


membran alveolar-kapiler
Pada masalah keperawatan gangguan pertukaran gas, pemberian perawatan pada
pasien dilakukan untuk memenuhi kebutuhan udara dan oksigenasi. Pasien
didiagnosa Community Acquired Pneumonia (CAP) dd tuberculosis. Pasien
mengalami gangguan oksigenasi dengan pernapasan yang dalam dan cepat
(kusmaul) serta ditemukan suara napas ronkhi basah kasar pada kedua lapang paru,
konjungtiva pucat, hasil AGD (07-12-13 s.d 24-12-13) kesan asidosis metabolic,
dan pada foto thoraks (09-12-13) ditemukan infiltrat yang bertambah pada kedua
lapang paru. Ketidakadekuatan oksigenasi ini mengakibatkan kegelisahan pada
pasien. Sesuai dengan kondisi ini, berdasarkan teori self care Orem pasien berada
pada kebutuhan kompensatori utuh dimana pasien berada dalam ketidakmampuan
untuk terlibat dalam tindakan perawatan diri. Tindakan keperawatan yang
dilakukan sesuai kondisi ini adalah memberikan perawatan diri terapeutik,
mengkompensasi ketidakmampuan pasien, dan memberi dukungan serta
perlindungan kepada pasien. Tindakan keperawatan yang dilakukan meliputi

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


68

pemberian oksigen, fisioterapi dada, kolaboratif, pemantauan hasil laboratorium


dan edukasi.

Gangguan pertukaran gas pada pasien ini diakibatkan oleh CAP yang dibuktikan
dengan adanya infiltrat pada paru. Infeksi ini disebabkan oleh adanya abnormalitas
dalam imunitas yang diperantarai oleh sel dan fungsi fagosit berkaitan dengan
hiperglikemia, termasuk berkurangnya vaskularisasi. Neutrofil merupakan
granulosit dalam sirkulasi dengan fungsi utama adalah fasositosis dan berperan
dalam inflamasi terhadap infeksi. Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden
infeksi paru pada diabetes dapat berupa defek pada fungsi sel-sel imun dan
mekanisme pertahanan pejamu. Selain itu, ditemukan juga aktivitas bakterisidal
leukosit yang berkurang pada pasien DM, terutama pada mereka yang memiliki
kontrol gula darah yang buruk. Meningkatnya risiko infeksi pada pasien DM
diperkirakan disebabkan oleh defek pada makrofag alveolar atau limfosit. Hal ini
mengakibatkan gangguan pertukaran gas pada membaran alveolar-kapiler yang
dibuktikan dengan hasil analisa gas darah yang abnormal yaitu asidosis metabolic
(Greenstein & Wood, 2009; O’Callaghan, 2009).

Pada pasien dengan asidosis metabolik, konsentrasi plasma dan filtrat rendah. Pada
pasien dengan fungsi ginjal yang normal, asidodis secara langsung menstimulasi
metabolisme glutamine pada tubulus proksimal, menghasilkan NH+4 untuk ekskresi
dan membentuk bikarbonat baru. Asidosis juga meningkatkan sekresi H+ sehingga
meningkatkan rearbsobsi bikarbonat pada tubulus proksimal dan distal. Respon
ginjal ini bertujuan untuk mengembalikan penurunan pH dan HCO3 kembali dalam
batas normal. Selain ginjal paru juga berperan dalam mempertahankan
keseimbangan asam basa pasien. Penurunan pH memicu kemeresptor arteri
terutama di badan karotis dan meningkatkan laju ventilasi sebagai mekanisme
kompensasi untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Hal ini terlihat pada frekuensi
(22x/menit) dan pola napas pasien dalam dan cepat (kusmaul). Pada kasus ini,
pasien telah mengalami infeksi pada paru (CAP) dan CKD stage V, sehingga
peningkatan frekuensi dan perubahan pola napas (kusmaul) tidak dapat memenuhi
kebutuhan oksigen. Sementara itu gagal ginjal yang dialami pasien mengakibatkan
gangguan sekresi H+ dan kehilangan bikarbonat tidak dapat direabsorbsi kembali.
Namun pada pasien dengan kesan asidosis metabolic (saturasi oksigen 63%) ini

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


69

seharusnya dilakukan pemeriksaan AGD kembali karena tidak sesuai dengan


kondisi klinis pasien. Oleh karena dengan saturasi oksigen yang sangat rendah,
kemungkinan darah arteri bercampur dengan darah vena. Oleh sebab itu kevalidan
hasil AGD (terutama saturasi oksigen) pada tanggal tersebut perlu dievaluasi
kembali.

Tindakan keperawatan yang telah dilakukan untuk meningkatkan oksigenasi adalah


kolaborasi pemberian O2, memposisikan pasien semifowler/fowler, pemantauan
AGD dan elektrolit setiap hari, pemantauan TTV/4 jam, kolaborasi pemberian
ventolin 100 mcg/6 jam/inhalasi, kolaborasi bicnat tablet 500 mg/8 jam/oral,
pemberian ampicilyn sulbactam 1.5 gr/12 jam/iv, pemberian elozepam 12.5 mg/12
jam/iv (09-12-13), dan fisioterapi dada (dilakukan sejak 11-12-13).

Pemberian O2 dimaksudkan untuk memaksimalkan pemenuhan oksigen,


sedangkan posisi semifowler/fowler bertujuan agar ekskpansi dada/paru maksimal.
Disamping tindakan mandiri, dilakukan kolaborasi pemberian natrium bikarbonat
table 500 mg/oral sebagai pengganti HCO3 (bikarbonat yang hilang melalui
pancreas dan ginjal). Pemberian antibiotic ampicilin sulbactam sebagai terapi
pilihan untuk mengatasi CAP, dan inhalasi ventolin 100 mcg/6 jam/inhalasi untuk
penyumbatan saluran pernafasan yang bersifat reversibel.

Dalam memberikan asuhan keperawatan, dilakukan pemantauan terhadap risiko


hiperkalemi dan alkalosis, karena kondisi asidosis menyebabkan ion H+ masuk ke
dalam sel dan ion kalium keluar untuk mempertahankan elektronetralitas. Sehingga
asidosis dapat menyebabkan hiperkalemi dan alkalosis. Selain itu pemberian
bikarbonat juga dievaluasi, karena pemberian bicarbonate hanya diberikan pada
asidosis berat (pH darah < 7, pH darah pasien pada tanggal 08-12-13 adalah 7.28).

Pemberian intravena akut secara intravena akut dapat memperburuk asidosis


intraseluler dengan menghasilkan CO2 yang berdifusi ke dalam sel dan
menurunkan pH intraseluler dan mengakibatkan hipokalemi. Oleh karena itu
kolaborasi bikarbonat diberikan secara perlahan dengan bikarbonat tablet,
pemantauan AGD dan elektrolit.

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


70

Pada saat praktikan melakukan evaluasi pada 25-12-13, pasien masih dalam
perawatan dan pemantauan AGD dan elektrolit. Gangguan pertukaran gas
mengalami perbaikan (teratsi sebagian) yang dibuktikan dari hasil AGD (20-12-13)
dengan peningkatan nilai pH (7.28 7.41), HCO3 17.4 mmol/L, pernapasan
16x/menit, sianosis (-), dan suara napas ronkhi basarh kasar. Meskipun demikian,
berdasarkan sistem keperawatan teori self care Orem, pasien telah mengalami
perkembangan tingkat kebutuhan secara bertahap dari kompensatori utuh menjadi
supportif-edukatif. Pasien secara perlahan-lahan belajar akan kebutuhan
oksigenasinya dan telah mampu mengenali serta mengatasi kebutuhan ini, dengan
duduk posisi fowler/semifowler, dan kepatuhan terhadap terapi inhalasi.

2) Ketidakseimbangan nutriri kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


ketidakadekuatan asupan nutrisi
Pada masalah keperawatan nutrisi ini, pemberian perawatan pada pasien dilakukan
untuk mempertahankan kecukupan nutrisi. Pada kecukupan nutrisi ditemukan dua
masalah utama yaitu ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dan
ketidakstabilan gula darah. Pasien dengan BB=45 kg, TB=155 cm. BBI=49.5 –
60.5 kg, IMT= 18.75 kg/m2(normal) dan penurunan nafsu makan. Sesuai dengan
kondisi ini, berdasarkan teori self care Orem pasien berada pada kebutuhan
kompensatori sebagian dimana pasien berada dalam ketidakmampuan untuk
melakukan sebagian aktivitas perawatan diri. Hal ini diakibatkan karena
keterbatasan aktual, ketidakadekuatan pengetahuan dan keterampilan serta
ketidaksiapan belajar pada pasien. Tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai
kondisi ini adalah membantu sebagian aktivitas perawatan diri seperti
berkolaborasi dengan tim ahli gizi untuk memaksimalkan asupan nutrisi.
Ketidakseimbangan nutrisi yang dialami pasien terjadi akibat anemia oleh karena
penurunan fungsi ginjal disamping penurunan nafsu makan dan resistensi insulin.

Pasien didiagnosa anemia. Kebutuhan energi pasien dengan BB=45 kg, TB=155
cm. BBI=49.5 – 60.5 kg, IMT= 18.75 kg/m2(normal) disertai faktor koreksi usia >
40th, aktivitas ringan, dan stress metabolic adalah 1500 kkal. Saat ini mengalami
penurunan nafsu makan, dan kadang disertai mual dan muntah. Pasien sering tidak
menghabiskan porsi makannya. Hasil laboratorium (lampiran) pada tanggal 07-12-
13 menunjukkan pasien mengalami anemia (Hb= 7g/dl).

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


71

Anemia pada sebagian besar pasien gagal ginjal kronik, mulai terjadi bila LFG
(laju filtrasi glomerulus) turun sampai 35ml/menit. Walaupun penyebab anemia
pada CKD terjadi karena defisiensi eritropoietin tetapi masih ada faktor lain yang
dapat mempermudah terjadinya anemia antara lain menurunnya daya survival sel
darah merah, inhibisi sumsum tulang, kehilangan darah intestinal, dan paling sering
defisiensi besi dan folat. Anemia pada CKD mempengaruhi kualitas hidup pasien
dan menyebabkan terjadi peningkatan morbiditas dan mortalitas. Penatalaksanaan
anemia meliputi beberapa hal, yaitu terapi Eritroproetin (EPO), pemberian transfusi
darah, serta mengidentifikasi dan mencari etiologinya (Hoffbrand, Petit & Moss,
2005).

Pada pasien DM dengan gagal ginjal stage V, secara laboratorik anemia dijabarkan
sebagai penurunan kadar hemoglobin, eritrosit dan hematokrit di bawah normal.
Derajat anemia pada pasien ini adalah anemia berat sesuai dengan klasifikasi WHO
Hb= 6-5-7.7 g/dL. Klasifikasi anemia pada pasien ini didasarkan atas morfologik
dan etiopatogenesis yaitu anemia mikrositik, anemia defisiensi besi dengan
penurunan nilai MCV, MCH, dan nilai MCHC yang normal (lihat lampiran,
pemeriksaan laboratorium) serta penyebab anemia pada pasien ini oleh karena
penurunan fungsi ginjal. Penyebab utama terjadinya anemia pada gagal ginjal
adalah penurunan produksi eritropoietin oleh ginjal. Akan tetapi banyak faktor non
renal yang ikut berkontribusi antara lain infeksi, inflamasi, masa hidup eritrosit
yang memendek, dan faktor-faktor yang berpotensi menurunkan fungsi sumsum
tulang seperti defisiensi besi, dan asam folat (Hoffbrand, Petit & Moss, 2005).

Pada pasien dengan CKD dan Hb 7 g/dL ini tidak dilakukan lakukan transfusi
darah. Target pencapaian Hb dengan transfusi pada pasien CKD adalah 7-9 g/dL.
Transfusi diberikan pada pasien CKD jika Hb < 7 g/dL disertai perdarahan akut
dengan gejala gangguan hemodinamik, dan adanya gejala hipoksia (peningkatan
frekuensi napas, sianosis, dan gejala-gejala yang karena terjadi gangguan pada
otak). Transfusi diberikan dalam bentuk Packed Red Cell (PRC), untuk
menghindari kelebihan cairan diberikan secara bertahap bersamaan dengan waktu
hemodialisis. Bukti klinis menunjukkan bahwa pemberian transfusi sampai Hb 10-
12 g/dL tidak terbukti bermanfaat dan menimbulkan peningkatan mortalitas (Holk,
Cockram, Flyvbjerg, & Goldstein, 2010). Meskipun pada pasien ditemukan sesak

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


72

dan anemia, namun pasien tidak mengalami perdarahan akut dan hipoksia berat.
Sehingga transfusi darah belum diberikan (jika Hb 7 g/dL) oleh karena defisiensi
besi dipenuhi dengan pemberian asam folat dan memaksimalkan asupan nutrisi.

Tindakan keperawatan yang telah dilakukan untuk meningkatkan asupan nutrisi


pasien adalah monitoring nutrisi dan managemen nutrisi meliputi memotivasi
pasien untuk memakan makanan kesukaan (Pasien cenderung hipoglikemia),
memantau Hb, albumin, dan pemberian asam folat 15 mg/24 jam/oral, vitamin B12
50 mEq/8 jam/oral, dan CaCO3 500 mg/8 jam/oral, dan transfuse PRC, serta
edukasi nutrisi. Selama 14 hari proses asuhan keperawatan, terjadi perubahan
tingkat ketergantungan pasien dari kompensatori sedang menjadi suportif edukatif.
Pasien menjalani proses belajar mengenali kebutuhan dirinya dengan cukup baik.
Pada saat praktikan melakukan evaluasi pada 25-12-13, pasien sudah mengalami
peningkatan BB (45 kg  46.4 kg), peningkatan nafsu makan, dan perbaikan
anemia serta telah mampu menjelaskan tentang diet DM dan CKD, dan
mendiskusikan tentang rencana diet saat pulang ke rumah.

3) Ketidakstabilan glukosa darah berhubungan dengan resistensi insulin, kurang


pengetahuan tentang DM dan ketidakpatuhan pada rencana manajemen DM
Pada masalah keperawatan ini, proses keperawatan berfokus untuk
mempertahankan kecukupan nutrisi, mencegah terhadap risiko yang mengancam
kehidupan, serta meningkatkan fungsi dan perkembangan hidup. Berdasarkan teori
self care Orem pasien berada pada kebutuhan suportif-edukatif, dimana pasien
membutuhkan bantuan dalam belajar, mengambil keputusan, dan pengendalian
perilaku. Dalam hal ini, perawat berusaha meningkatkan self care agency pada
pasien dengan mengajarkan melakukan monitoring gula darah secara mandiri, dan
edukasi untuk mengenali dan menangani gejala hipoglikemia.

Pada penerapan asuhan keperawatan diketahui pasien terdiagnosa DM selama satu


tahun terakhir, namun dari berbagai komplikasi yang dialami (CKD dan
Penumonia) kemungkinan pasien telah menderita DM 10-15 tahun sebelum
komplikasi muncul. Sebelum dipindahkan ke ruang rawat, pasien dirawat di IGD
dengan KAD selama 3 hari. Saat ini pasien mengeluhkan sering lemas. Hasil kuve

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


73

Gula Darah Harian (KGDH) menunjukkan bahwa pasien cenderung mengalami


hipoglikemia pada pagi hari.

Pengelolaan masalah ketidakstabilan gula darah yang telah dilakukan adalah


dengan monitor glucose level, provide simple carbohydrat, management
hipoglikemia, serta edukasi. Selama dirawat KGDH pasien berfluaktif. Hal ini
dipengaruhi oleh asupan nutrisi yang tidak adekuat dan stres. Faktor stres dipicu
oleh kondisi penyakit kronis yang dialami. Pada kondisi stres terjadi aktivasi
sistem saraf simpatis dan corticotropin releasing hormon (CRH) yang
menyebabkan pelepasan katekolamin yang dapat mempengaruhi glikogenolisis dan
glukoneogenesis dalam hati yang meningkatkan pelepasan glukosa ke dalam
sirkulasi, menghambat pemakaian glukosa di jaringan perifer, dan menghambat
sekresi insulin. Stimulus CRH mengaktivasi aksis hipofisis adrenal yang
menghasilkan ACTH sehingga merangsang korteks adrenal untuk melepaskan
kortisol. Akibatnya terjadi glukoneogenesis 6-10 kali lipat yang berdampak pada
peningkatan kadar gula dalam darah (Greenstein & Wood, 2009; Hol, Cocram,
Flyvbjerg, & Goldstein, 2010).

Manajemen hipoglikemi dilakukan dengan pemberian karbohidrat sederhana


seperti air gula dan perhitungan kembali dosis insulin, edukasi tentang gejala dan
penanganan hipoglikemia dengan menyediakan sumber karbohidrat sederhana di
tempat yang terjangkau oleh pasien. Pada orang normal, jumlah insulin yang
disekresi oleh sel beta (insulin endogen) terutama dipengaruhi oleh keadaan puasa
dan makan. Pada keadaan puasa atau sebelum makan, sel beta mensekresi insulin
pada kadar tertentu yang hampir sama sepanjang waktu puasa dan sebelum makan
(insulin basal). Insulin basal bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah
puasa atau sebelum makan dalam batas normal (<100 mg/dL). Pada setiap kali
makan, ketika glukosa darah meningkat dibutuhkan sejumlah insulin yang
disekresikan oleh sel beta secara cepat dalam kadar yang lebih tinggi untuk
menekan kadar glukosa darah setelah makan dalam batas normal (<140 mg/dL)
(insulin prandial) yang bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah
setelah makan dalam batas normal.

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


74

Pengelolaan ketidakstabilan gula darah pada kasus ini juga dengan


mempertimbangkan kondisi ginjal akibat CKD yang dialami oleh pasien sehingga
kebutuhan insulin eksogen perlu dievaluasi setiap hari. Pada pasien sensitifitas
insulin pada jaringan perifer (resistensi insulin) diperberat denngan kondisi uremia
yang mengakibatkan terjadinya gangguan metabolisme glukosa. Selain itu
resistensi insulin juga dijumpai pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
yangringan sampai sedang, bahkan pada laju filtrasi glomerulus yang masih
normal. Secara umum ada beberapa mekanisme yang dapat menyebabkan
terjadinya resistensi insulin, yaitu peningkatan glukoneogenesis hepatik yang tidak
dapat disupresi secara kuat oleh insulin,penurunan ambilan glukosa pada hati dan
otot, penurunan metabolisme glukosa di dalam sel. Prodosudjadi dalam
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (2009) mengungkapkan studi eksperimental dan
studi klinik yang menunjukkan bahwa mekanisme yang paling utama pada PGK
terjadi melalui defek post reseptor pada otot skeletal. Gangguan tersebut terutama
terjadi pada tahap pengambilan glukosa dan metabolisme glukosa di jaringan.

Disamping itu sejalan dengan penurunan fungsi ginjal pada pasien yang diikuti
oleh penurunan kliren insulin oleh ginjal, akumulasi toksik uremik, asidosis
metabolik secara bersama turut berperan memicu resitensi melalui berbagai
mekanisme yang kemudian memperberat keadaan resistensi insulin. Respon yang
diharapkan terjadi pada keadaan gangguan sensitifitas insulin adalah peningkatan
sekresi insulin sebagai upaya memperbaiki metabolisme glukosa. Akan tetapi pada
banyak kasus ternyata hal ini tidak terjadi. Penekanan sekresi insulin ini terjadi
pada gangguan fungsi ginjal tahap lanjut, akibatnya pasien cenderung mengalami
gangguan toleransi glukosa. Salah satu faktor yang menyebabkan penekanan
sekresi insulin pada CKD adalah keadaan asidosis metabolik.

Pada awal CKD hanya terjadi sedikit perubahan kliren insulin oleh ginjal. Pada
pasien, sebagai mekanisme kompensasi terhadap penurunan filtrasi glomerulus
terjadi peningkatan pengambilan insulin peritubuler, mekanisme ini mampu
dipertahankan sampai laju filtrasi glomerulus menurun sampai 15-20 ml/menit.
Pada tahap ini terjadi penurunan kliren insulin yang diperantarai oleh penurunan
metabolisme insulin di hati yang terjadi secara bersamaan. Gangguan metabolisme
insulin dihati diinduksi oleh toksin uremik, keadaan ini membaik setelah dialisis.

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


75

Oleh karenanya disamping mendapatkan terapi insulin eksogen, pasien juga


menjalani hemodialisa dua kali/minggu yakni setiap rabu dan sabtu.

Selama perawatan pasien mendapatkan terapi insulin prandial (Novorapid) 3x10


unit sebelum makan yang diberikan 10 menit sebelum makan. Pemberian terapi ini
dievaluasi setiap hari dengan pertimbangan gula darah yang fluktuatif dan kondisi
penurunan fungsi ginjal. Pasien tidak lagi mendapatkan terapi insulin basal oleh
karena kecenderungan hipoglikemia dan ketidakadekuatan nutrisi, disamping
penurunan sensitivitas hormon kontraregulator (glukagon). Selama pemberian
asuhan keperawatan sejak 09-12-13 s.d 25-12-13, gambaran gula darah pasien
(terutama GDP) fluktuatif dan cenderung hipoglikemia. Kondisi hipoglikemia
(GD< 80 mg/dL) ini mengakibatkan pasien mengalami kelemahan karena
ketidakcukupan energi dan kegelisahan (risiko gangguan perfusi jaringan serebral).

Risiko perubahan kesadaran dapat terjadi karena gangguan metabolisme di otak


akibat hipoglikemia. Sehingga kadar glukosa darah harus dipertahankan di atas
batas kritis. Hipoglikemia yang dialami pasien kemungkinan disebabkan karena
asupan nutrisi yang tidak adekuat, efek samping kelebihan dosis insulin, dan
sekresi insulin basal yang masih berfungsi baik. Tindakan keperawatan yang
dilakukan untuk mengatasi hipoglikemia adalah dengan berkolaborasi untuk
mengurangi dosis insulin (prandial 10 unit  4 unit), menghentikan pemberian
insulin basal dan meningkatkan asupan nutrisi (karbohidrat sederhana) serta
pemantauan KGDH dilakukan setiap hari. Pemantauan gula darah dilakukan untuk
memantau terjadinya penurunan gula darah yang terlalu rendah yang dapat
menimbulkan gejala syok hipoglikemia yang ditandai dengan iritabilitas progresif
yang menyebabkan pingsan, kejang dan koma.

Pada kondisi normal glukagon dan epinefrin disekresi pada kejadian hipoglikemia
akut. Glukagon hanya bekerja di hati. Glukagon mula-mula meningkatkan
glikogenolisis dan kemudian glukoneogenesis. Epinefrin selain meningkatkan
glikogenolisis dan glukoneogenesis di hati juga menyebabkan lipolisis di jaringan
lemak serta glikogenolisis dan proteolisis di otot. Gliserol (hasil lipolisis serta asam
amino alanin dan aspartat) merupakan bahan baku (precursor) glukoneogenesis
hati (Black, 2009). Pada pasien Ny. MW, hipoglikemia berulang yang terjadi

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


76

terkait dengan hilangnya glucose counter regulation dan gangguan simpatoadrenal.


Hal ini dapat terjadi pada pasien DM yang sudah berlangsung lama, sehingga
respon simpatoadrenal yang berkurang walaupun dengan tingkat gangguan yang
bervariasi. Respon epinefrin terhadap respon yang lain, seperti latihan jasmani
tampaknya normal. Seperti pada gangguan respon glukagon, kelainan tersebut
merupakan kegagalan menganal hipoglikemia yang selektif (Black, 2009;
Ignativicius & Workman, 2010).

Saat dilakukan evaluasi 25-12-13, pasien sudah tidak mengalami hipoglikemia


dalam beberapa hari terakhir. Pemberian insulin prandial (novorapid)
dipertahankan 4 unit/SC. Pasien dan keluarga juga sudah dapat menjelaskan
tentang DM, dapat menjelaskan dan melakukan penyuntikan insulin, serta mampu
menjelaskan penatalaksanaan hipoglikemia.

4) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera (trauma jaringan)


Pada masalah keperawatan ini, pemberian intervensi keperawatan dilakukan untuk
mempertahankan kebutuhan aktivitas dan istirahat, serta meningkatkan fungsi dan
perkembangan hidup. Pasien mengeluhkan nyeri pada 3 regio yaitu pedis sinisra
dan dextra, dada, dan perut (table pangkajian). Nyeri dirasakan sedang pada ketiga
regio. Nyeri akut pada pasien membutuhkan penanganan karena nyeri yang tidak
terkontrol meningkatkan stres pada pasien yang berdampak pada status glikemik
(hiperglikemia) dengan meningkatnya kortisol, sehingga memperlambat proses
penyembuhan luka. Berdasarkan teori self care Orem pasien berada pada
kebutuhan suportif-edukatif, dimana pasien membutuhkan bantuan dalam belajar,
mengambil keputusan, pengendalian perilaku. Dalam hal ini, perawat berusaha
meningkatkan self care agency pada pasien dengan mengajarkan melakukan terapi
komplementer. Pada skala ini terapi komplementer diberikan untuk meningkatkan
adapatasi Pasien terhadap nyeri. Disamping itu pada pengelolaan nyeri, perawat
juga melakukan tindakan kolaboratif untuk pemberian analgetik.

Terapi komplementer (distraksi) dilakukan pasien dengan berdzikir. Distraksi


mencakup memfokuskan perhatian Pasien pada sesuatu selain nyeri. Terapi ini
dirasakan pasien lebih efektif dalam mengontrol nyeri dibandingkan relaksasi
napas dalam. Dalam peranannya sebagai terapi, O'Sullivan (dikutip dalam

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


77

American Music Theraphy, 2006) mengemukakan bahwa distraksi mempengaruhi


imaginasi, intelegensi dan memori, di samping juga mempengaruhi hipofisis di
otak untuk melepaskan endorfin. Endorfin ketahui dapat mengurangi rasa nyeri,
sehingga dapat mengurangi penggunaan obat analgetik, juga menurunkan kadar
katekolamin dalam darah, sehingga denyut jantung menurun. Berdasarkan teori self
care Orem selama 14 hari proses keperawatan, pasien telah mampu mengatasi
nyeri yang dirasakan dengan distraksi.

5) Kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan gangguan metabolik


dan malnutrisi
Pada masalah keperawatan ini, pemberian intervensi keperawatan dilakukan untuk
mempertahankan kebutuhan keamanan dan proteksi, serta meningkatkan fungsi
dan perkembangan hidup. Pasien didiagnosa multiple ulkus. Pada kedua tungkai
pasien ditemukan 7 ulkus (tabel pengkajian) dengan ukuran dan karakteristik yang
berbeda disertai dengan kulit kering pada kedua tungkai, arteri pedis dorasalis
sinistra sulit teraba, arteri dorsalis dextra teraba normal. Dari ketujuh ulkus terdapat
1 ulkus dengan penyembuhan luka yang tidak maksimal (dibandingkan dengan
keenam ulkus lainnya) yaitu ulkus pada maleolus lateral pedis sinistra ukuran
3x2x2 cm, warna dasar luka kuning kehijauan, slough 100%, epitelisasi tepi luka (-
), granulasi (-), darah (-), bau (-), infeksi (+). Sesuai dengan kondisi ini,
berdasarkan teori self care Orem pasien berada pada kebutuhan kompensatori
sebagian dimana pasien berada dalam ketidakmampuan untuk melakukan sebagian
aktivitas perawatan diri. Hal ini diakibatkan karena keterbatasan aktual,
ketidakadekuatan pengetahuan dan keterampilan serta ketidaksiapan belajar pada
pasien. Pada kondisi ini perawat dan pasien memiliki andil yang sama dalam
melaksanakan self care. Tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai kondisi ini
adalah membantu sebagian aktivitas perawatan diri seperti rawat luka, monitoring
gula darah, dan motivasi pasien untuk meningkatkan asupan makan guna
memaksimalkan proses penyembuhan luka.

Proses penyembuhan yang tidak maksimal pada ulkus ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu malnutrisi, infeksi, gangguan sirkulasi. Pengelolaan ulkus
kaki diabetik dilakukan dengan berkolaborasi dengan tim bedah vaskuler, dan ahli
gizi setiap hari. Pengelolaan luka pada kasus ini bertujuan untuk mencapai

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


78

hemostasis, mendukung pengendalian infeksi, membersihkan (debride) material


infeksi, membuang benda asing, mempersiapkan dasar luka untuk graft atau
konstruksi flap, mempertahankan keseimbangan kelembaban, melindungi kulit
sekitar luka, mendorong kesembuhan luka dengan penyembuhan primer dan
penyembuhan sekunder. Untuk mencapai tujuan ini dilakukan wound care dengan
mengaplikasikan TIME management;

Untuk memaksimalkan proses penyembuhan luka, maka pengangkatan jaringan


nekrotik dan slough dilakukan. Pembuangan jaringan nekrotik dan slough
dilakukan pada ulkus DM hingga bagian nekrotik/slough luka. Pembuangan
jaringan nekrotik juga dilakukan dengan menerapkan debridement autolitik
didasarkan pada kemampuan macrofag untuk memfagositosis debris dan jarngan
nekrotik menggunakan hydrocoloids dan hydrogels untuk mendukung lingkungan
yang lembab yang akan meningkatkan aktifitas makrofag.

Kontrol inflamasi dan infeksi merupakan bagian dari intervensi kerusakan


integritas kulit dan jaringan. Pada penatalaksanaan rawat luka, kontrol infeksi dan
inflamasi dilakukan dengan menerapkan pencucian luka dengan acetic acid yang
dicampur NaCl. Luka diusap/digosok dari area minim kontaminasi ke area
maksimal kontaminasi (dari tepi luka ke dalam). Pengendalian infeksi juga
dilakukan dengan kolaborasi pemberian terapi medikasi antibiotik Ampicilin
Sulbactam 1.5 gr/12 jam/iv dan Vancomicyn 1 g/12 jam/iv sesuai hasil kultur
pasien.

Luka dapat memproduksi eksudat mulai dari jumlah sedikit, sedang, hingga
banyak. Luka dengan eksudat yang banyak dapat menyebabkan maserasi pada kulit
sekitar luka dilain pihak luka dengan eksudat sedikit atau tidak ada dapat menjadi
kering. Oleh karena itu perlu ada keseimbangan kelembaban pada luka. Untuk
menjaga keseimbangan kelembaban pada luka maka dilakukan penutupan luka
dengan kasa lembab dan kering

Penyembuhan luka berfokus pada perawatan kulit sekitar luka. Tepi luka yang
berwarna pink merupakan gambaran luka yang sehat sebaliknya tepi luka yang
menebal atau tidak jelas batasnya merupakan gambaran luka yang kurang baik.

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


79

Perawatan tepi luka pada Pasien dilakukan dengan mengontrol eksudat agar tidak
mengenai tepi luka, memberi kelembaban pada kulit sekitar luka menggunakan
skin lotion. Gambaran luka dengan granulasi yang baik serta kontrol infeksi dan
inflamasi yang adekuat.

Disamping wound care, pengelolaan kerusakan integritas kulit dan jaringan juga di
lakukan dengan keadekuatan asupan nutrisi, edukasi dan latihan (ROM) ankle,
serta mengevaluasi status vaskular (sirculation care) serta pematauan pemeriksaan
laboratorium (PT/APTT, albumin, Hb, dan trombosit) untuk mengetahui kondisi
perfusi perifer. Perfusi perifer berperan dalam penyembuhan luka dan harus dikaji
pada pasien dengan ulkus. Sirkulasi yang terganggu meningkatkan risiko
kegagalan penyembuhan, PAD dan amputasi. Saat dilakukan evaluasi pada 25-12-
13, masalah kerusakan kulit dan jaringan belum teratasi. Pada 20-12-13 dilakukan
redebridement pada ulkus maleolus lateral pedis sinistra dan direncanakan untuk
skin graft pada 26-12-13. Selama 14 proses keperawatan, pasien sangat bekerja
sama dalam pengelolaan ulkus diabetik. Berdasarkan teori self care Orem, pasien
tidak mengalami perubahan dalam tingkat ketergantungan (kompensatori
sebagian), namun pasien telah mau belajar dan mengatasi nyeri secara mandiri
terutama saat rawat luka.

6) Risiko kurang volume cairan dan elektrolit


Pada masalah keperawatan volume cairan dan elektrolit, pemberian intervensi
keperawatan dilakukan untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit,
pemenuhan kebutuhan eliminasi serta meningkatkan fungsi dan perkembangan
hidup. Saat dirawat pasien menggunakan foley kateter untuk BAK dan popok untuk
BAB. Pasien mendapatkan pembatasan asupan cairan dengan balance -500 cc.
Dengan pembatasan cairan tersebut, pasien berisiko untuk mengalami kekurangan
cairan dan elektrolit. Hal ini dibuktikan dengan pembatasan cairan, bibir dan
mukosa kering, konjungtiva pucat, dan turgor kulit yang tidak elastis serta
pemberian diuretik yakni furosemid dan lasix.

Sesuai dengan kondisi ini, berdasarkan teori self care Orem pasien berada pada
kebutuhan kompensatori sebagian dimana pasien berada dalam ketidakmampuan
untuk melakukan sebagian aktivitas perawatan diri. Hal ini diakibatkan karena

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


80

keterbatasan aktual, ketidakadekuatan pengetahuan dan keterampilan serta


ketidaksiapan belajar pada pasien. Pada kondisi ini perawat dan pasien memiliki
andil yang sama dalam melaksanakan self care. Pada kondisi ini pasien melakukan
monitoring terhadap produksi urin dan mampu melakukan BAB di toilet dengan
bantuan orang lain (untuk mobilisasi). Tindakan keperawatan yang dilakukan
sesuai kondisi ini adalah membantu sebagian aktivitas perawatan diri untuk
mempertahakan kemampuan eliminasi dengan mempertahankan hidrasi cairan
sesuai terapi yang bertujuan untuk mencegah konstipasi dan mobilisasi
mikroorganisme, memonitor input dan output urin serta hasil pemeriksaan
laboratorium yang berhubungan dengan keseimbangan cairan.

Prinsip pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit pada pasien DM dengan CKD
adalah menjaga keseimbangan fisiologis tubuh (cairan, elektrolit, asam basa darah,
dan nutrisi) serta mencegah dan mengobati komplikasi. Sehingga aspek terapi
cairan bertujuan untuk mempertahankan keseimbangan fisiologis tubuh yang
terkait pula dengan nutrisi. Pada pasien ini, perawat melakukan kolaborasi untuk
menjaga keseimbangan cairan yang bertujuan untuk memelihara sirkulasi internal
dan volum ekstraselular secara konstan dengan mengatur asupan cairan pasien.
Terapi cairan pada CKD dapat berbeda pada satu pasien dengan pasien lainnya,
dan berbeda pula pada seorang pasien dari hari kehari. Sebelum memberikan terapi
cairan harus ditentukan terlebih dahulu status hidrasi pasien, apakah hipovolemia,
normovolemia, atau kelebihan cairan (overload). Pada pasien ini, perawat
melakukan pengkajian dan evaluasi terhadap status hidrasi dengan pemeriksaan
turgor kulit, auskultasi paru untuk menilai edema paru, pemeriksaan edema
tungkai, catatan keluar dan masuk cairan setiap hari, dan pengukuran berat badan.

Pasien cukup bekerja sama dalam proses keperawatan yang dilakukan selama 14
hari. Tidak terjadi perubahan tingkat ketergantungan (kompensatori sebagian) pada
pasien, namun pasien mau belajar untuk memenuhi kebutuhan cairan (minum)
sebanyak 600 cc/24 jam, dan mau mencatat setiap masukan dan produksi urin
dalam 24 jam.

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


81

7) Hambatan Mobilitas Fisik

Pada masalah keperawatan ini, pemberian intervensi keperawatan dilakukan untuk


meningkatkan aktivitas dan istirahat serta meningkatkan fungsi dan perkembangan
hidup. Saat dirawat pasien mengeluhkan lemas dan membutuhkan bantuan untuk
memenuhi aktivitas sehari-hari seperti barganti pakaian, berpindah tempat, mandi,
makan, BAK dan BAB. Kelemahan yang menyebabkan hambatan mobilitas fisik
dapat diakibatkan karena defisiensi/resistensi insulin, anemia, dan asupan nutrisi
yang tidak adekuat. Sesuai dengan kondisi ini, berdasarkan teori self care Orem
pasien berada pada kebutuhan kompensatori sebagian dimana pasien berada dalam
ketidakmampuan untuk melakukan sebagian aktifitas perawatan diri. Hal ini
diakibatkan karena keterbatasan aktual, ketidakadekuatan pengetahuan dan
keterampilan serta ketidaksiapan belajar pada pasien. Tindakan keperawatan yang
dilakukan sesuai kondisi ini adalah membantu sebagian aktivitas perawatan diri
untuk mempertahankan dengan memotivasi pasien untuk melakukan ROM aktif.

Pada pasien dengan DM tipe II terjadi kerusakan dalam produksi maupun sistem
kerja insulin, sedangkan insulin sangat dibutuhkan dalam melakukan regulasi
metabolisme karbohidrat. Akibatnya, pasien diabetes mellitus akan mengalami
gangguan pada metabolisme karbohidrat. Insulin tidak dapat menjalankan fungsi
penting pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Kondisi ini menghambat
transport glukosa ke dalam sebagian besar sel sehingga pasien mengalami
kelemahan yang diperberat oleh asupan nutrisi yang tidak adekuat.

Tindakan keperawatan yang telah dilakukan untuk meningkatkan mobilitas fisik


pasien secara bertahap adalah ambulasi, latihan fisik dan self-care dalam
pemenuhan ADL disamping manajemen nutrisi. Dalam memberikan asuhan
keperawatan dilakukan kolaborasi bersama tim rehabilitasi medik dalam pemberian
latihan (ROM) sesuai tingkat toleransi pasien. ROM dilakukan selain untuk
mencegah kekakuan otot dan meningkatkan sirkulasi juga bertujuan untuk
meningkatkan kekuatan otot pasien. Disamping itu pemantauan terhadap
pemeriksaan darah (anemia) dan asupan nutrisi juga dilakukan. Pada saat penulis
melakukan evaluasi pada 25-12-13, pasien telah mengalami peningkatan kekuatan
otot, peningkatan skor barthel indeks (11/ketergantungan sedang 
16/ketergantungan ringan), dan telah dapat berpindah tempat dengan pengawasan.

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


82

8) Risiko penyebaran infeksi sekunder berhubungan dengan penyakit kronis dan


ketidakadekuatan pertahanan sekunder
Pada masalah keperawatan ini, pemberian intervensi keperawatan dilakukan
sebagai pencegahan terhadap risiko yang mengancam kehidupan. Diabetes melitus
dengan komplikasi merupakan faktor risiko infeksi pada pasien karena penurunan
imunitas akibat defek makrofag. Pasien dirawat dengan CAP dan gagal ginjal. Saat
ini pasien mengalami penurunan nafsu makan (malnutrisi), infeksi (CAP),
kelemahan, dan ulkus diabetik. Perburukan kondisi pada pasien ini dapat terjadi,
oleh karena itu pencegahan infeksi merupakan hal yang penting terutama pada
pasien dengan riwayat KAD.

Tindakan keperawatan yang telah dilakukan adalah dengan berkolaborasi dengan


multidisiplin dan bekerja sama dengan pasien dan keluarga. Selain dengan
pemberian antibiotik (ampicilyn sulbactam 1.5 gr, vancomicyn 500mg, dan
imepenem), pencegahan terhadap infeksi juga dilakukan dengan menerapkam
teknik steril dalam perawatan luka, memonitor tanda dan gejala infeksi,
meningkatkan personal hygiene pasien dan keluarga, meningkatkan upaya
pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang benar pada pasien dan semua
orang yang berhubungan (keluarga, kerabat, dll), edukasi dan memonitor leukosit
(terutama granulosit dan imunosit). Granulosit (mencakup tiga jesi sel yakni
netrofil, eosinofil dan basofil) bersama dengan monosit membentuk kelompok
fagosit. Neutrofil dalam granulosit dalam sirkulasi yang berperan dalam inflamasi
terhadap infeksi. Jumlah leukosit dalam sirkulasi, 70% merupakan neutrofil dengan
fungsi utama adalah fagositosis. Neutrofil dari sirkulasi darah menuju jaringan
sasaran untk menghancurkan mikroba. Neutrofil dengan proses kemotaksis
berfungsi sebagai fagosit dan bakterisid, dan dengan melepaskan kolagenese yang
dapat memperbaiki kerusakan sel merubah matriks ekstraselule dan membersihkan
luka dari sel yang rusak (Hoffbrand, Pettit, & Moss, 2005).

Pada 07-12-13 ditemukan perubahan jumlah granulosit yakni Leu ↑15070/uL, Bas
0.6%/Eos 3.6%/Neut ↑81.5%/Limf ↓10.3 /Mon 4.0%/LED ↑131 mm. Terjadinya
lekositosis neutrofil pada pasien dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, inflamasi
dan nekrosis jaringan (ulkus diabetik), asidosis metabolic, dan uremia (akibat gagal
ginjal). Peningkatan jumlah neurtofil ini biasanya disertai dengan demam akibat

Universitas Indonesia

Penerapan teori ..., Titi Iswanti Afelya, FIK UI, 2014


83

dilepaskannya pirogen leukosit. Namun pada pengelolaan hari pertama, tidak


ditemukan gejala klinis infeksi pada pasien. Hipertermi baru dirasakan pasien pada
17-12-13 disertai dengan lekositosis neutrofil dan peningkatan prokalsitonin
(terlampir).

Dalam pencegahan dan pengelolaan infeksi, terjadi perubahan tingkat


ketergantungan dari kompensatori utuh menjadi suportif-edukatif. Pasien belajar
untuk merawat dirinya sendiri, mencuci tangan, dan mengajarkan teknik cuci
tangan pada keluarga dan kerabat yang mengunjunginya. Saat dilakukan evaluasi
pada 25-12-13, risiko infeksi pada luka pasien telah mengalami perbaikan dan
pasien tidak mengalami sepsis. Jumlah leukosit dan granulosit mengalami
penurunan (dalam batas normal), meskipun neutrofil dan LED masih meningkat
yang disebabkan pasien masih mengalami ulkus diabetik dan CAP.

3.3.2 Developmental Self Care Requisites (Mempertahankan keseimbangan antara


interaksi sosial dan kesendirian dan risiko yang mengancam kehidupan dan
kesejahteraan)
Sebelum masuk RS, pasien tidak pernah membayangkan akan menderita komplikasi
DM yakni gagal ginjal diserta infeksi paru. Pasien masih mengeluhkan lemas, nyeri
pada ulkus, dan ketidakmampuan berpindah/berjalan/beraktivitas. Tindakan terapeutik
yang dilakukan agar ancaman kehidupan dan kesejahteraan tidak terjadi adalah
dengan memberikan edukasi tentang tanda dan gejala hiperglikemia/hipoglikemia,
pencegahan jatuh dengan memasang handrail, dan mendekatkan semua kebutuhan
pasien di sekitar tempat tidur.

Pasien mengalami masalah dalam mempertahankan keseimbangan antara interaksi


sosial dan kesendirian. Pasien merasa tidak berguna akibat sakit kronisnya, sehingga
pasien memilih untuk membatasi interaksi dengan orang lain. Ketidakhadiran
keluarga atau pendamping selama sakit menjadi salah satu penghambat bagi pasien
untuk merasakan kehangatan dan kedekatan hubungan sosial.

Selama proses keperawatan, pasien hanya sesekali melakukan kontak sosial dengan
pasien lain, petugas kesehatan dan orang lain setiap hari. Pasien belum berkeluarga
sehingga support system dalam keluarga adalah kakak pasien dan keponakan. Pasien

Universi