PROPOSAL TESIS
PROPOSAL TESIS
Tanda Tangan :
ii
HALAMAN PENGESAHAN
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Depok
iii
SURAT PERNYATAAN
Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan plagiat, maka saya akan
menerima sanksi yang telah ditetapkan.
iv
KATA PENGANTAR
Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sulit
bagi saya untuk menyelesaikan proposal tesis ini. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih kepada pembimbing tesis yang telah membimbing
saya menyelesaikan proposal tesis saya yaitu:
(1) Dr. Hanny Handiyani, S.Kp., M.Kep
(2) Ibu Tuti Afriani, S.Kp., M.Kep
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu keperawatan.
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta..
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : Januari 2019
Yang menyatakan
vi
DAFTAR ISI
viii
DAFTAR TABEL
ix
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Skema Tinjauan Teori Peran Manajemen MPP dalam Pelaksanaan
IPC .............................................................................................................. 28
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner
xi
Universitas Indonesia
DAFTAR SINGKATAN
xii
BAB 1
PENDAHULUAN
Manfaat dari IPC memberikan hal positif baik bagi pasien, PPA, maupun
organisasi. Kontinuitas perawatan meningkat pada pasien kanker yang memiliki
kompleksitas pada penanganannya dengan adanya pelaksanaan IPC (Knoop,
Wujcik, & Wujcik, 2017). Manfaat yang diberikan IPC ke pasien termasuk
tercapainya keseragaman perawatan pasien, meningkatnya kepedulian serta
kemampuan PPA dalam menyelesaikan masalah pasiennya, dan meningkatkan
kualitas pemberian asuhan dari suatu organisasi (Winfield, Sparkman-Key, &
Vajda 2017). Pasien pada kasus perawatan paliatif bahkan berpendapat bahwa IPC
meningkatkan kualitas hidup pada akhir hayat pasien (Ehikpehae & Kiernan,
2018). Pelaksanaan IPC memiliki banyak manfaat positif dalam pelayanan pasien
namun, memiliki beberapa hambatan.
Universitas Indonesia
3
dengan hambatan yang beragam menjadi tantangan yang harus diatasi oleh
individu maupun rumah sakit dalam memberikan pelayanan kepada pasien.
Universitas Indonesia
4
mencapai ideal dari yang diharapkan dari seluruh komponennya. Hal ini dapat
disebabkan karena IPC melibatkan banyak profesi dengan berbagai peran dan
disiplin ilmu termasuk perawat.
Perawat sebagai salah satu PPA yang paling sering berinteraksi dengan pasien
memiliki peluang paling banyak terlibat dalam IPC. Kondisi ini kemudian
membuat perawat menjadi profesi yang disebutkan untuk mengembangkan proses
IPC. Strech dan Wyatt (2013) menyatakan perawat merupakan profesi terbanyak
di dunia kesehatan dan berada pada posisi yang ideal untuk memimpin sistem
pelayanan kesehatan ke arah pelayanan kolaboratif. Institue of Medicine (IOM)
sejak tahun 2010 menyebutkan bahwa perawat harus memimpin upaya perbaikan
dalam pelayanan kesehatan. Inisiasi profesi perawat sebagai PPA yang memulai
IPC telah banyak disuarakan namun, kondisi saat ini masih belum menunjukkan
bahwa perawat telah melakukan hal tersebut.
Hambatan pelaksanaan IPC yang dialami perawat berasal dari berbagai penyebab.
Perawat sebagai profesi berjenis kelamin mayoritas perempuan dirasa lebih
subordinat dibandingkan dengan dokter berjenis kelamin mayoritas laki-laki
(Goldsberry, 2018). Perawat laki-laki hanya berjumlah 11% (American Nurse
Association, 2014) jauh lebih sedikit dibandingkan dengan 67,6% laki-laki di
profesi kedokteran (American Medcial Association, 2012). Sejarah mengenai
tingkatan perawat yang lebih subordinat dan adanya gap pada jenis kelamin
terbukti mempengaruhi perilaku yang tidak kondusif dalam pelaksanaan IPC
(Bankston & Glazer, 2013; Green & Johnson, 2015). Stereotype terhadap perawat
Universitas Indonesia
5
juga lebih rendah dibadingkan dengan stereotype dokter dan terbukti bahwa
stereotype yang rendah mempengaruhi buruknya pelaksanaan IPC (Sari, Hariyati
& Hamid, 2018). Kondisi tersebut mempersulit perawat untuk memulai IPC
sehingga membutuhkan dukungan dalam berbagi informasi, arahan, serta untuk
berkolaborasi.
Peran manajemen baik dari rumah sakit maupun sumber daya manusia sebagai
pengelola dapat membantu PPA termasuk perawat dalam IPC. Peran manajemen
untuk meningkatkan keberhasilan pelaksanaan IPC dilakukan oleh MPP (KARS,
2017). Seorang MPP berperan sebagai advokat pasien untuk mendapatkan
pelayanan yang berkualitas dan efisien dapat memberi arahan untuk melakukan
tindakan sesuai dengan standar baik adminitratif maupun klinis sesuai clinical
pathway. Seorang MPP melakukan pengumpulan data terkait pasien, menelusuri
kebutuhan dan potensi pada pasien sehingga tujuan perawatan tercapai melalui
kegiatan komunikasi, koordinasi, integrasi, advokasi, negosiasi, dan empowerment
(Aeni, 2014; Sunaringtyas & Sulisno, 2015). Semua peran yang dimiliki oleh
MPP dilakukan untuk mencapai manfaat yang diharapkan.
Universitas Indonesia
6
Manajer pelayanan pasien sebagai posisi yang baru di rumah sakit dikembangkan
demi tercapainya manfaat bagi pasien, organisasi yaitu rumah sakit, seluruh
stakeholder termasuk PPA. Konsep manajemen kasus yang diperankan MPP
diinisiasi pada tahun 2012 oleh Komisi Akreditas Rumah Sakit (KARS, 2017).
Penelitian mengenai peran MPP dikaitkan dengan manfaat pada organisasi dan
pasien telah banyak dilakukan namun manfaat untuk PPA masih sedikit
khususnya bagi perawat dalam pelaksanaan IPC. Manajer pelayanan pasien
bukanlah PPA yang memberikan asuhan ke pasien dan bukan fungsinya untuk
melakukan IPC namun, MPP dapat membantu proses IPC salah satunya yang
dilakukan oleh perawat.
Universitas Indonesia
7
Universitas Indonesia
8
Penelitian mengenai manfaat dari MPP yang dihubungkan dengan salah satu PPA
yaitu perawat belum banyak dilakukan. Penelitian sebelumnya lebih banyak
meneliti manfaat MPP yang dihubungkan dengan pasien dan organisasi. Evidence
based terkait hubungan peran manajemen yang dapat meningkatkan IPC juga
belum banyak dilakukan khususnya di Indonesia. Kolaborasi interprofesional oleh
perawat yang belum baik serta adanya peran baru dalam meningkatkan IPC dan
belum dievaluasi membuat peneliti tertarik untuk mengetahui apakah ada
hubungan peran manajemen MPP dengan pelaksanaan IPC oleh perawat.
Universitas Indonesia
9
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN LITERATUR
Kolaborasi interprofesional terdiri dari dua suku kata yang dapat diartikan secara
terpisah. Suku kata pertama yaitu interprofesionalisme menjadi trend yang
muncul karena adanya tuntutan yang semakin tinggi mengenai hasil perawatan
yang terukur, berkesinambungan, dan berkualitas (Hettinger & Gwozdwk, 2015).
Kata kolaborasi dalam konteks pelayanan kesehatan diartikan sebagai pendekatan
proses perawatan yang melibatkan profesional medis, kesehatan mental, dan klien
untuk bekerja sama dalam tim demi tercapainya perawatan yang komprehensif
(Unutzer, Harbin, Schoenbaum, & Druss, 2013). Kedua suku kata tersebut
menekankan pada kerja sama tim dan tujuan yang diharapkan dari prosesnya.
Orchard, King, Khalili, dan Bezzina (2012) menyatakan bahwa IPC adalah
kerjasama di dalam tim yang terdiri dari profesional pelayanan kesehatan dengan
melakukan koordinasi dan kolaborasi untuk mencapai pengambilan keputusan
bersama mengenai status kesehatan dan sosial yang melibatkan pasien di
dalamnya. Kolaborasi interprofesional terjadi ketika para PPA dan pasien saling
berkomunikasi dan mempertimbangkan perspektif masing-masing sehingga dapat
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan individu, keluarga,
maupun komunitas (Sullivan, Kiovsky, Mason, Hill, & Dukes, 2015).
Disimpulkan bahwa IPC merupakan interaksi antar PPA dengan displin ilmu
berbeda namun berdiskusi untuk menyelesaikan masalah kesehatan pasien yang
melibatkan pasien serta keluarga. Proses IPC tidak mengedepankan salah satu
pendapat PPA namun, berbagi cara pandang masing-masing untuk menyelesaikan
masalah kesehatan pasien.
10
Universitas Indonesia
11
Pelaksanaan IPC memiliki tujuan dan manfaat. Tujuan pelaksanaan IPC ialah
menyediakan PCC dan efektif dari segi biaya (Orchard, Kinf, Khalili, & Bezzina,
2012). Kolaborasi interprofesional bertujuan untuk mengendalikan biaya,
mengurangi kesalahan, meningkatkan keselamatan pasien, serta meningkatkan
kepuasan perawat maupun dokter (Mahdizadeh, Heydari, & Moonaghi, 2015).
Selain itu tujuan IPC di antaranya mengkoordinasikan perawatan pasien di antara
PPA, menurunkan keterlambatan, kurangnya perawatan, serta layanan yang tidak
tepat (O’Brien, 2013).
Jika IPC dilakukan dengan baik maka pasien, keluarga pasien, serta organisasi
akan mendapatkan manfaatnya. Kolaborasi interprofesional dapat mencapai
keseragaman perawatan pasien, meningkatkan kepedulian serta kemampuan PPA
dalam menyelesaikan masalah pasiennya, dan meningkatkan kualitas pemberian
asuhan dari suatu organisasi (Winfield, Sparkman-Key, & Vajda 2017). Pasien
pada kasus perawatan paliatif bahkan berpendapat bahwa IPC dapat meningkatkan
kualitas hidup pada akhir hayat pasien (Ehikpehae & Kiernan, 2018). Manfaat
dari IPC memberikan hal positif baik bagi pasien, PPA, maupun organisasi.
Kontinuitas perawatan meningkat pada pasien kanker yang memiliki
Universitas Indonesia
12
Universitas Indonesia
13
Universitas Indonesia
14
tim dan praktik kolaborasi; mengikat diri sendiri dan PPA lain untuk mengatasi
ketidaksepakatan tentang nilai, peran, tujuan, dan tindakan yang timbul akibat
interaksi antar PPA, pasien, dan keluarga; merefleksikan kinerja dengan PPA lain;
meningkatkan efektivitas IPC; serta menerapkan EBP dalam IPC
(Interprofessional Education Collaborative, 2016).
2.1.4.1 Partnership
Orchard (2015) merinci karakteristik pelaksanaan IPC dari segi partnership yang
dilakukan tiap individu di dalam tim dengan melibatkan pasien untuk menentukan
tujuan perawatan, mendengarkan harapan pasien ketika menentukan proses
perawatan yang dipilih oleh tim, bertemu dan berdiskusi mengenai perawatan
pasien secara teratur, berkoordinasi dengan pelayanan kesehatan dan sosial
(pembiaya, pemberi pekerjaan, spiritual), konsisten melakukan komunikasi untuk
mendiskusikan perawatan pasien, terlibat dalam penentuan tujuan perawatan pada
setiap pasien, mendorong PPA lain, pasien, dan keluarga untuk menggunakan
pengetahuan dan keterampilang yang dimiliki untuk mengembangkan rencana
perawatan, bekerja sama dengan pasien dan keluarga dalam menentukan rencana
perawatan.
2.1.4.2 Coordination
Koordinasi antar PPA dikatakan baik jika setiap PPA mengaplikasikan definisi
yang khas dari IPC dalam praktik yang dilakukan, secara adil membagi tanggung
jawab dengan tim pada setiap keputusan yang diambil, mendonrong dan
mendukung komunikasi secara terbuka antar PPA yang melibatkan pasien dan
Universitas Indonesia
15
2.1.4.3 Cooperation
Pelaksanaan IPC dilinilai baik dari segi cooperation jika setiap PPA berbagi
kekuatannya satu sama lain, saling menghargai dan percaya, saling terbuka dan
jujur, membuat perubahan dalam fungsi timnya berdasarkan refleksi yang dikaji
ulang, berupaya untuk mencapai resolusi yang memuaskan walaupun memiliki
perbedaan pendapat, memahami batasan dari apa yang dapat dilakukan oleh
anggota tim, memahami bahwa ada proses berbagi ilmu pengetahuan dan
keterampilan di antara PPA, dan membangun rasa percaya di dalam tim (Orchard,
2015).
2.1.4.4 Communication
Karakteristik komunikasi pada pelaksanaan IPC dianggap baik jika komunikasi
yang efektif, mudah dimengerti mengenai tanggung jawab masing masing PPA;
ada diskusi antar PPA mengenai asuhan dan tata laksana pasien; saling
mengantisipasi jika setiap PPA membutuhkan bantuan; PPA berbagi informasi
penting mengenai pasien; serta dapat menyelesaikan ketidaksepakatan diantara
PPA (Kenaszchuk, Reeves, Nicholas, & Zwarenstein, 2010).
2.1.4.5 Accommodation
Pelaksanaan IPC dikatakan baik jika seluruh PPA berpartisipasi secara aktif dan
terlibat dalam perencanaan ketika bekerja; berbagi ide yang mirip mengenai
bagaiaman cara merawat pasien; bersedia untuk melakukan diskusi terhadap
permasalahan yang ada; bekerja sama dengan perencanaan perawatan pasien yang
telah dibuat bersama; serta mau bekerja sama dengan praktik terbaru yang tersedia
(Kenaszchuk et al., 2010).
Universitas Indonesia
16
2.1.4.6 Isolation
Karakteristik isolation merupakan hal yang dinilai negatif jika terjadi pada saat
pelaksanaan IPC. Karakteristik isolation di antaranya tidak pernah bertanya apa
pendapat PPA lain mengenai ide yang dimiliki, berpikir bahwa pekerjaannya lebih
penting dari pada pekerjaan PPA lain, serta tidak mau berbagi ilmu pengetahuan
terbaru yang dimiliki dengan PPA lain (Kenaszchuk et al., 2010).
Universitas Indonesia
17
koordinasi dan komunikasi. Lingkungan fisik rumah sakit seperti jarak yang jauh
antara farmasi dengan rawat inap juga menajadi salah satu hambatan dalam IPC
(Setiadi et al., 2017). Kolaborasi interprofesional tidak dapat berjalan baik jika
dukungan secara formal dari leader tidak dilakukan (Pfaff et., 2013). Tidak hanya
itu jumlah tenaga yang kurang sehingga PPA masih banyak melakukan pekerjaan
administratif juga menjadi salah satu hambatan dalam pelaksanaan
interprofesional kolaborasi (Setiadi et al., 2017).
Pelaksanaan IPC dapat dikatakan berhasil jika telah mencapai hal-hal berikut
adanya kesempatan yang terus-menerus untuk melakukan komunikasi informal
yang efektif untuk berbagi informasi (Morgan et al., 2015). Komunikasi informal
dalam berbagi informasi tersebut dapat meningkatkan pengetahuan,
tersampaikannya tujuan perawatan sehingga dapat menentukan tujuan perawatan
bersama-sama. Jean et al (2016) menyebutkan bahwa struktur organisasi,
komposisi organisasi, waktu yang dimiliki untuk berbagi informasi,
kepemimpinan, serta dukungan administratif merupakan faktor yang
mempengaruhi IPC.
Faktor lain seperti tingkat pendidikan, budaya, hirarki, lingkup berpikir, regulasi,
dukungan finansial, serta teknologi juga dapat mempengaruhi pelaksanaan IPC
(Jean et al., 2016). Bosch dan Mansell (2015) menyatakan faktor yang dapat
mempengaruhi IPC sukses dijalankan ialah kejelasan peran, rasa percaya diri dan
percaya terhadap tim, kemampuan untuk melalui kesulitan dalam perawatan
pasien yang kompleks, kemampuan untuk mengatasi perbedaan individu, dan
kemampuan kepemimpinan dalam bekerja sama.
Pelaksanaan IPC dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor personal dan faktor
situasional (Stutsky & Laschinger, 2014). Faktor personal terdiri dari rasa percaya
terhadap IPC, sikap yang fleksibel, kepercayaan, cooperation, dan komunikasi.
Faktor situasional diantaranya kepemimpinan, pemberdayaan, dan struktur
Universitas Indonesia
18
organisasi yang mendukung. Tien, Wu, Lin, dan Wang (2017) menyatakan bahwa
faktor yang mempengaruhi pelaksanaan IPC ialah peran profesional, karakteristik
struktur, karakteristik personal, serta pengalaman dalam pelaksanaan IPC. Karam,
Brault, Durme, & Macq (2018) merinci faktor yang mempengaruhi IPC ialah
faktor personal yang terdiri dari lingkungan internal, eksternal, fleksibilitas peran
individu dan tim, kepercayaan, kekuatan, dan penerimaan masing-masing PPA,
dan komunikasi.
Universitas Indonesia
19
Universitas Indonesia
20
rendah baik dari sisi biaya maupun waktu (Sandberg, Jakobsson, Midlöv, &
Kristensson, 2015). Peran MPP membantu pasien untuk melakukan perubahan
perilaku untuk meniingkatkan kesehatan pasien.
Universitas Indonesia
21
2.4.1 Interpersonal
Peran interpersonal dari seorang manajer diantaranya ialah figurehead, leader,
dan liaison (Robbins & Judge, 2017). Peran figurehead berarti seorang manajer
harus menjadi simbol dari organisasi atau profesi dalam kegiatan-kegiatan baik
formal maupun informal. Manajer juga harus berperan sebagai leader yang dapat
memberikan arahan kepada stafnya. Peran interpersonal selanjutnya ialah liaison
dimana seorang manajer harus menjaga hubungan dengan jaringan sekitar yang
dapat memberikan informasi terkini. Weiss dan Tappen (2015) menyebutkan
bahwa kegiatan dari peran interpersonal mencakup membangun jejaring,
melakukan resolusi dan mengatasi konflik, pengembangan staf dan pengarahan,
serta pemberian reward dan pusnishment. Kegiatan interpersonal dari manajer
mencakup penyelesaian konflik di antara staf, pasien, dan administrasi. Manajer
juga berbagi pengalaman dan keahliannya kepada staf selain memberikan staf
arahan ketika bekerja. Peran interpersonal secara umum menggambarkan peran
manajer dalam membina hubungan dengan internal maupun eksternal organisasi.
Manajer pelayanan pasien sebaga leader memberikan arahan kepada PPA terkait
pelayanan misalnya mengingatkan PPA bahwa tata laksana asuhan harus sesuai
dengan clinical pathway, serta mengingatkan perawat untuk melakukan asuhan
sesuai dengan kebutuhan pasien. MPP memiliki peran untuk mengoptimalkan
terlaksananya PCC dan asuhan pasien terintegrasi, serta membantu meningkatkan
IPC (KARS, 2017). Manajer pelayanan pasien berperan memfasilitasi pemenuhan
kebutuhan asuhan pasien, termasuk keluarga dan pemberi asuhannya, baik akut,
dalam proses rehabilitasi di rumah sakit maupun pasca rawat (eksternal/ rujuk
balik), mendorong keterlibatan dan pemberdayaan pasien. Peran sebagai leader
dilakukan dengan memandu perencanaan perawatan untuk mencapai kebutuhan
dari pasien. Manajer pelayanan pasien juga berperan sebagai tutor dari tim dan
dapat menentukan kebutuhan tim untuk bisa berkembang (Fabbri et al., 2017;
Tahan et al., 2015). Manajer pelayanan pasien membentuk rencana manajemen
kasus komprehensif termasuk tujuan, obyektif, intervensi, hasil, jangka waktu,
Universitas Indonesia
22
2.4.2 Informational
Manajer wajib memiliki peran informational yang terdiri dari monitor,
disseminator, spokesperson (Robbins & Judge, 2017), dan reporting (Weiss &
Tappen, 2015). Manajer melakukan peran monitor dengan menjadi sumber
informasi baik internal maupun eksternal organisasi bagi staf dan menerima
seluruh informasi dari berbagai sumber. Informasi yang didapatkan harus
disampaikan oleh manajer kepada stafnya, peran menyebarluaskan informasi ini
disebut peran disseminator. Tidak hanya berperan sebagai sumber informasi bagi
lingkungan internal, seorang manajer harus mampu menjadi sumber terpercaya
bagi lingkungan eksternal mengenai organisasinya yang disebut dengan peran
spokesperson. Peran reporting dilakukan dengan berbagi informasi mengenai
hasil perngamatan tentang perkembangan kebijakan, perkembangan pelayanan
kesehatan kepada pasien maupun staf.
Universitas Indonesia
23
Manajer pelayanan pasien sebagai pusat informasi pasien terkait pelayanan RS.
Menjadi hospital guide dalam asuhan pasien selama pasien berada di rumah sakit
hingga pasien pulang (KARS, 2017). MPP dapat memberikan informasi mengenai
kondisi pasien yang berisiko berdasarkan hasil skriningnya kepada PPA yang
bersangkutan demi terlaksanananya asuhan yang sesuai dengan standar rumah
sakit. Manajer pelayanan pasien berperan sebagai ahli manajemen kasus untuk
meningkatkan dan mengoptimalkan kesehatan dan kesejahteraan dari klien;
sebagai navigator dalam membantu klien mengarahkan tujuan perawatannya
dengan mengidentifikasi hambatan-hambatan dan mengatasinya dengan jaringan/
support system yang dimiliki pasien (National Case Management Network of
Canada, 2012; Tahan, Watson, & Sminkey, 2015). Manajer pelayanan pasien
melakukan edukasi klien terkait pilihan dan sumber daya perawat (Tahan et al.,
2015).
Universitas Indonesia
24
2.4.3 Decisional
Manajer sebagai pengelola yang baik harus menampilkan peran decisional yang
terdiri dari entrepreneur, disturbance handler, resource allocator, dan negotiator
(Robbins & Judge, 2017). Peran entrepreneur dibuktikan oleh seorang manajer
dengan keberaniannya dalam mencoba ide baru untuk diterapkan dalam
organisasinya demi perubahan ke arah yang lebih baik. Manajer juga memiliki
peran sebagai disturbance handler yaitu orang yang dapat menyelesaikan
masalah-masalah penting atau tidak diperkirakan akan terjadi dalam organisasi.
Pengambilan keputusan dalam suatu permasalah atau yang dapat menentukan arah
organisasi juga merupakan peran dari seorang manajer yang disebut dengan peran
resource allocator. Peran yang tidak kalah penting dari seorang manajer yaitu
peran negotiator dimana seorang manajer harus mampu melakukan negosiasi
dengan tingkatan yang sulit mewakili organisasi. Weiss dan Tappen (2015)
merinci kegiatan decisional terdiri dari evaluasi staf, alokasi sumber daya,
merekrut dan memberhentikan staf, perencanaan masa depan, dan analisis
pekerjaan serta mengkonsep ulang jika pekerjaan yang dilakukan tidak efisien.
Manajer melakukan Manajer melakukan evaluasi terhadap apa yang dilakukan
staf dan memberikan arahan agar kegiatan berlangsung sesuai standar.
Universitas Indonesia
25
Peran decisional yang melekat pada MPP salah satunya ialah peran entrepreneur,
MPP berperan untuk menyarankan alternatif intervensi praktis yang efisien biaya
(KARS, 2017). Manajer pelayanan pasien memberdayakan pasien untuk terlibat
dalam pengambilan keputusan dengan mengeksplorasi pilihan perawatan yang
akan dilakukan, rencana alternatif terkait kondisi kesehatan pasien (CMSA, 2010).
Alternatif bisa disarankan kepada seluruh PPA tidak terkecuali kepada dokter
untuk mengoptimalkan lama rawat pasien. MPP melakukan kolaborasi dengan
dokter dan pasien untuk mengidentifikasi hasil yang diharapkan dan
mengembangkan suatu rencana manajemen pelayanan pasien (Fabbri et al., 2017).
Peran resources allocator dari MPP selanjutnya ialah MPP dapat berperan untuk
mengupayakan seluruh sumber daya dari rumah sakit untuk membuat perawatan
pasien menjadi lebih efektif, tidak under/ over standar serta terkendali dalam hal
pembiayaan dengan melibatkan seluruh PPA, pasien dan keluarga (CMSA, 2010;
Fabbri et al., 2017; KARS, 2017). Peran ini dapat dilakukan dengan
mengamankan sumber-sumber klinis untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Manajer pelayanan pasien berperan sebagai resources allocator dengan
mendorong penggunaan layanan keperawatan kesehatan yang tepat untuk
meningkatkan kualitas perawatan dan mempertahankan cost effective pada tiap-
tiap kasus (CMSA, 2010). Manajer pelayanan pasien melakukan monitoring dan
Universitas Indonesia
26
Aktivitas manajemen kasus yang luas dan kompleks peran saat ini menjadi
tantangan karena kondisi pasien yang semakin sulit; pekerjaan yang unfamiliar;
peran yang juga unfamiliar (Gustafsson, 2013); kasus yang kompleks; kebutuhan
akan MPP tinggi; waktu yang sempit dan harus memperhatikan pasien sambil
melakukan pekerjaan administratif. Manajer pelayanan pasien merasakan peran
yang dilakukan sangat banyak, unfamiliar, dan dengan waktunya yang terbatas.
Universitas Indonesia
27
Peran MPP dirasa sulit karena berbagai penyebab. Joo dan Huber (2018)
menyatakan MPP merasa kurang dilatih mengenai manajemen kasus, pelatihan
yang diberikan bersifat dictator, hanya fokus pada rapat MPP mengenai kebutuhan
lisensi, dan kurang dilatih kemampuan untuk bernegosiasi dan melakukan
manajemen konflik. Memiliki tujuan yang berbeda dengan PPA, posisi MPP yang
ambigu, merasa terbatas, bekerja tanpa otoritas, merasa diabaikan dan tidak
dilindungi juga menjadi hambatan bagi MPP dalam melakukan perannya (Oh &
Oh, 2017).
Membina hubungan dengan PPA lain juga menjadi salah satu hambatan MPP
dalam melakukan perannya. Joo dan Huber (2018) menyatakan adanya kolaborasi
yang buruk dengan PPA, perawat fokus pada tugas teknis dibandingkan kondisi
pasien secara keseluruhan, dan masalah komunikasi diantara PPA. Manajer
pelayanan pasien juga sulit untuk memulai, mempertahankan komunikasi dan
menjaga hubungan dengan dokter, mengembangkan hubungan antar peer yang
suportif dan supervisi yang bermakna, serta beradaptasi dengan populasi di
lingkup praktik umum Overbeck et al (2018).
Tidak hanya dengan PPA, MPP mengalami kesulitan dalam membina hubungan
dengan pasien. Tantangan membina hubungan dengan pasien di antaranya butuh
waktu untuk membangun hubungan dengan pasien, sulit untuk bernegosiasi dalam
menemukan solusi yang terbaik untuk klien dan advokasi klien sesuai kebutuhan.
(Joo & Huber, 2018). Ketika ingin memulangkan pasien MPP juga mengalami
hambatan termasuk pasien yang akan dipulangkan tidak punya tempat tinggal dan
masalah program asuransi (Oh & Oh, 2017) .
Universitas Indonesia
28
Gambar 2.1. Skema Tinjauan Teori Peran Manajemen MPP dalam Pelaksanaan
IPC
Universitas Indonesia
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
Variabel Perancu
Karakteristik Responden
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Tingkat pendidikan
4. Lama bekerja
5. Status Kepegawaian
6. Level kompetensi
3.2 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini berdasarkan kerangka konsep pada gambar 3.1 ialah
ada hubungan antara antara peran MPP dengan pelaksanaan IPC oleh perawat.
29
Universitas Indonesia
3.3 Definisi Operasional
Definisi operasional variabel dependen dan independen penelitian dijelaskan
dalam tabel 3.1.
Universitas Indonesia
32
Universitas Indonesia
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
Pelaksanaan konsep MPP sejak tahun 2016 belum pernah dilakukan evaluasi
sehingga penelitian akan membantu rumah sakit untuk mengidentifikasi peran
yang telah dilakukan MPP. Rumah sakit tersebut juga merupakan rumah sakit tipe
A rujukan nasional kasus-kasus jantung dengan tingkat kompleksitas kasus pasien
yang tinggi. Kondisi ini menuntut adanya kolaborasi interprofesi dilakukan oleh
33
Universitas Indonesia
34
seluruh PPA. Penelitian ini akan memberikan gambaran terhadap rumah sakit
bagaimana pelaksanaan IPC berlangsung.
Penelitian akan dilakukan mulai November 2018 hingga bulan Mei 2019.
Penelitian dimulai sejak penyusunan proposal di bulan November 2018 dan
selesai pada bulan Mei 2019 setelah sidang tertutup. Waktu penelitian dirinci
dalam tabel 4.1.
Tabel 4. 1 Waktu Penelitian
Waktu
No Kegiatan
November Desemner Januari Februari Maret April Mei
1 Penyusunan
proposal
2 Uji proposal
3 Uji etik
4 Uji validitas
reliabilitas
5 Pengumpulan
data
6 Pengolahan
data
7 Analisis data
dan
penyusunan
laporan
penelitian
8 Uji hasil
penelitian
9 Sidang
tertutup
4.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari subjek penelitian (Arikunto, 2013). Populasi
penelitian ini ialah seluruh perawat di RSJPD Harapan Kita yang berada pada
luang lingkup pelayanan dari MPP. Total populasi dari penelitian ini ialah
sebanyak 496 perawat.
Universitas Indonesia
35
4.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang nilainya diukur untuk menduga
karakteristik populasi (Sabri & Hastono, 2014). Kriteria inklusi sampel penelitian
ini adalah perawat pada ruang lingkup pelayanan dari MPP di RSJPD Harapan
Kita, berinteraksi dengan MPP, dan bersedia menjadi responden. Kriteria eksklusi
dari penelitian ialah responden yang mengundurkan diri ketika proses penelitian
berlangsung. Penelitian ini juga mengambil MPP sebagai sampel untuk
membandingkan data peran yang didapatkan dari persepsi perawat pemberi
asuhan dengan data dari MPP itu sendiri. Teknik pengambilan sampel pada MPP
menggunakan teknik total sampling yaitu 9 orang dimana seluruh MPP dijadikan
sampel penelitian.
Teknik pengambilan sampel pada perawat pemberi asuhan berbeda dengan teknik
yang digunakan pada MPP. Kriteria sampel tidak dibatasi pada pengalaman dan
level kompetensi sehingga digunakan teknik simple random sampling. Pemilihan
sampel dilakukan secara acak dengan cara diundi. Perhitungan jumlah sampel
untuk penelitian menggunakan rumus Slovin. Berikut ini adalah rumus Slovin
(Notoatmodjo, 2010):
N
n=
1 + N(e)2
Keterangan
N: jumlah populasi
n: jumlah sampel
e: batas toleransi kesalahan
Jumlah populasi perawat yang berada dalam ruang lingkup pelayanan MPP
sebanyak 496 perawat. Batas toleransi kesalahan yang digunakan dalam penelitian
ialah 5% maka, perhitungan sampelnya ialah sebagai berikut:
496
n=
1 + (496)(0,05)2
n = 221,42
Universitas Indonesia
36
Antisipasi terjadi drop out selama proses penelitian maka, dilakukan perhitungan
kembali untuk jumlah sampel. Koreksi perhitungan jumlah sampel ialah sebesar
10% jika dari awal subyek tersebut tidak akan dianalisis (Sastroasmoro & Sofyan,
2016). Berikut adalah koreksi perhitungan sampel untuk mengantisipasi adanya
drop out:
n’ = n / (1-f)
Keterangan:
n: besar sampel
f: perkiraan proporsi drop out
Perkiraan drop out sebesar 10% dengan besar sampel 221 perawat maka
perhitungannya adalah sebagai berikut:
n’= 221/ (1-0,1)
n’= 245,55 perawat
n’= 246 perawat
Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini ialah sebanyak 246 perawat
dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Universitas Indonesia
37
Keterangan:
nh : besar sampel untuk ruangan tertentu
Nh : besar populasi untuk ruangan tertentu
n : besar sampel keseluruhan
N : populasi total
Tabel 4.2 Jumlah Sampel tiap Ruangan
No Ruangan Populasi Perhitungan Sampel yang Pembulatan
ruangan diambil
1 IGD 51 orang 51 (246/496) 25,29 25
2 IW Medikal 70 orang 70 (246/496) 34,71 35
3 IW Bedah 49 orang 49 (246/496) 24,30 24
4 ICU Dewasa 48 orang 48 (246/496) 23,80 24
5 ICVCU lantai 2 dan 3 64 orang 64 (246/496) 31,74 32
6 Rawat Anak 38 orang 38 (246/496) 18,84 19
7 GP 2 lantai 3 17 orang 17 (246/496) 8,43 8
8 GP 2 lantai 4 19 orang 19 (246/496) 9,42 9
9 GP 2 lantai 5 34 orang 34 (246/496) 16,86 17
10 ICU Anak 64 orang 64 (246/496) 31,74 32
11 IW Anak 42 orang 42 (246/496) 20,83 21
Jumlah Populasi 496 orang Jumlah Sampel 246
Total sampel dari setiap ruangan akan diambil berdasarkan jumlah pada tabel
pembulatan. Peneliti akan membuat daftar nama dari populasi dan akan diberikan
nomor urut. Penentuan sampel dilakukan dengan acak yaitu melakukan
pengundian. Nomor urut yang keluar akan dijadikan respoden dalam penelitian.
Jika responden tidak bersedia maka penggantian sampel akan ditentukan dengan
melakukan undian ulang.
Universitas Indonesia
38
4.4.1 Beneficience
Prinsip beneficience berarti bahwa peneliti memiliki tugas untuk memberi manfaat
sebesar-besarnya bagi subjek penelitian (Dharma, 2011). Penelitian ini akan
memberikan manfaat bagi responden penelitian. Hasil dari penelitian akan
memberikan gambaran bagi responden mengenai komponen pelaksanaan IPC
yang seharusnya. Hasil dari penelitian juga akan menjadi pertimbangan bagi MPP
untuk meningkatkan peran yang dirasa paling berhubungan oleh perawat dalam
pelaksanaan IPC. Dengan manfaat tersebut perawat akan terbantu karena MPP
menjalankan perannya dengan lebih baik lagi. Manfaat dari penelitian akan
dijelaskan kepada responden dalam kuesioner penelitian.
Polit dan Beck (2010) menyebutkan prinsip benificience pada penelitian terdiri
dari dua yaitu responden memiliki hak untuk bebas dari bahaya dan
ketidaknyamanan serta hak untuk dilindungi dari eksploitasi. Responden dari
penelitian ini akan terhindar dari bahaya fisik maupun psikologis. Proses
penelitian dipastikan tidak mengganggu jam kerja dari perawat sehingga tidak
menambah kesibukan dari aktivitas pelayanan yang dilakukan oleh responden.
Responden juga akan diberikan kompensasi karena telah berpartisipasi sebagai
bentuk terima kasih dari peneliti karena telah meluangkan waktu untuk menjadi
responden dalam penelitian. Pengisian kuesioner hanya memerlukan waktu
kurang lebih 20 menit sehingga tidak merugikan responden dari segi waktu.
Pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner juga diupayakan tidak menimbulkan
perasaan tidak menyenangkan bagi responden. Penelitian ini juga tidak bersifat
mengeksploitasi responden baik dari segi fisik, psikologis, maupun finansial.
Universitas Indonesia
39
4.4.3 Justice
Prinsip justice pada etik penelitian terdiri dari dua hal yaitu hak untuk
diperlakukan secara adil dan hak untuk menjaga privasi (Polit & Beck, 2010).
Perlakuan yang adil dalam penelitian mencakup pemberian manfaat maupun
beban yang adil kepada responden. Penelitiaan yang bersifat adil berarti penelitian
memberikan keuntungan dan beban secara merata sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan subjek (Dharma, 2011). Tidak ada responden yang menerima
manfaat maupun beban berlebih dibandingkan dengan responden lainnya pada
penelitian ini. Responden mendapatkan perlakuan yang sama dari peneliti,
diberikan manfaat yang sama, dan kuesioner yang sama satu dengan lainnya.
Penelitian ini juga bersikap adil mulai dari pemilihan responden. Pemilihan
responden tidak didasarkan atas rekomendasi ataupun faktor kedekatan peneliti
dengan responden. Pemilihan responden dilakukan dengan metode yang telah
ditetapkan sebelumnya sesuai dengan tujuan penelitian. Prinsip justice juga berarti
memperhatikan hak responden untuk dilindungi privasinya. Responden dalam
penelitian diinformasikan bahwa identitas responden akan dirahasiakan. Data
yang diberikan responden juga hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
Universitas Indonesia
40
Modifikasi instrumen IPC berasal dari kuesioner yang telah tersedia yaitu
Interprofessional Collaboration Scale (Kenaszchuk, Reeves, Nicholas, &
Zwarenstein, 2010). Kuesioner tersebut terdiri dari 26 pernyataan dengan 4 skala
pengukuran. Kuesioner tersedia dalam bahasa Inggris dan sudah diterjemahkan ke
bahasa Indonesia. Proses terjemahan dilakukan oleh peneliti kemudian dilakukan
konsultasi ke pembimbing.
Universitas Indonesia
41
Kuesioner mengenai peran MPP dimodifikasi berdasarkan survei peran MPP yang
diteliti lima tahun sekali oleh CMCC (Tahan et al., 2015) dan tinjauan teori yang
sudah dilakukan oleh peneliti. Peran MPP tersebut kemudian dikategorikan
menjadi tiga peran manajer yaitu interpersonal, informational, dan decisional.
Instrumen yang disusun kemudian dikonsulkan kepada pembimbing.
Universitas Indonesia
42
Universitas Indonesia
43
metode total sampling, yaitu seluruh MPP yang ada di RS. Kriteria inklusi untuk
uji validitas dan reliabilitas adalah perawat pada ruang lingkup pelayanan dari
MPP, berinteraksi dengan MPP, dan bersedia menjadi responden. Kriteria
eksklusi dari penelitian ialah responden yang mengundurkan diri ketika proses
penelitian berlangsung. Uji validitas dan reliabilitas instrumen akan dilakukan di
RS Persahabatan. Rumah sakit ini dipilih karena menerapkan konsep MPP yang
sama dengan RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Uji validitas dan reliabilitas akan tetap dilakukan dalam penelitian ini karena
adanya kombinasi antara dua instrumen dan proses penerjemahan dari bahasa
Inggris ke bahasa Indonesia. Uji korelasi antar skor tiap item pertanyaan dengan
skor total pertanyaan menggunakan pearson product moment untuk menguji
validitas kuesioner. Item pertanyaan dari kuesioner dinyatakan valid jika t hitung
lebih besar dari r tabel. Sedangkan untuk uji reliabilitas penelitian ini
menggunakan cronbach alpha test. Item pertanyaan pada kuesioner dinyatakan
reliabel jika nilai alpha ≥ 0,7.
Universitas Indonesia
44
diberi kategori jika data akan disajikan dalam bentuk kategori. Setelah data siap
maka dilakukan pengolahan data dengan sistem yang terdapat pada aplikasi di
komputer (processing). Tahap terakhir dilakukan cleaning dengan cek ulang
adanya kemungkinan kesalahan input data ke komputer.
Universitas Indonesia
45
Variabel dengan p <0,05 akan dilakukan seleksi kandidat uji multivariat. Seleksi
kandidat multivariat dilakukan pada variabel dengan p <0,25. Semua variabel
yang memiliki p <0,25 masuk dalam uji regresi logistik. Semua variabel yang
telah melalui uji regresi logistik kemudian dilihat kembali terhadap p <0,05.
Variabel dengan p >0,05 akan dikeluarkan dari pemodelan sehingga menghasilkan
pemodelan akhir. Pemodelan menggunakan pemodelan matematis untuk
menentukan interaksi antara variabel satu dengan variabel lainnya.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Indonesia
Level of Organized Care , and Lower Risk of Burnout in Acute Health Care
Teams Using Care Pathways A Cluster Randomized Controlled Trial, 51(1),
99–107.
Dharma, K.K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan: Panduan
melaksanakan dan menerapkan hasil penelitian. Jakarta: Trans Info Media.
Ehikpehae, H., & Kiernan, J. (2018). Journal of Interprofessional Education &
Practice The impact of the interprofessional health care team in palliative
care. Journal of Interprofessional Education & Practice, 11, 12–14.
https://doi.org/10.1016/j.xjep.2018.01.001
Fabbri, E., Maria, M. De, & Bertolaccini, L. (2017). Case management : an up-to-
date review of literature and a proposal of a county utilization, 5(20), 3–7.
https://doi.org/10.21037/atm.2017.07.26
Fatalina, F., Sunartini, Widyandana, & Sedyowinarso, M. (2015).
COLLABORATIVE PRACTICE BIDANG MATERNITAS PADA. Jurnal
Pendidikan Kedokteran Indonesia, 4(1), 28–36.
Garc, F. P., Arrabal-orpez, J., Rodr, C., Gila-selas, C., Carrascosa-garc, I., &
Laguna-parras, J. M. (2014). Effect of hospital case-manager nurses on the
level of dependence , satisfaction and caregiver burden in patients with
complex chronic disease, 2814–2821. https://doi.org/10.1111/jocn.12543
Goldsberry, J. W. (2018). Advanced practice nurses leading the way:
Interprofessional collaboration. Nurse Education Today, 65(June 2017), 1–3.
https://doi.org/10.1016/j.nedt.2018.02.024
Green, B., Johnson, C., 2015. Interprofessional collaboration in research,
education, and clinical practice: working together for a better future. J.
Chiropr. Educ. 29 (1), 1–10.
Gustafsson, M., Kristensson, J., Holst, G., Willman, A., & Bohman, D. (2013).
Case managers for older persons with multi-morbidity and their everyday
work—A focused ethnography. BMC Health Service Research, 13.
Retrieved from http://www.biomedcentral.com/1472-6963/13/496
Hettinger, L. & Gwozdek, A. (2015). Utilizing communitybased education as a
springboard for interprofessional collaboration. Access, 29, 10-13.
Institute of Medicine, 2010. The future of nursing: leading change, advancing
health. Retrieved from.
http://iom.nationalacademies.org/Reports/2010/The-Future-of-Nursing-
Leading-Change-Advancing-Health.aspx.
Interprofessional Education Collaborative. (2016). Core competencies for
interprofessional collaborative practice: 2016 update. Washington, DC:
Interprofessional Education Collaborative.
Jardien-Baboo, S., van Rooyen, D., Ricks, E., & Jordan, P. (2016). Perceptions of
patient-centred care at public hospitals in Nelson Mandela Bay. Health SA
Gesondheid, 21, 397–405. https://doi.org/10.1016/j.hsag.2016.05.002
Jean, J., Dongen, J. Van, Lenzen, S. A., Bokhoven, M. A. Van, Daniëls, R.,
Weijden, T. Van Der, & Beurskens, A. (2016). Interprofessional
collaboration regarding patients ’ care plans in primary care : a focus group
study into influential factors. BMC Family Practice, 1–10.
https://doi.org/10.1186/s12875-016-0456-5
Joo, J. Y., & Huber, D. L. (2018). Barriers in Case Managers’ Roles: A
Universitas Indonesia
Qualitative Systematic Review. Western Journal of Nursing Research,
40(10), 1522–1542. https://doi.org/10.1177/0193945917728689
Karam, M., Brault, I., Durme, T. Van, & Macq, J. (2018). Comparing
interprofessional and interorganizational collaboration in healthcare : A
systematic review of the qualitative research. International Journal of
Nursing Studies, 79(December 2016), 70–83.
https://doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2017.11.002
KARS. (2017). Panduan praktik manajer pelayanan pasien – MPP (Case
Manager). Jakarta: KARS.
Kenaszchuk, C., Reeves, S., Nicholas, D., & Zwarenstein, M. (2010).
Interprofessional Collaboration Scale.
Knoop, T., Wujcik, D., & Wujcik, K. (2017). Emerging Models of
Interprofessional Collaboration in Cancer Care. Seminars in Oncology
Nursing, 33(4), 459–463. https://doi.org/10.1016/j.soncn.2017.08.009
Kustriyani, M. (2016). Pelaksanaan manajemen konflik interdisiplin oleh case
manager di ruang rawat inap rsud tugurejo semarang. Universitas
Diponegoro.
Li, D., Elliott, T., Rn, G. K., Ur, E., & Tang, T. S. (2017). Diabetes Nurse Case
Management in a Canadian Tertiary Care Setting : Results of a Randomized
Controlled Trial. Canadian Journal of Diabetes, 41(3), 297–304.
https://doi.org/10.1016/j.jcjd.2016.10.012
Mahdizadeh, M., Heydari, A., & Moonaghi, H. K. (2015). Clinical
Interdisciplinary Collaboration Models and Frameworks From Similarities to
Differences : A Systematic Review, 7(6), 170–180.
https://doi.org/10.5539/gjhs.v7n6p170
Mei, B., Wang, W., Shen, M., Cui, F., Wen, Z., & Ding, J. (2017). The physician-
nurse collaboration in feeding critically ill patients : A multicenter survey.
Applied Nursing Research, 36, 63–67.
https://doi.org/10.1016/j.apnr.2017.05.007
Morgan, S., Pullon, S., & McKinlay, E. (2015). Observation of interprofessional
collaborative practice in primary care teams: An integrative literature review.
International Journal of Nursing Studies, 52(7), 1217–1230.
https://doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2015.03.008
Nancarrow, S., Booth, A., Ariss, S., Smith, T., Enderby, P., Roots, A., 2013. Ten
principles of good interdisciplinary team work. Hum. Resour. Health: 11
(1), 19.
National Case Management of Canada. (2012). Canadian core competency profile
for case management providers. Canada: NCMN.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
O’Brien, J. (2013). Interprofessional Collaboration. RN.Com.
https://doi.org/10.1097/JAN.0000000000000071
Oh, J., & Oh, S. (2017). Nurse Case Managers ’ Experiences on Case
Management for Long-term Hospitalization in Korea. Asian Nursing
Research, 11(4), 283–289. https://doi.org/10.1016/j.anr.2017.11.002
Orchard, C. A., King, G. A., Khalili, H., & Bezzina, M. B. (2012). Assessment of
Interprofessional Team Collaboration Scale (AITCS): Development and
Universitas Indonesia
testing of the instrument. Journal of Continuing Education in the Health
Professions, 32, 58-67. doi: 10.1002/chp.21123.
Orchard, C. (2015). Assessment of interprofessional team collaboration scale II
(AITCS II). https://nexusipe-resource-exchange.s3-us-west-
2.amazonaws.com/Orchard%20AITCS%20II%202015.doc?X9KsZyBd_04
b1VwHSsWLAZE9zzCEtXQh . Diunduh pada tanggal 14 Desember 2018
pukul 10:08 WIB.
Orchard, C., Pederson, L. L., Read, E., BKinesiology, Mahler, C., & Laschinger,
H. (2018). Assessment of Interprofessional Team Collaboration Scale
(AITCS): Further Testing and Instrument Revision, 38(1), 11–18.
https://doi.org/10.1097/CEH.0000000000000193
Osbiston, M. (2013). Interprofessional collaborative teamwork facilitates patient
centred care: a student practitioner’s perspective. Journal of Perioperative
Practice, 23(5), 110–113. https://doi.org/10.1177/175045891302300503
Overbeck, G., Kousgaard, M. ., & Davidson, A. . (2018). The work and
challenges of care managers in the implementation of collaborative care : A
qualitative study, (December 2017), 167–175.
https://doi.org/10.1111/jpm.12449
Pfaff, K., Baxter, P., Jack, S., & Ploeg, J. (2013). An integrative review of the
factors influencing new graduate nurse engagement in interprofessional
collaboration. https://doi.org/10.1111/jan.12195
Polit, D.F., & Beck, C. T. (2010). Essential of nursing research: Appraising
evidence for nursing practice. (7th ed.). Lippincott: Williams and Wilkins.
Ramsbottom, H., & Farmer, L. C. (2018). Reducing pediatric psychiatric hospital
readmissions and improving quality care through an innovative Readmission
Risk Predictor Tool, (December 2017), 1–9.
https://doi.org/10.1111/jcap.12203
Reeves, S., Pelone, F., Harrison, R., Goldman, J., & Zwarenstein, M. (2018).
Interprofessional collaboration to improve professional practice and
healthcare outcomes ( Review ).
https://doi.org/10.1002/14651858.CD000072.pub3.www.cochranelibrary.co
m
Sabri, L., dan Hastono, S.P. (2014). Statistik kesehatan. Jakarta: Rajawali Pers.
Sandberg, M., Jakobsson, U., Midlöv, P., & Kristensson, J. (2015). Cost-utility
analysis of case management for frail older people : effects of a randomised
controlled trial. ??? https://doi.org/10.1186/s13561-015-0051-9
Sari, V. R., Tutik, R., Hariyati, S., Yani, A., & Hamid, S. (2018). Enfermería
Clínica. Enfermería Clínica, 28, 134–138. https://doi.org/10.1016/S1130-
8621(18)30053-6
Sastroasmoro, S., & Sofyan, I. (2016). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis.
Edisi ke 5. Jakarta: Sagung Seto.
Serrano-Gemes, ଝ G, & Rich-Ruiz, M. (2017). Intensity of interprofessional
collaboration among intensive care nurses at a tertiary hospital. Enferm
Intensiva, 28(2), 48–56. https://doi.org/10.1016/j.enfie.2016.10.002
Setiadi, A. P., Wibowo, Y., Herawati, F., Irawati, S., Setiawan, E., Presley, B., …
Sunderland, B. (2017). Journal of Interprofessional Education & Practice
Factors contributing to interprofessional collaboration in Indonesian health
Universitas Indonesia
centres : A focus group study. Journal of Interprofessional Education &
Practice, 8, 69–74. https://doi.org/10.1016/j.xjep.2017.06.002
Stetten, N. E., Hagen, M. G., Nall, R. W., Anderson, K. V., Black, E. W., & Blue,
A. V. (2018). Interprofessional collaboration in a transitional care
management clinic: A qualitative analysis of health professionals
experiences. Journal of Interprofessional Education and Practice, 12(June),
73–77. https://doi.org/10.1016/j.xjep.2018.06.006
Strech, S., Wyatt, D., 2013. Partnering to lead change: nurses' role in the redesign
of health care. Assoc. Perioperative Registered Nurs. J. 98 (3), 260–266.
Stutsky, B. J., & Laschinger, H. K. S. (2014). Development and Testing of a
Conceptual Framework for Interprofessional Collaborative Practice
Development and Testing of a Conceptual Framework for Interprofessional
Collaborative Practice, 2(2).
Sullivan, B. M., Kiovsky, R. D., Mason, D. J., Hill, C. D., & Dukes, C. (2015).
Interprofessional Collaboration and Education, 115(3), 47–54.
Sunaringtyas, W., & Sulisno, M. (2015). STRATEGI CASE MANAGER
DALAM MENGELOLA KASUS PASIEN RAWAT INAP DI RS B
KEDIRI. Journal of Science, Health, 6(1), 26–33.
Tahan, H. M., Watson, A. C., & Sminkey, P. V. (2015). What Case Manger
Should Know About Their Roles and Functions: A National Study From the
Commission for Case Manager Certification: Part 1, 20(6), 271–296.
https://doi.org/10.1097/NCM.0000000000000115
Tien, L., Wu, Y., Lin, T., & Wang, S. S. (2017). Different perceptions of
interprofessional collaboration and factors influencing the one-stop service
for sexual assault victims in Taiwan. Journal of Interprofessional Care,
31(1), 98–104. https://doi.org/10.1080/13561820.2016.1248816
Tumuhairwe, R. (2015). Understanding Interprofessional Collaboration - A Case
Study of Professionals in a Norwegian Primary School, (June).
Unutzer, J., Harbin, H., Schoenbaum, M., Druss, B. (2013). The collaborative care
model: An approach for integrating physical and mental health care in
medicaid health homes. Health Home Information Resources Center.
Retrieved from:
http://www.chcs.org/media/HH_IRC_Collaborative_Care_Mo
del__052113_2.pdf
Utami, L., & Hapsari, S. (2016). Hubungan antara sikap dan perilaku kolaborasi
dan praktik kolaborasi interprofesional di ruang rawat inap Rumah Sakit
Panti Rapih, 1(1).
Vittadello, F., Mischo-kelling, M., Wieser, H., Cavada, L., Naletto, C., Fink, V.,
… Cavada, L. (2017). A multiple-group measurement scale for
interprofessional collaboration : Adaptation and validation into Italian and
German languages. Journal of Interprofessional Care, 00(00), 1–8.
https://doi.org/10.1080/13561820.2017.1396298
Wang, Y., Wan, Q., Guo, J., Jin, X., Zhou, W., Feng, X., & Shang, S. (2018). The
in fl uence of e ff ective communication , perceived respect and willingness
to collaborate on nurses ’ perceptions of nurse – physician collaboration in
China. Applied Nursing Research, 41(April), 73–79.
https://doi.org/10.1016/j.apnr.2018.04.005
Universitas Indonesia
Weiss, S.A., & Tappen., R.M. (2015). Essentials of nursing leadership and
management. 6th edition. Philadelphia: F.A. Davis Company.
WHO. (2010). Framework for Action on Interprofessional Education &
Collaborative Practice.
Winfield, C., Sparkman-Key, N. M., & Vajda, A. (2017). Interprofessional
collaboration among helping professions: Experiences with holistic client
care. Journal of Interprofessional Education and Practice, 9, 66–73.
https://doi.org/10.1016/j.xjep.2017.08.004
Universitas Indonesia