Anda di halaman 1dari 65

UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN PERAN MANAJER PELAYANAN PASIEN


DENGAN PELAKSANAAN KOLABORASI
INTERPROFESIONAL OLEH PERAWAT

PROPOSAL TESIS

RETNO INDAH PERTIWI


1706007141

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN KEPERAWATAN
DEPOK, 2019
UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN PERAN MANAJER PELAYANAN PASIEN


DENGAN PELAKSANAAN KOLABORASI
INTERPROFESIONAL OLEH PERAWAT

PROPOSAL TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat Mata Kuliah


Proposal Tesis

RETNO INDAH PERTIWI


1706007141

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN KEPERAWATAN
DEPOK
JANUARI 2019
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Proposal Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Retno Indah Pertiwi


NPM : 1706007141

Tanda Tangan :

Tanggal : 9 Januari 2019

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Proposal Tesis ini diajukan oleh :


Nama : Retno Indah Pertiwi
NPM : 1706007141
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan
Judul Tesis : Hubungan Peran Manajer Pelayanan Pasien
dengan Pelaksanaan Kolaborasi
Interprofesional oleh Perawat

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk Mata Kuliah Proposal
Tesis pada Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan
Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan,
Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Dr. Hanny Handiyani, S.Kp., M.Kep ( )

Pembimbing : Tuti Afriani, S.Kp., M.Kep ( )

Penguji : Dr. Enie Novieastari, S.Kp., MN ( )

Ditetapkan di : Depok

Tanggal : 9 Januari 2019

iii
SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Retno Indah Pertiwi


NPM : 1706007141
Program Studi : Magister Keperawatan
Tahun Akademik : 2017

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan


proposal tesis saya yang berjudul:

”HUBUNGAN PERAN MANAJER PELAYANAN PASIEN DENGAN


PELAKSANAAN KOLABORASI INTERPROFESIONAL OLEH
PERAWAT”

Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan plagiat, maka saya akan
menerima sanksi yang telah ditetapkan.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Depok, Januari 2019

(Retno Indah Pertiwi)

iv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji serta syukur saya panjatkan kepada Allah SWT,


karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan proposal tesis ini.
Proposal tesis ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk Mata
Kuliah Proposal Tesis, Program Studi Magister Keperawatan Kekhususan
Kepemimpinan dan Manajermen Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan,
Universitas Indonesia.

Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sulit
bagi saya untuk menyelesaikan proposal tesis ini. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih kepada pembimbing tesis yang telah membimbing
saya menyelesaikan proposal tesis saya yaitu:
(1) Dr. Hanny Handiyani, S.Kp., M.Kep
(2) Ibu Tuti Afriani, S.Kp., M.Kep

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada:


(1) Agus Setiawan, S.Kp., M.N., D.N selaku dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia;
(2) Dr. Enie Novieastari, S.Kp., MSN selaku pembimbing akademik;
(3) Dr. Astuti Yuni Nursasi, S.Kp., M.N selaku koordinator Mata Kuliah Proposal
Tesis.
(4) dr. Ediansyah, MARS., MM selaku Direktur RS tempat penulis bekerja yang
telah memberikan dukungan selama penulisan proposal tesis;
(5) Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan dukungan moral serta
do’a; dan
(6) Sahabat yang telah banyak membantu saya dan memberikan dukungan moral
dalam menyelesaikan proposal tesis ini.

Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu keperawatan.

Depok, Januari 2019


Penulis
v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah
ini:

Nama : Retno Indah Pertiwi


NPM : 1706007141
Program Studi : .Magister Keperawatan
Departemen : Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan
Fakultas : Fakultas Ilmu Keperawatan
Jenis karya : Prosposal Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Hubungan Peran Manajer Pelayanan Pasien dengan Pelaksanaan Kolaborasi


Interprofesional oleh Perawat

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta..
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok
Pada tanggal : Januari 2019
Yang menyatakan

(Retno Indah Pertiwi)

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................................. ii


HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................................iii
SURAT PERNYATAAN................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ........................................................................ vi
DAFTAR ISI ................................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................................ xii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................................ 8
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................................................... 8
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................................................... 8
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................................................... 9
1.4.1 Bagi Rumah Sakit .............................................................................................. 9
1.4.2 Bagi Penelitian dan Ilmu Keperawatan .............................................................. 9
1.4.3 Bagi Peneliti ....................................................................................................... 9

BAB 2 TINJAUAN LITERATUR ............................................................................... 10


2.1 Kolaborasi Interprofesional ....................................................................................... 10
2.1.1 Definisi Kolaborasi Interprofesional ................................................................ 10
2.1.2 Tujuan dan Manfaat Kolaborasi Interprofesional ............................................ 11
2.1.3 Kompetensi Kolaborasi Interprofesional ......................................................... 12
2.1.4 Karakteristik Kolaborasi Interprofesional ........................................................ 14
2.1.5 Hambatan Kolaborasi Interprofesional ............................................................ 16
2.1.6 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kolaborasi Interprofesional ..................... 17
2.2 Peran Manajer ........................................................... Error! Bookmark not defined.
2.2.1 Interpersonal .................................................... Error! Bookmark not defined.
2.2.2 Informational.................................................... Error! Bookmark not defined.
2.2.3 Decisional ........................................................ Error! Bookmark not defined.
2.3 Definisi Manajemen Kasus dan Manajer Pelayanan Pasien (MPP).......................... 18
2.4 Manfaat Manajer Pelayanan Pasien .......................................................................... 19
2.4.1 Manfaat untuk Pasien ....................................................................................... 19
2.4.2 Manfaat untuk Rumah Sakit............................................................................. 20
2.5 Peran Manajer Pelayanan Pasien .............................................................................. 21
2.5.1 Interpersonal .................................................................................................... 21
2.5.2 Informational.................................................................................................... 22
2.5.3 Decisional ........................................................................................................ 24
vii
Universitas Indonesia
2.6 Hambatan Pelaksanaan Manajer Pelayanan Pasien .................................................. 26
2.7 Kerangka Teori.......................................................................................................... 28

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ......................... 29


3.1 Kerangka Konsep ...................................................................................................... 29
3.2 Hipotesis .................................................................................................................... 29
3.3 Definisi Operasional.................................................................................................. 30

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................... 33


4.1 Desain Penelitian....................................................................................................... 33
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................................... 33
4.3 Populasi dan Sampel ................................................................................................. 34
4.3.1 Populasi ............................................................................................................ 34
4.3.2 Sampel .............................................................................................................. 35
4.4 Etika Penelitian ......................................................................................................... 37
4.4.1 Beneficience ..................................................................................................... 38
4.4.2 Respect for Human Dignity .............................................................................. 38
4.4.3 Justice............................................................................................................... 39
4.5 Teknik Pengambilan Data ......................................................................................... 40
4.5.1 Alat Pengumpulan Data ................................................................................... 40
4.5.2 Cara Pengumpulan Data ................................................................................... 42
4.5.3 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen .......................................................... 42
4.6 Pengolahan Data........................................................................................................ 43
4.7 Analisis Data ............................................................................................................. 44
4.7.1 Analisis Univariat............................................................................................. 44
4.7.2 Analisis Bivariat ............................................................................................... 44
4.7.3 Analisis Multivariat .......................................................................................... 45

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 46

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbedaan Interdisiplin, Multidisplin, Transdisiplin, dan IPC………10

Tabel 3.1. Definisi Operasional Kerangka Penelitian………………………….30

Tabel 4.1 Jumlah Sampel tiap Ruangan………………………………………..34

Tabel 4.2 Kisi-Kisi Instrumen Penelitian………………………………………37


Tabel 4.3 Analisis Univariat……………………………………………………40
Tabel 4.3 Analisis Bivariat……………………………………………………..40

ix
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Skema Tinjauan Teori Peran Manajemen MPP dalam Pelaksanaan
IPC .............................................................................................................. 28

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian ...................................................................... 29

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner

Lampiran 2 Hasil Uji Plagiarisme

xi
Universitas Indonesia
DAFTAR SINGKATAN

IPC: interprofessional collaboration


MPP: manajer pelayanan pasien
PCC: patient centered care
PPA: profesional pemberi asuhan

xii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelaksanaan pelayanan berfokus pada pasien (patient cantered care/ PCC) yang
menjadi tujuan utama pelayanan kesehatan di rumah sakit membutuhkan adanya
hubungan interprofessional collaboration (IPC) yang baik. Salah satu faktor yang
dapat mendukung pelaksanaan PCC ialah kerja sama tim (Jardien-Baboo, Rooyen,
Ricks & Jordan, 2016). Kolaborasi interprofesional penting dalam memfasilitasi
PCC di pelayanan perioperatif dan pengambilan keputusan bersama sebagai salah
satu bentuk IPC dapat mencapai PCC (Chong, Aslani & Chen 2013; Osbiston,
2013). Pelaksanaan PCC dapat dicapai jika IPC dapat dilakukan dengan baik dan
didukung dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Pelaksanaan IPC dipengaruhi oleh berbagai faktor. Jean et al (2016) menyatakan


pendidikan, budaya, hirarki, lingkup berpikir, regulasi, dukungan finansial, serta
teknologi dapat mempengaruhi pelaksanaan IPC. Bosch dan Mansell (2015)
menyatakan faktor yang dapat mempengaruhi IPC sukses dijalankan ialah
kejelasan peran, rasa percaya diri dan percaya terhadap tim, kemampuan untuk
melalui kesulitan dalam perawatan pasien yang kompleks, kemampuan untuk
mengatasi perbedaan individu, dan kemampuan kepemimpinan dalam bekerja
sama. Pelaksanaan IPC yang didukung oleh faktor-faktor tersebut akan
memberikan manfaat bagi pelayanan pasien.

Kolaborasi interprofesional dilaksanakan demi kebaikan pasien dan organisasi


sebagai tujuan utamanya. Pelaksanaan IPC menerapkan PCC dan efektif dari segi
biaya (Orchard, Kinf, Khalili, & Bezzina, 2012). O’Brien (2013) merinci tujuan
dari IPC yaitu mengkoordinasikan perawatan pasien di antara PPA,
menghilangkan inefisiensi dalam perawatan kesehatan misalnya keterlambatan
atau kurangnya perawatan, serta layanan yang tidak tepat. Jika upaya IPC berhasil
dilakukan dengan tujuan tersebut maka, manfaat dari IPC akan dirasakan oleh
berbagai pihak.
1
Universitas Indonesia
2

Manfaat dari IPC memberikan hal positif baik bagi pasien, PPA, maupun
organisasi. Kontinuitas perawatan meningkat pada pasien kanker yang memiliki
kompleksitas pada penanganannya dengan adanya pelaksanaan IPC (Knoop,
Wujcik, & Wujcik, 2017). Manfaat yang diberikan IPC ke pasien termasuk
tercapainya keseragaman perawatan pasien, meningkatnya kepedulian serta
kemampuan PPA dalam menyelesaikan masalah pasiennya, dan meningkatkan
kualitas pemberian asuhan dari suatu organisasi (Winfield, Sparkman-Key, &
Vajda 2017). Pasien pada kasus perawatan paliatif bahkan berpendapat bahwa IPC
meningkatkan kualitas hidup pada akhir hayat pasien (Ehikpehae & Kiernan,
2018). Pelaksanaan IPC memiliki banyak manfaat positif dalam pelayanan pasien
namun, memiliki beberapa hambatan.

Hambatan pelaksanaan IPC dapat berasal dari individu/ internal maupun


lingkungan/ eksternal. Pfaff, Baxter, Jack, dan Ploeg (2013) menyatakan tiga
faktor hambatan IPC di antaranya faktor individual, tim, dan organisasi. Faktor
individual tersebut di antaranya rasa percaya diri, pengetahuan atau pengalaman
dan komunikasi, sedangkan faktor tim di antaranya tantangan dalam hubungan
pekerjaan dan dukungan informal (Pfaff, Baxter, Jack & Ploeg 2013). Hambatan
IPC pada pengambilan keputusan bersama terdiri dari kurangnya kemampuan
pasien untuk berpartisipasi dan perbedaan fokus dari masing-masing PPA dalam
pemberian edukasi tentang penyakit pasien (Chong, Aslani, & Chen, 2013).
Hambatan terjadi tidak hanya di luar negeri tapi juga di Indonesia.

Hambatan pelaksanaan IPC di Indonesia memiliki tiga faktor utama di antaranya:


(1) level personal berupa terbatasnya interaksi interprofesional, budaya hirarki
bahwa dokter memiliki posisi lebih tinggi, dan kurangnya pengetahuan mengenai
peran dari setiap profesi; (2) level organisasi berupa ketersediaan sumber daya
manusia yang terbatas; dan (3) level sistem berupa kebijakan pemerintah (Setiadi,
Wibowo, Herawati, Irawati, dkk 2017). Salah satu profesi yaitu dokter tampak
lebih dominan dan belum ada kesetaraan antara antara dokter dan perawat menjadi
hambatan dalam pelaksanan IPC (Utami & Hapsari, 2016). Pelaksanaan IPC

Universitas Indonesia
3

dengan hambatan yang beragam menjadi tantangan yang harus diatasi oleh
individu maupun rumah sakit dalam memberikan pelayanan kepada pasien.

Hambatan pelaksanaan IPC dapat diupayakan seminimal mungkin dengan


dukungan yang diberikan oleh rumah sakit maupun dari level individu. Morgan,
Pullon, dan McKinlay (2015) menyatakan adanya kesempatan yang terus menerus
untuk melakukan komunikasi secara informal merupakan faktor penting dalam
pelaksanaan IPC. Dukungan sosial juga dapat meredakan situasi negatif,
menurunkan stres, dan meningkatkan kepuasan kerja dalam IPC (Stetten et al.,
2018). Berbagai upaya dilakukan oleh organisasi baik dari segi sistem maupun
level individu agar pelaksanaan IPC dapat berlangsung ideal.

Upaya untuk mengatasi hambatan dan meningkatkan kolaborasi interprofesional


tidak mudah untuk dilakukan. Reeves, Pelone, Harrison, Goldman dan
Zwarenstein (2018) melakukan review terhadap intervensi untuk meningkatkan
IPC dari berbagai negara termasuk Australia, Belgia, Swedia, UK, dan USA.
Hasil yang didapatkan ialah belum ada bukti yang kuat untuk menarik kesimpulan
bahwa intervensi yang diuji dapat meningkatkan IPC (Reeves et al, 2018).
Clinical pathway juga dijadikan sebagai upaya untuk meningkatkan IPC namun
tidak ada dampak yang diberikan terkait koordinasi pada IPC (Deneckere,
Euwena, Lodewijckx, Panella, Mutsvari, Sermeus., et al 2013). Kondisi ini
membuat IPC saat ini belum berjalan ideal dan masih terus dikembangkan.

Kolaborasi interprofesional saat ini belum berlangsung maksimal baik di dunia


maupun di Indonesia. Intensitas IPC yang dilakukan pada 63 perawat di ICU salah
satu RS di Spanyol sebanyak 63% berada pada tingkatan menengah (Serrano-
Gemes & Rich-Ruiz, 2017). Di Indonesia IPC pada salah satu rumah sakit
pemerintah masih sebatas model kolaborasi tradisional atau multiprofesi dimana
dokter berperan sebagai pemimpin dan perawat serta bidan sebagai pelaksana
perawatan pasiennya (Fatalina, Sunartini, Widyandana, dan Sedyowinarso. 2015).
Sari, Hariyati, dan Hamid (2018) menemukan bahwa pada pelaksanaan IPC masih
rendah pada dimensi partnership/ decision making. Pelaksanaan IPC masih belum

Universitas Indonesia
4

mencapai ideal dari yang diharapkan dari seluruh komponennya. Hal ini dapat
disebabkan karena IPC melibatkan banyak profesi dengan berbagai peran dan
disiplin ilmu termasuk perawat.

Perawat sebagai salah satu PPA yang paling sering berinteraksi dengan pasien
memiliki peluang paling banyak terlibat dalam IPC. Kondisi ini kemudian
membuat perawat menjadi profesi yang disebutkan untuk mengembangkan proses
IPC. Strech dan Wyatt (2013) menyatakan perawat merupakan profesi terbanyak
di dunia kesehatan dan berada pada posisi yang ideal untuk memimpin sistem
pelayanan kesehatan ke arah pelayanan kolaboratif. Institue of Medicine (IOM)
sejak tahun 2010 menyebutkan bahwa perawat harus memimpin upaya perbaikan
dalam pelayanan kesehatan. Inisiasi profesi perawat sebagai PPA yang memulai
IPC telah banyak disuarakan namun, kondisi saat ini masih belum menunjukkan
bahwa perawat telah melakukan hal tersebut.

Pelaksanaan IPC oleh perawat belum berlangsung maksimal. Kolaborasi yang


terjadi antara perawat dengan dokter masih berada pada level menengah (Wang,
Wan, Guo, Jin, Zhou, Feng., et al 2018). Perawat masih menunjukkan persepsi
yang rendah dalam kolaborasi dengan dokter mengenai pemberian makan pada
pasien-pasien kritis (Mei et al., 2017). Data tersebut menunjukkan bahwa saat ini
IPC oleh perawat masih belum baik. Kondisi demikian dapat terjadi karena
berbagai hambatan yang dirasakan oleh perawat dalam pelaksanaan IPC.

Hambatan pelaksanaan IPC yang dialami perawat berasal dari berbagai penyebab.
Perawat sebagai profesi berjenis kelamin mayoritas perempuan dirasa lebih
subordinat dibandingkan dengan dokter berjenis kelamin mayoritas laki-laki
(Goldsberry, 2018). Perawat laki-laki hanya berjumlah 11% (American Nurse
Association, 2014) jauh lebih sedikit dibandingkan dengan 67,6% laki-laki di
profesi kedokteran (American Medcial Association, 2012). Sejarah mengenai
tingkatan perawat yang lebih subordinat dan adanya gap pada jenis kelamin
terbukti mempengaruhi perilaku yang tidak kondusif dalam pelaksanaan IPC
(Bankston & Glazer, 2013; Green & Johnson, 2015). Stereotype terhadap perawat

Universitas Indonesia
5

juga lebih rendah dibadingkan dengan stereotype dokter dan terbukti bahwa
stereotype yang rendah mempengaruhi buruknya pelaksanaan IPC (Sari, Hariyati
& Hamid, 2018). Kondisi tersebut mempersulit perawat untuk memulai IPC
sehingga membutuhkan dukungan dalam berbagi informasi, arahan, serta untuk
berkolaborasi.

Peran manajemen baik dari rumah sakit maupun sumber daya manusia sebagai
pengelola dapat membantu PPA termasuk perawat dalam IPC. Peran manajemen
untuk meningkatkan keberhasilan pelaksanaan IPC dilakukan oleh MPP (KARS,
2017). Seorang MPP berperan sebagai advokat pasien untuk mendapatkan
pelayanan yang berkualitas dan efisien dapat memberi arahan untuk melakukan
tindakan sesuai dengan standar baik adminitratif maupun klinis sesuai clinical
pathway. Seorang MPP melakukan pengumpulan data terkait pasien, menelusuri
kebutuhan dan potensi pada pasien sehingga tujuan perawatan tercapai melalui
kegiatan komunikasi, koordinasi, integrasi, advokasi, negosiasi, dan empowerment
(Aeni, 2014; Sunaringtyas & Sulisno, 2015). Semua peran yang dimiliki oleh
MPP dilakukan untuk mencapai manfaat yang diharapkan.

Peran MPP memberikan manfaat bagi pasien maupun organisasi. Tingkat


readmisi pasien secara signifikan menurun dari 20,1% menjadi 17,6% pada pasien
diabetes yang dikelola oleh MPP (Dicrinic, 2017). Di Indonesia dengan adanya
MPP rentang hari rawat memendek namun rerata lama hari rawat memanjang, dan
angka kematian kasus yang ditangani dengan case management system menjadi
lebih kecil (Alfajri, Pinzon, & Lestari, 2018). Bledsoe dan Marshall (2013)
menyebutkan bahwa ada pengurangan yang signifikan dalam penolakan
pembayaran sebagian besar kelompok diagnosis ketika MPP merekomendasikan
alasan rawat selama proses admission. Manfaat dari MPP akan dirasakan oleh
berbagai pihak jika MPP melakukan perannya dengan baik.

Seorang MPP dalam melakukan tugasnya melakukan berbagai peran. Fabbri,


Maria, dan Bertolaccini (2017) menyebutkan MPP mempunyai tiga peran yaitu
peran klinis, manajerial, dan finansial. Survei yang dilakukan oleh CCMC (2015)

Universitas Indonesia
6

menyatakan MPP melakukan peran koordinator, edukator, advokator, liaison,


fasilitator, kolaborator. Seorang MPP RS di Kediri melaksanakan peran
komunikasi, koordinasi, integrasi, advokasi, negosisasi, dan empowerment
(Sunaringtyas & Sulisno, 2015). Peran MPP sangat beragam dan tidak mudah
untuk dilakukan.

Kesulitan MPP melakukan berbagai peran menyebabkan pelaksanaan terhadap


alur manajemen kasus masih rendah. Definisi dari pelaksanaan IPC saat ini masih
banyak yang tidak memahami dan salah dalam mengartikan (Nancarrow et al.,
2013). Tidak hanya itu, Alfajri, Pinzon, dan Lestari (2018) mendapatkan angka
kepatuhan untuk alur manajemen kasus masih rendah yaitu hanya 2%. Kondisi ini
dapat terjadi karena ada hambatan dalam pelaksanaan MPP.

Pelaksanaan konsep MPP memiliki beberapa hambatan terutama dari level


individu. Kolaborasi antara PPA yang kurang menjadi salah satu hambatan dalam
pelaksanaan MPP (Joo & Huber, 2018). Overbeck, Kousgaard, dan Davidson
(2018) menyatakan bahwa hambatan dari pelaksanaan MPP salah satunya ialah
menginisiasi dan menjaga komunikasi dengan dokter umum dan menjaga
hubungan dalam model pelaksanaan MPP tersebut. Kondisi seperti ini tentu
menyulitkan MPP untuk meningkatkan interkolaborasi antar PPA demi
tercapainya PCC.

Manajer pelayanan pasien sebagai posisi yang baru di rumah sakit dikembangkan
demi tercapainya manfaat bagi pasien, organisasi yaitu rumah sakit, seluruh
stakeholder termasuk PPA. Konsep manajemen kasus yang diperankan MPP
diinisiasi pada tahun 2012 oleh Komisi Akreditas Rumah Sakit (KARS, 2017).
Penelitian mengenai peran MPP dikaitkan dengan manfaat pada organisasi dan
pasien telah banyak dilakukan namun manfaat untuk PPA masih sedikit
khususnya bagi perawat dalam pelaksanaan IPC. Manajer pelayanan pasien
bukanlah PPA yang memberikan asuhan ke pasien dan bukan fungsinya untuk
melakukan IPC namun, MPP dapat membantu proses IPC salah satunya yang
dilakukan oleh perawat.

Universitas Indonesia
7

Kolaborasi interprofesional oleh perawat dapat terbantu karena MPP berperan


sebagai advokat dan fasilitator pasien dengan segala upaya memberikan arahan
kepada PPA agar pelaksanaan pelayanan ke pasien tepat guna, efektif, dan efisien.
Pelaksanaan ini tidak mudah karena ada stereotype terhadap perawat, posisi
dokter masih superior, serta perbedaan peran yang kurang dipahami satu sama
lain. Berdasarkan survei pada lima perawat di RS X pada 10 Desember 2018
didapatkan data bahwa tiga dari lima perawat menyatakan dokumentasi
perencanaan terintegrasi masih sebagian besar dilakukan hanya oleh perawat.
Perawat juga merasa bahwa ada tanggung jawab dari profesi lain yang jika tidak
dikerjakan maka tetap perawat yang ditegur untuk mengingatkan profesi lain
melakukan tanggung jawabnya salah satunya dokumentasi. Kondisi IPC yang
belum berlangsung baik serta adanya peran baru dalam meningkatkan IPC dan
belum dievaluasi dirasa penting untuk diteliti sebagai evaluasi peran MPP dalam
pelaksanaan IPC oleh perawat.

1.2 Rumusan Masalah


Pelaksanaan IPC saat ini masih belum berlangsung maksimal. Kolaborasi
interprofesional yang berlangsung masih menjadikan salah satu profesi sebagai
pemimpin dalam penatalaksanaan asuhan. Hal ini dikarenakan adanya hambatan
pada proses IPC dari berbagai level baik individu, sejarah, maupun organisasi.
Hambatan pelaksanaan IPC tersebut juga dirasakan oleh perawat. Upaya untuk
terus meningkatkan terlaksananya IPC telah dilakukan dengan berbagai penelitian
namun belum cukup dan masih terus dikembangkan.

Penerapan peran MPP belum maksimal. Manajer pelayanan pasien memiliki


banyak manfaat dalam melakukan perannya. Peran MPP perlu dioptimalkan
karena dapat dijadikan sebagai salah satu upaya agar IPC dapat terlaksana dengan
baik. Seorang MPP selain memberikan manfaat bagi organisasi salah satunya
dapat memfasilitasi pelaksanaan IPC juga memiliki manfaat bagi organisasi.
Peran MPP yang beragam memiliki banyak hambatan sehingga sulit untuk
meningkatkan IPC oleh perawat.

Universitas Indonesia
8

Penelitian mengenai manfaat dari MPP yang dihubungkan dengan salah satu PPA
yaitu perawat belum banyak dilakukan. Penelitian sebelumnya lebih banyak
meneliti manfaat MPP yang dihubungkan dengan pasien dan organisasi. Evidence
based terkait hubungan peran manajemen yang dapat meningkatkan IPC juga
belum banyak dilakukan khususnya di Indonesia. Kolaborasi interprofesional oleh
perawat yang belum baik serta adanya peran baru dalam meningkatkan IPC dan
belum dievaluasi membuat peneliti tertarik untuk mengetahui apakah ada
hubungan peran manajemen MPP dengan pelaksanaan IPC oleh perawat.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi hubungan peran MPP dengan
pelaksanaan IPC oleh perawat pemberi asuhan di RS X.

1.3.2 Tujuan Khusus


Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi:
1.3.2.1 Gambaran karakteristik perawat pemberi asuhan.
1.3.2.2 Gambaran karakteristik MPP
1.3.2.3 Gambaran pelaksanaan IPC oleh perawat dalam proses pelayanan pasien
mencakup partnership, cooperation, coordination, dan communication
berdasarkan persepsi perawat pemberi asuhan.
1.3.2.4 Gambaran pelaksanaan peran MPP mencakup interpersonal,
informational, dan decisional berdasarkan persepsi MPP.
1.3.2.5 Gambaran pelaksanaan peran MPP mencakup interpersonal,
informational, dan decisional berdasarkan persepsi perawat pemberi asuhan.
1.3.2.6 Hubungan antara peran MPP dengan pelaksanaan IPC oleh perawat.
1.3.2.7 Peran MPP yang paling berhubungan dengan pelaksanaan IPC oleh
perawat.

Universitas Indonesia
9

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Rumah Sakit


Hasil penelitian dapat digunakan oleh Rumah Sakit sebagai bentuk evaluasi dari
peran MPP di rumah sakit yang bersangkutan. Rumah Sakit juga akan
mendapatkan informasi mengenai hal-hal yang dapat ditingkatkan dalam
pengelolaan pelayanan pasien melalui peran MPP yang berhubungan dengan
pelaksanaan IPC oleh perawat sehingga kualitas pelayanan dapat meningkat.
Peran MPP yang paling berhubungan dengan pelaksanaan IPC dapat ditambahkan
pada uraian tugas seorang MPP di Rumah Sakit terkait.

1.4.2 Bagi Penelitian dan Ilmu Keperawatan


Data dari penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar penelitian selanjutnya
untuk mengeksplorasi mengenai peran manajemen yang dilakukan oleh MPP
dalam menjalankan tugasnya. Hasil analisis yang didapatkan dari penelitian ini
juga dapat diaplikasikan untuk mengembangkan ilmu manajemen keperawatan
mengenai pengelolaan pelayanan pasien dan pelaksanaan IPC oleh perawat.

1.4.3 Bagi Peneliti

Peneliti dapat meningkatkan kemampuan melakukan penelitian melalui seluruh


proses yang dilakukan dalam penelitian ini. Kemampuan peneliti dalam
melakukan analisis terhadap peran MPP untuk keberlangsungan pelaksanaan IPC
juga akan meningkat.

Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN LITERATUR

2.1 Kolaborasi Interprofesional

2.1.1 Definisi Kolaborasi Interprofesional

Kolaborasi interprofesional terdiri dari dua suku kata yang dapat diartikan secara
terpisah. Suku kata pertama yaitu interprofesionalisme menjadi trend yang
muncul karena adanya tuntutan yang semakin tinggi mengenai hasil perawatan
yang terukur, berkesinambungan, dan berkualitas (Hettinger & Gwozdwk, 2015).
Kata kolaborasi dalam konteks pelayanan kesehatan diartikan sebagai pendekatan
proses perawatan yang melibatkan profesional medis, kesehatan mental, dan klien
untuk bekerja sama dalam tim demi tercapainya perawatan yang komprehensif
(Unutzer, Harbin, Schoenbaum, & Druss, 2013). Kedua suku kata tersebut
menekankan pada kerja sama tim dan tujuan yang diharapkan dari prosesnya.

Orchard, King, Khalili, dan Bezzina (2012) menyatakan bahwa IPC adalah
kerjasama di dalam tim yang terdiri dari profesional pelayanan kesehatan dengan
melakukan koordinasi dan kolaborasi untuk mencapai pengambilan keputusan
bersama mengenai status kesehatan dan sosial yang melibatkan pasien di
dalamnya. Kolaborasi interprofesional terjadi ketika para PPA dan pasien saling
berkomunikasi dan mempertimbangkan perspektif masing-masing sehingga dapat
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan individu, keluarga,
maupun komunitas (Sullivan, Kiovsky, Mason, Hill, & Dukes, 2015).
Disimpulkan bahwa IPC merupakan interaksi antar PPA dengan displin ilmu
berbeda namun berdiskusi untuk menyelesaikan masalah kesehatan pasien yang
melibatkan pasien serta keluarga. Proses IPC tidak mengedepankan salah satu
pendapat PPA namun, berbagi cara pandang masing-masing untuk menyelesaikan
masalah kesehatan pasien.

10
Universitas Indonesia
11

Kolaborasi interprofesional berbeda dengan interdisiplin maupun multidisiplin.


Perbedaan dari beberapa kata tersebut berada pada proses yang mendasari,
perlibatan pasien di dalam prosesnya, cara bekerja tim, serta cakupan pelayanan
yang diberikan. Perbedaan ketiga hal tersebut dirangkum dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1 Perbedaan Interdisiplin, Multidisiplin, dan IPC
No Konsep Proses yang mendasari
1 Interdisiplin Kerja tim dalam proses riset, pendidikan, atau penelitian.
2 Multidisiplin Bekerja bersama dengan cara pandang masing-masing untuk
menyelasaikan suatu masalah.
3 IPC/ Interprofessional Koordinasi terintegrasi antar PPA yang melibatkan pasien
Collaboration dengan tujuan memberikan kualitas pelayanan terbaik.
4 Interprofessional team- Jenis perawatan. Misalnya: tim kode biru, tim perawatan
based care paliatif, tim kamar operasi.
5 Interprofessional Kerja sama, koordinasi, dan kolaborasi antar PPA dalam
teamwork melaksanakan PCC.
Sumber: Tumuhairwe (2015); WHO (2010); Interprofessional Education Collaborative (2016)

2.1.2 Tujuan dan Manfaat Kolaborasi Interprofesional

Pelaksanaan IPC memiliki tujuan dan manfaat. Tujuan pelaksanaan IPC ialah
menyediakan PCC dan efektif dari segi biaya (Orchard, Kinf, Khalili, & Bezzina,
2012). Kolaborasi interprofesional bertujuan untuk mengendalikan biaya,
mengurangi kesalahan, meningkatkan keselamatan pasien, serta meningkatkan
kepuasan perawat maupun dokter (Mahdizadeh, Heydari, & Moonaghi, 2015).
Selain itu tujuan IPC di antaranya mengkoordinasikan perawatan pasien di antara
PPA, menurunkan keterlambatan, kurangnya perawatan, serta layanan yang tidak
tepat (O’Brien, 2013).

Jika IPC dilakukan dengan baik maka pasien, keluarga pasien, serta organisasi
akan mendapatkan manfaatnya. Kolaborasi interprofesional dapat mencapai
keseragaman perawatan pasien, meningkatkan kepedulian serta kemampuan PPA
dalam menyelesaikan masalah pasiennya, dan meningkatkan kualitas pemberian
asuhan dari suatu organisasi (Winfield, Sparkman-Key, & Vajda 2017). Pasien
pada kasus perawatan paliatif bahkan berpendapat bahwa IPC dapat meningkatkan
kualitas hidup pada akhir hayat pasien (Ehikpehae & Kiernan, 2018). Manfaat
dari IPC memberikan hal positif baik bagi pasien, PPA, maupun organisasi.
Kontinuitas perawatan meningkat pada pasien kanker yang memiliki

Universitas Indonesia
12

kompleksitas pada penanganannya dengan adanya pelaksanaan IPC (Knoop et al.,


2017).

2.1.3 Kompetensi Kolaborasi Interprofesional

Kolaborasi interprofesional tidak mudah untuk dilakukan sehingga perlu


kompetensi khusus dari setiap PPA dalam praktik IPC.

2.1.3.1 Nilai dan Etik


Seluruh PPA harus bekerja dengan mempertahankan iklim saling menghormati
serta menghargai nilai bersama. Hak pasien selama perawatan harus dihormati
serta dalam perawatan harus berorientasi kepada pasien (O’Brien, 2013).
Kompetensi IPC pada domain nilai dan etik dikuasai jika PPA mampu melakukan
PCC dengan tujuan meningkatkan status kesehatan pasien selama rentang
kehidupannya; menghargai hak pasien; menghargai budaya, nilai, dan
karakteristik individual; menghargai peran dan tanggung jawab sesama PPA;
membangun hubungan saling percaya dengan pasien dan PPA; menerapkan
standar etik; mengedepankan kualitas asuhan; mengatasi dilema etik dalam
pelayanan kesehatan; berperilaku jujur; integritas dengan pasien, keluarga,
komunitas, dan PPA lain; menjaga kompetensi individu sesuai dengan profesi dan
lingkup praktik masing-masing (Interprofessional Education Collaborative,
2016).

2.1.3.2 Peran dan Tanggung Jawab PPA


Profesional pemberi asuhan harus memahami peran dan tanggung jawab masing-
masing, batas dalam lingkup praktik, serta menggunakan keahlian masing-masing
selama proses perawatan pasien (O’Brien, 2013). Kompetensi peran dan
tanggung jawab dinilai dari kemampuan PPA menginformasikan peran dan
tanggung jawab dirinya kepada pasien, keluarga, dan PPA lain; menyadari
keterbatasan keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan; menjelaskan peran dan
tanggung jawab PPA lain dan bagaimana tim bekerja untuk menyediakan
pelayanan; menggunakan cakupan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan
untuk memberikan pelayanan yang aman, efisien, efektif, dan adil; berkomunikasi

Universitas Indonesia
13

dengan PPA lain untuk mengkarifikasi tanggung jawab masing-masing;


meningkatkan kemampuan bekerja secara profesional dan interprofesional;
menyadari perbedaan antar profesi; menggunakan kemampuan yang khas dan
saling melengkapi seluruh PPA untuk meningkatkan status kesehatan klien
(Interprofessional Education Collaborative, 2016).

2.1.3.3 Komunikasi Interprofesional


Penggunaan bahasa umum dan profesional dalam berkomunikasi penting dikuasai
oleh PPA ketika akan melakukan IPC (O’Brien, 2013). Selain itu PPA juga
diharapkan dapat terpapar dan mahir dalam penggunaan teknologi komunikasi
dalam proses pemberian pelayanan ke pasien. Profeisonal pemberi asuhan harus
mampu memilih teknik dan alat komunikasi efektif antar PPA; memberikan
informasi kepada pasien, keluarga, dan PPA dengan bahasa yang mudah
dipahami; menyampaikan pengetahuan dan opini kepada PPA lain dengan percaya
diri, jelas, dan menghargai untuk menyamakan persepsi mengenai informasi,
perawatan, dan keputusan dalam perawatan; pendengar aktif; memberikan
kesempatan PPA lain untuk berpendapat dan memberikan umpan balik;
menggunakan bahasa yang sopan dalam kondisi yang sulit atau terjadi konflik;
serta menyadari bahwa tiap individu unik (pengalaman, keahlian, budaya,
kekuatan, dan hirarki antar PPA) (Interprofessional Education Collaborative,
2016).

2.1.3.4 Tim dan Kerja Sama Tim


Kompetensi tim dan kerja sama tim menekankan pada kemampuan pemecahan
masalah bersama yang mencerminkan interdependensi di antara PPA untuk
memberikan asuhan kepada pasien (O’Brien, 2013). Profesional pemberi asuhan
harus mampu menjelaskan proses dari pengembangan tim serta peran dan praktik
dari tim yang efektif; mengajak PPA lain untuk bersama-sama melakukan
penyelesaian masalah; mengintegrasikan pengetahuan dan pengalaman dari PPA
lain untuk menetapkan keputusan dalam perawatan serta menghargai nilai dan
prioritas dari klien; mengaplikasikan kepemimpinan yang mendukung efektivitas

Universitas Indonesia
14

tim dan praktik kolaborasi; mengikat diri sendiri dan PPA lain untuk mengatasi
ketidaksepakatan tentang nilai, peran, tujuan, dan tindakan yang timbul akibat
interaksi antar PPA, pasien, dan keluarga; merefleksikan kinerja dengan PPA lain;
meningkatkan efektivitas IPC; serta menerapkan EBP dalam IPC
(Interprofessional Education Collaborative, 2016).

2.1.4 Karakteristik Kolaborasi Interprofesional

Pelaksanaan IPC dilihat dari tiga komponen utama yaitu partnership,


coordination, dan cooperation (Orchard, 2015), sedangkan Kenaszchuk, Reeves,
Nicholas, dan Zwarenstein (2010) merinci pelaksanaan IPC dapat dilihat dari tiga
komponen yaitu communication, accommodation, dan isolation. Berikut ini
merupakan penjelasan dari setiap karakteristik:

2.1.4.1 Partnership
Orchard (2015) merinci karakteristik pelaksanaan IPC dari segi partnership yang
dilakukan tiap individu di dalam tim dengan melibatkan pasien untuk menentukan
tujuan perawatan, mendengarkan harapan pasien ketika menentukan proses
perawatan yang dipilih oleh tim, bertemu dan berdiskusi mengenai perawatan
pasien secara teratur, berkoordinasi dengan pelayanan kesehatan dan sosial
(pembiaya, pemberi pekerjaan, spiritual), konsisten melakukan komunikasi untuk
mendiskusikan perawatan pasien, terlibat dalam penentuan tujuan perawatan pada
setiap pasien, mendorong PPA lain, pasien, dan keluarga untuk menggunakan
pengetahuan dan keterampilang yang dimiliki untuk mengembangkan rencana
perawatan, bekerja sama dengan pasien dan keluarga dalam menentukan rencana
perawatan.

2.1.4.2 Coordination
Koordinasi antar PPA dikatakan baik jika setiap PPA mengaplikasikan definisi
yang khas dari IPC dalam praktik yang dilakukan, secara adil membagi tanggung
jawab dengan tim pada setiap keputusan yang diambil, mendonrong dan
mendukung komunikasi secara terbuka antar PPA yang melibatkan pasien dan

Universitas Indonesia
15

keluarga ketika pertemuan tim, melakukan penyelesaian konflik dengan


kesepakatan bersama, mendukung pemimpin dari tim berdasarkan kebutuhan
pasien, bersama-sama menentukan pemimpin tim, dan mendukung keterlibatan
pasien dalam pertemuan tim (Orchard, 2015).

2.1.4.3 Cooperation
Pelaksanaan IPC dilinilai baik dari segi cooperation jika setiap PPA berbagi
kekuatannya satu sama lain, saling menghargai dan percaya, saling terbuka dan
jujur, membuat perubahan dalam fungsi timnya berdasarkan refleksi yang dikaji
ulang, berupaya untuk mencapai resolusi yang memuaskan walaupun memiliki
perbedaan pendapat, memahami batasan dari apa yang dapat dilakukan oleh
anggota tim, memahami bahwa ada proses berbagi ilmu pengetahuan dan
keterampilan di antara PPA, dan membangun rasa percaya di dalam tim (Orchard,
2015).

2.1.4.4 Communication
Karakteristik komunikasi pada pelaksanaan IPC dianggap baik jika komunikasi
yang efektif, mudah dimengerti mengenai tanggung jawab masing masing PPA;
ada diskusi antar PPA mengenai asuhan dan tata laksana pasien; saling
mengantisipasi jika setiap PPA membutuhkan bantuan; PPA berbagi informasi
penting mengenai pasien; serta dapat menyelesaikan ketidaksepakatan diantara
PPA (Kenaszchuk, Reeves, Nicholas, & Zwarenstein, 2010).

2.1.4.5 Accommodation
Pelaksanaan IPC dikatakan baik jika seluruh PPA berpartisipasi secara aktif dan
terlibat dalam perencanaan ketika bekerja; berbagi ide yang mirip mengenai
bagaiaman cara merawat pasien; bersedia untuk melakukan diskusi terhadap
permasalahan yang ada; bekerja sama dengan perencanaan perawatan pasien yang
telah dibuat bersama; serta mau bekerja sama dengan praktik terbaru yang tersedia
(Kenaszchuk et al., 2010).

Universitas Indonesia
16

2.1.4.6 Isolation
Karakteristik isolation merupakan hal yang dinilai negatif jika terjadi pada saat
pelaksanaan IPC. Karakteristik isolation di antaranya tidak pernah bertanya apa
pendapat PPA lain mengenai ide yang dimiliki, berpikir bahwa pekerjaannya lebih
penting dari pada pekerjaan PPA lain, serta tidak mau berbagi ilmu pengetahuan
terbaru yang dimiliki dengan PPA lain (Kenaszchuk et al., 2010).

2.1.5 Hambatan Kolaborasi Interprofesional

Kolaborasi interprofesional melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaannya


sehingga timbul hambatan di dalam prosesnya. Hambatan dari pelaksanaan IPC di
antaranya:

2.1.5.1 Level Individual


Hambatan dari level individu dalam pelaksanaan IPC salah satunya ialah budaya
hirarki antara PPA serta pemahaman peran masing-masing yang berbeda. Setiadi
et al (2017) menyebutkan bahwa budaya hirarki masih ada dan menganggap
dokter masih nomor satu diantara para PPA lain dan masih banyak yang belum
memahami peran dari apoteker/ farmasi klinis. Streotype terhadap dokter juga
lebih tinggi dibandingkan perawat sehingga dapat menurunkan pelaksanaan IPC
(Sari et al., 2018). Kolaborasi interprofesional juga sulit dilakukan jika individu
kurang percaya diri, kurang pengetahuan, kurang pengalaman, tidak mampu
melakukan komunikasi secara profesional dengan dokter, kurang dukungan dari
informal dari sesama PPA, serta tidak adanya rasa saling menghargai (Pfaff et al.,
2013).

2.1.5.2 Level Organisasi


Hambatan pada level organisasi dalam pelaksanaan IPC di antaranya budaya
organisasi, mekanisme koordinasi dan komunikasi, lingkungan fisik rumah sakit,
dan manajemen staf rumah sakit (Setiadi et al., 2017). Budaya organisasi yang
masih rendah dalam hal pembelajaran, menyalahkan, dan berbagi informasi dapat
menjadi hambatan dalam IPC. Tidak adanya forum rapat rutin serta koordinasi
melalui berkas medis yang masih rendah termasuk dalam hambatan pada

Universitas Indonesia
17

koordinasi dan komunikasi. Lingkungan fisik rumah sakit seperti jarak yang jauh
antara farmasi dengan rawat inap juga menajadi salah satu hambatan dalam IPC
(Setiadi et al., 2017). Kolaborasi interprofesional tidak dapat berjalan baik jika
dukungan secara formal dari leader tidak dilakukan (Pfaff et., 2013). Tidak hanya
itu jumlah tenaga yang kurang sehingga PPA masih banyak melakukan pekerjaan
administratif juga menjadi salah satu hambatan dalam pelaksanaan
interprofesional kolaborasi (Setiadi et al., 2017).

2.1.6 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kolaborasi Interprofesional

Pelaksanaan IPC dapat dikatakan berhasil jika telah mencapai hal-hal berikut
adanya kesempatan yang terus-menerus untuk melakukan komunikasi informal
yang efektif untuk berbagi informasi (Morgan et al., 2015). Komunikasi informal
dalam berbagi informasi tersebut dapat meningkatkan pengetahuan,
tersampaikannya tujuan perawatan sehingga dapat menentukan tujuan perawatan
bersama-sama. Jean et al (2016) menyebutkan bahwa struktur organisasi,
komposisi organisasi, waktu yang dimiliki untuk berbagi informasi,
kepemimpinan, serta dukungan administratif merupakan faktor yang
mempengaruhi IPC.

Faktor lain seperti tingkat pendidikan, budaya, hirarki, lingkup berpikir, regulasi,
dukungan finansial, serta teknologi juga dapat mempengaruhi pelaksanaan IPC
(Jean et al., 2016). Bosch dan Mansell (2015) menyatakan faktor yang dapat
mempengaruhi IPC sukses dijalankan ialah kejelasan peran, rasa percaya diri dan
percaya terhadap tim, kemampuan untuk melalui kesulitan dalam perawatan
pasien yang kompleks, kemampuan untuk mengatasi perbedaan individu, dan
kemampuan kepemimpinan dalam bekerja sama.

Pelaksanaan IPC dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor personal dan faktor
situasional (Stutsky & Laschinger, 2014). Faktor personal terdiri dari rasa percaya
terhadap IPC, sikap yang fleksibel, kepercayaan, cooperation, dan komunikasi.
Faktor situasional diantaranya kepemimpinan, pemberdayaan, dan struktur

Universitas Indonesia
18

organisasi yang mendukung. Tien, Wu, Lin, dan Wang (2017) menyatakan bahwa
faktor yang mempengaruhi pelaksanaan IPC ialah peran profesional, karakteristik
struktur, karakteristik personal, serta pengalaman dalam pelaksanaan IPC. Karam,
Brault, Durme, & Macq (2018) merinci faktor yang mempengaruhi IPC ialah
faktor personal yang terdiri dari lingkungan internal, eksternal, fleksibilitas peran
individu dan tim, kepercayaan, kekuatan, dan penerimaan masing-masing PPA,
dan komunikasi.

2.2 Definisi Manajemen Kasus dan Manajer Pelayanan Pasien (MPP)


Konsep MPP sebelumnya dikenal dengan istilah case manager. Konsep awal
MPP ialah manajemen kasus yang telah berkembang di area pelayanan komunitas
di dunia pada tahun 1920 (Cesta, 2017). Konsep manajemen kasus pertama
dikembangkan pada area komunitas awalnya untuk menangani kasus-kasus kronik
yang butuh perawatan berkelanjutan. Indonesia mulai mengembangkan konsep
manajemen kasus pada area pelayanan akut pada tahun 2012 yang diinisiasi oleh
Komisi Akreditas Rumah Sakit (KARS, 2017). Konsep manajemen kasus
diterapkan dalam standar akreditasi Rumah Sakit dengan istilah Manajer
Pelayanan Pasien (MPP) sebagai koordinatornya. Seluruh proses yang dilakukan
MPP tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pasien dan keluarga namun juga
mengoptimalkan sumber daya organisasi sehingga seluruh pemangku kepentingan
di rumah sakit merasakan keberadaan MPP.

Definisi manajemen kasus telah dikembangkan oleh berbagai asosiasi case


manager di dunia. Manajemen kasus diartikan sebagai proses kolaborasi yang
terdiri dari aktivitas pengkajian, perencanaan, implementasi, koordinasi,
monitoring, dan evaluasi terhadap pilihan pelayanan yang diberikan kepada
pasien untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dan kebutuhan pasien sebagai
manusia (Comission for Case Management Certification, 2018). Individu yang
menjalani peran untuk manajemen kasus disebut dengan istilah manajer pelayanan
pasien (MPP).

Universitas Indonesia
19

KARS (2017) mendefiniskan MPP sebagai proses kolaboratif untuk asesmen,


perencanaan, fasilitas, koordinasi pelayanan, evaluasi, dan advokasi untuk pilihan
pelayanan pasien dalam memenuhi kebutuhan pasien dan keluarga secara
komprehensif melalui komunikasi dan pemanfaatan sumber daya yang tersedia
untuk asuhan yang efektif dan efisien. Manajemen pelayanan pasien dapat
diartikan sebagai serangkaian proses manajemen kasus yang terdiri dari
pengkajian, perencanaan, implementasi, koordinasi, fasilitasi, dan monitoring
terhadap pilihan pelayanan yang diberikan pada pasien dengan memanfaatkan
sumber daya yang tersedia agar tercapai derajat kesehatan pasien yang sebaik-
baiknya.

2.3 Manfaat Manajer Pelayanan Pasien


MPP sebagai koordinator dari manajemen kasus memiliki beberapa manfaat di
antaranya:

2.3.1 Manfaat untuk Pasien


Manfaat bagi pasien yang diberikan di antaranya meningkatnya kepuasan pasien
dan keluarga terhadap pelayanan serta eterlibatan pasien dalam asuhan, pasien
tahu siapa yang harus dihubungi ketika butuhkan bantuan (KARS, 2017). Adanya
MPP juga meningkatkan status kesehatan pasien secara holistik. Peningkatan
kebutuhan bantuan aktivitas sehari-hari dan caregiver pada pasien multimorbid
setelah pulang dari rawat dapat diminimalkan (Garc et al., 2014) dan kualitas
hidup pasien dapat meningkat (KARS, 2017). Kehadiran seorang MPP membantu
pasien selama proses perawatan di rumah sakit dan secara umum dapat
meningkatkan status kesehatan pasien yang dikelolanya setelah pulang rawat.
Pasien yang dikelola oleh MPP mengalami perubahan perilaku ke arah yang sehat.
Li, Elliott, Rn, Ur, dan Tang (2017) menyatakan bahwa pasien diabetes yang
ditangani oleh MPP lebih baik dalam kontrol kadar gula darah, tingkat stres
rendah, tekanan darah lebih rendah, mengonsumsi buah dan sayur lebih banyak,
berolahraga lebih sering, termotivasi, dan lebih sering memeriksakan kondisi
kakinya dibandingkan dengan pasein DM yang menerima penanganan standar.
Lansia yang dikelola MPP memiliki tingkat ketergantungan perawatan yang lebih

Universitas Indonesia
20

rendah baik dari sisi biaya maupun waktu (Sandberg, Jakobsson, Midlöv, &
Kristensson, 2015). Peran MPP membantu pasien untuk melakukan perubahan
perilaku untuk meniingkatkan kesehatan pasien.

2.3.2 Manfaat untuk Rumah Sakit


Manfaat dari pelaksanaan manajemen kasus yang dilakukan oleh MPP dirasakan
juga oleh rumah sakit. Adanya MPP memberi manfaat LOS memendek, efektifitas
biaya perawatan, pasien patuh terhadap asuhan, pelayanan menjadi holistik,
clinical pathway dapat dievaluasi, peningkatan kontiunuitas pelayanan, asuhan
sesuai standar, serta meningkatkan mutu pelayanan (KARS, 2017). Seluruh
manfaat dari MPP membantu rumah sakit untuk menerapkan standar, dan
meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit. Hal tersebut dapat tercapai karena
dengan adanya MPP hari rawat yang tidak perlu dapat dikurangi, frekuensi, jenis,
serta lama pemeriksanaan termasuk pencegahan pemeriksaan yang tidak perlu
dapat dikontrol (KARS, 2017). Angka kematian juga dapat menurun pada pasien
stroke yang dikelola oleh MPP (Alfajri et al., 2018).

Manajer pelayanan pasien dapat memberikan manfaat finansial kepada rumah


sakit melalui peran yang dilakukannya. Manfaat yang diberikan antara lain
penurunan readmisi dan kunjungan pasien yang sama di IGD (KARS, 2017;
Ramsbottom & Farmer, 2018) serta adanya penurunan penolakan pengajuan
klaim/ reimbursmen dari pihak penjamin (Bledsoe & Marshall, 2013). Seorang
MPP dapat membantu rumah sakit dalam menurunkan biaya perawatan tanpa
mengurangi efektivitas perawatan yang diberikan. Hal tersebut dapat terwujud
karena MPP dapat meningkatan IPC dan berperan dalam penyelesaian konflik
interdisiplin dalam tim PPA (KARS, 2017; Kustriyani, 2016).

Universitas Indonesia
21

2.4 Peran Manajer Pelayanan Pasien

2.4.1 Interpersonal
Peran interpersonal dari seorang manajer diantaranya ialah figurehead, leader,
dan liaison (Robbins & Judge, 2017). Peran figurehead berarti seorang manajer
harus menjadi simbol dari organisasi atau profesi dalam kegiatan-kegiatan baik
formal maupun informal. Manajer juga harus berperan sebagai leader yang dapat
memberikan arahan kepada stafnya. Peran interpersonal selanjutnya ialah liaison
dimana seorang manajer harus menjaga hubungan dengan jaringan sekitar yang
dapat memberikan informasi terkini. Weiss dan Tappen (2015) menyebutkan
bahwa kegiatan dari peran interpersonal mencakup membangun jejaring,
melakukan resolusi dan mengatasi konflik, pengembangan staf dan pengarahan,
serta pemberian reward dan pusnishment. Kegiatan interpersonal dari manajer
mencakup penyelesaian konflik di antara staf, pasien, dan administrasi. Manajer
juga berbagi pengalaman dan keahliannya kepada staf selain memberikan staf
arahan ketika bekerja. Peran interpersonal secara umum menggambarkan peran
manajer dalam membina hubungan dengan internal maupun eksternal organisasi.

Manajer pelayanan pasien sebaga leader memberikan arahan kepada PPA terkait
pelayanan misalnya mengingatkan PPA bahwa tata laksana asuhan harus sesuai
dengan clinical pathway, serta mengingatkan perawat untuk melakukan asuhan
sesuai dengan kebutuhan pasien. MPP memiliki peran untuk mengoptimalkan
terlaksananya PCC dan asuhan pasien terintegrasi, serta membantu meningkatkan
IPC (KARS, 2017). Manajer pelayanan pasien berperan memfasilitasi pemenuhan
kebutuhan asuhan pasien, termasuk keluarga dan pemberi asuhannya, baik akut,
dalam proses rehabilitasi di rumah sakit maupun pasca rawat (eksternal/ rujuk
balik), mendorong keterlibatan dan pemberdayaan pasien. Peran sebagai leader
dilakukan dengan memandu perencanaan perawatan untuk mencapai kebutuhan
dari pasien. Manajer pelayanan pasien juga berperan sebagai tutor dari tim dan
dapat menentukan kebutuhan tim untuk bisa berkembang (Fabbri et al., 2017;
Tahan et al., 2015). Manajer pelayanan pasien membentuk rencana manajemen
kasus komprehensif termasuk tujuan, obyektif, intervensi, hasil, jangka waktu,

Universitas Indonesia
22

dalam kolaborasi bersama klien dan stakeholder; mengembangkan rencana


perawatan manajemen kasus dengan mempertimbangkan masalah perilaku
kesehatan; mengembangkan intervensi yang dapat mengatasi masalah untuk
mencapai tujuan; (Tahan, Watson, & Sminkey, 2015).

Peran interpersonal dari MPP juga termasuk menggunakan komunikasi efektif


untuk meningkatkan status kesehatan pasien, membangun partnership, mengatasi
hambatan yang ada pada pasien dan sistem; kolaborator karena bekerja dengan
banyak pihak termasuk tenaga kesehatan dan pekerja sosial (Tahan, Watson, &
Sminkey, 2015); serta mampu merangkul individual dan kelompok PPA untuk
mencapai tujuan bersama melalui asisten, bimbingan, atau supervisi langsung
maupun tidak langsung (National Case Management Network of Canada, 2012;
Tahan, 2015 ). Tidak hanya itu MPP juga membentuk hubungan dengan klien
agar klien dapat aktif berpartisipasi dalam perkembangan tujuan kesehatan jangka
pendek/ panjang (Tahan et al., 2015).

2.4.2 Informational
Manajer wajib memiliki peran informational yang terdiri dari monitor,
disseminator, spokesperson (Robbins & Judge, 2017), dan reporting (Weiss &
Tappen, 2015). Manajer melakukan peran monitor dengan menjadi sumber
informasi baik internal maupun eksternal organisasi bagi staf dan menerima
seluruh informasi dari berbagai sumber. Informasi yang didapatkan harus
disampaikan oleh manajer kepada stafnya, peran menyebarluaskan informasi ini
disebut peran disseminator. Tidak hanya berperan sebagai sumber informasi bagi
lingkungan internal, seorang manajer harus mampu menjadi sumber terpercaya
bagi lingkungan eksternal mengenai organisasinya yang disebut dengan peran
spokesperson. Peran reporting dilakukan dengan berbagi informasi mengenai
hasil perngamatan tentang perkembangan kebijakan, perkembangan pelayanan
kesehatan kepada pasien maupun staf.

Universitas Indonesia
23

Manajer pelayanan pasien sebagai pusat informasi pasien terkait pelayanan RS.
Menjadi hospital guide dalam asuhan pasien selama pasien berada di rumah sakit
hingga pasien pulang (KARS, 2017). MPP dapat memberikan informasi mengenai
kondisi pasien yang berisiko berdasarkan hasil skriningnya kepada PPA yang
bersangkutan demi terlaksanananya asuhan yang sesuai dengan standar rumah
sakit. Manajer pelayanan pasien berperan sebagai ahli manajemen kasus untuk
meningkatkan dan mengoptimalkan kesehatan dan kesejahteraan dari klien;
sebagai navigator dalam membantu klien mengarahkan tujuan perawatannya
dengan mengidentifikasi hambatan-hambatan dan mengatasinya dengan jaringan/
support system yang dimiliki pasien (National Case Management Network of
Canada, 2012; Tahan, Watson, & Sminkey, 2015). Manajer pelayanan pasien
melakukan edukasi klien terkait pilihan dan sumber daya perawat (Tahan et al.,
2015).

Manajer pelayanan pasien berperan sebagai monitor dalam mengumpulkan


informasi, mengidentifikasi kasus, mengkaji ulang dan memvalidasi informasi,
melakukan penilaian, mengidentifikasi hambatan, dan kesiapan pasien dalam
menjalankan perawatan dan pelayanan yang diterima (Tahan et al., 2015). Selain
itu MPP mengidentifikasi hubungan klien dengan sumber rujukan, penyedia
perawatan, penanggung biaya (Tahan, Watson, & Sminkey, 2015). Manajer
pelayanan pasien sebagai klinisi yang ahli untuk meningkatkan kualitas pelayanan
yang diberikan dengan menggunakan kemampuan dan pengetahuannya mengenai
bukti-bukti ilmu pengetahuan (Fabbri et al., 2017).

Manajer pelayanan pasien melakukan peran disseminator dengan memberikan


edukasi ke pasien, keluarga, dan tim pemberi pelayanan kesehatan terkait pilihan
terapi, manfaat asuransi, case management, sehingga keputusan dapat diambil
pada saat itu (CMSA, 2010; Tahan et al., 2015). Informasi dikumpulkan dari
berbagai sumber baik itu pasien maupun PPA oleh MPP untuk dapat menentukan
apakah pasien harus menjadi pasien kelolaanya atau bukan serta membutuhkan
bantuan pembiayaan dari pemerintah atau tidak (Tahan, Watson, & Sminkey,
2015).

Universitas Indonesia
24

Manajer pelayanan pasien berperan sebagai spokesperson mewakili pasien dan


keluarganya terhadap asuhan yang dibutuhkan kepada PPA dan juga mewakili
rumah sakit sebagai pengendali biaya dengan menyampaikan standar yang harus
dipenuhi. Peran ini juga dapat dilakukan dengan membantu pasien dalam masa
transisi untuk menuju tahap selanjutnya; melakukan pengkajian komprehensif
pada kesehatan pasien dan kebutuhan psikologis pasien; dan mengembangkan
perencanaan manajemen kasus dengan berkolaborasi dengan pasien dan keluarga
sehingga kebutuhan pasien tersampaikan kepada para PPA (CMSA, 2010). Tahan
et al (2015) menyebutkan MPP berperan mempertahankan komunikasi antara
klien dengan PPA, pemberi biaya, serta pekerja sosial dalam waktu transisi
perawatan dan selama perawatan.

2.4.3 Decisional
Manajer sebagai pengelola yang baik harus menampilkan peran decisional yang
terdiri dari entrepreneur, disturbance handler, resource allocator, dan negotiator
(Robbins & Judge, 2017). Peran entrepreneur dibuktikan oleh seorang manajer
dengan keberaniannya dalam mencoba ide baru untuk diterapkan dalam
organisasinya demi perubahan ke arah yang lebih baik. Manajer juga memiliki
peran sebagai disturbance handler yaitu orang yang dapat menyelesaikan
masalah-masalah penting atau tidak diperkirakan akan terjadi dalam organisasi.
Pengambilan keputusan dalam suatu permasalah atau yang dapat menentukan arah
organisasi juga merupakan peran dari seorang manajer yang disebut dengan peran
resource allocator. Peran yang tidak kalah penting dari seorang manajer yaitu
peran negotiator dimana seorang manajer harus mampu melakukan negosiasi
dengan tingkatan yang sulit mewakili organisasi. Weiss dan Tappen (2015)
merinci kegiatan decisional terdiri dari evaluasi staf, alokasi sumber daya,
merekrut dan memberhentikan staf, perencanaan masa depan, dan analisis
pekerjaan serta mengkonsep ulang jika pekerjaan yang dilakukan tidak efisien.
Manajer melakukan Manajer melakukan evaluasi terhadap apa yang dilakukan
staf dan memberikan arahan agar kegiatan berlangsung sesuai standar.

Universitas Indonesia
25

Peran decisional yang melekat pada MPP salah satunya ialah peran entrepreneur,
MPP berperan untuk menyarankan alternatif intervensi praktis yang efisien biaya
(KARS, 2017). Manajer pelayanan pasien memberdayakan pasien untuk terlibat
dalam pengambilan keputusan dengan mengeksplorasi pilihan perawatan yang
akan dilakukan, rencana alternatif terkait kondisi kesehatan pasien (CMSA, 2010).
Alternatif bisa disarankan kepada seluruh PPA tidak terkecuali kepada dokter
untuk mengoptimalkan lama rawat pasien. MPP melakukan kolaborasi dengan
dokter dan pasien untuk mengidentifikasi hasil yang diharapkan dan
mengembangkan suatu rencana manajemen pelayanan pasien (Fabbri et al., 2017).

Peran disturbance handler dapat dilakukan MPP dengan melakukan koordinasi


antar PPA untuk menyelesaikan masalah asuhan pasien. Manajer pelayanan
pasien terintegrasi dalam pelayanan pasien dalam melakukan pengambilan
keputusan terhadap waktu, sumber, dan prioritas yang dapat mempengaruhi
rencana manajemen kasus dan berkontribusi dalam perencanaan klien yang efektif
(CMSA, 2010; National Case Management Network of Canada, 2012). Manajer
pelayanan pasien juga mengintegrasikan faktor-faktor terkait kualitas, keamanan
dan keselamatan, akses, efektivitas biaya dalam pengkajian, monitoring, dan
evaluasi sumber daya dalam perawatan pasien (Case Management Society of
America, 2010).

Peran resources allocator dari MPP selanjutnya ialah MPP dapat berperan untuk
mengupayakan seluruh sumber daya dari rumah sakit untuk membuat perawatan
pasien menjadi lebih efektif, tidak under/ over standar serta terkendali dalam hal
pembiayaan dengan melibatkan seluruh PPA, pasien dan keluarga (CMSA, 2010;
Fabbri et al., 2017; KARS, 2017). Peran ini dapat dilakukan dengan
mengamankan sumber-sumber klinis untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Manajer pelayanan pasien berperan sebagai resources allocator dengan
mendorong penggunaan layanan keperawatan kesehatan yang tepat untuk
meningkatkan kualitas perawatan dan mempertahankan cost effective pada tiap-
tiap kasus (CMSA, 2010). Manajer pelayanan pasien melakukan monitoring dan

Universitas Indonesia
26

mengumpulkan informasi mengenai sistem penjaminan untuk dapat


mengalokasikan sumber daya yang tepat bagi kebutuhan pasien sehingga
pelayanan yang diberikan efektif dan efisien (Fabbri et al., 2017).

Manajer pelayanan pasien berperan sebagai negotiator untuk mengoptimalkan


proses reimbursmen dari pelayanan yang diberikan kepada pasien ke bagian
penjaminan. Manajer pelayanan pasien juga menggunakan keahliannya dan
mempengaruhi orang lain demi pasiennya untuk mencapai derajat kesehatan
setinggi-tingginya; memperjuangkan untuk melakukan advokasi antar pasien dan
pemberi pembayaran, serta tim kesehatan (CMSA, 2010; National Case
Management Network of Canada, 2012). Manajer pelayanan pasien melakukan
komunikasi serta negosiasi kepada banyaknya pemangku kepentingan di
organisasi (Fabbri et al., 2017). Selain itu MPP selalu memprioritaskan kebutuhan
serta urusan klien (Tahan et al., 2015).

2.5 Hambatan Pelaksanaan Manajer Pelayanan Pasien


Pelaksanaan manajemen kasus dengan melakukan peran sebagai MPP memilik
berbagai hambatan. Hal ini disebabkan seorang MPP harus berkoordinasi dengan
banyak pemangku kepentingan di rumah sakit. Hambatan pertama yang dirasakan
MPP ialah lingkup praktik yang tidak jelas, MPP tidak yakin akan batasan
perannya (Bamford, 2014), identitas PPA saat ini yang penuh tantangan; dan
merasa tidak memiliki kekuatan karena peran yang tidak jelas (Gustasffon, 2013).

Aktivitas manajemen kasus yang luas dan kompleks peran saat ini menjadi
tantangan karena kondisi pasien yang semakin sulit; pekerjaan yang unfamiliar;
peran yang juga unfamiliar (Gustafsson, 2013); kasus yang kompleks; kebutuhan
akan MPP tinggi; waktu yang sempit dan harus memperhatikan pasien sambil
melakukan pekerjaan administratif. Manajer pelayanan pasien merasakan peran
yang dilakukan sangat banyak, unfamiliar, dan dengan waktunya yang terbatas.

Universitas Indonesia
27

Peran MPP dirasa sulit karena berbagai penyebab. Joo dan Huber (2018)
menyatakan MPP merasa kurang dilatih mengenai manajemen kasus, pelatihan
yang diberikan bersifat dictator, hanya fokus pada rapat MPP mengenai kebutuhan
lisensi, dan kurang dilatih kemampuan untuk bernegosiasi dan melakukan
manajemen konflik. Memiliki tujuan yang berbeda dengan PPA, posisi MPP yang
ambigu, merasa terbatas, bekerja tanpa otoritas, merasa diabaikan dan tidak
dilindungi juga menjadi hambatan bagi MPP dalam melakukan perannya (Oh &
Oh, 2017).

Membina hubungan dengan PPA lain juga menjadi salah satu hambatan MPP
dalam melakukan perannya. Joo dan Huber (2018) menyatakan adanya kolaborasi
yang buruk dengan PPA, perawat fokus pada tugas teknis dibandingkan kondisi
pasien secara keseluruhan, dan masalah komunikasi diantara PPA. Manajer
pelayanan pasien juga sulit untuk memulai, mempertahankan komunikasi dan
menjaga hubungan dengan dokter, mengembangkan hubungan antar peer yang
suportif dan supervisi yang bermakna, serta beradaptasi dengan populasi di
lingkup praktik umum Overbeck et al (2018).

Tidak hanya dengan PPA, MPP mengalami kesulitan dalam membina hubungan
dengan pasien. Tantangan membina hubungan dengan pasien di antaranya butuh
waktu untuk membangun hubungan dengan pasien, sulit untuk bernegosiasi dalam
menemukan solusi yang terbaik untuk klien dan advokasi klien sesuai kebutuhan.
(Joo & Huber, 2018). Ketika ingin memulangkan pasien MPP juga mengalami
hambatan termasuk pasien yang akan dipulangkan tidak punya tempat tinggal dan
masalah program asuransi (Oh & Oh, 2017) .

Universitas Indonesia
28

2.6 Kerangka Teori

Faktor yang mempengaruhi IPC: Peran Manajemen


1. Komunikasi (Karam et al, 2018; Morgan (Mintzberg, 1973):
et al, 2013; Stutsky & Laschinger, 2014) 1. Interpersonal: figure
2. Berbagi informasi (Morgan et al, 2013) head, leader, liaison
3. Komposisi organisasi (Jean et al, 2016) 2. Informational:
4. Dukungan administratif (Jean et al, monitor,
2016) disseminator,spokesper
5. Kepemimpinan (Bosch & Mansell, 2015; son, reporting
Stutsky & Laschinger, 2014; Tien et al, 3. Decissional: resource
2017) allocator, disturbance
6. Kemampuan pemecahan masalah (Bosch handler
& Mansell, 2015)
7. Kemampuan bekerja sama (Bosch &
Mansell, 2015)
8. Peran individu dan tim (Karam et al,.
Peran MPP (CMSA, 2010;
2018)
KARS, 2017):
1. Interpersonal: leader,
liaison
2. Informational: monitor,
disseminator
Pelaksanaan IPC oleh perawat: partnership, 3. Decissional: resource
cooperation, coordination, dan communication allocator, disturbance
handler

1. PCC dapat terlaksana


2. Pelayanan efektif dari segi biaya
3. Keselamatan pasien meningkat
4. Kesalahan dalam asuhan berkurang
5. Peningkatan kualitas asuhan
(Mahdizadeh et al, 2015; Orchard et al, 2012; Winfield et al, 2017)

Gambar 2.1. Skema Tinjauan Teori Peran Manajemen MPP dalam Pelaksanaan
IPC

Universitas Indonesia
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

Kerangka konsep diperlukan dalam penelitian sebagai kerangka berpikir peneliti.


Hipotesis sebagai dugaan sementaradari hal yang ingin dipastikan oleh peneliti
ditentukan berdasarkan kerangka konsep yang telah dibuat. Peneliti juga perlu
membuat definisi operasional, alat ukur, cara ukur, hasil ukur, dan skala dari
setiap variabel dan sub variabel penelitian.

3.1 Kerangka Konsep


Variabel Dependen
Variabel Independen
Pelaksanaan IPC oleh Perawat:
Peran MPP: 1. Partnership
1. Interpersonal 2. Cooperation
2. Informational 3. Coordination
3. Decissional 4. Communication

Variabel Perancu

Karakteristik Responden
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Tingkat pendidikan
4. Lama bekerja
5. Status Kepegawaian
6. Level kompetensi

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.2 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini berdasarkan kerangka konsep pada gambar 3.1 ialah
ada hubungan antara antara peran MPP dengan pelaksanaan IPC oleh perawat.

29
Universitas Indonesia
3.3 Definisi Operasional
Definisi operasional variabel dependen dan independen penelitian dijelaskan
dalam tabel 3.1.

Tabel 3.1. Definisi Operasional Kerangka Penelitian


Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
Data Demografi
Usia Jumlah tahun yang Kuesioner bagian Mengisi Dalam satuan Rasio
telah dilalui 1: Data demografi. kuesioner tahun.
responden sejak bagian usia.
lahir hingga ulang Pertanyaan
tahun terakhir terbuka.
sebelum mengisi
kuesioner.
Jenis Kelamin Gender responden. Kuesioner bagian Pertanyaan 1. Laki-laki Nominal
1: Data demografi. tertutup. 2. Perempuan
Tingkat Tingkat Kuesioner bagian Pertanyaan 1. Vokasi Ordinal
Pendidikan pendidikan formal 1: Data demografi. tertutup. 2. Profesi
terakhir yang 3. Magister
ditempuh 4. Spesialis
responden.
Lama Kerja Jumlah tahun yang Kuesioner bagian Mengisi Dalam satuan Rasio
telah dilalui 1: Data demografi. kuesioner tahun.
responden sejak bagian lama
awal masuk kerja kerja.
hingga tahun Pertanyaan
pengisian terbuka.
kuesioner.
Status Status Kuesioner bagian Pertanyaan 1. PNS Ordinal
Kepegawaian kepegawaian dari 1: Data demografi. tertutup. 2. Non PNS
responden saat
penelitian
dilakukan.
Level Level kompetensi Kuesioner bagian Pertanyaan 1. Beginner A Ordinal
Kompetensi terakhir dari 1: Data demografi. tertutup. 2. Beginner B
responden, 3. Advanced
didapatkan beginner A
melalui proses 4. Advanced
kredensial beginner B
sebelum penelitian 5. Competent A
dilakukan yang 6. Competent B
berlaku di RS 7. Proficient
Jantung dan 8. Expert
Pembuluh Darah
Harapan Kita.
Variabel Dependen
Pelaksanaan Gambaran Kuesioner Penilaian Skor maksimal Interval
IPC pelaksanaan IPC bagian 2: menurut dari pertanyaan
yang menurut Pelaksanaan IPC responden yaitu 104,
responden (perawat berisi total 26 dengan skala sedangkan skor
pemberi asuhan) pertanyaan. likert: minimal 26
30
Universitas Indonesia
31

Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional
sudah dilakukan Kuesioner 1. Sangat dengan standar
berdasarkan merupakan tidak nilai mean, SD,
keempat komponen modifikasi dari setuju dan CI.
yaitu Interprofessional 2. Tidak
communication, Colaboration Setuju
accommodation, dan Scale 3. Setuju
isolation. (Kenaszchuk, 4. Sangat
Reeves, setuju
Nicholas, &
Zwarenstein,
2010).
Sub Variabel Dependen
Communica- Gambaran Kuesioner Penilaian Skor maksimal Interval
tion pelaksanaan IPC bagian 2: menurut dari pertanyaan
dari komponen Pelaksanaan IPC, responden yaitu 40,
communication 10 pernyataan. dengan skala sedangkan skor
yang menurut likert: minimal 10
responden (perawat 1. Sangat dengan standar
pemberi asuhan) tidak nilai mean, SD,
sudah dilakukan. setuju dan CI.
2. Tidak
Setuju
3. Setuju
4. Sangat
setuju
Accommoda- Gambaran Kuesioner Penilaian Skor maksimal Interval
tion pelaksanaan IPC bagian 2: menurut dari pertanyaan
dari komponen Pelaksanaan IPC, responden yaitu 40,
accommodation 10 pernyataan. dengan skala sedangkan skor
yang menurut likert: minimal 10
responden (perawat 1. Sangat dengan standar
pemberi asuhan) tidak nilai mean, SD,
sudah dilakukan. setuju dan CI.
2. Tidak
Setuju
3. Setuju
4. Sangat
setuju
Isolation Gambaran Kuesioner Penilaian Skor maksimal Interval
pelaksanaan IPC bagian 2: menurut dari pertanyaan
dari komponen Pelaksanaan IPC, responden yaitu 40,
isolation yang 6 pernyataan. dengan skala sedangkan skor
menurut responden likert: minimal 10
(perawat pemberi 1. Sangat dengan standar
asuhan) terjadi pada tidak nilai mean, SD,
saat pelaksanaan setuju dan CI.
pemberian asuhan. 2. Tidak
Setuju
3. Setuju
4. Sangat
setuju
Variabel Independen
Peran MPP Gambaran Kuesioner Penilaian Skor maksimal Interval
pelaksanaan peran bagian 3: menurut dari pertanyaan
manajemen menurut Peran MPP responden yaitu 160,

Universitas Indonesia
32

Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional
responden (perawat berisi 40 dengan skala sedangkan skor
pemberi asuhan dan pertanyaan. likert: minimal 40
MPP) yang sudah 1. Tidak dengan standar
dilakukan oleh MPP. pernah nilai mean, SD,
2. Jarang dan CI.
3. Sering
4. Selalu
Sub Variabel Independen
Interpersonal Gambaran Kuesioner Penilaian Skor maksimal Interval
pelaksanaan peran bagian 3: menurut dari pertanyaan
interpersonal menurut Peran MPP, 11 responden yaitu 44,
responden (perawat pernyataan. dengan skala sedangkan skor
pemberi asuhan dan likert: minimal 11
MPP) yang sudah 1. Tidak dengan standar
dilakukan oleh MPP. pernah nilai mean, SD,
2. Jarang dan CI.
3. Sering
4. Selalu
Informational Gambaran Kuesioner Penilaian Skor maksimal Interval
pelaksanaan peran bagian 3: menurut dari pertanyaan
informational menurut Peran MPP, 16 responden yaitu 64,
responden (perawat pernyataan. dengan skala sedangkan skor
pemberi asuhan dan likert: minimal 15
MPP) yang sudah 1. Tidak dengan standar
dilakukan oleh MPP. pernah nilai mean, SD,
2. Jarang dan CI.
3. Sering
4. Selalu
Decisional Gambaran Kuesioner Penilaian Skor maksimal Interval
pelaksanaan peran bagian 3: menurut dari pertanyaan
decissional menurut Peran MPP, 13 responden yaitu 52,
responden (perawat pernyataan. dengan skala sedangkan skor
pemberi asuhan dan likert: minimal 13
MPP) yang sudah 1. Tidak dengan standar
dilakukan oleh MPP. pernah nilai mean, SD,
2. Jarang dan CI.
3. Sering
4. Selalu

Universitas Indonesia
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif non eksperimental dengan desain
cross sectional. Penelitian kuantitatif non eksperimental mengobservasi fenomena
tanpa memberikan intervensi dengan alat ukur yang terstruktur (Polit & Beck,
2010). Desain penelitian cross sectional dilakukan dengan mengumpulkan data
pada satu titik dan satu waktu terkait fenomena yang ingin diteliti pada satu kali
periode pengumpulan data (Polit & Beck, 2010). Desain cross sectional dipilih
karena penelitian dilakukan untuk mendapatkan gambaran suatu fenomena dan
menjelaskan hubungan dua fenomena pada periode pengambilan data dilakukan.
Desain ini juga dilipih karena dapat meneliti banyak variabel sekaligus dan dapat
bermanfaat untuk penelitian selanjutnya yang lebih konklusif (Sastroasmoro &
Sofyan, 2016).

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan pada salah satu RS khusus di Jakarta yang telah menerapkan
konsep MPP yaitu RSJPD Harapan Kita. Rumah sakit ini dipilih karena telah
menerapkan konsep MPP sejak tahun 2016 dan saat ini sudah ada delapan MPP
yang mengelola pasien di rumah sakit tersebut. Manajer pelayanan pasien di
RSJPD Harapan Kita berada pada tatanan struktural organisasi di bawah kepala
instalasi dengan ruang lingkup pelayanan IGD, IW Medikal, IW Bedah, ICU
Dewasa, ICVCU Lantai 2 dan 3, Rawat Anak, GP 2 Lantai 3, GP 2 Lantai 4, GP 2
Lantai 5, ICU Anak, IW Anak.

Pelaksanaan konsep MPP sejak tahun 2016 belum pernah dilakukan evaluasi
sehingga penelitian akan membantu rumah sakit untuk mengidentifikasi peran
yang telah dilakukan MPP. Rumah sakit tersebut juga merupakan rumah sakit tipe
A rujukan nasional kasus-kasus jantung dengan tingkat kompleksitas kasus pasien
yang tinggi. Kondisi ini menuntut adanya kolaborasi interprofesi dilakukan oleh

33
Universitas Indonesia
34

seluruh PPA. Penelitian ini akan memberikan gambaran terhadap rumah sakit
bagaimana pelaksanaan IPC berlangsung.

Penelitian akan dilakukan mulai November 2018 hingga bulan Mei 2019.
Penelitian dimulai sejak penyusunan proposal di bulan November 2018 dan
selesai pada bulan Mei 2019 setelah sidang tertutup. Waktu penelitian dirinci
dalam tabel 4.1.
Tabel 4. 1 Waktu Penelitian
Waktu
No Kegiatan
November Desemner Januari Februari Maret April Mei
1 Penyusunan
proposal
2 Uji proposal
3 Uji etik
4 Uji validitas
reliabilitas
5 Pengumpulan
data
6 Pengolahan
data
7 Analisis data
dan
penyusunan
laporan
penelitian
8 Uji hasil
penelitian
9 Sidang
tertutup

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari subjek penelitian (Arikunto, 2013). Populasi
penelitian ini ialah seluruh perawat di RSJPD Harapan Kita yang berada pada
luang lingkup pelayanan dari MPP. Total populasi dari penelitian ini ialah
sebanyak 496 perawat.

Universitas Indonesia
35

4.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang nilainya diukur untuk menduga
karakteristik populasi (Sabri & Hastono, 2014). Kriteria inklusi sampel penelitian
ini adalah perawat pada ruang lingkup pelayanan dari MPP di RSJPD Harapan
Kita, berinteraksi dengan MPP, dan bersedia menjadi responden. Kriteria eksklusi
dari penelitian ialah responden yang mengundurkan diri ketika proses penelitian
berlangsung. Penelitian ini juga mengambil MPP sebagai sampel untuk
membandingkan data peran yang didapatkan dari persepsi perawat pemberi
asuhan dengan data dari MPP itu sendiri. Teknik pengambilan sampel pada MPP
menggunakan teknik total sampling yaitu 9 orang dimana seluruh MPP dijadikan
sampel penelitian.

Teknik pengambilan sampel pada perawat pemberi asuhan berbeda dengan teknik
yang digunakan pada MPP. Kriteria sampel tidak dibatasi pada pengalaman dan
level kompetensi sehingga digunakan teknik simple random sampling. Pemilihan
sampel dilakukan secara acak dengan cara diundi. Perhitungan jumlah sampel
untuk penelitian menggunakan rumus Slovin. Berikut ini adalah rumus Slovin
(Notoatmodjo, 2010):
N
n=
1 + N(e)2
Keterangan
N: jumlah populasi
n: jumlah sampel
e: batas toleransi kesalahan

Jumlah populasi perawat yang berada dalam ruang lingkup pelayanan MPP
sebanyak 496 perawat. Batas toleransi kesalahan yang digunakan dalam penelitian
ialah 5% maka, perhitungan sampelnya ialah sebagai berikut:
496
n=
1 + (496)(0,05)2
n = 221,42

Universitas Indonesia
36

Berdasarkan perhitungan tersebut maka jumlah sampel dibulatkan menjadi 221


perawat.

Antisipasi terjadi drop out selama proses penelitian maka, dilakukan perhitungan
kembali untuk jumlah sampel. Koreksi perhitungan jumlah sampel ialah sebesar
10% jika dari awal subyek tersebut tidak akan dianalisis (Sastroasmoro & Sofyan,
2016). Berikut adalah koreksi perhitungan sampel untuk mengantisipasi adanya
drop out:
n’ = n / (1-f)
Keterangan:
n: besar sampel
f: perkiraan proporsi drop out

Perkiraan drop out sebesar 10% dengan besar sampel 221 perawat maka
perhitungannya adalah sebagai berikut:
n’= 221/ (1-0,1)
n’= 245,55 perawat
n’= 246 perawat

Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini ialah sebanyak 246 perawat
dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Sampel penelitian ini diambil dari beberapa ruangan di antaranya IGD, IW


Medikal, IW Bedah, ICU Dewasa, ICVCU Lantai 2 dan 3, Rawat Anak, GP 2
Lantai 3, GP 2 Lantai 4, GP 2 Lantai 5, ICU Anak, IW Anak. Sampel yang baik
merupakan sampel yang mewakili dari populasi maka dari itu dari setiap ruangan
jumlah sampel yang diambil harus proporsional. Jumlah sampel yang proporsional
dari setiap ruangan didapatkan menggunakan teknik sampling proportionate
sampling. Rumus untuk menentukan jumlah sampel dari setiap ruangan ialah
sebagai berikut (Ariawan, 1998):
n
nh = Nh
N

Universitas Indonesia
37

Keterangan:
nh : besar sampel untuk ruangan tertentu
Nh : besar populasi untuk ruangan tertentu
n : besar sampel keseluruhan
N : populasi total
Tabel 4.2 Jumlah Sampel tiap Ruangan
No Ruangan Populasi Perhitungan Sampel yang Pembulatan
ruangan diambil
1 IGD 51 orang 51 (246/496) 25,29 25
2 IW Medikal 70 orang 70 (246/496) 34,71 35
3 IW Bedah 49 orang 49 (246/496) 24,30 24
4 ICU Dewasa 48 orang 48 (246/496) 23,80 24
5 ICVCU lantai 2 dan 3 64 orang 64 (246/496) 31,74 32
6 Rawat Anak 38 orang 38 (246/496) 18,84 19
7 GP 2 lantai 3 17 orang 17 (246/496) 8,43 8
8 GP 2 lantai 4 19 orang 19 (246/496) 9,42 9
9 GP 2 lantai 5 34 orang 34 (246/496) 16,86 17
10 ICU Anak 64 orang 64 (246/496) 31,74 32
11 IW Anak 42 orang 42 (246/496) 20,83 21
Jumlah Populasi 496 orang Jumlah Sampel 246

Total sampel dari setiap ruangan akan diambil berdasarkan jumlah pada tabel
pembulatan. Peneliti akan membuat daftar nama dari populasi dan akan diberikan
nomor urut. Penentuan sampel dilakukan dengan acak yaitu melakukan
pengundian. Nomor urut yang keluar akan dijadikan respoden dalam penelitian.
Jika responden tidak bersedia maka penggantian sampel akan ditentukan dengan
melakukan undian ulang.

4.4 Etika Penelitian


Penelitian ini memperhatikan prinsip etik sehingga dapat melindungi, memberi
manfaat, serta tidak merugikan responden. Responden merupakan individu yang
perlu dilindungi serta dipenuhi haknya sebagai manusia. Uji etik akan dilakukan
pada penelitian ini demi melindungi responden penelitian. Uji etik akan dilakukan
di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dan di tempat penelitian
yaitu rumah sakit terkait. Prinsip etik penelitian yang diterapkan di antaranya:

Universitas Indonesia
38

4.4.1 Beneficience
Prinsip beneficience berarti bahwa peneliti memiliki tugas untuk memberi manfaat
sebesar-besarnya bagi subjek penelitian (Dharma, 2011). Penelitian ini akan
memberikan manfaat bagi responden penelitian. Hasil dari penelitian akan
memberikan gambaran bagi responden mengenai komponen pelaksanaan IPC
yang seharusnya. Hasil dari penelitian juga akan menjadi pertimbangan bagi MPP
untuk meningkatkan peran yang dirasa paling berhubungan oleh perawat dalam
pelaksanaan IPC. Dengan manfaat tersebut perawat akan terbantu karena MPP
menjalankan perannya dengan lebih baik lagi. Manfaat dari penelitian akan
dijelaskan kepada responden dalam kuesioner penelitian.

Polit dan Beck (2010) menyebutkan prinsip benificience pada penelitian terdiri
dari dua yaitu responden memiliki hak untuk bebas dari bahaya dan
ketidaknyamanan serta hak untuk dilindungi dari eksploitasi. Responden dari
penelitian ini akan terhindar dari bahaya fisik maupun psikologis. Proses
penelitian dipastikan tidak mengganggu jam kerja dari perawat sehingga tidak
menambah kesibukan dari aktivitas pelayanan yang dilakukan oleh responden.
Responden juga akan diberikan kompensasi karena telah berpartisipasi sebagai
bentuk terima kasih dari peneliti karena telah meluangkan waktu untuk menjadi
responden dalam penelitian. Pengisian kuesioner hanya memerlukan waktu
kurang lebih 20 menit sehingga tidak merugikan responden dari segi waktu.
Pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner juga diupayakan tidak menimbulkan
perasaan tidak menyenangkan bagi responden. Penelitian ini juga tidak bersifat
mengeksploitasi responden baik dari segi fisik, psikologis, maupun finansial.

4.4.2 Respect for Human Dignity


Polit dan Beck (2010) menyebutkan prinsip respect for human dignity pada
penelitian terdiri dari dua yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak untuk
dijelaskan secara penuh mengenai penelitian. Hak untuk menentukan nasib sendiri
berarti calon responden boleh memutuskan untuk tidak berpartisipasi, atau
menarik diri dari penelitian (autonomy) (Dharma, 2011). Proses penelitian tidak

Universitas Indonesia
39

akan mengganggu aktivitas responden. Responden berhak menentukan waktu


kapan melakukan pengisian kuesioner dari penelitian ini.

Informasi yang diberikan peneliti akan dijelaskan dalam lembar penjelasan


penelitian secara rinci terdiri dari identitas peneliti, tujuan, dan manfaat dari
penelitian. Tidak ada informasi yang ditutupi oleh peneliti terhadap responden.
Jika responden memiliki pertanyaan maka responden dapat secara langsung
menghubungi peneliti dengan nomor kontak yang tertera di lembar kuesioner
bagian informasi peneliti. Responden juga diberikan waktu untuk
mempertimbangkan apakah bersedia terlibat dalam penelitian atau tidak. Jika
responden tidak bersedia maka peneliti akan mencari pengganti dengan metode
yang telah ditetapkan. Hasil penelitian akan diinformasikan kepada responden dan
rumah sakit dengan data yang sebenar-benarnya.

4.4.3 Justice
Prinsip justice pada etik penelitian terdiri dari dua hal yaitu hak untuk
diperlakukan secara adil dan hak untuk menjaga privasi (Polit & Beck, 2010).
Perlakuan yang adil dalam penelitian mencakup pemberian manfaat maupun
beban yang adil kepada responden. Penelitiaan yang bersifat adil berarti penelitian
memberikan keuntungan dan beban secara merata sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan subjek (Dharma, 2011). Tidak ada responden yang menerima
manfaat maupun beban berlebih dibandingkan dengan responden lainnya pada
penelitian ini. Responden mendapatkan perlakuan yang sama dari peneliti,
diberikan manfaat yang sama, dan kuesioner yang sama satu dengan lainnya.
Penelitian ini juga bersikap adil mulai dari pemilihan responden. Pemilihan
responden tidak didasarkan atas rekomendasi ataupun faktor kedekatan peneliti
dengan responden. Pemilihan responden dilakukan dengan metode yang telah
ditetapkan sebelumnya sesuai dengan tujuan penelitian. Prinsip justice juga berarti
memperhatikan hak responden untuk dilindungi privasinya. Responden dalam
penelitian diinformasikan bahwa identitas responden akan dirahasiakan. Data
yang diberikan responden juga hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.

Universitas Indonesia
40

4.5 Teknik Pengambilan Data


Pengambilan data dilakukan dengan teknik penyebaran kuesioner pada responden
yang telah ditentukan sebelumnya melalui proses acak. Responden terlebih dahulu
dijelaskan mengenai tujuan dan manfaat penelitian. Responden juga akan
dijelaskan bahwa penelitian tidak akan merugikan atau membahayakan responden.
Tidak hanya itu identitas responden juga akan dirahasiakan dan data digunakan
hanya untuk kepentingan penelitian. Seluruh penjelasan tersebut terdapat pada
halaman pertama kuesioner mengenai informasi penelitian.

Setelah membaca informasi penelitian responden dapat memberikan persetujuan


dengan menandatangani lembar persetujuan menjadi responden penelitian. Proses
memberikan informasi kepada responden sehingga responden memiliki informasi
memadai mengenai penelitian, memahami, dan memiliki kekuatan untuk
menyetujui atau menolak partisipasi secara sukarela ini disebut dengan informed
consent (Polit & Beck, 2010). Responden diberikan waktu untuk
mempertimbangkan apakah bersedia untuk terlibat dalam penelitian jika tidak
dapat memutuskan langsung saat itu.

4.5.1 Alat Pengumpulan Data


Alat pengumpulan data menggunakan kuesioner yang diisi oleh responden.
Kuesioner terdiri dari tiga bagian yaitu data demografi, pelaksanaan IPC, dan
peran yang dilakukan MPP. Data demografi yang diminta pada kuesioner terdiri
dari usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama kerja, status kepegawaian, dan
level kompetensi. Pelaksanaan IPC akan dinilai menggunakan instrumen yang
telah dimodifikasi begitu pula instrumen untuk menggambarkan peran MPP.

Modifikasi instrumen IPC berasal dari kuesioner yang telah tersedia yaitu
Interprofessional Collaboration Scale (Kenaszchuk, Reeves, Nicholas, &
Zwarenstein, 2010). Kuesioner tersebut terdiri dari 26 pernyataan dengan 4 skala
pengukuran. Kuesioner tersedia dalam bahasa Inggris dan sudah diterjemahkan ke
bahasa Indonesia. Proses terjemahan dilakukan oleh peneliti kemudian dilakukan
konsultasi ke pembimbing.

Universitas Indonesia
41

Kuesioner mengenai peran MPP dimodifikasi berdasarkan survei peran MPP yang
diteliti lima tahun sekali oleh CMCC (Tahan et al., 2015) dan tinjauan teori yang
sudah dilakukan oleh peneliti. Peran MPP tersebut kemudian dikategorikan
menjadi tiga peran manajer yaitu interpersonal, informational, dan decisional.
Instrumen yang disusun kemudian dikonsulkan kepada pembimbing.

Tabel 4.3 Kisi-Kisi Instrumen Penelitian


Variabel Pernyataan Positif Pernyataan Negatif
Variabel Perancu
Usia
Jenis Kelamin
Tingkat Pendidikan
Lama Kerja
Status Kepegawaian
Level Kompetensi
Variabel Dependen: Pelaksanaan IPC
Communication 1, 9, 10, 11, 14, 22, 23, 24 3, 16
Accommodation 2, 4, 5, 6, 7, 15, 17, 18, 19, 20 -
Isolation - 8, 12, 13, 21, 25, 26
Variabel Independen: Peran MPP
Interpersonal 1, 6, 9, 12, 15, 19, 22, 27, 31, 34, 36
Informational 2, 3, 5, 8, 10, 14, 18, 20, 25, 26, 29, 30, 33,
38, 40
Decissional 4, 7, 11, 13, 16, 17, 21, 24, 28, 32, 35, 37

Universitas Indonesia
42

4.5.2 Cara Pengumpulan Data


Data penelitian merupakan data primer yang diperoleh peneliti dengan melihat
hasil kuesioner. Data didapatkan dari kuesioner yang telah diisi responden
menggunakan pertanyaan tertutup. Langkah pengumpulan data yang akan
dilakukan yaitu:
4.5.2.1 Pengajuan permohonan kaji etik ke Komite Etik Penelitian Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
4.5.2.2 Pengajuan izin ke bagian Penelitian dan Pengembangan RS Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita.
4.5.2.3 Pengajuan izin ke kepala instalasi ruangan terkait di RS RS Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita.
4.5.2.4 Penyebaran kuesioner.
4.5.2.5 Pemeriksaan kelengkapan pengisian kuesioner.
4.5.2.6 Entry data dan analisis data. Proses entry data dilakukan secara simultan
dengan penyebaran kuesioner dan pemeriksanaan kelengkapan pengisian
kuesioner. Hal ini dilakukan agar waktu penelitian menjadi efektif dan proses
entry data dapat selesai dengan cepat.

4.5.3 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen


Uji validitas adalah uji yang dilakukan pada suatu instrumen pada penelitian
kuantitatif untuk mengetahui apakah instrumen benar dapat mengukur apa yang
ingin diukur oleh peneliti (Polit & Beck, 2010). Uji reliabilitas pada pengukuran
kuantitatif ialah kriteria utama dari penilaian kualitas dari suatu instrumen (Polit
& Beck, 2010). Uji realibilitas diperlukan untuk mengetahui tingkat stabilitas
pengukuran suatu variabel. Semakin sedikit variasi yang dihasilkan dari
pengukuran suatu atribut maka semakin andal/ reliabel alat ukur tersebut.

Responden perawat dalam uji validitas dan reliabilitas ditentukan berdasarkan


undian secara acak sama seperti penentuan responden dalam penelitian. Jumlah
responden dalam uji validitas dan reliabilitas ialah 30 responden yang mewakili
seluruh unit pelayanan MPP. Sedangkan untuk responden MPP menggunakan

Universitas Indonesia
43

metode total sampling, yaitu seluruh MPP yang ada di RS. Kriteria inklusi untuk
uji validitas dan reliabilitas adalah perawat pada ruang lingkup pelayanan dari
MPP, berinteraksi dengan MPP, dan bersedia menjadi responden. Kriteria
eksklusi dari penelitian ialah responden yang mengundurkan diri ketika proses
penelitian berlangsung. Uji validitas dan reliabilitas instrumen akan dilakukan di
RS Persahabatan. Rumah sakit ini dipilih karena menerapkan konsep MPP yang
sama dengan RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.

Instrumen untuk mengetahui gambaran pelaksanaan IPC yang digunakan dalam


penelitian ini sudah pernah dilakukan uji validitas dan reliabilitas sebelumnya.
Hasil uji validitas dan reliabilitas dari instrumen IPC Scale (Kenaszchuk et al.,
2010) dinyatakan valid dan reliabel saat diubah dari bahasa Inggris ke bahasa
German maupun Italia (Chronbach alpha 0,92) (Vittadello et al., 2017).
Sedangkan nilai chronbach alpha pada AITCS II untuk komponen partnership
(0,898), cooperation (0,924), dan coordination (0,898) (Orchard et al, 2018).

Uji validitas dan reliabilitas akan tetap dilakukan dalam penelitian ini karena
adanya kombinasi antara dua instrumen dan proses penerjemahan dari bahasa
Inggris ke bahasa Indonesia. Uji korelasi antar skor tiap item pertanyaan dengan
skor total pertanyaan menggunakan pearson product moment untuk menguji
validitas kuesioner. Item pertanyaan dari kuesioner dinyatakan valid jika t hitung
lebih besar dari r tabel. Sedangkan untuk uji reliabilitas penelitian ini
menggunakan cronbach alpha test. Item pertanyaan pada kuesioner dinyatakan
reliabel jika nilai alpha ≥ 0,7.

4.6 Pengolahan Data


Pengolahan data penelitian dilakukan melalui empat tahap yaitu editing, coding,
processing, dan cleaning (Sabri & Hastono, 2014). Data akan dicek
kelengkapannya, kesesuaian data (editing), pemberian kode data pada setiap
variabel agar mudah dibaca (coding), dan pemindahan data dari kertas ke dalam
program komputer untuk mengolah data. Data yang sudah siap diolah kemudian

Universitas Indonesia
44

diberi kategori jika data akan disajikan dalam bentuk kategori. Setelah data siap
maka dilakukan pengolahan data dengan sistem yang terdapat pada aplikasi di
komputer (processing). Tahap terakhir dilakukan cleaning dengan cek ulang
adanya kemungkinan kesalahan input data ke komputer.

4.7 Analisis Data

4.7.1 Analisis Univariat


Analisis univariat dilakukan pada setiap variabel dan sub variabel untuk
mendapatkan gambaran dari setiap variabel dan sub variabel. Analisis univariat
dalam penelitian ini dirinci pada tabel 4.3.
Tabel 4.4 Analisis Univariat
Variabel Jenis Data Cara Anlisis
Usia Numerik Distribusi frekuensi: tendensi sentral
Jenis Kelamin Kategorik Distribusi frekuensi: proporsi
Status Kepegawaian Kategorik Distribusi frekuensi: proporsi
Lama Kerja Numerik Distribusi frekuensi: tendensi sentral
Level Kompetensi Kategorik Distribusi frekuensi: proporsi
Tingkat Pendidikan Kategorik Distribusi frekuensi: proporsi
Peran MPP Numerik Distribusi frekuensi: tendensi sentral
Peran Interpersonal MPP Numerik Distribusi frekuensi: tendensi sentral
Peran Informational MPP Numerik Distribusi frekuensi: tendensi sentral
Peran Decissional MPP Numerik Distribusi frekuensi: tendensi sentral
Pelaksanaan IPC oleh Perawat Numerik Distribusi frekuensi: tendensi sentral
Pelaksanaan Communication Numerik Distribusi frekuensi: tendensi sentral
Pelaksanaan Accommodation Numerik Distribusi frekuensi: tendensi sentral
Pelaksanaan Isolation Numerik Distribusi frekuensi: tendensi sentral

4.7.2 Analisis Bivariat


Analisis bivariat dilakukan dengan tujuan teridentifikasinya nilai kemaknaan
korelasi (hubungan) antara variabel independen dengan variabel dependen. Uji
korelasi pada penelitian akan menggunakan nilai kemaknaan sebesar 95% dan p
0,05 menggunakan uji korelasi Pearson karena kedua variabel berupa data
numerik.
Tabel 4. 5 Analisis Bivariat
No Variabel Jenis Data Variabel Dependen Jenis Data Cara
Independen Anlisis
1 Peran MPP Numerik Pelaksanaan IPC oleh Numerik Uji
perawat Korelasi
Pearson
2 Usia Numerik Pelaksanaan IPC oleh Numerik Uji
perawat Korelasi
Pearson

Universitas Indonesia
45

No Variabel Jenis Data Variabel Dependen Jenis Data Cara


Independen Anlisis
3 Jenis Kelamin Kategorik Pelaksanaan IPC oleh Numerik ANOVA
perawat
4 Status Kategorik Pelaksanaan IPC oleh Numerik ANOVA
Kepegawaian perawat
5 Lama Kerja Numerik Pelaksanaan IPC oleh Numerik Uji
perawat Korelasi
Pearson
6 Level Kompetensi Kategorik Pelaksanaan IPC oleh Numerik ANOVA
perawat
7 Tingkat Kategorik Pelaksanaan IPC oleh Numerik ANOVA
Pendidikan perawat

4.7.3 Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan agar teridentifikasinya hubungan lebih dari satu


sub variabel independen terhadap satu variabel dependen. Uji untuk analisis
multivariat penelitian ini ialah korelasi dan analisis regresi linier. Uji Korelasi
dilakukan untuk mengetahui keeratan hubungan dan analisis regresi linier
dilakukan untuk mengetahui bentuk hubungan antar variabel. Uji korelasi dan
analisis regresi linier digunakan dalam penelitian ini karena kedua variabel baik
dependen maupun independen berupa data numerik.

Variabel dengan p <0,05 akan dilakukan seleksi kandidat uji multivariat. Seleksi
kandidat multivariat dilakukan pada variabel dengan p <0,25. Semua variabel
yang memiliki p <0,25 masuk dalam uji regresi logistik. Semua variabel yang
telah melalui uji regresi logistik kemudian dilihat kembali terhadap p <0,05.
Variabel dengan p >0,05 akan dikeluarkan dari pemodelan sehingga menghasilkan
pemodelan akhir. Pemodelan menggunakan pemodelan matematis untuk
menentukan interaksi antara variabel satu dengan variabel lainnya.

Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Aeni, W. N. (2014). Pengembangan case manager dalam patient centered care.


Jurnal Manajemen Keperawatan, 2(2), 126–134.
Alfajri, N. Z., Pinzon, R. T., & Lestari, T. (2018). Fidelity Case Management
System Pada Pasien Stroke Fidelity of Case Management System for Stroke
Patient. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana, 03, 10–24.
American Medical Association, 2012. Women physicians' congress: a profile and
history of women in medicine. Retrieved from.
http://www.amaassn.org/ama/pub/about-ama/ourpeople/member-groups-
sections/women-physicians-section/women-medicine-history.page.
American Nurses Association, 2014. The nursing workforce 2014: growth,
salaries, education, demographics and trends. Retrieved from.
http://www.nursingworld.org/MainMenuCategories/ThePracticeofProfessio
nalNursing/workforce/Fast-Facts-2014-Nursing-Workforce.pdf.
Ariawan, I. (1998). Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan. Depok:
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Arikunto, S. (2013). Prosedur penelitian: Suatu pendekatan praktik. Jakarta:
Rineka Cipta
Bamford, C., Poole, M., Brittain, K., Chew-Graham, C., Fox, C., Iliffe, S.,
CAREDEM Team. (2014). Understanding the challenges to implementing
case management for people with dementia in primary care in England: A
qualitative study using Normalization Process Theory. BMC Health
Service Research, 4. Retrieved from http://www.biomedcentral.com/1472-
6963/14/549.
Bankston, K., Glazer, G., 2013. Legislative: interprofessional collaboration:
what's taking so long? OJIN: Online J. Issues Nurs. 19 (1).
http://dx.doi.org/10.3912/OJIN. Vol18No01LegCol01.
Bledsoe, M. K., & Marshall, M. L. (2013). Improving Reimbursement With
Nursing Case Manager Status Assignment, 18(2), 79–83.
https://doi.org/10.1097/NCM.0b013e31827a4851
Bosch, B., & Mansell, H. (n.d.). Interprofessional collaboration in health care :
Lessons to be learned from competitive sports, 2–5.
https://doi.org/10.1177/1715163515588106
Cesta T. (2017). What’s old is new again: The history of case management.
Diakses di www.reliasmedia.cim. Pada tanggal 15 Oktober 2018 Pukul 09:23
WIB.
Chong, W. W., Aslani, P., & Chen, T. F. (2013). Shared decision-making and
interprofessional collaboration in mental healthcare: A qualitative study
exploring perceptions of barriers and facilitators. Journal of
Interprofessional Care, 27(5), 373–379.
https://doi.org/10.3109/13561820.2013.785503
Comission Case Manager Certification. (2018). Definition and philosophy of case
management. www.ccmcertification.org. Diakses pada tanggal 1 Desember
2018 pukul 01:20 WIB.
Deneckere, S., Euwena, M., Lodewickx, C., Panella, M., Mutsvari, T., Sermeus,
W., & Vanhaecht, K. (2013). Better Interprofessional Teamwork , Higher

Universitas Indonesia
Level of Organized Care , and Lower Risk of Burnout in Acute Health Care
Teams Using Care Pathways A Cluster Randomized Controlled Trial, 51(1),
99–107.
Dharma, K.K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan: Panduan
melaksanakan dan menerapkan hasil penelitian. Jakarta: Trans Info Media.
Ehikpehae, H., & Kiernan, J. (2018). Journal of Interprofessional Education &
Practice The impact of the interprofessional health care team in palliative
care. Journal of Interprofessional Education & Practice, 11, 12–14.
https://doi.org/10.1016/j.xjep.2018.01.001
Fabbri, E., Maria, M. De, & Bertolaccini, L. (2017). Case management : an up-to-
date review of literature and a proposal of a county utilization, 5(20), 3–7.
https://doi.org/10.21037/atm.2017.07.26
Fatalina, F., Sunartini, Widyandana, & Sedyowinarso, M. (2015).
COLLABORATIVE PRACTICE BIDANG MATERNITAS PADA. Jurnal
Pendidikan Kedokteran Indonesia, 4(1), 28–36.
Garc, F. P., Arrabal-orpez, J., Rodr, C., Gila-selas, C., Carrascosa-garc, I., &
Laguna-parras, J. M. (2014). Effect of hospital case-manager nurses on the
level of dependence , satisfaction and caregiver burden in patients with
complex chronic disease, 2814–2821. https://doi.org/10.1111/jocn.12543
Goldsberry, J. W. (2018). Advanced practice nurses leading the way:
Interprofessional collaboration. Nurse Education Today, 65(June 2017), 1–3.
https://doi.org/10.1016/j.nedt.2018.02.024
Green, B., Johnson, C., 2015. Interprofessional collaboration in research,
education, and clinical practice: working together for a better future. J.
Chiropr. Educ. 29 (1), 1–10.
Gustafsson, M., Kristensson, J., Holst, G., Willman, A., & Bohman, D. (2013).
Case managers for older persons with multi-morbidity and their everyday
work—A focused ethnography. BMC Health Service Research, 13.
Retrieved from http://www.biomedcentral.com/1472-6963/13/496
Hettinger, L. & Gwozdek, A. (2015). Utilizing communitybased education as a
springboard for interprofessional collaboration. Access, 29, 10-13.
Institute of Medicine, 2010. The future of nursing: leading change, advancing
health. Retrieved from.
http://iom.nationalacademies.org/Reports/2010/The-Future-of-Nursing-
Leading-Change-Advancing-Health.aspx.
Interprofessional Education Collaborative. (2016). Core competencies for
interprofessional collaborative practice: 2016 update. Washington, DC:
Interprofessional Education Collaborative.
Jardien-Baboo, S., van Rooyen, D., Ricks, E., & Jordan, P. (2016). Perceptions of
patient-centred care at public hospitals in Nelson Mandela Bay. Health SA
Gesondheid, 21, 397–405. https://doi.org/10.1016/j.hsag.2016.05.002
Jean, J., Dongen, J. Van, Lenzen, S. A., Bokhoven, M. A. Van, Daniëls, R.,
Weijden, T. Van Der, & Beurskens, A. (2016). Interprofessional
collaboration regarding patients ’ care plans in primary care : a focus group
study into influential factors. BMC Family Practice, 1–10.
https://doi.org/10.1186/s12875-016-0456-5
Joo, J. Y., & Huber, D. L. (2018). Barriers in Case Managers’ Roles: A

Universitas Indonesia
Qualitative Systematic Review. Western Journal of Nursing Research,
40(10), 1522–1542. https://doi.org/10.1177/0193945917728689
Karam, M., Brault, I., Durme, T. Van, & Macq, J. (2018). Comparing
interprofessional and interorganizational collaboration in healthcare : A
systematic review of the qualitative research. International Journal of
Nursing Studies, 79(December 2016), 70–83.
https://doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2017.11.002
KARS. (2017). Panduan praktik manajer pelayanan pasien – MPP (Case
Manager). Jakarta: KARS.
Kenaszchuk, C., Reeves, S., Nicholas, D., & Zwarenstein, M. (2010).
Interprofessional Collaboration Scale.
Knoop, T., Wujcik, D., & Wujcik, K. (2017). Emerging Models of
Interprofessional Collaboration in Cancer Care. Seminars in Oncology
Nursing, 33(4), 459–463. https://doi.org/10.1016/j.soncn.2017.08.009
Kustriyani, M. (2016). Pelaksanaan manajemen konflik interdisiplin oleh case
manager di ruang rawat inap rsud tugurejo semarang. Universitas
Diponegoro.
Li, D., Elliott, T., Rn, G. K., Ur, E., & Tang, T. S. (2017). Diabetes Nurse Case
Management in a Canadian Tertiary Care Setting : Results of a Randomized
Controlled Trial. Canadian Journal of Diabetes, 41(3), 297–304.
https://doi.org/10.1016/j.jcjd.2016.10.012
Mahdizadeh, M., Heydari, A., & Moonaghi, H. K. (2015). Clinical
Interdisciplinary Collaboration Models and Frameworks From Similarities to
Differences : A Systematic Review, 7(6), 170–180.
https://doi.org/10.5539/gjhs.v7n6p170
Mei, B., Wang, W., Shen, M., Cui, F., Wen, Z., & Ding, J. (2017). The physician-
nurse collaboration in feeding critically ill patients : A multicenter survey.
Applied Nursing Research, 36, 63–67.
https://doi.org/10.1016/j.apnr.2017.05.007
Morgan, S., Pullon, S., & McKinlay, E. (2015). Observation of interprofessional
collaborative practice in primary care teams: An integrative literature review.
International Journal of Nursing Studies, 52(7), 1217–1230.
https://doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2015.03.008
Nancarrow, S., Booth, A., Ariss, S., Smith, T., Enderby, P., Roots, A., 2013. Ten
principles of good interdisciplinary team work. Hum. Resour. Health: 11
(1), 19.
National Case Management of Canada. (2012). Canadian core competency profile
for case management providers. Canada: NCMN.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
O’Brien, J. (2013). Interprofessional Collaboration. RN.Com.
https://doi.org/10.1097/JAN.0000000000000071
Oh, J., & Oh, S. (2017). Nurse Case Managers ’ Experiences on Case
Management for Long-term Hospitalization in Korea. Asian Nursing
Research, 11(4), 283–289. https://doi.org/10.1016/j.anr.2017.11.002
Orchard, C. A., King, G. A., Khalili, H., & Bezzina, M. B. (2012). Assessment of
Interprofessional Team Collaboration Scale (AITCS): Development and

Universitas Indonesia
testing of the instrument. Journal of Continuing Education in the Health
Professions, 32, 58-67. doi: 10.1002/chp.21123.
Orchard, C. (2015). Assessment of interprofessional team collaboration scale II
(AITCS II). https://nexusipe-resource-exchange.s3-us-west-
2.amazonaws.com/Orchard%20AITCS%20II%202015.doc?X9KsZyBd_04
b1VwHSsWLAZE9zzCEtXQh . Diunduh pada tanggal 14 Desember 2018
pukul 10:08 WIB.
Orchard, C., Pederson, L. L., Read, E., BKinesiology, Mahler, C., & Laschinger,
H. (2018). Assessment of Interprofessional Team Collaboration Scale
(AITCS): Further Testing and Instrument Revision, 38(1), 11–18.
https://doi.org/10.1097/CEH.0000000000000193
Osbiston, M. (2013). Interprofessional collaborative teamwork facilitates patient
centred care: a student practitioner’s perspective. Journal of Perioperative
Practice, 23(5), 110–113. https://doi.org/10.1177/175045891302300503
Overbeck, G., Kousgaard, M. ., & Davidson, A. . (2018). The work and
challenges of care managers in the implementation of collaborative care : A
qualitative study, (December 2017), 167–175.
https://doi.org/10.1111/jpm.12449
Pfaff, K., Baxter, P., Jack, S., & Ploeg, J. (2013). An integrative review of the
factors influencing new graduate nurse engagement in interprofessional
collaboration. https://doi.org/10.1111/jan.12195
Polit, D.F., & Beck, C. T. (2010). Essential of nursing research: Appraising
evidence for nursing practice. (7th ed.). Lippincott: Williams and Wilkins.
Ramsbottom, H., & Farmer, L. C. (2018). Reducing pediatric psychiatric hospital
readmissions and improving quality care through an innovative Readmission
Risk Predictor Tool, (December 2017), 1–9.
https://doi.org/10.1111/jcap.12203
Reeves, S., Pelone, F., Harrison, R., Goldman, J., & Zwarenstein, M. (2018).
Interprofessional collaboration to improve professional practice and
healthcare outcomes ( Review ).
https://doi.org/10.1002/14651858.CD000072.pub3.www.cochranelibrary.co
m
Sabri, L., dan Hastono, S.P. (2014). Statistik kesehatan. Jakarta: Rajawali Pers.
Sandberg, M., Jakobsson, U., Midlöv, P., & Kristensson, J. (2015). Cost-utility
analysis of case management for frail older people : effects of a randomised
controlled trial. ??? https://doi.org/10.1186/s13561-015-0051-9
Sari, V. R., Tutik, R., Hariyati, S., Yani, A., & Hamid, S. (2018). Enfermería
Clínica. Enfermería Clínica, 28, 134–138. https://doi.org/10.1016/S1130-
8621(18)30053-6
Sastroasmoro, S., & Sofyan, I. (2016). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis.
Edisi ke 5. Jakarta: Sagung Seto.
Serrano-Gemes, ଝ G, & Rich-Ruiz, M. (2017). Intensity of interprofessional
collaboration among intensive care nurses at a tertiary hospital. Enferm
Intensiva, 28(2), 48–56. https://doi.org/10.1016/j.enfie.2016.10.002
Setiadi, A. P., Wibowo, Y., Herawati, F., Irawati, S., Setiawan, E., Presley, B., …
Sunderland, B. (2017). Journal of Interprofessional Education & Practice
Factors contributing to interprofessional collaboration in Indonesian health

Universitas Indonesia
centres : A focus group study. Journal of Interprofessional Education &
Practice, 8, 69–74. https://doi.org/10.1016/j.xjep.2017.06.002
Stetten, N. E., Hagen, M. G., Nall, R. W., Anderson, K. V., Black, E. W., & Blue,
A. V. (2018). Interprofessional collaboration in a transitional care
management clinic: A qualitative analysis of health professionals
experiences. Journal of Interprofessional Education and Practice, 12(June),
73–77. https://doi.org/10.1016/j.xjep.2018.06.006
Strech, S., Wyatt, D., 2013. Partnering to lead change: nurses' role in the redesign
of health care. Assoc. Perioperative Registered Nurs. J. 98 (3), 260–266.
Stutsky, B. J., & Laschinger, H. K. S. (2014). Development and Testing of a
Conceptual Framework for Interprofessional Collaborative Practice
Development and Testing of a Conceptual Framework for Interprofessional
Collaborative Practice, 2(2).
Sullivan, B. M., Kiovsky, R. D., Mason, D. J., Hill, C. D., & Dukes, C. (2015).
Interprofessional Collaboration and Education, 115(3), 47–54.
Sunaringtyas, W., & Sulisno, M. (2015). STRATEGI CASE MANAGER
DALAM MENGELOLA KASUS PASIEN RAWAT INAP DI RS B
KEDIRI. Journal of Science, Health, 6(1), 26–33.
Tahan, H. M., Watson, A. C., & Sminkey, P. V. (2015). What Case Manger
Should Know About Their Roles and Functions: A National Study From the
Commission for Case Manager Certification: Part 1, 20(6), 271–296.
https://doi.org/10.1097/NCM.0000000000000115
Tien, L., Wu, Y., Lin, T., & Wang, S. S. (2017). Different perceptions of
interprofessional collaboration and factors influencing the one-stop service
for sexual assault victims in Taiwan. Journal of Interprofessional Care,
31(1), 98–104. https://doi.org/10.1080/13561820.2016.1248816
Tumuhairwe, R. (2015). Understanding Interprofessional Collaboration - A Case
Study of Professionals in a Norwegian Primary School, (June).
Unutzer, J., Harbin, H., Schoenbaum, M., Druss, B. (2013). The collaborative care
model: An approach for integrating physical and mental health care in
medicaid health homes. Health Home Information Resources Center.
Retrieved from:
http://www.chcs.org/media/HH_IRC_Collaborative_Care_Mo
del__052113_2.pdf
Utami, L., & Hapsari, S. (2016). Hubungan antara sikap dan perilaku kolaborasi
dan praktik kolaborasi interprofesional di ruang rawat inap Rumah Sakit
Panti Rapih, 1(1).
Vittadello, F., Mischo-kelling, M., Wieser, H., Cavada, L., Naletto, C., Fink, V.,
… Cavada, L. (2017). A multiple-group measurement scale for
interprofessional collaboration : Adaptation and validation into Italian and
German languages. Journal of Interprofessional Care, 00(00), 1–8.
https://doi.org/10.1080/13561820.2017.1396298
Wang, Y., Wan, Q., Guo, J., Jin, X., Zhou, W., Feng, X., & Shang, S. (2018). The
in fl uence of e ff ective communication , perceived respect and willingness
to collaborate on nurses ’ perceptions of nurse – physician collaboration in
China. Applied Nursing Research, 41(April), 73–79.
https://doi.org/10.1016/j.apnr.2018.04.005

Universitas Indonesia
Weiss, S.A., & Tappen., R.M. (2015). Essentials of nursing leadership and
management. 6th edition. Philadelphia: F.A. Davis Company.
WHO. (2010). Framework for Action on Interprofessional Education &
Collaborative Practice.
Winfield, C., Sparkman-Key, N. M., & Vajda, A. (2017). Interprofessional
collaboration among helping professions: Experiences with holistic client
care. Journal of Interprofessional Education and Practice, 9, 66–73.
https://doi.org/10.1016/j.xjep.2017.08.004

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai