Anda di halaman 1dari 104

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN


KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN
CEDERA KEPALA DI RUANG BEDAH ANAK
LANTAI III UTARA RSUP FATMAWATI

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

FINA DEVY ARYANTI


0906510836

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN
DEPOK
JULI 2014

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN


KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN
CEDERAKEPALA DI RUANG BEDAH ANAK
LANTAI III UTARA RSUP FATMAWATI

KARYA ILMIAH AKHIR NERS


Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners

FINA DEVY ARYANTI


0906510836

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN
DEPOK
JULI 2014

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALIT AS

Skripsi ini adalah hasil karya say a sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Fina Devy Aryanti

NPM : 0906510836

Tanda Tangan

Tanggal

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


HALAMAN PENGESAHAN

Proposal Riset ini diajukan oleh :


Nama : Fina Devy Aryanti
NPM : 0906510836
Program Studi : Sarjana Ilmu Keperawatan
Judul Riset : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat
Perkotaan pada Pasien Cedera Kepala di Ruang Bedah Anak Lantai III Utara
RSUP Fatmawati

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners
pada Program Profesi IImu Keperawatan, Fakultas IImu Keperawatan,
Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Siti Chodidjah, S.Kp., M.N


(~
Penguji : Elfi Syahreni, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep. An.~)

Ditetapkan di : Depok

Tanggal :t Juli 2014

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT, puji syukur saya panjatkan kepada Allah
SWT, karena atas berkat rahmat-Nya, bimbingan-Nya, dan petunjuk-Nya, saya
dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ners ini. Penulisan skripsi ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Ners
Keperawatan pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Saya juga
menyadari, selama proses penyusunan karya ilmiah akhir ini, saya mendapatkan
banyak bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih pada pihak terkait, diantaranya:
a. Ibu Siti Chodidjah, S.Kp., M.N., selaku dosen pembimbing saya yang
telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya
dalam penyusunan karya tulis akhir;
b. Ibu Elfi Syahreni, S.Kp., M.Kep., Sp. Kep. An., selaku dosen penguji dan
pembimbing akademik saya yang telah banyak memberikan masukan;
c. Ibu Fajar Tri Waluyanti S.Kp., M.Kep, selaku ketua program studi profesi
ners yang telah memberikan pengarahan;
d. Sivitas Akademika FIK UI yang telah memberikan dorongan secara moril
kepada saya dalam menjalankan perkuliahan;
e. Ayah dan Mama saya, selaku orang tua yang begitu luar biasa telah
memberikan dukungan, do’a, materil, dan semangat kepada saya sehingga
saya bisa bertahan menyelesaikan kuliah profesi ini dengan baik;
f. Teh Yulan, A Dani, A Erik, A Dede, Ka Fitri, Ka Aprie, Dyega, Qilla,
Izar, Callysta, dan Fatih yang selalu mendukung saya dan menghibur saya
selama proses perjalanan profesi ini;
g. Sahabat terbaik saya yaitu Namira Sangadji yang selalu ada ketika saya
membutuhkan bantuan selama proses perjalanan kuliah profesi di FIK UI.
You always teach me what best friend means to be, Ra! Terima kasih Ira;
h. Teman-teman terbaik di FIK yaitu Rona, Minati, Dana, Ucha, Fani, Isti,
Dindin, Raniw, Zaki, Fadly, Mustaf, Aan, Rio, Kartika, Nahla, Kiki,
Fandiar, Rara, Juju, dan Vera yang telah membersamai saya selama
perkuliahan di FIK UI ini;

iv

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


i. Sahabat sedari kecil saya yaitu Rifa, Iman, Sumayani, Elma, Nur, Isma,
Yani, Adi, dan A Igit yang selalu memberikan motivasi pada saya;
j. Teman-teman kelompok C profesi keperawatan FIK UI yang sudah
menemani senang dan susahnya kuliah profesi;
k. Teman-teman Danus BEM dan Bedah Kampus yaitu Ka Norma, Faqih,
Fahmi, Icha, Ita, Iib, Anda, Hesi, dan Tince. Terima kasih atas
pertemanannya selama ini;
l. Ka Sulun satu-satunya kaka kelas selama SMA yang kuliah di UI. Terima
kasih ka atas segala dukungannya selama kuliah di UI dari zaman sekolah
menengah atas.

Akhir kata, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dengan kebaikan pula
dari berbagai pihak yang telah membantu saya. Semoga skripsi ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan keperawatan di Indonesia.

Depok, Juli 2014

Penyusun
(Fina Devy Aryanti)

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLlKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah
ini:

Nama : Fina Devy Aryanti


NPM : 0906510836
Program Studi : Profesi Ilmu Keperawatan
Fakultas : Ilmu Keperawatan
Jenis : Karya llmiah Akhir

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exsclusive Royalty
Free Right) atas karya saya yang berjudul:

Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada


Pasien Cedera Kepala di Ruang Bedah Anak Lantai III Utara RSUP Fatmawati

beserta perangkat yang ada Uika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedialformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenamya.

Dibuat di : Depok
Pada Tanggal : t Juli 2014
Yang menyatakan

(Fina Devy Aryanti)

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


ABSTRAK

Nama : Fina Devy Aryanti


Program Studi : Profesi Ners
Judul : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan
pada Pasien Cedera Kepala di Ruang Bedah Anak Lantai III Utara RSUP Fatmawati

Cedera kepala pada anak akibat dari kecelakaan merupakan salah satu masalah pada masyarakat
perkotaan. Salah satu penanganan pada cedera kepala yaitu dengan pembedahan yang dapat
mengakibatkan gangguan rasa nyaman berupa nyeri. Karya ilmiah akhir ini bertujuan untuk
memberikan gambaran asuhan keperawatan cedera kepala pada anak dengan menerapkan terapi
musik audio visual untuk mengatasi nyeri paska pembedahan. Penerapan terapi musik audio visual
ini diterapkan selama lima hari diperoleh hasil penurunan skala nyeri dari 6 menjadi 1. Selain itu,
terapi musik audio visual juga efektif menurunkan nyeri pada prosedur lainnya seperti perawatan
luka, pelesasan drainase dan jahitan operasi. Terapi musik audio visual ini sangat
direkomendasikan untuk mengurangi nyeri pada anak paska pembedahan. Oleh karena itu,
diharapkan ruang rawat dapat menerapkan terapi musik audio visual dengan menyediakan DVD
musik anak-anak.

Kata kunci : anak; cedera kepala; nyeri; dan terapi musik audio visual.

ABSTRACT

Name : Fina Devy Aryanti


Major : The Nursing Profession
Title : The Analysis of Urban Health Nursing Clinical Practices for Patients
of Head Injuries in North Pediatric Surgical Room Third Floor RUSP Fatmawati

Head injury among children caused by accident is one of the urban problems. One of the
treatments for this injury is by performing surgery which can cause discomfort, specifically pain.
This paper aims to show how to care children experiencing head injury by playing audio visual
music therapy to reduce the pain after the surgery. After giving this audio visual music therapy for
5 days, the scale of the pain decreases from 6 to 1. Moreover, the children do not feel pain or
worry when the surgical dressing is changed or when the drainage and suture are taken off if the
music is played.

Keyword : audio visual music therapy; children; pain; and traumatic head injury.

vii

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................... vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi
1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah.............................................................................. 5
1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................. 6
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................. 6
1.3.2 Tujuan Khusus............................................................................. 6
1.4 Manfaat Penelitian................................................................................ 6
1.4.1 Manfaat Bagi Masyarakat ........................................................... 6
1.4.2 MAnfaat Bagi Perawat ................................................................ 6
1.4.3 Manfaat Bagi Pendidikan ............................................................ 7
2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 8
2.1 Cedera Kepala ...................................................................................... 8
2.1.1 Definisi ........................................................................................ 8
2.1.2 Etiologi ........................................................................................ 8
2.1.3 Patofisiologi ................................................................................ 8
2.1.4 Komplikasi .................................................................................. 14
2.1.5 Pemeriksaan ................................................................................ 16
2.1.6 Penatalaksanaan .......................................................................... 18
2.2 Nyeri ..................................................................................................... 20
2.2.1 Definisi ........................................................................................ 20
2.2.2 Fisiologi Nyeri ............................................................................ 20
2.2.3 Klasifikasi Nyeri ......................................................................... 22
2.2.4 Respon Nyeri ............................................................................... 23
2.2.5 Penilaian Skala Nyeri .................................................................. 24
2.2.6 Penatalaksanaa Nyeri .................................................................. 27
2.3 Terapi Musik Audio Visual.................................................................. 28
2.3.1 Definisi ........................................................................................ 28
2.3.2 Manfaat Terapi Musik ................................................................. 29
2.3.3 Mekanisme Dasar Terapi Musik ................................................. 30
2.3.4 Panduan Pelaksanaan Terapi Musik Audio Visual ..................... 31
3. LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA .......................................... 33
3.1 Pengkajian ............................................................................................ 33
3.2 Analisis Data ........................................................................................ 36
3.3 Implementasi dan Evaluasi Keperawatan ............................................ 37
4. ANALISIS SITUASI ................................................................................ 40

viii

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


4.1 Profil Lahan Praktik ............................................................................. 40
4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP dan
Konsep Kasus Terkait .......................................................................... 40
4.3 Analisis Salah Satu Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait 41
4.5 Alternatif Pemecahan Masalah yang dapat Dilakukan ........................ 46
5. PENUTUP ................................................................................................. 47
5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 47
5.2 Saran ..................................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 49

ix

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Wong-Baker Faces Pain Rating Scale ......................................... 25


Gambar 2.2 Word Graphic Rating Scale ......................................................... 26

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Patofisiologi Cedera Kepala

Lampiran 2 : Laporan Asuhan Keperawatan Kasus Kelolaan

Lampiran 3 : Biodata Peneliti

xi

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masyarakat perkotaan saat ini menempatkan transportasi sebagai kebutuhan
yang utama. Hal ini dibuktikan dengan jumlah kendaraaan bermotor yang
meningkat setiap tahunnya. Dampak dari peningkatan jumlah kendaraan
bermotor tersebut yaitu meningkatnya angka kejadian kecelakaan kendaraan
bermotor. Badan Pusat Statistik Indonesia (2014) mengatakan bahwa terjadi
peningkatan kejadian kecelakaan lalu lintas pada tahun 2012 yaitu sebanyak
117.949 kejadian, berbeda jauh dari tahun sebelumnya yaitu tahun 2011
sebanyak 108.696 kejadian kecelakaan. Menurut World Health Organization
(2011) menyebutkan sebanyak 67% korban kecelaaan lalu lintas berada pada
usia produktif yakni 22-50 tahun. Sekitar 400.000 korban dibawah usia 50 tahun
yang meninggal dunia di jalan dengan rata-rata kematian 1000 anak dan remaja
setiap harinya. Kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab utama kematian anak-
anak di dunia (Ball & Bindler, 2003; Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein,
& Scwartz, 2009).

Anak yang mengalami kecelakaan lalu lintas, sering kali mengalami trauma
atau cedera yang menjadikan alasan anak dibawa ke rumah sakit, terutama
cedera kepala (Dewi, Mangunatmadja, & Ramli, 2012). Meurut data statistik
nasional dan safe kids campaign di Amerika Serikat, cedera merupakan resiko
kesehatan nomor satu bagi anak-anak yang berusia lebih dari 1 tahun. Setiap
tahun di Amerika Serikat, satu dari 4 anak mengalami cedera yang serius
sehingga memerlukan perhatian medis, dan 8000 anak meninggal setiap
tahunnya akibat cedera. Menurut Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein,
dan Scwartz (2009) diperkirakan 300 per 100.000 anak setiap tahunnya
mengalami cedera traumatik otak, dan 10 per 100.000 anak meninggal per tahun
akibat cedera kepala. Sejumlah penilitian menunjukkan bahwa sebanyak 3 per 4

1 Universitas Indonesia

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


2

kematian pada masa kanak-kanak yang disebabkan oleh trauma mekanis


merupakan akibat langsung dari cedera kepala.

Menurut Brain Injury Association of America (2014) cedera kepala merupakan


penyebab kecacatan dan kematian pada anak dan remaja di Amerika Serikat
yaitu pada usia 0 tahun sampai dengan 19 tahun. 62.000 kasus cedera kepala
yang menyebabkan proses hospitalisasi pada anak karena kecelakaan motor,
jatuh, cedera olaraga, dan kekerasan fisik. Pada anak yang berusia 0 sampai 14
tahun yang mengalami cedera kepala diantaranya sebanyak 2.685 meninggal,
37.000 mengalami hospitalisasi, dan 435.000 memerlukan perawatan instalasi
gawat darurat. Berdasarkan penelitian Dewi, Mangunatmadja, dan Ramli (2012)
menyatakan bahwa kasus cedera kepala pada anak di RSUPN Cipto
Mangunkusumo tahun 2004 sampai dengan 2005 berjumlah 503 kasus cedera
kepala pada anak usia dibawah 15 tahun. Di RSUP Fatmawati kasus cedera
kepala pada bulan maret 2014 sampai dengan Juni 2014 berjumlah 53 kasus
yang merupakan kasus terbanyak kedua setelah apendiksitis. Dari 53 kasus
tersebut 20 kasus dialami oleh anak usia sekolah, dan 21 dialami oleh remaja.

Cedera kepala merupakan proses patologi yang menyerang kulit kepala, tulang
tengkorak, meningen, atau otak akibat gaya mekanis. Pada anak-anak yang
usianya kurang 2 tahun hampir selalu diakibatkan karena kecelakaan sebagai
penumpang, sedangkan pada anak-anak yang usianya lebih besar dapat
mengalami cedera sebagai pejalan kaki atau pengendara sepeda (Wong,
Hokenberry, Wilson, Winkelstein, & schwarts, 2009). Cedera kepala pada anak
memiliki dampak keparahan yang lebih parah dibandingkan pada orang dewasa.
Misalnya, kerusakan kognitif pada anak mungkin tidak muncul secara langsung
ketika cedera terjadi, tetapi dapat muncul pada saat anak berusia lebih besar.
Kerusakan kognitif ini akan berpengaruh pada kemampuan berpikir, belajar,
perkembangan sosial, dan tingkah laku. Beberapa kesulitan yang sering dalami
setelah cedera kepala diantaranya kesulitan memproses informasi, kesulitan
Universitas Indonesia

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


3

mengungkapkan pendapat maupun penalaran (Brain injury Association of


America, 2014). Mayfield (2008) juga mengatakan cedera kepala pada anak
dapat mengakibatkan kerusakan berbagai fungsi, seperti fungsi neorologi dan
endokrin, neomuskular dan orthopedi, neurokognitif, serta neoropsikiatrik.

Perkembangan otak anak khususnya pada bayi dan toddler belum terbentuk
sempurna. Oleh karena itu, cedera kepala pada anak akan beresiko mengalami
gangguan neurologi dan tingkah laku yang persisten. Pada bayi dan toddler
keterlambatan perkembangan dapat sangat terlihat jelas dibandingkan anak
seusianya. Anak toddler yang mengalami cedera kepala sedang atau berat,
biasanya memiliki masalah dalam perkembangan motorik kasar, koordinasi, dan
keseimbangan. Selanjutnya, pada anak usia pra sekolah yang mengalami cedera
kepala beresiko mengalami keterlambatan perkembangan bahasa dan motorik.
Sedangkan pada anak usia sekolah kerusakan yang sering terjadi pada fungsi
non verbal, pemusatan perhatian, memori, dan pembelajaran hal yang baru.
Pada anak usia remaja muda pemulihan pada fungsi pergerakan dan tugas
visual-spasial dapat lebih lama dibandingkan dengan remaja yang usianya lebih
tua. Hal ini disebabkan karena, perkembangan neurologi berlanjut hingga usia
minimal 12 tahun, misalnya lobus frontal matur pada usia 12 sampai 14 tahun.
Cedera kepala pada anak yang perkembangan otak dan fungsi kognitifnya sudah
matur, akan memiliki masalah dalam hal membuat suatu perencanaan dan
pengorganisiran, menginisiasi tugas, membentuk suatu konsep, fleksibilitas
kognitif, dan pemecahan masalah (Mayfield, 2008).

Cedera kepala merupakan suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang
kranium, atau struktur di bawah tulang yang disebabkan karena suatu benturan
atau penetrasi (Ball & Bindler, 2003). Komplikasi dari cedera kepala
diantaranya adalah epidural hematoma, subdural hematoma, edema serebral,
komosio serebral, kontusio dan laserasi, serta fraktur (Wong, Hockenberry,
Wilson, Winkelstein, & Scwartz, 2009). Cedera kepala dapat mengakibatkan
Universitas Indonesia

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


4

cedera vaskular serebral yang akan menyebabkan perdarahan di suatu ruang


seperti ekstra aksial, epidural, subdural, maupun intraparenkim otak (Pohl,
2006). Penatalaksanaan cedera kepala ini terdiri dari penanganan pada kondisi
yang mengancam nyawa, terapi farmakologi, dan pembedahan. Terapi
pembedahan pada kasus cedera kepala ditujukan untuk menangani masalah
perdarahan dan fraktur impresi yang menekan otak. Jenis pembedahan pada
cedera kepala diantaranya pembedahan dekompresi, kraniotomi dan
pemasangan drainase, pembedahan debridemen dan evakuasi, evakuasi
perdarahan, serta dekompresi kraniotomi dengan duraplasti (Verive, 2014).

Permasalahan yang muncul pada anak yang dilakukan pembedahan adalah


gangguan rasa nyaman berupa nyeri pada bagian luka post operasi.
Pengurangan nyeri merupakan kebutuhan dasar dan hak dari semua anak.
Adapaun penatalaksanaan untuk mengurangi nyeri dikelompokkan menjadi dua
kategori yaitu terapi farmakologi dan non farmakologi. Terapi farmakologi yang
dapat diberikan sebagai analgesik untuk mengurangi nyeri misalnya yaitu
opoid, non opoid, dan obat anti inflamasi non steroid (AINS). Sedangkan terapi
non farmakologi misalnya distraksi, relaksasi, guided imagery, dan stimulasi
kutaneus dapat memberikan strategi koping yang dapat mengurangi persepsi
nyeri, membuat nyeri dapat ditoleransi, menurunkan kecemasan, dan
meningkatkan efek analgesik (Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein, &
Scwartz, 2009).

Nyeri merupakan sumber stress yang utama bagi anak-anak yang dirawat di
rumah sakit. Selain berdampak pada anak, juga berdampak pada orang tua yang
mengalami kecemasan (Ricci & Kyle, 2009). Oleh karena itu, perawat perlu
memberikan suatu intervensi untuk memberikan kenyamanan pada anak.
Perawat dapat menerapkan konsep terapi non farmakologi untuk mengurangi
nyeri dan meningkatkan efek dari pemberian analgesik dengan cara teknik
distraksi dengan pemberian terapi musik audio visual. Dalam hal ini, penulis
Universitas Indonesia

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


5

melakukan aplikasi dari tesis Kustiningsih (2013) yang berjudul “Pengaruh


Terapi Musik Audio Visual terhadap Nyeri dan Kecemasan Anak Usia Sekolah
Pasca Bedah di RSUP DR Sardjito Yogyakarta”. Tesis ini menerapkan konsep
distraksi dan terapi musik pada anak paska pembedahan dan didapatkan hasil
terdapat perbedaan rata-rata nadi, frekuensi pernapasan, skala nyeri, dan
kecemasan anak usia sekolah sebelum dan setelah dilakukan intervensi terapi
msuik audio visual. Penulis tertarik untuk melakukan aplikasi ini pada anak
paska pembedahan yang mengalami nyeri sehingga anak merasa nyaman.
Adapun alasan lainnya yaitu di ruang tindakan lantai 3 Selatan RSUP
Fatmawati sudah tersedia media televisi dan DVD player, namun belum ada
penerapan terapi musik audio visual untuk mengurangi nyeri. Oleh karena itu,
penulis ingin mencoba menerapkan terapi ini pada pasien kelolaan.

1.2 Perumusan Masalah


Salah satu masalah kesehatan yang ada pada masyarakat perkotaan adalah
angka kejadian kecelakaan lalu lintas yang meningkat setiap tahunnya.
Kecelakaan lalu lintas ini merupakan penyebab kematian pertama pada anak di
dunia. Anak-anak yang mengalami kecelakaan lalu lintas sering kali mengalami
trauma atau cedera yang menjadikan alasan anak dibawa ke rumah sakit,
terutama cedera kepala. Di RSUP Fatmawati kasus cedera kepala merupakan
kasus terbanyak kedua setelah apendisitis. Salah satu penanganan cedera kepala
yaitu dengan pembedahan yang meliputi pembedahan dekompresi, kraniotomi
dan pemasangan drainase, pembedahan debridemen dan evakuasi, evakuasi
perdarahan, atau dekompresi kraniotomi dengan duraplasti. Efek dari
pembedahan tersebut yang dirasakan oleh anak adalah gangguan rasa nyaman
paska pembedahan berupa nyeri. Oleh karena itu, perlu dilakukan penanganan
nyeri yang sesuai pada anak dengan melakukan intervensi terapi non
farmakologi berupa terapi musik audio visual. Diharapkan dengan
pengaplikasian konsep tersebut dapat menyelesaikan masalah pemenuhan rasa
nyaman berupa nyeri pada anak paska pembedahan.
Universitas Indonesia

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


6

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi musik audio visual
pada anak dengan gangguan pemeliharaan rasa nyaman pada anak cedera
kepala sedang paska pembedahan kraniotomi.

1.3.2 Tujuan Khusus


1.3.2.1 Mahasiswa mampu membuat perencanaan asuhan keperawatan yang tepat
pada pasien cedera kepala paska pembedahan kraniotomi.
1.3.2.2 Mahasiswa mampu mengidentifikasi masalah gangguan rasa nyaman pada
anak paska pembedahan kraniotomi.
1.3.2.3 Mahasiswa mampu mengaplikasikan terapi musik audio visual dalam
mengurangi gangguan rasa nyaman pada anak paska pembedahan kraniotomi.
1.3.2.4 Mahasiswa mampu menganalisis keefektifan terapi musik audio visual dalam
mengurangi gangguan rasa nyaman pada anak cedera kepala paska
pembedahan kraniotomi.

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Manfaat Bagi Masyarakat
Karya ilmiah ini dapat menambah pengetahuan keluarga pasien tentang cedera
kepala, sehingga dapat melakukan upaya pencegahan cedera kepala pada anak
dan dapat menerapkan terapi musik audio visual dalam melakukan perawatan
pada anak paska pembedahan dengan masalah gangguan pemenuhan rasa
nyaman.

1.4.2 Manfaat Bagi Perawat


Karya ilmiah ini bermanfaat dalam memberikan asuhan keperawatan yang
tepat untuk menangani gangguan pemenuhan rasa nyaman pada anak paska
pembedahan.

Universitas Indonesia

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


7

1.4.3 Manfaat Bagi Pendidikan


Karya ilmiah ini berguna sebagai bahan pengajaran dan pengembangan ilmu
yang dapat memperkaya wawasan dan pengetahuan terkait konsep terapi
musik audio visual yang dapat digunakan untuk memberikan asuhan
keperawatan pada anak dengan gangguan rasa nyaman.

Universitas Indonesia

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cedera Kepala


2.1.1 Definisi
Cedera kepala merupakan proses patologis yang dapat menyerang kulit
kepala, tulang tengkorak, meningen, atau otak akibat gaya mekanis (Wong,
Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009). Selain itu, cedera
kepala merupakan suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang kranium,
atau struktur di bawah tulang yang disebabkan karena suatu benturan atau
penetrasi (Ball & Bondler, 2003). Sedangkan menurut Burns, Dunn, Brady,
Starr, dan Blosser (2013), cedera kepala merupakan suatu trauma yang
meliputi kerusakan jaringan otak dan struktur sekitarnya yang terdapat dalam
rentang ringan, sedang, dan berat.

2.1.2 Etiologi
Tiga penyebab utama kerusakan otak pada masa kanak-kanak secara
berurutan dari yang terbanyak adalah cedera terjatuh, cedera kendaraan
bermotor, dan cedera sepeda. Cedera neurologik memiliki angka mortalitas
tertinggi, dan anak laki-laki terkena dua kali lipat daripada anak perempuan.
Pada kecelakaan kendaraan bermotor, anak-anak yang berusia kurang dari 2
tahun hampir selalu mengalami cedera sebagai penumpang kendaraan,
sementara anak-anak yang lebih besar dapat mengalami cedera sebagai
pejalan kaki atau pengendara sepeda. Mayoritas kematian akibat trauma otak
yang disebabkan cedera sepeda terjadi pada usia 5 sampai 15 tahun (Wong,
Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009).

2.1.3 Patofisiologi
Patologi cedera otak berkaitan langsung dengan gaya benturan. Isi intrakranial
(otak, darah, CSS) akan mengalami kerusakan karena gaya yang terlalu besar
untuk diredam oleh tulang tengkorak dan muskuloligamentum penunjang

8 Universitas Indonesia

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


9

kepala. Tengkorak bayi dan anak kecil yang elastis serta mudah berubah
bentuk akan menyerap sebagian besar energi langsung dari benturan fisik
pada kepala, serta memberi perlindungan pada struktur intrakranial. Meskipun
jaringan saraf sangat halus, umumnya untuk menimbulkan kerusakan yang
signifikan memerlukan pukulan atau benturan yang hebat (Wong,
Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009).

Cedera kepala dikategorikan menjadi dua yaitu cedera primer dan cedera
sekunder. Cedera primer terjadi pada saat terjadinya injuri dan yang
menginisiasi terjadinya kerusakan seluler. Cedera kepala primer adalah cedera
yang terjadi pada saat trauma, dan meliputi fraktur tengkorak, kontusio,
hematoma intrakranial, dan cedera difus (Wong, Hockenberry, Wilson,
Winkelstein, & Schwarts, 2009). Cedera ini disebabkan karena benturan
kepala langsung (coup injury) dan perpindahan akselerasi-deselerasi otak di
dalam tengkorak (countercoup injury). Pada saat itu dapat terjadi peningkatan
tekanan arteri dan intrakranial, apnea, dan penurunan kesadaran (Ball &
Bindler, 2003).

Gaya fisik bekerja pada kepala melalui akselerasi, deselerasi, atau deformasi.
Akselerasi (peningkatan kecepatan) atau deselesari (pengurangan kecepatan)
lebih menggambarkan keadaan yang menyebabkan sebagian besar cedera
kepala. Jika kepala yang diam menerima benturan maka akselerasi mendadak
menyebabkan deformasi tengkorak dan pergerakan massa otak. Gerakan isi
intrakranial yang terus-menerus menyebabkan otak menghantam bagian-
bagian tengkorak (misalnya tepi tajam sfenoid atau permukaan fosa anterior
yang tidak beraturan) atau bagian tepi tentorium (Wong, Hockenberry,
Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009).

Volume otak tidak akanberubah pada saat terjadi cedera kepala, akan tetapi
distorsi yang signifikan akan terjadi pada saat otak berubah bentuk sebagai

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
10

respon terhadap kekuatan benturan pada tengkorak. Gerakan ini dapat


menyebabkan memar pada titik benturan (coup) dan/ atau pada tempat jauh
dari benturan (countercoup) ketika otak membentur permukaan tengkorak
yang tidak lentur. Deselerasi yang tiba-tiba, seperti yang terjadi pada saat
jatuh, menyebabkan cedera serebral yang paling hebat pada titik benturan.
Anak-anak dengan cedera akselerasi atau deselerasi memperlihatkan
pembengkakan otak difus atau redistribusi volume darah (hiperemia serebral),
bukan akibat peningkatan kandungan air (edema), seperti yang terlihat pada
otak dewasa (Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009).

Akibat lain yang ditimbulkan oleh gerakan otak adalah regangan yang
merobek (shearing stresses), yang dapat menyebabkan ruptur pembuluh arteri
kecil dan menyebabkan hematoma subdural. Sumber kerusakan lainnya
terjadi jika kompresi berat pada tengkorak memaksa otak melewati hiatus
tentorium.Keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan batang otak yang tidak
dapat diperbaiki (Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts,
2009).

Cedera kepala sekunder merupakan respon biokomia dan seluler terhadap


lanjutan keparahan dan terjadi segera dalam beberapa jam, hari, atau minggu.
Kerusakan biasanya diakibatkan dari destruksi jaringan otak akibat hipoksia,
perubahan sawar darah otak, perdarahan, infeksi, atauedema lanjutan yang
akhirnya menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Ball & Bindler,
2003; Glasper & Richardson, 2006). Puncak terjadinya edema 24-48 jam
setelah cedera kepala (Glasper & Richardson, 2006). Karakteristik yang
dominan pada cedera otak anak adalah jumlah penyebaran pembengkakan
yang terjadi. Hipoksia dan hiperkapnia mengancam kebutuhan energi otak dan
meningkatkan aliran darah otak. Penambahan volume darah yang melintasi
sawar darah otak serta hilangnya autoregulasi akan memperburuk edema
serebral. Tekanan dalam tengkorak yang lebih tinggi daripada tekanan arterial

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
11

akan mengakibatkan perfusi darah tidak memadai (Wong, Hockenberry,


Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009). Kejang dan infeksi sistem saraf
pusat juga mungkin dapat terjadi pada cedera sekunder (Glasper &
Richardson, 2006).

Hiperemia serebral terjadi lebih sering pada anak-anak dan ekspansi volume
darah membuat anak cenderung mengalami hipertensi kranial. Meski
demikian, karena kranium anak-anak yang masih sangat kecil memiliki
kemampuan mengembang dan tulang tengkorak yang tipis bersifat lentur,
kepala anak lebih mampu menoleransi peningkatan TIK dibandingkan dengan
anak-anak yang lebih besar dan orang dewasa. Anak memiliki prognosis yang
secara signifikan lebih baik dan angka motalitasnya lebih rendah akibat
trauma kepala berat, selain itu pasien anak juga menunjukkan insidensi massa
lesi bedah yang lebih rendah setelah trauma kepala berat (Wong,
Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009).

2.1.3.1 Komosio Serebral


Komosio serebral merupakan disfungsi neuron sepintas yang reversibel,
disertai hilang kesadaran dan responsivitas yang terjadi seketika akibat trauma
pada kepala, berlangsung dalam waktu yang relatif singkat yaitu biasanya
beberapa menit atau jam. Umumnya komosio serebral diikuti dengan amnesia
pada saat cedera dan periode paskacedera yang bervariasi. Gejala bingung dan
amnesia setelah cedera kepala merupakan tanda terjadinya komosio serebral
(Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009).

Patogenesis komosio masih belum jelas, tetapi keadaan ini dapat terjadi
karena adanya shearing forces yang menyebabkan tarikan atau regangan,
kompresi, dan robekan serabut saraf, terutama di area batang otak yang
merupakan lokasi sistem aktivasi retikular (RAS). Perubahan anatomis pada
serabut-serabut saraf juga menyebabkan pelepasan sejumlah asetilkolin ke

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
12

dalam cairan serebrospinal dan pengurangan konsumsi oksigen disertai


peningkatan produksi laktat (Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein, &
Schwarts, 2009).

2.1.3.2 Kontusio dan Laserasi


Kontusio serebral (memar otak) dan laserasi serebral merupakanluka memar
dan robekan yang tampak nyata pada jaringan serebral. Kontusio
memperlihatkan gambaran perdarahan peteki di sepanjang aspek superfisial
otak pada lokasi trauma langsung (cedera countercoup). Pada kecelakaan
serius mungkin terdapat lebih dari satu area cedera. Daerah-daerah utama otak
yang rentan terhadap kontusio dan laserasi adalah lobus oksipital, frontal, dan
temporal. Demikian pula permukaan fosa anterior dan media yang tidak rata
pada dasar tengkorak dapat menimbulkan luka memar atau laserasi jika terjadi
benturan yang sangat kuat (Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein, &
Schwarts, 2009).

Kontusio dapat menimbulkan gangguan fokal pada kekuatan, sensibilitas, atau


kesadaran visual. Derajat kerusakan otak pada daerah yang mengalami
kontusio bervariasi sesuai dengan luasnya cedera vaskular. Tanda-tanda yang
muncul terlihat beragam mulai dari kelemahan ekstremitas ringan, transien
sampai keadaan tidak sadar yang berlangsung lama dan paralisis. Meski
demikian, tanda-tanda dan gejala kontusio serebral mungkin secara klinis
tidak bisa dibedakan dengan komosio serebral (Wong, Hockenberry, Wilson,
Winkelstein, & Schwarts, 2009).

Umumnya laserasi serebral dihubungkan dengan fraktur tulang tengkorak


akibat penetrasi atau depresi.Akan tetapi, laserasi dapat terjadi tanpa fraktur
pada anak kecil. Jika jaringan otak benar-benar terkoyak, disertai perdarahan
ke dalam robekan atau disekitarnya, biasanya akan terjadi paralisis dan

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
13

keadaan tidak sadar yang lebih berat dan beberapa derajat kecacatan yang
permanen (Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009).
2.1.3.3 Fraktur
Tulang tengkorak imatur bayi bersifat fleksibel, sehingga mampu menahan
beberapa derajat deformasi yang lebih besar dibandingkan tengkorak orang
dewasa sebelum mengalami fraktur. Kekuatan yang sangat besar diperlukan
untuk menimbulkan fraktur pada tulang tengkorak bayi. Akan tetapi pada
permukaan di bawah tulang tengkorak terdapat alur-alur yang berisi pembuluh
arteri meningeal. Fraktur yang melintasi salah satu alur ini dapat merobek
aliran tersebut, dan dapat menimbulkan perdarahan yang hebat serta merusak.
Jenis-jenis fraktur yang dapat terjadi adalah sebagai berikut (Wong,
Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009):
a. Fraktur linier
Fraktur linier adalah fraktur dengan garis fraktur yang ditentukan oleh
lokasi serta percepatan benturan selain oleh kekuatan tulang itu sendiri.
Fraktur ini jarang dijumpai pada bayi dibawah usia 2-3 tahun, tetapi
merupakan mayoritas fraktur tulang tengkorak pada masa kanak-kanak.
b. Fraktur impresi
Fraktur impresi adalah fraktur tulang yang bersifat lokal, biasanya tulang
patah menjadi beberapa fragmen yang terdorong ke dalam sehingga
menekan otak. Fragmen tulang bagian dalam mengalami fraktur yang
lebih luas daripada bagian luar, dan hampir selalu menimbulkan robekan
pada durameter. Fraktur impresi jarang ditemukan pada anak-anak yang
berusia di bawah 2-3 tahun.
c. Fraktur terbuka
Fraktur terbuka terdiri atas laserasi kulit yang meluas sampai mencapai
tempat fraktur tulang yang bisa berupa fraktur linier, impresi, kominutif
(fraktur lebih dari 2 fragmen).

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
14

d. Fraktur basilar
Fraktur basilar mengenai bagian os frontalis, etmoidalis, sfenoidalis,
temporalis atau oksipitalis. Karena dekatnya garis fraktur dengan struktur
yang mengelilingi batang otak, keadaan ini merupakan cedera kepala yang
serius.
e. Fraktur diastatik
Fraktur diastatik adalah keadaan traumatik yang menyebabkan terpisahnya
sutura kranial. Fraktur ini paling sering mengenai sutura lambdoidea dan
jarang terlihat setelah 4 tahun pertama.Fraktur diastatik tidak memerlukan
penanganan spesifik, tetapi harus diamati untuk mendeteksi „perluasan
fraktur‟ dan pembentukan kista yang berisi cairan.

2.1.4 Komplikasi
Komplikasi utama cedera kepala adalah perdarahan, infeksi, edema, dan
herniasi yang melalui tentorium. Infeksi hampir selalu menjadi ancaman yang
berbahaya untuk cedera terbuka, dan edema dihubungkan dengan trauma
jaringan. Ruptur vaskular dapat terjadi sekalipun pada cedera kepala ringan,
keadaan ini menyebabkan perdarahan di antara tulang tengkorak dan
permukaan serebral. Kompresi otak dibawahnya yang akan menghasilkan
efek dapat menimbulkan kematian dengan cepat atau keadaan yang semakin
memburuk (Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009).

2.1.4.1 Perdarahan Epidural


Darah terakumulasi diantara durameter dan tulang tengkorak sehingga
membentuk suatu hematoma yang dapat mengakibatkan pendesakan isi otak
di bawahnya ke arah bawah dan dalam ketika otak tersebut berekspansi
(Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009). Pada
umumnya perdarahan berasal dari pembuluh arteri sehingga kompresi otak
terjadi dengan cepat (Pillitteri, 2004). Sebagian besar perluasan hematoma
terjadi di daerah paritotemporal, mendesak bagian medial lobus temporal di

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
15

bawah tepi tentorium. Desakan ini menyebabkan penekanan saraf dan


pembuluh darah. Gambaran klinis yang klasik pada perdarahan epidural
(hilang kesadaran sementara yang dilanjutkan dengan periode normal,
kemudian letargi atau koma) jarang terlihat pada anak-anak (Wong,
Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009). Tanda-tanda adanya
kompresi korteks diantaranya muntah, penurunan kesadaran, sakit kepala,
kejang, hemiparese. Pemeriksaan fisik, dilatasi pupil yang tidak simetris,
postur dekortikasi mengindikasikan adanya tekanan yang ekstrim pada
korteks. Penekanan korteks dapat mengakibatkan kerusakan pada batang otak,
fungsi respirasi dan kardiovaskuler (Pillitteri, 2004).

Hematoma epidural yang signifikan secara klinis jarang ditemukan pada anak-
anak yang berusia kurang dari 4 tahun.Perbedaan ini mungkin disebabkan
oleh berkurangnya kelenturan tulang tengkorak terhadap fraktur, perdarahan
dari pembuluh darah kecil menyebabkan perdarahan yang lebih perlahan dan
tidak massif, dan kemungkinan penurunan kerentanan otak anak terhadap
perubahan tekanan (Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts,
2009).

2.1.4.2 Perdarahan Subdural


Perdarahan subdural merupakan perdarahan vena di ruang antara membran
durameter dan arachnoid (rongga subdural) (Pillitteri, 2004; Wong,
Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009). Frekuensi perdarahan
subdural lebih sering 10 kali dibandingkan dengan perdarahan epidural, dan
perdarahan subdural paling sering dijumpai pada bayi dengan insidensi
puncak pada usia 6 bulan yang diakibatkan karena trauma lahir, terjatuh,
serangan atau guncangan yang kuat (Wong, Hockenberry, Wilson,
Winkelstein, & Schwarts, 2009). Pada bayi umumnya mengalami peningkatan
tekanan intrakranial yang ditandai dengan kejang, muntah, hiperiritabilitas,
dan pembesaran kepala (Pilliteri, 2004). Berbeda dengan perdarahan epidural

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
16

yang terjadi ke arah dalam dengan mendesak jaringan otak yang kurang
resisten, perdarahan subdural cenderung berkembang lebih lambat dan
menyebar secara tipis serta luas sampai perdarahan ini dibatasi sekat
durameter yaitu falks serebral dan tentorium. Ruang subdural yang sempit dan
durameter yang melekat erat pada tulang tengkorak di daerah ini sangat rentan
terhadap peningkatan TIK (Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein, &
Schwarts, 2009).

2.1.4.3 Edema Serebral


Edema serebral diperkirakan terjadi pada saat 24 sampai 72 jam setelah
trauma kranioserebral. Edema serebral yang disebabkan karena cedera
vaskular atau selular yang bersifat langsung akan menimbulkan statis
vaskular, anoksia, dan vasodilatasi lanjut. Jika proses ini terus berlangsung
tanpa diketahui, TIK akan melampaui tekanan arterial dan muncul anoksia
lanjut yang fatal, dan/atau tekanan tersebut menyebabkan herniasi sebagian
otak pada tepi tentorium sehingga terjadi kompresi batang otak dan
menyumbat arteri serebral posterior. Pembengkakan serebral difus dan
perubahan aliran darah serebral merupakan pola lazim dijumpai pada cedera
kepala yang dialami anak-anak (Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein, &
Schwarts, 2009).

2.1.5 Pemeriksaan
2.1.5.1 Pengkajian Awal
Prioritas dalam tahap perawatan anak yang mengalami cedera kepala meliputi
pengkajian ABC (airway, breathing, circulation); evaluasi kemungkinan
syok; pemeriksaan neurologi, khususnya tingkat kesadaran; kesimetrisan pupil
dan respon terhadap cahaya; dan serangan kejang. Pengkajian tanda-tanda
vital anak dilakukan dengan cepat.Anak yang tegang dan gelisah dapat
memperlihatkan denyut nadi yang cepat, hiperventilasi, tampak pucat, dan

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
17

teraba dingin segera setelah mengalami cedera (Wong, Hockenberry, Wilson,


Winkelstein, & Schwarts, 2009).

Tanda-tanda okular seperti fiksasi dan dilatasi pupil, fiksasi dan konstriksi
pupil, dan pupil yang kurang atau tidak reaktif terhadap cahaya dan
akomodasi menunjukan peningkatan TIK atau terkenanya batang otak.
Pembuluh darah yang berdilatasi tanpa pulsasi menunjukkan peningkatan TIK
sebelum gambaran papil edema tampak jelas. Perdarahan retina terlihat pada
cedera kepala akut.Pemeriksaan kulit kepala untuk menemukan laserasi dan
palpasi untuk mendeteksi abnormalitas lainnya. Perubahan status mental
dibuktikan dengan anak semakin sulit dibangunkan, agitasi memuncak, timbul
tanda-tanda neurologik lateral fokal, atau perubahan tanda-tanda vital yang
tampak nyata, biasanya menunjukkan perluasan atau progresivitas proses
patologi dasar (Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009).

2.1.5.2 Pemeriksaan Diagnostik


Setelah dilakukan pemeriksaan fisik yang seksama, berbagai pengujian
diagnostikakan membantu menetapkan diagnostik yang lebih pasti mengenai
jenis dan luasnya cedera. Keparahan cedera kepala mungkin tidak tampak
pada pemeriksaan fisik anak, tetapi akan terdeteksi dengan pemeriksaan CT
Scan. Selanjutnya, pemeriksaan MRI dan pengkajian neurobehavioral yang
dilaksanakan segera setelah cedera kepala dapat membantu dalam
mendokumentasikan kerusakan kognitif yang berhubungan dengan perubahan
struktur otak pada anak. MRI akan memberikan gambaran jaringan lunak
yang lebih rinci dibandingkan dengan pemeriksaan non invasif. Pemeriksaan
EEG tidak banyak membantu untuk penegakan diagnostik, tetapi pemeriksaan
ini sangat berguna dalam menentukan aktivitas serangan kejang atau lesi
destruktif fokal paska-fase sakit yang akut.Pungsi lumbal jarang dilakukan
pada trauma kranioserebral dan dikontradiksikan jika terjadi peningkatan TIK
(Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009).

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
18

2.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada cedera kepala pada anak ditujukan untuk mengenali dan
menangani kondisi yang mengancam jiwa, serta mencegah terjadinya cedera
kepala sekunder.
2.1.6.1 Penatalaksanaan untuk Kondisi yang Mengancam Nyawa
Penatalaksanaan cedera kepala pada anak diantaranya (Vervie, 2014):
a. Airway
Kestabilan jalan napas sangat diperlukan pada pasien cedera kepala untuk
memberikan oksigenasi dan ventilasi yang adekuat. Stabilisasi tulang
servikal diperlukan pada pasien cedera kepala berat. Sedangkan
Pemasangan NGT dikontraindikasikan, khususnya pada pasien yang
dicurigai raktur basal kranal. Gagal napas dapat terjadi pada kasus
neurologis maupun trauma dada. Pasien dengan cedera kepala yang
mengalami perubahan status mental perlu mendapatkan oksigen 100% dan
dibantu dengan positive pressure ventilation(Vervive, 2014).
b. Status kardiovaskuler dan sirkulasi
Pemberian tekanan darah dalam batas normal merupakan tujuan dari
pengelolaan kardiovaskuler dengan tidak membuat peningkatan TIK yaitu
dengan memberikan tekanan darah suprafisiologis untuk memberikan
tekanan perfusi serebral (CPP) yang adekuat. Tekanan perfusi serebral
diartikan dengan tekanan darah arteri rata-rata (MAP) dikurangi tekanan
intrakranial (ICP), yaitu CPP = MAP-ICP. Selain itu, tekanan perfusi
serebral dikaitkan dengan kemampuan pengiriman darah ke otak dan
metabolisme yang akhirnya berkaitan erat dengan iskemia. Pemberian
resusitasi cairan yang cukup dengan cairan isotonik ditujukan untuk
menjaga pengisian tekanan yang cukup, cardiac output yang normal, dan
tekanan darah yang normal (Vervie, 2014).
c. Tekanan intrakarial dan perfusi serebral
Peningkatan tekanan intrakranial di atas 20 mmHg menunjukkan kondisi
yang lebih buruk pada anak-anak. Terapi diuresis osmotik dugunakan

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
19

untuk mengatasi hipertensi kranial dan mempertahankan TIK di bawah 20


mmHg. Osmolaritas cairan harus dipertahankan kurang dari 360 mOsm/L.
Selain itu, hiperventilasi dapat menurunkan TIK dengan cara hipokapnia
yang akan menginduksi untuk vasokonstriksi dan mengurangi volume
aliran darah di otak. Namun, hiperventilasi juga dapat menurunkan
oksigenasi otak dan dapat menyebabkan iskemia. Oleh karena itu, untuk
menghindari hiperventilasi berat harus diperhatikan nilai PaCO2 yang
kurang dari 30 mmHg pada 48 jam setelah cedera (Vervie, 2014).
d. Serangan kejang
Post trauma kejang, terjadi pada sekitar 10% anak dengan cedera kepala
yang disebabkan karena peningkatan TIK, kebutuhan metabolisme otak,
hipoksia dan hipoventilasi. Pemberian benzodiazepine atau phenytoin
dapat digunakan untuk mencegah terjadinya kejang (Vervie, 2014).
e. Suhu
Hipertermi pada pasien cedera kepala dapat mengakibatkan peningkatan
volume darah dan tekanan intrakranial yang akhirnya dapat menyebabkan
cedera sekunder (Vervie, 2014).
f. Perdarahan
Manajemen perdarahan ditujukan untuk mengurangi resiko perdarahan
intrakranial lebih lanjut dan mengidentifikasi perlunya terapi pembedahan
(Vervie, 2014). Jika terdapat perdarahan intrakranial lebih dari 30cc, maka
diindikasikan untuk dilakukannya pembedahan untuk evakuasi perdarahan
(Bullock, dkk., 2006)
g. Analgesik, sedasi, blok neuromuskular
Sedasi dan agen paralisis digunakan untuk mencegah agitasi dan aktivitas
muskular yang dapat meningkatkan TIK. Selain itu, etomidat dan
thiopental dapat mengontrol hipertensi intrakranial. Pemberian terapi
barbiturate dapat menurunkan aliran darah ke otak dan menurunkan TIK
(Vervie, 2014).

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
20

2.1.6.2 Pembedahan
Intervensi pembedahan pada pasien anak dengan cedera kepala diantaranya
untuk pembedahan dekompresi, kraniotomi dan drainase, pembedahan
debridemen dan evakuasi, pembedahan elevasi, kraniotomi dengan duraplasti
(Vervie, 2014).

2.1.6.3 Terapi Farmakologi


Terapi farmakologi pada pasien dengan cedera kepala ditujukan untuk
mengontrol tekanan intrakranial dengan memberikan sedasi dan
neuromuskular bloker, diuretik, dan antikonvulsan (Vervie, 2014).

2.2 Nyeri
2.2.1 Definisi Nyeri
Nyeri adalah suatu pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat aktual atau potensial
dapat disebabkan karena suatu proses penyakit, protokol pengobatan,
intervensi pembedahan, atau cedera (International Association for Study of
Pain, 2007 dalam Ricci & Kyle, 2009). Menurut Black dan Hawks (2009)
nyeri adalah suatu perasaan yang tidak menyenangkan dan disebabkan oleh
stimulus spesifik mekanis, kimia, elektrik pada ujung-ujung saraf dan tidak
dapat dipindahkan kepada orang lain.

2.2.2 Fisiologi Nyeri


Sensasi nyeri merupakan suatu fenomena yang kompleks yang melibatkan
sistem saraf.Mekanisme nyeri terdiri dari transduksi, transmisi, persepsi, dan
modulasi (Ricci & Kyle, 2009).

2.2.2.1 Transduksi
Serabut saraf perifer yang merupakan perpanjangan dari medulla spinalis
menuju lokasi tempat stimulus melalui jaringan tubuh seperti kulit, sendi,

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
21

tulang, dan membran yang melapisi organ. Akhir dari serabut ini sebagai
reseptor yang disebut dengan nosiseptor yang diaktivasi ketika terdapat
stimulus bahaya seperti mekanik, kimiawi, dan suhu yang ekstrim. Stimulus
mekanik seperti tekanan, kontraksi otot yang berlebihan. Stimulasi kimiawi
dapan mengeluarkan mediator histamin, prostaglandin, leukotrienes,
bradikinin sebagai respon trauma jaringan, iskemia, atau inflamasi. Proses
pengaktifan nosiseptor disebut dengan transduksi (Ricci & Kyle, 2009).

2.2.2.2 Transmisi
Ketika nosiseptor diaktivasi, stimulus tersebut dikonversi menjadi impuls
listrik yang menjalar dari saraf perifer yaitu saraf aferen menuju medulla
spinalis dan otak.Ada dua tipe serabut saraf yang terlibat dalam transmisi
nyeri. Serabut delta A yang besar dan bermielin mengkonduksikan impuls
yang sangat cepat biasanya berkaitan dengan stimulus mekanik atau suhu.
Selain itu, serabut delta C yang kecil dan tidak bermielin mentransmisikan
impuls secara lambat dan biasanya diaktivasi oleh stimulus kiwiawi, stimulus
mekanik lanjutan, atau suhu. Serabut ini menjalarkan impuls ke medulla
spinalis melalui dorsal horn. Neurotransmitter dibutuhkan untuk proses
transmisi ke otak (Porth, 2004 dalam Ricci & Kyle, 2009).

Teorigate control yang menyatakanstimulasi serabut saraf mentransmisikan


stimulus yang tidak menyakitkan dapat memblok impuls nyeri di dorsal horn.
Misalnya, saat reseptor sentuhan (serabut A beta) distimulasi, mereka
mendominasi dan menutup pintu. Sentuhan dapat memblok transmisi dan
durasi impuls nyeri. Hal ini memiliki implikasi untuk penggunaan sentuhan
dan masase untuk pasien yang mengalami nyeri (Helms & Barone, 2008)

2.2.2.3 Persepsi
Impuls nyeri yang ditransmisikan melalui medulla spinalis diteruskan ke area
pusat otak dasar nyeri yaitu di thalamus. Thalamus merespon cepat dengan

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
22

mengirimkan impuls ke korteks serebri somatosensori, dimana impuls


akandiinterpretasikan sebagai rasa nyeri. Thalamus juga mengirimkan impuls
ke sistem limbik dimana sensasi nyeri akan diinterpretasikan dalam bentuk
emosi, dan ke batang otak dimana tempat sistem autoregulasi respon dimulai
(Ricci & Kyle, 2009).

2.2.2.4 Modulasi
Substansi yang berperan adalah neuromodulator yang muncul untuk
memodifikasi sensasi nyeri. Substansi ini terdiri dari serotonin, endorphin,
encephalin, dan dinorphin yang merubah persepsi seseorang terhadap nyeri.
Persepsi nyeri dapat dimodifikasi secara perifer atau sentral. Pada serabut
saraf perifer, substansi kimia yang dikeluarkan dapat menstimulasi impuls
nyeri, sehingga seseorang dapat merasakan semakin nyeri. Sedangkan
modifikasi untuk persepsi nyeri dapat juga terjadi dengan melalui saraf pusat
di medulla spinalis khususnya dorsal horn. Substansi yang dikeluarkan dengan
interneuron dapat menimbulkan sensasi nyeri, namun terdapat agen
neurokimiawi reseptor spesifik yang dapat menghambat persepsi nyeri
seseorang (Ricci & Kyle, 2009).

2.2.3 Klasifikasi Nyeri


Klasifikasi nyeri berdasarkan durasi, dibedakan menjadi akut dan kronik.
Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri yang terjadi dalam waktu cepat,
berlangsung beberapa hari, dan memiliki intensitas yang bervariasi, biasanya
disebabkan karena kerusakan jaringan dan akan sembuh dengan proses
penyembuhan luka secara normal. Nyeri akut disebabkan karena trauma,
prosedur invasif, penyakit akut seperti radang tenggorokan, apendisitis, atau
pembedahan. Nyeri kronik didefinisikan sebagai nyeri yang berkepanjangan
yang melebihi waktu penyembuhan luka secara normal yang dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari. Nyeri kronik biasanya disebabkan karena

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
23

maligna dan non-maligna seperti artritis, multipel sklerosis, pankreatitis


kronis, infeksi saluran cerna kronis (Ricci & Kyle, 2009).

Klasifikasi nyeri berdasarkan etiologi dibedakan menjadi nosiseptif dan


neuropatik. Nyeri nosiseptik merupakan refleks nyeri yang berasal dari
aktivasi serabut delta A dan delta C yang distimulus bahaya. Nyeri nosiseptif
ini bervariasi tergantung pada lokasi dan luasnya jaringan yang mengalami
kerusakan dan fungsi sistem saraf yang normal misalnya karena terbakar,
tertusuk benda tajam. Sedangkan, nyeri neuropatik merupakan nyeri akibat
gangguan fungsi sistem saraf perifer atau sentral, terasa terus menerus
misalnya pada neuropati, nyeri paska stroke (Ricci & Kyle, 2009).

Klasifikasi nyeri berdasarkan sumber dan lokasi nyeri dibedakan menjadi


nyeri somatik dan nyeri viseral. Nyeri somatik mengarah pada nyeri yang
berasal dari jaringan yang superfisial atau dalam. Nyeri superfisial disebut
juga nyeri kulit (cutaneus pain) yang meliputi stimulasi dari nosiseptif di
kulit, jaringan subkutan, dan membran mukosa. Nyeri somatik dalam berasal
dari otot, tendon, sendi, fasia, dan tulang biasanya disebabkan karena injuri,
iskemia, dan inflamasi. Selanjutnya, nyeri viseral merupakan nyeri yang
berkembang di dalam organ seperti hati, paru-paru, pankreas, empedu, ginjal,
kandung kemih. Nyeri ini digambarkan nyeri dalam atau tajam, dan dapat
menyebar ke area lain (Ricci & Kyle, 2009).

2.2.4 Respon Nyeri


2.2.4.1 Respon Fisiologis
Peningkatan tanda-tanda vital seperti denyut nadi, frekuensi pernapasan, dan
tekanan darah (Ricci & Kyle, 2009; Wong, Hockenberry, Wilson,
Winkelstein, & Schwarts, 2009). Selain itu, indikator nyeri pada anak meliputi
peningkatan tekanan intrakranial dan resistensi pembuluh darah pulmonal dan
penurunan saturasi oksigen (Ricci & Kyle, 2009).

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
24

2.2.4.2 Respon Perilaku


Ekspresi wajah yang dapat ditunjukkan oleh anak ketika merasa nyeri
misalnya ketidaknyamanan, meringis, atau menangis (Ricci & Kyle, 2009).
Selain itu, anak biasanya mengerutkan dahi, menggigit bibir, gelisah,
immobilisasi, mengalami ketegangan otot, melakukan gerakan melindungi
bagian tubuh sampai dengan menghindari percakapkan, menghindari kontak
sosial dan hanya berfokus pada aktivitas penghilang nyeri (Wong,
Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009).

2.2.5 Penilaian Skala Nyeri


Skala (alat) penilaian nyeri merupakan tindakan pelaporan nyeri yang bersifat
kuantitatif. Untuk mendapatkan penilaian intensitas nyeri yang paling valid
dan dapat dipercaya maka skala yang dipilih disesuaikan dengan usia,
kemampuan, dan kesukaan anak (Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein,
& Schwarts, 2009). Berikut adalah beberapa skala penilaian nyeri untuk anak-
anak:

2.2.5.1 Wong-Baker Faces Pain Rating Scale


Wong-Baker Faces Pain Rating Scale atau biasa disebut skala wajah, yang
dapat digunakan untuk anak-anak yang berusia minimal 3 tahun. Terdiri atas
enam wajah kartun yang memiliki rentang dari wajah tersenyum untuk “tidak
ada nyeri” sampai wajah terurai air mata untuk “nyeri yang paling berat”.
Perawat menjelaskan skala kata-kata yang terkait dengan wajah masing-
masing, kemudian anak diminta untuk memilih ekspresi wajah yang
menunjukkan nyeri yang sedang dirasanya (Ricci & Kyle, 2009; Wong,
Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009).

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
25

Tidak nyeri Sedikit Agak Mengganggu Sangat Tak


sakit mengganggu aktvitas mengganggu tertahankan

Gambar 2.1 Wong-Baker Faces Pain Rating Scale


Sumber: Wong, D. L., Hockenberry-Eaton, M., Wilson, D., Winkelstein, M. L., & Schwartz,
P. (2001). Wong’s essentials of pediatric nursing (7th ed.). St. Louis: Mosby, Inc.

2.2.5.2 Oucher Pain Rating Scale


Oucher merupakan skala pengukuran nyeri yang terdiri atas dua skala yang
terpisah. Terdiri atas enam foto wajah anak yang menggambarkan “tidak
nyeri” sampai “nyeri terberat yang pernah kamu rasakan”. Sebuah skala
numerik dengan nilai 0-100 pada sisi sebelah kiri untuk anak yang lebih besar
dan skala fotografik enam gambar untuk anak yang lebih kecil. Foto wajah
seorang anak (dengan peningkatan rasa tidak nyaman) dirancang sebagai
petunjuk untuk memberi anak-anak pengertian sehingga dapat memahami
makna dan tingkat keparahan nyeri. Skala Oucher dianjurkan digunakan
untuk anak-anak usia 3-13 tahun(Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein,
& Schwarts, 2009).

2.2.5.3 Poker Chip Tool


Pocer chip toolmerupakan skala pengukuran nyeri yang menggunakan empat
kepingan poker yang diletakkan secara horizontal di depan anak. Perawat
meminta anak untuk mengambil kepingan poker, semakin banyak jumlah
yang diambil semakin menunjukkan nyeri yang hebat. Skala ini dapat
digunakan untuk anak- anak minimal 4 tahun (Ricci & Kyle, 2009).

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
26

2.2.5.4 Word-Graphic Rating Scale


Word Graphic Rating Scale menggunakan kata-kata deskriptif (dapat
bervariasi pada skala yang lain) untuk menunjukkan intensitas nyeri yang
bervariasi. Pengunaan skala ini dengan menjelaskan pada anak bahwa ini
adalah sebuah garis horizontal yang menerangkan seberapa nyeri yang
dialami, kemudian anak diminta menandai lokasi pada skala tersebut. Skala
ini dianjurkan untuk digunakan pada anak-anak usia 4-17 tahun (Ricci &
Kyle, 2009; Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009).

tidak sedikit nyeri nyeri nyeri


nyeri nyeri sedang berat hebat
Gambar 2.2 Word Graphic Rating Scale
Sumber: Wong, D. L., Hockenberry-Eaton, M., Wilson, D., Winkelstein, M. L., & Schwartz,
P. (2001). Wong’s essentials of pediatric nursing (7th ed.). St. Louis: Mosby, Inc.

2.2.5.5 Visual Analog and Numeric Scales


Visual analog dan numeric scales terdiri dari sebuah garis horizontal atau
vertikal dengan titik akhir yang ditandai. Skala analog visual dengan titik awal
adalah tidak merasakan nyeri sampai nyeri terhebat. Sedangkan skala numerik
memiliki titik dari 0 sampai 10 yang mencerminkan tidak nyeri sampai nyeri
terhebat. Setelah perawat menjelaskan pada anak, anak diminta untuk
menandai jumlah nyeri yang dirasakannya. Pengukuran skala numerik dapat
digunakan untuk anak usia minimal 5 tahun, dan visual analog scaledapat
digunakan untuk anak usia minimal 4,5 tahun atau setidaknya usia 7 tahun
(Ricci & Kyle, 2009; Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts,
2009).

2.2.5.6 Adolescent Pediatric Pain Tool


Pengukuran skala nyeri berguna untuk anak-anak biasanya usia 8 sampai 17
tahun. Pengukuran ini menilai tiga aspek penilaian yaitu lokasi nyeri pada dua
ilustrasi tubuh depan dan belakang, internsitas nyeri dengan cara mewarnai

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
27

daerah tersebut dengan empat buah krayon yang telah dipilih untuk
menunjukkan nyeri paling sakit, nyeri yang lebih sedikit dibandingkan
sebelumnya, sedikit nyeri, dan tidak ada nyeri. Selanjutnya, penilaian terakhir
dengan menggunakan daftar kata-kata yang dapat digunakan untuk
menggambarkan rasa nyeri seperti berdenyut, berdebar-debar, menusuk, atau
tajam (Ricci & Kyle, 2009; Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein, &
Schwarts, 2009).

2.2.6 Penatalaksanaan Nyeri


Penatalaksanaan nyeri dibagi menjadi dua kategori yaitu intervensi non
farmakologi dan farmakologi (Ricci & Kyle, 2009; Wong, Hockenberry,
Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009).
2.2.6.1 Penatalaksanaan Non Farmakologi
Teknik non farmakologi dapat efektif untuk mengatasi nyeri ringan,
sedangkan untuk nyeri sedang dan berat dibutuhkan untuk mendapatkan
medikasi (Ricci & Kyle, 2009). Terapi non farmakologi dapat memberikan
strategi koping yang dapat mengurangi persepsi nyeri, membuat nyeri dapat
ditoleransi, menurunkan kecemasan, dan meningkatkan efektivitas anagesik
(Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009).
Penatalaksanaan terapi non farmakologi dibedakan menjadi dua tipe yaitu
behavior-cognitive staregy dan biophysical strategy (Ricci & Kyle, 2009).

Behavior-cognitive staregy merupakan manajemen nyeri yang meliputi


pemokusan pada area spesifik dari pada area yang nyeri. Strategi ini
membantu merubah interpretasi stimulus nyeri sehingga dapat mengurangi
persepsi nyeri dan nyeri dapat ditoleransi. Behavior-cognitive staregy meliputi
relaksasi, distraksi, guided imagery, biofeedback, thought stopping, positive
self talk. Relaksasi merupakan suatu teknik yang bertujuan untuk menurunkan
ketegangan otot dan kecemasan. Distraksi merupakan suatu manajemen nyeri
yang dilakukan dengan cara mengakan seseorang untuk berfokus pada

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
28

stimulus lainnya selain nyeri. Sedangkan guided imagery adalah teknik


perilaku kognitif dimana seseorang dipandu untuk membayangkan kondisi yang
santai atau tentang dan pengalaman yang menyenangkan. Biofeedback
merupakan suatu teknik dengan menyadarkan anak tentang suatu fungsi tubuh,
bagaimana pengaruh nyeri terhadap ketegangan otot, frekuensi pernapasan,
frekuensi nadi, dan tekanan darah yang bertujuan agar anak mampu mengontrol
nyeri tanpa menggunakan suatu media. Selanjutnya thought stopping dan positive
talk merupakan teknik menejemen nyeri dengan menggunakan pikiran positif
yang akhirnya akan menjadi sugesti dapat menurunkan nyeri (Ricci & Kyle,
2009).

Biophysical strategy berfokus pada menghambat transmisi impuls nyeri yang


sampai ke otak. Intervensi ini meliputi tipe transfer stimulasi kutaneus pada
area yang nyeri. Stimulasi ini menurunkan kemampuan serabut delta A dan C
mentransmisikan impuls nyeri misalnya dengan cara kompres hangat dan
dingin, masase, dan transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
(Ricci & Kyle, 2009).

2.2.6.2 Penatalaksanaan Farmakologi


Intervensi farmakologi merupakan pemberian obat yang dutujukan untuk
mengurangi nyeri. Analgesik non opoid mencakup asetaminofen (titenol dan
parasetamol) dan obat anti-inflamasi non steroid (AINS) dapat digunakan
untuk mengatasi nyeri ringan sampai sedang, sedangkan opoid dugunakan
untuk mengatasi nyeri sedang sampai berat (Wong, Hockenberry, Wilson,
Winkelstein, & Schwarts, 2009).

2.3 Terapi Musik Audio Visual


2.3.1 Definisi
Terapi musik audio visual merupakan suatu terapi gabungan dari terapi musik
yang disajikan dalam bentuk video yang dapat mengurangi rasa nyeri dan

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
29

tingkat kecemasan. Terapi musik adalah keahlian menggunakan musik atau


elemen musik oleh seorang terapis untuk menignkatkan, mempertahankan,
dan mengembalikan kesehatan mental, fisik, emosional, dan spiritual. Terapi
musik juga diartikan sebagai usaha untuk menignkatkan kualitas fisik dan
mental dengan rangsangan suara yang terdiri dari melodi, ritme, harmoni,
trimbe, bentuk gaya yang diorganisir sedemikian rupa hingga musik yang
bermafaat untuk kesehatan fisik dan mental (Kustiningsih, 2013).

Sedangkan teknik audio visual merupakan suatu bentuk intervensi dengan


distraksi untuk mengurangi nyeri. Menurut Bagnasco, Pezzi, Rossa, Fornoni,
Sasso (2012) mengatakan bahwa teknik distraksi audio visual dapat
mengurangi rasa nyeri pada anak yang dilakukan pemasangan infus. Menurut
Macralen dan Cohen (2007), pada anak semakin menarik objek distraksi, akan
semakin besar pengurangan rasa nyeri yang dirasa, misalnya dengan terapi
musik audio visual, dibandingkan dengan terapi musik saja. Hal ini terjadi
karena keefektifan teknik distraksi berkaitan dengan meningkatnya
kemampuan mengalihkan perhatian dari stimulus yang menyakitkan.
Penelitian Prabhakar & Marwah (2007) menyatakan bahwa terapi musik audio
visual lebih efektif mengurangi nyeri dan kecemasan dibandingkan dengan
terapi musik saja pada paisen anak.

2.3.2 Manfaat Terapi Musik


Manfaat terapi musik audio visual diantaranya (Bradt, 2001):
2.3.2.1 Musik sebagai stimulus untuk distraksi
Musik sebagai stimulasi untuk distraksi sebagai hasil dari teori Gate Control.
Teori ini mengatakan bahwa saraf eferen desenden mengontrol persepsi nyeri
dengan mengirimkan informasi berupa perhatian, emosi, dan motivasi.
Distraksi dapat menurunkan persepsi terhadap nyeri, dan musik merupakan
stimulus yang sangat baik untuk memberikan pengalihan perhatian dari rasa
nyeri.

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
30

2.3.2.2 Musik sebagai stimulus untuk relaksasi


Berdasarkan siklus ketakutan-ketegangan-nyeri, tingginya tingkat kecemasan,
ketakutan, dan ketegangan otot dapat meningkatkan persepsi derajat nyeri.
Musik dapat menginduksi relaksasi karena dapat meningkatkan suasana hati
seseorang yang dapat meningkatkan pemulihan deplesi endorphin. Endorphin
tersebut dapat menurunkan ketegangan otot, menurunkan persepsi nyeri dan
kecemasan.

2.3.3 Mekanisme Dasar Terapi Musik


Musik dihasilkan dari stimulus yang dikirim dari akson-akson serabut sensori
asenden ke neuron-neuron Reticular Activating System (RAS). Stimulus ini
kemudian akan ditransmisikan oleh nuclei spesifik dari thalamus melewati
area-area korteks serebri, sistem limbik dan korpus kollosum serta melewati
area-area sistem saraf otonom dan sistem neuroendokrin. Sistem saraf otonom
berisi sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Musik dapat memberikan
rangsangan pada saraf simpatis dan saraf parasimpatis untuk menghasilkan
respon relaksasi. Karateristik respon relaksasi yang ditimbulkan berupa
penurunan frekuensi nadi, relaksasi otot, dan tidur (Tuner, 2001 dalam
Apriyani, 2010).

Sistem Limbik dibentuk oleh cincin yang berhubungan dengan Cigulate


gyrus, hippocampus, forniks, badan-badan mamilari, hipotalamus, traktus
mamilotalamik, thalamus aterior dan bulbus olfaktorius, ketika musik
dimainkan maka semua area yang berhubungan dengan sistem limbik akan
terstimulasi sehingga perasaan dan ekspresi yang menyenangkan (Kemper &
Denheur, 2005 dalam Apriyani, 2010). Selain itu, musik juga menghasilkan
sekresi Phenylethylamin dari sistem limbik yang merupakan Neuroamine
yang berperan dalam perasaan „cinta‟ (Tuner, 2001 dalam Apriyani, 2010).

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
31

Efek musik terhadap sistem neuroendokrin adalah memelihara keseimbangan


tubuh melalui sekresi hormon-hormon oleh zat kimia ke dalam darah. Efek
musik ini terjadi dengan cara (Tuner, 2001 dalam Apriyani, 2010):
a. Musik merangsang pengeluaran endorphine yang merupakan opiate tubuh
secara alami dihasilkan dari kelenjar pituitari yang berguna dalam
mengurangi nyeri, mempengaruhi mood dan memori.
b. Mengurangi pengeluaran katekolamin seperti epinefrin dan noepinefrin
dari medula adrenal. Pengeluaran katekolamin dapat menurunkan
frekuensi nadi, tekanan darah, asam lemak bebas dan pengurangan
konsumsi oksigen.
c. Mengurangi kadar kortikosteroid adrenal, Corticotrophin Releasing
Hormon (CRH) dan Adrebocoticotropic Hormon (ACTH) yang dihasilkan
selama stress.

2.3.4 Panduan Pelaksanaan Terapi Musik Audio Visual


Berikut adalah panduan terapi musik audio visual (Snyder & Lindquist, 2002
dalam Apriyani, 2010):
a. Memastikan anak mempunyai pendengaran dan penglihatan yang baik
atau tidak ada disfungsi pendengaran dan penglihatan.
b. Memastikan pilihan musik yang disukai kesukaan anak dan bantu dalam
pemilihan VCD atau DVD musik yang diperlukan.
c. Menentukan tujuan intervensi musik yang disepakati bersama dengan
anak dan keluarga.
d. Mengkondisikan lingkungan agar tersedia waktu minimal 20 menit untuk
anak dapat mendengarkan dan melihat VCD musik tanpa gangguan.
e. Mempersiapkan peralatan terapi musik yang diperlukan (VCD/DVD
musik, DVD TV portable player) dan meyakinkan semua dalam kondisi
baik dan siap pakai.
f. Memberi kesempatan anak memilih jenis musik yang diinginkannya untuk
diputar.

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
32

g. Membantu anak mendapatkan posisi yang nyaman.


h. Memutar lagu yang diinginkan.
i. Menciptakan lingkungan yang tenang.
j. Memberikan kesempatan anak menikmati musik dan berekspresi.
k. Setelah terapi musik diberikan, dokumentasikan pencapaian tujuan
intervensi

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
BAB III
LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA

3.1 Pengkajian
Tanggal 23 Mei 2014 pukul 07.00 WIB anak M (perempuan) berusia 12
tahun mengalami kecelakaan lalu lintas yaitu saat akan menyebrang ditabrak
oleh motor dari belakang, anak M mengatakan sebelumnya kondisi jalan sepi,
tidak ada kendaraan, namun tiba-tiba ada motor dengan kecepatan tinggi
menabraknya, lalu anak M tidak ingat apa-apa lagi (pingsan). Menurut
keluarganya, anak M mengalami pingsan (sekitar 20 menit) kemudian
sadarkan diri, anak M mengalami benturan kepala, muntah, gigi seri atas
kanan terlepas, anak mengalami benjolan di kepala dan mengeluarkan darah.
Saat kejadian, tidak keluar darah melalui telinga (othorea) maupun hidung
(rinorhea). Anak M dibawa ke rumah sakit swasta di dekat rumahnya, namun
dirujuk ke RSUP Fatmawati. Anak M dirawat di RSUP Fatmawati melalui
IGD pada tanggal 23 Mei 2014 pukul 17.00 WIB. Setelah dilakukan
pemerisaan diagnostik CT Scan kepala didapatkan hasil perdarahan epidural
regio parietal kanan dengan estimasi volume +/- 30 cc, edema serebri, fraktur
linier Os temporo parietal kanan dan oksipital kanan, subgaleal hematoma,
perselubungan sinus frontalis, ethmodialis kiri, DD/ hematosinus, sinusitis.

Pada tanggal 24 sampai dengan 25 Mei 2014 pukul 21.00-00.15 WIB anak M
dilakukan tindakan operasi kraniotomi untuk evakuasi perdarahan. Anak M
dipindahkan ke ruangan High Care Unit pada pukul 02.00 WIB. Pada tanggal
26 Mei 2014 pukul 17.50 WIB anak M dipindahkan ke ruang perawatan
bedah anak. Anak M mengeluh nyeri skala 6 dari 10 (Visual Analog Scale) di
bagian kepala dan menyebar ke area leher terasa nyut-nyutan. Nyeri
bertambah ketika dipindahposisikan, dan nyeri berkurang saat anak M tidur.
Anak M tampak meringis menahan sakit dan tidak berani menggerakan
lehernya. Anak M juga mengeluh pusing, tidak ada muntah. Terdapat luka
post operasi kraniotomi berbentuk huruf S, tidak ada pus, tidak ada bau, tidak
ada kemerahan, tidak ada bengkak, tidak ada panas, tidak ada penurunan

33 Universitas Indonesia

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


34

fungsi, jahitan menyatu dengan baik, balutan paten, dan masih terpasang
drainase.

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik tanggal 26 Mei 2014 pukul 19.30 WIB
didapatkan keadaan umum baik, kesadaran compos mentis, GCS 15
(E4M6V5). TB 146 cm, BB 42 kg. Di bagian kepala terdapat luka post
operasi kraniotomi berbentuk huruf S dan terpasang drain, terdapat nyeri di
bagian luka post operasi, tidak ada bengkak, dan tidak ada rambut. Mata
tampak terdapat edema di bagian mata kiri, isokor, refleks cahaya baik
3mm/3mm, posisi mata simetris, tidak ada penglihatan kabur atau ganda.
Tidak ada sumbatan pada hidung anak M. Mukosa bibir lembab, tidak ada
lesi, dan terdapat gigi yang patah yaitu gisi seri sebelah kanan. Leher tidak
ada pembesaran kelenjar getah bening, tiroid, tidak ada nyeri saat menelan,
tidak ada kaku kuduk. Bentuk dada simetris, tidak ada luka, irama pernapasan
teratur, suara napas vesikuler, tidak ada wheezing dan ronchi, terdapat suara
BJ I dan BJ II, tidak ada murmur dan gallop. Bising usus normal, abdomen
datar, supel, simetris, tidak ada luka. Pada ekstremitas tidak ada edema, akral
hangat, CRT < 3 detik, kekuatan otot normal. Kulit teraba lembab, tidak
kering, turgor elastis. Terpasang kateter urin dan drain. Tanda-tanda vital: TD
110/70 mmHg, denyut nadi 116 x/menit, frekuensi pernapasan 31 x/menit,
suhu 36,3oC.

Anak M terpasang cairan infus Ka En 1B 500cc/12 jam dan mendapatkan


terapi ceftriaxone 2x500 mg, ketorolak 3x15 mg, ranitidin 2x25 mg, asam
traneksamat 3x250 mg, manitol 4x75 cc.

Hasil pemeriksaan laboraturium tanggal 23 Mei 2014. Hematologi:


hemoglobin 13,2 g/dL (N: 10,8-15 g/dL), hematokrit 38 % (N: 33-45%),
leukosit 12,1 ribu/uL (N: 4,5-13,5 ribu/uL), trombosit 382 ribu/uL (N: 184-
488 ribu/uL), eritrosit 4,84 juta/uL (N: 3,80-5,80 juta/uL). Hemostasis: APTT
29,2 detik (N : 33,9-46,1 detik), PT 14,9 detik (N: 12,7-16,1 detik). Kimia
klinik: SGOT 79 U/I (0-34 U/I), SGPT 18 U/I (N: 0-40 U/I). Fungsi ginjal:

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
35

ureum darah 17 mg/dl (N: 48 mg/dl), kreatinin darah 0,4 mg/dl (N: 0,0-0,9
mg/dl). Elektrolit darah: natrium 137 mmol/L (N: 135-147 mmol/L), kalium
3,93 mmol/L (N: 3,10-5,10 mmol/L), klorida 111 mmol/L (95-108 mmol/L).

Hasil pemeriksaan laboraturium tanggal 25 Mei 2014. Hematologi:


hemoglobin 8,8 g/dL (N: 10,8-15 g/dL), hematokrit 25 % (N: 33-45%),
leukosit 6,8 ribu/uL (N: 4,5-13,5 ribu/uL), trombosit 295 ribu/uL (N: 184-488
ribu/uL), eritrosit 3,24 juta/uL (N: 3,80-5,80 juta/uL).

Hasil pemeriksaan laboraturium tanggal 26 Mei 2014. Hematologi:


hemoglobin 11,3 g/dL (N: 10,8-15 g/dL), hematokrit 31 % (N: 33-45%),
leukosit 7,7 ribu/uL (N: 4,5-13,5 ribu/uL), trombosit 272 ribu/uL (N: 184-488
ribu/uL), eritrosit 4,05 juta/uL (N: 3,80-5,80 juta/uL).

Hasil pemeriksaan radiologi berupa foto toraks dihasilkan cor dan pulmo
dalam batas normal (mediastinum superior tak melebar, ukuran dan bentuk
jantung normal, CTR <50%, aorta baik, pulmo kedua hilus tak menebal,
kedua sinus dan diafragma baik, tulang-tulang costae dan soft tissue baik).

Pada tanggal 1 Juni 2014 didapatkan pengkajian terkait citra tubuh, anak M
dengan diagnosa medis cedera kepala sedang dan post operasi kraniotomi
yang berusia 12 tahun yang akan memasuki masa remaja. Saat ini, anak M
tidak memiliki rambut, karena dicukur sebelum dilakukan tindakan operasi.
Selain itu gigi seri kanan atas anak M patah. Anak M pernah menutupi
kepalanya dengan menggunakan kain, dengan alasan karena takut perbannya
copot. Saat dilakukan pengkajian, anak M mengaku malu karena tidak ada
rambutnya, anak M mengatakan malu nantinya ketika berangkat sekolah
diejek oleh teman laki-lakinya karena tidak memiliki rambut. Anak M
mengatakan kepada ibunya kalau nanti sekolah, ia ingin memakai wig
berambut panjang.

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
36

3.2 Analisis Data


Berdasarkan hasil pengkajian diperoleh empat masalah utama yang muncul
pada anak M dengan post op kraniotomi. Masalah pertama adalah gangguan
perfusi jaringan serebral yang didapatkan dari anak M dengan cedera kepala
sedang, post op kraniotomi, terdapat luka post operasi di bagian kepala kanan
dan masih terpasang drain, kesadaran klien compos mentis, GCS 15,
E4M6V5, tidak ada muntah, anak M mengeluh nyeri di bagian kanan kepala
menjalar sampai ke leher, pusing, dan lemas. Saat dilakukan pengukuran
TTV : TD : 110/70 mmHg, N : 116 x/menit, rr : 27 x/menit , S : 36,3oC.

Masalah kedua adalah nyeri akut yang didapatkan dari anak M yang
mengatakan nyeri berskala 6 di bagian bagian kepala dan leher, terasa nyut-
nyutan dan menjalar ke leher, sehingga klien tidak berani menengokkan leher
ke kanan maupun ke kiri, nyeri terasa terus menerus dan bertambah ketika
klien dipindahposisikan, dan nyeri berkurang saat klien tidur. Wajah anak M
tampak meringis menahan sakit, teriak dan merintih kesakitan saat
dipindahposisikan, dan tidak berani menggerakkan leher dan kepalanya.
TTV: TD : 110/70 mmHg, N : 116 x/menit, rr : 27 x/menit , S : 36,3oC.

Masalah ketiga yaitu resiko infeksi yang diperoleh dari anak M yang
mengatakan setiap hari luka dibersihkan, nyeri di bagian luka post operasi,
luka operasi tidak ada pus, tidak ada bau, tidak ada kemerahan, tidak ada
bengkak, tidak ada panas, tidak ada penurunan fungsi, jahitan menyatu dengan
baik, balutan paten, dan masih terpasang drainase. TTV : TD : 110/70 mmHg,
N : 116 x/menit, rr : 27 x/menit , S : 36,3oC. Hasil pemeriksaan laboraturium
26 Mei 2014 : hemoglobin : 11,3 g/dL (N: 10,8-15,0 g/dL), hematokrit : 31%
(N : 33-45%), leukosit : 7,7 ribu/uL (N : 4,5-13,5 ribu/uL), trombosit : 272
ribu/uL (N: 184-488 ribu/uL), eritrosit : 4,05 juta/uL (N : 3,80-5,20 juta/uL).

Masalah keperawatan keempat yaitu gangguan citra tubuh yang didapatkan


dari anak M yang tidak memiliki rambut, karena dicukur sebelum dilakukan
tindakan operasi pernah menutupi kepalanya dengan menggunakan kain,

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
37

dengan alasan karena takut perbannya terlepas. Saat dilakukan pengkajian,


anak M mengaku malu karena tidak ada rambutnya, anak M mengatakan
malu ketika berangkat sekolah diejek oleh teman laki-lakinya karena tidak
memiliki rambut. Anak M mengatakan kepada ibunya kalau nanti sekolah, ia
ingin memakai wig berambut panjang.

3.3 Implementasi dan Evaluasi Tindakan Keperawatan


Setelah dilakukan pengkaian dan analisis data diperoleh empat masalah utama
yang perlu dilakukan intervensi keperawatan pada anak M (mulai tanggal 27
Mei 2014 sampai dengan 3 Juni 2014). Untuk mengatasi masalah gangguan
perfusi jaringan serebral perawat melakukan pengkajian TTV, pemeriksaan
status neurologis yang meliputi tanda-tanda peningkatan TIK dan tingkat
kesadaran, memberikan anak pada posisi tirah baring dengan elevasi kepala
30o dan memasang penghalang tempat tidur, memberikan lingkungan yang
tenang, mengobservasi adanya keluhan nyeri hebat, dan memberikan manitol
4x75 cc, Ka En 1B 500 cc/12 jam, asam traneksamat 3x250 mg. Hasil yang
diperoleh dari perawatan yang dilakukan selama empat hari, anak M
mengatakan tidak merasa nyeri di bagian luka post operasi, tidak merasa
pusing lagi, sebelumnya anak hanya dapat berbaring dan belum dapat miring
kanan miring kiri, sampai hari perawatan hari ke tiga, anak M sudah dapat
miring kanan miring kiri, duduk, berdiri, dan berjalan. Keluarga mengatakan
tidak ada kejang, tidak ada muntah. Kesadaran compos mentis GCS 15
E4M6V5, TTV : TD : 100/60 mmHg, N: 95 x/menit; RR : 22 x/menit, S :
36,3oC.

Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah nyeri akut diantaranya


mengkaji tanda-tanda vital; membatasi pergerakan bagian tubuh yang nyeri;
mengevaluasi keluhan nyeri atau ketidaknyamanan, perhatikan karakteristik,
lokasi, termasuk intensitasnya (skala 0-10), dan mengobservasi respon non
verbal; mengajarkan teknik manajemen nyeri dengan cara tarik nafas dalam
dan terapi musik audio visual 5 jam setelah pemberian terapi analgesik yaitu
ketorolak 3x15 mg, ranitidine 2x25 mg. Perawat juga melibatkan keluarga

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
38

dalam setiap tindakan yang dilakukan untuk memantau masalah nyeri. Hasil
yang didapatkan selama memberikan intervensi selama lima hari didapatkan
antara lain anak M mengatakan nyeri berkurang dari skala 6 menjadi 1
(Visual Analog Scale), anak M tampak meringis ketika dilakukan perawatan
luka pertama kali dan ketika berpindah posisi, namun semakin berkurang
setiap harinya dan masalah teratasi pada hari rawat ke lima. Anak M
dilakukan terapi musik audio visual untuk mengurangi nyeri dan kecemasan
selama dua hari pertama perawatan dan pada saat pelepasan jahitan. Hasilnya
didapatkan terdapat penurunan tingkat nyeri dan kecemasan, serta tanda-tanda
vital sebelum dan setelah intervensi terapi musik audio visual. TTV pada
tanggal 27 Mei 2014 sebelum intervensi (TD:100/60 mmHg N: 95 x/menit;
RR: 22 x/menit, S : 36,3oC, skala nyeri 4, skala kecemasan 1), setelah
intervensi (TD:100/60 mmHg; N: 78 x/menit, RR : 14 x/menit; S: 36,3oC,
skala nyeri 2, skala kecemasan 1). Pada saat perawat melepas jahitan dengan
memberikan intervensi terapi musik audio visual, anak M mengatakan tidak
merasa nyeri.

Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah resiko terjadinya infeksi


diantaranya adalah melakukan pengukuran TTV, melakukan tindakan aseptik
sebelum dan sesudah kontak dengan anak M, mengobservasi tanda-tanda
infeksi, mengganti balutan luka setiap hari, memberikan terapi antibiotik
ceftriaxon 2x500 mg. Hasil yang didapatkan dari tindakan tersebut tidak
terjadi tanda-tanda infeksi yaitu kondisi luka baik, drainase dilepas pada hari
6 perawatan dan jahitan dilepas pada hari ke 8 dan 9 perawatan tidak ada pus,
tidak ada bau, tidak ada kemerahan, tidak ada bengkak, tidak ada panas, tidak
ada penurunan fungsi, luka post operasi menyatu dengan baik. TTV : TD :
100/60 mmHg N: 82 x/menit; RR : 20 x/menit, S : 36,3oC.

Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah gangguan citra tubuh


diantaranya mendiskusikan persepsi anak tentang citra tubuhnya dulu dan
saat ini, perasaan dan harapan terhadap citra tubuhnya saat ini; mendiskusikan
aspek positif diri, mengajarkan pasien meningkatkan citra tubuh dengan cara

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
39

menggunakan protese seperti rambut palsu ketika berangkat sekolah atau


main dengan temannya, memberikan pujian kepada anak. Hasil yang
didapatkan anak M mengatakan merasa senang setelah berbincang-bincang
dengan perawat dan dapat menggali aspek positif yang dimilikinya yaitu
bermain piano. Anak M sebelumnya mengatakan merasa malu dan takut
diejek oleh teman-teman sekolahnya karena botak karena sebelumnya anak M
memiliki rambut yang panjang. Anak M juga mengatakan akan memakai
rambut palsu ketika sekolah dan bermain dengan teman-teman.

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
BAB IV
ANALISIS SITUASI

4.1 Profil Lahan Praktik


RS Fatmawati didirikan oleh Ibu Fatmawati Soekarno pada tahun 1954.
Awalnya RS Fatmawati dikhususkan untuk penderita TBC anak dan
rehabilitasinya. Seiring berjalannya waktu RSUP Fatmawati dijadikan salah
satu rumah sakit pemerintah yang menyandang sebagai rumah sakit
pendidikan. RSUP Fatmawati terletak di Jalan RS Fatmawati, Cilandak,
Jakarta Selatan. RSUP Fatmawati terdiri dari beberapa gedung perawatan dan
fasilitas penunjang kesehatan lainnya seperti gedung radiologi, gedung
pengambilan darah, gedung hemodialisa, dan lain sebagainya. Mahasiswa
KKMP Peminatan Anak menjalani praktik di ruang bedah anak IRNA A
Gedung Teratai Lantai III Utara.

Teratai lantai III utara merupakan salah satu ruang perawatan anak umum dan
bedah yang ada di RSUP Fatmawati. Ruang bedah anak IRNA A Lantai III
Utara terdiri dari 12 kamar dengan kapasits tempat tidur sebanyak 45 tempat
tidur. Ke 12 kamar tersebut terbagi atas: 3 kamar kelas I, 3 kamar kelas II, 1
kamar khusus isolasi infeksi, 1 kamar khusus luka bakar, dan 4 kamar kelas
III.

Kasus bedah yang ada di ruangan teratai lantai III Utara bervariasi, selama
tiga bulan terakhir kasus terbanyak adalah apendisitis. Kasus cedera kepala
merupakan kasus terbanyak kedua. Kasus bedah lainnya diantaranya hernia,
hipospadia, atresia ani, hidrosefalus, fraktur, spina bifida, palatoskizis, tumor
abdomen, kista, luka bakar, dan lain sebagainya.

4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP dan


Konsep Kasus Terkait
Cedera kepala merupakan salah satu kasus terbanyak kedua di ruang bedah
anak RSUP Fatmawati. Cedera kepala merupakan proses patologis yang
dapat menyerang kulit kepala, tulang tengkorak, meningen, atau otak akibat

40 Universitas Indonesia

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


41

gaya mekanis (Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwarts, 2009).


Selama tiga bulan terakhir, 53 anak dirawat karena cedera kepala. Usia anak
yang mengalami cedera kepala bervariasi dari mulai bayi sampai dengan
remaja. Usia anak terbanyak yang mengalami cedera kepala adalah usia
sekolah sebanyak 20 anak dan remaja sebanyak 21 anak. Penyebab cedera
kepala pada anak mayoritas disebabkan karena kecelakaan lalu lintas. Pada
kecelakaan kendaraan bermotor, anak-anak yang berusia kurang dari 2 tahun
hampir selalu mengalami cedera sebagai penumpang kendaraan, sementara
anak-anak yang lebih besar dapat mengalami cedera sebagai pejalan kaki atau
pengendara sepeda motor (Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein, &
Schwarts, 2009).

Angka kejadian kecelakaan meningkat setiap tahunnya, hal ini terjadi karena
jumlah kendaraan bermotor yang meningkat juga setiap tahunnya.
Peningkatan jumlah tersebut khususnya di kota besar, akan berdampak pada
kemacetan sehingga pengendara kendaraan bermotor cenderung mengendarai
dengan kecepatan yang cukup tinggi agar cepat sampai pada tempat tujuan.
Selain itu, masyarakat perkotaan yang identik dengan kepadatan
penduduknya mengakibatkan tingginya mobilisasi masyarakat yang dapat
beresiko peningkatan angka kejadian kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu
lintas merupakan salah satu penyebab kecelakaan yang terjadi pada anak
ketika sedang berjalan kaki. Anak M yang mengalami cedera kepala sedang
disebabkan karena menjadi korban kecelakaan yaitu tertabrak motor saat akan
menyebrang jalan. Anak M tinggal bersama keluarga di daerah Cipayung
dengan lokasi rumah di pinggir jalan raya. Hal ini mengakibatkan anak M
beresiko mengalami korban kecelakaan terutama jika pengawasan kurang dari
orang tua.

4.3 Analisis Salah Satu Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait
Tindakan operasi kraniotomi pada anak M menimbulkan masalah utama yaitu
nyeri akut. Nyeri yang dirasakan oleh anak M merupakan nyeri akut yang
berlangsung dalam waktu beberapa hari yang disebabkan karena kerusakan

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
42

jaringan akibat benturan dan luka post operasi dan akan sembuh dengan
proses penyembuhan luka secara normal. Luka post operasi kraniotomi
merupakan suatu nyeri nosisepsif yang merupakan respon nyeri yang berasal
dari aktivasi serabut delta A yang distimulus oleh kerusakan jaringan.
Selanjutnya, nyeri yang dirasakan oleh anak M berdasarkan sumber atau
lokasi nyeri merupakan nyeri somatik yaitu nyeri yang berasal dari kerusakan
jaringan yang bersifat superfisial dan dalam. Misalnya nyeri superfisial
superfisial yang berasal dari kulit dan nyeri somatik dalam yang berasal dari
fraktur impresi.

Respon fisiologis yang terjadi pada anak M saat pertama kali dilakukan
pengkajian adalah peningkatan denyut nadi (takikardi) yaitu 116x/menit,
frekuensi pernapasan (takipnea) yaitu 31 x/menit. Sedangkan respon perilaku
yang ditujukan anak M adalam mengerutkan dahi, tampak meringis menahan
sakit, sesekali berteriak dan menangis saat dipindahposisikan, dan
imobilisasi. Anak M juga mengeluh nyeri skala 6 dari 10 (Visual Analog
Scale) di bagian kepala dan menyebar ke area leher terasa nyut-nyutan.

Anak M diberikan terapi farmakologi analgetik (ketorolak 3x15 mg, IV)


untuk mengurangi nyeri. Selain pemberian terapi farmakologi, perawat juga
memberikan terapi non farmakologi untuk mengatasi masalah nyeri pada
anak M yaitu terapi musik audio visual. Aplikasi teknik ini diambil dari tesis
Kustiningsih (2013) yang berjudul “Pengaruh Terapi Musik Audio Visual
terhadap Nyeri dan Kecemasan Anak Usia Sekolah Pasca Bedah di RSUP
DR Sardjito Yogyakarta”. Tesis ini menerapkan konsep terapi musik audio
visual pada anak post operasi dan didapatkan terdapat penurunan rata-rata
denyut nadi dan frekuensi pernapasan, rata-rata nyeri dan kecemasan setelah
dilakukan terapi musik audio visual.

Pelaksanaan terapi musik audio visual ini pertama dengan memastikan anak
M mempunyai pendengaran dan penglihatan yang baik, memastikan pilihan
musik yang disukai kesukaan anak dan bantu dalam pemilihan VCD atau

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
43

DVD musik yang diperlukan, melakukan kontrak dan menjelaskan tujuan dari
terapi musik kepada anak M dan keluarga, mengkondisikan lingkungan yang
nyaman yaitu di ruang tindakan agar tersedia waktu minimal 20 menit untuk
anak dapat mendengarkan dan melihat VCD musik tanpa gangguan,
mempersiapkan peralatan terapi musik yang diperlukan (VCD/DVD musik)
dan meyakinkan semua dalam kondisi baik dan siap pakai, membantu anak
mendapatkan posisi yang nyaman, mengukur tanda-tanda vital (frekuensi
nadi dan frekuensi pernapasan) dan skala nyeri dan kecemasan, memberi
kesempatan anak memilih jenis musik yang diinginkannya untuk diputar
(anak M memilih musik kicir-kicir, cublang-cublak suweng, pepaya mangga
pisang, surilang, dan neng-neng), memutar lagu yang diinginkan,
menciptakan lingkungan yang tenang, memberikan kesempatan anak
menikmati musik dan berekspresi, setelah musik selesai anak M dipersilakan
untuk mengungkapkan perasaannya, dan yang terakhir yaitu mengevaluasi
tanda-tanda vital (frekuensi nadi dan frekuensi pernapasan) dan skala nyeri
dan kecemasan.

Terapi musik audio visual merupakan salah satu intervensi non farmakologi
behavior cognitive dengan cara teknik distraksi. Behavior-cognitive staregy
merupakan manajemen nyeri yang meliputi pemokusan pada area spesifik
dari pada area yang nyeri. Strategi ini membantu merubah interpretasi
stimulus nyeri sehingga dapat mengurangi persepsi nyeri dan nyeri dapat
ditoleransi. Teknik distraksi merupakan suatu intervensi dengan cara
membuat anak untuk berfokus pada stimulus lain selain nyeri (Ricci & Kyle,
2009). Sedangkan terapi musik audio visual merupakan suatu terapi musik
yang dikombinasikan dengan audio visual yaitu berupa menonton video
dengan gambar-gambar yang menarik dan berwarna. Menurut Macralen dan
Cohen (2007), pada anak semakin menarik objek distraksi akan semakin
besar pengurangan rasa nyeri yang dirasa, misalnya dengan terapi musik
audio visual, dibandingkan dengan terapi musik saja. Hal ini terjadi karena
keefektifan teknik distraksi berkaitan dengan meningkatnya kemampuan
mengalihkan perhatian dari stimulus yang menyakitkan. Penelitian Prabhakar

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
44

dan Marwah (2007) menyatakan bahwa terapi musik audio visual lebih
efektik mengurangi nyeri dan kecemasan dibandingkan dengan terapi musik
saja pada paisen anak.

Teknik distraksi dengan terapi musik audio visual ini dapat mengurangi nyeri
dengan berperan dalam salah satu mekanisme nyeri modulasi dengan
merangsang pengeluaran neuromodulator untuk memodifikasi sensasi nyeri
(Ricci & Kyle, 2009). Terapi musik audio visual ini menginduksi modulasi
afektif (persepsi) nyeri dan sensori secara kompleks (Hauck, Metzner,
Rohiffs, Lorenz, & Engel, 2012). Efek musik terhadap sistem neuroendokrin
yaitu memelihara keseimbangan tubuh melalui sekresi hormon-hormon oleh
zat kimia ke dalam darah, misalnya pengeluaran endorphine merupakan
opiate tubuh secara alami dihasilkan dari kelenjar pituitari yang berguna
dalam mengurangi nyeri, mempengaruhi mood (Tuner, 2001 dalam Apriyani,
2010). Hal ini terbukti pada anak M yang mengatakan nyeri berkurang setelah
dilakukan terapi musik audio visual dari skala nyeri 4 menjadi 2 (Visual
Analog Scale) pada hari ke dua perawatan, sedangkan pada hari ketiga
perawatan anak M mengatakan nyeri berkurang dari skala nyeri 3 menjadi 1,
selanjutnya keesokan harinya anak M tidak merasakan nyeri dibagian luka
post operasi. Selanjutnya, musik dapat mengurangi kadar kortikosteroid
adrenal yang dihasilkan selama stress (Tuner, 2001 dalam Apriyani, 2010).
Hal ini terbukti pada saat melakukan perawatan luka post operasi, pelepasn
drain dan jahitan. Anak M mengatakan tidak merasakan nyeri saat dilakukan
penggantian balutan, pelepasan drain, dan pelepasan jahitan. Selama
dilakukan terapi musik audio visual anak M mengatakan merasa senang dan
menjadi lebih rileks dan tidak cemas.

Musik dihasilkan dari stimulus yang dikirim dari akson-akson serabut sensori
asenden ke neuron-neuron Reticular Activating System (RAS). Stimulus ini
kemudian akan ditransmisikan oleh nuclei spesifik dari thalamus melewati
area-area korteks serebri, sistem limbik dan korpus kollosum serta melewati
area-area sistem saraf otonom dan sistem neuroendokrin. Sistem saraf otonom

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
45

berisi sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Musik dapat memberikan


rangsangan pada saraf simpatis dan saraf parasimpatis untuk menghasilkan
respon relaksasi dengan mengurangi pengeluaran kateolamin seperti epinefrin
dan norepinefrin dari medula adrenal. Karateristik respon relaksasi yang
ditimbulkan berupa penurunan frekuensi nadi, relaksasi otot, dan tidur
(Tuner, 2001 dalam Apriyani, 2010). Pada anak M hal ini terbukti, pada hari
kedua perawatan dilakukannya terapi musik audio visual didapatkan TTV
sebelum intervensi (frekuensi nadi: 95 x/menit; frekuensi pernapasan: 22
x/menit), setelah intervensi (frekuensi nadi: 78 x/menit, frekuensi pernapasan:
14 x/menit). Pada hari ketiga perawatan didapatkan TTV sebelum intervensi
(frekuensi nadi: 88 x/menit; frekuensi pernapasan: 20 x/menit), setelah
intervensi (frekuensi nadi: 79 x/menit, frekuensi pernapasan: 16 x/menit).

Terapi musik audio visual ini diterapkan juga pada pada pasien lain yaitu
anak S (laki-laki) usia 10 tahun dengan diagnosa medis snake bite post
operasi fasciotomi di area lengan kiri. Klien mengeluh nyeri di bagian luka
operasi dengan skala nyeri 4, setelah dilakukan terapi skala nyeri berkurang
menjadi 2. Selain itu, saat klien dilakukan perawatan luka dengan terapi
musik audio visual, klien mengatakan tidak merasakan nyeri dan tidak cemas.
Berbeda halnya ketika perawatan luka dengan hanya dilakukan terapi musik
saja, klien terlihat cemas dan tampak menangis karena merasa nyeri. Terapi
musik audio visual ini, juga dilakukan pada anak H (perempuan) usia 6 tahun
dengan diagnosa medis kista submandibular post operasi eksterpasi. Anak H
mengatakan nyeri berkurang setelah dilakukan terapi musik audio visual dari
skala 5 menjadi 2.

Pada kasus lainnya yaitu anak MU (laki-laki) usia 9 tahun dengan cedera
kepala ringan tidak dilakukan terapi musik audio visual, hanya dilakukan
latihan relaksasi napas dalam saja dan mendapatkan terapi farmakologi
analgesik yaitu ketorolak 3x15 mg. Anak MU mengatakan nyeri di bagian
kepala dengan skala 4-5 dan nyeri berkurang menjadi skala 3 ketika

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
46

melakukan latihan tarik napas dalam dan setelah diberi obat anti nyerinya,
namun nyeri di bagian kepala meningkat kembali setelah itu.

4.4 Alternatif Pemecahan yang dapat Dilakukan


Alternatif pemecahan masalah yang dapat dilakukan adalah dengan cara
menerapkan terapi non farmakologi lainnya seperti dengan menggunakan
strategi behavior-cognitive staregy lainnya seperti relaksasi napas dalam,
guided imagery, biofeedback, thought stopping, positive self talk. Selain itu
dapat juga menggunakan strategi biophysical misalnya dengan cara kompres
hangat dan dingin, masase, dan transcutaneous electrical nerve stimulation
(TENS) (Ricci & Kyle, 2009).

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
5.1.1 Anak M dengan cedera kepala sedang post operasi kraniotomi mengalami
masalah keperawatan diantaranya gangguan perfusi jaringan serebral,
nyeri akut, resiko infeksi, dan gangguan citra tubuh.
5.1.2 Anak M mengalami masalah gangguan rasa nyaman berupa nyeri akut
yang merupakan nyeri nosiseptif yaitu respon nyeri yang berasal dari
aktivasi serabut delta A yang distimulus oleh kerusakan jaringan (nyeri
somatik)
5.1.3 Terjadi penurunan skala nyeri dari skala 6 menjadi skala 1 (Visual Analog
Scale) pada anak paska operasi kraniotomi setelah dlakukan terapi musik
audio visual selama 4 hari yang dilakukan selama 20 menit setiap
intervensi.
5.1.4 Penurunan nyeri pada pasien post operasi yang dilakukan terapi musik
audio visual lebih efektif dibandingkan yang tidak dilakukan terapi musik
audio visual.

5.2 Saran
Berdasarkan manfaat yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti
mengajukan beberapa saran sebagai berikut:
5.2.1 Pelayanan
Karya ilmiah ini dapat menjadi masukan bagi rumah sakit dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien anak paska pembedahan
dalam mengatasi nyeri secara non farmakologi menggunakan terapi musik
audio visual. Ruang rawat dapat menyediakan VCD/DVD musik anak-
anak untuk menerapkan terapi musik audio visual.

47 Universitas Indonesia

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


48

5.2.2 Pendidikan
Karya ilmiah ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk institusi
pendidikan dalam memberikan informasi lebih selama proses perkuliahan
terkait penerapan terapi musik audio visual dalam asuhan keperawatan
pada pasien anak paska pembedahan.

5.2.3 Penelitian
Karya ilmiah ini dapat menjadi tambahan informasi untuk penelitian
selanjutnya, terkait degan kasus cedera kepala maupun terapi musik audio
visual pada pasien anak. Peneliti juga menyarankan untuk penelitian
selanjutnya terapi musik audio visual diterapkan pada anak selain kasus
pembedahan dan rentang usia anak yang berbeda. Sehingga dapat lebih
menyakinkan bahwa terapi musik audio visual ini benar-benar dapat
mengurangi nyeri pada anak.

Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014
DAFTAR PUSTAKA

Apriyani, D. (2010). Pengaruh musik terhadap mual muntah lambat akibat


kemoterapi pada anak usia sekolah yang menderita kanker di RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung. (Tesis, Universitas Indonesia, 2010)

Badan Pusat Statistik. (2014). Jumlah kecelakaan, korban mati, luka berat, luka
ringan, dan kerugian materi yang diderita tahun 1992-2012. Juni 01, 2014.
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=17&notab=14

Bagnasco, A., Pezzi, E., Rossa,F., Fornoni, L., & Sasso, L. (2012). Distraction
techniques in children during venipuncture: an Italian experience. Journal of
Medication, 2012 (53): 44-48.

Ball, J. W., & Bindler, R. C. (2003). Pediatric nursing: Caring for children. USA:
Prentice Hall.

Black, M. J., & Hawks, H.J. (2009). Medical surgical nursing clinical
management for positive outcomes. 8 th Edition. St Louis Missouri: Elsevier
Saunders.

Bradt, J. (2001). The effects of music entrainment on post operative pain


perception in pediatric patients. Juni 01, 2014.
http://www.xpozd.com/jbradt/jbradt_dissertation.pdf

Brain Injury Association of America. (2014). Brain injury in children. Juni 01,
2014. http://www.biausa.org/brain-injury-children.htm

Bullock., M. R., dkk. (2006). Surgical management of traumatic brain injury.


Journal of Neurosurgery, 58 (3) 1-112.

Burns, C. E., Dunn, A. M., Brady, M. A., Starr, N. B., Blosser, C. G. (2013).
Pediatric primary care. Philadelphia: Elsevier Saunders.

49 Universitas Indonesia

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


50

Dewi, R., Mangunatmadha, & Ramli, Y. (2012). Karakteristik klinis trauma


kepala pada anak di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Journal Sari
Pediatri, 9 (5) 354-358.

Glasper, A., &Richardson, J. (2006). A textbook of children’s and young people’s


nursing. UK: Elsevier.

Hauck, M., Metzner, S., Rohiffs, F., Lorenz, J., & Engel, A. (2012). The influence
of music and music therapy on pain-induced neuronal oscillations measured
by magnetecephalography. Journal of Pain, 154 (20) 539-547.

Helms, J.E., & Barone, C.P. (2008). Physiology and treatment of pain. Journal of
Critical Care Nurse, 28 (6), 38-48.

Kustiningsih. (2013). Pengaruh Terapi Musik Audio Visual terhadap Nyeri dan
Kecemasan Anak Usia Sekolah Pasca Bedah di RSUP DR Sardjito
Yogyakarta. (Tesis, Universitas Indonesia, 2013)

Maclaren, J. E., Cohen, L. L. (2007). Interventions for paediatric procedure-


related pain in primary care. Journal of Paediatric Child Health
200(12):111-6.

Mayfield, J. (2008). Behavior considerations associatied with traumatic brain


injury. Juni 06, 2014. http://www.brainline.org/content/2008/07/behavioral-
considerations-associatied-traumatic-brain-injury_pageall.html

Pilliteri, A. (2004). Child health nursing : Care of the child and family.
Philadelphia : Lippincott.

Pohl, C. A. (2006). Pediatrics on call. USA: The McGraw-Hill Companies.

Prabhakar, A. R., Marwah, N. & Raju, O. S. (2007). A comparison between audio


and audiovisual distraction techniques in managing anxious pediatric dental
patiens. Journal of Indian Soc Predod Prevent Dent, 152.118.24.10(177-
182).

Universitas Indonesia

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


51

Ricci, S. S., & Kyle, T. (2009). Maternity and pediatric nursing. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.

Solomon, J. W., O’Brien, J. C. (2011). Pediatric skills: for occupational therapy


assistant. St. Louis: Elsevier.

Verie, M. J. (2014). Pediatric head trauma. Juni 05, 2014.


http://emedicine.medscape.com/article/907273-overview#aw2aab6b2b5

Universitas Indonesia

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 1

Paofisiologi Cedera Kepala Memisahkan sutura kranial An. M : fraktur linier


Os temporo parietal Dx. Kep :
kanan dan oksipital gangguan
Penetrasi Fraktur diastatik Luka terbuka
kanan
Cedera
Fraktur tulang tengkorak  resiko infeksi citra tubuh
kepala
Fraktur terbuka Resiko perdarahan Epidural hematoma
Benturan region parietal kanan
Rambut
Sebanyak +/- 30cc
dicukur habis
Fraktur linier Epidural hematoma:
Coup injury Countercoup injury perdarahan arteri Peningkatan TIK
Fraktur impressi Pembedahan
Subgaleal hematoma Perdarahan Kompresi korteks kraniotomi
parietal kanan massif: area
Cedera akselerasi dan Fraktur basal kranii: dan evakuasi
deselerasi othorea, rinorhea parietotemporal perdarahan
Kejang, hemiperese,
Dx. Kep: nyeri
muntah, penurunan
Menekan bagian kesadaran, sakit
kepala Terdapat luka
Redistribusi volume darah Shearing stress (regangan Terikan, regangan, Perdarahan intrakranial otak post operasi
(hiperemia) dan robekan) kompressi, robekan berbentuk huruf
serabut saraf Menekan batang S dan terterpasang
Penekanan saraf drainase
Kontusio serebral otak
dan pembuluh
Pembengkakan otak (difus)
Ruptur pembuluh darah vena darah
atau arteri kecil Disfungsi neuron
sesat yang reversibel: Kerusakan di lobus Kerusakan batang dx.keperawatan :
Hipertensi kranial Komosio serebral oksipital, frontal, otak nyeri
Penurunan aliran
Ruptur pembuluh darah vena temporal darah ke otak resiko infeksi
atau arteri kecil
Hilang kesadaran sesaat, Gangguan fungsi
Peningkatan TIK pernapasan dan
amnesia pada saat Oksigen  gangguan Kerusakan
cedera, gejala bingung metabolisme kardiovaskuler
sel dx.keperawatan :
Hematoma subdural gangguan perfusi
dx. kep: jaringan serebral
Resiko cedera Peningkatan CO2 Gangguan pompa
Peningkatan TIK dx. kep: kalium natrium
Keterangan : Resiko dx. kep:
: patofisiologi secara umum cedera Peningkatan Resiko
: patofisiologi terkait kasus permeabilitas kapiler Ekstravasasi cairan ke sel Edema serebral cedera

Sumber: (Ball & Bondler, 2003; Burns, Dunn, Brady, Starr, & Blosser; 2013; Glasper & Richardson, 2006; Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein, &
Schwarts, 2009).

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN


PRAKTIK PROFESI PEMINATAN KEPERAWATAN ANAK
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA
OLEH: FINA DEVY ARYANTI, 0906510836
Tanggal Pengkajian: Senin, 26 Mei 2014 (Resume Minggu Ke-4)
Ruang Bedah Anak, Lantai 3 Utara, RSUP Fatmawati

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. M
Tempat/tanggal lahir: Jakarta, 1 Mei 2002
Usia : 12 tahun
Nama ayah/ ibu : Tn. J/ Ny. M
Pekerjaan ayah : wiraswasta
Pekerjaan ibu : ibu rumah tangga
Alamat :Jalan Malaka, 03/06, Munjul, Cipayung, Jakarta Timur, DKI Jakarta
Agama : Kristen Protestan
Suku bangsa : Batak
Pendidikan ayah : STM
Pendidikan ibu : SMA

II. Riwayat Penyakit Saat Ini


Tiga hari yang lalu pada hari Jumat, 23 Mei 2014 klien saat akan menyebrang ditabrak oleh
motor dari belakang, sebelumnya kondisi jalan sepi, tidak ada kendaraan, namun tiba-tiba ada
motor dengan kecepatan tinggi menabraknya, lalu klien tidak ingat apa-apa lagi (pingsan).
Menurut keluarganya, klien mengalami pingsan (sekitar 20 menit) kemudian sadarkan diri, klien
mengalami benturan kepala, muntah, gigi seri atas kanan terlepas. Saat kejadian, tidak keluar
darah melalui telinga (othorea) maupun hidung (rinorhea).

Saat ini, klien post operasi craniotomy dan terpasang drain. Klien mengeluh nyeri skala 6 di
bagian kepala dan menyebar ke area leher. Nyeri bertambah ketika dipindahposisikan, dan nyeri

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

berkurang saat klien tidur. Klien tampak meringis dan tidak berani menggerakan lehernya. Klien
juga mengeluh pusing, tidak ada muntah.

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran:


1. Prenatal : ibu mengatakan selama masa kehamilan ibu tidak mengalami masalah kehamilan,
tidak mengkonsumsi obat dan tidak ada riwayat penyakit selama masa kehamilan.
2. Intranatal : ibu mengatakan An. M lahir dengan cara spontan per vaginam pada usia 36
bulan dengan berat badan 2600 gram dan panjang badan 52 cm.
3. Post natal : ibu mengatakan An. M tidakmengalami masalah kesehatan post natal, tidak ada
riwayat penyakit setelah masa kelahiran

III. Riwayat Masa Lampau


1. Penyakit waktu kecil : ibu mengatakan riwayat penyakit An. M sebelumnya hanya demam,
batuk, pilek, dan tidak pernah ada riwayat penyakit lainnya.
2. Pernah dirawat di RS : klien mengatakan sebelumnya klien belum pernah dirawat di RS.
3. Obat-obatan yang digunakan : ibu mengatakan sebelumnya klien tidak pernah
mengkonsumsi obat-obatan
4. Tindakan operasi : sebelumnya klien belum pernah menjalani tindakan operasi
5. Alergi : ibu mengatakan An. M memiliki alergi makanan jika makan ikan asin, bibir An. M
langsung bengkak.
6. Kecelakaan : klien tidak pernah mengalami kecelakaan sebelumnya
7. Imunisasi : riwayat imunisasi klien lengkap yaitu HB 0, BCG, Polio 1, DPT/HB 1, polio 2,
DPT/HB 2, polio 3, DPT/HB 3, polio 4, campak.

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

IV. Riwayat Keluarga (Disertai Genogram)

Keterangan:
: klien
: sumber informasi
: tinggal serumah

V. Riwayat Sosial
1. Yang mengasuh : Sehari-harinya di rumah, An. M diasuh oleh ibunya yang sebagai ibu
rumah tangga
2. Hubungan dengan anggota keluarga : Ibu mengatakan An. M paling dekat dengan ibunya,
dimana An. M senang bercerita kepada ibu tentang kegiatan sehari-hari di sekolahnya. An.
M juga senang bermain dengan ke dua adiknya dan kakaknya.
3. Hubungan dengan teman sebaya : Ibu mengatakan An. M di rumah tidak memiliki teman
dekat, karena tidak ada teman yang seumurannya. Di sekolah An. M memiliki teman dekat
yaitu teman sebangkunya, An. M kadang sering memiliki masalah dengan temannya dimana
An. M memukul temannya saat ia kesal karena diledek.
4. Pembawaan secara umum : ibu mengatakan An. M merupakan anak yang tidak pemalu
dan mudah berinteraksi dengan orang lain. An. M juga terlihat berani kepada orang yang
usianya diatas dia. Selama di rumah sakit An. M terlihat senang berinteraksi dengan pasien
anak lainnya.
5. Ligkungan rumah : keluarga tinggal di daerah Cipayung, dengan lokasi rumah berada di
pinggir jalan, jarak dari halaman rumah ke jalan raya sekitar 20 m, keluarga tinggal di

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

kawasan yang tidak padat, rumah yang didiami merupakan rumah kontrakan yang berukuran
6x18 meter persegi.

VI. Kebutuhan Dasar


1. Makanan
Makanan yang disukai : klien mengatakan menyukai semua makanan, sayur, buah-buahan,
daging-dagingan, maupun ikan.
Makanan yang tidak disukai : klien mengatakan tidak menyukai makan ikan asin
Selera : keluarga mengatakan nafsu makan An. M sangat baik, klien biasa makan dengan
porsi yang banyak seperti orang dewasa, makan 3-4 kali dalam sehari, klien makan pukul
08.00 WIB, 12.00 WIB, 15.00 WIB, dan 19.00 WIB.
Selama di RS klien makan makanan yang diseidakan oleh rumah sakit, klien sering kali
meminta tambah makan makanan dari luar, namun ibu tidak mengizinkannya.
2. Pola Tidur
Pola tidur : An. M tidur malam pada pukul 21.00 WIB s.d 07.00 WIB (10 jam), jarang tidur
siang karena An. M harus sekolah siang, namun jika hari libur, klien kadang tidur siang
selama 2 jam.
Kebiasaan sebelum tidur : keluarga mengatakan An. M memiliki kebiasaan sebelum tidur
yaitu menonton TV
Selama di RS, An. M tidur pada pukul 21.00 WIB dan bangun sukul 06.00 WIB, An. M
tidak memiliki masalah tidur selama di RS.
3. Mandi
Keluarga mengatakan ketika di rumah klien dapat mandi secara mandiri 2 x sehari. Selama
di rumah sakit An. M memerlukan bantuan ketika mandi dan perawatan diri oleh orang
tuanya, An. M mandi dengan cara di lap 2x sehari oleh ibunya.
Alat-alat yang digunakan An. M ketika mandi adalah sabun, sikat gigi, sampo, dan pasta
gigi.
4. Aktivitas bermain
Keluarga mengatakan An. M tidak pernah bermain keluar rumah ketika di rumah, karena
tetangganya tidak ada yang seumuran, ketika di rumah An. M hanya bermain dengan
adiknya saja. Ibu mengatakan An. M merupakan anak yang mudah berinteraksi dengan

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

orang lain. Ketika di sekolah, ibunya mengatakan kalau An. M anak yang cukup
tempramen, ia akan memukul temannya jika ia merasa kesan dengan temannya karena
diledek. Selama di rumah sakit klien terlihat sering menyapa pasien anak lainnya dan sering
bercanda dengan orang lain.
5. Eliminasi
BAK : klien BAK 6 x/hari, ketika selesai operasi klien BAK menggunakan kateter urin dan
pada hari ke lima di ruang rawat anak klien BAK di toilet.
BAB : pola BAB klien setiap hari, tidak diare dan konstipasi.

VII. Keadaan Kesehatan Saat Ini


1. Diagnosa Medis : cedera kepala sedang dengan epidural hematom, fraktur linier os
tempoparietal dan oksipital kanan
2. Tindakan Operasi : craniotomi
Operasi craniotomi pada tanggal 24-25 Mei 2014 (pukul 21.00 WIB-00.15 WIB)
Komplikasi/ penyulit : Perdarahan +/- 200 cc
Klien dilakukan anestesi general
Laporan operasi :
Pasien pisosi telentang, kepala miring ke kiri
Dilakukan tindakan A dan antiseptik ada daerah operasi dan sekitarnya
Dilakukan insisi S dengan melanjutkan luka lama
Dilakukan diseksi sampai kranium
Tampak fraktur impresi < 1 tabula dengan ukuran 3x1 cm
Dilakukan burhole disekeliling fraktur impresi sebanyak 4 lubang
Tulang dipotong dengan gilgi saw
Tampak EDH clothing + lisis + 25 cc, sumber perdarahan fraktur impresi
Dilakukan evakuasi hematoma
Perdarahan diatasi dengan cauterisasi dan spongostan
Duizmater digantung, tulang dipasang kembali dan difiksasi
Luka operasi dijahit lapis demi lapis
Operasi selesai.
3. Status Nutrisi

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

BB : 42 kg TB : 146 cm (IMT : 19,7  status gizi : normal)


4. Status Cairan
Intake : klien mengkonsumsi air putih dalam sehari 1200 cc, dengan cairan infus Ka En 1B
1000 cc/24 jam
Output : urin (kateter) : 1650 cc/24 jam, IWL : 10x42 kg = 420/ 24 jam.
5. Obat-obatan
Nama Obat Dosis Pemberian Tujuan
Ceftriaxone 2 x 500 mg, IV Termasuk ke dalam golongan obat antibiotik
sefalosporin.
Ketorolak 3x15 mg, IV Termasuk ke dalam golongan analgesic :
antiinflamasi nonsteroid (AINS). Tujuan untuk
mengurangi nyeri
Ranitidin 2x25 mg, IV Termasuk ke dalam golongan antitukak:
antagonis reseptor-H2. Tujuan untuk mengatasi
tukak lambung akibat AINS.
Asam 3x250 mg, IV Termasuk ke dalam golongan hemostatik dan
Traneksamat antifibrilotik. Tujuan untuk mencegah
perdarahan
Manitol 4x 75 cc, IV Termasuk ke dalam golongan diuresis osmotik.
Tujuan untuk mengatasi edema serebral.
KA En 1B 500 cc/12 jam, IV Terapi cairan

6. Aktivitas
Aktivitas klien saat pertama kali dirawat di ruang rawat bedah anak, hanya di tempat tidur
saja, belum mampu berubah posisi menjadi duduk maupun berdiri, An. M tampak senang
mendengarkan musik dan menonton TV. Hari berikutnya, klien sudah mulai dapat miring
kanan, miring kiri, kemudian perlahan-lahan dapat berdiri dan jalan kaki.
7. Hasil Laboraturium
Tanggal Pemeriksaan 23 Mei 2014 (Pre Operasi)
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,2 g/dL 10,8-15

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

Hematokrit 38 % 33-45
Leukosit 12,1 ribu/ul 4,5-13,5
Trombosit 382 ribu/ul 184-488
Eritrosit 4,84 juta/uL 3,80-5,80

VER/HER/KHER/RDW
VER 78,0 fl 80,0-100,0
HER 27,3 pg 26,0-34,0
KHER 35,0 g/dl 32,0-36,0
RDW 13,3 % 11,5-14,5

HEMOSTASIS
APTT 29,2 Detik 33,9-46,1
Kontrol APTT 31,5 Detik -
PT 14,9 Detik 12,7-16,1
Kontrol PT 13,5 Detik -
INR 1,12 detik -

KIMIA KLINIK
FUNGSI HATI
SGOT 79 U/I 0-34
SGPT 19 U/I 0-40

FUNGSI GINJAL
Ureum darah 17 mg/dl 0-48
Kreatinin darah 0,4 mg/dl 0,0-0,9

ELEKTROLIT DARAH
Natrium (darah) 137 mmol/L 135-147
Kalium (darah) 3,93 mmol/L 3,10-5,10
Klorida (darah) 111 mmol/L 95-108

Tanggal 25 Mei 2014 (Post Operasi)


PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGI
Hemoglobin 8,8 g/dL 10,8-15,0
Hematokrit 25 % 33-45
Leukosit 6,8 ribu/ul 4,5-13,5
Trombosit 295 ribu/ul 184-488
Eritrosit 3,24 juta/uL 3,80-5,20

VER/HER/KHER/RDW
VER 75,8 fl 80,0-100,0

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

HER 27,2 pg 26,0-34,0


KHER 35,9 g/dl 32,0-36,0
RDW 14,0 % 11,5-14,5

Tanggal 26 Mei 2014 (Post Operasi)


PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGI
Hemoglobin 11,3 g/dL 10,8-15,0
Hematokrit 31 % 33-45
Leukosit 7,7 ribu/ul 4,5-13,5
Trombosit 272 ribu/ul 184-488
Eritrosit 4,05 juta/uL 3,80-5,20

VER/HER/KHER/RDW
VER 77,2 fl 80,0-100,0
HER 27,9 pg 26,0-34,0
KHER 36,0 g/dl 32,0-36,0
RDW 14,6 % 11,5-14,5

8. Hasil Rontgen
23 Mei 2014. Pemeriksaan Foto Thoraks
Hasil :
Trakea di tengah
Mediastinum superior tidak melebar
Jantung kanan tidak membesar
Aorta baik
Paru : hilus kedua paru baik, corakan
bronkovaskular paru baik, tidak tampak
infiltrate di kedua lapangan paru
Diafragma dan sinus kostofrenikus
kanan-kiri normal
Tulang-tulang dan jaringan lunak baik
Kesan : jantung dan paru dalam batas
normal

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

9. Hasil CT Scan Kepala


23 Mei 2014

Hasil pemeriksaan CT Scan kepala potongan aksial non kontras tebal irisan 3-10 mm:
Tampak lesi hiperdens boikonkaf berdensitas perdarahan regio parietal kanan berukuran
6x16 cm x 3,09x3 cm, estimasi voume +/- 30 cc
Sulsi menyempit dan gyry mendatar
Sistem ventrikel dan cystema baik
Tak tampak deviasi struktur midline
Pons dan cerebellum baik
Tampak fraktur Os tempoparietal kanan dan occipital kanan
Tampak subgaleal hematoma parietal kanan
Tampak perselubungan sinus frontalus kiri, ethmodialis kiri
Kesan :
- Perdarahan epidural regio parietal kanan, edema serebri
- Fraktur linier Os temporo parietal kanan dan occipital kanan
- Subgaleal hematoma
- Perselubungan sinus frontalis, ethmodialis kiri
DD/ hematosinus, sinusitis

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

VIII. Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan umum : baik
2. Kesadaran : compos mentis
3. Tanda-tanda vital :
a. Tekanan darah : 110/70 mmHg
b. Denyut nadi : 116 x/ menit
c. Suhu : 36,3o C
d. Frekuensi pernpasan : 31 x/ menit
e. Skala nyeri :
P (provoke): hal yang membuat nyeri di bagian kepala dan leher, nyeri bertambah
ketika klien dipindahposisikan, nyeri hilang saat klien tidur.
Q (quality): nyeri di bagian kepala terasa nyut-nyutan
R (radiation): nyeri kepala terasa nyut-nyutan terasa menjalan ke leher, sehingga klien
tidak berani menengokkan leher ke kanan maupun ke kiri
S (severe): skala nyeri klien adalah 6.
T (time): nyeri terasa terus menerus, dirasakan sepanjang waktu.
4. BB/ TB : 42 kg/ 146 cm (status gizi normal)
5. Kepala
Inspeksi dan hygiene kepala
a. Rambut : rambut klien tidak ada, karena klien post craniotomi
b. Kebersihan kepala : terdapat luka post operasi di bagian kanan berbentuk huruf S,
dan terpasang drain post operasi craniotomi, kondisi lukabersih, terbalut perban.
Palpasi
Benjolan : ada, di bagian parietal sinistra
Nyeri tekan : ada, di bagian luka post operasi craniotomi
6. Wajah
Inspeksi
a. Simetris/ tidak : wajah klien simetris
b. Bentuk wajah : bulat
c. Gerakan abnormal : tidak ada
d. Ekspresi wajah : terihat menahan sakit

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

Palpasi
Nyeri tekan/tidak : tidak ada
7. Mata
Inspeksi
a. Pelpebra : terdapat edema di bagian mata kiri
b. Sklera : tidak ikterik
c. Konjungtiva : tidak anemis
d. Pupil : isokor, refleks pupil terhadap cahaya baik 3 mm/3 mm
e. Posisi mata simetris/ tidak : simetris
f. Gerakan bola mata: normal
g. Penglihatan : tidak ada penglihatan kabur maupun ganda (diplodia)

8. Hidung dan Sinus


Inspeksi
a. Posisi hidung : simetris
b. Bentuk hidung : simetris
c. Keadaan septum : normal
d. Sekret/cairan : tidak ada
9. Telinga
Inspeksi
a. Posisi telinga : normal
b. Ukuran/ bentuk telinga : normal
c. Aurikel : normal
d. Lubang telinga : bersih
e. Pemakaian alat bantu : tidak
Palpasi
Nyeri tekan/ tidak : ada di bagian kanan
10. Mulur
Isnpeksi
a. Gigi : terdapat gigi yang patah karena kecelakaan ini, yaiu gigi seri
sebelah kanan, tidak ada karies gigi, dan tidak memakai gigi palsu

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

b. Gusi : berwarna merah kehitaman, tidak ada radah, tidak ada sariawan
c. Lidah : bersih
d. Bibir
- Sianosis/ pucat/ tidak : tidak
- Mukosa bibir : lembab
- Mulut berbau/ tidak : tidak
- Kemampuan bicara : normal
11. Tenggorokan
a. Warna mukosa : pink
b. Nyeri tekan : tidak ada
c. Nyeri menelan : tidak ada
12. Leher
Inspeksi
Kelenjar tiroid : tidak terjadi pembesaran
Palpasi
a. Kelenjar tiroid : tidak teraba
b. Kelenjarlimfe : tidak terjadi pembengkakan
c. Kaku kuduk : tidak terdapat kaku kuduk
13. Thoraks dan pernafasan
Inspeksi
a. Bentuk dada : simetris
b. Irama pernafasan : teratur
c. Pengembangan di waktu bernapas : normal
d. tipe pernapasan : spontan
Palpasi
a. vokal fremitus : normal
b. masa/ nyeri : tidak ada
Perkusi
Resup/pekak/hipersonor/timpani : hiperresonan
Auskultasi : vesikuler, tidak ada wheezing, tidak ada ronchi

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

14. Jantung
Palpasi
Pembesaran jantung : tidak ada
Auskultasi
a. BJ I : normal
b. BJ II : normal
c. BJ III : tidak terdengar
d. Bunyi jantung tambahan : tidak ada murmur, tidak ada gallops
15. Abdomen
Inspeksi : supel, datar, tidak ada luka, simetris
Auskultasi : bising usus 7 x/menit terdengar di seluruh kuadran
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, teraba lunak
Perkusi : timpani
16. Genitalia dan anus : normal
17. Ekstremitas
Kekuatan otot

5555 5555
5555 5555

Ekstremitas atas
a. Motorik
- Pergerakan kanan/ kiri : aktif
- Pergerakan abnormal : tidak ada
- Kekuatan otot kanan/ kiri : baik
- Tonus otot kanan/ kiri : baik
- Koordinasi gerak : baik
b. Refkels
- Biceps kanan/ kiri : refleks baik
- Tricep kanan/ kiri : normal
c. Sensori
- Nyeri : tidak ada

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

- Rangsang suhu : normal

Ekstremitas bawah
a. Motorik
- Gaya berjalan : normal
- Kekuatan kanan/ kiri : normal
- Tonus otot kanan/ kiri : baik
b. Refleks
- KPR kanan/kiri : normal
- APR kanan/ kiri : normal
- Babinski kanan/ kiri : tidak ada
c. Sensori
- Nyeri : tidak ada
- Rangsang suhu : baik
18. Status Neurologis
Saraf-saraf Cranial
a. Nervus I (olfaktorius) : penghindu : normal
b. Nervus II (optikus) : penghindu : normal
c. Nervus III, IV, VI (okulomotor, troklear, abducens)
- Konstriksi pupil : normal
- Pergerakan bola mata : normal
- Gerakan kelopak mata : normal
d. Nervus V (trigeminus)
- Sensibilitas/ sensori : normal
- Refleks dagu : ormal
- Refleks kornea : normal
e. Nervus VII (fasialis)
- Gerakan mimik : normal
- Pengecapan 2/3 lidah bagian depan : normal
f. Nervus VIII (akustikus)
Fungsi pendengaran : normal

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

g. Nervus IX dan X (glosofaringeus dan vagus)


- Refkels menelan : baik
- Refleks muntah : baik
h. Nervus XI (assesorius)
- Memalingkan kepala ke kiri dan ke kanan : normal
- Mengangkat bahu : normal
i. Nervus XII (hipoglosus)
- Deviasi lidah : tidak ada (normal)
Tanda-tanda perangsangan selaput otak
a. Kaku kuduk : tidak ada
b. Kernig sign : normal
c. Refleks brudzinski : normal

IX. Pemeriksaan Tingkat Perkembangan


1. Kemandirian dan Bergaul : ibu mengatakan An. M mudah bergaul dengan orang lain, An.
M merupakan anak yang pemberani. An. M sudah dapat memenuhi kebutuhan aktivitas
sehari-hari secara mandiri seperti makan, mium, perawatan kebersihan diri, bergaul dengan
orang lain.
2. Motorik Halus
Klien sudah mampu menulis dengan baik, saat ini klien kelas 5 SD.
3. Kognitif dan Bahasa
Ibu mengatakan kognitif klien kurang terutama pada pelajaran matematika dan IPA. An. M
belum pernah mengikuti tes IQ. Sehari-hari An. M menggunakan bahasa Indonesia.
4. Motorik Kasar
Kemampuan motorik kasar An. M normal, An. M dapat berjalan dan berlari dengan
normal. Di sekolah klien senang berolaraga seperti main kasti.

X. Data Tambahan
Pengkajian Citra Tubuh
An. M yang berusia 12 tahun yang akan memasuki masa remaja, saat ini di rawat karena
cedera kepala sedang dan post operasi kraniotomi. Saat ini, An. M tidak memiliki rambut,

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

karena dicukur sebelum dilakukan tindakan operasi. Selain itu gigi seri kanan atas An. M
patah. An. M pernah menutupi kepalanya dengan menggunakan kain, dengan alasan karena
takut verbannya copot. Saat dilakukan pengkajian, An. M mengaku malu karena tidak ada
rambutnya, An. M mengatakan malu nantinya ketika berangkat sekolah diejek oleh teman
laki-lakinya karena tidak memiliki rambut. An. M mengatakan kepada ibunya kalau nanti
sekolah, ia ingin memakai wig berambut panjang.

Reaksi hospitalisasi
An. M sebelumnya belum pernah di rawat di rumah sakit. An. M mengatakan ingin cepat
bisa pulang ke rumah, karena merasa bosan di rumah sakit. An. M mengatalan sempat
merasa cemas takut meninggak karena dilakukan tindakan operasi, karena sebelumnya ada
teman gerejanya yang meninggal dunia setelah dilakukan operasi.

ANALISA DATA
DATA MASALAH KEPERAWATAN
DO : Gangguan perfusi jaringan
- Klien post operasi craniotomi serebral
- Terdapat luka post operasi di bagian kepala kanan dan
masih terpasang drain
- Kesadaran klien compos mentis, GCS 15, E4M6V5
- Tidak ada muntah
- TTV : TD : 110/70 mmHg, N : 116 x/menit, rr : 31
x/menit , S : 36,3oC.
- Hasil CT Scan : Perdarahan epidural regio parietal
kanan dengan estimasi perdarahan +/- 30 cc, edema
serebri, fraktur linier Os temporo parietal kanan dan
occipital kanan, subgaleal hematoma, perselubungan
sinus frontalis, ethmodialis kiri
DD/ hematosinus, sinusitis
DS :
Klien mengeluh nyeri di bagian kanan kepala menjalar

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

sampai ke leher, pusing, dan lemas


DO : Nyeri akut
- Klien post operasi kraniotomi, terdapat luka post operasi
di bagian kepala kanan dan terpasang drainase
- Klien menunjukkan wajah meringis kesakitan
- Klien nampak sering teriak dan merintih kesakitan saat
dipindahposisikan
- Klien tampak tidak berani menggerakkan leher dan
kepalanya
- TTV : TD : 110/70 mmHg, N : 116 x/menit, rr : 31
x/menit , S : 36,3oC.
DS :
P (provoke): hal yang membuat nyeri di bagian kepala dan
leher, nyeri bertambah ketika klien dipindahposisikan, nyeri
hilang saat klien tidur.
Q (quality): nyeri di bagian kepala terasa nyut-nyutan
R (radiation): nyeri kepala terasa nyut-nyutan terasa
menjalar ke leher, sehingga klien tidak berani menengokkan
leher ke kanan maupun ke kiri
S (severe): skala nyeri klien adalah 6.
T (time): nyeri terasa terus menerus, dirasakan sepanjang
waktu.
DO : Resiko tinggi infeksi
- Terdapat luka post operasi kraniotomi berbentuk huruf S
di bagian kepala sebelah kanan dan terpasang drain
- TTV : TD : 110/70 mmHg, N : 116 x/menit, rr : 31
x/menit , S : 36,3oC.
- Tidak ditemukan tanda-tanda infeksi seperti pus, bau,
kemerahan bengkak, panas, dan penurunan fungsi
- Terpasang DC sejak tanggal 24 Mei 2014
- Hasil pemeriksaan laboraturium 26 Mei 2014 :

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

hemoglobin : 11,3 g/dL (N: 10,8-15,0 g/dL), hematokrit


: 31% (N : 33-45%), leukosit : 7,7 ribu/uL (N : 4,5-13,5
ribu/uL), trombosit : 272 ribu/uL (N: 184-488 ribu/uL),
eritrosit : 4,05 juta/uL (N : 3,80-5,20 juta/uL)
DS :
- Klien mengeluh nyeri saat dibersihkan luka
- Klien mengatakan setiap hari luka dibersihkan
DO : Gangguan citra tubuh
- An. M post craniotomi, saat ini An. M tidak memiliki
rambut, karena dicukur sebelum dilakukan tindakan
operasi. Selain itu gigi seri kanan atas An. M patah.
DS :
- An. M pernah menutupi kepalanya dengan menggunakan
kain, dengan alasan karena takut perbannya copot. Saat
dilakukan pengkajian, An. M mengaku malu karena tidak
ada rambutnya, An. M mengatakan malu nantinya ketika
berangkat sekolah diejek oleh teman laki-lakinya karena
tidak memiliki rambut. An. M mengatakan kepada
ibunya kalau nanti sekolah, ia ingin memakai wig
berambut panjang.

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

RENCANA INTERVENSI ASUHAN KEPERAWATAN

Inisial Klien : An. M (12 tahun)


Diagnosa Medis : cedera kepala sedang dengan epidural hematom, fraktur linier os tempoparietal dan oksipital kanan

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan Rasional


Keperawatan Evaluasi
gangguan perfusi Tujuan : selama MANDIRI
jaringan serebral dilakukan intervensi - Buat dan pertahankan infus - Pemberian obat dan hidrasi
keperawatan 3x24 intravena sesuai dengan ketentuan
jam, pasien tidak - Lakukan pengkajian dengan sering, - Bila terjadi penyimpangan dapat
mengalami khususnya TTV, pemeriksaan dilakukan tindakan sesegera
peningkatan TIK. neurologis, dan tingkat kesadaran mungkin
Hasil yang - Tempatkan anak pada posisi tirah - Untuk mencegah cedera bila kondisi
diharapkan: baring dan penghalang tempat tidur memburuk
- Klien tidak terpasang selama periode pengkajian
mengalami dansesuai dengan kebutuhan
peningkatan - Lapisi permukaan yang keras - Untuk melindungi anak selama
tekanan kejang dan gelisah berat
intrakranial (tidak - Tinggikan kepala tempat tidur - Untuk mencegah peningkatan
ada kejang, dengan sudut 30 derajat tekanan intracranial
muntah, sakit

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

kepala, penurunan - Hindari pengukuran suhu oral - Sering terjadi kejang dan muntah
kesadaran) - Berikan lingkungan yang tenang - Mengurangi gelisah dan peka
- TTV dalam batas rangsang yang dapat mengakibatkan
normal : cedera lebih lanjut
TD : 97-118/60- - Selidiki adanya keluhan nyeri yang - Dapat menandakan terjadinya
76 mmHg hebat peningkatan TIK
N : 70-110 KOLABORASI
x/menit - Pemberian terapi:
RR : 20-30 Obat diuresis osmotik : manitol - Untuk mengatasi edema serebral.
x/menit 4x75 cc, IV
Ka En 1B 500 cc/12 jam
Asam traneksamat 3x250 mg, IV - Hidrasi cairan
- Untuk mencegah perdarahan pasca
post operasi craniotomi
Nyeri akut Tujuan : selama MANDIRI
dilakukan intervensi - Monitoring tanda-tanda vital - Respon fisiologis terhadap nyeri
keperawatan 3x24 - Pertahankan imobilisasi bagian yang - Menghilangkan nyeri dan mencegah
jam, pasien tidak sakit kesalahan posisi tulang yang cedera
mengalami nyeri - Evaluasi keluhan - Mempengaruhi pilihan keefektifan
Kriteria Evaluasi: nyeri/ketidaknyamanan, perhatikan intervensi. Tingkat intensitas dapat
- anak tampak karakteristik, lokasi, termasuk mempengaruhi persepsi reaksi
rileks dan santai intensitasnya (skala 0-10). terhadap nyeri

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

- anak mau Perhatikan petunjuk nyeri non verbal


berpartisipasi (perubahan tanda-tanda vital dan
dalam emosi)
aktivitas/tidur/ - Dorong menggunakan teknik - Menfokuskan kembali perhatian,
istirahat yang manajemen stres (relaksasi, latihan meningkatkan rasa kontrol
tepat nafas dalam, guided imagery, terapi kemampuan koping dalam
- anak mampu musik audio visual) manajemen nyeri yang mungkin
menggunakanan menetap untuk periode lebih lama
ketrampilan KOLABORASI:
relaksasi Pemberian terapi :
- tanda-tanda vital - Analgesik : antiinflamasi nonsteroid - Tujuan untuk mengurangi nyeri
sdalam batas (AINS). Ketorolak, 3x15 mg, IV
normal - Antitukak : ranitidine, 2x25 mg, IV - Tujuan untuk mengatasi tukak
TD : 97-118/60- lambung akibat AINS.
76 mmHg
N : 70-110
x/menit
RR : 20-30
x/menit
Resiko infeksi Tujuan : selama MANDIRI:
dilakukan intervensi - Kaji tanda-tanda infeksi dan vital - Mengetahui tanda-tanda infeksi dan
keperawatan 3x24 sign. menentukan intervensi selanjutnya.

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

jam, resiko infeksi - Gunakan tehnik septik dan - Dapat mencegah terjadinya
tidak terjadi antiseptik. kontaminasi dengan kuman
Kriteria Hasil: penyebab infeksi.
- Tidak ada tanda- - Lakukan perawatan luka post - Mempercepat penyembuhan luka,
tanda infeksi operasi setiap hari mencegah infeksi
(rubor, dolor, - Berikan penyuluhan tentang cara - Memberikan pengertian kepada
kalor, tumor, pencegahan infeksi. klien agar dapat mengetahui tentang
fungsio laise) perawatan luka.
- Luka sembuh KOLABORASI:
dengan baik - Penatalaksanaan pemberian obat - Obat antibiotik dapat membunuh
antibiotic : ceftriaxone 2x500 mg, kuman penyebab infeksi.
IV
Gangguan citra tubuh Tujuan : selama MANDIRI
dilakukan intervensi - Diskusikan persepsi pasien tentang - Eksplorasi tentang gambaran citra
2x24 jam, gambaran citra tubuhnya dulu dan saat ini, tubuh pasien sebelum memberikan
citra tubuh pasien perasaan dan harapan terhadap citra intervensi keperawatan
positif tubuhnya saat ini.
Kriteria hasil: - Memotivasi pasien untuk melihat - Membantu pasien untuk dapat
- Pasien dapat bagian yang hilang secara bertahap, menerima bagian tubuhnya
mengidentifikasi bantu pasien menyentuh bagian
citra tubuhnya tersebut.
- Pasien dapat - Diskusikan aspek positif diri - Meningkatkan harga diri pasien

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

meningkatkan - Ajarkan pasien meningkatkan citra - Membantu untuk meningkatkan


penerimaan tubuh dengan cara : citra tubuh pasien
terhadap citra  Gunakan protese, kosmetik atau
tubuh yang lainnya sesegera mungkin,
- Pasien dapat gunakan pakaian yang baru
mengidentifikasi  Motivasi pasien untuk
aspek positif diri melakukan aktifitas yang
- Pasien dapat mengarah pada pembentukan
mengetahui cara- tubuh yang ideal
cara untuk
meningkatkan
citra tubuh

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

CATATAN PERKEMBANGAN

Inisial Klien : An. M (12 tahun)


Diagnosa Medis : cedera kepala sedang dengan epidural hematom, fraktur linier os tempoparietal dan oksipital kanan

Tanggal Diagnosa Implementasi Evaluasi


Keperawatan
27 Mei Gangguan perfusi MANDIRI: S:
2014 jaringan serebral - Mempertahankan infus untuk - Keluarga mengatakan anak tidak mengalami
(Selasa) meberikan terapi muntah
- Melakukan pengkajian dengan sering, - Anak mengeluh nyeri di bagian luka post operasi
khususnya TTV, tanda neurologis dan leher
(peningkatan TIK), tingkat kesadaran - Anak mengatakan tidak merasa pusing
- Memberikan anak pada posisi tirah - Anak mengatakan lebih nyaman dalam posisi
baring dan penghalang tempat tidur berbaring
terpasang O:
- Memberikan posisi kepala elevasi 30o - Anak terpasang infus di bagian vena median cubiti
- Memberikan lingkungan yang tenang dextra
KOLABORASI: - TTV: TD : 100/60 mmHg N: 95 x/menit; RR : 22
- Memberikan terapi: x/menit, S : 36,3oC. Kesadaran composs mentiss
Manitol 4x75 cc, IV GCS 15 E4M6V5
Ka En 1B 500 cc/12 jam - Klien terpasang IVFD Ka En 1B 500 cc/12 jam

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

Asam traneksamat 3x250 mg, IV - Terdapat luka post operasi craniotomi dan
terpasang drain
- Kejang (-), muntah (-)
- Lingkungan klien tenang
- Klien mendapatkan terapi manitol 4x75 ml, asam
traneksamat 3x250 mg
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi keperawatan
- Melakukan pengkajian dengan sering, khususnya
TTV, tanda neurologis (peningkatan TIK), tingkat
kesadaran
- Memberikan anak pada posisi tirah baring elevasi
kepala 30o dan penghalang tempat tidur terpasang
- Melanjutkan terapi kolaborasi sesuai dengan
indikasi
27 Mei Nyeri akut MANDIRI: S:
2014 - Mengkaji tanda-tanda vital - Klien mengatakan nyeri di bagian luka operasi
(Selasa) - Membatasi pergerakan bagian tubuh yaitu di bagian kepala, nyeri terasa nyut-nyutan,
yang sakit/nyeri nyeri datang dan bertambah ketika klien
- Mengevaluasi keluhan dipindahposisikan, nyeri hilang saat klien tidur.
nyeri/ketidaknyamanan, perhatikan - Klien mengatakan nyeri berkurang setelah
karakteristik, lokasi, termasuk dilakukan latihan tarik nafas dan terapi musik

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

intensitasnya (skala 0-10). Dan audio visual, klien mengatakan merasa senang
mengobservasi respon non verbal setelah melakukan latihan nafas dalam
- Mengajak teknik manajemen O:
relaksasi dengan cara tarik nafas - Klien mampu melakukan latihan relaksasi nafas
dalam dan terapi musik audio visual, dalam sebanyak 3 siklus (1 siklus 5 kali)
5 jam setelah pemberian terapi - Wajah klien tampak lebih ceria setelah dilakukan
analgesik terapi music audio visual
KOLABORASI - Klien tampak berhati-hati menggerakkan area
- Memberikan terapi : yang sakit
Ketorolak, 3x15 mg, IV - TTV
Ranitidine, 2x25 mg, IV Sebelum intervensi
TD:100/60 mmHg N: 95 x/menit; RR: 22 x/menit,
S : 36,3oC, skala nyeri 4, skala kecemasan 1
Setelah intervensi
TD:100/60 mmHg; N: 78 x/menit, RR : 14
o
x/menit; S : 36,3 C, skala nyeri 2, skala
kecemasan 1
A : masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi keperawatan
- anjurkan klien untuk melakukan latihan nafas
dalam secara mandiri, dan mendengarkan musik
untuk mengurangi nyeri

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

- Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya


(skala 0-10). Observasi dan laporkan perubahan
nyeri dengan tepat.
- Berikan analgesik sesuai dengan indikasi
27 Mei Resiko tinggi MANDIRI: S:
2014 infeksi - Mengkaji adanya tanda-tanda infeksi - Keluarga mengatakan An. M tidak mengalami
(Selasa) dan vital sign. demam
- Menggunakan teknik septik dan O :
antiseptik. - Perawat melakukan cuci tangan sesuai 5 moment
- Memberikan penyuluhan tentang - Terdapat luka post operasi craniotomy di bagian
cara pencegahan infeksi. kepala berbentuk huruf S dan terpasang drain.
KOLABORASI: luka tampak bersih, tidak ada kemerahan, bengkak,
Memberikan obat antibiotic. teraba hangat, terasa nyeri, terdapat jahitan.
ceftriaxone 2x500 mg, IV - TTV : TD:100/60 mmHg; N: 78 x/menit, RR : 14
o
x/menit; S : 36,3 C, skala nyeri 2, skala
kecemasan 1
A : masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi keperawatan
- Mengkaji adanya tanda-tanda infeksi dan vital
sign.
- Melakukan perawatan luka post operasi
- Memberikan obat antibiotik sesuai dengan indikasi

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

28 Mei Gangguan perfusi MANDIRI: S:


2014 jaringan serebral - Mempertahankan infus untuk - Keluarga mengatakan anak tidak mengalami
(Rabu) meberikan terapi muntah
- Melakukan pengkajian dengan sering, - Anak mengeluh nyeri di bagian luka post operasi
khususnya TTV, tanda neurologis craniotomi
(peningkatan TIK), tingkat kesadaran - Anak mengatakan tidak merasa pusing
- Memberikan anak pada posisi tirah - Anak mengatakan saat ini sudah dapat mirng
baring dan penghalang tempat tidur kanan miring kiri tanpa rasa sakit
terpasang O:
- Memberikan posisi kepala elevasi 30o - Anak terpasang infus di bagian vena median cubiti
- Memberikan lingkungan yang tenang dextra
KOLABORASI: - TTV: TD : 100/60 mmHg N: 88 x/menit; RR : 20
- Memberikan terapi: x/menit, S : 36,4oC. Kesadaran composs mentiss
Manitol 4x75 cc, IV GCS 15 E4M6V5
Ka En 1B 500 cc/12 jam - Klien terpasang IVFD Ka En 1B 500 cc/12 jam
Asam traneksamat 3x250 mg, IV - Terdapat luka post operasi craniotomi dan
terpasang drain
- Kejang (-), muntah (-)
- Lingkungan klien tenang
- Klien mendapatkan terapi manitol 4x75 ml, asam
traneksamat 3x250 mg
A: masalah teratasi sebagian

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

P: lanjutkan intervensi keperawatan


- Melakukan pengkajian dengan sering, khususnya
TTV, tanda neurologis (peningkatan TIK), tingkat
kesadaran
- Memberikan anak pada posisi tirah baring elevasi
kepala 30o dan penghalang tempat tidur terpasang
- Melanjutkan terapi kolaborasi sesuai dengan
indikasi
28 Mei Nyeri akut MANDIRI: S:
2014 - Mengkaji tanda-tanda vital - Klien mengatakan nyeri di bagian luka operasi
(Rabu) - Membatasi pergerakan bagian tubuh yaitu di bagian kepala, nyeri terasa nyut-nyutan,
yang sakit/nyeri nyeri datang hanya sesekali saja jika klien pindah
- Mengevaluasi keluhan posisi kepala
nyeri/ketidaknyamanan, perhatikan - Klien mengatakan nyeri berkurang setelah
karakteristik, lokasi, termasuk dilakukan latihan tarik nafas dan terapi musik
intensitasnya (skala 0-10). Dan audio visual, klien mengatakan merasa senang
mengobservasi respon non verbal setelah melakukan latihan nafas dalam
- Mengajak teknik manajemen O:
relaksasi dengan cara tarik nafas - Klien mampu melakukan latihan relaksasi nafas
dalam dan terapi musik audio visual, dalam sebanyak 2 siklus (1 siklus 5 kali)
5 jam setelah pemberian terapi - Wajah klien tampak lebih ceria
analgesik - Klien tampak berhati-hati menggerakkan area

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

KOLABORASI yang sakit


- Memberikan terapi : - TTV
Ketorolak, 3x15 mg, IV Sebelum intervensi
Ranitidine, 2x25 mg, IV TD : 100/60 mmHg N: 88 x/menit; RR : 20 x/menit, S
: 36,4oC, skala nyeri 3, skala kecemasan 1
Setelah intervensi
TD:100/60 mmHg; N: 79 x/menit, RR : 16x/menit; S :
36,4oC, skala nyeri 1, skala kecemasan 1
A : masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi keperawatan
- anjurkan klien untuk melakukan latihan nafas
dalam secara mandiri, dan mendengarkan musik
untuk mengurangi nyeri
- Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya
(skala 0-10). Observasi dan laporkan perubahan
nyeri dengan tepat.
- Berikan analgesik sesuai dengan indikasi
28 Mei Resiko tinggi MANDIRI: S:
2014 infeksi - Mengkaji adanya tanda-tanda infeksi - Keluarga mengatakan An. M tidak mengalami
(rabu) dan vital sign. demam
- Menggunakan teknik septik dan O :
antiseptik. - Perawat melakukan cuci tangan sesuai 5 moment

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

- Memberikan penyuluhan tentang - Terdapat luka post operasi craniotomy di bagian


cara pencegahan infeksi. kepala berbentuk huruf S dan terpasang drain.
- Melakukan perawatan luka post luka tampak bersih, tidak ada kemerahan, bengkak,
operasi craniotomi teraba hangat, terasa nyeri, dan masih terpasang
KOLABORASI: jahitan

Memberikan obat antibiotic. - TTV :TD: 100/60 mmHg N: 88 x/menit; RR: 20

ceftriaxone 2x500 mg, IV x/menit, S :36,4oC, skala nyeri 3, skala kecemasan


1
A : masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi keperawatan
- Mengkaji adanya tanda-tanda infeksi dan vital
sign.
- Melakukan perawatan luka post operasi
- Memberikan obat antibiotik sesuai dengan indikasi
29-30 Mei Gangguan perfusi MANDIRI: S:
2014 jaringan serebral - Mempertahankan infus untuk - Keluarga mengatakan anak tidak mengalami
meberikan terapi muntah
- Melakukan pengkajian dengan sering, - Anak mengatakan tidak merasa nyeri lagi di
khususnya TTV, tanda neurologis bagian luka post operasi
(peningkatan TIK), tingkat kesadaran - Anak mengatakan tidak merasa pusing
- Memberikan anak pada posisi tirah - Anak mengatakan saat ini sudah dapat miring
baring dan penghalang tempat tidur kanan miring kiri, duduk, berdiri, dan jalan kaki

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

terpasang O:
- Memberikan posisi kepala elevasi 30o - Anak terpasang infus di bagian vena median cubiti
- Memberikan lingkungan yang tenang dextra
KOLABORASI: - TTV: TD : 110/60 mmHg N: 84 x/menit; RR : 20
- Memberikan terapi: x/menit, S : 36,3oC. Kesadaran composs mentiss
Manitol 4x25 cc, IV GCS 15 E4M6V5
Ka En 1B 500 cc/12 jam - Klien terpasang IVFD Ka En 1B 500 cc/12 jam
Asam traneksamat 3x250 mg, IV - Terdapat luka post operasi craniotomi dan
terpasang drain
- Kejang (-), muntah (-)
- Lingkungan klien tenang
- Klien mendapatkan terapi manitol 4x72 ml, asam
traneksamat 3x250 mg
A: masalah teratasi
P: lanjutkan intervensi keperawatan
- Melanjutkan terapi kolaborasi sesuai dengan
indikasi
Pemberian Ka En 1B 500 cc/12 jam
Asam traneksamat 3x250 mg (karena masih
terpasang drain)

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

29-30 Mei Nyeri akut MANDIRI: S:


2014 - Mengkaji tanda-tanda vital - Klien mengatakan sudah tidak merasakan nyeri di
- Membatasi pergerakan bagian tubuh bagian luka post operasi craniotomi, skala nyeri 2.
yang sakit/nyeri O:
- Mengevaluasi keluhan - Klien mampu melakukan latihan relaksasi nafas
nyeri/ketidaknyamanan, perhatikan dalam sebanyak 2 siklus (1 siklus 5 kali)
karakteristik, lokasi, termasuk - Wajah klien tampak lebih ceria
intensitasnya (skala 0-10). Dan - Klien tampak berhati-hati menggerakkan area
mengobservasi respon non verbal yang sakit
- Mengajak teknik manajemen - TTV: TD : 110/60 mmHg N: 84 x/menit; RR : 20
relaksasi dengan cara tarik nafas x/menit, S : 36,3oC
dalam A : masalah teratasi sebagan
KOLABORASI P : lanjutkan intervensi keperawatan
- Memberikan terapi : - anjurkan klien untuk melakukan latihan nafas
Ketorolak, 3x15 mg, IV dalam secara mandiri dan mendengarkan musik
Ranitidine, 2x25 mg, IV jika merasa nyeri
- Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya
(skala 0-10). Observasi dan laporkan perubahan
nyeri dengan tepat.
- Berikan analgesik sesuai dengan indikasi
29-30 Mei Resiko tinggi MANDIRI: S:
2014 infeksi - Mengkaji adanya tanda-tanda infeksi - Keluarga mengatakan An. M tidak mengalami

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

dan vital sign. demam


- Menggunakan teknik septik dan O :
antiseptik. - Perawat melakukan cuci tangan sesuai 5 moment
- Memberikan penyuluhan tentang - Terdapat luka post operasi craniotomy di bagian
cara pencegahan infeksi. kepala berbentuk huruf S. Tidak ada tanda-tanda
- Melakukan perawatan luka post infeksi, masih terpasang drain, masih terdapat
operasi craniotomi jahitan
KOLABORASI: - TTV : TD : 110/60 mmHg N: 84 x/menit; RR : 20
Memberikan obat antibiotic. x/menit, S : 36,3oC
ceftriaxone 2x500 mg, IV A : masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi keperawatan
- Mengkaji adanya tanda-tanda infeksi dan vital
sign.
- Melakukan perawatan luka post operasi
- Memberikan obat antibiotik sesuai dengan indikasi
31 Mei Nyeri akut MANDIRI: S:
2014 - Mengkaji tanda-tanda vital - Klien mengatakan sudah tidak merasakan nyeri di
- Membatasi pergerakan bagian tubuh bagian luka post operasi craniotomi, skala nyeri 1.
yang sakit/nyeri O:
- Mengevaluasi keluhan - Klien mampu melakukan latihan relaksasi nafas
nyeri/ketidaknyamanan, perhatikan dalam sebanyak 2 siklus (1 siklus 5 kali)
karakteristik, lokasi, termasuk - Wajah klien tampak lebih ceria

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

intensitasnya (skala 0-10). Dan - Klien tampak berhati-hati menggerakkan area


mengobservasi respon non verbal yang sakit
- Mengajak teknik manajemen - TTV: TD : 100/60 mmHg N: 79 x/menit; RR : 19
relaksasi dengan cara tarik nafas x/menit, S : 36,3oC
dalam - Klien terpasang IVFD Ka En 1B 500 cc/12 jam
KOLABORASI A : masalah teratasi
- Memberikan terapi : P:
Ketorolak, 3x15 mg, IV - anjurkan klien untuk melakukan latihan nafas
Ranitidine, 2x25 mg, IV dalam secara mandiri dan mendengarkan musik
jika merasa nyeri
- Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya
(skala 0-10). Observasi dan laporkan perubahan
nyeri dengan tepat.
31 Mei Resiko tinggi MANDIRI: S:
2014 infeksi - Mengkaji adanya tanda-tanda infeksi - Keluarga mengatakan An. M tidak mengalami
dan vital sign. demam
- Menggunakan teknik septik dan - Klien mengatakan tidak merasa nyeri saat diganti
antiseptik. balutan dan di lepas drain nya.
- Memberikan penyuluhan tentang O :
cara pencegahan infeksi. - Perawat melakukan cuci tangan sesuai 5 moment
- Melakukan perawatan luka post - Terdapat luka post operasi craniotomy di bagian
operasi craniotomy dan melepas kepala berbentuk huruf S. Tidak ada tanda-tanda

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

drain infeksi, tidak terpasang drain, masih terdapat


- Memotivasi untuk melakukan jahitan.
latihan napas dalam dan melakukan - TTV : TD : 100/60 mmHg N: 79 x/menit; RR : 19
terapi musik audio visual saat x/menit, S : 36,3oC
melakukan perawatan luka A : masalah teratasi sebagian
KOLABORASI: P : lanjutkan intervensi keperawatan
Memberikan obat antibiotic. - Mengkaji adanya tanda-tanda infeksi dan vital
ceftriaxone 2x500 mg, IV sign.
Ka En 1 B 500 cc/12 jam - Melakukan perawatan luka post operasi, lepas
jahitan selang seling
- Memberikan obat antibiotik sesuai dengan indikasi
2 Juni Resiko tinggi MANDIRI: S:
2014 infeksi - Mengkaji adanya tanda-tanda infeksi - Keluarga mengatakan An. M tidak mengalami
dan vital sign. demam
- Menggunakan teknik septik dan - Klien mengatakan tidak merasa nyeri saat diganti
antiseptik. balutan dan dilepas jahitan
- Melakukan perawatan luka post O :
operasi craniotomy dan melepas - Klien terpasang IVFD Ka En 1B 500 cc/12 jam
jahitan luka post operasi selang - Perawat melakukan cuci tangan sesuai 5 moment
seling - Terdapat luka post operasi craniotomy di bagian
- Memotivasi untuk melakukan kepala berbentuk huruf S. Tidak ada tanda-tanda
latihan tarik napas dalam dan terapi infeksi, tidak terpasang drain, jahitan sudah dilepas

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

musik audio visual saat mengganti selang seling


balutan dan melepas jahitan - TTV : TD : 100/60 mmHg N: 82 x/menit; RR : 20
KOLABORASI: x/menit, S : 36,3oC
Memberikan obat antibiotic. A : masalah teratasi sebagian
ceftriaxone 2x500 mg, IV P : lanjutkan intervensi keperawatan
Ketorolak 3x15 mg, IV - Mengkaji adanya tanda-tanda infeksi dan vital
sign.
- Melakukan perawatan luka post operasi, lepas
jahitan selang seling
- Memberikan obat antibiotik sesuai dengan indikasi
2 Juni Gangguan citra MANDIRI: S:
2014 tubuh - Mendiskusikan persepsi anak tentang - Klien mengatakan merasa senang setelah
citra tubuhnya dulu dan saat ini, berbincang-bincang dengan perawat
perasaan dan harapan terhadap citra - Klien mengatakan ia merasa malu dan takut diejek
tubuhnya saat ini. oleh teman-teman sekolahnya karena botak
- Mendiskusikan aspek positif diri - Klien mengatakan memiliki aspek positif yaitu
- Mengajarkan pasien meningkatkan senang memainkan piano di rumahnya.
citra tubuh dengan cara : - Keluarga mengatakan akan membelikan rambut
 Gunakan protese seperti rambut palsu
palsu ketika berangkat sekolah O:
atau main dengan temannya. - Klien mampu mengungkapkan persepsi tentang
- Memberikan pujian kepada anak citra tubuhnya sebelum di operasi (rambutnya

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

panjang) dan setelah di operasi (tidak ada rambut)


A : masalah teratasi
P:
- Mengevaluasi aspek positif yang dimiliki anak
- Memberikan pujian kepada anak
3 Juni Resiko tinggi MANDIRI: S:
2014 infeksi - Mengkaji adanya tanda-tanda infeksi - Keluarga mengatakan An. M tidak mengalami
dan vital sign. demam
- Menggunakan teknik septik dan - Klien mengatakan tidak merasa nyeri saat diganti
antiseptik. balutan dan dilepas jahitan
- Melakukan perawatan luka post O :
operasi craniotomy dan melepas - Klien terpasang stroper
jahitan luka post operasi - Perawat melakukan cuci tangan sesuai 5 moment
- Memotivasi untuk melakukan - Terdapat luka post operasi craniotomy di bagian
latihan tarik napas dalam dan terapi kepala berbentuk huruf S. Tidak ada tanda-tanda
musik audio visual saat mengganti infeksi, tidak terpasang drain, jahitan sudah
balutan dan melepas jahitan dilepas, luka dibalut dengan kassa
KOLABORASI: - TTV : TD : 100/60 mmHg N: 83 x/menit; RR : 17
Memberikan obat antibiotic. x/menit, S : 36,3oC
ceftriaxone 2x500 mg, IV A : masalah teratasi sebagian
Ketorolak 3x15 mg, IV P : klien rencana pulang besok
- Kontrol di poli : 11 Juni 2014

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 2

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014


Lampiran 3

BIODATA PENELITI

Nama : Fina Devy Aryanti (Fina)

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, tanggal lahir : Cirebon, 9 Desember 1991

Alamat : Jln. Raya Dewi Sartika No. 219 RT.04/RW. 07 Waled Desa
Kec. Waled Kab. Cirebon Jawa Barat

No. HP : 085695633263

Email : d_fina@ymail.com

Agama : Islam

Kewarganegaraan : Indonesia

Riwayat Pendidikan Formal

TK Islam Al-Hikmah 1996-1997


SD Negeri 02 Waled Kota 1997-2003
SMP Negeri 1 Ciledug 2003-2006
SMA Negeri 1 Lemahabang 2006-2009
Sarjana Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 2009-2013
Profesi Ners-Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas 2013-2014
Indonesia

Analisis praktik..., Fina Devy Aryanti, FIK UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai