Anda di halaman 1dari 116

UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN GANGGUAN SENDI TEMPOROMANDIBULA


DENGAN KUALITAS TIDUR PADA PERAWAT UMUM DI
RUMAH SAKIT SWASTA TIPE C

SKRIPSI

FADHILAH NUR AMALINA


1406574863

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI
JAKARTA
DESEMBER 2017
UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN GANGGUAN SENDI TEMPOROMANDIBULA


DENGAN KUALITAS TIDUR PADA PERAWAT UMUM DI
RUMAH SAKIT SWASTA TIPE C

SKRIPSI
Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Gigi

FADHILAH NUR AMALINA


1406574863

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI
JAKARTA
DESEMBER 2017

ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Fadhilah Nur Amalina

NPM : 1406574863

Tanda Tangan :

Tanggal : 22 Desember 2017

iii
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :


Nama : Fadhilah Nur Amalina
NPM : 1406574863
Program Studi : Pendidikan Dokter Gigi
Judul Skripsi : Hubungan Ganguan Sendi Temporomandibula
dengan Kualitas Tidur pada Perawat Umum di
Rumah Sakit Swasta Tipe C

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana
Kedokteran Gigi pada Program Studi Pendidikan Dokter Gigi, Fakultas
Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing 1 : Dr. drg Ira Tanti, Sp.Pros (K) ( )

Pembimbing 2 : drg. David Maxwell, Sp.Pros ( )

Penguji 1 : drg. Saraventi, Sp.Pros ( )

Penguji 2 : drg.Pinta Marito, Sp.Pros ( )

Ditetapkan di : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

Tanggal : 22 Desember 2017

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa
banyak pihak yang telah membantu penulis, baik dalam, penyusunan penulisan,
maupun penelitian sampai selesainya skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. drg Ira Tanti, Sp.Pros (K) selaku pembimbing 1 dan drg. David Maxwell
Sp.Pros selaku pembimbing 2 yang telah menyediakan waktu di tengah
kesibukan beliau untuk memberikan bimbingan, saran, dukungan serta
motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
2. drg. Saraventi, Sp.Pros selaku penguji 1 dan drg. Pinta Marito, Sp.Pros
selaku penguji 2 yang telah menyediakan waktu dan saran dalam
penyusunan skripsi sehingga dapat menjadi lebih baik.
3. Seluruh staf pengajar departemen Prostodonsia yang telah memberikan
bekal ilmu, saran, dan bantuannya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik.
4. Mbak Titin dan Mas Didit atas segala bantuannya sehingga memperlancar
proses penyelesaian skripsi ini.
5. Kedua orang tua yaitu Ibu (Mugi Yanti, M.Si) dan Baba (Sandy Irawan, Ak,
M.M), serta adik-adik (Khairina Nur Aini, Fariz Fathurrahman, dan Rumi
Aulia Rahmanisa) untuk segala cinta, kasih sayang, doa, kesabaran serta
dukungan dari segi moril maupun materiil dalam penyusunan skripsi ini.
6. Pihak Rumah Sakit Hasanah Graha Afiah Depok yang telah memberikan
kesempatan dan kesediaannya bagi penulis untuk melakukan penelitian.
7. Seluruh staf perawat Rumah Sakit Hasanah Graha Afiah Depok yang
bersedia meluangkan waktu dan berpartisipasi dalam penelitian ini.
8. Saly Salim Saleh Alatas yang telah banyak membantu meluangkan waktu
dan tenaga dalam pengambilan data, serta memberikan dukungan dalam
penyusunan skripsi ini.

v
9. Sahabat-sahabat terbaik Jessica Kurniawan, Jacky Wijaya, Marceline
Olivia, Maria Alvira Vanessa, Sofwan Ardiansyah, Tsany Saadi, Intan
Detrianis, Livia Ignatia, Joceline Angela, Britania Theresa dan Jojor Sinta
atas persahabatan, hiburan, dukungan, kesabaran, doa, dan suka cita yang
senantiasa diberikan demi terwujudnya penelitian ini.
10. Teman seperjuangan skripsi Prostodonsia Reny Mawardini, Sheynna Azka
Afifah, Mutia Nafisah dan Indah Sri Bernadetta atas dukungan, doa, dan
motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman FKG UI 2014 untuk segala kebersamaan dan kerjasama
selama menempuh pendidikan S1.
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan, dukungan, doa dan semangat untuk penyusunan
skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung

Akhir kata, penulis berterima kasih atas segala bantuan yang diberikan,
semoga Allah SWT dapat membalas kebaikan semua pihak yang membantu dalam
penyusunan skripsi ini. Penulis mohon maaf atas segala kekurangan dalam skripsi
ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Jakarta

Penulis

vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:

Nama : Fadhilah Nur Amalina


NPM : 1406574863
Program Studi : Pendidikan Dokter Gigi
Fakultas : Kedokteran Gigi
Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

“Hubungan Gangguan Sendi Temporomandibula dengan Kualitas Tidur


pada Perawat Umum di Rumah Sakit Swasta Tipe C”

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat,
dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Jakarta


Pada tanggal: 22 Desember 2017
Yang menyatakan,

(Fadhilah Nur Amalina)

vii
ABSTRAK

Nama : Fadhilah Nur Amalina


Program Studi : Pendidikan Dokter Gigi
Judul : Hubungan Gangguan Sendi Temporomandibula dengan
Kualitas Tidur pada Perawat Umum di Rumah Sakit Swasta
Tipe C

Latar belakang: Gangguan sendi temporomandibula dapat memengaruhi kualitas


tidur. Penelitian mengenai hubungan gangguan sendi temporomandibula dan
kualitas tidur pada perawat umum di rumah sakit dengan menggunakan kuesioner
ID-TMD dan PSQI belum pernah dilakukan di Indonesia. Tujuan: Menganalisis
hubungan gangguan sendi temporomandibula dengan kualitas tidur, stres kerja, dan
faktor sosiodemografis (jenis kelamin, usia, status sosial ekonomi, tingkat
pendidikan, dan status pernikahan) pada perawat umum di rumah sakit swasta tipe
C. Menganalisis hubungan kualitas tidur dengan stres kerja dan faktor
sosiodemografis (jenis kelamin, usia, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan
status pernikahan) pada perawat umum di rumah sakit swasta tipe C. Metode:
Penelitian menggunakan desain cross sectional pada 92 subjek perawat di rumah
sakit Hasanah Graha Afiah. Subjek mengisi tiga buah kuesioner yaitu; ID-TMD
untuk mengukur gangguan sendi temporomandibula, PSQI versi bahasa Indonesia
untuk mengukur kualitas tidur, dan ENSS versi bahasa Indonesia untuk mengukur
stres kerja. Hasil Penelitian: Uji chi-square menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan bermakna (p=0.02) antara gangguan sendi temporomandibula dengan
kualitas tidur pada perawat umum di rumah sakit swasta tipe C. Uji Mann-Whitney
dan Independen T-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna
yang signifikan (p>0.05) antara gangguan sendi temporomandibula dengan stres
kerja pada perawat umum di rumah sakit swasta tipe C. Uji chi-square
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0.05) antara gangguan
sendi temporomandibula dengan faktor sosiodemografi (jenis kelamin, tingkat
pendidikan, status sosial ekonomi, status pernikahan) pada perawat umum di rumah
sakit swasta tipe C. Uji Indepeden T-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
bermakna (p=0.035) antara kualitas tidur dengan komponen ENSS masalah dengan
pasien dan keluarganya pada perawat umum di rumah sakit swasta tipe C. Uji chi-
square menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0.05) antara
kualitas tidur dengan faktor sosiodemografi (jenis kelamin, tingkat pendidikan,
status sosial ekonomi, status pernikahan) pada perawat umum di rumah sakit swasta
tipe C. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara gangguan sendi temporomandibula
dengan kualitas tidur pada perawat umum di rumah sakit swasta tipe C.

Kata kunci: gangguan sendi temporomandibula, kualitas tidur, ID-TMD, PSQI

viii
Universitas Indonesia
ABSTRACT

Name : Fadhilah Nur Amalina


Study Program : Dentistry
Title : The Relationship Between Temporomandibular Disorder
and Quality of Sleep on Nurses in Type C Private Hospital

Backgroud: Temporomandibular disorder can affect quality of sleep. The study


analyzing the association between temporomandibular disorder and quality of sleep
on nurses in type C private hospital using ID-TMD and PSQI Indonesian version
questionnaire has never been conducted in Indonesia. Objectives: Analyzing the
relationship between temporomandibular disorder with quality of sleep, work
stress, and sociodemographic factors (gender, age, sosial economic status,
education level, and marital status) on nurses in type C private hospital. Analyzing
the relationship between quality of sleep with work stress and sociodemographic
factors (gender, age, sosial economic status, education level, and marital status on
nurses in type C private hospital. Methods: This cross sectional study assessed the
data of 92 nurses in Hasanah Graha Afiah Hospital. Three questionnaires were
given to each hospital nurse. The ID-TMD questionnaire was used to evaluate
temporomandibular disorder, the PSQI Indonesian version was used to evaluate
quality of sleep, and the ENSS Indonesian version was used to evaluate work stress.
Results: Chi square test showed significant differences (p=0.02) between
temporomandibular disorder and quality of sleep on nurses in type C private
hospital. Mann-Whitney and Independent T-test showed that there are no
significant differences (p>0.05) between temporomandibular disorder and work
stress on nurses in type C private hospital. Chi square test showed that there are no
significant differences (p>0.05) between temporomandibular disorder and
sociodemographic factors (gender, age, sosial economic status, education level, and
marital status) on nurses in type C private hospital. Independent T-test showed
significant differences (p=0.035) between quality of sleep and one of the ENSS
component patients and their families on nurses in type C private hospital. Chi
square test showed that there are no significant differences (p>0.05) between
quality of sleep and sociodemographic factors (gender, age, sosial economic status,
education level, and marital status) on nurses in type C private hospital.
Conclusion: Temporomandibular disorder was associated with quality of sleep on
nurses in type C private hospital.

Keywords: Temporomandibular disorders, quality of sleep, ID-TMD, PSQI, ENSS

DAFTAR ISI

ix
Universitas Indonesia
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iv
KATA PENGANTAR ..........................................................................................v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN .............................................. vii
ABSTRAK ........................................................................................................ viii
DAFTAR ISI.........................................................................................................x
DAFTAR TABEL.............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ...........................................................................................3
1.2.1 Pertanyaan penelitian................................................................................4
1.2.1.1 Pertanyaan Umum ............................................................................4
1.2.1.2 Pertanyaan Khusus ...........................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................4
1.3.1 Tujuan Umum ..........................................................................................4
1.3.2 Tujuan Khusus .........................................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian .........................................................................................5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................7
2.1 Gangguan Sendi Temporomandibula .............................................................7
2.1.1 Etiologi Gangguan Sendi Temporomandibula ........................................7
2.1.2 Epidemiologi Gangguan Sendi Temporomandibula .............................11
2.1.3 Alat Ukur Gangguan Sendi Temporomandibula ...................................12
2.1.3.1 The Research Diagnostic Criteria for Temporomandibular
Disorders (RDC/TMD) ..............................................................................12
2.1.3.2 Diagnostic Criteria for Temporomandibular
Disorders (DC/TMD) ................................................................................12
2.1.3.3 Indeks Helkimo ..............................................................................15
2.1.3.4 Indeks Diagnostik Temporomandibular Disorder .........................16
2.2 Tidur .............................................................................................................17
2.2.1 Kualitas Tidur .........................................................................................19
2.2.1.1 Faktor yang Memengaruhi Kualitas Tidur .....................................20
2.1.1.2 Alat Ukur Kualitas Tidur ...............................................................23
2.1.1.2.1 Polisomnografi ................................................................23
2.1.1.2.2 Pittsburgh Sleep Quality Index .......................................24
2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Gangguan Sendi Temporomandibula dan
Kualitas Tidur .....................................................................................................26
2.3.1 Stres Kerja ..............................................................................................26
2.3.1.1 Stres Kerja Pada Perawat di Rumah Sakit .....................................26
2.3.1.2 Alat Ukur Stres Kerja Pada Perawat ..............................................27
2.3.1.2.1 Expanded Nursing Stress Scale (ENSS) ..............................27
2.3.2 Jenis Kelamin .........................................................................................30
2.3.3 Usia .........................................................................................................31
2.3.4 Status Sosial ekonomi ............................................................................32

x
Universitas Indonesia
2.3.5 Tingkat Pendidikan .................................................................................33
2.3.6 Status Pernikahan ...................................................................................34
2.4 Kerangka Teori .............................................................................................35
BAB 3 KERANGKA KONSEP...........................................................................36
3.1 Kerangka Konsep ..........................................................................................36
3.2 Hipotesis Penelitian ......................................................................................36
3.2.1 Hipotesis Mayor.....................................................................................36
3.2.2 Hipotesis Minor .....................................................................................36
BAB 4 METODE PENELITIAN ........................................................................38
4.1 Desain Penelitian ..........................................................................................38
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................................38
4.3 Subjek Penelitian ..........................................................................................38
4.3.1 Kriteria Inklusi .......................................................................................38
4.3.2 Kriteria Eksklusi ....................................................................................38
4.4 Jumlah Subjek Penelitian ..............................................................................38
4.5 Cara Pengambilan Subjek .............................................................................39
4.6 Cara Pengambilan Data ................................................................................39
4.7 Alat dan Bahan..............................................................................................40
4.8 Alat Ukur Berupa Kuesioner ........................................................................40
4.9 Alir Penelitian ...............................................................................................41
4.10 Mekanisme Kerja ........................................................................................41
4.11 Definisi Operasional ...................................................................................42
4.12 Analisis Data ...............................................................................................45
4.13 Etik Penelitian .............................................................................................46
BAB 5 HASIL PENELITIAN .............................................................................47
5.1 Analisis Univariat .........................................................................................47
5.2 Analisis Bivariat ...........................................................................................54
BAB 6 PEMBAHASAN .......................................................................................60
6.1 Desain Penelitian ..........................................................................................60
6.2 Kualitas Data dan Besar Sampel ...................................................................60
6.3 Pembahasan Hasil Analisis Data ..................................................................61
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................68
7.1 Kesimpulan ...................................................................................................68
7.2 Saran .............................................................................................................68
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................69
LAMPIRAN ..........................................................................................................74

DAFTAR TABEL

xi
Universitas Indonesia
Tabel 4.11 Definisi Operasional ...........................................................................42

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Data Gangguan Sendi Temporomandibula,


Kualitas Tidur, dan Sosiodemografi (Jenis Kelamin, Usia, Tingkat
Pendidikan, Status Sosial Ekonomi, dan Status Pernikahan) ..............48

Tabel 5.2 Rerata Komponen Expanded Nursing Stress Scale (ENSS) versi
Bahasa Indonesia .................................................................................49

Tabel 5.3 Distribusi Kuesioner ID-TMD ............................................................50

Tabel 5.4 Skor PSQI Total Responden dan Rata-rata Tiap Komponen ..............51

Tabel 5.5 Distribusi Komponen Kualitas Tidur Subjektif Kuesioner PSQI .......51

Tabel 5.6 Distribusi Komponen Latensi Tidur Kuesioner PSQI ........................52

Tabel 5.7 Distribusi Komponen Durasi Tidur Kuesioner PSQI .........................52

Tabel 5.8 Distribusi Komponen Efisiensi Kebiasaan Tidur Kuesioner PSQI.....52

Tabel 5.9 Distribusi Komponen Gangguan saat Tidur Kuesioner PSQI.............53

Tabel 5.10 Distribusi Komponen Penggunaan Obat Tidur Kuesioner PSQI ........53

Tabel 5.11 Distribusi Komponen Disfungsi pada Siang Hari Kuesioner PSQI ... 54

Tabel 5.12 Hubungan Gangguan Sendi Temporomandibula Dengan Kualitas


Tidur ....................................................................................................54

Tabel 5.13 Hubungan Gangguan Sendi Temporomandibula Dengan Stres Kerja 55

Tabel 5.14 Hubungan Gangguan Sendi Temporomandibula Dengan Faktor


Sosiodemografi (Jenis Kelamin, Usia, Tingkat Pendidikan, Status
Sosial Ekonomi, Status Pernikahan) ...................................................56

Tabel 5.15 Hubungan Kualitas Tidur dengan Stres Kerja .....................................57

Tabel 5.16 Hubungan Kualitas Tidur Dengan Faktor Sosiodemografi (Jenis


Kelamin, Usia, Tingkat Pendidikan, Status Sosial Ekonomi, Status
Pernikahan)..........................................................................................58

DAFTAR GAMBAR

xii
Universitas Indonesia
Gambar 2.3 Perkembangan Fase Tidur Dewasa Dalam Satu Malam ....................19

Gambar 2.4 Kerangka Teori ...................................................................................35

Gambar 3.1 Kerangka Konsep ...............................................................................36

Gambar 4.9 Alir Penelitian ....................................................................................41

xiii
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Keterangan Lolos Etik...............................................................74

Lampiran 2 Lembar Informasi kepada Subjek Penelitian ......................................75

Lampiran 3 Pernyataan Persetujuan Menjadi Subjek Penelitian ...........................77

Lampiran 4 Lembar Isian Biodata Subjek Penelitian ............................................78

Lampiran 5 Kuesioner Indeks Diagnostik Temporomandibular Disorder ............79

Lampiran 6 Kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index Versi Bahasa Indonesia...80

Lampiran 7 Perhitungan Skor Pittsburgh Sleep Quality Index ..............................84

Lampiran 8 Kuesioner Expanded Nursing Stress Scale Versi Bahasa Indonesia ..87

Lampiran 9 Hasil Olah Data dengan SPSS ............................................................90

xiv
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan sendi temporomandibula meliputi gangguan fungsi pada sistem
mastikasi. Etiologi gangguan sendi temporomandibula kompleks dan
multifaktorial, meliputi kondisi oklusal, trauma, emosional stres, deep pain input
dan aktivitas parafungsional. Gejala gangguan sendi temporomandibula mencakup
rasa sakit pada otot mastikasi, sakit pada sendi temporomandibula, sakit telinga,
sakit kepala, keterbatasan atau deviasi gerakan mandibula, dan bunyi clicking.
Tanda dan gejala gangguan sendi temporomandibula cukup umum pada populasi
sekarang, rata-rata 41% pada suatu populasi memiliki satu gejala gangguan sendi
temporomandibula, dan rata-rata 56% menunjukan satu tanda klinis.1 Presentasi
orang pada populasi umum dengan gangguan sendi temporomandibula 40-60%,
kebanyakan gejala terjadi pada usia 20-40 tahun, dan wanita memiliki prevalensi
lebih tinggi dibandingankan pria.1,2
Kualitas tidur diterima sebagai konstruk klinis, menggambarkan suatu
fenomena kompleks tidur suatu individu. Kualitas tidur termasuk aspek kuantitatif
tidur, seperti durasi tidur, latensi tidur, dan aspek subjektif seperti kedalaman tidur.3
Kualitas tidur yang buruk merupakan karakter klinis yang umum pada pasien
dengan nyeri kronis.4 Kondisi nyeri berpotensi mengubah rangkaian tidur
seseorang, menyebabkan bangun ditengah-tengah tidur dan membuat tidak
nyaman.5,6 Berdasarkan penelitian Oliviera dkk kehadiran gangguan sendi
temporomandibula cukup untuk memengaruhi kualitas tidur seseorang.7 Yatani dkk
menunjukkan tingkat keparahan nyeri dan stres psikologis merupakan faktor risiko
kualitas tidur buruk pada pasien gangguan sendi temporomandibula.4
Keperawatan merupakan profesi dalam merawat seseorang yang memerlukan
sifat kemanusiaan, empati, dan kemahiran yang tinggi.8 Perawat umum melayani
pasien 24 jam sehari sehingga perputaran shift kerja merupakan hal yang biasa
terjadi pada perawat umum di rumah sakit. Perputaran shift kerja memilki dampak
negatif pada kesehatan dan kualitas tidur perawat umum di rumah sakit. Shift kerja
dapat mengganggu circadian rhythm dan menyulitkan seseorang untuk
mendapatkan kualitas tidur yang baik pada malam hari.9 Bekerja pada malam hari

1
Universitas Indonesia
2

memiliki efek negatif bagi psikologis dan kesehatan, individu yang bekerja pada
malam hari berisiko tinggi insomnia. Insomnia kronis merupakan kesulitan
seseorang dalam jatuh tertidur dan mempertahankan tidur lebih dari 3 minggu.9,10
Berdasarkan penelitian 70% perawat umum yang mengalami perputaran shift
kerja memiliki kualitas tidur yang buruk dan ketegangan kerja yang tinggi. 9
Ketegangan kerja yang tinggi pada perawat di rumah sakit dapat disebabkan juga
lingkungan kerja yang penuh tekanan waktu dan beban kerja yang berat.8 Perawat
umum berpotensi mengalami stres kerja lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja
bagian administrasi di rumah sakit dan tenaga kesehatan lain.11 Faktor seperti
kematian pasien, konflik dengan dokter atau petugas kesehatan lainnya,
permasalahan dengan rekan perawat, permasalahan dengan atasan, tingginya beban
kerja, permasalahan dengan pasien dan keluarganya, dan diskriminasi merupakan
sumber stres kerja bagi perawat.8,12
Menurut penelitian Oliveira dkk 74,5% perawat memiliki gangguan sendi
temporomandibula, studi ini mengindikasikan gangguan sendi temporomandibula
umum pada perawat. Tingginya insidensi gangguan sendi temporomandibula
berasosiasi dengan karakteristik profesi perawat yang membutuhkan banyak tenaga
dalam lingkungan kerja rumah sakit yang mampu menghasilkan kondisi psiko-
emosional berupa stres kerja.7 Stres berdampak pada tubuh dengan
mengaktivasikan hipotalamus-pituitary-adrenal (HPA) aksis, kemudian tubuh
merespon melalui sistem saraf otonom. HPA aksis melalui jalur saraf kompleks
meningkatkan aktivitas gamma efferent yang menyebabkan serat intrafusal pada
gelendong otot untuk kontraksi, secara keseluruhan akan terjadi peningkatan
tonisitas otot.1 Sehingga stres kerja dapat menyebabkan gangguan sendi
temporomandibula pada seseorang.13,14
Stres kerja pada perawat umum dapat menyebabkan siklus tidur yang tidak
teratur, dimana individu yang stres mengalami kekurangan tidur sehingga
menjadikan perawat memiliki kualitas tidur yang buruk.15 Menurut Chin dkk
perawat yang tidur kurang dari 6 jam berisiko memiliki ketegangan kerja dan
kelelahan kerja secara fisik, emosional, dan mental dibandingkan dengan perawat
yang tidur lebih dari 7 jam.16

Universitas Indonesia
3

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui hubungan gangguan sendi


temporomandibula dengan kualitas tidur pada perawat umum di rumah sakit dengan
mempertimbangkan stres kerja dan faktor sosiodemografi seperti jenis kelamin,
usia, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan status pernikahan sebagai faktor
yang dapat memengaruhi keduanya. Penelitian ini belum pernah dilakukan di
Indonesia. Gangguan temporomandibula dapat diukur menggunakan Indeks
Diagnostik Temporomandibular Disorder (ID-TMD) dan kualitas tidur dapat
diukur dengan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) kedua alat ukur ini sudah
dalam versi bahasa Indonesia dan sudah diuji validitas dan reliabilitasnya.17,18

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, adanya gangguan sendi
temporomandibula dapat memengaruhi kualitas tidur seseorang. Perawat umum
yang bekerja di rumah sakit memiliki tuntutan kerja yang berat, adanya shift pada
malam hari dapat memengaruhi siklus tidur. Siklus tidur yang tidak teratur dapat
menganggu circadian rhythm dan memperburuk kualitas tidur. Selain itu, bekerja
sebagai perawat umum di rumah sakit membutuhkan banyak tenaga, dibanding
dengan pekerja administrasi dan tenaga kesehatan lain, perawat berpotensi lebih
besar mengalami stres kerja. Stres kerja yang bekerpanjangan dapat menyebabkan
masalah tidur seperti kurangnya durasi tidur sehingga menyebabkan kualitas tidur
yang buruk. Selain itu, stres kerja berdampak buruk pada kesehatan seseorang,
salah satu etiologi adanya gangguan sendi temporomandibula adalah stres. Dari
penelitian yang telah dilakukan di Indonesia, belum pernah diteliti hubungan
gangguan sendi temporomandibula dengan kualitas tidur pada perawat umum di
rumah sakit serta faktor yang dapat memengaruhi keduanya seperti stres kerja dan
faktor sosiodemografi. Dengan alasan tersebut peneliti merumuskan pertanyaan
sebagai berikut:

Universitas Indonesia
4

1.2.1 Pertanyaan Penelitian


1.2.1.1 Pertanyaan Umum
Apakah terdapat hubungan gangguan sendi temporomandibula
dengan kualitas tidur pada perawat umum di rumah sakit swasta tipe
C?
1.2.1.2 Pertanyaan Khusus
1. Apakah terdapat hubungan gangguan sendi temporomandibula
dengan stres kerja pada perawat umum di rumah sakit swasta
tipe C?
2. Apakah terdapat hubungan gangguan sendi temporomandibula
dengan faktor sosiodemografis (jenis kelamin, usia, status
sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan status pernikahan)
pada perawat umum di rumah sakit swasta tipe C?
3. Apakah terdapat hubungan kualitas tidur dengan stres kerja
pada perawat umum di rumah sakit swasta tipe C?
4. Apakah terdapat hubungan kualitas tidur dengan faktor
sosiodemografis (jenis kelamin, usia, status sosial ekonomi,
tingkat pendidikan, dan status pernikahan) pada perawat
umum di rumah sakit swasta tipe C?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis hubungan gangguan sendi temporomandibula dengan
kualitas tidur pada perawat umum di rumah sakit swasta tipe C.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menganalisis hubungan gangguan sendi temporomandibula
dengan stres kerja pada perawat umum di rumah sakit swasta
tipe C.
2. Menganalisis hubungan gangguan sendi temporomandibula
dengan faktor sosiodemografis (jenis kelamin, usia, status
sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan status pernikahan) pada
perawat umum di rumah sakit swasta tipe C.

Universitas Indonesia
5

3. Menganalisis hubungan kualitas tidur dengan stres kerja pada


perawat umum di rumah sakit swasta tipe C.
4. Menganalisis hubungan kualitas tidur dengan faktor
sosiodemografis (jenis kelamin, usia, status sosial ekonomi,
tingkat pendidikan, dan status pernikahan) pada perawat umum
di rumah sakit swasta tipe C.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Mengembangkan ilmu kedokteran gigi, terutama ilmu prostodonsia
mengenai hubungan gangguan sendi temporomandibula dengan
kualitas tidur.
1.4.2 Dokter Gigi dan Prostodontis
Membantu dokter gigi dan prostodontis dalam mendiagnosis dan
menyusun rencana perawatan yang tepat guna meningkatkan
kualitas tidur pada pasien dengan gangguan sendi
temporomandibula.
1.4.3 Perawat dan Masyarakat
1.4.3.1 Memberikan informasi mengenai gangguan sendi tempormandibula
yang dapat memengaruhi kualitas tidur.
1.4.3.2 Memberikan pengetahuan kepada perawat dan masyarakat
mengenai dampak buruk stres kerja bagi kesehatan sendi
temporomandibula dan kualitas tidur.
1.4.3.3 Memberikan pengetahuan dan kesadaran bagi perawat dan
masyarakat dengan gangguan sendi temporomandibula dalam
mencari perawatan yang tepat bagi dirinya, baik perawatan untuk
meningkatkan kualitas tidur dan perawatan untuk mengatasi stres.

1.4.4 Rumah Sakit

Universitas Indonesia
6

1.4.4.1 Memberikan gambaran komponen yang paling memengaruhi stres


kerja pada perawat umum dan diharapkan memudahkan rumah sakit
dalam mengatasi stres kerja perawat.
1.4.4.2 Menjadi sumber informasi dan pertimbangan kebijakan lebih lanjut
dalam upaya meningkatkan kualitas tidur perawat umum di rumah
sakit.
1.4.5 Peneliti
Menambah ilmu pengetahuan, memperluas wawasan, menambah
pengalaman dalam kegiatan keilmiahan, serta mengembangkan pola
pikir dan kemampuan analisis

Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Sendi Temporomandibula


Gangguan sendi temporomandibula merupakan masalah klinis yang
melibatkan otot mastikasi, sendi temporomandibula, dan yang berhubungan dengan
keduanya. Tanda dan gejala gangguan sendi temporomandibula mencakup, nyeri
fasial pada area sendi temporomandibula dan otot mastikasi, nyeri sekitar leher dan
kepala, sakit telinga, keterbatasan atau deviasi pergerakan mandibula, hyperalgesia
struktur musculoskeletal dan bunyi pada sendi temporomandibula selama fungsi
dan pergerakan rahang.1,19

2.1.1 Etiologi Gangguan Sendi Temporomandibula


Etiologi gangguan sendi temporomandibula kompleks dan multifaktorial.1
Banyak faktor yang berkontribusi dan meningkatkan risiko gangguan sendi
temporomandibula.1,19 Faktor yang meningkatkan risiko disebut faktor
predisposing. Faktor yang menyebabkan onset disebut faktor initiating,
berhubungan utama dengan trauma dan beban yang merugikan dari sistem
mastikasi.1,14 Faktor yang mengganggu penyembuhan atau meningkatkan
progresi gangguan sendi temporomandibula disebut faktor perpetuating.1 Faktor
perpetuating termasuk, faktor kebiasaan (grinding, clenching, dan postur kepala
yang abnormal), faktor sosial (persepsi seseorang dalam merespon nyeri), faktor
emosional (depresi dan kecemasan), dan faktor kognitif (pikiran negatif dan
perilaku).14 Kesuksesan dalam manajemen perawatan gangguan sendi
temporomandibula bergantung pada mengidentifikasi dan mengontrol faktor
penyebabnya yang termasuk abnormalitas oklusal, perawatan orthodontik,
bruxism, makrotrauma dan mikrotrauma, kesehatan yang buruk dan kelemahan
sendi, dan faktor hormon estrogen.1,14
Sistem mastikasi merupakan kompleks unit yang dirancang untuk
mengunyah, menelan, dan berbicara. Tugas ini dilakukan oleh sistem kontrol
neuromuscular kompleks. Seperti yang sebelumnya dijelaskan, batang otak
(khususnya pusat pola generator) mengatur aksi otot dengan engrams otot yang

7
Universitas Indonesia
8

secara baik berdasarkan input sensori yang diterima dari struktur peripheral.
Ketika tiba-tiba ada sensori yang tidak diharapkan diterima, mekanisme refleks
protektif diaktifkan, menghasilkan penurunan pada aktivitas otot pada area
input.1
Pada kebanyakan individu fungsi sistem mastikasi normal dan efisien tanpa
kosekuensi signifikan. Namun, beberapa faktor dapat mempengaruhi fungsi
normal dan menghasilkan disfungsi struktur mastikasi. Terdapat lima faktor
yang berasosiasi dengan gangguan sendi temporomandibula yaitu, kondisi
oklusal, trauma, stress, deep pain input, dan aktivitas parafungsional.1
1. Kondisi oklusal
Satu faktor kontribusi terjadinya gangguan sendi temporomandibula yang
menjadi perdebatan selama bertahun-tahun adalah kondisi oklusi. Beberapa
penemuan terbaru, peneliti menemukan bahwa faktor oklusal berperan kecil
dalam gangguan sendi temporomandibula.1
2. Trauma
Trauma pada struktur fasial dapat menyebabkan gangguan fungsi sistem
mastikasi. Trauma memiliki pengaruh yang besar pada gangguan intrakapsular
daripada gangguan otot. Trauma sebagai faktor perpetuating, berhubungan
dengan onset gangguan temporomandibula dipertimbangkan sebagai faktor yang
meningkatkan keparahan. Trauma dibagi menjadi dua yaitu makrotrauma dan
mikrotrauma. Makrotrauma merupakan gaya yang tiba-tiba yang menghasilkan
perubahan struktur, seperti pukulan langsung ke wajah. Mikrotruma merupakan
gaya kecil yang berulang pada struktur dalam waktu yang lama. Aktivitas seperti
bruxism, clenching dapat memproduksi mikrotrauma pada jaringan gigi, sendi,
dan otot.1
3. Stress
Hipotalamus, sistem retikuler, dan sistem limbik bertanggung jawab atas
keadaaan emosional seseorang. Pusat ini memengaruhi aktivitas otot dalam
banyak hal, salah satunya melalui jalur gamma efferent. Stres berdampak pada
tubuh dengan mengaktivasikan hipotalamus-pituitary-adrenal (HPA) aksis,
kemudian tubuh merespon melalui sistem saraf otonom. HPA aksis melalui jalur
saraf kompleks meningkatkan aktivitas gamma efferent yang menyebabkan serat

Universitas Indonesia
9

intrafusal pada gelendong otot untuk kontraksi. Hal ini sangat sensitif bagi
gelondongan dengan sedikit penarikan dari otot akan menyebabkan reflek
kontraksi secara keseluruhan akan terjadi peningkatan tonisitas otot.1 Sehingga
keadaan stres dapat menyebabkan gangguan sendi temporomandibula pada
seseorang.13,14
Hipotalamus merupakan pusat utama otak yang mengontrol fungsi internal
tubuh, seperti suhu, rasa lapar, dan rasa haus. Stimulasi dari hipotalamus
merangsang sistem saraf simpatetik di seluruh tubuh, meningkatkan seluruh
tingkat aktivitas dari banyak bagian internal tubuh, terutama meningkatkan
tekanan jantung, dan menyebabkan konstriksi pembuluh darah. Peningkatan
stres dapat menstimulasi hipotalamus untuk meningkatkan sistem saraf
simpatetik dan memengaruhi nociceptive impulses yang masuk ke otak.1
Selain itu ada sistem limbik. Fungsi dan struktur limbik untuk mengontrol
emosional dan aktivitas perilaku. Dalam struktur limbik ada nuclei atau pusat
yang bertanggung jawab untuk perilaku yang spesifik seperti, marah dan
kepatuhan. Struktur limbik juga mengontrol emosi seperti depresi, kecemasan,
ketakutan, dan paranoia.1
Ada dua mekanisme dalam melepas stres. Pertama secara eksternal, ini
digambarkan dengan aktivitas seperti berteriak, mencaci, memukul, atau
melempar benda. Mekanisme melepas stres secara eksternal merupakan hal
alami dan biasa dilakukan pada anak-anak. Sumber lain eksternal stres adalah
latihan fisik. Mekanisme yang kedua dalam melepas stres adalah secara internal.
Seseorang melepas stres secara internal dan mengembangkan gangguan psiko-
fisiologik seperti irritable bowel syndrome, hipertensi, kardiak aritmia, asma,
atau meningkatnya tonisitas otot leher dan kepala.1
Meningkatnya stres tidak hanya meningkatkan tonusitas otot leher dan
kepala tetapi juga dapat meningkatkan level dari aktivitas otot nonfungsional
seperti bruxism dan clenching. Stres juga dapat memengaruhi aktivitas
simpatetik atau tonus pada individu. Sistem saraf autonom memonitor secara
konstan dan meregulasi sejumlah sistem tidak sadar yang menjaga homeostasis.
Salah satu fungsi sistem saraf autonomi adalah meregulasi aliran darah di dalam
tubuh. Sistem saraf simpatetik berelasi dengan fight or flight aktif refleks oleh

Universitas Indonesia
10

stresor. Oleh karena itu, adanya stres pada aliran darah kapiler di luar jaringan
terbatas, dan memungkinkan meningkatnya aliran darah ke struktur penting
musculoskeletal dan organ dalam. Hasilnya kulit dan tangan menjadi dingin.
Aktivitas jangka panjang dari sistem saraf simpatetik dapat berdampak pada
jaringan seperti otot. Aktivitas simpatetik dapat meningkatkan tonus otot, dan
memproduksi kondisi nyeri pada otot. Meningkatnya aktivitas simpatetik atau
tonus menunjukkan faktor etiologi yang dapat berpengaruh pada gejala
gangguan sendi temporomandibula.1
4. Deep pain input
Deep paint input dapat menyebabkan antusiasme pada batang otak
menghasilkan respon otot yang dikenal sebagai protective co-contraction. Hal
tersebut merupakan respon normal tubuh terhadap cedera. Oleh karena itu,
seringkali ditemukan pada pasien yang menderita sakit gigi (nekrosis pulpa) dan
kesulitan membuka mulut. Kondisi tersebut sebenarnya menunjukkan respon
tubuh untuk menjaga bagian tubuh yang terkena cedera dengan membatasi
penggunaanya. Temuan klinis ini umum pada pasien dengan sakit gigi. Ketika
nyeri atau sakit gigi telah hilang, pembukaan mulut yang normal akan kembali.
Keterbatasan membuka mulut hanyalah sebuah respon sekunder dari deep pain.
Adanya sumber yang tetap dari deep pain input dapat menggambarkan faktor
etiologi yang mengarah pada keterbatasan membuka rahang dan secara klinis
sebagai gangguan sendi temporomandibula. Sakit pada gigi, telinga dan sinus
dapat membuat respon ini.1
5. Aktivitas parafungsional
Aktivitas otot mastikasi dapat dibagi menjadi dua tipe dasar yaitu fungsional
yang mencakup pengunyahan, bicara dan mengunyah, dan
parafungsional(nonfungsional) yang mencakup clenching dan grinding gigi.
Hiperaktivitas otot dipakai untuk mendeskripsikan peningkatan aktivitas
muscular yang dibutuhkan untuk fungsi. Hiperaktivitas otot termasuk aktivitas
parafungsional clenching, bruxing, kebiasaan oral, dan peningkatan tonusitas
otot. Aktivitas parafungsional berhubungan dengan nyeri kronis gangguan
temporomandibula, adanya kebiasaan parafungsional memiliki kontribusi dalam
persistensi gangguan temporomandibula.1

Universitas Indonesia
11

Aktivitas parafungsional biasanya dilakukan pasien secara tidak sadar.


Contohnya adalah kebiasaan clenching dan grinding, mengigit lidah dan pipi,
menghisap jari dan ibu jari dan beberapa kebiasaan lain seperti menggigit kuku
atau pensil. Kebiasaan-kebiasaan tersebut biasanya dilakukan saat siang hari dan
disebut aktivitas diurnal. Sedangkan aktivitas yang dilakukan pada malam hari,
yaitu aktivitas nocturnal, biasanya dilakukan saat pasien sedang tidur seperti
bruxism dan clenching.1

2.1.2 Epidemiologi Gangguan Sendi Temporomandibula


Tanda dan gejala gangguan sendi temporomandibula umum pada populasi.
Faktanya 41% dari populasi memiliki satu gejala yang berasosiasi dengan
gangguan sendi temporomandibula, dan rata-rata 56% menunjukkan minimal
satu tanda klinis.1 Di amerika serikat 65% - 85% penduduk mengalami satu atau
lebih gejala gangguan temporomandibula selama hidupnya, tetapi gejalanya self-
limiting bagi kebanyakan individu sehingga dapat tersesaikan tanpa bantuan
klinisi.19 Berdasarkan studi ini, diestimasikan persentase orang pada populasi
umum 40-60% memiliki gangguan sendi temporomandibula. Satu dari empat
pasien pada populasi umum melaporkan sadar akan gejala gangguan sendi
temporomandibula, namun kurang dari 10% dari populasi merasakan bahwa
masalah mereka cukup parah untuk membutuhkan perawatan.1
Meskipun anak-anak dan dewasa muda ditemukan adanya tanda gejala
gangguan sendi temporomandibula, mereka jarang mengeluhkan gejala yang
signifikan. Pada penemuan lain, pasien dengan umur 60 tahun atau lebih tua
jarang mengeluhkan adanya gejala gangguan sendi temporomandibula. Studi
epidemiologi menyatakan gejala gangguan sendi temporomandibula kebanyakan
dialami oleh orang dengan umur 20-40 tahun, prevalensi ini menurun pada usia
60, dan prevalensi paling rendah pada kelompok usia lanjut.1,19

2.1.3 Alat Ukur Gangguan Sendi Temporomandibula

Universitas Indonesia
12

2.1.3.1 The Research Diagnostic Criteria for Temporomandibular


Disorders (RDC/TMD)
The Research Diagnostic Criteria for Temporomandibular Disorders
(RDC/TMD) diperkenalkan pada tahun 1992 oleh Dworkin dan LeResche,
sebagai alat diagnostik uji klinis pada gangguan sendi temporomandibula.20
Validitasnya sudah teruji beberapa kali dan dianggap baku emas oleh
kalangan peneliti.17,20 Penggunaan RDC membantu dokter gigi dalam
mendiagnosa dan menentukan perawatan.17
Dalam mendiagnosis RDC/TMD memiliki kriteria standar dengan dua
aksis, aksis I dan aksis II. Aksis I digunakan untuk pemeriksaan klinis kondisi
fisik dan aksis II digunakan untuk pemeriksaan kondisi psikososial.17,20 Aksis
I mencakup diagnosis fisik dari tiga gangguan utama yaitu: grup 1 (gangguan
otot, terbagi menjadi dua yaitu nyeri myofascial dan nyeri myofascial dengan
keterbatasan membuka), grup 2 (disc displacement, terbagi menjadi disc
displacement dengan reduksi dan disc displacement tanpa reduksi dengan
keterbatasan membuka), dan grup 3(gangguan sendi lainnya seperti arthralgia,
osteoarthritis, dan osteoartrosis).20 Aksis II (diagnosis psikososial)
mengevaluasi ketidakmampuan rahang, nyeri kronis, dan depresi. Aksis II
diperoleh dengan pengisiian kuesioner yang valid dan reliabel.17

2.1.3.2 Diagnostic Criteria for Temporomandibular Disorders (DC/TMD)


Diagnostic Criteria for temporomandibular disorder (DC/TMD)
merupakan rekomendasi terbaru, tes yang digunakan untuk mendiagnosis
nyeri gangguan sendi temporomandibula dan otot mastikasi. Terdapat dua
aksis yaitu aksis I dan aksis II. Aksis I merupakan screening yang valid,
mudah, dan reliabel untuk mendeteksi adanya nyeri terkait gangguan sendi
temporomandibula. Instrumen aksis I berupa penilaian meliputi, gejala nyeri
melibatkan rahang, bunyi rahang, rahang terkunci dan sakit kepala.21
Pada DC/TMD untuk nyeri umum terkait gangguan sendi
temporomandibula dapat dibedakan menjadi:21
a. Myalgia

Universitas Indonesia
13

Myalgia merupakan nyeri pada otot asal yang dipengaruhi oleh


pergerakan rahang, fungsi, atau parafungsi dan adanya nyeri muncul saat
pemeriksaan otot mastikasi. Adanya riwayat nyeri pada rahang,
temporal, telinga, di depan telinga, dan nyeri dengan modifikasi dengan
pergerakan rahang, fungsi, atau parafungsi. Tes meliputi nyeri saat
gerakan maksimum membuka rahang dan palpasi otot temporalis dan
masseter. Myalgia dibagi menjadi:21
o Lokal myalgia merupakan nyeri pada otot asal yang dideskripsikan
untuk myalgia dengan nyeri lokal, hanya pada lokasi yang dipalpasi
ketika menggunakan pemeriksaan myofasial.21
o Nyeri Myofasial merupakan nyeri dengan otot asal dideskripsikan
untuk myalgia dengan nyeri menyebar melebihi lokasi palpasi namun
dengan batas otot ketika dilakukan pemeriksaan myofasial.21
o Nyeri myofasial dengan rujukan merupakan nyeri pada otot asal
dideskripsikan untuk myalgia dengan rujukan nyeri melewati batas
dari otot yang dipalpasi menggunakan pemeriksaan myofasial.21
b. Arthralgia
Arthralgia merupakan nyeri pada sendi asal yang dipengaruhi dari
pergerakan rahang fungsi, atau parafungsi dan adanya nyeri muncul saat
pemeriksaan sendi temporomandibula. Pemeriksaan dengan adanya
nyeri pada area sendi teporomandibula, nyeri saat palpasi lateral pole dan
sekitar lateral pole, nyeri saat membuka mulut maksimal(dengan
bantuan atau tanpa bantuan), nyeri saat gerak lateral ke kanan dan kiri
dan gerakan protrusif.21
c. Sakit kepala terkait gangguan sendi temporomandibula
Sakit kepala pada lokasi temporal merupakan nyeri terkait gangguan
sendi temporomandibula, yang dipengaruhi oleh pergerakan rahang,
fungsi, dan parafungsi dan adanya sakit kepala muncul saat pemeriksaan
sistem mastikasi. Pemeriksaan meliputi adanya sakit kepala saat; palpasi
otot temporalis, gerakan maksimum membuka rahang, gerakan lateral
(kanan dan kiri) dan gerakan protrusif.21

Universitas Indonesia
14

DC/TMD untuk intra-artikular terkait gangguan sendi temporomadibula


meliputi:21
a. Disc displacement
Disc displacement merupakan gangguan intrakapsular meliputi
kompleks diskus kondil. Disc displacement dibagi menjadi:21
 Disc displacement dengan reduksi
Pada mulut tertutup, disc pada bagian anterior berhubungan dengan
kepala kondil dan disc mereduksi saat membuka mulut. Medial dan
lateral displacement mungkin ada. Bunyi Clicking, popping atau
snapping ada ketika membuka dan menutup mulut selama
pemeriksaan dipalpasi dan ketika gerakan lateral(kanan dan kiri) dan
protrusif.21
 Disc displacement dengan reduksi dengan intermitten locking
Pada mulut tertutup, disc pada bagian anterior berhubungan dengan
kepala kondil dan disc secara intermitten mereduksi saat membuka
mulut. Ketika disc tidak mereduksi saat membuka mulut, muncul
keterbatasan intermitten dalam membuka mandibular. Saat muncul
keterbatasan membuka, diperlukan manuver untuk membuka sendi
temporomandibula. Medial dan lateral displacement mungkin ada.
Bunyi Clicking, popping atau snapping mungkin ada selama disc
reduksi.21
 Disc displacement tanpa reduksi dengan keterbatasan membuka
Pada mulut tertutup, disc pada bagian anterior berhubungan dengan
kepala kondil dan disc tidak mereduksi saat mulut terbuka. Medial dan
lateral displacement mungkin ada. Gangguan ini berhubungan dengan
keterbatasan membuka mulut yang persisten, yang tidak dapat
dikurangi meski dilakukan manuver. Hal ini disebut juga mengunci
tertutup. Gangguan ini berhubungan dengan keterbatasan membuka
mandibular.21
 Disc displacement tanpa reduksi tanpa keterbatasan membuka
Pada mulut tertutup, disc pada bagian anterior berhubungan dengan
kepala kondil dan disc tidak mereduksi saat mulut terbuka. Medial dan

Universitas Indonesia
15

lateral displacement mungkin ada. Gangguan ini tidak berhubungan


dengan keterbatasan membuka mandibular.21
b. Degenerative joint disease
Degenerative joint disease merupakan gangguan degeneratif melibatkan
sendi dikarakteristikan dengan kemunduran dari jaringan artikular,
seiring dengan perubahan tulang pada kondil dan/atau articular
eminenc.21
c. Subluksasi
Subluksasi merupakan gangguan hipermobilitas melibatkan kompleks
diskus-kondil dan articular eminence. Pada posisi mulut terbuka,
kompleks diskus-kondil ada pada posisi anterior dari articular eminence
dan tidak dapat kembali normal pada posisi mulut tertutup tanpa
manipulasi manuver. Durasi dari dislokasi mungkin sebentar atau lama.
Ketika pasien dapat mereduksi dislokasi dengan sendirinya, ini disebut
subluksasi. Kita pasien membutuhkan bantuan klinis disebut luksasi.
Gangguan ini disebut juga terkunci terbuka.21
Aksis II merupakan instrumen RDC/TMD yang asli ditambah dengan
instrumen baru untuk menilai fungsi rahang, faktor psikososial dan perilaku.
Aksis II dibagi menjadi instrumen screening dan komprehensif. Instrumen
screening terdapat 41 pertanyaan untuk menilai, intensitas nyeri, nyeri terkait
disabilitas, stres psikologis, keterbatasan fungsional rahang, kebiasaan
parafungsional, dan menggambar letak nyeri terjadi. Instrumen komprehensif
terdiri dari 81 pertanyaan, untuk menilai secara rinci keterbatasan fungsional
rahang, dan stres psikologis. Aksis II menyediakan diagnosis definitif,
rujukan ke psikolog atau psikiater diperlukan bagi pasien yang membutuhkan
perawatan mental. Penggunaan DC/TMD untuk klinis dan penelitian
menggantikan RDC/TMD.21

2.1.3.3 Indeks Helkimo


Indeks Helkimo yang dikembangkan pada tahun 1974 merupakan
instrumen pertama yang dinyatakan reliabel untuk mengidentifikasi tanda dan
gejala gangguan sendi temporomandibula.22 Indeks ini mengarah pada

Universitas Indonesia
16

anamnesis, disfungsi klinis dan oklusi, sehingga dengan indeks ini dapat
dilakukan evaluasi prevalensi dan keparahan gangguan sendi
temporomandibula baik pada populasi umum maupun individual.17
Indeks Helkimo terdiri dari anamnestic dysfunction index, clinical
dysfunction index, dan occlusal index. Penilaian gejala gangguan sendi
tempormandibula menggunakan Anamnestic dysfunction index memiliki tiga
tingkatan, yaitu: 22,17
 (Ai0) tidak ada gejala disfungsi sistem mastikasi.22
 (AiI) gejala ringan seperti bunyi sendi, fatigue, dan kaku rahang.22
 (AiII) gejala parah dari disfungsi seperti kesulitan membuka rahang,
rahang terkunci, dislokasi mandibula, sakit saat menggerakan mandibula,
nyeri fasial dan rahang, dan sakit saat mengunyah.22,23
Penilaian tanda untuk gangguan sendi temporomandibula
menggunakan Clinical dysfunction index yang memiliki lima pemeriksaan
antara lain maksimal pembukaan mandibula, deviasi mandibula, disfungsi
sendi temporomandibula, nyeri pada sendi temporomandibula saat palpasi,
dan nyeri pada otot mastikasi saat palpasi. Keparahan tanda klinis menurut
skor dikelompokkan menjadi 4 grup yaitu: (Di0) tidak ada disfungsi, (DiI)
disfungsi ringan, (DiII) disfungsi sedang, (DiIII) disfungsi parah.22,23
Penilaian Occlusal index didapatkan melalui analisis oklusi pada
individu dikelompokkan menjadi 3 grup yaitu: (Oi0) tidak ada kelainan
oklusal atau artikulasi, (OiI) kelainan oklusal atau artikulasi sedang, (OiII)
kelainan oklusal atau artikulasi parah.23
Indeks helkimo merupakan indeks dengan sistem skoring yang paling
banyak digunakan. Namun, indeks ini memiliki kekurangan yaitu tidak
menentukan berapa besar tekanan yang diperlukan untuk palpasi otot dan
sendi, juga tidak memisahkan gangguan sendi dan masalah otot.17

2.1.3.4 Indeks Diagnostik Temporomandibular Disorder


Indeks Diagnostik Temporomandibular Disorder merupakan alat
skrining akurat, sederhana, dan mudah digunakan untuk mendeteksi gangguan
sendi temporomandibula pada masyarakat Indonesia. Indeks Diagnostik

Universitas Indonesia
17

Temporomandibular Disorder dikembangkan oleh Himawan LS dkk pada


tahun 2006.17,24 Uji realibilitas ID-TMD memiliki nilai koefisien cronbach’s
alfa 0.814. Hal ini menunjukkan ID-TMD valid dan dapat dipercaya sebagai
alat diagnostik untuk mengetahui gejala awal gangguan sendi
temporomandibula.17
Indeks Diagnostik Temporomandibular Disorder terdiri dari 8
pertanyaan yang meliputi nyeri pada sekitar rahang, nyeri pada area kepala,
leher dan sekitarnya, nyeri saat membuka dan menutup mulut, telinga
berdengung tanpa sebab nyata dan seringnya mempertemukan gigi atas dan
bawah pada kondisi tertentu.17,24
Perhitungan Indeks Diagnostik Temporomandibular Disorder
menggunakan poin 0 – 3, 0”tidak pernah”, 1 “jarang”, 2 ”sering”, dan 3
”selalu” dengan total skor terendah 0 dan tertinggi 24.24 Penelitian mencari
titik potong Indeks Diagnostik Temporomandibular Disorder dengan
menggunakan baku emas indeks Helkimo, didapatkan nilai titik potong 3
dengan sensitivitas 89.58% dan spesifisitas 33.33%. Penelitian mencari titik
potong Indeks Diagnostik Temporomandibular Disorder dengan
menggunakan baku emas RDC-TMD, didapatkan nilai titik potong 3 dengan
sensitivitas 92% dan spesifisitas 42%. Hasil yang didapatkan dari keduanya
nilai titik potong 3 sebagai batas antara subjek yang mengalami gangguan
sendi temporomandibula dan yang tidak.17 Subjek dengan skor <3 termasuk
kelompok tidak mengalami gangguan sendi temporomandibula dan skor >3
subjek yang mengalami gangguan sendi temporomandibula.17,24

2.2 Tidur
Tidur merupakan proses fisiologis aktif yang rutin dan kompleks setiap
malamnya. Manusia menghabiskan sepertiga hidupnya untuk tidur, tetapi
kebanyakan individu sedikit mengetahui tentang tidur. Tidur pada manusia terdiri
dari dua keadaan yaitu: non-rapid eye movement (NREM) dan rapid eye movement
(REM), masing-masing memiliki karakter yang unik dan diatur oleh sistem saraf
pusat yang berbeda.10,25

Universitas Indonesia
18

REM didefinisikan sebagai desinkroniasi aktivitas gelombang otak, atonia


10,25
otot, dan pergerakan mata yang cepat. Selama siklus awal, periode REM
mungkin bertahan 1-5 menit, namun hal ini akan berkepanjangan selama episode
tidur berlangsung.10 Sedangkan NREM dibagi menjadi 4 tahap yaitu: 10
a. Tahap 1
NREM tahap 1 merupakan tahap transisional, rata-rata episode tidur individu
dimulai pada tahap ini. Tahap ini berlangsung selama 1-7 menit pada siklus
awal, merupakan 2-5 persen dari total tidur. Pada tahap 1, tidur seseorang
mudah terganggu dengan suara bising.10
b. Tahap 2
NREM tahap 2 berlangsung sekitar 10-25 menit pada siklus awal dan
memanjang secara berturut-turut disetiap siklusnya. Tahap ini merupakan 45-
55 persen dari total tidur. Individu yang tidur pada tahap 2 membutuhkan
rangsang yang intens daripada tahap 1 untuk dapat terbangun.10
c. Tahap 3 dan Tahap 4
Tahap 3 dan tahap 4 disebut juga sebagai tidur slow-wave, yang sering muncul
selama sepertiga malam. Tahap 3 berlangsung hanya beberapa menit dan
merupakan 3-8 persen total tidur. Tahap 4 berlangsung selama 20-40 menit
pada siklus awal dan merupakan 10-15 persen total tidur.10 Apabila ada
gangguan kecil pada tahap 4 tidur dapat menghasilkan fatigue dan kualitas
tidur yang buruk.9
Episode tidur dimulai dengan periode singkat NREM tahap 1 kemudian
berlangsung ke tahap 2, dan diikuti tahap 3 dan 4, dan akhirnya REM. Individu
tidak tetap berada di tahap REM di sisa malam, tetapi berada di siklus antara tahap
NREM dan REM sepanjang malam. Tahap NREM sekitar 75-80 persen total yang
diluangkan untuk tidur, sedangkan tahap REM 20-25 persen. Waktu rata-rata dari
NREM – REM pada siklus tidur pertama yaitu 70-100 menit. Siklus yang kedua
dan selanjutnya lebih tahan lama, dan mencapai 90-120 menit.10 Total terdapat 4-6
siklus yang dicatat selama tidur pada orang dewasa.25

Universitas Indonesia
19

Gambar 2.3. Perkembangan Fase Tidur Dewasa Dalam Satu


Malam
Sumber: Colten H, Altevogt BBM, Colten. H. Sleep Disorders and Sleep
Deprivation: An Unmet Public Health Problem. Committee on Sleep Medicine and
Research. 2006

Tidur adalah kebutuhan manusia, ketiadaan tidur memiliki konsekuensi


fisologis yang serius.10

2.2.1 Kualitas Tidur


Kualitas tidur merupakan konstruk klinis yang penting, karena dua alasan.
Pertama, keluhan mengenai kualitas tidur, biasa pada populasi umum. Survey
epidemiologi menyatakan, 15-35% populasi dewasa mengeluh frekuensi
gangguan kualitas tidur seperti kesulitan tertidur atau kesulitan menjaga tetap
tidur. Kedua, kualitas tidur yang buruk dapat menjadi gejala penting dari
berbagai gangguan tidur dan gangguan medis. Komponen kualitas tidur yang
paling sering diukur, yaitu durasi tidur, mungkin memiliki hubungan langsung
dengan kematian.3
Keluhan kualitas tidur berkaitan khususnya dengan psikiatri. Faktor terkait
kecemasan dan stres paling dikaitkan dengan keluhan tidur pada populasi umum.
Insomnia terkait dengan gangguan psikiatri merupakan prevalensi terbanyak tipe
insomnia yang terlihat pada sleep disorders centers. Gangguan kualitas tidur
sering dilaporkan pada semua kasus gangguan psikiatri, termasuk depresi,
schizophrenia, gangguan kecemasan, dan gangguan pada pengguna zat
psikoaktif. 3

Universitas Indonesia
20

Kualitas tidur diterima sebagai konstruk klinis, menggambarkan suatu


fenomena kompleks tidur suatu individu. Kualitas tidur termasuk aspek
kuantitatif tidur, seperti durasi tidur, latensi tidur, dan aspek subjektif seperti
kedalaman tidur. Elemen yang tepat dan penting dalam menyusun kualitas tidur,
mungkin berbeda antara individu.3

2.2.1.1 Faktor yang Memengaruhi Kualitas Tidur


Kualitas tidur yang buruk dapat menjadi gejala bagi banyak gangguan
medis dan dikaitkan dengan masalah kesehatan.3,26 Menurut Buysse dkk
(1989) terdapat tujuh faktor yang dapat memengaruhi kualitas tidur yaitu:3,18
1. Kualitas tidur subjektif
Kualitas tidur subjektif merupakan pandangan seseorang mengenai
kualitas tidurnya, yaitu merasa lelah saat bangun tidur dan sepanjang hari,
dan terbangun beberapa kali selama tidur di malam hari.18 Seseorang
memiliki kualitas tidur yang baik menurut The National Sleep Foundation
(NSF) apabila:27
a. Tidur lebih banyak ketika di tempat tidur (sedikitnya 85% dari total
waktu tidur)
b. Jatuh tertidur dalam 30 menit atau kurang
c. Terbangun tidak lebih dari sekali tiap malam
d. Terbangun 20 menit atau kurang setelah awalnya jatuh tertidur
2. Latensi tidur
Latensi tidur adalah lama waktu yang dibutuhkan seseorang untuk jatuh
tertidur.3,18,26 Menurut The National Sleep Foundation (NSF) waktu yang
baik untuk seseorang jatuh tertidur kurang dari 30 menit apabila dibutuhkan
waktu lebih dari 30 menit untuk jatuh tertidur, individu dikatakan memiliki
gejala insomnia.27 Insomnia merupakan gangguan tidur yang umum dengan
prevalensi tinggi. Insomnia sering tidak diketahui dan tidak dirawat sehingga
berdampak buruk pada kesehatan dan kualitas hidup.10
Insomnia biasanya muncul lebih sering pada usia 70 tahun ke atas dan
lebih dari setengah dewasa umur 65 melaporkan setidaknya satu keluhan
tidur kronis.26 Sekitar 30 juta orang di Amerika Serikat menderita insomnia

Universitas Indonesia
21

kronis. Insomnia sendiri ditandai dengan kesulitan untuk jatuh tertidur,


mempertahankan tidur, dan durasi tidur yang singkat. Dampak insomnia
dapat terlihat pada siang hari seperti merasa lelah, kurangnya energi, sulit
konsentrasi, dan mudah marah. Faktor risiko penyebab insomnia yaitu
riwayat keluarga akan insomnia, stres, shift kerja, gangguan medis dan
psikiatri.10
Stres memerankan peran penting dalam mengaktivasikan hipotalamus
pituitary aksis dan mengatur tahapan insomnia kronis. Perbandingan antara
dewasa dengan insomnia, dengan orang yang tidur normal, menunjukkan
tingkat lebih tinggi hormon kortisol dan hormon adrenocorticotropric
(ACTH). Keduanya adalah hormon yang dilepaskan oleh hipotalamus-
pituitary adrenal aksis setelah terpapar stres.10
3. Durasi Tidur
Durasi tidur merupakan jumlah waktu yang diukur mulai dari tertidur
saat malam hari sampai terbangun pada pagi hari.3,18,26 Durasi yang
dibutuhkan manusia untuk tidur rata-rata 7-8 jam per malam.10 Orang dewasa
di Amerika, melaporkan rata-rata waktu tidur mereka 6,7 jam per malam,
kurang dari jam minimal yang disarankan. Selain itu, 42% Orang dewasa
melaporkan kualitas tidur mereka sedang atau buruk dan 43% melaporkan
stres menjadi penyebab mereka terbangun di malam hari selama beberapa
bulan terakhir.28
Pada Individu dewasa yang tidur kurang dari 8 jam per malam,
mengalami gejala stres selama satu bulan belakangan, seperti merasa mudah
marah, merasa kelelahan, kurang motivasi dan energi, dan kehilangan
kesabaran.28 Kurangnya durasi tidur juga berhubungan dengan kesulitan
untuk berkonsetrasi dan keseganan berinteraksi dengan orang lain.29
4. Efisiensi kebiasaan tidur
Efisiensi kebiasaaan tidur merupakan jumlah proporsi tidur pada periode
waktu yang diisi oleh tidur dan merupakan rasio antara total waktu tidur
dengan total waktu yang dihabiskan di tempat tidur.3,18,26 Pola tidur berubah
secara terus-menerus seiring dengan bertambahnya usia. Perubahan dengan
usia ditandai dengan lebih awalnya waktu tidur dan bangun tidur. Dewasa

Universitas Indonesia
22

tua (usia 65-75 tahun) bangun 1.33 jam lebih awal dan pergi tidur 1.07 jam
lebih awal dibandingkan dewasa muda (usia 20-30 tahun). Hal ini
menunjukkan efisiensi tidur menurun seiring dengan bertambahnya usia.10
5. Gangguan saat tidur
Siklus tidur yang tidak teratur dan ketiadaan tahapan tidur berkaitan
dengan gangguan tidur, sebagai contoh individu yang menderita narcolepsy
memasuki tidur langsung ke tahap REM tanpa tahap NREM. Diperkirakan
sekitar 50-70 juta penduduk di amerika menderita gangguan tidur kronis.
Ada sekitar 90 gangguan tidur yang berbeda (termasuk gangguan circadian
rhythm, insomnia, sleep apnea, narcolepsy, restless leg syndrome, berjalan
saat tidur) kebanyakan ditandai dengan salah satu gejala ini: kantuk
berlebihan di siang hari, sulit menjaga dan mempertahankan tidur dan
pergerakan abnormal yang muncul selama tidur. Efek kumulatif jangka
panjang dari gangguan tidur dapat berakibat pada masalah kesehatan seperti
meningkatnya risiko hipertensi, diabetes, obesitas, depresi, serangan jantung,
dan stroke.10
6. Penggunaan obat tidur
Obat-obatan terlarang, minuman alkohol dan stimulan memiliki efek
pada tidur dan sering digunakan untuk mengatasi masalah tidur seperti
insomnia atau narcolepsy. Pada tahun 1990 di Amerika Serikat, 2.6% dewasa
menggunakan obat hipnotik-sedatif yang diresepkan dan 3.1% over the
counter obat tidur, umumnya antihistamin. Obat ini biasa diresepkan bari
penderita insomnia namun memiliki efek samping tidur fase REM yang
panjang.10
Hipnotik sedatif choral hidrat atau nama lainnya “Mickey Finn”
merupakan obat yang umum diresepkan dan sering disalahgunakan untuk
kejahatan. Pada tahun 1960 obat golongan barbiturat, biasa digunakan untuk
efek sedatif, tetapi medikasi ini berbahaya karena dapat disalahgunakan dan
berpotensi overdosis. Beberapa selebriti terkenal seperti Marilyn Monroe,
Elvis Presley dan Jim Morrison meninggal karena overdosis obat tidur. Obat
medikasi lainnya yang mirip dengan barbiturat adalah methaqualone,

Universitas Indonesia
23

glutethimide, ethchlorovynol, methyprylon dapat diresepkan namun harus


dalam pantauan karena berpotensi oversdosis.30
Pada tahun 1970 benzodiazepam tersedia untuk perawatan insomnia.
Obat ini bekerja dengan gama asam aminobutyric (GABA) neuroreceptors
dan sedikit berpotensi overdosis dan penyalahgunaan daripada medikasi
sebelumnya untuk pengobatan tidur. Efek samping dari benzodiazepam
dapat meningkatkan tidur fase REM, penurunan sistem pernapasan dan
pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kehilangan efikasi tidur.30
7. Disfungsi pada siang hari
Disfungsi pada siang hari menunjukkan ketidakmampuan seseorang
dalam melakukan aktivitas siang hari dan seberapa sulit untuk seseorang
fokus dalam melakukan suatu hal. Menurut penelitian, kekurangan tidur
dapat memicu adanya efek neurobehavioral yang kadang tidak disadari oleh
individu yang terkena. Dampak neurobehavioral bertingkat dari yang ringan
seperti kurang kewaspadaan, kurang kesiapsiagaan sampai yang kompleks
dapat berupa kesulitan dalam mengingat dan membuat keputusan. Hampir
20% kecelakaan mobil pada populasi umum berhubungan dengan
pengemudi yang kantuk.10

2.2.1.2 Alat Ukur Kualitas Tidur


2.2.1.2.1 Polisomnografi
Polisomnografi merupakan alat untuk mengukur kualitas tidur
secara objektif. Alat ini merekam tidur sepanjang malam dan merupakan
baku emas yang paling akurat dalam mengukur kualitas tidur, kuantitas tidur
dan tahapan tidur. Polisomnografi memonitor parameter fisiologi seperti
pernapasan, neuromuscular, jantung, gastrointestinal, dan fungsi endokrin
selama tidur. Namun, pengukuran tidur menggunakan polisomnografi
tergolong rumit karena membutuhkan individu terlatih yang memiliki
kemampuan untuk memonitor teknis polisomnografi. Selain itu, juga
kurang nyaman dan membutuhkan biaya cukup besar karena dilakukan di
laboratorium tidur.18

Universitas Indonesia
24

2.2.1.2.2 Pittsburgh Sleep Quality Index


Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) merupakan instrumen klinis
terstandardisasi yang mencakup berbagai indikator untuk menilai kualitas
tidur secara subjektif selama satu bulan terakhir.3,32 Pittsburgh Sleep
Quality Index (PSQI) dikembangkan oleh Daniel J. Buysse dkk di university
pittsburgh’s western psychiatric institute and clinic pada tahun 1989 dengan
tujuan sebagai alat yang reliabel dan valid untuk menggolongkan antara
kualitas tidur baik dan kurang baik, sebagai indeks yang mudah bagi subjek
dan klinisi untuk menginterpretasi kualitas tidur, dan menyediakan
penjelasan singkat penilaian klinis yang berguna untuk variasi gangguan
tidur yang dapat memengaruhi kualitas tidur.3,32 Pittsburgh Sleep Quality
Index (PSQI) di desain sederhana, dan memiliki skor global, sehingga
mudah untuk membandingkan kualitas tidur antara satu grup dengan grup
lain.3,18
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) terdiri dari 19 pertanyaan
yang diisi secara pribadi dan 5 pertanyaan yang diisi oleh teman tidur atau
teman sekamar. Kelima pertanyaan digunakan sebagai informasi klinis dan
tidak dihitungkan ke dalam skoring PSQI. Sembilan belas pertanyaan ini
dikelompokan menjadi 7 komponen skor, tiap komponen memiliki poin 0-
3. Ketujuh komponen kemudian dijumlahkan dan menjadi skor global PSQI
dengan range 0-21. Skor yang tinggi mengindikasikan kualitas tidur yang
buruk. Ketujuh komponen ini terdiri dari:3
a. Kualitas tidur
Kualitas tidur subjektif merupakan penilaian seseorang terhadap
kualitas tidurnya. Komponen ini terdapat pada pertanyaan nomor
9.3,18,26
b. Latensi tidur
Latensi tidur merupakan lama waktu yang dibutuhkan seseorang untuk
tertidur. Komponen ini terdapat pada pertanyaan nomor 2 dan 5a.3,18,26

c. Durasi tidur

Universitas Indonesia
25

Durasi tidur merupakan jumlah waktu tidur dari mulai tertidur saat
malam hari sampai terbangun pada pagi hari. Komponen ini terdapat
pada pertanyaan nomor 4.3,18,26
d. Efisiensi kebiasaan tidur
Efisiensi kebiasaaan tidur merupakan rasio antara total waktu tidur
dengan total waktu yang dihabiskan di tempat tidur. Komponen ini
terdapat pada pertanyaan nomor 1,3 dan 4.3,18,26
e. Gangguan saat tidur
Gangguan tidur merupakan penilaian fisik dan psikologis yang
menyebabkan seseorang tidak dapat tidur seperti terbangun di malam
hari, tidak dapat bernapas dengan mudah, terbatuk, mendengkur,
merasa terlalu panas atau dingin, memiliki mimpi buruk, dan merasa
sakit. Komponen ini terdapat pada pertanyaan nomor 5b sampai
5j.3,18,26
f. Penggunaan obat tidur
Penggunaan obat tidur menunjukkan seberapa sering seseorang
menggunakan obat tidur dalam membantu untuk tertidur. Komponen
ini terdapat pada pertanyaan nomor 6.3,18,26
g. Disfungsi pada siang hari
Disfungsi pada siang hari menunjukkan ketidakmampuan seseorang
dalam melakukan aktivitas siang hari dan seberapa sering seseorang
sulit untuk fokus dalam melakukan suatu hal. Komponen ini terdapat
pada pertanyaan nomor 7 dan 8.3,18,26
Menurut penelitian Buysse dkk (1989) ketujuh komponen PSQI memiliki
reliabilitas baik dengan koefisien cronbach’s alfa 0.83 mengindikasikan tingginya
konsistensi internal.3 Di Indonesia instrumen PSQI telah diuji validitas dan
reliabilitasnya dan diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia oleh Alim(2015).
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) versi bahasa Indonesia menunjukkan
reliabilitas yang baik dengan koefisien cronbach’s alfa 0.79. Uji validitas juga
menunjukkan hasil yang baik dengan validitas isi 0.89 dan korelasi yang baik antara
skor global tiap komponen. Nilai sensitivitas PSQI bahasa Indonesia didapatkan 1

Universitas Indonesia
26

dan spesifisitas 0.81 dengan titik potong 5 dan dapat dikatakan terdapat bukti yang
menunjukkan validitas konstruksi yang baik.18

2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kelainan Sendi


Temporomandibula dan Kualitas Tidur
2.3.1 Stres Kerja
United Nation (UN) pada tahun 1992 menyatakan bahwa stres kerja
merupakan penyakit abad 20th dan WHO menyatakan bahwa stres kerja
merupakan epidemik. Organisasi buruh internasional memperkirakan kerugian
oleh stres kerja sekitar 1% - 3.5% dari pendapatan nasional.11 Stres kerja
didefinisikan sebagai respons negatif emosional dan fisik yang muncul ketika
persyaratan pekerjaan tidak cocok dengan kemampuan, sumber daya, dan
kebutuhan pekerja.33,11 Peran pekerja dalam suatu perusahaan memiliki dua
aspek yaitu; peran permintaan dan peran kinerja. Peran permintaan merupakan
kondisi tetap yang ditentukan secara tepat, peran dari pekerja dalam perusahaan
tersebut. Peran kinerja merupakan sifat dari pekerja ketika sedang bekerja.34
Adanya ketidakseimbangan antara kedua faktor, membuat individu menjadi
kelelahan dan merasa stres.33,34
Tekanan kerja hadir ketika harapan dan permintaan pekerja tidak sejalan
dengan harapan dan permintaan perusahaan.34 Adanya konflik antara karakter
individu(harapan, keinginan) dengan lingkungan kerja (beban tugas dan
permintaan perusahaan) dapat menjadi penyebab stres kerja.33

2.3.1.1 Stres Kerja pada Perawat di Rumah Sakit


Rumah sakit merupakan lingkungan kerja yang paling stres dibandingan
dengan lingkungan kerja manapun. Perawat di rumah sakit harus berhadapan
dengan berbagai pasien yang berpotensi menjadi sumber penyakit.29 Dampak
stres bagi perawat di rumah sakit berupa, kesulitan berkomunikasi dengan
pasien, kesulitan menjaga hubungan baik dengan rekan kerja, dan kesulitan
menilai keadaan yang berpotensi membahayakan.8
Dibandingkan dengan pekerja rumah sakit lainnya perawat memiliki
stres kerja lebih tinggi.11 Perawat merupakan salah satu profesi yang

Universitas Indonesia
27

memerlukan sifat kemanusiaan, empati, dan kemahiran dalam lingkungan


kerja yang penuh tekanan dan beban kerja yang berat.8,29 Banyaknya beban
kerja disebabkan tiga alasan yaitu; (1)meningkatnya permintaan pasien,
(2)tidak cukupnya perawat, dan (3)kurangnya staf dan meningkatnya kerja
lembur.34,29 Tingginya beban kerja pada perawat di rumah sakit dapat
meningkatkan kelelahan fisik dan ketidakpuasan kerja.29
Gejala stres kerja pada perawat dapat berupa kelelahan, berperilaku
kasar, kecemasan, meningkatnya tekanan darah, kurangnya percaya diri,
kurangnya kepuasan kerja dan menurunnya efisiensi.11 Hosis dkk menemukan
adanya hubungan positif antara faktor stres terkait kerja dan kesehatan
psikosomatis. Gejala psikosomatis yang paling umum adalah; sakit kepala,
sakit punggung, fatigue perubahan suasana hati, dan insomnia.34,35

2.3.1.2 Alat Ukur Stres Kerja pada Perawat


2.3.1.2.1 Expanded Nursing Stress Scale (ENSS)
Expanded Nursing Stress Scale (ENSS) merupakan alat ukur yang
sudah banyak digunakan sebagai instrumen pemeriksaan stres kerja pada
perawat di rumah sakit. Expanded Nursing Stress Scale (ENSS) dibuat oleh
French dkk (1999) merupakan pengembangan dari Nursing Stress Scale
NSS yang dibuat oleh Gray-Toft & Anderson (1981).36 Expanded Nursing
Stress Scale (ENSS) berisi 57 item pertanyaan dengan nilai koefisien
cronbach alfa 0.96, nilai ini memiliki peningkatan dibanding NSS yang
memiliki koefisien cronbach alfa 0.89.36,37 Nilai ini menunjukan instrumen
ENSS memiliki reliabilitas yang tinggi untuk menilai tingkat stres pada
perawat.36,37
Nursing Stress Scale (NSS) memiliki tujuh komponen, yaitu: faktor
1 (kematian dan sekarat), faktor 2 (konflik dengan dokter), faktor 3 (tidak
cukup persiapan untuk berurusan dengan emosional pasien dan keluarga
pasien), faktor 4 (kurangnya dukungan), faktor 5 (konflik dengan perawat
lain), faktor 6 (beban kerja) dan faktor 7 (ketidakjelasan pengobatan).
Sedangkan ENSS terdiri dari 9 komponen yaitu: 36

Universitas Indonesia
28

1. Kematian dan sekarat


Terdiri dari 7 item pertanyaan (nomor 1,9,17,27,37,47, dan 53).
Ketujuh item ini mirip dengan faktor 1 pada NSS original.36
2. Konflik dengan dokter
Terdiri dari 5 item pertanyaan (nomor 2,10,28,38, dan 48). Keempat
item pertanyaan original NSS dan 1 item tambahan yaitu “harus
mengatur pekerjaan dokter”.36,37
3. Tidak cukup persiapan
Terdiri dari 3 item pertanyaan (nomor 3,11, dan 19). Ketiga item ini
mirip dengan faktor 3 pada NSS original.36
4. Permasalahan dengan teman kerja
Enam item pertanyaan (nomor 4,12,20,21,22, dan 50) berkenaan
dengan hubungan sosial perawat dengan teman kerja yang mungkin
menyebabkan stres. Tiga item pertanyaan mirip dengan faktor 4 NSS
original. Dua item pertanyaan mirip dengan faktor 5 NSS original. Satu
item tambahan yaitu “kesulitan bekerja dengan perawat lawan
jenis”.36,37
5. Permasalahan dengan supervisor/atasan
Ketujuh item pertanyaan (nomor 5,30,31,40,46,49, dan 54) ini
mengukur tingkatan yang dialami perawat berupa konflik, kritik, dan
kurang dukungan dari supervisor/atasan, bagian keperawatan atau
bagian pelayanan kesehatan lain. Terdapat dua item pertanyaan yang
mirip dengan faktor 5 NSS original dan lima item pertanyaan tambahan
yaitu: “kurangnya dukungan dari supervisor/atasan langsung”,
“kurangnya dukungan dari bagian keperawatan”, “diminta bertanggung
jawab atas sesuatu yang berada di luar kekuasaan”, “kurangnya
dukungan dari bagian lain”, dan “kritik dari bagian keperawatan”.36,37
6. Beban kerja
Kesembilan item pertanyaan (nomor 13,23,32,41,42,45,51,55, dan 57)
ini mengukur kejadian yang penuh tekanan dan stres yang timbul dari
beban kerja perawat, termasuk kuantitas tugas, staf, dan permasalahan
jadwal dan tidak cukupnya waktu. Terdapat 5 item pertanyaan yang

Universitas Indonesia
29

mirip dengan faktor 6 NSS original, dan 4 item pertanyaan tambahan


yaitu: “tidak cukup waktu untuk merespons kebutuhan keluarga
pasien”, “tuntutan pelayanan terkait penggolongan pasien”, “harus
bekerja dijam istirahat”, “harus mengambil keputusan dibawah
tekanan”.36,37
7. Ketidakjelasan pengobatan
Kesembilan item pertanyaan (nomor 6,14,18,24,29,33,36,39,dan 43).
Terdapat 5 item pertanyaan yang mirip dengan faktor 7 NSS original,
1 item pertanyaan yang mirip dengan faktor 2 NSS original dan 3 item
pertanyaan tambahan yaitu: “terpapar risiko kesehatan dan keselamatan
kerja”, “merasa belum cukup dilatih untuk melakukan apa yang harus
saya lakukan” dan “menjadi penanggung jawab dengan pengalaman
yang kurang memadai”.36,37
8. Masalah dengan pasien dan keluarganya
Kedelapan item pertanyaan (nomor 7,15,25,34,35,44, 52 dan 56) ini
mengukur situasi penuh tekanan yang berkaitan dengan interaksi
dengan pasien dan keluarganya. Semua pertanyaan pada komponen ini
tidak ada pada NSS original.36
9. Diskriminasi
Ketiga item pertanyaan (nomor 8,16, dan 26) berkaitan dengan
diskriminasi, jenis kelamin, ras, etnis. Semua pertanyaan pada
komponen ini tidak ada pada NSS original.36
Expanded Nursing Stress Scale (ENSS) dibagi menjadi tiga faktor:
(1)faktor psikologis mencakup komponen kematian dan sekarat, tidak cukup
persiapan dan ketidakjelasan pengobatan, (2)faktor fisik mencakup
komponen beban kerja mengacu, dan (3)faktor sosial mencakup komponen
konflik dengan dokter, masalah dengan teman kerja, masalah dengan
supervisor/atasan, masalah dengan pasien dan keluarganya, dan
diskriminasi.36,37
Penilaian Expanded Nursing Stress Scale (ENSS) menggunakan 4 poin
skala likert yaitu 1 ”tidak pernah membuat stres”, 2 “kadang-kadang
membuat stres”, 3 “sering membuat stres”, 4 “sangat membuat stres”, dan 0

Universitas Indonesia
30

“tidak mengalami”. Expanded Nursing Stress Scale (ENSS) telah diuji


validitas dan reliabilitasnya dan telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia
oleh Harsono (2017). Expanded Nursing Stress Scale (ENSS) versi bahasa
Indonesia memiliki koefisien cronbach alfa 0.956 dengan konsistensi
internal yang baik.37
Expanded Nursing Stress Scale (ENSS) sesuai untuk menilai stres kerja
pada kelompok perawat di rumah sakit berdasarkan sumber stresnya. Nilai
stres kerja dihitung berdasarkan total skor keseluruhan dari pertanyaan,
semakin tinggi nilai skor, semakin tinggi stres kerja yang dialami oleh
perawat. Namun karena masing-masing subskala memiliki jumlah butir yang
berbeda, maka sebagian besar pengguna ENSS memakai nilai rerata.36,37

2.3.2 Jenis Kelamin


Berbagai penelitian menyatakan bahwa jenis kelamin berhubungan dengan
gangguan sendi temporomandibula. Perempuan lebih berisiko mengalami
gangguan sendi temporomandibula dibandingkan laki-laki.2,38,39
Penelitian pada populasi menunjukkan perempuan lebih banyak mengalami
gangguan temporomandibula karena mental stres dan depresi dibandingkan laki-
laki. Menurut Oliveira reseptor estrogen pada sendi temporomandibula dan
perubahan hormonal yang disebabkan siklus menstruasi memengaruhi ambang
rasa sakit pada perempuan sehingga perempuan lebih sensitif terhadap nyeri.39
Terdapat juga perbedaan tidur berdasarkan jenis kelamin, pada laki-laki dan
perempuan. Studi epidemiologi tidur normal pada populasi umum menunjukkan
sebagai berikut:10
1. Latensi tidur lebih panjang pada perempuan dibanding laki-laki.10
2. Perempuan <55 tahun lebih banyak melaporkan mudah kantuk daripada
laki-laki.10
3. Perempuan dapat mempertahankan slow-wave sleep lebih lama daripada
laki-laki, sedangkan laki-laki memiliki tidur tahap 1 NREM dan tahap 2
lebih banyak daripada perempuan.10

Universitas Indonesia
31

4. Pada perempuan siklus menstruasi mungkin memengaruhi aktivitas


tidur dan bangun. Beberapa studi menunjukkan perempuan lebih sering
mengalami kantuk pada siang hari selama kehamilan dan postpartum.10

2.3.3 Usia
Seiring bertambahnya usia, seseorang mengalami perubahan dalam
hidupnya, perubahan ini juga memengaruhi kesehatan dan kualitas tidur
seseorang. Studi epidemiologi terkait kesehatan sendi temporomandibula,
menyatakan gejala gangguan sendi temporomandibula kebanyakan dialami oleh
orang dengan umur 20-40 tahun, prevalensi ini menurun pada usia 60, dan
prevalensi paling rendah pada kelompok usia lanjut.1,19 Temuan ini sejalan
dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan pola prevalensi usia spesifik
dengan puncak pada usia muda dan tengah. Pada masa-masa kehidupan ini,
seseorang memiliki banyak kesibukan seperti menjalani pendidikan, pekerjaan,
mengejar karir, memulai keluarga, merawat anak, semua yang dapat
berhubungan dengan kesulitan dalam menjaga keseimbangan hidup.2
Rangkaian tidur berubah, mulai dari memulai tidur, mempertahankan tidur,
persentase waktu yang dihabiskan tiap tahapan tidur dan keseluruhan efisiensi
tidur. Perubahan tidur dikarenakan kebutuhan fisiologi, faktor lingkungan sosial
dan budaya yang memengaruhi karakteristik tidur.10
Pada individu usia 20 – 60 tahun mengalami penurunan slow wave sleep
(tahap 3 dan 4 tidur) sebanyak 2% per dekade. Arousal pada tahap REM
merupakan mekanisme protektif untuk menjaga seseorang tetap tertidur. Seiring
dengan bertambahnya usia arousal menurun, oleh karena itu dewasa sering
mengalami bangun ditengah tidur daripada anak-anak.10
Jumlah waktu tidur menurun seiring bertambahnya usia. Bayi yang baru
lahir tidur 16 – 18 jam per hari berbeda dengan dewasa yang membutuhkan tidur
7 – 8 jam per hari. Bayi juga memiliki episode tidur 2.5 – 4 jam dan memulai
onset tidur dari tahap REM, berbeda dengan dewasa yang memulai tahap dari
NREM. Tiap episode tidur bayi memiliki satu atau dua siklus sedangkan dewasa
memiliki lima sampai enam siklus. Hal ini terjadi karena circadian rhythms
belum sepenuhnya tergambarkan.10

Universitas Indonesia
32

2.3.4 Status Sosial Ekonomi


Status sosial ekonomi menunjukkan kapasitas ekonomi individu atau
keluarga dalam memenuhi kebutuhan material dan non materialnya.40 Status
sosial ekonomi dapat diukur berdasarkan, pendapatan, pekerjaan, pengeluaran,
dan kepemilikan aset.40,41 Namun, dalam menentukan status sosial ekonomi
berdasarkan pendapatan sering kali sulit karena banyak orang yang segan
mengatakan secara jujur berapa pendapatannya.42 Selain itu pada Negara dengan
pemasukan rendah seperti Indonesia, pendapatan mungkin berasal dari berbagai
sumber dan dapat berfluktuasi tergantung musim atau tahun.40 Oleh karena itu,
mengukur status sosial ekonomi menggunakan pengeluaran dari konsumsi
individu atau rumah tangga dianggap lebih stabil dan lebih mudah.41
Pengeluaran dari konsumsi rumah tangga berhubungan langsung dengan
standar hidup. Terdapat rumus untuk mengukur standar hidup, total konsumsi
rumah tangga per bulan dibagi dengan adult-equivalence scale. Konsisten
dengan studi sebelumnya (Maharani, 2009) adult-equivalence scale ditetapkan
dengan rumus eh = (Ah + αKh)θ, Ah merupakan jumlah dewasa dalam rumah
tangga, Kh jumlah anak-anak (0 – 14 tahun). Konsumsi anak-anak lebih sedikit
dibanding dewasa. Pada Negara berkembang seperti Indonesia studi empiris
merekomendasikan bahwa anak dibawah 15 tahun dimodelkan kira-kira
setengah dari biaya dewasa (α = 0.5). Dengan tambahan, anggota rumah tangga
dapat berbagi barang dan jasa tertentu, membuat konsumsi rumah tangga dengan
dua orang atau lebih menjadi lebih murah daripada satu orang. Oleh karena itu,
pada studi sebelumnya skala ekonomi rumah tangga (θ) diperkirakan sama
dengan 0.75. Kemudian standar hidup digolongkan dan dikategorikan ke dalam
kuintil, dengan range termiskin (1 kuintil) sampai terkaya (5 kuintil). Standar
hidup merupakan indikator utama dalam mengukur status sosial ekonomi.43
Pengaruh faktor status sosial ekonomi terhadap berbagai kondisi kesehatan
diakui secara luas. Individu dengan pendapatan yang lebih tinggi memiliki
kemudahan dalam mengakses informasi kesehatan dan perawatan preventif,
yang dapat mengurangi kemungkinan progresi penyakit. Pada penelitian
Magalhães dkk status sosial ekonomi rendah berhubungan dengan prevalensi

Universitas Indonesia
33

nyeri myofasial dan masalah sendi seperti (arthralgia, osteoarthritis dan


osteoarthrosis).44
Status sosial ekonomi berhubungan dengan penurunan tidur, kualitas tidur
yang buruk, dan keluhan tidur pada dewasa.45 Individu dengan status sosial
ekonomi rendah lebih berpotensi menderita gangguan tidur, contohnya insomnia
lebih banyak dilaporkan pada dewasa yang hidup dalam kemiskinan.46
Berbagai faktor terkait kemiskinan yang dapat memengaruhi kualitas tidur
seperti tinggal di lingkungan yang dianggap bising, kumuh, banyak kekerasan,
dan sleep hygiene yang buruk (tempat tidur yang tidak nyaman, jam tidur tidak
teratur, mengonsumsi alkohol dan kafein) hal ini dapat menurunkan kualitas
tidur.47

2.3.5 Tingkat Pendidikan


Pendidikan terkait kuat dengan kesehatan dan sebagai faktor penentu
kesehatan. Penelitian empiris menunjukkan efek dari pendidikan pada kesehatan
sama besarnya dengan efek pendapatan. Individu dengan tingkat pendidikan
yang tinggi cenderung memiliki kesehatan dan kehidupan lebih baik. Menurut
penelitian Maharani adanya masalah dental berhubungan dengan tingkat
pendidikan rendah. Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi,
kebanyakan berada pada kelompok sosial ekonomi tinggi, dan mungkin
menerima lebih baik informasi mengenai pilihan dan perawatan kesehatan
dental. Mereka juga cenderung menjalani pemeriksaan dental rutin, sehingga
menghasilkan penggunaan pelayanan dental yang tinggi daripada individu
dengan tingkat pendidikan rendah.43
Pendidikan juga terkait dengan kualitas tidur, individu dengan tingkat
pendidikan rendah memiliki angka keluhan tidur tinggi.45 Salah satu keluhan
tidur, insomnia, dilaporkan banyak terjadi pada dewasa dengan tingkat
pendidikan rendah, seiring dengan pencapaian pendidikan yang lebih tinggi
angka keluhan tidur menurun.45,46 Selain itu, individu dengan tingkat pendidikan
rendah mungkin tidak sadar akan pentingnya sleep hygiene dan tidak
memanfaatkan dirumah mereka.46

Universitas Indonesia
34

2.3.6 Status Pernikahan


Pernikahan adalah hubungan sosial yang dapat memengaruhi setiap aspek
kesejahteraan individu, termasuk emosional dan kesehatan fisik. Hubungan
pernikahan yang baik dapat mengurangi risiko stres dan meningkatkan
kemampuan dalam mengatasi stres serta kejadian yang tidak terduga. Sebaliknya
hubungan pernikahan yang buruk dapat menjadi sumber stres akibat konflik dan
tuntutan.48 Stres diketahui sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya
gangguan sendi temporomandibula.1
Individu yang menikah memiliki kesehatan fisik dan psikologis lebih baik
dibanding yang tidak menikah.48 Menurut penelitian Kim dkk status pernikahan
berhubungan dengan gangguan sendi temporomandibula.38 Hubungan
pernikahan yang baik dapat mengurangi risiko kebiasaan buruk yang tidak sehat,
memiliki pasangan yang selalu memerhatikan kesehatan pasangannya.
Individu yang menikah dilaporkan memiliki keluhan tidur lebih sedikit
dibanding yang tidak menikah. Orang yang menikah, tempat tinggalnya
cenderung lebih bersih, tenang, dan rapi dibandingkan dengan yang tidak
menikah. Lingkungan tempat tinggal yang berantakan secara langsung
memengaruhi kualitas tidur seseorang.48

2.4 Kerangka Teori

Gangguan Sendi Temporomandibula

Faktor yang Etiologi Tanda dan Gejala


Memengaruhi:  Kondisi Oklusal.1  Nyeri fasial pada area sendi
 Jenis Kelamin. 10,39,64  Trauma.1 temporomandibula dan otot
 Usia.1,2, 10,19  Deep Pain Input.1 mastikasi.1,19
 Status sosial  Aktivitas  Nyeri sekitar
Universitas kepala.1,19
Indonesia
leher dan
ekonomi.40,41, 43,44, Parafungsional.1  Sakit telinga. 1,19
45,46,47
 Stres.1,11,34,29,35  Keterbatasan atau deviasi pergerakan
35

Gambar 2.4 Kerangka Teori

Universitas Indonesia
BAB 3
KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep

VARIABEL INDEPENDEN
VARIABEL DEPENDEN
Gangguan sendi
Kualitas tidur
temporomandibula

VARIABEL CONFOUNDING
Stres Kerja
Jenis Kelamin
Usia
Status Ekonomi
Tingkat Pendidikan
Status Pernikahan

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.2 Hipotesis Penelitian


3.2.1 Hipotesis Mayor
Terdapat hubungan gangguan sendi temporomandibula dengan kualitas
tidur pada perawat umum di rumah sakit swasta tipe C.
3.2.2 Hipotesis Minor
1. Terdapat hubungan gangguan sendi temporomandibula dengan stres
kerja pada perawat umum di rumah sakit swasta tipe C.
2. Terdapat hubungan gangguan sendi temporomandibula dengan faktor
sosiodemografis (jenis kelamin, usia, status sosial ekonomi, tingkat
pendidikan, dan status pernikahan) pada perawat umum di rumah sakit

36
Universitas Indonesia
37

3. Terdapat hubungan kualitas tidur dengan stres kerja pada perawat umum
di rumah sakit swasta tipe C.
4. Terdapat hubungan kualitas tidur dengan faktor sosiodemografis (jenis
kelamin, usia, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan status
pernikahan) pada perawat umum di rumah sakit swasta tipe C.

Universitas Indonesia
BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian analitik tidak berpasangan menggunakan
desain potong lintang atau cross sectional.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan di rumah sakit Hasanah Graha Afiah Depok pada
September hingga Oktober 2017.

4.3 Subjek Penelitian


4.3.1.1 Kriteria Inklusi
a. Perawat umum yang aktif bekerja menjalani profesi keperawatan di
rumah sakit minimal 6 bulan atau lebih.7
b. Perawat yang mengalami perputaran shift kerja dalam satu bulan
terakhir, dengan periode pergantian shift (shift malam dan shift siang)
setiap tujuh hari.49
c. Keadaan umum baik.24
d. Belum pernah atau tidak dalam perawatan gangguan sendi
temporomandibula.
4.3.1.2 Kriteria Eksklusi
a. Tidak bersedia mengisi lembar pernyataan persetujuan menjadi subjek
penelitian.

4.4 Jumlah Subjek Penelitian


Perhitungan besar sampel menggunakan rumus analitis kategorik tidak
berpasangan.50
2
(𝑍𝛼√2𝑃𝑄+𝑍𝛽 √𝑃1 𝑄1 +𝑃2 𝑄2 )
ո1 = n2 = (𝑃1 −𝑃2 )2

Zα = deviat baku alfa = 1,96 (kesalahan tipe I sebesar 5%)


Zβ = deviat baku beta = 0,84 (kesalahan tipe II sebesar 20%)

38
Universitas Indonesia
39

P2 = Proporsi pada kelompok TMD yang sudah diketahui nilainya dari


kepustakaan = 74,5%.7
Q2 = 1 – P2 = 1 – 0,745 = 0,255
P1 = Proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement peneliti
berdasarkan prevalensi TMD di Indonesia, maka diambil P1 = 50%
Q1 = 1 – P1 = 1 – 0,5 = 0,5
P1 – P2 = Selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna = 24,5%
P = Proporsi total = (P1 + P2) / 2 = (0,5 + 0,745) / 2 = 0,6225
Q = 1 – P = 0,3775

Dengan memasukkan nilai diatas pada rumus maka diperoleh:


2
(𝑍𝛼√2𝑃𝑄+𝑍𝛽 √𝑃1 𝑄1 +𝑃2 𝑄2 )
ո1 = n2 = (𝑃1 −𝑃2 )2
2
(1,96√2 × 0,6225 × 0,3775 + 0,84√0,5 × 0,5 + 0,745 × 0,255)
ո1 = n2 = (0,245)2

= 60,21 dibulatkan menjadi 60


Dengan demikian, besar sampel minimal adalah 60 subjek.

4.5 Cara Pengambilan Subjek


Peneliti menggunakan cara pengambilan sampel dengan teknik consecutive
sampling (nonprobability sampling), yaitu mengambil semua subjek yang
memenuhi kriteria penelitian hingga mencapai jumlah sampel yang dibutuhkan.51

4.6 Cara Pengambilan Data


Pada penelitian ini, data yang dikumpulkan dan digunakan adalah data primer
yang diperoleh secara langsung pada subjek dengan mengisi kuesioner. Terdapat
tiga kuesioner yaitu: kuesioner Indeks Diagnostik Temporomandibular Disorder
(ID-TMD), kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), dan kuesioner
Expanded Nursing Stress Scale (ENSS). Kuesioner ID-TMD, PSQI, dan ENSS
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan sudah diuji validitas dan
relibilitasnya lalu data diolah kedalam piranti lunak spss versi 16.3,17,18,24,36,37,52

Universitas Indonesia
40

4.7 Alat dan Bahan


1. Alat tulis
2. Lembar informasi kepada subjek penelitian
3. Lembar pernyataan persetujuan menjadi subjek penelitian
4. Lembar biodata subjek penelitian
5. Kuesioner Indeks Diagnostik Temporomandibular Disorder (ID-TMD)
6. Kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) versi Bahasa Indonesia
7. Kuesioner Expanded Nursing Stress Scale (ENSS) versi Bahasa Indonesia

4.8 Alat Ukur Berupa Kuesioner


Penelitian ini menggunakan kuesioner Indeks Diagnostik Temporomandibular
Disorder (ID-TMD) untuk mengetahui ada tidaknya gangguan sendi
temporomandibula, kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) versi Bahasa
Indonesia untuk mengetahui kualitas tidur, dan kuesioner Expanded Nursing Stress
Scale (ENSS) versi Bahasa Indonesia untuk mengetahui tingkat stres
kerja.3,17,18,24,36,37
Kuesioner Indeks Diagnostik Temporomandibular Disorder (ID-TMD) terdiri
atas 8 pertanyaan. Penilaian skor berupa 4 poin, 0 “tidak pernah”, 1 “jarang”, 2
“sering”, dan 3 “selalu” dengan total skor terendah 0 dan skor tertinggi 24. Subjek
dikatakan mengalami gangguan sendi temporomandibula jika total skor akhir
>3.17,24
Kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) versi Bahasa Indonesia
terdiri atas 19 pertanyaan yang dikelompokan menjadi 7 komponen skor, setiap
pertanyaan terdapat skala 0-3, dengan total skor terendah 0 dan skor tertinggi 21.
Subjek dikatakan memiliki kualitas tidur yang kurang baik jika total skor >5.3,18
Kuesioner Expanded Nursing Stress Scale (ENSS) versi Bahasa Indonesia
terdiri atas 57 pertanyaan. Penilaian skor menggunakan 4 point skala likert, 1 “tidak
pernah membuat stres”, 2 “kadang-kadang membuat stres”, 3 “sering membuat
stres”, 4 “sangat membuat stres”, 0 “tidak mengalami” dengan total skor terendah
0 dan skor tertinggi 228. Semakin tinggi skor ENSS semakin tinggi tingkat stres
kerja pada perawat. Nilai stres kerja dihitung berdasarkan nilai rerata.36,37

Universitas Indonesia
41

4.9 Alir Penelitian

Persiapan alat dan bahan

Pengambilan subjek penelitian sesuai kriteria inklusi dan


eksklusi dengan cara consecutive sampling (nonprobability
sampling)

Penjelasan tujuan penelitian kepada subjek


penelitian

Pengisian lembar pernyataan persetujuan


menjadi subjek penelitian

Pengisian lembar biodata subjek


penelitian

Pengisian kuesioner Indeks Diagnostik Temporomandibular


Disorder (ID-TMD), Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)
Versi Bahasa Indonesia, Expanded Nursing Stress Scale (ENSS)
Versi Bahasa Indonesia

Rekap dan analisis data

Gambar 4.9 Alir Penelitian


4.10 Mekanisme Kerja
1. Peneliti mengambil data langsung pada subjek penelitian yang telah
memenuhi kriteria inklusi dan tidak masuk ke dalam kriteria eksklusi.
2. Subjek diberi penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian dan
diberikan lembar informasi mengenai penelitian yang akan dilakukan. Jika
subjek menyetujui, subjek akan menandatangani surat pernyataan
persetujuan menjadi subjek penelitian, kemudian dilakukan pengambilan
data
3. Dilakukan pengambilan data pada subjek penelitian berupa:
a) Pencatatan biodata diri subjek (nama lengkap, tempat tanggal lahir,
usia, jenis kelamin, alamat tinggal, pendidikan terakhir, status
pernikahan, dan pengeluaran dalam satu bulan)

Universitas Indonesia
42

b) Pengisian kuesioner Indeks Diagnostik Temporomandibular


Disorder (ID-TMD)
c) Pengisian kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) versi
Bahasa Indonesia
d) Pengisian kuesioner Expanded Nursing Stress Scale (ENSS) versi
Bahasa Indonesia
4. Data yang terkumpul akan diolah, dianalisis, dan disajikan menggunakan
perangkat lunak spss versi 16.

4.11 Definisi Operasional

Tabel 4.11 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Cara Mengukur Skala


Independen Pengukuran
1 Gangguan sendi Gangguan sendi Subjek mengisi kuesioner Kategorik
temporomandibula temporomandibula Indeks Diagnostik
merupakan masalah Temporomandibular non-TMD: 1
klinis yang Disorder (ID-TMD) TMD: 2
menyebabkan nyeri kemudian dihitung skornya
fasial pada area sendi dan dicatat pada lembar
temporomandibula data subjek.
dan otot mastikasi, Kuesioner terdiri dari 8
keterbatasan atau pertanyaan yang masing-
deviasi pergerakan masing pertanyaan diukur
mandibula, dengan menggunakan poin
hiperalgesia struktur 0= tidak pernah
musculoskeletal dan 1= jarang
bunyi pada sendi 2= sering
temporomandibula 3= selalu
selama fungsi dan
pergerakan rahang.1,19

Universitas Indonesia
43

Total skor lebih dari 3


subjek memiliki gangguan
sendi temporomandibula

No Variabel Definisi Operasional Cara Mengukur Skala


Dependen Pengukuran
1 Kualitas tidur Kualitas tidur Subjek mengisi kuesioner Kategorik
diterima sebagai Pittsburgh Sleep Quality
konstruk klinis, Index (PSQI) versi Bahasa Kualitas tidur
menggambarkan Indonesia kemudian baik: 1
suatu fenomena dihitung skornya dan Kualitas tidur
kompleks tidur suatu dicatat pada lembar data kurang baik: 2
individu.3 subjek.
Kuesioner PSQI terdiri atas
19 pertanyaan yang
dikelompokan menjadi 7
komponen, setiap
pertanyaan terdapat skala
0-3. Kemudian skor
ketujuh komponen
dijumlahkan, total skor
terendah 0 dan skor
tertinggi 21. Subjek
dikatakan memiliki
kualitas tidur yang kurang
baik jika total skor >5.3,18
No Variabel Definisi Operasional Cara Mengukur Skala
Confounding Pengukuran
1 Stres kerja Stres kerja Subjek mengisi kuesioner Numerik
didefinisikan sebagai Expanded Nursing Stress
respons negatif Scale (ENSS) versi Bahasa

Universitas Indonesia
44

emosional dan fisik Indonesia kemudian


yang muncul ketika dihitung skornya dan
persyaratan pekerjaan dicatat pada lembar data
tidak cocok dengan subjek.
kemampuan, sumber Kuesioner terdiri dari 57
daya, dan kebutuhan pertanyaan yang masing-
pekerja.33,11 masing pertanyaan diukur
dengan 4 poin skala likert
0=tidak mengalami
1 = tidak pernah membuat
stres
2 =kadang-kadang
membuat stres
3 =sering membuat stres
4 =sangat membuat stres
Nilai stres kerja dihitung
menggunakan rerata.36,37
2 Jenis Kelamin Perbedaan biologis Didapatkan dari lembar Kategorik
dan fisiologis pada data subjek
tubuh manusia yang Laki-laki: 1
membedakan Perempuan: 2
manusia menjadi
Laki-laki dan
perempuan
3 Usia Usia subjek dalam Didapatkan dari lembar Kategorik.53
tahun ketika data subjek 20 – 24
penelitian ini Remaja
berlangsung 25 – 44
Dewasa
4 Status Sosial Status sosial ekonomi Didapatkan dari lembar Kategorik
Ekonomi menunjukkan data subjek berupa
kapasitas ekonomi pengeluaran konsumsi

Universitas Indonesia
45

keluarga dalam rumah tangga per bulan 1st kuintil


memenuhi kebutuhan dibagi dengan adult- (termiskin): 1
material dan non equivalence scale. Adult- 2nd kuintil: 2
materialnya.40 equivalence scale 3rd kuintil: 3
ditetapkan dengan rumus eh 4th kuintil: 4
= (Ah + αKh)θ , Ah 5th kuintil
merupakan jumlah dewasa (terkaya): 5
dalam rumah tangga, Kh
jumlah anak-anak (0 – 14
tahun). Dengan α = 0.5 dan
θ = 0.75. Kemudian
digolongkan dan
dikategorikan ke dalam
kuintil.43
4 Tingkat Pendidikan formal Didapatkan dari lembar Kategorik
Pendidikan terakhir yang dicapai data subjek
subjek ketika ≤ D3: 1
penelitian ini > D3: 2
berlangsung
5 Status pernikahan Status pernikahan Didapatkan dari lembar Kategorik
subjek yang diakui data subjek Menikah: 1
secara sosial, hukum Tidak
dan agama menikah
(termasuk
janda, duda,
dan sudah
bercerai): 2

4.12 Analisis data


Data yang terkumpul akan diolah, dianalisis, dan disajikan menggunakan
perangkat lunak spss versi 16. Pertama menggunakan analisis univariat dilakukan

Universitas Indonesia
46

dengan tujuan untuk mendefinisikan tiap variabel yang diteliti dalam bentuk
distribusi frekuensi dan persentase.51
Analisis bivariat digunakan pada dua variabel yang saling berhubungan, untuk
data yang bersifat kategorik tidak berpasangan digunakan uji analisis chi-square
untuk mengetahui:51,54
1. Hubungan antara gangguan sendi temporomandibula dan kualitas tidur
2. Hubungan antara gangguan sendi temporomandibula dan faktor
sosiodemografi ( jenis kelamin, usia, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan,
dan status pernikahan)
3. Hubungan antara kualitas tidur dan faktor sosiodemografi ( jenis kelamin, usia,
status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan status pernikahan)
Analisis bivariat variabel numerik, dua kelompok, tidak berpasangan
digunakan uji independen t test apabila distribusi data normal dan uji mann-
whitney apabila distribusi data tidak normal untuk mengetahui
1. Hubungan gangguan sendi temporomandibula dengan stres kerja
2. Hubungan kualitas tidur dengan stres kerja

4.13 Etik Penelitian


Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan etik dari FKG UI di Jakarta
pada tanggal 11 September 2017 (Nomor: 90/Ethical Approval/FKGUI/IX/2017).
Pengambilan data bersifat data primer, menggunakan tiga buah kuesioner sehingga
membutuhkan waktu sekitar 20 – 30 menit untuk responden mengisi. Tidak ada
efek samping atau komplikasi yang akan dialami oleh subjek. Partisipasi subjek
dalam penelitian ini sepenuhnya bersifat sukarela dan tanpa paksaan.

Universitas Indonesia
BAB 5
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari Tim Komisi Etik


Penelitian Kedokteran Gigi (KEPKG) Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada perawat di rumah sakit Hasanah Graha
Afiah Depok. Semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia mengikuti
penelitian telah menandatangani lembar pernyataan persetujuan menjadi subjek
penelitian. Semua subjek kemudian diminta untuk mengisi biodata subjek dan
dilanjutkan untuk mengisi kuesioner Indeks Diagnostik Temporomandibular
Disorder (ID-TMD), Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) versi Bahasa Indonesia
dan Expanded Nursing Stress Scale (ENSS) versi Bahasa Indonesia. Seluruh data
yang diperoleh diolah, dianalisis, dan disajikan menggunakan perangkat lunak spss
versi 16. Digunakan analisis univariat untuk mendefinisikan tiap variabel yang
diteliti dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase serta analisis bivariat pada
dua variabel yang saling berhubungan.

5.1 Analisis Univariat


Distribusi frekuensi subjek berdasarkan yang mengalami gangguan sendi
temporomandibula, memiliki kualitas tidur baik atau kurang baik, serta data
sosiodemografi (jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, dan
status pernikahan) dapat dilihat pada tabel 5.1

47
Universitas Indonesia
48

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Data Gangguan Sendi Temporomandibula,


Kualitas Tidur, dan Sosiodemografi (Jenis Kelamin, Usia, Tingkat Pendidikan,
Status Sosial Ekonomi, dan Status Pernikahan)
Variabel n= 92 Persentase(%)
Gangguan Sendi Non-TMD 37 40.2
Temporomandibula TMD 55 59.8
Kualitas Tidur Kualitas tidur baik 33 35.9
Kualitas tidur kurang baik 59 64.1
Jenis Kelamin Laki-Laki 8 8.7
Perempuan 84 91.3
Usia 20 – 24 31 33.7
25 – 44 61 66.3
Tingkat Pendidikan ≤D3 73 79.3
>D3 19 20.7
Status Sosial Ekonomi Kuintil 1 (<1.450.000) 18 19.6
Kuintil 2 (1.450.000 – 2.000.000) 26 28.3
Kuintil 3 (2.000.000 – 2.660.000) 11 12
Kuintil 4 (2.660.000 – 4.010.000) 19 20.7
Kuintil 5 (> 4.010.000) 18 19.6
Status Pernikahan Menikah 46 50
Tidak Menikah 46 50

Dilihat dari tabel 5.1 terdapat 92 subjek penelitian yang didapatkan sesuai
dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Pada pengisian kuesioner Indeks Diagnostik
Temporomandibular Disorder (ID-TMD) subjek yang dikategorikan ke dalam
TMD bila memiliki skor >3. Berdasarkan penelitian ini subjek yang menderita
TMD sebanyak 55 orang (59.8%). Untuk kualitas tidur diukur dengan
menggunakan kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) versi Bahasa
Indonesia, subjek yang dikategorikan memiliki kualitas tidur kurang baik bila
memiliki skor >5. Subjek dengan kualitas tidur kurang baik sebanyak 59 orang
(64.1%). Dalam penelitian ini, jumlah subjek perempuan lebih banyak
dibandingkan subjek laki-laki, jumlah subjek perempuan sebanyak 84 orang

Universitas Indonesia
49

(91.3%). Variabel tingkat pendidikan, jumlah subjek dengan tingkat pendidikan


≤D3 lebih banyak daripada >D3 sebanyak 73 orang (79.3%). Variabel status sosial
ekonomi, semakin banyak pengeluaran subjek menunjukkan tingkat sosial ekonomi
subjek semakin baik, kuintil 1 menunjukkan subjek (termiskin) dan kuintil 5
(terkaya). Subjek dengan tingkat sosial ekonomi termiskin dengan pengeluaran
<Rp1.450.000 sebanyak 18 orang (19.6%) dan subjek dengan tingkat sosial
ekonomi terkaya dengan pengeluaran >Rp4.010.000 sebanyak 18 orang (19.6%).
Pada penelitian ini terdapat keseimbangan variabel status pernikahan.
Tabel 5.2 Rerata Komponen Expanded Nursing Stress Scale (ENSS) versi
Bahasa Indonesia

Komponen Rata-Rata Standar Deviasi


Kematian dan sekarat 1.22 0.76
Konflik dengan dokter 1.17 0.75
Tidak cukup persiapan 1.28 0.67
Permasalahan dengan teman kerja 1.03 0.68
Permasalahan dengan supervisor/atasan 1.17 0.76
Beban kerja 1.423 0.70
Ketidakjelasan pengobatan 1.410 0.71
Masalah dengan pasien dan keluarganya 1.420 0.85
Diskriminasi 0.46 0.78
Total Skor ENSS 1.24 0.64
Pengukuran stres kerja pada penelitian ini menggunakan kuesioner
Expanded Nursing Stress Scale (ENSS) versi Bahasa Indonesia yang memiliki
sembilan komponen dan total 57 pertanyaan. Kesembilan komponen ENSS versi
bahasa Indonesia meliputi kematian dan sekarat, konflik dengan dokter, tidak cukup
persiapan, permasalahan dengan teman kerja, permasalah dengan
supervisor/atasan, beban kerja, ketidakjelasan pengobatan, masalah dengan pasien
dan keluarganya, dan diskriminasi. Nilai stres kerja dihitung menggunakan nilai
rerata, semakin tinggi nilai skor, semakin tinggi stres kerja yang dialami oleh
perawat. Berdasarkan tabel 5.2, total skor ENSS pada penelitian ini memiliki rata-
rata sebesar (1.24 ± 0.64) dengan skor rata-rata paling rendah (0.46 ± 0.78) terdapat

Universitas Indonesia
50

pada komponen diskriminasi dan rata-rata paling tinggi adalah (1.423 ± 0.70)
terdapat pada komponen beban kerja.
Tabel 5.3 Distribusi Kuesioner ID-TMD
No Pertanyaan Tidak Jarang Sering (2) Selalu (3)
pernah (0) (1)
n % n % n % n %
1 Apakah ada nyeri di sekitar 56 60.9 30 32.6 6 6.5 0 0
sendi rahang anda
2 Apakah anda sering merasa 10 10.9 54 58.7 28 30.4 0 0
nyeri kepala
3 Apakah ada rasa nyeri pada 66 71.7 22 23.9 4 4.3 0 0
saat membuka dan menutup
mulut
4 Apakah anda merasakan nyeri 28 30.4 48 52.2 16 17.4 0 0
pada daerah leher dan
sekitarnya
5 Apakah telinga anda 45 48.9 39 42.4 8 8.7 0 0
berdengung tanpa sebab yang
nyata
6 Apakah anda sering 67 72.8 21 22.8 4 4.3 0 0
mempertemukan gigi atas dan
bawah dengan tekanan keras
pada saat anda bingung?
7 Apakah anda sering 55 59.8 29 31.5 8 8.7 0 0
mempertemukan gigi atas dan
bawah dengan tekanan keras
pada saat anda marah
8 Apakah anda sering 62 67.4 27 29.3 2 2.2 1 1.1
mempertemukan gigi atas dan
bawah dengan tekanan keras
pada saat anda konsentrasi
penuh?

Universitas Indonesia
51

Berdasarkan tabel 5.3 persentase tertinggi gejala gangguan sendi


temporomandibula yang sering dialami terdapat pada pertanyaan nyeri kepala,
dirasakan oleh 28 orang (30.4%) diikuti dengan pertanyaan nyeri pada daerah leher
dan sekitarnya, dirasakan oleh 16 orang (17.4%).

Tabel 5.4 Skor PSQI Total Responden dan Rata-rata Tiap Komponen
No Komponen PSQI Skor Mean Standar Rentang Skor
kompo Deviasi responden
nen n = 92
1 Kualitas Tidur Subjektif 0–3 1.22 0.51 0–3
2 Latensi Tidur 0–3 1.3 0.75 0–3
3 Durasi Tidur 0–3 1.2 0.93 0–3
4 Efisiensi Kebiasaan Tidur 0–3 0.2 0.56 0–3
5 Gangguan saat Tidur 0–3 1.47 0.58 0–3
6 Penggunaan Obat Tidur 0–3 0.23 0.57 0–3
7 Disfungsi pada Siang Hari 0–3 1.02 0.55 0–3
Total skor PSQI 0 – 21 6.63 2.36 1 – 13

Berdasarkan pengisian kuesioner PSQI oleh 92 responden, didapatkan rata-rata


skor total PSQI 6.63 (SD = 2.36) dengan nilai minimum 1 dan maksimum 13 dari
total skor 21.

Tabel 5.5 Distribusi Komponen Kualitas Tidur Subjektif Kuesioner PSQI


Kualitas tidur subjektif n %
Sangat baik 3 3.3
Baik 67 72.8
Buruk 21 22.8
Sangat buruk 1 1.1

Komponen pertama PSQI yaitu kualitas tidur subjektif. Sebanyak 67 orang (72.8%)
responden menganggap kualitas tidur dirinya baik.

Universitas Indonesia
52

Tabel 5.6 Distribusi Komponen Latensi Tidur Kuesioner PSQI


Total Skor n %
0 11 12
1–2 47 51.1
3–4 29 31.5
5–6 5 5.4

Komponen kedua PSQI yaitu latensi tidur. Sebanyak 11 responden (12%) memiliki
latensi tidur baik, menandakan dalam satu bulan terakhir dapat tertidur ≤ 15 menit.

Tabel 5.7 Distribusi Komponen Durasi Tidur Kuesioner PSQI


Durasi Tidur n %
>7 jam 27 29.3
6 – 7 jam 25 27.2
5 – 6 jam 35 38
< 5 jam 5 5.4

Komponen ketiga PSQI yaitu durasi tidur. Sebanyak 35 orang (38%) responden
dalam satu bulan terakhir tidur dengan durasi 5 – 6 jam per hari
.
Tabel 5.8 Distribusi Komponen Efisiensi Kebiasaan Tidur Kuesioner PSQI
Efisiensi kebiasaan tidur n %
> 85% 80 87
75 – 84 % 7 7.6
65 – 74 % 4 4.3
< 65 % 1 1.1

Komponen keempat PSQI yaitu efisiensi kebiasaan tidur. Sebanyak 80 orang (87%)
memiliki efisiensi tidur > 85% menandakan tidur yang efisien dan cukup baik
karena waktu yang digunakan untuk tidur tidak berbeda jauh dengan waktu yang
dihabiskan di tempat tidur.

Universitas Indonesia
53

Tabel 5.9 Distribusi Komponen Gangguan saat Tidur Kuesioner PSQI

Total Skor n %
0 2 2.2
1–9 47 51.1
10 – 18 41 44.5
19 – 27 2 2.2

Komponen kelima PSQI yaitu gangguan saat tidur. Sebanyak 90 responden (97.8%)
memiliki gangguan saat tidur dalam satu bulan terakhir. Gangguan yang dialami
dapat berupa terbangun di tengah malam atau lebih pagi, terbangun karena ingin ke
kamar mandi, tidak dapat bernapas dengan nyaman, batuk, mendengkur, merasa
terlalu dingin atau panas, mimpi buruk dan merasa sakit saat tidur.

Tabel 5.10 Distribusi Komponen Penggunaan Obat Tidur Kuesioner PSQI

Penggunaan Obat Tidur dalam sebulan terakhir n %


Tidak ada dalam satu bulan terakhir 77 83.7
Kurang dari sekali dalam seminggu 10 10.9
Sekali atau dua kali dalam seminggu 4 4.3
Tiga kali atau lebih dalam seminggu 1 1.1

Komponen keenam PSQI yaitu penggunaan obat tidur. Sebanyak 15 responden


(16.3%) menggunakan obat tidur untuk membantu mengatasi masalah tidur.

Tabel 5.11 Distribusi Komponen Disfungsi pada Siang Hari Kuesioner PSQI
Total skor n %

Universitas Indonesia
54

0 12 13
1–2 67 72.8
3–4 13 13
5–6 1.1 1.1

Komponen ketujuh PSQI yaitu disfungsi pada siang hari. Sebanyak 12 responden
(13%) menunjukkan tidak memiliki kesulitan dan masalah dalam beraktivitas
sehari-hari.

5.2 Analisis Bivariat


5.2.1 Hubungan Gangguan Sendi Temporomandibula dengan Kualitas Tidur
Untuk menganalisis hubungan antara variabel independen (gangguan sendi
temporomandibula) dan variabel dependen (kualitas tidur) digunakan uji hipotesis
variabel kategorik tidak berpasangan chi-square.

Tabel 5.12 Hubungan Gangguan Sendi Temporomandibula Dengan


Kualitas Tidur
Kualitas tidur Kualitas Tidur p Value
baik kurang baik
n % n %
Non-TMD 19 51.4 18 48.6 0.02
TMD 14 25.5 41 74.5

Uji chi-square menggunakan continuity correction (nilai expected <5 & jumlah sel
0%) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p>0.05)
antara gangguan sendi temporomandibula dengan kualitas tidur.

5.2.2 Hubungan Gangguan Sendi Temporomandibula dengan Stres Kerja


Untuk mengetahui hubungan antara gangguan sendi temporomandibula dan
stres kerja digunakan uji hipotesis variabel kategorik-numerik, dua kelompok, tidak

Universitas Indonesia
55

berpasangan. Apabila distribusi data normal digunakan independen T test dan


apabila distribusi data tidak normal digunakan uji mann-whitney.

Tabel 5.13 Hubungan Gangguan Sendi Temporomandibula dengan Stres


Kerja
No Komponen Non-TMD TMD p Value
n=37 n=55
Rata-rata Rata-rata
1 Kematian dan sekarat 1.06 1.32 *0.177
2 Konflik dengan dokter 1.04 1.27 **0.155
3 Tidak cukup persiapan 1.21 1.33 *0.521
4 Permasalahan dengan teman kerja 0.93 1.09 *0.377
5 Permasalahan dengan 1.02 1.27 **0.107
supervisor/atasan
6 Beban kerja 1.27 1.52 **0.091
7 Ketidakjelasan pengobatan 1.31 1.48 **0.255
8 Masalah dengan pasien dan 1.28 1.51 **0.212
keluarganya
9 Diskriminasi 0.51 0.43 *0.438
Total Rata-rata 1.12 1.32 **0.138
*Mann-Whitney
**independen T-test

Uji Mann-Whitney dan Independen T-test menunjukkan bahwa tidak terdapat


perbedaan bermakna yang signifikan (p>0.05) antara gangguan sendi
temporomandibula dengan stres kerja.

5.2.3 Hubungan Gangguan Sendi Temporomandibula dengan Faktor


Sosiodemografi (Jenis kelamin, Tingkat Pendidikan, Status Sosial Ekonomi,
Status Pernikahan)
Untuk mengetahui hubungan antara variabel independen (gangguan sendi
temporomandibula) dan faktor sosiodemografi (jenis kelamin, tingkat pendidikan,

Universitas Indonesia
56

status sosial ekonomi, status pernikahan) digunakan uji hipotesis variabel kategorik
tidak berpasangan chi-square.
Tabel 5.14 Hubungan Gangguan Sendi Temporomandibula dengan Faktor
Sosiodemografi

No Variabel Non-TMD TMD p Value


n % n %
1 Jenis Kelamin

Laki-Laki 2 5.4 6 10.9 0.468
Perempuan 35 94.6 49 89.1
♦♦
2 Usia 1
20 – 24 12 32.4 19 34.5
25 – 44 25 67.6 36 65.5
♦♦
3 Tingkat Pendidikan 0.652
≤D3 28 75.7 45 81.8
>D3 9 24.3 10 18.2
4 Status Sosial Ekonomi *0.861
Kuintil 1 (<1.450.000) 8 21.6 10 18.2
Kuintil 2 (1.450.000 – 2.000.000) 10 27 16 29.1
Kuintil 3 (2.000.000 – 2.660.000) 5 13.5 6 10.9
Kuintil 4 (2.660.000 – 4.010.000) 6 16.3 13 23.6
Kuintil 5 (>4.010.000) 8 21.6 10 18.2
5 Status Pernikahan
♦♦
Menikah 18 48.6 28 50.9 1
Tidak menikah 19 51.4 27 49.1

Fisher’s Exact
♦♦
Continuity Correction
*Mann-Whitney

Uji chi-square menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna secara


statistik (p>0.05) antara gangguan sendi temporomandibula dengan faktor
sosiodemografi (jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, status
pernikahan)

Universitas Indonesia
57

5.2.4 Hubungan Kualitas Tidur dengan Stres Kerja


Untuk mengetahui hubungan antara kualitas tidur dan stres kerja digunakan
uji hipotesis variabel kategorik-numerik, dua kelompok, tidak berpasangan.
Apabila distribusi data normal digunakan independen T test dan apabila distribusi
data tidak normal digunakan uji mann-whitney.

Tabel 5.15 Hubungan Kualitas Tidur dengan Stres Kerja

No Komponen Kualitas Kualitas p Value


Tidur Baik Tidur
n=33 Kurang Baik
n=59
Rata-rata Rata-rata
1 Kematian dan sekarat 1.04 1.31 *0.72
2 Konflik dengan dokter 1.06 1.24 **0.256
3 Tidak cukup persiapan 1.16 1.35 *0.252
4 Permasalahan dengan teman 1.02 1.03 *0.864
kerja
5 Permasalahan dengan 1.08 1.22 *0.441
supervisor/atasan
6 Beban kerja 1.26 1.51 **0.085
7 Ketidakjelasan pengobatan 1.27 1.49 **0.160
8 Masalah dengan pasien dan 1.17 1.55 **0.035
keluarganya
9 Diskriminasi 0.40 0.49 *0.464
Total Skor ENSS 1.10 1.32 **0.127
*Mann-Whitney
**independen T-test

Uji Independen T-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna secara


statistik (p<0.05) antara kualitas tidur dengan komponen ENSS masalah dengan
pasien dan keluarganya.

Universitas Indonesia
58

5.2.5 Hubungan Kualitas Tidur dengan Faktor Sosiodemografi (Jenis kelamin,


Tingkat Pendidikan, Status Sosial Ekonomi, Status Pernikahan)
Untuk mengetahui hubungan antara kualitas tidur dan faktor sosiodemografi
(jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, status pernikahan)
digunakan uji hipotesis variabel kategorik tidak berpasangan chi-square.

Tabel 5.16 Hubungan Kualitas Tidur dengan Faktor Sosiodemografi

No Variabel Kualitas Tidur Kualitas Tidur p Value


Baik Kurang Baik
n % n %

1 Jenis Kelamin 0.251
Laki-Laki 1 3 7 11.9
Perempuan 32 97 52 88.1
2 Usia
♦♦
20 – 24 14 42.4 17 28.8 0.274
25 – 44 19 57.6 42 71.2
♦♦
3 Tingkat Pendidikan 0.866
≤D3 27 81.8 46 78
>D3 6 18.2 13 22
4 Status Sosial Ekonomi *0.426
Kuintil 1 (<1.450.000) 7 21.2 11 18.6
Kuintil 2 (1.450.000 – 2.000.000) 11 33.3 15 25.4
Kuintil 3 (2.000.000 – 2.660.000) 4 12.1 7 11.9
Kuintil 4 (2.660.000 – 4.010.000) 5 15.2 14 23.7
Kuintil 5 (>4.010.000) 6 18.2 12 20.3
♦♦
5 Status Pernikahan 0.192
Menikah 13 39.4 33 55.9
Tidak menikah 20 60.6 26 44.1

Fisher’s Exact
♦♦
Continuity Correction
*Mann-Whitney

Universitas Indonesia
59

Uji chi-square menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna secara


statistik (p>0.05) antara kualitas tidur dengan faktor sosiodemografi (jenis kelamin,
tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, status pernikahan).

Universitas Indonesia
BAB 6
PEMBAHASAN

6.1 Desain Penelitian


Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis hubungan antara gangguan
sendi temporomandibula dengan kualitas tidur dengan mengambil sampel pada
perawat umum di rumah sakit Hasanah Graha Afiah Depok. Penelitian ini
menggunakan tiga kuesioner yaitu ID-TMD, PSQI versi bahasa Indonesia, dan
ENSS versi bahasa Indonesia. Desain penelitian yang digunakan adalah cross
sectional. Kelebihan penggunaan desain ini dapat mengetahui hubungan variabel
independen dengan variabel dependen, mudah, murah dan hasil yang diperoleh
cepat. Kekurangan penggunaan desain ini tidak dapat menentukan sebab-akibat dari
faktor risiko dan efeknya.

6.2 Kualitas Data dan Besar Sampel


Pengambilan sampel dilakukan selama sebulan dengan menggunakan
metode teknik consecutive sampling (nonprobability sampling), yaitu mengambil
semua subjek yang memenuhi kriteria penelitian hingga mencapai jumlah sampel
yang dibutuhkan. Sebanyak 92 subjek yang diambil telah masuk ke dalam kriteria
inklusi dan eksklusi bersedia dalam mengikuti penelitian ini dan telah
menandatangani lembar persetujuan subjek penelitian. Pada penelitian ini
pengambilan data dilakukan selama sebulan di rumah sakit Hasanah Graha Afiah
Depok, dengan pengisian tiga buah kuesioner. Status subjek yang menderita
gangguan sendi temporomandibula didapatkan dari wawancara kuesioner ID-TMD
yang dilakukan oleh peneliti dengan dibantu seorang teman yang sebelumnya sudah
dikalibrasi sehingga memiliki pemahaman yang sama akan pertanyaan penelitian,
subjek dengan total skor >3 dinyatakan TMD. Status kualitas tidur dan tingkat stres,
didapatkan dari pengisian kuesioner PSQI dan ENSS, diisi sendiri oleh subjek yang
sebelumnya sudah mendapatkan penjelasan mengenai cara pengisian. Subjek
dengan total skor >5 dinyatakan memiliki kualitas tidur kurang baik dan subjek
dengan total skor ENSS semakin tinggi menunjukkan tingkat stres yang tinggi.

60
Universitas Indonesia
61

6.3 Pembahasan Hasil Analisis Data


Pada penelitian ini 59.8% subjek mengalami gangguan sendi
temporomandibula. Persentase ini sejalan dengan penelitian Martins dkk, lebih dari
50% subjek memiliki gangguan sendi temporomandibula.15 Kebanyakan subjek
tidak mengeluh adanya tanda dan gejala gangguan sendi temporomandibula,
menurut Okeson 40%-60% subjek pada populasi umum memiliki gangguan sendi
temporomandibula namun kurang dari 10% dari populasi merasakan bahwa
masalah mereka cukup parah untuk membutuhkan perawatan.1
Sebanyak 72.8% subjek pada penelitian ini menyatakan secara subjektif
memiliki kualitas tidur yang baik, tetapi pada kenyataannya 64.1% subjek memiliki
kualitas tidur kurang baik. Persentase ini lebih kecil dibandingan dengan penelitian
Akbari dkk pada perawat di Iran, sebanyak 85.7% subjek memiliki kualitas tidur
kurang baik. Pada penelitian ini, skor rerata PSQI 6.63±2.361, dengan tik potong
yang sama, skor ini lebih rendah dibanding dengan penelitian Akbari dkk pada
perawat di Iran (7.13±2.5).55
Secara statistik terdapat hubungan gangguan sendi temporomandibula
dengan kualitas tidur pada perawat umum di rumah sakit, sejalan dengan penelitian
Oliveira dkk dan Martins dkk.7,15 Berdasarkan penelitian Sitar dkk kualitas tidur
buruk banyak terdapat pada pasien gangguan sendi temporomandibula disertai
nyeri. Faktanya nyeri membuat individu tidak nyaman dan berpotensi
menyebabkan gangguan tidur.56 Dalam penelitian ini tidak dapat menentukan
hubungan sebab-akibat antara gangguan sendi temporomandibula dengan kualitas
tidur, penelitian ini menunjukkan hubungan variabel independen-dependen dari
gangguan sendi temporomandibula dengan kualitas tidur, sejalan dengan penelitian
Oliveira dkk bahwa adanya gangguan sendi temporomandibula cukup untuk
memengaruhi kualitas tidur seseorang.7
Gejala yang sering dijumpai pada responden penelitian ini adalah sakit
kepala, dirasakan oleh 30.4% subjek diikuti dengan nyeri pada daerah leher dan
sekitarnya, dirasakan oleh 17.4% subjek. Persentase ini masih lebih rendah
dibandingkan pada penelitian Al Hosis pada perawat umum di Saudi Arabia, 42.8%
menderita sakit kepala dan 45.4% menderita nyeri leher dan bahu.35 Menurut Kim

Universitas Indonesia
62

dkk gangguan sendi temporomandibula berhubungan kuat dengan nyeri leher, sakit
kepala, sakit punggung dan persendian.38
Rata-rata skor total ENSS pada penelitian ini 1.24±0.64. Situasi yang paling
membuat stres berdasarkan komponen ENSS pada penelitian ini adalah beban
kerja(1.423±0.70) dan masalah pasien dan keluarganya(1.420 ± 0.85). Kedua
komponen paling menyebabkan stres ini serupa dengan penelitian Aburuz dkk dan
Shivaprasad dkk.12,57 Namun rata-rata skor ENSS pada penelitian Aburuz dkk pada
perawat di Jordania, lebih tinggi yaitu 2.8±1.4 dengan rata-rata komponen beban
kerja (3.75±1.8) dan komponen masalah pasien dan keluarganya (3.56±1.2).12
Pada studi sebelumnya telah dijelaskan bahwa stres merupakan faktor
etiologi adanya gangguan sendi temporomandibula. Stres berdampak pada tubuh
dengan mengaktivasikan hipotalamus-pituitary-adrenal (HPA) aksis, kemudian
tubuh merespon melalui sistem saraf otonom. HPA aksis melalui jalur saraf
kompleks meningkatkan aktivitas gamma efferent yang menyebabkan serat
intrafusal pada gelendong otot untuk kontraksi. Hal ini sangat sensitif bagi
gelondongan dengan sedikit penarikan dari otot akan menyebabkan reflek kontraksi
secara keseluruhan akan terjadi peningkatan tonisitas otot.1 Sehingga keadaan
emosional berupa stres psikologis dapat menyebabkan gangguan sendi
temporomandibula pada seseorang.13,14 Namun, pada penelitian ini tidak terdapat
hubungan gangguan sendi temporomandibula dengan stres kerja, bertentangan
dengan penelitian Oliveira dkk dan Martins dkk.7,15 Menurut penelitian Ryalat dkk
tingkat stres tinggi berhubungan dengan gangguan sendi temporomandibula.58
Sejalan dengan data penelitian ini sebanyak 15 subjek dengan tingkat stres tinggi
memiliki gangguan sendi temporomandibula. Namun, apabila menggunakan nilai
rata-rata pada penelitian ini menunjukkan tingkat stres rendah sehingga tidak
menunjukkan hubungan signifikan antara gangguan sendi temporomandibula dan
stres kerja. Selain itu, perbedaan ini karena alat ukur yang dipakai pada penelitian
ini sebatas screening sehingga tidak dapat melihat tingkat keparahan nyeri sendi
temporomandibula seperti pada penelitian Rehman dkk, stres berhubungan kuat
dengan keparahan nyeri sendi temporomandibula.59
Pada penelitian ini perempuan (89.1%) memiliki gangguan sendi
temporomandibula lebih tinggi dibanding laki-laki (10.9%). Hal ini sejalan dengan

Universitas Indonesia
63

penelitian Gillborg dkk, Oliveira dkk, Kim dkk, dan Rani dkk.2,23,38,39 Menurut
Dasilva dkk pada perempuan ada peranan hormon steroid, terutama estrogen, yang
bertindak melalui reseptor estrogen-a dan estrogen reseptor-b pada sistem saraf
pusat, menghasilkan efek pada proses inflamasi dan juga di pusat transmisi nyeri.
Contohnya, estrogen bertindak langsung pada monosit dan makrofag untuk
meregulasi produksi sitokin. Sitokin IL-1b dan IL-6 hadir dalam sinovium sendi
temporomandibula selama inflamasi dan IL-1 dan TNF-a memicu reabsorpsi tulang
rawan, menghambat sintesis proteoglikan, dan memicu peradangan pada struktur
sendi temporomandibula. Oleh karena itu, estrogen bisa memainkan peran penting
dalam tingkat keparahan nyeri dan predisposisi gangguan sendi
temporomandibula.60 Namun pada penelitian ini tidak terdapat hubungan gangguan
sendi temporomandibula dengan jenis kelamin, sejalan dengan penelitian Mello
dkk dan bertentangan dengan penelitian Kim dkk dan Gillborg dkk.2,38,61 Hal ini
karena subjek perempuan dan laki-laki pada penelitian ini tidak seimbang yaitu 1:8,
sedangkan Gillborg dkk dan Kim dkk perbandingan subjek 3:4. Pada penelitian ini
subjek yang diambil berprofesi sebagai perawat umum, berdasarkan pusat data dan
informasi kemenkes Indonesia April 2017, 71% perawat di Indonesia adalah
perempuan.62 Sedangkan pada penelitian Gillborg dkk dan Kim dkk mengambil
subjek tidak terbatas pada profesi sehingga dapat merepresentasikan populasi lebih
baik.2,38
Studi epidemiologi menyatakan gejala gangguan sendi temporomandibula
kebanyakan dialami oleh orang dengan umur 20–40 tahun, prevalensi ini menurun
pada usia 60, dan prevalensi paling rendah pada kelompok usia lanjut.1,19 Dalam
penelitian ini 65.5% responden yang memiliki gangguan sendi temporomandibula
berada di usia dewasa 25–44 tahun. Tidak terdapat hubungan gangguan sendi
temporomandibula dengan usia, sejalan dengan penelitian Magalhaes dkk dan
bertentangan dengan penelitian Gillborg dkk.2,44 Menurut penelitian Gillborg dkk
prevalensi gangguan sendi temporomandibula meningkat pada dewasa usia <50
tahun dan usia pertengahan merupakan faktor risiko gangguan sendi
temporomandibula. Pada masa-masa usia ini, seseorang memiliki banyak
kesibukan seperti menjalani pendidikan, pekerjaan, mengejar karir, memulai
keluarga, merawat anak, semua yang dapat menimbulkan stres dan kesulitan dalam

Universitas Indonesia
64

menjaga keseimbangan hidup.2 Selain itu, jumlah subjek pada penelitian Gillborg
dkk lebih banyak dibanding penelitian ini dan Magalhaes dkk, sehingga lebih dapat
merepresentasikan populasi.2,44
Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan gangguan sendi
temporomandibula dengan status sosial ekonomi, sejalan dengan penelitian Mello
dkk.61 Menurut penelitian Magalhaes dkk status sosial ekonomi rendah
berhubungan dengan nyeri myofasial dan permasalahan sendi (arthralgia,
osteoarthritis, dan osteoarthrosis). Individu dengan pendapatan yang lebih tinggi
memiliki kemudahan dalam mengakses informasi kesehatan dan perawatan
preventif, yang dapat mengurangi kemungkinan progresi penyakit.44 Selain itu
terdapat perbedaan alat ukur, Magalhaes dkk menggunakan indeks RDC/TMD
sedangkan pada penelitian ini menggunakan kuesioner screening gangguan sendi
temporomandibula.
Tidak terdapat hubungan gangguan sendi temporomandibula dengan tingkat
pendidikan sejalan dengan penelitian Gillborg dkk, bertentangan dengan penelitian
Kim dkk.2,38 Adanya masalah dental berhubungan dengan tingkat pendidikan
rendah. Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi cenderung
menjalani pemeriksaan dental rutin dan menerima lebih baik informasi mengenai
pilihan perawatan dental.43 Perbedaan pada penelitian ini, mungkin karena Kim dkk
mengambil subjek lebih banyak (17.198) sehingga merepresentasikan populasi
lebih baik.38
Bertentangan dengan penelitian Kim dkk dan Gillborg dkk, pada penelitian
ini tidak terdapat hubungan gangguan sendi temporomandibula dengan status
pernikahan.2,38 Kim dkk menggunakan subjek lebih banyak yaitu 17.198 sehingga
dapat merepresentasikan populasi lebih baik.38 Menurut Gillborg dkk seseorang
yang tinggal dengan pasangan, lebih sedikit memiliki gangguan sendi
temporomandibula dibandingkan yang tinggal sendiri, tetapi dari hasil penelitian
ini, 50.9% subjek yang menikah memiliki gangguan sendi temporomandibula.2
Belum ada penelitian yang menjelaskan mengenai gangguan sendi
temporomandibula yang lebih banyak terjadi pada orang yang sudah menikah,
sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut.

Universitas Indonesia
65

Pada penelitian ini terdapat hubungan kualitas tidur dengan salah satu
komponen stres kerja yaitu permasalahan dengan pasien dan keluarganya. Sejalan
dengan penelitian Rocha dkk bahwa stres merupakan faktor yang berhubungan
dengan tidur, semakin tinggi tingkat stres pada perawat, semakin tinggi skor PSQI
yang menunjukkan kualitas tidur yang buruk.49 Menurut Aburuz dkk, ketika
seorang pasien dirawat di rumah sakit, banyak keluarga atau kerabat yang
berkunjung dan menanyakan pertanyaan terkait kondisi pasien yang bukan
kewenangan perawat untuk menjawabnya. Selain itu, banyak keluarga yang tinggal
di kamar pasien, membuat perawat menjadi sulit melakukan tugasnya, sehingga
membuat kondisi menjadi sangat stres. Jika sesuatu yang salah terjadi pada pasien,
keluarga biasanya membuat permintaan yang tidak masuk akal dan menyalahkan
perawatnya. Beberapa anggota keluarga bisa menjadi kasar ketika orang yang
mereka cintai meninggal atau berada dalam situasi kritis. Sehingga permasalahan
pasien dan keluarganya merupakan kondisi yang cukup membuat stres bagi perawat
pada penelitian ini.12
Sebanyak 88.1% perawat perempuan memiliki kualitas tidur kurang baik,
persentase ini lebih tinggi daripada perawat laki-laki. Sama hal dengan penelitian
Akbari dkk sebanyak 85.4% perawat perempuan di Iran memiliki kualitas tidur
kurang baik.55 Menurut penelitian perempuan lebih banyak mengeluhkan memiliki
kualitas tidur buruk dibandingkan laki-laki. Pada perempuan aktivitas tidur dan
bangun dipengaruhi efek hormon terutama saat menstruasi, kehamilan,
perimenoupase dan menopause, selama periode ini perempuan sering mengalami
gangguan tidur.10 Tidak terdapat hubungan kualitas tidur dengan jenis kelamin
sejalan dengan penelitian Akbari dkk, dan bertentangan dengan penelitian Patel
dkk.55,63 Perbedaan hasil ini mungkin karena subjek yang diambil pada penelitian
Patel dkk lebih banyak yaitu 9.714 sehingga dapat merepresentasikan populasi lebih
baik.63 Selain itu, pada penelitian ini subjek kebanyakan perawat perempuan dan
tidak dapat dibedakan apakah subjek dalam kondisi menstruasi atau tidak.
Seiring bertambahnya usia, seseorang mengalami perubahan dalam
rangkaian tidurnya, mulai dari memulai tidur, mempertahankan tidur, persentase
waktu yang dihabiskan untuk tidur dan efisiensi tidur. Jumlah waktu tidur menurun
seiring bertambahnya usia. Pada individu usia 20 – 60 tahun mengalami penurunan

Universitas Indonesia
66

slow wave sleep (tahap 3 dan 4 tidur).10 Tidak terdapat hubungan kualitas tidur
dengan usia, sejalan dengan penelitian Akbari dkk, dan bertentangan dengan
penelitian Patel dkk.55,63 Perbedaan hasil ini mungkin karena subjek yang diambil
pada penelitian Patel dkk lebih banyak yaitu 9.714 sehingga dapat
merepresentasikan populasi lebih baik.63
Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan kualitas tidur dengan tingkat
pendidikan, sejalan dengan penelitian Akbari dkk pada perawat di Iran.55 Namun,
menurut penelitian Patel dkk setiap kenaikan tingkat pendidikan berhubungan
dengan efek protektif terhadap kualitas tidur individu. Individu dengan tingkat
pendidikan sampai perguruan tinggi berpeluang lebih kecil memiliki kualitas tidur
buruk dibandingkan seseorang dengan lulusan sekolah menengah.63 Individu
dengan tingkat pendidikan rendah mungkin tidak sadar akan pentingnya sleep
hygiene dan tidak memanfaatkannya dirumah mereka.46 Berbeda dengan Patel dkk
yang mengambil subjek lebih banyak dari berbagai tingkat pendidikan dan
golongan pekerjaan, seluruh subjek penelitian ini memiliki pekerjaan yang sama
dan tingkat pendidikan diatas sekolah menengah. Selain itu, mungkin karena
karakteristik sampel atau kebijakan dari institusi dalam memperkerjakan sesorang
yang telah lulus pendidikan tertentu.55
Studi Patel dkk menujukkan bahwa individu dengan status sosial ekonomi
rendah memiliki kualitas tidur yang buruk dibandingkan dengan individu dengan
status sosial ekonomi tinggi. Berbagai faktor terkait kemiskinan yang dapat
memengaruhi kualitas tidur seperti tinggal di lingkungan yang dianggap bising,
kumuh, banyak kekerasan, dan sleep hygiene yang buruk (tempat tidur yang tidak
nyaman, jam tidur tidak teratur, mengkonsumsi alkohol dan kafein) hal ini dapat
menurunkan kualitas tidur.47 Namun, pada penelitian ini tidak terdapat hubungan
kualitas tidur dengan status sosial ekonomi. Perbedaan hasil ini mungkin karena
subjek yang diambil pada penelitian Patel dkk lebih banyak yaitu 9.714 responden
sehingga dapat merepresentasikan populasi lebih baik.63
Tidak terdapat hubungan bermakna antara kualitas tidur dengan status
pernikahan. Hal ini serupa dengan penelitian Chen dkk bahwa tidak ada hubungan
status pernikahan dengan kualitas tidur. Namun, menurut Chen seseorang yang
memiliki teman tidur memiliki waktu tidur lebih lama dan kualitas tidur lebih baik,

Universitas Indonesia
67

ini bertentangan dengan hasil penelitian ini, 33 orang dari 46 orang responden yang
menikah, memiliki kualitas tidur kurang baik. Hal ini mungkin dipengaruhi
beberapa faktor seperti, hubungan pernikahan yang buruk merupakan sumber dari
stres yang dapat mengganggu tidur. Konsisten dengan penelitian Chen dkk bahwa
terdapat korelasi antara hubungan pernikahan yang baik dengan kualitas tidur.
Individu yang mendapatkan dukungan dari pasangannya menunjukkan sedikit
fragmentasi tidur.48 Namun, keterbatasan dalam penelitian ini tidak dapat
menentukan hubungan pernikahan seseorang baik atau tidak.
Keterbatasan dari penelitian ini yaitu studi ini hanya menunjukkan
hubungan bukan hubungan sebab-akibat karena desain yang dipakai cross
sectional, dimana penelitian terbatas pada waktu yang singkat dan tertentu.
Berdasarkan penelitian Kamal dkk perawat yang bekerja di ICU dan UGD memiliki
tingkat stres lebih tinggi, keterbatasan pada penelitian ini tidak mengelompokkan
perawat berdasarkan tempat kerja sehingga tidak mengetahui stres kerja paling
tinggi.8 Selain itu, data yang diambil menggunakan kuesioner yang berdasarkan
penilaian subjek pribadi, bukan dari pemeriksaan klinis dan diagnostik dokter.
Kekurangan kuesioner adanya recall bias dari subyek penelitian karena
kemampuan subjek mengingat informasi berbeda. Terdapat juga bias responden,
subjek dalam memberikan jawaban bisa saja memiliki motivasi untuk tidak
memberikan jawaban yang benar dan jujur, baik sengaja atau tidak disengaja.51
Namun, pada penelitian ini, peneliti mengantisipasi dengan memberitahukan subjek
sebelum pengisian kuesioner bahwa data yang dikumpulkan bersifat rahasia dan
hanya untuk keperluan penelitian. Hal ini juga sudah tercantum dalam lembar
informasi subjek penelitian. Peneliti juga memperbolehkan apabila responden
mengisi menggunakan nama samaran. Dalam menjamin dan memelihara tingkat
kesahihan penelitian, ketiga kuesioner yang dipakai merupakan kuesioner yang
valid dan reliabel.

Universitas Indonesia
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa:
1. Terdapat hubungan gangguan sendi temporomandibula dengan kualitas tidur
pada perawat umum di rumah sakit umum tipe C.
2. Tidak terdapat hubungan gangguan sendi temporomandibula dengan stres kerja
pada perawat umum di rumah sakit umum tipe C.
3. Tidak terdapat hubungan gangguan sendi temporomandibula dengan faktor
sosiodemografis (jenis kelamin, usia, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan,
dan status pernikahan) pada perawat umum di rumah sakit umum tipe C.
4. Terdapat hubungan kualitas tidur dengan salah satu komponen stres kerja yaitu
permasalahan dengan pasien dan keluarganya pada perawat umum di rumah
sakit umum tipe C.
5. Tidak terdapat hubungan kualitas tidur dengan faktor sosiodemografis (jenis
kelamin, usia, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan status pernikahan)
pada perawat umum di rumah sakit umum tipe C.

7.2 Saran
Peneliti yang akan melakukan penelitian lanjutan yang mengacu pada
penelitian ini disarankan untuk melakukan pengambilan data lebih banyak agar
dapat merepresentasikan populasi, menggunakan metode dengan pemeriksaan
klinis agar lebih objektif, dan mengelompokkan perawat berdasarkan tempat kerja
seperti (ICU, UGD dan ruang rawat inap, ruang operasi). Selain itu, dapat juga
melakukan penelitian lebih lanjut mengenai gangguan sendi temporomandibula
yang lebih banyak terjadi pada subjek yang sudah menikah.

68
Universitas Indonesia
69

DAFTAR PUSTAKA

1. Okeson JP. Management of Temporomandibular Disorder and Occlusion. 7th ed.


St. Louis, Missouri: Mosby Inc; 2013. 102-158 p.

2. Gillborg S, Åkerman S, Lundegren N, Ekberg EC. Temporomandibular Disorder


Pain and Related Factors in an Adult Population: A Cross-Sectional Study in
Southern Sweden. J Oral Facial Pain Headache. 2017;(1):37–46.

3. Buysse DJ, Reynolds CF 3Rd, Monk TH, Berman SR, Kupfer DJ. The Pittsburgh
Sleep Quality Index: A New Instrument for Psychiatric Practice and Research.
Vol. 28, Psychiatry Res. 1989. p. 193–213.

4. Yatani H, Cordova M, Carlson CR, Centor OP. Comparison of Sleep Quality and
Clinical and Psychologic Characteristics in Patients with Temporomandibular
Disorders. J Orofac Pain. 2002;16:221–9.

5. Tosato JDP, Politti F, Barbosa M, Garcia S, Gonzalez TDO, Biasotto-gonzalez


DA. Correlation between temporomandibular disorder and quality of sleep in
women. 2016;29(3):527–31.

6. Song K-W, Kim M-E. Sleep Quality of Patients with Temporomandibular


Disorders: Relationship to Clinical and Psychological Characteristics. J Oral Med
Pain Orig. 2015;40(4):155–62.

7. Oliveira LK de, Almeida G de A, Lelis ÉR, Tavares M, Neto AJF.


Temporomandibular Disorder and Anxiety , Quality Of Sleep , and Quality of Life
In Nursing Professionals. 2015;29(1):1–7.

8. Samar M. Kamal, MerfatI. Al-Dhshan, Karima A. Abu-Salameh, FuadH. Abuadas


and MM, Hassan. The effect nurses Perceived Job Related Stressors on Job
Satisfaction in Taif Governmental Hospitals in Kingdom of Saudi Arabia. J Am
Sci. 2012;8(3):119–25.

9. Stanyar K. Quantitative Workload, Physical Activity, And Quality Of Sleep : An


Investigation Of Nurses Working The Night Shift And 10 Hour Or Longer Shifts.
2012.

10. Colten HR, Altevogt BM. Sleep Disorders and Sleep Deprivation: An Unmet
Public Health Problem. 1st ed. Research C on SM and, editor. Washington DC:
Institute of medicine od National Academies; 2006. 1-424 p.

11. Najimi A, Goudarzi AM, Sharifirad G. Causes of job stress in nurses: A cross-
sectional study. Iran J Nurs Midwifery Res. 2012;17(4):301–5.

12. Aburuz ME. a Comparative Study About the Impact of Stress on Job Satisfaction
Between Jordanian and Saudi Nurses. 2014;10(17):162–72.

Universitas Indonesia
70

13. Tanti I, Himawan LS, Kusdhany L. Etiology of Temporomandibular Disorders


Index. J Int Dent Med Res. 2016;9:299–305.

14. Kaur G, Arora V, Rozra S, Bansal R, Gera A, Narang S. Etiological factors in


Temporomandibular Joint Disorders : A review. J Oral Heal Res. 2010;1(2):83–6.

15. Martins RJ, Garbin CAS, Garcia AR, Garbin AJÍ, Miguel N. Stress Levels And
Quality Of Sleep in Subjects With Temporomandibular Joint Dysfunction.
2010;25(1):32–6.

16. Chin W, Leon Y, Hung Y, Yang C, Shiao JS. Short sleep duration is dose-
dependently related to job strain and burnout in nurses : A cross sectional survey §.
Int J Nurs Stud. Elsevier Ltd; 2015;52(1):297–306.

17. Yustisiana N. Akurasi “Indeks Diagnostik Temporomandibular Disorder” (ID-


TMD) Yang Diuji Dengan Research Diagnostic Criteria (RDC) Sebagai Baku
Emas. Universitas Indonesia; 2012.

18. Alim IZ. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Pittsburgh Sleep Quality Index
Versi Bahasa Indonesia. Universitas Indonesia; 2015.

19. Glick M. Oral medicine. 12th ed. Shelton, Connecticut: People’s Medical
Publishing House; 2015.

20. Wieckiewicz M, Grychowska N, Wojciechowski K, Pelc A, Augustyniak M,


Sleboda A, et al. Prevalence and Correlation between TMD Based on RDC / TMD
Diagnoses , Oral Parafunctions and Psychoemotional Stress in Polish University
Students. 2014;2014.

21. Schiffman E, Look J, Anderson G, Goldberg LJ, Haythornthwaite JA, Hollender L,


et al. Diagnostic Criteria for Temporomandibular Disorders (DC/TMD) for
Clinical and Research Applications: Recommendations of the International
RDC/TMD Consortium Network. 2014;28(1):6–27.

22. Majumder K, Sharma S, Jk DR, Siwach V. Prevalence and Sex Distribution of


Temporomandibular Disorder and Their Association with Anxiety and Depression
in Indian Medical University Students. 2015;(August):570–8.

23. Rani S, Pawah S, Gola S, Bakshi M. Analysis of Helkimo index for


temporomandibular disorder diagnosis in the dental students of Faridabad city : A
cross ‑ sectional study. 2017;48–52.

24. Desyanti A. Stres dan Temporomandibular Disorder pada Aircrew. Universitas


Indonesia; 2014.

25. Chokroverty S. Overview of sleep & sleep disorders. Indian J Med Res.
2010;131(February):126–40.

26. Smyth CA. Evaluating sleep quality in older adults The Pittsburgh Sleep Quality

Universitas Indonesia
71

Index can be used to detect sleep disturbances or deficits. Am J Nurs.


2008;108(5):42–51.

27. What Good Quality Sleep [Internet]. 2017 [cited 2017 Jun 16]. Available from:
https://sleepfoundation.org/press-release/what-good-quality-sleep.

28. Stress and Sleep [Internet]. 2017 [cited 2017 Jun 16]. Available from:
http://www.apa.org/news/press/releases/stress/2013/sleep.aspx

29. Carayon P, Gurses AP. Nursing workload and patient safety: A human factors
engineering perspective. Patient Saf Qual An evidence-based Handb nurses.
2008;2(1):203–16.

30. Pagel JF, Parnes BL. Medications for the Treatment of Sleep Disorders: An
Overview. Prim Care Companion J Clin Psychiatry. 2001;3(3):118–25.

31. F.Kripke D. Surprising view of insomnia and sleeping pills. Sleep J Sleep Sleep
Disord Res. 2013;36(8):1127–8.

32. Mollayeva T, Thurairajah P, Burton K, Mollayeva S, Shapiro CM, Colantonio A.


The Pittsburgh sleep quality index as a screening tool for sleep dysfunction in
clinical and non-clinical samples: A systematic review and meta-analysis. Sleep
Med Rev. Elsevier Ltd; 2016;25:52–73.

33. Sauter S, Murphy L, Colligan M, Swanson N, Hurrell J, Scharf F. Stress at work


(NIOSH). Cincinnati; 2009. 1-26 p.

34. Gupta PR Sen, Adhikari A. Role Stress Among Nurses. Icfai J Organ Behav.
2008;VII:1.

35. Hosis KF Al, Mersal FA, Keshk LI. Effects of Job Stress on Health of Saudi
Nurses Working in Ministry of Health Hospitals in Qassim Region in KSA. Life
Sci J. 2013;10(1):1036–44.

36. E Susan F, Rhonda L, Vivienne W, John E. An empirical evaluation of an


expanded nursing stress scale. J Nurs Meas. 2000;8(2):161–78.

37. Harsono H. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Expanded Nursing Stress
Scale Versi Bahasa Indonesia sebagai Instrumen Penilaian Stres Kerja pada
Perawat. Universitas Indonesia; 2017.

38. Kim TY, Shin JS, Lee J, Lee YJ, Kim MR, Ahn Y, et al. Gender difference in
associations between chronic temporomandibular disorders and general quality of
life in Koreans: A cross-sectional study. PLoS One. 2015;10(12):1–13.

39. Oliveira AS De, Dias EM. Prevalence study of signs and symptoms of
temporomandibular disorder in Brazilian college students Prevalência de sinais e
sintomas de disfunção temporomandibular em universitários brasileiros.
2006;20(1):3–7.

Universitas Indonesia
72

40. Yadollahi M, Paim LH, Studies C. Measurement of Family Economic Status 1 1.


2010;6(11).

41. Howe LD, Galobardes B, Matijasevich A, Gordon D, Johnston D, Onwujekwe O,


et al. Measuring socio-economic position for epidemiological studies in low- and
middle-income countries : a methods of measurement in epidemiology paper.
2012;(March):871–86.

42. Socio-economic A. Socio-economic classification. 2016;(December 2015):1–15.

43. Maharani DA. Inequity in Dental Care Utilization in the Indonesian Population
with a Self-Assessed Need for Dental Treatment. 2009;229–39.

44. Magalhães B, Mello V De. Risk factors for temporomandibular disorder : Binary
logistic regression analysis. 2014;19(3):232–6.

45. Grandner MA, Patel NP, Gehrman PR, Xie D, Sha D, Weaver T, et al. Who gets
the best sleep? Etnic and socioeconomic factors related to sleep complaints. Sleep
Med. 2010;11(5):470–8.

46. Marco CA, Wolfson AR, Sparling M, Azuaje A. Family Socioeconomic Status and
Sleep Patterns of Young Adolescents. Behav Sleep Med. 2012;10(1):70–80.

47. Hale L, Hill TD, Burdette AM. Does sleep quality mediate the association between
neighborhood disorder and self-rated physical health? Prev Med (Baltim). Elsevier
Inc.; 2010;51(3–4):275–8.

48. Chen J-H, Waite LJ, Lauderdale DS. Marriage, Relationship Quality, and Sleep
among U.S. Older Adults. J Health Soc Behav. 2015;56(3):356–77.

49. Rocha MCP da, Martino MMF De. Stress and sleep oof Nurses working different
hospital shifts. 2010;44(2):279–85.

50. Dahlan MS. Besar sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan. 3rd ed. Jakarta: Salemba Medika; 2011.

51. Syahdrajat T. Panduan Menulis Tugas Akhir Kedokteran dan Kesehatan. 1st ed.
Jakarta: Prenadamedia Group; 2015. 1-228 p.

52. Maharani DA. Uji Statistik dan Estimasi Besar Sampel. 1st ed. Anton Rahardjo,
editor. Jakarta: FKUI; 2016.

53. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar. 2007.

54. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. 5th ed.


Jakarta: Sagung Seto; 2014.

55. Akbari V, Hajian A, Mirhashemi MS. Evaluating of Sleep Quality in Shift-Work


Nurses ; Iran. 2016;5(1):5–8.

Universitas Indonesia
73

56. Rener-sitar K, John MT, Pusalavidyasagar SS. Sleep quality in temporomandibular


disorder cases. Sleep Med. Elsevier B.V.; 2016;25:105–12.

57. Shivaprasad AH. Work Related Stress of Nurses. J Psychiatr Nurs. 2013;2(2):53–
8.

58. Ryalat S. Prevalence of Temporomandibular Joint Disorders among Students of


the University of Jordan. J Clin Med Res. 2009;1(3):158–64.

59. Rehman B, Noreen R, Siddiqui H. The Effect of Stress on the Pain Severity in
Temporomandibular Joint Dysfunction Among College and University Students.
JKCD. 2010;1(1).

60. Ribeiro-Dasilva MC, Peres Line SR, Leme Godoy dos Santos MC, Arthuri MT,
Hou W, Fillingim RB, et al. Estrogen Receptor-α Polymorphisms and
Predisposition to TMJ Disorder. J Pain. 2009;10(5):527–33.

61. Mello VVC de, Barbosa AC da S, Morais MPL de A. Temporomandibular


Disorders in a Sample Population of the Brazilian Northeast. 2014;25:442–6.

62. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi Tenaga Keperawatan


Indonesia. 2017. p. 10.

63. Patel NP, Grandner MA, Xie D, Branas CC, Gooneratne N. “Sleep disparity” in
the population: poor sleep quality is strongly associated with poverty and ethnicity.
BMC Public Health. 2010;10(1):475.

64. Wahid A, Razzaq A. Prevalence and Severity of Temporomandibular Disorders (


TMD ) in Undergraduate Medical Students using Fonseca ’ s Questionnaire.
2014;34(1):38–41.

Universitas Indonesia
74

Lampiran 1. Surat Keterangan Lolos Etik


75

Lampiran 2. Lembar Informasi Kepada Subjek Penelitian

LEMBAR INFORMASI KEPADA SUBJEK PENELITIAN

Kepada Yth.
Bapak/Ibu/Sdr
Di tempat
Saya Fadhilah Nur Amalina adalah peneliti yang merupakan mahasiswa Program
Pendidikan S1 Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Bersama ini saya
memohon kesediaan Bapak/Ibu/Sdr untuk berpartisipasi sebagai subyek penelitian saya
yang berjudul:
Hubungan Gangguan Sendi Temporomandibula Dengan Kualitas Tidur Pada
Perawat Umum di Rumah Sakit Swasta Tipe C
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan gangguan sendi temporomandibula
dengan kualitas tidur pada perawat umum di rumah sakit.
Dalam penelitian ini kepada Bapak/Ibu/Sdr akan dilakukan:
1. Pengisian kuesioner indeks diagnostik Temporomandibular disorder
2. Pengisian kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index Versi Bahasa Indonesia
3. Pengisian kuesioner Expanded Nursing Stress Scale Versi Bahasa Indonesia
Karena banyaknya pertanyaan dari kuesioner yang harus diisi, Bapak/Ibu/Sdr dimohon
kesediaannya untuk meluangkan waktu sekitar 20 – 30 menit. Tidak ada efek samping atau
komplikasi yang akan dialami oleh Bapak/Ibu/Sdr, serta penelitian ini tidak dipungut biaya
apapun. Keuntungan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Bapak/Ibu/Sdr dapat mengetahui apakah Bapak/Ibu/Sdr menderita gangguan
sendi temporomandibula atau tidak
2. Bapak/Ibu/Sdr dapat mengetahui apakah Bapak/Ibu/Sdr dalam satu bulan terakhir
memiliki kualitas tidur yang baik atau buruk
3. Bapak/Ibu/Sdr dapat mengetahui apakah Bapak/Ibu/Sdr mengalami stres yang
disebabkan oleh pekerjaan atau tidak.
4. Bapak/Ibu/Sdr telah berpartisipasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
terutama dalam bidang kedokteran gigi.
(Lanjutan)
76

Partisipasi Bapak/Ibu/Sdr dalam penelitian ini sepenuhnya bersifat sukarela dan tanpa
paksaan. Seluruh data yang Bapak/Ibu/Sdr isi akan dirahasiakan sesuai dengan kode etik
penelitian dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian serta tidak disebarluaskan.
Apabila Bapak/Ibu/Sdr dapat berpartisipasi dalam penelitian ini maka Bapak/Ibu/Sdr akan
diminta menandatangani lembar pernyataan persetujuan menjadi subjek penelitian.
Bapak/Ibu/Sdr yang telah berpartisipasi dalam peneltian ini, akan diberikan hadiah sebagai
ungkapan terimakasih dari peneliti. Sebelum memutuskan untuk berpartisipasi dalam
penelitian ini, Bapak/Ibu/Sdr akan diberi kesempatan untuk bertanya kepada peneliti
tentang penelitian ini. Setiap pilihan Bapak/Ibu/Sdr akan dihargai.

Demikian, semoga keterangan saya di atas dapat dimengerti dan atas kesediaan Bapak/Ibu
untuk ikut dalam penelitian ini saya ucapkan terima kasih.

Penanggungjawab Penelitian
Jika Bapak/Ibu/Sdr memerlukan informasi lebih lanjut dapat menghubungi peneliti dengan
kontak sebagai berikut:
Nama : Fadhilah Nur Amalina
No.telp : 081317299748
Email : dhilahdong311@gmail.com
77

Lampiran 3. Pernyataan Persetujuan Menjadi Subjek Penelitian

PERNYATAAN PERSETUJUAN MENJADI SUBYEK PENELITIAN

Tujuan penelitian dan hal-hal lainnya telah dijelaskan kepada saya. Saya memahami bahwa
penelitian ini adalah untuk ilmu pengetahuan dan segala sesuatunya telah disetujui oleh
Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Yang bertandatangan di bawah ini:


Nama Lengkap :…………………………………………………………………
No telp :………………………………………………………………..
Usia/Jenis Kelamin : …………………………………………………………….L/P
Menyatakan telah mendapatkan penjelasan tentang penelitian yang berjudul
Hubungan Gangguan Sendi Temporomandibula Dengan Kualitas Tidur Pada
Perawat Umum di Rumah Sakit Swasta Tipe C

Saya menegaskan bahwa saya telah membaca dan memahami lembar informasi mengenai
penelitian di atas. Saya memahami bahwa tidak ada efek samping atau komplikasi yang
timbul dalam penelitian ini. Saya dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan, menyatakan
kesediaan saya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dan saya bebas mengundurkan diri
setiap waktu.

Depok,___________________
Responden Peneliti Saksi

( ) (Fadhilah Nur Amalina) ( )


78

Lampiran 4. Lembar Isian Biodata Subjek Penelitian

LEMBAR BIODATA SUBJEK

Nama Lengkap :

Tempat Tanggal lahir :

Usia :

Jenis Kelamin* : L/P

Alamat Tinggal Sekarang :

No.Hp/Telp :

Pendidikan Terakhir :

Status Pernikahan :

Jumlah Tanggungan Dewasa


(jumlah orang di atas 14 tahun dalam satu rumah) :

Jumlah Tanggungan Anak


(Jumlah anak 0-14 tahun dalam satu rumah) :

Jumlah Pengeluaran dalam Satu Bulan :

Keterangan:

*lingkari pernyataan yang benar


79

Lampiran 5. Kuesioner Indeks Diagnostik Temporomandibular Disorder

INDEKS DIAGNOSTIK TEMPOROMANDIBULAR DISORDER

No Keadaan Tidak Jarang Sering Selalu


pernah (1) (2) (3)
(0)
1 Apakah ada nyeri di
sekitar sendi rahang
anda
2 Apakah anda sering
merasa nyeri kepala
3 Apakah ada rasa
nyeri pada saat
membuka dan
menutup mulut
4 Apakah anda
merasakan nyeri pada
daerah leher dan
sekitarnya
5 Apakah telinga anda
berdengung tanpa
sebab yang nyata
6 Apakah anda sering
mempertemukan gigi
atas dan bawah
dengan tekanan keras
pada saat anda
bingung?
7 Apakah anda sering
mempertemukan gigi
atas dan bawah
dengan tekanan keras
pada saat anda marah
8 Apakah anda sering
mempertemukan gigi
atas dan bawah
dengan tekanan keras
pada saat anda
konsetrasi penuh?
80

Lampiran 6. Kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index Versi Bahasa Indonesia

PITTSBURGH SLEEP QUALITY INDEX


VERSI BAHASA INDONESIA

No :
Nama :
Tanggal :
Petunjuk
Pertanyaan berikut berhubungan dengan kebiasaan tidur Anda dalam satu bulan
terakhir. Jawaban Anda harus akurat menunjukkan kebiasaan tidur Anda pada
siang atau malam dalam satu bulan terakhir. Harap menjawab semua pertanyaan.
1. Dalam satu bulan terakhir, pukul berapa Anda biasanya pergi tidur di
malam hari? Biasanya tidur pada jam ………………………
2. Dalam satu bulan terakhir, berapa lama (menit) biasanya Anda mulai jatuh
tertidur setiap malam? Jumlah menit ………………………..
3. Dalam satu bulan terakhir, pukul berapa biasanya Anda bangun di pagi
hari? Biasanya bangun pagi pada jam ………………………..
4. Dalam satu bulan terakhir, berapa jam tidur yang sesungguhnya Anda
dapatkan setiap malam? (Hal ini mungkin berbeda dengan jumlah jam
yang Anda habiskan ditempat tidur). Jumlah jam tidur setiap
malam……………….
Untuk setiap pertanyaan selanjutnya, pilih salah satu jawaban yang menurut
Anda paling tepat. Harap jawab semua pertanyaan.
5. Dalam satu bulan terakhir, seberap sering Anda mengalami kesulitan tidur
karena Anda…..
a. Tidak dapat tertidur dalam waktu 30 menit
 Tidak ada dalam satu bulan terakhir
 Kurang dari sekali dalam seminggu
 Sekali atau dua kali dalam seminggu
 Tiga kali atau lebih dalam seminggu
81

(Lanjutan)
b. Terbangun di tengah malam atau lebih pagi
 Tidak ada dalam satu bulan terakhir
 Kurang dari sekali dalam seminggu
 Sekali atau dua kali dalam seminggu
 Tiga kali atau lebih dalam seminggu
c. Terbangun karena ingin ke kamar mandi
 Tidak ada dalam satu bulan terakhir
 Kurang dari sekali dalam seminggu
 Sekali atau dua kali dalam seminggu
 Tiga kali atau lebih dalam seminggu
d. Tidak dapat bernapas dengan nyaman
 Tidak ada dalam satu bulan terakhir
 Kurang dari sekali dalam seminggu
 Sekali atau dua kali dalam seminggu
 Tiga kali atau lebih dalam seminggu
e. Batuk atau mendengkur keras
 Tidak ada dalam satu bulan terakhir
 Kurang dari sekali dalam seminggu
 Sekali atau dua kali dalam seminggu
 Tiga kali atau lebih dalam seminggu
f. Merasa terlalu dingin
 Tidak ada dalam satu bulan terakhir
 Kurang dari sekali dalam seminggu
 Sekali atau dua kali dalam seminggu
 Tiga kali atau lebih dalam seminggu
g. Merasa terlalu panas
 Tidak ada dalam satu bulan terakhir
 Kurang dari sekali dalam seminggu
 Sekali atau dua kali dalam seminggu
 Tiga kali atau lebih dalam seminggu
82

(Lanjutan)
h. Mengalami mimpi buruk
 Tidak ada dalam satu bulan terakhir
 Kurang dari sekali dalam seminggu
 Sekali atau dua kali dalam seminggu
 Tiga kali atau lebih dalam seminggu
i. Mengalami rasa sakit
 Tidak ada dalam satu bulan terakhir
 Kurang dari sekali dalam seminggu
 Sekali atau dua kali dalam seminggu
 Tiga kali atau lebih dalam seminggu
j. Alasan lainnya, harap dijelaskan
………………………………………………
Seberapa sering dalam sebulan terakhir Anda mengalami kesulitan
tidur karena hal ini:
 Tidak ada dalam satu bulan terakhir
 Kurang dari sekali dalam seminggu
 Sekali atau dua kali dalam seminggu
 Tiga kali atau lebih dalam seminggu
6. Dalam satu bulan terakhir, bagaimana Anda menilai kualitas tidur Anda
secara keseluruhan?
 Sangat baik
 Baik
 Buruk
 Sangat buruk
7. Dalam satu bulan terakhir, seberapa sering Anda minum obat (dengan
resep dokter atau dijual bebas) untuk membantu Anda tertidur?
 Tidak ada dalam satu bulan terakhir
 Kurang dari sekali dalam seminggu
 Sekali atau dua kali dalam seminggu
 Tiga kali atau lebih dalam seminggu
83

(Lanjutan)
8. Dalam satu bulan terakhir, seberapa sering Anda mengalami kesulitan
untuk tetap terjaga ketika menyetir, makan, atau melakukan aktivitas
sehari-hari?
 Tidak ada dalam satu bulan terakhir
 Kurang dari sekali dalam seminggu
 Sekali atau dua kali dalam seminggu
 Tiga kali atau lebih dalam seminggu
9. Dalam satu bulan terakhir, berapa banyak masalah yang membatasi
semangat Anda selama ini dalam menyelesaikan sesuatu hal?
 Tidak ada masalah
 Hanya sekidit masalah
 Agak bermasalah
 Masalah yang sangat besar
84

Lampiran 7. Perhitungan Skor Pittsburgh Sleep Quality Index

1. Komponen 1: Kualitas tidur subjektif. Pertanyaan nomor 6


Penilaian pertanyaan nomor 6 skor
Sangat baik 0
Baik 1
Buruk 2
Sangat buruk 3
Skor komponen 1:
2. Komponen 2: Latensi tidur. Pertanyaan nomor 2 dan 5a
Penilaian pertanyaan nomor 2 skor
< 15 menit 0
16 – 30 menit 1
31 – 60 menit 2
> 60 menit 3
Penilaian pertanyaan nomor 5a skor
Tidak ada dalam satu bulan terakhir 0
Kurang dari sekali dalam seminggu 1
Sekali atau dua kali dalam seminggu 2
Tiga kali atau lebih dalam seminggu 3
Jumlah skor pertanyaan nomor 2 dan 5a skor komponen 2
0 0
1–2 1
3–4 2
5–6 3
Skor komponen 2:
3. Komponen 3: Durasi tidur. Pertanyaan nomor 4
Penilaian pertanyaan nomor 4 skor
> 7 jam 0
> 6 – 7 jam 1
5 – 6 jam 2
<5 3
85

(Lanjutan)
Skor komponen 3:
4. Komponen 4: Efisiensi kebiasaan tidur. Pertanyaan nomor 1,3,4
Tuliskan jumlah jam tidur (pertanyaan nomor 4) :
Hitung jumlah jam yang dihabiskan di tempat tidur:
Jam bangun tidur (pertanyaan nomor 3) :
Jam tidur (pertanyaan nomor 1) :
_____________________________________________ -
Jumlah jam yang dihabiskan di tempat tidur :
Hitung efisiensi kebiasaan tidur sebagai berikut :
jumlah jam tidur
× 100% =
Jumlah jam di tempat tidur
Menilai skor komponen 4
Efisiensi kebiasaan tidur skor
≥ 85% 0
75 – 84% 1
65 – 74% 2
<65% 3
Skor komponen 4:
5. Komponen 5: gangguan saat tidur. Pertanyaan nomor 5b sampai 5j
Pertanyaan nomor 5b sampai 5j dinilai dengan cara skor
Tidak ada dalam satu bulan terakhir 0
Kurang dari sekali dalam seminggu 1
Sekali atau dua kali dalam seminggu 2
Tiga kali atau lebih dalam seminggu 3
Jumlahkan skor 5b sampai 5j:
Menghitung nilai komponen 5
Jumlah skor 5b sampai 5j skor
0 0
1–9 1
10 – 18 2
19 – 27 3
Skor komponen 5:
86

(Lanjutan)
6. Komponen 6: penggunaan obat tidur. Pertanyaan nomor 7
Pertanyaan nomor 7 skor
Tidak ada dalam satu bulan terakhir 0
Kurang dari sekali dalam seminggu 1
Sekali atau dua kali dalam seminggu 2
Tiga kali atau lebih dalam seminggu 3
Skor komponen 6:
7. Komponen 7: Disfungsi sehari-hari. Pertanyaan nomor 8 dan 9
Pertanyaan nomor 8 skor
Tidak ada dalam satu bulan terakhir 0
Kurang dari sekali dalam seminggu 1
Sekali atau dua kali dalam seminggu 2
Tiga kali atau lebih dalam seminggu 3
Pertanyaan nomor 9 skor
Tidak ada masalah 0
Hanya sekidit masalah 1
Agak bermasalah 2
Masalah yang sangat besar 3
Jumlah skor pertanyaan nomor 8 dan 9:
Jumlah nomor 8 dan 9 skor
0 0
1–2 1
3–4 2
5–6 3
Skor komponen 7:
87

Lampiran 8. Kuesioner Expanded Nursing Stress Scale Versi Bahasa Indonesia

EXPANDED NURSING STRESS SCALE (ENSS) VERSI BAHASA


INDONESIA

Berikut adalah sejumlah situasi yang biasanya terjadi di tempat kerja. Untuk
setiap situasi yang Anda alami di TEMPAT KERJA ANDA SEKARANG,
bisakah Anda menunjukkan SEBERAPA MEMBUAT STRES situasi tersebut
bagi Anda:

(Masukkan angka di kolom kanan yang sesuai dengan situasi Anda. Jika tidak
mengalaminya, silahkan tulis 0 )
Tidak pernah Kadang- Sering Sangat Tidak
membuat stres kadang membuat stres membuat stres mengalami
membuat stres
1 2 3 4 0

1. Melakukan prosedur tindakan yang menurut pasien terasa nyeri ______


2. Dikritik oleh dokter ______
3. Merasa tidak cukup siap untuk membantu kebutuhan emosional keluarga
pasien______
4. Kurangnya kesempatan untuk berbicara secara terbuka dengan staf lain
mengenai masalah di tempat kerja______
5. Konflik dengan supervisor/atasan ______
6. Informasi yang tidak cukup dari dokter terkait kondisi medis pasien ______
7. Pasien mengajukan permintaan yang tidak masuk akal ______
8. Dilecehkan secara seksual ______
9. Merasakan tidak berdaya ketika ada pasien yang kondisinya tidak
membaik______
10. Konflik dengan dokter ______
11. Ditanya oleh pasien sesuatu yang saya tidak dapat memberikan jawaban yang
memuaskan ______
88

(Lanjutan)
12. Kurangnya kesempatan berbagi pengalaman/perasaan dengan staf lain ______
13. Pengaturan jadwal dan susunan staf yang tidak terduga ______
14. Dokter memerintahkan pengobatan yang tampaknya tidak tepat bagi
pasien______
15. Keluarga pasien mengajukan permintaan yang tidak masuk akal ______
16. Mengalami diskriminasi karena rasa atau etnis ______
17. Mendengarkan atau berbicara dengan pasien tentang kondisinya mendekati
kematian ______
18. Khawatir membuat kesalahan dalam merawat pasien ______
19. Merasa tidak cukup siap untuk membantu kebutuhan emosional pasien
______
20. Kurangnya kesempatan untuk mengungkapkan perasaan negatif saya terhadap
pasien kepasa staf lain di unit ______
21. Kesulitan bekerja dengan perawat tertentu di unti saya sekarang ______
22. Kesulitan bekerja dengan perawat tertentu di unit lain ______
23. Tidak cukup waktu untuk member dukungan emosional kepada pasien ______
24. Dokter tidak ada pada saat terjadi situasi darurat medis ______
25. Disalahkan atas setiap kesalahan yang terjadi ______
26. Mengalami diskriminasi karena jenis kelamin ______
27. Kematian seorang pasien ______
28. Ketidaksepakatan mengenai pengobatan pasien ______
29. Merasa belum cukup dilatih untuk melakukan apa yang harus saya
lakukan______
30. Kurangnya dukungan dari supervisor/atasan langsung saya ______
31. Dikritik oleh supervisor/atasan ______
32. Tidak cukup waktu untuk menyelesaikan tugas-tugas keperawatan saya
______
33. Tidak tahu apa yang mesti diberitahukan kepada pasien/keluarganya perihal
kondisi dan pengobatan pasien ______
34. Menjadi orang yang harus berurusan dengan keluarga pasien ______
35. Berurusan dengan pasien yang melakukan kekerasan ______
89

(Lanjutan)
36. Terpapar risiko keselamatan dan kesehatan kerja ______
37. Meninggalnya pasien yang dalam perawatannya menjadi dekat dengan
Anda______
38. Mengambil keputusan mengenai pasien pada saat dokter sedang tidak ada
______
39. Menjadi penanggung jawab dengan pegalaman yang kurang memadai ______
40. Kurangnya dukungan dari bagian keperawatan ______
41. Terlalu banyak tugas non keperawatan yang harus dilakukan, seperti tugas
administrasi______
42. Kekurangan staf untuk memenuhi kebutuhan unit ______
43. Tidak begitu mengerti cara pengoperasian dan penggunaan peralatan
khusus______
44. Harus berurusan dengan pasien yang kasar ______
45. Tidak cukup waktu untuk merespon kebutuhan keluarga pasien ______
46. Diminta bertanggung jawab atau sesuatu yang berada di luar kekuasaan
saya______
47. Dokter tidak ada pada saat seorang pasien meninggal ______
48. Harus mengatur pekerjaan dokter ______
49. Kurangnya dukungan dari bagian lain ______
50. Kesulitan bekerja dengan perawat lawan jenis ______
51. Tuntutan pelayanan terkait penggolongan pasien ______
52. Harus berurusan dengan perlakuan kasar dari keluarga pasien ______
53. Menyaksikan pasien menderita ______
54. Kritik dari bagian keperawatan ______
55. Harus bekerja di jam istirahat ______
56. Tidak mengetahui apakah keluarga pasien akan melaporkan saya atas
perawatan
yang tidak memadai ______
57. Harus mengambil keputusan di bawah tekanan ______
90

Lampiran 9. Hasil Olah Data dengan SPSS


Tabel Distribusi Frekuensi
91
92

Tabel Uji Chi-Square TMD (Kualitas Tidur, usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, status sosial ekonomi, status pernikahan)
93
94
95

Tabel Uji TMD dan Komponen ENSS


96
97
98

Tabel Chi- Square Kualitas Tidur dan (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
status sosial ekonomi, dan status pernikahan)
99
100

Tabel Uji Kualitas Tidur dan Komponen ENSS


101
102

Anda mungkin juga menyukai