Anda di halaman 1dari 11

HUBUNGAN MALOKLUSI DENGAN

KUALITAS HIDUP SISWA


SMA KOTA CIMAHI

Rizki Sundari1, Hillda Herawati2, Florence Meliawaty3


1
Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran UNJANI. 2Bagian
Ortodonti Program Studi Pendidikan Dokter Gigi UNJANI. 3Bagian Bedah Mulut
Program Studi Pendidikan Dokter Gigi UNJANI.

ABSTRAK
Sehat merupakan keadaan bebas dari penyakit atau kecacatan fisik, mental dan
sosial, apabila terdapat gangguan kesehatan maka dapat mempengaruhi nilai
kualitas hidup seseorang. Hasil Riskesdas tahun 2007 menyatakan bahwa
penduduk usia 15 tahun atau lebih memiliki permasalahan kualitas hidup yang
serius. Maloklusi merupakan suatu penyimpangan oklusi normal yang dapat
menimbulkan gangguan pada estetika wajah sehingga mempengaruhi
perkembangan psikologis terutama remaja. Prevalensi maloklusi remaja sangat
tinggi, pada tahun 2006 mencapai 89%. Keadaan tersebut menjadi landasan
peneliti untuk melakukan penelitian hubungan maloklusi dengan kualitas hidup
siswa SMA Kota Cimahi. Subyek penelitian ini adalah siswa SMA Kota Cimahi
usia 1520 tahun. Jenis penelitian ini ialah analitik korelasional dengan desain
cross sectional. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive
random sampling dengan total sampel sebanyak 94 siswa. Pemeriksaan maloklusi
dilakukan menggunakan indeks HMAR dan pemeriksaan kualitas hidup
menggunakan indeks OHIP-14. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
gambaran maloklusi kategori maloklusi ringan tidak perlu perawatan pada siswa
SMA Kota Cimahi tahun 2016 memiliki persentase tertinggi. Gambaran kualitas
hidup kategori kualitas hidup baik pada siswa SMA Kota Cimahi tahun 2016
memiliki persentase tertinggi. Simpulan penelitian ini berdasarkan analisis
korelasi Rank Spearman (p<0,05) adalah terdapat hubungan maloklusi dengan
kualitas hidup siswa SMA Kota Cimahi.
Kata kunci: HMAR, kualitas hidup, maloklusi, OHIP-14

PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan kondisi seseorang dilihat dari keadaan fisik, mental
serta sosial yang selanjutnya akan menciptakan suatu kualitas hidup. Kualitas
hidup yang baik akan tercipta apabila keadaan fisik, mental serta sosialnya baik.
Menurut World Health Organization (WHO) sehat merupakan keadaan yang
bebas dari penyakit atau kecacatan fisik dan mental maupun sosial, apabila
terdapat gangguan kesehatan pada keadaan fisik, mental maupun sosial, maka hal
tersebut akan mempengaruhi nilai kualitas hidup seseorang. Kualitas hidup terkait
kesehatan gigi dan mulut dapat diukur menggunakan kuesioner Oral Health
Impact Profile-14 (OHIP-14) yang terdiri dari tujuh dimensi yaitu keterbatasan

v
fungsi, rasa sakit fisik, ketidaknyamanan psikis, ketidakmampuan fisik,
ketidakmampuan psikis, ketidakmampuan sosial, dan handicap/hambatan.1,2.
Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan hasil bahwa 31,9%
penduduk dengan usia 15 tahun atau lebih memiliki permasalahan kualitas hidup,
hasil tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Hasil tersebut
memberikan gambaran bahwa seriusnya permasalahan kualitas hidup penduduk
khususnya pada remaja. Kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh faktor individu
diantaranya umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, perilaku berisiko,
penyakit kronis, cedera, gangguan mental, serta faktor lingkungan diantaranya
status ekonomi, tempat tinggal, lingkungan, dan akses pelayanan kesehatan. Hasil
Riset Kesehatan Dasar Nasional pada tahun 2013, menunjukkan sebanyak 14
provinsi mengalami masalah kesehatan gigi dan mulut yaitu 25,9%, salah satunya
adalah kasus maloklusi yang dapat memberikan dampak pada mental seseorang,
angka kejadian maloklusi di Indonesia masih sangat tinggi yaitu sekitar 80%.
Prevalensi maloklusi pada remaja juga masih sangat tinggi, pada tahun 2006
prevalensi maloklusi remaja mencapai 89%.2-4.
Maloklusi merupakan suatu bentuk penyimpangan oklusi normal. Maloklusi
dapat menimbulkan gangguan pada fungsi pengunyahan, penelanan, berbicara,
dan penampilan estetika wajah sehingga dapat menimbulkan gangguan fisik
maupun mental. Penampilan estetika wajah yang tidak menarik dapat merugikan
perkembangan psikologis seseorang, terutama perkembangan psikologis pada saat
remaja. Maloklusi dapat diukur dengan menggunakan beberapa indeks
diantaranya Master dan Frankel, Malaligment Index, Handicapping Labio Lingual
Deviation Index (HLD Index), Occlusion Feature Index (OFI), Malocclusion
Severity Estimate, Occlusal Index, Treatment Priority Index, dan Handicapping
Malocclusion Assesment Record Index (HMAR) yang memiliki taraf kepercayaan
tinggi dan peka terhadap semua tingkatan maloklusi.2,4.
Penelitian Kustiawan pada tahun 2003, menunjukkan bahwa penampilan
wajah yang tidak menarik dapat memberikan dampak pada perkembangan
psikologis remaja akibat berkurangnya rasa percaya diri. Berdasarkan penelitian
Dewi tahun 2010 di Sumatera Utara pada siswa Sekolah Menengah Atas
menunjukkan gangguan pada estetika akibat maloklusi, berdampak pula pada
fungsi sosial. Hasil dari penelitian tersebut adalah sebanyak 41,89% responden
mengalami kesulitan dalam bergaul, 47,22% mudah tersinggung, 16,71% malas
keluar rumah. Kondisi ini memungkinkan kualitas hidup dapat terganggu.1,2.
Masa remaja memiliki pengaruh besar terhadap kelanjutan hidup seseorang.
Masa remaja merupakan suatu masa dimana ketegangan emosi meningkat akibat
dari perubahan fisik dan kelenjar pada proses perkembangan tubuh. Rasa takut
terkucil atau terisolir dari kelompoknya juga dapat muncul pada masa remaja.
Ketidakpuasan remaja terhadap penampilan fisiknya dapat menyebabkan mereka
merasa tertekan, selain itu dapat menurunkan fungsinya dalam kehidupan sosial,
keluarga, pekerjaan dan bahkan dapat menurunkan produktifitas belajar.2, 5-8.
Penelitian di Indonesia mengenai kesehatan gigi dan mulut yang berkaitan
dengan hubungan kasus maloklusi terhadap kualitas hidup masih sedikit. Banyak
masalah yang dapat ditimbulkan akibat keadaan maloklusi pada remaja SMA,
seperti rasa malu, tidak percaya diri, merasa terisolir atau terkucil sehingga dapat

vi
berpengaruh terhadap perkembangan psikososial remaja. Diperlukan suatu
penelitian untuk mengetahui hubungan maloklusi dengan kualitas hidup remaja
SMA.2,5.
Penelitian ini melakukan pengukuran maloklusi menggunakan indeks HMAR
dengan melihat hubungan gigi dan kelainan dentofasial, serta melakukan
pengisian kuesioner kualitas hidup berdasarkan indeks OHIP-14, untuk
mengetahui hubungan maloklusi dengan kualitas hidup siswa SMA di Kota
Cimahi.

SUBYEK DAN METODE


Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik korelasional dengan desain cross
sectional. Pengambilan data dilakukan pada siswa dan siswi kelas I hingga kelas
III SMA di SMA Negeri 6 Cimahi dan SMA Swasta Santa Maria 3 Kota Cimahi
dengan metode pemilihan sampel purposive random sampling. Besar sampel
berjumlah 94 siswa yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.
Penelitian diawali dengan meminta persetujuan partisipan dengan mengisi
lembar persetujuan, dilanjutkan dengan pemeriksaan kriterian inklusi dan eksklusi
partisipan. Partisipan yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan pemeriksaan
maloklusi berdasarkan indeks HMAR, yaitu mengukur tingkat keparahan
maloklusi dengan menilai kelainan penyimpangan gigi dalam satu rahang, menilai
kelainan hubungan gigi kedua rahang dalam keadaan oklusi pada segmen anterior
dan posterior, serta kelainan dentofasial. Setelah dilakukan pemeriksaan
maloklusi, partisipan dipandu untuk mengisi kuesioner penilaian kualitas hidup
berdasarkan indeks OHIP-14.
Analisis data pada penelitian ini dilakukan uji statistika nonparametrik dengan
analisis korelasi Rank Spearman untuk mengetahui hubungan maloklusi dengan
kualitas hidup.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Responden
Responden pada penelitian sebanyak 94 siswa yang memenuhi kriteria inklusi,
terdiri dari 47 siswa SMA Negeri 6 dan 47 siswa dari SMA Swasta Santa Maria 3
Cimahi yang digambarkan menurut jenis kelamin dan usianya sebagai berikut:

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian (n=94)


Karakteristik n Persentase
Laki-laki 39 41,5
Jenis Kelamin
Perempuan 55 58,5
Total 94 100,0
15 36 38,3
16 47 50,0
Usia (tahun)
17 10 10,6
19 1 1,1
Total 94 100,0

vii
Karakteristik subjek penelitian pada tabel 1 menunjukkan persentase siswa
perempuan lebih banyak yaitu lebih dari setengahnya jumlah siswa yang diteliti
dibandingkan dengan persentase siswa laki-laki, berdasarkan data siswa SMA
Kota Cimahi tahun 2015-2016 yang didapatkan dari Pemerintahan Kota Cimahi
jumlah siswa perempuan lebih banyak dibandingkan jumlah siswa laki-laki. Usia
terbanyak dijumpai pada siswa usia 16 tahun.

Gambaran Maloklusi
Gambaran maloklusi pada siswa SMA Kota Cimahi tahun 2016 dapat
ditunjukkan pada gambar 1.

30

25

20 11
18
15

10 7
12
15 7
5 10
7
3 4
0
Normal Ringan, tidak Ringan, perlu Berat, perlu Berat, sangat
perlu perawatan perawatan perawatan perlu perawatan

Laki-laki Perempuan

Gambar 1. Distribusi Maloklusi Siswa SMA Kota Cimahi

Hasil penelitian ini, menunjukkan jumlah kasus maloklusi ringan tidak


perlu perawatan hingga berat sangat perlu perawatan tinggi yaitu sebanyak 79
orang atau 84,1%, berdasarkan indeks OHIP-14 dengan kategori ringan tidak
perlu perawatan memiliki persentase tertinggi. Kasus maloklusi lebih banyak
terjadi pada siswa perempuan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Andi Gatot Wijanarko pada remaja di
Kota Jakarta dengan menggunakan indeks HMAR kasus maloklusi terjadi
sebanyak 83,4%.48 Hasil penelitian maloklusi oleh Oktavia Dewi dengan
menggunakan indeks HMAR pada remaja tahun 2007 di Kota Medan, kasus
maloklusi sebanyak 60,5%.2 Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan oleh karena
perbedaan populasi yang diteliti. Ras penduduk Indonesia mempunyai ras
Mongoloid dan ras lokal Melanesid serta Australoid. Orang Jawa merupakan
populasi yang paling banyak tinggal di tanah Jawa dan merupakan suku terbesar
di Indonesia, paling banyak mengalami kasus maloklusi. Graber menyatakan
bahwa pada ras maupun kelompok populasi yang berbeda, dijumpai bentuk dan

viii
ukuran gigi yang berbeda.49 Lengkung gigi rahang atas dan bawah berbeda pada
setiap individu, karena dipengaruhi oleh lingkungan, nutrisi, genetik, ras dan jenis
kelamin. Lundstorm dan McWilliam mengatakan bahwa terdapat pengaruh
genetik yang kuat pada perkembangan bentuk dan hubungan wajah serta rahang.50
Pernyataan tersebut juga berkaitan dengan faktor etiologi general maloklusi yang
diungkapkan oleh Graber, yaitu faktor herediter atau sebagai warisan dari orang
tua.16
Gambaran maloklusi pada siswa SMA Kota Cimahi adalah maloklusi
kategori ringan tidak perlu perawatan. Penelitian Monalisa, Anindita dan Michael
pada siswa SMA N 9 Manado Sulawesi Utara menggunakan indeks HMAR pada
tahun 2015, tingkat keparahan maloklusi termasuk dalam kategori maloklusi
berat, sangat perlu perawatan.51 Perbandingan tersebut berkaitan dengan Hasil
Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi penduduk yang memiliki masalah
kesehatan gigi dan mulut di Provinsi Jawa Barat sebanyak 28%, sedangkan di
Provinsi Sulawesi Utara adalah sebanyak 31,6%.52 Data tersebut menunjukkan
bahwa penduduk Jawa Barat lebih sedikit memiliki permasalahan kesehatan gigi
dan mulut termasuk maloklusi, dibandingkan penduduk Sulawesi Utara, sehingga
tingkat keparahan maloklusi pada siswa SMA Kota Cimahi Jawa Barat lebih
ringan dibandingkan dengan siswa SMA di Kota Manado Sulawesi Utara.
Berdasarkan Riskesdas tahun 2013, tingkat kemiskinan penduduk Sulawesi Utara
lebih banyak dibandingkan dengan penduduk Jawa Barat.52 Kemiskinan
merupakan keadaan dimana terjadi ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan dasar seperti makanan. Hasil penelitian Juniarti Ali, Veni dan Siti
Haerani menyatakan bahwa keluarga dengan tingkat ekonomi belum mapan, tidak
mampu mencukupi asupan gizi anak dengan baik sehingga anak mengalami
defisiensi nutrisi.53 Graber mengungkapkan salah satu etiologi maloklusi adalah
defisiensi nutrisi.16
Maloklusi pada siswa SMA Kota Cimahi lebih banyak terjadi pada siswa
perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Monalisa, Anindita dan Michael pada
siswa SMA N 9 Manado Sulawesi Utara menggunakan indeks HMAR pada tahun
2015, tingkat keparahan maloklusi dari ringan tidak perlu perawatan hingga berat
sangat perlu perawatan juga terjadi lebih banyak pada siswa perempuan
dibandingkan dengan siswa laki-laki.51 Penelitian tersebut berkaitan dengan teori
yang menyatakan bahwa terdapatnya perbedaan pertumbuhan tulang antara laki-
laki dan perempuan. Tulang pada perempuan lebih kecil dengan poros yang lebih
sempit, kapasitas rongga kranial lebih kecil dan banyak tulang yang kurang
menonjol, rahang bawah lebih sempit dan muka lebih kecil daripada laki-laki.
Perbedaan pertumbuhan ini menyebabkan perempuan lebih banyak mengalami
maloklusi daripada laki-laki.54

Gambaran Kualitas Hidup


Variabel terikat pada penelitian ini adalah kualitas hidup siswa SMA Kota
Cimahi dinilai berdasarkan kategori OHIP-14, dapat dilihat pada gambar 2.

ix
35
30
25
8
20 21 19
15
10 18
5 9 10 7

0 2
Kualitas hidup baik Kualitas hidup Kualits hidup Kualitas hidup
cukup baik sedang cukup buruk

Laki-laki Perempuan

Gambar 2. Distribusi Kualitas Hidup Siswa SMA Kota Cimahi

Gambar 2 menunjukkan hasil bahwa dari sebanyak 94 siswa SMA yang


diteliti, siswa SMA Kota Cimahi memiliki kategori kualitas hidup baik. Penelitian
Dwi Ika, Wulan dan Vonny yang dilakukan di SMA Kota Manado Sulawesi Utara
pada tahun 2014, menunjukkan hasil bahwa remaja yang mengalami maloklusi
dengan penilaian kualitas hidup menggunakan indeks OHIP-14 dikategorikan
sebagai kualitas hidup buruk.1
Hasil Riskesdas tahun 2013, jumlah penduduk yang memiliki masalah
kesehatan gigi dan mulut di Provinsi Jawa Barat lebih sedikit dibandingkan
dengan jumlah penduduk Provinsi Sulawesi Utara. Penduduk yang menerima
perawatan gigi dan mulut di Jawa Barat pun lebih tinggi dibandingkan dengan
penerimaan perawatan di Provinsi Sulawesi Utara.52 Hasil riset tersebut
memperkuat perbandingan penelitian ini yang menunjukkan bahwa penduduk
Jawa Barat memiliki kualitas hidup lebih baik, karena adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas
hidup terbagi menjadi 2, yaitu faktor individu dan faktor lingkungan. Faktor
individu diantaranya umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, perilaku
berisiko, penyakit kronis, kelainan fisik, cedera, dan gangguan mental. Faktor
lingkungan diantaranya status ekonomi, tempat tinggal, rumah dan lingkungan,
serta akses pelayanan kesehatan.3 Rendahnya kesehatan rongga mulut termasuk
tingginya kasus maloklusi, serta kurangnya layanan kesehatan gigi dan mulut
termasuk pada faktor yang mempengaruhi kualitas hidup.

x
Hubungan Maloklusi dengan Kualitas Hidup Siswa SMA Kota Cimahi
Data kategori dari korelasi maloklusi terhadap kualitas hidup dapat dilihat
pada tabel 2.

Tabel 2. Korelasi Maloklusi dengan Kualitas Hidup Siswa SMA Kota Cimahi
Kategori Kualitas Hidup berdasarkan OHIP
Maloklusi Berdasarkan (skor OHIP-14) Nilai p
Kategori HMAR Cukup Cukup
Baik Sedang Total
baik buruk
Normal 9 5 1 0 15
Ringan, tidak perlu perawatan 11 13 4 0 28
Ringan, perlu perawatan 10 9 7 0 26 <0,05
Berat, perlu perawatan 0 1 9 1 11
Berat, sangat perlu perawatan 0 1 5 8 14
Total 30 29 26 9 94

Tabel 2 menunjukkan hasil bahwa dari sebanyak 94 siswa yang diteliti di


Kota Cimahi, jumlah terbanyak terjadi pada kasus maloklusi ringan tidak perlu
perawatan dengan kualitas hidup cukup baik. Siswa dengan maloklusi normal
hingga ringan perlu perawatan terbanyak memiliki kualitas hidup baik dan cukup
baik, dan siswa dengan maloklusi berat perlu perawatan dan berat sangat perlu
perawatan terbanyak memiliki kualitas hidup sedang dan cukup buruk. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa semakin berat maloklusi, maka semakin rendah
kualitas hidup.
Hasil analisis korelasi Rank Spearman didapatkan nilai p<0,05 yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara maloklusi dengan kualitas hidup
siswa SMA Kota Cimahi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Oktavia Dewi pada remaja SMU
Kota Medan tahun 2007 adalah terdapat hubungan antara maloklusi dengan
kualitas hidup.4 Penelitian Vienza pada remaja dan dewasa muda di RSGM FKG
Universitas Hasanuddin Makassar menyatakan bahwa maloklusi memiliki
hubungan dengan kualitas hidup.55 Penelitian tersebut menunjukkan bahwa
terdapat kesamaan hasil penelitian yaitu terdapatnya hubungan antara maloklusi
dengan kualitas hidup. Hasil penelitian ini berkaitan dengan teori bahwa
gangguan kesehatan secara fisik, mental maupun sosial dapat menurunkan nilai
kualitas hidup. Semakin tinggi keparahan maloklusi maka semakin tinggi pula
skor kualitas hidup yang berarti bahwa semakin buruk kualitas hidup.1,3,18.
Maloklusi dapat menyebabkan berbagai masalah pada penderita maloklusi,
diantaranya masalah fungsi oral seperti masalah dalam pergerakan rahang,
mastikasi, penelanan, berbicara, penyakit periodontal, karies gigi, trauma oklusi,
serta mempengaruhi penampilan dan estetika wajah. Masalah-masalah tersebut
dapat mengganggu kenyamanan dan mengganggu keadaan mental seseorang yang
berdampak pada kualitas hidup.2,17.

xi
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Simpulan dari penelitian ini ialah gambaran maloklusi siswa SMA Kota
Cimahi tahun 2016 berdasarkan indeks HMAR adalah ringan tidak perlu
perawatan, gambaran kualitas hidup siswa SMA Kota Cimahi tahun 2016
berdasarkan indeks OHIP-14 adalah baik, serta terdapat hubungan antara
maloklusi dengan kualitas hidup siswa SMA Kota Cimahi tahun 2016.

Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diajukan saran oleh
peneliti, yaitu hasil penelitian dapat menjadi masukan pelayanan kesehatan gigi
dan mulut Kota Cimahi dalam melakukan tindakan preventif dan kuratif kasus
maloklusi di kalangan masyarakat terutama siswa SMA.

DAFTAR PUSTAKA
1. Wagiran DIL, Kaunang WPJ, Wowor VNS. Kualitas hidup remaja SMA
Negeri 6 Manado yang mengalami maloklusi. Jurnal Kedokteran Komunitas
dan Tropik 2014; 2: 859.
2. Dewi O. Analisis hubungan maloklusi dengan kualitas hidup pada remaja
SMU Kota Medan tahun 2007. Medan: Fakultas Kedokteran Gigi
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 2008.
3. Pradono J, Hapsari D, Sari P. Kualitas hidup penduduk Indonesia menurut
Internasional Classification of Functioning, Disability and Health (ICF) dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya (analisis lanjut data Riskesdas 2007).
Buletin Penelitian Kesehatan 2009; 37: 110.
4. Laguhi VA, Gunawan PN, Anindita PS. Gambaran maloklusi dengan
menggunakan HMAR pada pasien di Rumah Sakit Gigi dan Mulut
Universitas Sam Ratulangi Manado. Jurnal e-Gigi (eG) 2014; 2: 17.
5. Nisfiannoor M, Kartika Y. Hubungan antara regulasi emosi dan penerimaan
kelompok teman sebaya pada remaja. Jurnal Psikologi 2004; 2: 16077.
6. Dion K, Berscheid E, Walster E. What is beautiful is good. J Pers Soc
Psychol 1972; 24: 28590.
7. Henson ST, Lindauer SJ, Gardner WG, Shroff B, Tufekci E, Best AM.
Influence of dental esthetic on social perceptions of adolescents judges by
peers. Am J Orthod Dentofacial Orthop 2011; 140: 38995.
8. de Paula DF, Santos NC, da Silva ET, Nunes MF, Leles CR. Psychosocial
impact of dental esthetics on quality of life in adolescents. Angle Orthod
2009; 79: 118893.
9. Thomson H. Oklusi. Dalam: Suta T, Juwono L, Sumawinata N. Occlusion.
Edisi 2. Jakarta: EGC; 2007. hal. 31.

xii
10. Rahardjo P. Ortodonti dasar. Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press;
2012. hal. 22, 31, 60.
11. Hassan R, Rahimah AK. Occlusion, maloclusion, and method of
measurements - an overview. Archives of Orofacial Sciences 2007; 2: 39.
12. Chandra S, Chandra S, Chandra S. Dental and oral anatomy, physiology and
occlusion with multiple choice questions. 2th ed. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers; 2007. p. 209.
13. Ahmed X, Graber L, Vanarsdall R, Vig K. Orthodontics current principles
and techniques, 5th ed. New York: Mosby Elsevier; 2012. p. 22.
14. Cobourne MT, DiBiase AT. Handbook of orthodontics. 1st ed. Philadelphia:
Mosby Elsevier; 2011. p. 13.
15. McCoy JD, Earl ES. Applied orthodontics. 7th ed. Philadelpia: Lea &
Febinger; 2004. p. 523.
16. Bishara SE. Etiology of malocclusion. In: Gurkeerat Singh. Textbook of
orthodontics. 3th ed. New Delhi London Philadelphia Panama: Jaypee
Brothers Medical Publisher; 2015. p. 191214.
17. Proffit WR, Fields HW, Sarver DM. Contemporary orthodontics. 5th ed. St.
Louis Missouri: Mosby Elsevier; 2007. p. 11, 129-166, 2189.
18. Shaw WC, et al. Dental and social effects of malocclusion and effectiveness
of orthodontic trreatment: A Strategy for Investigation. Community Dent Oral
Epidemiol 1986; 14: 604.
19. Klages U, Aladar B, Yvette Guld, Andrej Zentner. Dental esthetics,
orthodontic treatment, and oral-health attitudes in young adults. Am J Orthod
Dentofacial Orthop 2005; 128: 4429.
20. Franzoi SL. Social psychology. 3rd ed. Boston: Mc Graw Hill, Inc; 2003. p.
1724.
21. Helm S, Sven Krelborg, Beni Solow. Psychosocial implication of
malocclusion: A 15-year follow-up study in 30-year-old Danes. Am J Orthod
1985; 87: 1108.
22. Johal A, MYH Cheung, Marcenes W. The impact of two different
malocclusion traits on quality of life. British Dental Journal 2007; 202: 889.
23. Zhang M, McGrath C, Hagg U. The impact of malocclusion and its treatment
on quality of life: a literature review. International Journal Paediatric
Dententistry 2006; 16: 3817.
24. Kenealy PM, Anne Kingdon, et al. The Cardiff dental study: A-20 year
critical evaluation of the psychological health gain from orthodontic
treatment. British Journal Health Psychology 2007; 12: 1749.
25. Phillips C, Bennett ME, Brother HL. Dentofacial disharmony: psychological
status of patients seeking treatment consultation. Angle Orthod 1998; 68:
54756.

xiii
26. Agarwal A, Mathur R. An overview of orthodontic indices. World Journal of
Dentistry 2012; 3: 7786.
27. Connecticut Dental Health Partnership. Guidelines for the scoring of
orthodontic cases.
http://www.ctdhp.com/documents/GuidelinesfortheScoringofOrthodonticCas
es.pdf. [accessed September 20th 2015].
28. World Health Organization. WHOoQL: Measuring quality of life.
Swizerland: World Health Organization; 1997. p.14.
29. Salim OC, Sudharma NI, Kusumaratna RK, Hidayat A. Validitas dan
reliabilitas World Health Organization Quality of Life-BREF untuk
mengukur kualitas hidup usia lanjut. Universa Medicina 2007; 26: 2738.
30. Barnes IE. Perawatan gigi terpadu untuk lansia. Butterworth Heinemann Ltd:
EGC; 1994. P. 2641.
31. Roumani T, Oulis C.J, Papagiannopoulou V, Yfantopoulos J. Validation of a
greek version of the oral health impact profile (OHIP-14) in adolescents.
European Archives of Paediatric Dentistry 2010; 5: 24752.
32. Slade GD, Spencer AJ. Development and evaluation of the Oral Health
Impact Profile. Community Dent Health 1994; 11: 311.
33. dos Santos CM, de Oliveira BH, Nadanovsky P, Hilgert JB, Celeste RK,
Hugo FN. The Oral Health Impact Profile-14: a unidimensional scale?. Sade
Pblica 2013; 29: 74957.
34. Locker D, Quinonez C. Functional and psychosocial impacts of oral disorder
in Canadian adults: a national population survey. James Carpenter Design
Associate 2009; 75: 521.
35. Mesko ME, Patias R, Pereira CT. IS OHIP-EDENT similiar to GOHAI when
measuring OHRQoL in partial and complete denture wearers?. OMICS
Publishing Group 2013; 3: 15.
36. Amurwaningsih M, Nisaa U, Darjono A. Analisis hubungan kualitas hidup
yang berhubungan dengan kesehatan mulut (OHRQoL) dan status kecemasan
dengan status nutrisi pada masyarakat usia lanjut. Jurnal Majalah Ilmiah
Sultan Agung 2010; 48: 4654.
37. Feu D, Quintao CCA, Miguel JAM. Quality of life instruments and their role
in orthodontics. Dental Press J Orthod 2010; 15: 6170.
38. Astrom AN, Okullo I. Validity and reliability of the Oral Impacts on Daily
Performance (OIDP) frequency scale: a cross-sectional study of adolescents
in Uganda. BMC Oral Health 2003; 3: 19.
39. A.T. Leao, A. Sheiham. The dental impact on daily living. In: Slade GD.
Editor. Measuring oral health and quality of life. University of North
Carolina, Dental Ecology; 1997. p. 1217.

xiv
40. OBrien K, Wright JL, Conboy F, Macfarlane T, Mandall N. The child
perceptions questionnaire is valid for malocclusion in the united kingdom.
Am J-Orthod Dentofacial Orthop 2006; 129: 53640.
41. Tugwell P, Bennett KJ, Sacket D, et al. Relative risk, benefits and costs of
intervention. In Warren KS, Mahmoud AAF (editors) Tropical and
geographic medicine. New York: McGraw Hill; 1985; p. 1097133.
42. Monks FJ, Knoers AMP, Haditono SR. Psikologi perkembangan. Cetakan 12.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press; 1999: 25862.
43. Sarwono SW. Psikologi remaja. Jakarta: Rajawali Pers. 1989: 42.
44. Susanti FR. Hubungan antara kepercayaan diri dengan penyesuaian sosial
siswa kelas VIII SMP Santa Maria Fatima. Jurnal Psiko-Edukasi 2008; 6: 21
33.
45. Batubara JRL. Adolescent development (perkembangan remaja). Sari Pediatri
2010; 12: 219.
46. Sudiono J. Gangguan tumbuh kembang dentokraniofasial. Edisi 1. Jakarta:
EGC; 2008. hal. 9.
47. Dahlan MS. Besar sampel dan cara pengambilan sampel. Edisi 3. Jakarta:
Salemba Medika; 2013. hal. 20.
48. Wijanarko AG. Prevalensi maloklusi pada remaja usia 1214 tahun pada
Sekolah Menengah Pertama di Jakarta. Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia. 1999.
49. Herniyati, Stjiati R, Indriana T. Ukuran gigi dan tonjol carabelli. Indonesian
Journal of Dentistry 2004; 11: 13034.
50. Alpiah DRA, Anindita PS, Juliatri. Ukuran dan bentuk lengkung gigi rahang
bawah pada suku Minahasa. Jurnal e-GiGi (eG) 2015; 3: 3738.
51. Loblobly M, Anindita PS, Leman MA. Gambaran maloklusi berdasarkan
indeks Handicapping Malocclusion Assessment Record (HMAR) pada siswa
SMA N 9 Manado. Jurnal e-GiGi (eG) 2015; 3: 62533.
52. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Riskesdas 2013. http://www.depkes.go.id//. 2013. [Diunduh tanggal 8 Mei
2015].
53. Ali J, Hadju V, Haerani S. Kemiskinan, status gizi, dan stress kerja dari ibu
hamil pekerja informal. Makassar: Universitas Hasanuddin. 2014.
54. Herawati N. Penentuan indeks kepala dan wajah orang Indonesia berdasarkan
suku di Kota Medan. Medan: Fakultas Kedokteran Gigi Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara. 2011.
55. Aftitah VB. Hubungan maloklusi terhadap kualitas hidup remaja dan dewasa
muda di RSGM Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin Makassar.
Makassar: Universitas Hasanuddin. 2015.

xv

Anda mungkin juga menyukai