Anda di halaman 1dari 116

i

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS DUA METODE VIDEO


EDUKASI PENYIKATAN GIGI TERHADAP
TINGKAT KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT
PADA ANAK TUNARUNGU

Oleh

FITRI INTAN DINI


160421150006

HASIL PENELITIAN

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian


guna memperoleh gelar Spesialis Kedokteran Gigi Anak
Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis
Program Studi Ilmu Kedokteran Gigi Anak

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS


ILMU KEDOKTERAN GIGI ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2018
ii

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS DUA METODE VIDEO


EDUKASI PENYIKATAN GIGI TERHADAP
TINGKAT KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT
PADA ANAK TUNARUNGU

Oleh

FITRI INTAN DINI


160421150006

HASIL PENELITIAN

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian


guna memperoleh gelar Spesialis Kedokteran Gigi Anak
Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis
Program Studi Ilmu Kedokteran Gigi Anak

Bandung, Mei 2018

Dr. Risti Saptarini, drg., SpKGA(K) Ratna Indriyanti, drg., SpKGA(K)


Pembimbing I Pembimbing II
iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Karya tulis saya, tesis ini adalah asli dan belum pernah di ajukan untuk
mendapatkan akademik (sarjana, magister, dan/atau doktor), baik dari
Universitas Padjadjaran maupun perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa
bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan naskah pengarang dan
dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah
diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang
berlaku di perguruan tinggi ini.

Bandung, Juli 2017


Yang membuat pernyataan

Fitri Intan Dini


NPM 160421150006
iv

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS DUA METODE VIDEO EDUKASI


PENYIKATAN GIGI TERHADAP TINGKAT KEBERSIHAN GIGI DAN
MULUT PADA ANAK TUNARUNGU

Fitri Intan Dini 160421150006

ABSTRAK

Tunarungu adalah salah satu bentuk disabilitas fisik pada indera pendengaran,
sehingga seseorang tidak dapat mendengar dan mengalami hambatan dalam
berbicara. Terdapat beberapa metode edukasi penyikatan gigi yang dapat digunakan
pada tunarungu, salah satunya adalah berbentuk video. Bentuk video edukasi yang
dapat digunakan adalah video self-modeling dan video kartun animasi. Tujuan
penelitian ini adalah membandingkan efektivitas penggunaan metode edukasi video
self-modeling dan video kartun animasi terhadap pengetahuan, sikap, perilaku serta
kebersihan gigi dan mulut pada anak tunarungu.
Metode penelitian adalah eksperimental semu. Uji statistik yang digunakan
adalah uji non parametric Wilcoxon-Mann Whitney dan uji komparasi t-test tidak
berpasangan. Teknik pengambilan sampel secara purposive sampling dan
didapatkan 34 sampel yang memenuhi kriteria inklusi, terdiri dari 20 anak lelaki
dan 14 anak perempuan dengan rentang usia 7 hingga 11 tahun. Penilaian
kebersihan rongga mulut menggunakan oral hygiene index menurut Green and
Vermillion.
Hasil penelitian menunjukkan adanya rerata perubahan pengetahuan setelah
pemberian video self-modeling sebesar 14,1 dan video kartun animasi sebesar 20,9
dengan standar deviasi sebesar 28,28 dan p-value = 0,0439. Rerata perubahan sikap
setelah pemberian video self-modeling sebesar 13,0 dan video kartun animasi
sebesar 22,0 dengan standar deviasi sebesar 28,85 dan p-value 0,0076. Rerata
perubahan perilaku setelah pemberian video self-modeling sebesar 15,4 dan video
kartun animasi sebesar 19,6 dengan standar deviasi sebesar 26,93 dan p-value
0,1813. Rerata tingkat kebersihan rongga mulut pada anak tunarungu setelah
penggunaan metode edukasi video self-modeling adalah 0,65 dan metode edukasi
video kartun animasi sebesar 0,72 dengan p-value = 0,6353.
Simpulan penelitian adalah kedua metode video edukasi penyikatan baik video
self-modeling maupun video kartun animasi dapat meningkatkan tingkat
pengetahuan dan sikap pada anak tunarungu. Namun ternyata tidak menghasilkan
perubahan terhadap perilaku anak tunarungu. Berdasarkan hasil penelitian juga
diketahui bahwa kedua jenis video edukasi tersebut memiliki tingkat efektivitas
yang sama dalam meningkatkan kebersihan rongga mulut pada anak tunarungu.

Kata kunci : Tunarungu, video edukasi, video self-modeling, video kartun animasi,
tingkat kebersihan rongga mulut
v

Comparison of Effectiveness Using Two Methods of Educational Video on


Oral Hygiene Level in Deaf Children

Fitri Intan Dini 160421150006

ABSTRACT

Deaf is one form of physical disability on the sense of hearing so that one can
not hear and experience barriers in speaking. There are several methods of dental
brushing education that can be used in the Deaf, one of which is video-shaped. The
types of educational videos that can be used are self-modeling videos and animated
cartoon videos. The purpose of this study was to compare the effectiveness of the
use of self-modeling video education methods and animated cartoon videos to the
knowledge, attitude, behavior and oral and dental hygiene of deaf children.
The research method is quasi-experimental. The statistical test used was the
nonparametric Wilcoxon-Mann Whitney test and the unpaired t-test comparison
test. The sampling technique was purposive sampling and there were 34 samples
which fulfilled inclusion criteria, consist of 20 boys and 14 girls with age range 7
to 11 years. Oral hygiene assessment using oral hygiene index according to Green
and Vermillion.
The results showed that the average of knowledge change after the self-modeling
video was 14.1 and animated cartoon video was 20,9 with standard deviation 28,28
and p-value = 0,0439. The average attitude change after giving self-modeling video
was 13.0 and animated cartoon video was 22.0 with a standard deviation of 28,85
and p-value 0,0076. Average behavioral changes after 15.4 self-modeling video
and 19.6 animated cartoon videos with a standard deviation of 26.93 and p-value
0.1813. The average level of oral hygiene in children with hearing impairment after
the use of self-modeling video education method is 0.65 and animated cartoon video
educational method is 0.72 with p-value = 0.6353.
The research conclusions are the two methods of educational video brushing
both self-modeling videos and animated cartoon videos can improve the level of
knowledge and attitudes in children with hearing impairment. But it did not result
in changes in the behavior of children with hearing impairment. Based on the
research results also known that both types of educational videos have the same
level of effectiveness in improving oral hygiene in children with hearing
impairment.

Keywords: Deaf, educational videos, self-modeling videos, animated cartoon


videos, oral hygiene level.
vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan karya ilmiah akhir guna melengkapi tugas akademik untuk

memenuhi persyaratan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis

Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran.

Keberhasilan dalam penyusunan karya ilmiah akhir ini tidak terlepas dari doa,

motivasi, bantuan, dukungan, bimbingan, serta uluran tangan berbagai pihak. Pada

kesempatan ini dengan segenap hati penulis menyampaikan ucapan terima

kasih yang setulus-tulusnya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. med. Tri Hanggono Achmad, dr. selaku Rektor Universitas Padjadjaran

beserta jajaran staf akademiknya.

2. Dr. Nina Djustiana, drg., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Padjadjaran Bandung beserta jajaran staf akademiknya.

3. Prof. Dr. Hj. Inne Suherna Sasmita, drg., Sp.KGA(K) selaku Ketua Program

Studi Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Padjadjaran.

4. Prof. Dr. Hj. Willyanti Soewondo, drg., Sp.KGA(K) selaku Kepala Departemen

Ilmu Kedokteran Gigi Anak dan Pembimbing Utama yang telah memberikan

semangat, dorongan, bimbingan, waktu, serta arahan yang sangat berarti dalam

menyusun karya ilmiah akhir.


vii

5. Dr. Risti Saptarini Primarti, drg., Sp.KGA(K) sebagai pembimbing pertama yang

telah memberikan bimbingan, waktu, saran, dan arahannya dengan penuh

kesabaran dalam menyusun karya ilmiah akhir.

6. drg. Ratna Indriyanti, Sp.KGA(K) sebagai pembimbing kedua yang telah

memberikan bimbingan, waktu, saran, dan arahannya dengan penuh kesabaran

dalam menyusun karya ilmiah akhir.

7. H. Bernik Maskun, drg. selaku pembimbing dalam analisis statistik yang selalu

memberikan waktunya dengan penuh kesabaran dalam membimbing penulis.

8. Staf pengajar dan seluruh dosen Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Syarief Hidayat,

drg.Sp.KGA(K); Prof. Dr. Hj. Yetty Herdiyati, drg., Sp.KGA(K); Eka

Chemiawan, drg., M.Kes; Dr. Hj. Eriska Riyanti, drg., Sp.KGA(K); Iwan

Ahmad M, drg., Sp.KGA(K); Dr. Meirina Gartika, drg., Sp.KGA(K); Dr. Arlette

Suzy Puspa Pertiwi, drg., Sp.KGA(K), M.Si; dan Prima Andisetyanto, drg.; atas

ilmu, pengajaran, dan bimbingan yang diberikan kepada penulis selama

menjalani pendidikan.

9. Staf karyawan Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran

Gigi Universitas Padjadjaran, dan SBP Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Padjadjaran, atas bantuan, waktu, dan bimbingan yang diberikan kepada penulis

selama menjalani pendidikan.

10. Staf karyawan perpustakaan Universitas Padjadjaran Jatinangor dan Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran yang telah membantu penulis dalam

melengkapi kepustakaan yang diperlukan.


viii

11. Rekan sejawat dan seperjuangan residen IKGA angkatan 2015 serta rekan

sejawat residen Ilmu Kedokteran Gigi Anak FKG UNPAD angkatan 2014,

2016, dan 2017.

12. Sekolah Luar Biasa Negeri Cicendo Kota Bandung, Kepala Sekolah, Staf Guru,

dan Anak-anak tunarungu yang telah berpartisipasi dan telah bersedia

meluangkan waktu dan tenaga dalam berlangsungnya penelitian ini.

13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan, cinta,

kasih sayang, keceriaan, persahabatan, kebersamaan yang indah, dan

dukungannya.

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan kasih sayang dan rahmat-Nya

kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah akhir.

Akhir kata penulis berharap karya ilmiah akhir ini dapat memberikan sumbangan

bagi kemajuan Ilmu Kedokteran Gigi Anak dan bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Bandung, Mei 2018

Penulis
ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ……………………….………………….. ii

PERNYATAAN………………………………………………………... iii

ABSTRAK……………………………………………………………… iv

KATA PENGANTAR ………………………………………………… vi

DAFTAR ISI …………………………………….…………………….. ix

DAFTAR GAMBAR ……………………………………...…………… xii

DAFTAR TABEL ……………………………………………...……… xiii

DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………… xiv

BAB I

PENDAHULUAN ……...……………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ………………………………………….. 1

1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………….. 6

1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………………… 6

1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………...……... 7

1.4.1 Aspek Teoritis ……………………….………………………... 7

1.4.2 Aspek Praktis …………………………………………………. 7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. 8

2.1 Kajian Pustaka ……………………………………………................. 8

2.1.1 Tunarungu ……………………………………………………. 8

2.1.1.1 Klasifikasi Tunarungu…………………………………. 9


x

2.1.1.2 Karakteristik Anak Tunarungu…………………………. 13

2.1.1.3 Komunikasi Anak Tunarungu………………………….. 16

2.1.1.4 Manifestasi Oral anak Tunarungu……………………… 19

2.1.2 Konsep Dasar Edukasi.………………………………………..... 19

2.1.2.1 Edukasi kesehatan pada anak Tunarungu………………. 21

2.1.2.2 Edukasi Kesehatan Gigi dan Mulut…………………….. 29

2.1.3 Media Edukasi. …...……………………………………………. 33

2.1.3.1 Video Self-Modelling…...……………………………… 36

2.1.3.2 Video Kartun Animasi…...……………………………. 38

2.1.4 Kebersihan Gigi dan Mulut…...……………………………….. 39

2.2 Kerangka Pemikiran…...……………………………………………. 43

2.3 Premis dan Hipotesis…...……………………………………………. 47

2.3.1 Premis…...……………………………………………………… 47

2.3.2 Hipotesis…...…………………………………………………… 49

BAB III

BAHAN/SUBJEK/OBJEK DAN METODE PENELITIAN………… 51

3.1 Populasi dan sampel penelitian……………………………………… 51

3.1.1 Alat dan Bahan Penelitian…...………………………………… 52

3.2 Metode Penelitian …...………………………………………………. 54

3.2.1 Rancangan Penelitian …...……………………………….. 54

3.2.2 Identifikasi Variabel Penelitian…...……………………… 55

3.2.3 Definisi Operasional Variabel…...……………………….. 56

3.2.4 Prosedur Penelitian…...………………………………….. 61


xi

3.2.3 Alur Penelitian…...………………………………………. 62

3.2.4 Rancangan Analisis…...…………………………………. 64

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……….….................... 66

4.1 Hasil Penelitian…...…………………………………………….. 66

4.2 Pengujian Hipotesis…...………………………………………… 70

4.2 Pembahasan…...………………………………………………… 72

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN……….…................................................... 75

5.1 Simpulan …...………………………………………………….. 75

5.2 Saran...…………………………………………………………. 75

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………. 76

RIWAYAT PENDIDIKAN PENULIS………………………………. 82

LAMPIRAN……………………………………………………………. 83
xii

DAFTAR GAMBAR

2.1 Proses Komunikasi Anak Tunarungu............………………........…...... 18

2.2 Permukaan Gigi yang diperiksa pada OHI-S………........…………....... 40

2.3 Kerangka Konseptual…………………………………………………. 50

3.1 Alat Penelitian………………………………………………………….. 52

3.2 Bahan Penelitian……………………………………………………….. 54

3.3 Skema Alur Penelitian…………………………………………………. 64

4.1 Nilai Rerata Tingkat Kebersihan Rongga Mulut……………………. 69


xiii

DAFTAR TABEL

4.1 Analisis Perubahan Pengetahuan............…………………….......…...... 66

4.2 Analisis Perubahan Sikap………………........…………........................ 67

4.3 Analisis Perubahan Perilaku………………………………………...…. 68

4.4 Analisis Perbandingan Tingkat Kebersihan Rongga Mulut………..….. 70


xiv

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN HAL.

1. Surat Izin Penelitian…………………………………………………….. 84

2. Surat Persetujuan Etik…………………………..…………….......…...... 85

3. Surat Pernyataan Persetujuan…………………………………………… 86

4. Kuesioner Penelitian ……………………………………………………. 87

5. Lembar Pemeriksaan……………………………………………………. 90

6. Hasil pengukuran data kuesioner pengetahuan…………………………. 91

7. Hasil pengukuran data kuesioner sikap…………………………………. 92

8. Hasil pengukuran data kuesioner perilaku……………………………… 93

9. Hasil perbandingan Tingkat Kebersihan Rongga Mulut……………….. 94

10. Analisa data perubahan OHI-S kelompok VSM……………………… 95

11. Analisa data perubahan OHI-S kelompok VKA……………………… 96


1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Permasalahan kesehatan rongga mulut tidak hanya dialami oleh anak usia

sekolah dasar dengan kondisi tubuh normal, tetapi juga dialami oleh anak usia

sekolah dasar dengan disabilitas.1 Keadaan disabilitas adalah hilang atau

terbatasnya kesempatan untuk hidup berkelompok secara normal dalam level yang

sama dengan lainnya karena adanya hambatan fisik atau sosial.1,2 Anak tunarungu

merupakan salah satu populasi besar dari anak dengan disabilitas, yang memiliki

prevalensi 1 : 6000 kelahiran hidup. World Health Organization (WHO)

menyebutkan bahwa pada tahun 2017 terdapat 360 juta penduduk dunia yang

mengalami gangguan pendengaran, dan 32 juta diantaranya adalah anak-anak.

Mayoritas tunarungu terdapat di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Jumlah penderita disabilitas di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 6,7 juta

(sebesar 3,11% dari populasi total), dan populasi tunarungu sebesar 192.207

(2,8%).3 Anak dengan disabilitas memiliki risiko yang lebih besar dalam perspektif

kesehatan mulut.4

Kondisi kebersihan gigi dan mulut pada anak tunarungu mayoritas menunjukkan

kategori sedang.5 Prevalensi karies dan penyakit periodontal yang cukup tinggi

dilaporkan terjadi pada anak tunarungu di Iran dan India.6,7,8 Penelitian Widasari,

di desa Bintoro Patrang, Balung dan Kaliwates pada tahun 2014 menunjukkan

bahwa skor kebersihan gigi pada anak tunarungu lebih buruk dan lebih rentan
2

terkena karies dibandingkan dengan anak yang tidak tunarungu.9 Index def-t dan

DMF-T pada anak tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung tahun 2011

sebesar 3,04 dan 2,13. Berdasarkan standar karies menurut WHO, skor def-t

tergolong sedang dan DMF-T tergolong rendah. Apabila dibandingkan dengan skor

index def-t dan DMF-T anak tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung pada

tahun 1989 yang hanya sebesar 1,4 dan 2,86, maka dapat dilihat adanya pola

perubahan skor index def-t dan DMF-T. Peningkatan skor def-t disebabkan karena

semakin beragam jenis makanan yang dikonsumsi oleh siswa tunarungu, sedangkan

penurunan skor DMF-T dikarenakan adanya peningkatan tingkat kesehatan gigi dan

mulut akibat informasi mengenai kesehatan gigi dan mulut semakin banyak dan

mudah diperoleh.10 Penelitian mengenai index plak pada anak tunarungu yang

berusia 6-12 tahun di SLB B Negeri Cicendo Bandung tahun 2011 menunjukkan

hasil 2,75 (sedang) sebelum mendapatkan edukasi kesehatan gigi dan mulut.

Namun, indek plak menurun menjadi 1,5 (baik) setelah mendapatkan edukasi, hal

ini dikarenakan jenis penyampaian informasi yang berbeda, kebiasaan menyikat

gigi, diet makanan manis, dan tentu saja apresiasi terhadap edukasi yang diberikan.3

Menurut Norahmasari (2014), ketunarunguan dapat mengakibatkan

terganggunya perilaku mengenai perawatan kesehatan rongga mulut, sehingga

tingkat kesehatan dan kebersihan rongga mulut tunarungu menjadi lebih rendah

apabila dibandingkan dengan individu sehat.11 Perilaku menjaga kesehatan rongga

mulut merupakan komponen penting dalam peningkatan status kesehatan gigi dan

mulut anak tuna rungu. Perilaku dalam melakukan perawatan kesehatan gigi dan
3

mulut dapat ditingkatkan melalui pendidikan kesehatan gigi dan mulut dengan

metode penyuluhan yang sesuai, sehingga pesan dapat diterima oleh target.12,13,14,15

Penggunaan media edukasi dalam merubah perilaku anak merupakan hal yang

sangat penting. Media edukasi adalah alat yang dapat digunakan dalam

menyampaikan suatu instruksi, salah satunya adalah instruksi penyikatan gigi.

Media edukasi disusun berdasarkan prinsip bahwa pengetahuan yang ada pada

setiap anak dapat diterima atau ditangkap melalui panca indera.2,16 Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Brydon Lamb, ketika seseorang mempelajari suatu

hal, maka penglihatan berperan sebesar 83%, pendengaran 11%, penciuman 3,5%,

perabaan 1,5%, dan sekitar 1% berasal dari perasa.17 Indera yang paling dominan

pada anak tunarungu adalah mata, oleh karena itu metode edukasi kesehatan gigi

dengan media visual cenderung digunakan pada anak tunarungu.18 Penelitian

Doichinova memperlihatkan hasil bahwa instruksi secara visual lebih efektif

dibandingkan dengan instruksi manual, hal ini dikarenakan instruksi visual sangat

mudah dipelajari dan informasi yang diterima cukup jelas dan mudah diingat.19

Pada pasien anak, instruksi yang diberikan harus efisien dalam menargetkan

kebutuhan pribadi mereka dan menyesuaikan diri dengan tingkat pendidikan dan

kemampuan kognitif mereka dengan cara penguatan secara terus menerus.2,16

Media visual yang dapat diberikan pada anak tunarungu salah satunya berbentuk

video. Menurut Sumaryanti (2010), media video merupakan salah satu media yang

memiliki keunggulan dalam penampilan dan penjelasan dapat diulang untuk

menambah kejelasan dalam menasihati anak.20 Teknik yang melibatkan

demonstrasi perilaku yang diinginkan melalui representasi video disebut video self
4

–modelling (VSM). Model yang dapat digunakan pada VSM antara lain orang

dewasa, teman sebaya, kelompok, saudara kandung, dan diri sendiri. Selain

berbentuk VSM, jenis video lain yang dapat digunakan adalah video kartun animasi

(VKA). Bektiningsih (2009) berpendapat bahwa video animasi memiliki aspek

visual dan dapat memberikan informasi yang tepat daripada sekedar perkataan yang

diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan anak tunarungu.21 Pemutaran VKA

dapat memberikan tampilan visual yang lebih kuat dibandingkan informasi abstrak,

hal ini berperan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan hasil yang

didapat.18

Shetty (2014) menggunakan video instruksi penyikatan gigi yang ditambahkan

dengan penggunaan bahasa isyarat dan kombinasi teknik penyikatan gigi modified

bass dan horizontal pada anak tunarungu usia 6-14 tahun.2,22 Sandeep dkk

menggunakan video berdurasi 15 menit yang mengandung pengetahuan kesehatan

gigi dan teknik penyikatan gigi pada anak usia 6-16 tahun yang diberikan selama

12 kali sesi pertemuan.2 Sedangkan penelitian yang dilakukan Alse dkk pada anak

tunarungu usia 5-17 tahun yaitu dengan memberikan demonstrasi penyikatan gigi

menggunakan sikat dan model gigi serta penambahan bahasa isyarat oleh guru

pembimbing.13

Penelitian Arunakul, dkk membandingkan efektivitas penggunaan dua media

instruksi yaitu buku ilustrasi dan video instruksi yang disertai bahasa isyarat pada

anak tunarungu.23 Pouradeli, dkk menunjukkan bahwa anak sekolah lebih tertarik

menonton video, dan mencoba mengulangi cara penyikatan yang telah diberikan

melalui video edukasi.24 Yanti, dkk menunjukkan bahwa penggunaan VKA cukup
5

efektif dalam meningkatkan tingkat pengetahuan dan menurunkan indeks plak pada

anak tunarungu.15 Beberapa studi juga menunjukkan bahwa edukasi menggunakan

poster maupun video edukasi sangat berguna dalam meningkatkan kesadaran

terhadap kanker mulut, prostat, dan kanker payudara pada individu

tunarungu.25,26,27

Penyikatan gigi memainkan peranan penting dalam program pengendalian plak

secara efektif, dan terjadinya kebersihan mulut yang baik tergantung pada

keefektifan metode penyikatan gigi tertentu. Beberapa penelitian sebelumnya telah

menunjukkan bahwa teknik Bass merupakan teknik penyikatan gigi yang efektif.

Gibson dan Wade (1977) membandingkan keefektifan teknik Bass dan teknik Roll

pada penghilangan plak dan menyimpulkan bahwa teknik Bass paling baik dalam

membersihkan gigi yang berdekatan dengan jaringan gingiva dari aspek fasial dan

lingual.28 Penelitian Patil (2014) menemukan bahwa teknik modified Bass

merupakan teknik yang paling efektif pada anak usia 6-8 tahun.29 Srivastava (2013)

memilih penggunaan teknik modified Bass pada anak dengan gigi campuran.30

Kombinasi dari teknik modified bass dan horizontal scrub dapat digunakan pada

anak tunarungu, karena teknik ini mudah dipelajari dan cukup efektif pada anak

kecil.22 Modifikasi teknik horizontal scrub dan Bass sebelumnya telah digunakan

dalam pendidikan kebersihan mulut untuk orang dewasa muda dengan gangguan

intelektual untuk mengevaluasi kemampuan mereka dalam menghilangkan plak

pada interval mingguan selama 3 bulan.31

Berdasarkan penelitian sebelumnya mengenai berbagai metode edukasi yang

diberikan kepada anak tunarungu, serta pengaruhnya terhadap pengetahuan, sikap,


6

perilaku, dan tingkat kebersihan rongga mulut, maka penulis tertarik untuk

membandingkan efektivitas dua metode video edukasi penyikatan gigi yang

berbeda terhadap pengetahuan, sikap, perilaku serta kebersihan gigi dan mulut pada

anak tunarungu.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian yang telah dikemukakan

sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1) Apakah terjadi peningkatan pengetahuan setelah penggunaan metode edukasi

VSM dan VKA pada anak tunarungu

2) Apakah terjadi peningkatan sikap setelah penggunaan metode edukasi VSM dan

VKA pada anak tunarungu

3) Apakah terjadi peningkatan perilaku setelah penggunaan metode edukasi VSM

dan VKA pada anak tunarungu

4) Apakah terdapat perbedaan peningkatan tingkat kebersihan rongga mulut setelah

penggunaan metode edukasi VSM dan VKA pada anak tunarungu

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah membandingkan efektivitas penggunaan metode

edukasi video self-modeling dan video kartun animasi terhadap pengetahuan, sikap,

perilaku serta kebersihan gigi dan mulut pada anak unarungu.


7

1.4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian terdiri dari aspek teoritis dan aspek praktis.

1) Aspek Teoritis

Memberikan informasi ilmiah di bidang Kedokteran Gigi Anak mengenai

perubahan tingkat pengetahuan, sikap, perilaku, serta kebersihan gigi dan mulut

pada anak tunarungu setelah penggunaan metode edukasi video self-modeling

dan video kartun animasi.

2) Aspek Praktis

Hasil penelitian dapat digunakan untuk memberikan informasi bagi dokter gigi,

dokter gigi spesialis, guru, pengasuh, orang tua/wali dan anak tunarungu dalam

menentukan video edukasi yang paling efektif bagi pasien anak tunarungu,

sehingga didapatkan peningkatan kualitas hidup anak tunarungu. Video edukasi

self-modeling atau video kartun animasi nantinya dapat digunakan sebagai media

edukasi penyikatan gigi bagi anak tunarungu oleh dokter gigi, dokter gigi

spesialis, guru, pengasuh, dan orang tua/wali.


8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka pada penelitian ini akan memaparkan mengenai anak tunarungu,

edukasi penyikatan gigi, pengetahuan, sikap, dan perilaku mengenai kesehatan gigi

dan mulut.

2.1.1 Tunarungu

Istilah tunarungu diambil dari kata ‘tuna’ dan ‘rungu’, tuna artinya kurang dan

rungu artinya pendengaran. Seorang individu dikatakan tunarungu apabila ia tidak

mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara. Menurut Somantri,

tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang

mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama

melalui indera pendengarannya. Menurut Mufti Salim dalam Somantri (2006),

tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau tidak berfungsinya

kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya

sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga anak tersebut mengalami

hambatan dalam perkembangan bahasanya.32

Hallahan & Kauffman (1991) mengemukakan bahwa orang yang tuli (a deaf

person) adalah orang yang mengalami ketidakmampuan mendengar, sehingga

mengalami hambatan dalam memproses informasi bahasa melalui pendengarannya

dengan atau tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aid). Sedangkan orang
9

yang kurang dengar (a hard of hearing person) adalah seseorang yang

menggunakan alat bantu dengar dengan sisa pendengaran yang cukup

memungkinkan untuk keberhasilan memproses informasi bahasa. Seseorang yang

kurang dengar apabila menggunakan hearing aid masih dapat menangkap

pembicaraan melalui pendengarannya.33

Maka dapat disimpulkan bahwa tunarungu adalah suatu kondisi seseorang tidak

dapat menggunakan indera pendengarannya sehingga tidak dapat mendengar dan

mengalami hambatan dalam berbicara. Anak tunarungu mengalami gangguan

komunikasi secara verbal karena kehilangan seluruh atau sebagian daya

pendengarannya, sehingga mereka menggunakan bahasa isyarat dalam

berkomunikasi.

2.1.1.1 Klasifikasi Tunarungu

Menurut Guyton (2000), gangguan pada organ pendengaran bisa terjadi pada

telinga luar, tengah, maupun bagian dalam. Letak gangguan secara anatomis

tersebut mengklasifikasikan tunarungu menjadi tipe konduktif, sensorineural, dan

campuran.34

1) Tunarungu tipe konduktif

Hal ini diakibatkan adanya gangguan pada telinga luar dan tengah. Beberapa

penyebab diantaranya, adalah :34,35

(1) Adanya penyumbatan pada saluran telinga yang disebabkan kotoran telinga

atau benda asing.


10

(2) Otitis eksterna sirkumskripta, seringkali disebabkan karena kegiatan

berenang.

(3) Atresia liang telinga.

(4) Osteoma liang telinga.

(5) Otitis media atau dikenal juga infeksi telinga tengah. Masalah ini seringkali

terjadi pada anak-anak.

(6) Sumbatan tuba eustachius

(7) Otosklerosis.

(8) Timpanosklerosis.

(9) Dislokasi tulang pendengaran

Derajat keparahan tergantung dari penyebab terjadinya masalah gangguan

konduktif. Mekanisme terjadinya gangguan konduktif yaitu karena adanya

sumbatan konduksi suara pada bagian telinga luar atau tengah, sehingga jumlah

suara yang terbawa hingga cochlea menjadi berkurang. Pada tingkat suara

tinggi, maka aliran suara akan bergerak melalui tulang tengkorak dan melewati

jalur konduktif dari sistem pendengaran yang kemudian akan sampai pada

telinga bagian dalam dan saraf pendengaran.

2) Tunarungu sensorineural

Hal ini diakibatkan adanya kerusakan pada cochlea, yang merupakan bagian

sensori dari syaraf pendengaran. Beberapa penyebab diantaranya, adalah :

(1) Paparan suara keras secara berlebihan.

(2) Trauma kepala

(3) Inherited hearing loss


11

(4) Labirinitis yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, intoksikasi obat-obatan

seperti streptomycin, kanamycin, garamycin, neomycin, kina, asetosal ataupun

alkohol.

(5) Perforasi membran tymphani, dapat disebabkan infeksi parah dari telinga

tengah atau mendengar bunyi ledakan keras.

Gangguan sensorineural biasanya tidak hanya menyebabkan tidak dapat

mendengar suara keras, tetapi juga kurang jelas mendengar suara. Hal ini

terkadang membatasi manfaat yang diberikan alat bantu dengar, oleh karena

suaranya cukup keras tetapi terdistorsi.

3) Tunarungu campuran

Hal ini merupakan perpaduan antara tipe konduktif dan sensorineural, yaitu

ketika terjadi gangguan konduksi karena infeksi telinga tengah dan gangguan

sensorineural karena proses usia.

Kirk dan Gallagher mengelompokkan ketunarunguan berdasarkan waktu

terjadinya, yaitu :36

(1) Ketunarunguan prabahasa (prelingual deafness)

Kehilangan pendengaran yang terjadi sebelum kemampuan berbahasa

dimulai, oleh karena itu seluruh gangguan pendengaran yang bersifat

kongenital biasanya masuk ke dalam gangguan pendengaran prelingual. 36,37,38

Prelingual deafness akan memberi dampak terhadap perkembangan bahasa

dan bicara anak. Perkembangan bahasa dan bicara menjadi terhambat,

sehingga mengakibatkan keterhambatan pada perkembangan potensi

anak.39
12

(2) Ketunarunguan paskabahasa (postlingual deafness)

Kehilangan pendengaran yang terjadi setelah kemampuan berbahasa,

biasanya terjadi setelah berusia 6 tahun. Gangguan pendengaran postlingual

jauh lebih jarang terjadi bila dibandingkan dengan gangguan pendengaran

prelingual. Gangguan pendengaran postlingual seringkali terjadi secara tiba-

tiba, yang disebabkan oleh meningitis ataupun penggunaan obat-obat ototoksik

seperti gentamycin.38

Penelitian Waldstein (1990) menunjukkan adanya pengaruh usia saat

mengalami ketulian. Para pembicara yang terlibat dalam penelitian

Waldstein yang mengalami tuli postlingual pada masa anak-anak

menunjukkan adanya deviasi pola bicara, sedangkan pembicara yang

mengalami tuli pada saat dewasa menunjukkan adanya deviasi fonetik

primer. Umpan balik pendengaran memainkan peran besar dalam

memperoleh keterampilan berbicara selama masa anak-anak, dan berfungsi

menjaga akurasi fonetik selama melatih bicara saat dewasa.40

Boothroyd dalam Melinda (2013) membagi klasifikasi berdasarkan tingkat

pendengaran anak tunarungu, yaitu :41

1) Mild hearing losses

Tingkat ketunarunguan ringan, kehilangan 15-30 dB, tidak selalu bereaksi saat

disapa, dan mengalami kesulitan dalam melakukan percakapan.

2) Moderate hearing losses

Tingkat ketunarunguan sedang, kehilangan 31-60 dB, sulit untuk menangkap

suara pada jarak jauh, dan mengalami kesulitan dalam melakukan percakapan

apabila tidak menatap wajah.


13

3) Severe hearing losses

Tingkat ketunarunguan berat, kehilangan 65-95 dB, sedikit memahami

percakapan dengan suara keras, dan mengalami kesulitan untuk menyimak

percakapan secara wajar.

4) Profound hearing losses

Tingkat ketunarunguan berat sekali, kehilangan >95 dB, ketergantungan pada

visual sangat tinggi, dan tidak dapat melakukan percakapan secara wajar.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan tunarungu tipe ringan dan

sedang termasuk ke dalam kategori kurang mendengar (hard of hearing),

sedangkan untuk tipe berat dan berat sekali termasuk ke dalam hilang pendengaran

(deafness)

2.1.1.2 Karakteristik Anak Tunarungu

Terdapat beberapa perbedaan karakteristik antara anak tunarungu dengan anak

normal, hal ini disebabkan keadaan mereka yang sedemikian rupa sehingga

mempunyai karakter yang khas yang menyebabkan anak tunarungu mendapatkan

kesulitan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya.39 Karakteristik yang khas

dari anak tunarungu yaitu diantaranya :

1) Fisik

Apabila dibandingkan dengan disabilitas lain, maka tidak terlihat kelainan fisik

pada anak tunarungu. Namun, apabila diperhatikan dengan lebih teliti anak

tunarungu memiliki karakteristik fisik sebagai berikut :


14

(1) Cara berjalan terlihat kaku dan agak membungkuk. Hal ini terjadi pada anak

tunarungu yang mempunyai kelainan atau kerusakan pada organ

keseimbangan.

(2) Gerakan mata cepat yang menunjukan bahwa ia ingin menguasai lingkungan

sekitarnya.

(3) Gerakan kaki dan tangan yang cepat.

(4) Pernapasan yang pendek dan agak terganggu. Kelainan pernapasan terjadi

karena tidak terlatih terutama pada masa perkembangan bahasa.

2) Bahasa dan Bicara

Perkembangan bahasa dan bicara berkaitan erat dengan ketajaman pendengaran.

Kondisi anak tunarungu menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam

perkembangan bahasa dan bicara. Pada anak tunarungu, proses penguasaan

bahasa tidak mungkin diperoleh melalui pendengaran. Dengan demikian anak

tunarungu mempunyai ciri perkembangan bahasa sebagai berikut :42

(1) Fase babbling

Pada awal masa babbling tidak terjadi hambatan pada anak tunarungu,

karena babbling merupakan kegiatan alamiah motorik dari pernafasan dan

pita suara. Namun, pada akhir masa babbling mulai terjadi perbedaan

perkembangan bahasa antara anak tunarungu dengan anak normal. Seorang

anak pada umumnya merasakan adanya kenikmatan dalam fase babbling,

karena dapat mendengarkan adanya suara yang keluar dari mulutnya.

Sebaliknya, untuk anak tunarungu hal seperti itu tidak dapat dilakukan
15

karena adanya hambatan pendengaran. Dengan demikian, perkembangan

bahasa anak tunarungu umumnya berhenti pada masa babbling.

(2) Fase meniru

Anak tunarungu terbatas pada peniruan bahasa secara visual (penglihatan)

yaitu melalui gerakan dan isyarat, sedangkan peniruan bahasa melalui

pendengaran (auditif) umumnya tidak dapat dilakukan. Bagi anak tunarungu,

bahasa isyarat merupakan bahasa ibu. Sementara bahasa lisan adalah bahasa

yang asing bagi dirinya.

(3) Kepribadian dan Emosi

Setiap manusia memerlukan interaksi dengan lingkungan sekitar, oleh

karena itu diperlukan kematangan sosial. Anak tunarungu seringkali sulit

mencapai kematangan sosial karena kondisi yang dialaminya, sehingga tidak

jarang lingkungan memperlakukan mereka dengan tidak wajar. Hal ini akan

menyebabkan mereka cenderung memiliki rasa curiga terhadap lingkungan,

perasaan tidak aman, kepribadian yang tertutup, kurang percaya diri,

menafsirkan sesuatu secara negatif, merasa tersisih, kurang mampu

mengontrol diri, dan cenderung mementingkan diri sendiri.

(4) Intelegensi

Secara intelegensi, anak tuna rungu tidak berbeda dengan anak normal pada

umumnya. Namun, secara fungsional, intelegensi mereka berada di bawah

anak normal, hal ini dikarenakan kesulitan anak tunarungu dalam memahami

bahasa. Tidak semua aspek intelegensi anak tunarungu mengalami

hambatan, yang mengalami hambatan hanya yang bersifat verbal, misalnya


16

dalam hal merumuskan pengertian, menarik kesimpulan, dan meramalkan

kejadian. Aspek yang bersumber dari penglihatan dan bersifat motorik tidak

banyak mengalami hambatan.

2.1.1.3 Komunikasi anak Tunarungu

Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin “communis” yang berarti “sama”,

communico, communicatio, atau communicare yang berarti “membuat sama”.

Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari pembicara yang disebut

komunikator kepada pendengar atau penerima pesan atau komunikan. Perilaku

komunikasi melibatkan pesan verbal, isyarat tubuh, atau kombinasi dari keduanya

yang terjadi dalam paket isyarat. Menurut Mulyana (2012), bahasa verbal adalah

sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud seseorang. Bahasa

verbal menggunakan kata-kata yang mempresentasikan berbagai aspek realitas

individu.43 Sedangkan komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang mencakup

seluruh rangsangan (kecuali rangsangan verbal). Komunikasi verbal dan non verbal

saling memperkuat dan saling mendukung, karena hal tersebut merupakan bagian

dari sistem yang bekerja sama dalam mengkomunikasikan makna tertentu.44

Metode komunikasi pada anak tunarungu terdiri dari metode komunikasi oral,

metode komunikasi isyarat, dan komunikasi total. Komunikasi secara oral yaitu

suatu sistem komunikasi yang menggunakan bicara, sisa pendengaran, membaca

ucapan, dan atau rangsangan vibrasi serta perabaan (vibrotaktil) untuk percakapan

secara spontan.45,46
17

Anak tunarungu berkomunikasi dalam bahasa isyarat dengan orang yang

pendengarannya normal melalui seorang penterjemah. Penterjemah akan

mengartikan bahasa isyarat menjadi bahasa lisan dan sebaliknya. Seorang

penterjemah yang terlatih harus menafsirkan semua hal yang diucapkan di depan

anak tunarungu tanpa mengubah isi percakapan. Tujuan dari interprestasi efektif

adalah untuk menyampaikan pesan dan perasaan anak tunarungu seakurat mungkin.

Apabila tidak terdapat penterjemah, seringkali anak tunarungu menggunakan

anggota keluarga sebagai penterjemah. Namun, anggota keluarga biasanya tidak

mahir dalam penggunaan bahasa isyarat, sehingga bukan termasuk ke dalam

penterjemah efektif.47

Komunikasi total pada anak tunarungu menggunakan kombinasi dari metode

komunikasi pada waktu yang bersamaan. Anak tunarungu dapat menggunakan

bahasa isyarat, membaca bibir, dan berbicara ketika berkomunikasi dengan orang

lain. Tujuan dari komunikasi total adalah mengembangkan kemampuan bahasa

isyarat, membaca bibir, dan berbicara untuk membantu komunikasi dan

perkembangan bahasa.46

Komunikasi pada anak Tunarungu terdiri dari :41

1) Pengirim pesan dan isi pesan / materi

Pengirim pesan adalah orang yang mempunyai ide untuk disampaikan kepada

seseorang dengan harapan dapat dipahami orang yang menerima pesan sesuai

dengan yang dimaksudkan. Pesan adalah informasi yang akan disampaikan oleh

pengirim pesan, dapat berupa informasi maupun ajakan.


18

2) Simbol isyarat

Pada tahap ini, pengirim pesan membuat kode atau simbol, sehingga pesannya

dapat dipahami oleh orang lain. Pesan yang disampaikan dapat dalam bentuk

kata-kata maupun gerakan anggota tubuh.

3) Media atau penghubung

Media yang digunakan dapat berupa video, surat kabar, papan pengumuman,

telepon, dan sebagainya.

4) Mengartikan kode atau isyarat

Setelah pesan diterima melalui indera penglihatan, maka penerima pesan harus

dapat mengartikan simbol atau kode dari pesan tersebut sehingga mudah

dimengerti.

5) Penerima pesan

Penerima pesan adalah orang yang dapat memahami pesan dan si pengirim,

meskipun dalam bentuk kode atau isyarat tanpa mengurangi arti pesan yang

dimaksud.

6) Balikan

Balikan adalah isyarat atau tanggapan yang berisi kesan dari penerima pesan

dalam bentuk verbal maupun non verbal.

Gambar 2.1. Proses komunikasi anak tunarungu


Dikutip dari Melinda, 2013
19

2.1.1.4 Manifestasi Oral anak Tunarungu

Anak tunarungu memiliki masalah kesehatan rongga mulut yang buruk. Hal ini

dikarenakan adanya hambatan dalam memperoleh perawatan gigi dan kesulitan

berkomunikasi dengan orang lain.19 Anak tunarungu tidak dapat memahami dan

menanggapi instruksi yang diberikan kepadanya, sehingga mereka tidak dapat

memahami dan menguasai teknik praktik kebersihan mulut.

Penelitian Jnaweswar menunjukkan adanya kesehatan periodontal yang buruk

pada anak-anak tunarungu. Prevalensi penyakit periodontal sebesar 71,1%

ditemukan di sekolah khusus anak tunarungu di Odisha, India. Hal ini dapat

berkaitkan dengan kurangnya perhatian individu, kualitas asuhan yang diberikan

oleh orang tua, pengasuh, dan program kesehatan mulut masyarakat. 6 Pada

penelitian yang dilakukan Jain (2008) didapatkan prevalensi karies yang cukup

tinggi pada anak dengan gangguan pendengaran. Hal ini mungkin disebabkan oleh

kelalaian dari orang tua dan pihak sekolah dalam mendapatkan perawatan gigi

untuk anak tunarungu.7

2.1.2 Konsep Dasar Edukasi

Edukasi adalah kegiatan yang dilakukan seseorang untuk meningkatkan

kemampuan di bidang kognitif, afektif, dan psikomotor.48 Perkembangan kognitif

memerlukan lebih dari maturasi otak anak. Perkembangan kognitif adalah hasil

usaha anak dalam memahami keluarga, lingkungan, sekolah, dan luasnya dunia

selama periode pertumbuhan dan pembelajaran otak.49 Perkembangan afektif

berkaitan dengan klasifikasi, pembentukan atau perubahan sikap, dan kepercayaan,


20

nilai atau pendapat. Perkembangan psikomotor berkaitan dengan pengembangan

keterampilan dan tindakan.50

Piaget dalam Santrock (2011) berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh

individu, sebab individu melakukan interaksi terus-menerus dengan lingkungan.

Adanya interaksi dengan lingkungan, dapat mengembangkan fungsi intelektual

Perkembangan intelektual melalui tahap-tahap sebagai berikut :51

1) Sensorik motor (0 - 2 tahun)

Pada tahap ini, sifat yang terlihat pada anak adalah stimulus suara, yaitu anak

berinteraksi dengan stimulus dari luar (lingkungan). Pada saat melakukan

interaksi dengan lingkungan, maka anak mengembangkan kemampuan untuk

meniru, berpikir, melakukan berbagai gerakan, dan belajar mengkoordinasikan

tindakan.

2) Pra-operasional (2 - 7 tahun)

Pada tahap ini, pengamatan seorang anak tidak hanya ditentukan oleh indera

tetapi juga lewat intuisi. Anak mampu menyimpan kata dan mempergunakannya.

Pada tahap ini cara belajar yang berperan adalah intuisi.

3) Operasional konkret (7 – 11 tahun)

Pada tahap ini, anak mulai menyesuaikan diri dengan realitas konkret dan sudah

mulai berkembang rasa ingin tahu. Anak sudah dapat mengamati, menimbang,

mengevaluasi, dan menjelaskan pikiran orang lain dalam cara yang lebih objektif

dan tidak terlalu egosentris. Pemikiran konkret tidak abstrak seperti pemikiran

operasional formal.
21

4) Operasional formal (11-15 tahun)

Pemikiran operasional formal lebih abstrak, idealis, dan logis daripada

pemikiran operasional yang konkret. Piaget berpendapat bahwa remaja awal

mampu terlibat dalam penalaran hipotetis-deduktif. Namun, Piaget tidak

memperhatikan adanya variasi individu dalam pemikiran remaja. Sebagian

besar anak pada awal remaja tidak berpikir secara hipotetis-deduktif, tetapi

lebih memperkuat pemikiran operasional konkret mereka.

2.1.2.1 Edukasi kesehatan pada anak Tunarungu

Edukasi kesehatan adalah suatu proses belajar yang timbul oleh karena adanya

kebutuhan kesehatan, sehingga menimbulkan aktivitas individu atau masyarakat

dengan tujuan menghasilkan kesehatan yang baik. Edukasi kesehatan pada anak

yaitu suatu usaha yang secara emosional akan menghilangkan rasa takut,

menumbuhkan rasa ingin tahu dan mengamati, serta melakukan aktivitas fisik yang

baik bagi kesehatan pribadi, oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa edukasi

kesehatan merupakan usaha yang digunakan untuk pembelajaran secara khusus

yang bertujuan menciptakan kesehatan. Efek tunarungu terhadap perkembangan

kognitif cukup beragam dan kompleks, hal ini dikarenakan adanya perbedaan cara

dari setiap keluarga, masyarakat, dan budaya dalam memberikan reaksi dan

interaksi dengan anak tunarungu.14,51

Suatu pengetahuan seseorang tentunya dipengaruhi oleh beberapa hal,

diantaranya adalah pendidikan, banyaknya informasi yang diperoleh, keadaan

lingkungan, pengalaman, usia, dan status ekonomi seseorang. Hal ini karena
22

pengetahuan dapat mempengaruhi sikap dan tindakan seseorang dalam

mengaplikasikan informasi yang didapatkan untuk diwujudkan dalam kehidupan

harian dan menjadi suatu kebiasaan.52,53

Menurut Notoatmojo (2007), anak tunarungu lebih mudah menyerap informasi

sebagai pengetahuan dengan lebih baik melalui cara demonstrasi (peragaan secara

langsung). Penggunaan cara ini akan mempermudah anak tunarungu dalam

memahami informasi yang disampaikan, sehingga terwujud perilaku yang sesuai

dengan teori perilaku yang dikenal dengan konsep K-A-P (Knowledge-Attitude-

Practice).53

1) Knowledge (Pengetahuan)

Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu”, dan ini terjadi setelah seseorang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan umum

datang dari pengalaman pribadi dan informasi yang didapat dari orang tua, guru,

teman, buku, dan televisi. Pada anak tunarungu, mata memainkan peranan yang

sangat penting dalam mendapatkan pengetahuan.

Menurut Notoadmojo (2003), pengetahuan dibagi dalam enam tingkatan

yaitu :54

(1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada

sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

(2) Memahami (comprehension)


23

Memahami suatu objek bukan hanya sekedar tahu terhadap objek tersebut,

tetapi seseorang harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek

yang diketahui tersebut.

(3) Aplikasi (application)

Aplikasi berarti seseorang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat

menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada

situasi yang lain.

(4) Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan, memisahkan,

dan mencari hubungan antara komponen pengetahuan yang terdapat dalam

suatu masalah atau objek yang diketahui.

(5) Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan untuk merangkum atau meletakkan

komponen pengetahuan yang dimiliki dalam suatu hubungan yang logis.

(6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan

penilaian terhadap objek tertentu yang didasarkan pada suatu kriteria yang

ditentukan sendiri atau norma yang berlaku di masyarakat.

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan, diantaranya

adalah58 :

(1) Faktor internal

1. Usia
24

Usia adalah lamanya hidup seseorang yang dihitung sejak dilahirkan.

Semakin bertambah usia seseorang, maka semakin bertambah pula ilmu

atau pengetahuan yang dimiliki seseorang.

2. Pendidikan

Pendidikan merupakan proses mengembangkan seluruh kemampuan dan

perilaku manusia melalui pengetahuan, sehingga dalam pendidikan perlu

dipertimbangkan usia seseorang yang nantinya berhubungan dengan

proses belajar. Semakin tinggi pendidikan, maka akan semakin banyak

pengetahuan baik yang didapat sehingga menjadikan hidup yang

berkualitas.

(2) Faktor eksternal

1. Faktor lingkungan

Lingkungan yang merupakan kondisi yang ada di sekitar manusia dan

memiliki pengaruh terhadap perkembangan dan perilaku seseorang atau

kelompok.

2. Sosial budaya

Sistem sosial budaya yang terdapat dalam masyarakat dapat

mempengaruhi sikap seseorang dalam menerima suatu informasi

2) Attitude (Sikap)

Sikap merupakan reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap

stimulus. Manifestasi dari sikap tidak dapat terlihat, tetapi seringkali didahului

dengan perilaku tertutup. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap

objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Menurut


25

Azwar (2000), struktur sikap terdiri dari komponen kognitif, afektif, dan konatif.

Komponen kognitif merupakan representasi hal yang dipercayai oleh individu

pemilik sikap. Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek

emosional. Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku

tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang.54,55 Sikap dapat

bersifat positif, tetapi dapat juga bersifat negatif. Sikap positif yaitu

kecenderungan dalam tindakan menyenangi, mendekati, dan mengharapkan

obyek tertentu. Sedangkan sikap negatif adalah kecenderungan untuk menjauhi,

menghindarkan, membenci suatu obyek.56

Menurut Notoadmojo (2003), sikap terdiri dari empat tingkatan, yaitu :54

(1) Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) ingin dan memperhatikan stimulus

yang diberikan.

(2) Merespon (responding)

Merespon berarti seseorang memberikan jawaban apabila ditanya,

mengerjakan dan menyelesaikan tuga yang diberikan. Pada anak tunarungu

seringkali terlihat sikap tidak merespon, hal ini dikarenakan gangguan

pendengaran yang mereka alami.

(3) Menghargai (valuing)

Sikap menghargai ditandai dengan mengajak orang lain untuk mengerjakan

atau mendiskusikan suatu masalah.

(4) Bertanggung jawab (responsible)


26

Bertanggung jawab atas sesuatu yang telah dipilih merupakan sikap yang

paling tinggi.

3) Practice (Tindakan)

Notoatmodjo (2003) mengatakan bahwa suatu sikap belum tentu terwujud

dalam suatu tindakan. Terdapat beberapa faktor pendukung yang diperlukan

untuk mewujudkan suatu sikap dalam perbuatan nyata, yaitu persepsi, respon

terpimpin, mekanisme, dan adaptasi. Setelah seseorang mengetahui adanya

stimulus, kemudian melakukan penilaian atau pendapat terhadap sesuatu yang

diketahuinya, maka proses selanjutnya adalah pelaksanaan atas sesuatu yang

diketahui dan dinilai baik oleh dirinya.53,54

Perilaku manusia merupakan hasil dari segala bentuk pengalaman serta interaksi

manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap,

dan tindakan.54,57 Menurut Abraham Harold Maslow, manusia memiliki lima

kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan, dan

aktualisasi diri. Perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya bersifat simultan.

Skiner (1938) merumuskan bahwa terdapat respon atau reaksi seseorang

terhadap suatu stimulus (rangsangan dari luar), sehingga disimpulkan bahwa suatu

perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme yang kemudia

organisme tersebut merespon. Teori Skiner ini disebut dengan “S-O-R” atau

stimulus organisme response. Pada teori Skinner ini respon dibedakan menjadi dua

jenis, yaitu: 53
27

(1) Respondent response atau flexi, yaitu respon yang ditimbulkan oleh rangsangan

(stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut eliciting stimulation, karena

tidak menimbulkan respon yang tetap.

(2) Operant response atau instrumental response, yaitu respon yang dapat

dimodifikasi oleh konsekuensinya, hal ini dapat mengakibatkan perilaku yang

akan terjadi menjadi meningkat (dalam arti penguatan) atau menurun (dalam

arti hukuman).

Perilaku itu sendiri dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :53

(1) Perilaku tertutup (covert behavior)

Pada perilaku tertutup, respon atau reaksi terhadap stimulus masih terbatas pada

perhatian, persepsi, pengetahuan / kesadaran, dan sikap yang terjadi pada

penerima stimulus, sehingga belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

(2) Perilaku terbuka (overt behavior)

Pada perilaku terbuka, respon terhadap stimulus sudah jelas dan praktik dapat

dengan mudah diamati atau dilihat orang lain.

Berdasarkan penelitian Rogers (1974) terungkap bahwa terdapat beberapa hal yang

dialami seseorang sebelum mengadopsi suatu perilaku baru, yaitu :53

(1) Awareness (kesadaran)

Subjek menyadari adanya suatu stimulus (objek) yang diberikan kepada dirinya.

(2) Interest (ketertarikan)

Subjek mulai tertarik dengan stimulus yang sudah diketahui dan dipahami

terlebih dahulu.
28

(3) Evaluation

Subjek akan mempertimbangkan baik dan tidaknya stimulus yang sudah

dilakukan serta pengaruh terhadap dirinya.

(4) Trial

Subjek mulai melakukan perilaku baru yang sudah diketahui dan dipahami

terlebih dahulu.

(5) Adaptation

Subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikap

terhadap stimulus.

Cara pengukuran suatu perilaku dapat dilakukan melalui dua cara, yakni secara

langsung dengan mengamati (observasi) tindakan subjek dalam memelihara

kesehatannya, sedangkan cara tidak langsung adalah dengan menggunakan metode

mengingat kembali (recall). Metode recall dilakukan dengan memberikan

pertanyaan kepada subjek tentang perlakuan yang berhubungan dengan objek

tertentu.54

Perubahan perilaku merupakan tujuan edukasi atau penyuluhan kesehatan dan

sebagai penunjang program kesehatan lainnya. Motivasi perilaku dapat

ditingkatkan dengan menempuh empat cara, diantaranya adalah memberikan

reward berbentuk hadiah atau pun pujian, kompetisi atau persaingan yang sehat,

menjelaskan tujuan, dan memberi informasi mengenai keberhasilan atas kegiatan

aryang telah dilakukan untuk meningkatkan kebersihan yang lebih baik. Prinsip

motivasi ini dapat diterapkan dalam mempromosikan kesehatan, hal ini dimulai dari
29

kebutuhan seseorang bukan dari yang terbaik bagi kesehatan. Namun, motivasi

terbaik datang dari dalam diri sendiri, bukan dari pengaruh lingkungan.32,58,59

2.1.2.2 Edukasi Kesehatan Gigi dan Mulut

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Agusta dkk diketahui bahwa

pengetahuan yang dimiliki anak tunarungu rerata menunjukkan hasil yang cukup

baik, tetapi sejumlah anak memiliki kesehatan rongga mulut yang buruk. Hal ini

dapat disebabkan karena informasi yang diberikan di sekolah dan keluarga sudah

cukup baik, tetapi pengetahuan yang dimiliki tidak direspon secara positif menjadi

suatu sikap dalam pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut.5 Kemampuan menyikat

gigi dan ketangkasan manual yang dibutuhkan untuk menyikat gigi mulai

berkembang pada usia delapan tahun ke atas.60 Mescher et al menyarankan

penyikatan gigi yang membutuhkan fungsi tangan di luar tingkat kemampuan anak

usia enam tahun dan lebih muda, dan disimpulkan bahwa anak-anak berusia delapan

tahun ke atas dapat menguasai keterampilan yang dibutuhkan untuk menyikat

gigi.61

Indikator dalam mengukur pengetahuan seseorang mengenai pemeliharaan

kesehatan gigi dan mulut, diantaranya adalah pengertian plak gigi dan efeknya

terhadap kesehatan gigi dan mulut, efek konsumsi makanan manis dan minuman

bersoda pada gigi, hubungan kesehatan gigi dan mulut dan kesehatan secara

keseluruhan, menyikat gigi, dan penggunaan fluor pada gigi.62 Prosedur kebersihan

rongga mulut diantaranya tindakan menyikat gigi, stimulasi jaringan, dan prosedur

lain yang berfungsi menjaga kesehatan gigi dan mulut. Prosedur-prosedur ini dapat
30

menghilangkan plak apabila dilakukan secara teratur, sehingga dapat mencegah

akumulasi plak pada gigi dan permukaan gingiva yang berada sekitarnya. American

Dental Association (ADA) menyatakan bahwa pasien harus menyikat gigi secara

teratur minimal dua kali sehari yaitu setelah sarapan dan sebelum tidur malam

dengan durasi 2-3 menit.67 Penyikatan gigi dengan pasta gigi yang mengandung

fluoride merupakan hal penting dalam mencegah karies gigi. Penggunaan pasta gigi

yang dianjurkan untuk anak berusia dibawah tiga tahun sebesar butiran beras dan

anak berusia 3-6 tahun sebesar kacang polong.63,64

Kontrol plak harian yang dilakukan dengan hati-hati, yang digabungkan dengan

penghilangan kalkulus dan plak secara professional dapat mengurangi jumlah plak

supragingival, serta mengurangi total jumlah mikroorganisme dan patogen

periodontal.65 Pengangkatan plak dari gigi adalah keterampilan yang bisa dikuasai

hanya bila individu memiliki ketangkasan untuk memanipulasi sikat gigi dan

pemahaman tentang tujuan aktivitas ini. Penyandang disabilitas tentunya akan

menemukan kesulitan dalam pemeliharaan kebersihan mulut mereka sendiri

dibandingkan individu normal.6

Sikat gigi manual adalah alat utama untuk menghilangkan plak di rumah.

Sebagian besar penggunaan sikat gigi efektif pada permukaan datar dan oklusal,

tetapi kontrol plak di bagian interproksimal kurang memuaskan. Efektivitas

menyikat gigi juga membutuhkan keterampilan biasanya berbeda pada tiap individu

dan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Menyikat gigi dengan metode

Bass mengutamakan pembersihan plak pada daerah sulkus gingiva. Sebagian besar

plak terdapat pada bagian di bawah margin gingiva. Secara teknik dalam menyikat
31

gigi menggunakan metode Bass dibutuhkan kemampuan, kesabaran, dan

pengetahuan mengenai cara menyikat gigi dengan metode tersebut agar diperoleh

hasil yang optimal.66,67

Terdapat beberapa metode untuk penyikatan gigi yang terbukti efisien dan

efektif. Metode-metode ini dapat dikategorikan berdasarkan gerakan ketika

menyikat gigi. Metode penyikatan yang dikenal sampai saat ini teknik Roll atau

teknik Stillman (gerakan menggulung), teknik Stillman, teknik Charters, dan teknik

Bass (gerakan bergetar), teknik Fones (gerakan sirkuler), teknik Leonard (gerakan

vertikal), dan teknik Scrub (gerakan horizontal).65

1) Metode Roll

Pada metode Roll, ujung bulu sikat diletakkan dengan posisi mengarah ke akar

gigi dan arah bulu sikat pada margin gingiva, sehingga sebagian bulu sikat

menekan gusi. Ujung bulu sikat digerakkan perlahan-lahan, sehingga kepala

sikat bergerak membentuk lengkungan melalui permukaan gigi. Permukaan atas

mahkota juga disikat. Gerakan ini diulangi 8-12 kali pada setiap daerah dengan

sistematis. Metode ini terlihat mudah dilakukan dan dapat digunakan oleh

sebagian besar orang.68

2) Metode Bass atau modified Bass :

Pada teknik Bass, bulu sikat pada permukaan gigi membentuk sudut 45 derajat

dengan panjang gigi. Kemudian bulu sikat diarahkan ke akar gigi sehingga

menyentuh sulkus gingiva dan area interproksimal. Sikat gigi digerakkan dengan

getaran kecil ke depan dan ke belakang selama 1 sampai 15 detik di setiap area.

Pada permukaan oklusal, penyikatan dengan gerakan maju mundur arah


32

anteroposterior. Pada teknik modified Bass, setelah gerakan menggetarkan bulu

sikat dilakukan, sikat lalu diputar ke permukaan oklusal.69

3) Metode Charter

Pada teknik ini, ujung bulu sikat diletakkan 45 derajat dari sumbu panjang gigi.

Sikat gigi digetarkan hingga membentuk lingkaran kecil, tetapi ujung bulu sikat

harus berkontak dengan margin gingiva. Metode ini merupakan cara yang baik

untuk pemeliharaan jaringan pendukung gigi dan direkomendasikan apabila

terdapat luka pada gingiva atau cedera. 68

4) Metode Fones

Teknik penyikatan dimulai dengan menempelkan bulu sikat secara tegak lurus

pada permukaan gigi. Kedua rahang berada dalam keadaan oklusi. Sikat gigi

digerakkan membentuk lingkaran besar, sehingga bagian gigi dan gingiva rahang

atas dan rahang bawah dapat disikat secara sekaligus. Teknik ini efektif untuk

anak dengan keterampilan yang terbatas.69

5) Metode Vertikal

Sebagian besar pasien menyikat gigi dengan vertical technique. Teknik ini

dilakukan dengan cara mengarahkan sikat gigi dari tepi gigi ke gingiva

permukaan gigi dibersihkan dengan bulu sikat masuk ke gingival groove.70

6) Metode Horizontal

Bulu sikat ditempatkan 90 derajat pada permukaan gigi dan sikat digerakkan

secara bolak-balik seperti menggosok lantai. Teknik menyikat gigi horizontal

diperbolehkan pada anak dan pada permukaan oklusal gigi.69,70


33

2.1.3 Media Edukasi

Edukasi kesehatan merupakan bagian dari upaya promosi kesehatan yang perlu

dilakukan secara berkesinambungan agar didapatkan hasil yang optimal. Pada

edukasi kesehatan dikenal adanya media edukasi yang merupakan salah satu sarana

penunjang kegiatan yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan kesehatan

gigi dan mulut kepada anak. Penyampaian pesan melalui media dapat merangsang

pikiran, perasaan, perhatian, dan minat dari penerima pesan. Media edukasi

berfungsi untuk memudahkan dalam penerimaan pesan terutama bagi anak

tunarungu, sehingga pesan yang disampaikan lebih dimengerti dan lebih mudah

diingat.71 Secara garis besar, terdapat tiga jenis media edukasi yang dapat

digunakan, yaitu : 72

1) Media visual

Media ini berguna dalam membantu menstimulasi indera mata pada waktu

proses edukasi. Media ini terdiri dari dua bentuk, yaitu berupa alat yang

diproyeksikan (slide, film, dan film strip), dan alat yang tidak diproyeksikan.

2) Media audio

Media ini dapat membantu untuk menstimulasi indera pendengaran pada waktu

penyampaian proses edukasi, dapat berupa radio, piringan hitam, pita suara, dan

sebagainya.

3) Media audio-visual

Media ini diantaranya adalah televisi dan rekaman video.

Pembagian lainnya adalah berdasarkan cara pembuatan dan penggunaannya,

diantaranya yaitu : 72
34

1) Media peraga yang sulit (complicated), seperti film, film strip, slide, dan

sebagainya yang menggunakan listrik dan proyektor.

2) Media peraga sederhana, seperti leaflet, model buku bergambar, poster, spanduk,

leaflet, flannel graph, bahkan buah-buahan secara nyata.

Media edukasi yang tepat bagi anak dengan disabilitas adalah media yang telah

dimodifikasi sesuai dengan tingkat kebutuhan anak disabilitas. Ketidaksesuaian

media yang digunakan dapat mengakibatkan kurangnya motivasi anak dalam

mengembangkan sikap dan kemampuan kepribadian anak hingga mencapai potensi

optimal mereka. Keterbatasan pada anak tunarungu adalah adanya kesulitan dalam

pendengaran dan keterbatasan dalam bahasa. Oleh karena itu, anak tunarungu

disebut juga dengan pembelajar visual, hal ini dikarenakan indera penglihatan

mereka merupakan salah satu indera penting dan memiliki pengaruh yang paling

besar dalam menerima pembelajaran. Media edukasi yang dapat mereka lihat dapat

membantu dalam berasimilasi dengan informasi.61 Hal ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan Sartika (2013) dimana diketahui bahwa anak tunarungu memiliki

keterbatasan dalam berbicara dan mendengar, sehingga media pembelajaran yang

cocok untuk anak tunarungu adalah media visual dan cara menerangkannya dengan

bahasa bibir atau gerak bibir.73 Namun, menurut Fajrianto dalam penelitiannya

terhadap pemberian pembelajaran IPA pada anak tunarungu dengan penggunaan

media visual lebih dikarenakan terdapat kesulitan pada saat pemberian materi

melalui metode verbal.74

Conlin dan Paivio (1975) menyatakan bahwa karena pengalaman visual sangat

penting bagi penderita tunarungu dan orang normal, kedua kelompok tersebut akan
35

menunjukkan ingatan yang lebih baik untuk perkataan yang sulit daripada dengan

perkataan yang mudah. Adanya temuan bahwa ketersediaan dari isyarat dapat

mempengaruhi memori anak tunarungu memiliki dua implikasi penting. Hal

pertama yang berhubungan dengan fakta bahwa diduga anak tunarungu merupakan

pelajar visual karena adanya ketergantungan mereka terhadap bahasa isyarat.

Belajar melalui bahasa isyarat merupakan kemampuan verbal seperti halnya

membaca, bahkan apabila hal itu tergantung pada penglihatan daripada suara.

Pilihan untuk berbicara bahasa isyarat sebagai bahasa pengantar tidak serta merta

membuat seorang anak tunarungu menjadi pelajar visual. Implikasi kedua yang

tidak kalah penting adalah bahwa terdapat interaksi antara antara bahasa dan

kemampuan kognitif pada anak tunarungu. Mereka cenderung memiliki implikasi

untuk belajar dalam situasi formal dan informal.74,75

Faktor lain yang dapat meningkatkan pengetahuan anak-anak tuna rungu adalah

motivasi yang lebih dan berkelanjutan terhadap mereka.15 Penggunaan video

sebagai sarana pendidikan mulai dikembangkan seiring berjalannya kemajuan

teknologi saat ini. Video adalah seperangkat alat yang dapat memproyeksikan

gambar yang bergerak yang merupakan perpaduan antara gambar dan suara yang

membentuk karakter sama dengan obyek aslinya.76 Penelitian yang dilakukan

Doichinova dkk juga memberikan hasil bahwa pendidikan kesehatan mulut

menggunakan media video lebih efektif dibandingkan metode pengajaran tertulis

dan harus secara dilakukan terus-menerus.19


36

2.1.3.1 Video Self-Modelling

Konsep video self-modelling didasarkan pada perpaduan dari banyak perspektif

teori, dan teori pembelajaran sosial (social learning theory) adalah dasar teoritis

utama untuk intervensi ini. Bandura menekankan bahwa proses belajar melalui

pengamatan pada model merupakan informasi terbaik dan memperkuat

kemampuan subjek.77 Video modeling adalah intervensi melibatkan individu yang

berulang kali melihat video dari perilaku yang diinginkan. Hal ini pertama kali

muncul di tahun 1970an ketika Albert Bandura memperkenalkan konsep

pembelajaran observasional atau modeling. Bandura (1977) menjelaskan bahwa

seseorang dapat memperoleh pola perilaku baru dengan cara mengamati

demonstrasi fisik dari perilaku tersebut, menerima instruksi lisan, atau melihat

representasi bergambar dari perilaku baru yang disediakan di televisi atau film.

Seperti disebutkan sebelumnya bahwa individu dapat memperoleh perilaku baru

dengan menonton model film atau televisi, maka teori pembelajaran sosial Bandura

berfungsi sebagai dasar teoritis untuk menggunakan intervensi pemodelan video

sebagai mekanisme perubahan perilaku. Aspek lain dari teori pembelajaran sosial

penting dalam membimbing penggunaan intervensi pemodelan video. Bandura

(1977) melambangkan empat kondisi yang diperlukan seseorang untuk berhasil

mempelajari perilaku baru melalui pembelajaran observasional: perhatian, retensi,

reproduksi motor, dan motivasi. Perhatian mengacu tidak hanya pada kemampuan

untuk mengikuti model, tetapi juga mengacu pada kemampuan untuk mengenali

fitur yang relevan dari perilaku model.78


37

Video self-modeling umumnya didefinisikan sebagai "pengamatan dari

gambaran diri yang terlibat dalam perilaku adaptif”. Video self-modeling adalah

aplikasi spesifik pemodelan video yang memungkinkan anak untuk meniru perilaku

yang ditargetkan dengan mengamati dia atau dirinya yang berhasil melakukan

perilaku tertentu.77 Selama penggunaan video self-modeling, individu yang

ditargetkan untuk perubahan perilaku akan menonton video berdurasi 2-4 menit

yang menggambarkan dirinya atau model sedang melakukan perilaku yang

diinginkan. Kemudian video tersebut dilihat berulang kali dengan tujuan individu

mempelajari keterampilan baru.79 Namun, terdapat sedikit perbedaan mengenai

seberapa sering video harus dilihat. Salah satu rekomendasi adalah bahwa video

tersebut harus dilihat setiap hari apabila tujuannya adalah untuk mengajarkan

keterampilan baru, dan penayangan video harus diberi jarak satu atau dua kali

dalam seminggu saat mencoba meningkatkan kinerja keterampilan yang ada.80 Efek

pemberian jarak mengacu pada pendapat bahwa presentasi singkat dan sering lebih

baik dalam pembelajaran dibandingkan dengan presentasi yang lama. Penelitian

memperlihatkan bahwa presentasi singkat dapat dua kali lebih efektif daripada

presentasi tunggal yang lama. Penelitian Endah (2012) dengan menggunakan video

self-modeling pada anak dengan Autism Spectrum Disorder terbukti dapat

meningkatkan kemampuan menyikat gigi anak ASD.81

Dowrick (1991) membagi video self-modeling ke dalam dua jenis, yaitu positive

self-review dan feedforward. Positive self-review digunakan untuk memperbaiki

perilaku yang sudah ada dalam repertoar perilaku individu. Hal ini digunakan untuk

meningkatkan frekuensi perilaku adaptif yang jarang dilakukan dan meningkatkan


38

perilaku adaptif yang diselingi dengan perilaku yang tidak diinginkan. Sedangkan

feedforward digunakan untuk mengajarkan perilaku baru dan memperkenalkan

perilaku pada suatu keadaan yang belum pernah dijumpai.82

2.1.3.2 Video Kartun Animasi

Metode pemutaran video kartun ini mampu memberikan dampak yang besar di

bidang komunikasi dan edukasi karena metode ini dapat mengintegrasikan teks,

grafik, animasi, audio, dan video. Media video kartun animasi telah

mengembangkan proses belajar mengajar menuju cara yang lebih dinamis dan

efektif, oleh karena itu metode pemutaran video kartun dapat digunakan untuk

pendidikan kesehatan gigi. Selain itu, pendidikan memungkinkan materi lebih

menarik, interaktif, mudah dimengerti melalui visualisasi kartun, hal ini sesuai

dengan pendapat Bektiningsih (2009) bahwa video animasi memiliki aspek visual

dan dapat memberikan informasi yang tepat daripada sekedar perkataan yang

diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan anak tunarungu.21,83 Pemutaran video

berbentuk kartun maupun film animasi dapat memberikan tampilan visual yang

lebih kuat dibandingkan informasi abstrak, hal ini berperan untuk meningkatkan

kualitas proses pembelajaran dan hasil yang didapat.18

Penelitian yang dilakukan oleh Yanti (2017), memperlihatkan adanya penurunan

skor OHI-S pada anak tunarungu di kota Medan setelah menonton video kartun

tentang penyikatan gigi.15 Pemanfaatan film animasi dalam pembelajaran dapat

meningkatkan kemampuan berfikir dan berpengaruh positif terhadap motivasi

belajar siswa. Dengan demikian, metode ini mampu membantu individu untuk
39

menyimpan 90% dari apa yang dia baca, dengar, lihat, dan katakan. Hartini (2000)

menyatakan bahwa penggunaan video kartun dalam penyampaian pesan edukasi

dapat lebih diingat sehingga dapat mempengaruhi tingkah laku anak.18 Yousaf

(2015) menunjukkan bahwa anak sangat terpengaruh oleh tayangan kartun. Hal ini

dikarenakan anak-anak lebih memberi perhatian dan waktu untuk tayangan kartun

dibandingkan aktivitas lain. Selain itu, faktor krusial yang terjadi di masa modern

adalah bahwa anggota keluarga memberikan sedikit waktu pada anak sehingga

sebagian besar anak melewatkan waktu dengan serius menonton kartun. Ketika

anak yang dalam masa perkembangan terlalu fokus menonton kartun, maka mereka

akan mempelajari banyak hal dari kartun. Pada kenyataannya, analisis

memperlihatkan bahwa mayoritas masalah psikologi anak terpengaruh lewat

kartun.84

2.1.4 Kebersihan Gigi dan Mulut

Upaya meningkatkan kebersihan gigi dan mulut dapat dicapai dengan

penyikatan gigi. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat

pencapaian kesehatan gigi dan mulut adalah nilai OHI-S  1,2. Simplified Oral

Hygiene Index (OHI-S) adalah skor atau nilai perhitungan dari pemeriksaan gigi

dan mulut. Indeks ini diperkenalkan oleh Green dan Vermillion, yang dihitung

dengan menjumlahkan Debris Index (DI) dan Calculus Index (CI).85


40

Gambar 2.2. Permukaan gigi yang diperiksa pada OHI-S


Terdapat enam permukaan yang diperiksa untuk OHI-S dipilih dari empat
gigi anterior posterior dan dua gigi anterior.
Dikutip dari : Tayanin94

Debris Index (DI) adalah skor dari endapan lunak yang terjadi karena sisa

makanan yang melekat pada gigi penentu. Calculus Index (CI) adalah skor dari

endapan keras yang terjadi karena debris mengalami pengapuran.85 Terdapat enam

permukaan yang diperiksa untuk OHI-S dipilih dari empat gigi anterior posterior

dan dua gigi anterior. Pada bagian posterior gigi, distal gigi yang pertama erupsi

hingga ke bikuspid kedua (15), biasanya molar pertama (16) tetapi terkadang molar

kedua (17) atau ketiga (18) diperiksa. Permukaan bukal dari gigi molar atas yang

dipilih dan permukaan lingual dari gigi molar bawah yang dipilih diperiksa. Pada

bagian anterior, permukaan yang dinilai adalah labial gigi insisif kanan atas (11)

dan labial gigi insisif kiri bawah (31). Apabila tidak terdapat gigi-gigi anterior

tersebut, maka gigi insisif sentral pada sisi yang berlawanan (21 atau 41) dapat

menjadi gigi pengganti.86 Debris dapat juga diartikan sebagai plak yang sangat tipis,

tidak berwarna, dan melekat erat pada permukaan gigi.87 Plak mengandung
41

mikroorganisme, leukosit, dan bahan-bahan kimia yang berasal dari saliva dan sisa

makanan.88 Plak gigi yang tidak terkontrol dengan baik dapat menyebabkan

gingivitis. Pada dasarnya, plak dapat dikontrol dengan penggunaan alat mekanis

dan kimiawi. Pembersihan gigi dan mulut secara mekanis adalah membersihkan

plak dengan tindakan psikomotor secara teratur. Alat mekanis yang digunakan

dapat berupa sikat gigi maupun benang gigi.52 Faktor kebiasaan juga dapat berperan

penting dalam pembentukan plak. Orangtua berperan vital dalam menyaring

interaksi antara anak dan lingkungan melalui kebiasaan pemberian makan,

perawatan kebersihan gigi dan mulut, dan tindakan preventif lainnya. Faktor

predisposisi, kesanggupan, dan keteguhan berpengaruh terhadap kemampuan

orangtua untuk menerapkan kebiasaan baik dalam menjaga rongga mulut ke dalam

rutinitas anak.60

Pengukuran debris index dilakukan sesuai dengan kriteria yang diajukan oleh

Green and Vermillion, yaitu :

1) Nilai 0 = apabila pada permukaan gigi yang terlihat tidak ada debris lunak.

2) Nilai 1 = apabila pada permukaan gigi yang terlihat, ada debris lunak yang

menutupi permukaan gigi seluas 1/3 permukaan atau 1/3 permukaan gigi dari

tepi gingiva.

3) Nilai 2 = pada permukaan gigi yang terlihat, ada debris lunak yang menutupi

permukaan gigi seluas  1/3 tetapi  2/3 permukaan gigi dari tepi gingiva.

4) Nilai 3 = pada permukaan gigi yang terlihat, ada debris lunak yang menutupi

permukaan gigi seluas  2/3 permukaan gigi dari tepi gingiva.


42

Hasil pemeriksaan tersebut kemudian dijumlahkan, dan akan didapatkan debris

indeks dengan rumus :

Calculus index adalah skor dari endapan keras pada gigi penentu. Kalkulus

merupakan endapan keras yang terletak pada permukaan gigi, berwarna kekuningan

atau kecoklatan hingga kehitaman dengan permukaan yang kasar. Kalkulus terbagi

atas dua jenis, yaitu kalkulus supragingiva dan subgingiva. Kalkulus supragingiva

adalah kalkulus yang menempel pada permukaan gigi di atas gingiva, berwarna

putih kekuningan. Kalkulus subgingiva adalah kalkulus yang terletak pada di bawah

gingiva sehingga tidak tampak dari luar, berwarna coklat tua atau hijau tua gelap

dan kehitaman.72

Pengukuran calculus index dilakukan sesuai dengan kriteria yang diajukan oleh

Green and Vermillion, yaitu :

1) Nilai 0 = tidak ada kalkulus

2) Nilai 1 = apabila pada permukaan gigi yang terlihat, ada kalkulus supragingiva

yang menutupi permukaan gigi tidak lebih 1/3 permukaan permukaan dari tepi

gingiva.

3) Nilai 2 = pada permukaan gigi yang terlihat, ada kalkulus supragingiva yang

2/3 permukaan gigi dari tepi gingiva.

4) Nilai 3 = pada permukaan gigi yang diperiksa ada kalkulus supragingiva yang

menutupi permukaan gigi tepi gingiva.


43

2.2 Kerangka Pemikiran

Tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau tidak berfungsinya

kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya

sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga anak tersebut mengalami

hambatan dalam perkembangan bahasanya.32

Anak tunarungu memiliki masalah kesehatan rongga mulut yang buruk. Hal ini

dikarenakan adanya hambatan dalam memperoleh perawatan gigi dan kesulitan

berkomunikasi dengan orang lain.19 Berdasarkan penelitian Jnaweswar ditemukan

bahwa kesehatan periodontal pada anak-anak tunarungu cukup buruk, hal ini

terlihat dari prevalensi penyakit periodontal sebesar 71,1% pada sekolah khusus

anak tunarungu di Odisha, India.7 Anak tunarungu tidak dapat memahami dan

menanggapi instruksi yang diberikan kepadanya, sehingga mereka tidak dapat

memahami dan menguasai teknik praktik kebersihan mulut.19

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Agusta dkk diketahui bahwa

pengetahuan yang dimiliki anak tunarungu rerata menunjukkan hasil yang cukup

baik, tetapi sejumlah anak memiliki kesehatan rongga mulut yang buruk. Hal ini

dapat disebabkan karena informasi yang diberikan di sekolah dan keluarga sudah

cukup baik, tetapi pengetahuan yang dimiliki tidak direspon secara positif menjadi

suatu sikap dalam pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut.4

Edukasi kesehatan merupakan bagian dari upaya promosi kesehatan yang perlu

dilakukan secara berkesinambungan agar didapatkan hasil yang optimal.71 Edukasi

kesehatan pada anak yaitu suatu usaha yang secara emosional akan menghilangkan

rasa takut, menumbuhkan rasa ingin tahu dan mengamati, serta melakukan aktivitas
44

fisik yang baik bagi kesehatan pribadi, oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa

edukasi kesehatan merupakan usaha yang digunakan untuk pembelajaran secara

khusus yang bertujuan menciptakan kesehatan. Pada edukasi kesehatan dikenal

adanya media edukasi yang merupakan salah satu sarana penunjang kegiatan yang

dapat digunakan untuk menyampaikan pesan kesehatan gigi dan mulut kepada

anak. Media edukasi berfungsi untuk memudahkan dalam penerimaan pesan

terutama bagi anak tunarungu, sehingga pesan yang disampaikan lebih dimengerti

dan lebih mudah diingat. 71,76 Media edukasi yang tepat bagi anak dengan disabilitas

adalah media yang telah dimodifikasi sesuai dengan tingkat kebutuhan anak

disabilitas. Ketidaksesuaian media yang digunakan dapat mengakibatkan

kurangnya motivasi anak dalam mengembangkan sikap dan kemampuan

kepribadian anak hingga mencapai potensi optimal mereka. Keterbatasan pada anak

tunarungu adalah adanya kesulitan dalam pendengaran dan keterbatasan dalam

bahasa. Anak tunarungu disebut juga dengan pembelajar visual, hal ini dikarenakan

indera penglihatan mereka merupakan salah satu indera penting dan memiliki

pengaruh yang paling besar dalam menerima pembelajaran.78

Media edukasi yang dapat mereka lihat dapat membantu dalam berasimilasi

dengan informasi.65 Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sartika (2013)

dimana diketahui bahwa anak tunarungu memiliki keterbatasan dalam berbicara

dan mendengar, sehingga media pembelajaran yang cocok untuk anak tunarungu

adalah media visual dan cara menerangkannya dengan bahasa bibir atau gerak

bibir.73 Penggunaan video sebagai sarana pendidikan mulai dikembangkan seiring

berjalannya kemajuan teknologi saat ini.52 Hal ini sejalan dengan penelitian yang
45

dilakukan Doichinova dkk yaitu pendidikan kesehatan mulut menggunakan media

video lebih efektif dibandingkan metode pengajaran tertulis dan harus dilakukan

terus menerus.19

Konsep video self-modelling didasarkan pada perpaduan dari banyak perspektif

teori, dan teori pembelajaran sosial (social learning theory) adalah dasar teoritis

utama untuk intervensi ini. Bandura menekankan bahwa proses belajar melalui

pengamatan pada model merupakan informasi terbaik dan memperkuat

kemampuan subjek.77 Bandura (1977) menjelaskan bahwa seseorang dapat

memperoleh pola perilaku baru dengan cara mengamati demonstrasi fisik dari

perilaku tersebut, menerima instruksi lisan, atau melihat representasi bergambar

dari perilaku baru yang disediakan di televisi atau film. Seperti disebutkan

sebelumnya bahwa individu dapat memperoleh perilaku baru dengan menonton

model film atau televisi, maka teori pembelajaran sosial Bandura berfungsi sebagai

dasar teoritis untuk menggunakan intervensi pemodelan video sebagai mekanisme

perubahan perilaku.78 Video self-modeling adalah aplikasi spesifik pemodelan

video yang memungkinkan anak untuk meniru perilaku yang ditargetkan dengan

mengamati dia atau dirinya yang berhasil melakukan perilaku tertentu.89 Selama

penggunaan video self-modeling, individu yang ditargetkan untuk perubahan

perilaku akan menonton video berdurasi 2-4 menit yang menggambarkan dirinya

atau model sedang melakukan perilaku yang diinginkan. Kemudian video tersebut

dilihat berulang kali dengan tujuan individu mempelajari keterampilan baru.79

Metode pemutaran video kartun mampu memberikan dampak yang besar di

bidang komunikasi dan edukasi karena metode ini dapat mengintegrasikan teks,
46

grafik, animasi, audio, dan video.83 Pemanfaatan film animasi dalam pembelajaran

dapat meningkatkan kemampuan berfikir dan berpengaruh positif terhadap

motivasi belajar siswa.14 Video animasi memiliki aspek visual dan dapat

memberikan informasi yang tepat daripada sekedar perkataan yang diharapkan

dapat meningkatkan pengetahuan anak tunarungu.21 Penelitian yang dilakukan oleh

Yanti (2017), memperlihatkan adanya penurunan skor OHI-S pada anak tunarungu

di kota Medan setelah menonton video kartun tentang penyikatan gigi.15

Upaya meningkatkan kebersihan gigi dan mulut dapat dicapai dengan

penyikatan gigi. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat

pencapaian kesehatan gigi dan mulut adalah nilai OHI-S  1,2. Simplified Oral

Hygiene Index (OHI-S) adalah skor atau nilai perhitungan dari pemeriksaan gigi

dan mulut. Indeks ini diperkenalkan oleh Green dan Vermillion, yang dihitung

dengan menjumlahkan Debris Index (DI) dan Calculus Index (CI).77 Debris dapat

juga diartikan sebagai plak yang sangat tipis, tidak berwarna, dan melekat erat pada

permukaan gigi.89 Plak gigi yang tidak terkontrol dengan baik dapat menyebabkan

gingivitis. Pada dasarnya, plak dapat dikontrol dengan penggunaan alat mekanis

dan kimiawi. Pembersihan gigi dan mulut secara mekanis adalah membersihkan

plak dengan tindakan psikomotor secara teratur. Faktor kebiasaan juga dapat

berperan penting dalam pembentukan plak. Orangtua berperan vital dalam

menyaring interaksi antara anak dan lingkungan melalui kebiasaan pemberian

makan, perawatan kebersihan gigi dan mulut, dan tindakan preventif lainnya.

Faktor predisposisi, kesanggupan, dan keteguhan berpengaruh terhadap


47

kemampuan orangtua untuk menerapkan kebiasaan baik dalam menjaga rongga

mulut ke dalam rutinitas anak.90

2.3 Premis dan Hipotesis

2.3.1 Premis

Berdasarkan uraian di atas, dapat diajukan premis yang mendukung hipotesis

dari penelitian ini:

Premis 1

Tunarungu adalah keadaan seseorang yang mengalami kekurangan atau tidak

berfungsinya kemampuan mendengar. 33

Premis 2

Anak tunarungu memiliki masalah kesehatan rongga mulut yang buruk. Hal ini

dikarenakan adanya hambatan dalam memperoleh perawatan gigi dan kesulitan

berkomunikasi dengan orang lain. 20

Premis 3

Edukasi kesehatan merupakan bagian dari upaya promosi kesehatan yang perlu

dilakukan secara berkesinambungan agar didapatkan hasil yang optimal. Pada

edukasi kesehatan dikenal adanya media edukasi yang merupakan salah satu sarana

penunjang kegiatan yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan kesehatan

gigi dan mulut kepada anak. 76

Premis 4

Media edukasi berfungsi untuk memudahkan dalam penerimaan pesan terutama

bagi anak tunarungu, sehingga pesan yang disampaikan lebih dimengerti dan lebih

mudah diingat. 76
48

Premis 5

Pengetahuan dapat mempengaruhi sikap dan tindakan seseorang dalam

mengaplikasikan informasi yang didapat. 56,57

Premis 6

Pendidikan kesehatan mulut menggunakan media video lebih efektif dibandingkan

metode pengajaran tertulis. 20

Premis 7

Video self-modeling (VSM) adalah aplikasi spesifik pemodelan video yang

memungkinkan anak untuk meniru perilaku yang ditargetkan dengan mengamati

dia atau dirinya yang berhasil melakukan perilaku tertentu. 85,86

Premis 8

Intervensi VSM dapat digunakan sebagai mekanisme perubahan perilaku

seseorang.85

Premis 9

Video kartun animasi (VKA) mampu memberikan dampak yang besar di bidang

komunikasi dan edukasi. 91

Premis 10

Video animasi dapat memberikan informasi yang tepat daripada sekedar perkataan

yang diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan anak tunarungu.22

Premis 11

Penggunaan VKA dalam menyampaikan pesan edukasi dapat mempengaruhi

perilaku anak.19
49

Premis 12

Terdapat penurunan skor OHI-S pada anak tunarungu setelah menonton video

edukasi tentang penyikatan gigi. 22

2.3.2 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran dan premis-premis diatas maka diperoleh

hipotesis penelitian. Hipotesis penelitian merupakan jawaban sementara dari

rumusan masalah.

1) Penggunaan metode edukasi VSM dan VKA akan meningkatkan pengetahuan

tentang kesehatan gigi dan mulut pada anak tunarungu.(1,2,3,4,5,6,10)

2) Penggunaan metode edukasi VSM dan VKA akan meningkatkan sikap tentang

kesehatan gigi dan mulut pada anak tunarungu.(1,2,3,4,5)

3) Penggunaan metode edukasi VSM dan VKA akan meningkatkan perilaku

tentang kesehatan gigi dan mulut pada anak tunarungu.(1,2,3,4,5,7,8,11)

4) Terdapat perbedaan peningkatan tingkat kebersihan rongga mulut setelah

menggunakan metode edukasi VSM dan VKA pada anak

tunarungu.(1,2,3,4,5,12)
50

Tunarungu

Keterbatasan pendengaran

Keterbatasan dalam menjaga


kebersihan gigi dan mulut

Edukasi anak tunarungu

Verbal Non verbal

Visual Audio

Video Tulisan

Video Self-modeling Video kartun animasi

OHI
Pengukuran kebersihan gigi
dan mulut OHI-S

PHP
Kondisi yang mempengaruhi

Intervensi Pola Perilaku Sosial pH Usia


Orangtua makan kesehatan Ekonomi saliva

Gambar 2.3 Kerangka Konseptual


51

BAB III

BAHAN/SUBJEK/OBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1 Populasi dan sampel penelitian

Populasi penelitian adalah anak tunarungu yang bersekolah di SLB-B Negeri

Kota Bandung. Penelitian dilakukan bulan Maret sampai April tahun 2018. Teknik

pengambilan sampel secara purposive sampling. Naracoba dalam penelitian dipilih

sesuai dengan kriteria inklusi sebagai berikut :

1) Anak tunarungu yang mengalami prelingual deafness.

2) Anak tunarungu dengan tingkat keparahan pendengaran moderate hingga severe.

3) Anak tunarungu lelaki dan perempuan berusia 7-11 tahun.

4) Anak tunarungu yang sudah mendapatkan pelajaran bahasa isyarat.

5) Anak tunarungu yang telah memiliki gigi molar pertama permanen rahang atas

kanan dan kiri, insisif pertama permanen rahang atas dan rahang bawah, serta

molar pertama permanen rahang bawah. Apabila molar pertama permanen hilang

dapat digantikan dengan molar kedua atau gigi permanen yang berdekatan.

Jumlah total sampel yang masuk ke dalam kriteria inklusi adalah sebanyak 34 anak.

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Anak tunarungu dengan karies rampan

2) Anak dengan gangguan disabilitas mental

Sampel yang termasuk ke dalam kriteria eksklusi akan dikeluarkan pada saat

pemeriksaan baseline.
52

3.1.1 Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan oleh peneliti sebagai alat pengumpulan data dalam

penelitian ini antara lain :

1) Alat tulis 


2) Alat diagnostik yaitu kaca mulut, pinset, sonde, ekscavator

3) Laptop

4) LED Projector

5) Screen

6) Ember

7) Sikat gigi

8) Gelas kumur

(1) (2) (3)

(4) (5) (6)

(7) (8)
53

Gambar 3.1 Alat Penelitian


Keterangan :
1. Alat tulis
2. Alat diagnostic
3. Laptop
4. LED Proyektor
5. Screen
6. Ember plastik
7. Sikat gigi
8. Gelas kumur

Bahan yang digunakan oleh peneliti dalam pengumpulan data dalam penelitian ini

antara lain:

1) Masker 


2) Sarung tangan 


3) Tissue

4) Alkohol 


5) Pasta gigi 


6) Informed consent

7) Lembar kuesioner

8) Lembar evaluasi

9) Hadiah motivasi
54

(1) (2) (3) (4)

(5) (6) (7) (8) (9)

3.2 Bahan Penelitian


Keterangan:
1. Masker
2. Sarung tangan
3. Tissue
4. Alkohol
5. Pasta gigi
6. Informed consent
7. Lembar kuesioner
8. Lembar evaluasi
9. Hadiah motivasi

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan disain penelitian eksperimental

semu. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian acak tersamar

ganda (randomized double blind controlled trial). Subjek penelitian dibagi atas dua

kelompok, yaitu kelompok A (edukasi dengan video self-modelling) dan kelompok

B (edukasi dengan video kartun animasi). Kedua kelompok subjek penelitian dipilih

oleh guru pembimbing, dan subjek tidak mengetahui kelompok perlakuan yang
55

akan diberikan. Kelompok subjek juga dibagi dengan perbandingan anak lelaki dan

perempuan dengan jumlah yang sama. Berdasarkan wawancara dengan guru

pembimbing, diketahui bahwa subjek yang masuk penelitian sudah mengerti

komunikasi dengan penggunaan bahasa isyarat. Penelitian ini juga menggunakan

data kuesioner yang diberikan kepada siswa SLB B Cicendo yang masuk ke dalam

kriteria inklusi penelitian. Data kuesioner mengandung pertanyaan yang

berhubungan dengan pengetahuan, sikap, dan perilaku anak mengenai penyikatan

gigi. Kuesioner diberikan pada saat awal dan akhir penelitian. Evaluasi penyikatan

gigi oleh orangtua dalam bentuk lembar evaluasi harian yang diberikan oleh

peneliti. Rewards / hadiah kecil diberikan kepada orangtua setiap minggu, sebagai

motivasi anak saat melakukan penyikatan gigi di rumah. Pemberian hadiah besar

sebagai apresiasi kepada anak tunarungu, atas keikutsertaannya dalam penelitian.

3.2.2 Identifikasi Variabel Penelitian

Pada penelitian ini terdapat tiga variabel, yaitu variabel bebas, variabel terikat

dan variabel pengganggu.

1) Variabel bebas : dua metode video edukasi penyikatan gigi teknik Bass (Video

self modelling dan video kartun animasi), perilaku kesehatan (Pengetahuan,

Sikap, Perilaku)

2) Variabel terikat : kebersihan rongga mulut

3) Variabel pengganggu : durasi menyikat gigi, dan pola diet


56

3.2.3 Definisi Operasional Variabel

1)Video self modeling merupakan suatu metode belajar dimana anak atau siswa

melihat atau mengamati model dalam video yang memperagakan suatu

keterampilan tertentu. Isi dari video self modeling yang diberikan yaitu informasi

mengenai jumlah gigi, waktu penyikatan gigi, durasi penyikatan gigi. dan teknik

menyikat gigi menggunakan metode modified Bass menggunakan model gigi.

Video juga akan ditambahkan dengan keterangan dari penterjemah bahasa

isyarat sesuai dengan isi video. Durasi video yang diberikan selama 5 menit.

Video self modeling akan ditampilkan tanpa suara, dan telah divalidasi konten

oleh ahlinya.

2) Video kartun animasi adalah film yang digambar tangan atau digambar dengan

bantuan komputer lalu diberikan efek gerak atau perubahan bentuk yang terjadi

selama beberapa waktu untuk ditampilkan pada layar komputer dan memiliki

alur cerita tertentu. Video kartun animasi mengenai teknik menyikat gigi dengan

metode modified Bass dapat diunduh dari

https://www.youtube.com/watch?v=KcQlp4ejyZ4 . Namun untuk video animasi

yang digunakan dalam penelitian ini memiliki tambahan isi dari video berupa

informasi mengenai jumlah gigi, waktu penyikatan gigi, dan durasi penyikatan

gigi. Video kartun animasi yang ditampilkan tanpa suara dengan durasi video

selama 5 menit.

3) Pengetahuan adalah hasil penginderaan seseorang terhadap objek melalui indera

yang dimilikinya. Sebagian besar pengetahuan anak tunarungu diperoleh melalui

indera penglihatan (mata). Pengetahuan mengenai kesehatan gigi dan mulut pada
57

penelitian ini yaitu hasil tahu dan kemampuan mengingat mengenai informasi

yang berkaitan dengan penyikatan gigi, frekuensi menyikat gigi, waktu menyikat

gigi, dan asupan makanan yang mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut. Waktu

penginderaan hingga menghasilkan pengetahuan sangat dipengaruhi oleh

intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Cara untuk mengukur

pengetahuan dengan menggunakan kuesioner berisi 9 pertanyaan dan telah

divalidasi. Indikator kuesioner diambil dari WHO dan menggunakan skala

Guttman. Responden akan mendapat nilai 1 apabila jawaban benar, dan 0 apabila

jawaban salah. Penilaian pengetahuan diinterpresentasikan dalam skala

kualitatif, yaitu :

(1) Baik : presentase 76-100%

(2) Cukup : presentase 56-75%

(3) Kurang : presentase <56%

Penilaian pengetahuan dikatakan mendukung (positif) apabila nilai mean hitung

lebih besar dari hasil nilai tabel mean, sedangkan dikatakan tidak mendukung

(negatif) bila nilai mean hitung lebih rendah dari nilai mean tabel.

Sikap adalah kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara

tertentu apabila dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya

respon. Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menilai pernyataan sikap

seseorang. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuatu

mengenai objek sikap yang hendak diungkapkan. Sikap yang diukur dalam

penelitian ini yaitu sikap tentang pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut siswa

SLB Negeri B kota Bandung. Cara mengukur sikap dengan menggunakan


58

kuesioner yang berisi 6 pertanyaan dan telah diuji validasi isi. Pengukuran sikap

menggunakan skala Likert. Setiap responden diminta melakukan agreement atau

disagreement pada masing-masing item dalam skala yang terdiri dari 5 poin

(sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, sangat tidak setuju). Pengukuran

sikap dapat berisi atau mengatakan hal-hal yang positif mengenai obyek sikap,

yaitu kalimat bersifat mendukung atau memihak pada obyek sikap. Pernyataan

ini disebut dengan pernyataan yang favorable. Sebaliknya pernyataan sikap

dapat pula berisi hal-hal yang negatif mengenai obyek sikap yang bersifat tidak

mendukung atau memihak pada obyek sikap. Pernyataan ini disebut dengan

pernyataan yang tidak favorable. Rincian nilai pernyataan positif :

5 = sangat setuju

4 = setuju

3 = ragu-ragu

2 = tidak setuju

1 = sangat tidak setuju

Rincian nilai pernyataan negatif:

5 = sangat tidak setuju

4 = tidak setuju

3 = ragu-ragu

2 = setuju

1 = sangat setuju

Perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut adalah semua tindakan

pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut yang dilakukan atas kesadaran.


59

Pengukuran perilaku dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara langsung dan

tidak langsung. Pengukuran perilaku yang paling baik adalah secara langsung

yakni dengan pengamatan (observasi) yaitu mengamati tindakan dari subjek

dalam rangka memelihara kesehatannya. Pengukuran perilaku secara tidak

langsung adalah dengan mengingat kembali (recall). Pengukuran ini dilakukan

melalui pertanyaan terhadap subjek tentang apa yang dilakukan berhubungan

dengan objek tertentu. Cara mengukur perilaku adalah dengan menggunakan

kuesioner berisi 10 pertanyaan dan telah diuji validasi isi. Indikator kuesioner

diukur menggunakan skala Guttman. Rincian nilai tentang pengetahuan adalah

jika responden menjawab benar bernilai 1 dan jika salah bernilai 0. Penilaian

pengetahuan dinterpretasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu :

a) Baik : persentase 76%-100%

b) Cukup : persentase 56%-75%

c) Kurang : persentase <56%

4) Kebersihan mulut merupakan keadaan rongga mulut yang terjaga kebersihannya

dan terbebas dari plak. Tingkat kebersihan rongga mulut dapat dihitung dengan

menggunakan indeks kebersihan rongga mulut salah satunya adalah Simplified

Oral Hygiene Index (OHI-S). Pada penelitian ini yang digunakan adalah index

plak Simplified Oral Hygiene Index (OHI-S). Pemeriksaan dilakukan dengan

diagnostik menggunakan kaca mulut dan sonde halfmoon. OHI-S diukur dengan

skala rasio. Pada pemeriksaan ini, perhitungan OHI-S adalah sebagai berikut :

(1) Baik apabila hasil pemeriksaan 0 - 1,2

(2) Sedang apabila hasil pemeriksaan 1,3 - 3


60

(3) Buruk apabila hasil pemeriksaan > 3

5) Anak tunarungu adalah anak yang telah didiagnosis oleh dokter spesialis THT

mengalami ketunarunguan prelingual dan masih bersekolah di SLB Negeri B

kota Bandung.

6) Pada penelitian ini, teknik penyikatan gigi yang digunakan adalah teknik

modified Bass, yaitu gerakan menggetarkan bulu sikat dengan posisi bulu sikat

pada permukaan gigi membentuk sudut 45 derajat dengan panjang gigi. Sikat

gigi digerakkan dengan getaran kecil ke depan dan ke belakang selama 1 sampai

15 detik di setiap area, kemudian sikat diputar ke permukaan oklusal. Pada

permukaan oklusal, penyikatan dengan gerakan maju mundur arah

anteroposterior.

3.2.4 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang dilakukan meliputi:


1) Peneliti membuat kuesioner dan video edukasi

2) Peneliti mendata anak yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa Negeri B kota

Bandung.

3) Peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas kuesioner.

4) Peneliti mengajukan surat ijin penelitian kepada Kepala Badan Kesatuan

Bangsa dan Politik Provinsi Jawa Barat.

5) Peneliti mengajukan surat ijin penelitian kepada Dinas Pendidikan Provinsi

Jawa Barat.

6) Peneliti mengurus surat ijin ke Komisi Etik Penelitian Kesehatan untuk


61

mendapatkan persetujuan etik atau Ethical Cleareance.


7) Peneliti mengajukan surat ijin penelitian kepada Kepala Sekolah SLB-B Negeri

Kota Bandung karena lokasi penelitian berada di SLB-B Negeri Kota Bandung.

8) Penelitian ini menggunakan metode penelitian acak tersamar ganda

(randomized double blind controlled trial), oleh karena itu subjek penelitian

yang memenuhi kriteria inklusi dibagi menjadi dua kelompok oleh guru

pembimbing dari SLB B Cicendo. 


9) Peneliti mengajukan informed consent kepada orang tua atau wali murid melalui

guru pendamping kelas.

10) Peneliti menjelaskan tentang tujuan dan prosedur penelitian yang akan

dilaksanakan kepada guru pendamping atau penterjemah.

11) Peneliti memberikan lembar evaluasi sikat gigi pagi dan malam kepada

orangtua dari subjek penelitian dan dikumpulkan setiap minggu sebagai bahan

evaluasi kepatuhan individu. Peneliti memberikan reward untuk anak pada

orang tua/wali.

12) Peneliti mempersilahkan subyek beserta guru pendamping atau penterjemah

untuk duduk ditempat yang disediakan. 


13) Peneliti akan melakukan pemeriksaan baseline dengan menggunakan index

OHI-S pada seluruh subjek penelitian.

14) Peneliti akan memutarkan video self modeling kepada kelompok 1 selama tiga

hari dalam seminggu (senin, rabu, jumat). Pada kelompok 2 akan diberikan

video animasi kartun selama tiga hari dalam seminggu (senin, rabu, jumat).

Pemutaran video ini berlangsung selama empat minggu. Masing-masing video


62

ditayangkan selama kurang lebih lima menit.

15) Peneliti menginstruksikan seluruh subjek untuk melakukan penyikatan gigi

sebanyak dua kali sehari (setelah sarapan pagi dan sebelum tidur malam)..

16) Peneliti melakukan pemeriksaan kontrol terhadap seluruh kelompok subjek

setiap satu minggu. Pengumpulan lembar evaluasi dikumpulkan setiap minggu.

17) Peneliti mencatat jawaban dan hasil pemeriksaan kontrol dan memeriksa hasil

evaluasi. Apabila anak tidak taat selama 3 hari berturut-turut, maka dianggap

out dari penelitian.

18) Pada hari terakhir penelitian, peneliti memberikan kuesioner kepada anak

tunarungu.

19) Peneliti menginformasikan subyek bahwa penelitian telah selesai dilaksanakan

setelah empat minggu.

20) Perhitungan kelengkapan jumlah sampel dan formulir penelitian.

21) Pengolahan data secara statistik

22) Penyusunan laporan hasil penelitian.

3.2.5 Alur Penelitian

Persiapan Penelitian

Surat Ijin ke Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Jawa
Barat.

Surat Ijin ke Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat.

Ethical clearance
63

Surat Ijin ke Komisi Etik Penelitian Kesehatan

Surat Ijin ke Kepala Sekolah SLB-B Negeri


Kota Bandung

Pemilihan Subjek Penelitian

Pelaksanaan Penelitian

Informed Concent

Penjelasan Tujuan dan Prosedur

Penilaian OHI

Kelompok 1 Kelompok 2

Pengisian Pengisian
Kuesioner Kuesioner

Edukasi Edukasi
penyikatan gigi penyikatan gigi
dengan Video dengan
self modelling Video kartun
animasi

Instruksi sikat gigi Instruksi sikat gigi


pagi dan malam pagi dan malam

Pemberian reward Pemberian reward


harian harian

Evaluasi dari Evaluasi dari


orangtua & orangtua &
pemeriksaan OHI pemeriksaan OHI
tiap minggu tiap minggu
64

Pengisian kuesioner

Analisis statistik

Gambar 3.3 Skema Alur Penelitian

3.2.6 Rancangan Analisis

Uji statistik non parametrik yang digunakan adalah Wilcoxon-Mann Whitney

Test untuk melihat perubahan tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku setelah

penggunaan metode edukasi VSM dan VKA. Uji statistik t-test uji komparasi 2

sampel tidak berpasangan untuk melihat ada tidaknya perbedaan peningkatan

kebersihan rongga mulut setelah penggunaan metode edukasi VSM dan VKA.

Sebelum hasil pengukuran dianalisis secara statistik, penulis menentukan

hipotesis penelitian sebagai berikut :

Hipotesis 1 : Penggunaan metode edukasi VSM dan VKA akan meningkatkan

pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut pada anak tunarungu.

H0 : Penggunaan metode edukasi VSM dan VKA tidak meningkatkan pengetahuan

tentang kesehatan gigi dan mulut pada anak tunarungu.

H1 : Penggunaan metode edukasi VSM dan VKA akan meningkatkan pengetahuan

tentang kesehatan gigi dan mulut pada anak tunarungu.

Hipotesis 2 : Penggunaan metode edukasi VSM dan VKA akan meningkatkan

sikap tentang kesehatan gigi dan mulut pada anak tunarungu.

H0 : Penggunaan metode edukasi VSM dan VKA tidak meningkatkan sikap tentang
65

kesehatan gigi dan mulut pada anak tunarungu.

H1 : Penggunaan metode edukasi VSM dan VKA akan meningkatkan sikap tentang

kesehatan gigi dan mulut pada anak tunarungu.

Hipotesis 3 : Penggunaan metode edukasi VSM dan VKA akan meningkatkan

perilaku tentang kesehatan gigi dan mulut pada anak tunarungu.

H0 : Penggunaan metode edukasi VSM dan VKA tidak meningkatkan sikap tentang

kesehatan gigi dan mulut pada anak tunarungu.

H1 : Penggunaan metode edukasi VSM dan VKA akan dapat meningkatkan sikap

tentang kesehatan gigi dan mulut pada anak tunarungu.

Hipotesis 4 :

Terdapat perbedaan peningkatan tingkat kebersihan rongga mulut setelah

menggunakan metode edukasi VSM dan VKA pada anak tunarungu.

H0 : Tidak terdapat perbedaan peningkatan tingkat kebersihan rongga mulut setelah

menggunakan metode edukasi VSM dan VKA pada anak tunarungu.

H1 : Terdapat perbedaan peningkatan tingkat kebersihan rongga mulut setelah

menggunakan metode edukasi VSM dan VKA pada anak tunarungu.


66

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan terhadap anak tuna rungu yang berusia 7 hingga 11 tahun

yang bersekolah di SLB B Negeri Cicendo antara bulan Februari sampai Maret

tahun 2018. Jumlah anak yang diperiksa sebanyak 34 orang dan memenuhi kriteria

inklusi yang terdiri dari 20 anak lelaki dan 14 anak perempuan dengan rentang usia

7 sampai 11 tahun. Kelompok pertama diberikan metode edukasi video self-

modeling (VSM) dan kelompok kedua diberikan metode edukasi video kartun

animasi (VKA). Kedua jenis video edukasi telah divalidasi konten oleh ahlinya.

Teknik penyikatan gigi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

modified Bass. Pengetahuan, sikap dan perilaku dinilai menggunakan kuesioner

yang telah tervalidasi. Kebersihan gigi dan mulut diperoleh melalui pemeriksaan

Oral Hygiene Index (OHI-S) menurut Green dan Vermilion. Deskripsi sampel dan

rerata nilai pengetahuan, sikap, dan perilaku sebelum dan sesudah pemberian media

edukasi berdasarkan jenis video edukasi yang digunakan dapat dilihat pada tabel

4.1 dan 4.2.

Subjek penelitian pada kelompok VSM terdiri dari 9 anak lelaki dan 8 anak

perempuan. Pada tabel 4.1 terlihat bahwa rerata nilai pengetahuan sebelum

pemberian edukasi VSM sebesar 5,41 mengalami peningkatan menjadi 7,53. Rerata

nilai sikap sebelum pemberian edukasi VSM sebesar 20,29 mengalami peningkatan
67

Tabel 4.1 Deskripsi rerata nilai pengetahuan, sikap, dan perilaku sebelum dan
sesudah pemberian media edukasi VSM

Variabel Sebelum Sesudah

Jenis Kelamin
Lelaki 9 9
Perempuan 8 8
Nilai Pengetahuan
Rerata 5,41 7,53
Standar deviasi 1,77 1,28
n 17 17
Nilai Sikap
Rerata 20,29 25,06
Standar deviasi 2,87 1,60
n 17 17
Nilai Perilaku
Rerata 7,18 8,94
Standar deviasi 1,29 0,83
n 17 17

menjadi 25,06. Rerata nilai perilaku sebelum pemberian edukasi VSM sebesar 7,18

mengalami peningkatan menjadi 8,94.

Subjek penelitian pada kelompok VSM terdiri dari 11 anak lelaki dan 6 anak

perempuan. Pada tabel 4.2 terlihat bahwa rerata nilai pengetahuan sebelum

pemberian edukasi VSM sebesar 3,82 mengalami peningkatan menjadi 7,24. Rerata

nilai sikap sebelum pemberian edukasi VSM sebesar 16,65 mengalami peningkatan

menjadi 24,00. Rerata nilai perilaku sebelum pemberian edukasi VSM sebesar 6,00

mengalami peningkatan menjadi 8,35.


68

Tabel 4.2 Deskripsi rerata nilai pengetahuan, sikap, dan perilaku sebelum dan
sesudah pemberian media edukasi VKA

Variabel Sebelum Sesudah

Jenis Kelamin
Lelaki 11 11
Perempuan 6 6
Nilai Pengetahuan
Rerata 3,82 7,24
Standar deviasi 1,74 1,20
n 17 17
Nilai Sikap
Rerata 16,65 24,00
Standar deviasi 3,14 1,97
n 17 17
Nilai Perilaku
Rerata 6,00 8,35
Standar deviasi 1,46 1,22
n 17 17

Pada penelitian ini, perubahan tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku dinilai

berdasarkan kuesioner yang diberikan pada saat awal (pre test) dan akhir penelitian

(post test). Tabel 4.3 menunjukkan bahwa pada tiap kelompok video edukasi

mengalami peningkatan pengetahuan yang dapat dilihat dari selisih nilai rerata post

test dengan pre test.

Tabel 4.3 Analisis Perubahan Nilai Pre test dan Post test Pengetahuan dengan
metode edukasi Video Self-Modelling dan Video Kartun Animasi

Media n Rerata SD z- hitung p-value


edukasi Pengetahuan
VSM 17 14.1
28.28 2.02 0.0439
VKA 17 20.9
Keterangan: VSM = Video Self-Modelling
VKA = Video Kartun Animasi
n = Sampel
SD = Standar Deviasi
p-value = Nilai kepercayaan (<0,05)
69

Pada kelompok VSM selisih nilai rerata pengetahuan post test dengan pre test

adalah 14,1, sedangkan pada kelompok VKA sebesar 20,9. Selisih nilai rerata

pengetahuan pre test dan post test kemudian dianalisis menggunakan Wilcoxon -

Mann/Whitney Test untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan nilai pengetahuan

anak tunarungu sebelum dan sesudah pemberian metode edukasi.

Tabel 4.4. Analisis Perubahan Nilai Pre test dan Post test Sikap dengan metode
edukasi Video Self-Modelling dan Video Kartun Animasi

Media n Rerata SD z-hitung p-value


edukasi Sikap
VSM 17 13.0
28.85 2.67 0,0076
VKA 17 22.0
Keterangan: VSM = Video Self-Modelling
VKA = Video Kartun Animasi
n = Sampel
SD = Standar Deviasi
p-value = Nilai kepercayaan (<0,05)

Pada kelompok VSM selisih nilai rerata sikap post test dengan pre test adalah

13,00 sedangkan pada kelompok VKA sebesar 20,9. Selisih nilai rerata sikap pre

test dan post test kemudian dianalisis menggunakan Wilcoxon - Mann/Whitney Test

untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan nilai sikap anak tunarungu sebelum dan

sesudah pemberian metode edukasi. Hasil perubahan sikap tentang kesehatan gigi

dan mulut setelah pemberian metode edukasi dengan VSM dan VKA terlihat pada

tabel 4.4.

Pada kelompok VSM selisih nilai rerata perilaku post test dengan pre test adalah

15,4 sedangkan pada kelompok VKA sebesar 19,6. Selisih nilai rerata perilaku pre

test dan post test kemudian dianalisis menggunakan Wilcoxon - Mann/Whitney Test

untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan nilai sikap anak tunarungu sebelum dan

sesudah pemberian metode edukasi. Hasil perubahan perilaku tentang kesehatan


70

gigi dan mulut setelah pemberian metode edukasi dengan VSM dan VKA terlihat

pada tabel 4.5.

Tabel 4.5 Analisis Perubahan Nilai Pre test dan Post test Perilaku dengan
metode edukasi Video Self-Modelling dan Video Kartun Animasi

Media n Rerata SD z-hitung p-value


edukasi Perilaku
VSM 17 15.4
26.93 1.34 0.1813
VKA 17 19.6
Keterangan: VSM = Video Self-Modelling
VKA = Video Kartun Animasi
n = Sampel
SD = Standar Deviasi
p-value = Nilai kepercayaan (<0,05)

Hasil perubahan tingkat kebersihan rongga mulut pada anak tunarungu setelah

pemberian metode edukasi dengan VSM dan VKA diperoleh melalui pemeriksaan

Oral Hygiene Index (OHI-S) menurut Green dan Vermilion. Teknik penyikatan gigi

yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode modified Bass.

Nilai rerata tingkat kebersihan rongga mulut berdasarkan


Chart Title
OHIS
0.5
0.45
0.4
0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
Video Self-modelling Video Kartun Animasi

Awal Kontrol I Kontrol II Akhir

Gambar 4.1. Nilai rerata tingkat kebersihan rongga mulut dilihat dari
jenis metode edukasi pada awal hingga akhir.
71

Menurut uji statistik t-test berpasangan terhadap hasil perhitungan OHI-S

sebelum dan sesudah pemberian media edukasi VSM, terdapat perbedaan yang

cukup signifikan. Begitu juga dengan hasil perhitungan OHI-S sebelum dan

sesudah pemberian media edukasi VKA. Hasil perubahan OHI-S pada saat awal

dan akhir terdapat pada gambar 4.1.

Pada kedua metode video edukasi yang diberikan kemudian dilakukan uji

komparasi dengan menggunakan t-test tidak berpasangan, seperti pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Analisis uji perbandingan 2 sampel tidak berpasangan dengan t-test
tidak berpasangan untuk melihat perbandingan tingkat kebersihan
rongga mulut setelah pemberian metode edukasi VSM dan VKA

Media n Rerata SD t-hitung p-value


Edukasi OHIS
VSM 17 0.65 0.65
0.48 0.6353
VKA 17 0.72 0.45
Keterangan: VSM = Video Self-Modelling
VKA = Video Kartun Animasi
n = Sampel
SD = Standar Deviasi
p-value = Nilai kepercayaan (<0,05)

Tabel 4.6 memperlihatkan rerata perhitungan OHI-S pada anak tunarungu dengan

penggunaan metode edukasi VSM adalah 0,65 dan metode edukasi VKA sebesar

0,72.

4.2. Pengujian Hipotesis

Hipotesis 1 : Penggunaan metode edukasi VSM dan VKA akan meningkatkan

pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut pada anak tunarungu.

H0 : 1 = 2 ; tidak terdapat peningkatan pengetahuan tentang kesehatan gigi dan

mulut pada anak tunarungu.


72

H1 : 1 ≠ 2 ; terdapat peningkatan pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut

pada anak tunarungu.

Kriteria uji tolak H0 jika p-value < (0,05).

Hasil pengujian hipotesis pertama dilakukan dengan uji Wilcoxon - Mann/Whitney

Test yang terlihat pada tabel 4.3 menunjukkan p-value sebesar 0,0439, dengan

demikian H0 ditolak atau bersifat signifikan.

Hipotesis 1 diterima.

Hipotesis 2 : Penggunaan metode edukasi VSM dan VKA akan meningkatkan

sikap tentang kesehatan gigi dan mulut pada anak tunarungu.

H0 : 1 = 2 ; tidak terdapat peningkatan sikap tentang kesehatan gigi dan mulut pada

anak tunarungu.

H1 : 1 ≠ 2 ; terdapat peningkatan sikap tentang kesehatan gigi dan mulut pada anak

tunarungu.

Kriteria uji tolak H0 jika p-value < (0,05).

Hasil pengujian hipotesis pertama dilakukan dengan uji Wilcoxon - Mann/Whitney

Test yang terlihat pada tabel 4.4 menunjukkan p-value sebesar 0,0076, dengan

demikian H0 ditolak atau bersifat signifikan.

Hipotesis 2 diterima.

Hipotesis 3 : Penggunaan metode edukasi VSM dan VKA akan meningkatkan

perilaku tentang kesehatan gigi dan mulut pada anak tunarungu.

H0 : 1 = 2 ; tidak terdapat peningkatan perilaku tentang kesehatan gigi dan mulut

pada anak tunarungu.


73

H1 : 1 ≠ 2 ; terdapat peningkatan perilaku tentang kesehatan gigi dan mulut pada

anak tunarungu.

Kriteria uji tolak H0 jika p-value < (0,05).

Hasil pengujian hipotesis pertama dilakukan dengan uji Wilcoxon - Mann/Whitney

Test yang terlihat pada tabel 4.5 menunjukkan p-value sebesar 0,1813, dengan

demikian H0 diterima atau bersifat tidak signifikan.

Hipotesis 3 ditolak

Hipotesis 4 : Terdapat perbedaan peningkatan tingkat kebersihan rongga mulut

setelah menggunakan metode edukasi VSM dan VKA pada anak tunarungu.

H0 : 1 = 2 ; tidak terdapat perbedaan peningkatan tingkat kebersihan rongga mulut

pada anak tunarungu.

H1 : 1 ≠ 2 ; terdapat perbedaan peningkatan tingkat kebersihan rongga mulut pada

anak tunarungu.

Hipotesis di atas diuji dengan statistik t berbentuk :

Kriteria uji tolak H0 jika p-value < (0,05).

Uji t-test tidak berpasangan digunakan untuk membandingkan penggunaan kedua

video edukasi pada anak tunarungu. Hasil analisis pada tabel 4.6 menunjukkan p-

value sebesar 0,6353, dengan demikian H0 diterima atau bersifat tidak signifikan.

Hipotesis 4 ditolak
74

4.3 Pembahasan.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh peneliti, tabel 4.1 dan 4.2

menunjukkan adanya peningkatan rerata nilai pengetahuan sebelum dan sesudah

pemberian media edukasi baik VSM maupun VKA. Pada uji statistik terlihat adanya

perubahan peningkatan pengetahuan yang signifikan antara kelompok VSM dan

VKA (tabel 4.3). Metode pembelajaran pada anak tunarungu yang terbaik adalah

metode visual, hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Yanti dkk dengan

menggunakan VKA dalam meningkatkan pengetahuan kesehatan gigi dan mulut

pada anak tunarungu.15 Begitu pula penelitian yang dilakukan Sharmin, diketahui

bahwa anak-anak lebih tertarik pada VKA dibandingkan metode pembelajaran yang

biasa, hal ini dikarenakan video kartun memiliki skenario yang tertulis dengan baik,

efek audio, visual, serta warna yang menarik. Faktor-faktor ini dianggap cukup bagi

anak-anak dalam menyerap informasi.91 Penelitian yang dilakukan Damafitra

menunjukkan bahwa peningkatan pengetahuan dipengaruhi oleh media edukasi

yang digunakan. Media memiliki fungsi memperjelas materi pada saat edukasi dan

meningkatkan kemampuan anak tunarungu dalam menerima pengetahuan. 92

Tabel 4.1 dan 4.2 menunjukkan adanya peningkatan rerata nilai sikap sebelum

dan sesudah pemberian media edukasi baik VSM maupun VKA. Uji statistik

menunjukkan adanya perubahan peningkatan sikap yang sangat signifikan antara

kelompok VSM dan VKA (tabel 4.4). Pada penelitian ini terlihat adanya perubahan

sikap ke arah positif yang dapat didasari atas pengetahuan yang telah diperoleh

sehingga mempengaruhi sikap yang akan diambil dalam menjaga kesehatan gigi

dan mulut.56
75

Tabel 4.1 dan 4.2 menunjukkan adanya peningkatan rerata nilai perilaku

sebelum dan sesudah pemberian media edukasi baik VSM maupun VKA. Namun,

pada uji statistik menunjukkan tidak adanya perubahan peningkatan sikap yang

signifikan antara kelompok VSM dan VKA (tabel 4.5). Penelitian yang dilakukan

Tariq menunjukkan bahwa anak tunarungu kurang memiliki kesadaran akan

pentingnya perawatan kesehatan gigi.93 Kesadaran (awareness) merupakan salah

satu hal yang dialami seseorang sebelum mengadopsi suatu perilaku baru.53

Perubahan perilaku merupakan hal yang kompleks dan dapat berhasil apabila

sumber daya manusia sejajar pada tingkat individu, interpersonal, dan komunitas.94

Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi perubahan perilaku adalah faktor

lingkungan, terutama dari pihak keluarga. Motivasi dan kedisiplinan yang

memerlukan keterlibatan orang tua atau pengasuh dapat membantu terjadinya

perubahan perilaku

Perubahan nilai pre test dan post test secara individual dapat disebabkan oleh

beberapa faktor, diantaranya adalah usia, tingkat pendidikan, lingkungan, dan sosial

budaya.58,92 Pada penelitian ini yang termasuk ke dalam subjek penelitian adalah

anak usia 7-11 tahun, yang apabila dilihat kriteria perkembangan intelektual

menurut Piaget maka termasuk ke dalam tahap operasional konkret. Pada tahap ini,

anak mulai melatih logika, nalar, dan penyelesaian masalah secara tepat. Anak

dapat memecahkan masalah secara konkret, tetapi pemikiran konseptual, teoritis,


51
dan spekulatif belum berkembang. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa

peningkatan yang terjadi secara signifikan hanya sampai pada tingkat pengetahuan
76

dan pengambilan sikap, tetapi belum ke arah perubahan perilaku menjaga kesehatan

gigi dan mulut.

Pada penelitian ini diketahui bahwa terjadi peningkatan kebersihan gigi yang

cukup baik pada kedua kelompok yang dapat dilihat dari gambar 4.1. Saat penelitian

ini dilakukan, terdapat sejumlah anak dengan kondisi rongga mulut dan setelah

dilakukan uji komparasi pada dua kelompok tersebut yang dapat dilihat pada tabel

4.6 diketahui bahwa hasilnya tidak signifikan, hal ini berarti baik VSM maupun

VKA memiliki efektivitas yang sama dalam memberikan edukasi kesehatan gigi

dan mulut bagi anak tunarungu. Edukasi dan perawatan kesehatan gigi dan mulut

yang komprehensif dapat membuat perubahan tingkat pengetahuan dan sikap yang

akan berpengaruh terhadap perilaku anak tunarungu dalam merawat kesehatan gigi

dan mulut.93
77

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Terdapat perbedaan perubahan pengetahuan antara metode edukasi VSM

dengan metode edukasi VKA pada anak tunarungu.

2. Terdapat perbedaan perubahan sikap antara metode edukasi VSM dengan

metode edukasi VKA pada anak tunarungu.

3. Tidak terdapat perbedaan perubahan perilaku antara metode edukasi VSM

dengan metode edukasi VKA pada anak tunarungu.

4. Tidak terdapat perbedaan tingkat kebersihan gigi dan mulut antara metode

edukasi VSM dengan metode edukasi VKA pada anak tunarungu.

5.2 Saran

Saran-saran yang diberikan oleh peneliti antara lain adalah:

1. Video edukasi kesehatan perlu diperluas ke guru, orang tua dan pengasuh

untuk mengajarkan anak teknik penyikatan gigi yang baik dan benar.

2. Waktu penelitian sebaiknya dilakukan lebih panjang untuk melihat

efektivitas dari kedua metode video edukasi terhadap perubahan perilaku

dan kebersihan gigi dan mulut pada anak tunarungu.


78

DAFTAR PUSTAKA

1. Sariyem, Santoso B, Supriyana. Effectiveness of Animation Media toward


Teaching Deaf Students on Dental Hygiene. ARC J Dent Sci. 2017;2(4):1–
4.
2. Sandeep V, Vinay C, Madhuri V, Uloopi K, Sekhar RC, Rao V. Impact of
visual instruction on oral hygiene status of children with hearing
impairment. J Indian Soc Pedod Prev Dent [Internet]. 2014;32(1):39.
Available from: http://www.jisppd.com/text.asp?2014/32/1/39/127053
3. Carissa C, Runkat J, Herdiyati Y. Plaque index between blind and deaf
children after dental health education. Dent J (Majalah Kedokt Gigi)
[Internet]. 2011;44(1):39. Available from: http://e-
journal.unair.ac.id/index.php/MKG/article/view/886
4. Chowdary Pb, Uloopi K, Vinay C, Rao Vv, Rayala C. Impact of verbal,
braille text, and tactile oral hygiene awareness instructions on oral health
status of visually impaired children. J Indian Soc Pedod Prev Dent
[Internet]. 2016;34(1):43. Available from:
http://www.jisppd.com/text.asp?2016/34/1/43/175510
5. Agusta MV, AK AI, Firdausy MD. Hubungan pengetahuan kesehatan gigi
dengan kondisi Oral Hygiene Anak Tunarungu Usia Sekolah. Medali J.
2014;2(1):64–8.
6. Ajami BA, Shabzendedar M, Rezay YA, Asgary M. Dental treatment needs
of children with disabilities. J Dent Res Dent Clin Dent Prospects.
2007;1(2):93–8.
7. Jnaneswar A, Subramaniya GB, Pathi J, Jha K, Suresan V. Assessment of
dental caries and periodontal status in institutionalized hearing impaired
children in Khordha District of Odisha. J Indian Soc Pedod Prev Dent.
2017;35:203–8.
8. Jain M, Mathur A, Kumar S, Dagli RJ, Duraiswamy P, Kulkarni S.
Dentition status and treatment needs among children with impaired hearing
attending a special school for the deaf and mute in Udaipur, India. J Oral
Sci [Internet]. 2008;50(2):161–5. Available from:
http://joi.jlc.jst.go.jp/JST.JSTAGE/josnusd/50.161?from=CrossRef
9. Widasari D. Perbedaan status kesehatan gigi dan mulut pada anak tuna
rungu dengan anak tidak tuna rungu Usia 6 sampai 12 tahun [Internet].
2014. Available from: http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/22177
10. Atmanda NP. INDEKS def-t DAN DMF-T PADA SISWA TUNARUNGU
DI SLB B NEGERI CICENDO BANDUNG. Universitas Padjadjaran;
2011.
11. Norahmasari D. Dukungan Sosial Keluarga Dengan Tingkat Kepercayaan
Diri Anak Yang Mengalami Tunarungu. J Online Psikol. 2014;2(2).
12. Koch G, Poulsen S. Pediatric oral health care : the perspective. In: Koch G,
Poulsen S, editors. Pediatric Dentistry : A clinical approach. 2nd ed. West
Sussex: Wiley; 2009. p. 1–4.
13. Alse ASS, Anandkrishna L, Chandra P, Ramya M, Kamath PS, Shetty AK.
79

Educational intervention on the plaque score among hearing impaired


children. J Adv Clin Res Insights [Internet]. 2015;2:26–30. Available from:
http://jcri.net/eJournals/ShowText.aspx?ID=37&Type=FREE&TYP=TOP
&IN=_eJournals/images/JPLOGO.gif&IID=4&Value=1&isPDF=YES
14. Eriska Riyanti, Risti Saptarini. Upaya Peningkatan Kesehatan Gigi dan
Mulut Melalui Perubahan Perilaku Anak. MIKGI. 2010;11(1):1–12.
15. Yanti GN, Alamsyah RM, Natassa SE. Effectiveness of dental health
education using cartoons video showing method on knowledge and oral
hygiene of deaf children in Yayasan Karya Murni Medan. Int J Appl Dent
Sci. 2017;3(2):86–90.
16. Lees A, Rock WP. A comparison between written,verbal, and videotape
oral hygiene instruction for patients with fixed appliances. J Orthod.
2000;27(4):323–7.
17. Sunanto J. Mengembangkan Potensi Anak Berkelainan Penglihatan.
Jakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI; 2005.
18. Hartini R. Tinjauan persepsi anak-anak terhadap karakter tokoh dan pesan
moral pada film animasi kartun Spongebob Squarepants studi kasus SD
Assalaam Bandung. UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA; 2010.
19. Doichinova L, Peneva M. Motivational Training Programme for Oral
Hygiene of Deaf Children. Int J Sci Res. 2015;4(2):1124–6.
20. Sumaryanti. Pengembangan Model Pembelajaran Jasmani Adaptif Untuk
Optimalisasi Otak Anak Tunagrahita. J Kependidikan. 2010;40(1):29–44.
21. Bektiningsih K. Program terapi anak autis di slb negeri semarang. J
Kependidikan. 2009;XXXIX(2):95–110.
22. Shetty V, Kumar J, Hegde A. Breaking the sound barrier: Oral health
education for children with hearing impairment. Spec Care Dent.
2014;34(3):131–7.
23. Arunakul M, Kuphasuk Y, Boonyathanasit R. Effectiveness of oral hygiene
instruction media on periodontal health among hearing impaired children.
Southeast Asian J Trop Med Public Health [Internet]. 2012;43(5):1297–
302. Available from:
http://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?T=JS&PAGE=reference&D=emed11
&NEWS=N&AN=23431840
24. Pouradeli S, Baneshi MR, Zolala F. Short-term effect of two education
methods on oral health among hearing impairment children. J Oral Heal
Oral Epidemiol. 2016;5(4):221–7.
25. Sadler G, Gunsauls D, Huang J, Padden C, Elion L, T G. Bringing breast
cancer education to deaf women. J Cancer Educ. 2001;16(4):225–8.
26. Orsi J, Margellos-Anast H, Perlman T, Giloth B, Whitman S. Cancer
screening knowledge, attitudes, and behaviors among culturally Deaf
adults: implications for informed decision making. Cancer Detect Prev.
2007;31(6):474–9.
27. Kaskowitz S, Nakaji M, Clark K, Gunsauls D, Sadler G. Bringing prostate
cancer education to deaf men. Cancer Detect Prev. 2006;30(5):439–48.
28. Gibson J, Wade A. Plaque removal by the Bass and Roll brushing
techniques. J Periodontol. 1977;48:456–9.
80

29. Patil S, Patil P, Kashetty M. Effectiveness of different tooth brushing


techniques on the removal of dental plaque in 6-8 year old children of
Gulbarga. J Int Soc Prev Community Dent [Internet]. 2014;4(2):113–6.
Available from: http://www.jispcd.org/text.asp?2014/4/2/113/138305
30. Srivastava N, Gupta G, Rana V. A Comparative Evaluation of Efficacy of
Different Teaching Methods of Tooth Brushing in Children Contributors.
Oral Hyg Heal. 2013;1(3):3–6.
31. Kavvadia K, Polychronopoulou A, Taoufik K. Oral hygiene education
programme for intellectually impaired students attending a special school. J
Disabil Oral Heal. 2009;10(2).
32. Somantri T. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT.Refika Aditama;
2006. 56-57,94,97-99 p.
33. Hallahan D, Kauffman J. Exceptionality Childern Introduction to Special
Education. 5th ed. New Jersey: Prentice Hall International; 1991.
34. Guyton A. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed. Jakarta: EGC; 2008.
35. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran Akibat
Bising (Noise Induced Hearing Loss). Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. 6th
ed. FKUI; 2007.
36. Kirk S, Gallagher J. Educating Exceptionality Children. Boston: Houghton
Mifflin Company; 1989.
37. Hilgert N, Smith RJH, Van Camp G. Forty-six genes causing
nonsyndromic hearing impairment: Which ones should be analyzed in
DNA diagnostics? Mutat Res - Rev Mutat Res. 2009;681(2–3):189–96.
38. Shearer AE, Hildebrand MS, Smith RJ. Hereditary Hearing Loss and
Deafness Overview [Internet]. 1999. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK1434/
39. Hernawati T. Pengembangan Kemampuan Berbahasa Dan Berbicara Anak
Tunarungu. Juni. 2007;7(1):101–10.
40. Waldstein RS. Effects of postlingual deafness on speech production:
implications for the role of auditory feedback. J Acoust Soc Am [Internet].
1990;88(5):2099–114. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2269726
41. Melinda E, Heryati I. Persepsi Bunyi dan Irama Bagi Anak Berkebutuhan
Khusus. Jakarta: PT.Luxima Metro Media; 2013.
42. Suparno. Pendidikan Anak Tunarungu (Pendekatan Orthodidantik).
Universitas Negeri Yogyakarta; 2001. 8-55 p.
43. Mulyana D. Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya; 2002. 41 p.
44. Burton G. Yang Tersembunyi Di Balik Media (Pengantar Kepada Kajian
Media). Yogyakarta: Jalasutra; 2008.
45. Septiani D, Meiyani N, Assjari M. Pengembangan Komunikasi Verbal pada
Anak Tunarungu. JASSI Anakku. 2010;9(2):124–30.
46. Communication Methods [Internet]. Deaf Children Australia. 2012.
Available from: www.deafchildrenaustralia.org.au
47. Siddiqui FA. Access to oral health care for persons who are d / Deaf in
Montreal : A focused ethnography. McGill University; 2016.
81

48. Mumpuniarti. Pendekatan Pembelajaran Bagi Anak Hambatan Mental.


Yogyakarta: Kanwa publisher; 8-10 p.
49. Mayberry RI. Cognitive development in deaf children: The interface of
language and perception in neuropsychology. In: Segalowitz S., Rapin I,
editors. Handbook of Neuropsychology. 2nd ed. Elsevier Science B.V;
2002. p. 71–107.
50. Efriyanti R, Sumaryanti. Pengembangan Model Permainan Untuk
Pembelajaran Kinestetik Pada Anak Tunanetra. J Keolahragaan.
2016;4(1):74–84.
51. JW Santrock. Child Development. New York: McGraw Hill; 2011.
52. Paranti KAR. Hubungan Tingkat Keparahan Karies Pada Siswa SD Usia
10-12 Tahun Dengan Perilaku Ibu Di SDN Tanjungrejo III Kota Malang.
Universitas Brawijaya; 2010.
53. Notoarmodjo S. Kesehatan Masyarakat : Ilmu dan Seni. Rineka Cipta;
2007. 143 p.
54. Notoatmodjo S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta;
2003. 16,65,73-74,114,121.
55. S Azwar. Reliabilitas dan Validitas Data. Yogyakarta: Pustaka Belajar;
2000. Yogyakarta: Pustaka Belajar; 2000.
56. Purwanto H. Pengantar Perilaku Manusia Untuk Keperawatan. Jakarta:
EGC; 1998.
57. Rutter M. The Interplay of Nature, Nurture, and Developmental Influences :
The challange ahead for mental health. Arch Gen Psychiatry. 2002;59:996–
1000.
58. Litkesbang. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia; 2013.
59. Arikunto, Suharsimi, Suhardjono, Supardi. Penelitian Tindakan Kelas.
Jakarta: Bumi Aksara; 2010.
60. Das U, Singhal P. Tooth brushing skills for the children aged 3-11 years. J
Indian Soc Pedod Prev Dent [Internet]. 2009;27(2):104–7. Available from:
http://www.jisppd.com/text.asp?2009/27/2/104/55335
61. Mescher KD, Brine P, Biller I. Ability of elementary school children to
perform sulcular toothbrushing as related to their hand function ability.
Pediatr Dent. 1980;2(1):31–6.
62. Azrina AN, Norzuliza G, Saub R, Saub R. Oral Hygiene Practices Among
the Visually Impaired Adolescents. Ann Dent Univ Malaya. 2007;14(7):1–
6.
63. Tagelsir A, Khogli AE, Nurelhuda NM. Oral health of visually impaired
schoolchildren in Khartoum State , Sudan. BMC Oral Health.
2013;13(33):1–8.
64. Ganapathi AK, Namineni S, Vaaka PH, Vamsilatha, Das R, Devi M, et al.
Effectiveness of Various Sensory Input Methods in Dental Health
Education Among Blind Children- A Comparative Study. J Clin Diagnostic
Res [Internet]. 2015;9(10):75–8. Available from:
http://jcdr.net/article_fulltext.asp?issn=0973-
709x&year=2015&volume=9&issue=10&page=ZC75&issn=0973-
82

709x&id=6686
65. Newman M, Takei H, Klokkevold P. Plaque Control for the Periodontal
Patient. In: DA Perry, editor. Carranza’s Clinical Periodontology. 2012. p.
452–60.
66. Cugini M, Thompson M, Paul R. Warren. Correlations Between Two
Plaque Indices in. J Contemp Dent Pract. 2006;7(5):1–9.
67. Collins FM. Toothbrush technology , dentifrices and dental biofilm
removal. Ada Cerp [Internet]. 2014;(March). Available from:
https://www.dentalacademyofce.com/courses/2076/pdf/1103cei_toothbrush
_rev1.pdf
68. Marwah N. Textbook of Pediatric Dentistry. Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2014.
69. Arathi R. Principles and Practice of Pedodontics. Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2012. 339-360 p.
70. S Hiremath. Textbook of Preventive and Community Dentistry. 2007.
71. Sadiman A, Rahardjo R, A Haryono. Media Pendidikan : Pengertian,
pengembangan, dan pemanfaatannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada;
2005.
72. Astoeti T. Total Quality Management dalam Pendidikan Kesehatan Gigi di
Sekolah. 1st ed. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada; 2006.
73. Sartika L. Pengaruh Pemutaran video Pantomim “Daily Activity” Untuk
Meningkatkan Kemampuan Menyimak Bagi Siswa Tunarungu Tingkat
Dasar Kelas IV (Studi Eksperimen Dengan Desain “One Group Pretest
Posttest Desain”) di SLB Sindangsari Ciamis. Universitas Pendidikan
Indonesia; 2013.
74. Fajrianto R. Perancangan Media Pembelajaran Interaktif Mata Pelajaran
IPA Untuk Siswa Kelas VIII SMPLB Tunarungu Dengan Materi “
Memahami Sistem Dalam Tubuh Manusia". J Tek POMITS. 2012;1(1):1–
4.
75. Conlin D, Paivio. The associative learning of the deaf: The effects of word
imagery and signability. Mem Cogn. 1875;3:333–40.
76. Hujair A, Sanaky. Media Pembelajaran. Yogyakarta: Safiria Insania Press;
2009.
77. Bandura A. SOCIAL COGNITIVE THEORY : An Agentic Perspective.
Annu Rev Psychol. 2001;52:1–26.
78. Bandura A. Self-efficacy: Toward a unifying theory of behavioral change.
Vol. 84, Psychological Review. 1977. p. 191–215.
79. Dowrick P. A review of self modeling and related interventions. Appl Prev
Psychol. 2000;8(1):23–39.
80. Bellini S, Peters JK, Benner L, Hopf A. A Meta-Analysis of School-Based
Social Skills Interventions for Children With Autism Spectrum Disorders
FOR. Remedial Spec Educ. 2015;28(3):153–62.
81. Margaretha SEPM. Efektifitas Video Self Modelling Terhadap
Kemampuan Menggosok Gigi pada Anak dengan Autisme Spectrum
Disorders di Karesidenan Banyumas. Universitas Indonesia; 2012.
82. Dowrick P. Practical guide to using video in the behavioral sciences. New
83

York: Wiley Interscience; 1991.


83. Maulana HD. Kesehatan dan Promosi Kesehatan. In: Promosi Kesehatan.
Jakarta: EGC; 2009. p. 2–7.
84. Yousaf Z, Shehzad M, Ali Hassan S. Effects of Cartoon Network on the
Behavior of School Going Children (A Case Study of Gujrat City). Int Res
J Interdiscip Multidiscip Stud A Peer-Reviewed Mon Res J [Internet].
2015;1(1):173–9. Available from: http://www.irjims.com
85. Depkes. Pedoman Pelaksanaan Usaha Kesehatan Gigi Sekolah. Jakarta,
Jakarta: Direktorat Kesehatan Gigi; 2000.
86. Tayanin G. Simplified Oral Hygiene Index [Internet]. MALMÖ
UNIVERSITY. 2017. Available from:
https://www.mah.se/CAPP/Methods-and-Indices/Oral-Hygiene-
Indices/Simplified-Oral-Hygiene-Index--OHI-S/.
87. Houwink B, Backer-Dirk O, Dermaut L. Ilmu Kedokteran Gigi
Pencegahan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press; 1993.
88. Machfoedz I, Zein A. Menjaga kesehatan Gigi dan Mulut Anak-anak dan
Ibu Hamil. Tramaya. Yogyakarta; 2005.
89. Dowricks P. Self model theory : learning from the future. John & Wiley,
Ltd; 2011.
90. Stoll F, Catherman J. Dental Health Education. 4th ed. Philadelphia: Lea &
Febiger; 1972.
91. Habib K, Soliman T. Cartoons ’ Effect in Changing Children Mental
Response and Behavior. Open J Sch Sci. 2015;3(September):248–64.
92. Damafitra L. Efektivitas Video dan Bahasa Isyarat sebagai Media
Penyuluhan Kesehatan Terhadap Peningkatan Pengetahuan Kesehatan Gigi
dan Mulut pada Anak Penderita Tunarungu. Universitas Jember; 2015.
93. Tariq K, Suqrat H, Imam H, Parvez MA. Knowledge , Attitude and
Practices Before and After Dental Health Education among Hearing and
Speech Impaired Children. APMC. 2017;11(3):222–6.
94. Susan J. Curry RJM. Behavior Change Theory in Health Education and
Promotion [Internet]. Oxford Index. 2016. Available from:
http://oxfordindex.oup.com/view/10.1093/obo/9780199756797-0035

RIWAYAT PENDIDIKAN PENULIS


84

Penulis lahir di Jakarta, 2 Agustus 1985

1. Tahun 1997 lulus Sekolah Dasar Mutiara 17 Agustus, Bekasi

2. Tahun 2000 lulus Sekolah Menengah Pertama Mutiara 17 Agustus, Bekasi

3. Tahun 2003 lulus Sekolah Menengah Atas Negeri 1, Bekasi

4. Tahun 2012 lulus Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Prof. Dr. Moestopo

(B), Jakarta

5. Tahun 2015– sekarang, peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis

Ilmu Kedokteran Gigi Anak di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Padjadjaran Bandung, Jawa Barat


85

LAMPIRAN

Lampiran 1
86

Lampiran 2
87

Lampiran 3

PSP untuk orangtua/wali

SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN (PSP)


UNTUK IKUT SERTA DALAM PENELITIAN
DENGAN SUBJEK ANAK
(INFORMED CONSENT)

Saya telah membaca atau memperoleh penjelasan, sepenuhnya menyadari, mengerti,


dan memahami tentang tujuan, manfaat, dan risiko yang mungkin timbul dalam
penelitian, serta telah diberi kesempatan untuk bertanya dan telah dijawab dengan
memuaskan, juga sewaktu-waktu dapat mengundurkan diri anak/adik saya dari keikut-
sertaannya, maka saya setuju/tidak setuju*) ikut dalam penelitian ini, yang berjudul:

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS DUA METODE VIDEO EDUKASI PENYIKATAN GIGI


TERHADAP
TINGKAT KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT PADA ANAK TUNARUNGU

Saya dengan sukarela memilih anak/adik saya untuk ikut serta dalam penelitian ini tanpa
tekanan/paksaan siapapun. Saya akan diberikan salinan lembar penjelasan dan formulir
persetujuan yang telah saya tandatangani untuk arsip saya.
Saya setuju:
Ya/Tidak*)

Tgl.: Tanda tangan (bila tidak


bisa dapat digunakan cap
jempol)
Nama Anak/Adik saya:
Umur:
Alamat:
Nama Orang Tua Wali:

Nama Peneliti:

Nama Saksi:

*) coret yang tidak perlu


88

Lampiran 4

Nama :
Jenis kelamin : lelaki / perempuan
Kelas :
Usia :
Tanggal :

Pilihlah jawaban yang menurut Kamu paling tepat dan sesuai dengan kondisi
Kamu. Beri tanda silang (X) pada jawaban yang kamu pilih
Pengetahuan kode: 1-betul
0-salah
1. Gigi yang sehat adalah :
a) Gigi yang putih
b) Gigi yang tidak berlubang
c) Gigi yang berwarna kekuningan

2. Waktu yang tepat untuk menyikat gigi :


a) Setiap mandi sore
b) Sebelum tidur malam
c) Sesudah makan malam

3. Permukaan gigi yang harus disikat adalah :


a) Bagian depan saja
b) Seluruh permukaan gigi
c) Bagian gigi yang dipakai untuk mengunyah

4. Waktu yang tepat untuk menyikat gigi?


a) Tidak tahu
b) Sekitar 2 menit
c) Sekitar 30 detik

5. Kebiasaan yang baik adalah :


a) Sering makan makanan manis
b) Memakai sikat gigi secara bergantian
c) Sikat gigi dengan pasta gigi yang mengandung fluor
6.Berapa jumlah gigi sulung?
a) 15
b) 20
c) 25
89

7. Berapa jumlah gigi permanen?


a) 24
b) 30
c) 32

8. Pada gigi atas, bagian mana yang dilakukan penyikatan?


a) Depan saja
b) Belakang saja
c) Depan dan belakang

9. Pada gigi bawah, bagian mana yang dilakukan penyikatan?


a) Depan saja
b) Belakang saja
c) Depan dan belakang

Sikap
1. Saya lebih suka menyikat gigi ketika mandi karena lebih praktis
a) Sangat tidak setuju
b) Tidak setuju
c) Kurang setuju
d) Setuju
e) Sangat setuju

2. Saya tidak mau menyikat gigi pada malam hari sebelum tidur
a) Sangat setuju
b) Setuju
c) Kurang setuju
d) Tidak setuju
e) Sangat tidak setuju

3. Saya mau mengganti sikat gigi saya apabila bentuk bulu sikatnya sudah
rusak
a) Sangat tidak setuju
b) Tidak setuju
c) Kurang setuju
d) Setuju
e) Sangat setuju

4. Saya tidak mau menggunakan pasta gigi ketika menyikat gigi


a) Sangat tidak setuju
b) Tidak Setuju
c) Kurang setuju
d) Setuju
90

e) Sangat setuju

5. Menurut Kamu, menyikat gigi hanya perlu waktu 15 detik


a) Sangat tidak setuju
b) Tidak setuju
c) Kurang setuju
d) Setuju
e) Sangat setuju

6. Saya tidak mau menyikat gigi dengan teknik penyikatan gigi yang telah
diajarkan
a) Sangat setuju
b) Setuju
c) Kurang setuju
d) Tidak setuju
e) Sangat tidak setuju
Perilaku
1. Kamu menyikat gigi setiap hari?
a) Ya
b) Tidak

2. Apakah pasta gigi yang kamu gunakan inginkan mengandung fluor?


a) Ya
b) Tidak

3. Pernahkah Kamu memakai sikat gigi orang lain?


a) Ya
b) Tidak

4. Apakah Kamu menyikat gigi sebelum tidur?


a) Ya
b) Tidak

5. Apakah esudah sarapan Kamu menyikat gigi?


a) Ya
b) Tidak

6. Apakah kamu menyikat seluruh permukaan gigi?


a) Ya
b) Tidak

7. apakah kamu mengikuti intruksi penyikatan gigi yang telah diajarkan ?


a) ya
91

b) tidak

8. Kamu akan selalu menyikat gigi setiap hari, meskipun tidak disuruh oleh
orang tua
a)ya
b)tidak

9. Menurut Kamu, apakah perlu menyikat gigi hingga 2 menit?


a) ya
b) tidak

10. Kamu selalu menyikat lidah setelah menyikat gigi?


a) Ya
b) Tidak
92

Lampiran 5
93

Lampiran 6

Hasil pengukuran data kuesioner pengetahuan dari dua kelompok.

Kelompok VSM
NO jenis awal akhir
kelamin Pengetahuan Pengetahuan selisih
1 L 4 6 2
2 L 9 10 1
3 L 6 8 2
4 L 8 9 1
5 P 7 8 1
6 P 5 6 1
7 L 8 9 1
8 P 6 8 2
9 P 4 6 2
10 P 4 8 4
11 P 3 7 4
12 L 5 6 1
13 P 6 8 2
14 P 5 9 4
15 L 4 7 3
16 L 5 7 2
17 L 3 6 3
Kelompok VKA
NO jenis awal akhir
kelamin Pengetahuan Pengetahuan selisih
1 P 3 8 5
2 L 3 5 2
3 L 2 6 4
4 L 3 5 2
5 P 5 7 0
6 L 5 8 3
7 L 5 7 2
8 L 6 9 3
9 L 7 8 1
10 L 1 6 5
11 P 5 8 3
12 P 5 7 2
13 L 5 7 2
14 L 4 8 4
15 L 3 7 4
16 P 1 8 7
17 P 3 8 5
94

No. Label Data Rank


1 A 2 14
2 A 1 5
3 A 2 14
4 A 1 5
5 A 1 5
6 A 1 5
7 A 1 5
8 A 2 14
9 A 2 14
10 A 4 27.5
11 A 4 27.5
12 A 1 5
13 A 2 14
14 A 4 27.5
15 A 3 22
16 A 2 14
17 A 3 22
18 B 5 31.5
19 B 2 14
20 B 4 27.5
21 B 2 14
22 B 0 1
23 B 3 22
24 B 2 14
25 B 3 22
26 B 1 5
27 B 5 31.5
28 B 3 22
29 B 2 14
30 B 2 14
31 B 4 27.5
32 B 4 27.5
33 B 7 33.5
34 B 7 33.5
95

Lampiran 7

Hasil pengukuran data kuesioner sikap dari dua kelompok.

Kelompok VSM
NO jenis awal akhir
kelamin Sikap Sikap selisih
1 L 22 27 5
2 L 24 26 2
3 L 20 26 6
4 L 22 25 3
5 P 25 27 2
6 P 19 25 6
7 L 20 24 4
8 P 23 27 4
9 P 20 23 3
10 P 17 24 7
11 P 19 22 3
12 L 18 24 6
13 P 25 27 2
14 P 17 26 9
15 L 20 26 6
16 L 19 24 5
17 L 15 23 8
Kelompok VKA
NO jenis awal akhir
kelamin Sikap Sikap selisih
1 P 14 25 11
2 L 12 23 11
3 L 16 25 9
4 L 14 22 8
5 P 23 27 4
6 L 18 23 5
7 L 19 25 6
8 L 19 23 4
9 L 19 26 7
10 L 14 19 5
11 P 18 25 7
12 P 20 26 6
13 L 20 23 3
14 L 15 24 9
15 L 14 22 8
16 P 16 26 10
17 P 14 25 11
96

No. Label Data Rank


1 A 5 13.5
2 A 2 2
3 A 6 18.5
4 A 3 5.5
5 A 2 2
6 A 6 18.5
7 A 4 9.5
8 A 4 9.5
9 A 3 5.5
10 A 7 23
11 A 3 5.5
12 A 6 18.5
13 A 2 2
14 A 9 29
15 A 6 18.5
16 A 5 13.5
17 A 8 26
18 B 11 32.5
19 B 11 32.5
20 B 9 29
21 B 8 26
22 B 4 9.5
23 B 5 13.5
24 B 6 18.5
25 B 4 9.5
26 B 7 23
27 B 5 13.5
28 B 7 23
29 B 6 18.5
30 B 3 5.5
31 B 9 29
32 B 8 26
33 B 10 31
34 B 12 34
97

Lampiran 8

Hasil pengukuran data kuesioner perilaku dari dua kelompok.

Kelompok VSM
NO jenis awal akhir
kelamin perilaku perilaku selisih
1 L 8 9 1
2 L 8 10 2
3 L 6 8 2
4 L 6 10 4
5 P 8 10 2
6 P 7 9 2
7 L 7 9 2
8 P 8 10 2
9 P 8 9 1
10 P 8 9 1
11 P 7 9 2
12 L 6 9 3
13 P 8 9 1
14 P 10 9 -1
15 L 5 7 2
16 L 7 8 1
17 L 5 8 3
Kelompok VKA
NO jenis awal akhir
kelamin perilaku perilaku selisih
1 P 5 9 4
2 L 5 7 2
3 L 3 5 2
4 L 3 8 5
5 P 7 9 2
6 L 7 9 2
7 L 7 8 1
8 L 7 9 2
9 L 8 9 1
10 L 5 7 2
11 P 6 9 3
12 P 6 10 4
13 L 8 9 1
14 L 6 8 2
15 L 6 8 2
16 P 7 10 3
17 P 6 8 2
98

No. Label Data Rank


1 A 1 5.5
2 A 2 18
3 A 2 18
4 A 4 32
5 A 2 18
6 A 2 18
7 A 2 18
8 A 2 18
9 A 1 5.5
10 A 1 5.5
11 A 2 18
12 A 3 28.5
13 A 1 5.5
14 A -1 1
15 A 2 18
16 A 1 5.5
17 A 3 28.5
18 B 4 32
19 B 2 18
20 B 2 18
21 B 5 34
22 B 2 18
23 B 2 18
24 B 1 5.5
25 B 2 18
26 B 1 5.5
27 B 2 18
28 B 3 28.5
29 B 4 32
30 B 1 5.5
31 B 2 18
32 B 2 18
33 B 3 28.5
34 B 2 18
99

Lampiran 9

Hasil pengukuran tingkat kebersihan gigi dan mulut dari dua kelompok.

KELOMPOK VSM
TANGGAL
NO jenis 22 februari 2 maret 9 maret 16 maret 21 maret
kelamin (awal) kontrol 1 kontrol 2 kontrol 3 (akhir)
1 L 1 1 0.5 0.33 1
2 L 1.17 0.17 0.17 0.33 0.17
3 L 1 0.67 0.67 0.17 0.33
4 L 1.33 1.17 0.83 0.83 1
5 P 1 0.5 0.5 0.33 0.33
6 P 1.17 1.17 0.83 0.67 0.33
7 L 1.5 0.83 1 1 0.83
8 P 2.17 2.17 1 0.83 0.83
9 P 0.83 0.17 0.5 0.5 0.33
10 P 1.33 0.67 0.33 0.5 0.67
11 P 1 1 0.83 0.5 1
12 L 2.17 1.33 1 0.5 0.5
13 P 2.17 2 2.17 2.33 2.33
14 P 1.17 0.83 0 0.33 0.17
15 L 1.67 1 0.5 0.83 0.83
16 L 1.33 0.67 0.5 0.67 1
17 L 1.33 0.83 0.5 0.83 1
KELOMPOK VKA
TANGGAL
NO jenis 22 februari 2 maret 9 maret 16 maret 21 maret
kelamin (awal) kontrol 1 kontrol 2 kontrol 3 (akhir)
1 P 0.5 0.67 0.33 0.33 0.67
2 L 1.67 1.17 1.17 1 0.83
3 L 1.67 1.33 1 1 1.17
4 L 1.5 1.17 0.67 0.67 0.33
5 P 1.17 0.33 0.67 0.33 0.33
6 L 1.33 1 1 0.83 0.83
7 L 1 0.67 0.17 0.5 0.33
8 L 1.83 1.33 1.67 1.17 0.67
9 L 1.33 0.67 0.67 0.5 0.67
10 L 1.33 1 0.83 1 1
11 P 1.83 1.5 1.67 0.67 1
12 P 1.5 1.33 1.17 1 1
13 L 0.83 1.33 1.17 1.17 1.33
14 L 1.5 1 0.67 0.83 0.5
15 L 2 1.17 1 0.17 0.33
16 P 1.33 0.83 0.33 0.67 1
17 P 0.67 1 0.33 0.67 1.17
100

A B Hypothesis Test: Independent Groups


0 0.17
1 0.84 A B
0.67 0.5 0.65 0.72 mean
0.33 1.17 0.45 0.38 std. dev.
0.67 0.84 17 17 n
0.84 0.5
0.67 0.67 32 df
1.34 1.16 -0.06824 difference (A - B)
0.5 0.66 0.17257 pooled variance
0.66 0.33 0.14248 standard error of difference
hypothesized
0 0.83 0.00000 difference
1.67 0.5
0.16 0.5 -0.48 t
1 1 .3176 p-value (one-tailed)
0.84 1.67 .6353 p-value (two-tailed)
0.33 0.33
0.33 0.5
n 17 17
rata2 0.65 0.72
std 0.45 0.38
101

Lampiran 10

Analisa data perubahan OHI-S kelompok VSM pada saat pemeriksaan awal,

kontrol, dan akhir.

sample A vs 1 2 vs 1 3 vs 2 A vs 3
1 0 0.5 0.17 0.67
2 1 0 0.16 0.16
3 0.33 0 0.5 0.16
4 0.16 0.34 0 0.17
5 0.5 0 0.17 0
6 0 0.34 0.16 0.34
7 0.67 0.17 0 0.17
8 0 1.17 0.17 0
9 0.66 0.33 0 0.17
10 0.66 0.34 0.17 0.17
11 0 0.17 0.33 0.5
12 0.84 0.33 0.5 0
13 0.17 0.17 0.16 0
14 0.34 0.83 0.33 0.16
15 0.67 0.5 0.33 0
16 0.66 0.17 0.17 0.33
17 0.5 0.33 0.33 0.17

n 17 17 17 17
Rata2 0.42 0.33 0.21 0.19
std 0.32 0.30 0.15 0.19
t hitung 5.37 4.60 5.80 4.13
3.13131E- 1.37E-
p-value 05 0.000149 05 0.00039
Sifat Sign Sign Sign Sign
Ket Beda Beda Beda Beda
102

Lampiran 11

Analisa data perubahan OHI-S kelompok VKA pada saat pemeriksaan awal,

kontrol, dan akhir.

sample A vs 1 2 vs 1 3 vs 2 A vs 3
1 0.17 0.34 0 0.34
2 0.5 0 0.17 0.17
3 0.34 0.33 0 0.17
4 0.33 0.5 0 0.34
5 0.84 0.34 0.34 0
6 0.33 0 0.17 0
7 0.33 0.5 0.33 0.17
8 0.5 0.34 0.5 0.5
9 0.66 0 0.17 0.17
10 0.33 0.17 0.17 0
11 0.33 0.17 1 0.33
12 0.17 0.16 0.17 0
13 0.5 0.16 0 0.16
14 0.5 0.33 0.16 0.33
15 0.83 0.17 0.83 0.16
16 0.5 0.5 0.34 0.33
17 0.33 0.67 0.34 0.5

n 17 17 17 17
Rata2 0.44 0.28 0.28 0.22
std 0.19 0.20 0.28 0.16
t hitung 9.33 5.80 4.04 5.41
3.59E- 1.36E- 2.87E-
p-value 08 05 0.000478 05
Sifat Sign Sign Sign Sign
Ket Beda Beda Beda Beda

Anda mungkin juga menyukai