Anda di halaman 1dari 88

 

UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN ANTARA RASIO AKAR-MAHKOTA GIGI


KLINIS DAN KONVERGENSI AKAR GIGI MOLAR
PERTAMA DENGAN TERJADINYA TRAUMA OKLUSI
YANG MEMPERBERAT PERIODONTITIS
(Tinjauan Secara Radiografis dari Rekam Medik Klinik
Periodonsia Rumah Sakit Khusus Gigi dan Mulut Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia)

TESIS

WITA ANGGRAINI
1106125551

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS PERIODONSIA


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS INDONESIA
2014

Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
 

UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN ANTARA RASIO AKAR-MAHKOTA GIGI


KLINIS DAN KONVERGENSI AKAR GIGI MOLAR
PERTAMA DENGAN TERJADINYA TRAUMA OKLUSI
YANG MEMPERBERAT PERIODONTITIS
(Tinjauan Secara Radiografis dari Rekam Medik Klinik
Periodonsia Rumah Sakit Khusus Gigi dan Mulut Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia)

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis

WITA ANGGRAINI
1106125551

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS PERIODONSIA


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS INDONESIA
2014

Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
 

KATA PENGANTAR

Terpujilah Tuhan, karena Engkau menjadikan segala sesuatu indah pada


waktunya. Terimakasih untuk Kasih SetiaMu kepada saya, sehingga saya dapat
menyelesaikan tesis yang merupakan salah satu persyaratan pencapaian gelar
Spesialis Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Sebagai
penulis, saya ingin mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada seluruh
pihak yang telah memberikan bantuan, motivasi serta semangat dalam perjalanan
studi, yaitu:
1. Dr. Sri Lelyati, drg., SU., SpPerio(K) sebagai dosen pembimbing I yang
dengan sabar meluangkan waktu, ilmu, pikiran, serta tenaga untuk
membimbing penulis selama masa penelitian dan studi.
2. Robert Lessang, drg., SpPerio(K) sebagai dosen pembimbing II atas
bimbingan, masukan, perhatian, pengertian dan waktu yang diberikan selama
penelitian ini dan selama masa studi.
3. Hari Sunarto, drg., SpPerio(K) sebagai Kepala Departemen Periodonsia
yang telah memberikan ijin dan motivasi serta semangat kepada penulis
dalam menjalani penelitian dan studi.
4. Yulianti Kemal, drg., SpPerio(K) sebagai Koordinator Pendidikan
Spesialis Periodonsia yang sudah mengajarkan, membimbing dan banyak
memberikan inspirasi kepada penulis selama penelitian berlangsung.
5. Yulianti Kemal, drg., SpPerio(K); Prof. Siti Wuryan Prayitno, drg.,SKM,
MScD., PhD., SpPerio(K) dan Irene Sukardi, drg., SpPerio(K) selaku Tim
Penguji di dalam sidang Tesis atas bimbingan, koreksi serta sarannya
sehingga penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
6. Seluruh staf pengajar Departemen Periodonsia lainnya, Dr. Yuniarti
Soeroso, drg., Sp.Perio(K), Fatimah Tadjoedin, drg., SpPerio, Felix
Hartono, drg., SpPerio, Antonius Irwan, drg., SpPerio, Yudha Rismanto,
drg., SpPerio, atas bimbingannya serta inspirasinya bagi penulis.
7. Chaidar Masulili, drg., SpPros(K) selaku Direktur Rumah Sakit Khusus
Gigi dan Mulut (RSKGM) Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Indonesia atas kesempatan dan ijinnya sehingga penulis saat melaksanakan
penelitian di RSKGM FKG UI.
iv  Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
 

8. Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia Periode 2008-


2013, Prof. Bambang Irawan, drg, Ph.D., dan kepada Dr. Yosi Kusuma
Eriwati, drg, MSi., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Indonesia 2013 hingga saat ini, atas kesempatan yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Periodonsia
di FKG UI.
9. Prof. Dr. Melanie S. Djamil, drg., MBiomed., yang memberikan ijin
belajar kepada penulis sewaktu menjabat Dekan FKG Usakti, terimakasih
yang tak terhingga penulis ucapkan.
10. Orang tua penulis Alm. Kol. Laut (Purn.) Wijono Martodihardjo, Bapak
terimakasih telah menjadi teladan hidup bagi penulis. Untuk papa R.
Bambang Soeroso dan Ibu Rr. Astuti Soegito, terimakasih atas doa,
perhatian, kasih sayang dan dukungan yang tidak terhingga kepada saya,
sehingga studi dan tesis ini bisa penulis selesaikan.
11. Kakak-kakak dan adik tercinta: Alm. Drs. Laurensius Sasu, Martha
Magdalena, Ir. Wibisono Wijono, Biet Winarno SE., Ir. Widodo Wijono,
Indy Bobby Wibowo, dr., Wijaya, Windrati SH., dan Windra Benyamin
ST., terima kasih saudara-saudaraku tercinta beserta seluruh saudara
iparku yang selalu ada untuk mendukung penulis.
12. Suamiku tercinta Djohansjah Adiputra terima kasih atas kesabaran dan
pengertiannya selama masa studi dan penulisan tesis ini.
13. Anak-anakku yang aku kasihi, Gabriella Alodia, ST. dan Dick Perthino
Sebastian, tanpa terasa kalian sudah tumbuh dewasa, terima kasih sudah
mendukung dan mendoakan mama, kiranya Gaby dan Nino dapat
mengikuti pendidikan setingi-tingginya di masa mendatang.
14. PPDGS Periodonsia angkatan 2011: Adit, Albert, Astri, Fivi, Edward, Ine,
Johnson, dan Ricky terima kasih telah menjadi penyemangat dan selalu
membuat hati ceria selama penelitian dan studi, penulis berharap teman-
teman akan menjadi drg. Spesialis Periodonsia yang andal dan terkenal.
15. Iperdokan dan PPDGS Periodonsia angkatan 2009, 2012, 2013
terimakasih atas semangat sukacita selama penelitian ini berlangsung.

v  Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
 

16. Pak Satimin, Bu Sumarni, Mbak Leni dan Mbak Lia, terima kasih atas
bantuannya kepada penulis selama masa studi dan penulisan tesis ini.
17. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan telah
membantu penulis selama menjalankan masa studi di FKG UI. Semoga
amal anda dibalas oleh Tuhan YME.
Jakarta, 10 Juni 2014
           

Penulis

vi 
Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
 

ABSTRAK

Nama : Wita Anggraini


Program Studi : Pendidikan Spesialis Periodonsia
Judul : Hubungan antara Rasio Akar-Mahkota Gigi Klinis dan
Konvergensi Akar Gigi Molar Pertama dengan Terjadinya
Trauma Oklusi yang Memperberat Periodontitis (Tinjauan
Secara Radiografis dari Rekam Medik Klinik Periodonsia
Rumah Sakit Khusus Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Indonesia)

Latar Belakang: Objektifitas rasio akar-mahkota gigi klinis dan konvergensi akar
gigi. Tujuan: Menentukan rasio akar-mahkota gigi klinis dan tipe konvergensi
akar gigi molar pertama yang menyebabkan trauma oklusi. Material dan
Metode: Metode Lind (1972) dan metode baru untuk menentukan konvergensi
akar gigi. Hasil: Rasio >1,51= baik; 1-≤1,50= cukup baik; 0,51-0,99= buruk;
≤0,50=sangat buruk. Ada hubungan antara gabungan rasio akar-mahkota gigi
klinis dan konvergensi akar gigi dengan kegoyangan gigi (rs:0,302), lamina dura,
(rs: 0,211), resesi gingiva bukal (rs: 0,245), kehilangan perlekatan (rs: 0,233).
Kesimpulan: Ada hubungan antara rasio akar mahkota gigi yang tidak seimbang
disertai konvergensi akar gigi dengan trauma oklusi.

Kata Kunci: rasio akar-mahkota gigi, konvergensi akar gigi, trauma oklusi

viii  Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
 

ABSTRACT

Name : Wita Anggraini


Study Program : Periodontia Specialist
Title : The relationship between clinical root-crown ratio and root
convergence of first molar's teeth with the occurrence of trauma
from occlusion that aggravate periodontitis (Radiografic review
of medical records of clinic periodonsia in Faculty of Dentistry
Indonesia University)

Background: An objective assessment of clinical root-crown ratio and root


convergence. Objective: To determine the clinical root-crown ratio and root
convergence type of first molar which cause trauma from occlusion. Materials
and Methods: Method of Lind (1972) and a new method to determine the root
convergence. Results: The ratio >1.51=good; 1-≤1.50= pretty good; 0.51-0.99=
poor; ≤ 0.50= very bad. There is a relationship between the combined of clinical
root-crown ratio and root convergence with tooth mobility (rs: 0.302), lamina
dura, (rs: 0.211), buccal gingival recession (rs: 0.245), loss of attachment (rs:
0.233). Conclusion: There is a relationship between the combine of clinical root-
crown ratio and root convergence with trauma from occlusion.

Keywords: root-crown ratio, root convergence, trauma from occlusion

ix  Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
PERNYATAAN ORISINALITAS ……………………………………… ii
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................... iii
KATA PENGANTAR.................................................................................. iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.................. vii
ABSTRAK...................................................................................................... viii
ABSTRACT................................................................................................... ix
DAFTAR ISI.................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR..................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL......................................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian.............................................................. 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Trauma Oklusi …………………………………………... 7
2.1.1 Definisi dan Etiologi Trauma Oklusi…………………… 7
2.1.2 Trauma Oklusi dan Penyakit Periodontal………………. 7
2.1.3 Klasifikasi Trauma Oklusi……………………………… 12
2.1.4 Tanda-Tanda Klinis dan Gejala Trauma Oklusi………... 14
2.1.5 Pemeriksaan Radiografis Periapikal……………………. 16
2.1.5.1 Anatomi-Radiologis Jaringan Periodontal……… 17
2.1.5.2 Ruang Ligamen Periodontal……………………. 17
2.1.5.3 Lamina Dura……………………………………. 17
2.1.5.4 Alveolar Crest ………………………………….. 18
2.1.5.5 Kerusakan Tulang Alveolar…………………….. 18
2.1.6 Interpretasi Radiografis Periapikal……………………… 19
2.2 Mahkota Gigi dan Akar Gigi……………………………… 21
2.3 Rasio Akar-Mahkota Gigi Dan Konvergensi Akar Gigi … 21
2.4 Morfologi Akar Molar Pertama…………………………… 22
2.5 Kerangka Teori.................................................................... 25
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep................................................................. 26
3.2 Hipotesis.............................................................................. 26
3.2.1 Hipotesis Mayor................................................................ 26
3.2.2 Hipotesis Minor................................................................. 26

x  Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
 

BAB 4 METODE PENELITIAN


4.1 Disain Penelitian.................................................................. 27
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian.............................................. 27
4.3 Sampel Penelitian ................................................................ 27
4.3.1 Subjek Penelitian ....................................................... 27
4.3.2 Kriteria Subjek Penelitian ......................................... 27
4.3.3 Teknik Penarikan Sampel .......................................... 28
4.4 Besar Sampel........................................................................ 28
4.5 Alir Penelitian...................................................................... 29
4.6 Bahan dan Alat Penelitian.................................................. 29
4.6.1 Bahan ........................................................................ 29
4.6.2 Alat ........................................................................... 29
4.7 Cara Kerja............................................................................ 30
4.7.1 Pengukuran Rasio Akar-Mahkota Gigi Anatomi 30
Secara Radiografis………………………………….
4.7.2 Pengukuran Rasio Akar-Mahkota Gigi Klinis Secara 30
Radiografis………………………….........................
4.7.3 Pengukuran Konvergensi Akar Gigi Molar…........... 32
4.8 Pengumpulan Data............................................................... 33
4.9 Manajemen dan Analisis Data ............................................. 33
4.10 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional.................. 34
4.10.1 Identifikasi Variabel.............................................. 34
4.10.2 Definisi Operasional............................................... 34
4.11 Etika Penelitian …………………………………………. 37
BAB 5 HASIL PENELITIAN 38
BAB 6 PEMBAHASAN
6.1 Sampel Penelitian ………………………………………… 52
6.2 Rasio Akar-Mahkota Anatomi pada Gigi Molar Pertama... 53
6.3 Rasio Akar-Mahkota Klinis pada Gigi Molar Pertama…… 54
6.4 Relevansi Trauma Oklusi yang Disebabkan Rasio Akar- 56
Mahkota Gigi Tidak Seimbang Terhadap Periodontitis…..
6.5 Konvergensi Akar Gigi Molar Pertama Maksila dan 58
Mandibula…………………………………………………
6.6 Relevansi Konvergensi Akar Gigi dengan Trauma Oklusi 59
dan Periodontitis .................................................................
6.7 Relevansi Rasio Akar-Mahkota Gigi dan Konvergensi 60
Akar Gigi Sebagai Penyebab Trauma Oklusi pada
Periodontitis………………………………………………
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan........................................................................... 62
7.2 Saran..................................................................................... 62

xi  Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
 

DAFTAR REFERENSI............................................................................. 63
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Keterangan Lolos Etik................................. 66
Lampiran 2 Sertifikat Kalibrasi Cephalometric Protractor 67
Lampiran 3 Foto Penelitian ……............................................. 69
Lampiran 4 Analisis SPSS 22.................................................. 71

xii  Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
 

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Perjalanan Klinis pada Periodontitis yang Tidak Dirawat 9


Gambar 2.2 Lesi Inflamasi dan Trauma Oklusi yang Terjadi pada 10
Struktur-struktur Anatomi yang Berbeda
Gambar 2.3 Hubungan Trauma Oklusi dan Penyakit Periodontal 11
Gambar 2.4 Peran Trauma Oklusi di Dalam Perkembangan 12
Periodontitis Menurut Glickman dan Smulow (1967)
Gambar 2.5 Gaya Traumatik 13
Gambar 2.6 Gejala Klinis Trauma Oklusi: A. Migrasi Gigi 12 ke Distal. 15
B. Atrisi (Wear Facet) pada Gigi 41 dan 42 Selama
Gerakan Mandibula ke Lateral Kanan
Gambar 2.7 Gambaran Radiografis yang Menunjukkan Tanda-tanda 16
Trauma Oklusi dalam Derajat Berbeda
Gambar 2.8 Potongan Sagital pada Gigi dan Tulang Alveolar, yang 20
Memperlihatkan: Ruang Periodonrtal, Lamina Dura dan
Alveolar Crest
Gambar 2.9 Radiograf Periapikal pada Sisi Kanan Mandibula Orang 20
Dewasa yang Memperlihatkan Struktur Gigi dan Jaringan
Periodontal Normal
Gambar 2.10 Gambaran Anatomi Gigi Molar Pertama Maksila 23
Gambar 2.11 Gambaran Anatomi Gigi Molar Pertama Mandibula 24
Gambar 2.12 Kerangka Teori 25
Gambar 3.1 Kerangka Konsep 26
Gambar 4.1 Alir Penelitian 29
Gambar 4.2 Metode Pengukuran Tinggi Mahkota Gigi dan Panjang 31
Akar Gigi Untuk Memperoleh Rasio Akar-Mahkota Gigi
Gambar 4.3 Pengukuran Rasio Akar-Mahkota Gigi Anatomis Secara 31
Radiografis pada Gigi Molar Pertama Maksila dan
Mandibula
Gambar 4.4 Pengukuran Tinggi Tulang Alveolar yang Hilang Secara 32
Radiografis pada Gigi Molar Pertama Maksila dan
Mandibula
Gambar 4.5 Pengukuran Konvergensi Akar Gigi Secara Radiografis 32
pada Gigi Molar Pertama Maksila dan Mandibula
Gambar 5.1 Grafik Distribusi Rasio Akar-Mahkota Gigi Anatomis dan 42
Rasio Akar-Mahkota Gigi Klinis pada Gigi Molar Pertama
Maksila dan Mandibula

xiii 
Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
 

Gambar 5.2 Distribusi Kategori Konvergensi Akar Gigi Molar Pertama 46


Maksila dan Mandibula.
Gambar 5.3 Diagram Tebar Hubungan antara Rerata Loss of 50
Attachment, Rerata Rasio Akar-Mahkota Gigi Klinis-
Radiografis, Derajat Kegoyangan Gigi dan Diagnosis
Periodontitis.
Gambar 5.4 Diagram Tebar Hubungan antara Rerata Loss of 50
Attachment, Rerata Rasio Akar-Mahkota Gigi Klinis-
Radiografis, Derajat Kegoyangan Gigi dan Kategori Rasio
Akar-Mahkota Klinis-Radiografis
Gambar 5.5 Diagram Tebar Hubungan antara Rerata Loss of 51
Attachment, Rerata Rasio Akar-Mahkota Gigi Klinis-
Radiografis, Kategori Rasio Akar-Mahkota Klinis-
Radiografis dan Kategori Konvergensi Akar Gigi Molar
Maksila dan Mandibula
 

xiv  Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
 

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Gambaran Klinis dan Simptom Periodontitis yang Dapat 16


Dilihat Secara Klinis dan Radiologis
Tabel 5.1 Distribusi Diagnosis Periodontitis 38
Tabel 5.2 Distribusi Derajat Kegoyangan Gigi Molar Pertama Maksila 38
dan Mandibula
Tabel 5.3 Penebalan Lamina Dura pada Gigi Molar Pertama yang 39
Mengalami Trauma Oklusi Disebabkan Rasio Akar-Mahkota
Tidak Seimbang dan/atau Akar Gigi yang Konvergen
Tabel 5.4 Distribusi Rerata, Minimum-Maksimum, Standar Deviasi, 39
pada Pengukuran Kedalaman Poket, Resesi Gingiva dan
Loss of Attachment
Tabel.5.5 Nilai Rerata dan Uji Kemaknaan terhadap Panjang Akar 40
Gigi, Tinggi Mahkota Gigi dan Tinggi Tulang Alveolar yang
Hilang
Tabel 5.6 Distribusi Rerata, Minimum-Maksimum, Standar Deviasi, 40
pada Panjang Akar Gigi dan Tinggi Mahkota Gigi Klinis
Secara Radiografis
Tabel 5.7 Distribusi Rerata, Minimum-Maksimum, Standar Deviasi 41
pada Rasio Akar-Mahkota Anatomis Gigi Molar Pertama
Tabel 5.8 Titik Potong pada Rerata Rasio Akar-Mahkota Gigi 41
Anatomis
Tabel 5.9 Titik Potong pada Rerata Rasio Akar-Mahkota Gigi Klinis 42
Tabel 5.10 Hasil Uji Korelasi Spearman antara Rasio Akar-Mahkota 43
Gigi Klinis dengan Resesi Gingiva
Tabel 5.11 Hasil Uji Korelasi Spearman antara Rasio Akar-Mahkota 44
Gigi Klinis dengan Loss of Attachment
Tabel 5.12 Distribusi Rerata, Minimum-Maksimum,Standar Deviasi, 45
Konvergensi Akar Gigi Molar Maksila dan Mandibula
Tabel 5.13 Titik Potong pada Rerata Konvergensi Gigi Molar Pertama 45
Tabel 5.14 Distribusi Gigi Molar Pertama Maksila dan Mandibula 48
dengan Rasio Akar-Mahkota Gigi Tidak Sesuai dan Akar
Gigi yang Konvergen
Tabel 5.15 Hasil Uji Korelasi Spearman antara Gabungan Rasio Akar- 48
Mahkota Gigi Klinis dan Tipe Konvergensi Akar Gigi
dengan Kegoyangan Gigi, Penebalan Lamina Dura dan
Resesi Gingiva
Tabel 5.16 Hasil Uji Korelasi Spearman antara Gabungan Rasio Akar- 49
Mahkota Gigi Klinis dan Tipe Konvergensi Akar Gigi
dengan Diagnosis Periodontitis dan Loss of Attachment

xv  Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit periodontal yang sering dijumpai di Klinik Periodonsia Rumah
Sakit Khusus Gigi Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
(RSKGM FKG UI) adalah periodontitis baik kronis maupun agresif. Biasanya
pasien datang dengan keluhan gigi goyang, banyak karang gigi dan gusi mudah
berdarah. Pengisian status untuk pasien penyakit periodontal harus selengkap
mungkin, meliputi: anamnesis, pemeriksaan status presens, status lokalis dan
radiograf periapikal seluruh gigi. Pemeriksaan status presens terdiri dari: keadaan
umum, ekstra oral, intra oral, pemeriksaan pada setiap sektan rahang dan oral
hygiene. Pemeriksaan status lokalis dilakukan hanya pada gigi yang mengalami
kelainan saja, hal-hal yang perlu dicatat adalah: vitalitas gigi, mobilitas,
kedalaman poket periodontal, oklusi, resesi gingiva, loss of attachment, malposisi,
migrasi, titik kontak, impaksi makanan, karang gigi dan trauma. Setelah
mempelajari dengan seksama, berdasarkan anamnesis, gambaran klinis dan
radiografis maka diagnosis klinik dapat ditegakkan.1
Penulisan diagnosis merupakan acuan untuk menetapkan rencana
perawatan, karena itu penulisan diagnosis harus lengkap, meliputi: lokasi
penyakit, nama penyakit, penyebab utama, faktor-faktor yang memperberat,
gambaran klinis dan gambaran radiografisnya.1 Periodontitis adalah penyakit
periodontal yang paling sering dijumpai. Periodontitis dapat diperberat oleh
trauma oklusi yang disebabkan oleh: blocking, hubungan oklusi edge to edge,
rasio akar-mahkota gigi yang tidak seimbang dan bentuk akar gigi yang
menguncup.2 Trauma oklusi yang disebabkan oleh blocking dapat dideteksi
dengan mudah pada saat artikulasi, demikian halnya pada hubungan oklusi edge
to edge. Diagnosis trauma oklusi yang disebabkan oleh perbandingan akar-
mahkota gigi yang tidak seimbang dan bentuk akar gigi yang menguncup atau
konvergen, ditegakkan secara subjektif melalui gambaran radiografisnya.

Universitas Indonesia

  1
 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
2

Rasio akar-mahkota gigi secara anatomis diukur berdasarkan panjang akar


gigi (dari garis servikal ke ujung akar gigi terpanjang) dan panjang mahkota gigi
(dari garis servikal ke ujung kusp terpanjang atau bagian tertinggi dari tepi
insisal). Sebagai contoh, rerata panjang akar gigi insisivus sentral maksila 13,0
mm, dan panjang mahkota gigi 11,2 mm, maka rasio akar-mahkota gigi adalah
13 dibagi 11,2 yaitu 1,16. Rasio ini mendekati angka satu, mengindikasikan
bahwa akar gigi tidak lebih panjang dibandingkan mahkota gigi. Rasio akar-
mahkota gigi molar pertama maksila yang normal adalah 1,72 dan pada molar
pertama mandibula sebesar 1,83.3
Trauma oklusi dapat terjadi secara akut maupun kronis. Trauma oklusi
akut merupakan akibat perubahan oklusal yang mendadak, seperti menggigit
benda keras. Trauma oklusi kronis lebih sering terjadi dibandingkan dengan
bentuk akut, seringkali berkembang menjadi perubahan oklusi yang bertahap
seperti keausan gigi, drifting, ekstrusi yang berkombinasi dengan kebiasaan
parafungsi seperti bruksisme dan clenching.4 Trauma oklusi yang disebabkan oleh
perubahan gaya oklusal, disebut sebagai trauma oklusi primer. Trauma oklusi
primer terjadi pada aparatus perlekatan gigi atau pada gigi dengan struktur
pendukung yang normal. Trauma oklusi sekunder, terjadi ketika kapasitas adaptif
jaringan untuk menahan kekuatan oklusal terganggu disebabkan kehilangan tulang
sehingga menyebabkan inflamasi marjinal. Penurunan area perlekatan jaringan
periodontal meningkatkan kerentanan jaringan tersisa untuk cedera.4,5 Trauma
oklusi dapat mengakibatkan perubahan destruktif di dalam tulang, ligamen
periodontal, dan akar gigi. Bila jaringan periodontal masih dapat mengakomodasi
tekanan oklusal, maka perubahan yang terjadi bersifat reversibel.6
Beberapa faktor etiologi lokal yang dapat menyebabkan trauma oklusi
primer adalah: 1) insersi tambalan gigi yang ketinggian, 2) insersi protesa yang
menciptakan gaya yang berlebihan pada gigi abutmen atau gigi antagonis, 3) gigi
yang bergeser (drifting) atau ekstrusi disebabkan gigi hilang yang tidak diganti,
atau 4) gerakan ortodontik pada gigi ke dalam posisi yang tidak dapat diterima
secara fungsional. Perubahan akibat trauma oklusi primer tidak mengubah tingkat
perlekatan jaringan ikat dan tidak menginisiasi pembentukan poket karena serat-

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
3

serat gingiva suprakrestal tidak terpengaruh sehingga mencegah junctional


epithelium bermigrasi apikal.4
Pada saat melakukan pemeriksaan pasien yang dicurigai mengalami
trauma oklusi, ada sejumlah gejala klinis dan radiografis yang perlu diperhatikan.
Indikator trauma oklusi secara klinis meliputi: 1) mobilitas (progresif); 2) nyeri
saat mengunyah atau perkusi; 3) fremitus; 4) pematuritas/diskrepansi oklusal; 5)
keausan yang disertai oleh beberapa indikator klinis lainnya; 6) migrasi gigi; 7)
gigi retak atau fraktur dan 8) sensitivitas termal. Indikator trauma oklusi secara
radiografis meliputi: 1) pelebaran ruang ligamen periodontal; 2) kehilangan
tulang (furkasi, vertikal, sirkumferensial) dan 3) resorpsi akar gigi.7
Di dalam bidang prostodontik, ditetapkan bahwa rasio akar-mahkota gigi
untuk abutmen mahkota dan jembatan idealnya adalah 2:1. Rasio 2:1 merupakan
rasio optimum, dimana akar gigi lebih panjang dua kali daripada mahkota gigi. 8
Pada kondisi gingiva yang sehat, akar gigi seluruhnya tertanam di dalam tulang
alveolar yang diliputi oleh jaringan lunak.9 Akar gigi yang panjang dan diameter
gigi yang luas akan meningkatkan dukungan jaringan. Konvergensi atau
divergensi akar gigi juga mempengaruhi dukungan jaringan periodontal. Akar gigi
yang divergen meningkatkan stabilitas dan memungkinkan untuk memperoleh
dukungan tulang lebih intraradikular. Untuk gigi posterior, pada gigi molar
pertama maksila yang memiliki tiga akar gigi divergen akan lebih stabil
dibandingkan dengan gigi molar ketiga, yang biasanya memiliki akar gigi yang
berfusi.3
Pada gigi molar pertama maksila, ada empat variasi bentuk akar gigi yang
akan mempengaruhi stabilitasnya yaitu: 1) akar gigi divergen dengan furkasi di
sepertiga koronal akar gigi, 2) akar gigi konvergen dengan furkasi di setengah
akar gigi, 3) akar gigi yang sangat konvergen dan 4) akar gigi yang berfusi dengan
furkasi di sepertiga koronal akar gigi. Pada gigi molar pertama mandibula,
memiliki bentuk akar gigi yang kompleks yaitu akar gigi mesial lebih panjang
dibandingkan dengan akar gigi distal. Stabilitas gigi molar tersebut di atas, akan
terganggu bila terjadi penyakit periodontal agresif, bergantung pada besarnya area
permukaan perlekatan akar gigi yang memperoleh masalah.3 Gigi dengan akar
pendek, konvergen serta mahkota gigi yang relatif besar memberikan prognosis

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
4

buruk. Oleh karena, rasio akar-mahkota gigi yang tidak seimbang dan permukaan
akar gigi yang kurang, menyebabkan jaringan periodontal lebih rentan terhadap
cedera trauma oklusi.10
Secara anatomi, dukungan tulang alveolar dapat dibagi dalam beberapa
tingkat. Tingkat tulang alveolar untuk setiap gigi, didefinisikan sebagai massa
kritis dukungan tulang alveolar. Dukungan tulang alveolar yang tersisa pada
sepertiga tengah akar gigi adalah 40-50% dari total luas perlekatan permukaan
akar gigi sedangkan dukungan tulang alveolar pada sepertiga apikal, tidak
memadai untuk menstabilkan gigi. Untuk menentukan tingkat kritis dukungan
tulang alveolar dapat dilakukan dengan melakukan probing dan memetakan
kedalaman poket periodontal, yang kemudian dikorelasikan dengan bukti
radiografis kehilangan tulang alveolar.11
Höltta dkk. melakukan penelitian rasio akar-mahkota gigi permanen pada
populasi Finlandia sehat menggunakan radiograf panoramik. Hasil penelitiannya
menyatakan bahwa rasio akar-mahkota gigi molar pertama maksila pria
(1,87±0,15) lebih tinggi dibandingkan dengan wanita (1,80±0,15); dan tidak ada
perbedaan antara rasio akar-mahkota gigi molar pertama mandibula pria
(2,11±0,17) dengan wanita (2,07±0,18).12 Othman dkk. melakukan penelitian
rasio akar-mahkota gigi permanen pada populasi Malaysia dengan pertumbuhan
akar gigi yang penuh.9 Hasil penelitiannya menyatakan bahwa dari kedua gender,
tidak ada perbedaan rasio akar-mahkota gigi molar pertama maksila dan
mandibula antara pria dan wanita. Rasio akar-mahkota gigi molar pertama
maksila pria adalah 1,91±0,38 dan wanita adalah 1,86±0,34 sedangkan rasio akar-
mahkota gigi molar pertama mandibula pria adalah 2,42±0,33 dan wanita adalah
2,48±0,35.
Penelitian terhadap kasus-kasus penyakit periodontal periode tahun 2005-
2006 di Klinik Periodonsia RSKGM FKG UI menunjukkan bahwa prevalensi
penyakit periodontal yang diperberat oleh trauma oklusi cukup tinggi, yaitu 98
pasien (47%) dari 207 pasien yang datang. Dari 98 pasien tersebut ada 392 gigi
yang mengalami trauma oklusi dan 31,4 % (123 gigi) adalah pada gigi molar.
Penyebab oklusi traumatik yang ditemukan yaitu perbandingan akar-mahkota gigi
tidak seimbang sebesar 5,6%; bentuk mahkota gigi lebar sebesar 4,8%; kombinasi

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
5

blocking dan perbandingan akar-mahkota gigi tidak seimbang sebesar 1,6%.13


Analisis trauma oklusi yang memperberat periodontitis dilakukan berdasarkan
gambaran radiografis dengan melihat ada/tidak ada pelebaran ruang ligamen
periodontal, diskontinuitas dan penebalan lamina dura serta mempertimbangkan
rasio akar-mahkota gigi dan konvergensi bentuk akar gigi.
Secara klinis penentuan rasio akar-mahkota gigi yang tidak seimbang dan
konvergensi akar gigi terhadap terjadinya trauma oklusi masih berdasarkan
penilaian subjektif sehingga perlu dilakukan penelitian yang dapat
mengkonfirmasi penilaian subjektif tersebut menjadi penilaian yang objektif.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dilakukan suatu penelitian retrospektif
rekam medik kasus-kasus penyakit periodontal yang diperberat trauma oklusi
disebabkan rasio akar-mahkota gigi tidak seimbang dan akar gigi konvergen.
Penelitian ini menggunakan radiograf periapikal gigi molar maksila dan
mandibula penderita periodontitis di klinik Periodonsia RSKGM FKG UI.
Diharapkan melalui hasil penelitian ini dapat ditemukan adanya hubungan sebab
akibat antara faktor-faktor anatomi gigi dengan trauma oklusi.

1.2 Rumusan Masalah


Trauma oklusi disebabkan rasio akar-mahkota gigi tidak seimbang dan akar
gigi yang konvergen dapat memperberat periodontitis. Akibatnya, gaya oklusal
normal dapat menyebabkan cedera pada jaringan periodontal, yang bersifat
destruktif terhadap tulang alveolar, ligamen periodontal dan akar gigi. Rasio akar-
mahkota gigi dan konvergensi akar gigi atau gabungan keduanya perlu diteliti
untuk menentukan rasio akar-mahkota gigi dan tipe konvergensi akar gigi yang
dapat menyebabkan trauma oklusi.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Menentukan rasio akar-mahkota dan tipe konvergensi akar gigi molar
pertama maksila dan mandibula yang dapat menyebabkan trauma oklusi sehingga
memperberat periodontitis.

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
6

1.3.2 Tujuan Khusus


1.3.2.1 Menganalisis hubungan antara rasio akar-mahkota gigi molar pertama
maksila dan mandibula dengan trauma oklusi pada periodontitis.
1.3.2.2 Menganalisis hubungan antara tipe konvergensi akar gigi molar pertama
maksila dan mandibula dengan trauma oklusi pada periodontitis.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Pengembangan Ilmu dan Pendidikan
Di dalam penelitian ini ada keterkaitan antar ilmu yaitu: anatomi,
periodontologi dan radiologi. Keterkaitan ini diharapkan dapat
meningkatkan pengembangan ilmu yang terintegrasi. Dari hasil penelitian
diharapkan akan meningkatkan sikap kritis para peneliti dan meningkatkan
keinginan untuk meneliti lebih lanjut bila hasilnya belum cukup
memuaskan.

1.4.2 Dokter Gigi Praktek


Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
kewaspadaan dokter gigi umum maupun dokter gigi spesialis, bila
menjumpai kasus trauma oklusi yang disebabkan oleh rasio akar-mahkota
gigi yang tidak seimbang dan akar gigi konvergen sebelum melakukan
tindakan rekonstruksi gigi lebih lanjut.

1.4.3 Pelayanan Kesehatan Gigi Masyarakat


Kasus trauma oklusi banyak ditemukan di dalam praktek kedokteran gigi,
tetapi pasien tidak menyadarinya. Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis
dan radiologis dapat ditemukan faktor-faktor anatomi yang menjadi faktor
risiko trauma oklusi, sehingga kerusakan periodontal lanjut dapat segera
dicegah.
 

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma Oklusi


2.1.1 Definisi dan Etiologi Trauma Oklusi
Menurut Orban dan Glickman dkk. ketika tekanan oklusal melebihi
kapasitas adaptif jaringan periodontal dan menyebabkan cedera, maka cedera pada
jaringan periodontal tersebut didefinisikan sebagai trauma oklusi. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1978 mendefinisikan trauma oklusi sebagai:
"Kerusakan di dalam jaringan periodontal disebabkan oleh tekanan pada gigi-
geligi yang dihasilkan langsung atau tidak langsung oleh gigi-gigi pada rahang
yang berlawanan”. Istilah lain trauma oklusi adalah: traumatizing occlusion,
occlusal trauma, occlusal overload, periodontal traumatism, occlusal
disharmony, functional imbalance dan occlusal dystrophy. Harus dicatat bahwa,
trauma oklusi merujuk pada cedera jaringan, bukan pada gaya oklusal. Oklusi
yang menghasilkan tekanan yang menyebabkan terjadinya cedera jaringan
tersebut adalah oklusi traumatik.14
Etiologi trauma oklusi dapat berupa ketidakseimbangan oklusi dan adanya
kebiasaan buruk. Ketidakseimbangan oklusi meliputi: hambatan oklusal pada
waktu oklusi sentris (kontak prematur) dan gerak artikulasi (blocking), gigi hilang
tidak diganti, perbandingan akar-mahkota gigi tidak seimbang, kontak edge to
edge dan alat prostetik dan restorasi yang buruk. Kebiasaan buruk yang menjadi
penyebab trauma oklusi adalah bruksisme dan clenching.2,4,14 Trauma oklusi dapat
15
terjadi secara independen atau bersamaan dengan penyakit inflamasi. Lesi
akibat trauma oklusi terjadi di dalam ligamen periodontal, gambaran histologisnya
dapat berkisar mulai dari kerusakan ringan sampai dengan nekrosis. 16

2.1.2 Trauma Oklusi dan Penyakit Periodontal


Penyakit periodontal merupakan penyakit multifaktor dan merupakan
proses inflamasi yang mempengaruhi jaringan pendukung di sekitar gigi.
Akumulasi bakteri plak pada permukaan gigi memulai inflamasi jaringan
Universitas Indonesia
7
 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
8

marjinal, dikenal sebagai gingivitis. Manifestasi klinis gingivitis berupa


perdarahan saat probing sulkus gingiva, pada kasus lanjut disertai eritema dan
pembengkakan khususnya di papila interdental. Periodontitis dapat berkembang
dari gingivitis yang sudah ada sebelumnya pada pasien yang memiliki: status
imun kompromis, faktor-faktor risiko, mediator pro-inflamasi dan flora mikroba
periodontopatik yang predominan. Pada tepi gingiva, karakteristik periodontitis
mirip dengan gingivitis, tetapi proses inflamasi berjalan lebih lanjut, yaitu meluas
ke struktur aparatus penyangga gigi yang lebih dalam, menyebabkan destruksi
kolagen dan kehilangan tulang alveolar (loss of attachment). Kehilangan jaringan
keras dan jaringan lunak biasanya bersifat lokal dan tidak menyeluruh. Junctional
epithelium berdegenerasi menjadi poket epitel, yang berproliferasi ke apikal dan
ke lateral, membentuk poket periodontal sejati. Gambaran khas berupa hilangnya
perlekatan jaringan pendukung periodontal klinis (clinical attachment loss) dan
resorpsi tulang, kegoyangan gigi bahkan hilangnya gigi.15, 17
Periodontitis dapat diklasifikasikan menjadi periodontitis kronis dan
periodontitis agresif, dengan derajat keparahan yang bervariasi. Hampir 90%
kasus merupakan periodontitis kronis. Periodontitis kronis biasanya dimulai
antara usia 30-40 tahun. Bila terjadi di seluruh gigi disebut periodontitis yang
menyeluruh, tetapi bila distribusi penyakit ini ireguler yaitu kerusakan parah
terutama di area molar atau di segmen anterior saja disebut sebagai periodontitis
lokal. Gingiva memperlihatkan derajat inflamasi yang bervariasi dengan
penyusutan di beberapa area dan manifestasi fibrosis di tempat lain. Pada lanjut
usia, penyakit ini dapat menyebabkan kehilangan gigi, yang dapat dihubungkan
dengan penurunan respon imun host dan fase akut yang lebih sering.17
Pada periodontitis agresif, kehilangan jaringan periodontal pada gigi
secara individual terjadi lebih kepada fase akut secara beruntun dibandingkan
dengan kehilangan jaringan pada periodontitis kronis yang terjadi secara bertahap
(Gambar 2.1). Fase progresif dan fase tenang terjadi secara bergantian. Fase
destruktif dapat terjadi satu demi satu, atau fase diam terjadi lebih lama.
Periodontitis agresif lebih jarang dijumpai, biasanya didiagnosis pada usia antara
20-30 tahun. Keparahan dan distribusi hilangnya perlekatan sangat bervariasi.
Penyebab fase aktif adalah mikroorganisme spesifik, yang benar-benar menyerang

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
9

jaringan ulserasi. Faktor-faktor risiko (merokok, penyakit sistemik misalnya


diabetes, ketegangan fisik dan stres) dan mediator-mediator pro-inflamasi yang
menurunkan respon imun, dapat memperkuat gambaran penyakit ini.17

Gambar 2.1 Perjalanan Klinis pada Periodontitis yang Tidak Dirawat. Merah: Fase Akut
(Destruksi); Biru: Fase Tenang. A. Jaringan Periodontal Sehat menunjukkan
Tulang Alveolar yang Utuh. B. Kehilangan Tulang Alveolar Mencapai
Sepertiga Tengah Akar. C. Kehilangan Tulang Alveolar Mencapai Sepertiga
Apikal Akar. D. Kehilangan Tulang Alveolar Seluruhnya. 17

Etiologi penyakit periodontal adalah patogen primer yaitu bakteri virulen


yang dijumpai di dalam plak gigi dan di dalam rongga mulut. Bakteri paling
penting adalah Aggregatibacter actinomycetemcomitans (Aa), Porphyromonas
gingivalis (Pg) dan Tannerella forsythia (Tf). Bakteri harus ada untuk memulai
dan memperluas periodontitis, tetapi bakteri tidak bertanggung jawab penuh
terhadap penyakit ini. Faktor pertahanan host dan kombinasi dengan faktor risiko
lainnya (merokok, stres dan lain-lain) di dalam penelitian terkini, menunjukkan
pengaruh yang bermakna terhadap kerentanan, ekspresi (misalnya: tipe dan
keparahan) serta progres dari periodontitis.17
Tingkat perlekatan klinis dianggap sebagai standar emas untuk
menegakkan diagnosis penyakit periodontal dan pengukuran keberhasilan
perawatan. Perawatan periodontal yang utama adalah pembuangan deposit bakteri
dan kalkulus subgingiva secara mekanis dengan instrumen tangan atau perangkat
ultrasonik yang dilakukan baik secara bedah atau non-bedah. Sebagian besar
kasus periodontitis dapat berhasil dikelola dengan skeling dan penghalusan akar
gigi.15

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
10

Trauma oklusi mempengaruhi struktur pendukung gigi, dapat terjadi


saling berhubungan atau secara terpisah dengan penyakit periodontal. Meskipun
trauma oklusi dan penyakit periodontal dapat terjadi secara bersamaan, masing-
masing kondisi dapat diatasi secara terpisah. Terapi oklusal umumnya dilakukan
sebelum atau bersamaan dengan perawatan periodontal.18 Jenis kerusakan akibat
trauma oklusi bergantung pada arah, durasi dan besarnya gaya dan hanya terbatas
pada daerah ligamen periodontal, tidak pada gingiva (Gambar 2.2).
Pembentukan poket periodontal tidak berhubungan dengan gaya oklusal karena
periodontitis dimulai dari dalam aparatus gingiva (epithelial attachment dan epitel
sulkus) yang berbatasan dengan gigi. Aparatus gingiva tersebut dapat berubah
posisinya jika diberikan kekuatan eksternal. Dari beberapa penelitian menyatakan
bahwa trauma oklusi tidak memulai atau mengubah inflamasi gingiva dan tidak
memiliki efek pada komposisi bakteri subgingiva.19

Struktur-struktur yang
dipengaruhi oleh plak

Struktur-struktur yang
dipengaruhi oleh trauma
oklusi

 
 
Gambar 2.2 Lesi Inflamasi dan Trauma Oklusi yang Terjadi pada
Struktur-struktur Anatomi yang Berbeda.19

Trauma oklusi dapat mengubah jalur ekstensi inflamasi gingiva ke


jaringan di bawahnya karena kepadatan kolagen telah berkurang disertai
peningkatan jumlah leukosit, osteoklas dan pembuluh darah di bagian korona gigi
sehingga semakin menambah mobilitas gigi. Inflamasi dapat berlanjut ke ligamen
periodontal mengakibatkan kehilangan tulang anguler sehingga membentuk poket
infrabony. Plak supra-gingiva dapat menjadi sub-gingiva jika gigi dimiringkan
Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
11

secara ortodontik atau bermigrasi ke area edentulus yang menyebabkan


transformasi poket suprabony menjadi poket infrabony. Peningkatan mobilitas
gigi yang disebabkan trauma oklusi dapat meningkatkan difusi metabolit plak.14

Jaringan periodontal normal

Periodontitis Aktif Gaya Oklusal

Trauma Oklusi dan


Periodontitis

Kehilangan Perlekatan Mobilitas

Mobilitas dan Peningkatan


Kehilangan Perlekatan

Gambar 2.3 Hubungan Trauma Oklusi dan Penyakit Periodontal.19

Boever dan Boever (2004), di dalam bukunya menuliskan hipotesis


Glickman menyatakan bahwa kontak prematur dan gaya oklusal yang berlebihan
dapat menjadi ko-faktor terhadap perkembangan penyakit periodontal dengan
mengubah jalur dan penyebaran inflamasi ke dalam jaringan periodontal yang
lebih dalam. Gingiva merupakan zona iritasi mikroba plak dan serat-serat
suprakrestal menjadi zona ko-destruksi di bawah pengaruh oklusi yang salah
(Gbr. 2.4). Secara klinis, resorpsi tulang vertikal dan kerusakan infrabony
menjadi indikasi trauma oklusi.5
Pihlstrom dkk. melakukan penelitian hubungan antara tanda-tanda trauma
oklusi, keparahan periodontitis dan gambaran radiografis dukungan tulang pada
gigi molar pertama maksila dari 300 individu. Hasil penelitian tersebut
menyatakan bahwa gigi disertai salah satu atau lebih gejala-gejala seperti:
Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
12

mobilitas bidigital, mobilitas fungsional, pelebaran ruang ligamen periodontal,


adanya kalkulus secara radiografis memiliki probing lebih dalam, kehilangan
perlekatan klinis lebih banyak dan secara radiografis dukungan tulang tampak
lebih sedikit dibandingkan dengan gigi tanpa gejala-gejala tersebut di atas.20

Gambar 2.4 Peran Trauma Oklusi di Dalam Perkembangan


Periodontitis Menurut Glickman dan Smulow
(1967). Berkaitan dengan Mikroba Plak dan
Inflamasi: A. ‘Zona Iritasi’ dan B ‘Zona-ko-
Destruksi’ Kontak Prematur Menjadi ko-
Destruktif dengan Cara Mengubah Jalur
Inflamasi.5

2.1.3 Klasifikasi Trauma Oklusi


Trauma oklusi dapat klasifikasikan berdasarkan onset-durasi dan
penyebab. Berdasarkan onset serta durasinya dapat dibagi menjadi trauma oklusi
akut dan trauma oklusi kronis. Gaya oklusal yang besar dan tiba-tiba, seperti saat
menggigit benda keras, restorasi atau alat-alat prostetik yang mengubah arah
gaya oklusal dapat menimbulkan trauma oklusi akut. Trauma oklusi akut
menyebabkan nyeri pada gigi, perkusi sensitif, dan peningkatan mobilitas gigi.
Bila tekanan oklusalnya dikurangi, cedera akan sembuh dan gejala-gejala tersebut
di atas akan berkurang. Bila tidak, cedera pada jaringan periodontal akan
Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
13

bertambah parah, menjadi nekrosis disertai pembentukan abses periodontal atau


menjadi kronis tanpa gejala. Trauma oklusi akut dapat menyebabkan pecahnya
sementum. Trauma oklusi kronis disebabkan oleh perubahan oklusi karena ausnya
gigi, drifting, dan ekstrusi, ditambah dengan parafungsi. Gaya oklusal tidak terlalu
besar, tetapi terus menerus menekan dan mengiritasi jaringan periodontal.4,14
Harus diperhatikan adalah, gigi goyang tidak identik dengan trauma oklusi dan
mungkin terkait dengan sejumlah kondisi inflamasi di sekitar gigi.21
Berdasarkan penyebabnya, maka trauma oklusi dapat dibedakan menjadi:
trauma oklusi primer dan trauma oklusi sekunder. Bila terjadi gaya oklusal
berlebihan terhadap gigi yang dikelilingi jaringan periodontal yang sehat disebut
trauma oklusi primer. Contohnya adalah: penumpatan yang terlalu tinggi, insersi
prostetik yang menciptakan gaya berlebihan pada gigi abutmen dan gigi
antagonis, gerakan drifting atau gigi ekstrusi ke dalam ruangan dimana gigi yang
dicabut tidak diganti, atau gerakan ortodontik ke posisi fungsional yang tidak
dapat diterima. Trauma oklusi primer tidak mempengaruhi tingkat perlekatan
jaringan ikat dan tidak menginisiasi pembentukan poket karena serat-serat gingiva
suprakrestal tidak terpengaruh, sehingga mencegah junctional epithelium
bermigrasi ke apikal.4,14

A B C
Gambar 2.5 Gaya Traumatik Dapat Terjadi pada A. Jaringan Periodontal Normal
dengan Tinggi Tulang Normal Ttrauma Oklusi Primer); B. Jaringan
Periodontal Normal dengan Tinggi Tulang yang Berkurang (Trauma
Oklusi Sekunder); atau C. Periodontitis Marjinalis dengan Tinggi Tulang
yang Berkurang.4

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
14

Trauma oklusi sekunder terjadi bila gaya oklusal yang tidak normal
mengenai jaringan periodontal yang tidak sehat/lemah disebabkan periodontitis.
Inflamasi marjinal menyebabkan hilangnya tulang alveolar sehingga kapasitas
adaptif jaringan untuk menahan kekuatan oklusal terganggu. Kondisi ini
mengurangi area perlekatan jaringan periodontal dan mengubah ketahanan
jaringan yang tersisa terhadap daya pengungkit. Jaringan periodontal menjadi
lebih rentan terhadap cedera dimana kekuatan oklusal yang sebelumnya
ditoleransi dengan baik, berubah menjadi traumatis.4 Gigi dengan jaringan
periodontal yang tidak sehat atau terinflamasi, ditambah gaya oklusal yang
berlebihan akan mengalami kehilangan tulang dan pembentukan poket yang
cepat.20

2.1.4 Tanda-tanda Klinis dan Gejala Trauma Oklusi


Diagnosis trauma oklusi dapat ditegakkan jika ditemukan beberapa tanda-
tanda klinis dan gejala cedera di beberapa bagian sistem mastikasi.18
Pengetahuan, pengalaman dan intuisi klinis juga diperlukan untuk mendiagnosis
trauma oklusi.19 Tanda-tanda dan gejala trauma oklusi dapat dibagi menjadi dua
yaitu, klinis dan radiografis. Indikator-indikator trauma oklusi dapat meliputi
satu atau lebih tanda dan gejala.7
Trauma oklusi akut menunjukkan sakit gigi hebat, nyeri ketika
mengunyah, nyeri pada perkusi dan hipermobilitas gigi. Dalam kasus berat,
terjadi pembentukan abses periodontal dan kerusakan sementum.14, 18
Gejala
klinis lain adalah: fremitus, sensitif terhadap panas, ketidaksesuaian oklusal
(occlusal prematurities), rasa tidak nyaman yang persisten, poket infrabony,
keterlibatan furkasi, atrisi (wear facet), gigi gumpil atau fraktur, resesi gingiva
dan migrasi patologis (Gambar 2.6). 7,14, 22

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
15

 
  A B
Gambar 2.6 Gejala Klinis Trauma Oklusi: A. Migrasi Gigi 12 ke Distal. B. Atrisi
(Wear Facet) pada Gigi 41 dan 42 Selama Gerakan Mandibula ke Lateral
Kanan.22

Peningkatan mobilitas gigi tidak selalu menjadi indikasi trauma oklusi.22


Istilah trauma oklusi primer dan sekunder digunakan untuk menjelaskan tanda-
tanda klinis trauma oklusi berdasarkan mobilitas klinis. Trauma oklusi primer
didefinisikan sebagai ‘trauma disebabkan gaya oklusal berlebihan pada gigi
dengan struktur penyangga yang normal’. Mobilitas gigi pada kasus ini dapat
dipulihkan dengan cara mengembalikan beban oklusal menjadi normal.19 Gigi
yang kehilangan jaringan penyangga dapat mengalami trauma oklusi sekunder.
Kekuatan oklusal normal dapat menyebabkan trauma pada apparatus perlekatan
gigi dengan dukungan yang tidak memadai. Mobilitas klinis yang nyata tidak
dapat diperbaiki karena berkurangnya dukungan tulang pada gigi yang terlibat.19
Ini menunjukkan bahwa trauma oklusi mempercepat hilangnya perlekatan lebih
lanjut pada pasien dengan periodontitis aktif.22
Gambaran radiografis trauma oklusi meliputi: pelebaran ruang ligamen
periodontal, gangguan pada lamina dura berupa penebalan lamina dura di
sepanjang tepi lateral akar gigi, apikal dan area bifurkasi dan diskontinuitas
lamina dura. 15,22 Destruksi septum interdental lebih ke arah vertikal dibandingkan
ke horisontal, radiolusen pada furkasi, apeks gigi vital atau tampak resorpsi akar
gigi.7,14, 15,18
Perbandingan akar-mahkota gigi yang tidak seimbang, bentuk akar
gigi konvergen dengan mahkota gigi yang relatif besar menjadi indikator trauma
oklusi.4,8,9,10,12

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
16

Gambar 2.7 Gambaran Radiografis yang Menunjukkan Tanda-tanda Trauma Oklusi pada
Periodontitis Dalam Derajat Berbeda.22

2.1.5 Pemeriksaan Radiografis Periapikal


Lesi periodontal didiagnosis terutama berdasarkan temuan klinis.
Selanjutnya, pemeriksaan radiografis digunakan untuk menentukan keberadaan,
luas dan lokalisasi kerusakan tulang. Linden (1985), di dalam penelitiannya
menuliskan bahwa menurut Prichard (1961) persyaratan untuk interpretasi
radiografis yang tepat memerlukan pengetahuan tentang hubungan anatomi
normal, gambaran radiografis yang normal, patologi penyakit serta perubahan
gambaran radiografis yang dihasilkannya. Beberapa tanda dan gejala
periodontitis dapat dideteksi secara klinis, radiografis, atau dengan kedua metode
ini dapat dilihat pada Tabel 2.1.23

Tabel 2.1 Gambaran Klinis dan Simptom Periodontitis yang Dapat Dilihat Secara Klinis
dan Radiologis 23
Gambaran klinis dan simptom Klinis Radiografis
Warna gingiva + -
Resesi gingiva + -
Kedalaman poket + -
Eksudat dari poket + -
Pelebaran ruang periodontal - +
Struktur dan permukaan alveolar crest - +
Kehilangan tulang horisontal - +
Kehilangan tulang vertikal (proksimal) - ±
Kehilangan tulang vestibular atau oral - ±
Bentuk alveolar crest - ±
Perbedaan tinggi tulang vestibular dan oral - ±

2.1.5.1 Anatomi-Radiologis Jaringan Periodontal


Berkaitan dengan penyakit periodontal serta hubungannya dengan trauma
oklusi, beberapa hal yang perlu diketahui dengan benar adalah ruang ligamen

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
17

periodontal atau sering disebut sebagai ruang periodontal, lamina dura, alveolar
crest dan pola kehilangan tulang. Pada radiograf, ruang ligamen periodontal
terlihat sebagai garis gelap di sebelah akar gigi. Sebuah zona radiopak sempit di
sekitarnya adalah lamina dura (lamina cribosa), yang dikelilingi oleh tulang
cancellous. Dinding tulang alveolar terdiri dari lapisan tulang kortikal yang
mempengaruhi kepadatannya. Demarkasi koronal interproksimal dari tulang
alveolar dikenal sebagai alveolar crest. 23

2.1.5.2 Ruang Ligamen Periodontal


Ruang ligamen periodontal terletak di antara tulang alveolar dan gigi.
Ruang ini diisi oleh membran periodontal, yang sebagian besar terdiri dari
jaringan ikat untuk memfiksasi gigi di alveoli. Lebar ruang ligamen periodontal
menurun dengan bertambahnya usia dari 0,21 mm (11-16 tahun) menjadi 0,15
mm pada usia 51-67 tahun. Terlepas dari variasi anatomi normal, fungsi gigi dan
perubahan yang disebabkan oleh kekuatan, Linden (1985) di dalam penelitiannya
menuliskan bahwa menurut Van der Linden dan Van Aken (1970) ada faktor-
faktor lain yang mempengaruhi lebar ruang periodontal pada radiograf. 23

2.1.5.3 Lamina Dura


Secara radiografis, lamina dura terlihat sebagai garis putih yang homogen
dan menunjukkan ruang ligamen periodontal serta bentuk akar gigi.24 Sinonim
untuk lamina dura meliputi: soket tulang alveolar, tulang alveolar, tulang alveolar
sejati, tulang alveolar yang sebenarnya, lamina cribosa dari prosessus alveolaris.
Lamina dura adalah lapisan tipis tulang kompak yang membentuk dinding setiap
soket gigi atau alveolus tempat ligamen periodontal melekat. Satu-satunya
ruangan di antara lapisan luar akar gigi (sementum) dan tulang alveolar ini
ditempati oleh ligamen periodontal, yang memfiksasi setiap gigi ke tulang.
merupakan dinding alveolar.3
Tulang ini berisi banyak kanal dan lubang yang dilalui arteri, vena,
pembuluh getah bening dan saraf yang membentang dari dan ke membran
periodontal. Terdiri dari tulang lamela dan tulang bundel, sebagian lamela tulang
tersusun sejajar dengan ruang sumsum, sedangkan yang lainnya membentuk

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
18

sistem Havers. Di dalam tulang bundel berada serat Sharpey untuk memfiksasi
gigi.23, 24

2.1.5.4 Alveolar crest


Alveolar crest atau puncak alveolar adalah lapisan tipis tulang kompak
yang meliputi septum interdental. Lamina cribosa dan tulang kortikal dari septum
interdental bersama-sama berubah menjadi alveolar crest. Linden (1985), di
dalam penelitiannya menuliskan bahwa menurut Schei dkk. (1959) jarak antara
cemento-enamel junction dan alveolar crest pada radiograf adalah 1 mm. Dalam
arah bukal-lingual bentuk alveolar crest dapat flat atau berbentuk atap. Pada
jaringan periodontal yang utuh, gambaran radiografis menunjukkan puncak
alveolar ini sejajar dengan garis imajiner yang menghubungkan cemento-enamel
junction dua gigi yang berdekatan.23

2.1.5.5 Kerusakan Tulang Alveolar


Di dalam penelitian Linden (1985), dituliskan bahwa menurut Herulf
(1950), tinggi tulang optimal jika jarak ke cemento-enamel junction adalah
sekitar 1 mm, dan menurut Belting dkk. (1953) kerusakan tulang telah terjadi jika
jarak antara alveolar crest ke cemento-enamel junction melebihi 2 mm. Gambaran
khas kehilangan tulang periodontal adalah: (1) kehilangan tinggi puncak alveolar,
menunjukkan kehilangan tulang horisontal; (2) lokal, kerusakan tulang parsial,
menunjukkan kehilangan tulang vertikal atau angular.23
Linden (1985) juga menuliskan bahwa menurut Schei dkk. (1959) ia
mengukur ketinggian tulang dalam bentuk persentase dari tinggi tulang
maksimal, sedangkan Lindhe dan Nyman (1975) menghubungkan tingkat
kehilangan tulang dengan panjang gigi. Setelah diagnosis klinis pada poket yang
terinflamasi, mereka menggunakan klasifikasi sebagai berikut: Periodontitis
levis: pengukuran kedalaman poket dan/atau dari gambaran radiografis yang
menunjukkan kehilangan tulang marjinal tidak lebih dari sepertiga tinggi tulang
normal; Periodontitis gravis: kehilangan tulang horisontal lebih dari sepertiga
ketinggian tulang normal dan Periodontitis complicata: dari gambaran

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
19

radiografisnya menunjukkan kehilangan tulang angular dan/atau keterlibatan


furkasi serta mobilitas gigi.23

2.1.6 Interpretasi Radiografis Periapikal


Interpretasi radiografis harus selalu memperhitungkan fakta bahwa mereka
memberikan gambar dua dimensi dari objek tiga dimensi. Ini berarti bahwa
struktur anatomi yang berbeda diproyeksikan superposisi, yang menghasilkan
citra yang kompleks. Untuk pemahaman yang baik tentang gambaran radiografis
terhadap jaringan periodontal diperlukan pengetahuan anatomi jaringan ini.23
Pada radiografis periapikal menggunakan teknik radiografi intraoral yang
dirancang untuk menunjukkan gigi secara individu beserta jaringan di sekitar
apeks. Setiap radiograf biasanya menunjukkan dua atau empat gigi dan
memberikan informasi rinci tentang gigi dan tulang alveolar di sekitarnya.25
Dasar interpretasi radiografis adalah kemampuan untuk mengenal kondisi
normal (Gambar 2.8 dan 2.9). Untuk melakukan interpretasi radiografis,
diperlukan beberapa persyaratan radiograf yaitu: (1) area yang diperiksa harus
tampak utuh dan pada angulasi optimal; (2) pastikan film menampilkan semua
batas-batas wilayah yang mencurigakan dan memperlihatkan tulang normal di
sekitarnya; (3) pada radiograf periapikal, operator harus mengenal seluruh
landmark anatomi dalam berbagai kondisi baik patologis maupun non-patologis.24
Radiograf periapikal telah banyak dipakai pada penelitian-penelitian
periodontologi untuk menilai kehilangan tulang di sekitar gigi.8 Jin dan Cao
(1992), memakai radiograf periapikal seluruh mulut untuk melihat hubungan
trauma oklusi dengan periodontitis yang parah.26 Grossman dan Sadan (2005),
mengatakan bahwa untuk melakukan evaluasi rasio akar-mahkota gigi secara
radiografis, harus menggunakan radiograf periapikal.8 Albandar dan Abbas (1986)
di dalam penelitiannya, menuliskan bahwa Lang dan Hill (1977) menggunakan
radiograf periapikal untuk melakukan kuantifikasi tingkat tulang krestal secara
radiografis berkaitan dengan evaluasi dukungan jaringan periodontal pada gigi.27
Pemeriksaan radiografis, dapat mengevaluasi penurunan atau kenaikan
tingkat tulang alveolar selama periode waktu tertentu.28 Radiograf periapikal

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
20

memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan radiograf panoramik


khususnya untuk mendeteksi destruksi tulang yang kecil (1-4mm).8

Gambar 2.8 Potongan Sagital pada Gigi dan Tulang Alveolar, yang
Memperlihatkan: Ruang Periodonrtal, Lamina Dura dan
Alveolar Crest. 29

Dentin
Tambalan logam

Email
Tulang alveolar

Membrana periodontal

Ruang pulpa

Lamina dura

Tulang cancellous

Pulpa dan saluran akar

Gambar 2.9 Radiograf Periapikal pada Sisi Kanan Mandibula Orang Dewasa Memperlihatkan
Struktur Gigi dan Jaringan Periodontal Normal. 24

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
21

2.2 Mahkota Gigi dan Akar Gigi


Mahkota gigi anatomis adalah bagian gigi (di mulut atau ditangan) yang
dilapisi email, dan akar gigi anatomis adalah bagian gigi yang dilapisi oleh
sementum. Sebuah garis servikal (cemento-enamel junction) memisahkan
mahkota gigi anatomis dari akar gigi anatomis. Hubungan ini tidak berubah
seumur hidup. Istilah mahkota gigi klinis adalah bagian mahkota gigi yang terlihat
di mulut dan akar gigi klinis adalah bagian gigi yang tidak terlihat karena ditutup
oleh gingiva.3
Secara klinis, tepi gingiva sehat seseorang yang berusia 25 tahun
mengikuti kelengkungan garis servikal dan mahkota gigi klinis sama dengan
mahkota gigi anatomis. Namun, tepi gingiva tidak selalu pada garis servikal yang
dapat disebabkan oleh proses erupsi sejak awal kehidupan atau resesi gingiva di
kemudian hari. Sebagai contoh, erupsi gigi sebagian pada usia 10 tahun,
gingivanya melingkupi lebih banyak enamel mahkota gigi anatomis, sehingga
mahkota gigi klinis (yang terekspos di mulut) jauh lebih pendek dibandingkan
dengan mahkota gigi anatomis. Akar gigi klinis (tidak terlihat di dalam mulut)
akan lebih panjang daripada akar gigi anatomis (meliputi akar gigi anatomis
ditambah dengan bagian mahkota gigi anatomis yang tertutup gingiva).3
Sebaliknya, pada orang berusia 70 tahun, mungkin menunjukkan resesi
gingiva, terutama bila memiliki penyakit periodontal atau setelah terapi
periodontal yang mengekspos akar gigi anatomis lebih banyak. Hal ini
menciptakan mahkota gigi klinis yang lebih panjang dibandingkan dengan
mahkota gigi anatomis sehingga mahkota gigi klinis di mulut meliputi seluruh
mahkota gigi anatomis ditambah dengan bagian akar gigi anatomis yang
terekspos. Dalam situasi ini, akar gigi klinis lebih pendek dibandingkan dengan
akar gigi anatomis.3

2.3 Rasio Akar-Mahkota Gigi dan Konvergensi Akar Gigi


Dari sudut pandang oklusal, anatomis mahkota memberikan dukungan
permukaan oklusi yang bermakna tetapi anatomi akar, menentukan dukungan
sebenarnya pada gigi. Konvergensi atau divergensi akar juga mempengaruhi

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
22

dukungan jaringan periodontal terhadap gigi. Akar divergen meningkatkan


stabilitas dan memungkinkan dukungan tulang lebih inter-radikuler. 3
Rasio akar-mahkota gigi adalah fitur penting di dalam prognosis gigi.9
Akar gigi pendek menyebabkan rasio akar-mahkota gigi tidak menguntungkan.12
Rasio akar-mahkota gigi didefinisikan sebagai "hubungan fisik antara posisi gigi
di dalam tulang alveolar dibandingkan dengan bagian gigi yang tidak berada di
dalam tulang alveolar, yang ditentukan secara radiografis". Rasio akar-mahkota
gigi dapat meningkat dari waktu ke waktu diakibatkan oleh hilangnya dukungan
tulang alveolar, titik tumpu bagian mahkota gigi (effort arm) akan meningkat dan
pada bagian akar gigi (resistance arm) akan menurun. Pusat rotasi bergerak ke
apikal, sehingga gigi lebih rentan terhadap pengaruh buruk gaya lateral.8
Höltta dkk. mengatakan penyebab terjadinya gigi permanen berakar
pendek bisa disebabkan oleh genetik berupa anomali akar gigi pendek, variabel
eksogen termasuk radiasi kepala dan leher dan/atau kemoterapi keganasan pada
anak selama perkembangan gigi. Kondisi ini juga telah terdeteksi pada kasus
hiperparatiroidisme, sindrom Down dan sindrom Turner. Dalam beberapa kasus
etiologinya masih idiopatik. Akar gigi yang pendek dapat menyulitkan rencana
perawatan pada fase rekonstruksi, misalnya di dalam perawatan ortodontik dan
prostodontik, yaitu ketika mempertimbangkan penjangkaran atau memperkirakan
kemampuan gigi untuk mengatasi gaya mastikasi.12

2.4 Morfologi Akar Gigi Molar Pertama


Morfologi akar gigi akan menentukan luas permukaannya dalam milimeter
persegi. Secara alamiah dukungan tulang alveolar di fasial dan lingual bersifat
kuantitatif dan kualitatif. Morfologi akar gigi harus dikonsep secara klinis
sebagai luas permukaan yang tersedia untuk perlekatan serat ligamen periodontal.
Perubahan berupa resorpsi di apeks akar gigi atau bentuk akar gigi yang
meruncing atau kontur akar gigi pendek dapat membatasi luas permukaan akar
gigi yang tersedia untuk dukungan jaringan periodontal.11
Gigi molar maksila memiliki tiga akar, panjangnya hampir dua kali
panjang mahkota gigi, terdiri atas: akar mesiobukal, akar distobukal, dan akar
palatal dengan tiga akses furkasi yaitu: bukal, mesial dan distal. Furkasi bukal

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
23

pada gigi molar maksila pertama, rerata 4 mm dari cemento-enamel junction dan
terletak di tengah mid-fasial. Furkasi akar gigi mesial adalah 3 mm dari cemento-
enamel junction dan tidak berada di tengah. Furkasi akar gigi distal terletak 5 mm
dari cemento-enamel junction dan berada di tengah. Akar mesiobukal cukup besar
sehingga furkasi mesial ditemukan pada dua-pertiga dari arah bukal-palatal. 30
Akar palatal adalah terpanjang dan akar distobukal adalah yang terpendek.
Akar ini menyatu ke dasar servikal gigi yang luas, disebut batang akar gigi. Akar
mesiobukal dan akar distobukal sering melengkung ke distal. Pada akar
mesiobukal di pertengahan servikal melengkung dulu ke mesial sebelum menekuk
ke distal. Lengkungan sepertiga apikal pada akar mesiobukal mungkin cukup
untuk tempat apeks akar distal segaris dengan buccal groove mahkota gigi. Akar-
akar gigi molar pertama maksila hampir sama panjang (tidak lebih dari 1,5 mm);
biasanya akar mesiobukal sekitar 0,75 mm lebih panjang dibandingkan dengan
akar distobukal dan 0,75 mm lebih pendek dibandingkan dengan akar palatal.
Kedua akar mesiobukal dan distobukal meruncing ke apikal, apeks akar
mesiobukal biasanya lebih tumpul. Gambaran khas: rentangan sepertiga tengah
kedua akar bukal adalah hampir selebar mahkota gigi. Rasio akar-mahkota gigi
molar pertama maksila adalah 1,723 dan akar palatal adalah akar terpanjang yaitu,
sekitar 13,7 mm.3, 30

Bukal Mesial Distal

Gambar 2.10 Gambaran Anatomi Gigi Molar Pertama Maksila: DB= Disto-
30
Bukal, MB= Mesio-Bukal.

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
24

Gigi molar mandibula hanya memiliki dua akar gigi: akar mesial dan akar
distal, dengan dua akses furkasi yaitu bukal dan lingual. Letak furkasi pada gigi
molar pertama mandibula terletak ditengah mid-fasial dan mid-lingual. Jarak
furkasi dari cemento-enamel junction sekitar 3 mm di bukal dan 4 mm di lingual.
Akar mesial pada gigi ini, rerata 1 mm lebih panjang dibandingkan dengan akar
distal. Panjang akar gigi molar pertama mandibula adalah dua kali lebih panjang
dibandingkan dengan panjang mahkota gigi, rasio akar-mahkota gigi molar
3, 30
pertama adalah 1,83.
Bifurkasi akar gigi molar pertama mandibula terletak dekat garis servikal
dengan depresi di antara bifurkasi dan garis servikal, dan batang akar gigi relatif
pendek (lebih pendek dari pada molar kedua). Dari aspek bukal, akar distal pada
gigi molar pertama maksila lebih lurus dibandingkan dengan akar mesial dan
memiliki apeks yang meruncing. Lengkungan dan arah akar-akar gigi adalah baik
bila apeks akar mesial berada satu garis dengan mesiobukal groove pada mahkota
gigi, dan apeks akar distal terletak distal terhadap permukaan distal mahkota gigi.3

Bukal Lingual
30
Gambar 2.12 Gambaran Anatomi Gigi Molar Pertama Mandibula.

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
25

2.5 Kerangka Teori

Faktor Etiologi Primer 15,17


 Mikroorganisme pathogen
di dalam plak dan kalkulus

Faktor Herediter 17: Habit 15,17:


 Defisiensi imun  Merokok
 Sindrom genetik  Alkohol
 Penyakit sistemik:  Diet
 Diabetes  Medikasi
 Virus:
 Modulasi imun
Faktor Psikologis 15,17
 Stress
 Modulasi imun

Faktor Lingkungan 15,17


 Keluarga
 Sosioekonomi
 Pendidikan
Faktor Anatomi
Gigi pada Trauma
Oklusi 4,7,16:
 Rasio akar-
mahkota gigi Periodontitis 5,17,19,21 Trauma Oklusi dan
tidak seimbang9, Periodontitis 5,17,19,21
12,28

 Akar konvergen
3, 16

1,6
Pengasahan selektif

Gambar 2.12 Kerangka Teori

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
 
26

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

1. Rasio akar-
mahkota gigi Trauma Oklusi yang
2. Akar gigi Memperberat Periodontitis
konvergen

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.2 Hipotesis
3.2.1 Hipotesis Mayor
Ada hubungan antara rasio akar-mahkota gigi klinis dan tipe konvergensi
akar gigi pada gigi molar pertama maksila dan mandibula dengan trauma
oklusi yang memperberat periodontitis

3.2.2 Hipotesis Minor


3.2.2.1 Ada hubungan antara rasio akar-mahkota gigi klinis pada gigi molar
pertama maksila dan mandibula dengan trauma oklusi yang memperberat
periodontitis.
3.2.2.2 Ada hubungan antara tipe konvergensi akar gigi molar pertama maksila
 
dan mandibula dengan trauma oklusi yang memperberat periodontitis.

Universitas Indonesia
26
 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
 27

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Disain Penelitian


Penelitian ini dilakukan menggunakan Rancangan Observasional
Retrospektif pada rekam medik kasus-kasus penyakit periodontal yang diperberat
oleh trauma oklusi yang disebabkan rasio akar-mahkota gigi tidak seimbang dan
akar gigi konvergen. Di dalam penelitian ini menggunakan radiograf periapikal.
Kasus-kasus yang diteliti adalah pasien di Klinik Periodonsia RSKGM FKG UI
dengan trauma oklusi yang sudah memberikan gambaran radiografis.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Klinik Periodonsia Rumah Sakit Khusus Gigi
dan Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Penelitian dilakukan
dari bulan Februari-April 2014

4.3 Sampel Penelitian


4.3.1 Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah radiograf periapikal dari gigi molar pertama
maksila dan mandibula yang sudah didiagnosis sebagai trauma oklusi disebabkan
rasio akar-mahkota gigi tidak seimbang dan / atau akar gigi konvergen, pada kasus
periodontitis kronis atau periodontitis agresif di Klinik Periodonsia Rumah Sakit
Khusus Gigi dan Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, sejak
tahun 2010 sampai dengan 2014.

4.3.2 Kriteria Subjek Penelitian


Subjek penelitian adalah pasien periodontitis kronis lokalisata,
periodontitis kronis menyeluruh dan periodontitis agresif dengan gigi molar
pertama maksila atau mandibula mengalami trauma oklusi disebabkan rasio akar-
mahkota gigi tidak seimbang dengan/tanpa akar gigi konvergen.

27 Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
28

4.3.2.1 Kriteria Inklusi


Gigi molar pertama maksila dan mandibula yang memiliki beberapa indikator
trauma oklusi secara radiografis, meliputi:
 pelebaran ruang periodontal
 penebalan lamina dura
 rasio akar-mahkota tidak seimbang dan / atau akar gigi konvergen

4.3.2.2 Kriteria Eksklusi


 Gigi molar pertama maksila dan mandibula yang dipakai sebagai abutmen
 Full crown porcelain/akrilik/metal pada gigi molar pertama
 Gigi molar pertama maksila dan mandibula yang mengalami migrasi, malposisi
dan oklusi edge-to-edge.
 Gigi non-vital.

4.3.3 Teknik Penarikan Sampel


Di dalam penelitian ini dilakukan metode simple random sampling pada
semua kasus trauma oklusi yang memperberat periodontitis sejak tahun 2010-
2014.

4.4 Besar Sampel


Penentuan besar sampel berdasarkan rumus besar sampel tunggal dengan
ketepatan absolut.31
n = Zα2 PQ
d2 (4.1)
PQ = P adalah proporsi penyakit atau keadaan yang dicari. Karena PxQ
mempunyai nilai paling tinggi bila P = 0,50, bila proporsi sebelumnya tidak
diketahui. Maka dengan simple random sampling dipergunakan P = 0,50
Zα = 1,96
d = ketepatan absolut yang diinginkan sebesar 10%
α = 0,05
Berdasarkan rumus besar sampel di atas maka diperoleh:
n = (1,96)2x0,50x (1-50) = 97
(0,10)2 (4.2)
Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
29

4.5 Alir Penelitian

Penentuan Subjek Penelitian berdasarkan pemeriksaan


rekam medik di Klinik Periodonsia RSKGM FKG-UI, sejak tahun
2010 sampai dengan 2014.

Pencatatan rekam medik meliputi: nama pasien, usia, jenis kelamin,


OHI-S dan diagnosis. Pencatatan status lokalis pada gigi molar
pertama maksila dan mandibula yang meliputi: vitalitas, kegoyangan
gigi, kedalaman poket, resesi gingiva, loss of attachment, migrasi,
malposisi, titik kontak, karang gigi, trauma.

Tracing pada radiograf periapikal untuk mengukur:


1. Rasio-akar mahkota gigi anatomis dan klinis
2. Tinggi tulang alveolar yang hilang
3. Konvergensi akar gigi

Analisis Data

Gambar 4.1 Alir Penelitian

4.6 Bahan dan Alat


4.6.1 Bahan:
 Foto ronsen periapikal
 Rekam medik periodontal Klinik Periodonsia RSKGM FKG UI
 Ceph tracing paper (RCF: 630-020, Ortho Organizers. Inc).

4.6.2 Alat:
 Kamera digital
 X-ray film viewer ukuran: 40x45x8 cm
 Cephalometric protractor/tracing template (Ormco Sybron).
 Penggaris segitiga 600-900-300 (Faber-Castell).
Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
30

 Penggaris segitiga 450-900-450 (Faber-Castell).


 Penggaris lurus 15 cm (Faber-Castell).
 Pinsil mekanik 0,5 mm-2B (Pilot)

4.7 Cara Kerja


Radiograf periapikal yag diteliti harus: (1) kontras, detil dan memiliki
ketajaman yang baik sehingga setiap struktur anatomis tampak jelas; (2) fitur gigi
molar pertama yang diperiksa secara keseluruhan dalam keadaan utuh, tidak
terpotong ; (3) tidak ada distorsi bentuk atau ukuran; (4) daerah interdental
tampak jelas.

4.7.1 Pengukuran Rasio Akar-Mahkota Gigi Anatomis Secara Radiografis


Menggunakan metode yang digunakan oleh Höltta dkk. dan Othman dkk.
yaitu metode dari Lind (1972). Pada metode ini, tinggi mahkota gigi diukur dari
bagian gigi yang paling koronal ke cemento-enamel junction dan panjang akar
gigi ditentukan oleh pengukuran jarak dari cemento-enamel junction ke apeks akar
9,12
gigi. Hasil pengukuran merupakan rasio akar-mahkota anatomis secara
radiografis.

4.7.2 Pengukuran Rasio Akar-Mahkota Gigi Klinis Secara Radiografis


Berdasarkan metode dari Lind (1972) tersebut di atas, dilakukan
modifikasi untuk mengukur tinggi tulang alveolar yang hilang, yaitu jarak dari
cemento-enamel junction sampai ke titik tengah antara puncak alveolar crest
mesial dan distal pada kehilangan tulang horisontal atau antara dasar tulang tersisa
mesial dan distal pada kehilangan tulang vertikal/angular. Dari hasil pengukuran
rasio akar-mahkota anatomis, maka panjang akar dikurangi dengan tinggi tulang
alveolar yang hilang, dan tinggi mahkota ditambahkan tinggi tulang alveolar yang
hilang, sehingga diperoleh rasio akar-mahkota klinis secara radiografis.

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
31

Gambar 4.2 Metode Pengukuran Tinggi Mahkota Gigi dan Panjang


Akar Gigi Untuk Memperoleh Rasio Akar-Mahkota Gigi
(Lind, 1972) dengan Ketentuan: a=Tangen Apikal,
m=Titik Tengah dari Persimpangan antara Mahkota Gigi
dan Akar Gigi, i= Garis Referensi Insisal/Oklusal,
Panjang Akar Gigi (mm)=Diukur Tegak Lurus dari Titik
m ke Titik a; Tinggi Mahkota Gigi (mm)=Diukur Tegak
Lurus dari Titik m keTtitik i. 9,12

R
cej
cej

R
C

Gambar 4.3 Pengukuran Rasio Akar-Mahkota Gigi Anatomis Secara


Radiografis pada Gigi Molar Pertama Maksila dan
Mandibula. (C: Tinggi Mahkota Gigi; R: Panjang Akar
Gigi, cej: Cemento-Enamel Junction).

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
32

Ac
Ac

Gambar 4.4 Pengukuran Tinggi Tulang Alveolar yang Hilang Secara


Radiografis pada Gigi Molar Pertama Maksila dan
Mandibula (Ac: Tinggi Tulang Alveolar yang Hilang
Dihitung dari Cemento-Enamel Junction ke Alveolar
Crest/Dasar Poket).

4.7.3 Pengukuran Konvergensi Akar Gigi Molar


Belum ada literatur yang menyatakan bagaimana melakukan pengukuran
konvergensi akar gigi. Untuk mengukur konvergensi akar gigi molar maksila dan
mandibula dibuat garis referensi oklusal dan garis referensi apikal. Pada kedua sisi
mesial dan distal di sepanjang mahkota sampai akar gigi dibuat garis referensi
bidang mesial dan bidang distal, sehingga akan diperoleh lebar bidang oklusal
dan lebar bidang apikal. Tingkat konvergensi diukur dengan cara matematis yaitu:
lebar bidang oklusal-lebar bidang apikal.

Ap Oc

m d

m d

Oc Ap
Gambar 4.5 Pengukuran Konvergensi Akar Gigi Secara Radiografis
pada Gigi Molar Pertama Maksila dan Mandibula (m:
Garis Singgung di Mesial; d: Garis Singgung di Distal; Ap:
Bidang Apikal; Oc: Bidang Oklusal).

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
33

4.8 Pengumpulan Data


Pengumpulan mengenai data usia, jenis kelamin, OHIS dan diagnosis.
Satatus lokalis pada gigi molar pertama maksila dan mandibula meliputi: vitalitas,
kegoyangan gigi, kedalaman poket, resesi gingiva, loss of attachment, migrasi,
malposisi, titik kontak, karang gigi, trauma yang diperoleh berdasarkan catatan
rekam medik. Data lain adalah hasil tracing berupa rasio akar-mahkota anatomis,
rasio akar-mahkota klinis, konvergensi akar gigi pada gigi molar pertama maksila
dan mandibula.

4.9 Manajemen dan Analisis Data


Semua data yang diperoleh dan yang diperlukan setelah dicatat di dalam
formulir khusus, dipindahkan ke lembaran data di komputer, dilakukan
pengkodean, kemudian data siap ditabulasi atau dianalisis. Data yang terkumpul
di olah menggunakan program SPSS versi 21.00. Pada data numerik dilakukan uji
normalitas data. Hasilnya adalah tidak ada data yang berdistribusi normal (p<α).
Untuk analisis statistik selanjutnya dilakukan dalam statistik nonparametrik.
Pengukuran di dalam penelitian dilakukan oleh peneliti sendiri sebanyak
dua kali. Untuk mengetahui reliabilitas dan validitas dari kedua pengukuran
tersebut dilakukan uji reliabilitas Cronbach Alfa. Dari hasil uji akan diperoleh
koefisien Cronbach’s alfa yang dibandingkan dengan r tabel. Pada df=n-2
dengan uji dua ekor, α: 0,05 diperoleh r tabel sebesar 0,1447. Bila koefisien
Cronbach's Alpha>r tabel maka menunjukkan item yang diuji reliabel (koefisien
Cronbach’s alpha semakin mendekati 1 semakin reliabel). Dari uji Cronbach
Alfa, dapat dilihat nilai Corrected Item-Total Correlation, bila lebih besar dari r
tabel (0,1447) menunjukkan item yang diuji adalah valid (Corrected Item-Total
Correlation semakin mendekati satu semakin valid).32
Pada analisis univariat dipergunakan untuk melihat distribusi variabel
penelitian berupa rerata, standar deviasi, jumlah minimum dan maksimum dari
subjek penelitian. Untuk menguji hipotesis, maka dilakukan analisis bivariat
berupa uji korelasi antar variabel, menggunakan uji korelasi Spearman. Derajat
keeratan hubungan antar variabel berdasarkan koefisien korelasi rho (rs). Nilai rs:
0,00-0,20 berarti korelasinya sangat lemah; nilai rs: 0,21-0,40 berarti korelasi

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
34

lemah; nilai rs: 0,41-0,70 berarti korelasinya kuat; nilai rs: 0,71-0,90 berarti
korelasinya sangat kuat; nilai rs: 0,91-0,99 berarti korelasinya sangat kuat sekali
dan nilai rs: 1.00 berarti korelasinya sempurna.33 Uji beda dua mean untuk data
numerik non parametrik dilakukan menggunakan uji Mann-Whitney. Penentuan
cut of point menggunakan analisis ROC-curve. 34

4.10 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Penelitian


4.10.1 Identifikasi Variabel
Variabel terikat: Rasio akar-mahkota anatomis, tinggi kehilangan tulang,
rasio akar-mahkota klinis, tipe konvergensi akar
Variabel bebas: merupakan catatan rekam medik meliputi kegoyangan gigi,
kedalaman poket, resesi gingiva, kehilangan perlekatan
(loss of attachment). Interpretasi radiografis meliputi
penebalan lamina dura.

4.10.2 Definisi Operasional


No Variabel Definisi Cara Mengukur Hasil Ukur Skala
Operasional
1 Rasio Adalah nilai Menggunakan metode Angka pembagian Numerik
akar- perbandingan panjang dari Lind (1972). antara panjang
mahkota akar dan tinggi mahkota Tinggi mahkota gigi akar/tinggi
anatomis gigi sesuai dengan diukur dari bagian gigi mahkota (rasio)
gigi anatominya yang paling koronal ke
molar cemento-enamel
pertama junction dan panjang
akar gigi ditentukan
oleh pengukuran jarak
dari cemento-enamel
junction ke apeks akar
gigi.
Dari hasil pengukuran
dilakukan penghitungan
matematis yaitu:
panjang akar dibagi
tinggi mahkota.

2 Kategori Adalah kategori Dari data numerik rasio Rasio akar- Kategorik
rasio perbandingan panjang akar-mahkota anatomis mahkota gigi
akar- akar dan tinggi mahkota dibuat menjadi kategori anatomis:
mahkota gigi anatomis berdasarkan cut of point >1,50 = rasio
anatomis yang diperoleh dari akar-mahkota baik
gigi analisis ROC curve. 1- ≤ 1,50 = rasio
Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
35

No Variabel Definisi Cara Mengukur Hasil Ukur Skala


Operasional
molar akar-mahkota
pertama cukup baik

3 Tinggi Adalah tinggi tulang Menggunakan Angka Numerik


kehilang alveolar yang hilang modifikasi metode dari pengukuran dalam
an tulang (bone loss) Lind (1972) diukur mm
alveolar cemento-enamel
junction ke titik
perpotongan antara
puncak alveolar crest
mesial dan distal pada
kehilangan tulang
horisontal atau antara
dasar tulang tersisa
mesial dan distal pada
kehilangan tulang
vertikal/angular.

4 Rasio Adalah nilai Panjang akar klinis Angka pembagian Numerik


akar- perbandingan antara adalah: panjang akar antara panjang
mahkota panjang akar klinis dan anatomis-tinggi tulang akar klinis/tinggi
klinis tinggi mahkota klinis alveolar yang hilang. mahkota klinis
gigi gigi Tinggi mahkota klinis (rasio)
molar adalah: tinggi mahkota
pertama anatomis+tinggi tulang
maksila yang hilang.
Rasio akar-mahkota
klinis adalah: panjang
akar klini/tinggi
mahkota klinis

5 Kategori Adalah kategori Dari data numerik rasio Rasio akar- Kategorik
rasio perbandingan antara akar-mahkota klinis mahkota gigi
akar- panjang akar dan tinggi dikategorikan klinis:
mahkota mahkota gigi sesuai berdasarkan cut of point >1,50 = rasio
anatomis dengan keadaan yang diperoleh dari akar-mahkota baik
gigi klinisnya analisis ROC curve. 1- ≤ 1,50 = rasio
molar akar-mahkota
pertama cukup baik
maksila 0,51- 0,99 = rasio
akar-mahkota
buruk
≤0,50= rasio akar-
mahkota sangat
buruk

6 Konver- Adalah nilai Nilai konvergesi Angka Numerik


gensi konvergensi akar adalah: lebar bidang konvergensi dari
akar gigi oklusal-lebar bidang pengurangan:
apikal. lebar bidang
oklusal-lebar
bidang apikal

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
36

No Variabel Definisi Cara Mengukur Hasil Ukur Skala


Operasional

7 Kategori Adalah kategori dari Dari data numerik Pada gigi molar Kategorik
konver- nilai konvergensi akar konvergensi akar pertama maksila:
gensi dikategorikan 0-2,6mm = akar
akar gigi berdasarkan cut of point lurus/sedikit
yang diperoleh dari konvergen
analisis ROC curve. 2,65 – 7,3mm=
akar konvergen
≥7,35mm = akar
sangat konvergen

Pada gigi molar


maksila adalah:
0-2,6 mm= akar
lurus/sedikit
konvergen
2,65 – 4,8mm =
akar konvergen
≥4.85mm= akar
sangat konvergen

8 Kego- Adalah data sekunder. Menggunakan handle 0: tidak ada Kategorik


yang gigi Kegoyangan gigi terjadi sonde dan jari telunjuk kegoyangan
untuk merespon gaya operator untuk gigi
0
yang diberikan. Gigi mengapit gigi dan 1: tidak terlihat
dapat menjadi goyang menggerakkannya ke goyang,normal
sehubungan dengan 35 0
2: terasa dan
arah fasial-lingual.
gaya oklusal terlihat
0
berlebihan yang 3: kegoyangan
berulang, inflamasi dan kejurusan
melemahnya jaringan horisontal
0
periodontal. 4: pergerakan
vertikal dan
horisontal

9 Kedalam Adalah data sekunder. Menggunakan prob Angka Numerik


an Poket Kedalaman poket periodontal. Kedalaman pengukuran dalam
adalah ruang potensial poket diukur dari mm
diantara gigi dan puncak gingiva sampai
gingiva ke dasar poket dalam
kolom mesial, distal,
bukal, palatal/lingual

10 Resesi Adalah data sekunder, Resesi gingiva yang Angka Numerik


gingiva merupakan hilangnya dicatat adalah resesi pengukuran dalam
jaringan gingiva yang terbuka dan bukan mm
(biasanya disertai yang terselubung,
kehilangan tulang di Resesi diukur dari
bawahnya), sehingga cemento-enamel
permukaan akar terbuka junction ke puncak tepi
lebih banyak. gingiva dalam kolom
mesial, distal, bukal,
Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
37

No Variabel Definisi Cara Mengukur Hasil Ukur Skala


Operasional
palatal/lingual. Cara
periksa menggunakan
probe periodontal.

11 Loss of Adalah data sekunder, Tambahkan hasil Angka Numerik


attach- berupa kehilangan pengukuran kedalaman pengukuran dalam
ment perlekatan klinis poket dengan hasil mm
mengacu jarak dari pengukuran resesi
cemento-enamel gingiva.
junction ke dasar poket
periodontal,
mengindikasikan
seberapa banyak
dukungan jaringan
periodontal telah
hilang.

12 Lamina Adalah lapisan tulang Setiap radiograf 1: penebalan Kategorik


dura keras tipis yang periapikal di foto kontinyu
melapisi soket gigi dan dengan kamera digital, 2: penebalan
yang muncul sebagai lamina dura dilihat di diskontinyu
garis putih di dalam layar personal computer 3: tidak ada
radiograf periapikal dengan pembesaran 20 (absen)
kali.

4.11 Etika Penelitian


Penelitian ini telah mendapatkan surat lolos etik penelitian FKG UI dengan
No. 17/Ethical Clearance/FKGUI/IV/2014.

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
38

BAB 5
HASIL PENELITIAN

Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui penelusuran kartu rekam


medik klinik Periodonsia Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia, pada pasien-pasien yang mengalami: trauma oklusi akibat
perbandingan akar-mahkota gigi molar pertama maksila dan/atau mandibula;
trauma oklusi akibat akar gigi molar pertama maksila dan/atau mandibula
konvergen, sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. Dari 795 rekam medik
yang diperiksa ada 99 kartu rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Diperoleh 183 sampel gigi molar pertama berupa radiograf periapikal,
terbagi menjadi gigi molar pertama maksila berjumlah 96 gigi, dan gigi molar
pertama mandibula berjumlah 87 gigi. Besar sampel penelitian yang diperlukan
adalah sebanyak 97 sehingga di dalam penelitian ini besar sampel terpenuhi.
Data demografi pasien berdasarkan data sekunder dari kartu rekam medik
klinik Periodonsia RSGMK-FKG-UI, diperoleh rerata usia pasien yang terekrut
sebagai subjek penelitian berusia 42,99 ±10,49 tahun. Indeks OHIS berkisar dari
0,1 sampai dengan 6,00 dengan rerata 3,1377±1,46. Distribusi data sampel
penelitian dapat dilihat dalam tabel-tabel berikut ini:

Tabel 5.1 Distribusi Diagnosis Periodontitis


Diagnosis N Persentase (%)
Periodontitis kronis lokalisata 15 8.2
Periodontitis kronis menyeluruh 111 60,7
Periodontitis agresif 57 31,1
.

Tabel 5.2 Distribusi Derajat Kegoyangan Gigi Molar Pertama


Maksila dan Mandibula
Derajat kegoyangan gigi N Persentase (%)
Tidak ada 76 41,5
Derajat 1 15 8,2
Derajat 2 66 36,1
Derajat 3 26 14,2

Universitas Indonesia
38
 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
39

Tabel 5.3 Lamina Dura pada Gigi Molar Pertama yang


Mengalami Trauma Oklusi Disebabkan Rasio
Akar- Mahkota Gigi Tidak Seimbang dan/atau
Akar Gigi yang Konvergen
Kondisi lamina dura N Persentase (%)
Menebal kontinyu 56 30,6
Menebal diskontinyu 101 55,2
Tidak ada 26 14,2

Tabel 5.4 Distribusi Rerata, Minimum-Maksimum, Standar Deviasi pada Pengukuran


Kedalaman Poket, Resesi Gingiva dan Loss of Attachment
Pengukuran N Min-Max(mm) Rerata (mm)
Poket mesial 183 0,00-12,00 5,0383 ± 2,50793
Poket bukal 183 0,00-10,00 2,6831 ± 2,33889
Poket distal 183 0,00-15,00 5,1803 ± 2,58381
Poket lingual/palatal 183 0,00-11,00 3,0000 ± 2,60389
Resesi mesial 183 0,00-8,00 0,7104 ± 1,25718
Resesi bukal 183 0,00-6,00 1,1202 ± 1,50339
Resesi distal 183 0,00-6,00 0,8525 ± 1,42393
Resesi lingual/palatal 183 0,00-10,00 1,8087 ± 1,93622
Loss of attachment di mesial 183 0,00-14,00 5,7486 ± 2,72195
Loss of attachment di bukal 183 0,00-12,00 3,8033 ± 2,97325
Loss of attachment di distal 183 0,00-17,00 6,0328 ± 2,95181
Loss of attachment di lingual/palatal 183 0,00-14,00 4,8087 ± 3,37924
Rerata loss of attachment 183 0,75-11,25 5,0984 ± 2,30441

Pada seluruh data numerik dilakukan uji normalitas Kolmogorov-


Smirnov, dengan tingkat kemaknaan α: 0,05 (Lampiran 4). Hasil uji normalitas
menunjukkan seluruh data numerik di dalam penelitian ini tidak berdistribusi
normal (p<α), sehingga uji statistik yang dilakukan adalah uji nonparametrik.
Pengukuran panjang akar gigi anatomis, tinggi mahkota gigi anaomis dan tinggi
tulang alveolar yang hilang dilakukan dua kali oleh peneliti, sehingga dilakukan
uji beda terhadap pengukuran pertama dan pengukuran kedua, menggunakan uji
Mann-Whitney, α=0,05 (Lampiran 4). Hasil uji dapat di lihat pada Tabel 5.5
Hasil uji reliabilitas terhadap kedua pengukuran tersebut menunjukkan
reliabilitas yang baik: (1) pengukuran panjang akar gigi [koefisien Cronbach's
Alpha (0,864)>r tabel (0,1447)]; (2) pengukuran tinggi mahkota [koefisien
Cronbach's Alpha (0,828)>r tabel (0,1447)]; dan (3) pengukuran tinggi tulang
alveolar yang hilang [koefisien Cronbach's Alpha (0,917)>r tabel (0,1447)].
Hasil uji validitas terhadap kedua pengukuran menunjukkan validitas yang baik:

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
40

(1) pengukuran panjang akar gigi [Corrected Item-Total Correlation (0,762)>r


tabel (0,1447)]; (2) pengukuran tinggi mahkota [Corrected Item-Total Correlation
(0,708) > r tabel (0,1447)]; dan (3) pengukuran tinggi tulang alveolar yang hilang
[Corrected Item-Total Correlation (0,847) >r tabel (0,1447)].

Tabel.5.5 Nilai Rerata dan Uji Beda Rerata Panjang Akar Gigi Anatomis, Tinggi Mahkota Gigi
Anatomis dan Tinggi Tulang Alveolar yang Hilang
N Min-Max Rerata ± Std.
p
Subjek Deviasi

Panjang akar gigi: 0,706


1 183 6,00-18,00 13,8634 ± 1,89067
2 183 9,00-18,50 13,9459 ± 1,79035
Tinggi mahkota gigi: 0,652
1 183 4,00-9,50 7,0191 ± 1,03160
2 183 5,00-9,00 6,9727 ± 0,96038
Tinggi tulang alveolar yang 0,982
hilang:
1 183 1,00-12,00 5,0563 ± 2,18337
2 183 1,00-11,00 5,0683 ± 2,13088
*Keterangan : Uji Mann Whitney p>0,05 tidak ada perbedaan bermakna
1: pengukuran pertama; 2: pengukuran kedua

Pengukuran panjang akar gigi klinis adalah sebagai berikut: panjang akar
gigi anatomis dikurangi tinggi tulang alveolar yang hilang dihitung mulai dari
cemento-enamel junction. Pengukuran tinggi mahkota gigi klinis adalah sebagai
berikut: tinggi mahkota anatomis ditambah tinggi tulang alveolar yang hilang
dihitung mulai dari cemento-enamel junction. Hasil pengukuran dapat dilihat pada
Tabel 5.6

Tabel 5.6 Distribusi Rerata, Minimum –Maksimum, Standar Deviasi pada Panjang Akar Gigi
Klinis dan Tinggi Mahkota Gigi Klinis Secara Radiografis
N Min-Max Rerata
(mm) (mm)
Panjang akar gigi klinis:
1 183 1,00-15,50 8,8071 ± 2,60566
2 183 2,50-16,00 8,8776 ± 2,42199
Tinggi mahkota klinis:
1 183 7,50-21,00 12,0754 ± 2,34298
2 183 6,50-19,00 12,0410 ± 2,34514
*Keterangan: 1: pengukuran pertama; 2: pengukuran kedua

Rasio akar-mahkota gigi di dalam penelitian ini dihitung berdasarkan: (1)


Rasio akar-mahkota gigi anatomis, dan (2) Rasio akar-mahkota gigi klinis. Pada
Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
41

Tabel 5.7 dapat dilihat distribusi rasio akar-mahkota gigi anatomis dan klinis
pada gigi molar pertama maksila dan mandibula.

Tabel 5.7 Distribusi Rerata, Minimum-Maksimum, Standar Deviasi pada Rasio Akar-
Mahkota Anatomis Gigi Molar Pertama
N Min-max Rerata rasio akar-
mahkota gigi
Rasio akar-mahkota gigi anatomis:
Gigi molar maksila 96 1,33-2,68 2,0121 ± 0,27673
Gigi molar mandibula 87 1,38-3,20 2,0088 ± 0,30914
Rasio akar-mahkota gigi klinis:
Gigi molar maksila 96 0,11-1,72 0,8141 ± 0,30832
Gigi molar mandibula 87 0,19-1,48 0,7413 ± 0,29508

Pada semua kasus trauma oklusi tersebut di atas, secara radiografis


memberikan gambaran berupa pelebaran ruang ligamen periodontal (100%). Oleh
karena itu di dalam analisis statistik, pelebaran ruang ligamen periodontal tidak
disertakan. Parameter trauma oklusi yang dianalisis adalah: kegoyangan gigi,
resesi gingiva dan penebalan lamina dura. Untuk mendapatkan titik potong (cut of
point) rasio akar-mahkota anatomis, dilakukan uji ROC-curve dengan state
variabel adalah: kegoyangan gigi dan penebalan lamina dura. Penentuan titik
potong adalah berdasarkan sensitivitas, spesifitas dan area di bawah kurva ROC
(α: 0,05). Selanjutnya setiap nilai rasio akar-mahkota gigi anatomis dikonversi
berdasarkan titik potongnya menjadi kategori rasio akar-mahkota baik dan rasio
akar-mahkota cukup baik. Hal yang sama dilakukan pada rasio akar-mahkota
klinis. Hasil analisis ROC-curve dapat di lihat pada Tabel 5.8 dan Tabel 5.9

Tabel 5.8 Titik Potong pada Rerata Rasio Akar-Mahkota Gigi Anatomis
Rasio Akar-Mahkota Titik Area Di Bawah Sensitivitas Spesifisitas
Gigi Anatomis Potong Kurva ROC

Kegoyangan gigi 1,5086 0,466 0,933 0,970


Penebalan lamina dura 1,5086 0,515 1.000 0,953
Keterangan: Uji ROC-curve dengan α: 0,05

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
42

Tabel 5.9 Titik Potong Pada Rerata Rasio Akar-Mahkota Gigi Klinis
Rasio Akar-Mahkota Titik Area Di Bawah Sensitivitas Spesifisitas
Gigi Klinis Potong Kurva ROC
Kegoyangan gigi 0,5100 0,474 0,733 0,821
Penebalan lamina dura 0,5100 0,631 0,946 0,756
Keterangan: Uji ROC-curve dengan α: 0,05

Berdasarkan titik potong di atas maka rerata rasio mahkota akar gigi
anatomis-radiografis dapat dikategorikan sebagai berikut: >1,50 = rasio akar-
mahkota gigi baik; 1- ≤ 1,50 = rasio akar-mahkota gigi cukup baik. Dari data
deskriptif pada rasio akar-mahkota gigi klinis ternyata ada gigi dengan rasio akar-
mahkota gigi klinis yang ukurannya baik bila dilihat dari pandangan anatomis.
Oleh karena itu pada gigi dengan rasio akar-mahkota gigi baik ini di kategorikan
sesuai dengan kategori anatominya, maka rerata rasio akar-mahkota gigi klinis-
radiografis dapat dikategorikan sebagai berikut: >1,50= rasio akar-mahkota gigi
baik; 1- ≤1,50 = rasio akar-mahkota gigi cukup baik; 0,51- 0,99 = rasio akar-
mahkota gigi buruk; dan ≤0,50= rasio akar-mahkota gigi sangat buruk. Pada
Gambar 5.1 dapat dilihat perbedaan antara jumlah gigi dengan rasio akar-
mahkota gigi anatomis dan klinis.

Rasio Baik Rasio Cukup Baik Rasio Buruk Rasio Sangat Buruk

177
180
160
140
107
Jumlah Sampel 

120
100
80
60 39 34
40
6 3
20
0
Rasio akar‐ Rasio akar‐
mahkota mahkota klinis
anatomi

Gambar 5.1 Grafik Distribusi Rasio Akar-Mahkota gigi Anatomis dan Rasio Akar-Mahkota
Gigi Klinis pada Gigi Molar Pertama Maksila dan Mandibula

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
43

Resesi gingiva merupakan salah satu gambaran klinis trauma oklusi. Pada
analisis statistik dilakukan uji korelasi Spearman antara rasio-akar-mahkota gigi
klinis dengan resesi gingiva. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan, rasio
akar-mahkota gigi klinis mempunyai hubungan negatif dengan semua resesi
dengan tingkat hubungan lemah. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan resesi
menyebabkan menurunnya rasio akar-mahkota gigi, dimana panjang akar yang
tertanam di dalam tulang alveolar menurun, sehingga tinggi mahkota gigi klinis
bertambah, hal ini berdampak terhadap penurunan rasio akar-mahkota gigi. Ada
hubungan tingkat kuat sampai sangat kuat antar resesi gingiva. Pada Tabel 5.10
dapat dilihat hasil uji korelasi Spearman.

Tabel 5.10 Uji Korelasi antara Rasio Akar-Mahkota Gigi Klinis dengan
Resesi Gingiva
Resesi
Resesi mesial Resesi bukal Resesi distal lingual/palatal
Rasio akar- rs -0,221** -0,264** -0,141 -0,179*
mahkota gigi klinis p 0,003 0,000 0,058 0,015
Resesi mesial rs 1,000 0,579** 0,713** 0,531**
p . 0,000 0,000 0,000
Resesi bukal rs 0,579** 1,000 0,571** 0,613**
p 0,000 . 0,000 0,000
Resesi distal rs 0,713** 0,571** 1,000 0,597**
p 0,000 0,000 . 0,000
** ** **
Resesi rs 0,531 0,613 0,597 1,000
lingual/palatal p 0,000 0,000 0,000 .
Keterangan: Uji korelasi Spearman, rs= koefisien korelasi Spearman; p: tingkat kemaknaan
** korelasi bermakna pada α: 0,01; * korelasi bermakna pada α: 0,05

Penyakit periodontal di dalam penelitian ini diukur dari besarnya loss of


attachment klinis. Untuk mengetahui korelasi antara trauma oklusi yang
disebabkan rasio akar-mahkota gigi tidak seimbang dengan periodontitis,
dilakukan uji korelasi Spearman antara rasio akar-mahkota gigi klinis dengan loss
of attachment. Hasil uji menunjukkan ada hubungan negatif, yang artinya setiap
kenaikan loss of attachment akan diikuti penurunan rasio akar-mahkota gigi
klinis. Pada Tabel 5.11 dapat dilihat hasil uji korelasi Spearman antara rasio akar-
mahkota gigi klinis dengan loss of atachment.

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
44

Tabel 5.11 Uji Korelasi antara Rasio Akar-Mahkota Gigi Klinis dengan
Loss of Attachment
Loss of attachment
Mesial Bukal Distal Lingual/palatal Rerata

Rasio akar- rs -0,340** -0,427** -0,295** -0,382** -0,450**


mahkota gigi p 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
klinis
Keterangan: Uji korelasi Spearman, rs= koefisien korelasi Spearman, p: tingkat kemaknaan
** korelasi bermakna pada α: 0,01; * korelasi bermakna pada α: 0,05

Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara rasio akar-mahkota gigi


klinis dengan trauma oklusi, dilakukan uji korelasi Spearman dengan parameter
kegoyangan gigi dan penebalan lamina dura. Hasil uji korelasi Spearman
menunjukkan bahwa trauma oklusi yang disebabkan rasio akar-mahkota gigi
klinis yang tidak seimbang mempunyai hubungan tingkat lemah dengan
kegoyangan gigi (rs= 0,335; p:0,000) dan penebalan lamina dura (rs= 0,252; p:
0,001). Berdasarkan analisis terhadap loss of attachment, resesi gingiva,
kegoyangan gigi dan lamina dura, maka hipotesis 3.2.2.1 diterima, yaitu: Ada
hubungan antara rasio akar-mahkota gigi molar pertama maksila dan
mandibula dengan trauma oklusi yang memperberat periodontitis.
Konvergensi akar yang diukur adalah konvergensi yang dibentuk oleh
ketiga akar gigi molar pertama maksila dan kedua akar gigi molar pertama
mandibula. Untuk memperoleh nilai konvergensi gigi molar pertama maksila dan
mandibula, dilakukan pengukuran dua kali oleh peneliti yang sama. Maka
dilakukan uji beda terhadap pengukuran pertama dan pengukuran kedua pada data
lebar bidang oklusal dan lebar bidang apikal, menggunakan uji Mann-Whitney,
α:0,05. Hasil uji menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna (p>α) pada
pengukuran pertama dan kedua terhadap: (1) Bidang oklusal (p: 0,839); (2)
Bidang apikal (p: 0,975).
Hasil uji reliabilitas terhadap kedua pengukuran tersebut menunjukkan
reliabilitas yang baik terhadap: (1) Pengukuran bidang oklusal [koefisien
Cronbach's Alpha (0,941)>r tabel (0,1447)]; (2) Pengukuran bidang apikal
[koefisien Cronbach's Alpha (0,971)>r tabel (0,1447)]. Hasil uji validitas
menunjukkan validitas baik terhadap pengukuran pertama dan kedua terhadap: (1)
Pengukuran bidang oklusal [Corrected Item-Total Correlation (0,890) r tabel
Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
45

(0,1447)]; (2) Pengukuran bidang apikal [Corrected Item-Total Correlation


(0,946) >r tabel (0,1447)].
Pengukuran nilai konvergensi akar adalah berdasarkan pengurangan
bidang oklusal terhadap bidang apikal. Pada Tabel 5.12 dapat diilihat distribusi
konvergensi akar gigi molar maksila dan mandibula.

Tabel 5.12 Distribusi Rerata, Minimum-Maksimum, Standar Deviasi pada Konvergensi Akar
Gigi Molar Maksila dan Mandibula
Nilai konvergensi akar gigi N Min-Max Rerata
(mm) (mm)
Molar pertama maksila 96 2,00-12,00 7,3302±2,20041
Molar pertama mandibula 87 0,50-9,00 4,7816±1,68992

Untuk mendapatkan titik potong nilai konvergensi akar gigi, dilakukan uji
ROC-curve dengan state variabel adalah: kegoyangan gigi dan penebalan lamina
dura. Penentuan titik potong adalah berdasarkan sensitivitas, spesifitas dan area di
bawah kurva ROC (α: 0,05). Karena anatomi konvergensi akar pada gigi molar
maksila sangat berbeda dengan gigi molar mandibula, maka konvergensi akar
dibuat 2 kelompok yaitu: konvergensi akar gigi molar maksila dan konvergensi
akar gigi molar mandibula. Hasil analisis ROC-curve dapat di lihat pada Tabel
5.13

Tabel 5.13 Titik Potong pada Rerata Konvergensi Gigi Molar Pertama
Titik Area di bawah
Konvegensi Akar Potong kurva ROC Sensitivitas Spesifisitas

Gigi molar maksila:


Kegoyangan gigi 2,6250 0,669 1,000 0,978
Lamina dura 2,6250 0,483 1,000 0,971

Gigi molar mandibula:


Kegoyangan gigi 2,6250 0,469 0,750 0,924
Lamina dura 2,6250 0,452 1,000 0,902
Keterangan: Uji ROC-curve dengan α: 0,05

Batasan konvergensi dibuat menjadi tiga kategori berdasarkan rerata dari


masing-masing selisih lebar bidang oklusal dengan bidang apikal, yang dapat
dilihat dalam data deskriptif pada Tabel 5.12. Batasan kategori tersebut dibuat

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
46

sebagai berikut: (1) pada gigi molar pertama maksila: 0-2,6 mm adalah akar
lurus/sedikit konvergen; 2,65mm-7,3mm adalah akar konvergen; dan ≥7,35mm
adalah akar sangat konvergen; (2) pada gigi molar mandibula: 0-2,6mm adalah
akar lurus/sedikit konvergen; 2,65mm-4,8mm adalah akar konvergen; dan
≥4.85mm adalah akar sangat konvergen. Pada Gambar 5.2 dapat dilihat distribusi
konvergensi gigi molar maksila dan mandibula.

Akar lurus/sedikit konvergen Akar konvergen Akar sangat konvergen

48
50 46
41
38
Jumlah Sampel 

40
30
20
8
10 2
0
Gigi molar Gigi molar
pertama pertama
maksila mandibula

Gambar 5.2 Distribusi Kategori Konvergensi Akar Gigi Molar Pertama Maksila dan Mandibula

Untuk mengetahui apakah konvergensi akar gigi molar pertama maksila


dan mandibula mempunyai hubungan dengan gambaran klinis trauma oklusi,
dilakukan uji korelasi Spearman. Hasil uji menunjukkan bahwa ada hubungan
sangat lemah sampai hubungan lemah antara konvergensi akar dengan: (1) resesi
di mesial, rs: -0,213; p: 0,013; (2) resesi di distal, rs: -,184; p: 0,013 dan (3) resesi
di lingual/palatal, rs: -0,149, p: 0,044. Konvergensi akar gigi molar pertama
maksila dan mandibula tidak mempunyai hubungan dengan kegoyangan gigi, p:
0,943 dan tidak ada hubungan dengan penebalan lamina dura, p: 0,17.
Untuk diketahui apakah ada hubungan antara konvergensi akar gigi molar
pertama maksila dan mandibula dengan loss of attachment. Dilakukan uji korelasi
Spearman, yang hasilnya menunjukkan ada hubungan negatif dengan tingkat
hubungan sangat lemah sampai tingkat hubungan lemah, antara konvergensi akar
Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
47

dengan: loss of attachment di mesial, rs: -0,182 (hubungan sangat lemah), p:


0,013; (2) loss of attachment di bukal, rs: -0,243 (hubungan lemah), p: 0,001; (3)
rerata loss of attachment, rs: -0,179 (hubungan sangat lemah), p:0 ,0150.
Hubungan negatif tersebut di atas, menunjukkan bahwa setiap penambahan nilai
konvergensi akar akan diikuti dengan penurunan loss of attachment.
Berdasarkan analisis terhadap loss of attachment, resesi gingiva,
kegoyangan gigi dan lamina dura, maka hipotesis 3.2.2.2 diterima, yaitu: Ada
hubungan antara konvergensi akar gigi molar pertama maksila dan
mandibula dengan periodontitis. Ada hubungan antara konvergensi gigi
dengan trauma oklusi dilihat dari gambaran klinis resesi gingiva, tetapi
konvergensi gigi tidak berhubungan dengan kegoyangan gigi dan gambaran
radiografis berupa penebalan lamina dura.
Penyebab trauma oklusi yang memperberat periodontitis di dalam
penelitian ini dapat juga berupa gabungan rasio akar-mahkota gigi klinis yang
tidak seimbang dengan akar gigi yang konvergen, yang dapat dilihat pada Tabel
5.14. Pada Tabel 5.14 menunjukkan 77,1 % gigi molar pertama maksila dan
71,2% gigi molar pertama mandibula, mempunyai gabungan rasio akar-mahkota
buruk/sangat buruk disertai akar gigi konvergen/sangat konvergen. Gigi-gigi
tersebut menyebabkan trauma oklusi yang memperberat periodontitis. Pada gigi
molar pertama maksila terdiri atas: 30,2% gigi dengan rasio akar-mahkota gigi
buruk akar konvergen, 31,3% gigi dengan rasio akar-mahkota gigi buruk dengan
akar sangat konvergen, 10,4% gigi dengan rasio akar-mahkota gigi sangat buruk
akar konvergen dan 5,2 % gigi dengan rasio akar-mahkota gigi sangat buruk akar
sangat konvergen. Pada gigi molar pertama mandibula terdiri atas: 25,3% gigi
dengan rasio akar-mahkota gigi buruk akar konvergen, 24,1% gigi dengan rasio
akar-mahkota gigi buruk dengan akar sangat konvergen, 1,1% gigi dengan rasio
akar-mahkota gigi sangat buruk akar sedikit konvergen, 11,5% gigi dengan rasio
akar-mahkota gigi sangat buruk akar konvergen dan 9,2 % gigi dengan rasio
akar-mahkota gigi sangat buruk akar sangat konvergen. Hasil uji korelasi
Spearman antara gabungan rasio akar-mahkota gigi klinis dan tipe konvergensi
akar gigi dengan manifestasi klinis trauma oklusi, yaitu resesi gingiva,

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
48

kegoyangan gigi dan penebalan lamina dura, menunjukkan ada hubungan dengan
tingkat hubungan lemah, dapat dilihat pada Tabel 5.15

Tabel 5.14 Distribusi Gigi Molar Pertama Maksila dan Mandibula dengan Rasio Akar-Mahkota
Gigi Tidak Sesuai dan Akar Gigi yang Konvergen
Gigi molar pertama Gigi molar pertama
Rasio akar-mahkota gigi maksila mandibula
N (%) N (%)
Baik: akar lurus/sedikit konvergen - - - -
akar konvergen 2 2,1 - -
akar sangat konvergen 1 1,0 - -
Cukup baik : akar lurus/sedikit konvergen 1 1,0 3 3,4
akar konvergen 5 5,2 6 6,9
akar sangat konvergen 12 12,5 12 13,8
Buruk: akar lurus/sedikit konvergen 1 1,0 4 4,6
akar konvergen 29 30,2 22 25,3
akar sangat konvergen 30 31,3 21 24,1
Sangat buruk: akar lurus/sedikit konvergen - - 1 1,1
akar konvergen 10 10,4 10 11,5
akar sangat konvergen 5 5,2 8 9,2
Total 96 100,0 87 100,0

Tabel 5.15 Uji Korelasi antara Gabungan Rasio Akar-Mahkota Gigi Klinis dan Tipe Konvergensi
Akar Gigi dengan Kegoyangan Gigi, Penebalan Lamina Dura dan Resesi Gingiva
Penebalan
Kegoyangan lamina Resesi Resesi Resesi Resesi
gigi dura mesial bukal distal lingual/palatal
Gabungan rasio
akar-mahkota rs 0,302** 0,211** 0,082 0,245** 0,057 0,128
gigi klinis dan
tipe p
konvergensi 0,000 0,004 0,271 0,001 0,441 0,085
akar gigi
Keterangan: Uji korelasi Spearman, rs= koefisien korelasi Spearman, p: tingkat kemaknaan
** korelasi bermakna pada α: 0,01; * korelasi bermakna pada α: 0,05

Hasil uji korelasi Spearman antara gabungan rasio akar-mahkota gigi


klinis dan tipe konvergensi akar gigi dengan loss of attachment, diagnosis
periodontitis menunjukkan bahwa ada hubungan tingkat lemah, dapat dilihat pada
Tabel 5.16

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
49

Tabel 5.16 Uji Korelasi antara Gabungan Rasio Akar-Mahkota gigi Klinis dan Tipe Konvergen
Akar dengan Diagnosis Periodontitis dan Loss of Attachment
Diagnosis
Periodontitis Rerata loss of attachment

Gabungan rasio akar-mahkota


,220** ,233**
gigi klinis dan tipe konvergensi rs
akar p ,003 ,002
Keterangan: Uji korelasi Spearman, rs= koefisien korelasi Spearman, p: tingkat kemaknaan
** korelasi bermakna pada α: 0,01; * korelasi bermakna pada α: 0,05

Berdasarkan hasil analisis statistik di atas yang menyatakan, bahwa ada


hubungan antara: gabungan konvergensi akar gigi serta rasio akar-mahkota gigi
klinis-radiografis dengan kegoyangan gigi, rs: 0,302; gabungan konvergensi akar
gigi serta rasio akar-mahkota gigi klinis-radiografis dengan penebalan lamina
dura, rs: 0,211; gabungan konvergensi akar gigi serta rasio akar-mahkota gigi
klinis-radiografis dengan resesi gingiva di bukal, rs: 0,245; gabungan konvergensi
akar gigi serta rasio akar-mahkota gigi klinis-radiografis dengan penyakit
periodontal berdasarkan rerata loss of attachment, rs: 0,233 dan gabungan rasio
akar-mahkota gigi klinis dan tipe konvergensi akar gigi dengan diagnosis penyakit
periodontal, rs: 0,220 maka hipotesis mayor dapat diterima: Ada hubungan
antara rasio akar-mahkota gigi yang tidak seimbang disertai dengan
konvergensi akar gigi dengan trauma oklusi yang memperberat penyakit
periodontitis.

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
50

Gambar 5.3 Diagram Tebar Hubungan antara Rerata Loss of Attachment, Rerata Rasio Akar-
Mahkota Gigi Klinis-Radiografis, Derajat Kegoyangan Gigi dan Diagnosis
Periodontitis

Gambar 5.4 Diagram Tebar Hubungan antara Rerata Loss of Attachment, Rerata Rasio Akar-
Mahkota Gigi Klinis-Radiografis, Derajat Kegoyangan Gigi dan Kategori Rasio
Akar-Mahkota Gigi Klinis-Radiografis
Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
51

Gambar 5.5 Diagram Tebar Hubungan antara Rerata Loss of Attachment, Rerata Rasio Akar-
Mahkota Gigi Klinis-Radiografis, Kategori Rasio Akar-Mahkota Gigi Klinis-
Radiografis dan Kategori Konvergensi Akar Gigi Molar Maksila dan Mandibula

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
  52

   

BAB 6
PEMBAHASAN

6.1 Sampel Penelitian


Perbandingan akar-mahkota gigi yang tidak seimbang serta akar gigi yang
konvergen telah banyak diamati secara klinis sebagai salah satu penyebab
terjadinya trauma oklusi. Secara klinis, analisis terhadap rasio akar-mahkota gigi
dan konvergensi akar gigi dilakukan secara subjektif kemudian dikonfirmasi
dengan gambaran klinisnya. Penelitian rasio akar-mahkota gigi dan konvergensi
akar gigi secara linier belum banyak dilakukan, oleh karena itu berdasarkan data
sekunder yang berasal dari rekam medik kasus-kasus penyakit periodontal yang
diperberat oleh trauma oklusi di Klinik Periodonsia RSKGM FKG UI dilakukan
penelitian dengan disain penelitian menggunakan Rancangan Observasional
Retrospektif.
Pemilihan data sekunder sebagai sumber data di dalam penelitian ini
adalah secara sampel random, dimana semua kasus periodontitis yang diperberat
oleh trauma oklusi karena rasio akar-mahkota gigi molar pertama maksila dan
mandibula tidak seimbang dengan/tanpa akar gigi yang konvergen dapat dipilih
sebagai sampel. Semua sampel yang terpilih atau sampel yang dikehendaki,
merupakan bagian dari populasi terjangkau (pasien yang datang ke Klinik
Periodonsia RSKGM FKG UI) yang direncanakan untuk diteliti langsung.
Mereka adalah subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 36
Sampel penelitian adalah radiograf periapikal gigi molar pertama maksila
dan mandibula yang memiliki ketajaman gambar yang baik, dengan distorsi
seminimal mungkin. Beberapa kesalahan pada radiograf periapikal yang
disebabkan kesalahan teknik radiografik seperti elongasi dan pemendekan
gambaran radiografisnya tidak dipilih sebagai sampel. Hasil pengukuran rasio
akar-mahkota gigi molar pertama maksila dan mandibula tidak seimbang
dengan/tanpa akar gigi yang konvergen di dalam penelitian ini adalah ukuran
secara radiografis.

Universitas Indonesia
52
 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
53

6.2 Rasio Akar-Mahkota Anatomis pada Gigi Molar Pertama


Rasio akar-mahkota gigi anatomis tidak pernah berubah. Di dalam
penelitian ini, rerata rasio akar-mahkota gigi molar pertama maksila adalah
sebesar 2,0121 ± 0,27673 dan rasio akar-mahkota gigi molar pertama mandibula
adalah sebesar 2,0088 ± 0,30914. Hasil penelitian di atas bila dibandingkan
dengan penelitian Höltta dkk. pada populasi Finlandia sehat, rasio akar-mahkota
gigi molar pertama maksila pria (1,87±0,15); wanita (1,80±0,15); gigi molar
pertama mandibula pria (2,11±0,17) dengan wanita (2,07±0,18)12, menunjukkan
rasio akar-mahkota gigi molar maksila pada penelitian Höltta dkk. lebih rendah
dan rasio akar-mahkota gigi molar mandibula pada penelitian Höltta dkk. hampir
sama dengan penelitian ini.
Penelitian Othman dkk. pada populasi Malaysia, rasio akar-mahkota gigi
permanen gigi molar pertama maksila pria (1,91±0,38) dan wanita (1,86±0,34)
sedangkan rasio akar-mahkota gigi molar pertama mandibula pria (2,42±0,33)
dan wanita (2,48±0,35)9, menunjukkan rasio akar-mahkota gigi molar pertama
maksila pada penelitian Othman dkk. lebih rendah dan rasio akar-mahkota gigi
molar pertama mandibula pada penelitian Othman dkk. lebih tinggi dari
penelitian ini. Informasi rasio akar-mahkota gigi pada berbegai kelompok etnik
adalah sangat terbatas, sehingga rerata rasio akar-mahkota gigi pada kelompok
etnik Kaukasia (Finlandia) dan Melayu (Malaysia), tidak dapat digunakan
langsung pada populasi yang berasal dari kelompok etnik lain termasuk pada
sampel di dalam penelitian ini.
Pada penelitian Höltta dkk dan Othman dkk, menggunakan radiograf
panoramik. Grossman dan Sadan (2005) di dalam makalahnya menuliskan
Pepelassi dan Diamanti-Kipioti menyatakan bahwa, metode evaluasi
menggunakan radiografi konvensional untuk mendeteksi kerusakan tulang
alveolar menyarankan untuk menggunakan radiograf periapikal dibandingkan
radiograf panoramik. Pengukuran kerusakan tulang dan rasio akar-mahkota gigi
dengan radiograf panoramik tidak bisa seakurat radiograf periapikal.8
Othman dkk. di dalam penelitiannya menuliskan bahwa menurut
Sameshima dan Asgarifar (2001) penentuan cemento enamel junction untuk
membedakan akar gigi dan mahkota gigi, pada radiograf panoramik tidak terlalu

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
54

jelas. Selain itu kesulitan menggunakan radiograf panoramik adalah


mengidentifikasi titik-titik referensi bidang oklusal dan bidang apikal, hal ini
meningkatkan kemungkinan terjadinya kesalahan identifikasi landmark. Oleh
karena itu pada evaluasi radiografis terhadap rasio akar-mahkota gigi sebaiknya
menggunakan radiograf periapikal.8
Rasio akar-mahkota gigi, dari pandangan prostodonsia selalu dikaitkan
dengan kemampuan gigi menjadi abutmen, yang idealnya nilai rasio adalah dua
atau perbandingan antara mahkota gigi dan akar gigi adalah 1:2. Shillingburg dkk.
menyarankan untuk gigi abutmen, rasio mahkota gigi dan akar gigi 1:1,5 adalah
optimum dan minimum rasio adalah 1:1.8 Berdasarkan hal tersebut, maka
penentuan titik potong, yaitu: 1,5086 yang menjadi dasar untuk rasio akar-
mahkota gigi anatomis dengan kategori baik (rasio ≥1,51) dan cukup baik (rasio
1-1,5) adalah sesuai.
Anatomi akar gigi menentukan dukungan terhadap gigi yang
sesungguhnya. Area perlekatan akar gigi bergantung pada panjang akar, jumlah
akar dan diameter akar gigi mulai dari cemento-enamel junction sampai ke apeks,
serta ada atau tidak adanya konkavitas serta kurvatura-kurvatura lain dari akar
gigi. Gambaran anatomis akar gigi tersebut sangat menentukan resistensi gigi
terhadap gaya oklusal dan gaya-gaya lainnya, terutama ketika mereka diberikan
gaya dalam arah lateral atau bukal-lingual.3 Berdasarkan penelitian yang
sebelumnya, maka pada sampel penelitian yaitu, pasien-pasien Klinik Periodonsia
RSKGM FKG UI mempunyai rasio akar-mahkota gigi anatomis yang baik.

6.3 Rasio Akar-Mahkota Klinis pada Gigi Molar Pertama


Hasil pengukuran rasio akar-mahkota gigi klinis di dalam penelitian ini
menunjukkan perbedaan yang sangat besar bila dibandingkan dengan rasio akar-
mahkota gigi anatomisnya. Rerata rasio akar-mahkota klinis gigi molar pertama
maksila adalah sebesar 0,8141 ± 0,30832 dan rasio akar-mahkota klinis gigi
molar pertama mandibula adalah sebesar 0,7413 ± 0,29508. Bila ditinjau kembali
bahwa pada gigi maksila, ada yang memiliki rasio akar-mahkota gigi klinis hanya
0,11; dan pada gigi mandibula ada yang memiliki rasio akar-mahkota gigi klinis
hanya 0,19.

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
55

Dari 96 radiograf periapikal gigi molar pertama maksila yang diteliti,


menunjukkan kategori rasio akar-mahkota gigi: baik ( tiga gigi), cukup baik (18
gigi), buruk (60 gigi) dan sangat buruk (15 gigi). Dari 87 radiograf periapikal gigi
molar pertama mandibula yang diteliti, menunjukkan kategori rasio akar-mahkota
gigi: baik (tidak ada), cukup baik (21 gigi), buruk (47 gigi) dan sangat buruk (19
gigi). Berkaitan dengan cut of point, pada rasio akar-mahkota gigi klinis yaitu:
0,51 sehingga rasio akar-mahkota gigi klinis dikategorikan buruk (rasio>0,51-
0,99) dan sangat buruk (rasio ≤ 0,50) maka pembagian kategori rasio akar-
mahkota gigi klinis adalah sesuai.
Rasio akar-mahkota gigi dapat meningkat dari waktu ke waktu, terutama
sebagai akibat dari kehilangan dukungan tulang alveolar; bagian mahkota dari
titik tumpu (arm effort) akan meningkat, dan bagian akar (arm resistance) akan
menurun. The center of rotation bergerak ke apikal, dan gigi menjadi lebih rentan
terhadap efek buruk dari gaya lateral.3 Salah satu tanda klinis penyakit
periodontal adalah peningkatan kedalaman probing yang lebih dari 3 mm. Bila
kedalaman probing lebih dari 5 mm, menandakan telah terjadi kerusakan tulang
dan ligamen periodontal. hal ini dikenal sebagai periodontitis. Pada periodontitis,
akan dijumpai destruksi gingiva, serat-serat ligamen periodontal, kehilangan
tulang alveolar, dan migrasi apikal epithelial junction pada akar gigi. Secara
klinis kerusakan tersebut digambarkan sebagai loss of attachment. Pengukuran
loss of attachment, meliputi gabungan dari resesi gingiva dan kedalaman poket.
Pengukuran kerusakan periodontal adalah lebih akurat menggunakan loss of
attachment dibandingkan dengan kedalaman poket.3
Akumulasi plak supragingiva dan plak subgingiva, bakteri patogen yang
terkandung di dalamnya menjadi etiologi utama terjadinya periodontitis. Formasi
biofilm plak ini akan meningkat bila faktor-faktor retensi alamiahnya seperti
kalkulus supra dan sub gingiva juga meningkat.17 Bila dilihat dari rerata OHIS
pasien yang menjadi sampel penelitian yaitu 3,1404±1,45807 (kategori: buruk),
maka ada korelasi loss of attachment yang berakibat menurunnya rasio akar-
mahkota gigi klinis dengan tingkat kebersihan rongga mulut.

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
56

6.4 Relevansi Trauma Oklusi yang disebabkan Rasio Akar-Mahkota Gigi


Tidak Seimbang terhadap Periodontitis
Penyakit periodontal di dalam penelitian ini diukur dari besarnya loss of
attachment klinis. Hubungan antara trauma oklusi dengan periodontitis berupa
hubungan negatif dengan: loss of attachment di mesial, rs: -0,340; p:0,000; loss of
attachment di bukal, rs:-0,427; p:0,000; loss of attachment di distal, rs: -0, 295;
p:0,000; loss of attachment di lingual/palatal, rs: -0, 382; p:0,000; dan rerata loss
of attachment, rs:-0, 450; p:0,000. Hubungan negatif, menggambarkan bahwa
setiap terjadi peningkatan loss of attachment akan diikuti penurunan rasio akar-
mahkota gigi klinis, sehingga rasionya menjadi tidak menguntungkan.
Rasio akar-mahkota gigi yang tidak seimbang atau tidak menguntungkan
dapat menyebabkan trauma oklusi yang memperberat penyakit periodontal.
Trauma oklusi yang disebabkan rasio akar-mahkota gigi tidak seimbang,
memberikan gambaran klinis berupa resesi gingiva dan kegoyangan gigi, selain
itu gambaran radiologis berupa pelebaran ruang periodontal dan penebalan lamina
dura.
Hubungan antara trauma oklusi disebabkan rasio akar-mahkota gigi tidak
seimbang dengan resesi gingiva, kegoyangan gigi, dan penebalan lamina dura
menunjukkan ada hubungan negatif yang lemah dengan: resesi di mesial (rs: -
0,221; p: 0,003); resesi di bukal (rs: -0,264; p: 0,000); resesi di lingual/palatal (rs:
-0,179; p:0,015); kegoyangan gigi (rs= 0,335; p:0,000) dan penebalan lamina
dura (rs= 0,252; p: 0,001). Hasil uji korelasi Spearman tersebut di atas
menunjukkan, rasio akar-mahkota gigi klinis mempunyai hubungan negatif
dengan semua resesi yang menunjukkan bahwa peningkatan resesi menyebabkan
menurunnya rasio akar-mahkota gigi klinis, dimana panjang akar yang tertanam
di dalam tulang alveolar menurun, sehingga tinggi mahkota gigi klinis bertambah.
Secara historis, diduga bahwa gaya oklusal yang berlebihan mungkin
menjadi faktor penyebab resesi gingiva. Kundapur dkk. di dalam penelitiannya
menuliskan bahwa Box (1930), Miller (1934) dan McCall (1921) mendukung
penyebab terjadinya resesi adalah trauma pada jaringan periodontal sebagai akibat
gangguan oklusal. Mereka telah menyatakan bahwa pada gigi yang
memperlihatkan resesi gingiva, merupakan tanda-tanda klinis dan simptom trauma

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
57

oklusi.37 Dari hasil penelitian ini menunjukkan resesi gingiva yang terjadi adalah:
resesi di mesial sebanyak 1mm-8mm (31,1%), resesi di bukal sebanyak 1mm-
6mm (44,8%), resesi di distal sebanyak 1mm-6mm (32,8%), dan resesi di
lingual/palatal sebanyak 1mm-10mm (60,1%).
Istilah trauma oklusi primer dan sekunder telah digunakan untuk
menjelaskan tanda-tanda klinis trauma oklusi yang didasari oleh kegoyangan gigi
yang bermakna. Pada trauma oklusi primer, kegoyangan gigi yang disebabkan
gaya oklusal berlebihan pada gigi dengan struktur jaringan pendukung normal
adalah bersifat reversibel. Pada gigi yang telah kehilangan jaringan penyangga
periodontal, dapat menjadi subjek trauma oklusi sekunder, sehingga “gaya oklusal
normal” dapat menyebabkan trauma pada apparatus perlekatan gigi tersebut,
sehingga dapat menyebabkan kegoyangan gigi yang bermakna.19 Pada penelitian
ini, kegoyangan gigi dijumpai dalam 01, 02 dan 03 sebesar 58,5%. Hasil uji
korelasi Spearman antara derajat kegoyangan gigi dengan rerata loss of
attachment menunjukkan hubungan yang kuat (rs: 0,483; p: 0,000), dengan kata
lain trauma oklusi pada kasus-kasus periodontitis memberikan gambaran klinis
kegoyangan gigi yang bermakna.
Di dalam jaringan periodontal, ligamen periodontal terdiri dari ribuan
bundel serat kolagen yang melekat ke sementum akar gigi ke soket tulang
alveolar. Dalam hal ini, ligamen periodontal adalah analog dengan ligamen yang
melekatkan satu tulang ke tulang lainnya. Serat ini, dari apeks ke gingiva bebas
(free gingiva), meliputi serat-serat: apikal, oblik, horisontal dan serat-serat
alveolar crest. Serat-serat transeptal dan serat gingiva bebas menghubungkan
gingiva bebas ke sementum. Ligamen periodontal memberikan dukungan utama
pada gigi dan memberikan resistensi terhadap gaya misalnya sewaktu mastikasi. 3
Gaya yang berlebihan dapat menyebabkan perubahan patologis di dalam
ligamen periodontal. Trauma oklusi, dalam bentuk tegangan dan kompresi pada
ligamen periodontal dapat menyebabkan pelebaran ruang periodontal.19 Philstrom
dkk. meneliti asosiasi antara tanda-tanda trauma oklusi dengan periodontitis
menyatakan bahwa gigi yang mengalami trauma oklusi secara radiografis
mengalami pelebaran ruang ligamen periodontal.20 Pelebaran ruang periodontal
juga dapat dilihat pada radiograf gigi yang goyang, walaupun tidak disertai

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
58

resorpsi tulang vertikal atau anguler dan tanpa peningkatan kedalaman poket.5
Dari 183 radiograf periapikal yang diteliti, semuanya menunjukkan pelebaran
ruang periodontal. Berdasarkan hasil pemeriksaan radiografis tersebut dapat
dikatakan bahwa gigi yang menjadi sampel penelitian telah mengalami trauma
oklusi.
Gambaran radiografis berupa penebalan lamina dura, menjadi tanda klinis
trauma oklusi. Penebalan lamina dura dapat terjadi kontinyu dan diskontinyu.22
Dari penelitian ini menunjukkan penebalan lamina dura kontinyu (30,6%),
penebalan lamina dura diskontinyu (55,2%) dan lamina dura tidak ada/absen
(14,2%).

6.5 Konvergensi Akar Gigi Molar Pertama Maksila dan Mandibula


Pengertian konvergensi akar gigi molar pertama maksila di dalam
penelitian ini adalah kekuncupan atau konvergensi ketiga akar gigi terhadap apeks
akar palatalnya dari pandangan bukal-lingual. Pengertian konvergensi akar gigi
molar pertama mandibula di dalam penelitian ini adalah konvergensi kedua akar
gigi (akar distal dan akar mesial) dari pandangan bukal-lingual. Akar-akar gigi
pada gigi molar maksila dan mandibula tidak dinilai kekuncupannya atau
kelancipannya secara tersendiri.
Metode pengukuran konvergensi akar gigi molar pertama maksila dan
mandibula, belum dijumpai di dalam berbagai literatur, sehingga di dalam
penelitian ini dilakukan pengukuran konvergensi akar berdasarkan pengurangan
bidang oklusal terhadap bidang apikal. Hasil pengukuran, berupa nilai
konvergensi dalam skala milimeter. Dari penelitian ini, diperoleh cut of point
untuk gigi molar maksila yaitu: akar lurus/sedikit konvergen (0-2,6 mm), akar
konvergen (2,65mm-7,3mm ) dan akar sangat konvergen (≥7,35mm).
Titik potong nilai konvergensi pada gigi molar mandibula yaitu: akar
lurus/sedikit konverge (0-2,6 mm), akar konvergen (2,65mm-4,8mm) dan akar
sangat konvergen (≥4.85mm). Dari hasil penelitian ini, pada gigi molar pertama
maksila menunjukkan: 50% akar sangat konvergen, 47,9% akar konvergen dan
2,1% akar lurus/sedikit konvergen. Pada gigi molar pertama mandibula
menunjukkan: 47,1% akar sangat konvergen, 43,7% akar konvergen dan 9,2%

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
59

akar lurus/sedikit konvergen. Tidak dijumpai akar gigi yang divergen (memancar)
baik pada gigi molar pertama maksila atau mandibula.
Derajat konvergensi akar gigi, berperan serta sebagai salah satu faktor
yang menentukan stabilitas gigi. Gigi dengan akar gigi yang konus, cenderung
memiliki area akar terbesarnya di setengah koronal akar, dan area akar menjadi
lebih kecil di setengah apikal akar. Gigi molar pertama maksila, seharusnya
memiliki tiga akar gigi yang divergen dan pada gigi molar pertama mandibula
seharusnya memiliki apeks akar distal yang terletak distal terhadap permukaan
distal mahkota giginya.3 Anatomi akar gigi molar pertama maksila dan mandibula
tersebut, akan memberikan stabilitas gigi dan resistensi terhadap gaya oklusal dan
lateral.

6.6 Relevansi Konvergensi Akar Gigi dengan Trauma Oklusi dan


Periodontitis
Relevansi konvergensi akar gigi dengan trauma oklusi dan periodontitis
belum banyak diteliti. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa ada
hubungan sangat lemah sampai hubungan lemah antara konvergensi akar dengan:
resesi di mesial, rs: -0,213; p: 0,013; resesi di distal, rs: -,184; p: 0,013 dan resesi
di lingual/palatal, rs: -0,149, p: 0,044; tetapi tidak ada hubungannya dengan
kegoyangan gigi, p: 0,943 dan penebalan lamina dura, p: 0,17.
Hasil uji korelasi Spearman, juga menunjukkan ada hubungan antara
konvergensi akar dengan: loss of attachment di mesial, rs: -0,182 (hubungan
sangat lemah), p: 0,013; loss of attachment di bukal, rs: -0,243 (hubungan
lemah), p: 0,001; rerata loss of attachment, rs: -0,179 (hubungan sangat lemah),
p:0 ,015. Dari hasil penelitian ini, dapat dikatakan bahwa akar gigi yang
konvergen ikut berperan serta menimbulkan masalah trauma oklusi pada
periodontitis.
Kekuncupan anatomi pada sepertiga apikal akar gigi hanya memberikan
15 sampai 20% dari total area permukaan akar untuk perlekatan yang efektif.
Padahal pada tingkat sepertiga apikal, stabilisasi gigi yang diberikan tulang
alveolar adalah tidak adekuat. Morfologi akar gigi akan menentukan seberapa luas
area permukaan akar yang tersedia (dalam mm2) untuk perlekatan dan dukungan

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
60

alamiah tulang alveolar secara kuantitatif dan kualitatif.11 Berdasarkan hasil


analisis tersebut di atas, dapat dikatakan bila sebuah gigi mempunyai kontur akar
gigi yang konvergen/sangat konvergen dapat berkontribusi pada trauma oklusi
sekunder, yaitu trauma oklusi pada jaringan periodontal yang sudah mengalami
periodontitis.

6.7 Relevansi Rasio Akar-Mahkota Gigi dan Konvergensi Akar Gigi sebagai
penyebab Trauma Oklusi pada Periodontitis
Hubungan antara gaya oklusal dan penyakit periodontal telah banyak
diteliti secara luas. Di dalam penelitian ini, hasil uji korelasi Spearman antara
gabungan rasio akar-mahkota gigi klinis dan tipe konvergensi akar dengan
manifestasi klinis trauma oklusi, yaitu resesi gingiva, kegoyangan gigi dan
penebalan lamina dura, menunjukkan ada hubungan yang lemah antara gabungan
rasio akar-mahkota gigi dan konvergensi akar gigi dengan: kegoyangan gigi, rs:
0,302 ; penebalan lamina dura, rs: 0,211; resesi gingiva di bukal, rs: 0,245; loss
of attachment, rs: 0,233 dan diagnosis penyakit periodontal, rs: 0,220.
Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, dapat dibuktikan ada hubungan antara
rasio akar-mahkota gigi yang tidak seimbang disertai dengan konvergensi akar
gigi dengan trauma oklusi yang memperberat periodontitis.
Beberapa jenis cacat pada struktur akar yang melemahkan perlekatan
periodontal dan merupakan daerah yang potensial untuk berkembangnya penyakit
periodontal. Cedera pada jaringan periodontal akibat trauma oklusi dapat
mengakibatkan perubahan destruktif di dalam tulang, ligamen periodontal, dan
akar gigi. Fitur anatomi akar bisa menjadi fokus dimana terkonsentrasi gaya
oklusal. Fokus ini terjadi karena kurvatura akar gigi terhadap tulang dan ligamen
periodontal, memungkinkan gigi menyalurkan tekanan terhadap ligamen
periodontal dan tulang dalam berbagai arah.3
Tegangan dan tekanan dari gaya oklusal berlebihan akan ditransmisi ke
ligamen periodontal menghasilkan perubahan molekuler dan fisiokemikal pada
substansi dasar dan komponen fibrosa jaringan ini. Hal tersebut, menyebabkan
perubahan histologis secara kualitatif dan kuantitatif sebagai respon jaringan
yang khas terhadap cedera dengan perubahan atrofi, degeneratif dan nekrotik di

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
61

dalam ligamen periodontal.11 Walaupun gigi telah memperlihatkan tanda-tanda


trauma oklusi berupa destruksi periodontal yang besar, kerusakan jaringan
periodontal gigi tersebut tetap berhubungan dengan peningkatan faktor lokal
seperti plak dan kalkulus disekitarnya.21
Grossman dan Sadan (2005) di dalam makalahnya menuliskan bahwa
McGuire dan Nunn mengevaluasi 100 pasien yang dirawat periodontal (sebanyak
2.484 gigi) di bawah fase pemeliharaan selama 5 tahun, tujuan penelitian melihat
hubungan prognosis yang telah ditetapkan sebelum perawatan dengan hasil
perawatan. Pada kasus gigi dengan rasio akar-mahkota gigi yang tidak
memuaskan mempunyai prognosis awal yang buruk. Tidak satu pun dari faktor
yang dievaluasi termasuk rasio akar-mahkota gigi, adalah signifikan dalam
memperburuk prognosis. Berkaitan dengan hasil evaluasi ini, tampaknya rasio
akar-mahkota gigi perlu digunakan bersama-sama dengan faktor lain seperti
kebiasaan parafungsi, oklusi gigi lawan, konfigurasi akar gigi, jumlah tulang
alveolar, kondisi pulpa, adanya perawatan endodontik dan struktur gigi yang
tersisa.8

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
  62

BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

7.1.1 Ada hubungan antara rasio akar-mahkota gigi klinis pada gigi molar
pertama maksila dan mandibula yang tidak seimbang dengan trauma
oklusi yang memperberat periodontitis.

7.1.2 Ada hubungan antara konvergensi akar gigi molar pertama maksila dan
mandibula dengan trauma oklusi.

7.1.3 Ada hubungan antara rasio akar-mahkota gigi klinis yang tidak seimbang
disertai dengan konvergensi akar gigi dengan trauma oklusi yang
memperberat penyakit periodontitis

7.2 Saran
7.2.1 Penelitian ini dilakukan pada data sekunder dan radiograf periapikal yang
sudah ada. Untuk memperoleh data rasio akar-mahkota gigi yang lebih
akurat, diperlukan penelitian lebih lanjut menggunakan data primer yaitu
radiograf periapikal yang diambil dengan teknik radiografi yang ideal,
pemrosesan film yang standar serta dilakukan oleh radiografer yang sama
atau yang sudah dikalibrasi. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan
distrosi radiograf periapikal.
7.2.2 Data sekunder, yaitu status pasien-pasien di Klinik Periodonsia RSKGM
FKG UI telah memberikan manfaat di dalam penelitian ini, sehingga untuk
di masa mendatang diperlukan pencatatan status pasien dengan teliti, benar
dan lengkap. Berdasarkan status yang baik, maka akan diperoleh data
sekunder yang akurat
7.2.3 Pada penelitian diperoleh cara pengukuran konvergensi akar gigi, untuk itu
perlu pengembangan metode ini di dalam penelitian-penelitian
selanjutnya, sehingga metode ini dapat menjadi metode standar.

62 Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
  63

DAFTAR REFERENSI

1. Prayitno SW. Petunjuk Pengisian Status Pasien Bagian Periodontologi


FKG UI. Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi - Universitas Indonesia.
2004:1-15.

2. Kemal Y. Trauma Oklusi, Diagnosis dan Penanggulangannya. Bahan


Kuliah. Jakarta: Departemen Periodontologi FKG UI. 2011:1-32.

3. Woelfel JB, Scheid RC. Dental Anatomy. Its Relevance To Dentistry. 5th
ed. (Zinner SR, ed.). Baltimore, Maryland: Williams & Wilkins. 1997:87-
97, 213-266.

4. Carranza F, Camargo P. Periodontal response to external forces. In:


Jovanovic SA, Haake SK, Novak MJ, eds. Carranza’s Clinical
periodontology. 9th ed. Philadelphia, USA: W.B. Saunders. 2006.371-378.

5. Boever J De, Boever A De. Occlusion and periodontal health. In: Occlusion
and clinical practice. An evidence based approach. Wright Publishing;
2004:83-90. Available at: http://hdl.handle.net/1854/LU-284997. Accessed
January 16, 2014.

6. Stahl SS. The role of occlusion in the etiology and therapy of periodontal
disease. Angle Orthod. 1970;40(4):347-52.

7. Rupprecht CR “Dave.” Trauma from occlusion: a review. Nav Postgrad


Dent Sch. 2004;26(1):26-28.

8. Grossmann Y, Sadan A. The prosthodontic concept of crown-to-root ratio:


a review of the literature. J Prosthet Dent. 2005;93(Jun2):559-6.

9. Othman N, Taib H, Mokthar N. Root-crown ratios of permanent teeth in


Malay patients attending HUSM Dental Clinic. Arch Orofac Sci.
2011;6(1):21-26.

10. Goodman SF, Novak KF. Determination of Prognosis. In: Jovanovic SA,
Haake SK, Novak MJ, eds. Carranza’s Clinical Periodontology. 9th ed.
Philadelphia: W.B. Saunders. 2002:475-486.

11. Perlitsh MJ. A Systematic Approach to the Interpretation of Tooth Mobility


and Its Clinical Implications. Dent Clin North Am. 1980;24(2):177-193.

12. Hölttä P, Nyström M, Evälahti M, Alaluusua S. Root-crown ratios of


permanent teeth in a healthy Finnish population assessed from panoramic
radiographs. Eur J Orthod. 2004;26(5):491-7.

63 Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
64

13. Hadiyanti A. Kerusakan Jaringan Periodonsium Pada Gigi Molar yang


Disebabkan oleh Oklus Traumatik (Analisa pada Kartu Status Pasien yang
Dirawat oleh Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis
Periodonsia RSKGM FKG-UI Periode Tahun 2005-2006). Skripsi. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Gigi - Universitas Indonesia. 2007:47.

14. Reddy S. Trauma from Occlusion. In: Essentials of Clinical


Periodontology and Periodontics. 2nd ed. New Delhi: Jaypee. 2008:87-93.

15. Shaddox LM, Walker CB. Treating chronic periodontitis: current status,
challenges, and future directions. Clin Cosmet Investig Dent. 2010;2:79-91.

16. Polson AM, Heijl LC. Occlusion and Periodontal Disease. Dent Clin North
Am. 1980; 24(4):783-795.

17. Wolf HF, Hassel TM. Color Atlas of Dental Hygiene. Periodontology. New
York: Thieme. 2006:1-4, 22, 39-40, 95-98.

18. Parameter on occlusal traumatism in patients with chronic periodontitis.


American Academy of Periodontology. Periodontol. 2000;71(5
/Supplement):873-874.

19. Fetner AE. Periodontal-occlusal interrelationships: a perspective. Fla Dent.


1988;59(28-33).

20. Pihlstrom BL, Anderson KA, Aeppli D, Schaffer EM. Association between
signs of trauma from occlusion and periodontitis (Abstract). J Periodontol.
1986;57:1-6.

21. Bhola M, Cabanilla L, Kolhatkar S. Dental occlusion and periodontal


disease: what is the real relationship? J Calif Dent Assoc. 2008;36:924-930.

22. Davies SJ, Gray RJ, Linden GJ, James J. Occlusal considerations in
periodontics. Br Dent J. 2001;191(11):597-604.

23. Linden LWJ VanDer. Periodontal Bone Lesions, An Experimental Study Of


Interdental Bone Changes. Netherlands: Van Den Berg & Verluijs BV,
Dordrecht. 1985:22-35, 42-45.

24. Call M, Oppie J. Roentgenographic Interpretation. In: Clinical Dental


Roentgenology. Technic and Interpretation. Including Roentgen Studies of
the Child and the Adolescent. 4th ed. Philadelphia: WB Saunders
Company. 1957:143-148.

25. Whaites E. Essentials of Dental Radiography and Radiology. 4th ed. (R.A.
Cawson, ed.). London: Elsevier Limited. 2007:91-115.

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
65

26. Jin LJ, Cao CF. Clinical diagnosis of trauma from occlusion and its relation
with severity of periodontitis. J Clin Periodontol. 1992;19:92-97.

27. Albandar J, Abbas D. Radiographic quantification of alveolar bone level


changes. Comparison of 3 currently used methods. J Clin Periodontol.
1986;13:810-813.

28. Bjorn U. Zachrisson. Poor Crown-Root Ratio—Increased Mobility and


Tooth Survival (Abstract). Winter. 2003;4(4).

29. Periodontium. Dent Lect Notes. 2011. Available at:


Http://dentallecnotes.blogspot.com. Accessed January 16, 2014.

30. Sharuga CR. Furcation Anatomy. Dimens Dent Hyg. 2010;8(5):36, 38-39.

31. Madiyono B, Mz. SM, Satroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan


Besar Sampel. In: Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. 2nd ed.
Jakarta: CV Sagung Seto. 2002:259-271.

32. UJi Validitas & Reliabilitas dengan SPSS. Pelatihan Statistik. Res Indones.
2012. Available at: http://www.pelatihan-ui.com. Accessed January 16,
2014.

33. Batas-batas Koefisien Korelasi Rank Spearman. 2012. Available at:


Http://ilerning.com. Accessed January 16, 2014.

34. S.P. Hastono. Analisis Data. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat


Universitas Indonesia. 2001:129-134.

35. Michael G.Newman. Treatment of Periodontal Disease. In: Jovanovic SA,


Haake SK, Novak MJ, eds. Carranza’s Clinical Periodontology. 9th ed.
Philadelphia. 2002:439.

36. Satroasmoro S. Pemilihan subyek penelitian. In: Sastroasmoro S, Sofyan


Ismael, eds. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. 2nd ed. Jakarta:
CV Sagung Seto. 2002:67-73.

37. Kundapur PP, Bhat KM, Bhat GS. Association of Trauma from Occlusion
with Localized Gingival Recession in Mandibular Anterior Teeth. Dent Res
J. 2009;6(2):71-74.

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
66

Lampiran 1: Surat Keterangan Lolos Etik

66 Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
67

Lampiran 2: Sertifikat Kalibrasi Pada Cephalometric Protractor (hlm.1)

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
68

Lampiran 2: Sertifikat Kalibrasi Pada Cephalometric Protractor (hlm.2)

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
69

Lampiran 3: Foto Penelitian

Susunan Radiograf Periapikal Sebelum Dilakukan Tracing dan Pengukuran

Susunan Radiograf Periapikal Setelah Dilakukan Tracing dan Pengukuran

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
70

Beberapa Sampel Penelitian Radiograf Periapikal Maksila dan Mandibula

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
71

Lampiran 4: Analisis Statistik dengan SPSS 22

Lampiran untuk Tabel 5.4

Hasil Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov Pada Data Numerik


Kolmogorov-Smirnov

Statistik df p

Poket mesial 0,144 183 0,000


Poket bukal 0,202 183 0,000
Poket distal 0,133 183 0,000
Poket lingual/palatal 0,187 183 0,000
Resesi mesial 0,403 183 0,000
Resesi bukal 0,324 183 0,000
Resesi distal 0,397 183 0,000
Resesi lingual/palatal 0,224 183 0,000
Panjang akar anatomis 1 0,098 183 0,000
Tinggi mahkota gigi 1 0,132 183 0,000
Panjang akar anatomis 2 0,099 183 0,000
Tinggi mahkota gigi 2 0,183 183 0,000
Tinggi tulang alveolar yang hilang 1 0,106 183 0,000
Tinggi tulang alveolar yang hilang 2 0,114 183 0,000
Bidang oklusal pengukuran pertama 0,173 183 0,000
Bidang oklusal pengukuran kedua 0,164 183 0,000
Bidang apikal pengukuran pertama 0,081 183 0,005
Bidang apikal pengukuran kedua 0,091 183 0,001
Keterangan: α<0,005 artinya data tidak berdistribusi normal

Lampiran Untuk Tabel 5.5

Uji Beda 2Mean dengan Uji Mann Whitney Untuk Pengukuran 1 dan 2

Ranks
pengukuran N Mean Rank Sum of Ranks
Panjang akar gigi anatomis pengukuran pertama 183 181,42 33200,50
pengukuran kedua 183 185,58 33960,50
Total 366
Tinggi mahkota gigi pengukuran pertama 183 185,95 34028,00
pengukuran kedua 183 181,05 33133,00
Total 366
Tinggi tulang alveolar yang pengukuran pertama 183 183,37 33557,50
hilang pengukuran kedua 183 183,63 33603,50
Total 366

Test Statisticsa
Panjang akar Tinggi mahkota Tinggi tulang
gigi anatomis gigi antomis alveolar yang hilang
Mann-Whitney U 16364,500 16297,000 16721,500
Wilcoxon W 33200,500 33133,000 33557,500
Z -,377 -,451 -,023
Asymp. Sig. (2-tailed) ,706 ,652 ,982
a. Grouping Variable: pengukuran

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014
72

Lampiran untuk Tabel 5.8 dan 5.9


Area Under the Curve
Test Result Variable(s): rasio akar-mahkota gigi anatomi
Asymptotic 95% Confidence
Asymptotic Interval
a b
Area Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
,466 ,078 ,664 ,313 ,620

Area Under the Curve


Test Result Variable(s): rasio akar-mahkota gigi anatomi
Asymptotic 95% Confidence
Asymptotic Interval
a b
Area Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
,515 ,046 ,749 ,426 ,604

Lampiran Untuk Tabel 5.13


Area Under the Curve
Test Result Variable(s): rasio akar-mahkota gigi klinis
Asymptotic 95% Confidence
Asymptotic Interval
Area Std. Errora Sig.b Lower Bound Upper Bound
,631 ,043 ,005 ,547 ,715

Area Under the Curve


Test Result Variable(s): rasio akar-mahkota gigi klinis
Asymptotic 95% Confidence Interval
a b
Area Std. Error Asymptotic Sig. Lower Bound Upper Bound
,474 ,081 ,739 ,315 ,633

Universitas Indonesia

 
Hubungan antara..., Dr Drg Wita Anggraini Mbiomed Pak, FKG UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai