Dosen Pembimbing :
Disusun Oleh :
2019
KATA PENGANTAR
Demikian makalah ini kami susun, apabila ada kata-kata yang kurang
berkenan dan banyak terdapat kekurangan, penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Psikoneuroimunologi adalah ilmu perilaklu yang relatif
berkembang pesat di Amerika Serikat sejak I3 sampai 18 tahun yang lalu
(Maier, Watkins, Fleshner, 1994). Dari namanya saja terlihat bahwa iImu
ini merupakan kaitan ataupun interaksi antara perilaku, kerja samf, fungsi
endokrin dan proses kekebalan tubuh (Ader dan Cohen, 1993).
Psikoneuroimunologi merupakan konsep terintegrasi mengenai fungsi
regulasi-imun untuk mempertahankan homeostasis. Untuk
mempertahankan homeostasis, sistem imun berintegrasi dengan proses
psikofisiologik otak, dan karena itu mempengaruhi dan dipengaruhi otak.
Melalui pendekatan ini telah mulai dipahami mekanisme interaksi
antara perilaku, sistem saraf, sistem endokrin, dan fungsi imun. Komponen
perilaku dari interaksi ini melibatkan kondisioning Pavlov pada
peningkatan maupun penekanan antibodi dan respon imun seluler.
Kondisioning ini berekspresi sebagai efek pengalaman stress terhadap
fungsi imun.
Selanjutnya diketahui bahwa mekanisme terintegrasi ini
berlangsung dalam ritme yang berkaitan dengan ritme lingkungan seperti
ritme Sirkadian. Respon stress berkelanjutan berekspresi sebagai sindroma
adaptasi umum. Sebagai respon akut dimulai dengan initial brief alarm
reaction. Dalam tahap ini peningkatan sekresi cortisol pada aksis
Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) menimbulkan supresi pada
sebagian besar fungsi imun dan peningkatan aktifitas sistem simpatis. Bila
stress tidak dapat diatasi secara efektif, tahap kedua prolonged resistance
period akan dimulai, dimana aktivasi aksis HPA akan menurun tetapi tidak
pernah mencapai kondisi basal.
1
Kegagalan berkelanjutan untuk mengatasi stress akan berakhir
pada terminal stage of exhaustion and death. Aplikasi medis
psikoneuroimunologi akan meningkatkan efektifitas terapi penyakit
keganasan, gangguan kardiovaskular, penyakit infeksi, trauma fisik,
transplantasi, dan gangguan jiwa. Sehingga dimakalah ini akan dijelaskan
mengenai analisis hasil penelitian terdahulu terkait dengan
psikoneuroimunologi.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan konsep dasar mengenai Psikoneuroimunologi?
2. Jelaskan analisa hasil penelitian terdahulu terkait
Psikoneuroimunologi?
3. Bagaimana korelasi anatar shalat tahajud dan psikologi?
4. Bagaimana temuan psikoneuroimunologi terhadap shalat tahajud
C. Tujuan
1. Untuk Mgetahui konsep dasar mengenai Psikoneuroimunologi
2. Untuk mengetahui analisa hasil penelitian terdahulu terkait
Psikoneuroimunologi
3. Untuk mengetahui temuan psikoneuroimunologi terhadap shalat
tahajud
2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
3
kondisi kejiwaan dengan perubahan imunologi. Demikian pula dengan
Breier dkk (1987) melakukan penelitian tentang depresi yang ditimbulkan
oleh stres akibat suara (100 dB). Hasilnya menyatakan bahwa pada
keadaan stres akan terjadi peningkatan kadar adrenocorticotropin hormone
(ACTH) yang akan memicu timbulkan respons tubuh terhadap stres
(Siswantoyo, 2005).
Kaye (2000) menyatakan stress response adalah
psychoneuroimunolgy response. Respon psikoneuroimonologi tersebut
berupa respon sistem saraf, endokrin dan imunologi. Respon tersebut
dapat mempengaruhi organ tubuh yang lain meliputi sisten kardiovaskuler,
sistem pernafasan, ginjal, gastrointestinal, muskuloskelental, metabolik
dan hematologis (kaye, 2000).
4
terutama terjadi melalui dua buah subsistem; Hypothalamic-
PituitaryAdrenal (HPA) aksis dan Sistem Saraf Simpatis (SSS). Aktivasi
SSS selama respons imun ditujukan untuk melokalisasi respons
peradangan.
HPA aksis merupakan sistem manajemen stres yang bertujuan
untuk memperthankan keadaan homeostasis tubuh melalui kontrol
terhadap hormon kortisol. HPA aksis dan sitokin bekerja saling
memengaruhi; peradangan sitokin merangsang sekresi hormon
adrenokortikotropik (ACTH) dan kortisol. Sebaliknya, glukokortikoid
menekan sintesis sitokin. Molekul-molekul yang disebut sitokin pro-
inflamasi, seperti interleukin-I (IL-1), interleukin-II (IL-II), interleukin-VI
(IL-VI), interleukin-X (IL-X), interleukin-XII (IL-XII), interferon gamma
(IFN Gamma), an Tumlr Necrosis Factor-alpha (TNF-alpha) dapat
memengharuhi otak. Sementara itu, sel-sel imun yang disebut makrofag,
yang merupakan molekul kekebalan pertama yang beraksi pada infeksi,
diketahui dapat memengaruhi otak secara langsung.
5
(perantauan) dan rutinitas lainnya. Kondisi ini mendorong mahasiswa
untuk mencari cara agar keluar dari faktor-faktor stressor tersebut.
Tindakan yang dilakukan mulai dari cara spritual sampai dengan merokok,
mengonsumsi alkohol, mencari tempat pelarian dan tidak dipungkiri ada
yang memilih jalan untuk mengakhiri hidupnya.
Islam telah memberikan solusi dari stres yaitu dengan melakukan
sholat tahajud. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hari (2011) dalam
karya tulis ilmiahnya. Ia melakukan penelitian terhadap 20 orang
mahasiswa. Didapatkan bahwa shalat tahajud yang dilakukan secara benar
memiliki peranan dalam menghadapi stres berupa ketenangan yang
memberikan manfaat lain pada mahasiswa seperti meningkatkan
konsentrasi dan lain halnya. Kemudian dari hasil penelitian juga dapat
dilihat bahwa 12 orang (60%) dari 20 orang partisipan yang melakukan
shalat tahajud tidak mengalami stres (Fuad, 2015).
Salah satu faktor yang ikut menentukan bagaimana stres bisa
dikendalikan dan diatasi secara efektif adalah strategi coping yang
digunakan individu. Coping adalah cara sadar individu untuk mengelola
situasi yang menekan atau intensitas kejadian yang di tanggapi sebagai
situasi yang menekan. Jika individu berhasil secara efektif mengendalikan
situasi yang dinilai menekan, maka dampak negatif dari stres bisa di
kurangi secara maksimal.
Tindakan coping bisa dilakukan dengan sholat. Sholat merupakan
suatu aktivitas jiwa (soul) yang termasuk dalam kajian ilmu psikologi
transpersonal, karena sholat adalah perjalanan spiritual yang penuh makna
yang dilakukan seorang manusia untuk menemui Tuhan semesta alam.
Shalat dapat menjernihkan jiwa dan mengangkat peshalat untuk mencapai
taraf kesadaran yang lebih tinggi (altered states of consciousness) dan
pengalaman puncak (peak experience). Sholat memiliki kemampuan untuk
mengurangi kecemasan karena terdapat 5 unsur di dalamnya. Yaitu,
meditasi atau do’a yang teratur, relaksasi melalui gerakkan-gerakkan
sholat, hetero atau auto sugesti dalam bacaan sholat, group therapy dalam
6
sholat berjama’ah, atau bahkan dalam sholat sendirian pun minimal ada
orang yang melakukan sholat dan Allah, hydro terapy dalam mandi junub
atau wudhu sebelum sholat.
7
tersebut terbukti merupakan alur yang sangat berperan dalam reaksi
emosional, optimistis, dan stres, dan berhubungan dengan respon imun
Berbagai kondisi emosional, baik positif maupun stres, dapat
menyebabkan terjadinya aktivitas HPAA, ia juga mengakibatkan
terjadinya tarik-menarik sikap positif dan negatif suasana emosional:
tenang, optimistis, senang, atau cemas, susah dan stres. Rangsangan yang
tiba di media parvocellular division of the praventicular nucleus (mpPVN)
di hipotalamus akan menyebabkan sekresi CRF yang terutama berperan
sentral dalam reaksi stres sekresi CRF stabil dalam kondisi emosi positif).
CRF kemudian memicu reaksi HPAA. Selain itu nucleus mpPVN
hipotalamus juga berhubungan dengan locus Ceruleus (LC), di mana
34Mohamad Sholeh (2001). Ibid, h. 190-197 35Mohamad Sholeh (2001).
Ibid, h. 190 15 sebagian besar neuron NE (norepinefrin) mempunyai
reseptor untuk CRF. Dengan demikian aktivitas HPAA juga mengaktifkan
sistem syaraf otonom.
Sekresi CRF oleh neuron mpPVN hipotalamus bergantung pada
keseimbangan antara kondisi yang merangsang dan kondisi yang
menghambat, sintesis dan sekresi. Neurotransmitter yang diketahui
meningkatkan sekresi CRF adalah asetilkolin dan serotonin, sedangkan
yang menghambat adalah kortisoldan Gamma Aminobutyric Acid
(GABA). GABA terutama banyak terdapat di area hipokampus sesuai
dengan hipokampus yang berfungsi sebagai pengontrol emosi dan
pengendali HPAA.
Sistem limbik yang terdiri dari amigdala dan hipokampus
merupakan bagian otak yang mengatur motivasi , respon emosi, dan reaksi
penolakan terhadap stimulus yang tidak diinginkan. Berbagai penelitian
menyimpulkan bahwa hipokampus mempertahankan tonus basal atau
mengontrol HPAA, dan bersama struktur limbik lainya berfungsi
memberikan informasi masa lalu, apakah suatu stimulus merupakan suatu
stresor atau bukan. Amigdala menerima impuls atau informasi rangsang
emosional (stresor) dari sistem sensori, batang otak, lewat thalamus yang
8
memungkinkan timbulnya reaksi segera untuk mempertahankan tubuh.
Selain itu amigdala juga menerima informasi dari pusat kognisi dan
asosiasi sensoris di korteks.
Berdasarkan informasi tersebut, analisis tentang rangsang oleh
amigdala akan menghasilkan respon emosi yang kemudian
diumpanbalikkan ke korteks prefrontal kiri dan kanan dan hipokampus.
Umpan balik ini menimbulkan kesadaran tentang respon emosi dan terjadi
penyesuaian sikap. Apabila shalat tahajud diterima sebagai stresor, secara
integral, amigdala mengirimkan informasi kepada locus Ceruleus (LC)
yang memicu sistem otonom, kemudian ditransmisikan ke hipotalamus,
sehingga terjadi sekresi CRF.
Sebaliknya, jika shalat tahajud mendatangkan persepsi positif,
amigdala akan mengirimkan informasi kepada locus Ceruleus (LC) yang
mengaktifkan reaksi syaraf otonom. Lewat hipotalamus, mensekresi
neurotransmitter, endorphin dan enkepalin, yang berfungsi sebagai
penghilang rasa sakit dan pengendali sekresi CRF secara berlebihan.
Akibatnya HPAA dalam mensekresi Adrenocorticotropic hormon (ACTH)
juga stabil terkendali. Penurunan ACTH akan menstimulasi penurunan
produksi kortisol pada jalur kortek adrenal dan serta katekolamin
(epinefrin dan norepinefrin) pada medula adrenal yang mempunyai
reseptor alfa (Ra), dan reseptor beta (Rb) mengalami stabil sehingga
pengaruhnya terhadap sistem imun menjadi positif.
Pada keadaan stres, terdapat substansi yang menyerupai beta
carboline, yaitu antagonis GABA yang diduga menyebabkan penurunan
jumlah reseptor GABA. Berkurangnya reseptor 16 GABA menyebabkan
berkurangnya hambatan terhadap timbulnya kecemasan dan memudahkan
reaksi stres. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam kondisi
tenang, senang dan optimis, penuh harap (pengaruh shalat tahajud), sekresi
kortisol dan antagonis GABA dan sintesis GABA positif normal.
Dalam keadaan stres, terjadi peningkatan aktivasi HPAA, yaitu
peningkatan sekresi CRF, ACTH, dan kortisol. Peningkatan kortisol yang
9
berlebihan dapat meningkatkan replikasi virus HIV dan mencegah
produksi sitokin Th1 (misalnyaIFN-y) dan sitokin Th2 (misalnya IL-12),
dan makrofag, melalui sel T-helper, atau dengan kata lain menurunkan
respon sel T terutama CD4 dan CD8.
10
BAB III
KESIMPULAN
11
DAFTAR PUSTAKA
Ader, R. (2000). On the Development of Psychoneuroimmonology. Eur J
Pharmacol. 405:167
Nursalam (2007). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV & AIDS.
Jakarta : Salemba Medika
12