Anda di halaman 1dari 87

MAKALAH

ILMU KEDOKTERAN GIGI DASAR


KELAINAN NON INFEKSI

Kelompok 2
Kelas D
Disusun Oleh :
1. M. Rayhan Mulyaharja 6. Nabila Maharani Putri Husen
(2019-11-101) (2019-11-106)
2. Muhasanah Ayu Nurfitria 7. Nabilah Khairunnisa Sudrajat
(2019-11-102) (2019-11-107)
3. Muniarti Yulia Tasliani 8. Nada Rizky Fetiastuti
(2019-11-103) (2019-11-108)
4. Mutia Syaharani Irawan 9. Nadhira Rivazka
(2019-11-104) (2019-11-109)
5. Nabila Dafa Nur Adiba 10. Nadila Puspita Sari
(2019-11-105) (2019-11-110)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan  kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
ini sebagai pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya sehingga
terbentuklah makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya makalah ini dapat berguna dalam menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai Kelainan Non Infeksi. Kami juga menyadari
bahwa dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang
kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun. 
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang mata kuliah Ilmu
Kedokteran Gigi Dasar dengan topik Kelainan Non Infeksi ini dapat bermanfaat
bagi yang membacanya.

   Jakarta, Mei
2020 

Penyusun 

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................1

1.3 Tujuan Penulisan...........................................................................................2

BAB II......................................................................................................................3

PEMBAHASAN......................................................................................................3

2.1 Perubahan Retrogresif....................................................................................3

2.1.1 Degenerasi-Infiltrasi................................................................................3

2.1.2 Nekrosis...................................................................................................4

2.1.3 Perlemakan............................................................................................12

2.1.4 Pigmentasi..............................................................................................18

2.1.5 Atrofi......................................................................................................20

2.1.6 Kalsifikasi Patologik..............................................................................22

2.2 Menjelaskan Etiologi, Patogenesis, Perubahan Morfologi dan Gambaran


Mikroskopik dari Gangguan Sirkulasi, Elektrolit dan Darah: Tentang Edema,
Thrombus, Embolus, Hyperemia, Infark, Dehidrasi dan Kalsium....................23

2.2.1 Edema....................................................................................................23

2.2.2 Thrombus...............................................................................................29

2.2.3 Embolus.................................................................................................40

2.2.4 Hyperemia..............................................................................................48

2.2.5 Infark......................................................................................................52

ii
2.2.6 Dehidrasi................................................................................................59

2.2.7 Kalsium..................................................................................................64

2.3 Neoplasma....................................................................................................69

2.3.1 Perbedaan Tumor Jinak dan Ganas........................................................75

2.3.1 Gambaran Patologi Anatomi Tumor Jinak dan Tumor Ganas..............78

BAB III..................................................................................................................83

PENUTUP..............................................................................................................83

3.1 Kesimpulan...................................................................................................83

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................84

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit non infeksi adalah penyakit yang disebabkan bukan oleh
bakteri, bukan oleh virus, dan gambaran mikroskopik dari gangguan bukan
oleh jamur, bukan oleh parasit, dan juga bukan oleh mikroba yang lain.
Penyakit ini adalah penyakit yang diderita oleh seseorang yang sebagian
besar disebabkan adanya pertumbuhan sel yang berlebihan. Bisa juga
disebabkan oleh berkurangnya fungsi sel-sel yang ada di dalam tubuh kita.
Berkurangnya fungsi tersebut karena adanya faktor usia. Termasuk
didalamnya adalah kelompok penyakit degeneratif. Kelompok penyakit non-
infeksi tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu, kelompok
tumor dan kelompok penyakit degeneratif. Yang termasuk kelompok
degeneratif seperti degenerasi infiltrasi, nekrosis, perlemakan, pigmentasi,
atrofikalsifikasi patogen. Sedangkan tumor ada tumor jinak dan tumor ganas.
Dari macam-macam kelainan non infeksi akan dijabarkan mengenai
gambaran patologi, anatomi, mikroskopik, neuplasma dan perbedaannya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian perubahan retrogresif?
2. Apa pengertian dari degenerasi infiltrasi, nekrosis, perlemakan,
pigmentasi, dan atrofikalsifikasi patogen?
3. Bagaimana etiologi, patogenesis, perubahan morfologi dan gambaran
mikroskopik dari gangguan sirkulasi, elektrolit dan darah (edema,
thrombus, embolus, hyperemia, infark, dehidrasi dan kalsium)?
4. Bagaimana etiologi, patogenesis, perubahan morfologi dan gambaran
mikroskopik dari neoplasma?
5. Apakah perbedaan tumor jinak dan ganas?
6. Bagaimana gejala tumor jinak dan ganas?
7. Bagaimana gambaran patologi anatomi tumor jinak dan tumor ganas?

1
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Ilmu Kedokteran
Gigi Dasar 1 tentang Kelainan Non Infeksi serta bertujuan untuk
menambah wawasan dan pengetahuan mengenai perubahan retrogresif;
pengertian dari degenerasi infiltrasi, nekrosis, perlemakan, pigmentasi, dan
atrofikalsifikasi patogen; etiologi, patogenesis, perubahan morfologi dan
gambaran mikroskopik dari gangguan sirkulasi, elektrolit dan darah
(edema, thrombus, embolus, hyperemia, infark, dehidrasi dan kalsium);
etiologi, patogenesis, perubahan morfologi dan gambaran mikroskopik
dari neoplasma; perbedaan tumor jinak dan ganas; gejala tumor jinak dan
ganas serta; gambaran patologi anatomi tumor jinak dan tumor ganas.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perubahan Retrogresif


Perubahan retrogresif adalah suatu proses kemunduran. Termasuk
di dalamnya degenerasi infiltrasi, nekrosis, perlemakan, pigmentasi,
atrofikalsifikasi patogen. Setiap sel melaksanakan kebutuhan fisiologi
yang normal yang disebut homeostasis normal. Sel memiliki fungsi Dan
struktur yang terbatas, dalam metabolisme, diferensiasi, dan fungsi lainnya
karena pengaruh dari sel-sel sekitarnya dan tersediannya bahan-bahan
dasar metabolisme. Sel mendapatkan stimulus yang patologi, fisiologi, dan
morfologi.

2.1.1 Degenerasi-Infiltrasi
Degenerasi ialah perubahan-perubahan morfologik
akibat jejas-jejas yang nonfatal. Perubahan perubahan
tersebut masih dapat pulih (reversible). Meskipun sebab yang
menimbulkan perubahan tersebut sama, tetapi apabila
berjalan lama dan derajatnya berlebih akhirnya
mengakibatkan kematian sel atau yang disebut nekrosis. Jadi
sebenarnya jejas sel (cellular injury) dan kematian sel
merupakan kerusakan sel yang berbeda dalam derajat
kerusakannya. Pada jejas sel yang berbentuk degenerasi
masih dapat pulih, sedangkan pada nekrosis tidak dapat pulih
(irreversible).1
Infiltrasi terjadi akibat gangguan yang sifatnya
sistemik dan kemudian mengenai sel-sel yang semula sehat
akibat adanya metabolit-metabolit yang menumpuk dalam
jumlah berlebihan. Karena itu perubahan yang awal adalah
ditemukannya metabolit-metabolit di dalam sel. Benda-benda
ini kemudian merusak struktur sel. Jadi degenerasi terjadi

3
akibat jejas sel, kemudian baru timbul perubahan
metabolisme, sedangkan infiltrasi mencerminkan adanya
perubahan metabolisme yang diikuti oleh jejas seluler.
Degenerasi dan infiltrasi dapat terjadi akibat gangguan yang
bersifat biokimiawi atau biomolekuler.1

2.1.2 Nekrosis
Nekrosis didefinisikan sebagai area kematian jaringan
yang diikuti oleh degradasi jaringan oleh enzim hidrolitik
yang dibebaskan dari sel-sel mati; selalu disertai dengan
reaksi inflamasi. Nekrosis dapat disebabkan oleh berbagai
agen seperti hipoksia, agen kimia dan fisik, agen mikroba,
cedera imunologis, dll. Berdasarkan etiologi dan penampilan
morfologis, ada 5 jenis nekrosis: koagulatif, likuifaksi
(colliquative), kaseosa, lemak, dan nekrosis fibrinoid.2
Nekrosis merupakan salah satu pola dasar kematian
sel. Nekrosis terjadi setelah suplai darah hilang atau setelah
terpajan toksin dan ditandai dengan pembengkakan sel,
denaturasi protein dan kerusakan organel. Hal ini dapat
menyebabkan disfungsi berat jaringan. Nekrosis adalah
kematian sel dan kematian jaringan pada tubuh yang hidup.
Nekrosis dapat dikenali karena sel atau jaringan
menunjukkan perubahan-perubahan tertentu baik secara
makroskopis maupun mikroskopis. Secara makroskopis
jaringan nekrotik akan tampak keruh (opaque), tidak cerah
lagi, berwarna putih abu-abu.
Sedangkan secara mikroskopis, jaringan nekrotik
seluruhnya berwarna kemerahan, tidak mengambil zat warna
hematoksilin, sering pucat. Gambaran morfologik nekrosis
merupakan hasil dari digesti enzimatik dan denaturasi protein
yang terjadi secara bersamaan. Digesti enzimatik oleh enzim
hidrolitik dapat berasal dari sel itu sendiri (autolisis) dapat

4
juga berasal dari lisosom sel radang penginvasi (heterolisis).
Pada nekrosis, perubahan terutama terletak pada inti.
Memiliki tiga pola, yaitu:
1) Piknosis
Pengerutan inti, merupakan
homogenisasi sitoplasma dan peningkatan
eosinofil, DNA berkondensasi menjadi
massa yang melisut padat.

2) Karioreksis
Inti terfragmentasi (terbagi atas
fragmen-fragmen) yang piknotik.

3) Kariolisis

Pemudaran kromatin basofil akibat


aktivitas DNAse. 1

Macam-macam nekrosis:

1. Nekrosis Koagulatif

Nekrosis koagulatif adalah jenis nekrosis


yang paling umum disebabkan oleh cedera fokal
yang ireversibel, sebagian besar dari penghentian
tiba-tiba aliran darah (nekrosis iskemik), dan lebih
jarang dari agen bakteri dan kimia. Organ-organ
yang biasanya terkena adalah jantung, ginjal, dan
limpa. Terjadi akibat hilangnya secara mendadak
fungsi sel yang disebabkan oleh hambatan kerja
sebagian besar enzim.2

5
Enzim sitoplasmik hidrolitik juga dihambat
sehingga tidak terjadi penghancuran sel (proses
autolisis minimal). Akibatnya struktur jaringan yang
mati masih dipertahankan, terutama pada tahap
awal. Terjadi pada nekrosis iskemik akibat putusnya
perbekalan darah. Daerah yang terkena menjadi
padat, pucat dikelilingi oleh daerah yang hemoragik.
Mikroskopik tampak inti-inti yang piknotik.
Sesudah beberapa hari sisa-sisa inti menghilang,
sitoplasma tampak berbutir, berwarna merah tua.
Sampai beberapa minggu rangka sel masih dapat
dilihat. Contoh utama pada nekrosis koagulatif
adalah infark ginjal dengan keadaan sel yang tidak
berinti, terkoagulasi dan asidofilik menetap sampai
beberapa minggu.1

Gambar 1: Nekrosis koagulatif pada infark ginjal. 2

Gambar tersebut menunjukan daerah yang


terkena di sebelah kanan menunjukkan sel-sel
dengan sitoplasma sel tubular yang sangat
eosinofilik tetapi garis-garis tubulus masih
dipertahankan. Nukleus menunjukkan serpihan
granular. Antarmuka antara daerah yang layak dan
tidak layak menunjukkan peradangan kronis yang

6
tidak spesifik dan pembuluh yang berkembang
biak.2

2. Nekrosis Likuefaktif (Colliquativa)

Nekrosis liquefaction (colliquative) juga


terjadi umumnya karena cedera iskemik dan infeksi
bakteri atau jamur, tetapi enzim hidrolitik dalam
degradasi jaringan memiliki peran dominan dalam
menyebabkan bahan semi-cairan. Contoh umum
adalah infark otak dan rongga abses. Perlunakan
jaringan nekrotik disertai pencairan. Pencairan
jaringan terjadi akibat kerja enzim hidrolitik yang
dilepas oleh sel mati, seperti pada infark otak, atau
akibat kerja lisosom dari sel radang seperti pada
2
abses.

Gambar 2: Otak nekrosis cair.2

7
Area nekros di sisi kanan lapangan
menunjukkan ruang kistik yang mengandung puing-
puing sel, sementara zona sekitarnya menunjukkan
jaringan granulasi dan gliosis.2

3. Nekrosis Kaseosa (Sentral)

Nekrosis kaseosa ditemukan di pusat fokus


infeksi tuberkulosis. Ini menggabungkan fitur
nekrosis koagulatif dan liquefaktif.2

Bentuk campuran dari nekrosis koagulatif


dan likuefaktif, yang makroskopik teraba lunak
kenyal seperti keju, maka dari itu disebut nekrosis
perkejuan. Infeksi bakteri tuberkulosis dapat
menimbulkan nekrosis jenis ini. Gambaran
makroskopis putih, seperti keju di daerah nekrotik
sentral. Gambaran mikroskopis, jaringan nekrotik
tersusun atas debris granular amorf, tanpa struktur
terlingkupi dalam cincin inflamasi granulomatosa,
arsitektur jaringan seluruhnya terobliterasi
(tertutup). 1

8
Gambar 3: Nekrosis kelenjar getah bening cascous. Kumar,
Vinay; Ramzi S. Cotran; Stanley L. Robbins. 2007. Buku Ajar
Patologi Robbins, Ed.7, Vol. 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Ada bahan granular eosinofilik, amorf, dan


pinggiran menunjukkan peradangan granulomatosa.
pewarnaan hematoksilin (PTAH). Ini ditemui dalam
berbagai hal.

4. Nekrosis Lemak

Nekrosis lemak adalah bentuk khusus


kematian sel yang terjadi di lokasi anatomi yang
kaya lemak di tubuh. Contohnya adalah: nekrosis
lemak traumatis pada payudara, terutama pada
payudara berat dan terjumbai, dan mesenterika
nekrosis lemak akibat pankreatitis akut. Dalam
kasus pankreatitis akut, ada pembebasan lipase
pankreas dari jaringan yang terluka atau meradang
yang mengakibatkan nekrosis pankreas serta depot
lemak di seluruh rongga peritoneum, dan kadang-
kadang, bahkan mempengaruhi jaringan adiposa
ekstra-abdominal. Pada nekrosis lemak, terjadi
hidrolisis dan pecahnya adiposit, menyebabkan
pelepasan lemak netral yang berubah menjadi
gliserol dan asam lemak bebas. Kompleks asam
lemak bebas yang bocor dengan kalsium untuk
membentuk sabun kalsium (saponifikasi) dibahas
kemudian di bawah kalsifikasi dystrophic.2

9
Terjadi dalam dua bentuk:

1) Nekrosis Lemak Traumatik

Terjadi akibat trauma hebat pada


daerah atau jaringan yang banyak
mengandung lemak.

2) Nekrosis Lemak Enzimatik

Merupakan komplikasi dari


pankreatitis akut hemorhagika, yang
mengenai sel lemak di sekitar pankreas,
omentum, sekitar dinding rongga abdomen.
Lipolisis disebabkan oleh kerja lypolytic dan
proteolytic pancreatic enzymes yang dilepas
oleh sel pankreas yang rusak. Aktivasi
enzim pankreatik mencairkan membran sel
lemak dan menghidrolisis ester trigliserida
yang terkandung didalamnya. Asam lemak
yang dilepaskan bercampur dengan kalsium
yang menghasilkan area putih seperti kapur
(makroskopik). 1

10
Gambar 4: Nekrosis lemak pada pankreatitis akut. Kumar, Vinay; Ramzi S.
Cotran; Stanley L. Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins, Ed.7, Vol. 1.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Terdapat adiposit yang keruh, puing-puing


granul basofilik kasar sedangkan bagian tepi
menunjukkan beberapa sel inflamasi campuran.2

5. Nekrosis Fibrinoid

Nekrosis fibrinoid meningkat dengan


deposisi bahan seperti fibrin yang memiliki sifat
pewarnaan fibrin seperti pewarnaan
phosphotungstic acid hematoxylin (PTAH). Hal ini
ditemui dalam berbagai contoh cedera jaringan
imunologis (mis. Pada vaskulitis kompleks imun,
penyakit autoimun, reaksi Arthus, dll), arteriol
dalam hipertensi, ulkus peptikum dan lain-lain.2

Nekrosis ini terbatas pada pembuluh darah


yang kecil, arteriol, dan glomeruli akibat penyakit
autoimun atau hipertensi maligna. Tekanan yang
tinggi akan menyebabkan nekrosis dinding
pembuluh darah sehingga plasma masuk ke dalam

11
lapisan media. Fibrin terdeposit disana. Pada
pewarnaan hematoksilin eosin terlihat masa
homogen kemerahan. 1

Gambar 5: Ibrinoid nekrosis pada vaskulitis autoimun. Kumar, Vinay; Ramzi


S. Cotran; Stanley L. Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins, Ed.7, Vol. 1.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Dinding kapal menunjukkan bahan amorf


berwarna merah muda cerah dan fragmen nuklir
dari nekrosed neutrofil yang nekros.2

2.1.3 Perlemakan
Perlemakan (Steatosis). Perlemakan menunjukkan setiap
akumulasi abnormal trigliserida dalam sel parenkim. Walaupun
perlemakan merupakan indikator jejas yang reversibel, kadang-
kadang perlemakan ditemukan dalam sel yang berdekatan dengan
sel yang mengalamin ekrosis. Perlemakan sering terlihat di hati
karena merupakan organ Utama yang terlibat dalam metabolisme
lemak, tetapi juga dapat terjadi di jantung, otot rangka, ginjal, dan
organ lain. Steatosis dapat disebabkan oleh toksin, malnutrisi
protein, diabetes melitus, obesitas, dan anoksia. Namun demikian,

12
penyalahgunaan alkohol tidak diragukan lagi merupakan penyebab
tersering perlemakan di hati.4

Gambar 6: Mekanisme yang menyebabkan akumulasi trigliserida pada


perlemakan hati.

13
Gambar A (Atas). Kemungkinan mekanisme yang
menyebabkan akumulasi trigliserida pada perlemakan hati.
Defek pada satu dari enam langkah bernomor pada
ambilan, katabolisme, atau sekresi dapat menimbulkan
akumulasi lipid.4
Gambar B (Bawah). Detail berkekuatan tinggi pada
perlemakan hati. Pada sebagian besar sel, nukleus yang
tampak terpelihara baik terdesak ke tepi sitoplasma di
sekitar vakuola lemak.4

Seperti tampak pada Gambar asam lemak bebas dari


jaringan adiposa atau makanan yang ditelan normalnya diangkut ke
dalam hepatosit di hepatosit makanan diesterifikasi menjadi
trigliserida, diubah menjadi kolesterol atau fosfolipid, atau
dioksidasi menjadi badan keton. Beberapa asam lemak juga
disintesis dari asetat di dalam hepatosit. Keluarnya trigliserida dari
hepatosit harus berikatan dengan apoprotein untuk membentuk
lipoprotein, yang kemudian melintasi sirkulasi. Akumulasi
berlebihan trigliserida dapat disebabkan oleh defek pada setiap
tahapan dari masukrva asam lemak sampai keluarnya lipoprotein,
sehingga menyebabkan kejadian perlemakan hati setelah berbagai
gangguan hati. Hepatotoksin (misal, alkohol) mengubah fungsi
SER dan mitokondrial CCln dan malnutrisi protein menurunkan
sintesis apoprotein anoksia menghambat oksidasi asam lemak dan
kelaparan meningkatkan mobilisasi asam lemak dari cadangan
perifer. Signifikansi perlemakan bergantung pada penyebab dan
keparahan akumulasi. Apabila ringan, pertremakan tidak
mempunyai efek pada fungsi sel. Perlemakan yang lebih berat
secara transien dapat mengganggu fungsi sel, tetapi kecuali jika
beberapa proses intrasel terganggu secara ireversibel (misal, pada
keracunan CCI), perlemakan bersifat reversibel. Dalam bentuk

14
yang berat, perlemakan dapat mengawali kematian sel, tetapi harus
ditekankan bahwa sel dapat mati tanpa mengalami perlemakan.4

1. Kolesterol dan Ester Kolesteril.


Metabolisme kolesterol selular diatur ketat untuk
memastikan sintesis membran sel normal tanpa akumulasi
intrasel yang berarti. Namun, sel fagositik bisa menjadi
sangat terbebani dengan lipid (trigliserida, kolesterol, dan
ester kolesteril) pada beberapa proses patologik yang
berbeda. Makrofag scavenger (makrofag yang mengganggu
reaksi kimia) berkontak dengan debris lipid sel nekrotik
atau bentuk abnormal (misal, teroksidasi) lipid plasma
menvebabkan terisi penr-rh lipid karena aktivitas
fagositiknya. Makrofag ini terisi dengan vakuola lipid kecil
yang terikat membran, memberikan gambaran busa pada
sitoplasma (sel busa). Pada aterosklerosis, sei otot polos
dan makrofag terisi dengan vakuola lipid yang terdiri atas
kolesterol dan ester kolesteril, hal ini menyebabkan plak
aterosklerotik berwarna kuning khas dan mempunyai
kontribusi terhadap patogenesis lesi. Pada sindrom
hiperlipidemia herediter dan akuisita, makrofag
mengakumulasi kolesterol intrasel, ketika muncul di
jaringan ikat subepitelial kulit atau di tendo, sekelompok
makrofag berbusa ini membentuk massa yang disebut
xanthoma.2

2. Protein
Secara morfologis, akumulasi protein yang terlihat
lebih jarang terjadi dibandingkan akumulasi lipid,
akumulasi protein dapat terjadi karena kelebihan protein
disajikan pada sel atau karena sel mensintesis protein dalam
jumlah yang berlebih. Di ginjal misalnya, sejumlah kecil

15
albumin yang disaring melewati glomerulus secara normal
direabsorpsi oleh proses pinositosis pada tubulus kontortus
proksimalis. Namun, pada gangguan dengan kebocoran
protein berat melewati filter ginjal (misalnya, sindrom
nefrotik), terdapat peningkatan yang sepadan pada
reabsorpsi pinositik protein. Fusi vesikel pinositik dengan
lisosom menghasilkan gambaran histologik berwarna
merah muda, droplet sitoplasma hialin (gambar a). Proses
ini reversibel, jika proteinuria berkurang, droplet protein
dimetabolisme dan menghilang. Contoh lain adalah
akumulasi nyata imunoglobulin yang baru di sintesis yang
dapat terjadi di RER beberapa sel plasma, menghasilkan
badan Russel eosinofilik bulat. Akumulasi protein intrasel
juga tampak pada jenis tertentu jejas sel. Misalnya, badan
Mallory, atau "hialin alkoholik", merupakan inklusi
esosinofilik intrasitoplasmik dalam sel hati, yang sangat
khas untuk penyakit hati alkoholik (gambar b). Inklusi
tersebut terutama tersusun atas filamen intermedia
prekeratin yang teragregasi, yang agaknya menahan
degradasi. Contoh lain adalah kekusutan neurofibrilar yang
terdapat pada penyakit Alzheimer, inklusi protein
teragregasi tersebut mengandung protein yang berhubungan
dengan mikrotubulus dan neurofilamen, suatu refleksi
gangguan sitoskleleton neuronal.4

16
Gambar 7: Akumulasi protein intrasel. Freeman, W.H.
Nucleic Acid Synthesis. National Center for Biotechnology
Information, U.S. National Library Of Medicine. 2000.

A. Droplet reabsorpsi protein di epitel


tubulus ginjal, droplet terdapat dalam vakuola
pinositik dan dalam lisosom.
B. Hialin alkoholik (anak panah) (juga
disebut badan Mallory), tersusun atas filamen
intermedia teragregasi di hepatosit seseorang
dengan penyalahgunaan alkohol kronik. Perhatikan
juga akumulasi lemak intrasel (tanda bintang),
dihubungkan dengan asupan alkohol akut.

3. Glikogen
Deposit glikogen intrasel yang berlebih
disebabkan oleh abnormalitas metabolisme glukosa

17
atau glikogen. Pada diabetes melitus yang tidak
terkontrol baik, contoh utama penyimpangan
metabolisme glukosa adalah akumulasi glikogen di
epitel tubulus ginjal, miosit jantung, dan sel beta
pulau Langerhans. Glikogen juga berakumulasi
dalam sel di sekelompok gangguan genetik yang
terkait erat yang secara kolektif disebut penyakit
penimbunan glikogen, atau glikogenosis. Pada
penyakit lersebul, defek enzim pada sintesis atau
pemecahan glikogen menghasilkan penimbunan
masif, dengan cedera sekunder dan kematian sel.4

2.1.4 Pigmentasi
Pigmen adalah substansi yang mempunyai warna dan
terakumulasi di dalam sel. Pigmen sering digambarkan
berdasarkan sumber atau asalnya: eksogen (berasal dari luar
tubuh) atau endogen (dihasilkan di dalam tubuh). Pigmen
eksogen paling umum berasal dari inhalasi partikel karbon
organik. Partikel ini terakumulasi di dalam makrofag dan
limfonodus jaringan paru, yang menghasilkan penampilan
kehitaman pada paru yang disebut anthracosis. Pigmentasi
disebabkan penimbunan pigmen di dalam sel. Pigmentasi
lipofuscin pada kulit umum terjadi pada lansia. Juga pada
otak, hati, jantung, dan ovarium. Pigmen ini agaknya tidak
mengganggu fungsi. Pigmen melanin dihasilkan melanosit
kulit. Pada penyakit Addison terdapat hiperpigmentasi kulit.
Pada lansia, melanosit berkurang, sehingga kulit pada orang
ini tampak lebih pucat. Pigmen hemosiderin, turunan
hemoglobin, adalah pigmen yang dibentuk karena akumulasi
timbunan besi yang berlebihan. Dalam organ disebut

18
hemosiderosis. Umumnya tidak sampai mengganggu fungsi
(Jan Tambayong, 2000).
Pigmen adalah substansi berwarna yang dapat
merupakan bahan normal dalam sel. Pigmen yang ada dalam
tubuh dapat berasal dari endogen yang disintesa dalam tubuh,
dan eksogen berasal dari luar tubuh.
1. Pigmen eksogen dari luar tubuh misal:
a. Debu karbon
b. Perak, masuk kedalam tubuh sebagai obat-
obatan
c. Tanda rajah (tattoo)

2. Pigmen endogen
Hampir seluruhnya berasal dari peruntuhan
haemoglobin, meliputi:
a. Hemosiderin: adalah pigmen yang berbentuk
granular atau kristal dan berwarna kuning
keemasan hingga coklat dan banyak mengandung
zat besi didalam sel (intraselular). Hemosiderin
dibentuk dalam 24 jam.
b. Hematoidin: pigmen bentuk Kristal berwarna
coklat keemasan, tidak mengandung zat besi dan
identik dengan bilirubin. Hematoidin merupakan
pigmen ekstraselular. Haemotoidin dibentuk dalam
7 hari.
c. Bilirubin: pigmen normal yang dijumpai pada
empedu, berasal dari haemoglobin tetapi tidak
mengandung besi. Jika konsentrasi pigmen dalam
sel dan jaringan meningkat, terjadi pigmentasi
warna kuning yang disebut ikterus. Meskipun
didistribusikan ke seluruh tubuh namun jumlah

19
terbanyak ditemukan dalam hati dengan produksi
normal 0,2 – 0,3 gram, berasal dari penghancuran
sel eritrosit yang sudah tua oleh proses fagosif
mononuclear di limpa, hati dan sumsum tulang.

2.1.5 Atrofi
Atrofi adalah salah satu bentuk adaptasi yang
ditandai oleh berkurangnya ukuran sel jaringan atau organ
di dalam tubuh. Atrofi sel individual yang disertai
peningkatan hilangnya sel atau berkurangnya penggantian
sel yang hilang akhirnya menyebabkan ukuran organ
mengecil dan jaringan menipis.3
Penyebab atrofi antara lain terjadinya mutasi (yang
dapat merusak gen untuk membangun jaringan atau organ),
sirkulasi dalam tubuh terganggu sehingga kekurangan
nutrisi dari makanan dan oksigen, gangguan hormonal,
gangguan saraf sehingga sel kurang digunakan seperti otot
rangka atau kurangnya latihan atau penyakit intrinsik pada
jaringan itu sendiri dan proses penuaan. Hormonal dan
saraf menginervasi organ atau jaringan yang disebut
sebagai trofik. Trofik menggambarkan kondisi trofik
jaringan. keadaan trofik otot berkurang dikenal sebagai
atrofi.
Atrofi secara umum merupakan proses fisiologis
berupa reabsorpsi dan kerusakan jaringan, yang melibatkan
mekanisme apoptosis pada tingkat selular. Hal tersebut
terjadi sebagai akibat dari penyakit atau hilangnya
dukungan trofik karena penyakit lain dan disebut atrofi
patologis, meskipun hal tersebut menjadi bagian dari
pengembangan tubuh normal dan homeostasis.3
Contoh Atrofi

20
1) Normal
Timus pada usia dini dan amandel
pada masa remaja menyusut dan involusi ini
merupakan bagian dari perkembangan
normal.3

2) Atrofi Otot
Otot (atrofi otot) dan tulang yang
jarang digunakan akan mengalami
kehilangan massa dan kekuatan dan apabila
terjadi setelah imobilitas berkepanjangan
(istirahat ditempat tidur, memiliki bagian
tubuh dalam balutan). Atrofi jenis ini
biasanya dapat dipulihkan dengan
berolahraga kecuali bila parah. Olahraga
secara teratur dapat meminimalkan atrofi
otot. Ada banyak penyakit dan kondisi yang
menyebabkan atrofi massa otot. Misalnya
penyakit seperti kanker dan AIDS
menyebabkan sindrom atropi disebut
“cachexia”. Selama penuaan, terjadi
penurunan bertahap kemampuan otot rangka
untuk mempertahankan fungsi.3

3) Atrofi Kelenjar
Kelenjar adrenal mengalami atropi
selama penggunaan eksogen glukokortikoid
seperti prednisone dalam jangka panjang.
Atrofi dari payudara dapat terjadi ketika
reduksi estrogen berkepanjangan, seperti
anoreksia nervosa atau menopause. Atrofi
testis dapat terjadi ketika penggunaan

21
eksogen steroid seks (baik androgen maupun
estrogen) untuk mengurangi gonadotropin
sekresi dalam jangka panjang.3

4) Atrofi Vagina
Pada wanita pasca-menopause,
dinding vagina menjadi lebih tipis.
Mekanisme untuk kondisi ini berhubungan
dengan usia serta penurunan kadar estrogen.3

2.1.6 Kalsifikasi Patologik


Klasifikasi: proses diletakkannya (pengendapan) kalsium
dalam jaringan pembentukan tulang. Klasifikasi patologik
merupakan proses yang sering juga menyatakan pengendapan
abnormal garam – garam kalsium, disertai sedikit besi, magnesium
dan garam – garam mineral lainnya dalam jaringan, yaitu:2
1. Klasifikasi terjadi pada hiperkalsemi akibat hipertiroid,
tumor, atropi tulang, hipervitaminosis D, dll. Tanpa
didahului kerusakan jaringan. Proses klasifikasi pada
jaringan yang telah mengalami kerusakan terlebih dahulu.
2. Klasifikasi distropi kerusakan dapat bersifat degenerasi atau
nekrosis. Contoh: lithopedion, bayi membantu pada janin
yang mati dalam kandungan.
3. kalsinosis, terjadi kalsifikasi pada jaringan yang tampak
normal atau yang menunjukkan kerusakan sistemik.2
Pembentukan tulang heterotropik, meliputi 3 proses diatas
disertai pergantian proses dari kalsifikasi menjadi pembentukan
tulang, terjadi akibat depo kalsium abnormal yang metaplasia
kearah osteoblastik dan dapat merangsang sel fibroblas membentuk
tulang. Kalsifikasi pada pembuluh darah arteri, terjadi pada
arteiosklerosis, ini termasuk kalsifikasi distropik.2

22
2.2 Menjelaskan Etiologi, Patogenesis, Perubahan Morfologi dan Gambaran
Mikroskopik dari Gangguan Sirkulasi, Elektrolit dan Darah: Tentang
Edema, Thrombus, Embolus, Hyperemia, Infark, Dehidrasi dan Kalsium

2.2.1 Edema
Edema adalah akumulasi cairan interstisial di dalam
jaringan tubuh atau jaringan tubuh yang menimbulkan
pembengkakan. Cairan ekstravaskular juga dapat
berkumpul pada rongga-rongga tubuh, seperti pada rongga
pleura (hidroperikardium), atau rongga peritoneum
(hidroperitoneum atau asites). Anasarka adalah edema yang
berat, generalisata dan ditandai oleh pembengkakan
jaringan subkutan yang mencolok serta akumulasi cairan
dalam rongga-rongga tubuh.
Pergerakan cairan antara pembuluh darah dan ruang
interstisial diatur terutama oleh dua daya yang saling
berlawanan, yaitu tekanan hidrostatik pembuluh darah dan
tekanan osmotik koloid yang dihasilkan oleh protein
plasma.
Dalam keadaan normal, aliran keluar cairan
disebabkan oleh tekanan hidrostatik pada ujung arteriol dari
mikrosirkulasi akan diimbangi oleh aliran masuk cairan,
karena terdapat sedikit peningkatan tekanan osmotik pada
ujung venula; sehingga hanya sedikit selisih cairan berupa
aliran keluar, yang akan dialirkan oleh pembuluh-pembuluh
limfe. Baik peningkatan tekanan hidrostatik maupun
penurunan tekanan osmotik koloid akan menyebabkan
peningkatan pergerakan air ke dalam rongga interstisial.
Hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik
jaringan dan akhirnya didapat keseimbangan yang baru.
Cairan edema yang berlebihan akan dibawa oleh aliran

23
limfatik dan masuk kembali ke dalam aliran darah melalui
duktus torasikus.
Cairan edema yang terakumulasi oleh meningkatnya
tekanan hidrostatik atau penurunan koloid di dalam
pembuluh darah merupakan transudat, yang mengandung
sedikit protein, dan memiliki gravitasi yang khas, yaitu
kurang dari 1,012. Sebaliknya, cairan edema yang terjadi
oleh karena peningkatan permeabilitas pembuluh darah
pada peradangan merupakan eksudat, kaya protein dengan
gravitasi yang khas, lebih dari 1,020. 6

A. Etiologi
1. Peningkatan Tekanan Hidrostatik
Peningkatan tekanan intravaskuler lokal
dapat menyebabkan gangguan arus balik
vena/venous return, sebagai contoh adalah
trombosis vena pada ekstremitas bawah dapat
menyebabkan edema yang terbatas pada bagian
distal tungkai bawah yang terkena. Peningkatan
tekanan vena generalisata dengan akibat edema
sistemik, terjadi paling sering pada gagal jantung
kongestif.
Beberapa faktor dapat meningkatkan
tekanan hidrostatik vena pada pasien gagal jantung
kongestif. Penurunan curah jantung menyebabkan
hipoperfusi ginjal, yang memicu aksis renin
angiotensin aldosteron dan menginduksi retensi
natrium dan air (hiperaldosteronisme sekunder).
Pada pasien-pasien dengan fungsi jantung normal,
adaptasi ini akan meningkatkan pengisian jantung/
cardiac filling dan curah jantung/cardiac output,

24
sehingga memperbaiki perfusi ginjal. Akan tetapi,
jantung yang rusak sering tidak mampu
meningkatkan curah jantungnya sebagai respons
kompensatorik terhadap peningkatan volume darah.
Hal ini menimbulkan lingkaran setan retensi cairan,
peningkatan tekanan hidrostatik vena dan
memperburuk edema. Keadaan ini akan terus
bergulir kecuali curah jantung diperbaiki atau
retensi air dikurangi (misalnya dengan pembatasan
garam atau terapi dengan diuretik/antagonis
aldosteron). Pembatasan garam atau terapi
diuretik/antagonis aldosteron juga bermanfaat dalam
mengatasi edema generalisata yang diakibatkan oleh
sebab lain, oleh karena hiperaldosteronisme
sekunder merupakan gambaran umum dari edema
generalisata. 6

2. Penurunan Tekanan Osmotik Plasma


Dalam keadaan normal, hampir separuh dari
seluruh protein plasma adalah albumin. Oleh karena
itu, keadaan-keadaan dimana tubuh kekurangan
albumin merupakan penyebab tersering penurunan
tekanan osmotik plasma, baik karena hilang dari
sirkulasi ataupun karena sintesis yang tidak adekuat.
Pada sindrom nefrotik, pembuluh-pembuluh kapiler
glomerulus yang rusak menjadi bocor,
menyebabkan hilangnya albumin (dan protein
plasma lain), masuk ke urin dan menimbulkan
edema generalisata. Penurunan sintesis albumin
terjadi pada penyakit hati yang berat (misalnya
sirosis) dan malnutrisi protein. Apapun

25
penyebabnya, kadar albumin yang rendah
menyebabkan timbulnya edema, penurunan volume
intravaskular, hipoperfusi ginjal dan
hiperaldosteronisme sekunder. Sayangnya,
peningkatan retensi garam dan air oleh ginjal tidak
hanya gagal mengoreksi defisit volume plasma,
namun juga memperburuk timbulnya edema, oleh
karena menetapnya defek protein serum primer
yang rendah. 6

3. Obstruksi Limfatik
Kerusakan drainase limfatik dan
konsekuensi limfedema biasanya disebabkan oleh
obstruksi lokal pada keadaan peradangan atau
neoplastik. Sebagai contoh, infeksi parasit filariasis
dapat menyebabkan edema masif ekstremitas bawah
dan genitalia ekstema (disebut juga elefantiasis)
dengan menimbulkan fibrosis pembuluh limfe
inguinal dan kelenjar getah bening. Infiltrasi dan
obstruksi pembuluh limfe superfisial oleh sel-sel
kanker payudara dapat menyebabkan edema kulit di
atasnya; karakteristik kulit payudara yang terkena
berupa alur-alur halus disebut kulit jeruk/peau
d'orange. Limfedema juga dapat terjadi sebagai
suatu komplikasi terapi. Hal ini sering terlihat pada
wanita-wanita dengan kanker payudara yang
menjalani reseksi kelenjar getah bening aksila dan
atau radiasi. Kedua hal ini dapat mengganggu dan
menyumbat aliran limfe yang menyebabkan
limfedema berat pada lengan. 6

26
4. Retensi Natrium dan Air
Retensi garam (terkait dengan air) yang
berlebihan dapat menyebabkan edema melalui
peningkatan tekanan hidrostatik (karena ekspansi
volume intravaskular) dan penurunan tekanan
osmotik plasma. Retensi garam dan air yang
berlebihan tampak pada berbagai jenis penyakit
yang mengganggu fungsi ginjal, termasuk
glomerulonefritis poststreptokokal dan gagal ginjal
mendadak. 6

B. Patogenesis

27
Tabel 1: Patogenesis edema. Kumar, Vinay; Ramzi S. Cotran; Stanley L.
Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins, Ed.7, Vol. 1. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

C. Gambaran Morfologi
Edema mudah dikenali melalui pemeriksaan
makroskopik; pemeriksaan mikroskopik menunjukkan
'clearing' dan pemisahan elemen-elemen matriks ekstrasel.
Walaupun semua jaringan bisa terkena, edema paling sering
ditemukan pada jaringan subkutan, paru dan otak. Edema
subkutan bisa difus, namun biasanya lebih sering
terakumulasi pada bagian-bagian tubuh yang berlokasi
paling jauh dari jantung dan paling bawah, yang tekanan
hidrostatiknya paling tinggi. Oleh karena itu, edema yang
khas paling sering ditemukan pada tungkai bawah saat
berdiri dan pada sakrum saat berbaring, suatu hubungan
yang disebut edema dependen. Tekanan jari di atas jaringan
subkutan yang edema menyingkirkan cairan interstisial, dan
meninggalkan lubang berbentuk seperti jari; hal ini disebut
edema berlubang/pitting edema. Edema yang disebabkan
oleh disfungsi ginjal atau sindrom nefrotik sering
bermanifestasi pertama kali di jaringan ikat longgar
(misalnya kelopak mata, menyebabkan edema periorbital).
Berat paru dengan edema sering mencapai dua hingga tiga
kali berat normal, dan pada penampang tampak berbusa,
kadang berupa cairan berbercak darah yang terdiri atas
campuran udara, cairan edema dan sel darah merah yang
ekstravasasi. Edema otak dapat terlokalisir (misalnya oleh
karena abses atau tumor) atau generalisata, tergantung pada
sifat dan luasnya proses patologis/jejas. Dengan adanya
edema generalisata, sulkus-sulkus akan menyempit, dan

28
girus-girus akan membengkak dan merata pada tulang
tengkorak. 6

D. Gambaran Mikroskopik

Gambar 8: Gambaran mikroskopis edema pulmonum (bawah). gambar bawah


dapat terlihat cairan eosinofilik yang meregangkan alveol (panah). Gambar atas
merupakan paru-paru tikus yang normal. McGavin MD, Zachary JF. 2007.
Pathologic Basis of Veterinary Disease. Edisi ke-4. USA: Mosby Elsevier.

2.2.2 Thrombus
Trombosis merupakan hemostasis yang patologis, yaitu
pembentukan bekuan darah (trombus) di dalam pembuluh darah
yang utuh. Baik hemostasis maupun trombosis terdiri atas tiga
elemen, yaitu dinding pembuluh darah, trombosit dan kaskade
pembekuan darah. 6
Trombus adalah bekuan abnormal dalam pembuluh darah
yang terbentuk walaupun tidak ada kebocoran. Trombus terbagi
menjadi 3 macam yaitu trombus merah (trombus koagulasi),
trombus putih (trombus aglutinasi) dan trombus campuran.
Trombus merah dimana sel trombosit dan leukosit tersebar rata
dalam suatu masa yang terdiri dari eritrosit dan fibrin, sering
terdapat pada vena. Trombus putih terdiri dari fibrin dan lapisan
trombosit, leukosit dengan sedikit eritrosit, biasanya terdapat

29
dalam arteri. Bentuk yang paling sering adalah trombus campuran.
8

A. Etiologi
Penyebab thrombosis dibagi menjadi dua yaitu yang
terkait dengan imobilisasi dan yang berhubungan dengan
hiperkoagulasi baik yang berhubungan dengan faktor
genetik atau didapat. Trombosis vena adalah penyakit
dengan penyebab yang multiple dengan beberapa faktor
risiko sering terjadi bersama-sama pada suatu waktu.
Seringkali faktor risiko thrombosis bersifat herediter dan
sudah berlangsung lama, kemudian diperberat oleh adanya
faktor risiko yang didapat. 9
Peningkatan ringan risiko trombosis terjadi pada
kondisi gangguan sistem koagulasi dengan sumber yang
tidak jelas seperti peningkatan faktor prokoagulasi seperti
fibrinogen, II, von Willebrand’s factor, VIII, IX, X dan XI,
dan antifibrinolytic factor (TAFI) dan kadar yang rendah
dari anticoagulant factors (TFPI). 10,11
Dalam keadaan normal, darah yang bersirkulasi
berada dalam keadaan cair, tetapi akan membentuk bekuan
jika teraktivasi atau terpapar dengan suatu permukaan.
Virchow mengungkapkan suatu triad yang merupakan dasar
terbentuknya trombus. Hal ini dikenal sebagai Triad
Virchow. Triad ini terdiri dari:
a) Gangguan pada aliran darah yang mengakibatkan
stasis atau aliran darah yang abnormal
Aliran darah yang kacau (turbulen) berperan
pada timbulnya trombosis arteri kardiak dan jantung
dengan menimbulkan jejas atau disfungsi endotel,
arus balik dan kantong-kantong stasis lokal. Stasis

30
merupakan faktor utama pada perkembangan
trombus vena. Dalam kondisi aliran darah laminar
normal, trombosit (dan sel-sel darah lainnya) berada
terutama di bagian tengah lumen pembuluh darah,
terpisahkan dari endotel oleh lapisan plasma yang
bergerak lebih lambat. Sebaliknya, stasis dan aliran
darah yang kacau/turbulen menyebabkan efek-efek
merusak sebagai berikut:
1. Meningkatkan pengaktifan sel endotel
maupun aktivitas prokoagulan, antara lain
melalui perubahan ekspresi gen-gen endotel
yang diinduksi oleh aliran darah.
2. Stasis menyebabkan aliran darah melambat
sehingga trombosit dan leukosit dapat
berhubungan dengan endotel.
3. Stasis juga memperlambat pembersihan
faktor-faktor pembekuan yang teraktifkan
dan menghambat aliran masuk penghambat-
penghambat faktor pembekuan. 6

Aliran darah yang turbulen dan stasis berkontribusi


pada terjadinya trombosis pada sejumlah keadaan klinis.
Plak aterosklerotik yang ulseratif tidak hanya memaparkan
matriks ekstrasel subendotelial, namun juga menyebabkan
terjadinya turbulensi. Pelebaran arteri dan aorta yang
abnormal, yang disebut aneurisma, menciptakan stasis
lokal, dan akibatnya menjadi tempat yang subur untuk
terjadinya trombosis. 6

31
b) Gangguan pada keseimbangan prokoagulan dan
antikoagulan yang menyebabkan aktivasi faktor
pembekuan atau jejas endotel.

1. Jejas endotel merupakan penyebab penting


terjadinya trombosis, terutama di jantung
dan arteri-arteri, yang aliran darahnya deras
dan sebaliknya dapat memperlambat
terjadinya pembekuan dengan mencegah
adhesi trombosit atau mendilusi faktor-
faktor pembekuan.
2. Contoh trombosis yang berhubungan dengan
kerusakan endotel adalah terbentuknya
trombus pada bilik-bilik jantung setelah
infarkmiokard, di atas plak ulseratif pada
arteri-arteri yang aterosklerotik, atau pada
tempat-tempat jejas vaskular akibat trauma
atau peradangan (vaskulitis). Terbukanya
endotel akan memaparkan matriks ekstrasel
subendotel (menyebabkan adhesi trombosit),
melepaskan faktor jaringan, dan mengurangi
produksi lokal dari PGI2 serta aktivator
plasminogen.
3. Akan tetapi perlu dicatat bahwa untuk
terjadinya trombosis, endotel tidak perlu
terlepas atau secara fisik terputus; setiap
gangguan pada keseimbangan dinamik
antara efek-efek protrombotik dan
antitrombotik endotel dapat mempengaruhi
pembekuan secara lokal.

32
4. Oleh karena itu, endotel yang tidak
berfungsi secara benar menghasilkan faktor-
faktor prokoagulan (misalnya, molekul
adhesi trombosit, faktor jaringan, PAI)
dalam jumlah yang lebih besar dan
menghasilkan molekul-molekul
antikoagulan (misalnya, trombomodulin,
PGI2, t-PA) dengan jumlah yang lebih
sedikit.
5. Disfungsi endotel dapat diinduksi oleh
berbagai keadaan, termasuk hipertensi,
aliran darah yang turbulen, produk-produk
bakterial, jejas radiasi, abnormalitas
metabolit seperti homosistinuria dan
hiperkolesterolemi, dan racun-racun yang
diserap dari asap rokok.6

c) Gangguan pada dinding pembuluh darah (endotel)


yang menyebabkan prokoagulan atau
hiperkoagulabilitas darah.
➔ Hiperkoagulabilitas jarang berperan dalam
terjadinya trombus pada arteri atau di dalam
jantung tetapi merupakan faktor risiko
penting bagi terjadinya trombus pada vena.
Hiperkoagulabilitas didefinisikan kurang
lebih sebagai kelainan pada jalur-jalur
pembekuan yang mempermudah timbulnya
trombosis, yang dapat dibagi menjadi
kelainan primer (genetik) dan sekunder
(didapat).6

33
Tabel 2: Keadaan Koagulasi Berlebihan. Kumar V,
Abbas AK, Aster JC. Robbins Basic Pathology. 9th ed. Philadelphia: Elsevier; 2015.

Gambar 9: Triad Virchow pada trombosis. Kumar V,


Abbas AK, Aster JC. Robbins Basic Pathology. 9th ed. Philadelphia: Elsevier; 2015.

34
Trombosis terjadi jika keseimbangan antara faktor
trombogenik dan mekanisme protektif terganggu. Faktor
trombogenik meliputi:
1. Gangguan sel endotel.
2. Terpaparnya subendotel akibat hilangnya sel
endotel.
3. Aktivasi trombosit atau interaksinya dengan
kolagen subendotel atau faktor von Willebrand.
4. Aktivasi koagulasi.
5. Terganggunya fibrinolisis.
6. Stasis.

Mekanisme protektif terdiri dari:


1. Faktor antitrombotik yang dilepaskan oleh sel
endotel yang utuh.
2. Netralisasi faktor pembekuan yang aktif oleh
komponen sel endotel.
3. Hambatan faktor pembekuan yang aktif oleh
inhibitor.
4. Pemecahan faktor pembekuan oleh protease.
5. Pengenceran faktor pembekuan yang aktif dan
trombosit yang beragregasi oleh aliran darah.
6. Lisisnya trombus oleh sistem fibrinolisis.

Trombus terdiri dari fibrin dan sel-sel darah.


Trombus arteri, karena aliran yang cepat, terdiri dari
trombosit yang diikat oleh fibrin yang tipis, sedangkan
trombus vena terutama terbentuk di daerah stasis dan terdiri

35
dari eritrosit dengan fibrin dalam jumlah yang besar dan
sedikit trombosit. 12

B. Patogenesis
Pada keadaan di mana aliran darah melambat maka
trombosit akan melekat pada permukaan bagian dalam dinding
pembuluh darah. Trombosit yang melekat semakin lama semakin
banyak dan saling melekat sehingga terbentuk massa yang
menonjol di dinding pembuluh darah. Bila massa tersebut lepas
dari dinding pembuluh darah disebut embolus. Selanjutnya
embolus akan mengikuti aliran darah dan pada suatu tempat
berhenti menyumbat pembuluh darah tersebut dan kejadian ini
disebut embolisme. 13

Jika seorang pasien mampu bertahan dari efek segera oleh


suatu obstruksi vaskular karena trombosis, trombus akan
mengalami proses:
a) Propagasi
Trombus dapat menumpukkan lebih banyak trombosit dan
fibrin (memperbanyak), yang akhirnya menyumbat
pembuluh darah penting tertentu.
b) Embolisasi
Trombus dapat terlepas dan diangkut ke tempat lain dalam
pembuluh darah.
c) Dissolusi
Trombus dapat dihilangkan melalui aktivitas fibrinolisis.
d) Organisasi dan rekanalisasi
Trombus dapat menginduksi inflamasi dan fibrosis
(organisasi) dan akhirnya dapat mengalami rekanalisasi
(mengembalikan aliran vaskular), atau trombus dapat
bergabung ke dalam dinding vaskular yang menebal. 1

36
C. Gambaran Morfologi
Trombus dapat berkembang di mana saja di dalam
sistem kardiovaskular. Trombus arteri atau jantung, khas
muncul pada tempat-tempat jejas endotel atau aliran
turbulen; trombus vena secara karakteristik terjadi pada
tempat-tempat stasis. Aliran darah trombus menempel
setempat pada permukaan vaskular dan cenderung
membesar ke arah jantung; sehingga trombus arteri tumbuh
ke arah belakang/retrograde dari titik penempelannya,
sementara trombus vena meluas ke arah aliran darah.
Bagian suatu trombus yang membesar cenderung tidak
menempel secara baik sehingga mudah
terpecah/fragmentasi dan bermigrasi melalui aliran darah
sebagai suatu embolus. Trombus memiliki lapisan-lapisan
yang jelas secara makroskopik (dan mikroskopik) yang
disebut sebagai garis-garis Zahn; yang merupakan bagian
dengan trombosit dan lapisan-lapisan fibrin yang berwarna
pucat, bergantian dengan lapisan yang kaya eritrosit yang
berwarna lebih gelap. Garis-garis ini penting karena hanya
ditemukan pada trombus yang terbentuk pada darah yang
mengalir; sehingga keberadaan garis-garis ini dapat
membedakan trombus sebelum meninggal/antemortem dari
bekuan darah yang rata, tidak berlapis yang terbentuk
setelah meninggal/ postmortem. Walaupun trombus
terbentuk pada sistem vena "aliran lambat" secara
superfisial menyerupai bekuan postmortem, namun pada
pemeriksaan yang lebih teliti biasanya terlihat lapisan-
lapisan yang tidak berbatas jelas. 6

37
Gambar 10: Garis Zahn melingkar pada
thrombus. Cut Suriyati. Modul Bahan Cetak Keperawatan:
Patologi. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2016.

Trombus arteri secara khas relatif kaya trombosit,


oleh karena proses yang mendasari perkembangannya
(misalnya, jejas endotel) berakibat pada aktivasi trombosit.
Walaupun biasanya terjadi bersama-sama pada suatu plak
aterosklerotik yang ruptur, jejas pembuluh darah yang lain
(vaskulitis, trauma) dapat juga merupakan penyebab.
Trombus vena (Phlebotrombosis) seringkali
membesar dan memanjang ke arah jantung, membentuk
suatu endapan yang panjang pada lumen pembuluh darah
yang rentan menimbulkan emboli.
Trombus Vena (Phlebothrombosis). Kebanyakan
trombus vena terjadi pada tungkai bawah baik pada vena
maupun vena dalam. Trombus vena permukaan biasanya
timbul pada sistem safena, khususnya dalam bentuk varises;
trombus ini jarang menjadi embolus namun dapat
menimbulkan rasa sakit dan menyebabkan sumbatan serta
pembengkakan lokal oleh adanya gangguan aliran vena
keluar dan cenderung terjadi, peningkatan timbulnya
infeksi dan ulkus varikosus pada jaringan kulit di atasnya. 6

D. Gambaran Mikroskopik

38
Gambar 11: Arteri yang mengalami trombosis. Tanda panah menunjukan lumen asli dan
dipenuhi oleh trombus. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins Basic Pathology. 9th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2015.

2.2.3 Embolus
Embolus adalah suatu massa padat, cair, atau udara
intravaskular yang dibawa oleh darah ke suatu tempat yang jauh
dari asalnya. Sebagian besar embolus berasal dari trombus yang
terlepas, oleh karena itu terdapat terminologi tromboembolisme.
Jenis embolus yang lebih jarang mencakup tetesan lemak,
gelembung udara atau nitrogen, debri aterosklerotik (emboli
kolesterol), fragmen tumor, potongan sumsum tulang, dan cairan
amnion. Embolus yang masuk masuk ke dalam pembuluh darah
yang terlalu kecil untuk dilewati, berakibat pada penyumbatan total
atau parsial; tergantung pada lokasi asalnya, embolus bisa masuk di
mana saja dalam sistem pembuluh darah. Akibat utama dari
embolisasi sistemik adalah nekrosis iskemik (infark) dari jaringan
di bagian distal penyumbatan, sementara embolisasi pada sirkulasi
paru mengakibatkan hipoksia, hipotensi, dan gagal jantung kanan.
Insidens pasien emboli paru yang dirawat di rumah sakit
adalah 2 hingga 4 per 1000 pasien. Walaupun angka emboli paru di
Amerika Serikat telah menurun dari 6% menjadi 2% selama
seperempat abad terakhir, namun emboli paru masih menyebabkan

39
sekitar 200.000 kematian per tahun. Pada lebih dari 95% kasus,
emboli vena berasal dari trombus di vena dalam pada tungkai
bawah, proksimal dari fossa poplitea; emboli dari trombus vena
tungkai bawah tidak jarang terjadi. 6

A. Etiologi
Penyebab utama dari suatu emboli paru adalah
tromboemboli vena (venous thromboembolism), namun
demikian penyebab lain dapat berupa emboli udara, emboli
lemak, cairan amnion, fragmen tumor dan sepsis, trombus
dinding jantung atau trombus katup, aneurisma aorta, atau
plak aterosklerotik, yang termasuk ke dalam embolus
sistemik. 14,15

Emboli paru (EP) merupakan kondisi akibat


tersumbatnya arteri paru, yang dapat menyebabkan
kematian pada semua usia. Penyakit ini sering ditemukan
dan sering disebabkan oleh satu atau lebih bekuan darah
dari bagian tubuh lain dan tersangkut di paru-paru, sering
berasal dari vena dalam di ekstremitas bawah, rongga perut,
dan terkadang ekstremitas atas atau jantung kanan. 16,17

Selain itu, emboli paru (Pulmonary Embolism)


dapat diartikan sebagai penyumbatan arteri pulmonalis
(arteri paru-paru) oleh suatu embolus, yang terjadi secara
tiba-tiba. Suatu emboli bisa merupakan gumpalan darah
(trombus), tetapi bisa juga berupa lemak, cairan ketuban,
sumsum tulang, pecahan tumor atau gelembung udara, yang
akan mengikuti aliran darah sampai akhirnya menyumbat
pembuluh darah. Biasanya arteri yang tidak tersumbat dapat
memberikan darah dalam jumlah yang memadai ke jaringan

40
paru-paru yang terkena sehingga kematian jaringan bisa
dihindari. Tetapi bila yang tersumbat adalah pembuluh
yang sangat besar atau orang tersebut memiliki kelainan
paru-paru sebelumnya, maka jumlah darah mungkin tidak
mencukupi untuk mencegah kematian paru-paru.Sekitar
10% penderita emboli paru mengalami kematian jaringan
paru-paru, yang disebut infark paru. Jika tubuh bisa
memecah gumpalan tersebut, kerusakan dapat
diminimalkan. Gumpalan yang besar membutuhkan waktu
lebih lama untuk hancur sehingga lebih besar kerusakan
yang ditimbulkan. Gumpalan yang besar bisa menyebabkan
kematian mendadak. Emboli paru merupakan suatu
keadaan darurat medis. 1 sampai 2 jam setelah terjadinya
emboli adalah periode yang paling kritis dan mungkin saja
dapat terjadi kematian karena komplikasi seperti infark
paru-paru (terjadinya nekrosis jaringan paru)atau hipertensi
paru-paru (meningkatnya tekanan arteri pulmonal),
perdarahan paru-paru,kor pulmonal akut dengan gagal
jantung dan disritmia (gangguan irama jantung), usia sangat
rentan terhadap komplikasi-komplikasi tersebut sebab telah
terjadi perubahan-perubahan dari keadaan normal dalam
sistem pulmonal (penurunan compliance paru klasifikasi
tulang rawan di vertebra) dan sistem kardiovaskular
(penyempitan pembuluh darah, penebalan dinding kapiler).
16,17,18

Bila obstruksi terjadi di daerah paru emboli disebut


juga sebagai tromboemboli paru. Akibat Lanjut dari emboli
paru dapat terjadi infark paru, yaitu keadaan terjadinya
nekrosis sebagian jaringan parenkim paru akibat
tersumbatnya aliran darah yang menuju jaringan paru

41
tersebut oleh tromboemboli. Oleh karena jaringan parenkim
paru memperoleh aliran darah dari dua jenis peredaran
darah (cabang-cabang dari arteri pulmonalis dan cabang-
cabang dari arteri bronkialis), maka emboli paru jarang
berlanjut menjadi infark paru. 18

Gambar 12: Embolus yang berasal dari trombus vena dalam di ekstremitas bawah
masuk ke salah satu cabang arteri pulmonalis. Kumar V, Abbas AK, Aster JC.
Robbins Basic Pathology. 9th ed. Philadelphia: Elsevier; 2015.

B. Patogenesis
Pada emboli paru, Trombus yang terpecah pada
TVD dibawa melalui pembuluh-pembuluh yang makin
besar dan biasanya melewati bagian sisi kanan jantung
sebelum tertahan di pembuluh darah paru. Tergantung pada
ukurannya, suatu embolus pada paru dapat menyumbat
arteri pulmonalis utama, atau masuk ke dalam percabangan/
bifurkasi arteri pulmonalis kanan dan kiri (embolus pelana)
atau lewat dan masuk ke dalam percabangan arteriol yang
lebih kecil. Emboli multipel, sering terjadi baik berurutan
atau dalam bentuk pecahan embolus yang kecil-kecil dari
satu trombus yang besar; seorang pasien yang pernah
mengalami emboli paru memiliki risiko yang lebih besar
untuk mengalaminya kembali. Kadang-kadang, suatu

42
embolus melewati defek pada atrium atau ventrikel dan
memasuki sirkulasi sistemik (embolisme paradoksikal). 6

Pada embolus sistemik, Berbeda dengan emboli


vena yang masuk terutama di paru, emboli arteri dapat
masuk ke mana saja; tempat perhentian terakhirnya
tergantung pada asal lokasinya dan pada laju aliran relatif
di jaringan sesudahnya. Tempat-tempat emboli arteriol
yang umum adalah ekstremitas bawah (75%) dan sistem
saraf pusat (10%); sedangkan usus, ginjal, dan limpa adalah
target yang lebih jarang. Akibat dari terjadinya emboli
bergantung pada garis tengah pembuluh darah yang
tersumbat, suplai kolateral, dan kerentanan jaringan yang
terkena terhadap anoksia; emboli arteri sering masuk pada
ujung-ujung arteri dan menyebabkan infark. 6

C. Gambaran Morfologi dan Mikroskopik


Embolus dapat berbentuk benda padat yang berasal
dari sel kanker dapat menyebabkan pembengkakan atau
benjolan pada bagian yang terkena embolus, bakteri atau
jaringan. Selain itu embolus juga dapat berupa cairan
seperti:

1. Emboli Lemak
Trauma jaringan lunak dan ruptur sinusoid
pembuluh darah sumsum tulang (fraktur tulang panjang)
menyebabkan terlepasnya globul-globul lemak mikroskopik
ke dalam sirkulasi darah. Emboli lemak dan emboli
sumsum tulang sering ditemukan setelah suatu resusitasi
kardiopulmoner keras, namun mungkin akibat klinisnya
hanya kecil saja. Sama halnya, walaupun emboli lemak dan

43
sumsum tulang terjadi pada sekitar 90% individu dengan
trauma skeletal yang berat , namun kurang dari 10% yang
menunjukkan gejala. Akan tetapi, pada sekelompok kecil
pasien, terjadi sindrom emboli lemak yang asimptomatik. 6

Gambar 13: Embolus lemak dilihat secara mikroskopik

Patogenesis dari sindrom emboli lemak mencakup baik


sumbatan mekanik maupun jejas biokimiawi. Mikroemboli lemak
menyumbat pembuluh kapiler paru dan otak, baik secara langsung
maupun dengan memicu agregasi trombosit. Efek yang berbahaya
ini diperburuk oleh lepasnya lemak dari globul lemak, yang
menyebabkan jejas toksik endotel lokal. 6

2. Emboli Cairan Amnion


Emboli cairan amnion merupakan komplikasi menyedihkan
dari proses persalinan dan periode awal postpartum (terjadi pada 1
di antara 40.000 persalinan). Tingkat mortalitas mencapai 80%,
sehingga menjadi penyebab kematian maternal tersering di negara
maju; mencapai 10% kematian maternal di Amerika Serikat,
sementara 85% yang selamat akan menderita defisit neurologi
permanen. Onset ditandai oleh dispnea, sianosis, dan syok
hipotensi yang berat dan mendadak, diikuti oleh kejang dan koma. 6

44
Gambar 14: Emboli cairan amnion. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins Basic
Pathology. 9th ed. Philadelphia: Elsevier; 2015
.

Penyebab masuknya cairan amnion (dan isinya) ke dalam


sirkulasi maternal adalah melalui robekan-robekan yang ada di
membran plasenta dan/atau ruptur vena uterus. Pemeriksaan
histologis menunjukkan sel-sel skuamosa yang berasal dari kulit
janin, rambut lanugo, lemak dari vernix caseosa, dan musin yang
berasal dari traktus respiratorius atau traktus gastrointestinal janin
di dalam mikrosirkulasi maternal. 6

3. Emboli Udara
Gelembung udara di dalam sirkulasi dapat berkelompok
dan menyumbat aliran darah sehingga menyebabkan jejas iskemik
di bagian distal. Udara dalam volume kecil yang terjebak dalam
arteri koronaria pada saat operasi bypass atau masuk ke dalam
sirkulasi arteri serebral pada saat operasi bedah saraf dilakukan
dalam posisi "duduk tegak" dapat menyumbat aliran darah dengan
akibat yang sangat buruk. Embolus udara pada vena kecil
umumnya tidak menyebabkan pengaruh serius, namun udara dalam
volume yang cukup besar dapat masuk secara tidak sengaja ke
dalam sirkulasi darah paru selama tindakan obstetrik atau sebagai
akibat trauma dinding dada yang menyebabkan hipoksia, dan

45
emboli vena yang sangat besar ini dapat tertahan di jantung dan
menimbulkan kematian. 6

Konsekuensi morfologik embolus paru, sebagaimana telah


diketahui, bergantung pada ukuran massa embolus dan kondisi
umum sirkulasi darah. Embolus besar dapat tersangkut di arteri
pulmonalis utama atau cabang utamanya, atau terjebak di
bifurkasio/percabangan sebagai embolus pelana atau saddle
embolus. Kematian biasanya terjadi mendadak akibat hipoksia atau
gagal jantung kanan akut (cor pulmonale akut) sehingga tidak ada
waktu yang memungkinkan terjadinya perubahan morfologik paru.
Embolus yang lebih kecil bisa terjebak di arteri pulmonalis sedang
dan kecil. Dengan sirkulasi dan aliran arteri bronkialis yang
adekuat, vitalitas parenkim paru dapat dipertahankan, namun
perdarahan di alveolus dapat terjadi sebagai akibat kerusakan
iskemik sel endotel. Jika status kardiovaskular terganggu, seperti
yang dapat terjadi pada gagal jantung kongestif, dapat terjadi
infark. 6

2.2.4 Hyperemia
Baik hiperemia maupun kongesti keduanya merujuk
pada peningkatan volume darah di dalam jaringan, namun
mekanisme yang mendasarinya berbeda.
Hiperemia merupakan suatu proses aktif yang
disebabkan oleh dilatasi arteriol dan peningkatan aliran
darah masuk, seperti yang terjadi pada tempat-tempat
peradangan atau pada otot skeletal yang bekerja. Jaringan
yang hiperemik tampak lebih merah dari normal karena
banyaknya darah yang mengandung oksigen.
Kongesti merupakan suatu proses pasif yang
disebabkan oleh gangguan aliran darah keluar dari vena

46
suatu jaringan. Kongesti dapat terjadi sistemik seperti pada
gagal jantung, atau lokal sebagai akibat adanya sumbatan
vena tertentu. Jaringan yang kongestif tampak berwarna
tidak normal, yaitu merah kebiruan (sianotik) karena
akumulasi hemoglobin yang tidak mengandung oksigen.
Pada kongesti menahun, perfusi jaringan tidak
adekuat dan hipoksia yang menetap dapat menyebabkan
kematian sel-sel jaringan parenkim dan fibrosis jaringan
sekunder, serta peningkatan tekanan intravaskuler yang
dapat menyebabkan timbulnya edema atau terkadang ruptur
kapiler yang menimbulkan perdarahan setempat. 6

A. Etiologi

1. Kongesti Aktif

Kongesti aktif adalah peningkatan aliran darah ke


jaringan atau organ. Kenaikan aliran darah lokal terjadi
karena adanya dilatasi arteri yang bekerja sebagai katup
yang mengatur aliran darah ke dalam mikrosirkulasi
lokal. Sebagai contoh dari kongesti aktif yaitu
hiperemia yang menyertai radang akut, sehingga terjadi
kemerahan pada jaringan yang meradang. Kongesti
aktif sering terjadi dalam waktu singkat, apabila
rangsangan terhadap dilatasi arteriol berhenti maka
aliran darah ke daerah tersebut akan berkurang dan
keadaan akan menjadi normal kembali. 7

2. Kongesti Pasif

Kongesti pasif adalah terjadinya gangguan aliran


darah pada suatu daerah. Penekanan pada venula-
venula dan vena yang mengalirkan darah dari jaringan

47
dapat menimbulkan kongesti pasif. Sebagai contoh
yaitu tumor yang menekan aliran vena lokal dari suatu
daerah. Kongesti dapat juga terjadi karena gangguan
sistem sirkulasi darah sistemik yang dapat mengganggu
drainase vena seperti kegagalan ventrikel jantung kiri
mengakibatkan aliran darah yang kembali ke jantung
dari paru-paru akan terganggu. Pada keadaan ini darah
akan terbendung di dalam paru-paru dan akan
menimbulkan kongesti pasif. Apabila terjadi kegagalan
ventrikel jantung kanan, bendungan darah akan
mempengaruhi aliran vena sistemik sehingga banyak
jaringan tubuh mengalami kongesti pasif. 7

B. Patogenesis

Kongesti pasif yang berlangsung singkat disebut


kongesti akut. Sedangkan kongesti pasif yang berlangsung
lama disebut kongesti pasif kronis. Kongesti pasif akut
biasanya tidak terdapat pengaruh yang signifikan pada
jaringan tersebut, tetapi kongesti pasif kronis dapat
mengakibatkan perubahan-perubahan permanen pada
jaringan. Perubahan ini terjadi pada jaringan yang
mengalami kongesti pasif dan apabila perubahan pada
aliran darah ini cukup nyata, maka terjadi hipoksia jaringan
yang menyebabkan menyusutnya jaringan atau bahkan
dapat menyebabkan hilangnya sel-sel tersebut. 7

C. Gambaran Morfologi
Penampang jaringan yang hiperemik atau kongestif
terasa basah pada perabaan dan yang khas adalah darah

48
menjadi kental. Pada pemeriksaan mikroskopik, kongesti
paru mendadak ditandai oleh kapiler alveolus yang
dipenuhi oleh darah dengan edema ringan sampai berat
pada septa alveolus. Pada kongesti paru menahun, septa
menjadi menebal dan fibrotik, rongga alveolus
mengandung banyak sel makrofag yang berisi hemosiderin
(sel payah jantung).
Pada kongesti hati mendadak, vena sentralis dan
sinusoid-sinusoid tampak melebar, penuh berisi darah dan
bahkan dapat terjadi nekrosis pada sel-sel hepatosit sentral.
Sel-sel hepatosit periportal teroksigenasi lebih baik oleh
karena letaknya yang lebih dekat dengan arteriol-arteriol
hepatik sehingga akan mengalami hipoksia yang lebih
ringan dan dapat hanya menyebabkan perubahan lemak
yang reversibel.
Secara makroskopik, pada kongesti hepatik yang
menahun dan pasif, daerah sentral lobulus-lobulus hati
tampak berwarna coklat kemerahan dan sedikit tertekan
(oleh karena hilangnya sel) serta lebih jelas daripada daerah
sekitarnya yang berwarna kekuningan, kadang berlemak,
sehingga memberikan gambaran menyerupai biji buah pala
kongesti menahun. 6

49
D. Gambaran Mikroskopik

Gambar 15: Hati dengan kongesti pasif menahun dan nekrosis hemoragik. A,
Pada spesimen ini, daerah sentral berwarna merah dan sedikit tertekan
dibandingkan dengan parenkim sekitarnya yang masih hidup dan berwarna
kekuningan, menyerupai potongan hati biji pala/"nutmeg liver". B, Sediaan
mikroskopik menunjukkan nekrosis hepar sentrolobular dengan perdarahan dan
sel-sel radang yang tersebar. Kumar, Vinay; Ramzi S. Cotran; Stanley L.
Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins, Ed.7, Vol. 1. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

2.2.5 Infark
Infark adalah suatu daerah nekrosis iskemik yang
disebabkan oleh tersumbatnya aliran darah pada jaringan yang
terkena; proses dimana lesi demikian terbentuk dinamakan infarksi,
yang merupakan penyebab sangat penting penyakit-penyakit kritis
dan sering terjadi.
Secara kasar 40% dari semua kematian di Amerika Serikat
adalah akibat dari penyakit kardiovaskular, yang sebagian besar
disebabkan oleh infark miokardium atau serebrum. Infark paru

50
merupakan komplikasi klinis yang umum, infark usus sering fatal,
dan nekrosis iskemik ekstremitas bagian distal (gangren)
menyebabkan morbiditas yang tinggi pada penderita diabetes. 6

A. Etiologi
Trombus arteriol atau emboli arteriol merupakan
penyebab dari sebagian besar infark. Penyebab obstruksi
arteri yang lebih jarang antara lain vasospasme, pelebaran
ateroma akibat perdarahan di dalam plak, dan kompresi
pembuluh darah dari luar, seperti oleh tumor, suatu
aneurisma aorta diseksi/dissecting aortic aneurysm, atau
edema dalam daerah yang terbatas (misalnya, sindrom
kompartemen tibia anterior). Penyebab lain infark yang
tidak biasa adalah puntiran saluran darah (misalnya, pada
torsi testis atau volvulus usus), ruptur pembuluh akibat
trauma, dan terjeratnya kantong hernia. Walaupun
trombosis vena dapat menyebabkan infark, akibat yang
lebih sering hanya berupa kongesti; khasnya, saluran
bypass dengan cepat terbuka untuk menyediakan aliran
keluar yang cukup dan mengembalikan aliran masuk ke
arteri. Infark yang disebabkan oleh trombosis vena, hanya
terjadi pada organ-organ dengan vena eferen tunggal
(misalnya, testis atau ovarium).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Infark, Pengaruh oklusi pembuluh darah bervariasi, dari
yang tidak berarti hingga nekrosis jaringan yang
menyebabkan disfungsi organ dan terkadang kematian.
Akibat yang bervariasi ini dipengaruhi oleh (1) anatomi
pembuluh darah; (2) saat oklusi ini terjadi; (3) kerentanan
intrinsik jaringan yang terkena jejas iskemik; dan (4)
kandungan oksigen dalam darah. 6

51
• Anatomi Pembuluh Darah dan Kolateral.
Ada atau tidaknya pembuluh darah kolateral merupakan
faktor yang paling penting untuk menentukan apakah oklusi
dari suatu pembuluh darah akan menyebabkan kerusakan
atau tidak. Suplai darah ganda pada paru oleh arteri-arteri
pulmo dan bronkus sehingga penyumbatan arteri pulmo
tidak menyebabkan infark paru kecuali aliran darah dari
bronkus juga terganggu. Demikian pula dengan hati yang
menerima darah dari arteri hepatika dan vena porta, juga
pada tangan dan lengan bawah dengan suplai arteri yang
paralel dari arteri radialis dan arteri ulnaris, membuatnya
resisten terhadap infark. Sebaliknya, ginjal dan limpa,
keduanya memiliki sirkulasi arterial tanpa kolateral
sehingga penyumbatan arteri biasanya akan menyebabkan
timbulnya infark pada jaringan ini.

• Kecepatan Oklusi.
Oklusi yang berkembang lambat lebih jarang menyebabkan
infark karena cukup waktu untuk membangun suplai darah
kolateral. Sebagai contoh, anastomosis interarteriol kecil,
yang biasanya sedikit mengalirkan darah menghubungkan
tiga arteri koronaria utama. Jika salah satu arteri koronaria
teroklusi secara perlahan-lahan (misalnya, dengan
menembus plak aterosklerotik), aliran darah pada sirkulasi
kolateral ini dapat meningkat sehingga cukup untuk
mencegah terjadinya infark—bahkan jika arteri ini menjadi
teroklusi total.

• Kerentanan Jaringan Terhadap Iskemia.


Neuron-neuron mengalami kerusakan ireversibel bila suplai
darah terhenti selama 3 sampai 4 menit saja. Sel-sel otot

52
jantung walaupun lebih tahan daripada neuron, masih akan
mati setelah iskemia selama 20 hingga 30 menit saja.
Sebaliknya, fibroblas dalam otot jantung masih bertahan
hidup setelah iskemia berjam-jam.

• Hipoksemia.
Dapat dimengerti bahwa kandungan darah yang rendah O2
secara abnormal (tanpa memandang sebabnya)
meningkatkan kecenderungan infark dan luas infark. 6

B. Patogenesis
Infark diawali dari proses atherosklerosis. Proses
atherosklerosis terdiri dari 3 proses, yaitu dimulai dari
terbentuknya fatty streak, lalu pertumbuhan plak, dan
terjadinya ruptur plak.
Terbentuknya fatty streak merupakan tahap awal
dari atherosklerosis, yang dimana akan didapati perubahan
warna pada dinding arteri sebelah dalam menjadi kuning,
tetapi tidak didapati adanya penonjolan pada bagian dalam
dinding arteri maupun gangguan pada aliran darah. Fatty
streak timbul akibat adanya stresor kimia dan fisika yang
akan mempengaruhi homeostastis endotel, sehingga akan
mengganggu fungsi endotel sebagai barier permeabilitas.
Hal ini akan menyebabkan terjadinya modifikasi dari lipid
dan masuknya lipid ke subintima, yang akan memicu
pelepasan dari sitokin inflamasi. Lingkungan yang kaya
sitokin dan lemak ini akan menarik leukosit (khususnya
monosit dan T limfosit) ke subintima, sehingga akan
menyebabkan terbentuknya foam cell.
Foam cell, aktivasi platelet dan endotel yang rusak
akan mengeluarkan berbagai substansi, seperti platelet

53
derived growth factor, sitokin, dan growth factor. Akibat
dari lepasnya substansi tersebut, akan terjadi proliferasi dan
migrasi sel otot polos dari arterial media ke intima,
sehingga akan mempengaruhi sintesis dan degradasi dari
matriks ekstraseluler dan mengakibatkan terbentuknya
dinding fibrous cap yang mengandung inti lipid. Proses
inilah yang berperan dalam perubahan fatty streak menjadi
plak ateroma fibrosa.
Proses dari sintesis dan degradasi matriks terjadi
selama bertahun - tahun. Sel otot polos dan foam cell yang
mati akibat dari stimulasi inflamasi yang berlebihan atau
akibat aktivasi dari proses apoptosis akan membebaskan isi
dari sel berupa lipid yang terserap dan sel debris, dimana
akan menyebabkan semakin besarnya inti lipid, yang akan
memicu terjadi stres mekanik. Sebagai respon dari
peningkatan stres mekanik, akan terjadi akumulasi lokal
dari foam cell dan T limfosit di area tersebut. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya destruksi dari fibrous cap dan
mempercepat proses degradasi dari matriks ekstraseluler,
sehingga menyebabkan rentannya plak mengalami ruptur.
Distribusi dari fibrous cap dan net deposition
merupakan faktor penentu dalam integritas plak. Plak yang
stabil (ditandai dengan fibrous cap yang tebal dan inti
lemak yang kecil) dapat menimbulkan penyempitan arteri,
tetapi kecil kemungkinan untuk terjadi ruptur. Sedangkan
plak yang tidak stabil (ditandai dengan fibrous cap yang
tipis, inti lemak yang besar, infiltrasi makrofag yang luas
dan sedikit sel otot polos) lebih rentan untuk mengalami
ruptur. Rupturnya fibrous cap dari plak atherosklerosis
tersebut akan menyebabkan terpaparnya molekul
protrombosis dengan inti lipid. Akibatnya akan mendorong

54
untuk terbentuknya trombus akut, yang akan menyumbat
daripada lumen arteri. Tersumbatnya lumen arteri ini akan
mengakibatkan terjadinya. 19

C. Gambaran Morfologi
Infark dikelompokkan berdasarkan warna
(menggambarkan jumlah perdarahan) dan ada atau tidaknya
infeksi bakteri. Oleh karena itu, infark dapat berwarna
merah (hemoragik), putih (anemik) atau septik dan bersih.
1. Infark merah terjadi
(1) pada oklusi vena (seperti pada torsi ovarium);
(2) pada jaringan longgar (misalnya, paru) di mana
darah dapat berkumpul di zona infark;
(3) pada jaringan-jaringan dengan sirkulasi ganda
seperti paru dan usus kecil, di mana khas berupa
perfusi parsial, tidak adekuat, yang didukung oleh
arteri kolateral;
(4) pada jaringan yang sebelumnya kongestif
(sebagai akibat dari aliran keluar vena yang lambat);
dan
(5) ketika aliran dikembalikan setelah terjadi infark
(misalnya, setelah operasi angioplasty pada arteri
yang tersumbat).

2. Infark putih terjadi pada oklusi arteri di organ organ


padat dengan sirkulasi arteri yang tidak
berkolateral/end-arterial circulation (misalnya,
jantung, limpa, ginjal) dan pada jaringan yang
kepadatannya membatasi masuknya darah dari
pembuluh darah paten di dekatnya.

55
Infark cenderung berbentuk baji/wedge-shaped,
dengan pembuluh yang teroklusi di bagian apeks dan organ
perifer di bagian basal; jika bagian basal adalah permukaan
serosum, sering terdapat eksudat fibrinosa di atasnya. Tepi-
tepi lateral bisa tidak teratur, menggambarkan aliran dari
pembuluh di dekatnya. Tepi tepi dari infark mendadak
secara khas tidak berbatas tegas dan sedikit hemoragik;
dengan berjalannya waktu, tepi-tepi menjadi makin
berbatas jelas oleh kelim hiperemik akibat peradangan.
Infark yang disebabkan oleh oklusi arteri pada organ
organ.1

D. Gambaran Mikroskopik

1. Gambar 16: Infark merah dan putih. A, Hemoragik, infark paru berbentuk potongan/ wedge-shaped
(infark merah). B, Infark pucat yang berbatas tegas di limpa (infark putih). Kumar V, Abbas AK,
Aster JC. Robbins Basic Pathology. 9th ed. Philadelphia: Elsevier; 2015.

2.2.6 Dehidrasi
Dehidrasi adalah gangguan dalam keseimbangan cairan
atau air pada tubuh. Hal ini terjadi karena pengeluaran air lebih

56
banyak daripada pemasukan (misalnya minum). Gangguan
kehilangan cairan tubuh ini disertai dengan gangguan
keseimbangan elektrolit tubuh. Dehidrasi juga merupakan
gangguan yang sering dijumpai pada bayi dan anak-anak dan
terjadi ketika pengeluaran total cairan melebihi asupan total
tanpa mengetahui penyebabnya.5

A. Etiologi
Dehidrasi dapat terjadi karena sejumlah penyakit
yang menyebabkan kehilangan cairan tak kasat mata
(insensible water loss) lewat kulit dan traktus respiratorius,
lewat peningkatan ekskresi renal, dan lewat traktus
gastrointestinal. Meskipun dehidrasi terjadi karena
kurangnya asupan oral (khususnya pada suhu lingkungan
yang tinggi). Keadaan ini lebih disebabkan oleh kehilangan
cairan yang abnormal seperti terlihat pada muntah atau
diare ketika asupan oralnya hanya mampu mengimbangi
sebagian kehilangan cairan yang abnormal tersebut.5
Dehidrasi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal
berikut :
a. Lingkungan yang terlalu panas
Lingkungan kerja yang terlalu panas
akan mengakibatkan proses metabolisme
pada pekerja berjalan lebih cepat karena
pekerja akan mudah berkeringat sehingga
apabila hal ini tidak diperhatikan akan
mengakibatkan dehidrasi pada pekerja.
b. Diare
Diare merupakan gangguan
kesehatan yang akan mempengaruhi
pengeluaran cairan pada tubuh sehingga hal

57
ini juga akan mempengaruhi keadaan
dehidrasi pada pekerja.
c. Muntah
Muntah adalah keluarnya isi
lambung sampai ke mulut. Isi muntahan
dapat berupa cairan bercampur makanan
atau cairan lambung saja
d. Penggunaan obat diuretik yang
mengakibatkan ginjal mengeluarkan
sejumlah besar air dan garam melalui urin.
e. Kurangnya Asupan Air atau Cairan
Kurangnya asupan yang diminum
akan berpengaruh dengan kondisi cairan di
dalam tubuh karena cairan dalam tubuh
melakukan metabolisme sehingga dengan
adanya proses metabolisme harus diimbangi
dengan pembaharuan cairan yang ada di
dalam tubuh dengan minum.

B. Patogenesis
Air dalam tubuh mengikuti keseimbangan dinamis
berdasarkan tekanan osmotik dan tonisitas. Normalnya
terjadi keseimbangan cairan antara yang masuk dan
dikeluarkan tubuh. Asupan air yang tinggi akan
menurunkan osmolaritas plasma dan peningkatan volume
arteri efektif sehingga menyebabkan regulasi osmotik dan
regulasi volume teraktivasi. Kekurangan cairan atau air
minum dapat meningkatkan konsentrasi ionik pada
kompartemen ekstrakuler dan terjadi pengerutan sel
sehingga menyebabkan sensor otak untuk mengontrol
minum dan mengontrol ekskresi urin. Pada stadium

58
permulaan water depletion, ion natrium dan chlor ikut
menghilang dengan cairan tubuh, tetapi kemudian terjadi
reabsorpsi ion melalui tubulus ginjal yang berlebihan,
sehingga ekstraseluler mengandung natrium dan klor
berlebihan dan terjadi hipertoni. Hal ini menyebabkan air
akan keluar dari sel sehingga terjadi dehidrasi intraseluler
dan inilah yang menimbulkan rasa haus. Selain itu timbul
rangsangan terhadap hipofisis yang kemudian melepaskan
hormon antidiuretik sehingga terjadinya oliguria. Hal ini
menimbulkan rasa haus , air liur kering, badan terasa lemas
dan berhalusinasi.5

C. Gambaran Morfologi
Derajat keparahan menurut AFIC (1999) dehidrasi
dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
1) Dehidrasi Ringan/ Dehidrasi Jangka Pendek
Ditandai dengan rasa haus, sakit kepala,
kelelahan wajah memerah, mulut dan kerongkongan
kering. Dehidrasi ringan ini merupakan dehidrasi
yang terjadi yang terjadi dalam waktu singkat dan
tidak berdampak parah, tetapi jika dibiarkan terus-
menerus akan menimbulkan dampak yang
berbahaya.

2) Dehidrasi Sedang
Dehidrasi sedang biasa ditandai dengan
detak jantung yang cepat, pusing, tekanan darah
rendah, lemah, volume urin rendah namun
konsentrasinya tinggi. Dehidrasi sedang dapat
diatasi dengan efektif melalui pemberian cairan
ORS (oral rehydration solution) untuk

59
mengembalikan volume intravaskuler dan
mengoreksi asidosis. Selama terjadi gastroenteritis,
mukosa usus tetap mempertahankan kemampuan
absorbsinya. Adanya muntah bukan merupakan
kontraindikasi pemberian ORS, kecuali jika ada
obstruksi usus, ileus, atau kondisi abdomen akut,
maka rehidrasi secara intravena menjadi alternatif
pilihan. Defisit cairan harus segera dikoreksi dalam
4 jam dan ORS harus diberikan dalam jumlah
sedikit tetapi sering, untuk meminimalkan distensi
lambung dan refleks muntah.5

3) Dehidrasi Berat/ Dehidrasi Jangka Panjang


Ditandai dengan kejang, sirkulasi darah
tidak lancar, tubuh semakin melemah dan kegagalan
fungsi ginjal. Pada dehidrasi berat dibutuhkan
evaluasi laboratorium dan terapi rehidrasi intravena.
Penyebab dehidrasi harus digali dan ditangani
dengan baik. Penanganan kondisi ini dibagi menjadi
2 tahap:

a. Tahap Pertama berfokus untuk


mengatasi kedaruratan dehidrasi, yaitu
syok hipovolemik yang membutuhkan
penanganan cepat. Pada tahap ini dapat
diberikan cairan kristaloid isotonik,
seperti ringer lactate (RL) atau NaCl
0,9% sebesar 20 mL/kgBB. Perbaikan
cairan intravaskuler dapat dilihat dari
perbaikan takikardi, denyut nadi,

60
produksi urin, dan status mental pasien.
Apabila perbaikan belum terjadi setelah
cairan diberikan dengan kecepatan
hingga 60 mL/kgBB, maka etiologi lain
syok harus dipikirkan (misalnya
anafilaksis, sepsis, syok kardiogenik).
Pengawasan hemodinamik dan golongan
inotropik dapat diindikasikan.

b. Tahap Kedua berfokus pada mengatasi


defisit, pemberian cairan pemeliharaan
dan penggantian kehilangan yang masih
berlangsung.

Tabel 3:Derajat dehidrasi berdasarkan persentase kehilangan air dalam


tubuh.

D. Gambaran Mikroskopik

61
Gambar 17: Kerusakan pada organ hepar jaringan terlihat pecah (A). Pada organ
5
jantung jaringannya berlubang atau sebagian jaringan yang hilang akibat dehidrasi (B).

2.2.7 Kalsium
Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat
dalam tubuh manusia, yaitu sekitar 1,5-2% berat badan. Artinya jika
berat badan kita 50 kg, maka 0,750 - 1 kilogram adalah kalsium.
Sekitar 99% kalsium berada dalam jaringan yang keras, yaitu jaringan
tulang dan gigi. Selebihnya kalsium tersebar luas di dalam tubuh.
Kalsium adalah salah satu mineral yang berperan sangat penting di
dalam tubuh manusia. Kalsium berguna untuk membantu proses
mengatur pembekuan darah, mengaktifkan enzim untuk energi, denyut
jantung, efek terhadap jaringan saraf dan mengatur membran sel.
Kalsium juga berperan sebagai proses pembentukan tulang dan gigi,
dan mengukur proses biologis dalam tubuh. 21
A. Etiologi
Orang yang kekurangan kalsium tidak selalu
menunjukkan gejala, terlebih jika kekurangan kalsium baru
terjadi dalam waktu singkat. Namun pada sebagian orang,
terutama yang sudah kekurangan kalsium dalam jangka
panjang, kondisi ini dapat terlihat dari beberapa gejala
berikut:
1. Kesemutan.

62
2. Kram dan nyeri otot.
3. Kejang.
4. Gangguan psikologis, seperti depresi, mudah lupa,
dan sering kebingungan.
5. Kuku dan rambut rapuh.
6. Mudah lelah.
7. Tulang rapuh atau mudah patah, meskipun tidak
mengalami cedera berat.
8. Nafsu makan berkurang. 6

Kekurangan kalsium dalam jangka panjang dapat


meningkatkan risiko beberapa penyakit yang lebih serius,
antara lain:
1. Osteoporosis.
2. Patah tulang.
3. Penyakit rakitis.
4. Penyakit jantung.
5. Tekanan darah tinggi.
6. Kanker, seperti kanker usus besar, kanker rektum
dan kanker prostat.
7. Preeklamsia pada ibu hamil.
Kekurangan kalsium bisa disebabkan oleh
kurangnya asupan vitamin D. Pola makan vegetarian, efek
samping obat-obatan tertentu, dan gangguan penyerapan
nutrisi. Penyakit dan kondisi medis tertentu, seperti
gangguan hormon, pankreatitis, atau kekurangan albumin
(protein utama yang terdapat dalam darah manusia yang
diproduksi oleh organ hati), juga bisa menyebabkan
kekurangan kalsium. 21

B. Patogenesis

63
Asupan kalsium yang rendah telah dikaitkan dengan
banyak gangguan. Ketika cadangan fungsional (kerangka)
semakin habis secara kronis untuk mempertahankan kadar
serum kalsium normal, kemudian terjadi massa tulang yang
rendah dan dapat menyebabkan osteoporosis. Jumlah
kalsium yang sedikit (kalsium tidak terserap) dapat
meningkatkan kerentanan terhadap kanker usus besar dan
batu ginjal. Kegagalan untuk mempertahankan konsentrasi
kalsium ekstraseluler dapat meningkatkan risiko hipertensi,
pre-eklampsia, sindrom pramenstruasi, obesitas, sindrom
ovarium polikistik, dan hiperparatiroidisme. Penyerapan
kalsium dapat dihambat oleh beberapa ligan dan
ditingkatkan oleh yang lain. Yang terkuat inhibitor dalam
penyerapan kalsium dikenal: oksalat, membentuk suatu
garam dengan kalsium yang memiliki kelarutan (0,04
mmol/L) jauh di bawah kisaran kelarutan dibahas di atas
(Heaney et al., 1990). Asam fitat merupakan inhibitor
tersebut. Tiga kali lipat perbedaan kandungan asam fitat
dalam kedelai mengurangi penyerapan kalsium sebesar
25% (Heaney et al., 1991). Meskipun fitat adalah inhibitor
penyerapan kalsium yang lebih sederhana dibandingkan
oksalat, fitat dikonsumsi dalam jumlah yang lebih tinggi.
Namun demikian, di negara maju, konsumsi fitat kurang
akibat konsumsi roti beragi dan kompleks fitat yang
dihidrolisis oleh enzim dalam ragi selama fermentasi. Serat
pernah dianggap menghambat penyerapan kalsium, tetapi
sekarang dinilai menjadi lebih mungkin bahwa asam fitat
terkait dengan serat dalam biji merupakan inhibitor. Serat
yang dimurnikan memiliki sedikit efek pada 5 jam
penyerapan kalsium (Heaney dan Weaver, 1995).
Penyerapan kalsium ditingkatkan dapat disebabkan oleh

64
garam yang sangat larut. Penguat (enhancers) dapat bekerja
dengan mencegah pengendapan kalsium oleh fosfat dalam
usus atau mereka mengubah kapasitas penyerapan kalsium
dari epitel usus. Kalsium sitrat malat, dengan kelarutan 80
mmol/L, adalah contoh yang terbaik - dipelajari dari garam
dengan penyerapan kalsium terbaik (Heaney et al, 1990.).
Beberapa kasein dan whey peptida mencegah pengendapan
kalsium oleh fosfat (Mykinen and Wasserman, 1980).
Inulin dan fruktooligosakarida telah terbukti dapat
meningkatkan penyerapan kalsium, menekan resorpsi
tulang, dan meningkatkan pertambahan selama
pertumbuhan dan menghambat resorpsi tulang di kemudian
hari (Zafar et al, 2004; Abrams et al, 2005). 21

C. Gambaran Morfologi
Untuk mencapai perkembangan maksimum massa
tulang (peak bone mass) adalah membutuhkan kalsium (Ca)
dan Fosfor (P), vitamin D, dan zat gizi yang lain dalam
jumlah yang cukup. Pada masa anak-anak, jumlah kalsium
dan fosfor adalah lebih banyak dibutuhkan guna menunjang
perkembangan skeletal dan cukupnya konsumsi mineral-
mineral tersebut sangat nyata dapat berdampak terhadap
perkembangan maksimum massa tulang sampai masa
pubertas dan remaja (Anderson 2004). Ketidakcukupan
konsumsi kalsium dan juga kekurangan vitamin D, maka
akan berkontribusi terhadap terjadinya osteomalasia.
Tingkat kecukupan konsumsi (masukan) kalsium adalah
dipengaruhi oleh beberapa faktor: umur, jenis kelamin,
aktivitas fisik, faktor makanan, genetik (keturunan), dan
juga faktor etnik. Interaksi dari faktor-faktor tersebut sangat
mungkin dapat mempengaruhi cukupnya kalsium dalam

65
tubuh anak-anak (Frank, Greer & Nancy 2006). Dan
disebutkan pula bahwa hampir semua data-data yang
ditetapkan untuk kecukupan zat gizi adalah dari data-data
anak berkulit putih, data berasal dari ras lainnya masih
sedikit. 21

D. Gambaran Mikroskopik

Gambar 18 :Gambaran mikroskopik osteoporosis akibat


berkurangnya kalsium.

Osteoporosis adalah suatu kondisi yang


melemahkan tulang dan membuatnya lebih rentan terhadap
patah tulang. Di seluruh dunia, osteoporosis menyebabkan
lebih dari 8,9 juta patah tulang setiap tahun, yang
merupakan patah tulang setiap 3 detik. Osteoporosis dapat
menyerang bagian tubuh mana pun-termasuk tulang rahang
yang menopang gigi. 6

2.3 Neoplasma
Neoplasma atau tumor adalah transformasi sejumlah gen yang
menyebabkan gen tersebut mengalami mutasi pada sel DNA.
Karsinogenesis akibat mutasi materi genetik ini menyebabkan pembelahan
sel yang tidak terkontrol dan pembentukan tumor atau neoplasma. Gen

66
yang mengalami mutasi disebut proto-onkogen dan gen supresor tumor,
yang dapat menimbulkan abnormalitas pada sel somatik. Usia sel normal
ada batasnya, sementara sel tumor tidak mengalami kematian sehingga
multiplikasi dan pertumbuhan sel berlangsung tanpa kendali. Sel
neoplasma mengalami perubahan morfologi, fungsi, dan siklus
pertumbuhan.22

Etiologi Neoplasma
Bahan-bahan yang dapat menyebabkan terbentuknya kanker
disebut karsinogen. Menurut jenisnya karsinogen dapat berupa :
1. Bahan kimia
Kebanyakan karsinogen kimia ialah pro-
karsinogen . Yaitu karsinogen yang memerlukan perubahan
metabolis agar menjadi karsinogen aktif, sehingga dapat
menimbulkan perubahan pada DNA, RNA, atau Protein sel
tubuh.

2. Virus
Virus yang bersifat karsinogen disebut virus
onkogenik. Virus DNA dan RNA dapat menimbulkan
transformasi sel. Mekanisme transformasi sel oleh virus
RNA adalah setelah virus RNA diubah menjadi DNA
provirus oleh enzim reverse transcriptase yang kemudian
bergabung dengan DNA sel penjamin. Setelah menginfeksi
sel, materi genetik virus RNA dapat membawa bagian
materi genitek sel yang diinfeksi yang disebut V-onkogen
kemudian dipindahkan ke materi genetik sel yang lain. 23

3. Karsinogen fisik

67
Faktor fisika yang terutama adalah radiasi.
Mekanisme terjadinya kanker dalam tubuh melalui faktor
ini dianggap sebagai gejala molekuler. Diduga bahwa gena-
gena yang terdapat dalam molekul asam deoksiribonukleat
(DNA) dalam sel akan berubah. Sehingga sel akan
kehilangan daya aturnya. Radiasi dapat menyebabkan
terjadinya ikatan kovalen antara T (timin) yang terdapat
pada serat DNA yang sama, sehingga akan terbentuk timin
dimer.
Setelah terjadi perubahan pada molekul DNA, kalau
perubahan tersebut tidak kembali ke normal atau terjadi
perubahan yang irreversibel dan sel tetap hidup, maka
mulailah terjadi tahap permulaan karsinogenesis atau mulai
terjadinya kanker. Sinar ultraviolet yang berasal dari
matahari juga dapat menimbulkan kanker kulit.

4. Hormon
Hormon adalah zat yang dihasilkan oleh kelenjar
tubuh yang berfungsi mengatur kegiatan alat-alat tubuh.
Diethylstilbestrol, suatu hormon seks buatan yang
umumnya digunakan untuk menggemukkan hewan ternak,
terbukti sebagai penyebab timbulnya kanker rahim,
payudara, dan alat reproduksi lainnya.
Pada beberapa penelitian diketahui bahwa
pemberian hormon tertentu secara berlebihan dapat
menimbulkan dan dapat menyebabkan peningkatan
terjadinya beberapa jenis kanker seperti payudara, rahim,
indung telur, dan prostat (kelenjar kelamin pria). 23

Gaya hidup juga dapat mempengaruhi timbulnya neoplasma,


karena gaya hidup itu menentukan banyak, lama dan seringnya kontak

68
dengan karsinogen. Misalnya, nutrisi. Makanan yang menambah risiko
mendapat kanker atau tumor yaitu:
1. Lemak tinggi
2. Protein hewani tinggi
3. Alkohol
4. Makanan asin, di asap, dipanggang
5. Nitrate dan pengawet makanan nitrit
6. Kalori tinggi. 24

Patogenesis Neoplasma
Sampai sekarang belum diketahui apakah tumor ganas disebabkan
oleh hanya satu macam bahan penyebab atau beberapa macam bahan
penyebab yang bekerja serentak atau berturut-turut, apakah terdapat satu
macam mekanisme penyebab atau beberapa macam mekanisme yang
berjalan sejajar atau berbeda-beda.25
1. Teori Perubahan Genetik.
Menurut teori ini, pada suatu saat terjadi perubahan
genetik yang menetap pada sel, yang dinamakan mutasi
sehingga terjadi sintesis protein yang lebih aktif dan ini
digunakan lebih banyak untuk reproduksi sel daripada
bekerja. Ketika sel sudah mulai berproliferasi aktif,
kemudian terjadi perubahan mutasi lebih lanjut, jadi
awalnya terjadi perubahan epigenetic yaitu perubahan
metabolism sel yang menyebabkan gen pengendali
pembelahan sel menjadi tidak aktif (perubahan kariotipe).
Pada stadium awal pembentukan kanker, kerusakan ini
tidak terlihat, kemudian perubahan yang tidak terlihat ini
secara langsung atau melalui bahan karsinogen lain akan
menjadi perubahan yang terlihat, yang secara klinis tampak
sebagai kanker.

69
2. Teori Feedback Deletion.
Semua sel mempunyai potensi genetic untuk
berubah menjadi kanker tetapi dalam keadaan normal
potensi ini terhambat. Karsinogen akan merusak gen
pengatur (efek genetic) atau merusak enzim (efek
epigenetik) sehingga merusak mekanisme yang stabil. Pada
sel tumor, gen pengatur pertumbuhan menghilang sehingga
kemampuan sel untuk membelah menjadi tidak dihambat.
Kehilangan gen pengatur atau rusaknya enzim pengontrol
menyebabkan sel mendekati perubahan menjadi kanker.
Konsep kehilangan kontrol ini disebut feedback deletion.

3. Teori Multifaktor.
Satu tumor dapat disebabkan oleh beberapa
penyebab yang bekerja sinergistik atau aditif. Contohnya:
faktor genetik, hormon dan virus atau kimia, virus dan
penyinaran. Faktor hormonal mempengaruhi jaringan
sedemikian rupa sehingga jaringan mudah dipengaruhi oleh
karsinogen lain.

4. Teori Stadium Ganda.


Tumor ganas tidak hanya timbul akibat faktor
penyebab yang banyak (multifactor) tetapi juga melalui
stadium yang progresif (multi stage/multi step). Evolusi ini
memerlukan waktu beberapa bulan atau tahun. Menurut
teori ini, perubahan terjadi melalui dua stadium yaitu
inisiasi dan promosi. Jadi, mula-mula harus inisiator dulu
yang bekerja, baru kemudian promoter. Promotor disebut
juga ko-karsinogen. Inisiator menimbulkan mutasi genetik,
tetapi setiap usaha regenerasi sel akan dirusak oleh
promoter, sehingga pada awalnya akan terjadi hyperplasia

70
baru kemudian terjadi mutasi spontan dengan terbentuknya
kanker.

5. Multicellular Origin of Cancer Field Theory.


Neoplasma terbentuk oleh beberapa sel yang
berdekatan secara serentak dan bukan berasal dari satu sel.
Neoplasma mulai di tempat yang dipengaruhi karsinogen
secara maksimal, respons neoplastik kemudian terjadi pada
jaringan sekitarnya yang juga terkena pengaruh karsinogen
yang sama.25

Morfologi Neoplasma
Semua tumor baik jinak maupun ganas mempunyai dua
komponen dasar, yaitu :
1. Stroma, merupakan sistem penyokong yang tersusun oleh
jaringan ikat, pembuluh darah, dan mungkin juga pembuluh
limfatik. Berperan dalam membawa perbekalan darah dan
merupakan penyangga untuk pertumbuhan sel-sel
parenkim, oleh karenanya merupakan komponen penting
dalam pertumbuhan neoplasma tetapi tidak berperan dalam
membedakan antara neoplasma jinak atau neoplasma ganas,
tetapi jumlah jaringan ikat stroma ini menentukan
konsistensi neoplasma. Kanker tertentu memiliki stroma
padat dan banyak jaringan ikat fibrosa yang membuatnya
menjadi keras dan disebut dengan tumor skirus, dan ada
juga kanker yang memiliki sedikit stroma dan bersifat jauh
lebih lunak yang disebut tumor medularis.

2. Parenkim, tersusun oleh sel-sel neoplastik yang


berproliferasi. Berperan dalam kegiatan biologis
neoplasma.22

71
Gambaran Mikroskopik Neoplasma
Secara mikroskopik, tumor terdiri dari lembaran-lembaran
sel regular dengan nukleus bulat yang mengandung butiran halus
kromatin (serupa dengan oligodendrosit normal) di dikelilingi oleh
halo sitoplasma yang jernih. Tumor biasanya terdiri dari jalinan
halus kapiler-kapiler yang membentuk anastomosis. Klasifikasi
yang terdapat pada hampir 90% tumor ini, berkisar dari fokus
mikroskopik hingga pengendapan masif.
Pada pemeriksaan mikroskopik, tumor terdiri dari sel-sel
bipolar dengan tonjolan panjang halus “mirip rambut” yang positif
GFAP, sering ditemukan daerah kistik (mikrokista), serat
Rosenthal yang eosinofilik terang, dan butir-butir eosinofilik kaya
protein (badan granular hyalin). Dijumpai peningkatan jumlah
pembuluh darah, sering dengan dinding yang menebal atau
proliferasi sel, tetapi hal ini tidak menunjukkan prognosis yang
buruk. Nekrosis dan mitosis jarang ditemukan. Tidak seperti
astrositoma fibrillar diffuse, astrositoma pilositik memiliki batas
infiltratif sempit dengan otak di sekitarnya.26

2.3.1 Perbedaan Tumor Jinak dan Ganas


Terdapat perbedaan morfologi antara neoplasma jinak dan
neoplasma ganas :
1. Tumor Jinak
Tersusun oleh sel-sel yang berdiferensiasi baik,
sangat mirip dengan sel-sel normal pasangannya, jumlah
mitosis sangat sedikit dan dalam konfigurasi normal, sel-sel
yang berproliferasi cenderung kohesif sehingga waktu
massa sel neoplastik itu tumbuh terjadi perluasan massa
secara sentrifugal dengan batas yang sangat nyata, dan
karena sel-sel yang berproliferasi tidak saling

72
meninggalkan tepi neoplasma cenderung bergerak keluar
dengan bebas sambil mendesak jaringan yang berdekatan.
Dengan demikian neoplasma jinak mempunyai
kapsul jaringan ikat padat yang memisahkan neoplasma
dari sekelilingnya. Neoplasma jinak tidak menyebar ke
tempat yang jauh, laju pertumbuhan neoplasma jinak sering
agak lambat, dan beberapa neoplasma jinak tampaknya
tidak berubah dan kurang lebih tetap pada ukuran yang
stabil.27

2. Tumor Ganas
Ditandai oleh diferensiasi sel parenkim yang
bervariasi luas, dari yang berdiferensiasi baik sampai yang
tidak berdiferensiasi sama sekali (anaplastik). Sel
anaplastik ini memperlihatkan pleomorfisme nyata yaitu
variasi nyata dalam bentuk dan ukuran sel, pleomorfisme
ini ditandai oleh inti sel yang sangat hiperkromatik dan
besar ukurannya. Sel-sel datia dapat terbentuk dan tampak
jelas lebih besar dari sel-sel di sekitarnya dengan memiliki
satu inti yang sangat besar atau beberapa inti sel.
Inti sel yang anaplastik bervariasi dan tampak tidak
beraturan baik dalam bentuk maupun ukuran, kromatin
terlihat kasar dan bergumpal dengan nukleolus yang dapat
berukuran sangat mencolok, mitosis sering banyak dan jelas
atipik, tampak banyak kumparan (spindle) kacau yang
kadang-kadang menghasilkan tripolar ataupun kuadrapolar,
seringkali dengan satu kumparan sangat besar dan
kumparan lain kecil dan abortif.
Dengan kehilangan diferensiasi pada sel kanker,
secara progresif kromatin inti lebih mencolok dalam
gumpalan-gumpalan sepanjang selaput inti, penghapusan

73
retikulum endoplasma kasar, penambahan ribosom, dan
pleomorfik mitokondria yang nyata, organel lain secara
bervariasi dapat berkurang dalam ukuran maupun jumlah
atau tersebar di dalam sel dengan pola abnormal. Sel ganas
memiliki mobilitas lebih tinggi daripada sel normal, hal ini
mungkin berkaitan dengan perilaku invasif sel tersebut.
Sering terlihat komponen mikrofilamen aktin dan
miosin, sama seperti mikrotubulus yang berisi tubulin,
dapat juga tampak filamen intermediat yang diduga
berperan dalam mempersatukan organel dalam sel. Sel
neoplasma ganas hampir selalu tumbuh secara progresif,
tidak memiliki sifat kohesif sehingga pola penyebarannya
tidak teratur, neoplasma ganas cenderung tidak berkapsul
dan biasanya tidak mudah dipisahkan dari sekitarnya.
Neoplasma ganas bersifat menyerbu masuk ke
daerah sekitar dan bukan mendesak. Sel-sel neoplasma
ganas yang dapat berproliferasi dapat melepaskan diri dari
tumor induk dan memasuki sirkulasi untuk menyebar ke
tempat lain (metastasis), jika tersangkut sel-sel kanker
embolik semacam ini mampu keluar dari pembuluh
melanjutkan proliferasi dan membentuk tumor sekunder. 27

Gejala
Tumor dapat menyebabkan berbagai gejala dan tanda klinis
umumnya bisa berupa:
1. Sering merasa tidak sehat
2. Merasa sangat lelah
3. Demam dan menggigil
4. Tidak nafsu makan
5. Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas
6. Berkeringat pada malam hari.

74
Meski demikian, tiap tumor memiliki indikasi berbeda-beda
tergantung jenis dan lokasi pertumbuhannya. Contohnya, tumor
otak dapat menyebabkan gejala sakit kepala tiada tertahan, muntah-
muntah secara mendadak, serta kejang-kejang. Sementara gejala
tumor paru jinak dapat berupa bentuk yang berkelanjutan dan
bertambah parah hingga akhirnya menjadi batuk darah, sesak
nafas, rasa nyeri di dada serta kelelahan. Ada juga tumor ganas
yang bahkan tidak menyebabkan gejala hingga mencapai stadium
lanjut, misalnya kanker serviks serta kanker hati. 27

2.3.1 Gambaran Patologi Anatomi Tumor Jinak dan


Tumor Ganas
Patologi anatomi merupakan ilmu kedokteran dimana
bidang ini sangat membantu dalam membuat diagnosis (termasuk
stadium) dan penentuan pengobatan yang tepat bagi kanker.
Dalam bidang ilmu patologi anatomi, tumor/kanker dapat
diketahui dengan melihat penampakan suatu sel jaringan di bawah
mikroskop. Penentuan tumor/kanker berdasarkan patologi anatomi
berdasarkan bentukan sel yang dapat dilihat dengan mikroskop.
Perbedaan antara tumor jinak dan ganas dari segi patologi
anatomi yakni:

75
Tabel 3: perbedaan tumor jinak dan ganas dari segi patologi anatomi.

Diferensiasi menyatakan seberapa banyak kemiripan sel


kanker ini dengan sel jaringan asalnya yang normal, baik dalam hal
morfologi maupun fungsi. Diferensiasi tumor jinak berbeda dengan
kanker, di mana diferensiasi tumor jinak mirip dengan jaringan
asalnya. Sementara kanker diferensiasi selnya bervariasi, dari
berdiferensiasi baik sampai sama sekali tidak berdiferensiasi.28

Sel–sel yang tidak berdiferensiasi ini disebut dengan


anaplasia. Anaplasia ini dapat digunakan sebagai penanda kanker.
Sel anaplastik akan memperlihatkan pleomorfisme nyata yaitu

76
variasi nyata dalam bentuk dan ukuran sel. Pleomorfisme ini dapat
dilihat melalui penampakan di bawah mikroskop, berupa :
1) Inti sel hiperkromatik (berwarna lebih gelap dari sel
normal).
2) Rasio inti sel dengan sitoplasma (cairan dalam sel) dapat
mendekati 1 : 1, yang normalnya 1 : 4 atau 1 : 6.
3) Bentuknya dan ukuran inti sel tidak teratur.
4) Kromatin kromatin terlihat kasar dan bergumpal serta anak
inti sel berukuran sangat mencolok.
5) Terjadi banyak pembelahan sel (mitosis) dan dan jelas
atipik (banyak tipe).
6) Terdapat banyak kumparan (spindle) kacau yang dapat
memberi bentukan tripolar ataupun quadripolar, dan sering
terdapat suatu kumparan besar dan kumparan lain kecil. 28

Pada umumnya kecepatan tumbuh kanker berhubungan


dengan derajat diferensiasinya.
Pemeriksaan tumor / kanker dengan pemeriksaan secara
patologi anatomi ini merupakan hal yang paling sering dilakukan
karena pemeriksaan ini dapat secara akurat menegakkan diagnosis
tumor / kanker serta dalam penentuan stadium kanker.
Adapun contoh pemeriksaan dengan patologi anatomi ini
berupa :
1. Sitologi: contohnya berupa pemeriksaan Fine Needle
Aspiration Biopsy (FNAB), di mana cara pengambilan
contoh jaringan dengan menggunakan jarum suntik yang
kemudian ditusukkan ke dalam tumor atau ductal lavage of
breast cell untuk cairan yang diproduksi payudara.
Biasanya tumor yang berkonsistensi lunak atau cair atau
dapat juga berupa cairan tubuh (cairan pleura paru, cairan
serebral, dan lain – lain).

77
2. HistoPatologi: contohnya berupa pemeriksaan biopsi
jaringan (kanker payudara, kanker kulit dan sebagainya), di
mana dalam pengambilan contoh jaringan seperti operasi,
namun bahan yang diambil hanya sedikit dan kemudian
contoh ini dilihat di bawah mikroskop.
3. vriesCoupe: pemeriksaan jaringan kanker yang dilakukan di
tengah–tengah operasi, di mana ketika jaringan
tumor/kanker bersama jaringan sekitarnya yang dianggap
normal diangkat, jaringan tersebut dibekukan dengan cairan
nitrogen dan kemudian langsung dibawa ke bagian patologi
anatomi yang memang sudah disediakan di ruang operasi.
Bila patholog menyatakan bahwa jaringan yang diambil
tidak menyebar ke sekitarnya, maka operasi selesai. Dan
bila sebaliknya, maka operasi dilanjutkan sampai
didapatkan jaringan yang benar normal atau dapat juga
dihentikan bila operasi tak dapat dilanjutkan oleh karena
riskan untuk mengangkat jaringan sekitarnya yang memiliki
fungsi tak tergantikan.28

78
79
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit non infeksi adalah penyakit yang disebabkan bukan oleh bakteri,
bukan oleh virus, dan gambaran mikroskopik dari gangguan bukan oleh jamur,
bukan oleh parasit, dan juga bukan oleh mikroba yang lain.
Perubahan retrogresif adalah suatu proses kemunduran. Termasuk di
dalamnya degenerasi infiltrasi, nekrosis, perlemakan, pigmentasi, atrofikalsifikasi
patogen.
Neoplasma atau tumor adalah transformasi sejumlah gen yang
menyebabkan gen tersebut mengalami mutasi pada sel DNA. Karsinogenesis
akibat mutasi materi genetik ini menyebabkan pembelahan sel yang tidak
terkontrol dan pembentukan tumor atau neoplasma.

80
DAFTAR PUSTAKA

2. Kumar, Vinay; Ramzi S. Cotran; Stanley L. Robbins. 2007. Buku Ajar


Patologi Robbins, Ed.7, Vol. 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
(dhira)
3. Hars Mohan, Sughanda Mohan. Essential Pathology for Dental Students.
5th. Ed: 38-41. (dhira )
4. Campellone, Joseph V. (2007-05-22). “Muscle atrophy”. MedlinePlus.
5. Freeman, W.H. Nucleic Acid Synthesis. National Center for
Biotechnology Information, U.S. National Library Of Medicine. 2000.
6. Kumar, Abbas, Fausto, Aster. Robbins and Cotran. 2010. Pathologic Basis
of Disease Ed.9th:Elsevier.
7. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins Basic Pathology. 9th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2015.
8. McGavin MD, Zachary JF. 2007. Pathologic Basis of Veterinary Disease.
Edisi ke-4. USA: Mosby Elsevier
9. Anonymous. BAB II KAJIAN PUSTAKA. Bali: Universitas Udayana.
Tersedia di :
http://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/40c064ee9684bb19ae5f70c69
8c4f5be.pdf (Diakses pada 8 Mei 2020)
10. PC Malone, PS Agutter. The Etiology of Deep Vein Thrombosis. Q J Med.
2006.;99:581-93
11. Frits R Rosendaal, Harry R Buller. Venous Thrombosis. In: Dan L Longo,
editor. Horrison’s Hematology and Oncology. New York: Mc-Grow Hill
Company; 2010.p.246-53.
12. Bartine RM. The Role of Procoagulants and Anticoagulants in The
Development of Venous Thromboembolism. Thromb Res. 2009.
13. Wijaya Wimardy L. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semarang:
Universitas Diponegoro. 2013. Tersedia di:

81
http://eprints.undip.ac.id/44201/3/WimardyLW_G2A009144_Bab2KTI.pd
f (Diakses pada 8 Mei 2020).
14. Cut Suriyati. Modul Bahan Cetak Keperawatan: Patologi. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia. 2016.
15. Myerson SG, dkk: Pulmonary embolism. Dalam: Saul GM, Robin
PC,Andrew RJ, penyunting. Emergencies in cardiology. Edisi ke-1.
Oxford University press,2006.h.190-194
16. Goldhaber SZ, Morrison RB. Pulmonary embolism and deep vein
thrombosis. Circulation 2002;106:1436-1438
17. Agnelli G, Becattini C. Current concepts acute pulmonary embolism. N
Engl J Med .2010; 363(3):266-74.
18. Fedullo PF , Victor F. Tapson VF. The evaluation of suspected pulmonary
embolism. N Engl J Med. 2003; 349(13):247-56.
19. Kostadima E, Zakythinos E. Pulmonary Embolism:
Pathophysiology,Diagnosis, Treatment. Hellenic J Cardiol. 2007; 48: 94-
107.
20. (Lily S Leonard. 2011. Pathophysiology of Heart Disease 5th Ed.
Philadelphia : Wolters Kluwer Lippincott Williams and Wilkins.)
21. [e-journal.unud.ac.id. 2017. Modul Makro Kalsium. Diakses pada 11 Mei
2020]. 
22. [Pringgoutomo S, Himawan S, Tjarta A. 2002. Patologi I (Umum). Edisi
ke-1. Jakarta : Sagung Seto.]
23. [eprints.undip.ac.id. BAB 2. Diakses pada 6 Mei 2020 dari
eprints.undip.ac.id/31230/3/Bab_2.pdf]
24. [wordpress.com. 2015, 4 Februari. Patologi Anatomi: Neoplasma. Diakses
pada 6 Mei 2020 dari hasnahcholidas.wordpress.com/2015/02/14/patologi-
anatomi-neoplasma]
25. [Janti Sudiono. 2008. Pemeriksaan Patologi untuk Diagnosis Neoplasma
Mulut. Jakarta : EGC.]
26. [e-journal.unair.ac.id. 2019. Gambaran Makroskopik dan Mikroskopik
Neoplasma. Diakses pada 7 Mei 2020 dari e-
journal.unair.ac.id/MBIO/article/]

82
27. [staff.uns.ac.id. 2010, Juli. Neoplasma. Diakses pada 6 Mei 2020 dari
adjisuwandono.staff.uns.ac.id/files/2010/07/introducing-neoplasma.pdf]
28. [bidadariku.com. 2013, 8 Oktober. Patologi Anatomi Tumor-Kanker.
Diakses pada 7 Mei 2020 dari bidadariku.com/patologi-anatomi-tumor-
kanker/].

83

Anda mungkin juga menyukai