Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem pernapasan terdiri dari paru-paru dan susunan saluran yang menghubungkan paru-
paru dengan yang lainnya, yaitu hidung, faring, pangkal tenggorok, tenggorok, cabang
tenggorok.
Metabolisme normal dalam sel-sel makhluk hidup memerlukan oksigen dan karbon
dioksida sebagai sisa metabolisme yang harus dikeluarkan dari tubuh. Pertukaran gas O2 dan
CO2 dalam tubuh makhluk hidup disebut pernapasan atau respirasi.
Pernapasan atau respirasi dibedakan atas dua tahap. Yang pertama adalah tahap
pemasukan oksigen ke dalam dan mengeluarkan karbon dioksida keluar tubuh melalui organ-
organ pernapasan disebut respirasi eksternal. Pengangkutan gas-gas pernapasan dari organ
pernapasan ke jaringan tubuh atau sebaliknya dilakukan oleh system respirasi. Tahap berikutnya
adalah pertukaran O2 dari cairan tubuh (darah) dengan CO2 dari sel-sel dalam jaringan, disebut
respirasi internal.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengiriman oksigen ke dalam jaringan?
2. Apa yang dimaksud reaksi Hemoglobin dan Oksigen?
3. Bagaimana peran hemoglobin dalam pengangkutan oksigen?
4. Apa yang dimaksud dengan Transport Karbon Dioksida?
5. Apa yang dimaksud dengan myoglobin?

1.3 Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas biomedik 1 topik 5.5 serta bertujuan untuk
menambah wawasan dan pengetahuan tentang proses biokimiawi pada sistem sirkulasi.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Proses Biokimia Yang Terjadi Pada Sistem Sirkulasi


2.1.1 Transpor O2

2
Bila oksigen telah berdifusi dari alveoli ke dalam darah paru, oksigen
diangkut ke kapiler jaringan perifer hampir seluruhnya dalam bentuk gabungan
dengan hemoglobin. Adanya hemoglobin di dalam sel darah merah memungkinkan
darah untuk mengangkut 30 sampai 100 kali jumlah oksigen yang dapat diangkut
dalam bentuk oksigen terlarut di dalam cairan darah. Dalam sel jaringan tubuh,
oksigen bereaksi dengan berbagai bahan makanan untuk membentuk sejumlah
besar karbon dioksida. Karbon dioksida ini masuk ke dalam kapiler jaringan dan
diangkut kembali ke paru. Karbon dioksida, seperti oksigen, juga bergabung dengan
bahan-bahan kimia dalam darah yang meningkatkan pengangkutan karbon dioksida
15 hingga 20 kali lipat.

Pengangkutan Oksigen dari Paru ke Jaringan Tubuh


Gas dapat bergerak dari satu tempat ke tempat lain dengan cara difusi, dan
pergerakan ini selalu disebabkan oleh perbedaan tekanan parsial dari tempat
pertama ke tempat berikutnya. Dengan demikian, oksigen berdifusi dari alveoli ke
dalam darah kapiler paru karena tekanan parsial oksigen (PO2) dalam alveoli lebih
besar daripada PO2 dalam darah kapiler paru. Dalam jaringan tubuh lainnya, PO2
yang lebih tinggi dalam darah kapiler daripada dalam jaringan menyebabkan
oksigen berdifusi ke dalam sel-sel di sekitarnya.

3
Sebaliknya, bila oksigen di metabolisme dalam sel untuk membentuk karbon
dioksida, tekanan karbon dioksida (PCO2) intrasel meningkat ke nilai yang tinggi,
sehingga menyebabkan karbon dioksida berdifusi ke dalam kapiler jaringan. Setelah
darah mengalir ke paru, karbon dioksida berdifusi keluar dari darah masuk ke dalam
alveoli karena PCO2 dalam darah kapiler paru lebih besar daripada dalam alveoli.
Sehingga, pengangkutan oksigen dan karbon dioksida oleh darah bergantung baik kepada
difusi maupun aliran darah. Sekarang kita akan membahas secara kuantitatif mengenai
faktor-faktor yang berperan menyebabkan efek ini.

Difusi Oksigen dari Alveoli ke Darah Kapiler Paru


Bagian atas dari Gambar 40-1 melukiskan alveolus paru yang berbatasan
dengan kapiler paru, memperlihatkan difusimolekul-molekul oksigen antara udara
alveolus dan darah paru. Po2 dari gas oksigen dalam alveolus rata-rata 104 mmHg,
sedangkan Po2 darah vena yang masuk kapiler paru pada ujung arterinya, rata-rata
hanya 40 mm Hg karena sejumlah besar oksigen dikeluarkan dari darah ini setelah
melalui jaringan perifer. Oleh karena itu, perbedaan tekanan awal yang
menyebabkan oksigen berdifusi ke dalam kapiler paru adalah 104-40, atau 64 mm
Hg. Pada bagian bawah gambar, terdapat kurva yang memperlihatkan peningkatan
Po2 yang cepat dalam darah sewaktu darah melewati kapiler; Po2 darah meningkat
hampir sebanding dengan peningkatan yang terjadi pada udara alveolus sewaktu
darah telah melewati sepertiga panjang kapiler, menjadi hampir 104 mm Hg.

Pengambilan Oksigen oleh Darah Paru selama Kerja


Selama kerja berat, tubuh manusia membutuhkan 20 kali jumlah oksigen
normal. Juga, karena peningkatan curah jantung selama kerja, waktu menetapnya
darah dalam kapiler paru dapat berkurang hingga menjadi kurang dari setengah
normal. Namun, karena ada suatu faktor pengaman yang besar untuk difusi oksigen
melalui membran paru, darah tersebut hampir sepenuhnya tersaturasi dengan

4
oksigen pada saat darah meninggalkan kapiler paru. Hal ini dapat dijelaskan
sebagai berikut.
Pertama, seperti yang telah dibahas pada Bab 39 bahwa kapasitas difusi
oksigen meningkat kira-kira hampir tiga kalilipat selama kerja fisik; hasil ini
terutama akibat meningkatnya daerah permukaan kapiler yang berperan dalam
difusi dan juga dari rasio ventilasi-perfusi yang semakin mendekati ideal di bagian
atas paru.
Kedua, perhatikan pada kurva dalam Gambar 40-1 bahwa pada keadaan
tanpa aktivitas, darah menjadi hampir sepenuhnya tersaturasi dengan oksigen pada
saat melalui sepertiga kapiler paru, dan normalnya ada sedikit penambahan oksigen
yang masuk ke dalam darah selama dua pertiga akhir dari perpindahannya. Dengan
demikian, pada keadaan normal, darah menetap dalam kapiler paru kira-kira tiga
kali lebih lama dari yang diperlukan untuk oksigenasi penuh. Oleh karena itu,
selama kerja fisik, walaupun darah hanya sebentar saja beradadalam kapiler, tetapi
darah masih dapat teroksigenasi penuh atau hampir penuh.

Transpor Oksigen dalam Darah Arteri


Kira-kira 98 persen darah dari paru yang memasuki atrium kiri, mengalir
melalui kapiler alveolus dan menjadi teroksigenasi sampai Po2 kira-kira 104 mm
Hg. Sekitar 2 persennya lagi melewati aorta melalui sirkulasi bronkial, yang
terutama menyuplai jaringan dalam pada paru dan tidak terpapar dengan udara
paru. Aliran darah ini disebut "aliran pintas", yang berarti darah yang memintas
daerah pertukaran gas. Pada waktu meninggalkan paru, Po2 darah pintas hampir
sama dengan darah vena sistemik normal, kira-kira 40 mm Hg. Ketika darah ini
bercampur dalam darah vena paru dengan darah yang teroksigenasi dari kapiler
alveolus; campuran darah ini disebut campuran darah vena, dan menyebabkan Po2
darah yang masuk ke jantung kiri dan dipompa ke dalam aorta, menjadi turun
sampai sekitar 95 mm Hg. Perubahan Po2 darah ini pada tempat yang berbeda
dalam sistem sirkulasi dilukiskan pada Gambar 40-2.

5
Difusi Oksigen dari Kapiler Perifer ke dalam Cairan Interstisial
Bila darah arteri sampai ke jaringan perifer, Po2 dalam kapiler masih 95 mm
Hg. Namun, seperti terlihat pada Gambar 40-3, Po2 dalam cairan interstisial yang
mengelilingi sel jaringan rata-rata hanya 40 mm Hg. Dengan demikian, terdapat
perbedaan tekanan awal yang sangat besar yang menyebabkan oksigen berdifusi
secara cepat dari darah kapiler ke dalam jaringan-begitu cepatnya sehingga Po2
kapiler turun hampir sama dengan tekanan dalam interstisium, yaitu 40 mm Hg.
Oleh karena itu, Po2 darah yang meninggalkan kapiler jaringan dan memasuki vena
sistemik juga kira-kira 40 mm Hg.

Difusi Oksigen dari Kapiler Perifer ke Sel Jaringan


Oksigen selalu dipakai oleh sel. Oleh karena itu, Po2 intrasel
dalam jaringan perifer tetap lebih rendah daripada Po2 dalam
kapiler perifer. Juga, pada beberapa keadaan, ada jarak fisik yang sangat besar
antara kapiler dan sel. Oleh karena itu, Po2, intrasel normal berkisar dari 5 mm Hg
sampai 40 mm Hg, dengan rata-rata (dengan pengukuran langsung pada hewan
tingkat rendah) 23 mm Hg. Karena pada keadaan normal hanya dibutuhkan tekanan
oksigen sebesar 1 sampai 3 mm Hg untuk mendukung sepenuhnya proses kimiawi
dalam sel yang menggunakan oksigen, maka kita dapat melihat bahwa Po2 intrasel
yang rendah, yaitu 23 mm Hg, lebih dari cukup dan merupakan suatu faktor
pengaman yang besar.

Pengaruh Laju Aliran Darah terhadap Po2 Cairan Interstisial


Jika aliran darah yang melalui suatu jaringan tertentu meningkat, maka lebih
banyak jumlah oksigen yang diangkut ke dalam jaringan tersebut, dan Po2 jaringan
jadi turut meningkat. Efek ini dilukiskan pada Gambar 40-4. Perhatikan bahwa
peningkatan aliran sebesar 400 persen dari normal akan meningkatkan Po2 dari 40
mm Hg (pada titik A dalam gambar) menjadi 66 mm Hg (pada titik B). Tetapi,

6
batas atas peningkatan Po2 bahkan dengan aliran darah yang maksimal, adalah 95
mm Hg, karena nilai ini merupakan tekanan oksigen dalam darah arteri. Sebaliknya,
bila darah yang mengalir melalui jaringan menurun, Po2 jaringan juga menurun,
seperti yang ditunjukkan pada titik C.

Transpor Oksigen dalam Bentuk Terlarut


Pada keadaan PO2 arteri normal, yaitu 95 mm Hg, sekitar 0,29 ml oksigen
dilarutkan dalam setiap 100 ml cairan darah, dan bila Po2 darah turun menjadi 40
mm Hg dalam kapiler jaringan, hanya 0,12 ml oksigen yang tetap terlarut.
Dengan kata lain; 0,17 ml oksigen secara normal diangkut dalam keadaan
terlarut ke jaringan oleh setiap 100 ml darah. Jumlah ini sebanding dengan kira-
kira 5 ml oksigen yang diangkut oleh hemoglobin sel darah merah. Oleh karena
itu, oksigen yang diangkut ke jaringan dalam bentuk terlarut normalnya berjumlah
sedikit, hanya kira-kira 3 persen dari jumlah total, bila dibandingkan dengan 97
persen yang diangkut oleh hemoglobin.
Selama kerja berat, bila pelepasan oksigen oleh hemoglobin ke jaringan
meningkat tiga kali lipat, maka jumlah relatif yang diangkut dalam bentuk terlarut
turun menjadi 1,5 persen. Bila seseorang menghirup oksigen pada Po2 alveolus
sangat tinggi, jumlah yang diangkut dalam bentuk terlarut dapat menjadi
berlebihan, sehingga terkadang terjadi kelebihan yang serius dalam jaringan, dan
mengakibatkan "keracunan oksigen": Ini sering kali menyebabkan kejang otak
dan bahkan kematian.

Peran Hemoglobin dalam Pengangkutan Oksigen


Pada keadaan normal, sekitar 97 persen oksigen yang
diangkut dari paru ke jaringan, dibawa dalam campuran kimiawi dengan
hemoglobin di dalam sel darah merah. Sisanya sebanyak 3 persen diangkut dalam
bentuk terlarut dalam cairan plasma dan sel darah. Dengan demikian, pada keadaan
normal, oksigen dibawa ke jaringan hampir seluruhnya oleh hemoglobin.

7
Jumlah Maksimum Oksigen yang dapat Bergabung dengan Hemoglobin Darah
Darah orang normal mengandung sekitar 15 gram hemoglobin dalam
setiap 100 ml darah, dan tiap gram hemoglobin dapat berikatan maksimal dengan
1,34 ml oksigen (1,39 ml bila hemoglobin secara kimiawi bersifat murni, tetapi
ketidak murnian seperti methemoglobin mengurangi jumlah ini). Oleh karena itu,
15 dikali 1,34 sama dengan 20,1, yang berarti bahwa rata-rata, 15 gram hemoglobin
dalam 100 ml darah dapat bergabung dengan jumlah total sekitar 20 ml oksigen bila
saturasi hemoglobinnya 100 persen. Ini biasanya dinyatakan sebagai 20 persen
volume. Kurva disosiasi oksigen-hemoglobin untuk orang normal dapat juga
dinyatakan dalam bentuk volume persen oksigen, seperti yang diperlihatkan oleh
skala paling kanan pada Gambar 40-8, tidak hanya dengan persentase saturasi
hemoglobin.

Jumlah Oksigen yang Dilepaskan dari Hemoglobin Ketika Aliran Darah Arteri Sistemik
Mengalir metalui Jaringan
Jumlah total oksigen yang terikat dengan hemoglobin di dalam darah arteri
sistemik normal, dengan saturasi 97 persen, kira-kira adalah 19,4 ml tiap 100 ml
darah. Ini diperlihatkan pada Gambar 40-9. Saat melewati kapiler jaringan,
jumlah ini berkurang, rata-rata menjadi 14,4 ml (Po2 40 mm Hg, saturasi
hemoglobin 75 persen). Dengan demikian, pada keadaan normal, kira-kira 5 ml
oksigen diangkut dari paru ke jaringan oleh setiap 100 ml aliran darah.

Peran Hemoglobin dalam Mempertahankan Po2 yang Hampir Konstan dalam Jaringan
Pada keadaan basal, jaringan membutuhkan kira-kira 5 ml oksigen dari
setiap 100 ml darah yang melalui kapiler jaringan. Merujuk kepada kurva
disosiasi oksigen-hemoglobin dalam Gambar 40-9, dapat dilihat bahwa untuk
setiap 5 ml oksigen yang dilepaskan oleh setiap 100 ml aliran darah, Po2 harus

8
turun kira-kira 40 mm Hg. Oleh karena itu, Po2 jaringan normalnya tidak dapat
meningkat diatas 40 mm Hg, karena seandainya terjadi demikian, oksigen yang
diperlukan jaringan tidak dapat dilepaskan dari hemoglobin. Dengan cara ini,
dalam keadaan normal hemoglobin mengatur batas atas tekanan oksigen dalam
jaringan, yaitu sekitar 40 mm Hg.
Sebaliknya, selama kerja berat, sejumlah besar oksigen (sebanyak 20 kali
lipat dari normal) harus dilepaskan dari hemoglobin ke jaringan. Tetapi ini dapat
dicapai dengan penurunan Po2 jaringan yang sangat sedikit karena (1) kemiringan
kurva disosiasi yang curam dan (2) peningkatan aliran darah jaringan yang
disebabkan oleh penurunan Po2 ; artinya, penurunan Po2 yang sedikit
menyebabkan sejumlah besar oksigen dilepaskan dari hemoglobin. Selanjutnya
dapat dilihat bahwa hemoglobin dalam darah secara otomatis melepaskan oksigen
ke jaringan pada tekanan yang dipertahankan dengan agak ketat antara 15 dan 40
mm Hg.

2.1.2 Transpor CO2


Difusi Karbon Dioksida dari Sel Jaringan Perifer ke dalam Kapiler Jaringan
dan dari Kapiler Paru ke dalam Alveoli
Ketika oksigen dipakai oleh sel, sebenarnya seluruh oksigen ini menjadi
karbon dioksida, sehingga Pco2, intrasel meningkat; karena Pco2 sel jaringan
yang tinggi ini, karbon dioksida berdifusi dari sel ke dalam kapiler jaringan dan
kemudian dibawa oleh darah ke paru. Di paru, karbon dioksida berdifusi dari
kapiler paru ke dalam alveoli dan kemudian dikeluarkan.
Dengan demikian, pada tiap tempat dalam rantai pengangkutan gas,
karbon dioksida berdifusi dalam arah yang berlawanan dengan difusi oksigen.
Meskipun demikian, terdapat satu perbedaan besar antara difusi karbon dioksida
dan oksigen: karbon dioksida dapat berdifusi kira-kira 20 kali lebih cepat dari
oksigen. Oleh karena itu, perbedaan tekanan yang dibutuhkan untuk menimbulkan

9
difusi karbon dioksida, pada setiap keadaan, jauh lebih kecil daripada perbedaan
tekanan yang dibutuhkan untuk menimbulkan difusi oksigen. Tekanan-tekanan
CO2 ini kurang lebih sebagai berikut.
1. Pco2 intrasel, kira-kira 46 mm Hg; Pco2 interstisial, kira-kira 45 mm Hg.
Dengan demikian, hanya ada perbedaan tekanan 1 mm Hg, seperti yang
dilukiskan pada Gambar 40-5.
2. Pco2 darah arteri yang masuk ke jaringan 40 mm Hg; Pco2 darah vena yang
meninggalkan jaringan, 45 mm Hg. Dengan demikian, sebagaimana
dilukiskan pada Gambar 40-5, darah kapiler jaringan mencapai imbangan
yang hampir sama dengan Pco2 interstisial, yaitu 45 mm Hg.
3. Pco2 darah yang masuk kapiler paru pada ujung arteri 45 mm Hg; Pco2
udara alveolus, 40 mm Hg. Dengan demikian, perbedaan tekanan yang
dibutuhkan untuk menyebabkan difusi karbon dioksida dari kapiler paru ke
dalam alveoli hanya 5 mm Hg. Lagi pula, seperti yang dilukiskan pada
Gambar 40-6, Pco2 darah kapiler paru turun hampir mendekati Pco2
alveolus, 40 mm Hg, sebelum darah melewati lebih dari kira-kira sepertiga
jarak kapiler. Efek ini sama dengan efek yang diamati pada permulaan difusi
oksigen, hanya saja efek ini berlangsung dalam arah yang berlawanan.

Efek Kecepatan Metabolisme Jaringan dan Aliran Darah Jaringan terhadap


Pco2 Interstisial
Aliran darah kapiler jaringan dan metabolisme jaringan memengaruhi
Pco2 dengan cara yang berlawanan dari pengaruhnya terhadap Po2 jaringan.
Gambar 40-7 memperlihatkan efek-efek sebagai berikut:
1. Penurunan aliran darah dari normal (titik A) menjadi
seperempat dari normal (titik B) meningkatkan Pco2
jaringan perifer dari nilai normal 45 mm Hg, menjadi 60
mm Hg. Sebaliknya, peningkatan aliran darah menjadi
enam kali normal (titik C) menurunkan Pco2 interstisial dari

10
nilai normal 45 mm Hg, menjadi 41 mm Hg, turun hampir
mendekati Pco2 darah arteri (40 mm Hg) yang memasuki
kapiler jaringan.
2. Perhatikan juga bahwa bila kecepatan metabolisme
jaringan meningkat 10 kali lipat, maka peningkatan Pco,
cairan interstisial akan lebih besar pada seluruh laju-aliran
darah, sedangkan penurunan metabolisme menjadi
seperempat dari normal menyebabkan Pco2 cairan
interstisial turun sampai kira-kira 41 mm Hg, hampir
mendekati Pco2 darah arteri, 40 mm Hg.

Gabungan Hemoglobin dengan Karbon Monoksida-Pemindahan Oksigen


Karbon monoksida bergabung dengan molekul hemoglobin pada tempat
yang sama seperti oksigen. Oleh karena itu, karbon monoksida dapat
memindahkan oksigen dari hemoglobin, sehingga menurunkan kapasitas darah
sebagai pembawa oksigen. Selain itu, kekuatan ikatannya kira-kira 250 kali
kekuatan oksigen, yang dilukiskan oleh kurva disosiasi karbon monoksida-
hemoglobin pada Gambar 40-12. Kurva ini hampir sama dengan kurva disosiasi
oksigen-hemoglobin, kecuali tekanan parsial karbon monoksida, yang terlihat
pada absis, berada pada tingkat 1/250 dari kurva disosiasi oksigenhemoglobin
pada Gambar 40-8. Oleh karena itu, tekanan parsial karbon monoksida yang
hanya 0,4 mm Hg dalam alveoli, 1/250 dari oksigen alveolus normal (Po2 100
mm Hg), menyebabkan karbon monoksida sama-sama bersaing dengan oksigen
untuk bergabung dengan hemoglobin dan menyebabkan separuh hemoglobin
dalam darah berikatan dengan karbon monoksida daripada dengan oksigen. Oleh
karena itu, tekanan karbon monoksida yang hanya 0,6 mm Hg (konsentrasi
volumenya kurang dari seperseribu dalam udara) dapat menyebabkan kematian.
Walaupun kandungan oksigen di dalam darah sangat berkurang pada
keadaan keracunan karbon monoksida, Po2 darah dapat tetap normal. Hal ini yang

11
menyebabkan paparan dengan karbon monoksida sangat berbahaya, karena darah
berwarna merah terang dan tidak terdapat tanda-tanda hipoksemia yang jelas,
seperti warna kebiru biruan pada ujung jari atau bibir (sianosis). Po2 juga tidak
menurun, dan tidak ada mekanisme umpan balik yang biasanya merangsang
peningkatan frekuensi pernapasan sebagai respons terhadap kurangnya oksigen
(biasanya ditunjukkan dengan Po2 yang rendah). Karena otak merupakan salah
satu organ pertama yang terpengaruh akibat kurangnya oksigen, orang yang
kekurangan oksigen dapat mengalami disorientasi dan menjadi tak sadarkan diri
sebelum akhirnya orang tersebut menyadari adanya bahaya.
Pasien yang menderita keracunan karbon monoksida berat dapat diobati
dengan memberikan oksigen murni, karena oksigen pada tekanan alveolus yang
tinggi dapat menggantikan karbon monoksida yang bercampur dengan
hemoglobin secara cepat.
Pasien dapat juga diobati dengan pemberian secara simultan karbon
dioksida 5 persen, karena rangsangannya kuat pada pusat pernapasan, yang
meningkatkan ventilasi alveolus dan mengurangi karbon monoksida alveolus.
Dengan terapi oksigen dan karbon dioksida secara intensif, karbon monoksida
dapat dikeluarkan dari darah 10 kali lebih cepat daripada tanpa terapi.

Pengangkutan Karbon Dioksida dalam Darah


Pengangkutan karbon dioksida dalam darah tidaklah sesukar
pengangkutan oksigen, sebab walaupun dalam kondisi yang sangat abnormal,
karbon dioksida biasanya dapat diangkut dalam jumlah yang lebih besar daripada
oksigen. Tetapi, jumlah karbon dioksida dalam darah berhubungan erat dengan
keseimbangan asam-basa cairan tubuh, seperti yang telah dibahas pada Bab 30.
Pada keadaan istirahat yang normal, rata-rata 4 ml karbon dioksida diangkut dari
jaringan ke paru dalam setiap 100 militer darah.

Bentuk-Bentuk Kimia Karbon Dioksida Saat Diangkut

12
Untuk memulai proses pengangkutan karbon dioksida, karbon dioksida
berdifusi keluar dari sel jaringan dalam bentuk molekul karbon dioksida yang
terlarut. Waktu memasuki kapiler jaringan, karbon dioksida segera memulai
serangkaian reaksi secara kimia dan fisika, yang penting untuk transpor karbon
dioksida; keadaan ini dilukiskan pada Gambar 40-13.

Pengangkutan Karbon Dioksida dalam Bentuk Terlarut


Sebagian kecil karbon dioksida ditranspor dalam bentuk terlarut ke paru.
Telah dijelaskan bahwa Pco, darah vena adalah 45 mm Hg dan darah arteri adalah
40 mm Hg. Jumlah karbon dioksida terlarut dalam cairan darah pada tekanan 45
mm Hg kira-kira 2,7 ml/dl (2,7 volume persen). Jumlah yang terlarut pada
tekanan 40 mm Hg kira-kira 2,4 ml, atau berbeda 0,3 ml. Oleh karena itu, kira-
kira hanya 0,3 ml karbon dioksida yang diangkut dalam bentuk karbon dioksida
terlarut oleh setiap 100 ml aliran darah. Jumlah ini kira-kira 7 persen dari semua
karbon dioksida yang diangkut secara normal.

Pengangkutan Karbon Dioksida dalam Bentuk lon Bikarbonat


Reaksi Karbon Dioksida dengan Air dalam Sel Darah Merah-Efek
Anhidrase Karbonat
Karbon dioksida yang tertarut dalam darah bereaksi dengan air untuk
membentuk asam karbonat. Reaksi ini terjadi sangat lambat dan tidak penting
seandainya tidak ada enzim protein di dalam sel darah merah yang disebut
anhidrase karbonat, yang berfungsi untuk mengkatalisis reaksi antara kira-kira
5.000 kali lipat. Oleh karena itu, berbeda dengan reaksi dalam plasma yang
memerlukan waktu berdetik-detik atau bermenit-menit, maka dalam sel darah
merah reaksi ini terjadi sedemikian cepatnya sehingga mencapai keseimbangan
hampir sempurna dalam waktu sepersekian detik. Ini memungkinkan sejumlah
besar karbon dioksida bereaksi dengan cairan sel darah merah bahkan sebelum
darah tersebut meninggalkan kapiler jaringan.

13
Disosiasi Asam Karbonat menjadi Bikarbonat dan lon Hidrogen
Dalam waktu sepersekian detik selanjutnya, asam karbonat yang dibentuk
dalam sel darah merah (H2CO3) terurai menjadi ion hidrogen dan ion bikarbonat
(H+ dan HCO3-)
Kemudian sebagian besar ion bersatu dengan hemoglobin dalam sel darah
merah sebab protein hemoglobin merupakan dapar asam-basa yang kuat. Lalu,
banyak ion HCO3 - yang berdifusi dari sel darah merah ke dalam plasma
sementara ion klorida berdifusi ke dalam sel darah merah untuk
menggantikannya. Hal ini dapat terjadi karena adanya protein pembawa
bikarbonat-klorida yang khusus dalam membran sel darah merah yang
menggerakkan kedua ion ini bolak-balik dengan cepat dalam arah yang
berlawanan. Dengan demikian, kadar klorida sel darah merah vena lebih besar
daripada sel darah merah di arteri, fenomena ini disebut pergeseran klorida.
Di bawah pengaruh anhidrase karbonat, gabungan karbon dioksida dengan
air dalam sel darah merah yang bersifat reversibel, meliputi sekitar 70 persen dari
seluruh karbon dioksida yang diangkut dari jaringan ke paru. Dengan demikian,
ini berarti bahwa pengangkutan karbon dioksida merupakan pengangkutan yang
paling penting. Bila suatu inhibitor anhidrase karbonat (asetazolamid) diberikan
pada seekor binatang untuk menghambat kerja anhidrase karbonat dalam sel darah
merah, pengangkutan karbon dioksida dari jaringan menjadi sangat sedikit
sehingga Pco2 jaringan dapat meningkat mencapai 80 mm Hg, dibandingkan
dengan keadaan normalnya sebesar 45 mm Hg.

Pengangkutan Karbon Dioksida dalam Gabungannya dengan Hemoglobin


dan Protein Plasma-Karbaminohemoglobin
Selain bereaksi dengan air, karbon dioksida juga bereaksi langsung dengan
radikal amino molekul hemoglobin, untuk membentuk senyawa

14
karbaminohemoglobin (CO2Hgb). Gabungan karbon dioksida dengan
hemoglobin ini adalah reaksi reversibel yang terjadi dengan ikatan longgar,
sehingga karbon dioksida mudah dilepaskan ke dalam alveoli yang memiliki Pco2
lebih rendah daripada kapiler paru.
Sejumlah kecil karbon dioksida juga bereaksi dengan protein
plasma dengan cara yang sama dalam kapiler jaringan. Tetapi reaksi ini kurang
penting untuk pengangkutan karbon dioksida sebab jumlah protein ini dalam
darah hanya seperempat dari jumlah hemoglobin.
Jumlah karbon dioksida yang dapat dibawa dari jaringan ke paru dalam
bentuk gabungan karbamino dengan hemoglobin dan protein plasma adalah
sekitar 30 persen dari jumlah total yang diangkut-normalnya; kira-kira 1,5 ml
karbon dioksida dalam setiap 100 ml darah. Tetapi, karena reaksi ini jauh lebih
lambat daripada reaksi karbon dioksida dengan air di dalam sel darah merah,
masih diragukan apakah pada kondisi normal mekanisme karbamino ini dapat
mengangkut lebih dari 20 persen dari jumlah total karbon dioksida.

Bila Oksigen Berikatan dengan Hemoglobin, Karbon Dioksida Dilepaskan


(Efek Haldane) untuk Meningkatkan Pengangkutan CO2
Pada permulaan bab, telah ditegaskan bahwa suatu peningkatan karbon
dioksida dalam darah akan menyebabkan oksigen dilepaskan dari hemoglobin
(efek Bohr), dan ini merupakan faktor penting dalam meningkatkan pengangkutan
oksigen.
Sebaliknya, pengikatan oksigen dengan hemoglobin cenderung
mengeluarkan karbon dioksida dari darah. Sesungguhnya, efek ini, yang disebut
efek Haldane, secara kuantitatif jauh lebih penting dalam meningkatkan
pengangkutan karbon dioksida daripada efek Bohr dalam meningkatkan
pengangkutan oksigen.

15
Efek Haldane disebabkan oleh fakta yang sederhana bahwa gabungan
oksigen dengan hemoglobin dalam paru menyebabkan hemoglobin menjadi asam
yang lebih kuat. Hal ini menyebabkan pindahnya karbon dioksida dari darah dan
masuk ke dalam alveoli melalui dua cara: (1) Semakin tinggi keasaman
hemoglobin, semakin berkurang kecenderungannya untuk bergabung dengan
karbon dioksida untuk membentuk karbamino hemoglobin, jadi memindahkan
banyak karbon dioksida dalam bentuk karbamino dari darah. (2) Meningkatnya
keasaman hemoglobin juga menyebabkan hemoglobin melepaskan sejumlah ion
hidrogen, dan ion-ion ini berikatan dengan ion bikarbonat untuk membentuk asam
karbonat; kemudian terurai menjadi air dan karbon dioksida, dan karbon dioksida
dikeluarkan dari darah masuk ke dalam alveoli dan akhirnya, ke udara.
Gambar 40-15 melukiskan secara kuantitatif pentingnya efek Haldane
terhadap pengangkutan karbon dioksida dari jaringan ke paru. Gambar ini
memperlihatkan bagian kecil dari dua kurva disosiasi karbon dioksida: (1) bila
Po2 adalah 100 mm Hg, yaitu Po2 dalam kapiler darah paru, dan (2) bila Po2 40
mm Hg, yaitu Po2 dalam kapiler jaringan. Titik A memperlihatkan bahwa pad
tekanan Pco2 normal sebesar 45 mm Hg dalam jaringan menyebabkan 52 volume
persen karbon dioksida bergabung dengan darah. Pada waktu memasuki paru,
Pco2 turun menjadi 40 mm Hg, sedangkan Po2 meningkat menjadi 100 mm Hg.
Jika kurva disosiasi karbon dioksida tidak bergeser akibat efek Haldane, maka
kandungan karbon dioksida dalam darah akan turun hanya sampai 50 volume
persen, berarti hanya terjadi kehilangan 2 volume persen karbon dioksida. Tetapi,
peningkatan Po2 dalam paru menurunkan kurva disosiasi karbon dioksida dari
kurva atas menjadi kurva bawah pada gambar, sehingga kandungan karbon
dioksida turun menjadi 48 volume persen (titik B). Ini menggambarkan tambahan
kehilangan karbon dioksida sebesar dua volume persen.
Dengan demikian, efek Haldane menggandakan jumlah karbon dioksida
yang dilepaskan dari darah dalam paru dan pengambilan karbon dioksida dalam
jaringan menjadi dua kali lipat.

16
Perubahan Keasaman Darah selama Pengangkutan Karbon Dioksida
Asam karbonat yang terbentuk bila karbon dioksida memasuki darah
dalam jaringan perifer menurunkan pH darah. Namun, reaksi asam ini dengan
dapar asam-basa darah mencegah konsentrasi H+ meningkat terlalu tinggi (dan
pH darah turun terlalu banyak). Biasanya, darah arteri mempunyai pH sekitar
7,41; dan, ketika darah tersebut mendapat karbon dioksida dalam kapiler jaringan,
pH turun menjadi sekitar 7,37. Dengan kata lain, terjadi perubahan pH sebesar
0,04 unit. Keadaan sebaliknya akan terjadi bila karbon dioksida dilepaskan dari
darah dalam paru, sehingga pH meningkat mencapai nilai arteri sebesar 7,41 lagi.
Saat kerja berat, atau kondisi aktivitas metabolisme yang tinggi lainnya, atau bila
aliran darah ke jaringan menjadi lambat, penurunan pH dalam darah jaringan (dan
dalam jaringannya sendiri) dapat mencapai 0,50, sekitar 12 kali dari normal
sehingga menyebabkan asidosis jaringan yang bermakna.

2.1.3 Elektrolit

Sodium atau natrium

Sodium dibutuhkan tubuh untuk menjaga keseimbangan elektrolit,


mengendalikan cairan dalam tubuh, memengaruhi tekanan darah, dan mengatur
kontraksi otot dan fungsi saraf. Normalnya, kadar sodium dalam darah adalah 135-
145 milimol/liter (mmol/L). Kelebihan sodium, atau disebut juga hipernatremia,
biasanya terjadi karena kurang minum air; dehidrasi parah akibat pengeluaran
cairan berlebihan, misalnya akibat muntah yang berkepanjangan, diare,
berkeringat, atau gangguan ginjal dan pernapasan; atau minum obat tertentu,
contohnya kortikosteroid.

17
Sedangkan kekurangan sodium, atau disebut juga hiponatremia, dapat
terjadi karena tubuh kehilangan banyak cairan melalui keringat atau luka bakar;
muntah atau diare; terlalu banyak mengonsumsi cairan; kecanduan alkohol;
mengonsumsi obat tertentu seperti obat diuretik, obat kejang; menderita gizi buruk,
kelainan tiroid, kelainan hipotalamus, kelainan kelenjar adrenal, gagal ginjal, gagal
jantung, gagal hati, atau mengalami penyakit yang mengganggu hormon
antidiuretik (SIADH).

Kalsium

Kalsium merupakan mineral penting yang digunakan oleh tubuh untuk


menstabilkan tekanan darah, mengendalikan kontraksi otot rangka, membangun
tulang dan gigi yang kuat, berperan dalam penghantaran impuls saraf dan gerakan
otot, serta membantu proses pembekuan darah. Kelebihan kalsium disebut
hiperkalsemia, dan kondisi ini bisa terjadi apabila kita menderita
hiperparatiroidisme; penyakit ginjal; gangguan tiroid; penyakit paru-paru seperti
tuberkulosis atau sarkoidosis; beberapa jenis kanker; mengonsumsi suplemen
vitamin D, kalsium, atau antasida secara berlebihan; atau minum obat litium dan
teofilin. Sedangkan kekurangan kalsium dapat disebabkan oleh gagal ginjal,
hipoparatiroidisme, kekurangan vitamin D, pankreatitis, kanker prostat, gangguan
pencernaan, dan obat tertentu termasuk heparin, obat osteoporosis, dan obat
antiepilepsi.

Kalium atau potasium

Manfaat kalium adalah untuk mengatur fungsi jantung dan tekanan darah,
membantu hantaran rangsang saraf, kontraksi otot, kesehatan tulang, dan
keseimbangan elektrolit; serta menjaga kesehatan saraf dan otot. Dalam darah,
jumlah kalium normal berada di kisaran 3,5-5 milimol/liter (mmol/L).

Kekurangan kalium disebut hipokalemia. Dapat terjadi pada orang yang


memiliki gangguan makan; menderita diare, muntah parah, atau dehidrasi; minum

18
obat pencahar, diuretik, atau kortikosteroid. Sedangkan hiperkalemia adalah
kondisi di mana jumlah kalium dalam darah berlebih, biasanya disebabkan oleh
dehidrasi parah, gagal ginjal, asidosis berat, minum obat penurun tekanan darah
atau diuretik, atau karena kadar hormon kortisol dalam tubuh terlalu rendah.

Klorida

Klorida dibutuhkan untuk membantu keseimbangan elektrolit atau cairan


tubuh, menjaga asam/basa (pH) tubuh, dan penting untuk pencernaan. Tubuh dapat
mengalami hipokloremia (kekurangan klorida) akibat gagal ginjal akut, terlalu
banyak berkeringat, muntah, menderita gangguan makan, gangguan kelenjar
adrenal, cystic fibrosis, atau karena disengat kalajengking. Sedangkan
hiperkloremia (kelebihan klorida) bisa terjadi akibat dehidrasi parah, gangguan
kelenjar paratiroid, gagal ginjal, atau menjalani cuci darah. Nah, berapakah kadar
klorida yang normal itu? Kadar klorida yang normal adalah 98-108 mmol/L.

Magnesium

Magnesium merupakan mineral elektrolit penting untuk produksi DNA dan


RNA, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, mengatur kadar glukosa darah,
menjaga irama atau ritme jantung, serta berkontribusi pada fungsi saraf dan
kontraksi otot. Magnesium juga dapat memperbaiki kualitas tidur pada penderita
insomnia. Kelebihan magnesium atau hipermagnesemia biasanya terjadi pada
pasien penyakit Addison atau penderita penyakit ginjal stadium akhir. Dan tubuh
dapat kekurangan magnesium (hipomagnesemia), biasanya karena gagal jantung,
keringat berlebihan, diare kronis, gangguan pencernaan, kecanduan alkohol, atau
minum obat seperti diuretik dan antibiotik.

Fosfat

Bersama dengan kalsium, fosfat bertugas menguatkan tulang dan gigi, serta
membantu sel menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan

19
perbaikan jaringan. Kekurangan fosfat (hipofosfatemia) biasanya diakibatkan oleh
kelenjar paratiroid yang terlalu aktif, kekurangan vitamin D, kelaparan, luka bakar
parah, penyalahgunaan alkohol akut, atau obat-obatan tertentu. Sementara
kelebihan fosfat (hiperfosfatemia), biasanya terjadi karena cedera otot parah,
kelenjar paratiroid kurang aktif, gagal nafas, penyakit ginjal kronis, kadar kalsium
rendah, sedang menjalani pengobatan kanker, dan minum obat pencahar yang
mengandung fosfat secara berlebihan.

Bikarbonat

Mineral yang kadar normalnya 22-30 mmol/L ini berfungsi membantu


tubuh mempertahankan pH yang sehat, mengatur kadar cairan tubuh dan mengatur
fungsi jantung. Gangguan pada jumlah bikarbonat dalam darah bisa disebabkan
oleh gangguan pernapasan, gagal ginjal, dan penyakit metabolik.

2.1.4 Mioglobin

Mioglobin sendiri merupakan protein yang berfungsi menyimpan oksigen dalam


otot. Terlalu banyak mioglobin dalam darah dapat menyebabkan penderita
rhabdomyolysis berisiko terkena komplikasi serius, seperti gagal ginjal, yaitu kondisi
ketika ginjal kehilangan kemampuan dalam membuang limbah dan konsentrat urine.
Mioglobin adalah protein dengan bentuk struktur bulat yang menyimpan oksigen dan
terbentuk dari rantai polipeptida.

Karakteristik penyusun mioglobin adalah asam amino dan poliferin yang


merupakan sejenis zat besi. Mioglobin juga terdapat dalam otot-otot hewan yang
berenang di dalam air dalam jangka waktu cukup lama, seperti lumba-lumba, paus, dan
anjing laut. Hal ini terjadi karena mioglobin dapat menyimpan oksigen dalam sel
sehingga oksigen tersebut dapat digunakan pada proses metabolisme saat hewan tersebut
memerlukan energi namun masih berada di dalam air. Mioglobin juga menyebabkan
warna merah pada otot hewan pada umumnya. Ikan yang berdaging merah akan memiliki

20
mioglobin yang banyak, sehingga saat terpapar oksigen mioglobin akan langsung
teroksidasi. Ikan berdaging putih tidak mengandung mioglobin. Untuk mengatasi hal ini,
ikan berdaging merah seperti tuna dan cakalang memiliki banyak zat antioksidan seperti
DHA dan EPA. Zat besi dalam jumlah banyak terdapat pada mioglobin. Zat besi ini baik
untuk orang yang mengalami anemia, sehingga ikan berdarah merah baik untuk
dikonsumsi penderita anemia.

21
BAB III

PENUTUP
Dalam bab terakhir ini akan diajukan sebagai penutup dari seluruh uraian makalah
mengenai masalah-masalah yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya. Selanjutnya
dalam bab ini juga, dengan segala keterbatasan yang ada pada tim penulis akan
disampaikan beberapa kesimpulan mengenai proses biokimiawi pada sistem sirkulasi.

3.1 Kesimpulan

Respirasi adalah proses bertukarnya oksigen dari udara oleh organisme hidup
yang digunakan untuk metabolisme yang akan menghasilkan karbon dioksida yang harus
di keluarkan tubuh karna tidak digunakan. Sistem respirasi terdiri atas organ-organ yang
berfungsi dalam aktivitas metabolisme khususnya produksi atau perubahan energi kimia
yang terikat dalam materi merupakan media pertukaran O2 dan CO2 dari dalam dan luar
tubuh. Udara dari atmosfer masuk ke dalam tubuh dengan perantara alat pernapasan
tertentu. Lalu oksigen yang diperlukan untuk proses pernapasan masuk ke dalam sel-sel
darah kapiler menuju ke sel-sel jaringan tubuh dengan bantuan sistem transpor.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Hall JE. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology 13th ed. Elsevier:
Philadelphia.2016.
2. Adrian, K. Mengenal Berbagai elektrolit dalam Tubuh. Alodokter. 2017
https://www.alodokter.com/mengenal-berbagai-elektrolit-dalam-tubuh
3. Marianti. Rhabdomyolisis. Alodokter. 2017 https://www.alodokter.com/rhabdomyolysis

23

Anda mungkin juga menyukai