Anda di halaman 1dari 7

Difusi dalam respirasi yaitu salah satu proses pertukaran gas antara darah pada kapiler

paru dengan alveoli. Proses difusi ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan, gas berdifusi
dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. Salah satu ukuran difusi adalah tekanan parsial.
PO2 DAN PCO2 ALVEOLUS Komposisi udara alveolus tidak sama dengan komposisi
udara atmosfer karena dua alasan. Pertama, segera setelah udara atmosfer masuk ke saluran
napas, pajanan kesaluran napas yang lembap menyebabkan udara tersebut jenuh dengan H2O.
Seperti gas lainnya, uap air menimbulkan tekanan parsial. Pada suhu tubuh, tekanan parsial
uap H2O adalah 47 mmHg. Hum idifikasi udara yang dihirup ini pada hakikatnya
“mengencerkan” tekanan parsial gas-gas inpsirasi sebesar 47 mm Hg karena jumlah tekanan-
tekanan parsial harus sama dengan tekanan atmosfer 760 mm Hg. Dalam udara lembap, PH2O
= 47 mm Hg, PN2 = 563 mm Hg, dan PO2 = 150 mm Hg. Kedua, PO2 alveolus juga lebih
rendah daripada PO2 atmosfer karena udara segar yang masuk (setara dengan rata rata 350 mL
dari bagian volume tidal 500 mL) bercampur dengan sejumlah besar udara lama yang tersisa
di paru dan ruang mati pada akhir ekspirasi sebelumnya (kapasitas residual fungsional paru
rerata setara dengan 2200 mL). Pada akhir inspirasi, hanya sekitar 13% udara di alevolus yang
merupakan udara segar. Akibat pelembapan dan pertukaran udara alveolus yang rendah ini,
PO2 alveolus rerata adalah 100 mmHg, dibandingkan dengan PO2 atmosfer yang 160 mm Hg.
Logis jika kita berpikir bahwa PO2 alveolus akan meningkat selama inspirasi karena
datangnya udara segar dan menurun selama ekspirasi. Namun, fluktuasi yang terjadi kecil saja,
karena dua sebab. Pertama, hanya sebagian kecil dari udara alveolus total yang dipertukarkan
setiap kali bernapas. Volume udara inspirasi kaya O2 yang relatif kecil cepat bercampur dengan
volume udara alveolus yang tersisa (dengan PO2 lebih rendah) yang jumlahnya jauh lebih
banyak. Karena itu, O2 udara inspirasi hanya sedikit meningkatkan kadar PO2 alveolus total.
Bahkan peningkatan PO2 yang kecil ini berkurang oleh sebab lain. Oksigen secara terus-
menerus berpindah melalui difusi pasif menuruni gradien tekanan parsialnya dari alveolus ke
dalam darah. O2 yang tiba di alveolus dalam udara yang baru diinspirasi hanya mengganti O2
yang berdifusi keluar alveolus masuk ke kapiler paru. Karena itu, PO2 alveolus relatif tetap
konstan pada sekitar 100 mmHg sepanjang siklus pernapasan. Karena PO2 darah paru
seimbang dengan PO2 alveolus, darah yang meninggalkan paru juga cukup konstan pada nilai
yang sama ini. Karena itu, jumlah O2 dalam darah yang tersedia ke jaringan hanya bervariasi
sedikit selama siklus pernapasan. Situasi serupa tetapi terbalik terjadi pada CO2, yang secara
terus menerus diproduksi oleh jaringan tubuh sebagai produk sisa metabolisme dan secara tetap
ditambahkan ke darah di tingkat kapiler sistemik. Di kapiler paru, CO2 berdifusi menuruni
gradien tekanan parsialnya dari darah ke dalam alveolus dan kemudian dikeluarkan dari tubuh
sewaktu ekspirasi. Seperti O2, PCO2 alveolus relatif tetap konstan sepanjang siklus pernapasan
tetapi dengan nilai yang lebih rendah yaitu 40 mm Hg.

GRADIEN PO2 DAN PCO2 MELINTASI KAPILER PARU Sewaktu melewati paru,
darah mengambil O2 dan menyerahkan CO2 dengan difusi menuruni gradien tekanan parsial
yang terdapat antara darah dan alveolus. Ventilasi secara terus-menerus mengganti O2 alveolus
dan mengeluarkan CO2 sehingga gradien tekanan parsial antara darah dan alveolus
dipertahankan. Darah yang masuk ke kapiler paru adalah darah vena sistemik yang dipompa
ke dalam paru melalui arteri-arteri paru. Darah ini, yang baru kembali dari jaringan tubuh,
relatif kekurangan O2, dengan PO2 40 mm Hg, dan relatif kaya CO2, dengan PCO2 46 mm Hg.
Sewaktu mengalir melalui kapiler paru, darah ini terpajan ke udara alveolus. Karena PO2
alveolus pada 100 mm Hg adalah lebih tinggi daripada PO2 40 mmHg di darah yang masuk ke
paru, O2 berdifusi menuruni gradien tekanan parsialnya dari alveolus ke dalam darah hingga
tidak lagi terdapat gradien. Sewaktu meninggalkan kapiler paru, darah memiliki PO2 sama
dengan PO2 alveolus, yaitu 100 mmHg.
Gradien tekanan parsial untuk CO2 memiliki arah berlawanan. Darah yang masuk ke
kapiler paru memiliki PCO2 46 mm Hg, sementara PCO2 alveolus hanya 40 mm Hg. Karbon-
dioksida berdifusi dari darah ke dalam alveolus hingga PCO2 darah seimbang dengan PCO2
alveolus. Karena itu, darah yang meninggalkan kapiler paru memiliki PCO2 40 mm Hg. Setelah
meninggalkan paru, darah, yang kini memiliki PO2 100 mmHg dan PCO2 40 mmHg, kembali
ke jantung dan kemudian dipompa ke jaringan tubuh sebagai darah arteri sistemik. Perhatikan
bahwa darah yang kembali ke paru dari jaringan tetap mengandung O2 (PO2 darah vena
sistemik = 40 mm Hg) dan bahwa darah yang meninggalkan paru tetap mengandung CO2 (PO2
darah arteri sistemik = 40 mm Hg). Tambahan O2 yang dibawa oleh darah melebihi yang
normalnya diserahkan ke jaringan mencerminkan cadangan O2 yang dapat segera diambil oleh
sel-sel jaringan seandainya kebutuhan O2 mereka meningkat. CO2 yang tersisa di darah bahkan
setelah darah melewati paru berperan penting dalam keseimbangan asam-basa tubuh karena
CO2 menghasilkan asam karbonat. Selain itu, PCO2 arteri penting untuk merangsang
pernapasan. Mekanisme ini akan dibahas kemudian.
Jumlah O2 yang diserap di paru menyamai jumlah yang diekstraksi dan digunakan oleh
jaringan. Ketika jaringan melakukan metabolisme secara lebih aktif (misalnya sewaktu
olahraga), jaringan mengektraksi lebih banyak O2 dari darah, mengurangi PO2 vena sistemik
lebih rendah daripada 40 mmHg sebagai contoh PO2 30 mmHg. Ketika darah ini kembali ke
paru, terbentuk gradien PO2 yang lebih besar daripada normal antara darah yang baru datang
dan udara alveolus. Perbedaan PO2 antara alveolus dan darah kini mencapai 70 mmHg (PO2
alveolus 100 mmHg dan PO2 darah 30 mmHg), dibandingkan gradien PO2 normal sebesar 60
mmHg (PO2 alveolus 100 mm Hg dan PO2 darah 40 mm Hg). Karena itu, terdapat lebih banyak
O2 yang berdifusi dari alveolus ke dalam darah menuruni gradien tekanan parsial yang lebih
besar sebelum PO2 darah setara dengan PO2 alveolus. Penambahan transfer O2 ke dalam darah
ini mengganti peningkatan jumlah O2 yang dikonsumsi, sehingga ambilan O2 menyamai
pemakaian O2 meskipun konsumsi O2 meningkat. Seiring dengan lebih banyak O2 yang
berdifusi dari alveolus ke dalam darah karena peningkatan gradien tekanan parsial, ventilasi
juga dirangsang sehingga O2 lebih cepat masuk ke dalam alveolus dari udara atmosfer untuk
mengganti O2 yang berdifusi ke dalam darah. Demikian juga, jumlah CO2 yang dipindahkan
ke alveolus dari darah menyamai jumlah CO2 yang diserap di jaringan.
OKSIGEN YANG BERIKATAN DENGAN HEMOGLOBIN, suatu molekul protein
yang mengandung besi dan terdapat di dalam sel darah merah, dapat membentuk ikatan yang
longgar dan mudah berkombinasi reversibel dengan O2. Ketika tidak berikatan dengan O2, Hb
disebut sebagai hemoglobin tereduksi atau deoksihemoglobin. Ketika berikatan dengan O2
disebut oksihemoglobin (HbO2) :

PERAN HEMOGLOBIN DI TINGKAT ALVEOLUS, Hemoglobin bekerja sebagai


"depo penyimpanan" untuk O2, memindahkan O2 dari larutan segera setelah molekul ini masuk
ke darah dari alveolus. Karena hanya O2 larut yang berperan membentuk PO2, O2 yang
tersimpan di Hb tidak dapat ikut membentuk PO2 darah. Ketika darah vena sistemik masuk ke
kapiler paru, PO2 nya jauh lebih rendah daripada PO2 alveolus, sehingga O2 segera berdifusi
ke dalam darah, meningkatkan PO2 darah. Segera setelah PO2 darah naik, persentase Hb yang
dapat berikatan dengan O2 juga meningkat, seperti ditunjukkan oleh kurva O2 Hb. Karena itu,
sebagian besar O2 yang telah berdifusi ke dalam darah berikatan dengan Hb dan tidak lagi
berperan menentukan PO2. Karena O2 dikeluarkan dari larutan dengan berikatan dengan Hb,
PO2 turun ke tingkat yang hampir sama dengan ketika darah masuk ke paru, meskipun jumlah
total O2 dalam darah sebenarnya telah bertambah. Karena PO2 darah kembali lebih rendah
daripada PO2 alveolus, lebih banyak O2 yang berdifusi dari alveolus ke dalam darah, hanya
untuk kembali diserap oleh Hb.
Difusi neto O2 dari alveolus ke darah sebenarnya terjadi secara terus-menerus hingga
Hb mengalami saturasi lengkap oleh O2 sesuai dengan yang dimungkinkan oleh PO2 tersebut.
Pada PO2 normal 100 mmHg, Hb mengalami saturasi 97,5%. Karena itu, dengan menyerap O2,
Hb menjaga PO2 darah tetap rendah dan memperlama eksistensi gradien tekanan parsial
sehingga dapat terjadi pemindahan neto O2 dalam jumlah besar ke dalam darah. Baru setelah
Hb tidak lagi dapat menyimpan O2 tambahan (yaitu, Hb telah mengalami saturasi sesuai PO2
tersebut) semua O2 yang dipindahkan ke dalam darah tetap larut dan langsung berkontribusi
untuk PO2. Saat ini barulah PO2 darah cepat seimbang dengan PO2 alveolus, dan menyebabkan
pemindahan O2 lebih lanjut terhenti, tetapi titik ini belum tercapai hingga Hb telah mengangkut
O2 nya secara maksimal. Setelah PO2 darah seimbang dengan PO2 alveolus, tidak ada lagi
pemindahan O2, seberapapun O2 total yang telah dipindahkan.
PERAN HEMOGLOBIN DI TINGKAT JARINGAN Situasi kebalikannya terjadi
di tingkat jaringan. Karena PO2 darah yang masuk ke kapiler sistemik jauh lebih besar daripada
PO2 jaringan sekitar, O2 segera berdifusi dari darah ke jaringan, menurunkan PO2 darah. Ketika
PO2 darah turun, Hb harus melepaskan sebagian dari O2 yang dibawanya karena % saturasi Hb
berkurang. Sewaktu O2 yang dibebaskan dari Hb larut dalam darah, PO2 darah meningkat dan
kembali melebihi PO2 jaringan sekitar. Hal ini mendorong perpindahan lebih lanjut O2 keluar
dari darah, meskipun jumlah total O2 dalam darah telah turun. Hanya ketika Hb tidak lagi dapat
membebaskan O2 ke dalam larutan (ketika Hb telah membebaskan O2 nya semaksimal
mungkin sesuai PO2 di kapiler sistemik) barulah PO2 darah turun hingga serendah PO2 jaringan
sekitar. Pada waktu ini, tidak ada lagi pemindahan O2. Hemoglobin, karena menyimpan O2
dalam jumlah besar yang dapat dibebaskan jika terjadi penurunan kecil PO2 di tingkat kapiler
sistemik, memungkinkan pemindahan O2 dari darah ke sel dalam jumlah yang jauh lebih besar
daripadaseandainya Hb tidak ada.
Karena itu, Hb berperan penting dalam jumlah total O2 yang dapat diangkut oleh darah
di paru dan dibebaskan ke jaringan. Jika kadar Hb turun menjadi separuh normal, seperti pada
pasien dengan anemia berat, kapasitas darah mengangkut O2 turun sebesar 50% meskipun PO2
arteri normal 100 mmHg dengan saturasi Hb 97,5%. Hanya separuh Hb yang tersedia untuk
dijenuhkan oleh O2, yang kembali menekankan betapa pentingnya Hb dalam menentukan
berapa banyak O2 yang dapat diserap di paru dan disediakan ke jaringan. Hemoglobin memiliki
afinitas yang jauh lebih besar terhadap karbon monoksida dari pada terhadap O2. Karbon
monoksida (CO) dan O2 bersaing untuk menempati tempat pengikatan yang sama di Hb, tetapi
afinitas Hb terhadap CO adalah 240 kali lebih besar daripada terhadap O2. Ikatan CO dan Hb
dikenal sebagai karboksihemoglobin (HbCO).
Karena Hb cenderung melekat ke CO, bahkan CO dalam jumlah kecil dapat berikatan dengan
Hb dalam persentase besar, menyebabkan Hb tidak tersedia untuk mengangkut O2. Meskipun
konsentrasi Hb dan PO2 normal, kandungan O2 darah berkurang secara serius. Untungnya, CO
bukan merupakan konstituen normal udara inspirasi.
Sebagian besar CO2 diangkut dalam darah sebagai bikarbonat, Ketika darah arteri
mengalir melalui kapiler jaringan, CO2 berdifusi menuruni gradien tekanan parsialnya dari sel
jaringan ke dalam darah. Karbon dioksida diangkut oleh darah dalam tiga cara :
1. Larut secara fisik. Seperti O2 yang larut, jumlah CO2 yang larut secara fisik dalam darah
bergantung pada PCO2. Karena CO2 lebih larut dibandingkan O2 dalam air plasma, proporsi
CO2 yang larut secara fisik dalam darah lebih besar daripada O2. Meskipun demikian, hanya
10% kandungan CO2 total darah yang terangkut dengan cara ini pada tinkat PCO2 vena
sistemik normal.
2. Terikat ke hemoglobin. Sebanyak 30% CO2 berikatan dengan Hb untuk membentuk
karbamino hemoglobin (HbCO2). Karbon dioksida berikatan dengan bagian globin Hb,
berbeda dari O2, yang berikatan dengan bagian heme. Hb tereduksi memiliki afinitas lebih
besar terhadap CO2 dibandingkan HbO2. Karena itu, dibebaskannya O2 dari Hb di kapiler
jaringan mempermudah penyerapan CO2 oleh Hb.
3. Sebagai bikarbonat. Sejauh ini cara yang paling penting untuk mengangkut CO2 adalah
sebagai bikarbonat (HCO3 -), dengan 60% CO2 diubah menjadi HCO3 - oleh reaksi kimia
berikut :

CO2 berikatan dengan H2O untuk membentuk asam karbonat (H2CO3). Sesuai sifat
asam, sebagian dari molekul asam karbonat secara spontan terurai menjadi ion hidrogen (H+)
dan ion bikarbonat (HCO3-). Karena itu, satu atom karbon dan dua atom oksigen dari molekul
CO2 asli terdapat dalam darah sebagai bagian integral dari HCO3- Hal ini menguntungkan
karena HCO3- lebih larut dalam darah daripada CO2. Reaksi ini dapat terjadi sangat lambat di
plasma, tetapi berlangsung sangat cepat di dalam sel darah merah karena adanya enzim eritrosit
karbonat anhidrase, yang mengatalisis (memepercepat) reaksi. Pada kenyataannya, di bawah
pengaruh karbonat anhidrase, reaksinya berlanjut secara langsung dari CO2 + H2O menjadi H+
+ HCO3, tanpa adanya langkah H2CO3

PERGESERAN KLORIDA, Sewaktu reaksi ini berlangsung, HCO3- dan H+ mulai


menumpuk di dalam sel darah merah di kapiler sistemik. Membran sel darah merah memiliki
karier HCO3- CI- yang secara pasif mempermudah difusi ion-ion ini dalam arah berlawanan
menembus membran. Membran relatif impermeabelterhadap H+. Karena itu, HCO3-, bukan H+,
berdifusi menuruni gradien konsentrasinya keluar eritrosit menuju plasma. Karena HCO3-
adalah ion bermuatan negatif, efluks HCO3- yang tidak disertai oleh difusi keluar ion bermuatan
positif menciptakan gradien listrik. Ion klorida (C1-), anion plasma yang utama, berdifusi ke
dalam sel darah merah menuruni gradien listrik ini untuk memulihkan netralitas listrik.
Pergeseran masuk Cl- sebagai penukar efluks HCO3- yang dihasilkan oleh CO2 ini dikenal
sebagaipergeseran klorida.

Anda mungkin juga menyukai