Anda di halaman 1dari 7

TRANSPORT OKSIGEN DAN KARBONDIOKSIDA DI DALAM DARAH

Transport Oksigen didalam Darah

O2 ditransportasikan di dalam darah baik secara fisis (terlarut di dalam darah) maupun secara
kimiawi (terikat pada hemoglobin di eritrosit). Secara normal, jumlah o2 yang terikat pada
hemoglobin lebih besar dibandingkan O2 yang terlarut di dalam darah. Pada suhu 37 C 1 ml plasma
mengandung 0.00003 mL O2/mmHg PO2. Dengan demikian. darah arteri normal dengan pO2 100
mmHg mengandung hanya 0.003 mL 02/mL darah, atau 0.3 mL 02/100ml darah. Jumlah O2 yang
terlarut di dalam darah ini sangat sedikit dan tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolik tubuh.

Hemoglobin dapat berikatan dengan 02 melalui reaksi:

Hb + 02 H ↔HbO2

Reaksi ini bersifat reversibel, sehingga memungkinkan penglepasan O2 ke jaringan.


kapasitas pengangkutan 02 oleh hemoglobin diperkirakan 1.34 mL 02/g Hb. Dengan kata lain setiap
gram hemoglobin apabila tersaturasi penuh oleh O2 dapat mengikat 1.34 mL 02. Keseimbangan
reaksi hemoglobin dan O2 ini bergantung pada jumlah O2 yang terpapar dengan hemoglobin
didalam dalam darah. Dengan demikian PO2 plasma menunjukkan jumlah O2 yang berikatan dengan
hemoglobin di dalam darah. Salah satu cara untuk menunjukkan proporsi hemoglobin yang
berikatan dengan 02 ialah dengan persentasi saturasi hemoglobin. Saturasi ini diperoleh dengan
perhitungan:

% saturasi Hb = 02 yang berikatan dengan Hb/kapasitas pengikatan O2 o

Jadi, kapasitas pengangkutan O2 tiap-tiap individu bergantung pada jumlah hemoglobin


individu tersebut.

Hubungan antara PO2 plasma dan persentasi saturasi hemoglobin dapat ditunjukkan melalui kurva
disosiasi oksihemoglobin.
Kurva disosiasi oksihemoglobin menggambarkan peningkatan persentasi hemoglobin yang terikat
dengan O2 (tersaturasi) seiring peningkatan PO2 darah (persentasi hemoglobin tersaturasi). Pada
keadaan normal, 50% hemoglobin tersaturasi pada PO2 berkisar 27 mmHg (P50), 75% tersaturasi
pada PO2 berkisar 45 mmHg, 90% tersaturasi pada P02 berkiar 60 mmHg, 95% tersaturasi pada PO2
80 mmHg, dan 97% tersaturasi pada P02 97 mmHg. Dari sini dapat dilihat bahwa hubungan antara
Po2 dan HbO2 tidak linear, namun berbentuk huruf S. Meningkat dengan tajam pada PO2 rendah
dan mendatar pada PO2 di atas 70 mmHg.

Kurva disosiasi oksihemoglobin menggambarkan peningkatan persentasi hemoglobin yang terikat


dengan O2 (tersaturasi) seiring peningkatan PO2 darah (persentasi hemoglobin tersaturasi). Pada
keadaan normal, 50% hemoglobin tersaturasi pada PO2 berkisar 27 mmHg (P50), 75% tersaturasi
pada PO2 berkisar 45 mmHg, 90% tersaturasi pada P02 berkiar 60 mmHg, 95% tersaturasi pada PO2
80 mmHg, dan 97% tersaturasi pada P02 97 mmHg. Dari sini dapat dilihat bahwa hubungan antara
Po2 dan HbO2 tidak linear, namun berbentuk huruf S. Meningkat dengan tajam pada PO2 rendah
dan mendatar pada PO2 di atas 70 mmHg.

Kurva disosiasi oksihemoglobin dipengaruhi oleh beberapa faktor. antara lain suhu, pH, PCO2 dan
2,3-diphosphoglycerate (2.3-DPG). Suhu yang tinggi, pH yang rendah, PCO2 tinggi dan peningkatan
kadar 2,3-DPG dapat menyebabkan pergeseran kurva disosiasi oksihemoglobin ke kanan. Pada
kondisi-kondisi tersebut, untuk PO2 yang sama lebih sedikit 02 yang berikatan dengan hemoglobin.

Kurva disosiasi oksihemoglobin dan faktor-faktor yang memengaruhinya ini penting dalam fisiologi
pengikatan dan penglepasan 02 di jaringan. Saat darah yang berasal dari paru-paru dan kaya akan 02
memasuki jaringan yang aktif secara metabolik, darah tersebut akan terpapar pada lingkungan
dengan suhu lebih tinggi, PCO2 yang lebih tinggi dan pH lebih rendah dibandingkan kondisi di dalam
darah. Pada kondisi tersebut, kurva disosiasi oksihemogIobin akan bergeser ke kanan. menyebabkan
penglepasan 02 dari hemoglobin ke dalam jaringan tubuh. Di sisi Iain, pada saat darah vena kembali
ke paru dan CO2 dikeluarkan dari darah sehingga pH darah naik. afinitas hemoglobin terhadap 02
akan meningkat dan kurva disosiasi oksihemoglobin kembali ke kiri.

Transport Karbondioksida dalam darah

Karbondioksida(CO2) ditransportasikan dalam darah melalui tiga cara, yaitu dalam bentuk fisik
(terurai dalam darah). Secara kimiawi (berikatan dengan asam amino dalam bentuk
karbaminohemoglobin) dan sebagai ion bikarbonat. CO2 lebih mudah larut didalam darah
dibandingkan dengan O2. Sekitar 5-10% dari total CO2 diangkut dalam bentuk terlarut dalam darah.
CO2 juga dapat berikatan dengan kelompok amino terminal protein darah membentuk komponen
karbamino. Reaksi ini terjadi secara cepat dan tidak memerlukan enzim.

Karena protein yang banyak ditemukan di darah ialah komponen globin dari hemoglobin, maka CO2
ditransportasikan dalam ikatan dengan asam amino dari globin, membentuk karbaminohemoglobin.
Deoksihemoglobin dapat mengikat CO2 lebih banyak dibandingkan oksihemoglobin . oleh karena itu
pada saat hemoglobin pada pembuluh darah vena memasuki paru dan berikatan dengan O2,
hemoglobin ini melepas CO2 dari kelompok amino terminalnya. Sekitar 5-10% dari total CO2
ditransportasikan dalam bentuk karbaminohemoglobin. sebanyak 80-90% dari total CO2
ditransportasikan dalam bentuk ion bikarbonat, melalui reaksi berikut :
Anhidrase bikarbonat

CO2+H2O ↔ H2CO3 ↔ H+ + HCO3

Kurva disosiasi CO2 menunjukkan bahwa pada kisaran fisiologik PCO2 normal, kurva berbentuk
hampir seperti garis lurus. Jika kurva ini diplot ke dalam kurva disosiasi oksihemoglobin dengan aksis
yang sama, kurva disosiasi CO2 berbentuk lebih tajam. Dengan kata lain, terjadi perubahan kadar
CO2 yang lebih besar setiap nmmHg perubahan PO2.

Kurva disosiasi CO2 bergeser ke kanan pada kadar oksihemoglobin yang lebih besar dan bergeser ke
kiri pada kadar deoksihemoglobin yang lebih kecil. Hal ini dikenal dengan efek Haldane yang
memungkinkan darah mengangkut CO2 lebih banyak dijaringan yang mengandung
deoksihemoglobin lebih banyak dan melepaskan CO2 di paru-paru yang mengandung
oksihemoglobin lebih sedikit.

Efek Haldane dan Bohr

Efek haldane dan Bohr dapat dijelaskan berdasarkan fakta deoksihemoglobin yang bersifat asam
lemahdibandingkan oksihemoglobin. Oleh karena itu, deoksihemoglobin dapat menerima ion
hidrogen yang dilepaskan oleh asam karbonat, sehingga lebih banyak CO2 yang ditransport dalam
bentuk ion bikarbonat. Sebaliknya, ikatan ion hidrogen dengan asam amino dari hemoglobin akan
menurunkan afinitas hemoglobin terhadap 02, menggeser kurva disosiasi oksihemoglobin ke kanan
akibat penurunan pH dan peningkatan PCO2.

Didalam jaringan tubuh, kadar PO2 rendah dan PCO2 tinggi. CO2 sebagian terurai didalam darah dan
sebagian berdifusi kedalam eritrosit. Disini sebagian akan membentuk komponen karbamino dengan
hemoglobin dan sebagian ditransport dalam bentuk ion bikarbonat. Pada PO2 yang rendah, terdapat
deoksihemoglobin dalam jumlah besar di eritrosit dan deoksihemoglobin ini dapat menerima ion
hidrogen yang dilepaskan dari reaksi disosiasi asam karbonat dan pembentukan komponen
karbaminohemoglobin. Penglepasan ion H+ dari reaksi disosiasi asam karbonat dan pembentukan
komponen karbaminohemglobin ini memfasilitasi penglepasan O2 dari hemoglobin (efek Bohr).

Didalam paru-paru, kadar PO2 tinggi dan PCO2rendah. Bersamaan dengan pengikatan O2 pada
hemoglobin , ion H+ yang sebelumnya terikat pada deoksihemoglobin dilepaskan ion hidrogen ini
kemudian berikatan dengan ion bikarbonat membentuk asam karbonat, lalu dipecah menjadi H2O
dan CO2. Pada saat yang bersamaan, CO2 juga dilepaskan dari komponen karbaminohemoglobin.
CO2 kemudian berdifusi keluar dari sel darah merah dan plasma ke dalam alveoli.

KESEIMBANGAN VENTILASI DAN PERFUSI

Untuk dapat mengantarkan O2 dengan adekuat ke seluruh jaringan tubuh, diperlukan kerjasama
antara sistem pernapasan dan sistem kardiovaskular. Keseimbangan ini diperlukan sejak awal proses
pernapasan, yaitu di tingkat paru. Tidak akan terjadi oksigenasi tanpa asupan O2 dari paru.
Oksigenasi juga tidak akan terjadi tanpa aliran darah (perfusi)ke alveoli. Ketidakseimbangan kedua
faktor ini disebut ventilation/perfusion mismatch.

Dalam keadaan normal besar ventilasi alveolar (VA) adalah 4 L/menit dan besar perfusi kapiler paru
(Q) adalah 5 L/min. Maka, rasio V/Q adalah 0,8. Untu setiap unit paru individual (setiap alveolus dan
kapilernya), rasio V/Q dapat bernilai nol (pada keadaan tidak ada ventilasi atau pada pirau
intrapulmonal) atau tanpa batas (pada keadaan tidak ada perfusi atau pada ruang mati alveolar).
Kisaran normal rasio V/Q adalah 0,3 sampai 3,0. Pada mayoritas area paru, nilainya mendekati 1.0.
Area non dependent cenderung untuk memilki rasio V/Q yang lebih tinggi dibandingkan area baal
dikarenakan laju peningkatan perfusi lebih besar dibandingkan laju peningkatan ventilasi.

V/Q = 0,8

V<<< = <0,8 = SHUNT

V = 0,8 hingga ̴ =n Dead Space

Q<<<

Kontrol Pernapasan

Mekanisme kontrol npernapasan bersifat kompleks. Aktivitas pernafasan merupakan suatu proses
involunter yang bersifat otomatis. Akan tetapi proses ini juga dapat dipengaruhi oleh kontrol
volunter dari korteks serebri. Secara sederhana pengaturan pernafasan pada sistem saraf pusat
terdiri atas dua bagian, yaitu:

 Korteks serebri yang mengatur pernapasan secara involunter


 Batang otak, yang mengatur pernapasan secara involunter

Terdapat beberapa pusat pernapasan di batang otak yang berfungsi mengatur aktivitas respirasi
secara otomatis. Akan tetapi,aktivitas pernapasan spontan secara ritmis yang diatur oleh pusat nafas
ini dapat berubah, dipengaruhi oleh input dari kemoreseptor.

Pusat pernafasan utama berada di Formasio retikularis, di dasar ventrikel ke-4. Pusat pernafasan ini
dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu pusat medula, pusat apneustik dan pusat pneumotaksik. Pusat
pernafasan medula (Medullary respiratory center) terdiri atas kelompok-kelompok saraf inspirasi
(dorsal) yang berpran dalam transmisi sinyal ke otot-otot inspirasi dan inisiasi inspirasi dan kelmp
saraf ekspirasi (ventral) yang berperan dalam inisiasi ekspirasi. Dua pusat pernafasan lainnya adalah
pusat apneustik (yang berfungsi dalam terminasi inspirasi) dan pusat pneumotaksik ( yang berfungsi
dalam modulasi aktivitas pusat apneustik serta sinkronisasi perubahan inspirasi-ekspirasi).

Traktus respiratorius volunter dalam perjalannnya terpisah dari traktus respiratorius involunter.
Traktus Repiratorius volunter berjalan dari korteks serebri ke motor neuron- motor neuron respirasi
medula spinalis melalui traktus kortikospinalis, menyebrangi neuron-neuron respirasi medula.
Traktus respiratorius involunter berjalan dari medula ke motor neuron respirasi medula spinalis,
pada lapisan putih antara bagian lateral dan ventral traktus kortikospinalis.

Kemoreseptor yang mengatur respirasi terdapat di sentral maupun perifer. Pada kondisi normal
kontrol –pernapasan diatur oleh kemoreseptor pusat yang terdapat di medula dan berespon
terhadap konsentrasi ion H+din cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal dengan pH rendah
(bersifat asam) akan memicu hiperventilasi. Sebaliknya cairan serebrospinal pH tinggi (bersifat basa)
akan menginhibisi pusat nafas. pH cairan serebrospinal ini ditentukan oleh kadar CO2 byang
berdifusi secara bebas melewati sawar darah otak. Jika kadar CO2 pada darah meningkat maka
kadar CO2 , ion H+ dan ion bikarbonat di dalam cairan serebrospinal juga meningkat. Penurunan pH
cairan serebrospinal ini kan menyebabkan hiperventilasi untuk menurunkan kadar CO2 di dalam
darah.

Terdapat juga kemoreseptor perifer yang terdapat di badan karotis dan aorta yang berespon
terhadap penurunan kadar O2 dan peningkatan kadar CO2 dalam darah arteri. Badan karotis terletak
di percabangan arteri karotis menjadi arteri karotis interna dan eksterna, sedangkan badan aorta
terletas pada arkus aorta. Informasi dari badan ditransmisikan melalui nervus glossofaringeus,
sedangkan informasi dari badan aorta ditransmisikan melalui nervus vagus ke pusat pernapasan.
Pada individu normal , jika darah arteri yang mencapai badan ksrotis memiliki tekanan parsial O2 10
kPa (80mmHg) atau tekanan parsial CO2 lebih dari 5 kPa (40 mmHg)maka akan terjadi peningkatan
pola nafas. Batas aktivitas kemoreseptor ini dapat berubah karena usia maupun kondisi medis
tertentu seperti PPOK.

Disamping reseptorn diatas , terdapat beberapa reseptor lain di paru-paru yang dapat memengaruhi
kontrol pernapasan. Misalnya reseptor pada dinding bronkus yang berespon terhadap substansi
iritan dan menyebabkan refleks batuk atau bersin, reseptor pada jaringan elastik paru dan dinding
dada yang berespon terhadap regangan dan reseptor pada pembuluh darah di paru-paru. informasi
dari reseptor-reseptor ini ditransmisikan melalui nervus vagus.

serabut saraf eferen dari pusat pernafasan turun melalui saraf spinal ke diafragma, otot-otot
Interkostal dan otot-otot bantu napas lainnya di leher, Diafragma diinervasi oleh nervus frenikus
yang berasal dari C3-C5. Otot-otot interkostal diinervasi oleh nervus interkostal segmental yang
berasal dari serat saraf T1-T2, sedangkan otot-otot bantu napas di leher diinervasi Oleh pleksus
servikalis.

EFEK ANESTESIA PADA SISTEM PERNAFASAN

Anastasia menyebabkan gangguan pada fungsi paru, baik pada pasien yang bernafas Spontan
maupun dengan ventilasi mekanik. Gangguan oksigenasi darah terjadi pada sebagian besar orang
yang menjalani anestesia, oleh karena itu pemberian O2 rutin dilakukan dengan fraksi 02 terjaga
sekitar 0,3 sampai 0,4.

Hipoksemia ringan sampai sedang (saturasi 02 antara 85 sampai 90%) tetap dapat terjadi pada
hampir setengah pasien yang menjalani pembedahan berencana dan menetap mulai dari beberapa
detik sampai 30 menit walaupun sudah dilakukan penambahan FiO2. Sekitar 20% pasien mengalami
hipoksemia berat (saturasi 02 di bawah 81%) lebih dari 5 menit. Fungsi paru tetap dapat terganggu
selama periode pascabedah. Komplikasi serius terjadi dalam 1 sampai 2% pasien setelah
pembedahan minor dan lebih dari 20% setelah pembedahan abdomen atas dan toraks.

Akibat pertama karena pengaruh anestesia ialah hilangnya tonus otot yang menyebabkan
perubahan keseimbangan antara gaya keluar (otot-otot pernafasan) dan gaya ke dalam (jaringan
elastis paru), sehingga FRC akan turun. Peristiwa ini menyebabkan penurunan komplians dan
peningkatan resistensi pernafasan. Penurunan FRC memengaruhi potensi jaringan paru dengan
pembentukan atelektasis (dapat diperburuk juga dengan penggunaan Fio2 tinggi) dan penutupan
jalan nafas. Hal ini mengubah distribusi ventilasi dan kesesuaian (matching) ventilasi dan perfusi
sehingga oksigenasi dan pembuangan CO2 terhalangi.

Pemberian opioid seperti morfin atau fentanyl dapat mendepresi respon pusat napas terhadap
hiperkarbia. Efek ini dapat dinetralisasi dengan pemberian antagonis opioid, yaitu nalokson. Obat
anestetik inhalasi juga dapat mendepresi pusat pernafasan dan menyebabkan perubahan pada
aliran darah di paru, sehingga menyebabkan mismatch ventilasi/perfusi dan penurunan oksigenasi.

Volume Paru

FRC berkurang 0.8 sampai 1 L pada Perubahan posisi dari tegak menjadi berbaring terlentang dan
berkurang 0,4 sampai 0.5 L lagi setelah induksi anestesia. Dengan demikian volum paru di akhir
ekspirasi berkurang menjadi sekitar 3,5 sampai 2 L, hampir sebesar volum residual. Anestesia umum
(inhalasi maupun intravena) menyebabkan penurunan FRC walaupun pasien tetap bernafas spontan.
Pelumpuh otot dan ventilasi mekanik tidak menurunkan FRC lebih lanjut.

Penurunan FRC akibat anestesia diperkirakan hingga sebesar 20%. Penurunan ini disebabkan
hilangnya tonus otot-otot pemafasan. Pada anestesia dengan ketamin yang menjaga tonus otot. FRC
tidak turun. Posisi tubuh juga berpengaruh terhadap penurunan ini. FRC juga dapat turun
disebabkan oleh pergeseran diafragma ke kranial.

Komplians, Resistensi dan Atelektasis

Komplians statis sistem respirasi (paru dan dinding dada) berkurang selama anestesia, dari sekitar 95
menjadi 60 mL/cm H20. Resistensi seluruh sistem respirasi dan paru-paru selama anestesia
meningkat bermakna selama pernafasan spontan dan ventilasi mekanik.

Atelektasis terjadi hampir pada 90% pasien teranestesi, baik bernafas spontan maupun dalam
pengaruh pelumpuh otot, baik dalam anestesia inhalasi ataupun intravena. Dari hasil CT, daerah
atelektasis dekat diafragma adalah sekitar 5-6 % dari luas paru keseluruhan, bahkan dapat juga
melebihi 15-20%. Daerah yang kolaps tersebut biasanya terletak di basal paru. Jumlah daerah yang
atelektasis berkurang menuju apeks. Daerah inilah yang biasanya masih terisi udara.

Beberapa cara digunakan untuk mencegah terjadinya atelektasis selama anestesia, di antaranya
penggunaan PEEP, menjaga tonus otot, manuver rekrutmen paru, meminimalkan penggunaan O2
fraksi tinggi dan pemberian oksigenasi yang baik pascaanestesia.

Selain atelektasis. penutupan jalan nafas secara intermiten dapat terjadi sebagai mekanisme untuk
mengurangi ventilasi pada daerah paru dependen. Daerah paru tersebut dapat mengalami pirau bila
ventilasi tidak mampu mengimbanig perfusi di daerah tersebut. Penutupan jalan nafas meningkat
sesuai dengan usia.

Efek Anestesia pada Dorongan Nafas

Ventilasi spontan berkurang selama aneste :a. Anestesia inhalasi maupun intravena mengurangi
sensitivitas terhadap C02. Semakin dalam anestesia, semakin berkurang ventilasi. Anestesia juga
mengurangi respon terhadap hipoksia. Hal ini diperkirakan merupakan efek nada kemoreseptor
badan karotis.

Efek anestessa terhadap otot-otot pernafasan tidak seragam. Pergerakan tulang rusuk menghilang
pada anestesia dalam. Sehingga dapat disimpulkan tanggapan ventilasi terhadap CO2 berkurang
selama anestesia akibat gangguan fungsi otot-otot Interkostalls.

PENUTUP

Fungsi utama pernafasan ialah menyediakan 02 bagi tubuh dan mengeluarkan C02 dan tubuh. Agar
fungsi ini dapat berjalan adekuat ketiga bagian utama fungsi sistem respirasl harus berjalan
berkesinambungan. Fungsi ventilasi. difusi dan perfusi sama pentingnya dalam pernafasan. Setiap
masalah dengan oksigenasi sebaiknya ditatalaksana dengan meninjau kembali ketiga fungsi tersebut.

Anestesia umum mengganggu sistem pernafasan bahkan dalam kondisi yang tidak terlihat secara
klinis. Gangguan komplians. ventilasi perfusi, atelektasis merupakan ancaman yang serius dan
berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap sistem respirasi pascabedah.

Anda mungkin juga menyukai