Anda di halaman 1dari 32

MODUL I

KESADARAN MENURUN

SKENARIO 1
Perempuan 30 tahun masuk ke UGD RS dengan kesadaran menurun.
Setelah diletakkan di tempat tidur dan diperiksa, penderita memberi respon buka
mata dengan rangsang nyeri dan tetap mendengkur dengan irama napas 40 kali
permenit. Nampak wajah kelihatan pucat, hidung dan telinga mengeluarkan darah.
Ditemukan jejas pada daerah pelipis kiri dan tungkai bawah kanan Nampak
deformitas.
KATA SULIT : Tidak ditemukan kata sulit.

KATA-KATA KUNCI
1. perempuan, 30 tahun.
2. Masuk UGD RS dengan kesadaran menurun
3. Setelah diperiksa Penderita memberi buka mata dengan rangsang nyeri
4. mendengkur
5. irama napas 40 x/menit = tachypnea
6. pucat
7. Hidung dan telinga mengeluarkan darah
8. jejas pada pelipis kiri, tungkai kanan Nampak deformitas

PERTANYAAN
1. Sebutkan etiologi penurunan kesadaran berdasarkan scenario ?
2. Jelaskan patomekanisme penurunan kesadaran berdasarkan skenario?
3. Bagaimana penanganan awal yang diberikan berdasarakan skenario ?
4. Jelaskan tindakan lanjutan yang akan diberikan berdasarkan skenario ?
5. Jelaskan komplikasi yang dapat terjadi berdasarkan skenario ?
6. Bagaimana tindakan khusus yang akan diberikan berdasarkan skenario ?
7. Sebutkan syarat untuk dilakukan rujukan berdasarkan skenario ?
JAWABAN :
1. Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan
kemungkinan penyebab penurunan kesadaran dengan istilah
SEMENITE yaitu :1,2
S : Sirkulasi
Meliputi stroke dan penyakit jantung, Syok (shock) adalah kondisi
medis tubuh yang mengancam jiwa yang diakibatkan oleh kegagalan
sistem sirkulasi darah dalam mempertahankan suplai darah yang memadai.
Berkurangnya suplai darah mengakibatkan berkurangnya suplai oksigen
ke jaringan tubuh. Jika tidak teratasi maka dapat menyebabkan kegagalan
fungsi organ penting yang dapat mengakibatkan kematian. Kegagalan
sistem sirkulasi dapat disebabkan oleh Kegagalan jantung memompa
darah, terjadi pada serangan jantung. Berkurangnya cairan tubuh yang
diedarkan. Tipe ini terjadi pada perdarahan besar maupun perdarahan
dalam, hilangnya cairan tubuh akibat diare berat, muntah maupun luka
bakar yang luas. Shock bisa disebabkan oleh bermacam-macam masalah
medis dan luka-luka traumatic, tetapi dengan perkecualian cardiac
tamponade dan pneumothorax, akibat dari shock yang paling umum yang
terjadi pada jam pertama setelah luka-luka tersebut adalah haemorrhage
(pendarahan). Shock didefinasikan sebagai cellular hypoperfusion dan
menunjukan adanya ketidakmampuan untuk memelihara keseimbangan
antara pengadaan cellular oxygen dan tuntutan oxygen. Progress Shock
mulai dari tahap luka hingga kematian cell, kegagalan organ, dan pada
akhirnya jika tidak diperbaiki, akan mengakibatkan kematian organ tubuh.
Adanya peredaran yang tidak cukup bisa cepat diketahui dengan
memasang alat penerima chemosensitive dan pressure-sensitive pada
carotid artery. Hal ini, pada gilirannya dapat mengaktivasi mekanisme
yang membantu mengimbangi akibat dari efek negative, termasuk
pelepasan catecholamines (norepinephrine dan epinephrine) dikarenakan
oleh hilangnya syaraf sympathetic ganglionic; tachycardia, tekanan nadi
yang menyempit dan hasil batasan disekeliling pembuluh darah (peripheral
vascular) dengan mendistribusi ulang aliran darah pada daerah sekitar
cutaneous, splanchnic dan muscular beds. Dengan demikian, tanda-tanda
awal dari shock tidak kentara dan mungkin yang tertunda hanyalah
pemasukkan dari pengisian kapiler, tachycardia yang relatip dan
kegelisahan.
E : Ensefalitis
Dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik / sepsis
yang mungkin melatarbelakanginya atau muncul secara bersamaan.
M : Metabolik
Misalnya hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, koma
hepatikum. Etiologi hipoglikemia pada DM yaitu hipoglikemia pada DM
stadium dini, hipoglikemia dalm rangka pengobatan DM yang berupa
penggunaan insulin, penggunaan sulfonil urea, bayi yang lahir dari ibu
pasien DM, dan penyebab lainnya adalah hipoglikemia yang tidak
berkaitan dengan DM berupa hiperinsulinisme alimenter pos gastrektomi,
insulinoma, penyakit hati yang berat, tumor ekstrapankreatik,
hipopitiutarism
Gejala-gejala yang timbul akibat hipoglikemia terdiri atas 2 fase.
Fase 1 yaitu gejala-gejala yang timbul akibat aktivasi pusat autonom di
hipotalamus sehingga dilepaskannya hormon efinefrin. Gejalanya berupa
palpitasi, keluar banyak keringat, tremor, ketakutan, rasa lapar dan mual.
gejala ini timbul bila kadar glukosa darah turun sampai 50% mg.
Sedangkan Fase 2 yaitu gejala-gejala yang terjadi akibat mulai terjadinya
gangguan fungsi otak , karena itu dinamakan juga gejala neurologi.
Gejalanya berupa pusing, pandang kabur, ketajam mental menurun,
hilangnya keterampilan motorik halus, penurunan kesadaran, kejang-
kejang dan koma.gejala neurologi biasanya muncul jika kadar glukosa
darah turun mendekati 20% mg. Pada pasien ini menurut gejalanya telah
memasuki fase 2 karena telah terjadi gangguan neurologik berupa
penurunan kesadaran, pusing, dan penurunan kadar glukosa plasma
mendekati 20 mg%.dan menurut stadiumnya pasien telah mengalami
stadium gangguan otak karena terdapat gangguan kesadaran. Pada pasien
DM yang mendapat insulin atau sulfonilurea diagnosis hipoglikemia dapat
ditegakan bila didapatkan gejala-gejala tersebut diatas. Keadaan tersebut
dapat dikonfirmasikan dengan pemeriksaan glukosa darah. Bila gejalanya
meragukan sebaiknya ambil dulu darahnya untuk pemeriksaan glukosa
darah. Bila dengan pemberian suntik bolus dekstrosa pasien yang semula
tidak sadar kemudian menjadi sadar maka dapat dipastiakan koma
hipogikemia.sebagai dasar diagnosis dapat digunakan trias whipple, yaitu
gejala yang konsisten dengan hipoglikemia, kadar glukosa plasma rendah,
gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat
Prognosis dari hipoglikemia jarang hingga menyebabkan kematian.
Kematian dapat terjadi karena keterlambatan mendapatkan pengobatan,
terlalu lama dalam keadaan koma sehingga terjadi kerusakan jaringan
otak.
E : Elektrolit
Misalnya diare dan muntah yang berlebihan. Diare akut karena
infeksi dapat disertai muntah-muntah, demam, tenesmus, hematoschezia,
nyeri perut dan atau kejang perut. Akibat paling fatal dari diare yang
berlangsung lama tanpa rehidrasi yang adekuat adalah kematian akibat
dehidrasi yang menimbulkan renjatan hipovolemik atau gangguan
biokimiawi berupa asidosis metabolik yang berlanjut. Seseoran yang
kekurangan cairan akan merasa haus, berat badan berkurang, mata cekung,
lidah kering, tulang pipi tampak lebih menonjol, turgor kulit menurun serta
suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan oleh deplesi air
yang isotonik. Karena kehilangan bikarbonat (HCO3) maka
perbandingannya dengan asam karbonat berkurang mengakibatkan
penurunan pH darah yang merangsang pusat pernapasan sehingga
frekuensi pernapasan meningkat dan lebih dalam (pernapasan Kussmaul).
Gangguan kardiovaskuler pada tahap hipovolemik yang berat dapat
berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi cepat (> 120 x/menit),
tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka
pucat, akral dingin dan kadang-kadang sianosis. Karena kekurangan
kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung. Penurunan
tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun sampai timbul
oliguria/anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatsi akan timbul penyulit
nekrosis tubulus ginjal akut yang berarti suatu keadaan gagal ginjal akut.
N : Neoplasma
Tumor otak baik primer maupun metastasis, Muntah : gejala
muntah terdapat pada 30% kasus dan umumnya meyertai nyeri kepala.
Lebih sering dijumpai pada tumor di fossa posterior, umumnya muntah
bersifat proyektil dan tak disertai dengan mual. Kejang : bangkitan kejang
dapat merupakan gejala awal dari tumor otak pada 25% kasus, dan lebih
dari 35% kasus pada stadium lanjut. Diperkirakan 2% penyebab bangkitan
kejang adalah tumor otak. Bangkitan kejang ditemui pada 70% tumor otak
di korteks, 50% pasien dengan astrositoma, 40% pada pasien meningioma,
dan 25% pada glioblastoma. Gejala Tekanan Tinggi Intrakranial (TTIK) :
berupa keluhan nyeri kepala di daerah frontal dan oksipital yang timbul
pada pagi hari dan malam hari, muntah proyektil dan penurunan
kesadaran. Pada pemeriksaan diketemukan papil udem.
I : Intoksikasi
Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks
secara menyeluruhmisalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula
disebabkan oleh gangguan ARAS di batangotak, terhadap formasio
retikularis di thalamus, hipotalamus maupun mesensefalon Pada
penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni gangguan
derajat(kuantitas, arousal wake f ulness) kesadaran dan gangguan isi
(kualitas, awareness alertness kesadaran). Adanya lesi yang dapat
mengganggu interaksi ARAS dengan korteks serebri, apakahlesi
supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan
menurunnya kesadaran.
Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan kimia dapat
menyebabkan penurunan kesadaran, Menentukan kelainan neurologi perlu
untuk evaluasi dan manajemen penderita. Pada penderita dengan
penurunan kesadaran, dapat ditentukan apakah akibatkelainan struktur,
toksik atau metabolik. Pada koma akibat gangguan struktur mempengaruhi
fungsi ARAS langsung atau tidak langsung. ARAS merupakan
kumpulanneuron polisinaptik yang terletak pada pusat medulla, pons dan
mesensefalon, sedangkan penurunan kesadaran karena kelainan metabolik
terjadi karena memengaruhi energi neuronal atau terputusnya aktivitas
membran neuronal atau multifaktor. Diagnosis banding dapat ditentukan
melalui pemeriksaan pernafasan, pergerakan spontan, evaluasisaraf kranial
dan respons motorik terhadap stimuli.
T : Trauma
Terutama trauma kapitis : komusio, kontusio, perdarahan epidural,
perdarahan subdural, dapat pula trauma abdomen dan dada. Cedera pada
dada dapat mengurangi oksigenasi dan ventilasi walaupun terdapat airway
yang paten. Dada pasien harus dalam keadaan terbuka sama sekali untuk
memastikan ada ventilasi cukup dan simetrik. Batang tenggorok (trachea)
harus diperiksa dengan melakukan rabaan untuk mengetahui adanya
perbedaan dan jika terdapat emphysema dibawah kulit. Lima kondisi yang
mengancam jiwa secara sistematik harus diidentifikasi atau ditiadakan
(masing-masing akan didiskusikan secara rinci di Unit 6 - Trauma) adalah
tensi pneumothorax, pneumothorax terbuka, massive haemothorax, flail
segment dan cardiac tamponade.
Tensi pneumothorax diturunkan dengan memasukkan suatu kateter
dengan ukuran 14 untuk mengetahui cairan atau obat yang dimasukkan
kedalam urat darah halus melalui jarum melalui ruang kedua yang berada
diantara tulang iga pada baris mid-clavicular dibagian yang terkena
pengaruh. Jarum pengurang tekanan udara dan/atau menutupi luka yang
terhisap dapat memberi stabilisasi terhadap pasien untuk sementara waktu
hingga memungkinkan untuk melakukan intervensi yang lebih pasti.
Jumlah resusitasi diperlukan untuk suatu jumlah haemothorax yang lebih
besar, tetapi kemungkinannya lebih tepat jika intervensi bedah dilakukan
lebih awal, jika hal tersebut sekunder terhadap penetrating trauma (lihat
dibawah). Jika personalia dibatasi melakukan chest tube thoracostomy
dapat ditunda, tetapi jika pemasukkan tidak menyebabkan penundaan
transportasi ke perawatan yang definitif, lebih disarankan agar hal tersebut
diselesaikan sebelum metransportasi pasien.
E : Epilepsi
Pasca serangan Grand Mall atau pada status epileptikus dapat
menyebabkan penurunan kesadaran
2. Hubungan jejas dengan kehilangan kesadaran :3,4
Pelipis kanan :
Trauma Arteri meningeal media Perdarahan Epidural
peningkatan TIK penurunan kesadaran
Efek jejas yang mungkin terjadi pada kepala :
a. Epidural Hematoma
b. Subdural Hematoma
c. Subarachnoid hemorages
d. Intracerebral Hemorages

Gangguan kesadaran dapat dibagi dua :


1.Gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran.
2.Gangguan isi (kualitas, awareness, alertness) kesadaran.
Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri
termasuk ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas), dengan ascending reticular
activating system (ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan bagian
atas pons. ARAS menerima serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris
dan melalui thalamic relay nuclei dipancarkan secara difus ke kedua korteks
serebri. ARAS bertindak sebagai suatu off-on switch, untuk menjaga korteks
serebri tetap sadar (awake). Maka apapun yang dapat mengganggu interaksi ini,
apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan
menurunnya kesadaran.
Karena ARAS terletak sebagian di atas tentorium serebeli dan sebagian lagi di
bawahnya, maka ada tiga mekanisme patofisiologi timbulnya koma :
1. Lesi supratentorial,
2. Lesi subtentorial,
3. Proses metabolik.
Koma supratentorial :
Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri, sedang
batang otak tetap normal. Ini disebabkan proses metabolik.
Lesi struktural supratentorial (hemisfer). Adanya massa yang mengambil
tempat di dalam cranium (hemisfer serebri) beserta edema sekitarnya
misalnya tumor otak, abses dan hematom mengakibatkan dorongan dan
pergeseran struktur di sekitarnya; terjadilah :

1. Herniasi girus cinguli,


2. Herniasi transtentorial sentral,
3. Herniasi unkus.
1. Herniasi girus singuli
Herniasi girus singuli di bawah falx serebri ke arah kontralateral
menyebabkan tekanan pada pembuluh darah serta jaringan otak, mengakibatkan
iskemi dan edema.
2.Herniasi transtentorial/sentral
Hemiasi transtentorial atau sentral adalah basil akhir dari proses desak
ruang rostrokaudal dari kedua hemisfer serebri dan nukli basalis; secara berurutan
mereka menekan diensefalon, mesensefalon, pons dan medula oblongata melalui
celah tentorium.
3. Herniasi unkus atau tentorial herniation
Hemiasi unkus terjadi bila lesi menempati sisi lateral fossa kranii media
atau lobus temporalis; lobus temporalis mendesak unkus dan girus hipokampus ke
arah garis tengah dan ke atas tepi bebas tentorium; akhirnya menekan n.Ifi.di
mesensefalon ipsilateral, kemudian bagian lateral mesensefalon dan seluruh
mesensefalon.
Koma Infratentorial
Ada dua macam lesi infratentorial yang menyebabkan koma.
1) Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau/serta merusak
pembuluh darah yang mendarahinya dengan akibat iskemi, perdarahan dan
nekrosis. Misalnya pada stroke, tumor, cedera kepala dan sebagainya.
2) Proses di luar batang otak yang menekan ARAS.
a. Langsung menekan pons.
b. Hemiasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melalui celah
tentorium dan menekan tegmentum mesensefalon.
c. Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnum dan
menekan medula oblongata. Dapat disebabkan oleh tumor serebelum,
perdarahan serebelum dan sebagainya.
Koma Metabolik
Proses metabolik melibatkan batang otak dan kedua hemisfer serebri.
Koma disebabkan kegagalan difus dari metabolisme sel saraf.
1) Ensefalopati metabolik primer.
Penyakit degenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya
metabolisme sel saraf dan glia. Misalnya penyakit Alzheimer.
- Ensefalopati metabolik sekunder.
Koma terjadi bila penyakit ekstraserebral melibatkan metabolisme otak,
yang mengakibatkan kekurangan nutrisi, gangguan keseimbangan elektrolit
ataupun keracunan. Pada koma metabolik ini biasanya ditandai gangguan
sistem motorik simetris dan tetap utuhnya refleks pupil (kecuali pasien
mempergunakan atau atropin), juga utuhnya gerakan-gerakan ekstraokuler
(kecuali pasien mempergunakan barbiturate.

3. Primary Survey5,6
1. Airway
A. Pemeriksaan
Pembebasan Jalan Napas
Apakah korban sadar ? ( Cek kesadaran )
a. Periksa kesadaran korban dengan menepuk bahu dan memanggil
dengan suara keras. siapa namanya ? . coba buka mata !
b. Panggil bantuan dari orang sekitar, meminta mereka untuk ikut menolong
dan telepon 118 atau rumah sakit terdekat. Minta bantuan medic /
ambulans. Sebut lokasi kejadian dengan jelas.
c. Jika korban telungkup, balikkan pelan pelan agar terlentang. Korban
harus ditolong dalam posisi terlentang di atas alas keras.

d. Bebaskan jalan nafas dari sumbatan pangkal lidah dengan satu tangan di
dahi korban. Doronglah dahi kebelakang agar kepala menengadah dan
mulut sedikit terbuka ( head tilt ).

e. Bebaskan jalan napas dari sumbatan pangkal lidah. Dengan satu tangan
didahi korban. Doronglah dahi kebelakang agar kepala menengadah dan
mulut sedikit terbuka ( head tilit ). Pertolongan dapat ditambah dengan
mengangkat dagu ( chin lift ).
Pada orang yang tidak sadar, posisi kepala cenderung flexi.
Akibat flexi ini, menyebabkan terjadinya sumbatan akibat pangkal
lidah jatuh ke belakang.
Posisi kepala flexi, jalan nafas buntu, Jalan nafas bebas karena kepala
diposisikan eksensi dengan head tilit dan chin lift.

Tindakan lain untuk membebaskan jalan napas bila dengan head tilt
dan chin lift, jalan nafas tetap obstruksi adalah : dengan kedua tangan
kita di dagu korban diangkat sehingga deretan gigi rahang bawah
berada didepan deretan gigi rahang atas.

Jaw thrust

Bebaskan jalan nafas dari sumbatan benda asing.


Buka mulut korban bersihkan benda asing yang ada didalam mulut
korban dengan mengorek dan menyapukan dua jari penolong yang
telah dibungkus degan secrik kain.
Finger sweep maneuver administered to an unconscious victim of
foreign body airway obstruction.

B. Permasalahan
1. Jika pasien sadar, dia mampu berbicara dengan jelas tanpa suara
tambahan. Ini berarti laringnya mampu dilewati udara yang artinya
airway is clear.
2. Terdapat pengecualian untuk pasien luka bakar. Kalau kita temukan
jejas kehitaman pada lubang hidung pasien atau lendir kehitaman
yang keluar dari hidung pasien itu mungkin disebabkan sudah
terjadinya inflamasi pada saluran pernapasan akibat inhalasi udara
bersuhu tinggi. Pasien tidak langsung menunjukan gejala obstruksi
saluran nafas segera.
3. Terjadi obstruksi total maka akan timbul apnea biasa nya
disebabkan obstruksi akibat benda asing
4. -Kalau terjadi obstruksi parsial maka pasien akan menunjukan tanda
bunyi nafas tambahan. Beberapa bunyi nafas itu antara lain:
Gurgling (kumur-kumur), Stridor (crowing), dan Snoring
(mengorok).

C. Penanganan
C-spine kontrol mutlak harus dilakukan terutama pada pasien
yang mengalami trauma basis cranii. Ciri nya adalah keluar darah atau
cairan (LCS) bercampur darah dari hidung atau telinga. C-spine
kontrol dilakukan dengan indikasi:
1. Multiple trauma
2. Terdapat jejas di daerah serviks ke atas
3. Penurunan kesadaran
2. Breathing
A. Pemeriksaan
a) Periksa apakah korban bernafas ( Look, listen, and feel)
b) Dekatkan pipi penolong ke mulut dan hidung korban, mata
penolong lihat ke arah dada.

LIHAT, DENGAR, RASAKAN !!

B. Permasalahan
Lihat keadaan torak pasien, ada atau tidak cyanosis, dan kalau
pasien sadar maka pasien mampu berbicara dalam satu kalimat panjang.
Keadaan dada pasien yang menggembung apalagi tidak simetris
mungkin disebabkan pneuomotorak atau pleurahemorage. Untuk
membedakannya dilakukan perkusi di daerah paru. Suara paru yang
hipersonor disebabkan oleh pneumotorak sementara pada
pleurahemorage suara paru menjadi redup.

C. Penanganan
Hal yang dapat dilakukan antara lain RESUSITASI PARU,
bisa dilakukan melalui.
1. Mouth-to mouth/Mouth-to-nose

2. Mouth to mask

3. Bag- to mask (Ambu bag).

Jika terdapat ventilator maka oksigen dapat diberikan melalui:


1. Kanul. Pemberian Oksigen melaui kanul hanya mampu memberikan
oksigen 24-44 %. Sementara saturasi oksigen bebas sebesar 21 %.
2. Face mask/ rebreathing mask. Saturasi oksigen melalui face mask
hanya sebesar 35-60%.
3. Non-rebreathing mask. Pemberian oksigen melalui non-rebreathing
mask ini lah pilihan utama pada pasien cyanosis. Konsentrasi
oksigen yang diantarkannya sebesar 80-90%. Perbedaan antara
rebreathing mask dan non-rebreathing mask terletak pada adanya
valve yang mencegah udara ekspirasa terinhalasi kembali.
Frekuensi pemberian nafas buatan:
Dewasa : 10 - 12 x pernafasan / menit, masing-masing 1,5 -
2 detik
Anak (1-8th) : 20 x pernafasan / menit, masing-masing 1 - 1,5
detik
Bayi (0-1th) : lebih dari 20 x pernafasan / menit, masing-masing
1 - 1,5 detik
Bayi baru lahir : 40 x pernafasan / menit, masing-masing 1 - 1,5
detik
Bahaya bagi penolong yang melakukan bantuan pernafasan dari
mulut ke mulut: Penyebaran penyakit, Kontaminasi bahan kimia, dan
Muntahan penderita. Saat memberikan bantuan pernafasan petunjuk
yang dipakai untuk menentukan cukup tidaknya udara yang
dimasukkan adalah gerakan naiknya dada. Jangan sampai memberikan
udara yang berlebihan karena dapat mengakibatkan udara juga masuk
dalam lambung sehingga menyebabkan muntah dan mungkin akan
menimbulkan kerusakan pada paru-paru.
Alat Bantu Pernafasan
a. Tindakan Pemasangan ETT (Endo Tracheal Tube)/ Intubasi

Pengertian
Pemasangan Endotracheal Tube (ETT) atau Intubasi adalah
memasukkan pipa jalan nafas buatan kedalam trachea melalui
mulut. Tindakan Intubasi baru dapat di lakukan bila : cara lain
untuk membebaskan jalan nafas (airway) gagal, perlu memberikan
nafas buatan dalam jangka panjang, ada resiko besar terjadi
aspirasi ke paru.
Tujuan
1. Membebaskan jalan nafas
2. Untuk pemberian pernafasan mekanis (dengan ventilator).
c). Persiapan Tindakan

1. Posisi pasien terlentang dengan kepala ekstensi (bila


dimungkinkan pasien di tidurkan dengan obat pelumpuh otot
yang sesuai )
2. Petugas mencuci tangan
3. Petugas memakai masker dan sarung tangan
4. Melakukan suction
5. Melakukan intubasi dan menyiapkan mesin pernafasan
(Ventilator)
1.1 buka blade pegang tangkai laryngoskop dengan
tenang
1.2 buka mulut pasien
1.3 masukan blade pelan-pelan menyusuri dasar lidah-
ujung blade sudah sampai di pangkal lidah- geser lidah
pelan-pelan ke arah kiri
b. Tindakan Pemasangan Oropharyngeal Tube
1. Prosedur ini digunakan untuk ventilasi sementara pada penderita
yang tidak sadar sementara intubasi penderita sedang
dipersiapkan.
2. Pilih airway yang cocok ukurannya. Ukuran yang cocok sesuai
dengan jarak dari sudut mulut penderita sampai kanalis auditivus
eksterna.
3. Buka mulut penderita dengan manuver chin lift atau teknik cross-
finger (scissors technique).
4. Sisipkan spatula lidah diatas lidah penderita, cukup jauh untuk
menekan lidah, hati-hati jangan merangsang penderita sampai
muntah.
5. Masukkan airway ke posterior, dengan lembut diluncurkan diatas
lengkungan lidah sampai sayap penahan berhenti pada bibir
penderita. Airway tidak boleh mendorong lidah sehingga
menyumbat airway.
6. Tarik spatula lidah.
7. Ventilasi penderita dengan alat bag-valve-mask.
c. Tindakan Pemasangan Nasopharyngeal Tube

Prosedur ini digunakan apabila penderita terangsang untuk


muntah pada penggunaan airway orofaringeal.
Lubang hidung dinilai untuk melihat adanya penyumbatan (seperti
polip, fraktur, perdarahan).
Pilih airway yang ukurannya cocok.
Lumasi airway nasofaringeal dengan pelumas yang dapat larut
dalam air atau dengan air.
Masukkan ujung airway kedalam lubang hidung dan arahkan ke
posterior dan menuju ke arah telinga.
Dengan hati-hati masukkan airway orofaringeal menuju
hipofaring dengan sedikit gerakan memutar, sampai sayap
penahan berhenti pada lubang hidung.
Ventilasi penderita dengan alat bag-valve-mask.
3. Circulation
Pemeriksaan
Menentukan denyut nadi leher

Permasalahan
Pertama kali yang harus diperhatikan adalah kemungkinan
pasien mengalami shock. Nilai sirkulasi pasien dengan melihat tanda-
tanda perfusi darah yang turun seperti keadaan pucat, akral dingin,
nadi lemah atau tidak teraba. Shock yang tersering dialami pasien
trauma adalah shock hemoragik. Luka pasien trauma yang sering
menimbulkan keadaan shock antara lain luka pada abdomen, pelvis,
tulang panjang, serta perdarahan torak yang massive. Kalau terjadi
henti jantung maka lakukan massasse jantung.

Penanganan
Menentukan lokasi pijat jantung. Titik tumpu pijat jantung adalah di
tengah tengah sternum. Tumit 1 tangan diletakkan di atas sternum,
kemudian tangan satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada
di titik pijat jantung ( di-tengah-sternum)
Jari-jari kedua tangan dirapatkan dan diangkat pada waktu dilakukan
tiupan nafas, agar tidak menekan dada.
CPR (pijat jantung)

Penolong mengambil posisi tegak lurus di atas dada korban dengan


siku lengan lurus. Menekan tulang sedalam kira-kira 4-5 cm. Setiap
melepas 1 pijatan, tangan jangan masih menekan dada korban.

Cara lain : CPR + TIUPAN NAFAS

Total = 30x piatan,yang disela dengan 2x tiupan nafas. Lakukan 30


kali pijat jantung dengan diselingi 2 kali nafas buatan ini berulang
selama 2 menit. Setelah 2 menit ( 7 8 siklus )raba nadi leher. Bila
masih belum teraba denyut nadi leher, lanjutkan 30 X pijat jantung dan
2 X nafas buatan. Lakukan tindakan ini terus sampai datang bantuan
atau ambulans.
Cara memberi nafas buatan :
a. Pertahankan posisi tetap tengadah
b. Jepit hidung dengan tangan
c. Yang mempertahankan kepala tetap tengadah
d. Buka mulut penolong lebar lebar sambil menarik nafas panjang
e. Tempelkan mulut penolong di atas mulut korban dengan rapat
f. Hembuskan udara lembut korban sampai terlihat dada terangkat atau
bergerak naik
g. Lepaskan mulut penolong, biarkan udara keluar dari mulut korban,
h. dada korban tampak bergerak turun
i. Berikan hembusan nafas kedua dengan cara yang sama.

Penatalaksanaan secara umum :


1. Korban tidak sadar ( call for help )
2. Bebaskan jalan nafas
3. Jalan nafas bebas tidak bernafas : raba nadi carotis
4. Nadi tidak teraba : beri pijatan jantung dan nafas buatan 30
pijat + 2 nafas
5. Pasang monitor EKG
ALGORITMA INITIAL ASESSMENT7
1. Primary Survey
Airway
1) Perhatikan patensi airway
2) Dengar suara napas
3) Mengobservasi retraksi otot otot intercostal dan supraclavicular
4) Inspeksi orofaring secepat dan menyeluruh, lakukan chn lift dan
jau thrust, hilangkan benda yang menghalangi jalan napas
5) Re-posisi kepala, pasang collarneck
6) Lakukan cricothyroidotomy atau traheostomy atau intubasi ( oral /
nasal )
Breathing
1) Periksa frekuensi napas
2) Perhatikan gerakan respirasi
3) Palpaso thorax
4) Auskultasi dan dengarkan bunyi napas
5) Lakukan bantuan ventilasi bila perlu
6) Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension
pneumothorax
Circulation
a. Periksa frekuensi denyut jantung dan denyut nadi
b. Periksa tekanan darah
c. Pemeriksaan pulse oxymetri
d. Periksa vena leher dan warna kulit ( adanya sianosis )
e. Resusitasi cairan dengan memasang 2 IV lines
f. Torakotomi emergency bila diperlukan
g. Operasi eksplorasi vasckular emergency

Lakukan tube thoracostomy / WDS ( water sealed drainage,


merupakan tatalaksana definitif tension pneumothorax ),
( continuous suction )
WSD sebagai alat diagnostik, terapik, dan follow up,
mengevakuasi darah atau udara sehingga pengembangan paru
maksimal lalu lakukan monitoring
Penyulit ialah perdarahan dan infeksi atau super infeksi
Disability
1) Nilai GCS dan reaksi pupil
2) Tentukan tingkat kesadaran ketika sambil lakukan ABC
3) Rujuk ke rumah sakit terdekat dengan peralaan medis sesuai
kebutuhan atau yang mempunyai fasilitas bedah saat kondisi pasien
sudah distabilkan.
4) monitoring tanda vital dan pulse oksimetri
5) Bantuan kardiorespirasi bila perlu
6) Pemberian darah bila perlu
7) Pemberian obat sesuai instruksi dokter ( analgesik jangan diberikan
karena bisa membiasakan symptom
8) Dokumentasi selama perjalanan
4. penanganan lanjutan ( secondary survey ) :5
Secondary survey baru dilakukan setelah primary survey selesai, resusitasi
dilakukan dan ABC-nya penderita dipastikan membaik. Survey sekunder adalah
pemeriksaan kepala sampai kaki ( head to toe examination ), termasuk re-evaluasi
pemeriksaan tanda vital. Peluang untuk membuat kesalahan dalam penilaian
penderita yang tidak sadar atau gawat cukup besar, sehingga diperlukan
pemeriksaan teliti yang menyeluruh. Pada survey sekunder ini dilakukan
pemeriksaan neurologis lengkap, termasuk mencatat skor GCS bila belum
dilakukan dalam survey primer. Pada secondary survey ini juga dikerjakan foto
rontgen yang diperlukan. Prosedur khusus seperti lavase peritoneal, evaluasi
radiologis dan pemeriksaan laboratorium juga dikerjakan pada kesempatan ini.
Evaluasi lengkap dari penderita memerlukan pemeriksaan fisik berulang.
Anamnesis

Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis


mengenai riwayat perlukaan. Seringkali data seperti ini tidak bisa didapat
dari penderita sendiri, dan harus didapat dari petugas lapangan atau
keluarga.
Riwayat AMPLE patut diingat :
A : alergi
M : medikasi ( obat yang diminum saat ini )
P : past illness ( penyakit penyerta ) / pregnancy
L : last meal
E : event / environment ( lingkungan ) yang berhubungan dengan
kejadian perlukaan.
Mekanisme perlukaan sangat menentukan keadaan penderita. Petugas
lapangan seharusnya melaporkan mekanisme perlukan. Jenis perlukaan
dapat diramalkan dari mekanisme kejadian perlukaan itu.
Pemeriksaan fisik
a) Kepala

Survey sekunder mulai dengan evaluasi kepala. Seluruh kulit kepala


dan kepala harus diperiksa akan adanya luka, kontusio atau fraktur.
Karena kemungkinan bengkaknya mata yang akan mempersulit
pemerikaan yang teliti, mata harus diperiksa akan adanya :
Ketajaman visus
Ukuran pupil
Perdarahan konjungtiva dan fundus
Luka tembus pada mata
Lensa kontak
Dislocation lentis
Jepitan otot bola mata

Ketajaman visus dapat diperiksa dengan membaca gambar snellen,


membaca huruf pada botol infuse atau bungkus perban.
Gerakan bola mata harus diperiksa karena kemungkinan terjepitnya otot
mata oleh fraktur orbital.
b) Maksilo fasial
Trauma maksilofasial dapat mengganggu airway atau perdarahan
yang hebat, yang harus ditangani saat survey primer. Trauma
maksilofasial tanpa gangguan airway atau perdarahan hebat, baru
dikerjakan setelah penderita stabil sepenuhnya dan pengelolaan
definitive dapat dilakukan dengan aman.
Penderita dengan fraktur tulang wajah mungkin juga ada fraktur
pada lamina cribrosa. Dalam hal ini, pemakaian kateter lambung harus
melalui jalan oral.
c) Vertebra servicalis dan leher
Penderita dengan trauma kapitis atau maksilofasial dianggap ada
fraktur servikal atau kerusakan ligamentous servikal. Pada leher
kemudian dilakukan imobilisasi sampai vertebra servikal diperiksa
dengan teliti. Tidak adanya kelainan neurologis tidak menyingkirkan
kemngkinan fraktur servikal dan tidak adanya fraktur servikal hanya
ditegakkan setelah ada foto servikal dan foto ini telah diperiksa dokter
yang berpengalaman. Pemeriksaan leher meliputi inspeksi, palpasi dan
auskultasi. Nyeri daerah vertebra servikalis, emfisema subkutan, deviasi
trakea dan fraktur laring dapat ditemukan pada pemeriksaan yang teliti.
Dilakukan palpasi dan auskultasi pada A. karotis. Adanya jejas daerah
A. Karotis harus dicatat karena kemungkinan adanya perlukaan pada A.
karotis. Penyumbatan atau diseksi A. karotis dapat terjadi secara
lambat, tanpa gejala. Angiografi atau Doppler sonografi dapat
menyingkirkan kelainan ini.
d) Toraks
Inspeksi dari depan dan belakang akan menunjukkan adanya flail
chest atau open pneumothorax. Palpasi harus dilakukan pada setiap iga
dan klavikula. Penekanan pada sternum dapat nyeri bila ada fraktur
sternum atau ada costochondral separation. Kontusio da hematoma pada
dinding dada mungkin disertai kelainan dalam rongga toraks. Kelainan
pada toraks akan disertai nyeri dan atau dispneu.
Evaluasi toraks dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik
termasuk auskultasi disusul foto toraks. Bising nafas diperiksa pada
bagian atas toraks untuk menentukan pneumotoraks, dan pada bagian
posterior untuk adanya hemotoraks. auskultasi untuk bunyi jantung
yang jauh disertai tekanan nadi yang kecil mungkin disebabkan
temponade jantung. Pada foto toraks dapat menunjukkan adanya hemo
atau pneumotoraks. Mungkin ada fraktur iga yang tidak terlihat pada
foto toraks. Mediastinum yang melebar atau menyimpangnya NGT ke
arah kanan dapat merupakan tanda rupture aorta.
e) Abdomen
Trauma abdomen harus ditangani dengan agresif. Diagnosis yang
tepat tidak terlalu dibutuhkan, yang penting adalah adanya indikasi
untuk operasi. Pada saat penderita baru datang, pemeriksaan abdomen
yang normal tidak menyingkirkan diagnosis perlukaan intra abdomen,
karena gejala mungkin timbul agak lambat. Diperlukan pemeriksaan
ulang dan observasi ketat, kalau bisa oleh petugas yang sama.
Diperlukan konsultasi ahli bedah. Penderita dengan hipotensi yang
tidak dapat diterangkan, kelainan neurologis, gangguan kesadaran
karena alcohol dan atau obat dan penemuaan pemeriksaan fisik
abdomen yang meragukan harus dipertimbangkan diagnostic peritoneal
lavage ( DPL ). USG abdomen atau bila keadaan umum
memungkinkan, pemeriksaan CT Scan abdomen dengan kontras.
Fraktur iga iga terbawah atau pelvis akan mempersulit pemeriksaan,
karena nyeri dari daerah ini pada palpasi abdomen.
f) Perineum / rectum / vagina
Perineu diperiksa akan adanya kontusio, hematoma, laserasi dan
perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang
kateter uretra. Harus diteliti kemungkinan adanya darah dari lumen
rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya dindig
rectum dan tonus M. sfinkter ani.Pada wanita pemeriksaan colok vagina
dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi. Juga harus
dilakukan tes kehamilan pada semua wanita usia subur.
g) Muskulo-skeletal
Ekstremias diperiksa untuk adanya luka atau deformitas. Fraktur
yang kurang jelas dapat ditegakkan dengan memeriksa adanya nyeri,
krepitasi atau gerakan abnormal. Fraktur pada pelvis dikenal dengan
adanya jejas daerah ala ossis ilii, pubis, labia atau skrotum. Nyeri pada
kompresi kedua SIAS, atau adanya mobilitas pelvis dan simfisis osis
pubis membantu diagnosis. Karena manipulasi pelvis seperti ini dapat
menyebabkan perdarahan, seabaiknya tes kompresi ini hanya dilakukan
satu kali, kalau bisa oleh ahli bedah.
Penilaian pulsasi dapat menentukan adanya gangguan vascular.
Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.
Kerusakan ligament dapat menyebabkan sendi menjadi tidak stabil,
kerusakan otot tendo akan mengganggu pergerakan.
Gangguan sensasi dan atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat
disebabkan kerusakan saraf perifer atau iskemia ( termasuk karena
sindrom kompartemen ). Adanya fraktur torakolumbal dapat dikenal
pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan pada bagian lain
mungkin menghilangkan gejala fraktur torakolumbal dan dalam
keadaan ini haya dapat di diagnosis dengan foto rontgen.Pemeriksaan
muskulo skeletal tidak lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan
punggung penderita.
h) Neurologis
Pemeriksana neurologis yang teliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sensorik.
Perubahan dalam status neurologis dapat dikenal dengan pemeriksan
GCS. Bila ada cedera kepala, harus segera dilakukan konsultasi
neurologis.Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena
merupakan gambaran perkembangan cedera intracranial. Bila terjadi
penurunan status neurologis harus diteliti ulang perfusi, oksigenasi da
ventilasi ( ABCDE ). Mungkin diperlukan tindakan pembedahan atau
tindakan lain untuk menurunkan peninggian tekanan intracranial.
Perlunya tindakan bedah bila ada perdarahan epidural, subdural atau
fraktur kompresi ditentukan ahli bedah saraf.

5. Komplikasi yang dapat muncul meliputi :8


Edema otak, dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intra kranial
sehingga dapat menyebabkan kematian.
Gagal ginjal, akibat perfusi ke korteks ginjal
Kelainan asam-basa, hampir selalu terjadi alkalosis respiratorik
hiperventilasi. Sedangkan alkalosis metabolik terjadi akibat
hipokalemia.
Asisdosis metabolik dapat terjadi karena penumpukan asam laktat atau
asam organik lainnya akibat gagal ginjal.
Hipoksia, sering terjadi karena edema paru atau radang paru akibat
peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler di jaringan
intersisial atau alveoli
Gangguan faal hemostasis dan perdarahan
Gangguan metabolisme atau hipoglikemia dan gangguan keseimbangan
elektrolit atau hipokalsemia.
Kerentanan terhadap infeksi, sering terjadi sepsis terutama karena
bakteri gram negatif, peritonitis, infeksi jalan nafas atau paru

6. Prinsip penatalaksanaan khusus pasien kesadaran menurun.9


Mempertahankan fungsi vital dan mencukupi kebutuhan tubuh akan o2
cairan dan kalori
Pelihara jalan nafas :
Kepala dimiringkan dan ekstensi
Bersihkan rongga mulut dan faring; isap lendir secara teratur, bila perlu
oksigen, trakestomi, respirator.
Pemberian cairan dan kalori :
Jumlah maintenance kira-kira 2000 ml/hari
Dapat ditambah bila ada dehidrasi atau shock.
Usahakan pemberian cairan yang mengadung cukup elektrolit dan kalori
Bila koma lebih dari 2 sampai hari, berikan makanan persondeagar intake
dapat lebih banyak.
Pemeliharaan kebersihan tubuh (miksi, defekasi)
Pasang dauerctheter
Klisma dengan larutan gliserin 2-3 hari sekali
Mata ditetesi dengan borwater atau larutan garam faal beberapa kali
sehari, lalu ditutupi dengan kasa lembab; dapat juga digunakan salep mata
antibiotik agar tidak terlalu sering harus membasahi mata
Mulut dibersihkan dengan boraks gliserin dan alkohol tiap pagi
Penderita dimandikan dengan air dan sabun sedikitnya sekali sehari
Mencegah infeksi sekunder dan dekubitus
Posisi berbaring penderita harus di ubah-ubah beberapa kali setiap hari
untuk mengurangi kemungkinan pnemoni dan decubitus. Untuk
mengalirkan sekret dari paru, pendertita berbaring miring dan daerah dada
dan punggung ditepuk-tepuk bebrapa menit tiap pagi
Pengobatan simtomatik
Bila perlu berikan kompres panas dan dingin Bila kejang atau gelisah,
berikan sedatif yang efek depresinya minimal misalnya diazepam. Untuk
menurunkan tekanan intrakranial gunakan kortikosteroid dan larutan
hipertonik

7. Pasien yang akan dirujuk harus sudah diperiksa dan layak untuk dirujuk.
Adapun kriteria pasien yang dirujuk adalah bila memenuhi salah satu dari :
10

1. Hasil pemeriksaan fisik sudah dapat dipastikan tidak mampu diatasi


2. Hasil pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan penunjang medis
ternyata tidak mampu diatasi
3. Memerlukan pemeriksaan penunjang medis yang lebih lengkap tetapi
pemeriksaan harus disertai pasien yang bersangkutan
4. Apabila telah diobati dan dirawat ternyata memerlukan pemeriksaan,
pengobatan, dan perawatan di sarana kesehatan yang lebih mampu
2) Perujuk sebelum melakukan rujukan harus:
A. Melakukan pertolongan pertama dan/atau tindakan stabilisasi kondisi
pasien sesuai indikasi medis serta sesuai dengan kemampuan untuk tujuan
keselamatan pasien selama pelaksanaan rujukan
B. Melakukan komunikasi dengan penerima rujukan dan memastikan bahwa
penerima rujukan dapat menerima pasien dalam hal pasien gawat darurat;
dan membuat surat pengantar rujukan untuk disampaikan kepada penerima
rujukan.
Surat pengantar rujukan sekurang-kurangnya memuat :
1. Identitas pasien
2. Hasil pemeriksaan yang telah dilakukan
3. Diagnosis kerja
4. Terapi dan/atau tindakan yang telah dilakukan-
5. Tujuan rujukan
6. Nama dan tanda tangan tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan
3) Kewajiban fasilitas pelayanan kesehatan pengirim rujukan :
a. Memberi penjelasan kepada pasien atau keluarga bahwa karena
alasan medis pasien harus dirujuk, atau karena ketiadaan tempat
tidur pasien harus dirujuk
b. Melakukan konfirmasi dan memastikan kesiapan fasilitas
pelayanan kesehatan yang dituju sebelum dirujuk
c. Membuat surat rujukan dengan menampilkan hasil diagnosis
-pasien dan resume catatan medis
d. Mencatat pada register dan membuat laporan rujukan
e. Sebelum dikirim, keadaan umum pasien sudah distabilkan lebih
dahulu dan stabilitas pasien dipertahankan selama dalam
perjalanan
f. Pasien harus didampingi tenaga kesehatan yang mengetahui
keadaan umum pasien dan mampu menjaga stabilitas pasien
sampai pasien tiba di tempat rujukan
g. Tenaga kesehatan yang mendampingi pasien menyerahkan surat
rujukan kepada pihak yang berwenang di fasilitas pelayanan
kesehatan tempat rujukan
h. Surat rujukan pertama harus dari fasilitas pelayanan kesehatan
dasar kecuali dalam keadaan darurat
i. Ketentuan yang ada pada Askes, Jamkesmas dan SKTM dan
badan penjamin kesehatan lainnya tetap berlaku
4)Pengiriman pasien rujukan harus dilaksanakan sedini mungkin untuk
perawatan dan pengobatan lebih lanjut ke sarana pelayanan kesehatan
yang lebih lengkap.

Algoritme aiway :
algoritme breathing :

sirkulasi
berhasil
Look
Listen
Feel Tidak Periksa nadi karotis
berhasil CPR
Obat-obatan
Evaluasi
Algoritme sirkulasi : Rujuk ke RS

Posisi syok
Kontrol perdarahan Tampon dan bebat
Resusitasi Ringer laktat dan NaCl 0.9 %

gagal
Obat-obat emergency : Transfusi darah
Epinephrin
Indikasi : henti jantung (VF, VT tanpa
nadi) bradikardi, reaksi syok anafilatik,hipotensi. Dosis 1 mg IV di ulang
tiap 3-5 menit.
Lidokain
Indikasi : mengatasi gangguan irama jantung. Dosis 1-1,5 mg/kg BB
bolus IV.
Morfin
Indikasi sebagai analgetik kuat, dapat digunakan untuk udem paru. Dosis
2-5 mg dapat diulang 5-30 m3nit
Sulfat atropine
Indikasi : asistole atau PEA lambat, AV blok derajat II. Dosis 1 mg IV
bolus dapat diulang 3-5 menit.
Dopamine
Indikasi : meningkatkan kontraktilitas jantung . dosis 2-10 mg/kg BB

Daftar pustaka :

1. American Academy of Neurology : Awareness Steven Laureys, Giulio


Tononi, The Neurology of Consciousness, Academic Press, 1st ed. 2008
2. Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Neurologi Klinis Dasar, Dian
Rakyat, Cet. 12, Jakarta, 2008.
3. Maier RV. Pendekatan Pada Pasien Dengan Syok. Dalam: Fauci AS, TR
Harrison, eds. Harrison 's Prinsip Kedokteran Internal . 17 ed. New York,
NY: McGraw Hill, 2008: chap 264.
4. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik. Binarupa Aksara.
Jakarta. 2011; 47-53.
5. Jeremy P.T. Ward, jane Ward, dkk. Dalam: Amalia Safitri, editor. At a
Glance Sistem Respirasi. Edisi 2. Jakarta: Erlangga Medical Series; 2008.
hal. 11-13.
6. Dr. Abdul Mukty, dr. Adji Widjaja, dkk. Dalam: Hood Alsagaff, H.
Abdul Mukty, editor. Edisi 7. Surabaya: Airlangga University Press,
2010. hal. 7-20.
7. Clair St, Saint. Dalam : American college of surgeons, editor. Advanced
Trauma Life Support. Edisi 7. Chicago: Ikatan Ahli Bedah Indonesia;
2004. Hal. 112, 113, 114, 115
8. Made, I bakta. Obat darurat di bidang penyakit dalam. Jakarta;EGC.
1999
9. soertidewi L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranio Cerebral,
Updates In Neuroemergencies, Tjokronegoro A, Balai Penerbit KUI,
Jakarta
10. Dinas Kesehatan. 2011. Petunjuk Teknis Sistem Rujukan Pelayanan
Kesehatan. Nusa Tenggara Barat : Dinas Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai