Anda di halaman 1dari 11

PEDOMAN PASIEN

COMA
Pedoman Pasien Coma

A. Latar Belakang
Pasien dalam keadaan penurunan kesadaran sedang atau berat dapat
dikategorikan sebagai stupor atau koma. Keadaan ini merupakan keadaan
emergensi atau gawat darurat bila terjadi akut. Banyak variasi penyebab baik
itu keadaan metabolik atau suatu proses intrakrania! yang dapat
mengakibatkan pasien dalam keadaan stupor atau koma ini. Adapun
manajemen pada pasien seperti ini haruslah berfokus untuk menstabiikan
keadaan pasien, menegakkan diagnosis, dan menatalaksana pasien
berdasarkan penyebab dari penyakit tersebut.
Tinjauan pustaka ini bertujuan sebagai tambahan referensi untuk mahasiswa
kedokteran, paramedis dan para dokter non neurologis yang bekerja di
Rumah Sakit dalam menangani dan mentatalaksana pasien dengan keiainan
neurologis yang datang di ruang gawat darurat, intensive care unit, bangsal,
atau pun klinik.

B. Etiologi
Secara umum stupor dan koma dapat disebabkan menjadi tiga kategori
besar :
• Kelainan struktur intrakranial (33 %)
Kebanvakan kasus ditegakkan melalui pemeriksaan imaiing otak ( computed
tomography [CT] or magnetic resonance imaging [MRI] atau melalui lumbal
punksi
[LP!
• Keiainan metabolik atau keracunan (66%)
Dikonfirmasi melalui pemeriksaan darah, tapi tidak selalu positif.
• Keiainan psikiatris (1%)
Stupor atau koma disebabkan oleh penyakit mempengaruhi kedua hemisfer
otak atau batang otak. Lesi unilateral dari satu hemisfer tidak menyebabkan
stupor atau koma kecuali massa tersebut besar hingga menekan hemisfer
kontralateral atau batang otak. Koma yang disebabkan keiainan fokal di
batang otak terjadi karena terganggunya reticular activating system. Keiainan
metabolik dapat menyebabkan gangguan kesadaran karena efek yang luas
terhadap formasio retikularis dan korteks serebral.
Tiga penyebab koma yang dapat cepat menyebabkan kematian dan
dapat ditangani antara lain:
1. Hemiasi dan penekanan batang otak : space ocupying lession yang
menyebabkan koma merupakan keadaan emergensi bedah saraf.
2. Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) : peningkatan TIK dapat
menyebabkan gangguan perfusi otak dan global hypoxic-ischemic injury.
3. Meningitis atau encephalitis : kematian akibat meningitis bakterialis atau
herpes encephalitis dapat dicegah dengan terapi secepatnya.
Penyebab koma seringkali dapat ditentukan melalui anamnesis
perjalanan penyakit melalui keluarga, teman, personel ambulan, atau orang
lain yang terakhir kontak dengan pasien dengan menanyakan :
1. Kejadian terakhir
2. Riwayat medis pasien
3. Riwayat psikiatrik
4. Obat-obatan
5. Penyalah gunaan obat-obatan atau alkohol
Dengan atau tanpa anamnesis, petunjuk penyebab koma dapat juga
ditegakkan melalui pemeriksaan fisik :
1. Tanda vital: hipertensi yang berat dapat disebabkan oleh lesi intrakranial
dengan peningkatan TIK atau ensefalopati karena hipertensi.
2. Kulit: tanda ekstemal dari trauma, neddle track., rash, cherry redness
(keracunan CO), atau kuning
3. Nafas t alkohol, aseton, atau fetor hepaticus dapat menjadi petunjuk
4. Kepala : tanda fraktur, hematoma, dan laserasi
5. THT : otorea atau rhinorea CSF, hemotimpanum teijadi karena robeknya
duramater pada fraktur tengkorak, tanda gigitan pada lidah menandakan
serangan kejang.
6. Leher (jangan manipulasi bila ada kecurigaan fraktur dari cervival spine) :
kekakuan disebabkan oleh meningitis atau perdarahan subarakhnoid.
7. Pemeriksaan neurologis ; untuk menentukan dalamnya koma dan
lokalisasi dari penyebab koma.
C. Pemeriksaan Neurologis
1. Status generalis : terbukannya kelopak mata dan rahang yang lemas
menandakan dalamya koma. Deviasi dari kepala dan gaze menandakan
suatu lesi hemisfer ipsilateral yang luas. Myoklonus ( menandakan suatu
proses metabolik), twitching otot yang ritmik (indikasi dari kejang), tetani.
2. Tingkat kesadaran : dapat ditentukan melalui skala koma Glasgow untuk
memudahkan kita untuk mencatat perkembangan pasien. Untuk lebih
mudahnya gangguan kesadaran pada pasien dapat dideskripsikan
berdasarkan letargi, stupor, dan koma.
3. Pernafasan : pola pemafasan yang abnormal dapat membantu kita
menentukan lokalisasi dari koma. Diantaranya :
a. Cheyne-Stokes : lesi bihemisfer atau ensefalopati merabolik
b. Central neurogenic hiperventilation : CNS limfoma atau kerusakan
batang otak karena hemiasi tentorial
c. Apneustic breathing: kerusakan pons
d. Cluster breathing : kerusakan pons dan cerebelar
e. Ataxic breathing: kerusakan pusat pemafasam medular (lesi di fosa
posterior)
4. Lapang pandang : dapat diperiksa dengan melakukan refleks ancam
terhadap mata sehingga berkedip, Kehilangan refleks ancam pada salah
satu sisi mata menandakan terjadinya suatu hemianopia.
5. Funduskoni • edema nanil teriadi nada neninnkatan TIK setelah lebih dari
12 jam dan jarang terjadi secara akut. Tidak adanya suatu edema papil
menyingkirkan adanya peningkatan TIK. Pulsasi spontan dari vena sulit
diidentifikasikan, tetapi bila kita temukan menandakan TIK yang normal.
Perdarahan subhialoid yang berbentuk seperti globul bercak darah pada
permukaan retina biasanya berhubungan dengan terjadinya suatu
perdarahan subarakhnoid.
6. Pupil: pastikan bentuk, ukuran, dan reaksi pupil terhadap rangsang
cahaya.
a. Simetris dan reaktif terhadap rangsang cahaya menandakan midbrain
dalam keadaan intak. Pupil yang reaktif tanpa disertai respon dari
komea dan okulosefalik menandakan suatu keadaan koma yang
disebabkan kelainan metabolik.
b. Midposition (2-5 nun) terfiksir atau pupil ireguier menandakan suatu lesi
fokal di midbrain.
c. Pupil pinpoint yang reaktif menandakan kerusakan pada tingkat pons,
Intoksikasi dari opiat dan kholinergik (pilokarpin) juga dapat
menyebabkan pupil seperti ini,
d. Pupil anisokor dan terfiksir terjadi pada kompresi terhadap CN III pada
hemiasi unkus. Ptosis dan exodeviasi juga terlihat pada kejadian
tersebut,
e. Pupil terfiksir dan dilatasi menandakan suatu hemiasi sentral, iskemia
hipoksia global, keracunan barbiturat, scopolamine, atau gluthethimide,
7. Pergerakan bola mata {gaze):
a. Perhatikan posisi saat istirahat:
1) Deviasi gaze menjauhi sisi yang hemiparesis menandakan suatu
lesi hemisper kontralateral dari sisi yang hemiparesis 2t Deviasi
gaze ke arah sisi vane heminaresis menuniukkan :
a) lesi di pons kontralateral hemiparesis
b) lesi di thalamus kontralateral dari hemiparesis
c) aktivitas kejang pada hemisfer kontralateral dari hemiparesis
2) Deviasi mata kearah bawah menandakan suatu lesi di tectum dari
midbrain, disertai dengan gangguan reaktifitas pupil dan nistagmus
refrakter dikenal sebagai sindroma parinoud
3) Slow roving eye movement yang dapat konjugasi atau diskonjugae
tidak menuniukkan lokalisasi lesi yang berarti, berhubungan dengan
disfiingsi hemisfer bilateral dan aktifnya refleks okulosefalik
4) Occu!ar bobbing, yaitu terdapat reaksi cepat dari pergerakan bola
mata ke arah bawah yang kembali ke posisi semula dengan lambat
menunjukkan kerusakan bilateral dari pusat gaze horisontal pada
pons.
5) Saccadic eye movement tidak terlihat pada pasien koma dan
menunjukkan suatu psikogenik unresponsive.
b. Fase tonik tanpa disertai respons fase cepat dari nistagmus
menandakan koma disebabkan disfiingsi bihemisfer
c. Paresis konjugae dari gaze menandakan lesi unilateral hemisfer atau
pons
d. Kelemahan mata asimetris menandakan lesi pada batang otak
e. Refleks okulovestibular negatif menandakan koma yang dalam yang
mendepresi fungsi batang otak.
f. Perintah verbal: normal
g. Rangsang nyeri: dengan menggosokkan kepalan tangan pemeriksa
pada sternum dan penekanan pada nailbed dengan menggunakan
handel dari hammer.
h. Refleks okulosefalik (doll’s eye), respons yang intak terjadi pergerakan
bola mata berlawanan dari arah pemutaran kepala. Bila tidak terjadi
refleks ini menunjukkan disflmgsi dari bilateral hemisfer serebri dan
gangguan integritas dari struktur batang otak, yang sering terlihat pada
koma metabolik.
i. Refleks okulovestibular (kalori dingin), respons yang normal terdiri dari
deviasi tonik ke arah rangsangan air dingin yang dimasukkan ke
lubang telinga dan terjadi nistagmus cepat ke arah kontralateral.
j. Refleks komea : menandakan intaknya batang otak setinggi CN
5( aferen) dan CN 7 (eferen)
8. Refleks muntah : dapat dilakukan dengan memanipulasi endotrakheal
tube.
a. Respons motorik :merupakan indikator terbaik dalam menentukan
dalam dan beratnya keadaan koma. Yang diperhatikan yaitu :
b. Pergerakan spontan: lihat adanya suatu asimetri
c. Tonus otot : peningkatan tonus otot bilateral pada ekstremitas bawah ,
mempakan tanda penting teijadinya suatu hemiasi serebri.
d. Induksi pergerakan melalui:
9. Respon sensoris : respons asimetris dari stimulasi menandakan suatu
lateralisasi defisit sensoris.
10. Refleks :
a. Refleks tendon dalam : bila asimetris menunjukkan lateralisasi defisit
motoris yang disebabkan lesi stn.iktu.ral
b. Refleks plantar : respon bilateral Babinski's menunjukkan coma akibat
stmktura! atau metabolik.

D. Pemeriksaan Penunjang
Karena pentingnya penentuan diagnosis yang cepat pada etiologi
pasien dengan koma karena dapat mengancam nyawa, maka pemeriksaan
penunjang haras segera dilakukan dalam membantn penegakkan diagnosis,
yaitn antara lain :
1. CT atau MRI scan Kepala : pemberian kontras diberikan apabila kita
curigai terdapat tumor atau abses. Dan mintakan print out dari bone
window pada keiadian trauma kepala
2. Punksi Lumbal : dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,
encephalitis, atau perdarahan subarachnoid bila diagnosis tidak dapat
ditegakkan melalui CT atau MRI kepala.
3. EEG : bisa saja diperlukan pada kasus serangan epileptik tanpa status
kejang, keadaan post ictal, koma metabolik bila diagnosis tidak
ditegakkan melalui pemeriksaan CT dan LP.
Keadaan pseudokoma haras kita curigai bila semua pemeriksaan
diagnostik telah kita lakukan dan masih tidak dapat menegakkan diagnosis
penyebab dari koma tersebut. Diantaranya yaitn :
1. Koma psikogenik
2. Locked in syndrome : kerasakan pons bilateral
3. Mutism akinetik : kerasakan pada frontal dan thalamus

E. Tata Kelola
Dalam menangani pasien dalam keadaan stupor dan koma untuk
pertama kali ada beberapa pertanyaan dalam benak kita sebagai
pertimbangan yaitu :
1. Bagaimana tanda vital dari pasien tersebut ?
2. Apakah jalan napas baik ?
Pasien stumor dan koma beresiko tinesi untuk teriadin va asmrasi.
vans disebabkan karena hilangnya refleks batuk dan muntah, hipoksia, yang
terjadi karena hilangnya kemampuan bernafas. Pemasangan endotracheal
tube (ETT) dengan intubasi merupakan cara yang paling efektif untuk
menjaga jalan nafas baik dan oksigenasi yang adekuat.
Bila pasien dalam keadaan koma yang dalam atau adanya tanda
gangguan respirasi lebih baik kita memanggil dokter Anestesi untuk
melakukan intubasi. Pada pasien stunor den°an nernafasan van*1 normal
danat kita berikan 100 % oksi°en dengan face mask sampai hipoksemia tidak
kita temukan.
• Apakah ada riwayat trauma, pemakaian obat-obatan, atau terpapar oleh
toksin ?
Lakukan deskripsi pasien dengan eepat mengenai riwayat penyakit
sekarang dan dahulu baik medis maupun neurologis.
• Adakah orang yang dapat ditanyakan tentang keadaan pasien
sebelumnya ?
Kerabat, teman, personil ambulance, atau orang lain yang terakhir
kali kontak dan mengetahui keadaan pasien sebaiknya kita suruh tunggu
untuk menanyakan keadaan pasien sebelum kejadian.
Setelah keadaan umum pasien kita dapat langkah selanjutnya adalah
memberikan terapi emergensi dan melakukan pemeriksaan penunjang yang
diperlukan, antara lain :
1. Konsultasi ke anestesiologis bila diperlukan intubasi atau lakukan intubasi
bila telah mendapat pelatihan dari Advance Trauma Life Support (ATLS)
ataupun Advance Cardiac Life Support (ACLS).
2. Pasang j alur intrravena (iv line)
3. Lakukan pemeriksaan kadar gula sewaktu dengan glucose stick. Hal ini
hams dilakukan secepatnya, karena hipoglikemia merapakan kasus yang
dapat ditangani secara eepat sebagai penyebab stupor atau koma yang
dapat disertai keadaan lain seperti sepsis, henti jantung, atau trauma)
4. Lakukan pemeriksaan darah antara lain ;
 Kimia darah ( glukosa darah sewaktu, elektrolit, BUN/ureum, kreatinin)
 Hitung darah lengkan
 Analisa gas darah
 KaLsium dan magnesium
 Protrombin time (PT)/ partial thromboplastin time (PTT)
5. Bila etiologi dari koma tidak jelas lakukan pemer i ksaan skrining
toksikologi, tes fungsi tiroid, fungsi hepar, kortisol serum, dan kadar
ammonia.
6. Lakukan pemasangan/i>//ey catheter
7. Lakukan pemeriksaan urinalisa, elektrokardiogram (EKG) dan rontgen
thoraks.
8. Berikan terapi emergensi Hal ini dapat diberikan ’dilapangan* atau bila
etiologi dari penyebab koma tidak jelas. Diantaranya :
 Thiamin 100 mg iv ( dimana pemberian tiamin dapat mengembalikan
pasien dari koma yang disebakan karena defisiensi thiamin akut
(Wernicke ensefalopati). Harus diberikan sebelum pemberian
dekstrose karena hiperglikemi dapat menyebabkan konsumsi thiamin
yang berlebihan dan memperburuk keadaan pasien.
 50 % dekstrose 50 ml (1 ampul) iv
 Naloxone (Narcan) 0.4 — 0.8 mg iv, pada keadaan koma yang
disebabkan intoksikasi opiat. Dosis dapat diberikan sampai 10 mg.
 Flumazenil tRomazicon) 0.2 — 1.0 mg iv, diberikan pada pasien yang
koma dicurigai karena intoksikasi benzodiazepin. Dosis dapat
diberikan hingga 3 mg dan >an°an diberikan bila telah teriadi keians
pada pasien, karena flumazenil ini dapat menimbulkan kejang.

Manajemen Pasien dengan Koma


1. Penanganan emergensi dekompresi pada lesi desak ruang (space
occupying lesions / SOL ) dapat menyelamatkan nyawa pasien.
2. Bila terjadi suatu peningkatan TIK, berikut adalah penanganan
pertamanya :
a. Elevasi kepala
b. Intubasi dan hiperventilasi
c. Sedasi jika teijadi agitasi yang berat (midazolam 1 - 2 mg iv )
d. Diuresis osmotik dengan manitol 20% 1 g/kg BB iv
e. Dexametason 10 mg iv flap 6 jam pada kasus edema serebri oleh
tumor atau abses setelah terapi ini monitor ICP harus dipasang,
3. Kasus encephalitis yang dicurigai oleh infeksi virus herpes dapat
diberikan acyclovir 10 mg/kg iv tiap 8 jam
4. Kasus meningitis lakukan terapi secara empiris. Lindungi pasien dengan
ceftriaxon 2x1 g iv dan ampicillin 4x1 g iv sambil menunggu hasil kultur

Terapi Umum
1. Proteksi jalan nafas : adekuat oksigenasi dan ventilasi
2. Hidrasi intravena : gunakan normal saline pada pasien dengan edema
serebri atau peningkatan TIK
3. Nutrisi: lakukan pemberian asupan nutrisi via enteral dengan
nasoduodenal tube, hindari penggunaan naso gastrik tube karena adanya
ancaman aspirasi dan refluks
4. Kulit : hindari dekubitus dengan miring kanan dan kiri tiap 1 hingga 2 jam,
dan gunakan matras yang dapat dikembangkan dengan angin dan
pelindung tumit
5. Mata : hindari abrasi komea dengan penggunaan lubrikan atau tutup mata
dengan plester
6. Perawatan bowel: hindari konstipasi dengan pelunak feses (docusate
sodium 100 mg 3x1 ) dan pemberian ranitidin 50 mg iv tiap 8 jam untuk
menghindari stress ulcer akibat pemberian steroid dan intubasi
7. Perawatan bladder : indwelling cateter urin dan intermiten kateter tiap 6
jam
8. Mobilitas joint: latihan pasif ROM untuk menghindari kontraktur
9. Profilaksis deep vein trombosis (DVT) : pemberian 5000 iu sc tiap 12 jam,
penggunaan stoking kompresi pneumatik, atau kedua-duanya

Merangsang pasien koma


Untuk menyadarkan pasien koma, biasanya dilakukan dengan memberikan
beberapa rangsangan pada pasien, seperti:
• Ranesanean suara
• Terapi
1. Rangsangan suara dilakukan dengan mengajak pasien bicara. Apabila,
pasien mempunyai hubungan dekat dengan orang yang mengajak
pasien bicara, terdapat bukti bahwa ada perabahan kerja otak yang
mengarah ke keadaan membaik.
Komunikasi merupakan salah satu kemampuan imggul manusia. Dan,
hal ini hanya dapat dilakukan karena struktur otak manusia yang lebih
kompleks dan rumit dibandingkan makhluk lainnya.
Oleh karena itu, sangatlah masuk akal, bila, dengan berbicara pada
pasien koma, otak pasien koma tersebut akan dipaksa menelaah
informasi yang anda sampaikan dan membantu mendapatkan
kesadaran,
2. Terapi untuk merangsang kesadaran pasien koma ada banyak. Jenis
terapi diterapkan sesuai dengan nenyebab keadaan koma itu sendiri,
contohnya. bila pasien koma akibat kadar gula yang rendah, maka,
akan dilakukan insulin shock teraphy,
Selain itu, ada juga terapi yang dilakukan agar pasien dapat bertahan
lebih lama. Terapi ini adalah terapi hypothermia. Pasien akan dibuat
pada keadaan suhu dimana suhu inti pasien turun sekitar 2-3 derajat
Celsius.
Terapi hypothermia banyak dilakukan dirumah sakit untuk pasien koma.
Hal ini dikarenakan, pasien koma yang diberikan terapi ini jauh memiliki
peluang hidup dan sadar yang lebih besar daripada pasien tanpa terapi
ini.

Prognosis
Prognosis pasien tergantung dari penyebab utama penyakit dibanding dari
dalamnya suatu koma. Koma yang disebabkan karena metabolik dan
intoksikasi obat lebih baik prognosisnya dibanding koma yang disebabkan
oleh kelainan struktur intrakranial.

Anda mungkin juga menyukai