Anda di halaman 1dari 6

FARMAKOTERAPI II

PATOFISIOLOGI DAN MEKANISME OBAT ASMA

OLEH:
Ni Made Krisna Dwiyanti NIM.161200082
Ni Nyoman Trisnawati NIM.161200083
Ni Putu Lydya NIM.161200086
Ni Putu Monica Pradnyanita Antara NIM.161200087
Ni Wayan Yunik Yuliapsari NIM.1612000090
Novita Sari NIM.161200091

JURUSAN FARMASI
PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS
INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA
2018
A. Definisi Asma
Asma merupakan gangguan respirasi yang didefinisikasn sebagai inflamasi kronis saluran nafas
yang ditandai dengan responsivitas dari tracheobronkhila terhadap berbagai stimuli (McFadden,
2005). Diperkirakan Sebanyak 300 juta penduduk dunia terserang asma (Weiss, 2006). Gejala
klinis dari asma terjadi karena edem dan infiltrasi dari berbagai sel seperti eosinofil, netrofil dan
limfosit. Gejala klinis tersebut terjadi karena interaksi yang simultan dari adanya infiltrasi sel-sel
inflamasi, mediator mediator inflamasi dan sitokin. Sel-sel yang diduga berperan dalam
inflamasi antara lain sel mast, eosinofil, limfosit, dan sel epitel jalan nafas. Salah satu mediator
yang dikeluarkan pada asma adalah endotelin-1. Mediator ini memberikan efek
bronkhokonstriksi. Sedangkan sitokin yang berperan antara lain GM-CSF, IL-8, Rantes
(regulation on activation), eotaxin yang memberiakan efek inflamasi. Growth factor yang
terlibat antara lain EGF (Epidermal growth factor), IGF-1 (Insulin like growth factor, dan PDGF
(Platelet derivate growth factor) (McFadden, 2005).

B. Patofisiologi asma
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas yang akan
mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran napas, gangguan saraf
otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga diduga berperan pada proses
hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena adanya
inflamasi kronik yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran udara menjadi
sangat terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Hipereaktivitas
tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang.
Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama
didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang didominasi oleh IgE, masuknya
alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells), kemudian hasil olahan
alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (T penolong) terutama Th 2. Sel T penolong inilah
yang akan memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk
IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta
limfosit untuk mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien
(LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini
bekerja dengan mempengaruhi organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot polos
saluran pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema
saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma protein melalui
mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran
napas. Faktor lainnya yang dapat menginduksi pelepasan mediator adalah obat-obatan,latihan,
udara dingin, dan stress (Sudoyo, et al., 2015).
Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf otonom pada jalur non-
alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Inhalasi alergen
akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga
epitel saluran napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya peregangan nervus vagus, sedangkan
pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih
permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi
yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak ditemukan pada beberapa keadaan seperti pada
hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Reflek saraf memegang peranan pada
reaksi asma yang tidak melibatkan sel mast. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang
menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan calcitonin Gene-
Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokontriksi,
edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi
(Baratawidjaja KG, 2006).

Gambar 1. Patofisiologi inflmasi asma


Pada asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik dan lingkungan. Ada beberapa
proses yang terjadi sebelum pasien mengalami asma, yaitu (Kepmenkes, 2008):
1. Sanitasi yaitu seseorang dengan risiko genetik lingkungan apabila terpajan dengan
oemicu (inducer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya.
2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi belum tentu menjadi asma. Apabil seseorang
yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu (enhancer) mka terjadi proses
inflamasi pada salurn napasnya. Proses inflamasi berlangsung lama atau proses
inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan hipersensitivitas bronkus.
3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus (trigger) maka
akan terjadi serangan asma (mengi).

Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2. Skema terjadinya asma

C. Mekanisme Obat Asma (Salmeterol)


Salmeterol merupakan obat asma golongan β2 long-acting yang bekerja lebih dari 12 jam.
Obat agonis β2 ini merupakan bronkodilator paling poten yang tersedia dan merupakan obat
penyelamat untuk melonggarkan jalan nafas pada serangan asma (Ikawati, 2006). Mekanisme
kerja dari obat ini adalah melalui stimulasi reseptor β 2 yang banyak terdapat di trachea (batang
tenggorok) dan bronchi, yang menyebabkan aktivasi dari suatu enzim di bagian dalam membran
(adenilsiklase). Enzim ini memperkuat pengubahan adenosinetrifosfat (ATP) yang kaya energi
menjadi cyclic-adenosine-monophospate (cAMP) dengan pembebasan energi yang digunakan
untuk proses-proses dalam sel (Tjay dan Rahardja, 2007).
Salmeterol bekerja dengan cara berikatan secara spesifik pada reseptor β2 adrenergik
dalam jangka yang lama, mengakibatkan stimulasi berulang pada komponen aktifnya sehingga
menimbulkan efek kerja yang panjang. Dengan sifatnya yang lipofilik, salmeterol dapat
menembus membran fosfolipid dan selanjutnya berdifusi menuju reseptor β2 adrenergik. Rantai
samping salmeterol kemudian berikatan pada komponen reseptor β2 adrenergik yang disebut
exosite. Ikatan pada exosite mencegah terjadinya disosiasi molekul dari reseptor, mengakibatkan
efek kerja jangka panjang yang tidak tergantung pada konsentrasi obat. Salmeterol terbukti
mampu menghambat sintesis DNA sel otot polos saluran nafas manusia yang diinduksi oleh
trombin melalui hambatan pada protein cyclin D1. Melalui hambatan pada proliferasi otot polos,
Selain itu terdapat pula indikasi bahwa salmeterol mampu mengurangi laju angiogenesis yang
juga merupakan bagian dari proses remodeling. Salmeterol dapat mempengaruhi kekuatan
kontraksi otot diafragma dan otot-otot interkostalis pada hewan coba.
DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaya KG. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai penerbit FKUI.


Ikawati, Z. 2006. Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernapasan. Yogyakarta: Fakultas Farmasi
UGM.
McFadden, ER. Asthma, dalam Kasper et al., The Principles of internal medicine ed 16.
McGrawhill. 2005.NewYork.1508-12
Menkes. 2008. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1023/MENKES/SK/XI/2008 Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma.
Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-
Efek Sampingnya. Edisi Keenam. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Weiss ST, Litonjua AA, Lange C, Lazarus R, Liggett SB, Bleecker ER, Tantisira KG. Overview
of the pharmacogenetics of asthma Treatment, The Pharmacogenomics Journal (2006) 6,
311–326

Anda mungkin juga menyukai