Anda di halaman 1dari 26

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

DRUG INDUCED ASTHMA

Disusun Oleh:

Nama : Krisma Teta Agusta

NPM : 21710026

Pembimbing :

dr. Mei Budi Prasetyo, Sp. P

KSM ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD NGANJUK
KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2022
LEMBAR PENGESAHAN

TINJAUAN KEPUSTAKAAN
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD NGANJUK

JUDUL:
DRUG INDUCED ASTHMA

Disusun Oleh :
Krisma Teta Agusta
Npm : 21710026

Telah disetujui dan disahkan pada:


Hari :
Tanggal :

Mengetahui :
Dokter Pembimbing,

dr. Mei Budi Prasetyo, Sp. P

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan berbagai kemudahan kepada penulis untuk menyelesaikan laporan kasus
dengan judul “Drug Induced Asthma”. Penyusunan laporan kasus ini bertujuan
untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di KSM Penyakit Dalam di RSUD
Nganjuk.
Tidak lupa pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tidak
terhingga kepada dr. Mei Budi Prasetyo, Sp.P sebagai pembimbing yang telah
memberikan arahan kepada penulis, serta seluruh tenaga medis, paramedis dan non
medis yang telah banyak membantu penulis selama melaksanakan kepaniteraan klinik
Penyakit Dalam.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih banyak
terdapat kekurangan-kekurangan, sehingga penulis mengharapkan adanya saran dan
kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan penelitian ini.

Nganjuk, Juli 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................i

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................2


1. Definisi..........................................................................................................2
2. Patofisiologi..................................................................................................2
3. Etiologi..........................................................................................................4
4. Diagnosis.......................................................................................................4
5. Klasifikasi.....................................................................................................6
6. Tatalaksana Asma.........................................................................................7
7. Drug Induced Asthma...................................................................................8

BAB III KESIMPULAN........................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit alergi yang saat ini masih menjadi problem
kesehatan karena pengaruhnya dalam menurunkan tingkat kualitas hidup dan
dibutuhkan biaya besar dalam penatalaksanaannya.1,2

Berdasarkan data, 300 juta penduduk dunia menderita asma.


Diperkirakan pada 2025 angka ini akan meningkat menjadi 400 juta jiwa
dengan setidaknya 250 000 orang meninggal setiap tahunnya. Di
Indonesia pun jumlah penderita asma semakin hari semakin meningkat,
namun tidak tercatat dengan baik. Hasil penelitian di Indonesia
menunjukkan prevalensi asma yang sangat bervariasi. Yunus dkk. (2011)
meneliti prevalensi asma di Jakarta dengan menggunakan kuesioner
International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) pada
tahun 2001 dan 2008 dengan prevalensi kumulatif masing-masing 11,5%
dan 12,2%. Kemudian, laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) oleh
Kementerian Kesehatan Repubik Indonesia tahun 2007 menyatakan
bahwa prevalensi asma di Jakarta mencapai 2,9%.16

Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi


lainnya dan tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang
dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini
adalah penurunan frekuensi dan derajat serangan. Sedangkan
penatalaksanaan utama ada menghindari faktor risiko.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Definisi asma menurut Global Initiative for Asthma (GINA), asma
adalah gangguan inflamasi kronik pada saluran napas dengan berbagai sel
yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil dan limfosit T. Pada individu
yang rentan inflamasi, mengakibatkan gejala episode mengi yang berulang,
sesak napas, dada terasa tertekan, dan batuk khususnya pada malam atau dini
hari. Gejala ini berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang luas dan
bervariasi dengan sifat sebagian reversibel baik secara spontan maupun
dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hipereaktivitas
jalan napas terhadap berbagai rangsangan.1

2. Patofisiologi
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran
napas yang akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan
epitel saluran napas, gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot
polos bronkus juga diduga berperan pada proses hipereaktivitas saluran
napas. Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena adanya inflamasi
kronik yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran udara
menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah
pengobatan. Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai
macam rangsang.2,3

Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur


imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada
jalur yang didominasi oleh IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan
diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells), kemudian hasil olahan alergen

2
akan dikomunikasikan kepada sel Th ( T penolong ) terutama Th2 . Sel T
penolong

3
4

inilah yang akan memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin agar
sel-sel plasma membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag,
sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan
mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT),
platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain.
Sel-sel ini bekerja dengan mempengaruhi organ sasaran yang dapat
menginduksi kontraksi otot polos saluran pernapasan sehingga menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi
sel-sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma protein melalui
mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan
hipereaktivitas saluran napas. Faktor lainnya yang dapat menginduksi
pelepasan mediator adalah obat-obatan, latihan, udara dingin, dan stress.3

Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf


otonom pada jalur non-alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan
hipereaktivitas saluran napas. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya peregangan nervus vagus,
sedangkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk
ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi.
Keterlibatan sel mast tidak ditemukan pada beberapa keadaan seperti pada
hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Reflek saraf
memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel mast. Ujung
saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan calcitonin Gene-Related
Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya
bronkokontriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan
aktivasi sel-sel inflamasi.4
5

3. Etiologi
Etiologi asma masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli, namun
secara umum terjadinya asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor
lingkungan. Faktor genetik diantaranya riwayat atopi, pada penderita asma
biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga memiliki alergi.
Hipereaktivitas bronkus ditandai dengan saluran napas yang sangat sensitif
terhadap berbagai rangsangan alergen atau iritan. Jenis kelamin, pada pria
merupakan faktor risiko asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi
asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan.
Menjelang dewasa perbandingan tersebut kurang lebih berjumlah sama dan
bertambah banyak pada perempuan usia menopause.4

Obesitas, ditandai dengan peningkatan Body Mass Index (BMI) >


30kg/m2. Mekanismenya belum diketahui pasti, namun diketahui penurunan
berat badan pendexrita obesitas dengan asma dapat memperbaiki gejala
fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.4

Alergen dalam lingkungan tempat tinggal seperti tungau, debu rumah,


spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dll adalah
faktor lingkungan yang dapat mencetuskan terjadinya asma. Begitu pula
dengan serbuk sari dan spora jamur yang terdapat di luar rumah. Faktor
lainnya yang berpengaruh diantaranya alergen makanan (susu, telur, udang,
kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap,
pengawet, dan pewarna makanan), bahan iritan (parfum, household spray,
asap rokok, cat, sulfur,dll), obat-obatan tertentu (golongan beta blocker
seperti aspirin), stress/gangguan emosi, polusi udara, cuaca, dan aktivitas
fisik.5

4. Diagnosis
Diagnosis asma yang tepat, penting dalam memudahkan penanganan
penyakit asma. Diagnosis asma dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
6

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Secara klinis ditemukan


gejala berupa sesak episodik, mengi (wheezing), batuk kronik berulang dan
dada terasa sakit/sesak. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai
keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis.
Pemeriksaan status alergi dilakukan untuk mengidentifikasi adanya penyakit
alergi lain pada pasien maupun keluarganya seperti rhinitis alergi.
Pengukuran respons dapat membantu diagnosis pada penderita dengan gejala
konsisten tetapi fungsi paru normal.5,6

Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma, tergantung dari


episode gejala dan derajat obstruksi saluran napas. Melalui pemeriksaan fisik
pasien asma, tampak adanya perubahan bentuk anatomi thoraks dan
ditemukan perubahan cara bernapas. Pada pemeriksaan inpeksi dapat
ditemukan pasien menggunakan otot napas tambahan di leher, perut, dan
dada, napas cepat hingga sianosis, juga kesulitan bernapas. Ekspirasi
memanjang dan mengi dapat ditemukan saat dilakukan auskultasi pada pasien
asma. Dalam praktek sehari-hari jarang ditemui kesulitan dalam membuat
diagnosis asma, tetapi sering pula dijumpai pasien non-asma yang
mempunyai mengi, sehingga pemeriksaan penunjang diperlukan dalam
menegakkan diagnosis.7,8

Pemeriksaan spirometri merupakan cara yang paling cepat dan


sederhana untuk menegakkan diagnosis asma dengan melihat respon respon
pengobatan menggunakan bronkodilator. Pemeriksaan dilakukan sebelum dan
sesudah pemberian bronkodilator hirup golongan adrenergik beta. Dinyatakan
asma bila didapat peningkatan Volume ekspirasi paksa detik pertama / VEP1
sebanyak ≥ 12% atau ( ≥ 200ml ). Bila respon yang didapat ≤ 12% atau ( ≤
200ml ) belum pasti menunjukkan bahwa pasien tersebut tidak menderita
asma, hal tersebut dapat dijumpai pada pasien yang sudah dalam keadaan
normal atau mendekati normal.9
7

5. Klasifikasi
Tidak mudah membedakan antara satu jenis asma dengan jenis asma
lainnya. Dahulu asma dibedakan menjadi asma alergi (ekstrinsik) yang
muncul pada waktu kanak-kanak dengan mekanisme serangan melalui reaksi
alergi tipe 1 terhadap alergen dan asma non-alergik (intrinsik) bila tidak
ditemukan reaksi hipersensitivitas terhadap alergen. Namun, dalam
prakteknya seringkali ditemukan seorang pasien dengan kedua sifat alergi dan
non-alergi, sehingga Mc Connel dan Holgate membagi asma kedalam 3
kategori,
1) Asma alergi/ekstrinsik;
2) Asma non-alergi/intrinsik;
3) Asma yang berkaitan dengan penyakit paru obstruksif kronik.3,4
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) asma dibagi menjadi 4 yaitu :
1. Asma intermitten, ditandai dengan :
a. gejala kurang dari 1 kali seminggu;
b. eksaserbasi singkat;
c. gejala malam tidak lebih dari 2 kali sebulan;
d. bronkodilator diperlukan bila ada serangan;
e. jika serangan agak berat mungkin memerlukan kortikosteroid;
f. APE atau VEP1 ≥ 80% prediksi;
g. variabiliti APE atau VEP1 < 20%10,11
2. Asma persisten ringan, ditandai dengan :
a. gejala asma malam >2x/bulan;
b. eksaserbasi >1x/minggu, tetapi <1x/hari;
c. eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur;
d. membutuhkan bronkodilator dan kortikosteroid;
e. APE atau VEP1 ≥ 80% prediksi;
f. variabiliti APE atau VEP1 20-30%10,11
3. Asma persisten sedang, ditandai dengan :10,11
a. gejala hampir tiap hari;
b. gejala asma malam >1x/minggu;
8

c. eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur;


d. membutuhkan steroid inhalasi dan bronkhodilator setiap hari;
e. APE atau VEP1 60-80%;
f. variabiliti APE atau VEP1 >30%
4. Asma persisten berat, ditandai dengan :
a. APE atau VEP1 <60% prediksi;
b. variabiliti APE atau VEP1 >30%

Klasifikasi berdasarkan derajat berat serangan asma menurut GINA, dibagi


menjadi tiga kategori :

1) Asma ringan : asma intermiten dan asma persisten ringan;

2) Asma sedang : asma persisten sedang;

3) Asma berat : asma persisten berat.

Baru-baru ini, GINA mengajukan klasifikasi asma berdasarkan tingkat


kontrol asma dengan penilaian meliputi gejala siang, aktivitas, gejala malam,
pemakaian obat pelega dan eksaserbasi. GINA membaginya kedalam asma
terkontrol sempurna, asma terkontrol sebagian, dan asma tidak terkontrol.7

6. Tatalaksana Asma
Tatalaksana Asma Secara Umum18

 Pasien disarankan untuk mengidentifikasi serta mengendalikan faktor


pencetusnya.
 Perlu dilakukan perencanaan dan pemberian pengobatan jangka
panjang serta menetapkan pengobatan pada serangan akut sesuai tabel
di bawah ini.
9

7. Drug Induced Asthma


a. Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs
1. Mekanisme
Karena antibodi IgE antiaspirin spesifik tidak ditemukan,
bronkospasme yang diinduksi NSAID diklasifikasikan sebagai
'pseudoallergik'. Patogenesis intoleransi terhadap aspirin adalah
primarily terkait dengan penghambatan siklooxygenase. Akibatnya,
aspirin menggeser metabolisme asam arakidonat yang diturunkan dari
fosfolipidida membran dari jalur siklo-oksigenase (yaitu produksi
prostaglandin, tromboksan dan prostacyclin) menuju jalur 5-
lipoxygenase (yaitu produksi leukotorienes C4, D4 dan E4
sulphidopeptide). Bronkospasme kemudian dapat diduga diakibatkan
oleh hilangnya prostaglandin bronkoprotektif atau dari peningkatan
10

leukotririenes, yang memicu kontraksi otot polos bronkial, Mengikuti


tantangan aspirin pada pasien aspirinsensitif, ekskresi leukotriene E4
urin meningkat 7 kali lipat, tetapi penurunan maksimal FEV saya tidak
berkorelasi dengan puncak leukotriene urin, menunjukkan bahwa
peningkatan produksi leukotriene saja tidak memperhitungkan
besarnya obstruksi bronkial diamati setelah paparan aspirin.12
Pasien yang sensitif terhadap aspirin dengan asma telah terbukti
menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap leukotriene E4 yang
dihentikan dibandingkan dengan pasien asma lainnya. Sensitivitas ini
menghilang setelah desensitisasi terhadap aspirin, menunjukkan bahwa
peningkatan sensitivitas terhadap leukotrienes pada pasien yang
sensitif terhadap aspirin mungkin lebih relevan daripada tingkat
produksi leukotriene E4. Sebuah percobaan baru-baru ini dengan
antagonis reseptor leukotriene spesifik, verlukast (MK-0679),
menunjukkan pelemahan reaksi tersebut pada 8 pasien yang ditantang
dengan salliscya asetilin terlambat.11
Mekanisme lain yang disarankan dari asma yang diinduksi
NSAID adalah pelepasan abnormal senyawa sitotoksik dari trombosit.
Telah dilaporkan bahwa, secara in vitro, trombosit dari pasien yang
sensitif terhadap aspirin melepaskan jumlah senyawa sitotoksik yang
lebih besar setelah stimulasi dengan aspirin daripada trombosit dari
individu yang sehat atau dari pasien dengan asma yang alergi terhadap
aeroallergen. Aspirin juga kurang efektif dalam menghambat agregasi
trombosit-activating factor-induced platelet pada pasien asma yang
sensitif terhadap aspirin daripada pada individu yang sehat. Pelepasan
besar sitotoksik compound secara in vitro dari trombosit pasien yang
sensitif terhadap aspirin dapat dihambat oleh inhibitor lipoxygenase
atau natrium nedocromil. Pelepasan senyawa sitotoksik juga dapat
dihambat oleh desensitisasi terhadap aspirin, serum dari pasien yang
desensitised aspirin, atau preinkubasi trombosit dengan senyawa yang
secara struktural mirip dengan aspirin seperti natrium salisilat.11,12
11

Temuan ini menunjukkan bahwa desensitisasi terhadap aspirin


mungkin melibatkan tingkat aspirin atau metabolit lain yang dapat
dalam reaktivitas trombosit yang diinduksi NSAID.10
2. Diagnosis
Asma yang diinduksi NSAID dapat dibuat dengan anamnesis
saja atau dengan riwayat bersamaan dengan (a) uji oral dengan agen
yang dicurigai atau (b) uji inhalasi dengan lisin asetilsalisilat dan
dosimetri. Gejala dapat terjadi segera atau hingga 2 jam atau lebih
setelah terpapar. Pemulihan dari inhalasi lisin asetilsalisilat dapat
memerlukan 3 hingga 8 jam. Pengujian in vitro terhadap trombosit dari
pasien yang sensitif terhadap aspirin telah menunjukkan peningkatan
kadar prostaglandin F2a dan berkurangnya respons proliferasi
limfositik, tetapi tidak ada perubahan dalam chemiluminescence,
prostaglandin E2 atau prostaglandin D2. Relevansi diagnostik klinis
dari tes trombosit in vitro masih harus ditetapkan.17
3. Tatalaksana dan Pencegahan
Pengobatan awal terdiri dari menghindari aspirin dan NSAID
yang bereaksi silang, yang dapat muncul pada banyak obat yang tidak
diresepkan. Penggunaan parasetamol (asetaminofen) tidak harus
dibatasi, karena dosis tantangan yang lebih besar dari 1000mg
menyebabkan penurunan FEV1 yang signifikan pada 28% pasien asma
sensitif aspirin yang diteliti. dan parasetamol adalah agen alternatif
pada dosis yang direkomendasikan karena mereka memiliki aktivitas
penghambatan siklooksigenase yang lemah, jika ada. 10
Namun, dosis suprafarmakologi dari agen ini mungkin
berbahaya, karena dosis salsalat telah terbukti menyebabkan
bronkospasme ringan dan tertunda. Reaktivitas silang antara salisilat
dan tartrazin atau sulfit belum dikonfirmasi dalam studi klinis. 10
Pengobatan awal dengan natrium kromoglikat (natrium
kromolin), antihistamin atau kortikosteroid tidak mencegah
bronkospasme yang diinduksi NSAID. Namun, natrium kromoglikat
12

dapat menunda timbulnya bronkospasme, dan pengobatan


kortikosteroid sebelumnya selama 10 hari dapat mengurangi
keparahannya.10
4. Desensitisasi
Desensitisasi terhadap aspirin dan NSAID lainnya merupakan
pertimbangan bila dilakukan di bawah pengawasan yang tepat.
Desensitisasi dilakukan dengan pemberian dosis pemicu minimum
dengan interval 3 hingga 24 jam sampai reaksi menghilang. Setelah
tercapai, dosis aspirin berkisar antara 325mg setiap hari sampai 650mg
4 kali sehari telah terbukti diperlukan untuk pemeliharaan
desensitisasi. Sensitivitas muncul kembali dalam 2 sampai 7 hari
setelah penghentian pemberian harian. Dalam follow-up jangka
panjang pasien sensitif aspirin non-acak dengan asma rinosinusitis
yang menghindari aspirin atau tidak peka dengan aspirin, pengurangan
signifikan dalam penggunaan kortikosteroid sistemik dan inhalasi
terjadi pada pasien yang tidak peka. Desensitisasi aspirin telah
direkomendasikan sebagai terapi yang dapat diterima untuk pasien
asma yang sensitif terhadap aspirin yang (a) refrakter terhadap
manajemen medis yang optimal; (b) membutuhkan dosis besar
glukokortikoid sistemik; (c) telah menjalani operasi pengangkatan
polip dan/atau sinus berulang kali; atau (d) yang membutuhkan aspirin
atau NSAID lainnya untuk pengobatan penyakit non-pernapasan
lainnya atau pencegahan penyakit kardiovaskular. Namun, manfaat
potensial dari desensitisasi aspirin terbatas. Pasien menghentikan
desensitisasi karena seringnya intoleransi gastrointestinal atau erupsi
kulit sesekali. 17
b. Beta Adrenergic Antagonists
1. Mekanisme
Mekanisme yang tepat yang menginduksi bronkospasme akibat
beta blocker tidak sepenuhnya diselesaikan. Beta-blockade menambah
respon bronkial terhadap metakolin dan alergen, serta ukuran reaksi tes
13

kulit langsung. Namun, kepekaan bronkial terhadap tantangan dengan


propranolol inhalasi tidak berkorelasi dengan metakolin inhalasi atau
histamin dan oleh karena itu beta-blocker tampaknya bertindak melalui
mekanisme aksi yang berbeda dari agen-agen ini. 17
Bronkospasme akibat beta-blocker dapat disebabkan oleh
blokade atau sekresi katekolamin yang tumpul. Karena otot polos
bronkus memiliki sedikit persarafan simpatis langsung, pada epitel
saluran napas dan pada otot polos saluran napas dan pembuluh darah
diatur oleh katekolamin sirkulasi. Namun, tidak ada hubungan yang
ditemukan antara kadar katekolamin plasma dan keparahan obstruksi
aliran udara, karena kadar katekolamin plasma tidak lebih tinggi pada
pasien dengan asma stabil dibandingkan dengan mereka yang sehat. 17
Bronkospasme akibat beta-blocker juga diduga berhubungan
dengan defek pada autoreseptor muskarinik. Beta2 reseptor yang
diidentifikasi pada saraf kolinergik bronkus manusia, menghambat
pelepasan asetilkolin. Blokade ini kemudian akan menyebabkan
peningkatan pelepasan asetilkolin. Pasien dengan asma, tetapi bukan
individu yang sehat, mungkin tidak dapat menghambat pelepasan
asetilkolin lebih lanjut melalui aktivasi autoreseptor muskarinik
penghambat M2 karena reseptor M2 rusak. 17
2. Tatalaksana dan Pencegahan
Meskipun tidak semua pasien asma mengalami bronkokonstriksi
dengan penggunaan beta-blockers pada pasien asma yang diketahui
merupakan kontraindikasi. Penghindaran agen oleh pasien asma telah
dibantu oleh munculnya calcium channel blocker dan ACE inhibitor.
Kedua kelas obat ini memberikan alternatif untuk berbagai gangguan
kardiovaskular. Pelepasan mediator sel mast, biosintesis leukotrien dan
migrasi sel inflamasi dipengaruhi oleh perubahan fluks kalsium, dan
penghambat saluran kalsium telah dipertimbangkan untuk pencegahan
asma alergi. Namun, gallopamil, penghambat saluran kalsium yang
kuat, tidak ditemukan efektif dalam respon fase akhir pada asma alergi.
14

17

Pengobatan bronkospasme akut bergantung pada glukokortikoid


intravena. Penggunaan agen antikolinergik inhalasi seperti atropin atau
ipratropium bromida mungkin tidak berhasil pada 30% pasien.
Penatalaksanaan farmakologis pasien dengan anafilaksis dan paparan
sebelumnya termasuk adrenalin (epinefrin), cairan intravena, agen
penekan seperti seperti dopamin, kortikosteroid intravena, antihistamin
HI dan glukagon intravena. 17
c. Bronchospasm from Drug-Induced Non-lgE-Mediated Mast Cell
Activation
Obat-obatan tertentu dapat menginduksi pelepasan mediator
inflamasi dari sel mast tanpa adanya antibodi IgE yang terbentuk
sebelumnya. Obat ini termasuk opiat seperti morfin, [71) polimiksin,
pentamidin [72) dan beberapa relaksan otot. Secara khusus, agen kontras
radiografi iodinasi cenderung menyebabkan reaksi alergi sistemik dengan
bronkospasme. Reaksi-reaksi ini tampaknya terkait terutama dengan zat
kontras dengan osmolalitas tinggi. 17
Agen kontras nonionik osmolalitas rendah telah ditemukan
memiliki frekuensi reaksi nonidiosinkratik yang secara signifikan lebih
rendah dibandingkan dengan agen dengan osmolalitas tinggi. Agen
kontras nonionik osmolalitas rendah, meskipun mahal, harus
dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat kontras sebelumnya. reaksi
media. Sebagai alternatif, profilaksis dengan steroid, antihistamin, dan
efedrin dapat digunakan. Akan tetapi, pengawasan ketat dan peralatan
resusitasi lengkap harus tersedia ketika pasien tersebut diberikan media
kontras intravena. 17
d. Bronchospasm Related to Analgesics
Pemberian secara intravena agen anestesi atau relaksan otot dapat
menyebabkan anafilaksis, dengan bronkospasme langsung terjadi pada
lebih dari setengah kasus ini. Frekuensi reaksi berkisar antara 1 dalam 400
hingga 7000 untuk alfaxalone, propanidid dan methohexital. Paparan
15

sebelumnya mungkin merupakan faktor risiko, seperti yang ditunjukkan


dengan pemberian kembali alfaxalone dalam waktu 3 bulan setelah
penggunaan awal. Meskipun pasien atopik memiliki risiko lebih tinggi
untuk reaksi sistemik, keadaan atopik tidak memiliki nilai prediktif untuk
pasien individu. 17
Berdasarkan tes kulit standar, bronkospasme tampaknya
diperantarai IgE. Peningkatan histamin plasma saja tidak cukup bukti
mediasi oleh IgE, karena peningkatan pelepasan histamin dari infus
intravena cepat thiopental (thiopentone), methohexital dan pelemas otot
dapat terjadi dengan atau tanpa reaksi sistemik. Korelasi antara pengujian
intradermal dan tusukan bervariasi dan pengulangan pada pasien yang
sama juga dapat memberikan hasil yang bervariasi. Pengujian intradermal
tampaknya menghasilkan hasil yang paling konsisten, tetapi tekniknya
lebih sulit dan harus dilakukan oleh mereka yang berpengalaman dalam
metodologi. Pengujian in vitro untuk antibodi IgE spesifik telah
ditunjukkan untuk natrium thiopental, tetapi alat diagnostik tersebut tidak
tersedia secara luas. 17
Di sisi lain, penggunaan berbagai anestesi telah dianjurkan untuk
mengobati episode asma. Inhalasi halotan dan isofluran telah dilaporkan
berhasil mengobati status asmatikus. Ketamin telah dilaporkan tidak hanya
menjadi pengganti opiat yang efektif untuk analgesik pasca operasi tetapi
juga menjadi agen profilaksis dan terapi untuk bronkospasme. Meskipun
lidokain topikal inhalasi (lignokain) telah dilaporkan menyebabkan
bronkokonstriksi, penelitian lain melaporkan tidak ada efek samping
keseluruhan. Selain itu, lidokain topikal telah terbukti menghambat
eksudasi plasma yang diinduksi capsaicin di saluran udara kelinci
percobaan. Eksudasi plasma neurogenik seperti itu mungkin penting
secara patogenik pada pasien asma karena peptida inflamasi dalam plasma.
Tindakan anti-eksudatif dari anestesi inhalasi dan ketamin kemudian
mungkin berkontribusi pada efek anti-asma yang dilaporkan ini. 17
Halotan secara tradisional direkomendasikan sebagai agen terbaik
16

untuk induksi anestesi umum sebelum operasi pada pasien dengan asma.
Hal ini karena kurangnya air liur, induksi cepat dan peningkatan
kepatuhan paru-paru, dan studi model hewan yang menguntungkan dan
pengalaman klinis. Namun, ahli anestesi menyarankan bahwa agen
inhalasi yang digunakan secara rutin saat ini pada dasarnya setara dalam
efek bronkodilatasi. 17
e. Paradoxical Bronchospasm from Antiasthmatic Medications
Obat anti-asma telah sering dilaporkan memprovokasi
bronkokonstriksi. Misalnya, aminofilin intravena dapat memperparah
asma dan menimbulkan gejala alergi langsung. Sensitivitas terhadap
komponen etilendiamin telah dibuktikan melalui uji kulit sebagai
penyebabnya. 17
Pemberian hidrokortison intravena telah diamati untuk
menimbulkan bronkospasme pada pasien asma yang sensitif terhadap
aspirin. Ada variabel reaktivitas uji kulit terhadap hidrokortison. Dalam
satu penelitian, glukortikoid intravena lain yang dipelajari dengan
hidrokortison tidak menyebabkan bronkospasme. Namun, reaksi umum
dengan bronkospasme yang memburuk dengan cepat telah dilaporkan
setelah pemberian deksametason intravena dan triamsinolonasetonid
intrakutan. Hipersensitivitas terhadap komponen karboksimetilselulosa
dari injeksi intrakutan dilaporkan menyebabkan yang terakhir reaksi.
Mekanisme reaksi ini sebagian besar masih belum jelas. 17
Natrium kromoglikat dan glukokortikoid yang dihirup telah
dilaporkan menyebabkan batuk dan mengi. Mekanisme ini diyakini
sebagai efek iritasi. Namun, reaktivitas uji kulit dan antibodi IgE spesifik
serum terhadap natrium kromoglikat kadang-kadang dilaporkan. 17
Laporan efek samping dari inhaler dosis terukur telah meningkat
dalam beberapa tahun terakhir. Eksaserbasi tiba-tiba telah dikaitkan
dengan tabung atau botol baru serta dengan sistem pengiriman yang
sebelumnya digunakan tanpa efek samping pada individu-individu ini.
Bukti epidemiologis telah menghubungkan penggunaan teratur obat ini
17

secara umum, dan fenoterol khususnya, dengan episode bronkospasme


yang lebih serin. Penurunan yang signifikan pada fungsi paru awal, dan
peningkatan kematian akibat asma. 17
Penggunaan salbutamol (albuterol) secara teratur dengan dosis
konvensional selama 2 minggu telah terbukti meningkatkan respons
saluran napas terhadap alergen dan metakolin. Takifilaksis sejauh ini
belum terbukti sebagai mekanisme karena respons bronkodilator terhadap
agonis inhalasi tidak berubah dan karena kortikosteroid inhalasi, yang
meningkatkan regulasi tidak memiliki efek perlindungan. Mekanisme lain
yang disarankan termasuk peningkatan pelepasan mediator dari sel mast
karena penurunan regulasi sel mast dan stimulasi sekresi berlebihan.
Apakah penggunaan inhaler dosis terukur secara teratur pada pasien asma
dapat meningkatkan peradangan bronkial memerlukan kehati-hatian
evaluasi dalam waktu dekat menggunakan alat diagnostik laboratorium
seperti bronchoalveolar lavage dan biopsi bronkial. 17

Tabel I. Obat-obatan yang dapat menyebabkan episode asma akut17


18
BAB III
KESIMPULAN

1. Kesimpulan

Asma adalah gangguan inflamasi kronik pada saluran napas dengan


berbagai sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil dan limfosit T.
Kerusakan epitel saluran napas, gangguan saraf otonom, dan adanya
perubahan pada otot polos bronkus juga diduga berperan pada proses
hipereaktivitas saluran napas. Etiologi asma masih menjadi perdebatan di
kalangan para ahli, namun secara umum terjadinya asma dipengaruhi oleh
faktor genetik dan faktor lingkungan. Diagnosis asma yang tepat, penting
dalam memudahkan penanganan penyakit asma. Diagnosis asma dapat
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Klasifikasi asma menurut Mc Connel dan Holgate membagi asma
kedalam 3 kategori, yaitu asma alergi/ekstrinsik, asma non-alergi/intrinsik
danassma yang berkaitan dengan penyakit paru obstruksif kronik. Menurut
Global Initiative for Asthma (GINA) asma dibagi menjadi 4 yaitu asma
intermitten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten
berat. Tatalaksana asma secarau umum adalah pasien disarankan untuk
mengidentifikasi serta mengendalikan faktor pencetusnya.

Bronkospasme akibat Drug induced asthma bukanlah fenomena


langka. Dalam evaluasi bronkospasme, adalah tanggung jawab dokter untuk
meninjau dengan pasien semua obat yang digunakan sebelumnya: obat bebas,
vitamin, preparat dingin, patch transdermal, obat tetes mata, pil kontrasepsi
oral, dll. pengobatan dan penggunaan agen alternatif efektif dalam banyak
kasus. Dengan kepekaan terhadap NSAID, desensitisasi harus
dipertimbangkan jika tidak ada pilihan terapi lain yang layak.

Bronkospasme paradoks dari obat antiasma dapat terjadi, dan tidak


boleh diabaikan sebagai penyebab bronkospasme. Penghindaran obat ini
dalam situasi darurat harus dipertimbangkan ketika riwayat pasien sangat

19
menunjukkan respon paradoks terhadap obat antiasma. Jika pasien dengan
dugaan bronkospasme paradoks akan ditantang dengan cannister atau agen
pemicu yang dicurigai, prosedur harus dilakukan oleh personel
berpengalaman dengan peralatan ventilasi yang tersedia, karena reaksi parah
terhadap tantangan telah terjadi pada pasien ini.

Perawatan darurat bronkospasme harus mencakup berikut ini:


suplementasi oksigen, obat nebulisasi atau inhalasi terus menerus,
kortikosteroid intravena dan cairan intravena. Teofilin intravena
direkomendasikan, tetapi konsentrasi teofilin dalam darah memerlukan
pemantauan yang sering. Sedasi hanya boleh diberikan ketika pasien
ditempatkan pada ventilator. Antibiotik dan modalitas terapeutik lainnya
hanya boleh digunakan bila ada indikasi spesifik.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Anggoro, Agung Huda. (2018). Pengaruh Promosi Kesehatan tentang


Asma terhadap Tingkat Pengetahuan Sikap dan Perilaku pada
Penderita Asma.
2. Ardi. (2018). Hubungan Pengetahuan tentang Asma dengan Perilaku
Pencegahan Kekambuhan pada Penderita. Pacitan
3. Astuti, Rita & Devi Darliana. (2018). Hubungan Pengetahuan dengan
Upaya Pencegahan Kekambuhan Asma Bronkhial. Jurnal Idea Nursing
4. Arifuddin, Adhar, dkk. (2019). Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Asma di Wilayah Kerja Puskesmas Singgani Kota
Palu. Palu : Jurnal Kesehatan Tadulako Vol. 5 No. 1 Hal. 1-62
5. Astuti, Rita & Devi Darliana. (2018). Hubungan Pengetahuan dengan
Upaya Pencegahan Kekambuhan Asma Bronkhial. Idea Nursing
Journal vol. IX No. 1
6. Bhaskaraa, Yusuf. Rahmat Bakhtiar & Emil Bachtiar Moerad. (2018).
Hubungan Tingkat Kontrol Asma dengan Kualitas Hidup Pasien Asma
di Klinik Paru RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Jurnal
kedokteran mulawarman
7. Chusnawati, Aini, Gipta Galih Widodo & Yunita Galih Yudanari.
(2016). Gambaran Faktor-Faktor Pencetus Timbulnya Serangan Asma
pada Pasien Asma Bronkhial di RSUD Ungaran.
8. Ciptarini, Sinta Tri. (2015). Pengaruh senam asma indonesia terhadap
frekuensi kekambuhan asma pada penderita asma di balai kesehatan
paru masyarakat (bkpm). Semarang. undergraduate thesis, UNIMUS.

21
22

9. Dharmayanti, et al. (2015). Asma pada Anak di Indonesia: Penyebab


dan Pencetus. Indonesia
10. Esti, Sri Yulia. (2019). Gambaran Tingkat Ansietas Dan Tingkat
Kontrol Asma Pada Penderita Asma Di Wilayah Kerja Puskesmas
Kecamatan Nanggalo Padang
11. Ferliani. (2015). Kepatuhan Berobat pada Pasien Asma Tidak
Terkontrol dan Faktor-Faktor yang Berhubungan. Jurnal Penyakit
Dalam Indonesia
12. Hidayati, Putri. (2015). Hubungan antara Pengetahuan tentang
Pencegahan Asma dengan Kejadian pada Kekambuhan pada Penderita
Asma di Wilayah Kerja Puskesmas Ngoresan Surakarta. Naskah
Publikasi
13. Iamandescu lB. (1989). NSAIDs-induced asthma: peculiarities related
to background and association with other non-etiological agents.
Allergol Immunopathol 1989; 6: 285-90
14. Lympany PA, Welsh KI, Christie PE, et al. (1993). An analysis with
sequence-specific oligonucleotide probes of the association between
aspirin-induced asthma and antigens of the HLA system. J Allergy
Clin Immunol1993; 92: 114-23
15. Astuti, N. D., & Azam, M. (2017). Efektivitas Terapi Slow Deep
Breathing (SDB) terhadap Tingkat Kontrol Asma. HIGEIA (Journal of
Public Health Research and Development), 1(1), 36-42.
16. Tenda, E. D. (2014). Bronchial Thermoplasty sebagai Terapi Asma.
17. Klein, J. S., & Hunt, L. W. (1994). Drug-Induced Asthma. Clinical
Immunotherapeutics, 1(3), 181-190.
18. GINA. 2014. Global Initiatives for Asthma.

Anda mungkin juga menyukai