Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

ASMA BRONGKIAL
Mata Kuliah : KMB I
Dosen Pembimbing : Ns. Frangky Mapanawang S.Kep, M.Kep

Disusun Oleh :
Nabila Iriyanti Masibira (1420122024)

YAYASAN MEDIKA MANDIRI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAKARIWO HALMAHERA
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2023/2024

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan pengalaman belajar lapangan yang berjudul
“Asma Bronkial” ini tepat waktu. Penulisan responsi kasus ini, merupakan salah
satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah
Denpasar. Dalam penyusunan responsi kasus ini, penulis mendapat bimbingan,
saran, serta masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini,
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Ketut Suardamana,Sp.PD selaku pembimbing dalam penyusunan
responsi kasus ini, atas bimbingannya
2. Dokter residen yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas
masukannya
3. Rekan-rekan dokter muda yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah
Denpasar atas masukannya.

Penulis menyadari bahwa responsi kasus ini masih jauh dari sempurna, sehingga
saran dan kritik yang membangun, sangat penulis harapkan. Semoga responsi
kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Tobelo, Desember 2023

ii
DAFTAR ISI

COVER..........................................................................................................
KATA PENGANTAR..................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
1.1Latar Belakang.......................................................................................
1.2Tujuan ...................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................
2.1 Konsep Dasar Menigitis........................................................................
2.2 Etiologi..................................................................................................
2.3 Klasifikasi.............................................................................................
2.4 pathofisiologi.........................................................................................
2.5 Manifestasi Klinis..................................................................................
2.6 Pathogenesis..........................................................................................
2.7 Diagnosa................................................................................................
2.8 Penatalaksanaan.....................................................................................
2.9 Komplikasi............................................................................................
BAB III PENUTUP.......................................................................................
3.1 Kesimpulan............................................................................................
3.2 Saran......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma adalah penyakit inflamasi dari saluran pernafasan yang melibatkan inflamasi pada
saluran pernafasan dan mengganggu aliran udara, dan dialami oleh 22 juta warga
Amerika. Inflamasi saluran nafas pada asma meliputi interaksi komplek dari sel, mediator-
1
mediator, sitokin, dan kemokin. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi,
sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episode
tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali
bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.2
Di Indonesia, asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian.
Hal tersebut tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) diberbagai
propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10
penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan empisema.
Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan empisema sebagai penyebab kematian
(mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh
Indonesia sebesar 13/1000 dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru
2/1000.2

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian asma brongkial?


2. Apakah etiologi asma brongkial?
3. Bagaimana patofisilogi kasma brongkial?
4. Apa sajakah manifestasi klinis asma brongkial ?
5. Apa sajakah klasifikasi asma brongkial?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian asma brongkial
2. Mengerti dan memahami etiologi asma brongkial
3. Mengerti dan memahami patofisilogi asma brongkial
4. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis asma brongkial
5. Mengetahui dan memahami klasifikasi asma brongkial
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Epidemiologi Dan Etiologi Asma

Asma bronkial dapat terjadi pada semua umur namun sering dijumpai pada awal
kehidupan. Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum berumur 10 tahun dan
sepertiga bagian lainnya terjadi sebelum umur 40 tahun. Pada usia anak-anak, terdapat
perbandingan 2:1 untuk laki-laki dibandingkan wanita, namun perbandingan ini menjadi
sama pada umur 30 tahun. Angka ini dapat berbeda antara satu kota dengan kota yang
lain dalam negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5 – 7 %.4,5

Atopi merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi perkembangan asma. Asma


alergi sering dihubungkan dengan riwayat penyakit alergi pribadi maupun keluarga
seperti rinitis, urtikaria, dan eksema. Keadaan ini dapat pula disertai dengan reaksi kulit
terhadap injeksi intradermal dari ekstrak antigen yang terdapat di udara, dan dapat pula
disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan atau respon positif terhadap tes
provokasi yang melibatkan inhalasi antigen spesifik.5

Pada manusia alergen berupa debu rumah (tungau) marupakan pencetus tersering
dari eksaserbasi asma. Tungau-tungau tersebetut secara biologis dapat merusak struktur
daripada saluran nafas melalui aktifitas proteolitik, yang selanjutnya menghancurkan
integritas dari tight junction antara sel-sel epitel. Sekali fungsi dari epitel ini
dihancurkan, maka alergen dan partikel lain dapat dengan mudah masuk ke area yang
lebih dalam yaitu di daerah lamina propia. Penyusun daripada tungau-tungau pada debu
rumah ini yang memiliki aktivitas protease ini dapat memasuki daerah epitel dan
mempenetrasi daerah yang lebih dalam di saluran pernafasan. 3

Faktor lingkungan yang berhubungan dengan imune dan nonimunologi juga


merupakan pencetus daripada asma termasuk rokok dan perokok pasif. Kira-kira 25%
sampai 30% dari penderita asma adalah seorang perokok. Hal ini menyimpulkan bahwa
merokok ataupun terkena asap rokok akan meningkatkan morbiditas dan keparahan
penyakit dari penderita asma. Terpapar asap rokok yang lama pada pasien asma akan
berkontribusi terhadap kerusakan dari fungsi paru, yaitu penurunan kira-kira 18% dari
FEV 1 selama 10 tahun.Pasien asma yang memiliki kebiasaan merokok akan
mempercepat terjadinya emfisema. Mekanisme yang mendasari daripada efek rokok
pada pasien asma dijelaskan pada tabel 1.1

2.2 Patofisiologi Asma

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang dikarakteristikan dengan proses


yang sangat kompleks dan melibatkan beberapa komponen yaitu hiperresponsif dari
bronkial, inflamasi dan remodeling saluran pernafasan4,5

2.2.1 Penyempitan Saluran Napas

Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari timbulnya gejala dan
perubahan fisiologis asma. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya
penyempitan saluran napas yaitu kontraksi otot polos saluran napas, edema pada saluran
napas, penebalan dinding saluran napas dan hipersekresi mukus. 3

Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon terhadap berbagai
mediator bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah mekanisme dominan terhadap
penyempitan saluran napas dan prosesnya dapat dikembalikan dengan bronkodilator.
Edema pada saluran napas disebabkan kerena adanya proses inflamasi. Hal ini penting
pada eksaserbasi akut. Penebalan saluran napas disebabkan karena perubahan struktural
atau disebut juga ”remodelling”.3 Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan
kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing
process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel yang mati atau
rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan
jaringan yang rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang
rusak dengan jaringan penyambung yang menghasilkan jaringan parut. Pada asma kedua
proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian
akan menghasilkan perubahan struktur yang komplek yang dikenal dengan airway
remodelling.2

Inflamasi kronis yang terjadi pada bronkus menyebabkan kerusakan jaringan yang
menyebabkan proses perbaikan (repair) yang terjadi berulang-ulang. Proses remodeling
ini yang menyebabkan terjadinya asma. Namun, pada onset awal terjadinya proses ini
kadang-kadang sebelum disesbkan oleh inflamasi eosinofilik, dikatakan proses
remodeling ini dapat menyebabkan asma secara simultan. Proses dari remodeling ini
dikarakteristikan oleh peningkatan deposisi protein ekstraselular matrik di dalam dan
sekitar otot halus bronkial, dan peningkatan daripada ukuran sel atau hipertropi dan
peningkatan jumlah sel atau hiperplasia.5

2.2.2 Hiperreaktivitas saluran napas


Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis yang
secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggungjawab
terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui dengan
pasti tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas (hiperplasi
dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan kontraktilitas.
Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratorik terutama daerah peribronkial dapat
memperberat penyempitan saluran respiratorik selama kontraksi otot polos.6,7

2.3 Faktor Pencetus Asma

Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu (host


factor) dan faktor lingkungan. 2

a. Faktor host

 Genetik
 Obesitas
 Jenis kelamin

b. Faktor lingkungan

 Rangsangan alergen.
 Rangsangan bahan-bahan di tempat kerja.
 Infeksi.
 Merokok
 Obat.
 Penyebab lain atau faktor lainnya.

2.4 Gambaran Klinis Asma

Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan mengi. Gejala
lainnya dapat berupa rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan toleransi kerja,
nyeri tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai dengan pilek atau bersin. Gejala
tersebut dapat bervariasi menurut waktu dimana gejala tersebut timbul musiman atau
perenial, beratnya, intensitas, dan juga variasi diurnal. Timbulnya gejala juga sangat
dipengaruhi oleh adanya faktor pencetus seperti paparan terhadap alergen, udara dingin,
infeksi saluran nafas, obat-obatan, atau aktivitas fisik. Faktor sosial juga mempengaruhi
munculnya serangan pada pasien asma, seperti karakteristik rumah, merokok atau tidak,
karakteristik tempat bekerja atau sekolah, tingkat pendidikan penderita, atau pekerjaan.4

2.5 Diagnosis Asma

Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan nafas yang
reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit/gejala :

- bersifat episodik, reversibel dengan atau tanpa pengobatan.


- gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, dan berdahak.
- gejala timbul/memburuk di malam hari.
- respons terhadap pemberian bronkodilator.

Selain itu melalui anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat keluarga (atopi),
riwayat alergi/atopi, penyakit lain yang memberatkan, perkembangan penyakit dan
pengobatan. Adapun beberapa tanda dan gejala yang dapat meningkatkan kecurigaan
terhadap asma adalah :

1. Di dengarkan suara mengi (wheezing)  sering pada anak-anak


Apabila didapatkan pemeriksaan dada yang normal, tidak dapat mengeksklusi diagnosis
sama, apabila terdapat :
1. Memiliki riwayat dari:
a. Batuk, yang memburuk dimalam hari
b. Mengi yang berulang
c. Kesulitan bernafas
d. Sesak nafas yang berulang
2. Keluhan terjadi dan memburuk saat malam
3. Keluhan terjadi atau memburuk saat musim tertentu
4. Pasien juga memiliki riwayat eksema, hay fever, atau riwayat keluarga asma atau
penyakit atopi
5. Keluhan terjadi atau memburuk apabila terpapar :
a. Bulu binatang
b. Aerosol bahan kimia
c. Perubahan temperatur
d. Debu tungau
e. Obat-obatan (aspirin,beta bloker)
f. Beraktivitas
g. Serbuk tepung sari
h. Infeksi saluran pernafasan
i. Rokok
j. Ekspresi emosi yang kuat
6. Keluhan berespon dengan pemberian terapi anti asma

Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda obstruksi saluran nafas dan
tanda yang khas adalah adanya mengi pada auskultasi. Namun pada sebagian penderita
dapat ditemukan suara nafas yang normal pada auskultasi walaupun pada pengukuran
faal paru telah terjadi penyempitan jalan nafas. 2,3

Pengukuran faal paru dilakukan untuk menilai obstruksi jalan nafas, reversibiliti
kelainan faal paru, variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiper-responsif
jalan nafas. Pemeriksaan faal paru yang standar adalah pemeriksaan spirometri dan peak
expiratory flow meter (arus puncak ekspirasi). Pemeriksaan lain yang berperan untuk
diagnosis antara lain uji provokasi bronkus dan pengukuran status alergi. Uji provokasi
bronkus mempunyai sensitivitas yang tinggi tetapi spesifisitas rendah. Komponen alergi
pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE
spesifik serum, namun cara ini tidak terlalu bernilai dalam mendiagnosis asma, hanya
membantu dalam mengidentifikasi faktor pencetus.2,3

2.6 Klasifikasi Asma2,3

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis

(Sebelum Pengobatan)2

Derajat Gejala Gejala malam Faal paru


asma
I. Intermiten Bulanan APE ≥ 80%

 Gejala < 1x/minggu  ≤ 2x/bulan  VEP1 ≥ 80% nilai prediksi


 Tanpa gejala diluar  APE ≥ 80% nilai terbaik
serangan  Variabilitas APE < 20%
II. Persisten  Serangan singkat
Ringan Mingguan APE ≥ 80%

 Gejala > 1x/minggu, tapi <  > 2x/bulan  VEP1 ≥ 80% nilai prediksi
1x/hari  APE ≥ 80% nilai terbaik
 Serangan dapat mengganggu  Variabilitas APE 20-30%
aktivitas dan tidur
 Membutuhkan bronkodilator
setiap hari
III.
Persisten
Sedang Harian APE 60-80%

 Gejala setiap hari  >1x/minggu  VEP1 60-80% nilai


 Serangan menggangu prediksi
aktivitas dan tidur  APE 60-80% nilai terbaik
 Membutuhkan bronkodilator  Variabilitas APE > 30%
setiap hari
IV.
Persisten
Berat Kontinyu APE ≤ 60%

 Gejala terus menerus  Sering  VEP1 ≤ 60% nilai prediksi


 Sering kambuh  APE≤ 60% nilai terbaik
 Aktivitas fisik terbatas  Variabilitas APE > 30%

Tabel 2. Klasifikasi Derajat Asma pada Penderita dalam Pengobatan2

Tahapan pengobatan yang digunakan saat penilaian

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3

Gejala dan faal paru dalam pengobatan Intermiten Pesisten ringan Persisten
sedang

Tahap I: Intermiten Intermiten Persisten ringan Persisten


sedang
Gejala < 1x/mggu

Serangan singkat

Gejala malam < 2x/bln

Faal paru normal diluar serangan


Tahap II: Persisten Ringan Persisten ringan Persisten Persisten
sedang berat
Gejala >1x/mggu, tapi <1x/hari

Gejala malam >2x/bln, tapi <1x/mggu

Faal paru normal diluar serangan

Tahap III: Persisten Sedang Persisten Persisten berat Persisten


sedang berat
Gejala setiap hari

Serangan mempengaruhi tidur dan


aktivitas

Gejala malam >1x/mggu

60%<VEP1<80% nilai prediksi

60%<APE<80% nilai terbaik

Tahap III: Persisten Berat Persisten berat Persisten berat Persisten


berat
Gejala terus menerus

Serangan sering

Gejala malam sering

VEP1≤60% nilai prediksi, atau

APE≤60% nilai terbaik

2.7 Penatalaksanaan Asma

Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia yang


dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2004, ada 7 komponen
program penatalaksanaan asma dimana 6 di antaranya menyerupai komponen
pengobatan yang dianjurkan oleh GINA dan ditambah satu komponen yaitu pola hidup
sehat.2

EDUKASI

Edukasi yang diberikan antara lain adalah pemahaman mengenai asma itu sendiri,
tujuan pengobatan asma, bagaimana mengidentifikasi dan mengontrol faktor pencetus,
obat-obat yang digunakan berikut efek samping obat, dan juga penanganan serangan
asma di rumah.

PENILAIAN DERAJAT BERATNYA ASMA

Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh penderita
sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma.

A. Pemantauan tanda gejala asma.

B. Pemeriksaan faal paru

IDENTIFIKASI DAN PENGENDALIAN FAKTOR PENCETUS

Sebagian penderita dengan mudah mengenali fakor pencetus, akan tetapi sebagian
lagi tidak dapat menegtahui faktor pencetus asmanya.

MERENCANAKAN DAN MEMBERIKAN PENGOBATAN JANGKA PANJANG

Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan. Dalam
menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai atau
mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat tiga faktor yang perlu
dipertimbangkan:

1. Medikasi (obat-obatan)
2. Tahapan pengobatan
3. Penanganan asma mandiri (pelangi asma)
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan
nafas, terdiri atas pengontrol dan pelega.

A. Pengontrol

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,


diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada
asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol
adalah:

a. Glukokortikosteroid inhalasi
Kortikosteroin inhalasi bertujuan untuk menekan proses inflamasi dan komponen
yang berperan dalam remodeling pada bronkus yang menyebabkan asma. Pada
tingkat
vascular, glukokortikosteroid inhalasi bertujuan menghambat terjadinya hipoperfusi,
mikrovaskular, hiperpermeabilitas, pembentukan mukasa udem, dan pembentukan
pembuluh darah baru (angiogenesis).4

Glukokortikosteroid inhalasi adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif


untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid
inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan nafas,
mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki
kualitas hidup. Efek samping adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring,
disfonia dan batuk karena airitasi saluran nafas atas.

b. Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai
pengontrol pada keadaan asma persisten berat, tetapi penggunaannya terbatas
mengingat risiko efek sistemik. Untuk jangka panjang, lebih efektif menggunakan
steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid oral terpaksa harus
diberikan, maka dibutuhkan selama jangka waktu tertentu. Efek samping jangka
panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari
hipotalamus, katarak, glaukoma, obesitas, penipisan kulit, striae, dan kelemahan otot.

c. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)


Mekanisme yang pasti belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan
antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan mediator dari sel mast melalui reaksi
yang diperantarai IgE yang bergantung pada dosis dan seleksi serta supresi pada sel
inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit), selain juga kemungkinan
menghambat saluran kalsium pada sel target. Pemberiannya secara inhalasi,
digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Efek samping umumnya
minimal seperti batuk atau rasa tidak enak obat saat melakukan inhalasi.

d. Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti
antiinflamasi. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan bersama/kombinasi
dengan agonis β2 kerja singkat, sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan.
Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol,
dimana pemberian jangka panjang efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal
paru. Preparat lepas lambat mempunyai aksi/waktu kerja yang lama sehingga
digunakan untuk mengontrol gejala asma malam dikombinasi dengan antiinflamasi
yang lazim. Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi (≥10 mg/kgBB/hari
atau lebih) dengan gejala gastrointestinal seperti nausea, muntah adalah efek samping
yang paling dulu dan sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti takikardi, aritmia
dan kadangkala merangsang pusat nafas. Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan
kejang bahkan kematian.

e. Agonis β2 kerja lama


Termasuk agonis β2 kerja lama inhalasi adalah salmoterol dan formoterol yang
mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Agonis β2 memiliki efek relaksasi otot
polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh
darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Pada pemberian
jangka lama mempunyai efek antiinflamasi, walau kecil dan mempunyai efek
protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis β2 kerja
lama menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik dibandingkan preparat oral.
Karena pengobatan jangka panjang dengan agonis β2 kerja lama tidak mengubah
inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu dikombinasi dengan
glukokortikosteroid inhalasi, dimana penambahan agonis β2 kerja lama inhalasi akan
memperbaiki gejala, menurunkan asma malam, memperbaiki faal paru, menurunkan
kebutuhan agonis β2 kerja singkat (pelega) dan menurunkan frekuensi serangan asma.

Agonis β2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik (rangsangan
kardiovaskuler, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih sedikit atau jarang
daripada pemberian oral.

f. Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.
Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua
leukotrien (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil
pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja
tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi
akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga
mempunyai efek antiinflamasi.

B. Pelega
a. Agonis β2 kerja singkat
Mempunyai waktu mulai kerja singkat (onset) yang cepat. Formoterol mempunyai
onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral,
pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping
minimal/tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis β 2 yaitu relaksasi otot polos
saluran nafas, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas
pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Efek
sampingnya rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia.
Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek samping.

b. Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walaupun efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis β2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat tidak menambah efek
bronkodilatasi agonis β2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat untuk
respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernafasan dan mempertahankan respon
terhadap agonis β2 kerja singkat diantara pemberian satu dengan berikutnya.

c. Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan
asetilkolin dari saraf kolinergik dari jalan nafas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan
menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks
bronkokonstriksi yang disebabkan iritan.. Efek samping berupa rasa kering di mulut
dan rasa pahit.

d. Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak tersedia
agonis β2, atau tidak respon dengan agonis β2 kerja singkat.

C. Tahapan penanganan asma

Pengobatan jangka panjang berdasarkan derajat berat asma, agar dapat tercapai
tujuan pengobatan dengan menggunakan medikasi seminimal mungkin. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan stepdown therapy.

D. Pengobatan berdasarkan derajat berat asma

Tabel 3. Pengobatan Sesuai Berat Asma2


Semua tahapan : ditambahkan agonis β2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak > 3-
4x/hari
Berat Asma Medikasi Pengontrol Alternatif/Pilihan Lain Alternatif Lain
Harian
Asma Tidak perlu - -
Intermiten
Asma Glukokortikosteroid  Teofilin lepas lambat -
Persisten inhalasi (200-400ug  Kromolin
Ringan BD/hari atau  Leukotrien modifiers
equivalennya)
Asma Kombinasi inhalasi  Kombinasi inhalasi  Ditambah agonis
Persisten glukokortikosteroid (400- glukokortikosteroid β2 kerja lama
Sedang 800ug BD/hari atau (400-800ug BD/hari atau oral, atau
equivalennya) dan agonis equivalennya) ditambah  Ditambahkan
teofilin lepas lambat, teofilin lepas
β2 kerja lama
atau lambat
 Kombinasi inhalasi
glukokortikosteroid
(400-800ug BD/hari atau
equivalennya) ditambah
agonis β2 kerja lama
oral, atau
 Glukokortikosteroid
inhalasi dosis tinggi
(>800ug BD atau
equivalennya) atau
 Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800ug BD
atau equivalennya)
ditambah leukotriene
modifiers
Asma Kombinasi inhalasi Prednisolon/ metil
Persisten glukokortikosteroid prednisolon oral selang
Berat (>800ug BD/hari atau sehari 10 mg ditambah
equivalennya) dan agonis agonis β2 kerja lama oral,
β2 kerja lama, ditambah ditambah teofilin lepas
≥1 dibawah ini: lambat
- teofilin lepas lambat
- leukotriene modifiers
- glukokortikosteroid oral
Semua tahapan : bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan,
kemudian diturunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi
asma tetap terkontrol

MENETAPKAN PENGOBATAN PADA SERANGAN AKUT

Kunci awal dalam penanganan serangan akut adalah penilaian berat serangan.

Tabel 4. Klasifikasi Berat Serangan Asma Akut1

Gejala dan Berat Serangan Akut Keadaan


Tanda Ringan Sedang Berat Mengancam
Jiwa
Sesak nafas Berjalan Berbicara Istirahat
Posisi Dapat tidur terlentang Duduk Duduk
membungkuk
Cara Satu kalimat Beberapa kata Kata demi kata
berbicara
Kesadaran Mungkin gelisah Gelisah Gelisah Mengantuk,
gelisah,
kesadaran
menurun
Frekuensi < 20/menit 20-30/menit > 30 menit
nafas
Nadi < 100 100-120 > 120 Bradikardia
Pulsus - ± + -
paradoksus
10 mmHg 10-20 mmHg > 25 mmHg kelelahan
otot
Otot bantu - + + Torakoabdo
nafas dan minal
retraksi paradoksal
suprasternal
Mengi Akhir ekspirasi paksa Akhir ekspirasi Inspirasi dan Silent chest
ekspirasi
APE > 80% 60-80% < 60%
PaO2 > 80 mmHg 80-60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg
SaO2 > 95% 91-95% < 90%

Tabel 5. Rencana Pengobatan Serangan Asma Berdasarkan Berat Serangan dan Tempat
Pengobatan1
Serangan Pengobatan Tempat pengobatan

Ringan Terbaik: Di rumah

Aktivitas relatif normal Inhalasi agonis β2

Berbicara satu kalimat dalam 1 Alternatif: Di praktek dokter/ klinik/


nafas puskesmas
Kombinasi oral agonis β2 dan
Nadi < 100 teofilin

APE > 80%

Sedang Terbaik:

Jalan jarak jauh timbulkan gelaja Nebulasi agonis β2 @ 4 jam Darurat gawat/RS

Berbicara beberapa kata dalam 1 Alternatif: Klinik


nafas
- Agonis β2 subkutan Praktek dokter
Nadi 100-120
- Aminofilin iv Puskesmas
APE 60-80%
- Adrenalim 1/1000 0,3 mL sc

Oksigen bila mungkin

Kortikosteroid sistemik

Berat Terbaik: Darurat gawat/RS

Sesak saat istirahat Nebulasi agonis β2 @ 4 jam Klinik

Berbicara kata perkata dalam 1 Alternatif:


nafas
- Agonis β2 sc/iv
Nadi > 120
- Adrenalim 1/1000 0,3 mL sc
APE < 60% atau 100 L/dtk

Aminofilin bolus dilanjutkan


drip

Oksigen

Kortikosteroid iv
Mengancam jiwa Seperti serangan akut berat Darurat gawat/RS

Kesadaran berubah /menurun Pertimbangkan intubasi dan ICU


ventilasi mekanik
Gelisah

Sianosis

Gagal nafas

KONTROL SECARA TERATUR

Dua hal penting yang harus diperhatikan dokter dalam penatalaksanaan asma
jangka panjang adalah melakukan tindak lanjut/follow up teratur dan merujuk ke ahli
paru pada keadaan-keadaan tertentu.
Jika asma tidak terkontrol pada pengobatan yang dijalani, maka pengobatan harus
di naikkan. Secara umum, perbaikan harus dilihat selama 1 bulan. Tetapi sebelumnya
harus dinilai tehnik medikasi pasien, kepatuhan dan usaha menghindari faktor resiko.
Jika asma sebagian terkontrol, dipertimbangkan menaikkan pengobatan yang tergantung
pada keefektifan terhadap pengobatan yang ada, keamanan, dan harga serta kepuasan
pasien terhadap pengobataan yang dijalani pasien. Dan jika, asma berhasil dikontrol
selama minimal 3 bulan, pengobatan dapat diturunkan secara gradual. Tujuan nya adalah
mengurangi pengobatan. Monitoring tetap penting dilakukan setelah asma terkontrol,
karena asma dapat tetap dapat terjadi eksaserbasi apabila kehilangan kontrol.3

D. Bronkial thermoplasty (BT)

Bronkial thermoplasty adalah suatu intervensi yang dilakukan bagi pasien asma
untuk mengkontrol energi termal ke dinding saluran pernafasan selama prosedur
bronkoskopy, yang menyebabkan penurunan daripada massa otot halus pada saluran
pernafasan. Peningkatan massa dan kontraktilitas dari otot halus merupakan mekanisme
yang dapat memperparah keadaan asma yaitu dengan meningkatkan bronkokonstriktor
dan obstruksi saluran pernafasan, penurunan jumlah dan/atau kontraktilitas dari otot
halus pada saluran pernafasan akan menyebabkan perbaikan dari gejala asma itu
sendiri.10
BAB III
PENUTUP

3.1 kesimpulan
Asma bronkial merupakan penyakit saluran pernapasan obstruktif yang ditandai dengan
adanya inflamasi saluran dan spasme akut otot polos bronkiolus. Kondisi ini menyebabkan
produksi mukus yang berlebihan dan menumpuk, penyumbatan aliran udara, dan
penurunan ventilasi alveolus.

3.2 Saran
Diharapkan dengan adanya makalah tentang konsep dan asuhan keperawatan pada asma
brongkial ini dapat membantu para pembaca untuklebih waspada terhadap penyakit ini .Selain
itu, untuk mahasiswa keperawatandan perawat dapat lebih mendalami konsep dan asuhan
keperawatan asma brongkial sehingga dalam pelaksanaannya dapat terlaksana dengan tepat
dantidak membahayakan bagi klien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Megan Stapleton, PharmD, Amanda Howard-Thompson. Smoking and Asthma. JABFM


May–June 2011 Vol. 24 No. 3, p.313-322
2. Mangunegoro, H. Widjaja, A. Sutoyo, DK. Yunus, F. Pradjnaparamita. Suryanto, E. et
al. (2004), Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta.
3. N. Miglino, M. Roth, M. Tamm and P. Borger. House dust mite extract downregulates
C/EBPa in asthmatic bronchial smooth muscle cells. Eur Respir J 2011; 38: 50–58
4. O’Byrne, P. Bateman, ED. Bosquet, J. Clark, T. Otha, K. Paggiaro, P. et al. (2010),
Global Initiative for Asthma Global Strategy for Asthma Management and Prevention,
Ontario Canada.
5. Sundaru, H. Sukamto. (2006), Asma Bronkial, In: Sudowo, AW. Setiyohadi, B. Alwi, I.
Simadibrata, M. Setiati, S. (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi
Keempat, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pp: 247-252.
6. I. Bara, A. Ozier, J-M. Tunon de Lara, R. Marthan and P. Berger. Pathophysiology of
bronchial smooth muscle remodelling in asthma. Eur Respir J 2010; 36: 1174–1184
7. McFaden, ER. (2005), Asthma, In: Kasper, DL. Pauci, AS. Longo, DL. Draunwald, E.
Hauser, SL. Jameson, JL. (eds), Harrison’s Principal of Medicine, 16th ed, Vol 2,
McGraw-Hill, Philladelphia, pp:1508-1515.
8. Chesnutt, MS. Prendergast, TJ. (2007), Lung, In: McPhee, SJ. Papadakis, MA. (eds)
Current Medical Diagnosis and Treatment, 46th ed, McGrawHill, Philadelphia, pp: 230-
241.
9. G. Horvath and A. Wanner. Inhaled corticosteroids: effects on the airway vasculature in
bronchial asthma. Eur Respir J 2006; 27: 172–187
10. Mario Castro, Adalberto S. Rubin, Michel Laviolette. Effectiveness and Safety of
Bronchial Thermoplasty in the Treatment of Severe Asthma. Am J Respir Crit Care
Med Vol 181. pp 116–124,

Anda mungkin juga menyukai