ASMA BRONGKIAL
Mata Kuliah : KMB I
Dosen Pembimbing : Ns. Frangky Mapanawang S.Kep, M.Kep
Disusun Oleh :
Nabila Iriyanti Masibira (1420122024)
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan pengalaman belajar lapangan yang berjudul
“Asma Bronkial” ini tepat waktu. Penulisan responsi kasus ini, merupakan salah
satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah
Denpasar. Dalam penyusunan responsi kasus ini, penulis mendapat bimbingan,
saran, serta masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini,
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Ketut Suardamana,Sp.PD selaku pembimbing dalam penyusunan
responsi kasus ini, atas bimbingannya
2. Dokter residen yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas
masukannya
3. Rekan-rekan dokter muda yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah
Denpasar atas masukannya.
Penulis menyadari bahwa responsi kasus ini masih jauh dari sempurna, sehingga
saran dan kritik yang membangun, sangat penulis harapkan. Semoga responsi
kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
ii
DAFTAR ISI
COVER..........................................................................................................
KATA PENGANTAR..................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
1.1Latar Belakang.......................................................................................
1.2Tujuan ...................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................
2.1 Konsep Dasar Menigitis........................................................................
2.2 Etiologi..................................................................................................
2.3 Klasifikasi.............................................................................................
2.4 pathofisiologi.........................................................................................
2.5 Manifestasi Klinis..................................................................................
2.6 Pathogenesis..........................................................................................
2.7 Diagnosa................................................................................................
2.8 Penatalaksanaan.....................................................................................
2.9 Komplikasi............................................................................................
BAB III PENUTUP.......................................................................................
3.1 Kesimpulan............................................................................................
3.2 Saran......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian asma brongkial
2. Mengerti dan memahami etiologi asma brongkial
3. Mengerti dan memahami patofisilogi asma brongkial
4. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis asma brongkial
5. Mengetahui dan memahami klasifikasi asma brongkial
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Epidemiologi Dan Etiologi Asma
Asma bronkial dapat terjadi pada semua umur namun sering dijumpai pada awal
kehidupan. Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum berumur 10 tahun dan
sepertiga bagian lainnya terjadi sebelum umur 40 tahun. Pada usia anak-anak, terdapat
perbandingan 2:1 untuk laki-laki dibandingkan wanita, namun perbandingan ini menjadi
sama pada umur 30 tahun. Angka ini dapat berbeda antara satu kota dengan kota yang
lain dalam negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5 – 7 %.4,5
Pada manusia alergen berupa debu rumah (tungau) marupakan pencetus tersering
dari eksaserbasi asma. Tungau-tungau tersebetut secara biologis dapat merusak struktur
daripada saluran nafas melalui aktifitas proteolitik, yang selanjutnya menghancurkan
integritas dari tight junction antara sel-sel epitel. Sekali fungsi dari epitel ini
dihancurkan, maka alergen dan partikel lain dapat dengan mudah masuk ke area yang
lebih dalam yaitu di daerah lamina propia. Penyusun daripada tungau-tungau pada debu
rumah ini yang memiliki aktivitas protease ini dapat memasuki daerah epitel dan
mempenetrasi daerah yang lebih dalam di saluran pernafasan. 3
Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari timbulnya gejala dan
perubahan fisiologis asma. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya
penyempitan saluran napas yaitu kontraksi otot polos saluran napas, edema pada saluran
napas, penebalan dinding saluran napas dan hipersekresi mukus. 3
Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon terhadap berbagai
mediator bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah mekanisme dominan terhadap
penyempitan saluran napas dan prosesnya dapat dikembalikan dengan bronkodilator.
Edema pada saluran napas disebabkan kerena adanya proses inflamasi. Hal ini penting
pada eksaserbasi akut. Penebalan saluran napas disebabkan karena perubahan struktural
atau disebut juga ”remodelling”.3 Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan
kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing
process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel yang mati atau
rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan
jaringan yang rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang
rusak dengan jaringan penyambung yang menghasilkan jaringan parut. Pada asma kedua
proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian
akan menghasilkan perubahan struktur yang komplek yang dikenal dengan airway
remodelling.2
Inflamasi kronis yang terjadi pada bronkus menyebabkan kerusakan jaringan yang
menyebabkan proses perbaikan (repair) yang terjadi berulang-ulang. Proses remodeling
ini yang menyebabkan terjadinya asma. Namun, pada onset awal terjadinya proses ini
kadang-kadang sebelum disesbkan oleh inflamasi eosinofilik, dikatakan proses
remodeling ini dapat menyebabkan asma secara simultan. Proses dari remodeling ini
dikarakteristikan oleh peningkatan deposisi protein ekstraselular matrik di dalam dan
sekitar otot halus bronkial, dan peningkatan daripada ukuran sel atau hipertropi dan
peningkatan jumlah sel atau hiperplasia.5
a. Faktor host
Genetik
Obesitas
Jenis kelamin
b. Faktor lingkungan
Rangsangan alergen.
Rangsangan bahan-bahan di tempat kerja.
Infeksi.
Merokok
Obat.
Penyebab lain atau faktor lainnya.
Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan mengi. Gejala
lainnya dapat berupa rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan toleransi kerja,
nyeri tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai dengan pilek atau bersin. Gejala
tersebut dapat bervariasi menurut waktu dimana gejala tersebut timbul musiman atau
perenial, beratnya, intensitas, dan juga variasi diurnal. Timbulnya gejala juga sangat
dipengaruhi oleh adanya faktor pencetus seperti paparan terhadap alergen, udara dingin,
infeksi saluran nafas, obat-obatan, atau aktivitas fisik. Faktor sosial juga mempengaruhi
munculnya serangan pada pasien asma, seperti karakteristik rumah, merokok atau tidak,
karakteristik tempat bekerja atau sekolah, tingkat pendidikan penderita, atau pekerjaan.4
Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan nafas yang
reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit/gejala :
Selain itu melalui anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat keluarga (atopi),
riwayat alergi/atopi, penyakit lain yang memberatkan, perkembangan penyakit dan
pengobatan. Adapun beberapa tanda dan gejala yang dapat meningkatkan kecurigaan
terhadap asma adalah :
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda obstruksi saluran nafas dan
tanda yang khas adalah adanya mengi pada auskultasi. Namun pada sebagian penderita
dapat ditemukan suara nafas yang normal pada auskultasi walaupun pada pengukuran
faal paru telah terjadi penyempitan jalan nafas. 2,3
Pengukuran faal paru dilakukan untuk menilai obstruksi jalan nafas, reversibiliti
kelainan faal paru, variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiper-responsif
jalan nafas. Pemeriksaan faal paru yang standar adalah pemeriksaan spirometri dan peak
expiratory flow meter (arus puncak ekspirasi). Pemeriksaan lain yang berperan untuk
diagnosis antara lain uji provokasi bronkus dan pengukuran status alergi. Uji provokasi
bronkus mempunyai sensitivitas yang tinggi tetapi spesifisitas rendah. Komponen alergi
pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE
spesifik serum, namun cara ini tidak terlalu bernilai dalam mendiagnosis asma, hanya
membantu dalam mengidentifikasi faktor pencetus.2,3
(Sebelum Pengobatan)2
Gejala > 1x/minggu, tapi < > 2x/bulan VEP1 ≥ 80% nilai prediksi
1x/hari APE ≥ 80% nilai terbaik
Serangan dapat mengganggu Variabilitas APE 20-30%
aktivitas dan tidur
Membutuhkan bronkodilator
setiap hari
III.
Persisten
Sedang Harian APE 60-80%
Gejala dan faal paru dalam pengobatan Intermiten Pesisten ringan Persisten
sedang
Serangan singkat
Serangan sering
EDUKASI
Edukasi yang diberikan antara lain adalah pemahaman mengenai asma itu sendiri,
tujuan pengobatan asma, bagaimana mengidentifikasi dan mengontrol faktor pencetus,
obat-obat yang digunakan berikut efek samping obat, dan juga penanganan serangan
asma di rumah.
Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh penderita
sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma.
Sebagian penderita dengan mudah mengenali fakor pencetus, akan tetapi sebagian
lagi tidak dapat menegtahui faktor pencetus asmanya.
Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan. Dalam
menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai atau
mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat tiga faktor yang perlu
dipertimbangkan:
1. Medikasi (obat-obatan)
2. Tahapan pengobatan
3. Penanganan asma mandiri (pelangi asma)
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan
nafas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
A. Pengontrol
a. Glukokortikosteroid inhalasi
Kortikosteroin inhalasi bertujuan untuk menekan proses inflamasi dan komponen
yang berperan dalam remodeling pada bronkus yang menyebabkan asma. Pada
tingkat
vascular, glukokortikosteroid inhalasi bertujuan menghambat terjadinya hipoperfusi,
mikrovaskular, hiperpermeabilitas, pembentukan mukasa udem, dan pembentukan
pembuluh darah baru (angiogenesis).4
b. Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai
pengontrol pada keadaan asma persisten berat, tetapi penggunaannya terbatas
mengingat risiko efek sistemik. Untuk jangka panjang, lebih efektif menggunakan
steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid oral terpaksa harus
diberikan, maka dibutuhkan selama jangka waktu tertentu. Efek samping jangka
panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari
hipotalamus, katarak, glaukoma, obesitas, penipisan kulit, striae, dan kelemahan otot.
d. Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti
antiinflamasi. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan bersama/kombinasi
dengan agonis β2 kerja singkat, sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan.
Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol,
dimana pemberian jangka panjang efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal
paru. Preparat lepas lambat mempunyai aksi/waktu kerja yang lama sehingga
digunakan untuk mengontrol gejala asma malam dikombinasi dengan antiinflamasi
yang lazim. Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi (≥10 mg/kgBB/hari
atau lebih) dengan gejala gastrointestinal seperti nausea, muntah adalah efek samping
yang paling dulu dan sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti takikardi, aritmia
dan kadangkala merangsang pusat nafas. Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan
kejang bahkan kematian.
Agonis β2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik (rangsangan
kardiovaskuler, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih sedikit atau jarang
daripada pemberian oral.
f. Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.
Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua
leukotrien (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil
pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja
tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi
akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga
mempunyai efek antiinflamasi.
B. Pelega
a. Agonis β2 kerja singkat
Mempunyai waktu mulai kerja singkat (onset) yang cepat. Formoterol mempunyai
onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral,
pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping
minimal/tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis β 2 yaitu relaksasi otot polos
saluran nafas, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas
pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Efek
sampingnya rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia.
Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek samping.
b. Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walaupun efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis β2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat tidak menambah efek
bronkodilatasi agonis β2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat untuk
respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernafasan dan mempertahankan respon
terhadap agonis β2 kerja singkat diantara pemberian satu dengan berikutnya.
c. Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan
asetilkolin dari saraf kolinergik dari jalan nafas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan
menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks
bronkokonstriksi yang disebabkan iritan.. Efek samping berupa rasa kering di mulut
dan rasa pahit.
d. Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak tersedia
agonis β2, atau tidak respon dengan agonis β2 kerja singkat.
Pengobatan jangka panjang berdasarkan derajat berat asma, agar dapat tercapai
tujuan pengobatan dengan menggunakan medikasi seminimal mungkin. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan stepdown therapy.
Kunci awal dalam penanganan serangan akut adalah penilaian berat serangan.
Tabel 5. Rencana Pengobatan Serangan Asma Berdasarkan Berat Serangan dan Tempat
Pengobatan1
Serangan Pengobatan Tempat pengobatan
Sedang Terbaik:
Jalan jarak jauh timbulkan gelaja Nebulasi agonis β2 @ 4 jam Darurat gawat/RS
Kortikosteroid sistemik
Oksigen
Kortikosteroid iv
Mengancam jiwa Seperti serangan akut berat Darurat gawat/RS
Sianosis
Gagal nafas
Dua hal penting yang harus diperhatikan dokter dalam penatalaksanaan asma
jangka panjang adalah melakukan tindak lanjut/follow up teratur dan merujuk ke ahli
paru pada keadaan-keadaan tertentu.
Jika asma tidak terkontrol pada pengobatan yang dijalani, maka pengobatan harus
di naikkan. Secara umum, perbaikan harus dilihat selama 1 bulan. Tetapi sebelumnya
harus dinilai tehnik medikasi pasien, kepatuhan dan usaha menghindari faktor resiko.
Jika asma sebagian terkontrol, dipertimbangkan menaikkan pengobatan yang tergantung
pada keefektifan terhadap pengobatan yang ada, keamanan, dan harga serta kepuasan
pasien terhadap pengobataan yang dijalani pasien. Dan jika, asma berhasil dikontrol
selama minimal 3 bulan, pengobatan dapat diturunkan secara gradual. Tujuan nya adalah
mengurangi pengobatan. Monitoring tetap penting dilakukan setelah asma terkontrol,
karena asma dapat tetap dapat terjadi eksaserbasi apabila kehilangan kontrol.3
Bronkial thermoplasty adalah suatu intervensi yang dilakukan bagi pasien asma
untuk mengkontrol energi termal ke dinding saluran pernafasan selama prosedur
bronkoskopy, yang menyebabkan penurunan daripada massa otot halus pada saluran
pernafasan. Peningkatan massa dan kontraktilitas dari otot halus merupakan mekanisme
yang dapat memperparah keadaan asma yaitu dengan meningkatkan bronkokonstriktor
dan obstruksi saluran pernafasan, penurunan jumlah dan/atau kontraktilitas dari otot
halus pada saluran pernafasan akan menyebabkan perbaikan dari gejala asma itu
sendiri.10
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
Asma bronkial merupakan penyakit saluran pernapasan obstruktif yang ditandai dengan
adanya inflamasi saluran dan spasme akut otot polos bronkiolus. Kondisi ini menyebabkan
produksi mukus yang berlebihan dan menumpuk, penyumbatan aliran udara, dan
penurunan ventilasi alveolus.
3.2 Saran
Diharapkan dengan adanya makalah tentang konsep dan asuhan keperawatan pada asma
brongkial ini dapat membantu para pembaca untuklebih waspada terhadap penyakit ini .Selain
itu, untuk mahasiswa keperawatandan perawat dapat lebih mendalami konsep dan asuhan
keperawatan asma brongkial sehingga dalam pelaksanaannya dapat terlaksana dengan tepat
dantidak membahayakan bagi klien.
DAFTAR PUSTAKA