Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

Asma

Oleh :

Dwi prasetia

PRESEPTOR
dr. Sari Nikmawati Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU PARU

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH M.NATSIR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

PADANG

2021

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan

Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan anugerah dari-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan referat yang berjudul “Asma” ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga

senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah

menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna

dan menjadi anugerah terbesar bagi seluruh alam semesta.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Sari Nikmawati Sp.P yang telah

memberikan bimbingan serta arahan, sehingga referat ini dapat di selesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan tugas ilmiah

ini karena keterbatasan pengetahuan, kemampuan serta pengalaman yang penulis miliki. Oleh

karena itu, penulis sangat menghargai kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua

pihak. Semoga tugas ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu

pengetahuan terutama dibidang ilmu kedokteran dan kesehatan dan juga bagi penulis sendiri.

Solok, Maret 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2

DAFTAR ISI............................................................................................................3

BAB I : PENDAHULUAN......................................................................................4

1.2 Tujuan Penelitian...........................................................................................4

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................5

2.1 Asma.............................................................................................................5

2.1.1 Definisi asma ..........................................................................................5

2.1.2 Epidemiologi............................................................................................5

2.1.3 Faktor perdisposis....................................................................................6

2.1.4 Faktor resiko.................................................................................7

2.1.5 Patofisologi...................................................................................7

2.1.6 klasifikasi asma............................................................................9

2.1.7 Penatalaksanaan asma.................................................................10

2.1.8 Pemeriksaan penunjang...............................................................12

2.1.6 ACT............................................................................................13

BAB III. KESIMPULAN............................................................................14

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................15

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang

Asma di negara berkembang, seperti di Indonesia, masih merupakan penyakit saluran

napas kronik yang menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius. Asma, bronkitis

kronik, dan emfisema menjadi penyebab kematian ke-4 di Indonesia menurut SKRT

tahun 1992. Selain itu, gejala-gejala asma yang timbul dapat mengganggu kehidupan

sehari-hari menyebabkan seseorang tidak dapat beraktivitas dengan optimal1,2

Asma didunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Terdapat

perbedaan antar negara dan bahkan perbedaan juga didapat antar daerah didalam suatu

negara.WHO memperkirakan saat ini terdapat 250.000 kematian akibat asma.Beberapa

waktu yang lalu, penyakit asma bukan penyebab kematian yang berarti.Namun,

belakangan ini berbagai negara melaporkan bahwa terjadi peningkatan kematian akibat

penyakit asma, termasuk pada anak 3.

Di Indonesia, Asma termasuk sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian, hal ini

tergambar dari data Studi Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) diberbagai Propinsi

di Indonesia. Pada SKRT 1992, Asma, Bronkitis kronik dan Emfisema sebagai penyebab

kematian ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, asma di seluruh Indonesia

sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000 .3

1.2. Tujuan Penulisan

1. Melengkapi syarat tugas stase Paru


2. Melengkapi syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di RSUD Muhammad Natsir
Solok.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Asma

2.1.1 Definisi

Asma adalah gangguan inflamsi kronik saluran napas yang melibatkan banyak

sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan

napas yang menimbulkan gejala batuk-batuk terutama mengi sesak napas, dada terasa

berat dan berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan

seringkal bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.4

2.1.2 Epidemiologi

Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang secara umum sering ditemui

di seluruh dunia. Prevalensi asma telah dilaporkan sampai 40% di beberapa daerah di

Inggris, Australia, Selandia Baru, dan Irlandia, sedangkan di negara-negara yang

lainnya seperti Indonesia, China, India, dan Ethiopia dengan prevalensi yang lebih

rendah 4% . Prevalensi asma di Amerika Serikat sekitar 22 juta orangyang

merupakan salah satu penyakit kronis yang paling umum dari masa kanak-kanak,

yang mempengaruhi lebih dari 6 juta anak. Data menunjukan pasien dengan asma

yang membutuhkan rawat inap lebih dari 497.000 setiap tahunnya (Bosse et al.,

2009).5

Peningkatan prevalensi asma bronkial di Indonesia seiring dengan

bertambahnya usia, dimana umur kurang dari 1 th sebesar 1,1%, umur lebih dari 75

tahun prevalensinya sebesar 12,4%, dan prevalensi asma bronkial tertinggi pada umur

25-34 tahun sebesar 5,7%. Pada rawat inap berdasarkan umur 45–64 tahun sebesar

25,66% dan terendah pada umur 0-6 th sebesar 0,10%. Sedangkan prevalensi rawat

5
jalan berdasarkan umur tertinggi 25-44 tahun sebesar 24,05% dan terendah umur 0-6

tahun sebesar 0,13% Angka kematian secara umum masih rendah.6

2.1.3 Faktor Predisposisi

Etiologi asma masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli, namun secara

umum terjadinya asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor

genetik diantaranya riwayat atopi, pada penderita asma biasanya mempunyai keluarga

dekat yang juga memiliki alergi. Hipereaktivitas bronkus ditandai dengan saluran

napas yang sangat sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen atau iritan. Jenis

kelamin, pada pria merupakan faktor risiko asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,

prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan.

Menjelang dewasa perbandingan tersebut kurang lebih berjumlah sama dan

bertambah banyak pada perempuan usia menopause. Obesitas, ditandai dengan

peningkatan Body Mass Index (BMI) > 30kg/m2. Mekanismenya belum diketahui

pasti, namun diketahui penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma dapat

memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.Alergen dalam

lingkungan tempat tinggal seperti tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan

kulit binatang seperti anjing, kucing, dll adalah faktor lingkungan yang dapat

mencetuskan terjadinya asma. Begitu pula dengan serbuk sari dan spora jamur yang

terdapat di luar rumah. Faktor lainnya yang berpengaruh diantaranya alergen makanan

(susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan

penyedap, pengawet, dan pewarna makanan), bahan iritan (parfum, household spray,

asap rokok, cat, sulfur,dll), obat-obatan tertentu (golongan beta blocker seperti

aspirin), stress/gangguan emosi, polusi udara, cuaca, dan aktivitas fisik.7

2.1.4 Faktor Risiko

6
Faktor risiko asma dapat dibagi menjadi 3 domain besar, yaitu alergen, iritan,

dan hal-hal lain yang tidak tergolong dalam alergen maupun iritan. Faktor risiko asma

yang mempengaruhi perkembangan dan ekspresi asma terdiri dari faktor internal (host

factor) dan faktor eksternal (environmental factor). Faktor internal terdiri dari genetik,

obesitas, jenis kelamin, usia, aktivitas fisik, dan ekspresi emosi yang kuat atau

berlebihan. Sedangkan faktor eksternal meliputi occupational irritant, infeksi virus di

saluran nafas, alergen, asap rokok, polusi udara, obat-obatan, dan perubahan suhu

terkait perubahan musim atau kondisi geografis lainnya .8

2.1.5 Patofisiologi

Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas

yang akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran

napas, gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga

diduga berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas

saluran nafas terjadi karena adanya inflamasi kronik yang khas dan melibatkan

dinding saluran nafas, sehingga aliran udara menjadi sangat terbatas tetapi dapat

kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Hipereaktivitas tersebut terjadi

sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang. Dikenal dua jalur untuk bisa

mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan

jalur saraf otonom. Pada jalur yang didominasi oleh IgE, masuknya alergen ke dalam

tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells), kemudian hasil olahan

alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th ( T penolong ) terutama Th2 . Sel T

penolong inilah yang akan memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin agar

sel-sel plasma membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel

epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator

inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet activating

7
factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan

mempengaruhi organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot polos saluran

pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular,

edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma

protein melalui mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan

hipereaktivitas saluran napas. Faktor lainnya yang dapat menginduksi pelepasan

mediator adalah obat-obatan, latihan, udara dingin, dan stress.

Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf otonom

pada jalur non-alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran

napas. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar,

nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Reflek bronkus terjadi karena

adanya peregangan nervus vagus, sedangkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel

mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan

memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi

yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak ditemukan pada beberapa keadaan seperti

pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Reflek saraf

memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel mast. Ujung saraf

eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik

senyawa P, neurokinin A dan calciton.8

2.1.6 Klasifikasi Asma


Klasifikasi asma berdasarkan gambaran klinis

8
Klasifikasi asma berdasarkan berat serangan

2.1.7 Penatalaksanaan Asma

Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol manifestasi

klinis dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan

9
kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam

melakukan aktivitas sehari Asthma) dan PDPI melakukan penatalaksanaan

berdasarakan kontrol. Untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang

terkontrol terdapat dua faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu: medikasi dan

pengobatan berdasarkan derajat 9

a. Medikasi

Smeltzer dan Bare (2006), terdapat lima kategori pengobatan yang digunakan dalam

mengobati asma: agonis beta, metilsantin, antikolinergik dan inhibitor sel mast.

1) Agonis Beta. Agonis beta (agen β-adrenergik) adalah medikasi awal yang

digunakan dalam mengobati asma karena agen ini mendilatasi otot-otot polos

bronkial. Agens adrenergik juga meningkatkan gerakan siliaris, menurunkan mediator

kimiawi anafilaktik dan dapat menguatkan efek bronkodilatasi dari kortikosteroid.

Agens adrenergik yang paling umum digunakan adalah epinefrin, albuterol,

metaroterenol, isoproterenol, isoetharine dan terbutalin. Obat-obat tersebut biasanya

diberikan secara parenteral atau melalui inhalasi. Jalur inhalasi adalah jalur pilihan

karena cara ini memengaruhi bronkiolus secara langsung dan mempunyai efek

samping yang lebih sedikit.

2) Metilsantin. Metilsantin, seperti aminofilin dan teofilin, digunakan karena

mempunyai efek bronkodilatasi. Agen ini merilekskan otot-otot polos bronkus,

meningkatkan gerakan mukus dalam jalan napas dan meningkatkan kontraksi

diafragma. Aminovilin (bentuk IV teofilin) diberikan secara intravena. Teofilin

diberikan per oral. Metilsantin tidak

digunakan dalam serangan akut karena awitannya lebih lambat dibanding agonis beta.

Ada beberapa faktor yang dapat mengganggu metabolisme metilsantin, terutama

10
sekali teofilin, termasuk merokok, gagal jantung, penyakit hepar kronis, kontraseptif

oral, eritromisin, dan

simetidin. Harus sangat hati-hati ketika memberikan medikasi ini secara intravena.

Jika obat ini diberikan terlalu cepat, dapat terjadi takikardi atau distritmia jantung.

3) Kortikosteroid. Kortikosteroid penting dalam pengobatan asma. Medikasi ini

mungkin diberikan secara intravena (hidrokortison), secara oral (prednison,

prednisolon) atau melalui inhalasi (beklometason, deksametason). Mekanisme

kerjanya belum jelas. Medikasi ini diduga mengurangi infalamasi dan

bronkokonstriktor. Kortikosteroid (tidak melalui inhalasi) mungkin diberikan untuk

serangan asmatik akut yang tidak memberikan respon terhadap terapi bronkodilator.

Menggunkan kortikosteroid berkepanjangan dapat mengakibatkan terjadinya efek

samping yang serius, termasuk ulkus peptikum, osteoporosis, supresi

adrenal, miopati steroid dan katarak.

4) Inhibitor Sel Mast. Natrium kromolin, suatu inhibitor sel mast yang merupakan

bagian integral dari pengobatan asma. Medikasi ini diberikan melalui inhalasi.

Medikasi ini mencegah pelepasan mediator kimiawi anafilaktik, dengan demikian

mengakibatkan bronkodilatasi dan penurunan inflamasi jalan napas. Natrium

kromolin sangat bermanfaat diberikan antara serangan atau sementara asma dalam

remisi. Obat ini dapat mengakibatkan pengurangan penggunaan medikasi lain dan

perbaikan menyeluruh dalam gejala.9

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

1) Spirometri digunakan untuk menilai fungsi normal paru. Forced expiratory

volume in on 1 second (FEV1) pada pemeriksaan spirometri lebih dipercaya daripada

Peak expiratory flow (PEF). Saat melakukan pemeriksaan PEF, maka alat yang

11
digunakan harus sama pada setiap pemeriksaan yaitu peak flow meter, karena

perbedaan sebesar 20 % akan terjadi

apabila dilakukan perubahan alat (GINA, 2016). Pada penyakit paru lain atau apabila

penggunaan spirometri yang kurang tepat, maka FEV1 bisa saja mengalami

penurunan. Penurunan rasio FEV1/FVC menandakan adanya hambatan aliran napas10

2) Pemeriksaan Status Alergi

Skin prick test dan pengukuran serum IgE dapat digunakan untuk memeriksa

riwayat atopi. Pada pasien dengan gejala pernapasan, riwayat atopi dapat

meningkatkan probabilitas asma alergika namun hal ini tidak spesifik. Skin prick test

merupakan tes yang cepat, murah, dan sensitif jika dikerjakan dengan prosedur

standar. Pengukuran serum IgE lebih mahal

dibandingankan skin prick test dan tidak lebih sensitif dari itu. Pemeriksaan sIgE

biasanya dilakukan pada pasien yang tidak kooperatif .10

3) Tes Provokasi Bronkus

Tes provokasi bronkus dilakukan untuk memeriksa hiperresponsivitas jalan

napas dan dilakukan dengan latihan inhalasi metalkolin, histamin atau manitol

inhalasi. Tes ini

cukup sensitif namun tidak spesifik untuk penyakit asma.10

2.1.9 ACT ( Asma Control Test )

12
BAB III

13
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Asma adalah penyakit kronis variabel dari sistem pernapasan yang ditandai oleh

penyempitan saluran pernapasan kecil dan bronkiolus, meningkat bronkial sekresi atau lendir

dan pembengkakan mukosa atau peradangan, sering dalam menanggapi satu atau lebih

memicu. Asma ditandai dengan serangan sesak dada, batuk dan mengi akibat obstruksi jalan

nafas. Faktor resiko asma : faktor pejamu (prediposis genetik, atopi, hiperesponsif jalan

napas, jenis kelamin, ras/ etnik), faktor lingkungan .Untuk mengetahui apakah seorang pasien

menderita penyakit asma, maka perlu melakukan sejumlah tes biasanya akan mengajukan

pertanyaan pada pasien mengenai gejala apa saja yang dirasakan, waktu kemunculan gejala

tersebut, dan riwayat kesehatan pasien serta keluarganya.Tes untuk memperkuat diagnosis,

misalnya: Spirometri ,Tes Arus Puncak Ekspirasi (APE), Uji Provokasi Bronkus, Pengukuran

Status Alerg. Asma juga diklasifikasian berdasarkan derajat berat serangan asma dan

berdasarkan karateristik gejala klinis. Terapi pada pasien asma ada yang reliver medication

dan ada yang controller medication.

3.2 Saran

1.

Individu dengan faktor risiko asma perlu mengikuti pencegahan yang efektif dan lebih

mengenali faktor-faktor pencetus yang dapat menimbulkan kekambuhan pada asma, serta

dapat mengontrol terjadinya serangan asma.

14
DAFTAR PUSTAKA

1.Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan dengan BPS.


Survey kesehatan rumah tangga 1986. Cazzola M. Asthma control: evidence-based
2. monitoring and the prevention of exacerbations. Breathe 2008; 4: 311-9
3 .Cissy B. Kartasasmita. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama: IDAI.
Badan Penerbit IDAI
4. Prasetyo, Budi. 2010. Seputar Masalah Asma. Jogjakarta: Penerbit Diva Press
7. Suyono, S., 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2, Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit
FK – UI, hlm. 21, 22, 23, 27, 28, 29, 31, 33, 41.
6.Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013 RISKESDAS 2013. [diakses dari
http://depkes.go.id tanggal 11 Januari 2016].
8.Widodo, R., & Djajalaksana, S. (2012). Patofisiologi dan marker airway remodeling pada
asma bronkial. J Respir Indo, 32(2), 110-9.
9.PDPI ( Perhimpunan Dokter Paru Indonesia ). 2004. Asma dan Pedoman Pentalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
10.BATEMAN, Eric D., et al. GINA 2016-derived asthma control with fluticasone
propionate/salmeterol: a Gaining Optimal Asthma controL (GOAL) study reanalysis

15

Anda mungkin juga menyukai