STATUS ASMATIKUS
Disusun Oleh:
Michiko Meritasari
1765050083
Pembimbing:
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan Referat berjudul ”Status Asmatikus”. Adapun tujuan penulisan tugas
referat ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa mengenai status asmatikus.
1. dr. Persadaan Bukit, Sp.A yang merupakan pembimbing yang telah bersedia memberikan
waktunya untuk membimbing penulis selama penulis melaksanakan kepaniteraan klinik
di Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia.
2. Jajaran dokter spesialis anak, dokter asisten, staf, dan perawat Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan penulisan tugas referat ini.
3. Keluarga dan teman-teman yang telah memberikan dukungan serta doa kepada penulis
sehingga penulisan tugas referat ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, baik itu isi, bahasa,
maupun cara penulisannya. Oleh sebab itu penulis dengan lapang dada bersedia menerima segala
kritik dan saran, guna menambah pengetahuan dan pemahaman penulis di masa yang akan datang.
Michiko Meritasari
(1765050083)
BAB I
PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit peradangan kronik saluran nafas yang bersifat kronis dan dapat
mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Asma yang muncul pada masa kanak-kanak dan usia
muda dapat berpengaruh pada keseharian bersekolah dan aktifitas sosial. Asma menjadi masalah
kesehatan masyarakat di hampir seluruh negara di dunia. Penyakit ini dapat menyerang berbagai
kalangan usia dari anak-anak hingga dewasa. Asma pada anak-anak dapat berpotensi mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan anak.
Angka kejadian asma bervariasi di setiap negara. Menurut data WHO, lima penyakit paru
merupakan 17.4% dari seluruh kematian yang terjadi di dunia terdiri dari infeksi paru, PPOK,
tuberkulosis, kanker paru, dan asma. Hingga saat ini angka kejadian asma masih tinggi.
Diperkirakan saat ini terdapat 334 juta orang menderita asma, dan angkanya akan terus meningkat
diperkirakan pada tahun 2025 mencapai 400 juta kejadian. Meningkatnya angka kejadian asma
diduga dipengaruhi oleh buruknya kualitas udara dan berubahnya pola hidup manusia.13
Upaya pencegahan sangat penting untuk mencegah risiko terberat dari asma dan eksaserbasi
yang berat. Edukasi mengenai status asmatikus dianggap perlu untuk menurunkan angka
mortalitas pada pasien-pasien asma.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Defisnisi
Status asmatikus merupakan bentuk eksaserbasi akut pada asma yang tidak berespon
terhadap pemberian atau pengobatan awal menggunakan bronkodilator. Status asmatikus dapat
bervariasi. Dari bentuk ringan hingga berat dengan bronkospasme, peradangan saluran
respiratori, dan sumbatan lendir yang dapat menyebabkan kesulitan dalam bernapas, dan dapat
terjadi retensi dari karbondioksida serta gagal napas. Biasanya pasien datang dengan keluhan
sesak yang parah dan progresif dengan cepat, terdapat batuk kering, dan mengi.2
b. Epidemiologi
Penderita asma diperkirakan sebanyak 334 juta orang di dunia. Bersumber dari Global
Burden of Disease Study (GBD) tahun 2008 – 2010, global disease burden pada asma adalah
negara yang berkembang dengan angka pendapatan yang rendah.1,11 Secara global 130 juta
orang memiliki asma. Prevalensinya 8-10 kali lebih tinggi di negara-negara maju (misalnya,
Amerika Serikat, Inggris, Australia, Selandia Baru) daripada di negara-negara berkembang. Di
negara maju, prevalensinya lebih tinggi pada kelompok berpenghasilan rendah di daerah
perkotaan dan pusat kota daripada di kelompok lain. Pada anak, prevalensi asma berkisar antara
2-30%.12
Di Amerika Serikat, terdapat sekitar 34,1 juta orang telah didiagnosis menderita asma
seumur hidupnya. Menurut Pusat Survei Pengawasan dan Pencegahan Penyakit AS atau US
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) terbaru, prevalensi asma saat ini selama
2001-2003 prevalensi diperkirakan 8,5% pada anak-anak, dan beban asma meningkat lebih
dari 75% dari 1980-1999.
Di Indonesia sendiri prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar, dan
sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.12 Selain itu, di Indonesia juga dilakukan
penelitian menggunakan kuesioner ISAAC di beberapa kota. Hasilnya adalah sebagai berikut:
Prevalensi asma di Indonesia1:
Angka ini bukan hanya anak tetapi asma keseluruhan, kematian paling banyak pada orang
tua 65 tahun,dan dua per tiga diantaranya wanita.
•Sel Mast
Sel mast yang teraktifasi melepaskan mediator bronkokonstriksi (histamin, leukotrien
sisteinil, prostaglandin D2). Sel tersebut diaktivasi oleh alergen melalui reseptor IgE
yang berafinitas tinggi, juga oleh stimulus osmotik.
•Eosinofil
Jumlahnya meningkat pada saluran respiratori, melepaskan protein dasar yang dapat
merusak sel epitel saluran respiratori. Juga berperan dalam pelepasan growth factor dan
airway reodelling.
•Limfosit T
Jumlahnya meningkat pada saluran respiratori, memproduksi sitokin spesifik, yang
membantu proses inflamasi eosinofilik dan pproduksi IgE oleh limfosit B.
•Sel Dendritik
Menangkap alergen dari permukaan saluran respiratori lalu bermigrasi ke kelenjar getah
bening regional. Di kelenjar getah bening berinteraksi dengan sel T regulator dan akhirnya
menstimuus produksi sel Th2 dari sel T naif.
•Makrofag
Jumlahnya meningkat pada saluran napas, dapat diaktivasi oleh alergen melalui
reseptor IgE yang berafinitas rendah untukmeproduksi mediator inflamasi dan sitokin yang
memperkuat respons inflamasi.
•Neutrofil
Jumlahnya meningkat pada saluran respiratori dan dahak pasien dengan asma berat
dan pasien asma yang merokok, namun peranan patofisiologi dari sel ini masih belum jelas
dan peningkatannya dapat pula disebabkan oleh terapi steroid.
Hipertrofi dan hyperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet kelenjar
submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama pada yang kronik dan berat. Secara
keseluruhan, saluran respiratori pada pasien asma memperlihatkan perubahan struktur
yang bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori.
Selama ini, asma dipercaya sebagai suatu obstruksi saluran respiratori yang bersifat
reversibel. Pada sebagian besar pasien, reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati pada
pengukuran dengan spirometri setelah diterapi dengan inhalasi steroid. Akan tetapi,
beberapa pasien asma mengalami obstruksi saluran respiratori residual yang dapat terjadi
pada pasien yang tidak menunjukkan gejala. Hal ini menunjukkan adanya remodeling
saluran respiratori.
Remodeling juga merupakan hal penting pada pathogenesis hiperreaktivitas saluran
respiratori yang nonspesifik, terutama pada pasien yang waktu penyembuhannya lama
(lebih dari satu hingga dua tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi steroid
hirupan.1
Respon cepat bronkospasme terjadi beberapa menit setelah paparan alergen. Terjadi
degranulasi sel mast bersamaan dengan pelepasan mediator inflamasi termasuk histamin,
prostaglandin D2, dan leukotrien C4. Semuanya akan menyebabkan kontarksi dari otot
polos jalan napas, peningkatan permeabilitas kapiler, sekresi lendir dan aktivasi refleks
neuron. Respon awal asma ditandai dengan bronkokonstriksi yang umumnya responsif
terhadap pemberian bronkodilator agen beta agonis
Bronkospasme, sumbatan lendir, dan edema saluran respirasi perifer menyebabkan
peningkatan resistensi dan obstruksi jalan napas. Udara yang terperangkap dapat
menyebabkan hiperinflasi paru. Obstruksi jalan napas menyebabkan peningkatan tekanan
pleural dan intraalveolar sehingga terjadi penurunan perfusi alveolar dan hipoksemia.
e. Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan tanda vital meliputi: derajat kesadaran, suhu, frekuensi nadi, frekuensi
nafas, tekanan darah.
Menilai derajat serangan dengan memperhatikan kemampuan berbicara lengkap satu
kalimat, terdapat retraksi sela iga, dan terdengan wheezing.
Melihat apakah ada tanda komplikasi atau penyakit lain yang menyertai seperti
pneumonia, atelektasis, pneumothorax, anafilaksis.,
Pemeriksaan Penunjang
Pasien dengan risiko tinggi mengalami serangan asma, dapat mengancam nyawa.
Keadaan-keadaan risiko tinggi tersebut harus diidentifikasi dengan cepat. Diantaranya
adalah pasien dengan riwayat1:
Semua pasien dengan status asmatikus harus dirawat di rumah sakit atau unit perawatan
khusus. Pasien dengan risiko tinggi mengalami gagal napas harus dirawat di unit perawatan
intensif dan dilakukan intubasi bila perlu. Tujuan dari terapi akut bukan untuk mengembalikan
fungsi paru awal, melainkan untuk menstabilkan kondisi secepat mungkin, mempertahankan
oksigenasi yang memadai dan memperbaiki kondisi obtruksi bronkus dengan efek samping
minimal.
Terapi utama pengelolaan eksaserbasi untuk meringankan obstruksi aliran udara dan
hipoksemia meliputi:
Oksigen
Banyak pasien dengan asma berat akut hipoksemik (oksigen darah rendah). Oksigen tambahan
harus diberikan segera kepada pasien hipoksemik, menggunakan masker Venturi atau kanula
hidung dengan laju aliran yang disesuaikan untuk mempertahankan SpO2 ≥92%.
Hypercapnoea (peningkatan kadar CO2 dalam darah) menunjukkan perkembangan asma yang
hampir fatal dan perlunya intervensi darurat / anestesi. Sangat penting untuk memberikan
oksigen tambahan untuk semua pasien hipoksemik dengan asma berat akut untuk
mempertahankan tingkat SpO2 ≥92%.
Inhalasi agonis β2
Agonis β2 inhalasi yang diberikan dalam dosis tinggi bekerja cepat untuk meredakan
bronkospasme dengan sedikit efek samping. Dibandingkan dengan Adrenalin Nebulised
(epinefrin), agonis β2 non-selektif, tidak memiliki manfaat signifikan dibandingkan
salbutamol atau terbutaline.
Steroid Inhalasi
Jenis yang paling sering digunakan adalah budesonide. Steroid inhalasi dapat mengendalikan
asma dan menurunkan angka kekambuhan. Semakin dini pemberian steroid inhalasi dalam
serangan akut semakin baik hasilnya.
Ipratropium Bromide
Menggabungkan nebulised ipratropium bromide dengan β2-agonist nebulised menghasilkan
bronkodilatasi yang lebih baik dibandingkan β2-agonis sendiri pada kasus eksaserbasi asma
sedang-untuk-melihat, yang mengarah pada pemulihan yang lebih cepat dan durasi masuk
yang lebih pendek. Perawatan antikolinergik tidak diperlukan dan mungkin tidak bermanfaat
dalam eksaserbasi asma yang lebih ringan atau setelah stabilisasi.
Magnesium Sulphate
Magnesium sulfat terbuktii dalam beberapa penelitian memiliki efek bronkodilator dan
memperbaiki faal paru pada pasien anak dengan asma berat. Pemakaian terlalu sering dapat
menyebabkan hipermagnesemia dengan kelemahan otot dan gagal napas
Aminofilin
Aminofilin diberikan pada serangan asma berat atau bahkan ancaman henti napas yang tidak
berespon terhadap dosis maksimal inhalasi Agonis β2 dan steroid sistemik. Aminofilin dapat
meningkatkan fungsi paru dalam 6 jam pertama. Penggunaan aminofilin tidak disarankan
secara rutin karena berpotensi meningkatkan morbiditas pasien.
Antileukotrien
Antileukotrien menurunkan gejala asma namun tidak lebih unggul dibandingkan steroid.
Kombinasi steroid inhalasi dengan antileukotrien dapat menurunkan kebutuhan dosis steroid
inhalasi. Antileukotrien dapat mencegah serangan asma akibat infeksi virus pada anak balita.
Pemberian Cairan Secara Intravena
Beberapa pasien mengalami asma akut berhubungan dengan rehidrasi dan koreksi
ketidakseimbangan elektrolit. Hipokalemia dapat terjadi selama pengobatan menggunakan β2-
agonis dan / atau steroid dan harus diperbaiki.
SpO2 <90%
Silent chest
Penurunan kesadaran
Malas bernapas
Agitasi
Sianosis
Bradikardia
MENGANCAM NYAWA
Pertimbangkan:
Rontgen dada & Analisa gas darah
Salbutamol (IV):
1-2mcg/kgBB/menit dalam 1 jam
lalu 1-2mcg/kgBB/menit
Aminofilin (IV):
5mg/kg dalam 20 menit
Magnesium (IV jalur terpisah):
50mg/kgBB dalam 20 menit
SpO2 <90%
Silent chest
Penurunan kesadaran
Malas bernapas
Agitasi
Sianosis
Bradikardia
MENGANCAM NYAWA
Pertimbangkan:
Rontgen dada & Analisa gas darah
Salbutamol (IV):
1-2mcg/kgBB/menit dalam 1 jam
lalu 1-2mcg/kgBB/menit
Aminofilin (IV):
5mg/kg dalam 20 menit
Magnesium (IV jalur terpisah):
50mg/kgBB dalam 20 menit
1. Tidak ada respon terhadap tatalaksana awal di IGD dan/atau perburukan asma yang
cepat.
2. Tampak tanda-tanda diorientasi, kebingungan, dan penurunan kesadaran
3. Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana baku di ruang rawat inap
4. Ancaman henti napas: hipoksemia menetap meskipun sudah diberikan oksigen dengan
kadar PaO2<60mgHg dan/atau PaCo2 >45mmHg)
Edukasi
Pasien yang telah menjalani pengobatan status asmatikus dapat dipulangkan dan diberikan
edukasi mengenai:
Penyakit pasien
Mengenali pencetus dan menghindarinya
Teknik inhalasi
Membuat catatan harian mengenai serangan
Rencana manajemen asma
KESIMPULAN
Status asmatikus merupakan bentuk eksaserbasi akut pada asma yang tidak berespon
terhadap pemberian atau pengobatan awal menggunakan bronkodilator. Status asmatikus dapat
bervariasi. Dari bentuk ringan hingga berat dengan bronkospasme, peradangan saluran respiratori,
dan sumbatan lendir yang dapat menyebabkan kesulitan dalam bernapas, dan dapat terjadi retensi
dari karbondioksida serta gagal napas.
Penderita asma diperkirakan sebanyak 334 juta orang di dunia, angkanya akan terus
meningkat diperkirakan pada tahun 2025 mencapai 400 juta kejadian. Meningkatnya angka
kejadian asma diduga dipengaruhi oleh buruknya kualitas udara dan berubahnya pola hidup
manusia. Faktor usia, jenis kelamin, ras, asap rokok, lingkungan, polusi,infeksi saluran napas, serta
riwayat atopi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya asma pada anak. Riwayat atopi pada
anak dan adanya riwayat atopi dalam keluarga dapat meningkatkan risiko asma persisten dan
beratnya asma.
Terdapat 3 proses penyempitan saluran pernapasan pada pasien asma, yaitu kontraksi otot
polos saluran napas, edema saluran napas, dan hipersekresi dari mukus. Hal-hal tersebut dapat
menyebabkan timbulnya gejala asma seperti sesak, batuk, wheezing dan nyeri pada dada. Yang
jika dibiarkan dapat mengganggu kualitas hidup pasien dan juga mengganggu proses tumbuh
kembang anak