Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

STATUS ASMATIKUS

Disusun Oleh:

Michiko Meritasari

1765050083

Pembimbing:

dr. Persadaan Bukit, Sp. A

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 22 JULI – 28 SEPTEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan Referat berjudul ”Status Asmatikus”. Adapun tujuan penulisan tugas
referat ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa mengenai status asmatikus.
1. dr. Persadaan Bukit, Sp.A yang merupakan pembimbing yang telah bersedia memberikan
waktunya untuk membimbing penulis selama penulis melaksanakan kepaniteraan klinik
di Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia.
2. Jajaran dokter spesialis anak, dokter asisten, staf, dan perawat Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan penulisan tugas referat ini.
3. Keluarga dan teman-teman yang telah memberikan dukungan serta doa kepada penulis
sehingga penulisan tugas referat ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, baik itu isi, bahasa,
maupun cara penulisannya. Oleh sebab itu penulis dengan lapang dada bersedia menerima segala
kritik dan saran, guna menambah pengetahuan dan pemahaman penulis di masa yang akan datang.

Jakarta, 16 Agustus 2019

Michiko Meritasari
(1765050083)
BAB I
PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit peradangan kronik saluran nafas yang bersifat kronis dan dapat
mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Asma yang muncul pada masa kanak-kanak dan usia
muda dapat berpengaruh pada keseharian bersekolah dan aktifitas sosial. Asma menjadi masalah
kesehatan masyarakat di hampir seluruh negara di dunia. Penyakit ini dapat menyerang berbagai
kalangan usia dari anak-anak hingga dewasa. Asma pada anak-anak dapat berpotensi mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan anak.

Status asmatikus merupakan suatu kegawatdaruratan medik. Status asmatikus merupakan


bentuk ekstrim dari eksaserbasi asma yang dapat menyebabkan hipoksemia, hiperkarbia, dan gagal
nafas sekunder.10

Angka kejadian asma bervariasi di setiap negara. Menurut data WHO, lima penyakit paru
merupakan 17.4% dari seluruh kematian yang terjadi di dunia terdiri dari infeksi paru, PPOK,
tuberkulosis, kanker paru, dan asma. Hingga saat ini angka kejadian asma masih tinggi.
Diperkirakan saat ini terdapat 334 juta orang menderita asma, dan angkanya akan terus meningkat
diperkirakan pada tahun 2025 mencapai 400 juta kejadian. Meningkatnya angka kejadian asma
diduga dipengaruhi oleh buruknya kualitas udara dan berubahnya pola hidup manusia.13

Upaya pencegahan sangat penting untuk mencegah risiko terberat dari asma dan eksaserbasi
yang berat. Edukasi mengenai status asmatikus dianggap perlu untuk menurunkan angka
mortalitas pada pasien-pasien asma.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

a. Defisnisi

Status asmatikus merupakan bentuk eksaserbasi akut pada asma yang tidak berespon
terhadap pemberian atau pengobatan awal menggunakan bronkodilator. Status asmatikus dapat
bervariasi. Dari bentuk ringan hingga berat dengan bronkospasme, peradangan saluran
respiratori, dan sumbatan lendir yang dapat menyebabkan kesulitan dalam bernapas, dan dapat
terjadi retensi dari karbondioksida serta gagal napas. Biasanya pasien datang dengan keluhan
sesak yang parah dan progresif dengan cepat, terdapat batuk kering, dan mengi.2

b. Epidemiologi

Penderita asma diperkirakan sebanyak 334 juta orang di dunia. Bersumber dari Global
Burden of Disease Study (GBD) tahun 2008 – 2010, global disease burden pada asma adalah
negara yang berkembang dengan angka pendapatan yang rendah.1,11 Secara global 130 juta
orang memiliki asma. Prevalensinya 8-10 kali lebih tinggi di negara-negara maju (misalnya,
Amerika Serikat, Inggris, Australia, Selandia Baru) daripada di negara-negara berkembang. Di
negara maju, prevalensinya lebih tinggi pada kelompok berpenghasilan rendah di daerah
perkotaan dan pusat kota daripada di kelompok lain. Pada anak, prevalensi asma berkisar antara
2-30%.12
Di Amerika Serikat, terdapat sekitar 34,1 juta orang telah didiagnosis menderita asma
seumur hidupnya. Menurut Pusat Survei Pengawasan dan Pencegahan Penyakit AS atau US
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) terbaru, prevalensi asma saat ini selama
2001-2003 prevalensi diperkirakan 8,5% pada anak-anak, dan beban asma meningkat lebih
dari 75% dari 1980-1999.
Di Indonesia sendiri prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar, dan
sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.12 Selain itu, di Indonesia juga dilakukan
penelitian menggunakan kuesioner ISAAC di beberapa kota. Hasilnya adalah sebagai berikut:
Prevalensi asma di Indonesia1:
Angka ini bukan hanya anak tetapi asma keseluruhan, kematian paling banyak pada orang
tua 65 tahun,dan dua per tiga diantaranya wanita.

c. Faktor Risiko dan Etiologi


a. Usia
Pada kasus asma persisten, gejala dapat timbul pada beberapa tahun pertama kehidupan.
Terdapat 25% anak dengan asma persisten yang mendapatkan serangan mengi pada usia
<6 bulan, sementara 75% mendapatkan serangan mengi sebelum usia 3 tahun.3
b. Jenis kelamin
Angka kejadian asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali
lipat anak perempuan.3
c. Riwayat Atopi
Riwayat atopi pada anak dan adanya riwayat atopi dalam keluarga dapat meningkatkan
risiko asma persisten dan beratnya asma. Anak dengan eksema dan uji kulit positif
menderita asma berat. Jika seorang anak mengalami mengi persisten dalam kurun waktu 6
tahun pertama, anak tersebut mmeiliki kadar IgE yang lebih tinggi daripada anak yang
tidak pernah memiliki keluhan mengi. Alergi terhadap bahan makanan seperti susu, telur,
kacang ataupun alergi inhalan pada tahun pertama kehidupan dapat menjadi indicator awal
timbulnya asma.3
d. Lingkungan
Risiko anak terkena asma dapat meningkat bila anak tersebut memiliki riwayat alergi
terhadap alergen di sekitarnya, seperti tungau, debu, jamur, bulu/serpihan kulit hewan
peliharaan yang berada di lingkungan hidup anak.3
e. Ras
Di Amerika Serikat, didapatkan bahwa prevalensi asma pada seorang dengan ras kulit
hitam lebih tinggi daripada pada kulit putih. Keadaan sosioekonomi maupun pendidikan
tidak mempengaruhi angka prevalensi tersebut.3
f. Asap rokok
Paparan asap rokok pada anak, terutama sejak anak masih dalam kandungan dapat
meningkatkan risiko anak tersebut terkena asma. Eksaserbasi akibat paparan dapat
meningkat sehingga dapat mengganggu kehidupan sosialnya dan fungsi fisiologis paru
yang tidak sebaik anak seusianya yang tidak terpapar asap rokok.3
g. Outdoor air pollution
Debu jalan raya, nitrat dioksida, karbon monoksida, SO2 dan polusi lainnya di lingkungan
sekitar berperan pada penyakit asma yang diderita.. Pada anak yang cepat terpajan dengan
lingkungan tersebut, kejadian asma rendah. Prevalensi paling rendah adalah pada anak
yang tahun pertama usianya mengalami kontak dengan kandang binatang dan pemerahan
susu.3
h. Infeksi respiratorik
Penelitian yang dilakukan di Highlands menyatakan bahwa kelompok anak yang terserang
infeksi respiratorik memiliki prevalens asma yang rendah. Penelitian di Jerman juga
mengatakan bahwa terdapat penurunan prevalensi asma pada anak usia 7 tahun yang saat
bayi sering mengalami rhinitis, yaitu sebanyak 50%.3 Terdapat banyak bayi dan anak kecil
yang menunjukkan gejala mengi akibat infeksi saluran pernapasan oleh virus. Namun suatu
penelitian menunjukkan bahwa hanya sejumlah kecil yang mengalami asma, walaupun
memiliki mengi pada tahun pertama kehidupan.3
d. Patogenesis
Langkah pertama terbentuknya respons imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen
yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesoris, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul major
histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T
CD8+). Sel dendritik merupakan antigen presenting cells (APC) yang utama dalam saluran
respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, membentuk
jaringan luas, dan sel-selnya saling berhubungan pada epitel saluran respiratori.
Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi ke kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh
GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan
sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah ke daerah yang banyak mengandung
limfosit. Di tempat tersebut, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi
matang sebagai APC yang efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi sel T naïve-Th0
menuju Th2 yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk dalam klaster gen
5q31-33 IL-4 genecluster).

Sel-Sel Inflamasi yang Berperan pada Asma terdiri dari:

•Sel Mast
Sel mast yang teraktifasi melepaskan mediator bronkokonstriksi (histamin, leukotrien
sisteinil, prostaglandin D2). Sel tersebut diaktivasi oleh alergen melalui reseptor IgE
yang berafinitas tinggi, juga oleh stimulus osmotik.
•Eosinofil
Jumlahnya meningkat pada saluran respiratori, melepaskan protein dasar yang dapat
merusak sel epitel saluran respiratori. Juga berperan dalam pelepasan growth factor dan
airway reodelling.
•Limfosit T
Jumlahnya meningkat pada saluran respiratori, memproduksi sitokin spesifik, yang
membantu proses inflamasi eosinofilik dan pproduksi IgE oleh limfosit B.
•Sel Dendritik
Menangkap alergen dari permukaan saluran respiratori lalu bermigrasi ke kelenjar getah
bening regional. Di kelenjar getah bening berinteraksi dengan sel T regulator dan akhirnya
menstimuus produksi sel Th2 dari sel T naif.
•Makrofag
Jumlahnya meningkat pada saluran napas, dapat diaktivasi oleh alergen melalui
reseptor IgE yang berafinitas rendah untukmeproduksi mediator inflamasi dan sitokin yang
memperkuat respons inflamasi.
•Neutrofil
Jumlahnya meningkat pada saluran respiratori dan dahak pasien dengan asma berat
dan pasien asma yang merokok, namun peranan patofisiologi dari sel ini masih belum jelas
dan peningkatannya dapat pula disebabkan oleh terapi steroid.

Hipertrofi dan hyperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet kelenjar
submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama pada yang kronik dan berat. Secara
keseluruhan, saluran respiratori pada pasien asma memperlihatkan perubahan struktur
yang bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori.
Selama ini, asma dipercaya sebagai suatu obstruksi saluran respiratori yang bersifat
reversibel. Pada sebagian besar pasien, reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati pada
pengukuran dengan spirometri setelah diterapi dengan inhalasi steroid. Akan tetapi,
beberapa pasien asma mengalami obstruksi saluran respiratori residual yang dapat terjadi
pada pasien yang tidak menunjukkan gejala. Hal ini menunjukkan adanya remodeling
saluran respiratori.
Remodeling juga merupakan hal penting pada pathogenesis hiperreaktivitas saluran
respiratori yang nonspesifik, terutama pada pasien yang waktu penyembuhannya lama
(lebih dari satu hingga dua tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi steroid
hirupan.1
Respon cepat bronkospasme terjadi beberapa menit setelah paparan alergen. Terjadi
degranulasi sel mast bersamaan dengan pelepasan mediator inflamasi termasuk histamin,
prostaglandin D2, dan leukotrien C4. Semuanya akan menyebabkan kontarksi dari otot
polos jalan napas, peningkatan permeabilitas kapiler, sekresi lendir dan aktivasi refleks
neuron. Respon awal asma ditandai dengan bronkokonstriksi yang umumnya responsif
terhadap pemberian bronkodilator agen beta agonis
Bronkospasme, sumbatan lendir, dan edema saluran respirasi perifer menyebabkan
peningkatan resistensi dan obstruksi jalan napas. Udara yang terperangkap dapat
menyebabkan hiperinflasi paru. Obstruksi jalan napas menyebabkan peningkatan tekanan
pleural dan intraalveolar sehingga terjadi penurunan perfusi alveolar dan hipoksemia.
e. Diagnosis

Anamnesis

Anamnesis dilakukan untuk mengetahui1:


 Onset atau waktu dimulainya serangan dan pemicu terjadinya serangan saat ini.
 Menanyakan gejala-gejala untuk dapat menilai tingkat keparahan serangan,
keterbatasan aktifitas fisik, dan adanya gejala-gejala anafilaksis
 Menanyakan faktor-faktor yang meningkatkan risiko kematian pasien
 Pengobatan yang telah diberikan untuk serangan saat ini
 Pengobatan dipakai saat ini (obat pereda dan pengendali), juga perlu diketahui dosis
dan peralatan yang dipakai dalam mengkonsumsi obat dan respon terhadap
pengobatan yang telah dipakai selama ini.

Pemeriksaan fisik

 Pemeriksaan tanda vital meliputi: derajat kesadaran, suhu, frekuensi nadi, frekuensi
nafas, tekanan darah.
 Menilai derajat serangan dengan memperhatikan kemampuan berbicara lengkap satu
kalimat, terdapat retraksi sela iga, dan terdengan wheezing.
 Melihat apakah ada tanda komplikasi atau penyakit lain yang menyertai seperti
pneumonia, atelektasis, pneumothorax, anafilaksis.,

Pemeriksaan Penunjang

Pada pasien dengan status asmatikus, pemeriksaan penunjang dilakukan disesuaikan


dengan kondisi individu, diantaranya2:
1. Pemeriksaan darah perifer lengkap
2. Rontgen dada
3. EKG
4. Elektrolit
5. Peakflowrate (saat dilakukan terapi pra dan post bronkodilator)
6. Analisa gas darah
7. Konsentrasi teofilin dalam serum
Gejala asma berdasarkan klasifikasi tingkat keparahannya:

Pasien dengan risiko tinggi mengalami serangan asma, dapat mengancam nyawa.
Keadaan-keadaan risiko tinggi tersebut harus diidentifikasi dengan cepat. Diantaranya
adalah pasien dengan riwayat1:

1. Serangan asma yang mengancam nyawa


2. Intubasi karena serangan asma
3. Pneumothorax atau pneumomediastinum
4. Serangan asma yang berlangsung dalam waktu lama
5. Penggunaan steroid sistemik
6. Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi
7. Penyakit sikatri maupun penyakit psikososial
8. Alergi makanan
f. Tatalaksana

Semua pasien dengan status asmatikus harus dirawat di rumah sakit atau unit perawatan
khusus. Pasien dengan risiko tinggi mengalami gagal napas harus dirawat di unit perawatan
intensif dan dilakukan intubasi bila perlu. Tujuan dari terapi akut bukan untuk mengembalikan
fungsi paru awal, melainkan untuk menstabilkan kondisi secepat mungkin, mempertahankan
oksigenasi yang memadai dan memperbaiki kondisi obtruksi bronkus dengan efek samping
minimal.

Terapi utama pengelolaan eksaserbasi untuk meringankan obstruksi aliran udara dan
hipoksemia meliputi:

 Pemberian berulang bronkodilator β2-agonis inhalasi kerja cepat;


 Pengenalan awal glukokortikosteroid sistemik;
 Suplementasi oksigen.

Terapi yang diberikan pada pasien status asmatikus:

Oksigen

Banyak pasien dengan asma berat akut hipoksemik (oksigen darah rendah). Oksigen tambahan
harus diberikan segera kepada pasien hipoksemik, menggunakan masker Venturi atau kanula
hidung dengan laju aliran yang disesuaikan untuk mempertahankan SpO2 ≥92%.
Hypercapnoea (peningkatan kadar CO2 dalam darah) menunjukkan perkembangan asma yang
hampir fatal dan perlunya intervensi darurat / anestesi. Sangat penting untuk memberikan
oksigen tambahan untuk semua pasien hipoksemik dengan asma berat akut untuk
mempertahankan tingkat SpO2 ≥92%.
Inhalasi agonis β2

Agonis β2 inhalasi yang diberikan dalam dosis tinggi bekerja cepat untuk meredakan
bronkospasme dengan sedikit efek samping. Dibandingkan dengan Adrenalin Nebulised
(epinefrin), agonis β2 non-selektif, tidak memiliki manfaat signifikan dibandingkan
salbutamol atau terbutaline.

Steroid Inhalasi
Jenis yang paling sering digunakan adalah budesonide. Steroid inhalasi dapat mengendalikan
asma dan menurunkan angka kekambuhan. Semakin dini pemberian steroid inhalasi dalam
serangan akut semakin baik hasilnya.
Ipratropium Bromide
Menggabungkan nebulised ipratropium bromide dengan β2-agonist nebulised menghasilkan
bronkodilatasi yang lebih baik dibandingkan β2-agonis sendiri pada kasus eksaserbasi asma
sedang-untuk-melihat, yang mengarah pada pemulihan yang lebih cepat dan durasi masuk
yang lebih pendek. Perawatan antikolinergik tidak diperlukan dan mungkin tidak bermanfaat
dalam eksaserbasi asma yang lebih ringan atau setelah stabilisasi.
Magnesium Sulphate
Magnesium sulfat terbuktii dalam beberapa penelitian memiliki efek bronkodilator dan
memperbaiki faal paru pada pasien anak dengan asma berat. Pemakaian terlalu sering dapat
menyebabkan hipermagnesemia dengan kelemahan otot dan gagal napas
Aminofilin
Aminofilin diberikan pada serangan asma berat atau bahkan ancaman henti napas yang tidak
berespon terhadap dosis maksimal inhalasi Agonis β2 dan steroid sistemik. Aminofilin dapat
meningkatkan fungsi paru dalam 6 jam pertama. Penggunaan aminofilin tidak disarankan
secara rutin karena berpotensi meningkatkan morbiditas pasien.
Antileukotrien
Antileukotrien menurunkan gejala asma namun tidak lebih unggul dibandingkan steroid.
Kombinasi steroid inhalasi dengan antileukotrien dapat menurunkan kebutuhan dosis steroid
inhalasi. Antileukotrien dapat mencegah serangan asma akibat infeksi virus pada anak balita.
Pemberian Cairan Secara Intravena
Beberapa pasien mengalami asma akut berhubungan dengan rehidrasi dan koreksi
ketidakseimbangan elektrolit. Hipokalemia dapat terjadi selama pengobatan menggunakan β2-
agonis dan / atau steroid dan harus diperbaiki.

Tatalaksana diberikan sesuai dengan usia.


Tatalaksana status asmatikus pada anak usia 2-5 tahun.4

 SpO2 <90%
 Silent chest
 Penurunan kesadaran
 Malas bernapas
 Agitasi
 Sianosis
 Bradikardia

Bila ada Tanda-tanda Tersebut


 Panggil bantuan
 O2 via mask 6-8 ltr per menit
sampai saturasi >92%
 Nebulasi:
- Salbutamol: terus menerus
atau dosis lebih dari 1 jam 2.5
mg
- Ipratropium: 3 dosis hingga 1
jam 250mcg
 Prednisolone (PO): 1mg/kgBB
(max 40mg)
Atau
 Hidrokortison (IV):
4mg/kg (maksimal 160mg)
Ulang salbutamol seperlunya

MENGANCAM NYAWA
Pertimbangkan:
 Rontgen dada & Analisa gas darah
 Salbutamol (IV):
1-2mcg/kgBB/menit dalam 1 jam
lalu 1-2mcg/kgBB/menit
 Aminofilin (IV):
5mg/kg dalam 20 menit
 Magnesium (IV jalur terpisah):
50mg/kgBB dalam 20 menit

Pertimbangkan pindah PICU


Tatalaksana status asmatikus pada anak usia 6-15 tahun4

 SpO2 <90%
 Silent chest
 Penurunan kesadaran
 Malas bernapas
 Agitasi
 Sianosis
 Bradikardia

Bila ada Tanda-tanda Tersebut


 Panggil bantuan
 O2 via mask 6-8 ltr per menit
sampai saturasi >92%
 Nebulasi:
- Salbutamol: terus menerus
atau dosis lebih dari 1 jam 5
mg
- Ipratropium: 3 dosis hingga 1
jam 500mcg
 Prednisolone (PO): 1mg/kgBB
(max 40mg)
Atau
 Hidrokortison (IV):
4mg/kg (maksimal 160mg)

Ulang salbutamol seperlunya

MENGANCAM NYAWA
Pertimbangkan:
 Rontgen dada & Analisa gas darah
 Salbutamol (IV):
1-2mcg/kgBB/menit dalam 1 jam
lalu 1-2mcg/kgBB/menit
 Aminofilin (IV):
5mg/kg dalam 20 menit
 Magnesium (IV jalur terpisah):
50mg/kgBB dalam 20 menit

Pertimbangkan pindah PICU


Kriteria pasien yang memerlukan perawatan intesnsif di PICU:

1. Tidak ada respon terhadap tatalaksana awal di IGD dan/atau perburukan asma yang
cepat.
2. Tampak tanda-tanda diorientasi, kebingungan, dan penurunan kesadaran
3. Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana baku di ruang rawat inap
4. Ancaman henti napas: hipoksemia menetap meskipun sudah diberikan oksigen dengan
kadar PaO2<60mgHg dan/atau PaCo2 >45mmHg)

Edukasi

Pasien yang telah menjalani pengobatan status asmatikus dapat dipulangkan dan diberikan
edukasi mengenai:

 Penyakit pasien
 Mengenali pencetus dan menghindarinya
 Teknik inhalasi
 Membuat catatan harian mengenai serangan
 Rencana manajemen asma
KESIMPULAN

Status asmatikus merupakan bentuk eksaserbasi akut pada asma yang tidak berespon
terhadap pemberian atau pengobatan awal menggunakan bronkodilator. Status asmatikus dapat
bervariasi. Dari bentuk ringan hingga berat dengan bronkospasme, peradangan saluran respiratori,
dan sumbatan lendir yang dapat menyebabkan kesulitan dalam bernapas, dan dapat terjadi retensi
dari karbondioksida serta gagal napas.

Penderita asma diperkirakan sebanyak 334 juta orang di dunia, angkanya akan terus
meningkat diperkirakan pada tahun 2025 mencapai 400 juta kejadian. Meningkatnya angka
kejadian asma diduga dipengaruhi oleh buruknya kualitas udara dan berubahnya pola hidup
manusia. Faktor usia, jenis kelamin, ras, asap rokok, lingkungan, polusi,infeksi saluran napas, serta
riwayat atopi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya asma pada anak. Riwayat atopi pada
anak dan adanya riwayat atopi dalam keluarga dapat meningkatkan risiko asma persisten dan
beratnya asma.

Terdapat 3 proses penyempitan saluran pernapasan pada pasien asma, yaitu kontraksi otot
polos saluran napas, edema saluran napas, dan hipersekresi dari mukus. Hal-hal tersebut dapat
menyebabkan timbulnya gejala asma seperti sesak, batuk, wheezing dan nyeri pada dada. Yang
jika dibiarkan dapat mengganggu kualitas hidup pasien dan juga mengganggu proses tumbuh
kembang anak

Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan yang diawali dengan


anamnesis menanyakan gejala yang terjadi dan riwayat atopi, dilanjutkan dengan pemeriksaan
fisik yang khas terdapat retraksi sela iga, dan wheezing. Juga dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang untuk menyingkirkan diagnosis banding dan menegakkan diagnosis secara pasti.

Penatalaksanaan status asmatikus harus dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah


kejadian henti napas atau bahkan kematian. Diupayakan dengan diberikan oksigen, dan diikuti
obat-obatan seperti Inhalasi agonis β2, Steroid Inhalasi, Ipratropium Bromide, Magnesium
Sulphate, Aminofilin, Antileukotrien. Bila belum adequat dapat dipertimbangkan perawatan di
PICU.
Daftar Pustaka
1. Noenoeng, R., Kartasasmita, C. and Suoriyatno, B. (2016). Pedoman Nasional Asma
Anak. 2nd ed. Jakarta: IDAI.
2. Shah, R. and A. Saltoun, C. (2015). alergy and asthma proceedings. 33rd ed. San
Francisco: University of California.
3. Kartasasmita CB. Asma. Buku Ajar Respirologi Anak Ed. Pertama. Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2003: 71.
4. Global Initiatives for Asthma (GINA) – Global Strategy for asthma management and
prevention, updated 2010
5. Thoracic Society (BTS) – BTS/SIGN Asthma Guideline: 2011
6. Clark VL, et al., Multidimensional assessment of severe asthma: Asystematic review
and Metaanalysis. Respirology, 2017
7. Lefebvre P, et al, Acute and chronicnsystemic corticosteroid-related complication in
patients with severeasthma. J allergy Clin Immunol, 2015
8. Foster JM, et al, The hidden burden of severe asthma. Eur Respir J, 2017
9. Waijee AK, et al, short term use of oral corticosteroids and related harms among adult
in the united states: Population based cohort study. BMJ,2017
10. Carroll, C. and Sala, K. (2013). Pediatric Status Asthmaticus. Critical Care Clinics,
29(2).
11. Ferrante, G. and La Grutta, S. The Burden of Pediatric Asthma. Frontiers in
Pediatrics, 2018
12. Supriyatno B. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini. Penyegar Ilmu Kedokteran.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. RSCM
Jakarta.
13. Kementrian Kesehatan RI. Infodatin (Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan
RI). Jakarta 2015

Anda mungkin juga menyukai