Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

ASMA

Penyusun:

Eldy Yuslika Rombe

1965050056

Pembimbing:

dr. Persadaan Bukit, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UKI

PERIODE 9 DESEMBER 2019-22 FEBRUARI 2020


BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit saluran respiratori kronik yang sering dijumpai baik pada
anak maupun dewasa. Prevalensi asma pada anak sangat bervariasi di antara negara-negara di
dunia, berkisar 1-18%.1 Di Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada anak usia
sekolah dasar, dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama 2 Asma merupakan
penyakit kronik tersering pada anak dan masih tetap merupakan masalah bagi pasien, keluarga,
dan bahkan para klinisi dan peneliti asma. Mengacu pada data epidemiologi Amerika Serikat
pada saat ini diperkirakan terdapat 4-7% (4,8 juta anak) dari seluruh populasi asma.3 Meskipun
tidak menempati peringkat teratas sebagai penyebab kesakitan atau kematian pada anak, asma
merupakan masalah kesehata yang penting. Jika tidak ditangani dengan baik, asma dapat
menurunkan kualitas hidup pada anak, membatasi aktivitas sehari-hari, mengganggu tidur,
meningkatkan angka absensi sekolah, dan menyebabkan prestasi akademik di sekolah menurun.4

Mekanisme yang mendasari terjadinya asma pada anak dan dewasa adalah sama. Namun,
ada beberapa permasalahan pada asma pada anak yang tidak dijumpai pada orang dewasa karena
bervariasinya perjalanan alamiah penyakit, kurangnya bukti ilmiah yang baik, kesulitan
menentukan diagnosis dan pemberian obat, serta bervariasinya respons terhadap terapi yang
sering tidak dapat dipredksi. Keadaan ini terutama penentuan asma pada anak usia balita (< 5
tahun). Kompleksitas munculan klinis (fenotip) asma didasari oleh berbagai keadaan yang terkait
dengan patogenesis dan patofisiologinya (endotip).4

Selain upaya mencari tatalaksana asma yang terbaik, beberapa ahli membuat suatu
pedoman tatalaksana asma yang bertujuan sebagai standar penanganan asma, misalnya Global
Initiative for Asthma (GINA) dan Konsensus Internasional. Pedoman di atas belum tentu dapat
dipakai secara utuh mengingat beberapa fasilitas yang dianjurkan belum tentu tersedia, sehingga
dianjurkan untuk membuat suatu pedoman yang disesuaikan dengan kondisi masingmasing
negara. Di Indonesia Unit Kerja Koordinasi (UKK) Pulmonologi dan Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI) telah membuat suatu Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA). Tatalaksana

4
asma dibagi menjadi 2 kelompok yaitu tatalaksana pada saat serangan asma (eksaserbasi akut)
atau aspek akut dan tatalaksana jangka panjang (aspek kronis). Pada asma episodik sering dan
asma persisten, selain penanganan pada saat serangan, diperlukan obat pengendali (controller)
yang diberikan sebagai pencegahan terhadap serangan asma.3

Pengetahuan mengenai definisi, cara mendiagnosis, pencetus, patogenesis dan tatalaksana


yang tepat dapat mengurangi kesalahan berupa underdiagnosis dan overtreatment serta
overdignosis dan undertreatment pada pasien. Sehingga diharapkan dapat mempengaruhi kualitas
hidup anak dan keluarganya serta mengurangi biaya pelayanan kesehatan yang besar.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

GINA mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafas


dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang
yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa
dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling
tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai
rangsangan.5

Asma merupakan penyakit kronik tersering pada anak dan masih tetap merupakan
masalah bagi pasien, keluarga, dan bahkan para klinisi dan peneliti asma. Mengacu pada
data epidemiologi Amerika Serikat pada saat ini diperkirakan terdapat 4-7% (4,8 juta anak)
dari seluruh populasi asma.6

2.2. Epidemiologi
Asma merupakan penyakit yang dapat menyerang semua orang,baik anak aupun
dewasa dengan gejala utama wheezing anak maupun dewasa dengan gejala utama
wheezing. Sejarah penyakit asma mengindikasikan bahwa asma merupakan penyakit yang
kebanyakan terjadi di negara yang telah berkembang dengan pendapatan tinggi seperti
Amerka. Diiperkirakan secara global terdapat 334 juta orang penderita asma di dunia.
Global disease burden penyakit asma kebanyakan terdapat di Negara berkembang dengan
pendapatan yang rendah. Angka ini didapatkan dari analisis komprehensif mutakhir Global
Burden of Disease study(GBD) yang dilakukan pada tahun 2008-2010.6
2.3. Patogenesis dan Patofisiologi4

6
Konsep terkini patogenesis asma adalah asma merupakan suatu proses inflamasi
kronik yang khas, melibatkan dinding saluran respiratori, peningkatan reaktivitas saluran
respiratori dan menyebabkan terbatasnya aliran udara. Hiperreaktivitas ini merupakan
predisposisi terjadi penyempitan saluran respiratori sebagai respons terhadap berbagai
macam rangsang. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratori adalah aktivasi
eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratori.
Perubahan ini dapat terjadi meskipun secara klinis asmanya tidak bergejala. Pemunculan sel-
sel tersebut secara luas berhubungan dengan derajat beratnya penyakit secara klinis. Sejalan
dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses reparasi
saluran respiratori. Proses tersebut menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang
menyimpang pada saluran respiratori, dikenal dengan istilah remodeling.
Pada banyak kasus, terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan
dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE- dependent. Pada populasi diperkirakan
faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan dewasa. 16
Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Sedikitnya ada dua jenis T-helper (Th1 dan Th2), limfosit subtipe CD4+ telah
dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi
interleukin-3 (IL-3) dan granulocyte- macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF),
Th1 terutama memproduksi IL-2, IF- dan TNF-. Sedangkan Th2 terutama
memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16.
Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas
tipe lambat ataupun cell- mediated.
Langkah pertama terbentuknya respons imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen
yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesoris, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul
major histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel
T CD8+). Sel dendritik merupakan antigen presenting cells (APC) yang utama dalam
saluran respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang,
membentuk jaringan luas, dan sel-selnya saling berhubungan pada epitel saluran respiratori.
Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi ke kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-
CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel
mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah ke daerah yang banyak mengandung

7
limfosit. Di tempat tersebut, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi
matang sebagai APC yang efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi sel T naïve-Th0
menuju Th2 yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk dalam klaster gen
5q31-33 (IL-4 genecluster). Bagan patogenesis asma tersebut dapat dilihat pada Gambar
2.3.1.

Gambar 2.3.1. Patogenesis Asma

Adanya eosinofil dan limfosit yang teraktivasi pada biopsi bronkus pasien asma atopi
dan nonatopi wheezing mengindikasikan bahwa interaksi sel limfosit T-eosinofil sangat
penting, dan hipotesis ini lebih jauh lagi diperkuat oleh ditemukannya sel yang
mengekspresikan IL-5 pada biopsi bronkus pasien asma atopi. IL-5 merupakan sitokin yang
penting dalam regulasi eosinofil. Tingkat keberadaannya pada mukosa saluran respiratori
pasien asma berkorelasi dengan aktivasi sel limfosit T dan eosinofil.

Selain mekanisme respon imun remodeling saluran respiratori merupakan


serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah
struktur saluran respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi
8
struktur sel. Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, produksi
berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/transforming growth factors (TGF-), dan
proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang
penting pada remodeling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor
pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran
respiratori, meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, serta memperbanyak vaskularisasi,
neovaskularisasi, dan jaringan saraf. 20 Pedoman Nasional Asma Anak 2015

Peningkatan deposisi matriks molekul, termasuk kompleks proteoglikan pada


dinding saluran respiratori, dapat diamati pada pasien yang meninggal karena asma dan hal
ini secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.

Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet kelenjar
submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama pada yang kronik dan berat. Secara
keseluruhan, saluran respiratori pada pasien asma memperlihatkan perubahan struktur yang
bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori. Selama ini, asma
dipercaya sebagai suatu obstruksi saluran respiratori yang bersifat reversibel. Pada sebagian
besar pasien, reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan
spirometri setelah diterapi dengan inhalasi steroid. Akan tetapi, beberapa pasien asma
mengalami obstruksi saluran respiratori residual yang dapat terjadi pada pasien yang tidak
menunjukkan gejala. Hal ini menunjukkan adanya remodeling saluran respiratori. (Gambar
2.3.2)

9
Gambar 2.3.2 Inflamasi dan remodeling pada asma

Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperreaktivitas saluran


respiratori yang nonspesifik, terutama pada pasien yang waktu penyembuhannya lama (lebih
dari satu hingga dua tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi steroid hirupan.

Gambar 2.3.3 Patofisiologi asma bronkial. Seperti pada asma dewasa, asma anak ditandai
dengan adanya inflamasi saluran respiratori kornik dan remodeling. Hiperresponsivitas
saluran respiratori diperberat oleh kerusakan epitel saluran respiratori yang disebabkan
oleh inflamasi.

10
Penyempitan saluran respiratori pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor.
Penyebab utama penyempitan saluran respiratori adalah kontraksi otot polos bronkus yang
diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi. Yang termasuk agonis adalah
histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast, neuropeptida dari saraf
aferen setempat, dan asetilkolin dari saraf eferen postganglionik. Kontraksi otot polos
saluran respiratori diperkuat oleh penebalan dinding saluran respiratori akibat edema akut,
infiltrasi sel-sel inflamasi dan remodeling, hiperplasia dan hipertrofi kronik otot polos,
vaskular, dan sel-sel sekretori, serta deposisi matriks pada dinding saluran respiratori. Selain
itu, hambatan saluran respiratori juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak, kental,
dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar melalui
mikrovaskular bronkus, dan debris selular.

Gambar 2.3.4 Remodeling saluran respiratori pada asma

Pada anak, sebagaimana pada orang dewasa, perubahan patologis pada bronkus
(airway remodeling) terjadi pada saluran respiratori. Inflamasi dicetuskan oleh berbagai

11
faktor, termasuk alergen, virus, olahraga, dll. Faktor tersebut juga menimbulkan respons
hiperreaktivitas pada saluran respiratori penderita asma. Inflamasi dan hiperreaktivitas
menyebabkan obstruksi saluran respiratori. Meskipun perubahan patofisiologis yang
berkaitan dengan asma pada umumnya reversibel, penyembuhan sebagian/parsial dapat
terjadi.

2.4. Diagnosis dan Klasifikasi4

Penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik diagnosis medis yaitu
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis memegang
peranan sangat penting mengingat diagnosis asma pada anak sebagian besar ditegakkan
secara kinis.

2.7.1. Anamnesis
Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis yang
diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma berupa
kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, dan produksi sputum.
Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang, BKB) dapat menjadi petunjuk awal
untuk membantu diagnosis asma. Gejala dengan karakteristik yang khas diperlukan
untuk menegakkan diagnosis asma. Karakteristik yang mengarah ke asma adalah:
• Gejala timbul secara episodik atau berulang.
• Timbul bila ada faktor pencetus.
o Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin,
udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan,
pewarna makanan.
o Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
o Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis
o Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
• Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
• Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan
dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).
• Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan
pemberian obat pereda asma.

12
2.7.2. Pemeriksaan Fisik
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisis pasien biasanya
tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak, dapat
terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang
terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada pasien
seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti
allergic shiners atau geographictongue.
2.7.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas akibat
obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau adanya atopi pada
pasien.
• Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk menilai
variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan dengan
peakflowmeter.
• Uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, pemeriksaan IgE spesifik.
• Uji inflamasi saluran respiratori: FeNO (fractional exhaled nitric oxide), eosinofil
sputum.
• Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin hipertonik.
Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan untuk mencari
kemungkinan diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto sinus paranasalis, foto
toraks, uji refluks gastro- esofagus, uji keringat, uji gerakan silia, uji defisiensi imun,
CT-scan toraks, endoskopi respiratori (rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi).

Tabel 2.4.1 Kriteria Diagnosis Asma

13
14
Gambar 2.4 Alur Diagnosis Asma pada Anak

2.7.4. Klasifikasi
Asma merupakan penyakit yang sangat heterogen dengan variasi yang sangat
luas. Atas dasar itu, ada berbagai cara mengelompokkan asma.
Berdasarkan umur
• Asma bayi – baduta (bawah dua tahun)
• Asma balita (bawah lima tahun)
• Asma usia sekolah (5-11 tahun)

15
• Asma remaja (12-17 tahun)
Berdasarkan fenotip
Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan penampakan yang serupa
dalam aspek klinis, patofisologis, atau demografis.
• Asma tercetus infeksi virus
• Asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma)
• Asma tercetus alergen
• Asma terkait obesitas
• Asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma)
Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala
• Asma intermiten
• Asma persisten ringan
• Asma persisten sedang
• Asma persisten berat
Berdasarkan derajat beratnya serangan
Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode gejala akut yang
memberat dengan progresif yang disebut sebagai serangan asma.
• Asma serangan ringan-sedang
• Asma serangan berat
• Serangan asma dengan ancaman henti napas
Dalam pedoman ini klasifikasi derajat serangan digunakan sebagai dasar
penentuan tata laksana.
Berdasarkan derajat kendali
Tujuan utama tata laksana asma adalah terkendalinya penyakit. Asma
terkendali adalah asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali dan
kualitas hidup pasien baik.
• Asma terkendali penuh (well controlled)
o Tanpa obat pengendali : pada asma intermiten
o Dengan obat pengendali : pada asma persisten (ringan/ sedang/berat)
• Asma terkendali sebagian (partly controlled)
• Asma tidak terkendali (uncontrolled)

16
Dalam pedoman ini, klasifikasi derajat kendali dipakai untuk menilai
keberhasilan tata laksana yang tengah dijalani dan untuk penentuan naik jenjang (step-
up), pemeliharaan (maintenance) atau turun jenjang (step-down) tata laksana yang
akan diberikan.
Berdasarkan keadaan saat ini:
• Tanpa gejala
• Ada gejala
• Serangan ringan-sedang
• Serangan berat
• Ancaman gagal napas
Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif akut dari gejala-
gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari
gejala-gejala tersebut.

Tabel 2.4.2 Kriteria Penentuan Derajat Asma

Keterangan :

1. Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dibuat setelah dibuat diagnosis kerja asma
dan dilakukan tata laksana umum (pengendalian lingkungan, penghindaran pencetus)
selama 6 minggu.

2. Jika sudah yakin diagnosis asma dan klasifikasi sejak kunjungan awal, tata laksana
dapat dilakukan sesuai klasifikasi.

3. Klasifikasi kekerapan ditujukan sebagai acuan awal penetapan jenjang tata laksana
jangka panjang.

17
4. Jika ada keraguan dalam menentukan klasifikasi kekerapan, masukkan ke dalam
klasifikasi lebih berat.

2.5. Diagnosis Banding4


Gejala asma tidak patognomonik, dalam arti dapat disebabkan oleh berbagai
penyakit lain sehingga perlu dipertimbangkan kemungkinan diagnosis banding.

Inflamasi: Infeksi, Obstruksi mekanis Patologi bronkus Kelainan sistem


alergi organ lain

• Rinitis, • Laringomalasia, • Displasia • Penyakit


rinosinusitis trakeomalasia bronkopulmonal refluks gastro-
• Chronic upper • Hipertrofi timus • Bronkiektasis esofagus
airway cough • Diskinesia silia (GERD)
• Pembesaran
syndrome kelenjar getah primer • Penyakit
• Infeksi bening • Fibrosis kistik jantung
respiratori bawaan
• Aspirasi benda
berulang asing • Gangguan
• Bronkiolitis neuromuskular
• Vascularring,
• Aspirasi laryngeal web • Batuk
berulang psikogen
• Disfungsi pita suara
• Defisiensi imun • Malformasi
• Tuberkulosis kongenital saluran
respiratori

2.6. Tatalaksana Medikamentosa4


2.6.1. Tatalaksana Jangka Panjang
Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah mencapai kendali asma sehingga
menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci,
tujuan yang ingin dicapai adalah:
1. Aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga.
2. Gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari.
3. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
4. Efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikit mungkin terjadi, terutama
yang memengaruhi tumbuh kembang anak.

18
Apabila tujuan ini belum tercapai maka tata laksananya perlu dievaluasi kembali.
Tata laksana jangka panjang pada asma anak dibagi menjadi tata laksana
nonmedikamentosa dan tata laksana medikamentosa.
Tujuan tata laksana asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan kendali
asma serta menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal. Obat asma dapat
dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali
(controller). Ada yang menyebut obat pereda sebagai obat pelega atau obat serangan.
Obat ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma bila sedang timbul. Bila
serangan sudah teratasi dan gejala tidak ada lagi, maka pemakaian obat ini dihentikan.
Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang digunakan untuk mencegah
serangan asma. Obat ini untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respiratori
kronik, sehingga tidak timbul serangan atau gejala asma. Pemakaian obat ini secara terus-
menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, bergantung pada kekerapan gejala asma
dan responsnya terhadap pengobatan/penanggulangan. Obat pengendali asma terdiri dari
steroid anti-inflamasi inhalasi atau sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid–agonis β2
kerja panjang, teofilin lepas lambat, dan anti-imunoglobulin E.
Pada umumnya obat asma diberikan secara inhalasi. Ada perbedaan teknik
inhalasi sesuai dengan golongan umur dan kemampuan anak, sehingga pemilihan alat
inhalasi harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing anak. Pemilihan alat inhalasi
sebaiknya juga mempertimbangkan efikasi obat, keamanan, kenyamanan penggunaan,
dan biaya. Inhalasi dosis terukur/Metered Dose Inhaler (MDI) dengan spacer merupakan
pilihan utama karena memberikan kenyamanan kepada pasien, jumlah obat yang
mencapai paru lebih banyak, risiko dan efek samping minimal, serta biaya lebih murah.
Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan tanpa spacer (MDI). Perlu
dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali. Tabel 5.1 memperlihatkan anjuran
pemakaian alat inhalasi sesuai usia, namun pemilihannya sesuai dengan kemampuan.

19
Tabel 2.6.1 Jenis Alat Inhalasi Sesuai Usia

Pemakaian spacer mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring). Hal ini
menyebabkan jumlah obat yang akan tertelan berkurang sehingga mengurangi efek
sistemik. Sebaliknya, deposisi obat dalam paru lebih baik sehingga didapatkan efek
terapeutik yang baik. Selain itu pemakaian spacer akan mengatasi masalah kesulitan
teknik pemakaian obat MDI. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering/Dry Powder
Inhaler (DPI) seperti diskhaler, swinghaler, turbuhaler, dan easyhaler memerlukan
inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.
Jika spacer seperti volumatic, nebuhaler, aerochamber, babyhaler, autohaler
tidak dapat atau sulit diperoleh, spacer dapat dibuat dari gelas plastik atau botol plastik
dengan volume 500 mL yang menurut penelitian sama efektifnya dengan MDI yang
disertai spacer konvensional. Spacer seperti ini terutama ditujukan untuk digunakan di
negara berkembang karena dapat dibuat sendiri.
Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan berperan penting
dalam tata laksana asma jangka panjang. Steroid inhalasi merupakan obat pengendali
asma yang paling efektif. Pemberian steroid inhalasi setara dosis budesonid 100-200 μg
per hari dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi paru pada
pasien asma. Beberapa pasien asma memerlukan dosis steroid inhalasi 400 μg per hari
untuk mengendalikan asma dan mencegah timbulnya serangan asma setelah berolahraga.
Pada anak yang berusia diatas 5 tahun, steroid inhalasi dapat mengendalikan asma,
menurunkan angka kekambuhan, mengurangi risiko masuk rumah sakit, memperbaiki

20
kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru, dan menurunkan serangan asma akibat
berolahraga. Steroid inhalasi atau sistemik tidak digunakan untuk asma intermiten dan
wheezing akibat infeksi virus.
Steroid inhalasi sebagai obat pengendali asma tidak memengaruhi tinggi badan
dan densitas tulang. Kandidiasis oral dan suara parau sebagai efek samping dapat dicegah
dengan cara berkumur setiap selesai pemberian steroid inhalasi lalu membuang air bekas
berkumur tersebut. Pada anak asma yang mendapatkan steroid inhalasi perlu dipantau
pertumbuhan (persentil tinggi badan dan berat badan) setiap tahun.
Steroid inhalasi umumnya diberikan dua kali dalam sehari, kecuali ciclesonide
yang diberikan sekali sehari. Ciclesonide merupakan preparat steroid inhalasi yang baru,
efek sistemik minimal dan deposisi obat di orofaring lebih sedikit dibanding preparat
steroid inhalasi yang lain. Efikasi dan keamanannya dibanding preparat yang lain masih
memerlukan penelitian lebih lanjut.

Tabel 2.6.2 Dosis berbagai preparat steroid inhalasi pada anak asma

21
2.6.2. Tatalaksana Serangan Asma
Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi saluran respiratori
secara luas, yang disebabkan oleh kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edema
mukosa karena inflamasi saluran respiratori, dan sumbatan mukus. Sumbatan tidak terjadi
secara merata di seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi.
Perubahan tahanan saluran respiratori yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus
menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion
mismatch).
Selain berdasarkan kekerapan serangan dan obat yang digunakan sehari-hari,
klasifikasi asma juga dapat dinilai berdasarkan derajat keparahan serangan, yang terbagi
menjadi serangan ringan sedang, serangan berat, dan serangan asma dengan ancaman
henti napas. Jadi perlu dibedakan antara derajat penyakit asma (aspek kronik) dengan
derajat serangan asma (aspek akut). Seorang pasien asma persisten dapat hanya
mengalami serangan asma ringan sedang. Sebaliknya, mungkin saja seorang pasien asma
intermiten mengalami serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang
dapat menyebabkan kematian. Kriteria untuk menentukan derajat keparahan serangan
asma pada anak dapat ditentukan bila memenuhi gejala yang tercantum pada tabel berikut
ini.

Tabel 2.6.3 Derajat Keparahan Serangan Asma

22
Beberapa pasien memiliki risiko tinggi untuk mengalami serangan asma yang
dapat mengancam nyawa. Keadaan tersebut harus segera diidentifikasi dan bila
didapatkan, dicatat di rekam medis, di antaranya adalah pasien dengan riwayat:

• Serangan asma yang mengancam nyawa


• Intubasi karena serangan asma
• Pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum
• Serangan asma berlangsung dalam waktu yang lama
• Penggunaan steroid sistemik (saat ini atau baru berhenti)
• Kunjungan ke UGD atau perawatan rumah sakit (RS) karena asma dalam setahun
terakhir
• Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi
• Berkurangnya persepsi tentang sesak napas
• Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial.
• Alergi makanan

Untuk pasien dengan risiko tinggi tersebut, steroid sistemik (oral atau parenteral)
perlu diberikan pada awal tata laksana meskipun pada penilaian awal serangannya masih
ringan sedang.

The Global Initiative for Asthma (GINA) membagi tata laksana serangan asma
menjadi dua, yaitu tata laksana di rumah dan di fasilitas pelayanan kesehatan
(fasyankes)/RS. Tata laksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya) sendiri
di rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh pasien yang memunyai pendidikan yang cukup
dan sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur. Pada panduan pengobatan di
rumah, terapi awal berupa inhalasi agonis β2 kerja pendek hingga tiga kali dalam satu
jam. Kemudian, pasien atau keluarganya diminta untuk melakukan penilaian respons
untuk penentuan derajat serangan, yang kemudian ditindaklanjuti sesuai derajatnya. Akan
tetapi, untuk kondisi di negara kita, pemberian terapi awal di rumah cukup riskan dan
kemampuan melakukan penilaian juga masih dipertanyakan. Dengan alasan demikian
maka apabila setelah dilakukan inhalasi dua kali tidak memunyai respons yang baik,
maka dianjurkan untuk mencari pertolongan medis di klinik atau rumah sakit.

23
Semua pasien/orangtua pasien asma seharusnya diberikan edukasi tentang
bagaimana memantau gejala asma, gejala-gejala serangan asma dan rencana tata laksana
asma yang diberikan tertulis (asthma action plan, AAP). Dalam edukasi dan “rencana
aksi asma” (RAA) tertulis harus disampaikan dengan jelas tentang jenis obat dan
dosisnya serta kapan orangtua harus segera membawa anaknya ke fasilitas pelayanan
kesehatan.

Orangtua perlu diberikan edukasi untuk memberikan pertologan pertama serangan


asma di rumah. Tata laksana serangan asma di rumah ini penting agar pasien dapat segera
mendapatkan pertolongan dan mencegah terjadinya serangan yang lebih berat. Namun
demikian, perlu ditekankan kepada pasien/orang tua, seberapa jauh kewenangan
pasien/orang tua dalam tata laksana serangan asma di rumah ini. Tenaga medis/dokter
juga harus menilai seberapa baik pemahaman dan ketaatan pasien/orang tua tentang tata
laksana serangan asma di rumah untuk memastikan pasien mendapatkan tata laksana
yang adekuat di rumah. Pada beberapa keadaan, pasien harus segera dibawa ke fasyankes
terdekat, tidak menunggu respons terapi yang diberikan di rumah.

Kondisi Keadaan pasien yang harus segera dibawa ke fasyankes jika:

 Pasien memunyai satu atau lebih faktor risiko tinggi untuk mengalami serangan
asma yang dapat mengancam nyawa yang sudah disebutkan diatas

 Pasien tiba-tiba dalam kondisi keadaan distres respirasi (sesak berat)

Tata laksana yang dapat dilakukan pasien/orang tua di rumah jika tidak ada keadaan
seperti pada poin-poin faktor risiko tingi, berikan inhalasi agonis β2 kerja pendek, via
nebulizer atau dengan MDI + spacer, sebagai berikut:

A. Jika diberikan via nebulizer

1. Berikan agonis β2 kerja pendek, lihat responsnya. Bila gejala (sesak napas dan
wheezing) menghilang, cukup diberikan satu kali.

2. Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, ulangi pemberian sekali lagi

3. Jika dengan 2 kali pemberian agonis β2 kerja pendek via nebulizer belum
membaik, segera bawa ke fasyankes.

24
B. Jika diberikan via MDI + spacer

1. Berikan agonis β2 kerja pendek serial via spacer dengan dosis: 2-4 semprot.
Berikan satu semprot obat ke dalam spacer diikuti 6-8 tarikan napas melalui antar
muka (interface) spacer berupa masker atau mouthpiece. Bile belum ada respons
berikan semprot berikutnya dengan siklus yang sama.

2. Jika membaik dengan dosis ≤ 4 semprot, inhalasi dihentikan.

3. Jika gejala tidak membaik dengan dosis 4 semprot, segera bawa ke fasyankes.

Alur tata laksana serangan asma di fasyankes primer ditunjukkan di Gambar 2.6.
Lakukan anamnesis yang singkat dan terfokus serta pemeriksaan fisis yang relevan
bersamaan dengan pemberian terapi awal. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis harus
dicatat di rekam medis. Jika pasien menunjukkan tanda serangan berat atau mengancam
nyawa, segera rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.

25
Gambar 2.6. Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak di Fasyankes dan Rumah Sakit

26
Gambar 2.6. (Lanjutan) Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak di Fasyankes dan
Rumah Sakit

2.7. Tatalaksana Nonmedikamentosa4


2.7.1. Program KIE
Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) merupakan unsur yang sangat
penting tetapi sering dilupakan dalam tata laksana asma. Tujuan program KIE adalah
memberi informasi dan pelatihan yang sesuai terhadap pasien dan keluarganya untuk
meningkatkan pengetahuan atau pemahaman, keterampilan, dan kepercayaan diri dalam

27
mengenali gejala serangan asma, mengambil langkah-langkah yang sesuai, serta
memotivasi dalam menghindari faktor-faktor pencetus, sehingga meningkatkan
keteraturan terhadap rencana pengobatan yang sudah ditetapkan serta pada akhirnya
mampu meningkatkan kemandirian dalam tata laksana asma yang lebih baik.
Dalam mencapai tujuan tersebut, ada beberapa komponen penting yang harus
diperhatikan oleh seorang dokter/petugas kesehatan yang memberi pelayanan, antara
lain:
• Mengutamakan terjalinnya hubungan baik dengan pasien
• Penjelasan bahwa ini adalah proses yang berkesinambungan, sehingga KIE selalu
diberikan di setiap kesempatan bertemu dengan pasien
• Berbagi dan bertukar informasi dengan pasien tentang asma dan
penatalaksanaannya
• Penilaian kendali asma, derajat dan pemakaian obat-obatan
• Harapan akan tercapai kendali asma
• Meredam ketakutan dan kekhawatiran
Penerapan program KIE sudah dimulai saat pertama kali diagnosis ditegakkan
dan berlangsung terus menerus dan terintegrasi ke dalam setiap langkah tata laksana
asma. Program ini juga dilakukan di semua tempat pelayanan, seperti klinik, rumah
sakit, unit gawat darurat, sekolah, rumah, dan pusat-pusat keramaian. Selain anak dan
orangtua, KIE juga melibatkan dokter, perawat, apoteker, guru, kelompok bermain,
keluarga dan masyarakat. Pelaksanaan KIE dilakukan melalui ceramah,
komunikasi/nasehat saat berobat, supervisi, diskusi, serta video presentasi, brosur,
chart, dan mendemonstrasikan penggunaan PFM (peak flow meter), spirometer, alat
terapi inhalasi, dan spacer. Dalam melakukan KIE hendaklah selalu menggunakan kata-
kata atau kalimat yang bersifat komunikatif.
2.7.2. Rencana Aksi Asma (RAA)/ Asthma Action Plan (AAP)
Dalam mencapai kemandirian, program KIE dituangkan dalam bentuk Rencana
Aksi Asma (RAA)/Asthma Action Plan (AAP) yang dibuat secara tertulis dan diisi oleh
anak atau orangtua. Rencana ini berisi tentang instruksi kapan meningkatkan dosis
pengobatan, bagaimana caranya, lamanya pengobatan dinaikkan, serta penentuan kapan
harus mencari pertolongan medis sehingga memberi keleluasaan pada anak dalam

28
menentukan sendiri perubahan paduan pengobatan berdasarkan gejala dan penilaian
PFM.
Dalam pelaksanaannya, RAA berisi catatan harian asma yang diisi setiap hari
untuk memonitor keadaaan tidur malam, gejala asma, aktivitas, dahak, peak flow rate
(PFR), pemakaian obat harian, dan penggunaan inhaler. Pemantauan harian ini
mempergunakan tiga zona warna:
• Zona hijau menunjukkan 80-100% dari nilai terbaik anak, biasanya tanpa gejala
dan mengisyaratkan tetap menggunakan obat pengendali asma.
• Zona kuning menunjukkan Asthma of Physical Effort (APE) 50- 80%, gejala
sudah tampak seperti batuk, wheezing, pilek/selesma, napas berat dan cepat,
gelisah, serta mengurangi aktivitas bermain. Ini mengisyaratkan penggunaan
obat pereda sebagai tambahan obat.
• Zona merah yang menunjukkan APE <50%, gejala asmanya semakin berat
meskipun sudah diberi pengobatan 'zona kuning', kesulitan makan, berbicara,
berjalan dan bermain, serta gelisah sampai penurunan kesadaran merupakan
keadaan gawat darurat dan harus segera menghubungi dokter atau rumah sakit.
Penerapan RAA ini terutama ditujukan pada pasien asma persisten, anak dengan
kendali asma yang buruk, serta adanya riwayat eksaserbasi asma.
2.7.3. Kartu Aksi Asma

Program KIE di sekolah diterapkan dalam bentuk Kartu Aksi Asma (KAA)
berisi identitas anak dan nomor telepon untuk dapat dihubungi bila terjadi kekambuhan,
rencana tata kelola asma harian dan rencana saat darurat.

Rencana tata kelola harian berisi:

• Identifikasi faktor pencetus asma seperti aktivitas, infeksi, makanan, debu dan
lainya

• Pengendalian lingkungan sekolah

• Monitor PFR

• Rencana pengobatan harian.

29
Rencana darurat diperlukan apabila timbul gejala atau nilai peak flow rate
menurun. Langkah-langkah tindakan pada episode serangan asma:

• Berikan pengobatan mengikuti petunjuk yang tercatat di kartu

• Siswa tetap sekolah jika keadaan anak dapat dikendalikan

• Hubungi orang tua jika anak tidak dapat mengikuti pelajaran

• Meminta perawatan medis darurat jika tidak ada perbaikan klinis selama 15-20
menit setelah pengobatan, nilai PFR rendah, sulit bernapas, gangguan berjalan
atau bicara dan tidak dapat beraktivitas kembali, serta bibir atau kuku terlihat biru

Dengan pelaksanaan program KIE yang benar diharapkan angka kesakitan dan
kematian akibat asma akan menurun, semakin sedikit anak yang dibatasi aktivitas
fisisnya, dan semakin banyak anak yang meningkat kualitas hidupnya. Kita tidak dapat
mengharapkan perubahan perilaku pasien dan keluarga, kecuali mereka dapat
diyakinkan sepenuhnya. Mengkomunikasikan edukasi asma yang layak merupakan
kerjasama yang berlangsung terus menerus, membutuhkan tenaga medis, peralatan dan
material edukasi. Peralatan seperti booklet, diagram, kaset audio, spirometri, peralatan
inhalasi, spacer dan material lain sangat diperlukan pada klinik asma.
2.7.4. Penghindaran Pencentus

Penghindaran pencetus asma merupakan bagian dari tata laksana non-


medikamentosa pada asma anak selain tata laksana KIE, baik pada pasien maupun
keluarganya. Serangan asma bisa terjadi akibat dua faktor, yaitu kegagalan dalam
farmakoterapi jangka panjang dan kegagalan menghindari faktor pencetus, ketika faktor
pencetus ini bisa menyebabkan keadaan yang tidak ada gejala menjadi bergejala atau
yang gejalanya ringan menjadi berat.

Telah diketahui banyak faktor risiko terhadap kejadian asma pada anak, tetapi
ada dua faktor besar yang dipercaya sangat berperan pada kejadian asma, yaitu faktor
genetik dan lingkungan. Faktor 78 Pedoman Nasional Asma Anak 2015

30
genetik hampir tak dapat dimodifikasi lagi dalam tata laksana penghindaran
pencetus. Sedangkan faktor lingkungan dalam hal ini diklasifikasikan dalam beberapa
kategori, antara lain alergen hirupan (indoor dan outdoor), iritan, kondisi komorbid, dan
faktor lain.

Anggapan bahwa asma dapat disembuhkan atau dikendalikan hanya dengan


obat-obatan akan membuat penyakit asma semakin parah karena penghindaran faktor
pencetus ini merupakan upaya utama dalam tata laksana asma. Dengan penghindaran
pencetus yang adekuat, kebanyakan asma dapat dikendalikan walau terkadang tanpa
obat asma. Sedemikian pentingnya penghindaran pencetus hingga Dolovich J. dkk.
(1983) mengemukakan: “Thus, strategies to avoid offending substances are potentially
'curative' and require the dedicated attention of the therapist.”

Peranan pajanan alergen dalam perjalanan perkembangan asma melalui dua


proses bertingkat, yaitu pajanan yang menyebabkan terjadinya sensitisasi dan pajanan
pada individu yang telah tersensitisasi akan menyebabkan berkembangnya asma.
Gambaran patologi asma terutama oleh karena sensitisasi alergen dan inflamasi atopi di
antaranya perubahan fibrotik jaringan di sekitar lumen jalan napas, hipertrofi dan
hiperplasia otot polos, hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, dan kerusakan epitel
jalan napas. Paparan ini juga mampu menyebabkan terjadinya sensitisasi alergen,
hiperresponsif jalan napas, dan gambaran remodeling (hipertrofi dan hiperplasia
kelenjar mukus, penebalan membrana basalis, dan kerusakan epitel).

Walaupun pada beberapa hasil penelitian terakhir yang dilakukan bahkan


dengan meta-analisis menilai penghindaran alergen termasuk di antaranya tungau debu
rumah dan binatang peliharaan tidak memberi manfaat dalam pengendalian asma,
namun beberapa penelitian lain justru menyimpulkan bahwa penghindaran alergen
masih merupakan tindakan yang sangat bermanfaat.

BAB III

31
KESIMPULAN

Asma merupakan penyakit saluran respiratori kronik yang sering dijumpai baik pada
anak maupun dewasa. Prevalensi asma pada anak sangat bervariasi di antara negara-negara di
dunia, berkisar 1-18%. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada anak usia
sekolah dasar, dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama Asma merupakan penyakit
kronik tersering pada anak dan masih tetap merupakan masalah bagi pasien, keluarga, dan
bahkan para klinisi dan peneliti asma. Mengacu pada data epidemiologi Amerika Serikat pada
saat ini diperkirakan terdapat 4-7% (4,8 juta anak) dari seluruh populasi asma.

Penilaian derajat serangan dan penyakit asma penting untuk penatalaksaan asma
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta penunjang. Dengan pentalaksanaan yang adekuat
diharapkan dapat memperbaiki tumbuh kembang dan kualitas hidup anak. Selain terapi dengan
obat-obatan standar untuk asma, diperlukan peran aktif keluarga dan pasien untuk menghindari
factor pencetus. Yang tidak kalah pentingnya dalam penatalaksanaan asma ialah kerjasama
antara pasien-keluarga dan dokter.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma management and prevention.
2014.
2. Supriyanto, B. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak. Majalah
Kedokteran Indonesia, Volume: 55, Nomor: 3, Maret 2005. FKUI
3. Akib AB. Asma pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 4, Nomor 2, September 2002
4. Pedoman Nasional Asma Ana. Edisi 2. 2015. Jakarta: UKK Respirologi PP IDAI
5. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and prevention asthma
in children. 2011
6. Asma Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. 2003

33

Anda mungkin juga menyukai